Anda di halaman 1dari 15

VICTIM IMPACT STATEMENT DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA

DAN PENGATURANNYA DALAM PROSES PERSIDANGAN

Nama : Agus Purwanto


NIM : 030609445
E-mail : aguspoer.1783@gmail.com
Fakultas : FHISIP
Program Studi : 311/ S-1 Ilmu Hukum
Masa Registrasi : 2021.1
Universitas : UPBJJ UT PURWOKERTO
Pokjar : LKP Kamilia Cilacap

ABSTRAK
Perlindungan hak-hak asasi pelaku kejahatan mulai dari sebagai tersangka,
terdakwa hingga terpidana adalah tidak sebanding dengan perlindungan hak asasi
manusia (pemulihan dari kerugian atau penderitaan) yang diterima oleh korban
kejahatan. Oleh karena itu, adanya victim impact statement, maka korban dapat
menuangkan segala keluh kesah atau kegelisahannya mengenai suatu tindak pidana
yang menimpanya. Korban dapat menjelaskan mengenai kejadian (tindak pidana)
yang ia alami secara lebih detail dan menyeluruh tanpa takut kepada siapapun,
korban dapat menjelaskan dampak sejelas-jelasnya dan tindak pidana itu dapat
sangat besar mempengaruhi hidupnya bahkan sikisnya. Dengan adanya victim
impact statement memiliki beragam manfaat bagi peradilan pidana yakni agar
hakim dapat lebih adil dalam memberikan putusan dan sebagai upaya perlindungan
hukum yang diberikan negara bagi para korban tindak pidana. Selain itu, victim
impact statement secara tidak langsung akan bermanfaat pada penguatan
kedudukan jaksa penuntut umum maupun LPSK dalam konstelasi hubungan sistem
peradilan pidana agar lebih aktif perannya dalam persidangan

Kata kunci:, Peradilan Pidana, Victim Impact Statement

1
PENDAHULUAN

Korban dalam tindak pidana dalam sistem hukum nasional, posisinya tidak
menguntungkan, karena korban tersebut dalam Sistem Peradilan (pidana) hanya
sebagai figuran, bukan sebagai pemeran utama atau hanya sebagai saksi (korban).
Kenyataannya, korban suatu tindak pidana sementara oleh masyarakat dianggap
sebagaimana korban bencana alam, terutama tindak pidana dengan kekerasan,
sehingga korban mengalami cidera bahkan sampai meninggal.1 Perkembangannya,
pelanggaran hak yang dilakukan seseorang tidak hanya berdampak kepada korban
saja, namun juga berdampak pula kepada masyarakat luas, sehingga diperlukan
adanya suatu institusi yang tampil sebagai pihak mewakili korban untuk melakukan
penuntutan kepada pelaku. Hal ini dapat dilihat dalam penuntutan menurut sistem
peradilan pidana di Indonesia yang menganut prinsip dominus litis yaitu hak
monopoli negara. Sayangnya, pengambilalihan hak-hak masyarakat oleh negara
dalam perkembangannya berorientasi kepada sistem pembalasan (retributive
system), yang justru cenderung melupakan kepentingan korban. Akibatnya, peranan
korban untuk menuntut hak-haknya mulai terabaikan.

Selama ini, fokus perhatian lebih pada masalah aspek penologis dari
hukum pidana, yakni bagaimana supaya pelaku tindak pidana dapat dihukum sesuai
dengan tindak pidana yang telah terbukti dilakukan, akibatnya banyak masalah
mengenai korban terluput dari perhatian. Menurut hukum Hamurabi, hubungan
antara korban dengan pelaku serta keluarganya sangat dominan di dalam proses
penyelenggaraan hukuman balas dendam. Pelaksanaan hukum Hamurabi kemudian
mengahadapi kendala manakala si pelaku atau keluarganya mempunyai kedudukan
tinggi dan juga berkekuatan mempertahankan diri, maka pembalasan dendam tidak
berjalan atau malahan berubah menjadi perlawanan oleh pelaku terhadap korban.
Di sini kedudukan korban menjadi tidak mendapat perlindungan hukum dan

1
Rena Yulia, “Mengkaji Kembali Posisi Korban Kejahatan Dalam Sistem Peradilan Pidana”.
Mimbar Hukum Volume 28, Nomor 1, Februari 2016, Hal 33

