ABSTRAK
Dalam upaya perlindungan HAM, ASEAN mencapai babak baru pada
urusan HAM. Sebagai amanat dari ASEAN Charter, maka negara-negara di ASEAN
mentandatangani Terms of Reference terkait keberadaan ASEAN Intergovermental
Commission on Human Rights (AICHR)/ Peresmian AICHR ini. Dengan hadirnya
ASEAN Intergovermental Commission on Human Rights (AICHR) ini, maka negara
anggota lebih memilih penyelesaian regional daripada penyelesaian internasional.
Penyelesaian regional dipilih karena aturan disesuaikan dengan kondisi kawasan.
Akan tetapi, masih ada permasalahan dalam Badan HAM ASEAN ini membutuhkan
landasan dan kedudukan kuat untuk dapat memberi teguran. Terdapat bias wewenang
yakni apakah ruang lingkup kewenangan dan tugasnya mampu menyelesaikan
pelanggaran HAM yang dilakukan negara anggota ASEAN. Sementara prinsip dasar
dalam ASEAN Charter adalah menghormati asas integritas teritorial, kedaulatan, non
intervensi dan jati diri nasional negara anggota ASEAN. Yurisdiksi, kompetensi, dan
kewenangan AICHR dalam melindungi hak asasi manusia (HAM) pada negara
kawasan ASEAN melalui proses hukum harus diatur tegas agar tidak menimbulkan
multitafsir. Penentuan ruang lingkup kewenangan dalam menangani penyelesaian
masalah pelanggaran HAM negara anggota ASEAN tidaklah mudah karena
dihadapkan pada prinsip ASEAN Charter itu sendiri yaitu tidak mencampuri urusan
dalam negeri anggota ASEAN. Oleh karena itu, diperlukan beberapa perbaikan dan
penguatan pada badan hukum HAM di ASEAN dalam hal ini adalah AICHR untuk
dapat meningkatkan kinerja dalam penegakan HAM.
Kata Kunci: Pemenuhan HAM, ASEAN, Organisasi Regional
1
PENDAHULUAN
1
Scott Davidson, Hak Asasi Manusia: Sejarah Teori dan Praktek dalam Pergaulan Internasional,
(Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1994). 40
2
Zainuddin Djafar. 2009. “ASEAN Charter, Legalitas Tonggak Baru Menuju Integrasi Regional”.
Jurnal Hukum Internasional. Volume 6 Nomor 2
2
oleh hal tersebut, negara-negara Asia Tenggara menyadari perlunya dibentuk
kerjasama untuk meredakan rasa saling curiga dan membangun kepercayaan, serta
mendorong kerjasama pembangunan.3
ASEAN didirikan pada tanggal 8 Agustus 1967 oleh lima negara yaitu
Indonesia, Thailand, Philipina, Malaysia, dan Singapura, yang kemudian
keanggotaan ASEAN berkembang menjadi sepuluh negara termasuk Brunei
Darussalam, Vietnam, Laos, Myanmar, Kamboja. Akan tetapi, kedudukan
organisasi regional ASEAN yang beranggotakan negara di kawasan Asia tenggara
sebagai organisasi internasional publik belumlah kuat. Hal tersebut karena
dokumen konstitutif pembentukan ASEAN yang hanya didasarkan Deklarasi
Bangkok 1967 dan TAC 1976 tidak menyebutkan secara eksplisit posisi ASEAN
sebagai organisasi internasional.4 Barulah di Konferensi Tingkat TInggi ASEAN di
Singapura bulan November 2007 ditandatangani ASEAN Charter yang merupakan
salah satu perjanjian internasional sebagai dasar konstitutif ASEAN yang dibuat
negara anggota untuk memperkuat kedudukan ASEAN sebagai suatu organisasi
internasional. Pasal 3 ASEAN Charter secara tegas menyatakan bahwa ASEAN
sebagai organisasi antar pemerintah mempunyai personalitas yuridis baik dimensi
domestik maupun internasional. Konsekuensinya,ASEAN memiliki personalitas
yuridis maka ASEAN mempunyai kedudukan sebagai subyek hukum internasional
yang dilekati sejumlah hak dan kewajiban internasional dalam urusannya.
