Anda di halaman 1dari 71

Banyak ahli psikologi dan sosiologi yang merumuskan pengertian dari pola asuh orang

tua menurut cara pandang mereka masing masing. Adapun definisi pola asuh orang tua
menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut:
Pola Asuh adalah gambaran yang dipakai oleh orang tua untuk mengasuh (merawat,
menjaga atau mendidik) anak (Singgih D. Gunarsa, 1991 : 108-109).
Menurut Chabib Thoha (1996:109) yang mengemukakan bahwa pola asuh orang tua
adalah suatu cara terbaik yang dapat ditempuh orang tua dalam mendidik anak
sebagai perwujudan dari rasa tanggung jawab kepada anak.
Menurut Singgih D. Gunarso (2000: 55) Pola asuh orang tua merupakan perlakuan
orang tua dalam interaksi yang meliputi orang tua menunjukkan kekuasaan dan cara
orang tua memperhatikan keinginan anak. Kekuasaan atau cara yang digunakan orang
tua cenderung mengarah pada pola asuh yang diterapkan
Sam Vaknin, Ph.D (2009) mengatakan bahwa Parenting is interaction between
parents and children during their care.
Kohn yang dikutip Tarsis Tarmudji menyatakan Pola asuhan merupakan sikap orang
tua dalam berinteraksi dengan anak- anaknya. Sikap orang tua ini meliputi cara orang
tua memberikan aturan aturan, hadiah maupun hukuman, cara orang tua menunjukan
otoritasnya, dan cara orang tua memberikan perhatian serta tanggapan terhadap
anaknya.
Dari beberapa pengertian yang dikemukakan di atas oleh para ahli dapat disimpulkan
bahwa pengertian pola asuh orang tua mengandung pengertian
1. Interaksi pengasuhan orang tua dengan anaknya.
2. Sikap orang tua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya.
3. Pola perilaku orang tua untuk berhubungan dengan anak-anaknya.
Pola asuh orang tua adalah suatu hubungan interaksi antara orang tua yaitu ayah dan
ibu dengan anaknya yang melibatkan aspek sikap, nilai, dan kepercayaan orang tua
sebagai bentuk dari upaya pengasuhan, pemeliharaan, menunjukan kekuasaannya
terhadap anak dan salah satu tanggung jawab
orang tua dalam mengantarkan anaknya menuju kedewasaan.

Lebih jelasnya, kata asuh adalah mencakup segala aspek yang berkaitan dengan
pemeliharaan, perawatan, dukungan, dan bantuan sehingga orang tetap berdiri dan
menjalani hidupnya secara sehat.
Menurut Dr. Ahmad Tafsir seperti yang dikutip oleh Danny I. Yatim-Irwanto Pola asuh
berarti pendidikan, sedangkan pendidikan adalah bimbingan secara sadar oleh
pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju terbentuknya
kepribadian yang utama.

Jadi pola asuh orang tua adalah suatu keseluruhan interaksi antara orang tua dengan
anak, di mana orang tua bermaksud menstimulasi anaknya dengan mengubah tingkah
laku, pengetahuan serta nilai-nilai yang dianggap paling tepat oleh orang tua, agar
anak mandiri, tumbuh dan berkembang secara sehat dan optimal.
sumber bacaan:
Zakiyah Darajat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta : Bulan Bintang, 1996), Cet ke-15, h. 56
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1988), h. 54
TIM Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1988), Cet. Ke-1, h. 692
Elaine Donelson, Asih, Asah, Asuh Keutamaan Wanita, (Yogyakarta : Kanisius, 1990),
Cet. Ke-1, h.5
Danny I. Yatim-Irwanto, Kepribadian Keluarga Narkotika, (Jakarta : Arcan, 1991),
Cet.Ke-1, h. 94

Categories: Artikel Pendidikan, Pengertian


Related Post:
Artikel Pendidikan
Pengertian Tasawuf
Optimalisasi Pendidikan Agama Islam
Menumbuhkan Minat Baca Anak Vs Media Televisi
Pengertian
Definisi Religiusitas
Pengertian Kemandirian
Pengertian Disiplin
Pengertian kecerdasan emosional

Pengertian Para Artikel in german


Individual health insurance plans Orang Di Mana
0 comments:
Post a Comment

Newer Post
Older Post
Arsip Blog
2014 (42)

2013 (52)
December (9)
Menumbuhkan Minat Baca Anak Vs Media Televisi

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP POLA ASUH DEMOKRATIS


ORANGTUA DAN KECERDASAN EMOSI DENGAN KEMANDIRIAN BELAJAR
PADA SISWA KELAS IX SEKOLAH MENENGAH LANJUTAN PERTAMA 2
KOKAP, KULON PROGO YOGYAKARTA
Penulis : Raden Rara Warsihatin
Share :
Tahun Pelajaran 2011/2012
Oleh :Raden Rara Warsihatin
NIM :10091033

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan persepsi siswa tentang pola
asuh demokratis orangtua dan kecerdasan emosi dengan kemandirian belajar siswa
pada siswa kelas IX Sekolah Menengah Lanjutan Pertama 2 Kokap, Kulon Progo
Yogyakarta tahun pelajaran 2011/2012. Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa
kelas IX SMP N 2 Kokap Kulon Progo, yaitu berjumlah 94 siswa. Jumlah sampel
ditentukan berdasarkan Tabel Penentuan Jumlah Sampel yaitu sebanyak 75 orang
yang diperoleh dengan cara randomisasi.
Data variabel Persepsi Siswa tentang Pola Asuh Demokratis Orangtua, Kecerdasan
Emosi, dan Kemandirian Belajar diukur dengan skala Likert. Sebelum digunakan
untuk mengumpulkan data, instrumen terlebih dahulu diuji validitas dan
reliabilitasnya dengan teknik korelasi item-total dan Alpha Cronbach. Data yang
diperoleh selanjutnya dianalisis dengan teknik analisis korelasi product-moment dan
regresi linier untuk menguji hipotesis.
> Hasil analisis korelasi product-moment menunjukkan adanya hubungan positif
dan signifikan antara Persepsi terhadap Pola Asuh Demokratis Orangtua dan
Kemandirian Belajar pada siswa Kelas IX SMP N 2 Kokap Kulon Progo Yogyakarta
dengan koefisien korelasi sebesar 0,454 (bertanda positif) dan signifikansi p = 0,000 (p <
0,01). Temuan penelitian juga menunjukkan hubungan positif dan signifikan antara
Kecerdasan Emosi dan Kemandirian Belajar dengan koefisien korelasi sebesar 0,467
(bertanda positif) dan signifikansi p = 0,000 (p < 0,01). Koefisien korelasi ganda X1 dan
X2 terhadap Kemandirian Belajar diperoleh sebesar R = 0,538 yang menunjukkan
hubungan yang kuat antara persepsi pola asuh demokratis orangtua dan kecerdasan
emosi dengan kemandirian belajar pada siswa Kelas IX SMP N 2 Kokap Kulon Progo
Yogyakarta.

Kata kunci: Persepsi Siswa terhadap Pola Asuh Demokratis Orangtua, Kecerdasan
Emosi, Kemandirian Belajar

PENDAHULUAN
Era globalisasi yang ditandai dengan kemajuan ilmu dan teknologi yang demikian
cepat menuntut lembaga pendidikan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Peserta
didik akan selalu dihadapkan pada situasi dinamika kehidupan yang terus berubah dan
berkembang. Kecenderungan yang muncul di permukaan ini ditunjang oleh laju
perkembangan teknologi dan arus gelombang kehidupan global yang sulit atau tidak
mungkin untuk dibendung, mengisyaratkan bahwa kehidupan yang akan datang akan
menjadi sarat pilihan yang rumit. Manusia akan semakin didesak ke arah kehidupan
yang amat kompetitif. Andersen (1993) memprediksi situasi kehidupan semacam ini
dapat menyebabkan manusia menjadi larut ke dalam situasi baru itu tanpa dapat
menyeleksi lagi jika tidak memiliki ketahapan hidup yang memadai karena tata nilai
lama yang telah mapan ditentang oleh nilai-nilai baru yang belum banyak dipahami.
Situasi kehidupan semacam itu memiliki pengaruh kuat terhadap dinamika
kehidupan siswa, apalagi secara psikologis, siswa tengah berada pada masa topan dan
badai yang tengah mencari jati diri. Pengaruh kompleksitas kehidupan dewasa ini
sudah tampak pada berbagai fenomena siswa yang perlu memperoleh perhatian
pendidikan. Fenomena yang tampak akhir-akhir ini antara lain perkelahian antara
pelajar, penyalahgunaan obat dan alkohol, reaksi emosional, yang berlebihan, dan
berbagai perilaku yang mengarah pada tindak kriminal.
Menurut Asrori (2007), dalam konteks proses belajar, gejala negatif dari
kompleksitas kehidupan di atas adalah kurangnya kemandirian dalam belajar yang
berakibat pada gangguan mental setelah memasuki jenjang pendidikan yang lebih
tinggi, kebiasaan belajar yang kurang baik, yakni tidak tahan lama dan baru belajar
setelah menjelang ujian, membolos, menyontek, dan mencari jawaban dari teman,
mencari kebocoran soal ujian. Problem siswa di atas, yang merupakan perilakuperilaku reaksif, semakin meresahkan jika dikaitkan dengan situasi masa depan siswa
yang diperkirakan akan semakin kompleks dan penuh tantangan. Menurut Tilaar
(1987), kompleksitas tantangan masa depan memberikan dua altematif: pasrah kepada
nasib atau mempersiapkan diri sebaik mungkin. Misi pendidikan yang juga berdimensi
masa depan tentunya menjatuhkan pilihannya pada alternatif kedua. Artinya,
pendidikan mengemban tugas untuk mempersiapkan siswa dimasa depan agar kelak
menjadi manusia berkualitas dan memiliki kemandirian yang tinggi.
Holstein (1987) menegaskan bahwa kemandirian belajar itu merupakan keharusan
dalam proses pembelajaran dewasa ini, sejauh pelajaran itu diarahkan kepada hari
depan pelajar, yang dengan nyata dapat dilihat dalam keluarga dan masyarakat.
Belajar mandiri bukan berarti belajar sendiri tetapi yang terpenting adalah siswa
mempunyai sikap untuk meningkatkan kemampuan dan ketrampilan belajar tanpa

bantuan orang lain, disiplin, inisiatif, kreatif, progresif, ulet, dan percaya diri.
Kemandirian belajar pada seseorang dapat dilihat dari aspek-aspek yang dikemukakan
oleh Masrun (1986) yang meliputi aspek-aspek adanya kebebasan atau niat belajar
sendiri tanpa diperintah, inisiatif dalam mengerjakan tugas, progresif dan ulet,
memiliki pengendalian dari dalam, memiliki kemantapan diri dalam belajar, mampu
mengerjakan tugas-tugas rutin, mampu mengatasi masalah, memiliki rasa percaya diri,
mengarahkan tingkah lakunya menuju kesempurnaan, dan memperoleh kepuasan dari
usahanya.
Dalam kenyataannya, masih banyak siswa yang mempunyai kemandirian belajar
rendah. Hal ini yang ditunjukkan oleh kurangnya rasa tanggung jawab siswa dalam
belajar dan mengerjakan tugas, kurang ulet saat menghadapi kesulitan belajar, kurang
kreatif dalam mengerjakan tugas dan kurangnya rasa percaya diri. Hasil wawancara
pra-penelitian dengan 10 dari 98 siswa kelas IX di SMP N 2 Kokap Tahun Ajaran
2011/2012 pada tanggal 28 Maret 2012, pukul 11.00 di ruang BK SMP N 2 Kokap
memberikan gambaran awal bahwa terdapat sebagian siswa yang tidak mengerjakan
pekerjaan rumah, kurang memperhatikan saat guru menerangkan pelajaran, kurang
semangat dalam belajar, dan tidak memiliki motivasi kuat untuk mencapai prestasi
tinggi. Hal seperti ini menjadi tugas pendidikan di sekolah dengan mengelola proses
pendidikan secara professional, mengarahkan siswa agar mandiri dan tidak tergantung
pada orang lain dalam belajar dan mengerjakan tugas, dan punya sifat kreatif, ulet,
tanggung jawab, serta inisiatif guna menuju berhasilan dalam belajar dan pada
akhimya siswa mampu mempersiapkan diri dengan mudah masuk ke dunia sekolah
yang lebih tinggi, dengan banyak prestasi yang diperoleh. Kehidupan yang semakin
kompleks menuntut manusia untuk lebih kreatif, ulet, dan usaha untuk menjadi
manusia yang mandiri, dapat mengambil inisiatif, mampu mengatasi kesulitankesulitan serta melakukan hal-hal untuk dirinya sendirinya.
Karena itu, kemandirian belajar siswa kelas IX di SMP penting, sebab adanya
kemandirian belajar yang tinggi pada siswa akan membawa siswa pada kehidupan
mental yang lebih baik dalam mengambil sikap dan merespons dan mencari jalan
keluar dari persoalan-persoalan akibat tuntutan dan tugas belajar bagi para siswa.
Salah satu tugas yang sekarang dihadapi oleh para siswa kelas IX adalah
mempersiapkan diri untuk menghadapi Ujian Nasional. Tingkat Kelulusan Ujian
Nasional di SMP N 2 Kokap Tahun Ajaran 2011/2012 masih belum mencapai 100%.
Kemandirian belajar peserta Ujian Nasional di SMP N 2 Kokap masih kurang terlihat
dari rendahnya kesadaran dalam mempersiapkan diri untuk menghadapi Ujian
Nasional, yang dalam hal ini masih tergantung pada dorongan dari orangtua dan guru.
Tujuan dari penelitian ini adalah:
Mengetahui hubungan antara persepsi pola asuh demokratis orangtua dengan
kemandirian belajar siswa.
Mengetahui hubungan antara kecerdasan emosi dengan kemandirian belajar siswa.

Mengetahui hubungan antara persepsi pola asuh demokratis orangtua dan kecerdasan
emosi dengan kemandirian belajar siswa.

Subjek penelitian ini adalah seluruh siswa SMP Negeri 2 Kokap kelas IX Tahun
Pelajaran 2012/ 2013 berjumlah 94 siswa.
Kegiatan Penelitian dilaksanakan dalam waktu satu bulan yaitu bulan Desember
2012. Sebelum penelitian dilaksanakan diadakan uji coba instrumen penelitian yaitu 1
minggu sebelum penelitian dilaksanakan pada siswa SMP Negeri 2 Temon berjumlah 34
siswa kelas IX. Pelaksanaan pada tanggal 12 Desember 2012. Untuk pelaksanaan
penelitian dilaksanakan 3 hari dalam 1 minggu yaitu hari Selasa, Rabu dan Kamis pada
kelas IX siswa SMP Negeri 2 Kokap pada jam 10.00-11.00 WIB.
METODE
Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini dapat diidentifikasi sebagai
berikut:
1. Variabel tergantung: Kemandirian Belajar Siswa
Variabel bebas: (a) Persepsi Siswa terhadap Pola Asuh Demokratis Orangtua, (b).
Kecerdasan Emosi
Persepsi siswa terhadap pola asuh demokratis orangtua adalah penilaian dan
interpretasi anak terhadap pengasuhan orangtua yang ditandai dengan adanya:
komunikasi dua arah, norma dan nilai, kasih sayang dan sikap tegas dari orangtua,
perhatian dan kontrol, serta pemenuhan kebutuhan.
Variabel ini diukur dengan skala pola asuh demokratis orangtua yang disusun
peneliti sendiri berdasarkan aspek-aspek pola asuh demokratis yang dikemukakan oleh
Baumrind dan Black (dalam Steinberg, 2002) dan Krisnawati (dalam Zahro, 2000).
Skor yang tinggi pada skala ini menunjukkan bahwa pola asuh orangtua dipersepsi
demokratis oleh anak. Sebaliknya, skor yang rendah menunjukkan bahwa pola asuh
orangtua dipersepsi kurang demokratis oleh anak.
Kecerdasan emosi adalah kemampuan yang dimiliki seseorang dalam mengelola
emosinya secara baik, yang ditandai adanya kemampuan berkesadaran diri,
kemampuan memotivasi diri sendiri, kemampuan berempati, kemampuan dalam
penguasaan diri sendiri, dan kemampuan dalam berinteraksi sosial.
Variabel kecerdasan emosi diukur dengan skala kecerdasan emosi yang disusun
oleh peneliti sendiri berdasarkan aspek-aspek kecerdasan emosi yang diambil dari teori
Golemen (2006) tentang kecerdasan emosi. Skor tinggi pada skala kecerdasan emosi
menunjukkan bahwa subjek yang diteliti menunjukkan tingkat kecerdasan emosi yang

tinggi. Sebaliknya, skor rendah pada skala kecerdasan emosi menunjukkan bahwa
subjek yang diteliti menunjukkan tingkat kecerdasan emosi yang rendah.
Kemandirian belajar adalah kemampuan yang dimiliki oleh siswa yang ditandai
dengan adanya kebebasan belajar tanpa paksaan dari orang lain, memiliki inisiatif
belajar, progresif dan ulet dalam belajar, serta memiliki pengendalian diri dari dalam
untuk membuatnya mandiri dalam proses belajar dan mengerjakan tugas-tugas
sekolahnya.
Kemandirian belajar diukur dengan skala kemandirian belajar yang disusun oleh
peneliti sendiri berdasarkan aspek-aspek kemandirian belajar dari Masrun (1986).
Skor yang tinggi pada skala kemandirian belajar menunjukkan bahwa subjek yang
diteliti memiliki tingkat kemandirian belajar yang tinggi, sementara itu, skor yang
rendah menunjukkan tingkat kemandirian belajar yang rendah dari subjek.
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan skala,
karena atribut psikologis tidak dapat diukur secara langsung. Atribut psikologis harus
diukur secara tidak langsung, melalui respons yang dibuat oleh subyek pada waktu
subyek dihadapkan pada perangsang tertentu (Suryabrata, 2004). Respons yang
diperlukan dalam pengukuran psikologis adalah respon jenis ekspresi sentimen
(expression of sentiment), yaitu jenis respons yang tak dapat dinyatakan benar atau
salah, atau sering kali dikatakan semua respons benar menurut alasannya masingmasing (Suryabrata, 2004).
Azwar (2006) menyatakan bahwa metode skala digunakan untuk mengumpulkan
data karena memiliki beberapa karakteristik, yaitu :
1. Stimulus berupa pertanyaan dan pemyatan yang tidak langsung mengungkap atribut
yang hendak diukur, melainkan mengungkap indikator perilaku dart atribut yang
bersangkutan.
2. Skala psikologi selalu berisi banyak item sehingga jawaban subyek terhadap satu
item baru merupakan bagian banyak indikasi mengenai atribut yang hendak diukur,
sedangkan kesimpulan akhir sebagai diagnosis baru dapat dicapai bila sennua item
telah direspon.
3. Respon subyek tidak diklarifikasikan sebagai jawaban "benar" atau "salah". Semua
jawaban dapat diterima sepanjang diberikan secara jujur dan sungguh-sungguh.
Jawaban yang berbeda akan diinterpretasikan berbeda juga.

Di dalam penelitian, data yang diperoleh tidak dapat digunakan begitu saja, data
tersebut harus diolah lebih lanjut agar dapat memberi rangkuman keterangan yang
tepat dan dapat dipahami.

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik statistik,
karena teknik ini merupakan teknik untuk mengumpulkan, menyusun, menyajikan
serta menganalisa data penelitian yang berwujud angka. Hal ini merupakan dasar yang
dapat dipertanggungjawabkan untuk mencari kesimpulan yang benar (Hadi, 1996).

HASIL
Hasil analisis menunjukkan dominasi kategori (tinggi) untuk ketiga variabel yang
diteliti, yaitu Persepsi terhadap Pola Asuh Demokratis Orangtua, Kecerdasan Emosi,
dan Kemandirian Belajar, berturut-turut sebesar 46 (61,3%), 56 (74,7%), dan 38
(50,7%).

Hasil pengujian hipotesis dengan korelasi product moment menunjukkan adanya


hubungan yang positif dan signifikan antara variabel Persepsi terhadap Pola Asuh
Demokratis Orangtua dan Kemandirian Belajar pada Siswa Kelas IX SMP N 2 Kokap
Kulon Progo Yogyakarta. Berarti hipotesis 1 pada penelitian ini diterima dan
terdukung oleh temuan penelitian.

Hasil pengujian berikutnya juga menunjukkan menunjukkan adanya hubungan yang


positif dan signifikan antara variabel Kecerdasan Emosi dan Kemandirian Belajar
pada Siswa Kelas IX SMP N 2 Kokap Kulon Progo Yogyakarta. Berarti hipotesis 2 pada
penelitian ini diterima dan terdukung oleh temuan penelitian.

Secara bersama-sama kedua variabel X1 dan X2 juga memiliki pengaruh yang


signifikan dan positif terhadap variabel Y (Kemandirian Belajar) pada Siswa Kelas IX
SMP N 2 Kokap Kulon Progo Yogyakarta. Dengan demikian, hipotesis 3 dapat diterima
dan terdukung oleh temuan penelitian.

KESIMPULAN
Berdasarkan analisis dan pembahasan hasil analisis data penelitian tentang hubungan
antara Persepsi terhadap Pola Asuh Demokratis Orangtua dan Kecerdasan Emosi
dengan Kemandirian Belajar pada Siswa Kelas IX SMP N 2 Kokap Kulon Progo
Yogyakarta, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Terdapat hubungan signifikan dan positif antara variabel Persepsi terhadap Pola
Asuh Demokratis Orangtua dan Kemandirian Belajar. Lingkungan adalah salah satu
faktor yang menentukan proses perkembangan siswa. Lingkungan menjadi tempat

yang baik bagi terjadinya interaksi antara orang tua dan siswa. Pola asuh orangtua
memegang peranan yang penting dalam proses perkembangan siswa, salah satunya
adalah perkembangan yang berkaitan dengan kemandirian siswa. Lingkungan adalah
tempat pertama kali seorang anak mendapat asuhan dan pendidikan. Apa yang didapat
anak di lingkungan akan menjadi pondasi bagi proses pertumbuhan dan
perkembangan kepribadian anak, termasuk dalam hal kemandirian belajar.
2. Terdapat hubungan signifikan dan positif antara variabel Kecerdasan Emosi dan
Kemandirian Belajar. Penelitian ini menegaskan bahwa siswa yang memiliki
kecerdasan emosi yang tinggi dan dididik dalam lingkungan pola asuh demokratis akan
memiliki kemandirian yang tinggi dalam belajar dan penuh tanggung jawab. Siswa
yang memiliki kemandirian belajar yang tinggi akan lebih mampu menyerap ilmu
pengetahuan dan moral yang diajarkan di bangku pendidikan sehingga siswa akan
lebih siap menghadapi masa depan. Temuan ini sesuai dengan temuan-temuan
penelitian terkini yang menegaskan bahwa keterampilan sosial dan emosi lebih penting
bagi keberhasilan hidup ketimbang kemampuan intelektual. Siswa yang memiliki
kemandirian belajar yang tinggi akan lebih mampu menyerap ilmu pengetahuan dan
moral yang diajarkan di bangku pendidikan sehingga siswa akan lebih siap
menghadapi masa depan.
3.
Secara bersama-sama (simultan) kedua variabel bebas (Persepsi terhadap Pola
Asuh Demokratis Orangtua dan Kecerdasan Emosi) memiliki pengaruh yang signifikan
dan positif terhadap Kemandirian Belajar Siswa Kelas IX SMP N 2 Kokap Kulon Progo
Yogyakarta. Lingkungan keluarga yang menampilkan pola asuh demokratis dan anak
yang memiliki kecerdasan emosi tinggi tentu akan bersinergi dalam menumbuhkembangkan kepribadian siswa yang memiliki kemandirian belajar pada siswa.

