LEMBAR PENGESAHAN......................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................................. ii
DAFTAR ISI ..............................................................................................................iii
BAB 1 ANATOMI DAN HISTOLOGI MEDIA REFRAKSI ......................................... 1
1.1 Retina ........................................................................................................ 1
1.2 Aqueous Humour ...................................................................................... 2
1.3 Lensa ........................................................................................................ 3
1.4 Corpus Vitreous ........................................................................................ 3
1.5 Retina ........................................................................................................ 3
1.5.1 Lapisan Retina ................................................................................. 4
1.5.2 Sel Retina ......................................................................................... 7
BAB 2 FISIOLOGI PERKEMBANGAN PENGLIHATAN .......................................... 8
BAB 3 DEFINISI........................................................................................................10
BAB 4 FAKTOR RESIKO..........................................................................................11
BAB 5 EPIDEMIOLOGI ............................................................................................12
BAB 6 ETIOLOGI .....................................................................................................13
BAB 7 PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI .......................................................14
7.1 Patogenesis ...............................................................................................14
7.2 Patofisiologi ................................................................................................14
BAB 8 KLASIFIKASI ................................................................................................16
8.1 Ambliopia Strabismik .................................................................................16
8.2 Ambliopia Anisometropik ............................................................................17
8.3 Ambliopia Isometropia ...............................................................................18
8.4 Ambliopia Deprivasi ...................................................................................18
BAB 9 DIAGNOSIS ..................................................................................................20
BAB 10 MANAJEMEN .............................................................................................23
10.1 Eliminasi Hambatan Penglihatan .............................................................23
10.2 Koreksi Kelainan Refraksi .......................................................................24
10.3 Terapi Oklusi ............................................................................................24
10.4 Penalisasi .................................................................................................26
10.5 Terapi Ortoptik ..........................................................................................26
10.6 Pembedahan.............................................................................................26
i
BAB 11 KOMPLIKASI, PROGNOSIS, DAN PREVENSI..........................................27
11.1 Komplikasi ................................................................................................27
11.2 Prognosis .................................................................................................27
11.3 Prevensi ...................................................................................................27
BAB 12 KESIMPULAN .............................................................................................28
BAB 13 PENUTUP ...................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................30
ii
BAB 1
ANATOMI DAN HISTOLOGI MEDIA REFRAKSI
1.1 Kornea
Kornea adalah jaringan transparan dan avaskuler bersama konjungtiva.
Kornea merupakan batas depan dari bola mata berhubungan dengan dunia luar.
(12)
1
e. Endotel
Terdiri dari 1 lapis sel-sel kubus. Sel-sel endotel tidak
mempunyai daya regenerasi seperti halnya sel-sel epitel. Oleh
karena itu kerusakan pada sel-sel endotel sering bersifat permanen
dan lebih berat dibanding epitel.(12)
Elemen-elemen nutrisi masuk ke dalam rongga kornea yang avaskuler
dari limbus yang kaya pembuluh darah. Di samping itu kornea juga mendapat
nutrisi dari aquous humour dalam bilik mata depan dan oksigen dari udara luar.
(12)
1.3 Lensa
2
Lensa berbentuk bikonveks, merupakan struktur yang transparan (jernih,
tidak berwarna) serta tak mengandung pembuluh darah (avaskular) . (12)
Pada orang dewasa mempunyai tebal 4-5 mm dan diameter 9 mm. Lensa
menggantung di bagian anterior dari bola mata, sebelah anterior dibatasi oleh
aqueous humour dan bagian posterior dibatasi oleh corpus vitreous. Lensa
terdiri dari permukaan anterior (anterior pole) dan permukaan posterior
(posterior pole). Bagian yang bulat disebut equator. (12)
Posisi lensa stabil oleh karena adanya ligament suspensatorium, yang
menghubungkan equator lensa dengan epitel corpus silliaris, disebut Zonula
Zinii.(12)
Komposisi lensa terdiri dari 65% air dan 35% protein serta garam mineral.