3
Mohamad Faisol Keling, dkk. 2010.”The Development of ASEAN from Historical Approach”.
Asian Social Science Vol. 7, No. 7; July 2010
4
Harkristuti, 2009, 25 Mei. “ASEAN Human Rights Body: Suatu Catatan Ringkas”. Makalah
Lokakarya ASEAN Human Rights Body, Berbagai Telaah Strategis. Depok.
3
mengatur tentang pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia (HAM) negara-
negara di ASEAN, yaitu membentuk Badan HAM ASEAN (ASEAN human rights
body). Isu-isu HAM ini antara lain terdapat pada pembukaan yang menyatakan
“Adhering to the principles of democracy, the rule of law and good governance,
respect for and protection of human rights and fundamental freedoms; purposes.5
5
Elena Asciutti. 2010. “The ASEAN Charter:. Perspectives on Federalism, Vol. 2, issue 1,
6
Djauhari Oratmangun. 2009. “ASEAN Charter: A New Beginning for Southeast Asian Nations”.
Jurnal Hukum Internasional. Volume 6 Nomor 2 Januari 2009 (Akreditasi No 576/D3/U/2005)
4
menyelesaikan masalah hukum yang terkait dengan HAM; bekerjasama dengan
lembaga di Asia atau internasional terkait perlindungan HAM, mempertimbangkan
secara periodik laporan negara mengenai hukum atau tindakan yang diambil oleh
negara untuk memberikan perlindungan terhadap hak dan kebebasan yang dijamin
dalam ASEAN Charter. Sedangkan fungsi perlindungan HAM (protection of human
rights) berarti Komisi HAM harus bertanggungjawab memastikan perlindungan
HAM dalam kondisi yang ditetapkan dalam Piagam dan sesuai dengan aturan yang
ditetapkan mengenai prosedur. Dengan ketentuan HAM yang secara eksplisit
terdapat dalam ASEAN Charter membawa ”angin segar” bagi negara-negara
ASEAN dalam upaya perlindungan hak asasi manusia, yaitu dengan membentukan
badan HAM pada tingkat regional kawasan Asia Tenggara. ASEAN Charter
dikatakan berdampak positif bagi perlindungan HAM di kawasan ASEAN
setidaknya didasari atas dua alasan utama, antara lain;7
1. Berbeda dengan negara Eropa, Amerika dan Afrika selama ini di tingkat
regional sudah memiliki badan HAM regional, negara Asia khususnya
Asia Tenggara belum memiliki badan HAM tingkat regional.
2. Sejak berdiri 44 tahun lalu, penegakan HAM di negara ASEAN hanya
ditekankan untuk memajukan HAM. Barulah dalam ASEAN Charter ini
semua negara akhirnya menyepakati bahwa penegakan HAM harus juga
mencakup perlindungan HAM yang ditegaskan dalam Pasal 14 dengan
membentuk badan untuk memajukan dan meningkatkan perlindungan
HAM dan kebebasan-kebebasan dasar (fundamental freedoms).
Dalam upaya perlindungan HAM, ASEAN mencapai babak baru pada
urusan HAM. Sebagai amanat dari ASEAN Charter, maka negara-negara di
ASEAN mentandatangani Terms of Reference (ToR) terkaitt keberadaan ASEAN
Intergovermental Commission on Human Rights sebagai hasil penyelenggaraan
Konferensi Tingkat Tinggi ke-15 ASEAN di Hua Hin, Thailand. Peresmian AICHR
ini dilaksanakan di sela pelaksanaan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-
15 yang dihadiri oleh seluruh komisi yang berjumlah 10 orang. Anggota AICHR
merupakan perwakilan masing-masing anggota ASEAN.Pembentukan AICHR
merupakan langkah maju dalam penguatan nilai HAM di ASEAN dan memberikan
7
Inggrid Galuh Mustikawati, Jurnal Hukum dan HAM Vol.9, no.1, 2011. hal. 23.
