Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kecerdasan Emosional (Emotional Intelligence)


Menurut Chakrabarti dan Chatterjea (2018:11) Studi tentang kecerdasan
emosional berawal dari era Charles Darwin pada tahun 1872 yang ketika itu
membuat sebuah buku ‘The Expressions of the emotions in the man and animal’,
pada buku tersebut ia menyatakan bahwa ekspresi emosional adalah suatu hal yang
penting untuk bertahan hidup. Dengan berjalannya waktu, berbagai kalangan
ilmuwan mulai percaya bahwa standar kecerdasan kognitif tidak selalu cukup
sebagai alat untuk menjelaskan prilaku manusia, untuk menganalisis keberhasilan
dan memprediksi kegagalan mereka. Hal yang harus ditekankan lebih lanjut adalah
suatu kombinasi antara kompetensi yang memungkinkan seseorang untuk
menyadari, memahami dan mengedalikan emosi pribadi serta mengenali dan
menghargai emosi orang lain, dengan mengembangkan hal tersebut di dalam
kehidupan diharapkan akan mendorong kesuksesan bagi semua pihak yang menjadi
bagiannya.
Disamping itu, menurut Hock (2016:47) Kecerdasan Emosional pertama kali
dikonsepkan sebagai kecerdasan sosial oleh Thorndike pada tahun 1920. Ketika
Thorndike sedang mengkaji kekuatan prediktif dari kekuatan intelektual (IQ), dan
ia menemukan bahwa kecerdasan intelektual telah gagal secara konsisten untuk
memprediksi kesuksesan seseorang ditempat kerja. Kemudian pada tahun 1983,
seorang ahli psikologi lain yaitu Gardner mengemukakan bahwa kecerdasan
interpersonal dan intrapersonal adalah dua dimensi utama yang dimiliki oleh
seseorang. Kemampuan interpersonal mengacu kepada kemampuan individu untuk
memahami orang lain sedangkan kemampuan intrapersonal adalah sebuah
kemampuan yang berkaitan dengan presepsi, emosi, kesadaran diri, dan motivasi
diri.
Selanjutnya konsep Thorndike dan Gardner menjadi basis dasar untuk teori
kecerdasan emosional. Pada tahun 1990, dua ahli psikologi dunia yaitu Peter
Salovey dan John D. Mayer menetapkan sebuah konsep psikologis yang

11
12

menyatakan bahwa untuk mengelola informasi yang berkaitan dengan emosional


dibutuhkan sebuah kecerdasan, dan mereka adalah peneliti yang pertama
menggunakan istilah Emotional Intelligence. Namun, menurut FME Team (2014:6)
teori mengenai kecerdasan emosional dipopulerkan oleh Daniel Goleman pada
tahun 1998 melalui buku yang berjudul “Emotional Intelligence: why it can matter
more than IQ”. Pada buku tersebut, Daniel Goleman mengemukakan bahwa
kecerdasan emosional sama pentingnya dengan kecerdasan intelektual untuk
sebuah keberhasilan dalam aspek akademik, profesional, sosial dan interpersonal.
Selain itu, terdapat dua pernyataan mengenai kecerdasan emsional yaitu: pertama,
kecerdasan emosional mungkin lebih penting dalam kesuksesan seseorang daripada
kecerdasan intelektual (IQ). Kedua, tidak seperti kecerdasan intelektual (IQ)
kecerdasan emosional dapat lebih ditingkatkan.

2.1.1 Definisi Kecerdasan Emosional


Kecerdasan emosional=adalah=kemampuan=seseorang=untuk=mengenali,
memahami serta=mengelola=emosi/perasaan baik pada dirinya sendiri maupun
orang=lain disekitarnya=untuk=selanjutnya dijadikan sebagai panduan untuk
melakukan suatu tindakan yang tepat. Pernyataan tersebut merupakan kesimpulan
dari definisi kecerdasan emosional menurut beberapa ahli berikut ini:
Pertama, Mayer dan Salovey (1990:189) mendefinisikan kecerdasan
emosional adalah bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan untuk
memantau perasaan dan emosi dirinya sendiri maupun orang lain, untuk dapat
membedakan mereka satu sama lain dan menggunakan informasi ini untuk
membimbing pemikiran dan tindakan sesorang.
Beberapa tahun kemudian Mayer dan Salovey melakukan koreksi mengenai
definisi Emotional Intelligent yang sebelumnya telah mereka kemukakan, dimana
menurut Mayer dan Salovey (1997:10) Kecerdasan Emosional melibatkan
kemampuan untuk memahami secara akurat, menilai, dan mengekspresikan emosi;
mengakses dan menghasilkan emosi sehingga dapat membantu pikiran;
kemampuan untuk memahami emosi dan pengetahuan emosional; dan kemampuan
13

untuk mengatur emosi sehingga dapat meningkatkan emosional dan pertumbuhan


intelektual.
Pada awal perkembangannya, kecerdasan emosional dikonsepkan sebagai
kecerdasan sosial oleh Thorndike. Hal yang hampir serupa pun di ungkapkan oleh
Bar-On (2006:14) yang mengartikan kecerdasan emosional-sosial adalah
persilangan antara hubungan kemampuan emosional dan sosial, keterampilan dan
fasilitator yang menentukan seberapa efektif kita memahami diri kita sendiri,
memahami orang lain dan mengatasi tuntutan sehari-hari.
Goleman dalam Punia et.al (2015:968) menyatakan bahwa kecerdasan
emosional mengacu pada kemampuan seseorang utnuk mengenali perasaannya
sendiri dan orang lain, untuk memotivasi dirinya sendiri, serta untuk mengelola
emposi dengan baik dalam diri sendiri maupun dalam berhubungan dengan orang
lain.
Terakhir, yaitu pendapat menurut Thiruchelvi dan Supriya (2009:110)
mengenai pengertian kecerdasan emosional yaitu kemampuan=untuk=memantau
perasaan=dan emosi=seseorang=maupun orang lain,=untuk=membedakannya, dan
menggunakan informasi=tersebut untuk memandu=pemikiran dan=tindakan
seseorang.

