Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. School Well-being

1. Pengertian School Well-being

Diener (1984) menerangkan bahwa well-being adalah konstruk

multidimensional yang berdampak pada sikap positif seperti emosi yang positif

dan selalu dalam keadaan suka cita. Well-being negatif maka akan

mempengaruhi emosi yang negatif pula seperti mengalami kecemasan. Intinya

adalah seseorang dengan well-being yang tinggi adalah individu yang memiliki

pengalaman emosi yang positif, jarang terlibat dengan emosi negatif dan tingkat

kepuasan hidup yang tinggi.

School well-being merujuk kepada model konseptual well-being yang

dikemukakan oleh Allardt (Konu & Rimpela, 2002), dimana ia mendefinisikan

well-being sebagai pemenuhan kebutuhan tertentu dalam diri manusia,

kemudian terbentuklah tiga dimensi well-being yaitu having, loving dan being.

Konsep well-being ini kemudian dikembangkan oleh Konu dan Rimpela (2002)

menjadi school well-being, yang didefinisikan sebagai keadaan yang

memungkinkan individu memuaskan kebutuhan-kebutuhan dasarnya baik

materil maupun non-materil yang terbagi menjadi beberapa aspek yaitu having

(kondisi sekolah), loving (hubungan sosial), being (pemenuhan diri), dan health

(kesehatan).

Well-being dapat dilihat dari dua indikator, yakni indikator objektif dan

infikator subjektif. Indikator objektif didasarkan pada observasi eksternal dan

14
15

indikator subjektif didasarkan pada ekspresi orang terhadap sikap mereka dan

persepsi mereka terhadap kondisi lingkungannya (Konu & Rimpela, 2002).

Berdasarkan definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa school

wellbeing merupakan konstruk yang berdampak pada sikap individu dalam

melihat berbagai hal, baik itu negatif maupun positif, serta materil maupun non-

materil di lingkungan sekolah.

2. Dimensi School well-being

Menurut Konu dan Rimpela (2002), school well-being memiliki empat

dimensi, yaitu Having (kondisi sekolah), Loving (Hubungan Sekolah), Being

(pemenuhan diri), dan health (kesehatan). Berikut penjabaran dari masing-

masing aspek:

a. Having (Kondisi sekolah)

Meliputi lingkungan fisik di sekitar sekolah dan di dalam sekolah.

Area yang diskusikan adalah lingkungan sekolah yang aman, kenyamanan,

kebisingan, ventilasi, suhu udara, dan sebagainya. Aspek lain dari kondisi

sekolah berhadapan dengan lingkungan belajar. Hal itu meliputi kurikulum,

ukuran kelompok, jadwal dari pelajaran dan hukuman. Aspek ketiga

meliputi pelayanan kepada siswa seperti makan siang di sekolah, pelayanan

kesehatan, wali kelas dan guru bimbingan konseling.

b. Loving (Hubungan Sosial)

Merujuk kepada lingkungan sosial belajar, hubungan siswa guru,

hubungan dengan teman sekelas, dinamika kelompok, kekerasan, kerja

sama sekolah dengan rumah, pengambilan keputusan di sekolah dan


16

suasana dari keseluruhan organisasi sekolah. Iklim sekolah dan iklim belajar

mempunyai dampak pada kesejahteraan dan kepuasan siswa di dalam

sekolah. Hubungan yang baik dan suasana yang baik merupakan untuk

mempromosikan sumber manusia dalam masyarakat dan untuk

meningkatkan prestasi di sekolah. Model sekolah sejahtera, hubungan di

antara sekolah dengan rumah ditempatkan pada kategori hubungan sosial.

Lebih lanjut, hubungan sekolah dengan lingkungan masyarakat adalah

penting (misal hubungan dengan masalah sosial dan sistem pelayanan

kesehatan). Hubungan siswa dengan guru merupakan peran penting dalam

kesejahteraan di sekolah.

c. Being (Pemenuhan diri di sekolah)

Merujuk pada masing-masing individu menghargai sebagai bagian

berharga dari masyarakat. Kesempatan untuk bekerja dengan penuh arti

pada hidupnya dan untuk kesenangan secara alami juga bagian penting

sekali dari pemenuhan diri. Dalam konteks sekolah, being dapat dilihat

dengan bagaimana sekolah menawarkan untuk pemenuhan diri. Masing-

masing siswa dapat mempertimbangkan sebagai anggota yang sama

pentingnya dari komunitas sekolah. Seharusnya memungkinkan masing-

masing siswa untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dari

sekolahnya dan aspek lain dari sekolah yang berfokus pada dirinya.

