Anda di halaman 1dari 23

Team : KELOMPOK F

Authors :
1. Kaoline Eki Maharani Putri E 101711133106
2. Qomariah Dianti Sari 101711133110
3. Erlian Indah Mustikawati 101711133189
___________________________________________________________________________
A. Outlining Policy Paper/Brief

Use the tables to make notes in planning your policy brief.

The key questions


1. Who is/are the target audience(s) for your brief?
Satuan Pendidikan (PAUD, TK, SD, SMP, dan SMA)
Keluarga
Masyarakat
Pelayanan kesehatan
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA)
Kementerian Pendidikan dan Budaya (Kemendikbud)
2. How do they talk about this problem? What is their narrative and what are their
positions?
Kluster pertama yang memiliki andil dalam perlindungan anak adalah keluarga
terdekat, kemudian masyarakat sekitar dan penggerak PKK yang berkiprah dalam
pendidikan anak dan perempuan (Mardiyati, 2015). "Puskemas juga berperan dalam
pemberdayaan keluarga, agar paham dan mampu memenuhi hak kesehatan anak,”
Kepala Dinas Kependudukan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
(DKP3A) Kaltim Halda Arsyad pada Pelatihan Pelayanan Ramah Anak di Puskesmas
Bagi Tenaga Kesehatan Kaltim di Hotel Selyca Mulia Samarinda, Selasa (26/3/2019).

Kekerasan terhadap anak di sekolah merupakan masalah yang harus segera


diselesaikan. Kasus kekerasan anak merupakan permasalahan yang memerlukan peran
dari berbagai pihak utamanya sistem manajemen dalam sekolah dan pola pikir tenaga
kependidikan dalam menyikapi secara serius dan sistemik (Susanto, 2016).

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mempunyai tugas


menyelenggarakan urusan di bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak
dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan
pemerintahan negara. Kemen PPPA bertugas untuk memastikan perlindungan dan
pendampingan para korban dalam proses peradilan

Menurut Menteri PPPA, sosialisasi terkait isu-isu pemenuhan hak dan perlindungan
anak dapat dimulai dari keluarga. Keluarga harus mampu menciptakan lingkungan
yang aman dan nyaman untuk anak-anak dengan mendampingi, melindungi, dan
mencintai mereka sepenuh hati. Selain itu, anak-anak perlu diberikan ruang untuk
menyampaikan suara sebagai salah satu hak yang harus dipenuhi.

“Masih maraknya kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia menjadi pekerjaan


rumah bagi kita bersama untuk menuntaskannya. Ketika bicara soal kasus kekerasan
terhadap perempuan dan anak, begitu besar harapan masyarakat kepada kami dalam
penanganan kasus, akan tetapi kewenangan kami terbatas untuk itu. Kedepannya
dengan penambahan tusi Kemen PPPA, penanganan kasus bisa dilakukan secara
tuntas dan komprehensif, mulai dari pencegahan, pelayanan, dan penanganan,” ujar
Ibu Menteri Bintang

Irjen Kemendikbud Daryanto menekankan bahwa penting untuk menyelaraskan tiga


lini penting dalam pendidikan, yaitu orang tua, sekolah, dan masyarakat dalam
menciptakan rasa aman dan nyaman dalam dunia pendidikan.
3. What surprising or striking facts or insights from your analysis would have the
best chance of interesting, surprising or engaging the target audience?
Pada laporan UNICEF tahun 2015 ditemukan bahwa terdapat 40% anak berusia 13-15
tahun melaporkan bahwa setidaknya pernah diserang secara fisik paling tidak satu kali
dalam setahun, 26% melaporkan pernah mendapat hukuman fisik dari orang tua
maupun pengaruh di rumah, dan 50% anak pernah menjadi korban pembullyan di
sekolah. Pada tahun 2018, terdapat 4.979 kasus pengaduan anak yang mana terjadi
kenaikan dari tahun sebelumnya yaitu sebesar 357 kasus.

SIMFONI-PPA menyatakan bahwa pada tahun 2020 terdapat 1.082 anak menjadi
korban kekerasan pada rentang usia 0-5 tahun, 2.852 anak korban kekerasan pada
rentang usia 6-12 tahun, dan 5.268 korban kekerasan pada rentang usia 13-17 tahun.

Sakti Peksos 2020 yang diadakan dalam Kemensos mencatat bahwa telah merespon
sebanyak 3.555 kasus pada bulan Juni, 4.928 kasus pada bulan Juli, dan 5.364 kasus
pada bulan Agustus.
4. What stage in the policy process are you targeting with this brief?
Implementasi kebijakan yang berfokus pada penanganan (pencegahan dan
pengendalian) kasus kekerasan fisik dan psikis pada anak di keluarga/ satuan
pendidikan

5. What overall message will you send in the brief? Write it down in 2 sentences.
UU Perlindungan Anak masih belum dapat berjalan dengan efektif, hal ini disebabkan
karena belum adanya pembahasan yang spesifik terkait upaya pencegahan dan
penanggulangan kekerasan anak di lingkungan sekolah. Selain itu, diseminasi UU
perlindungan anak belum dilaksanakan secara maksimal sehingga memicu terjadinya
banyak kasus kekerasan anak baik di lingkungan keluarga maupun di institusi
pendidikan.

Planning the elements of your policy brief


1. Title (Think of a ‘sticky’ title to capture the attention of your target audience)
Keberadaan Undang-Undang Perlindungan Anak dalam Upaya Menekan Angka
Kekerasan Anak di Indonesia
2. Executive summary (What do you need to include in the summary to convince the
reader to read further?)
Kekerasan terhadap anak adalah suatu tindakan/perbuatan terhadap anak yang dapat
menimbulkan kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual,
penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan dengan cara melawan hukum. Kekerasan kepada anak
masih dianggap sebagai hal yang lumrah terjadi di lingkungan keluarga maupun
lingkungan sekolah. Keluarga dan pihak sekolah menganggap bahwa pemberian
hukuman dan nada tinggi yang sebenarnya menjurus terhadap kekerasan fisik
maupun psikis adalah salah satu cara untuk mendidik anak. Hal ini bertolak belakang
dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 yang menegaskan bahwa setiap anak
berhak untuk mendapatkan perlindungan secara mutlak. Hal yang perlu dilakukan
adalah pemberian sosialisasi secara berkala kepada setiap pihak yang berperan terkait
pencegahan dan penanggulangan kekerasan anak. Pemerintah dan pemberi pelayanan
kesehatan juga harus berkomitmen melakukan penanggulangan melalui upaya yang
telah dituliskan pada Undang-Undang terkait serta masyarakat dalam lingkup RT dan
RW harus lebih memperhatikan keadaan anak dan lebih peka serta tanggap terhadap
kekerasan anak yang terjadi di sekitarnya saat Pandemi Covid-19 maupun di
kemudian hari. Rincian terkait upaya perlindungan dalam aspek pencegahan dan
pengendalian kekerasan pada anak di lingkungan sekolah juga harus ditambahkan
pada Undang-Undang Perlindungan Anak.
3. Rationale for action on the problem (What elements of the problem/policy
failure will you focus on to illustrate its importance and urgency to the target
audience?)
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
1. Pasal 9 ayat 1
2. Pasal 9 ayat 1a
3. Pasal 15
4. Pasal 20
5. Pasal 45 ayat 1
6. Pasal 45 ayat 2
7. Pasal 45 ayat 3
8. Pasal 45B ayat 1
9. Pasal 45B ayat 2
10. Pasal 48
11. Pasal 54 ayat 1
12. Pasal 59 ayat 1
13. Pasal 59 ayat 2
14. Pasal 59A
15. Pasal 69
Are there any ‘striking’ (i.e. dramatic) facts, graphs, photos, stories or maps that you
could include to support your points?

