Anda di halaman 1dari 19

PELUANG PEMBENTUKAN ORGANISASI REGIONAL DALAM HAK

ASASI MANUSIA (HAM) DI ASSOCIATION OF SOUTHEAST

ASIAN NATION (ASEAN)

Nama : Ellin Anggriani Nur Banatti


NIM : 031040481
E-mail : nonanggriani@gmail.com
Fakultas : FHISIP
Program Studi : 311/ S-1 Ilmu Hukum
Masa Registrasi : 2021.1
Universitas : UPBJJ UT PURWOKERTO
Pokjar : LKP Kamilia Cilacap

ABSTRAK
Dalam upaya perlindungan HAM, ASEAN mencapai babak baru pada
urusan HAM. Sebagai amanat dari ASEAN Charter, maka negara-negara di ASEAN
mentandatangani Terms of Reference terkait keberadaan ASEAN Intergovermental
Commission on Human Rights (AICHR)/ Peresmian AICHR ini. Dengan hadirnya
ASEAN Intergovermental Commission on Human Rights (AICHR) ini, maka negara
anggota lebih memilih penyelesaian regional daripada penyelesaian internasional.
Penyelesaian regional dipilih karena aturan disesuaikan dengan kondisi kawasan.
Akan tetapi, masih ada permasalahan dalam Badan HAM ASEAN ini membutuhkan
landasan dan kedudukan kuat untuk dapat memberi teguran. Terdapat bias wewenang
yakni apakah ruang lingkup kewenangan dan tugasnya mampu menyelesaikan
pelanggaran HAM yang dilakukan negara anggota ASEAN. Sementara prinsip dasar
dalam ASEAN Charter adalah menghormati asas integritas teritorial, kedaulatan, non
intervensi dan jati diri nasional negara anggota ASEAN. Yurisdiksi, kompetensi, dan
kewenangan AICHR dalam melindungi hak asasi manusia (HAM) pada negara
kawasan ASEAN melalui proses hukum harus diatur tegas agar tidak menimbulkan
multitafsir. Penentuan ruang lingkup kewenangan dalam menangani penyelesaian
masalah pelanggaran HAM negara anggota ASEAN tidaklah mudah karena
dihadapkan pada prinsip ASEAN Charter itu sendiri yaitu tidak mencampuri urusan
dalam negeri anggota ASEAN. Oleh karena itu, diperlukan beberapa perbaikan dan
penguatan pada badan hukum HAM di ASEAN dalam hal ini adalah AICHR untuk
dapat meningkatkan kinerja dalam penegakan HAM.
Kata Kunci: Pemenuhan HAM, ASEAN, Organisasi Regional

1
PENDAHULUAN

Permasalahan Hak Asasi Manusia (HAM) pada dasarnya telah menjadi


problem yang sulit untuk diselesaikan. Hal ini disebabkan karena perbedaan
penafsiran tentang HAM dan kepentingan nasional suatu negara, terlebih ketika
mengkaji hak individu atau kelompok pada situasi tertentu. Oleh karena itulah,
HAM pun menjadi salah satu isu internasional/global. HAM pada hakikatnya
berkaitan dengan realita adanya ketidakpedulian sosial pada individu atau
kelompok lain, yang menimbulkan ketidakadilan dan kesewenangan yang akhirnya
melahirkan the disadvantages peoples. Hal ini juga yang dialami oleh negara di
kawasan ASEAN. Oleh karena itu sudah menjadi tanggung jawab negara dan
pemerintah di kawasan ASEAN untuk menghormati, melindungi dan menjamin hak
asasi manusia warga negara baik itu individu, etnis kelompok tanpa diskriminasi.1

Negara-negara yang tergabung di ASEAN ternyata juga mempunyai


perhatian dan kepedulian pada masalah HAM. Hal tersebut nampak dalam
pembukaan (preamble), tujuan (purposes), dan prinsip (principle) Piagam ASEAN
(Association of South East Asian nations) merupakan organisasi kerjasama regional
yang beranggotakan negara-negara kawasan Asia Tenggara yang sejarah berdirinya
tidak bisa dilepaskan dari faktor sejarah, persamaan nasib dan kondisi geopolitik
dunia pada saat tersebut.2 Sebelum ASEAN didirikan berbagai konflik kepentingan
pernah terjadi sesama negara-negara di Asia Tenggara, seperti konfrontasi antara
Indonesia dan Malaysia, klaim teritorial antara Malaysia dan Filipina mengenai
Sabah, dan berpisahnya Singapura dari Federasi Malaysia. Terlebih, pasca perang
dunia II struktur internasional didominasi kekuatan blok barat (Amerika Serikat)
dan blok timur (Uni Soviet) yang saling berkompetisi yang dikenal dengan perang
dingin. Perang dingin antara dua negara besar ini pada akhirnya juga mempengaruhi
negara-negara lain termasuk negara di kawasan Asia Tenggara. Dilatarbelakangi

1
Scott Davidson, Hak Asasi Manusia: Sejarah Teori dan Praktek dalam Pergaulan Internasional,
(Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1994). 40
2
Zainuddin Djafar. 2009. “ASEAN Charter, Legalitas Tonggak Baru Menuju Integrasi Regional”.
Jurnal Hukum Internasional. Volume 6 Nomor 2

2
oleh hal tersebut, negara-negara Asia Tenggara menyadari perlunya dibentuk
kerjasama untuk meredakan rasa saling curiga dan membangun kepercayaan, serta
mendorong kerjasama pembangunan.3