SARANDari hasil penelitian dapat disampaikan beberapa saran sebagai berikut:


1.
Persepsi terhadap Pola Asuh Demokratis Orangtua terbukti memiliki hubungan
yang positif dan signifikan dengan kemandirian belajar. Para orang tua perlu
memahami dan meningkatkan hubungan Persepsi terhadap pola asuh demokratis guna
meningkatkan pemahaman kemandirian belajar siswa.
2.
Kecerdasan Emosi juga terbukti memiliki hubungan yang positif dan signifikan
dengan kemandirian belajar. Pihak orangtua siswa dan sekolah perlu terus
mengembangkan kecerdasan emosi pada anak dengan memberikan bimbingan dan
pelatihan yang menekankan pada aspek-aspek kecerdasan emosi seperti kesadaran diri
yang mencakup kejujuran, integritas; kemampuan memotivasi diri sendiri yang
mencakup ketekunan, optimisme, dan realisme, kemampuan berempati; kemampuan
menguasai diri yang mencakup kemampuan dalam memecahkan masalah, komunikasi,
dan pengendalian emosi; serta kemampuan berinteraksi sosial yang mencakup
kemampuan bersosialisasi, humor, persahabatan, dan tatakrama.

DAFTAR PUSTAKA

Andersen, S. M. (1993). "Future Events Schemes and Certainty about the Future:
Automaticity in Depressive Future Event Predictions." Journal of Personality and
Social Psychology, 63, 711-723.
Anton (1994). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Antono (2012). Jurnal: Kontribusi Layanan Informasi Bimbingan Belajar dan
Kecerdasan Emoisonal terhadap Kemandirian Belajar. Universitas Negeri Islam
Maulana Malik Ibrahim.
Asrori, M. (2007). Psikologi Pembelajaran. Bandung: CV. Wacana Prima.
Barnadib, I. (1996). Pendidkan Baru. Yogyakarta: Andi Offset
Basri, H. (1993). Psikologi Sosial. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.
Bell & Gresdler. M. (1991). Belajar dan Membelajarkan. Alih Bahasa oleh: Munandir.
Jakarta: PAU-UT dan Rajawali Press.
Cooper, S. (1998). Cerdas dab Cemerlang. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. .
Dagun, S.M. (2002). Psikologi Keluarga: Peranan Ayah dalam Keluarga. Jakarta:
Rineka Cipta. .
Gerungan, W. (1998). Psikologi Sosial. Jakarta: Grafika Aditama.
Ghozali, I. (2006). Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang: Ba
dan Penerbit UNDIP. .
Ginott (1997). Bimbingan dan Penyuluhan.Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas
Psikologi UGM. .
Goleman, D. (2006). Emotional Intelegence (Kecerdasan Emosional). Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama. .
Gottman, J. (2001). Kiat Membesarkan Anak yang Memiliki Kecerdasan Emosional
(Terjemahan). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. .
Greadler, M. (1989). Learning and Instruction: Theory to Practice. New York:
MCMillan Publishing Company. .

Gunarsa, S. (1995). Psikologi Anak Bermasalah. Jakarta: Gunung Mulia. .


Habibi, Y. (2009). Jurnal: Hubungan Kecerdasan Emosional terhadap Kemandirian
Belajar Siswa Jurusan IPS Al-Hidayah. Universitas Negeri Islam Maulana Malik
Ibrahim. .
Hadi, S. (1996). Metodologi Research Jilid I,II,III. Yogyakarta: Andi Offset.
Hair, J. (1998). Multivariate Data Analysis. New Jersey: Prentice Hall. .
Hetherington, I.M.E. (1986). Child Development. New York: McGrawHill. .
Holstein, H. (1987). Murid Belajar Mandiri: Situasi Belajar Mandiri dalam Pelajaran
Sekolah. Judul asli "Schuler Lernen Selbstandig: Situationen Lernens im
Schulunterricht." Alih bahasa oleh Soeparmo. Bandung: Remadja Karya. .
Hurlock, E.B. (2001). Faktor-faktor Anak dan Pengaruhnya. Yogyakarta: Fakultas
Psikologi UGM.
Hurlock, E.B. (2001). Psikologi Perkembangan: Suatu Kedekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan. Jakarta: Erlangga. .
Indrawati, E.Y. (2002). Pengaruh Pola Asuh Orangtua terhadap Kemandirian Remaja.
Malang: Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang. .
Kartono, K. (1985). Kepribadian Siapakah Saya. Jakarta: CV. Rajawali. .
Kaswandi, E.M.K. (1993). Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000. Jakarta: Rasindo. .
Lippe, A.V. & Skone, E. (1998). Personality Development in Adolescence. New York: A
Cross National and Life Span Perspective. .
Masrun (1986). Cara Belajar yang Mandiri dan Sukses. Jakarta: Rineka Cipta.
Munandar, S.C.U. (1999). Kreativitas dan Keberkatan: Strategi Mewujudkan Potensi
Kreatif dan Bakat. Jakarta: Gramedia.
Mussen, P.H. (1989). Perkembangan dan Kepribadian Anak. Alih Bahasa oleh: F. X.
Budianto, Gianto Widianto dan Arum Gayatri. Jakarta: Penerbit Arcan.
Nawawi (1992). Instrumen Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Liberty.
Oetama, J. (1990). Psikologi Umum. Bandung.IKI.

Purwanto (1986). Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. .


Saifuddin, A. (2001). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Saifuddin, A. (2001). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. .
Semiawan, C. (1999). Peningkatan Kemampuan Manusia. Jakarta: Grasinda. .
Shapiro (1998). Mengajarkan Emotional Intelligence pada Anak. Judul Asli: How to
Raise a Child with a High E. Q.: Parents Guide to Emotional Intelligence. Alih bahasa
oleh: Alex Tri Kuncoro, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. .
Shapiro (2003). Mengajarkan Emotional Intelligence pada Anak. Judul Asli: How to
Raise a Child with a High E. Q.: Parents Guide to Emotional Intelligence. Alih bahasa
oleh: Alex Tri Kuncoro, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. .
Slameto (2010). Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka
Cipta.
Steinberg, L. (2002). Adolescence. New York: McGraw Hill Inc. .
Stendler, M. (1994). Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta: Raja Grafido.
Sugiyono (2007). Metode Penelitian Bisnis. Bandung: Penerbit Alfabeta..
Suharsono, J.T. (2009). "Hubungan Pola Asuh Orangtua terhadap Kemampuan
Sosialisasi pada Anak Prasekolah di TK Pertiwi Purwokerto Utara." The Soedirman
Journal of Nursing, Volume 4, No. 3, November 2009. .
Sukadji, S. (1986). Ceramah Psikologi Remaja bagi Guru dan Kepala Sekolah. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. .
Sumaatmadja, N. (2001). Metodologi Pengajaran. Jakarta: Bumi Aksara. Surya, M.
( 1998). Psikologi Umum. Bandung: Grafika. .
Suryabrata, S. (2008). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali. .
Sutton, S. (1983). Child Psychology. New York: Appleton Century Craft. .
Suyati (2012). Jurnal: Hubungan Kecerdasan Emosional dan Kemandirian Belajar
dengan Prestasi Belajar. Jombang: UNIPDU. .

Tilaar, H.A.R. (1987). Futurisme dan Pengambilan Kebijakan Pendidikan


Menyongsong Abad 21. Jakarta: Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Perencanaan
Pendidikan IKIP Jakarta. .
Tri, R. A. (2012). "Hubungan Kecerdasan Emosional dan Kemandirian Belajar pada
Siswa Kelas XI Jurusan Otomotif SMK Muhammadiyah I Moyudan Sleman." Jurnal.
Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. .
Triton (2006). SPSS 13.0 Terapan: Riset Statistik Parametrik. Yogyakarta: Penerbit
Andi. .
Walgito, B. (2001). Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas
Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Zahro,I.(2000).
Komponen-komponen
Muhammadiyah Malang.

Pembelajaran.

Malang:

Universitas

Artikel lainya
Implementasi Pendidikan Multikultural Dalam Praksis Pendidikan di Indonesia

Menjadi Guru Efektif, Mengapa Tidak?

Pramuka Sebagai Wahana Belajar IPA

Menjadikan Program CI (Cerdas Istime


- See more at:
4444444444444444444444
4
4
4
4
4
4
4

4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4

4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4

4
4
4
4
4
4
4
444444444444444444444444444444444444444444444444444444http://www.pendidikandiy.go.id/dinas_v4/?view=v_artikel&id=id=20#st
h.sNggYWUG.dpuf"http://www.pendidikan-diy.go.id/dinas_v4/?
view=v_artikelHYPERLINK
"http://www.pendidikan-diy.go.id/dinas_v4/?
view=v_artikel&id=20#sthash.sNggYWUG.dpuf"20#sthash.sNggYWUG.dpuf

PERAN DAN FUNGSI ORANG TUA DALAM MENGEMBANGKAN KECERDASAN


EMOSIONAL ANAK
Juli 17, 2010
Oleh : Zaldy Munir
A. Pengertian Orang Tua
Mengenai pengertian orang tua dalam kamus besar bahasa Indonesia disebutkan
Orang tua artinya ayah dan ibu. (Poerwadarmita, 1987: 688).
Sedangkan dalam penggunaan bahasa Arab istilah orang tua dikenal dengan sebutan
Al-walid pengertian tersebut dapat dilihat dalam Alquran surat Lukman ayat 14 yang
berbunyi.
Artinya: Dan kami perintahkan kepada manusia (Berbuat baik) kepada dua orang ibu
bapaknya ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambahtambahdan menyapihnya dalam dua tahun, bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua
orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (Q.S. Lukman ayat 14)
Banyak dari kalangan para ahli yang mengemukakan pendapatnya tentang pengertian
orang tua, yaitu menurut Miami yang dikutip oleh Kartini Kartono, dikemukakan
Orang tua adalah pria dan wanita yang terikat dalam perkawinan dan siap sedia

untuk memikul tanggung jawab sebagai ayah dan ibu dari anak-anak yang
dilahirkannya. (Kartono, 1982 : 27).
Maksud dari pendapat di atas, yaitu apabila seorang laki-laki dan seorang perempuan
telah bersatu dalam ikatan tali pernikahan yang sah maka mereka harus siap dalam
menjalani kehidupan berumah tangga salah satunya adalah dituntut untuk dapat
berpikir seta begerak untuk jauh kedepan, karena orang yang berumah tangga akan
diberikan amanah yang harus dilaksanakan dengan baik dan benar, amanah tersebut
adalah mengurus serta membina anak-anak mereka, baik dari segi jasmani maupun
rohani. Karena orang tualah yang menjadi pendidik pertama dan utama bagi anakanaknya.
Seorang ahli psikologi Ny. Singgih D Gunarsa dalam bukunya psikologi untuk keluarga
mengatakan, Orang tua adalah dua individu yang berbeda memasuki hidup bersama
dengan membawa pandangan, pendapat dan kebiasaan- kebiasaan sehari-hari.
(Gunarsa, 1976 : 27). Dalam hidup berumah tanggga tentunya ada perbedaan antara
suami dan istri, perbedaan dari pola pikir, perbedaan dari gaya dan kebiasaan,
perbedaan dari sifat dan tabiat, perbedaan dari tingkatan ekonomi dan pendidikan,
serta banyak lagi perbedaan-perbedaan lainya. Perbedaan-perbedaan inilah yang dapat
mempengaruhi gaya hidup anak-anaknya,
sehingga akan memberikan warna
tersendiri dalam keluarga. Perpaduan dari kedua perbedaan yang terdapat pada kedua
orang tua ini akan mempengaruhi kepada anak-anak yang dilahirkan dalam keluarga
tersebut.
Pendapat yang dikemukakan oleh Thamrin Nasution adalah Orang tua adalah setiap
orang yang bertanggung jawab dalam suatu keluarga atau tugas rumah tangga yang
dalam kehidupan sehari-hari disebut sebagai bapak dan ibu. (Nasution:1986 : 1).
Seorang bapak atau ayah dan ibu dari anak-anak mereka tentunya memiliki kewajiban
yang penuh terhadap keberlangsungan hidup bagi anak-anaknya, karena anak
memiliki hak untuk diurus danan dibina oleh orang tuanya hingga beranjak dewasa.
Berdasarkan Pendapat-pendapat para ahli yang telah diurarakan di atas dapat
diperoleh pengertian bahwa orang tua orang tua memiliki tanggung jawab dalam
membentuk serta membina ank-anaknya baik dari segi psikologis maupun pisiologis.
Kedua orang tua dituntut untuk dapat mengarahkan dan mendidik anaknya agar
dapat menjadi generasi-generasi yang sesuai dengan tujuan hidup manusia.
B. Tugas dan Peran orang tua
Setiap orang tua dalam menjalani kehidupan berumah tangga tentunya memiliki tugas
dan peran yang sangat penting, ada pun tugas dan peran orang tua terhadap anaknya
dapat dikemukakan sebagai berikut. (1). Melahirkan, (2). Mengasuh, (3).
Membesarkan, (4). Mengarahkan menuju kepada kedewasaan serta menanamkan

norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku. Disamping itu juga harus mampu
mengembangkan potensi yang ada pada diri anak, memberi teladan dan mampu
mengembangkan pertumbuhan pribadi dengan penuh tanggung jawab dan penuh kasih
sayang. Anak-anak yang tumbuh dengan berbagai bakat dan kecenderungan masingmasing adalah karunia yang sangat berharga, yang digambarkan sebagai perhiasan
dunia. Sebagaimana Firman Allah Swt dalam Alquran surat Al-Kahfi ayat 46.
Artinya: Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amanahamanah yang kekal lagi soleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih
baik untuk menjadi harapan. (QS. Al-Kahfi ayat 46).
Ayat di atas paling tidak mengandung dua pengertian. Pertama, mencintai harta dan
anak merupakan fitrah manusia, karena keduanya adalah perhiasan dunia yang
dianugerahkan Sang Pencipta. Kedua, hanya harta dan anak yang shaleh yang dapat
dipetik manfaatnya. Anak harus dididik menjadi anak yang shaleh (dalam pengertian
anfauhum linnas) yang bermanfaat bagi sesamanya.
Beberapa penelitian yang dikemukakan oleh beberapa ahli, seperti yang di kemukakan
dalam majalah rumah tangga dan kesehatan bahwa Orang tua berperan dalam
menentukan hari depan anaknya. Secara fisik supaya anak-anaknya bertumbuh sehat
dan berpostur tubuh yang lebih baik, maka anak-anak harus diberi makanan yang
bergizi dan seimbang. Secara mental anak-anak bertumbuh cerdas dan cemerlang,
maka selain kelengkapan gizi perlu juga diberi motivasi belajar disertai sarana dan
prasarana yang memadai. Sedangkan secara sosial suapaya anak-anak dapat
mengembangkan jiwa sosial dan budi pekerti yang baik mereka harus di beri peluang
untuk bergaul mengaktualisasikan diri, memupuk kepercayaan diri seluas-luasnya. Bila
belum juga terpenuhi biasanya karena soal teknis seperti hambatan ekonomi atau
kondisi sosial orang tua. (Sabri Alisuf : 1995 :24 )
Orang tua yang tidak memperdulikan anak-anaknya, orang tua yang tidak memenuhi
tugas-tugasnya sebagai ayah dan ibu, akan sangat berpengaruh terhadap
keberlangsungan hidup anak-anaknya. Terutama peran seorang ayah dan ibu adalah
memberikan pendidikan dan perhatian terhadap anak-anaknya. Sebagaimana
dikemukakan, Perkembangan jiwa dan sosial anak yang kadang-kadang berlangsung
kurang mantap akibat orang tua tidak berperan selayaknya. Naluri kasih sayang orang
tua terhadap anaknya tidak dapat dimanifestasikan dengan menyediakan sandang,
pangan, dan papan secukupnya. Anak-anak memerlukan perhatian dan pengertian
supaya tumbuh menjadi anak yang matang dan dewasa.(Depdikbud, 1993 : 12 ).
Dalam berbagai penelitian para ahli dapat dikemukakan beberapa hal yang perlu di
berikan oleh orang tua terhadap anaknya, sebagai mana diungkapkan sebagai berikut:
Respek dan kebebasan pribadi.
Jadikan rumah tangga nyaman dan menarik.

Hargai kemandiriannya.
Diskusikan tentang berbagai masalah.
Berikan rasa aman, kasih sayang, dan perhatian.
Anak-anak lain perlu di mengerti.
Beri contoh perkawinan yang bahagia. (Ahmadi Abu, 1991 : 44)
Dari beberapa poin yang telah dikemukakan para ahli di atas dapat dipahami bahwa
banyak hal yang harus dilakukan oleh orang tua dalam melakukan tugas serta peran
mereka sebagai orang tua, yaitu harus respek terhadap gerak-gerik anaknya serta
memberikan kebebasan pribadi dalam mengembangkan bakat serta menggali potensi
yang ia miliki, orang tua dalam menjalani rumah tangga juga harus dapat menciptakan
rumah tangga yang nyaman, sakinah serta mawaddah sehingga dapat memberikan
rasa aman dan nyaman pada anak-anaknya, orang tua harus memiliki sikap
demokratis. Ia tidak boleh memaksakan kehendak sehingga anak akan menjadi
korban, ia harus betul-betul mengerti, memahami, serta memberikan kasih sayang dan
perhatian yang penuh. Orang tua yang tidak memenuhi peran dan tidak menjalankan
tugas tugasnya seperti apa yang di jelaskan di atas, maka anak-anak hidupnya menjadi
terlantar, ia akan mengalami kesulitan dalam menggali potensi dan bakat yang ia
miliki
Conny Semiawan dan kawan-kawan menyatakan bahwa, Orang tua perlu membina
anak agar mau berprestasi secara optimal, karena kalau tidak berarti suatu penyianyiaan terhadap bakat-bakatnya. Pembinaan dilakukan dengan mendorong anak
untuk mencapai prestasi yang sesuai dengan kemampuannya. Ada pula orang tua,
karena tingkat pendidikan mereka sendiri terbatas, karena acuh tak acuh atau karena
kurang memperhatikan anak, pendidikan anak, tidak peka dalam pengamatan ciri-ciri
kemampuan anaknya.
Seorang anak sangat memerlukan bimbingan kedua orang tuanya dalam
mengembangkan bakat serta menggali potensi yang ada pada diri anak tersebut. Dalam
rangka menggali potensi dan mengembangkan bakat dalam diri anak maka seorang
anak memerlukan pendidikan sejak dini
Conny Semiawan dan kawan-kawan menyatakan, Orang tua perlu menciptakan
lingkungan rumah atau keluarga yang serasi, selaras, dan seimbang dengan kehadiran
anak-anak berbakat. Disamping itu perlu menyiapkan sarana lingkungan fisik yang
memungkinkan anak mengembangkan bakatnya. Perlu sikap demokrasi juga dalam
memberikan banyak larangan, dirangsang untuk menjadi mandiri dan percaya diri.
(Semiawan, 1990 : 31-55).
Lingkungan keluarga sangat mempengaruhi bagi pengembangan kepribadian anak
dalam hal ini orang tua harus berusaha untuk menciptakan lingkungan keluarga yang
sesuai dengan keadaan anak. Dalam lingkungan keluarga harus diciptakan suasana
yang serasi, seimbang, dan selaras, orang tua harus bersikap demokrasi baik dalam
memberikan larangan, dan berupaya merangsang anak menjadi percaya diri. Pendapat

lain tentang peran dan tugas orang tua adalah sebagai berikut, Komunikasi ibu dan
ayah dalam keluarga sangat menentukan pembentukan pribadi anak-anak di dalam
dan di luar rumah. Selanjutnya dikatakan bahwa seorang ayah umumnya berfungsi
sebagai dasar hukum bagi putra-putrinya, sedangkan seorang ibu berfungsi sebagai
landasan moral bagi hukum itu sendiri.(Ali, 1995 : 30).
Tugas-tugas serta peran yang harus dilakukan orang tua tidaklah mudah, salah satu
tugas dan peran orang tua yang tidak dapat dipindahkan adalah mendidik anakanaknya. Sebab orang tua memberi hidup anak, maka mereka mempunyai kewajiban
yang teramat penting untuk mendidik anak mereka. Jadi, tugas sebagai orang tua tidak
hanya sekadar menjadi perantara makhluk baru dengan kelahiran, tetapi juga
memelihara dan mendidiknya, agar dapat melaksanakan pendidikan terhadap anakanaknya, maka diperlukan adanya beberapa pengetahuan tentang pendidikan.
Berdasarkan beberapa pendapat yang telah dikemukakan di atas penulis dapat
memberikan suatu kesimpulan bahwa orang tua harus memperhatikan lingkungan
keluarga, sehingga dapat menciptakan lingkungan yang sehat, nyaman, serasi serta
lingkungan yang sesuai dengan keadaan anak. Komunikasi yang dibangun oleh orang
tua adalah komunikasi yangn baik karena akan berpengaruh terhadap kepribadian
anak-anaknya.
C. Kewajiban Orang Tua Terhadap anak
Seorang peria dan wanita yang berjanji dihadapan Allah SWT untuk hidup sebagai
suami istri berarti bersedia untuk memikul tanggung jawab sebagai ayah dan ibu anakanak yang bakal dilahirkan. Ini berarti bahwa pria dan wanita yang terikat dalam
perkawinan siap sedia untuk menjadi orang tua dan salah satu kewajiban, hak orang
tua tidak dapat dipindahkan adalah mendidik anak-anaknya. Sebab seorang anak
merupakan amanah dan perhiasan yang wajib dijaga dengan sebaik-baiknya. Apabila
tidak dijaga akan menyebabkan kualitas anak tidak terjamin, sehingga dapat
membahayakan masa depannya kelak. Orang tua harus dapat meningkatkan kualitas
anak dengan menanamkan nilai-nilai yang baik dan ahlak yang mulia disertai dengan
ilmu pengetahuan agar dapat tumbuh manusia yang mengetahui kewajiban dan hakhaknya. Jadi, tugas orang tua tidak hanya sekadar menjadi perantara adanya makhluk
baru dengan kelahiran, tetapi juga mendidik dan memeliharanya.
Nasikh Ulwan dalam bukunya Tarbiyah Al-Aulad Fi-Al Islam, sebagaimana dikutif
oleh Heri Noer Aly, merincikan bidang-bidang pendidikan anak sebagai berikut:
Pendidikan Keimanan, antara lain dapat dilakukan dengan menanamkan tauhid
kepada Allah dan kecintaannya kepada Rasul-Nya.
Pendidikan Akhlak, antara lain dapat dilakukan dengan menanamkan dan
membiasakan kepada anak-anak sifat terpuji serta menghindarkannya dari sifat-sifat
tercela.