2.1.2 Dimensi Kecerdasan Emosional


Menurut Speilberger pada Ensiklopedia of Applied Psychology 2004 dalam
Chakrabarti dan Chatterjea (2018) saat ini terdapat tiga pendekatan utama dalam
teori kecerdasan emosional menurut Bar-On (1997), Mayer dan Salovey (1997),
dan Goleman (1998).
Pertama, Bar-On pada tahun 1997 memberikan sebuah model mengenai teori
kecerdasan emosional yang didasari pada konteks kepribadian yang dikenal sebagai
The Bar-On model of emotional-Social Intelligence (ESI). Model Bar-On ini
didasari oleh sebuah hipotesis yang sangat mendasar yaitu ‘mengapa beberapa
orang dengan IQ tinggi harus lebih berjuang dalam hidupnya, sementara orang lain
yang memiliki IQ moderat dapat lebih berhasil?. Model ini mempunyai pengukuran
14

yang disebut dengan The Emotional Quotient Inventory (EQ-i) dan memiliki
beberapa dimensi pada halaman berikutnya, yaitu:
a. Intrapersonal. Terdiri dari beberapa indikator yaitu emotional self awareness,
assertiveness, self-regard, self actulization, dan independence as contect scale.
Indikator tersebut bertanggung jawab untuk pengembangan sikap yang lebih
baik terhadap pekerjaan, perilaku yang konsisten, serta=hubungan=yang lebih
baik=dengan sesama rekan=kerja.
b. Interpersonal. terdiri dari indikator Empahty, Social responsibility, dan
interpersonal relationship. Indikator ini membantu dalam mengembangkan
komunikasi yang efektif.
c. Adaptibility. terdiri dari Problem solving, flexibility, dan reality. Seorang
individu yang memiliki adaptasi yang tinggi diharapkan dapat mengatasi suatu
situasi yang menantang dan secara dinamis efektif untuk menghasilkan solusi
realistis yang ada.
d. Stress Management, terdiri dari toleransi stress dan impluse control. Seseorang
yang mempunyai kemampuan stress management yang baik, akan mampu untuk
mengelola stressnya dengan baik, memenuhi target kerja serta mengelola beban
kerja dengan tidak membuat banyak kesalahan.
e. General mood. Indikator ini terdiri dari kebahagiaan dan optimisme.
Kebahagiaan yaitu keterampilan untuk tetap puas dengan kehidupannya,
sedangkan optimisme adalah kemampuan untuk melihat sisi baik dari setiap
peristiwa. Indikator ini dapat menciptakan suasana yang positif yang dapat
meningkatkan semangat dalam bekerja.
Pada tahun yang sama, Mayer dan Salovey (1997:10) memperkenalkan suatu
pengukuran kecerdasan emosional yang selanjutnya dikenal sebagai Mayer-
Salovey-Caruso Emotional Intelligence Test (MSCEIT). Berikut adalah penjelasan
mengenai dimensi kecerdasan emosional dalam teori Mayer dan Salovey ini:
a. Perceiving Emotion, yaitu kemampuan untuk mengidentifikasi dan menerima
emosi pada dirinya sendiri dan orang lain, termasuk pada rangsangan lainnya
seperti suara seseorang, cerita, musik dan pekerjaan seni. Ketika berfokus
kepada diri sendiri, dimensi ini terkait dengan kesadaran emosional yang lebih
15

tinggi. Sedangkan ketika berfokus kepada orang lain, dimensi ini mencakup apa
yang dimaksud dengan kepekaan.
b. Use of emotion to facilitate thought maksud dari dimensi ini adalah kemampuan
untuk menggunakan emosinya untuk memusatkan perhatian dan dapat berfikir
lebih rasional, logis dan kreatif.
c. Understanding emotion, yaitu kemampuan seseorang yang dapat menganalisis,
memahami emosinya sendiri serta dapat mengolah kata-kata yang tepat untuk
menggambarkan emosinya namun tetap dalam norma kesopanan.
d. Managing Emotion, adalah kemampuan untuk dapat mengatur suasana=hati dan
emosi=dalam diri=dan orang lain. Dengan kemampuan ini, seseorang dapat
lebih efektif dalam membantu otang lain untuk mengendalikan emosi mereka.
Pada tahun 1998, Goleman mengembangkan konsep kecerdasan emosional
khususnya dalam kehidupan profesional. Goleman membuat kerangka kerja
kecerdasan emosional untuk menunjukan bagaimana keterampilan memahami,
mengelola dan mengidentifikasikan emosi yang menjelaskan kesuksesan seseorang
dalam kehiduan profesionalnya. Menurut Goleman (1998) Kecerdasan emosional
model goleman ini mempunyai beberapa dimensi yaitu:
a. Self awareness yaitu mengenali perasaan pada dirinya sendiri, preferensi,
sumber daya yang dimiliki serta intuisi yang dirasakan. Dimensi ini merupakan
suatu dasar bagi kecerdasan emosional dan salah satu bagian dari personal skill.
Seseorang yang memiliki Self awareness lebih peka terhadap perasaaanya
sendiri dapat diumpakan sebagai seorang pilot=yang=handal=bagi=kehidupan
mereka,=karena=mempunyai=kepekaan=lebih tinggi akan=perasaan=mereka
yang=sesungguhnya=atas=pengambilan=keputusan-keputusan masalah pribadi.
Mereka juga=memiliki=penilaian=yang realistis=akan kemampuan diri mereka.
Dimensi ini terdiri dari Emotional awareness, Accurate self-assesment, dan self-
confidence.
b. Self management yaitu keterampilan untuk mengelola impluse dan sumber daya
internal yang dimiliki dengan tidak terpengaruh dalam situasi negatif apapun,
serta sebagai wujud tidak adanya perasaan tertekan dan menganggu. Dimensi ini
merupakan salah satu bagian dari personal skill. Orang-orang yang kurang
16