Kesempatan untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan siswa

merupakan lahan yang menarik bagi siswa.


17

d. Health (Kesehatan)

Health (status kesehatan) Status siswa ini meliputi aspek fisik dan

mental berupa simtom psikosomatis, penyakit kronis, penyakit ringan

(seperti flu), dan penghayatan akan keadaan diri

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa School

well-being memiliki 4 aspek yang merujuk pada Konu dan Rimpela (2002)

yaitu aspek Having (kondisi sekolah), Loving (hubungan sosial), Being

(pemenuhan diri di sekolah), dan Helath (Kesehatan).

3. Faktor yang mempengaruhi School well-being

Faktor-faktor yang mempengaruhi school well-being berikut ini diambil

dari beberapa jurnal penelitian yang menggunakan school well-being sebagai

variabel dalam penelitiannya sehingga variabel yang behubungan dapat

dijadikan sebagai faktor pada penelitian ini.

Ramberg, dkk (2019) melakukan penelitian dengan judul “Teacher stress

and student’s school well being: the case of upper secondary schools in

Stockholm” untuk melihatu hubungan langsung antara stress dan shool well-

being. Penelitian ini menemukan bahwa stress yang dialami oleh guru memiliki

hubungan yang kuat dengan school well-being siswa. Semakin besarnya tuntutan

dan kewajiban yang harus ditanggung oleh guru setiap tahunnya menjadi faktor

utama tingginya tingkat stress pada guru dalam penelitian ini, sehingga

menimbulkan dampak seperti minimnya komunikasi dengan siswa,


18

berkurangnya keterlibatan guru dalam proses mengajar dan dalam memberikan

dukungan pada siswa.

Sue Roffey (2008) mengemukakan di dalam jurnalnya bahwa school well-

being siswa dapat dipengaruhi oleh kemampuannya untuk memahami oranglain

dan mengekspresikan emosi atau istilahnya dapat disebut dengan emotional

literacy. Kemampuan ini dapat mendukung siswa beradaptasi dengan budaya

sekolah dan meningkatkan proses belajar siswa.

Hunsul Khatimah (2015) juga mengungkapkan bahwa terdapat banyak

faktor yang mempengaruhi school well-being, diantaranya adalah faktor internal

dan eksternal. Faktor eksternal meliputi infrastruktur yang baik, managemen

sekolah, interaksi yang baik antara guru maupun teman serta dukungan penuh

dari orangtua. Sedangkan faktor internal adalah modal dasar personal siswa yaitu

siswa yang memiliki motivasi belajar yang tinggi, disiplin yang tinggi,

kerjasama yang baik, memiliki strategi belajar yang baik serta inisiatif belajar

yang baik. Hubungan dengan teman dan guru juga akan memberikan perasaan

positif pada siswa sehingga siswa lebih bahagia dan menikmati situasi sekolah.

Peningkatan perasaan positif juga didukung dengan adanya sistem pembelajaran

akademis yang rasional dengan metode interaktif dan kurikulum atau target yang

realistis sehingga pengembangan psikologis siswa di sekolah dapat sejahtera

(Wijayanti & Sulistiobudi, 2018). Selain itu prokrastinasi juga dapat menjadi

faktor penting yang mempengaruhi school well-being (Annisa & Kristiana,

2014).
19

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat

beberapa faktor yang mempengaruhi school well-being individu yang berasal

dari eksternal seperti infrastruktur atau fasilitas, hubungan dengan teman dan

guru, manajemen sekolah, kurikulum, metode belajar, serta ekspektasi orangtua.