Data KPAI

Data Kasus Berdasarkan Klaster Perlindungan Anak


Rincian Data Kasus Berdasarkan Klaster Perlindungan Anak
Data Simfoni PPPA
(Kompas.com) Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto
mengatakan, potret perlindungan anak dalam situasi pandemi Covid-19 terlihat
melalui survei nasional KPAI. Anak mendapatkan berbagai kekerasan fisik maupun
psikis selama pandemi. Survei dilakukan di seluruh daerah di 34 provinsi.
Berdasarkan hasil survei tersebut, Susanto memaparkan bahwa anak mengalami
kekerasan fisik berupa ditampar sebanyak 3%, dikurung 4%, ditendang 4%, didorong
6%, dijewer 9%, dipukul 10%, dan dicubit ada 23%. Selain kekerasan fisik, Susanto
juga memaparkan kekerasan psikis yang dialami anak, yakni dimarahi 56%, anak
dibandingkan dengan anak lain 34%, anak dibentak 23%. Kemudian anak dipelototi
13%, dihina 5%, diancam 4%, dipermalukan 4%, dirisak atau di-bully 3% dan diusir
2%.

(Republika.co.id) Kementerian Sosial (Kemensos) mengakui kasus terkait anak dan


kekerasan anak, melonjak saat masa pandemi Covid-19. Berdasarkan data Kemensos,
dalam tiga bulan terakhir kasus-kasus anak meningkat tajam terutama kasus Anak
yang Berhadapan Dengan Hukum. Tercatat sebanyak 3.555 kasus pada Juni, lalu
bertambah menjadi 4.928 kasus pada Juli dan sebanyak 5.364 kasus pada Agustus
yang direspon oleh Sakti Peksos. Selain itu, kasus yang juga cukup tinggi
penambahannya yaitu anak korban kejahatan seksual serta anak korban perlakuan
salah dan penelantaran. Kasus anak korban kejahatan seksual yang direspon Sakti
Peksos pada Juni sebanyak 1.433, melonjak menjadi 2.214 kasus pada Juli dan
Agustus tercatat sebanyak 2.489 kasus.

Databoks.katadata.co.id
What is the impact on stakeholders of the current policy approach?
Sebagai bahan evaluasi dari implementasi Undang-Undang Perlindungan Anak

4. Proposed policy option(s) (How many options are you going to critique in the
brief? Which policy option(s) are your arguing for/against?)
Pasal yang dikritik terkait kekerasan anak secara fisik dan psikis pada lingkungan
keluarga dan sekolah
What arguments and evidence will you provide to demonstrate the
strengths/weaknesses of the option(s) included? Will these be convincing for your
target audience?
1. Menurut Maryam (2017), sebagian besar orang tua sering melakukan kekerasan
fisik pada anak secara spontan dan dengan volume yang sering. Banyak
ditemukan bahwa keluarga tidak memahami bahwa anak harus mendapat
pengasuhan tanpa kekerasan.
2. Sebanyak 45% siswa dan 22% siswi pernah mendapatkan kekerasan dari guru
dan tenaga pendidikan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2020).
3. Terdapat 87% anak-anak menjadi korban kekerasan di sekolah (Akunonto &
Kompas.com, 2012).
4. Seringkali kata-kata verbal yang diucapkan orang tua menggunakan nada yang
tinggi hingga anak mengalami ketakutan (Anggraeni & Samai, 2013).
5. Sufriani & Sari (2017) menyatakan pada penelitiannya bahwa bullying
merupakan kekerasan yang sering terjadi di lingkungan sekolah.
6. Pada saat pandemi Covid-19 Kemen PPPA membentuk PATBM saat pandemi
Covid-19 yang bertujuan untuk melakukan upaya-upaya pencegahan dengan
membangun kesadaran masyarakat agar terjadi perubahan pemahaman, sikap,
dan perilaku yang memberikan perlindungan kepada anak.
7. Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 membentuk Protokol
Penanganan Anak Korban Tindak Kekerasan dalam Situasi Pandemi Covid-19.
Protokol ini dapat digunakan untuk menangani anak korban tindak kekerasan
anak.
5. Policy recommendations (Which specific steps or measures should be taken (and
by whom) to realistically and feasibly implement the chosen option?)
1. Memberikan sosialisasi secara berkala kepada setiap pihak terkait yang
memiliki peran terhadap pencegahan dan penanggulangan kekerasan anak yaitu
keluarga, masyarakat, dan sekolah.
2. Menekankan bahwa kekerasan anak pada lingkungan keluarga dan sekolah
bukan hal yang lumrah serta tidak dapat dibenarkan dalam hal mendidik anak.
3. Memperkuat komitmen pemerintah dan pemberi pelayanan kesehatan dalam
penanganan korban kasus kekerasan anak melalui upaya yang telah dituliskan
pada Undang-Undang terkait.
4. Masyarakat dalam lingkup RT dan RW harus lebih memperhatikan keadaan
anak dan lebih peka serta tanggap terhadap kekerasan anak yang terjadi di
sekitarnya saat Pandemi Covid-19 maupun di kemudian hari.
5. Menambah rincian upaya perlindungan yang harus dilakukan dalam aspek
pencegahan dan pengendalian terkait kekerasan pada anak di lingkungan
sekolah.
7. Sources consulted or recommended (Are there published documents available
that also support the position you are putting forward?)
Buletin Risalah Kebijakan Indonesia (BRiKK)

