Anda di halaman 1dari 17

PENERAPAN TINDAK PIDANA EKSPLOITASI SECARA EKONOMI

TERHADAP ANAK OLEH IBU KANDUNG

Nama : Angga Syarokhman Ardiyanto


NIM : 030609001
E-mail : anggayulia68@gmail.com
Fakultas : FHISIP
Program Studi : 311/ S-1 Ilmu Hukum
Masa Registrasi : 2021.2.
Universitas : UPBJJ UT PURWOKERTO
Pokjar : LKP Kamilia Cilacap

ABSTRAK
Tindakan eksploitasi secara ekonomi terhadap anak dengan menjadikan anak
sebagai pengamen, merupakan tindakan yang merampas hak-hak dasar anak.
Kabupaten Malang merupakan kabupaten di Indonesia yang belum tuntas dalam
mensejahterakan masyarakatnya. Tujuan penelitian ini mengetahui pertimbangan
hakim dalam menerapkan unsur-unsur tindak pidana dan mengetahui pertimbangan
hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku dalam Putusan Perkara No. 623/
Pid.Sus/2016/PN.Mlg. Metode pendekatan yang dipakai adalah pendekatan yuridis
normatif dan spesifikasi penelitian deskriptif analitis. Teknik pengumpulan data
yang digunakan yakni studi pustaka dan disajikan dalam bentuk uraian sistematis.
Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa pertimbangan hakim dalam
menerapkan unsur-unsur pidana eksploitasi anak secara ekonomi sesuai dengan
Pasal 88 Undang-Undang Republik Indonesia No.35 2014 tentang Perlindungan
Anak bahwa perbuatan terdakwa terbukti secara sah telah memenuhi unsur “setiap
orang,” yaitu terdakwa Maisaroh dan unsur “Yang menempatkan, membiarkan,
menyuruh, turut melakukan eksploitasi secara ekonomi pada anak”, yaitu terdakwa
menyuruh anaknya bekerja sebagai pengamen. Terdapat tiga pertimbangan hakim
dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku eksploitasi anak secara ekonomi dalam
Putusan No: 623/Pid.Sus/ 2016/PN. Mlg. Pertimbangan pertama, majelis hakim
menggunakan pandangan hukum pada Pasal 88 Undang-Undang Republik
Indonesia No. 35 Tahun 2014 yang unsur-unsurnya telah terpenuhi. Pertimbangan
kedua, hakim menggunakan kelengkapan alat bukti dan keterangan para saksi serta
hal yang meringankan dan yang memberatkan dan fakta yang terungkap selama
persidangan. Pertimbangan ketiga adalah subjektivitas

Kata Kunci : Eksploitasi Ekonomi, Anak

1
PENDAHULUAN

Hukum pidana adalah bagian dari seluruh hukum yang berlaku di dalam
suatu Negara. Hukum pidana itu terdiri dari norma-norma yang berisi keharusan
dan larangan yang (oleh pembentuk Undang-undang) telah dikaitkan dengan suatu
sanksi yang berupa hukuman, yaitu penderitaan yang bersifat khusus.1 Hukum
pidana juga dapat dikatakan merupakan sistem norma yang menentukan terhadap
tindakan yang mana melakukan sesuatu ataupun tidak melakukan sesuatu dimana
terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu dalam keadaan bagaimana
hukuman itu dijatuhkan serta hukuman yang dijatuhkan bagi tindakan tersebut.2
Zaman yang terus berkembang menuntut manusia menjadi manusia yang lebih
modern dan dinamis sehingga membawa masyarakat menuju tatanan kehidupan dan
gaya hidup yang praktis dan cepat. Modernisasi ini tidak hanya mempengaruhi dari
sisi perubahan tuntutan, akan tetapi berpengaruh pula pada semua bidang dalam
kebutuhan manusia seperti ekonomi, sandang, papan, gaya hidup, dan lain-lain.
Modernisasi saat ini tidak hanya berdampak positif bagi kehidupan manusia. Lebih
dari itu, pengaruh modernisasi ini membawa dampak negatif bagi masyarakat
terutama dalam cara pemenuhan kebutuhan yang berakhir pada kemiskinan.