Pendidikan Jasmaniah, dilakukan dengan memperhatikan gizi anak dan


mengajarkanya cara-cara hidup sehat.
Pendidikan Intelektual, dengan mengajarkan ilmu pengetahuan kepada anak dan
memberi kesempatan untuk menuntut mencapai tujuan pendidikan anak. (Aly, 1999 :
182).
Adapun fungsi keluarga secara ilmu menurut ST. Vembrianto sebagaimana dikutip
oleh M. Alisuf Sabri mempunyai 7 (tujuh) yang ada hubungannya denagan si anak
yaitu.
Fungsi biologis: keluaraga merupakan tempat lahirnya anak-anak secara biologis anak
berasal dari orang tuanya.
Fungsi Afeksi: kerluarga merupakan tempat terjadinya hubungan sosial yang penuh
dengan kemesraan dan afeksi (penuh kasih sayang dan rasa aman).
Fungsi sosial: fungsi keluaraga dalam membentuk kepribadian anak melalui interaksi
sosial dalam keluarga anak, mempelajari pola-pola tingkah laku, sikap keyakinan, citacita dan nilai-nilai dalam keluarga anak, masyarakat, dan rangka pengembangan
kepribadiannnya.
Fungsi Pendidikan: keluarga sejak dulu merupakan institusi pendidikan dalam
keluarga dan merupakan satu-satunya institusi untuk mempersiapkan anak agar dapat
hidup secara sosial dimasyarakat, sekarang pun keluarga dikenal sebagai lingkungan
pendidikan yang pertama dan utama dalam mengembangkan dasar kepribadian anak.
Fungsi Rekreasi: kelurga merupakan tempat/medan rekreasi bagi anggotanya untuk
memperoleh afeksi, ketenangan, dan kegembiraan.
Fungsi Keagamaan : merupakan pusat pendidikan upacara dan ibadah agama, fungsi
ini penting artinya bagi penanaman jiwa agama pada si anak.
Fungsi perlindungan: keluarga berfungsi memelihara, merawat dan melindungi anak
baik fisik maupun sosialnya. (Sabri, 1999 : 16).
Di samping itu, tugas orang tua adalah menolong anak-anaknya, menemukan,
membuka, dan menumbuhkan kesedian-kesedian bakat, minat dan kemampuan
akalnya dan memperoleh kebiasaan-kebiasaan dan sikap intelektual yang sehat dan
melatih indera. Adapun cara lain mendidik anak dijelaskan dalam Alquran.
Artinya: (Lukman berkata) : Wahai anakku, dirikanlah shalat dan surhlah (manusia)
mengerjakan yang baik dan ceagahlah (mereka) dari perbutan yang munkar dan
bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu
termasuak hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (QS.Luqman : 17).
Dalam ayat tersebut terkandung makna cara mendidik sebagai berikut
Menggunakan kata Wahai anakku Artinya seorang ayah/ibu apabila berbicara
dengan putra-putrinya hendaknya menggunakan kata-kata lemah lembut.

Orang tua memberikan arahan kepada anak-anaknya untuk melakukan perbuatan


yang baik dan menjauhi perbuatan yang munkar dan selalu bersabar dalam menjalani
apapun yang terjadi dalam kehidupannya.
Dalam memeritah dan melarang anak, disarankan kepada kedua orang tua untuk
menggunakan argumentasi yang logis, jangan menakut-nakuti anak.
Kewajiban orang tua yang harus dipenuhi dengan sungguh-sungguh adalah memenuhi
hak-hak anak. Hak-hak anak sangatlah banyak di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Hak Nasab
Nasab adalah hubungan darah antara seorang anak dengan ayah dan ibu, karena
sebab-sebab yang sah menurut syara, yaitu jika si anak dilahirkan atas dasar
perkawinan dan dalam kandungan tertentu yang oleh syara diakui keabsahannya.
Dengan demikian, setiap anak yang lahir langsung dinasabkan kepada ayahnya untuk
lebih menguatkan perkawinan kedua orang tuanya.(Khairiyah Husen, 1994 : 57)
Salah satu contoh dari hak nasab ini adalah hak penyusuan di mana setiap bayi yang
lahir berhak atas susuan pada priode tertentu dalam kehidupan, yaitu priode pertama
ketika ia hidup. Adalah satu fitrah bahwa ketika bayi dilahirkan ia membutuhkan
makanan yang paling cocok dan paling baik untuknya, yaitu air susu ibu (asi).
Secara klinis terbukti bahwa air susu ibu mengandung unsur-unsur penting dan vital
yang dibutuhkan bayi bagi perkembangannya. Air susu ibu berdaya guna untuk
memberikan segala kebutuhan bayi untuk tumbuh dengan sehat dan melindunginya
dari berbagai penyakit.
Menurut Abdullah Al-Sayyid dalam bukunya mengatakan Hak ini menunjukkan
adanya perintah wajib yang harus dilaksanakan oleh para ibu untuk menyusukan
anaknya. (Al-Sayyid, 1994 : 80).
2. Hak Pemeliharaan
Anak berhak mendapatkan asuhan, yaitu memperoleh pendidikan dan pemeliharaan
untuk mengurus makan, minum, pakaian dan kebersihan si anak pada priode
kehidupan pertama (sebelum ia dewasa). Yang dimaksud dengan pemeliharaan di sini
dapat berupa pengawasan dan penjagaan terhadap keselamatan jasmani dan rohani,
anak dari segala macam bahanya yang mungkin dapat menimpanya agar tumbuh
secara wajar. Anak juga membutuhkan pelayanan yang penuh kasih sayang dan
pemenuhan kebutuhan tempat tinggal dan pakaian. Oleh karena itu, pada usia balita
seorang anak belum mempunyai kemampuan, sehingga kehidupan mereka sangat
tergantung pada orang lain yang dewasa, yaitu ibu dan bapaknya.

Hak asuh bagi anak adalah agar dirawat dengan penuh kasih sayang, diperhatikan dan
dipilihkan makanan dan minuman yang baik serta dilindungi dari berbagai penyakit
demi kelangsungan pertumbuhan dan perkembangan hidupnya. Dengan kasih sayang,
anak akan tumbuh dengan kepribadian yang sempurna dan sehat sehingga
menghasilkan manusia-manusia yang baik. Dengan memperhatikan makanan,
minuman, dan kesehatannya berarti akan menciptakan manusia-manusia yang sehat
dan kuat jasmani dan rohaninya.
3. Hak Mendapatkan Nafkah
Anak berhak mendapatkan nafkah, yaitu pemenuhan kebutuhan pokok. Nafkah
terhadap anak adalah untuk kelangsungan hidup dan pemiliharaan kesejahtraannya.
Dengan demikian, anak terhindar dari kesengsaraan hidup di dunia karena
mendapatkan kasih sayang orang tuanya melalui pemberian nafkah tersebut. Hak
mendapatkan nafkah merupakan akibat dari nasab, yaitu nasab seorang anak terhadap
ayahnya menjadikan anak berhak mendapatkan nafkah dari ayahnya.
4. Hak Mendapatkan Pendidikan
Orang tua memiliki kewajiban untuk memenuhi hak pendidikan atas anaknya. Dengan
pendidikan, anak akan dapat mengembangkan potensi-potensi dan bakat yang ada
pada dirinya. Sehingga ia akan menjadi generasi-generasi yang kuat, kuat dari faktor
psikologis maupun fisiologis. Seorang anak merupakan generasi penerus dari generasi
sebelumnya.Setiap generasi ke generasi akan memiliki pengaruh yang ditimbulkan dari
generasi sebelumnya, generasi yang lemah akan mewariskan kelemahan kepada
generasi berikutnya begitu juga dengan generasi yang kuat akan mewariskan kekuatan
kepada generasi sesudahnya. Dengan memenuhi hak anak atas pendidikan diharapkan
akan menjadi generasi yang kuat yang dapat mewariskan kekuatan pada generasi
berikutnya .Sebagai mana Firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 9 sebagai berikut:
Artinya: Dan hendaklah takut kepada Allah orang-oarng yang seandainya
meninggalakan dibelakang mereka anak-anak yang lemah yang mereka khawatir
terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada
Allah dan hendakalah mereka mengucpakan perkataaan ayang benar. (QS. An-Nisa :
9).
Dalam pendidikan ilmiah, seorang ayah memiliki fungsi sebagai guru pertama sebelum
sang anak dilepas kepada guru di sekolahnya. Seorang ayah terlebih dahulu harus
membekali mereka dengan pemahaman yang benar, memberikan semangat dalam
belajar dan menuntut ilmu, mengarahkan kepada ilmu-ilmu syariat yang bermanfaat.
Sang ayah tidak boleh mengarahkan anaknya hanya untuk mempelajari ilmu dunia,
melainkan akhiratnya, sebaliknya ia harus mengarahkan anaknya untuk mempelajari
ilmu yang akan mendekatkan anaknya kepada Allah dan kecintaan kepada kehidupan
akhiratnya.

Dalam membimbing anak, orang tua perlu memiliki kesabaran dan sikap dan
bijaksana, orang tua harus memahami alam pikiran anak dan harus mengerti
kemampuan yang dimiliki anak. Ada bermacam-macam kegiatan bimbingan belajar
yang dapat dilakukan oleh orang tua antara lain yang diungkapkan oleh Kartini
Kartono sebagai berikut:
Menyediakan fasilitas belajar, yang dimaksud dengan fasilitas belajar di sini adalah
alat tulis, buku tulis, buku-buku ini pelajaran dan tempat untuk belajar. Hal ini dapat
mendorong anak untuk lebih giat belajar, sehingga dapat meningkatkan prestasi
belajar.
Mengawasi kegiatan belajar di rumah, sehingga dapat mengetahui apakah anaknya
belajar dengan sebaik-baiknya.
Mengawasi penggunaan waktu belajar anak di rumah, sehingga orang tua dapat
mengetahui apakah anaknya menggunakan waktu dengan teratur dan sebaik-baiknya.
Mengetahui kesulitan anak dalam belajar, sehingga dapat membantu usaha anak dalam
mengatasi kesulitannya dalam belajar.
Menolong anak mengatasi kesulitannya, dengan memberikan bimbingan belajar yang
di butuhkan anaknya. (Kartono, 1992 : 91-92)
D. Orang Tua Sebagai Pembimbing dalam Bersosial dan Adab
1. Kegiatan Sosial
Dalam kegiatan sosial orang tua harus melatih anak-anaknya agar mereka mengerti
akan kewajiban hidup bermasyarakat. Ia haraus membiasakan anak-anaknya untuk
saling menolong, menjenguk saudara dan familinya yang sakit, mengunjunginya untuk
menyambung hubungan silaturahim, mencarikan teman sebaya yang akan
membantunya dalam proses pergaulan, menghindarkan dari kawan yang jahat dan
mengarahkan mereka untuk dapat hidup mandiri dalam menghadapi persoalanpersoalan yang sedang dihadapinya.
2. Adab dan Sopan santun
Terkait dengan adab dan sopan santun dalam berpakaian maka orang tua harus
membiasakan anaknya untuk selalu menutup aurat, berpakaian yang sesuai dengan
syariat dan menghindari pakaian-pakaian yang dilarang, dan juga tidak
memperbolehkan anak-anaknya (yang laki-laki) untuk memakai perhiasan yang
dilarang, seperti cincin emas, kalung, apalagi anting-anting yang jelasjelas dilarang
karena menyerupai wanita. Jika anaknya adalah perempuan, maka harus dibiasakan
untuk berhijab, menggunakan pakaian yang tidak menampakkan unsur tabaruj, jauh
dari perangai jahiliah dan tidak menyerupai pakaian laki-laki.
E. Peran dan Fungsi Orang Tua Sebagai Pendidik yang Pertama dan Utama

Jika cinta orang tua terhadap anak merupakan perasaan alami yang dimiliki semenjak
lahir, maka seharusnya mereka tidak perlu diperingatkan. Namun Islam untuk lebih
menekankan perlu dan pentingnya melindungi keselamatan anak, secara keras
memperingati orang tua agar mereka tidak lengah, sehingga anggota keluarganya dan
seluruh anggota masyarakat hidup bahagia secara sempurna. Selanjutnya, dengan
demikian akan tumbuh dan tercipta suatu generasi baru yang cukup kuat untuk
menanggung beban kehidupan selanjutnya dengan penuh optimis dan mandiri.
Dalam upaya melindungi keselamatan anak, orang tua perlu melakukan pembinaanpembinaan agar dapat mencapai kehidupan yang lebih sempurna, pembinaan tersebut
antara lain:
1. Membina Pribadi Anak
Setiap orang tua dan semua guru ingin membina agar anak menjadi orang yang baik,
mempunyai kepribadian yang kuat dan sikap mental yang sehat dan akhlak yang
terpuji. Semua itu dapat diusahakan melalui pendidikan, baik yang formal (di sekolah)
maupun non formal (di rumah oleh orang tua). Setiap pengalaman yang dilakui anak,
baik melalui penglihatan, pendengaran, maupun perlakuan yang diterimanya akan ikut
menentukan pembinaan pribadinya.
Orang tua adalah pembinaan pribadi yang pertama dalam hidup anak. Kepribadian
orang tua, sikap dan cara hidup mereka, merupakan unsur-unsur pendidikan yang
tidak langsung, yang dengan sendirinya akan masuk ke dalam pribadi anak yang
sedang tumbuh itu. Sikap anak terhadap guru agama dan pendidikan agama di sekolah
sangat dipengaruhi oleh sikap orang tuanya terhadap agama dan guru agama
khususnya
Perilaku orang tua terhadap anak tertentu dan terhadap semua anaknya, merupakan
unsur pembinaan lainnya dalam pribadi anak. Perlakuan keras, akan berlainan
akibatnya daripada perlakuan yang lembut dalam pribadi anak. Hubungan orang tua
dengan sesama mereka sangat mempengaruhi pertumbuhan jiwa anak. Hubungan yang
serasi, penuh pengertian dan kasih sayang, akan membawa kepada pembinaan pribadi
yang tenang terbuka dan mudah didik, karena ia mendapat kesempatan yang cukup
dan baik untuk tumbuh dan berkembang. Tapi hubungan orang tua yang tidak serasi,
banyak perselisihan dan percecokan akan membawa anak kepada pertumbuhan
pribadi yang sukar dan tidak mudah dibentuk, karena ia tidak mendapatkan suasana
yang baik untuk berkembang, sebab selalu tergantung oleh suasana orang tuanya.
Banyak faktor-faktor secara tidak langsung, dalam keluarga yang mempengaruhi
pembinaan pribadi anak. Di samping itu, tentunya banyak pula pengalamanpengalaman anak, yang mempengaruhi nilai pendidikan baginya, yaitu pembinaanpembinaan tertentu yang di lakukan orang tua terhadap anak, baik melalui makan dan

minum, buang air, tidur dan sebagainya. Semuanya termasuk unsur pembinaan bagi
pribadi anak.
Berapa banyak macam pendidikan tidak langsung yang telah terjadi pada anak
sebelum ia masuk sekolah, tentu saja sertiap anak mempunyai pengalamannya sendiri,
yang tidak sama terhadap anak lain. Pengalaman yang di bawa oleh anak-anak dari
rumah itu, akan menentukan sikapnya terhadap sekolah dan guru. Guru agama
mempunyai tugas yang cukup berat, yaitu ikut membina pribadi anak disamping
mengajarkan pengetahuan agama kepada anak, guru agama mempunyai tugas
memperbaiki pribadi anak yang kurang baik, karena tidak mendapat pendidikan
dalam keluarga.
Guru agama bertugas membawa anak didik kearah kebaikan, setiap guru agama harus
menyadari bahwa segala sesuatu pada dirinya akan merupakan unsur pembinaan bagi
anak didik. Di samping pendidikan dan pengajaran yang dilaksanakan dengan sengaja
oleh guru dalam pembinaan anak didik, juga sangat penting dan menentukan pula
adalah kepribadian, sikap dan cara hidup guru itu sendiri, bahkan cara berpakaian,
cara bergaul, berbicara dan menghadapi setiap masalah, yang secara tidak langsung
tidak tampak hubungannya dengan pengajaran, namun dalam pendidikan atau
pembinaan pribadi si anak, hal-hal tersebut sangat berpengaruh dalam proses
pembinaan pribadi anak.
2. Membentuk kebiasaan
Masalah- masalah yang sudah menjadi ketetapan dalam syariat Islam bahwa sang anak
diciptakan dengan fitrah tauhid yang murni, agama yang lurus, dan iman kepada
Allah. Yang dimaksud dengan fitrah Allah adalah bahwa manusia diciptakan Allah
mempuyai naluri beragama, yaitu agama tauhid. Jika ada manusia tidak memiliki
agama tauhid itu hanya lantaran pengaruh lingkungan.
Dari sini peranan pembisaan, pengajaran dan pendidikan dalam pertumbuhan dan
perkembangan anak akan menemukan tauhid yang murni, keutamaan-keutamaan budi
pekerti, spiritual dan etika agama yang lurus. Zakiyah Daradjat berpendapat, Tidak
dapat dipungkiri betapa pentingnya pendekatan agama Islam dalam rangka
membangun manusia seutuhnya. Tidak dapat dibayangkan membangun manusia tanpa
agama. Kenyataan membuktikan bahwa dalam masyarakat yang kurang
mengindahkan agama (atau bahkan anti agama), perkembangan manusianya pincang.
Hal ini berlaku di negara-negara berkembang maupun di negara maju. Ilmu
pengetahuan tinggi, tapi akhlaknya rendah. Kebahagiaan hidup tidaklah mudah
dicapainya. Agama menjadi penyeimbang, penyelaras dalam diri manusia sehingga
dapat mencapai kemajuan lahiriyah dan kebahagiaa rohaniyah. (Daradjat, 1995 : 65).
Di sinilah pendidikan agama Islam mempunyai peran yang cukup penting. Oleh
karenanya untuk membentuk kepribadian muslim tersebut diperlukan suatu tahapan,

di antaranya dengan membentuk kebiasaan serta latihan-latihan yang cocok dan sesuai
dengan perkembangan jiwanya. Karena pembiasaan dan latihan tersebut akan
membentuk sikap tertentu pada anak, yang lambat laun, sikap itu akan bertambah
jelas dan kuat, akhirnya tidak tergoyahkan lagi, karena telah masuk menjadi bagian
dari pribadinya.
Muhammad Quthb yang dialih bahasakan oleh Salman Harum mengatakan,
Kebiasaan memiliki yang sangat istimewa dalam kehidupan manusia karena dalam
aktualisasi perannya tidak begitu banyak menyita tenaga manusia. Kebiasaan hanya
bisa dilakukan dengan cara memberikan latihan-latihan secara terus menerus,
sehingga menjadi terbiasa dan menjadi melekat dalam diri mereka dan dengan spontan
mereka melakukan kegiatan-kegiatan tersebut dengan enteng tanpa kehilangan banyak
tenaga dan tanpa menemukan banyak kesulitan (Quthb, 1984 : 363 ).
Jadi, latihan-latihan keagamaan yang menyangkut ibadah, seperti sembahyang, doa,
membaca Alquran (atau menghafal ayat-ayat atau surat-surat pendek), shalat
berjamaah di sekolah dan di masjid harus dibiasakan sejak kecil, sehingga lambat laun
akan tumbuh rasa senang melakukan ibadah tersebut. Anak dibiasakan sedemikian
rupa, sehingga dengan sendirinya akan terdorong untuk melakukannya, tanpa suruhan
dari luar, tapi dorongan dari dalam, karena pada dasarnya prinsip agama Islam tidak
ada paksaan, tapi ada keharusan pendidikan yang dibebankan kepada orang tua dan
guru atau orang yang mengerti agama.
Dengan kata lain dapat kita sebutkan bahwa pembiasaan dalam pendidikan anak
sangat penting, terutama dalam pembentukkan pribadi, akhlak dan agama pada
umumnya, karena pembiasaan-pembiasaan agama itu akan memasukkan unsur-unsur
positif dalam pribadi yang sedang tumbuh. Semakin banyak pengalaman agama yang
didapatnya melalui pembiasaan itu, akan semakin banyaklah unsur agama dalam
pribadinya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pendidikan pembiasaan itu
sangat penting dalam mendidik anak, terutama dalam pendidikan agama.
3. Membentuk Kerohanian Menjadi Pribadi Muslim
Muhammad Quthb mengatakan, Menurut pandangan Islam rohani adalah pusat
eksistensi dan menjadi titik pusatnya, karena dengan rohani itu seluruh alam saling
berhubungan dan memelihara kehidupan manusia untuk menuntut kepada keberanian.
Pendeknya merupakan penghubung antara manusia dan Allah SWT. Sungguh sangat
besar sekali kekuatan rohani dibandingkan kekuatan tubuh, karena kekuatan tubuh
hanya terbatas wujud, materi, dan kekuataan berfikir, terbatas hanya dalam hal-hal
yang dapat dipikirkan dan terbatas oleh ruang dan waktu, sedangkan rohani manusia
tidak mengenal batasan dan rintangan, tidak mengenal waktu dan tempat, tidak
pernah sirna. (Quthb, 1984 : 59-60).

