Anda di halaman 1dari 11

TUGAS AKHIR PROGRAM

SARJANA ILMU PEMERINTAHAN

ANALISIS KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM UPAYA PENCEGAHAN DAN


PENANGANAN EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIAL ANAK (ESKA)

Disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar


Sarjana Ilmu Pemerintahan

Eko Sulistiawati
NIM 031367927

PROGRAM SARJANA
UNIVERSITAS TERBUKA
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI
2022
ANALISIS KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM UPAYA PENCEGAHAN DAN
PENANGANAN EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIAL ANAK (ESKA)

Eko Sulistiawati
ekosulistiawati30@gmail.com
Mahasiswa Program Studi Ilmu Pemerintahan

ABSTRAK
Mengamati upaya Pemerintah Indonesia dalam mengurangi Eksploitasi Seksual Komersial
Anak (ESKA) di industri pariwisata sebagai realisasi mendukung agenda pembangunan
berkelanjutan demi terciptanya masyarakat yang lebih dini waspada terhadap kekerasan seksual
pada anak-anak. ESKA di industri pariwisata biasanya melibatkan pelaku dari wisatawan
mancanegara serta domestik yang menempatkan anak-anak dalam kerugian seksual secara fisik
dan mental. Isu ini berpengaruh pada kemampuan pemerintah negara melindungi warganya dalam
konteks pembangunan berkelanjutan. Melalui lensa rezim internasional dan keamanan manusia,
tulisan ini mengungkapkan dua poin utama. Pertama, upaya Pemerintah Indonesia telah sejalan
dengan amanat dalam Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the sale
of children, child prostitution and child pornography (OPSC). Kedua, Pemerintah Indonesia yang
digawangi oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA)
bersama Kementerian Pariwisata dan Direktorat Jenderal Imigrasi, Kementerian Hukum dan HAM
RI telah memiliki rangkaian program/rencana nasional untuk mengurangi Eksploitasi Seksual
Komersial Anak (ESKA) di industri pariwisata.