Tingkat kemiskinan inilah yang memicu masyarakat untuk melakukan


segala cara agar tetap hidup (survive). Kondisi tersebut kemudian “memaksa” anak
untuk terlibat dan ikut serta berusaha keluar dari tingkat kesulitan ekonomi. Banyak
di antara mereka terpaksa meninggalkan bangku sekolah karena kondisi ekonomi
yang mengharuskan mereka untuk mencari uang. Sebagai contoh, pengamen yang
masih anak-anak berada di lampu merah, perempatan jalan, terminal, pasar, dan
tempat keramaian lainnya yang dirasa mudah untuk menghasilkan uang. Realitas
tersebut menjadi maasalah sosial karena kebutuhan ekonomi rumah tangga yang
tidak sanggup lagi ditanggung oleh orang tuanya.3 Anak sebagai generasi penerus

1
Barda Nawawi Arief. 2003. Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung. hlm 145
2
Jan Remmelink. 2003. Hukum Pidana (Komentar atas Pasal-Pasal Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana dalam Kitab Undang-Undang Pidana Indonesia), Jakarta, Gramedia. hlm 32
3
Soerjono Soekanto. 2010. Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta. hlm 24

2
bangsa yang memiliki arti penting bagi pembangunan Nasional dalam menjalankan
kehidupan bernegara. Anak anak berhak mendapatkan perlindungan, tumbuh dan
berkembang serta berpartisipasi untuk melaksanakan pembangunan Nasional
seperti halnya manusia dewasa. Setiap anak dapat dan berkembang secara baik
diperlukan perlindungan terhadap anak dari tindakan kekerasan fisik, psikis, hingga
diskriminasi, pengeksploitasian seksual anak, hak sipil dan kebebasan. Adanya
perlindungan anak, keberadaan anak menjadi tanggung jawab bangsa diharapkan
dapat menyongsong masa depan secara baik dalam kehidupan di lingkungan
keluarga maupun di lingkungan masyarakat.

Anak seharusnya mendapatkan perlindungan, dan kasih sayang, serta


pengawasan dari kedua orang tuanya, dijaga, dirawat serta diasuh ataupun didik
secara baik melalui ciri-ciri yang dimiliki oleh anak pada umumnya agar tidak
terwujudnya tindak pidana terhadap anak. Anak-anak tidak sepatutnya bersandar
pada dirinya sendiri tanpa ada yang memberikan perhatian maupun perlindungan.
Orang tua sangat berperan aktif untuk mencegah terjadinya kekerasan, pelecehan
dan eksploitasi anak. Negara menjamin kesejahteran tiap-tiap warga negaranya,
termasuk perlindungan terhadap anak yang merupakan hak asasi manusia. Arti dari
anak dalam Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 35 Tahun
2014 tentang perlindungan Anak yang menyebutkan bahwa Anak adalah amanah
sekaligus karunia dari Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa harus dijaga karena
dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus
dijunjung tinggi. Perlindungan hak anak pada hakikatnya menyangkut langsung
pengaturan dalam peraturan Perundang-undangan. Kebijaksanaan, usaha dan
kegiatan-kegiatan yang menjamin terwujudnya perlindungan hak anak.4 Agar
perlindungan hak anak dapat dilakukan secara tertib dan bertanggung jawab maka
diperlukan peraturan hukum yang selaras dengan perkembangan masyarakat
Indonesia. Hak yang dimiliki anak secara jelas diatur dan hingga saat ini sudah

4
Made Sadhi Astuti. 1997. Selayang pandang Anak Sebagai Korban dan Pelaku Tindak Pidana,
Malang: Arena Hukum hlm 98

3
banyak produk hukum yang dijadikan sebagai acuan dalam membahas tentang
anak, khususnya perlindungan anak seperti :

1. Pasal 34 dan Pasal tentang HAM di Pasal 28A UUD 1945.


2. UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
3. UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
4. UU No. 20 tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention No. 138
5. UU No. 1 tahun 2000 tentang Pengesahan ILO Convention No. 183.
6. UU No. 23 tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014.5
Anak memiliki posisi strategis sebagai generasi penerus bangsa maupun
kelangsungan hidup manusia. Posisi ini semestinya menjadi kesadaran semua pihak
untuk memberikan perlindungan, menjaga kehormatan, martabat dan harga diri
anak dari kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi, baik di bidang ekonomi, hukum,
politik, sosial, dan budaya.6 Pada kenyataannya, saat ini perlindungan tersebut
belum diberikan secara maksimal oleh pemerintah, aparat penegak hukum,
masyarakat dan pihak lain. Keadilan yang diberikan oleh penerapan hukum melalui
penjatuhan sanksi hukum yang dijatuhkan pada pelaku tidak adil atau tidak sesuai
dengan akibat yang ditimbulkannya.7 Pada saat ini, persoalan eksploitasi anak di
Indonesia merupakan masalah sosial yang komplek. Bagi anak yang tereksploitasi,
keadaan ini bukan merupakan pilihan yang menyenangkan, karena mereka berada
dalam kondisi yang tidak memiliki masa depan yang jelas. Berdasarkan data yang
diperoleh dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), tercatat bahwa dalam
kurun lima tahun terakhir kasus eksploitasi terhadap anak terus meningkat. Jumlah
ini melonjak dari sekitar 3.512 di kasus di tahun 2016 menjadi 9.320 kasus di tahun
2020. Lebih jelasnya, berikut adalah tabel yang menyajikan data kasus eksploitasi
anak yang terjadi di Indonesia dari kurun tahun 2016 hingga tahun 2020.