kemampuannya dalam keterampilan ini akan terus menerus bertarung melawan


perasaan murung, sementara mereka yang pintar dapat bangkit kembali dengan
jauh lebih cepat dari kemerosotan dan kejatuhan dalam kehidupan untuk
mencapai tujuan. Dimensi ini terdiri dari Disipline, Trustworrthiness, dan
Conscientiousness.
c. Motivation yaitu kecenderungan emosional yang dapat memandu dan
memfasilitasi untuk mencapai suatu tujuan. Motivation dapat diartikan juga
sebagai Kemampuan=memotivasi=diri untuk=terus=berusaha=dalam mencapai
tujuan, meningkatkan=inisiatif diri=dalam=berkembang, lebih=produktif, serta
gigih=dalam menghadapi=rintangan dan frustasi. Dimensi ini merupakan
dimensi terakhir dalam personal skill dan terdiri dari indikator Achievement
drive, commitment, dan initiative.
d. Empahty yaitu kesadaran untuk memahami perasaan, kebutuhan serta
kekhawatiran yang dirasakan orang lain. Empahty juga dapat didefinisikan
sebagai Kemampuan=merasakan perasaan=orang lain, mampu menerima
pandangan=orang lain, mengelola=hubungan=dan=menyelaraskan=perasaan
dengan=beragam orang. Dimensi ini merupakan dimensi pertama dalam social
skill dan terdiri dari Understanding other, developing others, dan service
orientation.
e. Social skill yaitu kemampuan dalam menangani emosi dengan baik dalam
menjalin hubungan dengan orang lain, serta keterampilan dalam membaca
situasi sosial dengan akurat sehingga dapat berinteraksi secara lancar dengan
orang lain. Kemampuan ini dapat digunakan ketika mempimpin suatu kelompok,
menyelesaikan suatu permasalahan dan terutama ketika bekerja sama dengan
orang lain. Dimensi ini merupakan dimensi terakhir dalam kategori social skill,
dan terdiri dari influence, dan communication.

2.1.3 Faktor yang Menentukan Kecerdasan Emosional di Tempat Kerja


Kannaiah dan Shanthi (2015) melakukan sebuah penelitian mengenai studi
kecerdasan emosional di tempat kerja, dari penelitian tersebut dapat diperoleh
17

kesimpulan mengenai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kecerdasan


emosional seseorang di tempat kerja, yaitu:
1. Relationship Factor. Hubungan dikaitkan dengan sejumlah hasil positif seperti
kebahagiaan dan kurang merasakan stress. Terdapat banyak kesempatan untuk
menjalin hubungan dengan rekan kerja yang dapat membawa semangat diantara
rekan kerja tersebut.
2. Adaptability Factor. Karyawan dengan kemampuan beradaptasi yang tinggi,
dapat merespon perubahan yang tidak terduga dengan baik. Selain itu karyawan
yang adaptif dapat memahami pekerjaan mereka dengan cara yang kreatif untuk
menyelesaikan pekerjaannya. Disamping itu mereka akan sangat memperhatikan
orang lain disekitarnya.
3. Initiative of the employee. Kemampuan inisiatif adalah kesiapan untuk meraih
suatu peluang. Seorang karywan akan dihadapkan pada sebuah tanggung jawab
pekerjaan yang menuntut sikap inisiatif dalam melakukan pekerjaannya.
4. Responsibility Factor. Ketika seorang karyawan menjadi suatu bagian dari
sebuah organisasi, maka karyawan tersebut akan dihadapkan dengan sebuah
tangung jawab terhadap keberhasilan pelaksanaan program-program organsisasi
secara keseluruhan dalam mewujudkan tujuan organisasinya.
5. Leadership Factor. Seorang pemimpin membimbing, mempengaruhi,
memotivasi, dan mengarahkan anggotanya untuk melakukan suatu pekerjaan
agar tujuan organisasinya dapat tercapai, salah satu caranya dnegan
meningkatkan kerja tim yang lebih tinggi pada anggota-anggotanya.
6. Optimism. Optimis yaitu melihat suatu hal dari sudut pandang positif dalam
situasi apapun dan mengharapkan hal yang terbaik dari serangkaian peristiwa
apapun.
7. Team Building. Yaitu suatu proses yang terus berlanjut dalam membantu
kelomponya menjadi suatu unit yang kohesif. Setiap anggota kelompoknya tidak
hanya sebatas mengerjakan suatu pekerjaan maupun tugas. Namun mereka juga
saling percaya, saling mendukung dan saling respect satu sama lainnya.
8. Loyality Factor. Karyawan yang memiliki loyalitas adalah hal jantung dari
sebuah perusahaan, dimana karyawan tersebut akan merasa puas terhadap
18

pekerjaannya, selanjutnya mereka akan melakukan suatu hal untuk membantu


memperbaiki organisasinya.

2.1.4 Dampak Kecerdasan Emosional


Menurut Cherniss & Goleman (2001)=menjelaskan=pengaruh=kecerdasan
emosi=dalam=keefektivitasan=suatu=organisasi=di beberapa=area yaitu:
a. Employee recruitment and retention. Kecerdasan=emosi=seseorang yang
melakukan=perekrutan merupakan hal yang krusial dalam membuat keputusan
yang tepat.
b. Development of talent. Individu=dapat=mengembangkan kompetensi=sosial
dengan=adanya interaksi=sosial di tempat kerja. Aktivitas interaksi sosial
tersebut merupakan=aktivitas pembelajaran dua arah, kedua belah pihak
berinteraksi dan mengharapkan adanya expert=dan learner, untuk menerima
dan memberi informasi/pengetahuan, di dalam interaksi sosial tersebut
dibutuhkan=juga kecerdasan=emosi.
c. Teamwork. Adanya=interaksi dan=negosiasi=antar anggota=kelompok secara
aktif=pada suatu=teamwork menciptakan=harapan tentang bagaimana mereka
sebaiknya berpikir dan bertindak dalam kelompok tersebut. Di=samping itu
kecerdasan=emosi=juga berdampak=pada komitmen,=inovasi, produktivitas,
efisiensi,=penjualan,=pendapatan, kualitas=Jasa, dan kesetiaan=pelanggan.