Kemudian terdapat juga faktor internal yang berasal dari diri individu seperti

kemampuan memahami oranglain dan mengekspresikan emosi, motivasi,

disiplin, strategi belajar, dan prokrastinasi. Melihat faktor-faktor yang telah

terkumpul terdapat juga satu faktor yang muncul apabila berbagai faktor

eksternal dan internal bergabung, yaitu stres yang dipicu oleh berbagai hal

misalnya sikap guru yang acuh, kurikulum dengan konsep terlalu tinggi,

manajemen waktu yang kurang baik, dan lain-lain.

B. Stress Akademik

1. Pengertian Stress Akademik

Stres merupakan suatu kondisi yang disebabkan adanya ketidaksesuaian

antara situasi yang diinginkan dengan keadaan biologis, psikologis atau sistem

sosial individu tersebut (Sarafino 2006). Agolla dan Ongori (2009) juga

mendifinisikan stres sebagai persepsi dari kesenjangan antara tuntutan

lingkungan dan kemampuan individu untuk memenuhinya. Menurut Santrock

(2003) stres merupakan respon individu terhadap keadaan atau kejadian yang

memicu stres (stressor), yang mengancam dan mengganggu kemampuan

seseorang untuk menanganinya (coping).

Stres yang terjadi di lingkungan sekolah atau pendidikan biasanya

disebut dengan stres akademik. Olejnik dan Holschuh (2007) mengambarkan


20

stres akademik ialah respon yang muncul karena terlalu banyaknya tuntutan dan

tugas yang harus dikerjakan siswa. Stres akademik adalah stres yang muncul

karena adanya tekanan-tekanan untuk menunjukkan prestasi dan keunggulan

dalam kondisi persaingan akademik yang semakin meningkat sehingga mereka

semakin terbebani oleh berbagai tekanan dan tuntutan (Alvin, 2007).

Pendapat yang hampir serupa, Lazarus & Folkman (1984)

mendefinisikan stress sebagai keterkaitan antara individu dan lingkungan secara

subjektif dimana individu memandang lingkungannya sebagai hal yang

mengganggu atau tidak sesuai dengan kemampuannya sehingga dapat

membahayakan well-being individu tersebut. Busari (2011) juga

mengungkapkan bahwa stres akademik terjadi ketika individu berhadapan

dengan sebuah situasi yang tidak dapat diselesaikan atau di atasi. Stres akademik

diantara para siswa dapat diidentifikasi dengan banyakya tugas, ketatnya

kompetisi dengan siswa lain, kegagalan, kekurangan uang saku, dan adanya

hubungan yang buruk pada siswa atau guru.

Berdasarkan berbagai definisi di atas, maka dapat diambil kesimpulan

bahwa stres akademik adalah suatu kondisi atau keadaan dimana terjadi

ketidaksesuaian antara tuntutan lingkungan dengan sumber daya aktual yang

dimiliki siswa sehingga mereka semakin terbebani oleh berbagai tekanan dan

tuntutan.
21

2. Aspek-aspek Stress Akademik

Stress akademik pada dasarnya merupakan sebuah teori yang

menjelaskan mengenai hal-hal yang dapat menyebabkan ketegangan pada diri

siswa. Teori stress akademik sendiri memiliki banyak pandangan dari beberapa

tokoh. Menurut Busari (2011) stress akademik memiliki empat aspek yaitu

kognitif, afektif, behavioral dan fisiologis.

a. Kognitif

Stress akademik meliputi proses kognitif individu, proses tersebut dapat

terpicu ketika individu berhadapan dengan suatu sensor hingga

menimbulkan pikiran yang mengganggu. Dampak dari gangguan ini adalah

Kebingungan daya ingat yang sering, pemikiran negatif yang konstan,

ketidakmampuan membuat keputusan, sulit untuk menyelesaikan tugas,

bersikap kaku dan sulit untuk berkonsentrasi.

b. Afektif

Aspek ini merupakan bentuk reaksi individu ketika merasakan rasa

tidak nyaman secara psikologis dalam situasi tertentu, seperti rasa takut,

perasaan khawatir, terancam, sedih, tertekan, ingin menangis serta emosi

yang meledak-ledak.

c. Behavioral

Aspek ini menyatakan bahwa ketika individu mengalami suatu kejadian

yang memicu stress, akan ada perubahan perilaku dimana individu menjadi

enggan bersosialisasi dan tidak peka pada kebutuhan oranglain. Selain itu,

perubahan lain adalah ketidaksabaran, kecemasan yang impulsif,


22

hiperaktivitas, cepat marah, terlalu agresif, menghindari situasi yang sulit dan

bekerja secara berlebihan.