5
peluang lebih besar akan perbaikan implementasi dan penegakan HAM.8 Dengan
hadirnya ASEAN Intergovermental Commission on Human Rights (AICHR) ini,
maka negara anggota lebih memilih penyelesaian regional daripada penyelesaian
internasional. Penyelesaian regional dipilih karena aturan-aturan disesuaikan
dengan kondisi kawasan. Akan tetapi, masih ada permasalahan dalam Badan HAM
ASEAN ini membutuhkan landasan dan kedudukan kuat untuk dapat memberi
teguran. Terdapat bias wewenang yakni apakah ruang lingkup kewenangan dan
tugasnya mampu menyelesaikan perkara pelanggaran HAM yang dilakukan
negara-negara anggota ASEAN. Sementara prinsip dasar dalam ASEAN Charter
adalah menghormati asas integritas teritorial, kedaulatan, non intervensi dan jati diri
nasional negara-negara anggota ASEAN.
8
3 Fitria “Questioning the Prospect of Upholding Human Rights in Southeast Asia in the Coming
Five Years”. Postscripts Vol. VI, no.5, 2009.
6
Selain itu, masalah lain yang kemudian muncul dengan terbentuknya
AICHR ini adalah bagaimanakah AICHR ini dapat tetap memajukan dan
melindungi HAM di ruang lingkup ASEAN sekaligus pada saat bersamaan
mengakomodasi integritas dan kepentingan negara ASEAN. Dilema ini berat
mengingat mayoritas negara anggota ASEAN memiliki persoalan HAM, seperti
contoh Negara Myanmar dengan rejim militer yang otoriter dan penindasan etnis
minoritasnya (Rohingya, dan lain), Thailand dengan kekerasan dan konflik di
Thailand Selatan dan sengketa perbatasan Kamboja, Malaysia dengan masalah
diskriminasi rasial dan pemberlakuan internal security act-nya, Kamboja dengan
berlarutnya peradilan terhadap mantan petinggi Khmer Merah, Philippina dengan
berlarutnya konflik dan macetnya perdamaian MoroMindanao, termasuk Indonesia
yang memiliki masalah HAM masa lalu seperti PKI, dan permasalahan saat ini
seperti kemiskinan, serta pemenuhan hak-hak ekonomi, masyarakat.
9
Michael W. Doyle and John Ikenberry, New Thinking In International Relations Theory,
Westview Press, Boulder, Colo, 1997. Hal. 163
7
dihadapkan pada prinsip ASEAN Charter itu sendiri yaitu tidak mencampuri urusan
dalam negeri anggota ASEAN. Oleh karena itu, diperlukan beberapa perbaikan dan
penguatan pada badan hukum HAM di ASEAN dalam hal ini adalah ASEAN
Intergovermental Commission on Human Rights (AICHR) untuk meningkatkan
kinerja dan kapasitasnya dalam penegakan Hak Asasi Manusia (HAM).
METODE PENELITIAN
10
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta, CV. Rajawali, 1996, hlm. 15.
11
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta, PT. Raja Grafindo
Persada, 2006, hlm. 118.
8
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Secara umum, John Locke menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah
hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan sebagai hak yang kodrati. Oleh
karenanya, tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya. Hak ini
sifatnya sangat mendasar (fundamental) bagi hidup dan kehidupan manusia dan
merupakan hak kodrati yang tidak bisa terlepas dari dan dalam kehidupan
manusia.12 Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia Pasal 1 disebutkan “Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak
yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi,
dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan
serta perlindungan harkat dan martabat.
HAM merupakan hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat
kodrati dan fundamental sebagai suatu anugerah Tuhan yang harus dihormati,
dijaga dan dilindungi oleh setiap individu, masyarakat atau negara. Dengan
demikian hakikat penghormatan dan perlindungan terhadap HAM ialah menjaga
keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan yaitu
keseimbangan hak dan kewajiban, serta keseimbangan antara kepentingan
perseorangan dan kepentingan umum.13 Prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia adalah
landasan orientasi berpikir dalam penegakan hak asasi manusia secara universal. Di
dalam hampir semua perjanjian internasional, prinsip-prinsip ini diaplikasikan ke
dalam hak-hak yang lebih luas. Prinsip-prinsip tersebut adalah prinsip kesetaraan,
pelarangan diskriminasi dan kewajiban positif yang dibebankan kepada setiap
negara digunakan untuk melindungi hak-hak tertentu.14
Penegakan hukum sebagai suatu proses, pada hakikatnya merupakan
penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat
12
Masyhur Effendi. Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan
Internasional, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1994), hal. 3.