2.1.5 Kecerdasan Emosional di tempat kerja


Kecerdasan emosional dapat bermanfaat di berbagai bidang kehidupan.
Namun, penerapan dan kegunaannya paling sering didokumentaskan di tempat
kerja profesional. Menurut Chemiss dalam Stys dan Brown (2014:33) menguraikan
empat alasan utama mengapa tempat kerja adalah suatu tempat yang tepat untuk
mengukur dan mengevaluasi kecerdasan emosional, yaitu:
1. Kecerdasan emosional merupakan suatu hal yang sangat penting dalam berbagai
pekerjaan
2. Banyak orang dewasa yang memasuki lingkungan kerja tanpa memiliki
kompetensi yang diperlukan untuk kesuksesan dalam pekerjaan
19

3. Banyak orang dewasa yang menghabiskan waktu mereka di tempat kerja


4. Para pimpinan usaha telah memiliki sarana dan motivasi yang stabil untuk
memberikan pelatihan kecerdasan emosional.

2.2 Job Satisfaction (Kepuasan Kerja)


Menurut Abdolshah et.al (2018:209) kepuasan kerja merupakan faktor penting
dalam kesuksesan karir. Selain itu, kepuasan kerja merupakan faktor internal dan
dianggap sebagai adaptasi emosional terhadap pekerjaan dan kondisi pekerjaan itu
sendiri. Sehingga, apabila pekerjaan tersebut menyenangkan bagi seseorang, maka
orang tersebut akan puas dengan pekerjaan mereka. Sebaliknya, jika seseorang
tidak memiliki kepuasan kerja yang diinginkan, mereka tidak akan menikmati
pekerjaan mereka dan mengingkan mengubah pekerjaannya tersebut.

2.2.1 Definisi Job Satisfaction (Kepuasan Kerja)


Paramarta dan Haruman (2005:490) berpendapat bahwa para ahli dalam
bidang manajemen sumber daya manusia maupun perilaku organisasi telah
memberikan teorinya mengenai arti dari kepuasan kerja dengan pernyataan dari
sudut pandang yang berbeda satu sama lain. Berikut ini merupakan definisi
kepuasan kerja dari beberapa ahli, yaitu:
Pendapat ahli pertama, yaitu dari Hoppock (1935) yang mendefiniskan
kepuasan kerja sebagai suatu kombinasi dari keadaan psikologis, fisiologis dan
lingkungan. Kombinasi tersebut dapat menyebabkan seseorang menjadi puas atau
tidak puas dengan pekerjaannya. Selain itu, menurutnya meskipun kepuasan kerja
terpengaruh oleh banyak faktor internal, namun tetap terdapat suatu faktor internal
yang harus dilakukan berkaitan dengan perasaan karyawan tersebut terhadap
pekerjaannya.
Konsep berikutnya diungkapkan oleh George et.al (2008:77) yang
menyatakan bahwa kepuasan kerja=adalah=kumpulan=perasaan dan keyakinan
yang=dimiliki seseorang=tentang pekerjaannya=saat ini. Adapun tingkatan dalam
kepuasan kerja yaitu dari=kepuasan yang=ekstrim hingga=ketidakpuasan yang
ekstrim. Selain itu, setiap orang memiliki pandangan=terkait pekerjaan mereka
20

secara keseluruhan termasuk berbagai aspek seperti jenis pekerjaaan yang


dilakukan, rekan kerja, supervisor, koordinasi, dan gaji yang mereka dapatkan.
Selanjutnya, menurut Jenaibi (2010:62) menyatakan bahwa kepuasan kerja
secara umum yaitu tenaga kerja yang termotivasi dan berkomitmen untuk
melakukan kinerja dengan kualitas tinggi. Karena, karyawan yang tidak puas dan
tidak bahagia dengan pekerjaannya saat ini, tidak akan termotivasi untuk bekerja
keras dan memberikan 100% dari upaya mereka untuk peningkatan organisasinya
dan selama jangka waktu yang panjang.
Terakhir menurut Ḉelik (2011:7) yang mengartikan kepuasan kerja sebagai
ekspresi umum dari sikap positif karyawan terhadap pekerjaan mereka. Namun,
sikap ini bisa juga berupa sikap negatif terhadap pekerjaannya. Jika faktor-faktor
penentu kepuasan kerja seperti manfaat ekonomi, status sosial, karakteristik
pekerjaan itu sendiri, gaji yang diberikan telah sesuai dengan harapan karyawan
tersebut atau tidak.
Berdasarkan beberapa pendapat diatas, dapat diperoleh suatu kesimpulan
bahwa kepuasan kerja adalah suatu keadaaan psikologis seorang karyawan
mengenai pandangannya/penilaiannya terhadap pekerjaan yang dia lakukan saat ini
dan terpengaruh oleh beberapa faktor seperti karakterstik pekerjaan itu sendiri,
rekan kerja, atasan, lingkungan kerja dan gaji yang diterimanya. Kepuasan kerja
tersebut dapat tercapai apabila hal-hal yang dia dapatkan dari pekerjaannya
melebihi harapannya sendiri.

2.2.2 Teori-teori Job Stisfaction (Kepuasan Kerja)


Menurut George et.al (2008:79) terdapat banyak teori atau model mengenai
kepuasan kerja, dan masing-masing dari teori tersebut menggunakan satu atau lebih
dari empat determinan utama dalam kepuasan kerja (kepribadian, nilai, situsi kerja
dan pengaruh sosial) dan menetapkan secara lebih rinci dan akurat mengenai
penyebab seorang karyawan menjadi puas dan karyawan lainnya menjadi tidak
puas dengan pekerjannya. Berikut ini merupakan Tiga teori kepuasan kerja yang
paling banyak digunakan oleh para peneliti, yaitu:
21