5
Maidin Gultom. 2010. Perlindungan Hukum terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana
Anak di Indonesia. Bandung : Refika Aditama hlm 77
6
Wagiati Soetodjo. 2006. Hukum Pidana Anak, Bandung: PT. Refika Aditama, hlm 67
7
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, 2001, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan anak,
Bandung: PT. Refika Aditama, hlm 81.

4
Tabel 1. Kasus Eksploitasi Anak di Indonesia Tahun 2016-2020

No. Tahun Jumlah


1. 2016 3.512 kasus
2. 2017 4.311 kasus
3. 2018 5.066 kasus
4. 2019 6.006 kasus
5. 2020 9.320 kasus
Sumber: Komisi Perlindungan Anak Indonesia Tahun 2020

Dari tabel di atas terlihat bahwa kasus eksploitasi anak di Indonesia


tergolong tinggi. Praktik mengemis atau mengamen dengan melibatkan anak adalah
eksploitasi terselubung karena melibatkan hubungan kekeluargaan. Undang-
Undang sulit menjangkau karena eksploitasi diselubungi alasan kekeluaargaan.
Tetapi tetap saja anak dijadikan alat untuk mengemis dijalanan demi mendaptkan
keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Orang tuanya seharusnya ditangkap karena
tindakan eksploitasi anak dan telah melanggar peraturan perundang-undangan
khususnya pada Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan anak bahwa “Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi anak atau
seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain,
dipidana dengan penjara paling lama 10 ( Sepuluh ) tahun dan atau denda paling
banyak Rp 200.000.000,00 ( dua ratus juta rupiah )”.

Tindakan eksploitasi secara ekonomi terhadap anak dengan menjadikan


anak sebagai pengamen, pengemis, dan anak jalanan merupakan salah satu tindakan
yang dapat merampas hak-hak dasar anak yang seharusnya mereka dapatkan.
Kabupaten Malang merupakan satu dari sekian banyak kabupaten yang ada di
Indonesia yang belum sepenuhnya tuntas dalam menyelaraskan kesejahteraan
masyarakatnya. Hal ini terlihat dari tingginya jumlah anak jalanan, pengamen dan
pengemis yang masih beroperasi di setiap sudut keramaian di Kabupaten Malang
seperti pasar, jalanan kota, hingga pinggir lampu merah, dan tempat keramaian
lainya. Berdasarkan data dari Dinas Sosial Kabupaten Malang pada tahun 2019-
2020 jumlah Penyandang Masalah Kesejahteran Sosial (PMKS) untuk wilayah
Kabupaten Malang yakni sebesar 14.770 jiwa dan untuk jenis PMKS pengamen

5
khusus wilayah Kabupaten Malang yaitu sebesar 189 jiwa. Lebih jelasnya, berikut
disajikan dalam abel data jumlah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
(PMKS ) Kabupaten Malang pada tahun 2019-2020.

Tabel 2. Jumlah PMKS di Kabupaten Malang Ttahun 2019-2020

No. Jenis PMKS Jumlah (jiwa)


1. Pengamen 189
2. Anak Terlantar 284
3. Anak Jalanan 72
4. Gelandangan 102
5. Pengemis 97
6. Fakir Miskin 14.026
Jumlah 14.770
Sumber: Dinas Sosial Kabupaten Malang 2020

Dari jumlah data d iatas menunjukkan bahwa jumlah anak terlantar, anak
jalanan, gelandangan, pengemis, hingga pengamen masih tinggi di Kabupaten
Malang. Hal ini menunjukkan bahwa upaya pemecahan masalah eksploitasi anak
yang dilakukan dalam konteks memberikan perlindungan hak-hak anak masih
maksimal. Kabupaten Malang masih banyak menghadapi persoalan eksploitasi
anak yang dijadikan sebagai pengamen dan pengemis jalanan yang menyebabkan
hak-hak anak tidak dapat terpenuhi. Salah satu contohnya adalah kasus eksploitasi
anak secara ekonomi oleh ibu kandungnya di Kabupaten Malang. Ibu tersebut
melanggar Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Pasal 66
dan Pasal 76 karena mengeksploitasi kedua anaknya yang masih di bawah umur
untuk menjadi pengamen. Perkara tersebut telah diajukan dan berakhir di
Pengadilan Negeri Malang dengan Putusan Perkara Pidana Nomor: 623/Pid.Sus/
2016/PN.Mlg. Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dijelaskan di atas,
maka penulis tertarik untuk meneliti perkara ini dan mengambil judul “Tindak
Pidana Eksploitasi Secara Ekonomi Terhadap Anak oleh Ibu Kandung (Tinjauan
Yuridis Terhadap Perkara Pidana Nomor: 623/Pid.Sus/2016/PN.Mlg)”