d. Fisiologis

Selain perubahan perilaku, ketika individu merasakan kejadian yang

memicu stress, akan ada perubahan pada respon tubuh yang terjadi karna

adanya reaksi atau respon dari tuntutan tersebut. Terganggunya pola-pola

normal dari aktivitasi fisiologik yang ada. Gejala-gejalanya yang timbul

biasanya adalah sakit kepala, konstipasi, nyeri pada otot, cepat lelah dan

mual.

Selanjutnya menurut Gadzella dan Masten (2005), stress akademik dapat

diukur dalam dua aspek, yakni stressor dan reaksi terhadap stressor akademik.

a. Stressor akademik

Stressor akademik merupakan peristiwa atau situasi (stimulus) yang

menuntut penyesuaian diri di luar hal-hal yang biasa terjadi dalam

kehidupan sehari-hari. Stressor akademik terdiri dari lima kategori sebagai

berikut:

1. Frustasi

Frustasi terjadi apabila kebutuhan pribadi terhambat dan siswa

gagal dalam mencapai tujuan hidupnya. Frustasi dapat terjadi sebagai

akibat dari keterlambatan, kegagalan, kesulitan sehari-hari, sumber

daya manusia yang kurang, merasa terasing dalam lingkungan

masyarakat, kekecewaan dalam berpacaran serta melewatkan

kesempatan.
23

2. Konflik

Konflik muncul ketika siswa berada di bawah tekanan untuk

memilih dua atau lebih hal yang berlawanan, seperti konflik antara dua

pilihan, baik yang menyenangkan ataupun tidak menyenangkan dilihat

dari sisi positif dan negatifnya.

3. Tekanan

Tekanan adalah stressor akademik yang dapat bersumber dari

dalam diri maupun luar diri. Pressure dapat diartikan sebagai stimulus

yang membuat siswa dapat mempercepat dan meningkatkan kinerjanya.

Misalnya kompetisi, aktivitas yang berlebihan, deadline tugas sekolah,

dan hubungan interpersonal.

4. Perubahan

Kesempatan merupakan perilaku yang dimunculkan siswa karena

disebabkan oleh beberapa hal, seperti adanya pengalaman yang tidak

menyenangkan, perubahan dalam waktu bersamaan, dan perubahan

hidup yang menggangu kehidupan individu.

5. Keinginan diri

Keinginan diri yaitu tentang bagaimana siswa membebani dirinya

sendiri. Misalnya, keinginan untuk berkompetisi, dicintai semua orang,

khawatir berlebihan, solusi permasalahan, kecemasan menghadapi

ujian dan prokastinasi.


24

b. Reaksi terhadap stressor akademik

Selain stressor akademik, aspek kedua untuk mengukur stress

akademik yaitu reaksi terhadap stressor akademik. Menurut Gadzella dan

Masten (2005) reaksi terhadap stres terdiri dari empat kategori, yaitu:

1. Fisiologis

Fisiologis menekankan hubungan antara pikiran dan fisik siswa.

Pada umumnya ditandai dengan keluarnya keringat secara berlebihan,

gemetar, gagap, bergerak dengan cepat, kelelahan, gangguan

pencernaan, gangguan pernapasan, sakit punggung, reaksi pada kulit,

sakit kepala, radang sendi, demam, berat badan berkurang atau berat

badan bertambah.

2. Emosional

Reaksi emosional yang diamati dalam reaksi ini terhadap stress

adalah emosi, seperi ketakutan, rasa bersalah, berduka, merasa kesal/

marah.

3. Perilaku

Perilaku disini berkaitan dengan reaksi siswa yang dapat seperti

menangis, merusak diri, merokok berlebihan, cepat marah terhadap

orang lain, menyakiti orang lain, mekanisme pertahanan dan

menyendiri.