a. The Facet Model of Job Satisfaction


Teori Facet Model ini berfokus kepada faktor-faktor dalam situasi kerja yang
terbagi ke dalam beberapa aspek, dan melihat seberapa puas karyawan pada
setiap asepeknya. Teori ini dapat digunakan sebagai alat untuk mengevaluasi
dampak dari situasi kerja terhadap kepuasan kerja yang dirasakan oleh
karyawan. Dengan menggunakan teori ini, kepuasan kerja karyawan secara
keseluruhan dapat ditentukan dengan menjumlahkan kepuasan yang tedapat
pada setiap aspeknya, seperti aspek Ability Ulitization, Achievement, Activity,
Compensation, Cowokers, Creativities dan Moral Values.
b. Two-Factors Theory of Motivation
Teori ini merupakan salah satu teori awal kepuasan kerja, selain itu teori yang
digagas oleh Herzberg ini berfokus pada dampak dari beberapa aspek pekerjaan.
Herzberg mengusulkan bahwa setiap karyawan memiliki dua jenis kebutuhan
yaitu Motivator Needs dan Hygiene Needs. Arti dari Motivator need yaitu hal
yang terkait dengan pekerjaan itu sendiri dan seberapa menantangnya pekerjaan
tersebut, kebutuhan ini terdiri dari beberapa aspek seperti aspek pekerjaan yang
menarik, otonomi pda pekerjaan, dan tanggung jawab. Sedangkan Hygieme
needs adalah suatu kebutuhan yang dikaitkan dengan konteks fisik dan
psikologis dimana pekerjaan tersebut dilakukan, kebutuhan ini terdiri dari aspek
kondisi kerja fisik, sifat pengawasan, jumlah gaji, dan keamanan yang
memenuhi Hygiene Needs.
Menurut Herzberg, seorang karyawan dapat merasakan kepuasan kerja dan
ketidakpuasan kerja pada waktu yang bersamaan. Karena, misalnya seorang
dapat puas karena kebutuhan motivatornya telah terpenuhi, namun kebutuhan
Hygiene-nya belum terpenuhi. Contohnya seorang karyawan yang puas terhadap
pekerjaannya karena pekerjaan tersebut menarik dan membuatnya merasa
tertantang, namun dia tidak merasa puas karena pekerjaannya kurang
memberikan rasa aman.
c. Discrepancy Theory
Teori ini didasarkan pada ide sederhana yaitu untuk menentukan seberapa puas
seorang karyawan terhadap pekerjaannya, karyawan tersebut akan
22

membandingkan pekerjaan mereka dengan pekerjaan yang mereka anggap ideal.


Pekerjaan yang ideal bisa didapatkan dengan cara membandingkan seperti apa
pekerjaan tersebut dilakukan, apa yang diharapkan dalam pekerjaan ini, apa yang
diinginkan seorang karyawan dalam pekerjaannya, serta seperti apakah
pekerjaan yang sebelumnya. Menurut Discrepancy Theory, ketidakpuasan kerja
yaitu ketika ekspetasi/harapan karyawan terhadap pekerjaannya terlalu tinggi
tidak sesuai dengan realitanya. Untuk mendapatlan kepuasan kerja menurut
model ini, sorang manajer perlu mengetahui seperti apa harapan dan keinginan
seorang karyawan dalam pekerjaannya. Sehingga iniformasi tersebut dapat
membantu para manager dalam membuat sebuah kebijakan yang tepat untuk
meningkatkan tingkap kepuasan kerja bawahannya.

2.2.3 Pengukuran Kepuasan Kerja


Dalam mengukur tingkat kepuasan kerja karyawan, seseorang harus memiliki
pemahaman yang luas mengenai faktor-faktor langsung dalam pengukuran
tersebut. Sementara, menurut Owusu (2014:23) tidak ada teori kepuasan kerja yang
diterima secara universal maupun yang diterima secara khusus. Sehingga tidak ada
satu pun cara terbaik dalam mengukur kepuasan kerja selain disesuaikan dengan
karakteristik objek, situasi dan kondisi, serta kebutuhan dari masing-masing objek
tersebut. Namun, terdapat beberapa cara pengukuran kepuasan kerja yang paling
banyak digunakan dalam beberapa literatur penelitian yaitu terdiri dari Job
Descriptive Index (JDI), Job Satisfaction Survey (JSS), dan Minnesota Datisfaction
Questionnaire (MSQ). Pada halaman berikutnya terdapat penjelasan dari ketiga
pengukuran tersebut:
a. Job Description Index (JDI)
Job description Index pertama kali diperkenalkan oleh Smith, Kendall dan Hulin
pada tahun 1969 dan merupakan instrumen kepuasan kerja yang paling banyak
digunakan dalam beberapa waktu kebelakang ini. Menurut Orelly dan Robert
dalam Owusu (2014:23) Job Description Index (JDI) merupakan instrumen
penelitian kepuasan kerja dengan alat ukur diagnostik, dan secara luas digunakan
untuk organisasi bisnis maupun pemerintahan. Dalam menggunakan Job
23

Description Index, setiap karyawan akan diberikan pertanyaan mengenai


pekerjaan, pengawasan, gaji, promosi, dan rekan kerja dan setiap pertanyaan
dijawab dengan memberikan jawaban iya, tidak maupun tidak ada jawaban.
b. Job Satisfaction Survey (JSS)
Job Satisfaction survey pertama kali diperkenalkan oleh Spector (1985) yang
dikhususkan untuk mengukur kepuasan kerja karyawan khususnya dibidang
Human Service, publik dan organisasi non-profit namun tetap dapat digunakan
pada bidang lainnya. Menurut Spector (1985:694) JSS dikembangkan karena
meskipun minat dalam mengukur kepuasan kerja pada organisasi bidang Human
Service mengalami peningkatan, namun metode pengukuran yang telah ada tidak
dapat mencerminkan Human Service. JSS terdiri dari sembilan dimensi yaitu
haji, promosi, Supervisi, benefit, penghargaan yang diberikan, prosedur
operasional, rekan kerja, lingkungan kerja, dan komunikasi dan dibuat kedalam
36 butir penyataan yang harus dijawab oleh seorang karyawan berdasarkan lima
skala yaitu dari sangat tidak setuju hingga sangat setuju.
c. Minnesota Satisfaction Questionnaire (MSQ)
Menurut Owusu (2014:24) Minnesota Satisfaction Question dikembangkan oleh
Weiss, Dawis, England dan Lofquist pada tahun 1967. Pengukuran ini
digunakan untuk mengukur kepuasan karyawan terhadap pekerjaannya dan
manfaat yang didapatkan dari pekerjaannya. Menurut Weiss et.al (1967) MSQ
dikembangkan dalam dua form yaitu long form dan short form, pengukuran
kepuasan kerja ini terdiri dari beberapa aspek spesifik mengenai pekerjaan dan
lingkungan pekerjaan. Berikut ini merupakan penjelasan dari masing-masing
form:
a. Long form. Terdiri dari 100 item pernyataan, dan setiap item mengacu pada
hal-hal penting pada lingkungan kerja. Pada form ini responden akan
menunjukan seberapa puas mereka dengan hal-hal tersebut, selain itu Long-
form MSQ terdiri dari 20 dimensi yaitu Ability utilization, achievement,
activity, advancement, authority, company policies and practices,
compensation, co-wokers, creativity, independence, moral values,
recognition, responsibilitu, security, social service, social status,
24