2
keadilan yang semestinya, maka dicarilah jalan keluar sebagai alternatif dengan
restitusi jika sifatnya ke arah privat atau kompensasi jika sifatnya ke arah publik.2
Ironisnya, perlindungan hak-hak asasi pelaku kejahatan mulai dari sebagai
tersangka, terdakwa hingga terpidana adalah tidak sebanding dengan perlindungan
hak asasi manusia (pemulihan dari kerugian atau penderitaan) yang diterima oleh
korban kejahatan. Semestinya korban kejahatan dapat dilindungi sebab pada waktu
Korban berhak menuntut pembalasan pada pelaku, korban dapat menentukan besar
kecilnya ganti rugi yang diharapkannya, akan tetapi setelah segala bentuk balas
dendam dan ganti mgi diambil alih oleh negara, peranan korban tidak diperhatikan
lagi. Korban kejahatan dalam hukum pidana dan peradilan pidana hanya berperan
sebagai pelapor (delik biasa), pengadu (delik aduan), saksi (perkara pidana) dan
pihak yang berkepentingan (perkara Praperadilan). Kerugian korban dinilai dari hal
yang ditimbulkan dari perbuatan melawan hukum dalam konteks keperdataan.3
Polisi dan jaksa sebagai bagian sub-sistem peradilan pidana sebagai ‘pintu
gerbang’ masuknya perkara pidana ke pengadilan menunjukkan sikap yang kurang
respek terhadap korban/pelapor. Negara, dalam hal ini polisi dan jaksa, memiliki
peran yang sangat dominan dan memonopoli reaksi terhadap pelanggaran hukum
pidana merupakan wakil yang sah dari masyarakat atau kepentingan publik,
sesungguhnya telah mengambil alih peran korban sebagai pihak yang menderita
karena kejahatan. Dominannya peran negara tersebut tidak diikuti oleh pengaturan
hukum yang jelas mengenai hubungan hukum antara korban kejahatan di satu pihak
dengan negara (dalam hal ini polisi dan jaksa) di lain pihak. Keadaan tersebut
menjadi conditio sine qua non bagi nasib korban kejahatan, yakni sebagai objek
yang pasif dalam penyelenggaraan sistem peradilan pidana. Partisipasi korban
kejahatan dalam sistem peradilan dipandang sebagai “nothing more than a piece of

2
Bambang Poernomo, Hukum dan Viktimologi, Program Pascasarjana Ilmu Hukum Pidana
Universitas Padjadjaran Bandung, 2001/2002.
3
Budi Suhariyanto, “Quo Vadis Perlindungan Hukum Terhadap Korban Melalui Restitusi”. Jurnal
Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013

3
evidence” yang posisinya berada di luar sistem (outsider), bukan menjadi pihak
yang sangat berkepentingan dan terlibat dalam sistem (insider).4
Sebagai contoh, mahkamah Agung (MA) akhirnya membebaskan korban
perkosaan yang dituntut penjara oleh jaksa. Korban yang masih anak-anak tersebut
diperkosa kakaknya yang masih anak-anak juga, hingga hamil. Kasus bermula saat
si kakak memperkosa adiknya pada September 2017.5 Proses peradilan pidana
selama ini justru lebih mengutamakan perlindungan kepentingan pelaku kejahatan
dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa sistem peradilan pidana diselenggarakan
untuk mengadili tersangka dan bukan untuk melayani kepentingan korban
Kejahatan merupakan tindakan melanggar kepentingan (termasuk hukum
publik) dan raksi atas kejahatan menajadi monopoli negara sebagai representasi
publik atau masyarakat. Nasib korban kejahatan diibaratkan seperti orang yang
mengalami bencana alam dan system peradilan pidana tidak mempedulikan nasib
orang yang menderita karena bencana alam.6 Dalam kasus tindak pidana perkosaan,
pihak yang paling dirugikan adalah wanita karena wanita kehilangan masa depan
sekaligus yang menanggung 'hukuman' dari masyarakat. Padahal seorang korban
pemerkosaan sama sekali tidak bersalah dan merupakan pihak yang benar-benar
tidak berdaya, di sini dapat disimpulkan bahwa selain korban mendapatkan
perlakuan yang kurang pantas di lingkungannya, korban juga bsa mendapat
pelecehan saat dimintai keterangan oleh kepolisian dan saat proses persidangan
korban pemerkosaan hanya sebagai saksi yang bisa saja mendapatkan pertanyaan
yang menjebak dari hakim, lalu korban kurang diperhatikan untuk kedepannya,
maksudnya seperti dampak yang akan dihadapinya.
Hal ini yang menjadi poin terpenting dalam pembuatan suatu pernyataan
dampak korban atau dalam Bahasa asing disebut ”Victim Impact Statement”.
Dengan membuat sebuah victim impact statement korban dapat menuangkan segala
keluh kesah atau kegelisahannya mengenai suatu tindak pidana yang menimpanya.