6
METODE PENELITIAN

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis


normatif. Penelitian hukum normatif (yuridis normatif) disebut penelitian hukum
doktrinal. Soekanto menyebutkan penelitian normatif adalah penelitian hukum
yang meneliti bahan pustaka sehingga disebut penelitian hukum kepustakaan.8
Penelitian hukum secara yuridis maksudnya penelitian yang mengacu pada studi
kepustakaan yang ada ataupun terhadap data sekunder yang digunakan. Sedangkan
bersifat normatif maksudnya penelitian hukun bertujuan memperoleh pengetahuan
normatif tentang hubungan peraturan dengan peraturan lain dan penerapan dalam
prakteknya atau dengan kata lain mengkonsepkan hukum sebagai apa yang tertulis
dalam peraturan perundang-undangan (law in book) / hukum dikonsepkan sebagai
kaidah atau norma yang merupakan patokan perilaku manusia yang dianggap
pantas dengan pendekatan perundang-undangan.9
Penyajian data yang dilakukan sebagai bahan hukum dalam penelitian ini
menggunakan bentuk teks naratif, yaitu data yang sudah diolah dalam uraian teks
narasi. Penyajian teks naratif ini merupakan sebuah uraian yang disusun secara
sistimatis, logis, dan rasional. Dalam arti keseluruhan data yang diperoleh akan
dihubungkan satu dengan yang lainnya disesuaikan dengan pokok permasalahan
yang diteliti, sehingga menjadi kesatuan utuh. Metode analisis data yang digunakan
oleh peneliti dalam penelitian ini ialah metode analisis data normatif kualitatif.
Metode analisis data normatif kualitatif yaitu pembahasan dan penjabaran yang
disusun secara logis terhadap hasil penelitian terhadap norma kaidah maupun teori
hukum yang relevan dengan pokok permasalahan. 10

8
Soejono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta, CV. Rajawali, 1996, hlm. 15.
9
Amiruddin dan Asikin, Zainal. 2006. Pengantar Metode Penelitian Hukum. PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta. hlm 118
10
Ronny Soemitro, op.cit., hlm 98.

7
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Pertimbangan Hakim dalam Menerapkan Unsur Tindak Pidana


Eksploitasi Anak Secara Ekonomi

Berkaitan dengan Putusan Perkara Pidana Pengadilan Negeri Malang No;


623/Pid.Sus/2016/PN.Mlg dengan terdakwa Maisaroh, mempertimbangkan
perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur-unsur delik dari pasal yang telah
didakwakan oleh penuntut umum sebagaimana tertuang dalam surat dakwaan
tunggal yaitu melanggar Pasal 88 Jo Pasal 76 (i) Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Adapun
penjelasan unsur-unsur dan dasar pertimbangannya sebagai berikut:

1. Unsur Setiap Orang


Mengenai unsur setiap orang, dari hasil penelitian dapat diiketahui bahwa
unsur setiap orang disini menunjuk pada manusia sebagai subjek hukum dari tindak
pidana, yang berarti siapa saja, baik laki-laki ataupun perempuan tanpa kecuali,
sehat jasmani dan rohani dapat bertindak atau dapat melakukan (bekwaam)
perbuatan dalam lapangan hukum dan dapat dimintai pertanggungjawaban atas
perbuatan pidananya.11 Menurut Sudarto, pada dasarnya yang dapat melakukan
tindak pidana ialah manusia (naturlijk personen). Pengertian setiap orang adalah
menunjukan pengertian seseorang sebagai subyek hukum serta penanggung hak dan
kewajiban. Unsur setiap orang pada dalam Pasal 88 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak adalah menunjuk pada
orang yang melakukan tindak pidana dan ini menunjukan perbuatan manusia.
Dengan kata lain, unsur setiap orang adalah menunjukan bahwa pelakunya adalah
orang yang memenuhi semua unsur tindak pidana oleh karena itu unsur setiap orang
dalam hal ini tidak boleh diartikan lain kecuali manusia.12

11
Soerjono Soekanto. 2010. Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta. hlm 9
12
Sudarto, 1989, Hukum Pidana 1, Bahan Penyediaan Bahan-Bahan Kuliah, Semarang:Fakultas
Hukum Diponegoro. Hlm.10