8. Link to original research/analysis (Where is the longer supporting paper or


analysis for experts?)
Adima, F. N. (2020, Agustus). Tindak Pidana Kekerasan Psikis dalam Rumah
Tangga Anak Kepada Orang Tua, dan Perbedaaan dengan Penghinaan
Menurut KUHP (Studi Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor:
168/PID/2020/PT.DKI). Jurnal Kajian Ilmu-ilmu Hukum, 18(1), 14-21.
Alif, M., Wati Dewi, & Intan, P. (2020). Identifikasi Bentuk dan Dampak
Kekerasan Pada Anak Usia Dini di Kota Yogyakarta. Jurnal Obsesi : Jurnal
Pendidikan Anak Usia Dini, Volume 4 Issue 2, 757-765.
Anggraeni, R. D., & Samai. (2013). Dampak Kekerasan Anak Dalam Rumah
Tangga (The Impact Children Of Domestic Violence). Artikel Ilmiah Hasil
Penelitian Mahasiswa 2013,, 1, 1-4.
Kartika, D. A. (2018). Implementasi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
tentang Perlindungan Anak di SMP Negeri 2 Kotagajah Lampung Tengah.
Mackowics, J. (2013). Verbal abuse in upbringing as the cause of low self-
esteem in children. European Scientific Journal, (2), 474–478.
Maryam, S. (2017, Maret). Gambaran Pendidikan Orang Tua dan Kekerasan
pada Anak dalam Keluarga di Gampong Geulanggang Teungoh Kecamatan
Kota Juang Kabupaten Bireuen. Gender Equality: International Journal of
Child and Gender Studies, Vol. 3, No. 1, Maret 2017, 69-76.
Sufriani, & Sari, E. P. (2017). Faktor yang Mempengaruhi Bullying pada
Anak Usia Sekolah di Sekolah Dasar Kecamatan Syiah Kuala Banda Aceh.
Idea Nursing Journal, 8(3).
9. Contact details (Are you going to include all details? Name, address, phone,
website, email etc)
Kaoline Eki Maharani Putri Efendi, Nganjuk, kaoline.eki.maharani-
2017@fkm.unair.ac.id https://medium.com/@kaolineki

Presentation and layout of your policy brief


1. How will you disseminate the policy brief to the target audience?
Buletin Risalah Kebijakan Indonesia (BRiKK)
2. What impression would you like to create for the reader when they look at your
brief? Use adjectives to describe it.
Kesan yang ingin diciptakan bagi pembaca ketika melihat brief adalah pembaca dapat
menyadari dan merasakan bahwa kekerasan anak merupakan isu penting yang harus
segera ditangani dengan baik agar tidak ada lagi peningkatan kasus kekerasan anak.
3. Describe ideas for the layout and presentation of your policy brief that will you
use to create the desired impression.
Policy Brief berbentuk potrait, berwarna kuning karena warna kuning umumnya
digunakan untuk menarik perhatian pembaca, penambahan gambar anak-anak yang
merupakan subjek policy brief.
B. Rules
Font: Arial
Size: 11 pt
Line Spacing: 1 pt (single), Before spacing 0 pt
Written in English/Bahasa (Depend on target audiences)
a. Policy Paper : 4000 Words (Online Document for Submit to Medium
BRiKK)
b. Policy Brief : 1500-1700 Words (Poster)

C. Content Framework
A. Title (Judul)
B. Executive Summary (Ringkasan Eksekutif)
C. Background (Pendahuluan)
D. Method (Metode)
E. Result and Discussion (Hasil dan Pembahasan)
F. Implication/Policy Option* (Implikasi/Opsi Kebijakan*)
G. Policy Recommendation (Rekomendasi Kebijakan)
H. References (Referensi)
I. Contact Details (Detail kontak)
Keberadaan Undang-Undang Perlindungan Anak dalam Upaya Menekan Angka
Kekerasan Anak di Indonesia

Penyusun:
Kaoline Eki Maharani Putri Efendi, Qomariah Dianti Sari, Erlian Indah Mustikawati.

Departemen Administrasi Kebijakan Kesehatan,


Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Airlangga

Korespondensi:
Kaoline Eki Maharani Putri Efendi
kaoline.eki.maharani-2017@fkm.unair.ac.id
https://medium.com/@kaolineki

Ringkasan Eksekutif
Kekerasan terhadap anak adalah suatu tindakan/perbuatan terhadap anak yang dapat
menimbulkan kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, penelantaran,
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan
dengan cara melawan hukum. Kekerasan kepada anak masih dianggap sebagai hal yang
lumrah terjadi di lingkungan keluarga maupun lingkungan sekolah. Keluarga dan pihak
sekolah menganggap bahwa pemberian hukuman dan nada tinggi yang sebenarnya menjurus
terhadap kekerasan fisik maupun psikis adalah salah satu cara untuk mendidik anak. Hal ini
bertolak belakang dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 yang menegaskan bahwa
setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan secara mutlak. Hal yang perlu dilakukan
adalah pemberian sosialisasi secara berkala kepada setiap pihak yang berperan terkait
pencegahan dan penanggulangan kekerasan anak. Pemerintah dan pemberi pelayanan
kesehatan juga harus berkomitmen melakukan penanggulangan melalui upaya yang telah
dituliskan pada Undang-Undang terkait serta masyarakat dalam lingkup RT dan RW harus
lebih memperhatikan keadaan anak dan lebih peka serta tanggap terhadap kekerasan anak
yang terjadi di sekitarnya saat Pandemi Covid-19 maupun di kemudian hari. Rincian terkait
upaya perlindungan dalam aspek pencegahan dan pengendalian kekerasan pada anak di
lingkungan sekolah juga harus ditambahkan pada Undang-Undang Perlindungan Anak.

Pendahuluan
Kekerasan Anak di Indonesia
Kekerasan anak merupakan salah satu permasalahan yang kerap terjadi di Indonesia. Menurut
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, kekerasan terhadap anak adalah suatu
tindakan/perbuatan terhadap anak yang dapat menimbulkan kesengsaraan atau penderitaan
secara fisik, psikis, seksual, penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan dengan cara melawan hukum. Menurut WHO,
kekerasan terhadap anak adalah segala bentuk kekerasan terhadap anak berusia dibawah 18
tahun mencakup semua bentuk perlakuan yang salah baik secara fisik dan emosional, seksual,
penelantaran, dan eksploitasi yang berdampak dan membahayakan kesehatan, perkembangan,
harga diri anak dalam konteks tanggung jawab. Anak laki-laki dan anak perempuan sama-
sama berisiko mengalami kekerasan fisik maupun emosional serta penelantaran. WHO
menyatakan bahwa anak perempuan berisiko lebih besar mengalami pelecehan seksual
daripada anak laki-laki.
Bentuk Kekerasan Anak
Berdasarkan definisi kekerasan anak, kekerasan anak dapat berupa kekerasan fisik, emosional
atau psikis, seksual, pengabaian dan penelantaran, serta kekerasan ekonomi. Kekerasan fisik
pada anak merupakan jenis kekerasan yang sangat sering terjadi. Kekerasan fisik pada anak
adalah kekerasan yang dilakukan oleh seseorang dengan menggunakan anggota tubuhnya
atau objek lain yang bisa membahayakan anak atau mengontrol kegiatan anak. Kekerasan
fisik pada anak dapat berupa mendorong, menggigit, menendang, menarik rambut,
membakar, melukai dengan benda, hingga membunuh. Ciri-ciri yang dapat diketahui ketika
anak mendapatkan kekerasan fisik meliputi adanya luka lebam, bekas gigitan, dan patah
tulang yang tidak dapat dijelaskan, anak sering tidak masuk sekolah,cedera tapi ditutupi,
tampak ketakutan akan kehadiran seseorang tertentu, dan sering lari dari rumah.