4
Mudzakkir, “Kedudukan Korban Tindak Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia
Berdasarkan KUHP dan RUU KUHP”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 14 No.1, Maret 2011, hal 29
5
https://news.detik.com/berita/d-4611015/ma-vonis-bebas-korban-perkosaan-yang-dituntut-penjara
6
Ibid, hal. 31

4
Korban dapat menjelaskan mengenai kejadian (tindak pidana) yang ia alami secara
lebih detail dan menyeluruh tanpa takut kepada siapapun, korban dapat menjelaskan
dampak sejelas-jelasnya dan tindak pidana itu dapat sangat besar mempengaruhi
hidupnya bahkan sikisnya.7 Seorang hakim dapat menggunakan informasi yang
berasal dari pernyataan ini untuk membantu menentukan hukuman pelaku.

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis


normatif. Yuridis normatif yaitu pendekatan yang memakai konsep legitis positivis.
Konsep ini memandang hukum identik dengan norma tertulis yang dibuat dan
diundangkan lembaga / pejabat yang berwenang. Selain itu, konsep ini memandang
hukum sebagai suatu sistem normatif yang bersifat otonom tertutup dan terlepas
dari kehidupan masyarakat yang ada.8 Pendekatan bersifat yuridis normatif adalah
penelitian dengan data sekunder yang dilakukan dalam mencari sumber yang
bersifat teori yang berguna untuk memecahkan masalah melalui studi kepustakaan
meliputi peraturan, keputasan dan dokumen resmi yang terkait dengan masalah
penelitian.9 Pendekatan digunakan untuk mengetahui victim impact statement dan
pengaturannya dalam persidangan di beberapa negara yang memberlakukannya.
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan
(Library Research). Library Research adalah metode yang mengkaji, menelaah,
mempelajari bahan hukum yang bersumber dari peraturan perundang-undangan,
buku, dokumen resmi lainnya yang relevan dengan masalah yang akan diteliti
kemudian diindentifikasi dan dipelajari sebagai kesatuan yang utuh. Data yang
digunakan penulis dalam penelitian ini berupa bahan hukum yang terdiri dari;
1) Peraturan Perundang-undangan terkait victim impact statement

7
Arief Mansur & Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korbsan Kejahatan Jakarta: PT.
RajaGrafindo, 2007 hal. 45-46.
8
Rony Hanitijo Sumitro. 1983. Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia, Jakarta. hlm 11.
9
Johnny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia
Publishing, hlm. 295

5
2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas undang-undang
nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban;
Penyajian data yang dilakukan sebagai bahan hukum di dalam penelitian
ini menggunakan bentuk teks naratif, adalah data yang sudah diolah dalam uraian
teks narasi. Penyajian teks naratif ini merupakan sebuah uraian yang disusun secara
sistimatis, logis, dan rasional. Dalam arti keseluruhan data yang diperoleh akan
dihubungkan satu dengan yang lainnya disesuaikan dengan pokok permasalahan
yang diteliti, sehingga merupakan suatu kesatuan yang utuh. Metode analisis data
yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini ialah metode analisis data
normatif kualitatif. Metode analisis data normatif kualitatif yaitu pembahasan dan
penjabaran yang disusun secara logis terhadap hasil penelitian terhadap norma
kaidah maupun teori hukum yang relevan dengan pokok permasalahan. 10