ASEAN didirikan pada tanggal 8 Agustus 1967 oleh lima negara yaitu
Indonesia, Thailand, Philipina, Malaysia, dan Singapura, yang kemudian
keanggotaan ASEAN berkembang menjadi sepuluh negara termasuk Brunei
Darussalam, Vietnam, Laos, Myanmar, Kamboja. Akan tetapi, kedudukan
organisasi regional ASEAN yang beranggotakan negara di kawasan Asia tenggara
sebagai organisasi internasional publik belumlah kuat. Hal tersebut karena
dokumen konstitutif pembentukan ASEAN yang hanya didasarkan Deklarasi
Bangkok 1967 dan TAC 1976 tidak menyebutkan secara eksplisit posisi ASEAN
sebagai organisasi internasional.4 Barulah di Konferensi Tingkat TInggi ASEAN di
Singapura bulan November 2007 ditandatangani ASEAN Charter yang merupakan
salah satu perjanjian internasional sebagai dasar konstitutif ASEAN yang dibuat
negara anggota untuk memperkuat kedudukan ASEAN sebagai suatu organisasi
internasional. Pasal 3 ASEAN Charter secara tegas menyatakan bahwa ASEAN
sebagai organisasi antar pemerintah mempunyai personalitas yuridis baik dimensi
domestik maupun internasional. Konsekuensinya,ASEAN memiliki personalitas
yuridis maka ASEAN mempunyai kedudukan sebagai subyek hukum internasional
yang dilekati sejumlah hak dan kewajiban internasional dalam urusannya.

Dengan adanya ASEAN Charter tentu memberikan harapan baru bagi


perlindungan HAM di ASEAN. Setelah 40 tahun terbentuknya ASEAN yaitu sejak
tanggal 8 Agustus 1967, ASEAN memiliki ASEAN Charter yang menjadi dasar
konstitutif. Menurut ASEAN Charter Bab XIII Pasal 47 ayat (2) mengamanatkan
pada setiap negara-negara anggota ASEAN untuk menandatangani dan meratifikasi
regulasi aturan sesuai dengan mekanisme internal masing-masing. Salah satu
inovasi baru yang terdapat dalam klausa ASEAN Charter merupakan peraturan yang

3
Mohamad Faisol Keling, dkk. 2010.”The Development of ASEAN from Historical Approach”.
Asian Social Science Vol. 7, No. 7; July 2010
4
Harkristuti, 2009, 25 Mei. “ASEAN Human Rights Body: Suatu Catatan Ringkas”. Makalah
Lokakarya ASEAN Human Rights Body, Berbagai Telaah Strategis. Depok.

3
mengatur tentang pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia (HAM) negara-
negara di ASEAN, yaitu membentuk Badan HAM ASEAN (ASEAN human rights
body). Isu-isu HAM ini antara lain terdapat pada pembukaan yang menyatakan
“Adhering to the principles of democracy, the rule of law and good governance,
respect for and protection of human rights and fundamental freedoms; purposes.5

Pembukaan ASEAN Charter yang telah disepakati oleh negara-negara


ASEAN mengamatkan untuk mematuhi penghormatan serta perlindungan hak asasi
manusia dan kebebasan fundamental. Pernyataan tersebut secara eksplisit
dijabarkan dalam tujuan dan prinsip pembentukan ASEAN yaitu Pasal 1 ayat (7)
dan Pasal 2 ayat (2) (i) bahwa ASEAN bertekad memajukan melindungi HAM di
kawasan ASEAN. Prinsip ini mengisyaratkan bahwa ASEAN harus memiliki peran
yang nyata dalam menjaga kesinambungan kawasan ASEAN dalam memberikan
pemajuan dan perlindungan HAM. Untuk mendukung upaya itu, Pasal 14 ASEAN
Charter menegaskan bahwa agar selaras dengan tujuan prinsip ASEAN Charter
terkait dengan pemajuan dan perlindungan HAM, ASEAN wajib membentuk
Badan HAM ASEAN, yang tugasnya sesuai dengan acuan yang ditentukan
pertemuan para Menteri Luar Negeri ASEAN. Dengan demikian, pembentukan
Badan HAM ASEAN merupakan sebuah keharusan yang harus dilakukan sebagai
“ujung tombak” dalam mewujudkan tujuan dan prinsip- ASEAN tersebut.6

Berdasarkan klausula-klausula yang terdapat di dalam pembukaan, tujuan,


dan prinsip pada Pasal 14 tersebut, setidaknya terdapat dua fungsi dan mandat yang
harus diemban oleh Badan Hak Asasi Manusia ASEAN yaitu fungsi pemajuan
(promotion) dan perlindungan (protection). Fungsi pemajuan HAM (promotion of
human rights) adalah fungsi Komisi HAM untuk menyebarluaskan pendidikan
HAM melalui pemberian informasi dan penyelenggaraan pendidikan, seminar,
simposium, konferensi, diseminasi informasi untuk mengenalkan HAM terhadap
lembaga nasional dan lokal, mengumpulkan dokumen dan melakukan penelitian
terkait problem HAM di ASEAN, memformulasikan aturan yang bertujuan untuk

5
Elena Asciutti. 2010. “The ASEAN Charter:. Perspectives on Federalism, Vol. 2, issue 1,
6
Djauhari Oratmangun. 2009. “ASEAN Charter: A New Beginning for Southeast Asian Nations”.
Jurnal Hukum Internasional. Volume 6 Nomor 2 Januari 2009 (Akreditasi No 576/D3/U/2005)