Kekerasan psikis terjadi ketika seseorang menggunakan ancaman dan menakut-nakuti


seorang anak termasuk mengisolasi dari keluarga dan teman. Kekerasan yang juga sangat
dekat dengan kekerasan psikis adalah kekerasan emosional. Kekerasan emosional dapat
terjadi melalui perkataan atau perbuatan yang membuat anak merasa bodoh atau tak berharga.
Kekerasan emosional dapat berupa mengkritik terus menerus, menyalahkan semua masalah
keluarga kepada anak, memalukan anak di depan orang lain, intimidasi, dan lain-lain.

Kekerasan seksual berupa pornografi, perkataan-perkataan porno, dan tindakan tidak


senonoh/pelecehan organ seksual anak. Pengabaian dan penelantaran merupakan kegagalan
orang tua atau yang bertanggung jawab untuk menyediakan kebutuhan terkait perkembangan
anak di bidang: kesehatan, pendidikan, perkembangan emosi, nutrisi, tempat tinggal, dan
kondisi kehidupan yang aman, pada konteks keluarga atau pengasuh. Kekerasan ekonomi
(eksploitasi) merupakan kekerasan dalam bentuk mempekerjakan anak dibawah umur dengan
motif ekonomi dan prostitusi anak.

Dampak Kekerasan Anak


Macam dan bentuk kekerasan anak tidak hanya berupa fisik, oleh karenanya kekerasan
terhadap anak juga dapat menimbulkan dampak seperti meningkatkan risiko kesehatan yang
buruk, risiko kesehatan mental, dan perilaku (Kementerian Sosial & Sinaga, 2020). Menurut
dr. Irma Lidia, dampak yang diakibatkan oleh kekerasan pada anak adalah pertumbuhan serta
perkembangan anak mengalami gangguan, anak mengalami risiko depresi dan kesehatan
mental lainnya, serta anak mengalami luka di tubuh.

Kekerasan dalam bentuk fisik maupun non fisik (verbal) terhadap anak menurut beberapa
penelitian akan berdampak pada perkembangan anak itu sendiri. Ibu yang menggunakan
kekerasan verbal dalam pengasuhan dapat berimplikasi pada masalah perilaku dan emosi
anak. Perkataan atau opini negatif membuat anak berpendapat bahwa hal tersebut adalah
benar dan melihat dirinya sebagai sosok yang negatif. Hal ini dapat semakin merendahkan
harga diri pada anak tersebut (Mackowics, 2013, 474-478).

Pada laporan UNICEF tahun 2015 ditemukan bahwa terdapat 40% anak berusia 13-15 tahun
melaporkan bahwa setidaknya pernah diserang secara fisik paling tidak satu kali dalam
setahun, 26% melaporkan pernah mendapat hukuman fisik dari orang tua maupun pengaruh
di rumah, dan 50% anak pernah menjadi korban pembullyan di sekolah. Pada tahun 2018,
terdapat 4.979 kasus pengaduan anak yang mana terjadi kenaikan dari tahun sebelumnya
yaitu sebesar 357 kasus. Terdapat 10 kasus perlindungan anak pada tahun 2011-2017
diantaranya yaitu terkait sosial dan anak dalam situasi darurat, hak sipil dan partisipasi,
agama dan budaya, kesehatan dan NAPZA, trafficking dan eksploitasi, pornografi dan cyber
crime, pendidikan, keluarga dan pengasuhan alternatif, anak berhadapan hukum, serta kasus
perlindungan anak lainnya.

Jumlah kasus pengaduan anak berdasarkan klaster perlindungan anak selama tahun 2011-
2018 sebesar 30.462 kasus. Kasus pengaduan terbanyak yaitu terkait anak yang berhadapan
dengan hukum sebanyak 10.186 kasus, kemudian pengaduan terkait keluarga dan pengasuhan
alternatif sebanyak 5.618 kasus, pengaduan terkait kasus pendidikan sebanyak 3.184 kasus,
pengaduan terkait pornografi dan cyber dan crime sebanyak 2.845 kasus, pengaduan terkait
kasus kesehatan dan NAPZA sebanyak 2.557, pengaduan terkait kasus trafficking dan
eksploitasi sebanyak 1.956 kasus, pengaduan terkait kasus agama dan budaya sebanyak 1.394
kasus, pengaduan terkait sosial dan anak dalam situasi darurat sebanyak 1.390 kasus,
pengaduan terkait kasus hak sipil dan partisipasi sebanyak 733 kasus, serta pengaduan kasus
perlindungan anak lainnya sebanyak 599 kasus (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2018).

SIMFONI-PPA menyatakan bahwa pada tahun 2020 terdapat 1.082 anak menjadi korban
kekerasan pada rentang usia 0-5 tahun, 2.852 anak korban kekerasan pada rentang usia 6-12
tahun, dan 5.268 korban kekerasan pada rentang usia 13-17 tahun.

KPAI sebagai lembaga negara yang bertugas secara khusus untuk mengawasi perlindungan
anak Indonesia, juga melakukan survei selama pandemi Covid-19. Hasil survei yang
dilakukan KPAI menyatakan bahwa selama pandemi, anak mengalami kekerasan fisik
maupun psikis. Kekerasan fisik yang dialami oleh anak berupa tamparan, kurungan,
tendangan, dorongan, jeweran, pukulan, dan cubitan. Sedangkan, kekerasan psikis yang
dialami oleh antara lain dimarahi, dibentak, dipelototi, dihina, diancam, dipermalukan, di-
bully, dan diusir. Kementerian Sosial mengakui bahwa kasus kekerasan anak melonjak sejak
adanya pandemi Covid-19. Sakti Peksos tahun 2020 yang diadakan dalam Kemensos
mencatat bahwa telah merespon sebanyak 3.555 kasus pada bulan Juni, 4.928 kasus pada
bulan Juli, dan 5.364 kasus pada bulan Agustus.

Maraknya kasus kekerasan anak membuktikan bahwa upaya pencegahan dan


penanggulangan kekerasan anak tidak berjalan sebagaimana mestinya sesuai dengan Undang-
Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Kajian UU
Di Indonesia peraturan mengenai perlindungan anak diatur dalam Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2014. Namun, dalam implementasinya masih ditemukan beberapa pasal yang tidak
dapat berjalan secara maksimal sehingga masih banyak ditemukan kasus terkait perlindungan
anak.

Metode
Metode yang digunakan dalam pembahasan kebijakan ini yaitu melalui telaah peraturan
tentang perlindungan anak yang sudah ada saat ini, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
tentang Perlindungan Anak. Selain itu, dilakukan pengumpulan data mengenai isu kebijakan
yang ada di media elektronik melalui website Simfoni-PPA, UNICEF, Sakti Peksos, dan
berita online seperti Kompas.com, Republika, dan masih banyak lainnya.