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Peradilan pidana sebagai suatu penegakan hukum atau law enforcement,


bertujuan menanggulangi masalah kejahatan yang terkandung aspek hukum yang
menitik beratkan kepada operasionalisasi berjalannya suatu peraturan perundang-
undangan dalam mencapai kepastian hukum. Di Indonesia sendiri setiap lembaga
peradilan memiliki tugas maupun wewenang masing-masing dalam menjalankan
peradilan dengan tujuan mencegah masyarakat menjadi korban, menyelesaikan
kasus kejahatan yang ada sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah
ditegakkan dan yang bersalah di pidana, mengusahakan agar yang pernah
melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatan.11
Dalam konteks victim impact statement, peranan korban dalam sistem
peradilan pidana (criminal justice system) menjadi menentukan dalam pembuktian,
mengingat korban memiliki kualitas sebagai saksi (saksi korban) di samping saksi-
saksi yang lain sebagai alat bukti sah pada pemeriksaan perkara pidana. Pengaturan

10
Ronny Hanitijo Soemitro, op.cit., hlm 98.
11
Rachmani Puspitadewi. 2006. Sekelumit Catatan Tentang Perkembangan Kekuasaan Kehakiman
di Indonesia. Jurnal Hukum Pro Justitia. Vol. 24 No.1. Hal. 1

6
dan perlindungan hukum bagi saksi korban dapat dibenarkan secara sosiologis
bahwa dalam kehidupan bermasyarakat semua masyarakat harus berpartisipasi
penuh. Hal ini karena masyarakat dipandang sebagai sistem kepercayaan yang
melembaga (system of institutionalized trust). Tanpa kepercayaan maka kehidupan
sosial tidak mungkin berjalan dengan baik sebab tidak terdapat pedoman yang pasti
dalam bertingkah laku. Kepercayaan ini terpadu melalui norma yang diekspresikan
dalam struktur organisasi seperti polisi, jaksa, pengadilan dan lain. Bagi korban
kejahatan, dengan kejahatan terhadap dirinya akan menghancurkan kepercayaan
dan pengaturan hukum berfungsi untuk mengembalikan kepercayaan ini.12
Wacana penerapan victim impact statement ini menjadi hal yang sangat
urgent karena dalam pengaturan dan perlindungan korban di Indonesia melalui
perundang-undangan yang ada selama ini, belum terlihat adanya jaminan yang pasti
terhadap keamanan dan keselamatan korban. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP), sebagai ketentuan hukum beracara pidana di Indonesia,
tersangka atau terdakwa memiliki sejumlah hak yang diatur secara tegas dan rinci
dalam suatu bab tersendiri. Sebaliknya bagi saksi termasuk saksi korban, hanya
terdapat beberapa pasal dalam KUHAP yang memberikan hak pada saksi, tetapi
pemberiannya pun selalu dikaitkan dengan tersangka atau terdakwa. Kepentingan
atau hak saksi yang dilindungi dalam KUHAP hanya diatur dalam satu pasal yakni
Pasal 229. Dalam penegakkan hukum pidana diperlukan adanya alat bukti berupa
keterangan korban namun tidak mudah dalam mendapatkannya. Hal ini terbukti
bahwa masih banyak korban kejahatan, di mana dirinya tidak ingin dan bahkan
takut untuk melaporkan kejahatan yang dilakukan.13
Victim impact statement ini pada prinsipnya akan membantu penegakan
hukum di Indonesia menjadi lebih adil. Hal ini karena korban kejahatan yang pada
dasarnya merupakan pihak yang paling menderita dalam suatu tindak pidana, belum
memperoleh perlindungan memadai seperti yang diberikan oleh undangundang

12
Muladi, Perlindungan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana sebagaimana dimuat dalam
kumpulan karangan Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana (Semarang:
Universitas Dipenogoro, 1997), hlm. 172.
13
Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana (Semarang: Universitas
Diponegoro, 2002), hlm. 178