4
menyelesaikan masalah hukum yang terkait dengan HAM; bekerjasama dengan
lembaga di Asia atau internasional terkait perlindungan HAM, mempertimbangkan
secara periodik laporan negara mengenai hukum atau tindakan yang diambil oleh
negara untuk memberikan perlindungan terhadap hak dan kebebasan yang dijamin
dalam ASEAN Charter. Sedangkan fungsi perlindungan HAM (protection of human
rights) berarti Komisi HAM harus bertanggungjawab memastikan perlindungan
HAM dalam kondisi yang ditetapkan dalam Piagam dan sesuai dengan aturan yang
ditetapkan mengenai prosedur. Dengan ketentuan HAM yang secara eksplisit
terdapat dalam ASEAN Charter membawa ”angin segar” bagi negara-negara
ASEAN dalam upaya perlindungan hak asasi manusia, yaitu dengan membentukan
badan HAM pada tingkat regional kawasan Asia Tenggara. ASEAN Charter
dikatakan berdampak positif bagi perlindungan HAM di kawasan ASEAN
setidaknya didasari atas dua alasan utama, antara lain;7

1. Berbeda dengan negara Eropa, Amerika dan Afrika selama ini di tingkat
regional sudah memiliki badan HAM regional, negara Asia khususnya
Asia Tenggara belum memiliki badan HAM tingkat regional.
2. Sejak berdiri 44 tahun lalu, penegakan HAM di negara ASEAN hanya
ditekankan untuk memajukan HAM. Barulah dalam ASEAN Charter ini
semua negara akhirnya menyepakati bahwa penegakan HAM harus juga
mencakup perlindungan HAM yang ditegaskan dalam Pasal 14 dengan
membentuk badan untuk memajukan dan meningkatkan perlindungan
HAM dan kebebasan-kebebasan dasar (fundamental freedoms).
Dalam upaya perlindungan HAM, ASEAN mencapai babak baru pada
urusan HAM. Sebagai amanat dari ASEAN Charter, maka negara-negara di
ASEAN mentandatangani Terms of Reference (ToR) terkaitt keberadaan ASEAN
Intergovermental Commission on Human Rights sebagai hasil penyelenggaraan
Konferensi Tingkat Tinggi ke-15 ASEAN di Hua Hin, Thailand. Peresmian AICHR
ini dilaksanakan di sela pelaksanaan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-
15 yang dihadiri oleh seluruh komisi yang berjumlah 10 orang. Anggota AICHR
merupakan perwakilan masing-masing anggota ASEAN.Pembentukan AICHR
merupakan langkah maju dalam penguatan nilai HAM di ASEAN dan memberikan

7
Inggrid Galuh Mustikawati, Jurnal Hukum dan HAM Vol.9, no.1, 2011. hal. 23.

5
peluang lebih besar akan perbaikan implementasi dan penegakan HAM.8 Dengan
hadirnya ASEAN Intergovermental Commission on Human Rights (AICHR) ini,
maka negara anggota lebih memilih penyelesaian regional daripada penyelesaian
internasional. Penyelesaian regional dipilih karena aturan-aturan disesuaikan
dengan kondisi kawasan. Akan tetapi, masih ada permasalahan dalam Badan HAM
ASEAN ini membutuhkan landasan dan kedudukan kuat untuk dapat memberi
teguran. Terdapat bias wewenang yakni apakah ruang lingkup kewenangan dan
tugasnya mampu menyelesaikan perkara pelanggaran HAM yang dilakukan
negara-negara anggota ASEAN. Sementara prinsip dasar dalam ASEAN Charter
adalah menghormati asas integritas teritorial, kedaulatan, non intervensi dan jati diri
nasional negara-negara anggota ASEAN.

Mandat dan fungsi ASEAN Intergovermental Commission on Human


Rights (AICHR) tidak ada yang secara khusus dan detail mengatur tentang
perlindungan hak asasi manusia, seperti keharusan untuk menyinkronkan peraturan
peraturan-perundangan sehingga selaras dengan perlindungan HAM, keharusan
menyampaikan laporan periodik mengenai perlindungan HAM yang mendapat
perhatian luas, mekanisme penegakan HAM ASEAN, apalagi mendorong
keterbukaan negara anggota ASEAN. untuk menerima misi pemantau HAM dari
ASEAN sebagai lembaga, ataupun badan HAM yang sudah ada di beberapa negara
anggota ASEAN. Mandat dan fungsi AICHR tersebut tidak seimbang dengan
tujuan dibentuknya AICHR yaitu memajukan dan melindungi HAM dan kebebasan
fundamental dari rakyat ASEAN. Peran ASEAN Intergovermental Commission on
Human Rights (AICHR) lebih dominan pada fungsi promosi, bukan fungsi
perlindungan. Sehingga fungsi perlindungan dari komisi yang baru diresmikan itu
di masa mendatang juga harus diperkuat. Karena apabila fungsi perlindungan tidak
diperkuat, AICHR hanya akan menjadi sia-sia Tanpa fungsi perlindungan hukum
yang kuat, maka IICHR tidak akan dapat memberikan sanksi apabila terdapat
pelanggaran HAM yang terjadi di suatu negara.

8
3 Fitria “Questioning the Prospect of Upholding Human Rights in Southeast Asia in the Coming
Five Years”. Postscripts Vol. VI, no.5, 2009.