Mutrisinya berasal dari cairan intraokuler. Lensa terbungkus oleh suatu kapsul
transparan yang bersifat semipermeabel, sehingga air dan elektrolit mudah
menebusnya.(12)
1.5 Retina
Retina adalah lapisan saraf sensorik dari bola mata. Retina adalah
struktur yang paling kompleks dan harus dipertimbangkan sebagai area khusus
dari otak, karena ia berasal dari perkembangan diencephalon. Hal ini
didedikasikan untuk deteksi dan analisis awal informasi visual dan merupakan
bagian terpadu dari apparatus yang jauh lebih besar dari analisis visual pada
thalamus, korteks dan daerah lain dari sistem saraf pusat.(12)
Retina terletak di antara koroid secara eksternal dan corpus vitreous
secara internal. Retina ini tipis, bagian yang tertebal 0,56 mm terletak dekat
optic disc, berkurang menjadi 0,1 mm pada anterior equator, dan berlanjut pada
ketebalan ini ke ora serrata. Retina juga menipis secara lokal di fovea makula.
Retina berlanjut ke nervus optikus pada optic disc. Secara anterior, di ora
serrata terdapat perpanjangan retina yang tipis, meluas melewati prosesus
cilliaris dan bagian dari iris, terdiri dari lapisan epitel berpigmen dan columnar
3
saja. Bagian optik dari retina meluas dari optic disc ke ora serrata. Bagian ini
merupakan bagian yang lembut, translusen, berwarna ungu terang karena
adanya rhodopsin, tapi segera menjadi opaq saat terkena cahaya.(12)
Dekat pusat retina ada wilayah dengan diameter 5-6 mm, yang berisi
lutea makula, daerah berbentuk elips kekuningan. Warna yang timbul adalah
karena adanya derivat dari xanthophyll. Macula lutea berisi cekungan bulat yang
disebut fovea centralis atau foveola, di mana tempat ini merupan resolusi visual
tertinggi). Di sini, semua elemen kecuali pigmen epitel fotoreseptor sel cone
dipindahkan secara lateral. Begitulah ukuran foveola adalah alasan mengapa
sumbu visual harus diarahkan dengan akurasi besar dalam rangka mencapai
visi yang paling diskriminatif.(12)
4
type adherens antara proseus sel glial radial dan prosesus
fotoreseptor.(12)
d. Outer Nuclear Layer
Terdiri dari beberapa lapisan dari corpus sel batang dan sel
kerucut beserta intinya, inti sel kerucut terletak paling luar. Berbaur
dengan ini adalah serat luar dan dalam dari sel yang sama,
diarahkan ke luar ke basis segmen dalam, dan menuju lapisan
plexiform luar.(12)
e. Outer Plexiform Layer
Merupakan daerah dari pengaturan sinapsis yang kompleks
dari prosesus sel-sel dimana corpusnya saling berdekatan. Lapisan
ini terdiri dari sinapsis prosesus sel batang dan kerucut, sel bipolar,
dan beberapa sel interplexiform (yang dikelompokkan sebagai
amacrine).(12)
f. Inner Nuclear Layer
Terdiri dari 3 strata nuklir. Inti sel horizontal membentuk zona
paling luar, berikutnya adalah nucleus dan corpus sel bipolar, radial
glial. Dan yang paling luar adalah sel amacrine, termasuk sel
interplexiform yang sel dendritnya menyilang pada lapisan ini. (12)
g. Inner Plexiform Layer
Dibagi menjadi 3 lapisan. Lapisan luar atau OFF Layer terdiri
dari sinapsis antara OFF sel bipolar, sel ganglion, dan beberapa sel
amacrine. Bagian tengah atau ON Layer terdiri dari sinapsis antara
axon-axon dari ON sel bipolar dan dendrite-dendrit dari sel ganglion.
(12)
5
antara lapisan serabut saraf sel ganglion terdapat lapisan plexiform
sempit yang terdalam dimana prosesus neuron membentuk kontak
sinapsis dengan axon hillocks dan segmen inisial dari sel ganglion. (12)
j. Internal Limiting Membrane
Merupakan batas antara retina dengan corpus vitreous.