Keywords: Ekspolitasi Seksual Komersial Anak, pariwisata, Indonesia

PENDAHULUAN
Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mendeklarasikan Hari Internasional untuk Penghapusan
Perbudakan, yang diperingati setiap tahun pada tanggal 2 Desember di seluruh dunia. Namun,
praktik kriminalitas ini semakin meningkat, menyebar dan menyasar semua elemen masyarakat.
Praktek perbudakan lebih dikenal saat ini sebagai perdagangan manusia. (Bonilla dan Hyunjung,
2019). Isu terkait perdagangan manusia telah menarik simpati masyarakat internasional. Sejak saat
itu, negara-negara di dunia membutuhkan respon global untuk menyelesaikan permasalahan
tersebut melalui berbagai kesepakatan dan kongres internasional.
Bentuk umum perdagangan manusia yang menjadi perhatian publik dan pemerintah adalah
eksploitasi seksual anak komersial (CSE). Menurut perkiraan Organisasi Perburuhan Internasional
(ILO), ada 20,9 juta korban eksploitasi di seluruh dunia dan hingga 5,5 juta anak menjadi korban
perdagangan manusia (Komisi Eropa, 2012). Menurut Organisasi Perburuhan Internasional,
ESKA adalah eksploitasi seksual orang dewasa yang dibayar dengan uang atau barang kepada
seorang anak (laki-laki atau perempuan) di bawah usia 18 tahun atau kepada satu atau lebih pihak
ketiga (ILO, 2008).
Perdagangan manusia merupakan salah satu bentuk kejahatan internasional yang semakin
umum terjadi di seluruh dunia dan yang struktur kriminalitasnya sulit untuk diidentifikasi. Tindak
pidana ini banyak terjadi di banyak negara berkembang, terutama di negara berpenduduk padat
seperti Indonesia, sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa berdasarkan data Laporan Perdagangan
Anak KPAI, sejak Januari hingga April 2021, KPAI memproses 35 pengaduan pidana
perdagangan manusia yang melibatkan total 35 orang. dari 234 anak Korban berjatuhan, 83%
diantaranya prostitusi anak. (Dwi Hadya Jayani, 2021). Salah satu faktor utama terjadinya tindak
pidana ini tidak lain adalah faktor kemiskinan, dimana pelaku biasanya memanfaatkan keadaan
ekonomi dan keuangan korban yang semakin memburuk, misalnya dengan menawarkan pekerjaan
kepada korban yang kemudian tanpa disadarinya menjadi pekerjaan. korban. tindak pidana karena
menerima keadaan keuangan korban.. mendapat tekanan sehingga korban tidak dapat menolak
tawaran pelaku.
Atas dasar itu, Indonesia meratifikasinya dalam sistem hukum nasional dengan
memperkenalkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2007 tentang Penghapusan
Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU Perdagangan Orang), yang bertujuan untuk membentuk
negara Indonesia. kewajiban untuk melakukannya untuk melaksanakan Protokol PBB tahun 2000
tentang Perdagangan Orang, khususnya Perdagangan Perempuan dan Pencegahan, Penghapusan
dan Penghukuman Perdagangan Anak (Protokol Palermo), yang ditandatangani oleh Pemerintah
Indonesia, dan beberapa bentuk dukungan untuk pelarangan tersebut . perdagangan manusia.
Perdagangan manusia diatur oleh undang-undang yang rinci dan komprehensif. Definisi
perdagangan manusia dalam UU Perdagangan Manusia ditentukan sebagai berikut:
Merekrut, mengangkut, melindungi, mentransfer, mengirim atau menerima seseorang dengan
menggunakan kekerasan, ancaman kekerasan, penculikan, penangkapan, penipuan, pemalsuan,
penyalahgunaan kekuasaan atau kerentanan, pembayaran atau perbudakan utang atau manfaat
untuk mendapatkan persetujuan dari bawahan mana pun. kontrol untuk mendapatkan orang lain
baik di dalam atau antar negara, kadang-kadang untuk eksploitasi atau eksploitasi orang.
Ketentuan tentang tindak pidana perdagangan manusia tentunya telah memberikan
gambaran kepada kita tentang bahaya dan kerugian yang dapat ditimbulkan oleh kejahatan
perdagangan manusia dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap harkat dan martabat
kemanusiaan seseorang. masalah perdagangan manusia belum sepenuhnya terselesaikan,
meskipun perhatian diberikan pada masalah perdagangan manusia yang tumbuh dan
berkelanjutan, yang belum terselesaikan dengan baik baik oleh pemerintah maupun terhadap
pihak-pihak yang berwenang. Padahal, perdagangan manusia belum mendapat perhatian yang
besar dari daerah sekitarnya, sehingga tidak heran jika jumlah korban perdagangan manusia terus
menurun.
Berdasarkan bukti empiris, perempuan dan anak merupakan kelompok yang paling
mungkin menjadi korban perdagangan manusia (Yustisia, 2014). Kadang-kadang para korban ini,
anak-anak dan perempuan, diperdagangkan tidak hanya untuk kerja paksa atau perbudakan tetapi
juga untuk pelacuran atau pelecehan seksual. Menurut Musdah Mulia, perdagangan perempuan
dan anak di Indonesia biasanya berawal dari bisnis migrasi. Selain itu, peluang keimigrasian
dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang kurang bertanggung jawab atas eksploitasinya, sehingga
menjadi basis yang mudah bagi berbagai kegiatan penyelundupan perempuan. Penyebab
perdagangan perempuan adalah bentuk migrasi yang terjadi di bawah tekanan dan tidak sukarela,
karena dalam praktiknya perempuan direkrut melalui berbagai penipuan, termasuk perkawinan,
kemudian dibawa ke negara lain. Tujuannya adalah menjadi korban perdagangan manusia secara
paksa, yang biasanya melibatkan ancaman kekerasan (Majalah Basis, 2004). Sementara itu,
menurut Koentjoro, perdagangan perempuan tidak bisa dilepaskan dari persoalan prostitusi
sebagai sebuah bisnis, karena kebutuhan masyarakat akan hal itu terus meningkat. Salah satu
alasan perdagangan perempuan adalah untuk memenuhi “tuntutan pasar” dan menjadi usaha yang
sangat menguntungkan karena usaha ini tidak memperdulikan keuntungan yang diperoleh para
perempuan yang dijual sebagai pekerja seks, sehingga perempuan yang dikisahkan dapat . menjadi
satu mereka yang paling menderita karena pelanggaran semua hak asasi mereka disita.
Bentuk tindak pidana perdagangan manusia di era digital semakin beragam, salah satunya
melalui media sosial. Tak bisa dipungkiri, perdagangan manusia tidak lagi menyasar alun-alun
atau jalanan ramai. Para pelaku tindak pidana perdagangan manusia mengincar dunia online yang
saat ini sedikit lebih bebas dan lebih mudah diakses oleh masyarakat, karena tindak pidana ini
lebih dikenal dengan penyekapan dan penyebarluasan. Hukum. Padahal, penggunaan media sosial
dapat memudahkan pelaku untuk mengincar calon korban karena sulit dijangkau aparat penegak
hukum. Kebanyakan calon korban adalah remaja, anak-anak, dan perempuan yang mengelola akun
media sosialnya sendiri, baik melalui Facebook, Twitter, Instagram, MicChat, WhatsApp, atau
aplikasi lainnya. Peningkatan aksesibilitas dan perkembangan teknologi internet dan jaringan
digital memungkinkan para pelaku perdagangan untuk bekerja lebih efektif. Menyadari perlunya
pembahasan secara menyeluruh tentang sistem hukum dan sikap aparat penegak hukum terhadap
semua kejadian yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan manusia. Sebagai negara
hukum, Indonesia diwajibkan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun
1984 tentang Pengesahan Konvensi Pemusnahan Semua Orang untuk berkomitmen memerangi
segala bentuk perdagangan perempuan dan bentuk-bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
upaya meminimalisasi bentuk-bentuk perdagangan manusia, khususnya perempuan sebagai salah
satu indikator rentan terhadap perdagangan.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa penelitian ini berusaha menganalisa tentang upaya
pemerintah dalam pencegahan dan penanganan eksploitasi seksual komersial anak. Dengan adanya
analisis ini menjadi harapan untuk menegakan hukum dan mencegah serta meminimalisir kendala-
kendala yang menjadi penghamabat dalam proses upaya pencegahan dan penanganan eksploitasi
seksual komersial anak.

METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, dengan proses penelitian yang
berusaha untuk menginvestigasi, dan menemukan fenomena-fenomena sosial untuk selanjutnya
menggambarkan secara menyeluruh dan kompleks sehingga dapat disajikan naratif dengan laporan
yang terperinci.
PEMBAHASAN
Pelecehan seksual anak meningkat karena meningkatnya permintaan pasar seks global.
Akibatnya, peluang keuntungan finansial muncul dalam berbagai bentuk, termasuk prostitusi anak,
pornografi anak, perdagangan anak, pariwisata anak, dan perkawinan anak. Faktanya, pelecehan
anak adalah hal biasa di masyarakat dan fakta yang terdistorsi secara kronis. Hal tersebut
merupakan kegiatan yang dilarang oleh undang-undang karena melanggar hak-hak anak dan dapat
berdampak negatif terhadap tumbuh kembang anak. Oleh karena itu, perlindungan anak harus
diperhatikan, dan upaya perlindungan anak dapat berupa upaya hukum untuk melindungi anak dari
tindakan semena-mena orang tua. (Restu Printing, 2002).
Penyebab umum CSEC di industri perjalanan dapat bervariasi. Masalah keuangan biasanya
menjadi alasan utama mengapa anak memasuki situasi ini (Umrah, 2018). Alasan lain adalah
kurangnya pendidikan seks untuk anak-anak. Data menunjukkan bahwa pada tahun 2019, hingga
84% anak Indonesia yang berusia antara 12 dan 17 tahun tidak mendapatkan pendidikan seks yang
memungkinkan mereka memperoleh informasi yang memadai (Putri, 2020). Kemungkinan ESKA
meningkat karena maraknya pembangunan pariwisata. ESKA dalam industri pariwisata biasanya
berlangsung di negara berkembang. Namun, kondisi ini juga bisa terjadi di negara maju. Tujuan
wisatawan mencari target korban tergantung dari kedekatan daerah, bahasa dan jaringan yang
sudah dikenal (Maalla, 2013). Biasanya sasarannya adalah negara-negara yang destinasi wisata
alamnya kurang terpantau. Kode tersebut mengidentifikasi dua jenis pelaku yang terlibat dalam
ESKA, biasanya dalam industri pariwisata, yaitu wisatawan situasional dan pedofil (Francuois,
2017). Pelaku juga memiliki motif yang berbeda-beda, yaitu: (1) Opportunity Incentive, yang
mengkaji peluang yang dapat diambil wisatawan saat bepergian ke luar negeri untuk
mengeksploitasi anak; (2) Independent Abuse, yang menitikberatkan pada cara-cara menganiaya
anak secara mandiri tanpa jaringan atau individu lain; (3) Penelitian spekulatif, biasanya dilakukan
oleh wisatawan dengan sengaja memasuki kawasan wisata yang terdapat seks anak.
Pada tahun 2009, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak meluncurkan program
Kabupaten/Kota Layak Anak. Program nasional ini dibuat dengan tujuan untuk melaksanakan dan
melindungi hak-hak anak pada umumnya (KPPPA, 2015). Dengan bantuan KLA, fokus masalah
anak dapat dikelola di tingkat komunitas. Sejak saat itu, KLA digunakan untuk membantu anak
agar dapat hidup layak, termasuk harapan agar anak tidak diperdagangkan. Saat ini, 432
kabupaten/kota Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak berpartisipasi dalam program
nasional tersebut. KPPPA menilai setiap KLA di rekening Utama, Nindya, Madya dan Pratama
setiap tahunnya. Setiap Kabupaten/Kota berlomba-lomba melaksanakan kebijakan dan
programnya untuk meraih predikat terbaik (KPPPA, 2019). Sepanjang musim 2019-2020,
sebanyak 247 KLA berhasil ditempatkan di empat kategori tersebut. Sisanya masih dalam
pengembangan. Dengan perkembangan saat ini, KLA diharapkan dapat mencapai tujuan Indonesia
Ramah Anak (IDOLA) pada tahun 2030 sebagai bagian dari implementasi Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan di Indonesia (KPPPA, 2015).
Selain pencegahan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia melalui program KLA, hal
ini menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia berusaha untuk mengendalikan kekerasan terhadap
anak perempuan dan membangun sistem di masyarakat melalui berbagai kelompok kepentingan
seperti: B. Pendekatan UNICEF terhadap Tujuan 3. Fokusnya adalah pada pencegahan dan respon,
mencakup seluruh siklus hidup seorang anak, dan memperkuat sistem perlindungan anak.
Pemerintah Indonesia juga telah berusaha menerapkan prinsip dasar human security yaitu
mengutamakan pencegahan daripada represif yang mendukung people-centeredness (Pariisi,
2001). Lebih lanjut, peringatan tentang kegiatan turis asing yang berbahaya merupakan upaya
untuk mencapai keamanan nasional tanpa ancaman dari luar. Pemerintah Indonesia melalui
KPPPA juga menargetkan untuk meningkatkan jumlah KLA menjadi 514 untuk mencapai
Indonesia Layak Anak pada tahun 2030 (KPPPA, 2019).
Pada dasarnya kriminalitas atau kriminalitas bisa terjadi pada siapa saja, baik wanita, pria
