Anda di halaman 1dari 5

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN,

RISET, DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS PATTIMURA
FAKULTAS HUKUM
Jln. Ir. M. Putuhena Kampus Unpatti Poka – Ambon – Kode Pos 97233
Telepon/Faximili : (0911) 322626, 322627, 32262
Laman www.unpatti.ac.id. Surel : info@hukum.unpatti. Ac.id
Surel : fakhum_unpatti@yahoo.com

FORMULIR RENCANA JUDUL SKRIPSI


MAHASISWA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PATTIMURA

Nama : David Brain Siregar

NIM : 201821106

Judul : Perbandingan Hukum Acara UU TPKS dan KUHAP Dalam Pencegahan

Revictimisasi dalam Proses Peradilan Pidana ditinjau dari Critical Victimologi

Masalah /Isu

1. Bagaimana hukum acara dalam UU TPKS mencegah Revictimisasi bagi penyintas dalam
proses acara yang tidak diakomodir dalam KUHAP ?
2. Bagaimana hukum acara dalam UU TPKS mencegah revictimisasi bagi penyintas ditinjau
dari critical victimology ?

Ambon, 05

Menyetujui, Mahasiswa,
Ketua Program Studi

Dr. J. S. F. Peilouw, SH. MH David Brain Siregar


NIP. 196907192003121001 NIM. 201821004

Mengetahui :
Wakil Dekan Bidang Akademik,

Dr. E. R. M. Toule, SH. MS


NIP. 196503041995122001
DESKRIPSI JUDUL

1. DAS SOLLEN

1. UU No.20 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual


Dalam undang-undang ini memberikan pembaharuan dalam system peradilan pidana
di Indonesia, hal ini dikarenakan undang undang menjadikan korban bukan hanya
sekedar pelapor tapi juga subjek untuk dipenuhi haknya dalam proses system
peradilan yang terintegrasi berspektif korban. Hal ini diatur dalam pasal sebagai
berikut
pasal 21 ayat 1:
Penyidik, penuntut umum, dan hakim yang menangani perkara Tindak Pidana
Kekerasan Seksual harus memenuhi persyaratan:
a: memiliki integritas dan kompetensi tentang Penanganan perkara yang berperspektif
hak asasi manusia dan Korban; dan b. telah mengikuti pelatihan terkait Penanganan
perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual
Pasal 22 :
Penyidik, penuntut umum, dan hakim melakukan pemeriksaan terhadap
Saksi/Korban/tersangka/terdakwa dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia,
kehormatan, martabat, tanpa intimidasi, dan tidak menjustifikasi kesalahan, tidak
melakukan viktimisasi atas cara hidup dan kesusilaan, termasuk pengalaman seksual
dengan pertanyaan yang bersifat menjerat atau yang menimbulkan trauma bagi
Korban atau yang tidak berhubungan dengan Tindak Pidana Kekerasan Seksual
Pasal 23:
Perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar
proses peradilan, kecuali terhadap pelaku Anak sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang.
Pasal 26
(1) Korban dapat didampingi oleh Pendamping pada semua tingkat pemeriksaan
dalam proses peradilan.
(2) Pendamping Korban meliputi: a. petugas LPSK; b. petugas UPTD PPA; c. tenaga
kesehatan; d. psikolog; e. pekerja sosial; f. tenaga kesejahteraan sosial; g. psikiater; h.
Pendamping hukum, meliputi advokat dan paralegal; i. petugas Lembaga Penyedia
Layanan Berbasis Masyarakat; dan j. Pendamping lain.
(3) Pendamping Korban harus memenuhi syarat: a. memiliki kompetensi tentang
Penanganan Korban yang berperspektif hak asasi manusia dan sensitivitas gender;
dan b. telah mengikuti pelatihan Penanganan perkara Tindak Pidana Kekerasan
Seksual.
(4) Pendamping diutamakan berjenis kelamin sama dengan Korban.