7
kepada pelaku kejahatan. Akibatnya, pada saat pelaku kejahatan telah dijatuhi
sanksi pidana pengadilan, kondisi korban kejahatan seperti tidak dipedulikan sama
sekali. Padahal, masalah keadilan dan juga penghormatan hak asasi manusia tidak
hanya berlaku terhadap pelaku saja, tetapi juga korban. Hal penting dalam Negara
Hukum adalah penghargaan dan komitmen menjunjung tinggi hak asasi manusia
serta jaminan semua warga Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum
(equality before law). Pasal 27 Ayat 1 UUD 1945 sangat menegaskan bahwa setiap
warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”14
Selama ini, tanpa adanya victim impact statement di Indonesia, suatu
penyelesaian perkara pidana banyak ditemukan korban kejahatan kurang
memperoleh perlindungan hukum yang memadai baik perlindungan yang sifatnya
immaterial maupun materiil. Korban kejahatan ditempatkan sebagai alat bukti yang
memberi keterangan, yaitu hanya sebagai saksi sehingga kemungkinan bagi korban
kejahatan untuk memperoleh keleluasaan dalam memperjuangkan haknya adalah
kecil. Korban tidak diberikan kewenangan dan tidak terlibat secara aktif dalam
proses penyidikan dan juga persidangan sehingga kehilangan kesempatan untuk
memperjuangkan hak-hak dan memulihkan keadaannya akibat suatu kejahatan.
Pemeriksaan suatu tindak pidana sering kali menempatkan korban hanya diposisi
sebagai pemberi kesaksian,6 sebagai pelapor dalam proses penyidikan, dan sebagai
sumber informasi atau sebagai salah satu kunci penyelesaian perkara.15
Dalam konteks viktimologi, dasar pertimbangan perlunya diatur suatu
undang-undang mengenai victim impact statement di dalam proses peradilan pidana
sering mengalami kesukaran dalam mencari kejelasan tentang tindak pidana yang
dilakukan oleh pelaku. Suatu proses peradilan pidana, saksi (korban) memegang
peran kunci dalam upaya mengungkap suatu kebenaran materiil. Dalam Pasal 184
ayat 1 KUHAP, keterangan saksi ditempatkan pada urutan pertama di atas alat bukti

14
Chaerudin dan Syarif Fadillah, Korban Kejahatan dalam Perspektif Viktimologi dan
Hukum Pidana Islam, Ghalia Press, Jakarta, 2004, hlm. 47.
15
Rena Yulia, Victimologi, Perlindungan Hukum terhadap Korban Kejahatan, Graha Ilmu,
Bandung, 2010, hlm. 81

8
lain yaitu keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Saksi (korban)
yang akan memberikan keterangan tentunya harus disertai jaminan bahwa yang
bersangkutan terbebas dari rasa takut sebelum, pada saat,dan setelah memberikan
kesaksian. Jaminan ini penting untuk diberikan terhadap korban guna memastikan
bahwa keterangan yang akan diberikan benar-benar murni bukan hasil rekayasa
apalagi hasil dari tekanan pihak-pihak tertentu.
Selama ini korban kejahatan merupakan orang yang terlupakan dalam
sistem peradilan pidana. Dengan demikian Pemerintah wajib memperhatikan hak-
hak korban dalam mengadili tindak pidana secara adil. Melalui victim impact
statement, kepentingan korban harus diberikan perhatian dalam penanganan
perkara pidana, selain sebagai saksi yang mengetahui terjadinya suatu kejahatan
juga karena kedudukan korban sebagai subjek hukum yang memiliki kedudukan
sederajat di depan hukum (equality before law). Hak-hak di atas cenderung
memberikan porsi lebih besar terhadap kedudukan korban dalam sistem peradilan
pidana. Korban tidak mendapat porsi jaminan yang sama dengan saksi. Kedudukan
korban tidak hanya sekedar ikut serta dalam proses memilih dan menentukan
bentuk perlindungan dan dukungan keamanan atau dapat memperoleh informasi
mengenai putusan pengadilan atau pun korban dapat mengetahui dalam hal
terpidana dibebaskan. Namun, sebagai pihak yang telah dirugikan korban pun
berhak untuk memperoleh ganti rugi dari apa-apa yang diderita.
Victim impact statement dalam konteks perlindungan hukum korban suatu
kejahatan sebagai bagian perlindungan masyarakat, dapat diwujudkan dalam
berbagai bentuk, seperti melalui pemberian restitusi dan kompensasi, pelayanan
medis, ataupun bantuan hukum. Pemberlakuan mengenai victim impact statement
pun dapat dilihat dari acuan UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban Pasal 5 hingga Pasal 7 mengenai hak korban (victim) dan saksi, yang
ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang
Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban.
Menurut peneliti, melihat pentingnya victim impact statement di dalam
perlindungan korban bahwa sistem perlindungan di Indonesia, maka perlu sering