maupun anak-anak. Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan. Kejahatan terhadap anak berisiko tinggi karena anak
masih dalam keadaan belum bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah serta lemah
baik secara fisik maupun mental. Menjadikan anak-anak sasaran empuk bagi kejahatan.
Perlindungan anak juga merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM). Hak Asasi Manusia
adalah hak-hak yang melekat yang mencerminkan harkat dan martabat manusia dan harus dijamin
oleh hukum, karena hak-hak tersebut hanya dapat berlaku efektif apabila hak-hak tersebut dapat
dilindungi oleh hukum. Secara umum, tujuan semua negara adalah menciptakan tatanan kehidupan
kecil atau besar untuk menciptakan kepastian hukum yang sejahtera, aman, dan hidup dalam
masyarakat. Indonesia memiliki sejumlah peraturan perundang-undangan yang mengatur
pertanggungjawaban pidana atas eksploitasi seksual komersial anak, antara lain UU No. 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak, UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, UU No. 21 Tahun 2008 2007 tentang pembatasan perdagangan manusia dan UU No
44 Tahun 2008 tentang pornografi. Pertanggungjawaban pidana atas eksploitasi seksual komersial
anak di bawah umur melalui media online diatur dalam UU Perlindungan Anak No. 23 Tahun
2002, UU Informasi dan Perdagangan Elektronik No. 11 Tahun 2008 Tahun 2008, UU Pembatasan
No. 21 Tahun 2007 tentang tindak pidana perdagangan orang. makhluk Orang yang terlibat dalam
pornografi dan UU No. 44 Tahun 2008 Dasar hukum yang berkaitan erat dengan masalah ini
adalah Pasal 296 dan 506 KUHP. Berdasarkan UU Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002
mengatur tentang tindak pidana pelecehan seksual. Terhadap anak berdasarkan Pasal 88, diancam
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
200.000.000,00 (Dua Ratus Juta Rupiah). Ketentuan hukum pidana bagi pelaku pelecehan seksual
juga diatur dalam Pasal 1 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang dengan ancaman pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun
dan pidana maksimal 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 120.000.000,00 (seratus
dua puluh juta rupiah) dan sampai dengan Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Anak-anak pada umumnya dipengaruhi oleh semua masalah global yang dibahas dalam
Suistanable Development Goals. Terutama kemiskinan, diskriminasi, ketidaksetaraan dan
pendidikan. Oleh sebab itu, SDGs berusaha untuk memenuhi Hak Asasi Manusia dan hak anak
serta memerangi pelanggaran yang menyertainya (CRIN, 2020). SDGs secara khusus membawa
konsep pembangunan secara konsisten untuk merealisasikan target yang sudah ditetapkan (CRIN,
2020). Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat adalah sebuah gerakan dan jaringan atau
kelompok di dalam masyarakat yang saling berkoordinasi untuk mencapai tujuan perlindungan
anak. Gerakan ini digagas oleh KPPPA sejak tahun 2016 (KPPPA, 2016). Perlindungan anak-anak
yang dimaksudkan adalah melindungi dari kekerasan, perkawinan dini dan eksploitasi, termasuk
juga Eksploitasi Seksual Komersial Anak di sektor pariwisata. Fokus utama hak anak dan
pelanggaran hak anak juga menjadi dasar OPSC disahkan, sehingga OPSC dapat diterapkan
menjadi standar yang berlaku bagi negara pihak yang meratifikasi, termasuk Indonesia. Eksploitasi
seksual komersial anak sekarang ini menjadi permasalahan yang cukup serius dan berbahaya bagi
masa depan di Indonesia. Seorang anak yang masih berada pada fase bermain dengan teman
seusianya justru malah dilibatkan pada kondisi dirnana hak bermain anak tersebut direnggut oleh
beberapa oknum demi memperoleh sebuah keuntungan pribadi. Beberapa dari mereka justru terjun
langsung bekerja dan tak jarang menjadi tulang punggung keluarga untuk dapat bertahan hidup.
Dalam memberikan perlindungan terhadap anak sebagai korban eksploitasi seksual komersial
melalui media sosial maka dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang secara khusus
mengatur mengenai hal tersebut. Upaya perlindungan hukum terhadap anak korban ekploitasi
seksual terhadap anak melalui media sosial terdapat dalam Pasal 64 ayat (3) Undang-Undang
Perlindungan Anak, perlindungan khusus kepada anak sebagai korban tindak pidana dilakukan
melalui: Upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga, Upaya perlindungan
dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi, Pemberian
jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun social,
Pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.

SIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis kebijakan pemerintah dalam upaya pencegahan dan penanganan
eksploitasi seksual komersial anak (ESKA) dapat diseimpulkan hal-hal berikut :
1. Indonesia merupakan negara kepulauan dengan segudang destinasi wisata patutnya
waspada terhadap berbagai ancaman yang telah membahayakan kedaulatan negara serta
warganya. Kasus ESKA di industri pariwisata merupakan salah satu ancaman yang dapat
merugikan anak-anak bangsa. Kegiatan ESKA yang dilakukan oleh para wisatawan di
industri pariwisata sering kali kurang mendapat perhatian.
2. Setiap anak di Indonesia telah dilindungi seluruh haknya sejak dalam kandungan oleh
Negara hal tersebut telah diarur oleh Undang-Undang dan pada Hak Asasi Manusia.
Eksploitasi seksual komersial anak sekarang ini menjadi permasalahan yang cukup serius
dan berbahaya bagi masa depan di Indonesia.
3. Upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga, Upaya perlindungan dari
pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi, Pemberian
jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun social,
Pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara

SARAN
Berdasarkan hasil analisis, penulis dapat menyarankan :
1. Pada dasarnya tanggung jawab pidana terhadap pelaku eksploitasi seksual terhadap anak
melalui media imternet sudah terdapat dalam beberapa peraturan perundang-undangan,
anak tetapi kedepan harapannya terkait dengan tenggung jawab pidana ini harus termuat
dalam satu undang-undang saja , yaitu Undang-Undang 35 Tahun 2014 Tentang
Perlindungan anak dan kedepan adanya perubahan terhadap undang-undang ini dengan
memperberat ancaman pidana terhadap pelaku ekploitasi seksual terhadap anak melalui
media internet agar tidan ada lagi kejahatan ekpolitasi seksual terhadap anak.
2. Perlindungan terhadap anak korban eksploitasi seksual terhadap anak melalui media
internet terdapat dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan
Anak. Kedepanharus adanya revisi terhadap undang-undang ini untuk lebih memfokuskan
lagi terkait dengan perlindungan hukum terhadap anak korban kejahatan eksploitasi
seksual agar terlaksananya hak-hak anak yang mana harus selalu dilindungi secara hukum
dan ini adalah amanat UUD NRI Tahun 1945.