13
7Robert Audi dalam Majda El-Muhtaj, 2005, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi-konstitusi
Indonesia, Kencana: Jakarta, hal. 50
14
Rhona K.M. Smith, Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008), 39.
9
diatur oleh kaidah hukum, namun demikian mempunyai unsur penilaian pribadi.
Secara konsepsional, inti penegakkan hukum terletak pada kegiatan meyerasikan
hubungan nilai-nilai terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang tegas serta sikap
tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan,
memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Konsepsi yang
mempunyai dasar filisofis tersebut memerlukan penjelasan lebih lanjut sehingga
akan tampak lebih konkrit.15 Penegakkan hukum adalah suatu proses untuk
mewujudkan keinginan hukum menjadi kenyataan. Disebut keinginan hukum disini
tidak lain adalah pikiran badan pembuat Undang-Undang yang dirumuskan di
dalam peraturan hukum. Peraturan hukum itu. Perumusan pemikiran pembuat
hukum yang dituangkan dalam peraturan hukum akan turut menentukan penegakan
hukum dijalankan.16 Penegakan hukum berfungsi sebagai perlindungan
kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus
dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai tetapi
dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum.
Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia, pelanggaran hak asasi manusia adalah perbuatan seseorang atau
kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja
atau kelalaian yang secara hukum menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak
asasi manusia seseorang atau kelompok yang dijamin oleh undang-undang dan
tidak mendapatkan penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan
mekanisme hukum yang berlaku. Hal demikian dikuatkan kembali pada Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, bahwa pelanggaran
HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orng termasuk aparat
negara baik disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, membatasi,
atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok yang dijamin oleh
Undang-Undang ini, dan tidak didapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan
memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme
hukum yang berlaku.
15
Soerjono Soekanto. Faktor yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum. Grafindo. Jakarta. Hal 7
16
Satjipto Raharjo. Penegakan Hukum Sebagai Tinjauan Sosiologis.. Yogyakarta. 2009. Hal 25
10
Dengan demikian pelanggaran HAM merupakan tindakan pelanggaran
kemanusiaan baik dilakukan oleh individu maupun oleh institusi negara atau
institusi lainnya terhadap hak asasi individu lain tanpa ada dasar atau alasan yuridis
dan alasan rasional yang menjadi pijakanya. Definisi di atas pada akhirnya
mengaburkan antara pelanggaran HAM dan pelanggaran hukum. Bagaimana
dengan individu atau kelompok masyarakat yang melakukan perbuatan melanggar
hak asas manusia yang telah dijamin dalam peraturan perundang undangan (pelaku
non state). Apakah pelaku non state ini dapat dialifikasikan sebagai pelanggar hak
asasi manusia atau pelanggar hukum. Pada prinsipnya hak asasi manusia adalah hak
yang melekat pada hakekat keberadaan manusia, oleh karena tiap orang
berkewajiban untuk menghargai dan menghormati hak asasi manusia. Berdasarkan
hukum HAM Nasional, secara tegas dinyatakan bahwa pelanggaran HAM dapat
dilakukan oleh perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara
baik disengaja, maupun tidak disengaja atau kelalaian yang melawan hukum,
mengurangi, menghalangi, membatasi dan mencabut HAM seseorang atau
kelompok orang yang dijamin undang-undang. Dengan demikian, pelaku
pelanggaran dapat dilakukan individu, kelompok orang, dan negara. Definisi
pelanggaran HAM sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang
Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM
Selain itu, pelanggaran HAM dapat dikelompokkan menjadi 2 bentuk,
yaitu pelanggaran HAM ringan, yang biasanya disebut sebagai pelanggaran HAM
dan pelanggaran HAM berat, yaitu meliputi kejahatan genosida dan kejahatan
kemanusiaan. Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan
tujuan untuk memusnahkan atau menghancurkan seluruh atau sebagian dari
kelompok bangsa, kelompok etnis, kelompok agama, dan ras. Sementara kejahatan
kemanusiaan seringkali diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan dengan
serangan meluas dan sistematis. Adapun serangan yang dimaksud ditujukan secara
langsung terhadap penduduk sipil berupa:
a. Pembunuhan dan pemusnahan
b. Perbudakan dan penyiksaan
c. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa,
11
d. Perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik secara sewenang-wenang
yang melanggar (asas-asas) ketentuan,
e. Pemerkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan kehamilan, pelacuran
secara paksa, pemandulan atau sterelisasi secara paksa atau bentuk-bentuk
kekerasan seksual lain yang setara,
f. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang
didasari persamaan paham politik, kebangsaan, ras, budaya, etnis, agama,
jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai
hal yang dilarang menurut hukum internasional.