9
diadakan sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat tentang hak-hak korban
Selain itu, pihak korban juga harus memiliki kesadaran hukum. Banyak korban atau
keluarganya yang mengetahui tindak pidana pemalsuan dokumen akan tetapi
menolak untuk melaporkan dengan berbagai alasan, seperti takut adanya ancaman
dari pelaku atau ketakutan apabila masalahnya dilaporkan akan menimbulkan aib
bagi korban atau keluarganya. Padahal, dari segi yuridis sikap pembiaran ini dapat
merugikan korban sendiri. Oleh karena itu, aparat hukum harus mengupayakan cara
guna mengatasi kendala seperti ini melalui victim impact statement.
Berdasarkan asas kesamaan di depan hukum (equality before the law) yang
menjadi telah salah satu ciri dari negara hukum, korban dalam proses peradilan
pidana harus diberi jaminan perlindungan hukum melalui victim impact statement.
Perlindungan saksi dan korban harus mengacu pada kelima asas yaitu penghargaan
atas harkat dan martabat manusia; 2) rasa aman; 3) keadilan; 4) tidak diskriminatif,
dan 5) kepastian hukum dengan tujuan untuk memberikan rasa aman bagi korban
dalam memberi keterangan pada setiap proses peradilan pidana. Dalam rangka
menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk mengungkap tindak pidana, perlu
diciptakan iklim yang kondusif dengan cara memberikan perlindungan hukum dan
keamanan kepada setiap orang yang mengetahui atau menemukan suatu hal yang
dapat membantu mengungkapkan tindak pidana yang telah terjadi dan melaporkan
hal tersebut kepada penegak hukum. Perlindungan tersebut dimaksudkan agar dia
tidak merasa terancam atau terintimidasi baik hak maupun jiwanya.
Selama ini banyak kasus kejahatan tidak pernah tersentuh proses hukum
untuk disidangkan karena tidak ada satupun saksi maupun korban yang berani
mengungkapkannya, sementara bukti lain yang didapat penyidik amatlah kurang
memadai. Ancaman penganiayaan, penculikan korban, saksi atau anggota keluarga
hingga pembunuhan menjadi alasan utama yang membuat nyali mereka menciut
untuk terlibat dalam memberikan kesaksian. Dalam prakteknya, tidak sedikit
ancaman atau intimidasi yang diterima korban, atau saksi atau keluarganya baik
dalam ancaman bentuk fisik, maupun psikis. Bahkan tidak jarang pula para saksi
yang mencoba berani memberi keterangan di persidangan terancam dihilangkan
nyawanya oleh pelaku atau suruhannya. Kondisi ini tentu akan memicu ketakutan

10
luar biasa baik bagi saksi korban maupun bagi saksi lainnya, akibatnya penyidik
seringkali kesulitan untuk mengungkap kejahatan yang terjadi untuk meneruskan
proses hukumnya sampai kepada pengadilan.16 Pembentukan kebijakan mengenai
perlindungan korban melalui victim impact statement perlu guna membentuk
peraturan yang mengakomodasi perlindungan (payung hukum) terhadap para
korban dalam sistem peradilan terpadu di Indonesia, dimana para korban menjadi
elemen penting untuk membantu tercapainya tuntutan keadilan di dalam sistem
peradilan terpadu (integrated criminal justice system)17
Dalam sistem peradilan pidana yang ada sekarang, dapat dimunculkan
pemikiran bahwa hak-hak korban diambil alih oleh negara. Korban sebagai pihak
yang langsung dirugikan kepentingannya, telah diwakili oleh Negara yang berperan
sebagai pelaksana proses hukum dianggap tidak perlu lagi memiliki sejumlah hak
yang memberi perlindungan baginya dalam proses peradilan. Peranan korban dalam
sistem peradilan pidana menjadi hilang. Kesempatan untuk menyampaikan
keadilan yang diinginkan menjadi sempit. Satusatunya peluang yang dimiliki dalam
konteks memperoleh keadilan korban adalah melalui kewenangan penuntut umum.
Maka posisi victim impact statement menjadi vital di dalam membantu Jaksa
penuntut umum dalam persidangan, melakukan penuntutan pada terdakwa atas
perbuatannya yang telah merugikan korban tindak pidana. Oleh karenanya, peran
jaksa ini hakikatnya adalah mewakili korban, walaupun dalam undang-undang
kejaksaan secara jelas disebutkan mewakili negara.18
Kehadiran victim impact statement sebagai wujud restorative justice pada
dasarnya menjadi kunci pembuka pemikiran kembali tentang posisi korban dalam
suatu penyelesaian perkara pidana. Penanganan perkara pidana dengan pendekatan
keadilan restoratif menawarkan pendekatan berbeda dalam memahami dan
menangani suatu tindak pidana. Dalam pandangan restorative justice makna tindak