Pasal 39
(1) Korban atau orang yang mengetahui, melihat, dan/ atau menyaksikan peristiwa
yang merupakan Tindak Pidana Kekerasan Seksual melaporkan kepada UPTD PPA,
unit pelaksana teknis dan unit pelaksana teknis daerah di bidang sosial, Lembaga
Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat, dan/ atau kepolisian, baik di tempat Korban
berada maupun di tempat terjadinya tindak pidana.
(2) Tenaga medis atau tenaga kesehatan wajib menginformasikan kepada UPTD PPA,
unit pelaksana teknis dan unit pelaksana teknis daerah di bidang sosial, Lembaga
Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat, dan/ atau kepolisian jika menemukan adanya
dugaan tedadinya Tindak Pidana Kekerasan Seksual
Pasal 41
(1) UPTD PPA, unit pelaksana teknis dan unit pelaksana teknis daerah di bidang
sosial, dan/ atau lembaga Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat wajib: a. menerima
laporan di ruang khusus yang menjamin keamanan dan kerahasiaan Korban; dan
b.menyelenggarakan penguatan psikologis bagi Korban, dalam hal Korban
menyampaikan laporan dan/ atau informasi melalui UPTD PPA, unit pelaksana teknis
dan unit pelaksana teknis daerah di bidang sosial, dan/ atau Lembaga Penyedia
Layanan Berbasis Masyarakat.
(2) UPTD PPA, unit pelaksana teknis dan unit pelaksana teknis daerah di bidang
sosial, dan/atau Lembaga Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat wajib membuat
laporan kepada kepolisian atas laporan dan/ atau informasi yang disampaikan oleh
Korban, tenaga medis, tenaga kesehatan, psikiater, psikolog, atau pekerja sosial. (3)
UPTD PPA, unit pelaksana teknis dan unit pelaksana teknis daerah di bidang sosial,
dan/atau Lembaga Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat wajib menyampaikan
laporan dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lambat 3 x 24
(tiga kali dua puluh empat) jam sejak Korban melapor. (4) Dalam hal Korban
menyampaikan laporan langsung melalui kepolisian, kepolisian wajib menerima
Iaporan di ruang pelayanan khusus yang menjamin keamanan dan kerahasiaan
Korban. (5) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima oleh petugas
atau penyidik yang melalsanakan pelayanan khusus lagi Korban.