g. Penghilangan orang secara paksa
h. Kejahatan apartheid, penindasan dan dominasi kelompok atau kelompok
ras lain untuk mempertahankan dominasi dan kekuasaannya.
17
Ade Maman Suherman, Organisasi Internasional & Integrasi Ekonomi Regional Dalam
Perspektif Hukum dan Globalisasi, Jakarta, PT. Ghalia Indonesia, 2003, hlm. 48
12
Pada hakikatnya, yang merupakan subjek dari sistem hukum adalah semua
yang dapat menghasilkan prinsip hukum yang diakui dan mempunyai kapasitas
melaksanakan prinsipnya. Dalam hukum organisasi internasional, hal ini meliputi
semua organisasi internasional, termasuk organisasi regional dan organisasi lainnya
yang digolongkan sebagai organisasi internasional. Sedangkan objek hukum
organisasi internasional meliputi negara sebagai anggota organisasi internasional
atau bukan, organisasi internasional maupun regional lainnya. Negara sebagai
subjek hukum organisasi internasional mempunyai kapasitas internasional sesuai
kedaulatannya, kapasitas untuk bertindak penuh. Bahkan menurut perkembangan
organisasi internasional seperti PBB, organisasi gerakan kemerdekaan dapat diakui
sebagai subjek hukum organisasi internasional, seperti halnya South West African
People’s Organization (SWAPO) ataupun Palestine Liberation Organization
(PLO). Menurut hukum organisasi internasional negara dapat melakukan tindakan
apapun selama tidak bertentangan dengan prinsip hukum internasional. Sebagai
anggota organisasi, negara wajib melaksanakan keputusan yang telah diambil
organisasi internasional termasuk rekomendasi, himbauan, maupun
permintaannya.Kewajiban ini berlaku sejak negara diterima sebagai anggota
organisasi sesuai dengan instrumen pokok organisasi internasional tersebut.
Istilah sumber hukum organisasi internasional telah digunakan dalam
empat pengertian. Pertama, sebagai kenyataan historis, kebiasaan yang sudah lama
dilakukan, persetujuan atau perjanjian resmi yang membentuk sumber organisasi
internasional. Masa jabatan Sekretaris Jenderal PBB merupakan salah satu contoh
dari kebiasaan yang kini masih diikuti. Seperti diketahui PBB tidak menyebutkan
tentang syaratsyarat calon untuk menjabat Sekretaris Jenderal demikian juga
tentang masa jabatannya.Untuk itu Majelis Umum telah menetapkan 5 tahun masa
jabatan Sekretaris Jenderal dan sesudah habis masa jabatannya dapat dipilih
kembali.Demikian juga bahwa kebangsaan Sekretaris Jenderal bukan dari kelima
anggota tetap Dewan Keamanan. Kedua, instrumen pokok yang dimiliki oleh
organisasi internasional dan memerlukan ratifikasi semua anggotanya.Instrumen
pokok ini dapat berupa piagam, covenant, final act, treaty, statue, deklarasi, dan
constitution. Ketiga, ketentuan lainnya mengenai tata cara organisasi internasional
13
beserta badan yang berada di bawah naungannya, termasuk cara kerja mekanisme
pada organisasi tersebut. Peraturan semacam itu merupakan elaborasi dan
pelengkap instrumen pokok yang semuanya itu memerlukan persetujuan bersama
dari anggota. Keempat, hasil-hasil yang ditetapkan atau diputuskan oleh organisasi
internasional yang wajib atau harus dilaksanakan baik oleh para anggotanya
maupun badan-badan yang ada di bawah naungannya.Hasil-hasil itu bisa berbentuk
resolusi, keputusan, deklarasi atau rekomendasi.