Dalam pembentukkan rohani tersebut, pendidikan agama memerlukan usaha dari guru
(pengajar) untuk memudahkan dalam pelaksanaannya, dan usaha itu sendiri dilakukan
dengan penuh kesabaran, ketekunan, dan keikhlasan. Dalam pembinaan itu
dilaksanakan secara terus menerus tidak langsung sekaligus melainkan melalui proses.
Maka, dengan adanya ketekunan, keikhlasan, benar-benar penuh perhatian dengan
penuh tanggung jawab maka Insya Allah kesempurnaan rohani tersebut akan tercapai
sesuai dengan yang diharapkan.
Adapun usaha-usaha yang dilakukan untuk mencapai tujuan yang di harapkan adalah
sebagai berikut:
a. Menanamkan Kepercayaan Diri
Menanamkan kepercayaan kepada Allah SWT agar merasakan bahwa Allah SWT
selalu dekat dan selanjutnya takut untuk melaksanakan hal-hal yang buruk.
Menanamkan kepercayaan tentang adanya malaikat, dengan menanamkan
kepercayaan tersebut, dapat merasakan bahwa setiap gerak-gerik selalu diawasi oleh
malaikat.
Menanamkan kepercayaan akan kitab Allah SWT.
Menanamkan kepercayaan akan rasul-rasul-Nya, untuk mengambil contoh tauladan
mereka.
Menanamkan kepercayaan kepada Qodho dan Qodhar.
Menanamkan kepercayaan akan adanya hari kiamat, dengan menanamkan rasa ini
akan merasa takut melakukan perbuatan tercela, karena saat di akhirat nanti ada
balasannya. (Seniawan, 1990 : 28).
b. Mengadakan bimbingan agama dengan cara mengikat terus menerus antara
manusia dengan Allah SWT, dengan cara:
Menciptakan suasana pada hati mereka untuk merasakan adanya Allah SWT dengan
melihat segala keagungan yang telah di ciptakan-Nya, sehingga akan membuat mereka
terpana dan terkesan ke dalam hati mereka.
Menanamkan pada hati mereka bahwa Allah SWT akan selalu hadir dalam sanubari
mereka di mana pun mereka berada.
Menanamkan pada hati mereka perasaan cinta kepada Allah SWT, secara terus
menerus mencari keridhaan-Nya.
Menanamkan perasaan takwa dan tunduk kepada Allah SWT, dan mengorbankan
perasaan damai bersama Allah SWT dalam keadaan apapun. (Al, wafa, 6 : 1997)
c. Membimbing mereka dengan cara memberikan dorongan kepada hal-hal yang
mengarah ketaatan kepada Allah SWT dan mendidik mereka dengan berbagai macam
ibadah agar dengan hal itu akan terbukalah hatinya. (Al-Qasim, 6 : 1999 )
Usaha yang dilakukan dengan cara yang telah dilakukan dalam membentuk
kerohanian tersebut, dengan di jalankan secara terus menerus, tanpa mengenal batas,
maka Insya Allah hal itu akan menemani perasaan jiwanya serta mendapatkan cahaya

dan petunjuk dari Allah SWT, yang selanjutnya akan terbentuklah kepribadian
muslimin yang hakiki. Menurut Ahmad D. Marimba kepribadian muslim adalah
Kepribadian yang selurus aspek-aspeknya, baik tingkah-laku luarnya, kegiatankegiatan jiwanya, maupun filsafat hidup dan kepercayaan menunjukkan pengabdian
kepada Allah SWT dan penyerahan diri kepadanya. (Marimba, 1962 : 68 )
Hal yang dapat menguatkan kepribadian muslim di antaranya adalah kesederhanaan
di dalam hidup dengan melalui jalan yang lurus dalam pengaturan harta benda, tidak
bersifat kikir, dan tidak juga berlaku boros. Kepribadian muslim juga dapat diperkuat
dengan cara memperkuat pisik atau menjaga kesetabilan tubuh, dijaga supaya badan
selalu sehat. Selain itu Islam juga menawarkan agar umatnya dapat saling nasehat
menasehati dalam hal kebaikan Allah berfirman dalam surat Al-Ashr ayat 3 sebagai
berikut:
Artinya: Kecuali orang-orang yang beriman dan menngerjakan amal soleh dan
nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya
menetapi kebenaran. (QS. Al-Ashr: 3)
Dari uraian-uraian yang telah dijelaskan di atas mengenai orang tua, dapat diambil
kesimpulan bahwa betapa pentingnya peran orang tua dalam membentuk kepribadian
seorang anak, tanpa bimbingan dan arahan orang tua tidak mungkin kepribadian anak
dapat terbentuk dengan baik. Sehingga Islam sangat menekankan kepada umat
manusia untuk membina anak-anaknya kea rah yang baik sesuai denngan ajaranajarannya.
F. Konsep Orang Tua dalam Mengembangkan Kecerdasan Emosional Anak
Setiap orang tua menginginkan anaknya menjadi orang yang berkembang secara
sempurna. Mereka menginginkan anak yang dilahirkan itu kelak menjadi orang yang
sehat dan kuat, berketrampilan, cerdas, pandai dan beriman. Yang bertindak sebagai
pendidik dalam keluarga adalah ayah dan ibu (orang tua) si anak. Pendidikan yang
harus dijalankan orang tua adalah pendidikan bagi perkembangan akal dan rohani
anak, pendidikan ini mengacu pada aspek-aspek kepribadian secara dalam garis besar.
Menggenai pendidikan akal yang dilakukan orang tua adalah menyekolahkan anak
karena sekolah merupakan lembaga paling baik dalam mengembangkan akal dan
interaksi sosial.
Kunci pendidikan dalam rumah tangga, sebenarnya terletak pada pendidikan rohani
dalam arti pendidikan kalbu, lebih tegas lagi pendidikan agama bagi anak karena
pendidikan agamalah yang berperan besar dalam membentuk pandangan hidup
seseorang. Ada dua arah mengenai kegunaan pendidikan agama dalam rumah tangga.
Pertama, penanaman nilai dalam arti pandangan hidup, yang kelak mewarnai
perkembangan jasmani dan akal. Kedua, penanaman sikap yang kelak menjadi basis
dalam menghargai guru dan pengetahuan di sekolah.

Anak pada hakikatnya merupakan amanat dari Allah SWT yang harus disyukuri, dan
kita sebagai muslim wajib mengemban amanat itu dengan baik dan benar. Cara
mensyukuri karunia Allah tersebut yang berupa anak adalah dengan melalui merawat,
mengasuh, dan mendidik anak tersebut dengan baik dan benar, agar mereka kelak
tidak menjadi anak-anak yang lemah, baik fisik dam mental, serta lemah iman dan
lemah kehidupan duniawinya.
Tujuan dari pendidikan tersebut adalah menjadi seorang muslim yang sempurna, yang
beriman dan bertakwa kepada Allah SWT. Orang tua adalah pendidik pertama yang
utama bagi anak, sebelum anak mengenal dunia luar, maka terlebih dahulu anak
mengenal orang tuanya yang merupakan orang terdekat bagi anak. Setiap orang tua
wajib mendidik dengan pendidikan yang baik dan benar, sehingga mereka tumbuh
dewasa menjadi seorang muslim yang kuat, kuat dalam arti kuat iman dan Islamnya,
wawasan dan pengetahuannya luas, serta dewasa dalam bersikap dan dalam
mengambil dan menentukan keputusan.
Sabda Rasulullah SAW yang berkenaan kewajiban orang tua untuk mendidik anaknya.
Artinya : Tiada seorang anak pun yang lahir, kecuali ia dilahirkan dalam keadaan
fitrah. Maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak itu baragama yahudi,
nasrani, atau majusi. (HR. Bukhari Muslim).
Fitrah yang dimaksud adalah bahwa setiap anak yang dilahirkan sudah memiliki
potensi-potensi yang harus diwujudkan dan dikembangkan, potensi-potensi tersebut
berupa bakat-bakat kreatifitas anak yang harus dimunculkan, sehingga bakat tersebut
dapat menjadi acuan bagi kelangsungan hidupnya kelak setelah dewasa. Orang tua
hendaklah teliti dalam perkembangan anak. Potensi beribadah shalat anak haruslah
sejak dini diperhatikan, dimulai dengan mengenal lingkungan sekitar.
Pendidikan yang dijalankan dengan cara sistematik dan penuh kesadaran yang
dilakukan orang tua agar didikannya itu sesuai dengan tujuan dari pendidikan itu
sendiri, yaitu mengarahkan anak kearah kedewasaan.
Adapun usaha-usaha yang dilakukan untuk mencapai tujuan yang diharapkan adalah
sebagai berikut :
a. Menanamkan kepercayaan diri.
Menanamkan kepercayaan kepada Allah SWT agar merasakan bahwa Allah SWT
selalu dekat dan selanjutnya takut untuk melaksanakan hal-hal yang buruk
Menanamkan kepercayaan tentang adanya malaikat, dengan menanamkan
kepercayaan tersebut, dapat merasakan bahwa setiap gerak garik selalu diawasi oleh
para malaikat.

Menanamkan kepercayaan akan kitab Allah SWT.


Menanamkan kepercayaan akan rasul-rasul-Nya. Untuk mengambil contoh tauladan
dari mereka.
Menanamkan kepercayaan kepada Qodho dan Qodar.
Menanamkan kepercayaan akan adanya hari kiamat, dengan menanamkan
kepercayaan ini, akan merasa takut melakukan perbuatan tercela, karena saat
diakhirat nanti ada balasannya. (Omar Muhammad, 197 : 234)
b. Mengadakan bimbingan agama dengan cara mengikuti terus-menerus antara
manusia dengan Allah SWT, dengan cara:
Menciptakan suasana pada hati mereka untuk merasakan adanya Allah SWT dengan
melihat segala keagungan yang telah terpana dan terkesan kedala hati mereka.
menanamkan pada hati mereka bahwa Allah SWT akan selalu hadir dalam sanubari
mereka di mana pun mereka berada.
Menanamkan pada hati mereka perasaan cinta kepada Allah SWT, secara terus
menerus mencari keridhaan-Nya.
Menanamkan perasaan taqwa dan tunduk kepada Allah dan mengorbankan perasaan
damai bersama Allah SWT dalam keadan apapun. (Seniawan, 1990 : 30)
Membimbing mereka dengan cara memberikan dorongan kepada hal-hal yang
mengarah pada ketaatan kepada Allah SWT dan mendidik mereka dengan berbagai
macam ibadah agar dengan hal itu akan terbukalah hatinya.
Demikianlah usaha yang dilakukan, semoga dengan cara yang telah dilakukan dalam
mengembangkan potensi beribadah anak tersebut dengan dijalankan secara terus
menerus, tanpa mengenal batas maka insya Allah hal itu akan menemani perasaan
jiwanya serta mendapat cahaya dan petunjuk dari Allah SWT, yang selanjutnya akan
terbentuklah kepribadian muslim yang hakiki.***
About these ads
Beri peringkat:
13 Votes
Share this:
Facebook107TwitterCetakSurat elektronikGoogle
Terkait
STOP KEKERASAN PADA ANAK! JANGAN JADIKAN ANAK SEBAGAI TUMBAL
DALAM KELUARGA
Oleh : Zaldy Munir KEKEERASAN seakan sudah menjadi bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari kesehariah kita, dalam menjalani rutinitas sehari-hari banyak kita
melihat tindakan-tindakan kekerasan yang terjadi. Tidaklah heran, karena
In "Fokus Kajian"
BATASAN PORNOGRAFI MENURUT PERSPEKTIF AL-QURAN DAN BIBLE

Oleh : Zaldy Munir TAK dapat diingkari, Islam dan Kristen adalah agama yang
diterima secara luas di dunia dewasa ini. Masing-masing dari kedua agama ini (Islam
dan Kristen) mempunyai kumpulan
In "Fokus Kajian"
SUATU ANALISIS TENTANG KONSEP PENDIDIKAN ISLAM
Oleh : Zaldy Munir Pendahuluan ISTILAH pendidikan kerap diartikan secara longgar
dan dapat mencakup berbagai persoalan yang luas. Namun demikian, pendidikan
sebenarnya dapat ditinjau dari dua segi. Pertama dari sudut
In "Fokus Kajian"
Kategori : Fokus Kajian
Tag : Artikel, Berita, Fokus Kajian, Informasi, Opini
Navigasi pos AGAR BAYI TAK DISERANG ALERGIAKAL BULUS YANG MULUS

12 THOUGHTS ON PERAN DAN FUNGSI ORANG TUA DALAM


MENGEMBANGKAN KECERDASAN EMOSIONAL ANAK

Sampai sejauh ini belum ada literatur yang secara spesifik yang membicarakan tentang
bagaimana cara guru melatih kecerdasan emosi anak didiknya. Kebanyakan litelatur
yang beredar lebih menyoroti tentang bagaimana cara orang tua membina EQ anakanaknya. Seperti bukunya Maurice J. Elias dkk dengan bukunya Cara efektif
Mengasuh Anak dengan EQ dan bukunya Joan Gottman dan Jean De Claire dalam
bukunya Kiat-Kiat Membesarkan Anak yang Memiliki EQ (1992).

Sebagai Joan Gottman dan Jean De Claire, mengidentifikasikan empat tipologi orang
tua dalam menyikapi ungkapan emosi-emosi anak mereka beserta dampaknya yaitu:
a. Orang tua yang mengabaikan
Mereka tidak menghiraukan dan menganggap sepi atau meremehkan emosi-emosi
negatif anak. Akibatnya anak menganggap bahwa perasaan-perasaan itu keliru, tidak
tepat atau tidak sah. Mereka mungkin merasakan ada yang salah dari perasaannya dan
mungkin juga menghadapi kesulitan untuk mengatur emosi mereka sendiri
b. Orang tua yang tidak menyetujui
Mereka bersikap kritis terhadap ungkapan perasaan-perasaan negatif anak mereka.
Akibatnya bagi anak adalah sama denga tipologi pertama.
c. Orang tua yang Laizees

Mereka menerima emosi anak-anak mereka dan berempati tetapi tidak memberikan
bimbingan atau menentukan batas-batas tingkah laku anak mereka. Akibatnya, anak
tidak belajar mengatur emosi mereka, menghadapi kesulitan untuk berkonsentrasi, dan
sulit menjalin persahabatan atau bergaul dengan orang lain.
d. Orang tua yang berperan sebagai pelatih emosi
Mereka menghargai emosi-emsi negatif anak sebagai sebuah kesempatan untuk
semakin akrab, berempati dengan emosi yang dialami anak, namun mereka
membimbing dan menentukan batas-batas tingkah laku anak-anak mereka. Akibatnya,
anak belajar mempercayai perasaan perasaanya, mengatur emosi mereka sendiri, dan
menyelesaikan masalahnya. Mereka juga mempunyai harga diri yang tinggi dan
bergaul dengan orang lain secara baik
Di bagian lain, pada buku yang sama Gottman dan De Claire juga menjelaskan lima
prinsip dasar bagi orang tua dalam melatih kecerdasan emosional anak, yaitu:

a. Menyadari emosi anak


Langkah pertama melatih anak merasakan emosi yang ada dalam diri orang tua itu
sendiri ketika anak mengalami masalah emosional. Menyadari emosi diri sendiri
sebelum merasakan emosi anak bukan berarti merubah secara frontal karakter pribadi
orang tua atau mengungkapkan secara membabi buta apa yang mereka rasakan
kepada anak, melainkan mengenali kapan orang tua merasakan suatu emosi,
mengidentifikasikan perasaan-perasaannya, dan peka terhadap hadirnya emosi pada
orang lain.
b. Mengakui emosi anak dan memanfaatkannya sebagai peluang untuk membangun
kedekatan dan mengajar kecerdasan emosional pada anak.
Adalah penting bagi orang tua memanfaatkan saat-saat kritis yang terjadi pada anak
seperti nilai lapor yang buruk, pergaulan yang terganggu, atau pengalamanpengalaman negatif lainnya, untuk berempati dan membangun kedekatan serta
mengajari cara-cara mengatasi perasaan tersebut kepada anak. Kemampuan selain
banyak menolong anak menangani perasaan-perasaannya juga merupakan wujud
konkrit dari tanggung jawab orang tua terhadap anak.
c. Mendengarkan dan empati dan meneguhkan perasaan anak
Langkah ketiga ini merupakan langkah terpenting dalam melatih kecerdasan emosi
anak. Mendengarkan dengan emosi berbeda dengan sekedar mengumpulkan data-data
lewat telinga. Mendengarkan dengan empati berarti mengunakan mata untuk
mengamati petunjuk fisik anak, menggunakan imajinasi untuk melihat situasi dari

titik pandang anak, menggunakan kata-kata untuk merumuskan kembali,


menenangkan dan tidak mengancam, memberi pertolongan kepada anak untuk
menamai (naming or labiling), dan akhirnya menggunakan hati untuk merasakan apa
yang dirasakan anak.
d. Menolong anak memberi nama emosi dengan kata-kata
Langkah ini mudah dan sekaligus sangat penting. Dalam melatihemosi anak, orang tua
perlu menolong anak memberi nama emosi-emosi mereka sewaktu emosi-emosi
tersebut timbul, misalnya; tegang, cemas, sakit hati, marah dan sebagainya. Dengan
cara ini pula, anak-anak ditolong untuk mengubah suatu perasaan yang tidak jelas,
menakutkan dan tidak nyaman menjadi sesuatu yang dapat dirumuskan, mempunyai
batas-batas, serta merupakan hal yang wajar dalam kehidupan sehari-hari.
e. Menentukan batas-batas sambil membantu anak memecahkan masalahnya.
Langkah-langkah ini meliputi lima tahap, yaitu:
1) Menetukan batas-batas
Anak-anak perlu memahami bahwa perasaan mereka bukanlah masalah, tapi yang
menjadi masalah adalah perilaku-perilaku mereka yang keliru. Semua parasaan dan
hasrat itu dapat diterima tidak semua tingkah laku mereka dapat diterima. Oleh
karenanya, tugas orang tua adalah menentukan batas-batas terhadap tindakantindakan anak bukan terhadap hasrat-hasratnya.
2) Menentukan sasaran
Untuk mengidentifikasi suatu sasaran disekitar penyelesaian masalah yang dihadapi
anak, orang tua perlu bertanya kepada anak mengenai apa yang diinginkannya
berkaitan dengan masalah yang dihadapi. Seringkali timbulnya perilaku-perilaku
negatif pada anak disebabkan masalah yang sepele, namun mereka tidak dapat
menjelaskannya. Oleh karenanya, dengan menuntun anak-anak menemukan sasaran
disekitar masalah akan membantu mereka mengatasi masalah tersebut.
3) Memikirkan pemecahan masalah yang mungkin
Setelah menetapkan sasaran yang tepat, orang tua dapat bekerja sama dengan angka
memikirkan pemecahan masalah yang mereka hadapi. Hal ini merupakan keuntungan
tersendiri bagi anak karena memungkinkanya menemukan pemecahan alternatif.
Tetapi penting sekali bagi orang tua menahan diri agar tidak mengambil alih masalah
anak dan tetap mendorong anak mengemukakan gagasan-gagasan mereka.
Anak-anak yang masih kecil orang tua dapat menyampaikan pemecahan masalah
melalui permainan-permainan yang akrab dengan anak. Sedangkan anak yang lebih

besar, orang tua dapat menggunakan proses sumbang saran. Mereka membiarkan
anaknya menyampaikan ide-idenya tanpa dibatasi.
4) Mengevaluasi pemecahan masalah yang diusulkan berdasarkan nilai-nilai keluarga
Setelah orang tua terlibat bersama anak mengemukakan gagasan-gagasannya. Mereka
juga harus mendorong anak merenungkan setiap pemecahan secara terpisah dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut ini; apakah pemecahan itu berhasil?,
apakah pemecahan itu aman?, apa akibat dari pemecahan itu?, dan berbagai
pertnayaan lainya. Hal ini membantu anak menjajaki pemecahan masalah yang akan
dipilihnya.
5) Membantu anak memilih pemecahan masalah
Ketika pemecahan masalah telah dipilih bersama, orang tua juga perlu mendorong
anak-anaknya mencoba pemecahan masalah tersebut.
Tips Melatih Kecerdasan Emosi Anak
Demikian kelima prinsip dalam melatih kecerdasan emosional anak yang dikemukakan
oleh oleh Gottman dan Claire. Dimana prinsip-prinsip tersebut juga dapat diterapkan
guru dalam melatih EQ murid-muridnya di sekolah. Tetapi ada perbedaan-perbedaan
yang fundamental antara kondisi yang dihadapi guru di sekolah. Orang tua hanya
menghadapi anak-anaknya sendiri yang semenjak lahir telah mereka ketahui
bagaimana pertumbuhan fisik dan perkembangan emosinya. Orang tua relatif
mengetahui bagaimana pola-pola penyimpangan emosi yang terjadi pada anak-anak
mereka. Sebaliknya para guru menghadapi anak-anak yang berbeda dalam berbagai
hal dan mereka tidak memiliki pengalaman yang spesifik tentang perkembangan emosi
masing-masing muridnya.
Selanjutnaya, materi yang diajarkan orang tua kepada anak-anaknya lebih berorientasi
kepada nilai-nilai moralitas dan sosial, sedangkan para guru selain menanamkan
moralitas kepada murid-muridnya, mereka juga berkewajiban mengajarkan
pengetahuan kognitif dan ketrampilan psikomotorik. Dengan kata lain, kondisi yang
dihadapi guru di kelas adalah lebih kompleks dibandingkan dengan kondisi orang tua
di rumah.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa guru tidak mungkin menyediakan waktu khusus
untuk melatih EQ murid-muridnya. Mereka dapat mengembangkan EQ muridmuridnya dalam aktivitas pembelajaran sehari-hari. Walaupun begitu tidak dapat
dipungkiri bahwa emosi adalah faktor yang sangat menentukan keberhasilan belajar
siswa. Melatih Kecerdasan Emosi Anak

A.