6
Selain itu, masalah lain yang kemudian muncul dengan terbentuknya
AICHR ini adalah bagaimanakah AICHR ini dapat tetap memajukan dan
melindungi HAM di ruang lingkup ASEAN sekaligus pada saat bersamaan
mengakomodasi integritas dan kepentingan negara ASEAN. Dilema ini berat
mengingat mayoritas negara anggota ASEAN memiliki persoalan HAM, seperti
contoh Negara Myanmar dengan rejim militer yang otoriter dan penindasan etnis
minoritasnya (Rohingya, dan lain), Thailand dengan kekerasan dan konflik di
Thailand Selatan dan sengketa perbatasan Kamboja, Malaysia dengan masalah
diskriminasi rasial dan pemberlakuan internal security act-nya, Kamboja dengan
berlarutnya peradilan terhadap mantan petinggi Khmer Merah, Philippina dengan
berlarutnya konflik dan macetnya perdamaian MoroMindanao, termasuk Indonesia
yang memiliki masalah HAM masa lalu seperti PKI, dan permasalahan saat ini
seperti kemiskinan, serta pemenuhan hak-hak ekonomi, masyarakat.

Dari masalah HAM di atas bahkan telah melewati ruang domestiknya


karena skala pelanggaran dan kejahatan yang begitu besar. Misalnya kasus
Myanmar dan Kamboja. Negara Myanmar dalam bentuk kekerasan politik dan
penindasan etnis minoritas seperti Rohingya (yang tak diakui sebagai warga negara
Myamar hingga kini) dan di Kamboja (dalam bentuk genosida dan kejahatan
terhadap kemanusiaan pada era Pol Pot 1975 – 1979) adalah pelanggaran berat
HAM dan kejahatan internasional yang patut menjadi perhatian yang tidak cukup
diserahkan melalui mekanisme nasional saja. Padahal di antara negara Anggota
ASEAN sendiri tidak semuanya memiliki lembaga HAM nasional.9 Kondisi ini
tentu akan mempersulit pertemuan para Menlu untuk sampai pada suatu konsensus
tentang kerangka acuan khususnya jurisdiksi dan kekuasaan/kewenangan dari
AICHR. Yurisdiksi, kompetensi, dan kewenangan AICHR dalam melindungi hak
asasi manusia (HAM) pada negara kawasan ASEAN melalui proses hukum
(pengadilan / judicial settlement) harus diatur secara tegas agar tidak menimbulkan
multitafsir. Penentuan ruang lingkup kewenangan dalam menangani penyelesaian
masalah pelanggaran HAM oleh negara anggota ASEAN tidaklah mudah karena

9
Michael W. Doyle and John Ikenberry, New Thinking In International Relations Theory,
Westview Press, Boulder, Colo, 1997. Hal. 163

7
dihadapkan pada prinsip ASEAN Charter itu sendiri yaitu tidak mencampuri urusan
dalam negeri anggota ASEAN. Oleh karena itu, diperlukan beberapa perbaikan dan
penguatan pada badan hukum HAM di ASEAN dalam hal ini adalah ASEAN
Intergovermental Commission on Human Rights (AICHR) untuk meningkatkan
kinerja dan kapasitasnya dalam penegakan Hak Asasi Manusia (HAM).

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif.


Metode kualitatif yakni penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena
yang dialami subjek penelitian, misalnya perilaku, motivasi, tindakan, dan
sebagainya dengan deskripsi dalam bentuk kata dan bahasa pada konteks khusus
yang alamiah, dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. Secara khusus
metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif.
Penelitian hukum normatif (yuridis normatif) disebut penelitian hukum doktrinal.
Soerjono Soekanto menyebutkan bahwa penelitian normatif adalah penelitian
hukum yang hanya meneliti bahan pustaka sehingga disebut penelitian hukum
kepustakaan.10 Penelitian hukum yuridis maksudnya penelitian yang mengacu pada
studi kepustakaan yang ada ataupun terhadap data sekunder yang digunakan.
Sedangkan normatif maksudnya penelitian hukun bertujuan memperoleh
pengetahuan normatif tentang hubungan satu peraturan dengan peraturan lain dan
penerapan dalam prakteknya atau mengkonsepkan hukum sebagai apa yang tertulis
dalam peraturan perundang-undangan (law in book) atau hukum dikonsepkan
sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan perilaku manusia yang
dianggap pantas dengan pendekatan perundang-undangan.11
.

10
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta, CV. Rajawali, 1996, hlm. 15.
11
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta, PT. Raja Grafindo
Persada, 2006, hlm. 118.

8
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Secara umum, John Locke menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah
hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan sebagai hak yang kodrati. Oleh
karenanya, tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya. Hak ini
sifatnya sangat mendasar (fundamental) bagi hidup dan kehidupan manusia dan
merupakan hak kodrati yang tidak bisa terlepas dari dan dalam kehidupan
manusia.12 Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia Pasal 1 disebutkan “Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak
yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi,
dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan
serta perlindungan harkat dan martabat.
HAM merupakan hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat
kodrati dan fundamental sebagai suatu anugerah Tuhan yang harus dihormati,
dijaga dan dilindungi oleh setiap individu, masyarakat atau negara. Dengan
demikian hakikat penghormatan dan perlindungan terhadap HAM ialah menjaga
keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan yaitu
keseimbangan hak dan kewajiban, serta keseimbangan antara kepentingan
perseorangan dan kepentingan umum.13 Prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia adalah
landasan orientasi berpikir dalam penegakan hak asasi manusia secara universal. Di
dalam hampir semua perjanjian internasional, prinsip-prinsip ini diaplikasikan ke
dalam hak-hak yang lebih luas. Prinsip-prinsip tersebut adalah prinsip kesetaraan,
pelarangan diskriminasi dan kewajiban positif yang dibebankan kepada setiap
negara digunakan untuk melindungi hak-hak tertentu.14
Penegakan hukum sebagai suatu proses, pada hakikatnya merupakan
penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat

12
Masyhur Effendi. Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan
Internasional, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1994), hal. 3.
13
7Robert Audi dalam Majda El-Muhtaj, 2005, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi-konstitusi
Indonesia, Kencana: Jakarta, hal. 50
14
Rhona K.M. Smith, Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008), 39.

9
diatur oleh kaidah hukum, namun demikian mempunyai unsur penilaian pribadi.
Secara konsepsional, inti penegakkan hukum terletak pada kegiatan meyerasikan
hubungan nilai-nilai terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang tegas serta sikap
tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan,
memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Konsepsi yang
mempunyai dasar filisofis tersebut memerlukan penjelasan lebih lanjut sehingga
akan tampak lebih konkrit.15 Penegakkan hukum adalah suatu proses untuk
mewujudkan keinginan hukum menjadi kenyataan. Disebut keinginan hukum disini
tidak lain adalah pikiran badan pembuat Undang-Undang yang dirumuskan di
dalam peraturan hukum. Peraturan hukum itu. Perumusan pemikiran pembuat
hukum yang dituangkan dalam peraturan hukum akan turut menentukan penegakan
hukum dijalankan.16 Penegakan hukum berfungsi sebagai perlindungan
kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus
dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai tetapi
dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum.
Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia, pelanggaran hak asasi manusia adalah perbuatan seseorang atau
kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja
atau kelalaian yang secara hukum menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak
asasi manusia seseorang atau kelompok yang dijamin oleh undang-undang dan
tidak mendapatkan penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan
mekanisme hukum yang berlaku. Hal demikian dikuatkan kembali pada Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, bahwa pelanggaran
HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orng termasuk aparat
negara baik disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, membatasi,
atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok yang dijamin oleh
Undang-Undang ini, dan tidak didapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan
memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme
hukum yang berlaku.

15
Soerjono Soekanto. Faktor yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum. Grafindo. Jakarta. Hal 7
16
Satjipto Raharjo. Penegakan Hukum Sebagai Tinjauan Sosiologis.. Yogyakarta. 2009. Hal 25

10
Dengan demikian pelanggaran HAM merupakan tindakan pelanggaran
kemanusiaan baik dilakukan oleh individu maupun oleh institusi negara atau
institusi lainnya terhadap hak asasi individu lain tanpa ada dasar atau alasan yuridis
dan alasan rasional yang menjadi pijakanya. Definisi di atas pada akhirnya
mengaburkan antara pelanggaran HAM dan pelanggaran hukum. Bagaimana
dengan individu atau kelompok masyarakat yang melakukan perbuatan melanggar
hak asas manusia yang telah dijamin dalam peraturan perundang undangan (pelaku
non state). Apakah pelaku non state ini dapat dialifikasikan sebagai pelanggar hak
asasi manusia atau pelanggar hukum. Pada prinsipnya hak asasi manusia adalah hak
yang melekat pada hakekat keberadaan manusia, oleh karena tiap orang
berkewajiban untuk menghargai dan menghormati hak asasi manusia. Berdasarkan
hukum HAM Nasional, secara tegas dinyatakan bahwa pelanggaran HAM dapat
dilakukan oleh perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara
baik disengaja, maupun tidak disengaja atau kelalaian yang melawan hukum,
mengurangi, menghalangi, membatasi dan mencabut HAM seseorang atau
kelompok orang yang dijamin undang-undang. Dengan demikian, pelaku
pelanggaran dapat dilakukan individu, kelompok orang, dan negara. Definisi
pelanggaran HAM sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang
Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM
Selain itu, pelanggaran HAM dapat dikelompokkan menjadi 2 bentuk,
yaitu pelanggaran HAM ringan, yang biasanya disebut sebagai pelanggaran HAM
dan pelanggaran HAM berat, yaitu meliputi kejahatan genosida dan kejahatan
kemanusiaan. Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan
tujuan untuk memusnahkan atau menghancurkan seluruh atau sebagian dari
kelompok bangsa, kelompok etnis, kelompok agama, dan ras. Sementara kejahatan
kemanusiaan seringkali diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan dengan
serangan meluas dan sistematis. Adapun serangan yang dimaksud ditujukan secara
langsung terhadap penduduk sipil berupa:
a. Pembunuhan dan pemusnahan
b. Perbudakan dan penyiksaan
c. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa,

11
d. Perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik secara sewenang-wenang
yang melanggar (asas-asas) ketentuan,
e. Pemerkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan kehamilan, pelacuran
secara paksa, pemandulan atau sterelisasi secara paksa atau bentuk-bentuk
kekerasan seksual lain yang setara,
f. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang
didasari persamaan paham politik, kebangsaan, ras, budaya, etnis, agama,
jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai
hal yang dilarang menurut hukum internasional.
g. Penghilangan orang secara paksa
h. Kejahatan apartheid, penindasan dan dominasi kelompok atau kelompok
ras lain untuk mempertahankan dominasi dan kekuasaannya.