8
Dengan demikian mengenai unsur setiap orang apabila dikaitkan dengan
putusan pidana Pengadilan Negeri Malang No: 623/Pid.Sus/2016/PN.Mlg.
dikaitkan dengan teori tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa unsur “setiap
orang” yaitu pelaku atau subyek tindak pidana dalam perkara tersebut berdasarkan
bukti dan fakta yang terungkap di persidangan, tidak dapat diartikan lain daripada
orang dan manusia, yaitu dalam hal ini adalah Maisaroh 34 tahun, jenis kelamin
perempuan, berkebangsaan Indonesia, agama islam, pekerjaan buruh, bertempat
tinggal di Jalan Muharto V Rt.007/ Rw.006 Kelurahan Kota Lama Kecamatan
Kedungkandang Kota Malang Perum puri Cempaka Putih 2 Blok AS-3 Rt.07
Rw.06 Kelurahan Arjowinangun, Kecamatan Kedungkandang Kota Malang.
Menimbang bahwa di persidangan, penuntut umum menghadapkan
terdakwa dan berdasarkan keterangan saksi-saksi dan terdakwa yang menerangkan
bahwa identitas terdakwa dalam berita acara penyidikan dan dakwaan penuntut
umum dan identitas terdakwa Maisaroh yang dihadapkan di persidangan adalah
sama. Terakhir, menurut keterangan saksi dan terdakwa, berita acara penyidikan
dan dakwaan penuntut mum, maka disimpulkan, terdakwa Maisaroh merupakan
“orang” sebagai Subyek hukum yang dimaksud perkara ini. Oleh karena terdakwa
adalah Subyek hukum yang dimaksud, maka mengenai unsur “setiap orang”
dinyatakan terpenuhi menurut hukum.
2. Unsur yang Menempatkan, Membiarkan, Menyuruh Melakukan atau
Turut Melakukan Eksploitasi Secara Ekonomi Terhadap Anak
Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, saksi Farhan dan
saksi Kardi pada hari Senin tanggal 5 Agustus 2016 sekitar pukul 19.00 Wib di
sekitar perempatan jalan Kaliurang Malang menerangkan bahwa dirinya bersama
adiknya Marsam mengamen setiap hari mulai pukul 17.00 Wib hingga pukul 21.00
Wib dan uang hasil mengamennya tersebut diserahkan kepada ibunya yaitu
terdakwa Maisaroh yang kemudian ia digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup
keluarganya. Berdasarkan hal ini, menimbang bahwa unsur perbuatan terdakwa
seperti yang diatur dan diancam pidana Pasal 88 Jo Pasal 76 Undang-Undang
Republik Indonesia No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

9
Republik Indonesia Nomor. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah
terpenuhi maka Unsur kedua juga telah terpenuhi. Berdasarkan fakta persidangan
juga menjelaskan bahwa sepanjang persidangan tidak ditemukan alasan pemaaf
maupun pembenar yang dapat menghapus kesalahan terdakwa Maisaroh sehingga
pengadilan menyatakan bahwa terdakwa bersalah dan harus dihukum atau dijatuhi
pidana berdasarkan Pasal 222 ayat (1) KUHAP, terdakwa dibebani membayar
ongkos perkara ini. Selain itu, terdakwa telah ditahan, dan masa penahanan yang
dijatuhkan kepada terdakwa lebih lama dari masa penahanan yang telah dijalani,
maka sesuai dengan Pasal 22 ayat (4) KUHAP, maka masa penahanan yang telah
dijalani terdakwa harus dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. Dari
fakta yang terungkap di persidangan, dari keterangan saksi-saksi dan keterangan
terdakwa serta dihubungkan dengan barang bukti yang diajukan di persidangan
diketahui terdakwa menerima saksi korban untuk mengamen, di mana meskipun
awalnya terdakwa terpaksa melakukannya, namun terdakwa tetap memperkerjakan
saksi korban sebagai pengamen. Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 Tahun
2014 sudah menjelaskan seorang anak berhak untuk dapat hidup berkembang dan
berpartisipasi sesuai harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi. Dengan menelaah materi mengenai kewajiban
kepada negara dan masyarakat untuk benar-benar melakukan perlindungan pada
anak sebagaimana dijelaskan Pasal 59 dan Pasal 66 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor. 35 Tahun 2014, maka meskipun dalam keadaan di masyarakat
seorang anak menjadi pengamen di jalanan tetapi mereka harus tetap dipandang
sebagai anak yang harus dilindungi dan dijauhkan dari kegiatan yang bertentangan
dengan harkat anak. Terdakwa Maisaroh menerima uang dari memperkerjakan
saksi korban sehingga unsur eksploitasi ekonomi ini telah terpenuhi

2. Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana dalam Putusan


Perkara Nomor: 623/Pid.Sus/2016/PN.Mlg

Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Malang Nomor: 623/Pid.Sus/


2016/PN.Mlg menyatakan terdakwa Maisaroh telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah karena melakukan tindak pidana menempatkan, membiarkan,