Pola Asuh

1. Definisi
Orang tua mempunyai peran dan fungsi yang bermacam-macam dalam keluarga, salah
satunya adalah sebagai pola asuh kepada anak. Gunarsa (2002) mengatakan bahwa
pola asuh merupakan sikap orang tua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya. Sikap
tersebut meliputi cara orang tua memberikan aturan-aturan, dalam memberikan
perhatian. Pola asuh sebagai suatu perlakuan orang tua dalam rangka memenuhi
kebutuhan, memberi perlindungan dan mendidik anak dalam kesehariannya.
Sedangkan pengertian pola asuh orang tua terhadap anak merupakan bentuk interaksi
antara anak dan orang tua.
Sedangkan Edwards (2006) mengatakan bahwa pola asuh merupakan interaksi anak
dan orang tua dalam mendidik, membimbing, dan mendisplinkan serta melindungi
anak untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam
masyarakat. Pada dasarnya pola asuh dapat diartikan seluruh cara perlakuan orang
tua yang diterapkan pada anak.
Banyak ahli mengatakan pengasuhan anak adalah bagian penting dan mendasar,
menyiapkan anak untuk menjadi masyarakat yang baik. Terlihat bahwa pengasuhan
anak menunjuk kepada pendidikan umum yang diterapkan bedasarkan nilai-nilai
keluarga, karena pola asuh anak sangat berhubungan terhadap nilai-nilai yang dimiliki
dalam suatu kekuarga. Pengasuhan terhadap anak berupa suatu proses interaksi
antara orang tua dengan anak. Peran pengasuhan atau perawatan anak lebih banyak
dipegang oleh ibu meskipun mendidik anak merupakan tanggung jawab bersama.
Dalam hal pengasuhan, proses yang utama diberikan oleh keluarga kepada anak adalah
pendidikan yang dapat menumbuhkan kemandirian anak (Supartini, 2004).
Pendidikan kemandirian untuk anak dalam keluarga merupakan awal dan pusat bagi
seluruh pertumbuhan dan perkembangan anak untuk menjadi dewasa yang mandiri,
dengan demikian menjadi hak dan kewajiban orang tua sebagai penanggung jawab
yang utama dalam mendidik anak-anaknya. Tugas orang tua adalah melengkapi anak
dengan memberikan pengawasan yang dapat membantu anak agar dapat menghadapi
kehidupan dengan sukses. Pola asuh pada dasarnya diciptakan oleh adanya interaksi
antara orang tua dan anak dalam hubungan sehari-hari yang berevolusi sepanjang
waktu, sehingga orang tua akan menghasilkan anak-anak sealiran, karena orang tua
tidak hanya mengajarkan dengan kata-kata, contoh-contoh tetapi juga dengan nasehatnasehat yang mudah dimengerti oleh anak (Hidayat, 2005).
Kemudian Rimm (2003) juga mengartikan pola asuh sebagai saran dan nasehatnasehat yang diberikan oleh keluarga, dan guru kepada anak disaat kelahiran hingga
anak lulus dari perguruan tinggi yang kesemuanya itu bermaksud baik. Sebagian dari
saran dan nasehat yang orang tua dan guru berikan akan berguna, sementara sebagian
lagi dapat berlawanan atau ketinggalan zaman. Pola asuh apapun yang keluarga dan
guru pilih untuk anak cenderung akan dikritik oleh anak setelah mereka besar.
Pola asuh yang dilakukan orang tua kepada anak, sangat memungkinkan anak menjadi
bertanggung jawab, menjadi masyarakat yang baik, memiliki karakter-karakter baik.
Apa yang dilakukan orang tua ketika anak sakit, ketika anak tidak mau makan, ketika
sedih, ketika menangis, ketika bertindak agresif, atau ketika anak berbohong. Dalam
hal ini, orang tua dituntut supaya lebih siap dalam menjalankan peran pengasuhan

terhadap anak supaya mereka memiliki keterampilan hidup dan dapat membangun
kemandirian yang optimal saat usia dewasa (Sunarti, 2004).
Shirfrin (1997, dalam supartini, 2004) mengemukakan beberapa cara yang dapat
dilakukan untuk menjadi lebih siap dalam menjalankan peran pengasuhan yaitu
dengan menjaga kesehatan anak dengan cara regular memeriksakan dan mencari
pelayanan imunisasi, mengamati segala sesuatu dengan berorientasi pada masalah
anak, memberi nutrisi yang adekuat kepada anak, memperhatikan keamanan dan
melaksanakan praktik pencegahan kecelakaan, selalu berupaya menyediakan waktu
untuk anak dan selalu memilih cara pola asuh yang tepat untuk anak.
Pola asuh orang tua yang tepat untuk anak adalah dengan menggunakan pola asuh
otoritatif yang bersikap lemah lembut kepada anak, tidak boleh berlaku keras dan
berhati kasar kepada anak, memaafkan anak-anak jika anak salah, dan memberi
ampun kepada mereka. Pola asuh yang tepat sangat bervariasi tergantung pada
masalah anak dan keadaan anak itu sendiri. Sebagai pencegahan terhadap munculnya
masalah perkembangan anak (Prayitno & Basa, 2004).
Dari uraian pola asuh di atas dapat disimpulkan bahwa pola asuh merupakan cara
orang tua mendidik, membimbing, melindungi dan mengontrol anak-anak mereka
dalam kehidupan sehari-hari di rumah.
2. Macam-Macam Pola Asuh
Wong et al.(2008) mengategorikan pola asuh menjadi tiga jenis, yaitu: pola asuh
permisif, otoriter dan otoritatif.
a)

Pola Asuh Permisif


Pola asuh permisif merupakan jenis pengasuhan orang tua yang tidak
memberikan batasan kepada anak-anak mereka. Orang tua terlalu cuek terhadap
anaknya. sehingga, apa pun yang mau dilakukan anak diperbolehkan seperti, tidak
sekolah, bandel, melakukan pergaulan bebas negatif dan sebagainya (Prayitno & Basa,
2004).
Jenis pola asuh permisif, orang tua bersikap longgar, tidak terlalu memberi
bimbingan dan kontrol, perhatian pun terkesan kurang. Kendali anak sepenuhnya
terdapat pada anak itu sendiri. Pola pengasuhan permisif diakibatkan oleh orang tua
yang terlalu sibuk dengan pekerjaan lain sehingga lupa untuk mendidik dan mengasuh
anak dengan baik. Anak hanya diberi materi atau harta saja dan terserah anak itu mau
tumbuh dan berkembang menjadi apa. Dengan begitu anak nantinya akan berkembang
menjadi anak yang kurang perhatian, merasa tidak berarti, rendah diri, nakal, tidak
peduli dengan tanggung jawab, memiliki kemampuan sosialisasi yang buruk, kontrol
diri buruk, salah bergaul, kurang menghargai orang lain, baik ketika kecil maupun
sudah dewasa. ini merupakan cara terburuk dalam mengasuh anak (Fathi, 2003).
Pola asuh permisif cenderung memberi kebebasan terhadap anak untuk berbuat
apa saja ternyata tidak sangat kondusif bagi pembentukan karakter anak. Secerdas dan
sehebat apapun seorang anak, anak tetap memerlukan arahan dari orang tua untuk
mengenal mana yang baik dan mana yang salah. Memberi kebebasan yang berlebihan,
terkesan membiarkan, akan membuat anak bingung dan berpotensi salah arah (Fathi,
2003).

Wong at al. (2008) menjelaskan bahwa dalam pola asuh permisif, orang tua
memiliki sedikit kontrol atau tidak sama sekali atas tindakan anak-anak mereka.
Orang tua yang bermaksud baik kadang-kadang bingung antara sikap permisif dan
pemberi izin. Mereka menghindari untuk memaksakan standar prilaku mereka dan
mengizinkan anak mereka untuk mengatur aktivitas mereka sendiri sebanyak
mungkin.
Yahaya & Latif (2006) menggambarkan pola asuh permisif dicirikan oleh corak
komunikasi yang terbuka dan orang tua kurang menekankan tingkah laku yang baik
pada anak. Sikap pola asuh orang tua yang permisif adalah:
1)
Tidak membuat peraturan kepada anak dan anak selalu diberi kebebasan yang
penuh.
2)
Kurang menggunakan kontrol dan apabila perlu, mereka menggunakan
penjelasan ataupun sebab-sebab dan tidak menggunakan kuasa ataupun kekerasan
dalam mengasuh anak.
3) Tidak menggunakan kuasa secara terbuka dan langsung.
4)
Berkomunikasi secara terbuka dan tidak mencoba membentuk tingkah laku anak.
5) Tidak bersifat menghukum dan meneriama impuls dan keinginan anak.
6)
Berperanan sebagai sumber yang memenuhi kehendak anak dan bukan sebagai
agen-agen aktif yang terlibat dalam penentuan tingkah laku anak.
7)
Membiarkan anak mengatur aktivitas-aktivitas sendiri tanpa pengawasan orang
tua.
8)
Mencoba menyediakan keadaan yang membimbing kearah perkembangan anak
tetapi gagal membentuk hak-hak batasan yang tegas kepada anak atau pun
menghendaki anak bertingkah laku matang.
Sedangkan menurut Wong at al. (2008) orang tua yang menerapkan pola asuh
permisif mempunyai ciri sebagai berikut:
1)
Kurang memberikan kontrol.
2)
Mengizinkan anak untuk berbuat apa saja.
3)
Tidak ada aturan ketat dari orang tua, dan anak diperbolehkan melakukan
sesuatu yang dianggap benar.
4)
Reward tidak diberikan untuk perilaku yang baik, karena ada anggapan bahwa
persetujuan sosial sebagai reward.
5)
Punishment tidak diberikan karena memang tidak ada aturan yang mengikat.
6) Tidak menetapkan batasan-batasan yang logis.
7)
Orang tua menganggap dirinya sebagai sumber bukan sebagai model peran untuk
anak.
b)

Pola Asuh Otoriter


Pola asuh otoriter merupakan suatu bentuk perlakuan orang tua ketika
berinteraksi dengan anaknya yang pada umumnya sangat ketat dan kaku dalam
pengasuhan anak. Anak-anak tidak diberi kebebasan untuk menentukan keputusan
karena semua keputusan berada ditangan orang tua. Orang tua yang otoriter
menekankan kepatuhan anak terhadap peraturan yang mereka buat tanpa banyak
bertanya, tidak menjelaskan kepada anak-anak tentang latar belakang. Orang tua

kadang-kadang menolak keputusan anak dan sering menerapkan hukuman semenamena kepada anak (Widyarini, 2003).
Yahya & Latif (2006) mengartikan pola asuh otoriter sebagai suatu cara dimana
orang tua menggunakan pengawasan yang ketat pada tingkah laku anak dengan
membuat peraturan, memastikan nilai-nilai dipatuhi oleh anak dan tidak
membenarkan anak mengikuti peraturan-peraturan dan nilai-nilai yang diterapkan
oleh orang tua tersebut.
Cara pengasuhan otoriter sangat tegas, ketat, dan melibatkan beberapa bentuk aturanaturan yang harus dipatuhi oleh anak-anak tanpa mau tahu perasaan anak. Orang tua
akan emosi jika anak melakukan hal yang tidak sesuai dengan yang diinginkan oleh
orang tua. Hukuman mental dan fisik akan sering diterima oleh anak-anak dengan
alasan agar anak terus tetap patuh dan disiplin serta menghormati orang tua yang telah
membesarkannya. Anak yang besar dengan teknik asuhan seperti ini biasanya tidak
bahagia, paranoid atau selalu berada dalam ketakutan, mudah sedih dan tertekan,
senang berada di luar rumah, benci orang tua dan sebagainya (Prayitno & Basa, 2004).
Sikap otoriter yang digunakan orang tua dalam pola asuh anak, akan menimbulkan
gangguan psikologis yang sangat bearti dalam kehidupan anak. Apabila ini terjadi pada
saat anak dalam proses tumbuh kembang maka kemungkinan pencapaian kematangan
anak akan terhambat. Dengan demikian, pola asuh secara otoriter yang digunakan
keluarga dalam mendidik anak sangat tidak dianjurkan karena akan memperberat
kondisi anak dalam keluarga (Hidayat, 2005).
Keluarga yang menganut pola asuh otoriter biasanya, anak-anak mereka tidak
memiliki kebebasan untuk menentukan keputusan, bahkan untuk dirinya sendiri
karena semua keputusan berada ditangan orang tua dan dibuat oleh orang tua,
sementara anak harus mematuhinya tanpa ada kesempatan untuk menolak ataupun
mengemukakan pendapat. Pola asuh otoriter cenderung membatasi perilaku kasih
sayang, sentuhan, dan kelekatan emosi orang tua dengan anak, sehingga antara orang
tua dan anak seakan memiliki dinding pembatas (Fathi, 2003).
Wong at al. (2008) menjelaskan bahwa pola asuh otoriter, orang tua mencoba untuk
mengontrol perilaku dan sikap anak melalui perintah yang tidak boleh di batah.
Mereka menetapkan aturan yang dituntut untuk diikuti secara kaku dan tidak boleh
dipertanyakan. Mereka menilai dan memberi penghargaan atas kepatuhan absolut.
Otoriter orang tua dengan penjelasan yang sedikit dan keterlibatan anak yang sedikit
dalam pengambilan keputusan, seperti lalukan saja karena saya mengatakan begitu.
Sifat-sifat pola asuh otoriter dapat digambarkan sebagi berikut (Yahya & Latif, 2006).
1)
Mengkontrol tingkah laku anak dengan menggunakan peraturan-peraturan yang
ketat, menilai tinggi ketaatan dan keakuran.
2)
Tidak mengamalkan tolak ansur secara lisan dan anak-anak harus mengikuti
perintah tanpa pengecualian.
3)
Keputusan orang tua tidak boleh dibantah.
4)
Apa yang dikatakan oleh orang tua itu menjadi undang-undang yang harus
dipatuhi oleh anak.
5)
Menggunakan kaedah-kaedah disiplin yang bersifat hukuman.

6)
Tidak responsif atas kehendak anak, bersikap tidak fleksibel dan ketat dalam
pengawalan tingkah laku anak.
Sedangkan Wong at al. (2008) menkategorikan ciri-ciri orang tua yang menerapkan
pola asuh otoriter sebagai berikut.
1)
Kaku.
2) Tegas.
3)
Orang tua memaksa anak-anak untuk patuh pada nilai-nilai mereka.
4)
Membatasi keputusan dari anak.
5)
Mengabaikan alasan-alasan yang masuk akal dan anak tidak diberi kesempatan
untuk menjelaskan.
6)
Reward penghargaan jarang diberikan pada perbuatan anak yang benar, baik
dan berprestasi.
7)
Punishment hukuman selalu diberikan pada perbuatan anak yang salah dan
melanggar aturan.
8)
Suka menghukum anak secara fisik.
Menurut Middlebrook (1993, dalam Fathi, 2003) hukuman fisik yang biasanya
diterapkan dalam pola asuh otoriter kurang efektif untuk membentuk tingkah laku
anak. Hal itu dapat menyebabkan beberapa masalah diantaranya sebagai berikut:
1)
Menyebabkan anak marah dan frustasi. Secara psikologis tentu sangat
mengganggu pribadi anak sendiri sehingga anak juga tidak akan bisa belajar dengan
optimal.
2)
Timbulnya perasaan-perasaan menyakitkan atau sakit hati pada diri anak yang
mendorng tingkah laku agresif.
3)
Akibat hukuman-hukuman itu dapat meluas sasarannya dan lebih membawa efek
negatif. Misalnya, anak menahan diri untuk memukul atau merusak hanya ketika
orang tua ada didekatnya, tetapi akan segera melakukan tindakan merusak setelah
orang tua tidak ada.
4)
Tingkah laku agresif orang tua akan menjadi contoh bagi anak sehingga anak
akan menirunya.
Pola asuh otoriter yang diterapakan orang tua kepada anak cenderung bersifat tidak
puas dengan diri anak, tidak boleh dipercaya, selalu berubah mengikuti keadaan,
cemas, ganas secara pasif, mudah tersinggung, bersikap negatif dalam berhubungan
dengan kawan-kawan sebaya dan menarik diri secara sosial.
c)
Pola Asuh Otoritatif
Pola asuh otoritatif merupakan sikap orang tua yang mengizinkan dan mendorong
anak untuk membicarakan masalah mereka, memberi penjelasan yang rasional tentang
peran anak dirumah dan menghormati peran serta orang tua dalam pengambilan
keputusan meskipun orang tua pemegang tanggung jawab yang tinggi dalam keluarga
(Prayitno & Basa, 2004).
Pola asuh otoritatif, didasari atas pengertian dan rasa hormat orang tua terhadap
anaknya. Disini orang tua memberi kebebasan pada anak untuk berkreasi dan
mengeksplorasi berbagai hal sesuai usia perkembangan anak, dengan mensensor
batasan dan pengawasan yang baik dari orangtua. Pola asuh otoritatif adalah pola

pengasuhan yang cocok dan baik untuk diterapkan para orang tua kepada anakanaknya. Anak yang diasuh dengan tehnik asuhan otoritatif akan hidup ceria,
menyenangkan, kreatif, cerdas, percaya diri, terbuka pada orang tua, menghargai dan
menghormati orang tua, tidak mudah stres dan depresi, berprestasi baik, disukai
lingkungan dan masyarakat lainnya (Prayitno & Basa, 2004).
Dalam pola asuh otoritatif, orang tua berusaha mengarahkan anaknya secara rasional,
berorientasi pada maslah yang dihadapi, menghargai komunikasi yang saling memberi
dan menerima, menjelaskan alasan yang rasional yang mendasari tiap-tiap permintaan
tetapi juga menggunakan kekuasaan bila perlu, mengharapkan anak untuk mematuhi
orang dewasa dan kemandirian, saling menghargai antara anak dan orang tua. Orang
tua tidak mengambil posisi mutlak dan tidak juga mendasari pada kebutuhan anak
semata (Widyarini, 2003).
Menurut Wong et al. (2008) pola asuh otoritatif ditandai dengan ciri-ciri sebagai
berikut:
1)
Kontrol yang kuat disertai dukungan, pengertian dan keamanan.
2)
Semua keputusan merupakan keputusan anak dan orang tua.
3)
Mengizinkan anak untuk mengeksplorasi bakat dan kemampuannya.
4)
Dalam bertindak, orang tua selalu memberikan alasan yang masuk akal kepada
anak.
5)
Anak diberi kesempatan untuk menjelaskan mengapa ia melanggar peraturan
sebelum hukuman dijatuhkan.
6)
Punishment diberikan kepada perilaku yang salah dan melanggar peraturan.
7)
Reward yang berupa pujian dan penghargaan diberikan kepada perilaku yang
benar dan berprestasi.
8)
Orang tua selalu memilih pendidikan yang terbaik untuk anaknya.
Sedangkan Yahya & Latif (2006), menggambarkan sifat orang tua dalam otoritatif
sebagai berikut.
1)
Orang tua lebih fleksibel dan rasional dalam mendidik anak.
2)
Menggunakan kontrol tegas tetapi membenarkan kebebasan yang sesuai dengan
tahap perkembangan anak.
3)
Menjelaskan nilai-nilai mereka dan menaruh harapan yang tinggi supaya anak
mematuhinya.
4)
Peramah dan tidak melihat diri sebagai manusia yang tidak membuat kesilapan
dalam tanggung jawab mereka sebagai orang tua.
5)
Responsive, memberi kesempatan dan menghormati kepentingan anak, mesra
tapi tegas.
Pola asuh otoritatif lebih kondusif dalam pendidikan anak. Hal ini terbukti dari
penelitian yang dilakukan oleh Baumrind, yang menunjukkan bahwa orang tua yang
otoritatif lebih mendukung perkembangan anak terutama dalam hal kemandirian dan
tanggung jawab (Fathi, 2003).
Menurut Arkoff (1993, dalam Fathi, 2003) anak yang dididik dengn cara otoritatif
umumnya cenderung mengungkapkan agresifitasnya dalam tindakan yang konstruktif
atau dalam bentuk kebencian yang bersifat sementara. Artinya, jika marah,
kemarahannya tidak akan berlarut-larut apa lagi sampai mendendam. Disisi lain, anak

yang dididik secara otoriter atau ditolak akan memiliki kecenderungan untuk
mengungkapkan agresifitasnya dalam bentuk tindakan-tindakan yang merugikan.
Sementara itu, anak yang dididik secara permisif cenderung mengembangkan tingkah
laku agresif secara terbuka atau terang-terangan.
Bedasarkan ciri-ciri pola asuh diatas, dapat disimpulkan bahwa pola asuh
otoriter memiliki ciri pokok tidak demokratis dan menerapkan kontrol yang kuat.
Berbeda dengan pola asuh otoritatif yang bersifat demokratis, tetapi juga menerapkan
kontrol. Berbeda juga dengan pola asuh permisif yang bersifat demokratis, tetapi tanpa
memberi kontrol kepada anak. Dengan pendekatan yang tidak demokratis dan
pemberian kontrol yang ketat dalam pola asuh otoriter, tidak mengherankan bila pola
asuh otoriter yang akan mengakibatkan atau berdampak negatif terhadap anak.
3. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh
Wong (2001, dalam Supartini, 2004) mengatakan faktor-faktor yang mempengaruhi
pola asuh orang tua sebagai berikut.
a)
Pendidikan Orang Tua.
Pendidikan diartikan sebagai pengaruh lingkungan atas individu untuk menghasilkan
perubahan-perubahan yang tetap atau permanen didalam kebiasaan tingkah laku,
pikiran dan sikap. Edwards (2006) menyimpulkan bahwa pendidikan orang tua dalam
perawatan anak akan mempengaruhi persiapan mereka menjalankan pengasuhan. Ada
beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menjadi lebih siap dalam menjalankan
peran pengasuhan antara lain: mengamati segala sesuatu dengan berorientasi pada
masalah anak, selalu berupaya menyediakan waktu untuk anak-anak, menilai
perkembangan fungsi keluarga dan kepercayaan anak dan terlibat aktif dalam setiap
pendidikan anak.
b)
Usia Orang Tua.
Tujuan undang-undang perkawinan salah satunya adalah memungkinkan pasangan
untuk siap secara fisik maupun psikososial dalam membentuk rumah tangga dan
menjadi orang tua. Usia antara 17 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk laki-laki
mempunyai alasan kuat dalam kaitannya dengan kesiapan menjadi orang tua.
Walaupun demikian, rentang usia tertentu adalah baik untuk menjalankan peran
pengasuhan. Apabila terlalu muda atau terlalu tua, mungkin tidak dapat menjalankan
peran tersebut secara optimal karena diperlukan kekuatan fisik dan psikososial.
c)
Keterlibatan Ayah.
Peran ayah dalam keluarga telah berubah dramatis dari generasi lalu jika
dibandingkan dengan generasi orang-orang tua dahulu. Perubahan tersebut biasanya
menyenangkan bagi para ibu dan juga para ayah itu sendiri (Rimm, 2003).
Pendekatan mutakhir yang digunakan dalam hubungan ayah dan bayi baru lahir, sama
pentingnya hubungan antara ibu dan anak bayi sehingga dalam proses persalinan, ibu
dianjurkan ditemui suami dan begitu bayi lahir, suami diperbolehkan untuk
mengendongnya langsung setelah ibunya mendekap dan menyusukannya (bonding and
attachment). Dengan demikian, kedekatan hubungan antara ibu dan anak sama
pentingnya dengan ayah dan anak walaupun secara kodrati akan ada perbedaan, tetapi
tidak mengurangi makna penting hubungan tersebut. Pada beberapa ayah tidak
terlibat secara langsung pada bayi baru dilahirkan. Maka beberapa hari atau minggu