Dibentuk oleh ujung akhir dari sel radial glial dan astrosit, dan
dipisahkan dari corpus vitreous oleh basal lamina. (12)
6
Horizontal cells,
Amacrine cells,
Ganglion cells.(12)
7
BAB 2
FISIOLOGI PERKEMBANGAN PENGLIHATAN
8
2.4 Adaptasi Sensoris pada Gangguan Rangsangan Penglihatan
Hal ini terjadi karena kedua mata kita terpisah dan masing-masing mata
mempunyai perbedaan penglihatan saat melihat obyek. Perkembangan sistem
penglihatan menyesuaikan dengan kekacauan bayangan retina yang tidak sama
dengan menghambat aktivitas korteks dari satu mata. Hambatan korteks ini
biasanya melibatkan bagian sentral lapang pandang dan disebut supresi
kortikal. Bayangan yang jatuh dalam lapang supresi kortikal tidak akan
dirasakan dan area ini disebut skotoma supresi. Tergantung pada adanya
penglihatan binokular, dengan satu mata berfiksasi sedang satu matanya
supresi. Ketika mata fiksasi ditutup, skotoma supresi hilang. Supresi korteks
mengganggu perkembangan sel-sel kortikal bilateral dan akan menghasilan
penglihatan binokular abnormal tanpa stereopsis yang buruk. Jika supresi
bergantian antara kedua mata, tajam penglihatan akan berkembang sama
meskipuan terpisah tanpa fungsi binokular normal sehingga terjadi penglihatan
bergantian atau alternating. Supresi terus menerus terhadap aktivitas korteks
pada satu mata akan mengakibatkan gangguan perkembangan penglihatan
binokularitas dan tajam penglihatan yang buruk.(5)
9
BAB 3
DEFINISI
10
BAB 4
FAKTOR RESIKO
11
BAB 5
EPIDEMIOLOGI
12
BAB 6
ETIOLOGI
6.1 Strabismus
Strabismus adalah penyebab terbanyak ambliopia. Untuk menghindari
penglihatan ganda yang diakibatkan mata yang tidak sejajar, otak menghindari
input visual dari mata yang mengalami kelainan, sehingga menyebabkan
terjadinya ambliopia pada mata tersebut. Tipe ambliopia ini disebut Strabismic
Amblyopia.(6)
13
BAB 7
PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI
7.1 Patogenesis
Ambliopia terjadi karena adanya faktor ambliogenik selama periode kritis
perkembangan visual (dari lahir-6 bulan = periode sensitif). Faktor ambliogenik
terdiri dari:(9)
a. Visual (form sense) deprivation seperti pada anisometropia,
b. Light deprivation seperti pada congenital katarak
c. Abnormal binocular interaction seperti pada strabismus
Hypermetropia
Myopia
Jika dikoreksi tidak berhasil AMBLYOPIA(9)
Anisometropia
Astigmatism
7.2 Patofisiologi
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa terdapat suatu periode kritis
penglihatan. Dalam studi eksperimental pada binatang serta studi klinis pada
bayi dan balita, mendukung konsep adanya suatu periode tersebut yang peka
dalam berkembangnya keadaan amblyopia. Periode kritis ini sesuai dengan
perkembangan system penglihatan anak yang peka terhadap masukan
abnormal yang diakibatkan rangsangan deprivasi, strabismus, atau kelainan
refraksi yang signifikan.(1) Periode kritis tersebut adalah:(15)
a. Perkembangan tajam penglihatan dari 20/200 (6/60) hingga 20/20
(6/6), yaitu pada saat lahir sampai usia 3-5 tahun,
b. Periode yang berisiko tinggi untuk terjadinya amblyopia deprivasi,
yaitu di usia beberapa bulan hingga usia 7-8 tahun,
c. Periode dimana kesembuhan amblyopia masih dapat dicapai, yaitu
sejak terjadinya deprivasi sampai usia remaja atau bahkan
terkadang usia dewasa.(15)
Ambliopia seharusnya tidak dilihat hanya dari masalah di mata saja,
tetapi juga kelainan di otak akibat rangsangan visual abnormal selama periode
sensitif perkembangan penglihatan. Penelitian pada hewan, bila ada pola
distorsi pada retina dan strabismus pada perkembangan penglihatan awal, bisa
14
mengakibatkan kerusakan struktural dan fungsional nucleus genikulatum lateral
dan korteks striata.(10.14) Ambang sistem penglihatan pada bayi baru lahir adalah
di bawah orang dewasa meskipun system optic mata memiliki kejernihan 20/20.