Dari aspek hukumnya, organisasi internasional menitikberatkan pada


masalah-masalah konstitusional dan prosedural, antara lain seperti wewenang dan
pembatasan (restrictions) baik pada organisasi internasional itu sendiri maupun
anggota sebagaimana termuat dalam ketentuan instrumen dasarnya, termasuk di
dalam perkembangan organisasi secara praktis. Sebagai contoh bahwa sebenarnya
organisasi internasional itu menghadapi masalah potensial yang berhubungan
dengan sifat hukum mendasar (basic legal characteristic) baik dalam kaitannya
dengan hukum internasional maupun hukum nasional yang menyangkut negara-
negara anggotanya. Demikian juga di berbagai hal, organisasi internasional telah
mengembangkan wewenang legislatif maupun kuasi legislatifnya serta
mekanismenya untuk menyelesaikan suatu pertikaian yang menimbulkan masalah
bersama yang bertalian dengan hak prerogratif dari negara anggota yang berdaulat,
dan bagaimana sesuatu keputusan yang dibuat cukup adil serta efektif. Dalam
beberapa hal, organisasi internasional juga bertindak sebagai badan pembuat
hukum yang menciptakan prinsip hukum internasional dalam instrumen hukum
(treaty making powers).17

17
Ade Maman Suherman, Organisasi Internasional & Integrasi Ekonomi Regional Dalam
Perspektif Hukum dan Globalisasi, Jakarta, PT. Ghalia Indonesia, 2003, hlm. 48

12
Pada hakikatnya, yang merupakan subjek dari sistem hukum adalah semua
yang dapat menghasilkan prinsip hukum yang diakui dan mempunyai kapasitas
melaksanakan prinsipnya. Dalam hukum organisasi internasional, hal ini meliputi
semua organisasi internasional, termasuk organisasi regional dan organisasi lainnya
yang digolongkan sebagai organisasi internasional. Sedangkan objek hukum
organisasi internasional meliputi negara sebagai anggota organisasi internasional
atau bukan, organisasi internasional maupun regional lainnya. Negara sebagai
subjek hukum organisasi internasional mempunyai kapasitas internasional sesuai
kedaulatannya, kapasitas untuk bertindak penuh. Bahkan menurut perkembangan
organisasi internasional seperti PBB, organisasi gerakan kemerdekaan dapat diakui
sebagai subjek hukum organisasi internasional, seperti halnya South West African
People’s Organization (SWAPO) ataupun Palestine Liberation Organization
(PLO). Menurut hukum organisasi internasional negara dapat melakukan tindakan
apapun selama tidak bertentangan dengan prinsip hukum internasional. Sebagai
anggota organisasi, negara wajib melaksanakan keputusan yang telah diambil
organisasi internasional termasuk rekomendasi, himbauan, maupun
permintaannya.Kewajiban ini berlaku sejak negara diterima sebagai anggota
organisasi sesuai dengan instrumen pokok organisasi internasional tersebut.
Istilah sumber hukum organisasi internasional telah digunakan dalam
empat pengertian. Pertama, sebagai kenyataan historis, kebiasaan yang sudah lama
dilakukan, persetujuan atau perjanjian resmi yang membentuk sumber organisasi
internasional. Masa jabatan Sekretaris Jenderal PBB merupakan salah satu contoh
dari kebiasaan yang kini masih diikuti. Seperti diketahui PBB tidak menyebutkan
tentang syaratsyarat calon untuk menjabat Sekretaris Jenderal demikian juga
tentang masa jabatannya.Untuk itu Majelis Umum telah menetapkan 5 tahun masa
jabatan Sekretaris Jenderal dan sesudah habis masa jabatannya dapat dipilih
kembali.Demikian juga bahwa kebangsaan Sekretaris Jenderal bukan dari kelima
anggota tetap Dewan Keamanan. Kedua, instrumen pokok yang dimiliki oleh
organisasi internasional dan memerlukan ratifikasi semua anggotanya.Instrumen
pokok ini dapat berupa piagam, covenant, final act, treaty, statue, deklarasi, dan
constitution. Ketiga, ketentuan lainnya mengenai tata cara organisasi internasional

13
beserta badan yang berada di bawah naungannya, termasuk cara kerja mekanisme
pada organisasi tersebut. Peraturan semacam itu merupakan elaborasi dan
pelengkap instrumen pokok yang semuanya itu memerlukan persetujuan bersama
dari anggota. Keempat, hasil-hasil yang ditetapkan atau diputuskan oleh organisasi
internasional yang wajib atau harus dilaksanakan baik oleh para anggotanya
maupun badan-badan yang ada di bawah naungannya.Hasil-hasil itu bisa berbentuk
resolusi, keputusan, deklarasi atau rekomendasi.
Personalitas hukum yang dimiliki organisasi internasional penting guna
memungkinkan organisasi internasional dapat berfungsi dalam hubungan
internasional, khususnya kapasitas dalam melaksanakan fungsi hukum seperti
membuat kontrak, membuat perjanjian dengan negara, ataupun mengajukan
tuntutan kepada negara lainnya. Personalitas hukum yang dimiliki organisasi
internasional tidak akan hilang, meski tidak dicantumkan dalam instrumen pokok
pendirian organisasi internasional tersebut. Personalitas hukum yang dimiliki
organisasi internasional dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu personalitas
yuridis yang kaitannya dengan hukum nasional dan dengan hukum internasional.18
AICHR adalah consultative intergovernmental body di dalam struktur
organisasi ASEAN yang fungsinya termasuk memberikan advisory service dan
technical assistance bagi ASEAN sectoral bodies, sekaligus melaporkan segala
kegiatan kepada ASEAN Foreign Ministers Meeting. Lembaga AICHR kemudian
menyusun rancangan Deklarasi HAM ASEAN (ASEAN Human Rights
Declaration) yang disetujui dalam Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN ke-21 di
Phnom Penh, Kamboja pada tanggal 18 November 2012. Deklarasi HAM ASEAN
ini tidak mengikat secara hukum (legally binding), namun merupakan instrumen
dasar yang penting bagi penegakan dan perlindungan HAM di kawasan Asia
Tenggara.Deklarasi juga diharapkan dapat melahirkan sejumlah konvensi tentang
HAM di ASEAN. Pada prosesnya, pembentukan badan HAM ASEAN tidaklah
mudah melainkan harus melalui perdebatan di kalangan masing-masing pemimpin
negara ASEAN. Sudah tentu bahwa masing-masing negara anggota ASEAN