Hasil dan Pembahasan


A. Perlindungan Anak
1. Pasal 15 menyebutkan bahwa setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan
dari:
a. Penyalahgunaan dalam kegiatan politik;
b. Pelibatan dalam sengketa bersenjata;
c. Pelibatan dalam kerusuhan sosial;
d. Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan;
e. Pelibatan dalam peperangan;
f. Kejahatan seksual.
2. Pasal 20 menyebutkan bahwa negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah,
masyarakat, keluarga, dan orang tua atau wali berkewajiban dan bertanggung
jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
3. Pasal 59 ayat (1) menyebutkan bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan
lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan
perlindungan khusus kepada anak.
4. Pasal 59 ayat (2) menyebutkan bahwa perlindungan khusus kepada anak
sebagaimana di maksud pada ayat (1) diberikan kepada:
a. Anak dalam situasi darurat;
b. Anak yang berhadapan dengan hukum;
c. Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi;
d. Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;
e. Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika,
dan zat adiktif lainnya;
f. Anak yang menjadi korban pornografi;
g. Anak dengan HIV/AIDS;
h. Anak korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan;
i. Anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis;
j. Anak korban kejahatan seksual;
k. Anak korban jaringan terorisme;
l. Anak penyandang disabilitas;
m. Anak korban perlakuan salah dan penelantaran;
n. Anak dengan perilaku sosial menyimpang;
o. Anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait dengan kondisi
orang tuanya.
5. Pasal 59A menyebutkan bahwa perlindungan khusus bagi anak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) dilakukan melalui upaya:
a. Penanganan yang cepat, termasuk pengobatan dan/atau rehabilitasi secara
fisik, psikis, dan sosial, serta pencegahan penyakit dan gangguan kesehatan
lainnya;
b. Pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan;
c. Pemberian bantuan sosial bagi anak yang berasal dari keluarga tidak mampu;
d. Pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap proses peradilan.
6. Pasal 69 menyebutkan bahwa perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan
fisik dan/atau psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf i
dilakukan melalui upaya:
a. Penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang
melindungi anak korban tindak kekerasan;
b. Pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi.

B. Perlindungan Anak di Area Pendidikan


1. Pasal 9 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan
dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat
kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakat.
2. Pasal 9 ayat (1a) menyebutkan bahwa setiap anak berhak mendapatkan
perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang
dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau
pihak lain.
3. Pasal 48 menyebutkan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib
menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua
anak.
4. Pasal 54 ayat (1) menyebutkan bahwa anak di dalam dan di lingkungan satuan
pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis,
kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga
kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.

C. Perlindungan Anak di Area Keluarga


1. Pasal 45 ayat (1) menyebutkan bahwa orang tua dan keluarga bertanggung jawab
menjaga kesehatan anak dan merawat anak sejak dalam kandungan.
2. Pasal 45 ayat (2) menyebutkan bahwa dalam hal orang tua dan keluarga yang
tidak mampu melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memenuhinya.
3. Pasal 45 ayat (3) menyebutkan bahwa kewajiban sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
4. Pasal 45B ayat (1) menyebutkan bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah,
masyarakat, dan orang tua wajib melindungi anak dari perbuatan yang
mengganggu kesehatan dan tumbuh kembang anak.
5. Pasal 45B ayat (2) menyebutkan bahwa dalam menjalankan kewajibannya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah, Pemerintah Daerah,
masyarakat, dan orang tua harus melakukan aktivitas yang melindungi anak.

Implementasi UU Perlindungan Anak


Undang-Undang mengenai Perlindungan anak sudah ada sejak tahun 2002 yaitu
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan diperbarui menjadi
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Perlindungan anak
adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat
hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pihak
yang wajib dan bertanggung jawab untuk melindungi anak diantaranya yaitu negara,
pemerintah, pemerintah daerah, keluarga, dan orang tua atau wali. Adanya undang-undang
yang mengatur perlindungan anak tidak menjamin terlindunginya anak dari kasus kekerasan
anak, bahkan angka kasus kekerasan anak terus meningkat sejak tahun 2011.
Menurut data KPAI selama tahun 2011-2018, terdapat kasus pengaduan anak
berdasarkan klaster perlindungan anak sebesar 30.462 kasus. Pada tahun 2020 SIMFONI-
PPA menyatakan bahwa terdapat 1.082 anak menjadi korban kekerasan pada rentang usia 0-5
tahun, 2.852 anak korban kekerasan pada rentang usia 6-12 tahun, dan 5.268 korban
kekerasan pada rentang usia 13-17 tahun. UNICEF menyatakan bahwa anak pernah diserang
secara fisik paling tidak satu kali dalam setahun, anak pernah mendapat hukuman fisik dari
orang tua maupun pengaruh di rumah, dan anak pernah menjadi korban pem-bullyan di
sekolah. Maka, dengan ini topik kekerasan anak yang kami soroti adalah kekerasan fisik dan
psikis karena fakta di lapangan menyebutkan bahwa kedua hal tersebut merupakan kekerasan
yang kerap dialami anak baik di lingkungan rumah maupun lingkungan sekolah.
Kekerasan fisik adalah kekerasan yang dilakukan oleh seseorang dengan
menggunakan anggota tubuhnya atau objek lain yang bisa membahayakan anak atau
mengontrol kegiatan anak. Kekerasan fisik dapat berupa memukul, menampar, menendang,
mencubit, hingga membunuh.
Terdapat 87% anak-anak menjadi korban kekerasan di sekolah (Akunonto &
Kompas.com, 2012). Menurut Kartika (2018), implementasi UU Perlindungan Anak sudah
diterapkan di lingkungan sekolah, namun masih terdapat beberapa hukuman yang bersifat
fisik maupun verbal yang dijadikan sebagai alat untuk mendisiplinkan siswa di sekolah.
Hukuman tersebut masuk dalam tipologi kekerasan tingkat ringan, karena tidak
mengakibatkan luka dan tidak masuk dalam tindak kriminalitas. Bentuk hukuman yang
dilakukan seperti berdiri di depan kelas, dijewer, diusir dari kelas, dijambak, dan dijemur di
lapangan.
Berdasarkan survei kesehatan sekolah yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan,
disebutkan bahwa terjadi kekerasan fisik di sekolah. Sebanyak 40% dari anak usia 13-15
tahun pernah mengalami kekerasan fisik yang dilakukan oleh teman sebayanya. 84% anak
laki-laki dan 75% anak perempuan pernah menjadi korban kekerasan fisik. Selain itu
kekerasan fisik pada anak di sekolah juga dilakukan oleh guru dan tenaga pendidikan.
Sebanyak 45% siswa dan 22% siswi pernah mendapatkan kekerasan dari guru dan tenaga
pendidikan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2020).
Menurut Maryam (2017), sebagian besar orang tua sering melakukan kekerasan fisik
pada anak secara spontan dan dengan volume yang sering. Banyak ditemukan bahwa
keluarga tidak memahami bahwa anak harus mendapat pengasuhan tanpa kekerasan. Pemicu
orang tua marah dan melakukan kekerasan fisik adalah anak menjatuhkan makanan, anak
merengek minta mainan, anak lari-larian dan hal-hal kecil lain yang menyebabkan orang tua
kesal. Kekerasan fisik maupun psikis sering diberikan kepada anak dengan alasan
mendisiplinkan anak.
Kekerasan psikis adalah suatu tindakan verbal seperti menghina, mengancam, berkata
kasar yang berdampak pada turunnya rasa percaya diri, meningkatnya rasa takut, hilangnya
kemampuan untuk bertindak atau rasa tidak berdaya. Jika kekerasan psikis tidak segera
ditangani maka korban kekerasan psikis akan semakin bergantung pada pelaku kekerasan
meskipun hal tersebut membuat korban menderita (Adima, 2020). Seringkali kata-kata verbal
yang diucapkan orang tua menggunakan nada yang tinggi hingga anak mengalami ketakutan
(Anggraeni & Samai, 2013).
Sufriani & Sari (2017) menyatakan pada penelitiannya bahwa bullying merupakan
kekerasan yang sering terjadi di lingkungan sekolah. Perilaku bullying dapat dilakukan secara
fisik, psikis, dan mental di sekolah. Perilaku bullying di sekolah merupakan perilaku yang
dilakukan kepada teman sebayanya sebagai bentuk dari sikap pelaku bullying yang
cenderung memiliki harga diri yang baik dan berkembang, namun tidak memiliki rasa
tanggung jawab terhadap tindakan yang dilakukan, selalu ingin berkuasa dan mendominasi,
dan tidak menghargai orang lain. Pada penelitiannya, Sari menyatakan bahwa tindakan
bullying pada anak usia sekolah di Sekolah Dasar wilayah Kecamatan Syiah Kuala Banda
Aceh berada pada kategori tinggi. Kasus bullying seringkali tidak dianggap sebagai
permasalahan oleh pihak sekolah. Masih banyak guru yang berpikir bahwa perilaku seperti
mengejek dan mengganggu teman-temannya merupakan kenakalan yang wajar pada anak
seusianya padahal tindakan bullying dapat berakibat pada gangguan kesehatan baik secara
mental, psikis, maupun mental pada korban, sehingga perlu adanya aturan terkait tindakan
bullying di sekolah serta pengawasan dari pihak-pihak terkait seperti guru dan orangtua.
Maraknya kasus kekerasan anak baik fisik maupun psikis membuktikan pelaksanaan
Undang-Undang Perlindungan Anak belum dapat berjalan sesuai seperti yang diharapkan.