supervision-human relations, supervision-techincal, variety dan working


conditions
b. Short form. Form ini tersusun dari dua puluh dimensi yang terdapat pada long-
form MSQ, namun dibuat lebih singkat oleh karena itu Short-form ini dapat
dikatakan identik dengan long-form. Disamping itu, short-form MSQ ini
terdiri dari tiga dimensi yaitu kepuasan intrinsik, kepuasan ekstrinsik dan
kepuasan umum. Kepuasan intrinstik adalah kepuasan yang berasal dari
dalam diri karyawan tersebut, sedangkan kepuasan ekstrinsik merupakan
kepuasan yang berasal dari luar dirinya sendiri dan kepuasan umum
merupakan gabungan dari dua kepuasan tersebut. Pada form ini terdapat 20
pernyataan untuk mengukur kepuasan kerja karyawan yang terdiri dari 10
item pernyataan mengenai kepuasan instrinsik dan 10 item pernyataan
mengenai kepuasan ekstrinsik.

2.2.4 Faktor-Faktor Kepuasan Kerja


Menurut Kusman dalam Owusu (2014:95) mengatakan bahwa faktor utama
dalam kepuasan kerja terdiri dari faktor instrinsik dan esktrisik. Faktor intrinsik
adalah suatu objek=atau peristiwa yang datang dari=usaha=karyawan=itu sendiri
dan tidak memerlukan keterlibatan=orang=lain seperti perasaan tanggung jawab,
tantangan dan pengakuan. Sementara faktor ekstrinsik adalah suatu objek atau
peristiwa yang merupakan hasil dari upaya karyawan itu sendiri dalam
hubungannya dengan orang-orang yang tidak terlibat langsung dalam pekerjaannya
seperti gaji, kondisi kerja, rekan kerja dan pengawasan.
Sedangkan menurut Mishra (2013:45) kepuasan kerja berasal dari beberapa
faktor yang saling terkait, namun semua faktor-faktor tersebut dapat mengalami
perubahan dari waktu ke waktu. berikut ini merupakan faktor-faktor kepuasan kerja
menurut Mishra (2013:45) yaitu:
1. Faktor pribadi
a. Jenis Kelamin. Pada umumnya wanita merasa lebih puas dengan pekerjaan
mereka daripada pria. Ini dimungkinkan karena peran ganda wanita ketika
mereka mengambil suatu posisi (pekerjaan) diluar rumah. Wanita lebih suka
25

bekerja dengan orang-orang yang ramah, posisi sosial yang baik sekalipun
merasa kurang puas terhadap benefit yang didapatkan.
b. Usia. Banyak studi memiliki hasil yang berbeda dalam menentukan hubungan
usia dan kepuasan kerja, misalnya seperti dalam beberapa penelitian hasilnya
menunjukan bahwa bertambahnya usia akan membuat tingkat kepuasan
kerjanya semakin tinggi. Namun, pada penelitian lain menyebutkan hasil
yang berlainan yaitu dengan bertambahnya usia, kepuasan kerja seseorang
akan menurun
c. Pendidikan. Terdapat kecenderungan karyawan yang lebih terdidik merasa
kurang puas terhadap pekerjaanya, dan sebaliknya karyawan yang kurang
terdirik merasa puas terhadap pekerjannya.
d. Waktu kerja. Kepuasan kerja lebih tinggi dalam beberapa hari pertama dan
akan mengalami penurunan secara perlahan pada hari-hari berikutnya.
2. Faktor pada Pekerjaan
a. Jenis Pekerjaan. Faktor yang paling penting dalam suatu pekerjaan adalah
jenis pekerjaan itu sendiri. Pekerjaan yang beragam menyebabkan kepuasan
lebih besar daripada suatu pekerjaan yang rutin dilakukan.
b. Permintaan keterampilan. Tingkat keterampilan yang digunakan karyawan
dalam pekerjaannya akan menjadi sumber kepuasan kerja yang pertama untuk
karyawan tersebut.
c. Tanggung jawab. Tanggung jawab memainkan peranan utama dalam suatu
industri. Suatu penelitian menunjukan bahwa tanggung jawab yang dimiliki
oleh seorang manager akan mengarahkan mereka pada kepuasan kerja.
3. Faktor yang dikontrol oleh pihak manajemen
a. Upah/Gaji. Gaji merupakan faktor yang paling penting dalam kepuasan kerja.
Semakin tinggi upah makan semakin tinggi tingkat kepuasan kerjanya.
Namun, hal ini belum tentu secara mutlak menentukan kepuasan kerja.
karena, dalam beberapa kasus orang yang berpendidikan tinggi puas terhadap
pekerjaan mereka karena adanya keamanan dan kesempatan untuk suatu
kemajuan daripada puas karena gaji yang diberikan.
26

b. Kondisi kerja. Semakin nyaman dan baik kondisi kerja maka semakin tinggi
tingkat kepuasan kerja seorang karyawan.
c. Benefit. Seorang karyawan yang berpendidikan tinggi akan memiliki gaji yang
tinggi dan tentunya hal tersebut akan mendatangkan berbagai macam benefit
sehingga akan meningkatkan kepuasan kerja.
d. Peluang: kepuasan kerja akan lebih tinggi jika terdapat banyak peluang untuk
kemajuan karir pada organiasasi/pekerjaannya.