kemudian dapat melibatkan dalam perawatan bayi, seperti mengganti popok, bermain
dan berinteraksi sebagai upaya untuk terlibat dalam perawatan anak (Supartini, 2004).
d) Pengalaman Sebelumnya dalam Mengasuh Anak.
Orang tua yang sudah mempunyai pengalaman sebelumnya dalam mengasuh anak
akan lebih siap menjalankan peran pengasuhan, selain itu orang tua akan lebih mampu
mengamati tanda-tanda pertumbuhan dan perkembangan yang normal.
Hasil riset menunjukkan bahwa orang tua yang telah mempunyai pengalaman
sebelumnya dalam merawat anak akan lebih siap menjalankan peran pengasuhan dan
lebih relaks. Selain itu, mereka akan lebih mampu mengamati tanda-tanda
pertumbuhan dan perkembagan anak yang normal.
Pertumbuhan merupakan bertambah jumlah dan besarnya sel diseluruh bagian tubuh
anak yang secara kuantitatif dapat ditulis. Sedangkan perkembagan merupakan
bertambah sempurnanya fungsi alat tubuh anak yang dapat dicapai melalui tumbuh
kematangan dan belajar (Hidayat 2005).
e)
Stres Orang Tua.
Stres yang dialami oleh ayah atau ibu atau keduanya akan mempengaruhi kemampuan
orang tua dalam menjalankan peran sebagai pengasuh, terutama dalam kaitannya
dengan strategi koping yang dimilki dalam menghadapi permasalahan anak. Walaupun
demikian, kondisi anak juga dapat menyebabkan stres pada orang tua, misalnya anak
dengan temperemen yang sulit atau anak dengan masalah keterbelakangan mental.
Stres merupakan suatu perasaan tertekan yang disertai dengan meningkatnya emosi
yang tidak menyenangkan yang dirasakan oleh orang tua, seperti marah yang
berlangsung lama, gelisah, cemas dan takut. Stres adalah istilah yang muncul
bersamaan kehidupan masyarakat saat ini. Orang tua mengatasi stress dengan cara
yang berbeda-beda. Orang tua yang mengalami stres, akan mencari kenyamanan atas
kegelisahan jiwanya dengan cara berbicara kepada anak (Prayitno & Basa, 2004).
Sedangkan menurut Wong et al. (2008) ada empat faktor yang mempengaruhi pola
asuh, yaitu:
a)
orang tua yang telah memiliki pengalaman, seperti pengalaman dengan anak lain,
tampaknya lebih santai dan memiliki lebih sedikit konflik dalam hubungan disiplin,
dan mereka lebih mengetahui perkiraan pertumbuhan dan perkembangan yang
normal.
b)
jumlah stres yang dialami oleh salah satu dari kedua orang tua dapat
mengganggu kemampuan mereka untuk menunjukkan kesabaran dan pengertian atau
dalam menghadapi perilaku anak mereka.
c)
karakteristik, seperti memiliki temperamen yang sulit, dapat menyebabkan orang
tua kehilangan kepercayaan diri dan meragukan kemampuan mereka dalam mengasuh
anak.
d)
hubungan perkawinan orang tua yang dapat memberi efek negatif terhadap pola
asuh, karena tekanan atau ketegangan pernikahan dapat mengganggu rutinitas
pemberian perawatan dan mengganggu kesenangan bersama dengan anak. Sebaliknya,
orang tua yang saling mendukung dan mendorong dapat memberi pengaruh positif
pada terciptanya peran menjadi orang tua yang memuaskan (Wong et al., 2008).

B. Kemandirian Anak
1. Definisi Kemandirian Anak
Kemandirian anak merupakan kemampuan anak untuk melakukan kegiatan dan tugas
sehari-hari sendiri atau dengan sedikit bimbingan, sesuai dengan tahap perkembangan
dan kemampuan anak (Prasasti & Lie, 2005). Menurut Familia (2006), Kemandirian
anak adalah anak yang mampu berpikir dan berbuat untuk dirinya sendiri. Seorang
anak yang mandiri biasanya aktif, kreatif, kompeten, tidak tergantung pada orang lain,
dan tampak spontan. Kemandirian pada anak sangat penting karena mereka salah
satu life skil yang perlu dimiliki.
Kemandirian diartikan sebagai suatu sikap yang harus dikembangkan oleh seorang
anak untuk dapat menjalani kehidupan tanpa ketergantungan pada orang lain.
Kemandirian tidak hanya berlaku bagi anak tetapi juga pada semua tingkatan usia.
Setiap manusia perlu mengembangkan kemandirian dan melaksanakan tanggung
jawab sesuai dengan kapasitas dan tahapan perkembangannya. Secara alamiah anak
mempunyai dorongan untuk mandiri dan bertanggung jawab atas diri sendiri.
Tanggung jawab merupakan perilaku anak yang menentukan bagaimana anak bereaksi
terhadap situasi setiap hari, yang memerlukan beberapa jenis keputusan yang bersifat
moral di dalam membentuk kemandirian (Prasasti & Lie, 2005).
Brammer & shostrom (1982, dalam Ali & Asrori, 2010) mengatakan, bahwa
pembahasan mengenai kemandirian tidak terlepas dari pembahasan mengenai
perkembangan kemandirian anak itu sendiri. Soelaeman (1988, dalam Wong, 2010)
mengatakan bahwa perkembagan kemandirian merupakan proses yang menyangkut
unsur-unsur normatif, yang mengandung makna bahwa kemandirian merupakan suatu
proses yang terarah. Peran orang tua dalam pengasuhan anak usia prasekolah sangat
penting karena orang tua adalah guru pertama dalam pendidikan anak untuk
mengembangkan kemandiriannya.
Wong et al. (2010) mengungkapkan bahwa usaha pendidikan yang dilakukan secara
sungguh-sungguh oleh orang tua untuk mengembangkan kemandirian anak menjadi
sangat penting karena selain problema anak dalam bentuk perilaku negatif juga
terdapat gejala negatif yang dapat menjauhkan anak dari kemandirian diusia
selanjutnya yang berdampak negatif bagi anak. Kartadinata (1988, dalam Wong et al.,
2010) mengemukakan gejala-gejala tersebut sebagai berikut.
a)
Ketergantungan disiplin kepada kontrol luar dan bukan karena nilai sendiri yang
ikhlas. Perilaku seperti ini akan mengarah kepada perilaku formalistik dan ritualistik
serta tidak konsisten. Situasi seperti ini akan menghambat pembentukan etos kerja dan
etos kehidupan yang mapan sebagai salah satu ciri dari kualitas sumber daya dan
kemandirian anak.
b)
Sikap tidak peduli terhadap lingkungan hidup. anak mandiri bukanlah anak yang
lepas dari keluarganya melainkan anak yang bertranseden terhadap keluarganya.
Ketidakpedulian terhadap lingkungan hidup merupakan gejala perilaku impulsif yang
menunjukkan bahwa kemandirian anak masih rendah.

c)
Sikap hidup kompromistik tanpa pemahaman dan kompromistik dengan
mengorbankan prinsip. Gejala mitos bahwa segala sesuatunya dapat diatur yang
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat merupakan petunjuk ketidakjujuran
berfikir dan bertindak serta kemandirian yang masih rendah.
Gejala-gejala yang dipaparkan Kartadina di atas merupakan sebagian kendala
utama dalam mempersiapkan kemandirian anak dalam kehidupan dimasa mendatang
yang penuh tantangan. Oleh sebab itu, perkembangan kemandirian anak menuju
kearah kesempurnaan menjadi sangat penting untuk diikhtiarkan secara serius,
sistematis dan terprogram. Sebab, masalah kemandirian sesungguhnya bukanlah hanya
masalah dalam generasi (intergeneration), tetapi juga masalah antargenerasi (between
generation). Perubahan tata nilai yang terjadi dalam generasi dan antargenerasi akan
tetap memposisikan kemandirian sebagi isu aktual dalam perkembangan anak (Wong
et al., 2010).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kemandirian anak merupakan suatu
kemampuan untuk berfikir, merasakan, serta anak melakukan sesuatu atas dorongan
diri sendiri dan mampu mengatur diri sendiri sesuai dengan kewajibannya dalam
kehidupan sehari-hari tanpa dibantu oleh orang lain.
2. Ciri-Ciri Kemandirian Anak
Adapun ciri khas kemandirian pada anak, diantaranya (Familia, 2006).
a)
Anak yang mandiri mempunyai kecenderungan memecahkan masalah dari pada
berkutat dalam kekhawatiran bila terlibat masalah.
b)
Anak yang mandiri tidak takut dalam mengambil resiko karena sudah
mempertimbangkan hasil sebelum berbuat.
c)
Anak percaya terhadap penilaian sendiri, sehingga tidak sedikit-sedikit bertanya
atau meminta bantuan.
d) Anak mempunyai kontrol yang lebih baik terhadap kehidupannya.
Masrun, dkk (1986, diakses melalui www.lib.ug.co.id diperoleh pada tanggal 13
November 2011) membagi kemandirian ke dalam lima komponen yaitu sebagai berikut.
a) bebas, artinya bertindak atas kehendaknya sendiri bukan karena orang lain dan
tidak bergantung pada orang lain.
b) progresif, artinya berusaha untuk mengejar prestasi, tekun dan terencana dalam
mewujudkan harapannya.
c) inisiatif, yaitu mampu berpikir dan bertindak secara original, kreatif dan penuh
inisiatif.
d) terkendali dari dalam, dimana individu mampu mengatasi masalah yang dihadapi,
mampu mengendalikan tindakannya serta mampu mempengaruhi lingkungan, dan atas
usahanya sendiri.
e) kemantapan diri (harga diri dan percaya diri), termasuk dalam hal ini mempunyai
rasa percaya terhadap kemampuan diri sendiri, menerima dirinya dan memperoleh
kepuasan dari usahanya.
3. Aspek-Aspek Kemandirian Anak
Havighurst (1972, dalam Agus, Ds. 2009) menkategorikan aspek-aspek kemandirian
anak sebagai berikut.

a)
Aspek intelektual, yaitu kemauan untuk berfikir dan menyelesaikan masalah
sendiri.
b) Aspek sosial, yaitu kemauan untuk membina relasi secara aktif.
c) Aspek emosi, yaitu kemauan untuk mengelola emosinya sendiri.
d) Aspek ekonomi, yaitu kemauan untuk mengatur ekonomi sendiri.
Sedangkan menurut Ara (1998, di akses melalui www.papers.gunadarma.ac.id
diperoleh pada tanggal 13 November 2011). Aspek-aspek kemandirian anak sebagai
berikut.
a)
Kebebasan
Kebebasan merupakan hak asasi bagi setiap manusia, begitu juga seorang anak. Anak
cenderung akan mengalami kesulitan untuk mengembangkan kemampuan dirinya dan
mencapai tujuan hidupnya, bila tanpa kebebasan. Perwujudan kemandirian seseorang
dapat dilihat dalam kebebasannya membuat keputusan.
b)
Inisiatif
Inisiatif merupakan suatu ide yang diwujudkan ke dalam bentuk tingkah laku.
Perwujudan kemandirian seseorang dapat dilihat dalam kemampuannya untuk
mengemukakan ide, berpendapat, memenuhi kebutuhan sendiri dan berani
mempertahankan sikap.
c)
Percaya Diri
Kepercayaan diri merupakan sikap individu yang menunjukkan keyakinan bahwa
dirinya dapat mengembangkan rasa dihargai. Perwujudan kemandirian anak dapat
dilihat dalam kemampuan untuk berani memilih, percaya akan kemampuannya dalam
mengorganisasikan diri dan menghasilkan sesuatu yang baik.
d) Tanggung Jawab
Aspek tanggung jawab tidak hanya ditunjukkan pada diri anak itu sendiri tetapi juga
kepada orang lain. Perwujudan kemandirian dapat dilihat dalam tanggung jawab
seseorang untuk berani menanggung resiko atas konsekuensi dari keputusan yang telah
diambil, menunjukkan loyalitas dan memiliki kemampuan untuk membedakan atau
memisahkan antara kehidupan dirinya dengan orang lain di lingkungannya.
e)
Ketegasan Diri
Ketegasan diri menunjukkan adanya suatu kemampuan untuk mengandalkan dirinya
sendiri. Perwujudan kemandirian seeorang dapat dilihat dalam keberanian seseorang
untuk mengambil resiko dan mempertahankan pendapat meskipun pendapatnya
berbeda dengan orang lain.
f)
Pengambilan Keputusan
Dalam kehidupannya, anak selalu dihadapkan pada berbagai pilihan yang
memaksanya mengambil keputusan untuk memilih. Perwujudan kemandirian
seseorang anak dapat dilihat di dalam kemampuan untuk menemukan akar
permasalahan, mengevaluasi segala kemungkinan di dalam mengatasi masalah dan
berbagai tantangan serta kesulitan lainnya, tanpa harus mendapat bantuan atau
bimbingan dari orang yang lebih dewasa.

g)

Kontrol Diri

Kontrol diri memiliki pengertian yaitu suatu kemampuan untuk menyesuaikan diri
dengan lingkungan sosialnya, baik dengan mengubah tingkah laku atau menunda
tingkah laku, tanpa peraturan atau bimbingan dari orang lain. Dengan kata lain,
sebagai kemempuan untuk mengontrol diri dan perasannya, sehingga seseorang tidak
merasa takut, tidak cemas, tidak ragu atau tidak marah yang berlebihan saat dirinya
berinteraksi dengan orang lain atau lingkungan.
4.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemandirian Anak
Basri (1995, di akses melalui www.papers.gunadarma.ac.id diperoleh pada tanggal 13
November 2011). berpendapat bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
pembentukan kemandirian anak sebagai berikut.
a)
Faktor Internal
Faktor internal merupakan semua pengaruh yang bersumber dari dalam diri anak itu
sendiri, seperti keadaan keturunan dan konstitusi tubuhnya sejak lahir dengan segala
perlengkapan yang melekat padanya.
1)
Faktor Peran Jenis Kelamin
Secara fisik anak laki-laki dan wanita tampak jelas perbedaan dalam perkembangan
kemandiriannya. Dalam perkembangan kemandirian anak laki-laki biasanya lebih
aktif dari pada anak perempuan.
2)
Faktor Kecerdasan atau Intelegensi
Anak yang memiliki intelegensi yang tinggi akan lebih cepat menangkap sesuatu yang
membutuhkan kemampuan berfikir. Sehingga, anak yang cerdas cenderung cepat
dalam membuat keputusan untuk bertindak, dibarengi dengan kemampuan
menganalisis yang baik terhadap resiko-resiko yang akan dihadapi. Intelegensi
berhubungan dengan tingkat kemandirian anak. Artinya, semakin tinggi intelegensi
seseorang anak maka semakin tinggi pula tingkat kemandiriannya.
3)
Faktor Perkembangan
Kemandirian akan banyak memberikan dampak yang positif bagi perkembangan anak.
Oleh sebab itu, orang tua perlu mengajarkan kemandirian sedini mungkin sesuai
dengan kemampuan anak.
b) Faktor Eksternal
Faktor eksternal merupakan pengaruh yang berasal dari luar anak, sering pula
dinamakan faktor lingkungan. Lingkungan kehidupan yang dihadapi anak sangat
mempengaruhi perkembangan keperibadian seseorang, baik dalam segi-segi positif
maupun negatif. Biasanya, jika lingkungan keluarga, sosial, dan masyarakatnya.
Meskipun cenderung akan berdampak positif dalam hal kemandirian anak terutama
dalam bidang nilai dan kebiasaan dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupan.
1)
Faktor Pola Asuh
Untuk dapat mandiri seseorang membutuhkan kesempatan, dukungan dan dorongan
dari keluarga serta lingkungan di sekitarnya. Pada saat ini orang tua dan respon dari
lingkungan sangat diperlukan bagi anak untuk setiap perilaku yang telah
dilakukannya.

2)

Faktor Sosial Budaya

Faktor sosial budaya merupakan salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi
kemandirian anak, terutama di Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku
bangsa dengan latar belakang sosial budaya yang beragam.
C. Anak Prasekolah
1. Definisi Anak Prasekolah
Anak prasekolah merupakan mereka yang berusia 3 sampai 6 tahun (Hidayat, 2005).
Sedangkan menurut Supartini (2004) Anak usia prasekolah adalah pribadi yang
mempunyai berbagai macam potensi yang harus dikembangkan. Potensi yang harus
dikembangkan anak adalah kemandirian, karena pada usia prasekolah anak sudah
mulai belajar memisahkan diri dari keluarga dan orang tuanya untuk memasuki suatu
lingkungan yang lebih luas yaitu lingkungan Taman Kanak-Kanak atau taman
bermain. Taman Kanak-Kanak adalah salah satu bentuk pendidikan prasekolah yang
menyediakan program pendidikan dini bagi anak usia 4 tahun sampai memasuki
pendidikan dasar.
Pada usia prasekolah, anak sudah mulai mampu mengembangkan kreativitasnya dan
sosialisasi sehingga sangat diperlukan permainan yang dapat mengembangkan
kemampuan menyamakan dan membedakan, kemampuan berbahsa, mengembangkan
kecerdasan, menumbuhkan sportifitas, memperkenalkan pengertian yang bersifat ilmu
pengetahuan, memperkenalkan suasana kompetensi, gotong-royong, mengembangkan
koordinasi motorik, mengembangkan dalam mengontrol emosi, motorik kasar dan
halus (Hidayat, 2005).
Hidayat (2005) menggambarkan perkembangan-perkembangan fisik pada anak
prasekolah, seperti badan mengalami kenaikan rata-rata pertahunnya adalah 2 kg,
kelihatan kurus akan tetapi aktivitas motorik tinggi, di mana sistem tubuh sudah
mencapai kematangan seperti berjalan dan melompat. Pada pertumbuhan khususnya
ukuran tinggi badan anak akan bertambah rata-rata 6,75-7,5 cm setiap tahunnya.
2. Ciri-Ciri Anak Usia Prasekolah
Snowman (1993, dalam potmonodewo, 2003), mengemukakan ciri-ciri anak usia
prasekolah yang biasa ada di TK, yang meliputi aspek fisik, sosial, emosi dan kognitif
anak.
a)
Ciri Fisik Anak Prasekolah atau TK
Penampilan maupun gerak-gerik prasekolah mudah dibedakan dengan anak yang
berada dalam tahapan sebelumnya. Anak prasekolah umumnya sangat aktif. Mereka
telah memilki penguasan atau kontrol terhadap tubuhnya dan sangat menyukai
kegiatan yang dilakukannya sendiri.
b)
Ciri Sosial Anak Prasekolah atau TK
Anak prasekolah biasanya mudah bersosialisasi dengan orang disekitarnya. Umumnya
anak pada tahapan ini memiliki satu atau dua sahabat, tetapi sahabat ini cepat
berganti. Mereka umumnya dapat cepat menyesuaikan diri secara sosial.
c)
Ciri Emosional pada Anak Usia Prasekolah atau TK
Anak TK cenderung mengekspresikan emosinya dengan bebas dan terbuka. Sikap
marah sering diperlihatkan oleh anak pada usia tersebut.
d) Ciri Kognitif pada Anak Usia Prasekolah atau TK

Anak prasekolah umumnya telah terampil dalam berbahasa. Sebagian dari mereka
senang bicara, khususnya dalam kelompok.
3. Karakteristik Bermain pada Masa Prasekolah
Bermain merupakan suatu aktivitas di mana anak dapat melakukan atau
mempraktikkan keterampilan, memberikan ekspresi terhadap pemikiran, menjadi
kreatif, mempersiapkan diri untuk berperan dan berperilaku dewasa (Hidayat, 2005).
Suryadi (2010) menggambarkan karakteristik bermain anak prasekolah sebagai
berikut.
a) Permainan imaginative yang dominan.
b) Permainan dramatic yang menonjol.
c) Fokus pada pengembangan ketrampilan gerakan halus.
d) Senang berlari, meloncat atau melompat.
e) Berkhayal dengan kawan bermain.
f) Mulai dengan koleksi-koleksi.
g) Senang membangun sesuatu misalnya dari pasir atau adonan.
h) Permainannya sederhana dan imaginative.
Suryadi (2010) juga menggambarkan contoh permainan dan aktivitas anak usia
prasekolah sebagai berikut.
a)
Buku bacaan.
b)
Bahan-bahan yang dapat dibuat bangunan atau diciptakan.
c)
Bahan-bahan yang dapat diwarnai dengan gambar.
d)
Bahan yang lempung, cat kayu, pasir yang dibuat bangunan atau membuat
adonan.
e)
Memotong, alat pukulan yang lempung.
f)
Boneka, bahan-bahan mainan seperti, binatang dan lain-lain.
g)
Mengenakan pakaian.
h)
Musik yang ada suara lagunya, papan tulis sederhana seperti menulis di papan
magnet, kartu game.
i)
Video game, TV yang sesuai dengan usia.
D. Penelitian Terkait
Penelitian yang dilakukan oleh Kiswanti (2005) tentang hubungan pola asuh orang tua
dengan kemandirian anak di TK Pangudi Luhur Bernardus Semarang tahun 2010.
Penelitian dilakukan dengan obyek penelitiannya siswa dan orang tua anak yang
bersangkutan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola asuh orang tua memiliki
hubungan yang cukup kuat dengan kemandirian anak. Di mana pemerolehan nilai
korelasi sebesar 0,613. Hal ini menunjukkan akan perlunya pemberian sedikit toleransi
kepada anak untuk diberikan pola asuh yang benar agar dapat memicu anak untuk
dapat melakukan segala sesuatunya secara mandiri.
Penelitian lain dilakukan oleh Astuti (2005) tentang pengaruh pola asuh orang tua
terhadap kemandirian siswa dalam belajar pada siswa kelas XI SMA Negeri Sumpiuh
Kabupaten Banyumas tahun 2005. Hasil penelitian didapatkan ada pengaruh pola
asuh orang tua terhadap kemandirian siswa dalam belajar pada siswa kelas XI.