Perlindungan Anak dari Kekerasan Fisik dan Psikis


Upaya perlindungan khusus bagi anak yang mengalami kekerasan fisik maupun psikis
telah ditetapkan pada pasal 69 UU No 35 Tahun 2014 yaitu dilakukan melalui upaya
penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang melindungi
anak korban tindak Kekerasan dan melakukan pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi.
Diperlukan peran dari berbagai sektor agar kekerasan fisik dan psikis pada anak dapat
dicegah maupun ditangani dengan tepat apabila telah terjadi.

Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Anak


Peran Pemerintah
Pada pasal 44 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 disebutkan bahwa pemerintah
serta pemerintah daerah menyediakan fasilitas dan upaya kesehatan yang komprehensif bagi
anak agar setiap anak memperoleh derajat kesehatan yang optimal sejak dalam kandungan.
Upaya kesehatan yang komprehensif upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, baik
untuk pelayanan kesehatan dasar maupun rujukan. Pemerintah juga bertanggung jawab atas
pendanaan terhadap upaya perlindungan anak yang bersumber dari APBN, APBD, dan
sumber dana yang sah serta tidak mengikat.
Jika terdapat kasus kekerasan terhadap anak, pihak yang mengetahui hal tersebut
dapat melakukan pengaduan kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang memiliki
tugas salah satunya yaitu menerima dan melakukan penelaahan atas pengaduan masyarakat
mengenai pelanggaran hak anak.
Pemerintah juga melakukan beberapa upaya untuk memenuhi hak korban kekerasan
anak terhadap akses pelayanan kesehatan, seperti menyelenggarakan pelayanan terpadu bagi
anak korban kekerasan di rumah sakit. Penyelenggaraan pelayanan terpadu tersebut diatur
dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1226 Tahun 2009 tentang Pedoman
Penatalaksanaan Pelayanan Terpadu Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di
Rumah Sakit. Dalam peraturan tersebut menjelaskan bahwa pelayanan terhadap korban
kekerasan terhadap anak di rumah sakit dilaksanakan secara:
a. Komprehensif (promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif) dan mampu menjawab
kebutuhan korban
b. Khusus untuk anak sebagai korban dan pelaku kekerasan harus mendahulukan
kepentingan terbaik anak
c. Melibatkan multidisiplin mengingat kompleksitas permasalahan yang dihadapi dalam
penanganan korban
d. Tersedia, dapat diakses 24 jam, dan berkualitas
e. Pelayanan dilakukan sesuai standar
f. Peralatan yang tersedia harus memenuhi ketentuan
g. Semua tindakan harus terdokumentasi dengan baik
h. Harus ada sistem monitoring dan evaluasi

Peran Sekolah
Pada pasal 9 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 setiap anak dijamin haknya
untuk mendapatkan perlindungan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh
pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain. Sementara itu juga,
pada pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 ditegaskan bahwa anak yang berada di
dalam lingkungan pendidikan wajib untuk mendapatkan perlindungan anak dari tindak
kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh
pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.
Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 menyatakan bahwa upaya yang dapat dilakukan
satuan pendidik agar tidak terjadi tindak kekerasan di lingkungan pendidikan adalah upaya
pencegahan dan penanggulangan. Upaya pencegahan dilakukan oleh peserta didik,
orangtua/wali peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, satuan pendidikan, komite
sekolah, masyarakat, pemerintah kabupaten/kota, pemerintah provinsi, dan Pemerintah sesuai
dengan kewenangannya. Upaya pencegahan yang dapat dilakukan meliputi menciptakan
lingkungan yang aman, nyaman, menyenangkan serta bebas dari tindak kekerasan. Sekolah
juga wajib melaporkan kepada orang tua atau wali apabila ada gejala tindak kekerasan yang
melibatkan peserta didik baik sebagai korban maupun pelaku. Sekolah juga dapat menjalin
kerjasama antara lain dengan lembaga psikologi, organisasi keagamaan, dan pakar
pendidikan dalam rangka pencegahan dan wajib membentuk tim pencegahan tindak
kekerasan di lingkungan pendidikan.
Tindakan penanggulangan yang dilakukan sekolah meliputi memberikan pertolongan
terhadap korban tindakan kekerasan di sekolah, melaporkan kepada orang tua atau wali
peserta didik setiap tindak kekerasan yang melibatkan peserta didik baik sebagai korban
maupun pelaku, menindaklanjuti kasus tersebut secara proporsional sesuai dengan tingkat
tindak kekerasan yang dilakukan, dan wajib menjamin hak peserta didik untuk tetap
mendapatkan pendidikan. Sekolah juga wajib memfasilitasi peserta didik untuk mendapatkan
hak perlindungan hukum. Jika peserta didik mengalami kekerasan, sekolah wajib
memberikan rehabilitasi. Jika terjadi tindak kekerasan yang mengakibatkan luka fisik yang
cukup berat/cacat fisik/kematian harus melaporkan ke dinas pendidikan dan aparat penegak
hukum setempat.