16
Supriyadi Widodo Eddyono, Aspek-Aspek Perlindungan Saksi dan Korban dalam RUU
KUHAP, (Jakarta: Institute Criminal Justice Reform-ICJR, 2014), hlm. 1.
17
Supriyadi Widodo Eddyono, UU Perlindungan Saksi Belum Progresif Catatan Kritis
Terhadap Undang-Undang No 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, (Jakarta:
ELSAM, 2006), hlm. 2.
18
Heri Tahir, 2010, Proses Hukum yang Adil dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia,
Lakbang Pressindo, Yogyakarta, hlm. 184.

11
pidana pada dasarnya seperti pandangan hukum pidana pada umumnya. Akan
tetapi, dalam pendekatan keadilan restoratif ini, korban utama atas terjadinya suatu
tindak pidana bukanlah negara, sebagaimana dalam sistem peradilan pidana yang
sekarang ada. Oleh karenanya kejahatan menciptakan kewajiban untuk membenahi
rusaknya hubungan akibat terjadinya suatu tindak pidana19
Ada beberapa prinsip dasar yang menonjol dari restorative justice terkait
hubungan antara kejahatan, pelaku, korban, masyarakat dan Negara. Pertama,
kejahatan ditempatkan sebagai gejala yang menjadi bagian tindakan sosial dan
bukan sekedar pelanggaran hukum pidana; Kedua, restorative justice adalah teori
peradilan pidana yang fokusnya pada pandangan yang melihat bahwa kejahatan
adalah sebagai tindakan oleh pelaku terhadap orang lain daripada terhadap Negara.
Jadi lebih menekankan bagaimana tanggungjawab pelaku dalam menyelesaikan
masalahnya dengan korban. Ketiga, kejahatan dipandang sebagai tindakan yang
merugikan orang dan merusak hubungan sosial. Ini jelas berbeda dengan hukum
pidana yang telah menarik kejahatan sebagai masalah Negara, hanya Negara yang
berhak menghukum; dan Keempat, munculnya ide restorative justice sebagai kritik
atas penerapan sistem peradilan pidana dengan pemenjaraan yang dianggap tidak
efektif menyelesaikan konflik sosial.20 Melalui victim impact statement, keadilan
dalam restorative justice mengharuskan untuk adanya upaya mengembalikan
kerugian atau akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana, dan pelaku dalam hal ini
diberi kesempatan untuk dilibatkan dalam upaya pemulihan ini. Semua itu dalam
rangka memelihara ketertiban masyarakat dan memelihara perdamaian yang adil.21

19
Kuat Puji Prayitno, “Restorative Justice Untuk Peradilan di Indonesia (Perspektif Yuridis
Filosofis dalam Penegakan Hukum in Conreto)”, Dinamika Hukum, Vol. 12, No. 3, September
2012.
20
Marcus Priyo Gunarto,” Sikap Memidana yang Berorientasi Pada Tujuan Pemidanaan”,
Mimbar Hukum, Vol. 21, No. 1, Februari 2009
21
Muhammad Mustofa, “Kehadiran Negara dalam Perlindungan Saksi dan Korban
Kejahatan”, Jurnal Perlindungan, Edisi III, Vol. 1, Tahun 2013.

12
KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai pemberlakuan


victim impact statement yang telah dijelaskan di dalam bab sebelumnya, maka dapat
disimpulkan bahwa aanya victim impact statement memiliki beragam manfaat bagi
peradilan pidana yakni agar hakim dapat lebih adil dalam memberikan putusan dan
sebagai upaya perlindungan hukum yang diberikan negara bagi para korban tindak
pidana. Selain itu, victim impact statement secara tidak langsung akan bermanfaat
pada penguatan kedudukan jaksa penuntut umum maupun LPSK dalam konstelasi
hubungan sistem peradilan pidana agar lebih aktif perannya dalam persidangan.
Menurut hasil penelitian mengenai pemberlakuan victim impact statement
yang telah dijelaskan, peneliti memberi saran, yakni victim impact statement adalah
bentuk perlindungan hukum pada korban yang berorientasi pada upaya membantu
penegakan proses persidangan dengan lebih adil dan upaya perlindungan korban
dimana pelaku harus dapat mempertanggungjawaban atas tindak pidananya. Akan
tetapi penerapannya di negara di Dunia masih belum maksimal. Oleh karena itu,
peneliti memberi saran agar para penegak hukum secara aktif memberi pemahaman
penuh kepada masyarakatnya terkait adanya victim impact statement ini. Selain itu,
pada tataran implementasinya, para penegak hukum harus mempertimbangkan
victim impact statement sebagai bagian dari pengambilan putusan, sehingga tercipta
suatu kepastian hukum yang adil bagi para korban.