10
menyuruh, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual
terhadap anak. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa tersebut diatas dengan pidana
penjara selama 3 (tiga) bulan dan 15 (lima belas) hari dan/atau denda sebesar Rp
200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dengan ketentuan denda tersebut tidak dibayar
maka diganti dengan pidana kurungan, sebagaimana diatur dalam Pasal 88 Undang-
Undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak.
Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bagian
keempat Pembuktian dan Putusan Dalam Acara Pemeriksaan Biasa sesuai dengan
penjelasan Pasal 183 KUHAP yang menyatakan bahwa hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya
dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-
benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Oleh karena itu,
berdasarkan hasil penelitian atas fakta-fakta hukum di atas, terdapat beberapa hal
yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana eksploitasi
ekonomi yang dilakukan terdakwa Maisaroh terhadap kedua anaknya, di antaranya;

1. Pasal 88 Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 2014

Dasar pertimbangan hakim yang pertama dipakai dalam menjatuhkan


putusannya adalah Undang-Undang. Hakim memakai pandangan hukum yang
mengacu pada Pasal 88 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 35 Tahun
2014 tentang Perubahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak, karena dalam pasal-pasal ini terdapat unsur-unsur
yang memenuhi terjadinya suatu tindak pidana eksploitasi ekonomi anak, dimana
berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Malang Nomor: 623/Pid.Sus/
2016/PN.Mlg, terdakwa Maisaroh menyuruh dan turut serta bersama kedua
anaknya menjadi pengamen di sekitar Jalan Kaliurang sejak tahun 2014. Uang hasil
mengamen tersebut dipakai terdakwa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-
hari. Penjatuhan hukuman pidana ini dilakukan Hakim dengan maksud supaya
terdakwa merasa jera untuk melakukan tindak pidana eksploitasi ekonomi yang
serupa kepada anak-anaknya di masa depan.

11
2. Kelengkapan Alat Bukti persidangan

a. Barang Bukti berupa satu buah alat pengamen berupa ecek-ecek yang terbuat
dari tutup botol yang sudah dipipihkan dan dipaku di kayu kecil, sepuluh
lembar uang pecahan Rp. 2.000, satu lembar uang pecahan Rp. 5.000, tiga
lembar uang pecahan Rp. 1.000, dua keping uang pecahan Rp. 1.000, 33
keping uang pecahan Rp. 500, 27 keping uang pecahan Rp.200, dan 11 keping
uang pecahan Rp. 200.
b. Keterangan beberapa saksi, yang pertama saksi korban sekaligus anak
terdakwa Maisaroh yakni Farhan Diawan Cahyono dan Marsam, dimana
keduanya mengetahui dan mengakui semua barang bukti yang dihadirkan di
persidangan. Berikutnya, saksi Kardi yang merupakan kerabat dekat
terdakwa. Dirinya mengetahui anak-anak terdakwa mengamen di jalanan.
Saksi mengetahui bahwa anak di bawah umur bekerja di jalanan itu dilarang,
kemudian ia pernah menegur terdakwa Maisaroh untuk melarang anak-anak
terdakwa mengamen, akan tetapi terdakwa tidak peduli dan menyuruh
anaknya untuk tetap mengamen. Terakhir keterangan terdakwa Maisaroh
yang mengakui kesalahannya dan ditangkap karena ia menyuruh anaknya
mengamen, sementara Uang hasil mengamen anak-anak tersebut digunakan
terdakwa untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
c. Hal yang memberatkan dimana perbuatan terdakwa mempekerjakan anaknya
untuk mengamen adalah perbuatan yang melanggar hukum. Sementara hal
yang meringankan hukuman terdakwa Maisaroh.

3. Pertimbangan Subjektif Hakim

Pertimbangan subyektif hakim mengapa memilih Undang-Undang


Nomor. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak dikarenakan undang-undang
ini lebih tepat dibandingkan dengan Undang-undang Traficking. Hal ini karena
meskipun anak terdakwa itu tahu atau tidak tahu, anak itu menghendaki sendiri dan
peran orang tua yang mendukung anak tersebut untuk menjadi pengamen sehingga
semua kesalahan tidak bisa dilimpahkan seluruhnya kepada terdakwa. Dalam
Pengadilan, hakim turut mempertimbangkan dari sisi viktimologinya sehingga

12
putusan yang diberikan lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum. Akan
tetapi, hal ini tidak disebutkan secara eksplisit / tertulis di dalam putusan. Peneliti
menaganalisa dasar pertimbangan hakim dalam menerapkan unsur-unsur tindak
pidana dan dalam menjatuhkan pidana terhadap ibu kandung, pelaku tindak pidana
eksploitasi anak secara ekonomi seperti yang tertuang dalam putusan Perkara sudah
sesuai dengan nilai keadilan atau sependapat dengan putusan hakim. Ketentuan
pidana dalam Pasal 88 hanya menentukan batas maksimalnya saja yakni 10 tahun
penjara dan denda paling banyak 200 juta, dengan tidak memberi batas minimum
pidananya maka putusan yang dijatuhkan dapat bervariatif waktunya berdasarkan
pembuktian di pengadilan serta ditentukan oleh musyawarah majelis hakim.