Peran Masyarakat
Masyarakat baik perseroangan maupun kelompok dapat berperan aktif dalam
perlindungan anak. Peran Masyarakat kelompok dapat dilakukan oleh lembaga perlindungan
anak, lembaga kesejahteraan sosial, organisasi kemasyarakatan, lembaga pendidikan, media
massa, dan dunia usaha.
Pada pasal 72 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, upaya yang dapat dilakukan
masyarakat dalam penyelenggaran perlindungan anak adalah:
a. Memberikan informasi melalui sosialisasi dan edukasi mengenai hak anak dan peraturan
perundang-undangan tentang anak
b. Memberikan masukan dalam perumusan kebijakan yang terkait perlindungan anak
c. Melaporkan kepada pihak berwenang jika terjadi pelanggaran hak anak
d. Berperan aktif dalam proses rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi anak
e. Melakukan pemantauan, pengawasan dan ikut bertanggungjawab terhadap
penyelenggaraan perlindungan anak
f. Menyediakan sarana dan prasarana serta menciptakan suasana kondusif untuk tumbuh
kembang anak
g. Berperan aktif dengan menghilangkan pelabelan negatif terhadap Anak korban
sebagaimana dimaksud dalam pasal 59
h. Memberikan ruang kepada anak untuk dapat berpartisipasi dan menyampaikan pendapat

Kebijakan Perlindungan Anak selama Pandemi Covid-19


Kemen PPPA menerbitkan kebijakan yang mengatur terkait perlindungan anak pada
saat pandemi Covid-19, yaitu Panduan Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat
(PATBM) dalam Pandemi Covid-19. Merespon adanya pandemi Covid-19 diperlukan
keterlibatan masyarakat secara masif. Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat
(PATBM) sebagai salah satu gerakan perlindungan anak berbasis masyarakat yang telah
diinisiasi oleh Kemen PPPA dan telah dikembangkan bersama Pemerintah
Provinsi/Kabupaten/Kota, perlu menegaskan atas peran dan tugasnya untuk perlindungan
anak dalam pencegahan dan penanganan pandemi Covid-19. Melalui Panduan Perlindungan
Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) dalam pandemi Covid-19, diharapkan mampu
membangkitkan PATBM di Indonesia dan bergerak melaksanakan pencegahan penularan
Covid-19 pada anak dan menurunkan kekerasan pada anak dalam situasi pandemi Covid-19,
mendukung pelaksanaan dari gugus tugas percepatan penanganan Covid-19, memastikan
anak-anak mendapatkan perlindungan, dan terpenuhinya hak-hak dasar anak selama masa
darurat hingga masa pemulihan. Panduan umum ini ditujukan bagi seluruh
relawan/aktivis/kader PATBM di seluruh Indonesia baik tingkat desa ataupun kelurahan agar
dapat mencegah, mendukung perawatan dan merujuk pada pelayanan yang dibutuhkan oleh
anak dari pandemi Covid-19 di sekitarnya.
Prioritas utama PATBM dalam pandemi Covid-19 adalah:
1. Mendukung program pencegahan di masyarakat melalui gugus tugas RT/RW
baik kelurahan dan desa, membangun kesadaran dan tanggung jawab bersama
dari orangtua, keluarga inti atau masyarakat sekitar melalui informasi tentang
pola pengasuhan atas risiko keterpisahan anak atau tidak adanya pengasuhan
dalam pandemi Covid-19.
2. Memperhatikan perspektif gender kepada anak di masa pandemi Covid-19.
3. Memperkuat program karantina untuk penerapan social distancing atau jaga jarak
di desa dan kelurahan.
4. Menginformasikan layanan kesehatan ataupun psikososial tingkat puskesmas,
rumah sakit daerah atau layanan P2TP2A untuk merujuk warga baik anak dan
orangtua yang bergejala mendapatkan layanan perawatan, dukungan dan
pengobatan baik secara mental ataupun kesehatan.
5. Melakukan pendokumentasian dan merujuk kasus. Kader/ relawan atau aktivis
PATBM perlu meningkatan pengetahuan dan membangun kesadaran mulai dari
mengenali tanda-tanda dan gejala penyakit, penyediaan nomor telp dan WA dari
kader/ relawan/aktivis PATBM sebagai rujukkan hotline, dukungan pengasuhan
pengganti untuk anak-anak jika orangtua dinyatakan Covid-19, dukungan untuk
anak-anak dengan Covid-19, dan mitigasi risiko jika ada anggota keluarga jatuh
sakit dan dinyatakan Covid-19.
6. Ikut terlibat aktif dalam membangun lingkungan yang mendukung dengan
informasi dan tahapan penanganan Covid-19 di masing-masing wilayah.
Kader/relawan/aktivis PATBM dapat memberitahu jalur rujukan yang diadaptasi
sesuai RT/RW masing-masing termasuk pemberian dukungan psikososial jarak
jauh untuk anak-anak dan orang tua atau menginformasikan bagi warga yang baru
masuk ke wilayah.
7. Membantu meminimalkan dampak negatif terhadap anak, orangtua dan keluarga
yang sudah ditetapkan dalam perawatan Covid-19 di wilayah dari stigma dan
diskriminasi.
Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 juga membentuk Protokol
Penanganan Anak Korban Tindak Kekerasan dalam Situasi Pandemi Covid-19. Protokol ini
dapat digunakan untuk menangani anak korban tindak kekerasan anak. Bentuk penanganan
anak korban tindak kekerasan saat pandemi Covid-19 dapat dilakukan melalui pemberian
layanan jarak jauh yang melalui saluran telepon, video call, dan teleconference serta
pemberian layanan melalui tatap muka secara langsung. Selain bentuk penanganan anak
korban tindak kekerasan saat pandemi Covid-19, protokol ini juga menjelaskan tahap
penanganan dan pemberian layanan kepada anak korban tindak kekerasan. Tahap penanganan
yang dimaksud dalam protokol ini meliputi penerimaan pengaduan, penjangkauan,
penjemputan, dan pengantaran anak, serta pengelolaan kasus.
Pemberian layanan anak korban tindak kekerasan dalam situasi pandemi Covid-19
dilakukan dengan memperhatikan hal-hal berikut:
1. Layanan yang diberikan sesuai dengan permasalahan dan kebutuhan serta rencana
penanganan anak yang telah disusun pada tahap sebelumnya.
2. Layanan-layanan ini disediakan oleh berbagai lembaga pelayanan terkait yang
pada pelaksanaannya mengikuti mekanisme yang sudah berjalan di masing-
masing provinsi/kabupaten/kota.
3. Dalam hal pelayanan yang dibutuhkan belum tersedia atau tidak sesuai dengan
syarat dan ketentuan, maka dinas yang menyelenggarakan urusan perlindungan
anak dan dinas yang menyelenggarakan urusan sosial harus mengupayakan
pelayanan yang dibutuhkan anak dengan cara bekerjasama dengan lembaga
pemberi pelayanan.
Layanan yang diberikan kepada anak korban tindak kekerasan saat Pandemi Covid-19
meliputi pemberian layanan konsultasi hukum jarak jauh, pemberian layanan pendampingan
hukum untuk anak yang terjadwal di kepolisian, pemberian layanan pendampingan hukum
bagi anak yang tidak terjadwal di kepolisian, pemberian layanan pendampingan hukum di
kejaksaan, pemberian layanan pendampingan hukum persidangan, pemberian layanan
psikologi jarak jauh, pemberian layanan psikologi dengan tatap muka, pemberian layanan
kesehatan, pemberian layanan kesehatan, pemberian layanan mediasi, dan pemberian
layanan pengasuhan sementara/rumah aman.

