Anda di halaman 1dari 4

AN ESSAY OPINION

PERAN ASEAN DALAM MENGATASI HUMAN TRAFFICKING DI


INDONESIA

Lecturer: Virtuous Setyaka, S.IP., M.Si

Arranged by Group 4

Ge Gatrafigova

Fildzah Lathifah

Novia Tivani

Rahmasari Swara Adilla

Tiska Dwi Putri

INTERNATIONAL RELATIONS DEPARTMENT

SOCIAL AND POLITICAL SCIENCES

UNIVERSITAS ANDALAS

2022

HUMAN TRAFFICKING SEBAGAI TINDAK KEJAHATAN TRANSNASIONAL


DAN PERAN ASEAN DALAM MENGATASINYA DI INDONESIA

Perdagangan manusia atau human trafficking adalah salah satu bentuk tindak
kejahatan transnasional yang terorganisir atau transnational organized crime yang
bertujuan untuk mengeksploitasi korban dan menguntungkan pelaku. Korbannya dari
laki-laki, perempuan, dan anak-anak, namun yang paling rentan adalah anak-anak dan
perempuan. Perdagangan manusia biasanya dilakukan dengan cara seperti perekrutan,
pengiriman, pemindahan, dan penampungan atau penerimaan korban. Isu ini menjadi isu
transnasional yang berarti bahwa praktik perdagangan manusia terjadi melintasi beberapa
negara, salah satu contohnya adalah praktik perdagangan manusia di Indonesia yang
biasanya diperdagangkan di negara lainnya dan Asia Tenggara seperti di Singapura dan
Malaysia biasanya selain menjadi destinasi dari praktik ini, namun juga menjadi tempat
transit bagi para korban. Praktik perdagangan manusia di Indonesia telah terjadi sejak
zaman kerajaan kuno, berlanjut di zaman kolonialisme hingga zaman modern abad ke-21
dan korban utamanya adalah perempuan. Para perempuan yang tidak mempunyai
pengaruh, baik dari segi finansial maupun strata sosial, maka biasanya mereka akan
secara otomatis menjadi milik raja. Begitu pula pada zaman kolonialisme, laki-laki
ataupun perempuan dipekerjakan secara paksa, laki-laki biasanya dipekerjakan untuk
pekerjaan kasar seperti pembangunan jalan dan perempuan dieksploitasi secara seksual.
Walaupun pada masa terdahulu praktik perdagangan manusia tidak menunjukkan praktik
perdagangan manusia pada zaman modern ini, namun praktik yang dilakukan dulunya
merujuk ke praktik perdagangan manusia, apapun bentuknya seperti perbudakan, kerja
paksa, eksploitasi seksual, dan lain sebagainya. Berdasarkan website Kedutaan Besar
Amerika Serikat untuk Indonesia, pada tahun 2020, jumlah praktik perdagangan manusia
di Indonesia tercatat sebanyak 383 praktik secara umum. Sementara menurut Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) jumlah praktik perdagangan manusia dalam
kategori anak-anak sebanyak 149 kasus pada tahun 2020. Untuk kasus penyelundupan
tenaga kerja migran asal indonesia masih berjumlah ribuan berdasarkan data dari
International Organization for Migration (IMO). Dari penjelasan singkat tersebut, kenapa
praktik kuno seperti perdagangan manusia masih terjadi di zaman modern ini dan bahkan
hadir dalam berbagai bentuk? Dan hal yang patut untuk dipertanyakan adalah apa saja
yang telah dilakukan pemerintah dan negara sebagai pihak yang paling bertanggung
jawab dalam menjamin keamanan untuk rakyatnya dalam mengatasi dan menghapuskan
praktik yang tidak manusiawi ini? What they have done actually?!