Tindakan eksploitasi ekonomi yang dilakukan terdakwa Maisaroh kepada


anaknya untuk mendapatkan keuntungan yang tentu dipergunakan untuk dirinya
sendiri namun dapat juga dipergunakan atau diperuntukkan untuk masa depan
anaknya serta peneliti melihat putusan pidana penjara selama 3 bulan dan 15 hari
ini ialah untuk menghukum tindakan dan cara dari terdakwa tersebut yang
melanggar hukum serta dapat mempengaruhi perkembangan anak tersebut bukan
untuk menjauhkan atau memutus hubungan atau tali kasih sayang dari terdakwa
yang adalah ibu dari korban yaitu saksi korban Farhan Diawan Cahyono dan
Marsam dan anak lainnya. Hal ini dikarenakan kedelapan anak yang notabene
masih di bawah umur ini sangat memerlukan sentuhan dan kehadiran terdakwa
dalam proses pertumbuhan dan pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Berdasarkan
pertimbangan hakim yang telah diuraikan di atas, penulis merasakan pertimbangan
dan putusan hakim telah mencerminkan bentuk perlindungan terhadap anak yang
sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 2014, di mana
putusan pidana yang diberikan hakim telah mempertimbangkan pertumbuhan dan
pendidikan anak yang masih dalam penguasaan dan pengasuhan terdakwa sehingga
hak dan pemeliharaan pertumbuhan anak sendiri diharapkan tak terganggu.

13
KESIMPULAN DAN SARAN

Dari hasil penelitian dan analisis mengenai tindak pidana eksploitasi


secara ekonomi terhadap anak dalam putusan Nomor: 623/ Pid.Sus/2016/PN.Mlg,
dapat disimpulkan bahwa;
1. Pertimbangan Hakim dalam menerapkan unsur-unsur tindak pidana eksploitasi
anak secara ekonomi telah sesuai dengan Pasal 88 Undang-Undang Republik
Indonesia No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Perbuatan terdakwa telah terbukti sah dan meyakinkan memenuhi unsur-unsur
“Setiap orang”, yaitu terdakwa Maisaroh dan unsur “Yang menempatkan,
membiarkan, menyuruh melakukan atau turut melakukan eksploitasi secara
ekonomi terhadap anak”, yaitu terdakwa menyuruh anaknya untuk bekerja
sebagai pengamen.
2. Terdapat tiga pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku
eksploitasi anak secara ekonomi dalam Putusan Perkara Pidana Nomor:
623/Pid.Sus/2016/PN.Mlg. Pertimbangan pertama, hakim menggunakan
pandangan hukum pada Pasal 88 Undang-Undang Republik Indonesia No. 35
Tahun 2014 yang unsur-unsurnya telah terpenuhi. Pertimbangan kedua, hakim
menggunakan kelengkapan alat bukti dan keterangan para saksi serta hal yang
meringankan dan yang memberatkan dan fakta yang terungkap selama
persidangan. Pertimbangan ketiga adalah subjektivitas hakim itu sendiri.
Hakim menilai bahwa anak terdakwa menghendaki sendiri perbuatannya dan
peran orang tua yang mendukung anak untuk menjadi pengamen, sehingga
semua kesalahan tidak bisa dilimpahkan seluruhnya kepada terdakwa.

14
DAFTAR PUSTAKA

Adirahayu, A. (2005). Pola Kehidupan Anak Jalanan Dan Upaya Treatment. Tesis,
Universitas Gadjah Mada, Sekolah pascasarjana Program Studi Sosiologi,
Yogyakarta.

Agustin, Ratna, Dewi. 2008. Bentuk eksploitasi terhadap anak jalanan. Universitas
Negeri Semarang.

Arief, Barda Nawawi, 2003, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung

Arief Didik. Mansur dan Elisatris Gultom, 2008, Urgensi Perlindungan Korban
Kejahatan Antara Norma dan Realita, PT .Raja Grafindo Persada,Jakarta

Astuti, Made Sadhi, 1997, Selayang pandang Anak Sebagai Korban dan Pelaku
Tindak Pidana, Malang: Arena Hukum

Atmasamita. (1998). Problema Kenakalan Anak/ Remaja. Armico, Bandung.

Bagong S. Analisis Situasi Pekerja Anak dan Permasalahan Pendidikan Dasar Di Jawa
Timur.Universitas Airlangga Press. Surabaya.