Diterima dan kontribusi pola asuh orang tua terhadap kemandirian siswa dalam
belajar sebesar 63,92 %. Hal ini berarti bahwa meningkat atau menurunnya
kemandirian siswa dalam belajar ditentukan oleh pola asuh orang tua sebesar 63,92%
sedangkan sisanya 36,08 % ditentukan oleh faktor lain yang juga berpengaruh
terhadap kemandirian siswa dalam belajar.
Penenilitian tentang pola asuh dengan kemandirian anak juga dilakukan oleh Winarsih
(2010) hubungan pola asuh terhadap kemandirian belajar anak di TK Ara/ba
Kecamatan Grogol Kabupaten Sukoharjo tahun 2010. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa:
1.
ada hubungan positif yang signifikan antara pola asuh permisif dengan
kemandirian belajar di sekolah. Hal ini berdasarkan perhitungan uji korelasi
sederhana diperoleh nilai koefisien korelasi sebesar 0,525 (Positif), dan nilai signifikansi
< 0,05 yaitu 0,18.
2.
ada hubungan positif yang signifikan antara pola asuh permisif dengan
kemandirian belajar di rumah. Hal ini berdasarkan perhitungan uji korelasi sederhana
diperoleh nilai koefisiensi korelasi sebesar 0,685 (Positif) dan nilai signifikansi < 0,05
yaitu 0,001. Penelitian ini menyimpulkan bahwa ada hubungan positif antara pola asuh
anak permisif dengan kemandirian belajar anak yang artinya semakin tinggi
penerapan pola asuh diberikan maka semakin tinggi kemandirian belajar anak.
E. Kerangka Konsep
Kerangka konsep ini disimpulkan berdasarkan tinjauan kepustakaan diatas.
Skema 2.1 Kerangka Konsep Penelitian
Teori-teori Kemandirian anak
1.Teori perkembangan kemandirian (Brammer & Shostrom).
2.Teori pembagian (Maslow).
3.Teori pembagian (Masrun, dkk).
4.Teori gejala-gejala (Kartadinata).
5.Teori kemandirian dua faktor (Basri).
Kemandirian anak
Pola asuh
Permisif
Otoriter
Otoritatif

Teori-teori pola asuh


1. Teori peran pengasuhan (Shirfrin).
2. Teori tiga pola asuh (Wong et al).

3. Teori pola asuh otoriter (Middlebrook).


4. Teori pola asuh otoritatif (Arkoff).

Faktor-faktor
pola asuh
-

Pendidikan orang tua


Usia orang tua
Keterlibatan ayah
Pengalaman dalam mengasuh anak.

Faktor-faktor kemandirian anak


Faktor internal
- Faktor peran Jenis Kelamin
- Faktor kecerdasan atau Inteligensi
- Faktor perkembangan
Faktor eksternal
- Faktor pola asuh
- Faktor sosial budaya
-

BAB III
KONSEP KERANGKA PENELITIAN
A.
Kerangka Kerja Penelitian
Kerangka kerja penelitian ini terdiri dari variabel independen dan variabel dependen.
Variabel independen dalam penelitian ini adalah pola asuh yang dikemukakan oleh
Wong et al. (2008) yang terdiri dari pola asuh permisif, otoriter dan otoritatif.
Sedangkan variabel dependen adalah kemandirian anak yang dikemukakan oleh
Familia, (2006) dan Prasasti & Lie, (2005). Untuk lebih jelas dapat dilihat pada skema
berikut.
Variabel Independen
Pola Asuh
Permisif
Otoriter
Otoritatif

Variabel Dependen

Kemandirian anak

Skema 3.1 Kerangka Kerja Penelitian


B. Hipotesis Penelitian
Dari kerangka kerja penelitian diatas, maka yang menjadi hipotesis penelitian ini
adalah:
1.
Ha: Ada hubungan pola asuh permisif dengan kemandirian anak usia prasekolah
di TK Kamaliah Kuta Baro Aceh Besar tahun 2012.
2.
Ha: Ada hubungan pola asuh otoriter dengan kemandirian anak usia prasekolah
di TK Kamaliah Kuta Baro Aceh Besar tahun 2012.
3.
Ha: Ada hubungan pola asuh otoritatif dengan kemandirian anak usia prasekolah
di TK Kamaliah Kuta Baro Aceh Besar tahun 2012.
C. Definisi Operasional
Untuk mempermudah dalam memahami proses penelitian ini, maka penulis membuat
penjelasan secara lebih rinci dibuat dalam bentuk definisi operasional dalam tabel
sebagai berikut :
Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel Penelitian
No
Variabel/ Subvariabel
Definisi konseptual
Definisi operasional
Cara ukur
Alat ukur
Hasil ukur
Skala ukur
Independen
1
Pola asuh permisif
Pengasuhan orang tua yang tidak memberikan batasan kepada anak-anak. Orang tua
memperboleh kan anak melakukan apa saja seperti, tidak sekolah, bandel, melakukan
pergaulan bebas negatif dan sebagainya.
Cara orang tua mengasuh anak dengan menuruti semua keinginan dan membiarkan
anak melakukan apa saja yang ingin anak lakukan di rumah tanpa pengawasan sama
sekali dari orang tua.
Wawancara

Kuesioner dalam bentuk skala likert (selalu, sering, kadang-kadang, jarang, tidak
pernah)
yang terdiri dari 20 item pertanyaan

Ya jika:
X

Tidak jika:
X<
Ordinal
2
Pola asuh otoriter
Pengasuhan orang tua yang sangat ketat dan kaku dalam mendidik anak. Anak-anak
tidak diberi kebebasan untuk menentukan keputusan karena semua keputusan berada
ditangan orang tua.
Cara orang tua mengasuh anak dengan meggunakan sikap tegas dari orang tua yang
harus dituruti anak dan melarang anak untuk mengembangkan kemampuan nya
didalam kehidupan sehari.
Wawancara
Kuesioner dalam bentuk skala likert (selalu, sering, kadang-kadang, jarang, tidak
pernah)
yang terdiri dari 20 item pertanyaan

Ya jika:
X

Tidak jika:
X<

Ordinal
3
Pola asuh otoritatif
Pengasuhan yang didasari atas pengertian dan rasa hormat orang tua terhadap
anaknya. Orang tua memberi kebebasan pada anak untuk berkreasi dan
mengeksplorasi berbagai hal sesuai usia perkembangan anak, dengan mensensor
batasan dan pengawasan yang baik dari orangtua.

Cara orang tua mengasuh anak dengan memberikan kebebasan kepada anak-anak
mereka untuk mengembangkan kemampuan sesuai dengan usia perkembangan anak
tetapi tidak terlepas dari pengawasan orang tua di rumah.
Wawancara
Kuesioner dalam bentuk skala likert (selalu, sering, kadang-kadang, jarang, tidak
pernah)
yang terdiri dari 20 item pertanyaan

Ya jika:
X

Tidak jika:
X<

Ordinal

Dependen
B.
Kemandirian anak
Anak yang mampu berpikir dan berbuat untuk dirinya sendiri. Seorang anak yang
mandiri biasanya aktif, kreatif, kompoten, tidak tergantung pada orang lain, dan
tampak spontan. Kemandirian pada anak sangat penting karena mereka salah satu life
skil yang perlu dimiliki.
Suatu kemampuan anak untuk memikir, merasakan, serta anak melakukan sesuatu
atas dorongan diri sendiri dan mampu mengatur diri sendiri sesuai dengan
kewajibannya dalam kehidupan sehari-hari di rumah tanpa dibantu oleh orang lain.
Wawancara
Kuesioner dalam bentuk skala likert (selalu, sering, kadang-kadang, jarang, tidak
pernah).
Ya jika:

Tidak jika:
X<
Ordinal

NOTE :
Jika saudara ingin menguasai isi skripsi silahkan anda mencoba untuk
menyusunkannya sendiri, Allah akan membantu dan memberikan jalan untuk
terselesaikannya proposal sampai skripsi saudara dan insyallah saudara kedepannya
akan dibutuhkan oleh orang lain karena saudara sudah mengerti tehnik penyusunan
skripsi (Pengalaman saya).
Proposal ini formal walaupun postingannya melalui blogspot.
Bab IV,V Dan VI itu dari hasil penelitian saudara, hanya saja dibab IV saudara harus
menggunakan rumus yang pembimbing saudara arahkan.
Untuk hiburan saudara, silahkan kunjungi profil saya di youtube
www.musicbiatch.com/.../janji-silanget-by-irsan-woyla-avi/
Terima kasih,
Semoga bermamfaat

1. KECERDASAN EMOSIONAL
2. TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta
memiliki pemahaman tentang strategi kecerdasan emosional dan pengendalian dalam
lingkungan tugas dengan sebaik-baiknya untuk menghasilkan kinerja kepemimpinan
administrasi publik yang produktif dan efektif.
3. TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS
Pengertian dan fungsi kecerdasan emosi
Perbedaan EQ dan IQ
Tingkat EQ pribadi
Tipe-tipe EQ
Peranan EQ
Ciri-ciri/ gaya EQ yang baik
Strategi EQ dalam aspek konsensus dan konflik
Strategi EQ dalam lingkup kerja
Dampak kepribadian terhadap EQ
4. Curiga manjing ing warangka
5. 2. KONSEPSI DASAR KECERDASAN EMOSIONAL Howard Gardner (1983 )
Pengertian dan Fungsi KE/EQ
Perbedaan IQ dan EQ

6.
IQ
Alat untuk memprediksi SAT (School Attitude Test/Tes bakat) : berkisar pada
kecakapan logis matematis dan linguistik verbal, kognitif.
LARI : Logika, Analisis, Rasio, dan Intelektual. Ketrampilan bicara, penguasaan
matematika, bekerja dengan angka-angka berfikir analisis, memecahkan masalah
dengan menerapkan pengetahuan yang sudah diketahui sebelumnya, terampil di dunia
pemikiran tapi canggung di dunia pribadi.
INTELLIGENCE QUOTIENT (IQ) dan EMOTIONAL INTELLIGENCE (EQ) Daniel
Goleman
7. PENGELOMPOKAN EMOSI EQ, Daniel Goleman, 411-412
Amarah: beringas, mengamuk, benci.
2. Kesedihan: pedih, sedih, muram, ditolak.
3. Rasa takut: ngeri, gugup, takut.
4. Kenikmatan: senang, gembira, bahagia.
5. Cinta: penerimaan, persahabatan.
6. Terkejut: terkesiap, takjup, terpana.
7. Jengkel: hina, jijik, muak, benci.
8. Malu: rasa malu, kesal hati.
8. PENGERTIAN EQ
Kemampuan mengenali dan mengelola perasaan sendiri dan orang lain serta
menggunakan perasaan-perasaan itu untuk memadukan pikiran dan tindakan.
(SALOVEY)
9. PERBEDAAN EQ DAN IQ
IQ relatif permanen
Logika dan analisis
20% berperan pd keberhasilan
Pengembangan EQ, usaha seumur hidup
Titik berat pd emosi dan biologi
> 80 % berperan pd keberhasilan
10. DEFINISI EQ
KE/EQ adalah kemampuan merasakan, memahami dan secara efektif menerapkan
daya serta kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi, dan pengaruh
yang manusiawi.
11. KE / EQ
Adalah kemampuan mengenali perasaan diri dan orang lain, kemampuan memotivasi
diri dan kemampuan mengelola emosi baik diri sendiri maupun hubungan dengan
orang lain.
12. MANFAAT EQ
Emosi penting sebagai Energi peng a ktif
untuk nilai-nilai etika profesi.
Membangkitkan intuisi dan rasa ingin
tahu untuk antisipasi masa depan.
Membantu IQ untuk pengambilan

keputusan
13. INTELEGENT QUOTIENT (IQ)
FUNGSI : memecahkan masalah-masalah kognitif, misalnya menganalisis,
merencanakan, menghitung, dll.
IQ bersifat genetik dioptimalkan lingkungan .
14.
ASPEK-ASPEK TARAF KECERDASAN:
Daya nalar/logika berpikir
Daya mengingat
Daya antisipasi
Kemampuan memahami konsep bahasa
Kemampuan memahami konsep hubungan
Kemampuan analisa sintesa
TARAF KECERDASAN
-100 : Rata-rata rendah
100-110 : Rata-rata
110-120 : Rata-rata atas
120-130 : Superior
130- : Sangat superior
15.
PRIA BER IQ TINGGI
Penuh ambisi dan produktif, tekun, cenderung bersikap kritis dan meremehkan, pilihpilih dan malu-malu, kurang menikmati seksualitas, kurang ekspresif, menjaga jarak,
secara emosional membosankan dan dingin.
WANITA BER IQ TINGGI
Mempunyai keyakinan intelektual yang tinggi, cenderung mawas diri, mudah cemas,
gelisah dan merasa bersalah, ragu-ragu dalam mengungkapkan kemarahannya secara
terbuka.
16. EMOTIONAL QUOTIENT (EQ)
FUNGSI : Mengatasi masalah emosional dan sosial, seperti mengendalikan amarah,
membina dan mempertahankan relasi, bertanggung jawab, merealisasi motivasi
prestasi.
EQ lebih dipengaruhi oleh pola asuh orang tua dan lingkungan.
17. PRIA BER - EQ TINGGI
Secara sosial mantap.
Mudah bergaul.
Tidak mudah gelisah dan takut.
Bertanggungjawab.
Humoris.
Bermoral.
Simpatik dan hangat dalam berhubungan.
Kehidupan emosionalnya kaya dan wajar.
Nyaman dengan dirinya dan orang lain.
18. WANITA BER EQ TINGGI

Tegas dan berani mengungkapkan perasaannya secara langsung dan wajar.


Berfikir positif, mudah bergaul dan ramah.
Mudah menerima orang baru.
Nyaman dengan dirinya, ceria, terbuka terhadap pengalamannya, sensual, dan
spontan.
19. EQ MENURUT USIA
20.
LIMA RANAH EQ :
1. INTRA PERSONAL
Inner self ( Batiniah, diri terdalam)
Seberapa puas terhadap diri sendiri dan prestasinya dalam hidup.
Sekses dalam ranah ini berarti kita dapat mengungkapkan perasaan, bisa hidup dan
bekerja mandiri, memiliki rasa percaya diri dll.
Kesadaran diri : mampu mengenali perasaan.
Sikap asertif : mampu menyampaikan perasaan dan pikirannya.
Kemandirian : mampu berdikari.
Penghargaan diri : tahu kekuatan dan kelemahan diri.
Aktualisasi diri : mampu mewujudkan potensi diri yang dimiliki dan senang dari
prestasi yang diraih.
21.
2. INTER PERSONAL
Empati
Tanggungjawab
Hubungan antar pribadi
3. PENYESUAIAN DIRI
Uji relitas,
Sikap fleksibel,
Pemecahan masalah,
4. PENGENDALIAN STREES
Ketahanan menanggung strees,
Pengendalian Impuls
5. SUASANA HATI
Optimis, bersikap positif dan realistis.
Mensyukuri kehidupan, menyukai dirinya sendiri dan orang lain.
22. 3. MEMBANGUN KEMBALI DINDING DALAM DIRI Howard Gardner (1983 )
Tipe-tipe KE/EQ
Peranan KE Kepemimpinan
Ciri-ciri Gaya Emosional yang
Sesuai
23. TIPE TIPE EQ QUIT T ER CAMPER CLIMBER STOULTZ QUITTER CAMPER - CLIMBER TIPE TIPE DAN CIRI-CIRI EQ
24. QUIT T ERS , pribadi yang selalu menghindar dari persoalan karena tidak merasa
mau /mampu mengatasi persoalan. TIPE TIPE DAN CIRI-CIRI EQ
CIRI-CIRINYA

minimal drive
kualitas rendah
mengambil risiko yang sedikit
kurang kreatif
menghindari masalah
25. TIPE TIPE EQ CAMPERS , pribadi yang selalu ingin dalam suasana aman, selalu
ingin segera keluar dari ketegangan sebagai konsekuensi proses pencapaian tujuan.
TIPE TIPE DAN CIRI-CIRI EQ
CIRI-CIRINYA
mempunyai inisiatif
doronganya cukup
hanya melakukan sesuatu yang perlu
saja
26. TIPE TIPE EQ CLIMBERS , pribadi yang selalu ingin mendaki untuk mencapai
puncak, dengan mengerahkan segenap potensi dirinya yang mampu diaktualisasikan.
TIPE TIPE DAN CIRI-CIRI EQ
CIRI-CIRINYA
ingin selalu melakukan perbaikan
terus berkembang dan memberikan
kontribusi
bekerja dengan visi
pemimpin yang baik
membuat sesuatu terjadi
27. TIPE TIPE EQ JOHN ROBERT POWER Sbg penonton ( people who watch thing
happen ) Sbg obyek ( people to whom things happen ) Sbg orang buta ( people who
dont know what is happening ) Sbg pelaku ( people who makes things happening )
28. PERANAN KECERDASAN EMOSI
KE berperan sebagai mesin giling kecerdasan manusia secara utuh, karena berkait
langsung dengan integritas dan keunggulan pribadi seorang pemimpin, yang harus
dikembangkan sejak dini dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan tempat kerja secara
menyeluruh dan berkesinambungan.
29. PERANAN KECERDASAN EMOSI
Integritas kepemimpinan dalam membangun civil society .
Pribadi yang unggul
* Kemampuan melihat trend
* Kemampuan melakukan inovasi perilaku.
* Kemampuan memupuk keunggulan (ex c ellence) pada tingkat perorangan,
kelompok, organisasi.
30. CIRICIRI / GAYA EMOSIONAL YANG SESUAI
Berfikir serba sistem (thinking system).
Efektif dan efisien dalam menggunakan energi pribadi. Satunya kata dengan
perbuatan.
Mampu memecahkan berbagai masalah dengan pembelajaran organisasi
(organizational learning).

31. 4. STRATEGI KECERDASAN EMOSI DALAM ASPEK KONSENSUS DAN


KONFLIK Howard Gardner (1983 )
Lima langkah Strategi
Pengelolaan Diri
Alat pengorganisasian Diri
Lima langkah Proses
Pengelolaan Diri
Dampak Kepribadian Terhadap
KE/EQ
32. LIMA LANGKAH STRATEGI MENANGGAPI PENGELOLAAN SERTA
PENGENDALIAN DIRI
Santai / rileks.
Kenali emosi anda (mengapa merasa seperti itu).
Mengendalikan diri, padukan watak, paradigma, kesadaran diri, kreatifitas dan
imajinasi, serta keinsyafan terhadap kaidah.
Bersikaplah sungguh-sungguh (kesabaran dan kesungguhan).
Merasa Positif
33. ALAT PENGORGANISASIAN DALAM DIRI
Intuisi , penglihatan dari dalam diri.
Logika dan analisa , kemampuan melihat gambaran masalah secara keseluruhan
Imajinasi dan kreatifitas , kemampuan mencari jalan yang lebih baik
Emosi , kondisi psikologis dan biologis serta kecenderungan bertindak.
34. LIMA LANGKAH PROSES DALAM PENGELOLAAN DIRI
Kesadaran bahwa emosi itu ada & berpengaruh pada sikap kita
Analisa, apa, mengapa, bilamana & bagaimana
Kesungguhan dlm diri menghadapi tantangan
Strategi, tujuan & teknik komunikasi yg efektif
Evaluasi, feed back
35. DAMPAK KEPRIBADIAN TERHADAP EQ
Gaya Belajar Pribadi (Learning Style)
Aplikasi Gaya Belajar dan EQ
* Paradigma Pribadi (pandangan)
* Pengkondisian Pribadi (pengharapan,
visi, lingkungan)
* Kepemimpinan Diri (kendali, misi, norma,
perilaku)
* Pengelolaan Diri (karakter)
36. 5. KEPEMIMPINEN DAN DINAMIKA KECERDASAN EMOSI DI TEMPET
KERJA
Strategi KE dalam Lingkup
Tugas
Pengendalian Emosional Dalam
Menjalankan Tugas
37. STRATEGI EQ DALAM LINGKUP TUGAS

Rahasia PMHTM (Pikiran, Mata, Hidung, telinga, Mulut)


Keterampilan EQ demi keberhasilan di tempat kerja
38. RAHASIA PMHTM Kerjasama Panca Indera Dan Mental Model
Pikiran
Apa yang kita pikirkan tentang diri kita dapat meningkatkan atau mengurangi potensi
kita.
1
39. RAHASIA PMHTM Kerjasama Panca Indera Dan Mental Model
Mata
Dapat memberikan kejelasan dan fokus pada suatu situasi.
22
40. RAHASIA PMHTM Kerjasama Panca Indera Dan Mental Model
Hidung
Merasakan kebaikan dan keburukan indra penciuman kita, sering tidak kita
perhitungkan.
3
41. RAHASIA PMHTM Kerjasama Panca Indera Dan Mental Model
Telinga
Memungkinkan kita mendengar, namun sungguhkah kita mendengarkan?
4
42. RAHASIA PMHTM Kerjasama Panca Indera Dan Mental Model
Mulut
Apa yang diucapkannya dapat menentukan kita benar atau salah.
5
43. EMPAT KETRAMPILAN EQ Demi Keberhasilan di Tempat Kerja
Menunda kepuasan
Disiplin diri
Latihan komunikasi
Mendengarkan sebagai jantung komunikasi
44. CONTOH ORGANISASI TIDAK MEMILIKI EQ
Mitra kerja tdk bekerjasama saling bantu
Manajer mengumbar amarahnya
Tidak mengakui kerja keras, hanya mengkritik kesalahan
Tertekan dan bosan
Pegawai saling merendahkan usaha masing-masing
Dll
45. HAMBATAN DALAM MEMBANGUN EQ
Perasaan dan tindakan tidak sehat
Kerangka berpikir menghancurkan dalam hubungan
Persengkokolan
Rasa tidak aman dan terancam
Kecemburuan
Gunjingan
Pengkondisian negatif / samar