DAFTAR LITERATUR
Bonilla, T., & Cecilia Hyunjung Mo (2019), The evolution of human trafficking messaging in the
United States and its effect on public opinion. Journal of Public Policy, 39(2).
Dwi Hadya Jayani, ”KPAI:217 Anak Jadi Korban Prostitusi hingga April 2021”.
(Https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/06/03/kpai-217-anak-jadi-korban-
prostitusi hingga-april 2021, 2021
European Comissions (2012). The EU Strategy: Towards the Eradication of Trafficking Human
Beings
Francuois, R. (2017). Understanding SCETT. Retrieved December 21, 2019 from TheCode.org:
http://www.thecode.org/csec/background/
International Labour Organization. Commercial Sexual Exploitation of Children. Retrieved March
4, 2021, from https://www.ilo.org/ipec/areas/CSEC/lang--en/
Koentjoro, Tutur dari Sarang Pelacur Cetakan II, Yogyakarta: Tinta CV Qalam, 2004, hlm.
339.
KPPPA, Deputi Bidang Perlindungan Anak (2019). Buku Panduan Terminologi Perlindungan
Anak dari Eksploitasi. Jakarta
KPPPA, KEMENPAR, et., al. (2018). Wisata Perdesaan Ramah Anak Bebas Eksploitasi. Jakarta:
KPPPA
Musdah Mulia, Perdagangan Wanita di Mata Women of Faith, Jakarta: Majalah Basis Nomor
05, 2004 hlm. 69.
Putri, A. (2019, Juli 18). Riset: 84 Persen Remaja Indonesia Belum Mendapatkan Pendidikan Seks.
Retrieved January 6, 2020, from detikHealth: https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-
4629842/riset-84-persenremaja-indonesia-belum-mendapatkan-pendidikan-seks
Yuliati Umrah, Ketua Yayasan Alit (Arek Lintang Indonesia) di Konsulat Jenderal AS, Surabaya,
tahun 2018

Anda mungkin juga menyukai