Personalitas hukum yang dimiliki organisasi internasional penting guna
memungkinkan organisasi internasional dapat berfungsi dalam hubungan
internasional, khususnya kapasitas dalam melaksanakan fungsi hukum seperti
membuat kontrak, membuat perjanjian dengan negara, ataupun mengajukan
tuntutan kepada negara lainnya. Personalitas hukum yang dimiliki organisasi
internasional tidak akan hilang, meski tidak dicantumkan dalam instrumen pokok
pendirian organisasi internasional tersebut. Personalitas hukum yang dimiliki
organisasi internasional dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu personalitas
yuridis yang kaitannya dengan hukum nasional dan dengan hukum internasional.18
AICHR adalah consultative intergovernmental body di dalam struktur
organisasi ASEAN yang fungsinya termasuk memberikan advisory service dan
technical assistance bagi ASEAN sectoral bodies, sekaligus melaporkan segala
kegiatan kepada ASEAN Foreign Ministers Meeting. Lembaga AICHR kemudian
menyusun rancangan Deklarasi HAM ASEAN (ASEAN Human Rights
Declaration) yang disetujui dalam Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN ke-21 di
Phnom Penh, Kamboja pada tanggal 18 November 2012. Deklarasi HAM ASEAN
ini tidak mengikat secara hukum (legally binding), namun merupakan instrumen
dasar yang penting bagi penegakan dan perlindungan HAM di kawasan Asia
Tenggara.Deklarasi juga diharapkan dapat melahirkan sejumlah konvensi tentang
HAM di ASEAN. Pada prosesnya, pembentukan badan HAM ASEAN tidaklah
mudah melainkan harus melalui perdebatan di kalangan masing-masing pemimpin
negara ASEAN. Sudah tentu bahwa masing-masing negara anggota ASEAN
18
3Wiwin Yulianingsing & Moch. Firdaus Sholihin, Hukum Organisasi Internasional,
Yogyakarta, CV Andi Offset, 2014, Hlm. 2
14
mempunyai kepentingannya sendiri yang tidak mau diganggu oleh negara
manapun, terlebih apabila kepentingan nasional negara tersebut bercampur dengan
kepentingan individu yang di dalamnya, seperti Myanmar misalnya yang pada saat
itu masih dikuasai oleh rejim militer, atau Vietnam dan Laos yang menganut sistem
pemerintahan komunis, seta bahkan Singapura dan Kamboja yang juga dipimpin
pemerintahan otoriter pada masa itu. Sementara Indonesia, Thailand, Filipina walau
masih mempunyai beberapa persoalan HAM, menjadi motor penggerak
terbentuknya badan hak asasi manusia di kawasan ASEAN yang lebih baik.19
Usaha untuk dapat membangun mekanisme Hak Asasi Manusia (HAM)
ditingkat regional telah dimulai di berbagai belahan dunia terutama pasca Perang
Dunia ke-II. Pasca pembentukan PBB, Majelis Umum mendorong agar negara-
negara sekawasan membentuk lembaga HAM regional. Hal ini karena negara-
negara yang memiliki kesamaan budaya, sejarah dan geografis atau sekawasan
dipandang lebih efektif. Perkembangan pembentukan badan ini paling tidak mulai
bisa dilihat dari pertemuan tingkat menteri ASEAN, yang berlangsung pada Juli
2008. Pertemuan ini menyepakati pembentukan High Level Panel on Establishment
for ASEAN Human Rights Body, yang diberikan tugas untuk menyusun bersama
ToR ASEAN Human Rights Body dalam kurun waktu 1 tahun sejak pembentukan.