Tidak membiarkan sesuatu berlalu


46. ENAM KAIDAH KEBERHASILAN EQ
Lebih banyak cara menjadi cerdik melalui Kecerdasan Emosional
EQ anda lebih penting dp IQ anda
IQ tdk dpt diubah, EQ dpt menjadi lebih baik
Pemahaman dir i dan hasrat tumbuh, langkah awal menuju pengembangan EQ
Emosi memiliki kecerdasan
Pengembangan EQ, usaha seumur hidup
47. ENAM KAIDAH KEBERHASILAN EQ
LEBIH BANYAK CARA MENJADI CERDIK MELALUI KECERDASAN
EMOSIONAL
Interpersonal
Memecahkan pertentangan dengan harmonis
Hubungan penuh arti
Bahagia
1
48. ENAM KAIDAH KEBERHASILAN EQ
EQ ANDA LEBIH PENTING DP IQ ANDA
IQ penting dalam pasar global, tapi IQ tanpa EQ membuat kita seperti komputer
Pelanggan tidak hanya butuh mutu, tapi juga bagaimana mereka diperlakukan
2
49. ENAM KAIDAH KEBERHASILAN EQ
IQ TDK DPT DIUBAH, EQ DPT MENJADI LEBIH BAIK
Memotivasi diri adalah kunci keberhasilan
Dengan EQ tinggi orang memiliki kemauan untuk profesional
3
50. ENAM KAIDAH KEBERHASILAN EQ
PEMAHAMAN DIR I DAN HASRAT TUMBUH, LANGKAH AWAL MENUJU
PENGEMBANGAN EQ
Mampu mengakui dan mengenali emosi
Memahami penyebab perasaan agar menghadapinya secara efektif
4
51. ENAM KAIDAH KEBERHASILAN EQ
EMOSI MEMILIKI KECERDASAN
Emosi adalah adalah inti dari tempat kerja
Apakah pegawai saling memperhatikan menghargai, membantu?
5
52. ENAM KAIDAH KEBERHASILAN EQ
PENGEMBANGAN EQ, USAHA SEUMUR HIDUP
Latihan yang intensif, ketabahan, kerja keras, perencanaan, kejujuran terus menerus.
Posisi dalam hidup, status ekonomi, usia tidak menghambat seseorang menjadi
pemimpin.
6
53. EMOTIONAL QUOTIENT (EQ)

FUNGSI : Mengatasi masalah emosional dan sosial, seperti mengendalikan amarah,


membina dan mempertahankan relasi, bertanggung jawab, merealisasi motivasi
prestasi.
EQ lebih dipengaruhi oleh pola asuh orang tua dan lingkungan.
54. PRIA BER - EQ TINGGI
Secara sosial mantap.
Mudah bergaul.
Tidak mudah gelisah dan takut.
Bertanggungjawab.
Humoris.
Bermoral.
Simpatik dan hangat dalam berhubungan.
Kehidupan emosionalnya kaya dan wajar.
Nyaman dengan dirinya dan orang lain.
55. WANITA BER EQ TINGGI
Tegas dan berani mengungkapkan perasaannya secara langsung dan wajar.
Berfikir positif, mudah bergaul dan ramah.
Mudah menerima orang baru.
Nyaman dengan dirinya, ceria, terbuka terhadap pengalamannya, sensual, dan
spontan.
56. KUESIONER KECERDASAN EMOSI EQ MAP
Ketrampilan emosi
Kecakapan emosi
Nilai dan keyakinan emosi
57. KETRAMPILAN EMOSI
Kesadaran diri emosi
Ekpresi emosi
Kesadaran emosi terhadap orang lain
58. KECAKAPAN EMOSI
Intensionalitas
Kreativitas
Ketangguhan
Hubungan antar pribadi
Ketidakpuasan konstruktif
59. NILAI DAN KEYAKINAN
Belas kasihan
Sudut pandang
Intuisi
Radius kepercayaan
Daya pribadi
Integritas
60. KEPRIBADIAN
Totalitas individu, karakter,
bakat, dan sikap yang relatif permanen yang membedakan dengan orang lain.

Bisakah kepribadian dirubah?


Apa alasan Anda?
61. PERSEPSI Bagaimana kita memandang orang lain merupakan cermin kita
memandang diri sendiri.
62. PERSEPSI Suatu proses yang ditempuh individu untuk mengorganisasikan dan
menafsirkan kesan indera mereka agar memberikan makna bagi lingkungan mereka.
( ROBBIN S )
63. 4 (EMPAT) KACA MATA YANG MENGHALANGI PANDANGAN PADA ORANG
LAIN PATRICIA PATTON
KACA MATA KUDA
KACAMATA PLUS
KACA MATA MINUS
KACA MATA BLACK SPOT
64. PERILAKU Respon/ tanggapan terhadap lingkungan sebagai perwujudan sikap.
65. TUJUAN HIDUP
Apa yang bernilai bagiku ?
Apa yang aku impikan dalam hidup ?
66. SUDAHKAH IMPIAN ANDA TERWUJUD? Mengapa ? Sumber kendali: Internal
Ekternal
67. HUBUNGAN KONSEP DIRI DENGAN PERILAKU KONSEP DIRI
KEPRIBADIAN SISTEM NILAI LINGKUNGAN SIKAP PERILAKU
68. KUALITAS EQ DITANDAI
Ketrampilan pengendalikan perasaan (kemarahan dan kecemasan)
Ketrampilan membaca perasaan orang lain
Ketrampilan menunda kepuasan
69. HASIL
Menjadi lebih baik
Menyukai dan disukai orang lain
70. INTELEGENT QUOTIENT (IQ)
FUNGSI : memecahkan masalah-masalah kognitif, misalnya menganalisis,
merencanakan, menghitung, dll.
IQ bersifat genetik dioptimalkan lingkungan .
71. EMOTIONAL QUOTIENT (EQ)
FUNGSI : Mengatasi masalah emosional dan sosial, seperti mengendalikan amarah,
membina dan mempertahankan relasi, bertanggung jawab, merealisasi motivasi
prestasi.
EQ lebih dipengaruhi oleh pola asuh orang tua dan lingkungan.
72. SPIRITUAL QUOTIENT (SQ)
Kecerdasan yang bertumpu pada bagian dalam diri kita yang berhubungan dengan
kearifan di luar ego, atau jiwa sadar (bukan hanya mengetahui nilai, tetapi menemukan
nilai.
SQ menjadikan manusia yang utuh secara intelektual, emosional, dan spiritual.
SQ mengintegrasikan semua kecerdasan.

SQ memungkinkan menemukan cara pengungkapan melalui agama formal, walaupun


beragama tidak menjamin SQ tinggi.
73. IQ EQ SQ
74. MENGAPA PERLU ESQ ? IQ EQ SQ HASIL BUTA HATI DIKTATOR
KORUPTOR PETAPA MANUSIA HARAPAN BAIK BURUK
75. BAGAIMANA MENGGABUNGKAN 3 KECERDASAN SEKALIGUS? Aktifitas
Fisik IQ dan Emosi EQ harus mengorbit pada SQ sebagai pusat orbit
76. EQ SQ SELAMA INI TERJADI PEMISAHAN ANTARA EQ DAN SQ manusia
manusia manusia Tuhan
77. Spiritual Quotient (SQ) (Jalaluddin Rumi, Penyair Sufi abad 13)
Aku bukan seorang Kristiani, Yahudi bukan pula Majusi
Aku bahkan bukan pula seorang Muslim
Aku tidak dimiliki oleh tanah, lautan yang dikenal atau tidak
Alam tidak dapat mengajari aku sebagai miliknya, demikian juga langit
Tidak pula Cina, India dan Bulgaria
Tempat kelahiranku tidak ada dimanapun
Aku tidak punya tanda dan tidak memberi tanda
Kau katakan melihat mulut,mata dan hidungku, mereka bukan milikku
Aku adalah Kehidupan itu sendiri
Aku telah melempar dualitas seperti kain lap yg telah usang.
Aku melihat dan mengenal seluruh waktu dan seluruh dunia
Sebagai satu, satu dan selalu satu
Maka apa yg mesti kukatakan agar kau mengakui siapa yg berbicara?
Akuilah itu dan ubahlah segalanya !!!
Ini adalah suaramu sendiri yang menggemakan dinding-dinding Tuhan.
78. Terima kasih dan semoga bermanfaat

contoh kuisioner kecerdasan emosional


Para pembaca yang budiman, selamat datang kembali di Kumpulan Artikel. Pada
tulisan sebelumnya, saya telah membahas tentang cara pembuatan skala pengukuran
dan Instrumen penelitian. Walau saya hanya sekedar membahas tentang teknik skala
model Likert, namun harapan saya dapat memberikan manfaat bagi Anda sekalian.
Seperti janji saya yang akan memberikan contoh skala serta metode analisis datanya,
namun sekarang saya hanya akan memberikan contoh skala terlebih dahulu, untuk
metode anaisis data bisa ditunggu pada postingan selanjutnya. Monggo dimulai
saja& :)
Dalam penelitian saya yang berjudul Hubungan Antara Kecerdasan Emosional
Dengan Prestasi Belajar Pada Siswa Kelas XI SMA Muhmmadiyah 3 Yogyakarta. Di
sini saya hanya membuat satu buah skala, sesuai dengan valiabel penelitian yang harus
diukur dengan skala, yaitu variabel Independen (variabel X), yang di sini adalah
kecerdasan emosional siswa kelas XI SMA Muhammadiyah 3 Yogyakarta. Sedangkan
variabel dependennya (variabel Y) adalah prestasi belajar siswa kelas XI SMA

Muhammadiyah 3 Yogyakarta, dan untuk mengumpulkan data prestasi belajar siswa


digunakan metode dokumentasi.
Skala kecerdasan emosional siswa disusun dari 5 indikator utama, sesuai dengan
teorinya Danil Goleman, yaitu: 1. Mengenali emosi, 2. Mengelola emosi, 3. Memotivasi
diri, 4. Mengenali emosi orang lain (berempai), dan 5. Membina hubungan yang baik
dengan orang lain. Kemudian kelima indikator tersebut dijabarkan ke dalam 60 item
pernyataan, dengan 30 item bersifat favorable (positif), 30 item sisa bersifat
unvaforable (negatif). Untuk distribusi item-item skala kecerdasan emosional siswa,
bisa dilihat pada blue print berikut:

Namun dalam skala kecerdasan emosional yang saya gunakan hanya menyediakan 4
alternatif jawaban, yaitu dengan meniadakan jawaban Ragu-ragu/Tidak tau, dengan
alasan:
1. Kategori indecisided, yaitu mempunyai arti ganda, bisa juga diartikan netral atau
ragu-ragu.
2. Dengan tersedianya jawaban di tengah, menimbulkan kecenderungan jawaban di
tengah
(central tendency effect)
3. Maksud jawaban dengan empat tingkat kategori untuk melihat kecenderungan
pendapat responden kearah tidak sesuai, sehingga dapat mengurangi data penelitian
yang hilang.
Jadi sistem penilaian skala dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Item Favorable: sangat setuju (4), setuju (3), tidak setuju (2), sangat tidak setuju (1)
Item Unfavorable: sangat setuju (1), setuju (2), tidak setuju (3), sangat tidak setuju (4).
well, sepertinya penjelasannya sudah amat cukup, dan mudah-mudahan dapat
dipahami, kalau ada yang belum paham atau ada yang mau menambahi bisa
disampaikan pada kotak komentar di bawah, dan saya kan sangat senang kalau Anda
berkenan meninggalkan komentar maupun masukan bagi blog ini. Berikut ini adalah
contoh skala yang mungkin bisa Anda gunakan dalam penelitian. Walau masih jauh
dari kata sempurna, namun harapan saya bisa menjadi bahan contoh untuk
pembuatan skala Anda yang lebih baik dari skala kecerdasan emosional ini.
SKALA KECERDASAN EMOSIONAL
Nama
:
Jenis Kelamin :
Umur
:
Kelas
:
Petunjuk Pengisian:

Berikut ini adalah sejumlah pernyataan dan pada setiap pernyataan terdapat empat
pilihan jawaban. Berikan tanda (X) pada kotak pilihan yang Anda anggap paling sesuai
dengan keadaan yang sesungguhnya pada diri Anda.
Pilihan jawabannya adalah:
SS
: Sangat setuju
S
: Setuju
TS
: Tidak Setuju
STS
: Sangat Tidak Setuju
Dalam skala ini tidak ada jawaban yang salah, semua jawaban yang Anda pilih adalah
benar, asalkan Anda menjawabnya dengan jujur. Kerahasiaan identitas dan jawaban
Anda dijamin oleh peneliti. Oleh karena itu, usahakan agar jangan sampai ada nomor
yang terlewati untuk dijawab.
Dan kami mengucapkan banyak terimakasih atas kerjasama, bantuan serta kesediaan
Anda untuk mengisi skala ini. Semoga Anda dapat meraih cita-cita Anda. Amin
Yogyakarta, 10 Agustus 2009
Hormat Kami
Nadhirin

1. Saya tahu persis hal-hal yang menyebabkan saya malas belajar.


2. Saya tetap belajar walau tidak ada ulangan.
3. Saya berusaha masuk peringkat 10 besar setiap semester.
4. Saya bersedia mendengar keluh kesan teman saya.
5. Pada hari pertama masuk sekolah saya dapat dengan cepat beradaptasi dengan
lingkungan sekolah.
6. Saya merasa santai kalau dimarahi orang tua.
7. Saya sering terlambat datang ke sekolah.
8. Saya tidak mempunyai target dalam belajar.
9. Saya tidak merasa takut melihat film yang penuh kekerasan di TV.
10. Saya tidak disukai oleh teman saya.
11. Saya tahu kalu saya sedang sedih.
12. Saya selalu belajar sesuai dengan jadwal yang telah saya susun.
13. Saya akan terus berusaha mendapat nilai-nilai yang terbaik di antara teman-teman
sekelas.
14. Saya menghormati pendapat orang lain.
15. Saya selalu menyapa bapak guru bila bertemu dengan mereka.
16. Saya merasa banyak kekurangan dibandingkan dengan orang lain.
17. Saya merasa perlu membalas ejekan teman kepada saya.
18. Saya enggan mengikuti kegiatan ekstrakulikuler di luar sekolah.
19. Saya kesulitan mengajak bermain teman yang baru saya kenal.
20. Saya merasa bahagia melihat teman yang tidak saya sukai sedih.
21. Saya sadar bahwa perasaan malu untuk bertanya dapat menganggu kesulitan saya
dalam belajar.

22. Saya berusaha untuk tidak menyontek saat ujian.


23. Saya dapat menerima pikiran orang lain meskipun berbeda dengan pemikiran saya.
24. Saya mempunyai target yang tinggi dalam belajar.
25. Saya mudah bergaul dengan teman yang tidak sekelas denga saya.
26. Saya tetap gugup dalam mengerjakan soal ulang meskipun saya sudah belajar.
27. Saya tidak sedih bila kehilangan barang kesayangan saya.
28. Saya rajin mengikuti kegiatan sosial untuk mendapt penilaian baik dari orang tua,
guru, teman-teman maupun masyarakat.
29. Saya merasa tidak sedih ketika melihat berita bencana di TV.
30. Bila memasuki lingkungan baru, saya merasa harus memakai sepatu dan tas baru
juga.
31. Saya maklum bila keinginan saya tidak terpenuhi.
32. Saya selalu berkosentrasi mendengarkan penjelasan guru di kelas.
33. Saya percaya dengan cita-cita saya meski orang lain tidak memahaminya.
34. Saya dapat mengenali emosi orang lain dengan melihat ekspresi wajahnya.
35. Biarlah pretasi belajar saya buruk, karena memang saya tidak pandai.
36. Saya tidak merasa cemas bila saya tidak belajar untuk ulangan.
37. Jika orang tua mengecewakan saya, saya akan mengurung diri dalam kamar dan
melakukan aksi diam.
38. Saya belajar hanya jika ada ujian.
39. Saya terharu bila ada teman saya menangis.
40. Saya lebih suka mengerjakan tugas sendiri dari pada berdiskusi dengan teman.
41. Saya tahu kalu saya sedang cemas.
42. Saya menolak dengan keras ajakan teman saya untuk membolos.
43. Saya bertekad mencapai target belajar yang sudah saya tetapkan.
44. Saya akan ikut prihatin bila ada teman yang terkena musibah.
45. Saya sulit memahami pemikiran orang lain yang berbeda pemikiran dengan saya.
46. Saya sering merasa tidak mampu melakukan hal yang baru.
47. Saat saya marah, saya bisa membanting barang-barang yang ada di sekitar saya.
48. Saya tidak memiliki cita-cita untuk masa depan saya.
49. Saya akan berusaha bersikap baik pada teman yang menemui saya.
50. Saya berikap acuh tak acuh bila mendengar pengumuman kegiatan gotong-royong
membersihkan lingkungan di sekitar rumah saya.
51. Saya tahu ketika saya sedang marah.
52. Saya menahan kepuasan pribadi demi suatu yang lebih besar.
53. Saya menyadari kekurangan saya di sekolah dan berusaha mengimbanginya dengan
belajar lebih giat.
54. Saya merasa ikut bahagia bila teman saya berprestasi.
55. Saya menahan marah kepada teman saya walau di menyakiti saya.
56. Saya merasa tidak kecewa ketika mendapat hasil ulangan sekolah yang jelek.
57. Suasana yang menegangkan membuat saya tidak bisa berfikir degan tenang.
58. Saya malas membantu urusan orang tua karena sibuk dengan urusan saya sendiri.
59. Saya merasa jenuh mendengar keluh kesah teman saya.
60. Saya enggan membantu teman saya yang sedang dalam kesusahan.

Sebenarnya skala tersebut di atas disusun dalam bentuk checklis, namun karena terlalu
sulitnya untuk menyajikannya (mempostingkan) dalam bentuk tabel, maka saya
menulis item-item pertanyaannya saja. Atau anda bisa mendapatkannya dalam bentuk
Microsoft Word, dengan mendownloadnya Di Sini. Semoga bisa berguna. :)

Anda boleh mempublikasikan kembali tulisan di atas pada website atau blog Anda
tanpa dikenakan biaya alias GRATIS, selama:
Anda harus mencantumkan sumber artikel yaitu dari http://nadhirin.blogspot.com/
Anda harus memuat link aktif di website atau blog Anda menuju
http://nadhirin.blogspot.com/
Terima kasih atas perhatian Anda.
Read this | Baca yang ini
Statistik
Membuat Skala Pengukuran & Instrumen Penelitian
Penelitian
Membuat Skala Pengukuran & Instrumen Penelitian
Judul Skripsi Pendidikan

3.11 Prosedur Penelitian


TahapPersiapan
Persiapan penelitian ini dilakukan dengan tahapan: 1.
Menentukan masalah yang akan diteliti 2.
Melakukan studi kepustakan untuk mendapatkan fenomena serta landasan teori yang
berkaitan dengan masalah yang akan diteliti 3.
Menentukan populasi dan sampel penelitian 4.
Menentukan teknik pengambilan data 5.
Mempersiapkan alat ukur penelitian 6.
Melakukan uji coba terhadap alat ukur 7.
Menganalisa data hasil uji coba alat ukur 8.
Menetapkan jadwal penelitian

Saat ini peneliti berada dalam tahap persiapan yaitu sedang mempersiapkan alat ukur
penelitian yang akan digunakan oleh peneliti.Selanjutnya melakukan uji coba alat ukur,
analisa hasil uji coba serta menetapkan jadwal penelitian untuk melanjutkan tahap
berikutnya yaitu pengambilan data penelitian hingga tahap akhir.
DAFTAR PUSTAKA
Alhamhari, Adek & M. Fakhrurrozi. (2009).
Kecerdasan Emosi pada Remaja Pelaku Tawuran
. Jakarta: Universitas Gunadarma Asyava, Tengku Shella. (2011)
. Hubungan attachment terhadap Ayah dengan kecerdasan Emosi pada Remaja LakiLaki.
Medan: Universitas Sumatera Utara Azwar, Saifuddin. (2012).
Reliabilitas dan Validitas Edisi 4
. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Ciarrochi, Joseph., Joseph P. Forgas., John D. Mayer.
(2001).
Emotional Intelligence in Everyday Life
. Psychology Press
Elizabeth, B. Hurlock. (2001).
Psikologi Perkembangan
: Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan (Edisi 5). Jakarta : Erlangga. Ervika,
Eka. (2008). Kelekatan (Attachment) Pada Anak. Sumatera Utara: Universitas
Sumatera Utara.
Jurnal Psikologi
Erwin, P. (1998).
Friendship in Childhood and Adolescene
. London: Routledge Goleman, D. (2000).
Emotional Intelligence
:
Mengapa EI lebih penting daripada IQ
(Alih Bahasa : T. Hermaya). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Gottman, J. &
DeClaire, J. (1997).
Kiat-kiat Membesarkan Anak yang Memiliki Kecerdasan Emosional
. Alih Bahasa: T. Hermaya. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Gusnira, Chazizah.
(2012).
5 Kasus Pembunuhan Sadis yang dilakukan Remaja
. Diunduh dari
news.detik.com
pada Oktober 2013
Hamarta, Erdal, M. Engin Deniz,Neslihan Saltali
.
(2009).
Attachment Styles as a Predictor of Emotional Intelligence

. Turki: Selcuk University Hermasanti, Winahyu Kaula. (2009).


Pengaruh Pola Kelekatan dengan Kecerdasan Emosi Remaja
. Surakarta: Universitas Sebelas Maret
Jahja, Yudrik. (2011).
Psikologi Perkembangan
. Jakarta: Kencana Kartono, K. & Dali Gulo. 2003.
Kamus Psikologi
. Bandung : Pionir Jaya. Khodijah, Nida (2013).
Program Hipotetik Bimbingan dan Konseling untuk Meningkatkan Perilaku Sosial
Peserta Didik
. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia Lestari, Rini. 1997. Pengaruh Peran Ibu
terhadap Perkembangan Remaja.
Jurnal Kognisi
, Vol 1. No 2 Nopember 1997 Malik, Muhammad Anas, 2003. Pengaruh Kualitas
Interaksi Orang Tua dan Anak dengan Konsep Diri terhadap Kecerdasan Emosi pada
Siswa SMU di Makasar.
Journal Intelectual
, Volume 1 no 1, 33

50.
Mutadin, Zainun. (2002
). Mengenal Kecerdasan Emosional Remaja. Artikel Kesehatan dari situs
http://www.kesehatan.wonogiri.go.id
diakses pada November 2013
Papalia, Olds & Feldman. (2009).
Perkembangan Manusia Buku 2 Edisi 10
. Jakarta: Salemba Humanika Patton, P. 1998.
Emotional Intelligence
. Alih Bahasa: Zaini Dahlan. Jakarta: Pustaka Delapratasa Retnowati, Sofia. (2001).
Remaja dan Permasalahannya.
Yogyakarta: Universitas Gajah Mada

UNTUK UJIAN PROPOSAL.docx

Anda mungkin juga menyukai