United Nations Convention Against Transnasional Organized Crime/UNCATOC


(Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 Tentang Konvensi PBB Anti Kejahatan
Transnasional Terorganisir).
Demikian halnya dengan konvensi PBB anti korupsi, di dalam konvensi ini juga
memberikan ide pengaturan berkaitan dengan Justice Collaborator dalam peradilan
pidana yakni diatur dalam pasal 26 sebagai berikut:
Ayat (2) : Setiap negara pihak wajib mempertimbangkan untuk membuka
kemungkinan, dalam keadaan yang tepat, pengurangan hukuman atas tertuduh yang
memberikan kerjasama yang berarti dalam penyelidikan atau penuntutan atas tindak
pidana yang tercakup oleh konvensi ini.
Ayat (3) : Setiap negara pihak wajib mempertimbangkan untuk membuka
kemungkinan, sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya, pemberian
kekebalan atas penuntutan terhadap seseorang yang memberikan kerjasama yang
berarti di dalam penyelidikan atau penuntutan atas tindak pidana yang tercakup oleh
konvensi ini.
2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas UndangUndang
Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Konsep plea bargaining diadopsi dalam undang-undang Perlindungan saksi dan
korban dalam bentuk ketentuan pasal mengenai saksi pelaku yang bekerjasama
(Justice Collabolators). Dalam ketentuan Pasal 10 A disebutkan bahwa:
ssssAyat (1): “Saksi pelaku dapat diberikan penanganan secara khusus dalam proses
pemeriksaan dan penghargaan atas kesaksian yang diberikan” Selanjutnya pada
Ayat (3) disebutkan: “Penghargaan kesaksian sebagaimana dimaksud pada ayat 1
berupa:
a.Keringanan penjatuhan pidana;atau
b.Pembebasan bersayarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang bagi saksi pelaku yang berstatus narapidana;
Definisi keringanan penjatuhan pidana disebutkan dalam penjelasan Pasal 10 A Ayat
(3) huruf (a) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban
yaitu: “yang dimaksud dengan keringanan penjatuhan pidana mencakup pidana
percobaan, pidana bersyarat khusus, atau penjatuhan pidana yang paling ringan
diantara terdakwa lain”.
Istilah saksi pelaku dalam ketentuan pasal 10 A sebagaimana tersebut di atas, bila
merujuk pada ketentuan pasal 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi
dan Korban, didefiniskan sebagai “tersangka, terdakwa, atau terpidana yang bekerja
sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana untuk kasus
yang sama”.
Selanjutnya dalam bagian lain pada penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, tidak dijelaskan mengenai definisi “kesaksian” saksi
pelaku. Namun demikian, secara umum dapat dipahami bahwa “kesaksian” saksi
pelaku sangat identik dengan “Keterangan Tersangka” atau “Keterangan
Terdakwa”. Pasal 189 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), mendefinisikan terdakwa adalah “apa yang terdakwa nyatakan di sidang
tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri”.
Dalam konteks pemeriksaan Penyidikan, maka keterangan tersangka adalah apa yang
tersangka sampaikan di hadapan penyidik yang kemudian dituangkan dalam berita
acara pemeriksaan. Ketentuan mengenai justice collabolator, dikuatkan dalam Surat
Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 04 Tahun 2011, Tentang Perlakuan Bagi
Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku Yang bekerjasama (Justice
Collabolators) Di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu. Meskipun tidak
sepenuhnya konsep plea bargaining diterapkan dalam Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi dan Korban dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04
Tahun 2011, Tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan
Saksi Pelaku Yang bekerjasama (Justice Collabolators) Di Dalam Perkara Tindak
Pidana Tertentu, namun memiliki kesamaan dalam penyelesaian perkara pidana yakni
dengan mengakomodir pengakuan terdakwa sebagai dasar hakim untuk menentukan
penjatuhan pidana yang lebih ringan, perbedaannya adalah dalam pemberlakuan
justice collabolator tidak ada kesepakatan (agreement) mengenai berat ringannya
tuntutan antara tersangka dengan penuntut umum sebagai kompensasi dari pengakuan
yang diberikan.
a. DAS SEIN
Plea Bargaining System mulai dibicarakan oleh pakar-pakar hukum Indonseia sejak
mulai diaturnya konsep tersebut dalam RUU KUHP dengan sebutan “Jalur Khusus” yang
diatur dalam pasal 199 RUU KUHAP. Plea Bargaining System merupakan model
penyelesaian perkara tindak pidana yang dilakukan sebelum proses adjudikasi dilakukan
di Pengadilan. Plea dalam Bahasa Inggris diartikan Permohonan atau pembelaan,
sedangkan Bargaining yang asal katanya dari bargain yang artinya tawar. Jadi Plea
Bargain adalah penyelesaian perkara yang lebih cepat dan efisien dengan pengakuan
bersalah dan tawaran pengurangan hukuman oleh Terdakwa/Tersangka. Plea Bargaining
dalam Black’s Law Dictionary diartikan sebagai kesepakatan hasil negosiasi antra jaksa
dengan terdakwa sehingga terdakwa yang mengakui kesalahannya akan mendapat
hukuman lebih ringan atau didakwa dengan tindak pidana yang lebih ringan. Praktiknya,
jaksa dan terdakwa melakukan negosiasi atau tawar-menawar setidaknya dalam tiga
bentuk, diantaranya: 1) charge 4 bargaining (negosiasi pasal yang didakwakan), yaitu
jaksa menawarkan untuk menurunkan jenis tindak pidana yang didakwakan; 2) fact
bargaining (negosiasi fakta hukum), yaitu jaksa hanya akan menyampaikan fakta-fakta
yang meringankan terdakwa; dan 3) sentencing bargaining (negosiasi hukuman), yaitu
negosiasi antra jaksa dengan terdakwa mengenai hukuman yang akan diterima terdakwa.
Hukuman tersebut umumnya lebih ringan.
Konsep Plea Bargaining ini merupakan sebuah konsep yang belum diterapkan di
Indonesia sehingga menjadi suatu kajian yang menarik untuk dikaji secara mendalam.

b. MASALAH/ISU HUKUM
1. Bagaimana pelaksanaan plea Bargaining system dalam sistem peradilan pidana
Indonesia?

2. Apakah kendala-kendala dalam penerapan Plea Bargaining System di Indonesia?

Anda mungkin juga menyukai