13
DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Abdul, Saliman. 2011. Hukum Bisnis Untuk Perusahaan Perusahaan Indonesia,


Jakarta, Kencana Prenada Media Group

Arif Mansur, Didik, 2007, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, Divisi Buku
Perguruan Tinggi, Raja Grafindo Persada, Jakarta

Gosita, Arif, 1993, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta.

Ibrahim, Johnny, 2008, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,


Banyumedia Publishing, Malang.

Kartono, Kartini, 1990. Pengantar Metodelogi Riset Sosial. Penerbit Mandar Maju,
Bandung

Mahmud Marzuki, Peter, 2005, Penelitian Hukum, Prenda Media Grup, Jakarta.

Mardjono Reksodiputro. 2013. Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat


Kejahatan Dan Penegakan Hukum Pada Batas Toleransi), Fakultas Hukum
Unversitas Indonesia

Mark Umbreit. 2004. Family Group Conferencing: Implications for Crime Victims,
The Center for Restorative Justice, University of Minnesota, Second
Edition, Wastview, Colorado, USA,

Muladi, Kapita. 2009. Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang

Poernomo, Bambang, 2001/2002, Hukum dan Viktimologi, Bandung.

Reiff, Robert, 1979, The Invisible Victim, Basic Books Inc. Publishers, New York

Remington dan Ohlin. 1996, Sistem Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme


dan Abolisionisme, (Jakarta: Binacipta)

Soekanto, Soerjono, 1981 “Pengantar Penelitian Hukum”, Jakarta : UI Pres

Sugiyono, 2012, “Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D”, Bandung :


Alfabeta

14
Jurnal:

Budi Suhariyanto, “Quo Vadis Perlindungan Hukum Terhadap Korban Melalui


Restitusi”. Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013

Department of Justice “Consultation on Provision of Victim Impact Statements and


Victim Impact Reports”, December 2011

Ernita Larasati, Eko Raharjo, dan Gunawan Jatmiko, “Analisis Perlindungan


Hukum Terhadap Saksi Dalam Pemeriksaan Perkara Pidana (Studi di
Wilayah Hukum Bandar Lampung)”, Vol 5, No 3 (2017)

Lidya Rahmadani Hasibuan, M.Hamdan, Marlina dan Utary Maharani Barus


“Restorative Justice Sebagai Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana
Berdasarkan UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak” USU Law Journal, Vol.3.No.3, November 2015

Puspitosari, Hervina dan Sura Priambada, Bintara, “Victim Impact Statement Model
in Criminal Justice System in Restorative Justice Perspective”, SHS Web of
Conferences 54, (2018)

Mudzakkir, Maret 2011, “Kedudukan Korban Tindak Pidana Dalam Sistem


Peradilan Pidana Indonesia Berdasarkan KUHP dan RUU KUHP”, Jurnal
Ilmu Hukum, Vol. 14 No.1,

Muhadar, Edi Abdullah, dan Husni Thamrin, 2009 “Perlindungan Saksi dan
Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana”, ITS Press, Surabaya

Rena Yulia, “Mengkaji Kembali Posisi Korban Kejahatan Dalam Peradilan Sistem
Pidana”. Mimbar Hukum Volume 28, Nomor 1, Februari 2016,

Rudini Hasyim Rado, Nurul Badilla “Konsep Keadilan Restoratif Dalam Sistem
Peradilan Pidana Terpadu” JURNAL RESTORATIVE JUSTICE Vol. 3,
Nomor 2, November 2019

Team of Australia’s Federal Prosecution Service, Victim Impact Statement, (Paper


presented at Australia’s Federal Prosecution Service, June 2013).

15

Anda mungkin juga menyukai