Bemmelen, Van M. 1987. Hukum Pidana I, Bina Cipta, Bandung

Dellyana, Shanty. 2004. Wanita Dan Anak Di Mata Hukum, Yogyakarata : Liberty,

Effendi, Erdianto. 2011, Hukum Pidana Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung

Galtung, Johan. 2007. Handbook of Peace and Poverty Studies. Oxon, Routledge.

Gosita, Arif. 2009. Masalah Korban Kejahatan, Universitas Trisakti, Jakarta.

Gultom, Maidin. 010, Perlindungan Hukum terhadap Anak dalam Sistem Peradilan
Pidana Anak di Indonesia, Bandung : Refika Aditama

Gunarsa. Y.S. 2008. Psikologi remaja. BPK Gunung Agung, Jakarta.

Harkrisnowo, Harkristuti. 1999 Hak Asasi Manusia dan Kerja Sosial, OHCHR
Indonesia. Jakarta.

Huda, Chairul. 2013, Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menjadi Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana, Jakarta

15
Huraerah, Abu. 2006. Child Abuse (Kekerasan terhadap Anak). Nuansa Penerbit.
Bandung.2006
Ibrahim. Johnny. 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang:
Bayumedia Publishing

Ilyas. Amir. 2012. Asas-Asas Hukum Pidana, Yogyakarta, Rengkang Education


Yogyakarta dan Pukap Indonesia.

Irfan, Muhamad. 2001, Perlindungan Anak Terhadap Kekerasan, Bandung: Refika


Aditama.

Kansil. CST. 1989. Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.

Kanter, E.Y. & Sianturi S.R. 1982. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya, Jakarta: Alumni AHM-PTHM.

Kartono, Kartini.2005. Patologi Sosial. Raja Grafindo Persada. Jakarta

Khairuddin. 1985. Sosiologi Keluarga. Yogyakarta : Nurcahaya. hlm 61

Maulana Hasan. 2000. Pengantar Advokasi Dan Perlindungan Anak, Jakarta:


Grasindo

Moleong, J, Lexy. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung. Remaja


Rosdakarya.

Mulyadi, Lilik. 2005. Pengadilan Anak Di Indonesia Teori Praktik Dan


Permasalahannya, Bandung: CV. Mandar maju.

Mustofa, Muhammad. 2005. Kriminologi: Kajian Sosiologi Terhadap Kriminalitas,


Prilaku Menyimpang, dan Pelanggaran Hukum, Fisip UI Jakarta.

Owin, Jarnasy. 2004. Pemberdayaan dan Penanggulangan Kemiskinan. Belantika


Jakarta.

Nashriana. 2011. Perlindungan Hukum Pidana bagi Anak di Indonesia, Jakarta:


Rajawali Pers

Nasikun. 2001. Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan. Universitas Gadjah Mada,


Yogyakarta.

Remmelink,Jan. 2003. Hukum Pidana (Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari


Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam
Kitab Undang-Undang Pidana Indonesia), Jakarta, Gramedia Pustaka.

16
Richard. 2004. Child Abuse and Neglect. Direct Practiice dalam Ensiklopedia of
Social Work. Nasional Association of Social Workers Press. Washington.

Sadhi, Made, Asututi. 1997. Selayang pandang Anak Sebagai Korban dan Pelaku
Tindak Pidana, Malang: Arena Hukum

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum Universitas Indonesia,


Jakarta,

,Soerjono.2010. Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia

Soemitro. Irma. Setyowati. 1999. Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara,
Jakarta.

Sumitro, Rony Hanitijo. 1983. Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia, Jakarta

Soetodjo, Wagita. 2006. Hukum Pidana Anak, Bandung: PT. Refika Aditama

Sudarsono. 2007. Kamus Hukum, Cetakan Kelima, Jakarta, P.T.Rineka Cipta

Sudarto, 1989, Hukum Pidana 1, Bahan Penyediaan Bahan-Bahan Kuliah,


Semarang:Fakultas Hukum Diponegoro.

Suprihatini, Amin, Pemerintahan Desa, Cempaka Putih, Klaten, 2009

Stanford Encyclopedia of Philosophy entry on exploitation. First published Thu


Dec 20, 2001; substantive revision Tue Aug 16, 2016

Syamsudin 2007 Operasionalisasi Penelitian Hukum, Grafindo Persada, Jakarta.

Usman, Hardius, dan Nachorowi Djajal Nachorowi. 2004. Pekerjaan Anak Di


Indonesia. Grasindo. Jakarta

W.A. Bonger. 1962. Pengantar Kriminologi. PT. Pembangunan, Jakarta.

Wahid Abdul dan Irfan Muhammad. 2001, Perlindungan Terhadap Korban


Kekerasan anak, Bandung: PT. Refika Aditama

Waluyadi. 2009. Hukum Perlindungan Anak, Bandung : Mandar Maju. Cet. ke-1

17

Anda mungkin juga menyukai