18
3Wiwin Yulianingsing & Moch. Firdaus Sholihin, Hukum Organisasi Internasional,
Yogyakarta, CV Andi Offset, 2014, Hlm. 2

14
mempunyai kepentingannya sendiri yang tidak mau diganggu oleh negara
manapun, terlebih apabila kepentingan nasional negara tersebut bercampur dengan
kepentingan individu yang di dalamnya, seperti Myanmar misalnya yang pada saat
itu masih dikuasai oleh rejim militer, atau Vietnam dan Laos yang menganut sistem
pemerintahan komunis, seta bahkan Singapura dan Kamboja yang juga dipimpin
pemerintahan otoriter pada masa itu. Sementara Indonesia, Thailand, Filipina walau
masih mempunyai beberapa persoalan HAM, menjadi motor penggerak
terbentuknya badan hak asasi manusia di kawasan ASEAN yang lebih baik.19
Usaha untuk dapat membangun mekanisme Hak Asasi Manusia (HAM)
ditingkat regional telah dimulai di berbagai belahan dunia terutama pasca Perang
Dunia ke-II. Pasca pembentukan PBB, Majelis Umum mendorong agar negara-
negara sekawasan membentuk lembaga HAM regional. Hal ini karena negara-
negara yang memiliki kesamaan budaya, sejarah dan geografis atau sekawasan
dipandang lebih efektif. Perkembangan pembentukan badan ini paling tidak mulai
bisa dilihat dari pertemuan tingkat menteri ASEAN, yang berlangsung pada Juli
2008. Pertemuan ini menyepakati pembentukan High Level Panel on Establishment
for ASEAN Human Rights Body, yang diberikan tugas untuk menyusun bersama
ToR ASEAN Human Rights Body dalam kurun waktu 1 tahun sejak pembentukan.
Kesepakatan ini merupakan tindak lanjut dari ketentuan Pasal 14 Piagam ASEAN,
mengenai mandat pembentukan ASEAN Human Rights Body. Awalnya, nama yang
diusulkan untuk ASEAN Human Rights Body adalah ASEAN Commission on
Human Rights, tidak memakai kata Intergovernmental karena keinginan atas
sifatnya yang lebih mandiri. Namun demikian, kenyataannya karena negosiasi
politik memang yang lebih berperan, maka pada akhirnya yang disepakati ASEAN
Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR).20
ASEAN Charter atau Piagam ASEAN yang telah diratifikasi oleh 10
negara di kawasan Asia Tenggara ini menjadi landasan konstitusional untuk

19
Wahyudi Djafar, Ardimanto Putra, Hilman Handoni, Memperkuat Perlindungan Hak Asasi
Manusia di ASEAN, INFID dan ICCO, 2014, hlm. 23
20
Boer Mauna.Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global,
Bandung, P.T. Alumni, 2003, Hlm. 8-11

15
membentuk AICHR. Pada Piagam ASEAN pasal 14 memerintahkan kepada
ASEAN untuk membentuk badan ASEAN. Akhirnya pada KTT ASEAN ke 15 di
Hua Hun, Thailand tanggal 23 Oktober 2015 AICHR diresmikan.21 Dalam hal
komposisi, AICHR terdiri dari wakil-wakil dari 10 negara anggota ASEAN yang
bertanggung jawab pada pemerintah. Sebagai organisasi yang bernaung di ASEAN,
AICHR bekerja dengan seluruh badan sektoral ASEAN didalam 3 Pilar ASEAN
yakni, Pilar Politik dan Keamanan ASEAN, Pilar Ekonomi ASEAN, dan Pilar
Sosial dan Budaya ASEAN. AICHR melakukan konsultasi, kordinasi dan
kolaborasi dengan setiap komunitas ASEAN. Yang tidak kalah penting adalah
AICHR juga melakukan review dan rekomendasi kepada masing-masing
pilar/komunitas, terutama untuk persoalan-persoalan HAM yang ada didalam ruang
lingkup masing-masing pilar tersebut.