2.2.5 Dampak dari Kepuasan Kerja


Menurut Aziri (2011:85) kepuasan kerja menyebabkan serangkaian pengaruh
pada berbagai aspek kehidupan dalam sebuah organisasi. Beberapa diantaranya
seperti produktvitas karyawan, loyalitas dan ketidakhadiran. Lebih lanjut, menurut
George dan Jones (2012:84) Kepuasan kerja merupakan salah satu sikap yang
paling penting dalam perilaku organisasi karena kepuaasan maupun ketidakpuasan
kerja yang dirasakan oleh seorang karyawan tidak hanya berdampak pada karyawan
tesebut namun juga pada rekan kerja, manajer, kelompok dan organisasi scara
keseluruhan. Berikut ini merupakan konsekuensi yang paling potensial dari
kepuasan kerja:
a. Kinerja kerja
Banyak orang yang mempercayai bahwa kepuasan kerja memiliki hubungan
yang positif dengan kinerja kerja, dengan keyakinan bahwa karyawan yang lebih
puas dengan pekerjaan mereka akan bekerja dengan kualitas yang lebih tinggi
daripada mereka yang merasa kurang puas. Namun, banyak penelitian yang
menunjukan bahwa kepuasan kerja tidak memiliki hubungan yang kuat dengan
kinerja kerja, karena menurut suatu penelitian rata-rata kepuasan kerja hanya
berkontribusi sebesar 2-3% dalam tingkatan kinerja. Dengan hal ini, maka dapat
ditarik suatu kesimpulan bahwa kepusasan kerja tidak selalu terkait dengan
kinerja kerja.
b. Ketidakhadiran
ketidakhadiran karyawan bisa menjadi suatu pengeluaran yang cukup mahal
untuk sebuah organisasi. diperkirakan sekitar 1 juta karyawan dalam sehari tidak
27

hadir dari pekerjaan mereka. Sebagai upaya untuk mengurangi tingkat


ketidakhadiran karyawan, banyak peneliti yang mempelajari hubungannya
dengan kepuasan kerja. Hasil dari penelitian tersebut menunjukan bahwa
kepuasan kerja memiliki hubungan negatif yang lemah dengan ketidakhadiran
karyawan. Hal ini karena terdapat alasan-alasan lain dalam suatu ketidakhadiran
kerja yaitu penyakit, kecelakaan, masalah transportasi, dan tanggung jawab
keluarga.
c. Turn-over karyawan
Kepuasan kerja menunjukan hubungan yang negatif dari lemah sampai dengan
sedang terhadap turn-over karyawan. Hal ini terjadi karena karyawan yang
merasa puas terhadap pekerjaan mereka, memiliki kemungkinan yang lebih kecil
untuk Resign dari pekerjaannya daripada karyawan dengan tingkat kepuasan
kerja yang rendah. Namun, terdapat beberapa kasus dimana karyawan yang tidak
puas tetap bertahan dengan pekerjaan mereka, dan beberapa karyawan yang puas
dengan pekerjaan mereka akhirnya pindah ke yang lain.
d. Kesejahteraan karyawan
Konsekuensi kesejahteraan karyawan merupakan konsekuensi terakhir dari
kepuasan kerja. Selain itu, konsenkuensi ini lebih berfokus kepada individu
karyawan daripada organisasinya. Ketidakpuasan seorang karyawan terhadap
pekerjaannya akan berdampak buruk pada kesejahteraan dan kebahagiaan
dirinya.

2.3 Hubungan kecerdasan emosional dan kepuasan kerja


Telah cukup banyak literature penelitian terdahulu yang membahas hubungan
kecerdasan emosional dan kepuasan kerja dalam berbagai bidang dan jenis
pekerjaan seperti bidang human service, call center, engineer, dan karyawan
administratif perusahaan. Dari beberapa penelitian yang ditemukan, dapat
disimpulkan bahwa kecerdasan emosional mempunyai pengaruh yang positif dan
signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan, meskipun penelitian tersebut
menggunakan teori dan alat pengukuran yang berbeda-beda. Berikut ini merupakan
hasil dari penelitian-penelitian tersebut:
28

Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Ḉekmecelioĝlu et.al (2012) dengan


judul penelitian “Effect emotional intelligence on job satisfaction: An Empirical
Study on call center employees”. Penelitian ini dilakukan kepada 147 karyawan call
center di Instabul, Turki. Hasil penelitian ini menunjukan hubungan positif yang
signifikan antara kecerdasan emosional dan faktor internal kepuasan kerja.
Penelitian ini menggunakan dimensi kecerdasan emosional dari Reus dan Liu
(2004) yaitu emotional recognition dan emotional regulation. Sedangkan untuk
kepuasan kerja peneliti ini menggunakan pengukuran dengan metode Minnesota
Short-term form yang terdiri dari dua dimensi yaitu dimensi kepuasan internal dan
kepuasan eksternal.
Penelitian berikutnya, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Jung Lee (2017)
yang berjudul “How emotional intelligence relates to job satisfaction and burnout
in public service job”. Penelitian ini dilakukan pada 167 pekerja di bidang
pelayanan publik di Amerika Serikat. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa
dimensi self–awareness memiliki hubungan positif yang signifikan terhadap
kepuasan kerja. Kuisioner kecerdasan emosional yang digunakan yaitu Wong and
Law Emotional Intelligence Scale (WLEIS) sedangkan kuisioner yang digunakan
untuk mengukur kepuasan kerja dan burnout yaitu kuisioner dari Guy-Newman-
Mastracci Emotional Labor Questionnaire (GNM).
Penelitian selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Tagoe dan
Quarshie (2016) berjudul “The relationship between emotional intelligence and job
satisfaction among nurse in Accra”. Penelitian ini dilakukan dengan sampel
sebanyak 120 orang perawat yang terdiri dari 83 perawat wanita dan 37 perawat
pria. Hasil dari penelitian ini menunjukan adanya korelasi yang positif dan
signifikan antara kecerdasan emosional dan kepuasan kerja diantara para perawat,
selain hasil lainnya adalah tidak adanya pengaruh yang signifikan antara perbedaan
gender dalam kecerdasan emosional dan kepuasan kerja.
Peneliti yang juga melakukan pengujian terhadap hubungan kecerdasan
emosional dan kepuasan kerja yaitu Papathanasiou dan Siati (2014) dengan judul
“Emotional intelligence and job satisfaction in Greek Banking Sector” dengan
jumlah sampel responden sebanyak 160 karyawan yang bekerja pada bidang
29