Sistem penglihatan membutuhkan pengalaman melihat dan khususnya interaksi
kompetisi antara kedua jalur lintasan mata kanan dan kiri di korteks penglihatan
untuk berkembang menjadi penglihatan seperti orang dewasa,yaitu visus
menjadi 20/20. Pada ambliopia defek pada visus sentral, sedangkan medan
penglihatan perifer tetap normal.(1)
15
BAB 8
KLASIFIKASI
16
Jenis Strabismus Primer dan Ada atau Tidaknya Ambliopia (1)
Esotropia Primer: Intermiten tidak ada ambliopia
Alternating tidak ada ambliopia
Konstan unilateral (sering) ambliopia.(1)
17
8.3 Ambliopia Isometropia
Pada ambliopia isometropia terjadi high refractive error pada kedua
mata (bilateral amblyopia). Ambliopia isometropia terjadi akibat kelainan
refraksi tinggi yang tidak dikoreksi, yang ukurannya hampir sama pada mata
kanan dan mata kiri. Dimana walaupun telah dikoreksi dengan baikm tidak
langsung memberi hasil penglihatan normal. Tajam penglihatan membaik
sesudah koreksi lensa dipakai pada suatu periode waktu (beberapa bulan).
Khas untuk ambliopia tipe ini yaitu hilangnya penglihatan ringan dapat
diatasi dengan terapi penglihatan, karena interaksi abnormal binocular
bukan merupakan faktor penyebab. Mekanismenya hanya karena akibat
bayangan retinga yang kabur saja. Pada ambliopia isometropia, bayangan
retina (dengan atau tanpa koreksi lensa) sama dalam hal
kejelasan/kejernihan dan ukuran. Hiperopia lebih dari 5D dan myopia lebih
dari 10 D beresiko menyebabkan bilateral ambliopia, dan harus dikoreksi
sedini mungkin agar tidak terjadi ambliopia. (1)
18
unilateral pada anak usia <2 tahun sesudah menjalani operasi ringan pada
kelopak mata.(1)
19
BAB 9
DIAGNOSIS
20
o Crowding Phenomenon
Pasien dengan ambliopia mempunyai tajam penglihatan
membaca single chart (optotipe) yang lebih bagus daripada
membaca multiple letter chart (kartu Snellen). Pasien ambliopia
seringkali membaca optotipe tunggal 1-2 baris kartu Snellen lebih
baik dibandingkan dengan optotipe linear.(9)
o Neutral Density Filter Effect
Neutral density filter mempunyai efek menurunkan
luminansi secara menyeluruh. Tajam penglihatan pada mata
yang ambliopia akan membaik bila diberikan neutral density filter
sedangkan mata yang sehat akan memburuk. Sebagai contoh,
pasien ambliopia dengan visus 20/20 pada mata yang sehat dan
20/60 pada mata ambliopia, pada keadaan fotopik atau
penerangan biasa, kedua visus tersebut menunjukkan
perbedaan 4 baris. Setelah diperiksa dengan neutral density filter
maka mata yang sehat mempunyai visus 20/50 (memburuk) dan
mata ambliop tetap 20/60. Sehingga hanya terjadi perbedaan
satu baris optotipe Snellen. Kadangkala mata ambliopia justru
visusnya membaik. Apabila visus mata ambliop turun drastis,
berarti ada kelainan organik pada mata tersebut.(5)
o Fiksasi Eksentrik
Fiksasi eksentrik mengacu kepada penggunaan region
nonfoveal retina terus menerus untuk penglihatan monokular
oleh mata ambliopia. Fiksasi eksentrik terdapat sekitar 80% dari
penderita ambliopia. Fiksasi eksentrik ringan (derajat minor),
hanya dapat dideteksi dengan uji khusus, seperti visuskop,
banyak dijumpai pada penderita ambliopia strabismik dan
hilangnya tajam penglihatan ringan. Secara klinis bukti adanya
fiksasi eksentrik, dapat dideteksi dengan melihat reflex kornea
pada mata ambliopia tidak pada posisi sentral, dimana ia
memfiksasi cahaya, dengan mata dominan ditutup. Umumnya
tajam penglihatan adalah 20/200 (6/60) atau lebih buruk lagi.