KESIMPULAN

Masalah HAM telah melewati ruang domestiknya karena pelanggaran dan


kejahatan yang begitu besar. Misalnya kasus Myanmar dan Kamboja. Negara
Myanmar dalam bentuk kekerasan politik dan penindasan etnis minoritas seperti
Rohingya (yang tak diakui sebagai warga negara Myamar hingga kini) dan di
Kamboja (dalam bentuk genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan pada era Pol
Pot 1975 – 1979) adalah pelanggaran berat HAM dan kejahatan internasional yang
patut menjadi perhatian yang tidak cukup diserahkan melalui mekanisme nasional
saja. Padahal di antara negara Anggota ASEAN sendiri tidak semuanya memiliki
lembaga HAM nasional. Kondisi ini tentu akan mempersulit pertemuan para Menlu
untuk sampai pada suatu konsensus tentang kerangka acuan khususnya jurisdiksi
dan kekuasaan/kewenangan dari AICHR. Yurisdiksi, kompetensi, dan kewenangan
AICHR dalam melindungi hak asasi manusia (HAM) pada negara kawasan ASEAN
melalui proses hukum (pengadilan / judicial settlement) harus diatur secara tegas
agar tidak menimbulkan multitafsir. Penentuan ruang lingkup kewenangan dalam
menangani penyelesaian masalah pelanggaran HAM oleh negara anggota ASEAN

21
Elena Asciutti. 2010. “The ASEAN Charter:. Perspectives on Federalism, Vol. 2, issue 1,

16
tidaklah mudah karena dihadapkan pada prinsip ASEAN Charter itu sendiri yaitu
tidak mencampuri urusan dalam negeri anggota ASEAN. Oleh karena itu,
diperlukan beberapa perbaikan dan penguatan pada badan hukum HAM di ASEAN
dalam hal ini adalah ASEAN Intergovermental Commission on Human Rights
(AICHR) untuk meningkatkan kinerja dan kapasitasnya dalam penegakan Hak
Asasi Manusia (HAM).

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrachman Mattaliti, Kerjasama ASEAN Dalam Upaya Menuju Terbentuknya


Mekanisme HAM Di ASEAN (Jakarta: Departemen Luar Negeri)

Ade Maman Suherman, Organisasi Internasional & Integrasi Ekonomi Regional


Dalam Perspektif Hukum dan Globalisasi, Jakarta, Ghalia Indonesia, 2003

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta, PT.
Raja Grafindo Persada, 2006

Boer Mauna.Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era


Dinamika Global, Bandung, P.T. Alumni, 2003,

Djauhari Oratmangun. 2009. “ASEAN Charter: A New Beginning for Southeast


Asian Nations”. Jurnal Hukum Internasional. Volume 6 Nomor 2 Januari
2009 (Akreditasi No 576/D3/U/2005)

Elena Asciutti. 2010. ASEAN Charter: Perspectives on Federalism, Vol. 2, issue 1

Fitria “Questioning the Prospect of Upholding Human Rights in Southeast Asia in


the Coming Five Years”. Postscripts Vol. VI, no.5, 2009

John Locke, The Second Treatise of Civil Government and a Letter Concerning
Toleration, (Oxford: Oxford University Press, 1964

Harkristuti, 2009. ASEAN Human Rights Body: Catatan. Makalah Lokakarya


ASEAN Human Rights Body, Berbagai Telaah Strategis. Depok.

Inggrid Galuh Mustikawati, Jurnal Hukum dan HAM Vol.9, no.1, 2011.

I.R. Poedjawijatna, Pembimbing Ke Arah Filsafat (Jakarta: Rineka Cipta, 1997)

17
M. Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kuantitatif. Jakarta, Kencana, 2006,

Masyhur Effendi. Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum
Nasional dan Internasional, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1994),

Michael W. Doyle and John Ikenberry, New Thinking In International Relations


Theory, Westview Press, Boulder, Colo, 1997.

Miriam Budiarjo, Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002)

Mohamad Faisol Keling, dkk. 2010.”The Development of ASEAN from Historical


Approach”. Asian Social Science Vol. 7, No. 7; July 2010

Rhona K.M. Smith, Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: UII, 2008)

Ridky Johannes Sitorus, 2013, Peranan Badan Pekerja dan Bantuan Perserikatan
Bangsa-bangsa Untuk Pengungsi Palestina di Timur Dekat, Skripsi,
Universitas Jenderal Soedirman

Robert Audi dalam Majda El-Muhtaj, 2005, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi-
konstitusi Indonesia, Kencana: Jakarta,

Ronny Hanintijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurumetri, Jakarta,


Ghalia Indonesia, 1999

Satjipto Raharjo. Penegakan Hukum Tinjauan Sosiologis. Yogyakarta. 2009

Scott Davidson, Hak Asasi Manusia: Sejarah Teori dan Praktek dalam Pergaulan
Internasional, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1994)

Soerjono Soekanto. 1984. Penelitian Hukum Normatif, PT Rajawali Press, Jakarta

Soerjono Soekanto. Faktor Mempengaruhi Penegakan Hukum. Grafindo. Jakarta.

Wahyudi Djafar, Ardimanto Putra, Hilman Handoni, Memperkuat Perlindungan


Hak Asasi Manusia di ASEAN, INFID dan ICCO, 2014,

Wiwin Yulianingsing & Moch. Firdaus Sholihin, Hukum Organisasi Internasional,


Yogyakarta, CV Andi Offset, 2014,

Yulies Tina Masriani. Pengantar Hukum Indonesia.SinarGrafika. Jakarta. 2004

Zainuddin Djafar. 2009. “ASEAN Charter, Legalitas Tonggak Baru Menuju


Integrasi Regional”. Jurnal Hukum Internasional. Volume 6 Nomor 2

18
19

Anda mungkin juga menyukai