4. Kognitif

Kognitif mengarah pada pengalaman siswa terhadap stress dan

penilaian kognitif siswa terhadap peristiwa stress yang kemudia


25

memunculkan strategi yang dilakukan untuk mengatasi stress. Seperti,

memikirkan dan menganalisa strategi yang efektif dan menganalisa

masalah yang dialami,

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa stress akademik

sangat merujuk pada respon individu melalui kognitif, afektif, behavioral, dan

fisiologis yang dapat dipicu oleh suatu stressor atau sensor.

C. Hubungan antara Stress akademik dan School Well-being

Siswa SMA baik tahun pertama hingga ketiga masih berada dalam adaptasi

proses kehidupan, proses adaptasi ini disebabkan oleh berbagai perubahan mulai

dari internal seperti kondisi fisik, psikologis, maupun eksternal seperti hubungan

dengan oranglain dan juga perubahan yang sebelumnya tidak dirasakan di masa

SMP (Bronfenbrenner, 2007). Secara umum, perubahan yang terjadi di bidang

akademis ini membuat siswa memiliki tuntutan akademis yang berat, ditambah lagi

dengan adanya sistem pendidikan baru yaitu zonasi menambah tuntutan baru pada

siswa untuk beradaptasi dan tidak semua remaja dapat melewati masa transisi

dengan baik (Konu & Lintonen, 2006). Menurut Tajjali, dkk (2010) kesulitan dalam

mengatasi stresor terutama mengenai proses transisi dapat menyebabkan adanya

penurunan kemampuan akademik dan meningkatnya stress psikologis. Siswa telah

terlebih dahulu merasakan tekanan dan tuntutan dari luar seperti sekolah,

lingkungan, keluarga dan sistem sehingga reaksi yang ditimbulkan adalah rasa tidak

nyaman seperti takut, pikiran yang mengganggu, menarik diri dan perilaku lainnya

disebabkan oleh perubahan sistem akademik.


26

Ketika tuntutan akademik dan kapasitas individu tidak sesuai maka akan

timbul stress yang disebut sebagai stress akademik (Gusniarti, 2002; Lazarus &

Folkman, 1984), dan jika stress tersebut terjadi secara berkelanjutan maka

terciptalah ketegangan dan kecemasan yang berpengaruh pada school well-being

(Salam, et al. 2015). Siswa yang ingin melalui masa transisi dengan baik

membutuhkan well-being yang baik pula, kemampuan dan persepsi yang baik adaah

hal penting bagi siswa untuk mencapai mimpinya, memproses hubungan menjadi

bermakna, dan menyadarkannya akan potensi diri yang dimiliki (Bowman, 2010).

Hal ini menunjukkan bahwa stress akademik dapat menjadi salah satu veriabel yang

memicu rendahnya kesejahteraan sekolah atau school well-being.

Stress akademik terdiri dari empat aspek yaitu kognitif, afektif, behavioral

dan fisiologis (Busari, 2011). Aspek-asek dari stress akademik tersebut dapat

berpengaruh tehadap school well-being pada siswa. Pada aspek pertama mengenai

kognitif, siswa yang mengalami stress akademik akan merasakan adanya

kebingungan daya ingat yang sering, pemikiran negatif yang konstan,

ketidakmampuan membuat keputusan, sulit untuk menyelesaikan tugas, bersikap

kaku dan sulit untuk berkonsentrasi. Pemikiran negatif yang konstan akan

menimbulkan rasa tidak terhadap lingkungan siswa (Kartasasmita, 2017).

Hal ini bersinggungan langsung dengan aspek dari school well-being yaitu

pemenuhan diri, dimana terganggunya proses kognitif berpotensi mengurangi

efektifitas memori kerja pada siswa sehingga menghambat proses pengolahan

informasi untuk mengerjakan tugas akademik maupun non akademik, siswa juga

tidak dapat berpartisipasi secara efektif dalam mengambil keputusan, kesempatan


27

untuk meningkatkan keterampilan serta pengetahuan juga berkurang (Beilock,

2008). Aspek kedua dalam stress akademik adalah afektif, dimana individu yang

merasa stress ditandai dengan adanya rasa ingin menangis, tertekan, cemas dan

emosi yang sulit dikontrol. Ketika siswa merasakan dampak afektif dari stress

akademik, maka kenyamanan kondisi sekolah (having) sebagai lingkungan belajar

tidak akan didapatkan secara maksimal (Tharani, Husain & Warwick, 2017).