Menurut Cameron dan Newman 2008, kemiskinan, rendahnya tingkat


pendidikan, dan pengangguran merupakan faktor-faktor yang mendorong adanya
permasalahan human trafficking. Faktor kemiskinan mendorong masyarakat di suatu
negara bermigrasi baik itu migrasi secara domestik maupun internasional karena mereka
melihat bahwa dengan migrasi mereka akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Hal tersebut diperkuat oleh penelitian yang menunjukkan bahwa keinginan untuk
meningkatkan kondisi perekonomian dan minimnya kesempatan kerja menjadi alasan
utama para perempuan mencari pekerjaan di luar negeri. Kemudian, terkait dengan
rendahnya tingkat pendidikan, walaupun tidak semua hal mengenai rendahnya tingkat
pendidikan bersumber dari faktor kemiskinan, namun faktor kemiskinan tetap
mendominasi penyebab rendahnya tingkat pendidikan sehingga masyarakat yang rendah
pendidikannya tidak memiliki pemahaman yang baik akan adanya bahaya dan juga
resiko saat mereka memutuskan bermigrasi, yang akhirnya berujung mereka menjadi
korban human trafficking karena mereka mudah ditipu dan diperdaya. Yang terakhir,
yakni mengenai pengangguran, kedua faktor sebelumnya berkaitan erat dengan faktor
pengangguran yang mana dengan kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan
membuat orang-orang tersebut lebih sulit mencari pekerjaan yang layak sehingga mereka
berupaya untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik salah satunya dengan cara
bermigrasi.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) penduduk miskin di Indonesia berjumlah 27,55
juta orang atau sebesar 10,19% pada 2020. Sementara berdasarkan laporan dari World
Population Review untuk kualitas pendidikan, Indonesia berada pada tingkat 55 dari 78
negara. Dari data tersebut dapat dijelaskan bahwa penyebab dari adanya perdagangan
manusia adalah masalah structural seperti kemiskinan dan masalah kualitas pendidikan di
Indonesia. Sehingga dalam usaha mencegah dan menghapuskan terjadinya perdagangan
manusia, negara harus menyelesaikan terlebih dahulu akar permasalahannya,bukan hanya
semata-mata membuat regulasi terkait perdagangan manusia saja.

Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention Against Transnational


Organized Crime (UNCATOC) atau sering disebut dengan konvensi Palermo pada tahun
2000. Dan untuk menunjukkan komitmen serta sebagai upaya lanjutan, pemerintah
mengesahkan Undang-undang No. 14 tahun 2009. Undang-undang ini berisi perihal
pengesahan protokol palermo II. Selain itu, pemerintah Indonesia juga meratifikasi konvensi
PBB tentang menolak tindak pidana transnasional yang terorganisir melalui Undang-Undang
No. 5 Tahun 2009. Selanjutnya, dikarenakan permasalahan ini merupakan isu transnasional
maka diperlukan kerjasama antar negara tetangga sebagai destinasi dan transit dari korban
perdagangan manusia. Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) sebagai organisasi
regional kawasan Asia Tenggara dalam menjawab dinamika keamanan dalam perlindungan
HAM salah satunya melalui ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights
(AICHR).Walaupun ASEAN telah memiliki komisi HAM tersendiri, namun keefektifan
komisi ini masih sangat diragukan dikarenakan ASEAN menganut prinsip non-intervensi,
sehingga membatasi ASEAN bertindak tegas terhadap suatu isu, seperti isu perdagangan
manusia ini yang telah melanggar HAM dari segi keamanan atau hak lainnya. Salah satu
bentuk ketidakmampuan ASEAN dalam mengatasi permasalahan HAM adalah ketika adanya
krisis kemanusiaan Myanmar dan juga kasus Rohingya. Kedua isu ini menjadi masalah
kemanusiaan yang sama seriusnya dengan masalah perdagangan manusia. Namun, ASEAN
melalui AICHR tidak dapat berbuat banyak dikarenakan prinsip non-intervensi yang
dipegang.

Pada akhirnya, kami percaya bahwa praktik perdagangan manusia masih eksis
hingga saat ini dikarenakan adanya masalah-masalah structural seperti kemiskinan,
rendahnya kualitas pendidikan, dan pengangguran. Sehingga pemerintah dituntut untuk
memenuhi tanggung jawabnya untuk menyelesaikan akar masalah ini terlebih dahulu.
Jika hanya dengan membuat seperangkat regulasi untuk mengatasi kasus perdagangan
manusia, maka kasus ini akan tetap ada. Walaupun pemerintah mampu untuk
memformulasikan seperangkat regulasi tersebut, namun dalam pelaksanaannya
pemerintah masih memiliki banyak kekurangan. Sehingga ada dua aspek yang harus
diperbaiki oleh negara, yaitu upaya untuk menyelesaikan akar masalah sehingga kasus
perdagangan manusia bisa ditekan dan meningkatkan efektifitas implementasi dari
regulasi yang telah dibuat. Kami percaya bahwa dengan memaksimalkan kedua aspek
tersebut, maka kasus perdagangan manusia bisa ditekan.

Anda mungkin juga menyukai