Penggunaan region nonfoveal untuk fiksasi tidak dapat
21
disimpulkan sebagai penyebab utama menurunnya penglihatan
pada mata yang ambliopia. Mekanisme fenomena ini masih
belum diketahui.(1)
Pemeriksaan penunjang yang mungkin membantu jika pemeriksaan
ocular normal dan dicurigai adanya penyebab organik sebagai berikut: (15)
CT,
MRI,
Fluorescein angiography (untuk memeriksa retina),
Spectral-Domain Optical Coherence Tomography (SD-OCT). (15)
22
BAB 10
MANAJEMEN
23
kacamata dengan koreksi maksimal berdasar hasil streak retinoskopi yang
dilakukan sejak awal dan digunakan secara terus menerus serta konstan. (5)
Sebelum memulai terapi oklusi, koreksi refraktif penuh harus diberikan
terlebih dahulu. Terapi refraktif pada ambliopia bilateral menyatakan bahwa pada
umur antara 3 sampai 10 tahun, dengan koreksi kacamata ukuran berdasarkan
best corrected visual acuity, dalam waktu setahun, 73% pasien dapat mencapai
perbaikan visus hingga 20/25 hanya dengan pemberian kacamata dan 12%
harus ditambahkan dengan terapi oklusi atau penalisasi atropin. Bila visus tidak
membaik setelah 4 bulan koreksi kacamata, harus dipertimbangkan segera
terapi oklusi atau penalisasi.(1)
24
o Setelah usia 6 tahun, 6:1.(9)
Durasi oklusi harus sampai ketajaman penglihatan
berkembang sepenuhnya, atau tidak ada peningkatan visus selama
3 bulan.(9)
Tahap maintenance
Pengobatan maintenance terdiri dari oklusi part-time
dilanjutkan setelah fase perbaikan untuk mempertahankan
penglihatan terbaik pada usia dimana ambliopia sering muncul
(sekitar usia 8).(13)
1.4 Penalisasi
Metode lain dalam pengobatan ambliopia meliputi degradasi optik
gambaran mata yang sehat ke titik yang lebih rendah daripada mata yang
ambliopia, disebut penalisasi. Pemberian sikloplegik (tetes atropin atau ointment
0.5% atau 1.0%) secara regular diberikan pada mata yang sehat sehingga tidak
dapat berakomodasi dan penglihatan dekat menjadi blur. (1)
25
Dapat juga diberikan miotika pada mata yang ambliopia. Biasanya
gabungan pengobatan miotika pada mata yang ambliopia dan midriatika pada
mata yang baik merupakan pengobatan yang baik. Hasil pengobatan dengan
cara ini akan lebih baik bila tajam penglihatan pada mata yang ambliopia lebih
dari 20/50 atau 6/15. Ini disebut penalisasi dekat. (8)
Penalisasi jauh biasanya dilakukan pada mata dengan tajam penglihatan
6/20. Pada penalisasi jauh diberikan pada mata yang kuat atau dominan atropin
ditambah over koreksi +3 Dioptri, sedangkan pada mata yang ambliopia
diberikan koreksi penuh.(8)
1.6 Pembedahan
Pembedahan bertujuan untuk mengatur pergerakan otot penggerak mata
sehingga terjadi penglihatan tunggal.(8)
26
BAB 11
KOMPLIKASI, PROGNOSIS, DAN PREVENSI
11.1 Komplikasi
Kehilangan penglihatan yang irreversible.
Overtreatment yang menyebabkan ambliopia pada mata yang sehat.