Kesepakatan ini merupakan tindak lanjut dari ketentuan Pasal 14 Piagam ASEAN,
mengenai mandat pembentukan ASEAN Human Rights Body. Awalnya, nama yang
diusulkan untuk ASEAN Human Rights Body adalah ASEAN Commission on
Human Rights, tidak memakai kata Intergovernmental karena keinginan atas
sifatnya yang lebih mandiri. Namun demikian, kenyataannya karena negosiasi
politik memang yang lebih berperan, maka pada akhirnya yang disepakati ASEAN
Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR).20
ASEAN Charter atau Piagam ASEAN yang telah diratifikasi oleh 10
negara di kawasan Asia Tenggara ini menjadi landasan konstitusional untuk
19
Wahyudi Djafar, Ardimanto Putra, Hilman Handoni, Memperkuat Perlindungan Hak Asasi
Manusia di ASEAN, INFID dan ICCO, 2014, hlm. 23
20
Boer Mauna.Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global,
Bandung, P.T. Alumni, 2003, Hlm. 8-11
15
membentuk AICHR. Pada Piagam ASEAN pasal 14 memerintahkan kepada
ASEAN untuk membentuk badan ASEAN. Akhirnya pada KTT ASEAN ke 15 di
Hua Hun, Thailand tanggal 23 Oktober 2015 AICHR diresmikan.21 Dalam hal
komposisi, AICHR terdiri dari wakil-wakil dari 10 negara anggota ASEAN yang
bertanggung jawab pada pemerintah. Sebagai organisasi yang bernaung di ASEAN,
AICHR bekerja dengan seluruh badan sektoral ASEAN didalam 3 Pilar ASEAN
yakni, Pilar Politik dan Keamanan ASEAN, Pilar Ekonomi ASEAN, dan Pilar
Sosial dan Budaya ASEAN. AICHR melakukan konsultasi, kordinasi dan
kolaborasi dengan setiap komunitas ASEAN. Yang tidak kalah penting adalah
AICHR juga melakukan review dan rekomendasi kepada masing-masing
pilar/komunitas, terutama untuk persoalan-persoalan HAM yang ada didalam ruang
lingkup masing-masing pilar tersebut.
KESIMPULAN
21
Elena Asciutti. 2010. “The ASEAN Charter:. Perspectives on Federalism, Vol. 2, issue 1,
16
tidaklah mudah karena dihadapkan pada prinsip ASEAN Charter itu sendiri yaitu
tidak mencampuri urusan dalam negeri anggota ASEAN. Oleh karena itu,
diperlukan beberapa perbaikan dan penguatan pada badan hukum HAM di ASEAN
dalam hal ini adalah ASEAN Intergovermental Commission on Human Rights
(AICHR) untuk meningkatkan kinerja dan kapasitasnya dalam penegakan Hak
Asasi Manusia (HAM).
DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta, PT.
Raja Grafindo Persada, 2006
John Locke, The Second Treatise of Civil Government and a Letter Concerning
Toleration, (Oxford: Oxford University Press, 1964
Inggrid Galuh Mustikawati, Jurnal Hukum dan HAM Vol.9, no.1, 2011.
17
M. Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kuantitatif. Jakarta, Kencana, 2006,
Masyhur Effendi. Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum
Nasional dan Internasional, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1994),
Miriam Budiarjo, Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002)
Rhona K.M. Smith, Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: UII, 2008)
Ridky Johannes Sitorus, 2013, Peranan Badan Pekerja dan Bantuan Perserikatan
Bangsa-bangsa Untuk Pengungsi Palestina di Timur Dekat, Skripsi,
Universitas Jenderal Soedirman
Robert Audi dalam Majda El-Muhtaj, 2005, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi-
konstitusi Indonesia, Kencana: Jakarta,
Scott Davidson, Hak Asasi Manusia: Sejarah Teori dan Praktek dalam Pergaulan
Internasional, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1994)
18
19