Aspek selanjutnya dari stress akademik adalah behavioral. Ketika

merasakan stress akademik, akan ada perubahan perilaku dimana siswa menjadi

enggan bersosialisasi dan tidak peka pada kebutuhan oranglain, hal ini jelas

mengganggu proses hubungan sosial dalam lingkungan sekolah, baik antar siswa

maupun dengan guru (Wijayanti & Sulistiobudi, 2018). Seperti pendapat dari

Torsehim (Fatimah, 2010), siswa yang merasa stress, tidak puas, tidak nyaman, dan

lelah dapat mengembangkan pola hubungan sosial yang buruk, hal-hal negatif yang

dirasakan oleh siswa akibat dari buruknya interaksi sosial dapat menghambat proses

transfer ilmu serta menghambat pelaksanaan peran guru dalam membantu siswa

dalam proses belajar mengajar, yang pada akhirnya memunculkan pola

prokrastinasi pada siswa (Sari, 2013).

Menurut Fairbrother dan Warn (Busari, 2011) konflik antara stres akademik

dengan aspek sosial tidak hanya mempengaruhi kemampuan sosial individu

melainkan juga mempengaruhi komitmen individu dalam mencapai tujuan. Ketika

siswa tidak memiliki rencana pencapaian yang pasti, maka akan timbul rasa tidak

tertarik bahkan rasa terasingkan dari sekolah (Santrock, 2009). Berbagai penelitian

di atas membuktikan bahwa aspek ini bersinggungan langsung dengan salah satu
28

aspek dari school well-being, yaitu loving (hubungan sosial) yang dapat

menyebabkan siswa merasa bahwa situasi sekolahnya tidak menyenangkan dan

pemenuhan dirinya di sekolah terabaikan.

Aspek terakhir dari stress akademik adalah fisiologis, dimana ketika siswa

merasakan stress akademik, akan timbul gangguan apada pola fisik siswa seperti

pusing dan mual. Gangguan fisiologis yang siswa rasakan jika memiliki frekuensi

yang konstan maka dapat dikatakan sebagai gangguan psikosomatis. Gangguan

psikosomatis merupakan kondisi dimana individu yakin bahwa ia memiliki suatu

penyakit namun realitanya tidak ditemukan penyakit yang dikeluhkan setelah

dilakukan diagnosa, (Kaplan, et al, 1997). Hal ini sesuai dengan aspek dari school

well-being yaitu health (kesehatan), yang mendeskripsikan kondisi siswa yang

memiliki kesempatan besar untuk mengembangkan kondisi psikosomatis selama

masa sekolahnya.

Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa stress akademik

memiliki hubungan dengan school well-being, dimana stress akademik dapat

menyebabkan menurunnya school well-being pada siswa yang didukung oleh

penelitian terdahulu. Selain itu dapat disimpulkan juga bahwaa perasaan tertekan

dan menimbulkan stress seperti ini jika terus berlanjut maka akan mengembangkan

pola dimana siswa berekasi negatif pada semua keadaan di sekolah, reaksi tersebut

dapat beragam seperti bosan, terasingkan dan kesepian. Sebaliknya jika siswa tidak

rentan terhadap stress akademik, maka toleransi siswa akan berbagai keadaan baik

akademik, non-akademik dari sekolah lebih tinggi, sehingga dengan adanya stress
29

akademik seluruh aspek pada school well-being terhambat dan secara subjektif

pengalaman sekolah dinilai negatif oleh siswa.

D. Skema Penelitian

Stress Akademik
• Kesenjangan kemampuan
akademik
Stress akademik School well-
• Tuntutan dari lingkungan tinggi being rendah
yang tidak sesuai dengan
sumber daya aktual siswa
• Jam sekolah terlalu
panjang dan tugas Stress akademik School well-
menumpuk rendah being tinggi
• Metode belajar yang
tidak sesuai dengan
kemampuan siswa

E. Hipotesis Penelitian
Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan negatif antara

stress akademik dengan school well-being pada siswa SMA di Yogyakarta.

Semakin tinggi stress akademik maka semakin rendah school well-being pada

siswa, dan semakin rendah stress akademik maka school well-being akan semakin

tinggi.

Anda mungkin juga menyukai