11.2 Prognosis
Pada sebagian besar kasus, jika pengobatan dimulai cukup dini,
perbaikan substansial atau normalisasi ketajaman penglihatan seluruhnya dapat
terjadi. Jarang terjadi tidak adanya perbaikan pada kondisi ideal. (13)
Pada mata yang sudah mendapat perawatan untuk ambliopianya
dianjurkan dikontrol setiap minggu pada anak berusia di bawah 1 tahun dan 2
minggu sekali pada anak berusia dibawah 3 tahun. (8)
11.3 Prevensi
Pada anak berusia dibawah 5 tahun perlu dinilai ketajaman penglihatan
apalagi bila anak tersebut juga memperlihatkan tanda-tanda juling. Kelainan
refraksi sering tidak dapat diketahui oleh orang tua balita sebelumnya. Juling
dapat diperhatikan oleh orang tua yang waspada dan hal ini menguntungkan
karena ambliopia yang mungkin akan terjadi dapat dicegah dini. (8)
27
BAB 12
KESIMPULAN
Media refraksi merupakan salah satu rangkaian penting agar sesorang dapat
melihat dengan normal. Media refraksi tersebut meliputi kornea, aqueous humour,
lensa, corpus vitreous, serta retina. Adanya kerusakan pada salah satu komponen
tersebut dapat menyebabkan penglihatan kita berkurang.
Selain anatomis yang normal, kita juga harus memiliki fisiologis penglihatan
yang normal. Perkembangan dari fisiologis penglihatan kita dimulai sejak lahir. Saat
lahir bayi hanya bisa melihat terang dan gelap, seiring bertambahnya usia,
perkembangan pun terjadi hingga usia 8 tahun dimana perkembangan dari fisiologis
tersebut telah maksimal.
Ambliopia adalah penurunan ketajaman penglihatan dengan koreksi terbaik,
baik unilateral atau bilateral (jarang), pada keadaan mata yang normal, atau
abnormalitas struktural yang melibatkan mata atau visual pathway, dengan
penurunan ketajaman penglihatan yang tidak dapat hanya dikaitkan dengan efek
abnormalitas struktural. Ambliopia sering didapatkan pada anak-anak di bawah usia
10 tahun. Banyak faktor yang dapat menyebabkan Ambliopia, di antaranya adalah
strabismus, kelainan refraksi, riwayat keluarga strabismus atau ambliopia, dan lain-
lain. Namun penyebab ambliopia dapat dikelompokkan menjadi 4 besar yaitu:
Strabismus, perbedaan refraksi kedua mata yang signifikan atau kelainan refraksi
yang sangat tinggi pada kedua mata, serta adanya halangan masuknya cahaya
pada media refraksi. Adanya kelainan-kelainan tersebut apabila tidak dikoreksi dapat
menyebabkan ambliopia. Untuk mengetahui adanya ambliopia kita dapat melakukan
pemeriksaan visus. Saat memeriksa visus dapat dilakukan crowding phenomenon
test dan filter density test apabila mencurigai adanya ambliopia. Dapat pula
dilakukan test strabismus apabila dicurigai adanya strabismus.
Ambliopia dapat kita koreksi dengan beberapa cara, yaitu koreksi kelainan
refraksi, terapi oklusi yang terdiri dari tahap inisial dan maintenance. Hasil
pengobatan lebih baik apabila pengobatan dilakukan sedini mungkin, namun kita
juga tetap harus berhati-hati karena overtreatment dapat menyebabkan mata yang
sehat menjadi ambliopia. Peningkatan kewaspaan orang tua terhadap tingkah laku
anak dapat mencegah terjadinya ambliopia.
28
BAB 13
PENUTUP
29
DAFTAR PUSTAKA
7. Hittner, HAM dan Fernandez KM. 2000. Successful Amblyopia Therapy Initiated
After Age 7 Years. Archive Ophthalmology. 2000 Nov;118(11):1535-41.
30
11. Pediatric Opthalmic Consultant. 2012. Amblyopia.
http://www.pedseye.com/topics_amblyopia.htm
12. Standring, S. 2008. Grays Anatomy : The Anatomical Basis of Clinical Practice.
Elsevier Churchill Livingstones.
13. Vaughan, DG et al. 2003. Vaughan & Asbury's General Ophthalmology Sixteenth
Edition. Mc Graw-Hill
31