perbankan di Greek. Peneliti ini menggunakan kuisioner hasil pengembangannya


sendiri untuk mengukur kepuasan kerja sedangkan untuk mengukur kecerdasan
emosional peneliti menggunakan SREIT Questionnaire. Penelitian ini
mengungkapkan bahwa kecerdasan emosional memiliki peranan yang dominan di
tempat kerja karena jenis kecerdasan tersebut dianggap sebagai faktor kunci dalam
menciptakan dan memelihara hubungan yang efektif ditempat kerja, dengan
demikian pencapaian tingkat kepuasan kerja akan menjadi lebih tinggi.
Pengujian berikutnya dilakukan oleh Ealias et.al (2012) yang dipublikasikan
melalui jurnalnya yang berjudul “Emotional intelligence and Job Satisfaction : A
correlational Study”. Dalam penelitian ini, data dikumpulkan dari 208 orang
responden yang bekerja pada perusahaan elektronik internasional yang beroperasi
di India. Kuisioner yang digunakan merupakan kuisioner hasil pengolahan sendiri
yang merupakan hasil pengembangan dari teori-teori ahli yaitu teori Goleman untuk
variabel kecerdasan emosional dan teori Hygiene and Motivation dari Herzberg
untuk pengembangan kuisioner kepuasan kerja.
Terakhir yaitu penelitian yang dilakukan oleh Thiruchelvi dan Supriya (2009)
dengan judul penelitiannya yaitu “Emotional Intelligence and job satisfaction”.
Penelitian ini dilakukan kepada 158 karyawan pada tingkat low dan middle
management yang bekerja pada industri Petroleum dengan menggunakan kuisioner
kecerdasan emosional dari Singh (2001) dan menggunakan Job Satisfacion Scale
yang dikembangkan oleh Daffuar (2001). Hasil dari penelitian ini menyebutkan
adanya hubungan yang positif dan signifikan antara kecerdasan emosional dan
kepuasan kerja, dimana seseorang yang memiliki kecerdasan emosional yang lebih
tinggi, maka orang tersebut akan mempunyai tingkat kepuasan kerja yang lebih
tinggi juga. Hal tersebut dikarenakan, pada kepuasan kerja terdapat beberapa faktor
yang mempengaruhi kepuasan kerja seseorang.

2.4 Kerangka pemikiran


Variabel X dalam penelitian ini yaitu Emotional Intelligence (Kecerdasan
emosional), dimana menurut Goleman (1998) kecerdasan emosional adalah suatu
kemampuan untuk mengenali perasaan, memotivasi dan mengelola emosi dengan
30

baik pada diri sendir maupun diri orang lain. Penelitian ini juga akan menggunakan
Model Goleman (1998) sebagai alat ukur untuk mengukur kecerdasan emosional
karyawan minimarket di kecamaan Bandung Kulon. Adapun dimensi-dimensi yang
akan digunakan adalah self-awareness, self management, motivation, emphaty dan
sosial skill. Model tersebut dipilih karena model Goleman merupakan
pengembangan dari teori Goleman mengenai kecerdasan emosional yang
dikhususkan untuk profesional kehidupan.
Sedangkan, variabel Y dalam penelitian ini yaitu Job satisfaction (Kepuasan
kerja), menurut George et.al (2008:77) kepuasan=kerja=adalah=kumpulan
perasaan=dan=keyakinan yang=dimiliki seseorang tentang=pekerjaannya=saat ini.
Adapun tingkatan dalam kepuasan kerja yaitu dari kepuasan yang ekstrim hingga
ketidakpuasan=yang=ekstrim. Selain itu, setiap orang memiliki pandangan terkait
pekerjaan mereka secara keseluruhan termasuk berbagai aspek seperti kondisi
pekerjaan, peluang/kesempatan yang ada, jenis pekerjaaan yang dilakukan, rekan
kerja, supervisor, koordinasi, dan gaji yang mereka dapatkan.
Penelitian ini akan menggunakan Minnesota Satisfaction Questionaire yang
merupakan hasil pengembangan yang dilakukan oleh Weis et,al (1967). Jenis
kuisioner MSQ yang digunakan yaitu Short-form MSQ yang terdiri dari=dua
dimensi yaitu faktor kepuasan intrinsik dan faktor kepuasan ekstrinsik. Pengukuran
ini dipilih karena memiliki dimensi yang relatif sedikit dibandingkan alat
pengukuran yang lain, namun kedua dimensi tersebut dapat mencakup faktor-faktor
kepuasan kerja yang dirasakan karyawan seperti faktor pekerjaan itu sendiri, rekan
kerja, benefit yang didapatkan, adanya peluang mendapatkan promosi jabatan serta
faktor-faktor lainnya.
Pada halaman berikutnya, merupakan kerangka pemikiran dalam penelitian ini
yang digunakan untuk mengukur dampak kecerdasan emosional yang dimiliki oleh
masing-masing karyawan terhadap kepuasan kerja yang dirasakan karyawan
minimarket modern di kecamatan Bandung Kulon:
31

Kerangka Penelitian

Gambar 2. 1 Kerangka Pemikiran Penelitian


Sumber : Olahan Penulis 2018

2.5 Hipotesis
Berdasarkan=pembahasan yang terdapa pada latar=belakang, landasan=teori
serta kerangka pemikiran. Maka, formulasi=hipotesis=yang diajukan untuk=diuji
kebenarannya=dalam=penelitian=yang=lakukan pada karyawan minimarket di
kecamatan Bandung Kulon:
Ha : Adanya dampak kecerdasan emosional terhadap kepuasan kerja pada
karyawan minimarket modern di kecamatan Bandung Kulon, Kota Bandung
H0 : Tidak adanya dampak kecerdasan emosional terhadap kepuasan kerja
pada karyawan minimarket modern di kecamatan Bandung Kulon, Kota
Bandung.

Anda mungkin juga menyukai