Peran Sektor Pelayanan Kesehatan


Salah satu peran pelayanan kesehatan terhadap kekerasan anak yaitu menyediakan
layanan kesehatan bagi anak yang mengalami/diduga mengalami kekerasan dalam program
penanggulangan kekerasan terhadap perempuan dan anak (KtP/A). Program ini berperan
dalam menyediakan puskesmas mampu tata laksana KtP/A minimal 4 puskesmas pada setiap
kabupaten/kota, menyediakan Pusat Pelayanan Terpadu (PPT)/Pusat Krisis Terpadu (PKT) di
rumah sakit pada setiap kabupaten/kota, menyediakan petugas kesehatan yang terlatih dalam
menangani pasien korban KtP/A di rumah sakit dan puskesmas. Hingga tahun 2017, terdapat
2431 Puskesmas Mampu Tatalaksana KtP/A di 34 provinsi dan 316 RS yang memiliki
PPT/PKT, dan menyediakan tenaga kesehatan terlatih tatalaksana kasus KtP/A di Puskesmas
dan RS (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2018).
Pada pasal 4 Permenkes RI Nomor 68 Tahun 2013, kewajiban pemberi layanan
kesehatan (fasilitas pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan) kepada anak yang diduga
menjadi korban kekerasan terhadap anak meliputi:
a. Memberikan pertolongan pertama
b. Memberikan konseling awal
c. Menjelaskan kepada orang tua anak tentang keadaan anak dan dugaan penyebabnya,
serta mendiskusikan langkah-langkah ke depan
d. Melakukan rujukan apabila diperlukan
e. Memastikan keselamatan anak
f. Melakukan pencatatan lengkap di dalam rekam medis serta siap untuk membuat Visum
et Repertum apabila diminta secara resmi
g. Memberikan informasi kepada kepolisian.
Pada Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1226 Tahun 2009 juga menyebutkan
bahwa World Medical Association menganjurkan agar para tenaga kesehatan menilai seorang
anak dengan melakukan:
a. Wawancara tentang riwayat cidera/luka
b. Pemeriksaan fisik
c. Pemeriksaan radiologis
d. Pemeriksaan penapis terhadap gangguan hematologis
e. Pengambilan foto berwarna
f. Pemeriksaan fisik atas saudara kandungnya
g. Membuat laporan medis resmi
h. Skrining perilaku
i. Skrining tumbuh kembang anak balita

Implikasi Kebijakan
Jika keberadaan Undang-Undang Perlindungan Anak tidak diimbangi dengan adanya
upaya peningkatan pemahaman dan kesadaran dari pihak keluarga, masyarakat, dan sekolah,
maka kasus kekerasan anak akan terus dianggap hal yang lumrah terjadi dan terus mengalami
peningkatan. Hal ini akan berdampak pada tumbuh kembang anak yang merupakan masa
depan bangsa. Masyarakat yang menjadi pihak terdekat pun juga belum mengetahui tempat
untuk melakukan pengaduan ketika terjadi kasus kekerasan anak di sekitar. UU Perlindungan
Anak sekadar menjadi salah satu dokumen tertulis milik Pemerintah tanpa adanya tindakan
nyata untuk menangani kasus kekerasan anak yang menjamur di Indonesia.

Rekomendasi Kebijakan
Setelah melakukan pengkajian ulang terhadap Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2014 tentang Perlindungan Anak, maka rekomendasi yang dapat kami berikan sebagai
berikut:
1. Memberikan sosialisasi secara berkala kepada setiap pihak terkait yang memiliki peran
terhadap pencegahan dan penanggulangan kekerasan anak yaitu keluarga, masyarakat,
dan sekolah.
2. Menekankan bahwa kekerasan anak pada lingkungan keluarga dan sekolah bukan hal
yang lumrah serta tidak dapat dibenarkan dalam hal mendidik anak.
3. Memperkuat komitmen pemerintah dan pemberi pelayanan kesehatan dalam penanganan
korban kasus kekerasan anak melalui upaya yang telah dituliskan pada Undang-Undang
terkait.
4. Masyarakat dalam lingkup RT dan RW harus lebih memperhatikan keadaan anak dan
lebih peka serta tanggap terhadap kekerasan anak yang terjadi di sekitarnya saat Pandemi
Covid-19 maupun di kemudian hari.
5. Menambah rincian upaya perlindungan yang harus dilakukan dalam aspek pencegahan
dan pengendalian terkait kekerasan pada anak di lingkungan sekolah.

Referensi

Adima, F. N. (2020, Agustus). Tindak Pidana Kekerasan Psikis dalam Rumah Tangga
Anak Kepada Orang Tua, dan Perbedaaan dengan Penghinaan Menurut KUHP (Studi
Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor: 168/PID/2020/PT.DKI). Jurnal Kajian
Ilmu-ilmu Hukum, 18(1), 14-21. https://doi.org/10.32694/010840
Akunonto, I., & Kompas.com. (2012, September 01). KPAI: 87 Persen Anak Korban
Kekerasan di Sekolah Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "KPAI:
87 Persen Anak Korban Kekerasan di Sekolah", Klik untuk baca:
https://edukasi.kompas.com/read/2012/09/01/12111191/KPAI.87.Persen.Anak.Korba
n.Kekera. Kompas.com. Retrieved December 9, 2020, from
https://edukasi.kompas.com/read/2012/09/01/12111191/KPAI.87.Persen.Anak.Korba
n.Kekerasan.di.Sekolah
Alif, M., Wati Dewi, & Intan, P. (2020). Identifikasi Bentuk dan Dampak Kekerasan
Pada Anak Usia Dini di Kota Yogyakarta. Jurnal Obsesi : Jurnal Pendidikan Anak
Usia Dini, Volume 4 Issue 2, 757-765.
Anggraeni, R. D., & Samai. (2013). Dampak Kekerasan Anak Dalam Rumah Tangga
(The Impact Children Of Domestic Violence). Artikel Ilmiah Hasil Penelitian
Mahasiswa 2013,, 1, 1-4.
Kamil, I. (2020, November 19). Hasil Survei KPAI soal Kekerasan Fisik dan Psikis
terhadap Anak selama Pandemi Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul
"Hasil Survei KPAI soal Kekerasan Fisik dan Psikis terhadap Anak selama Pandemi".
Kompas.com. https://nasional.kompas.com/read/2020/11/19/23214821/hasil-survei-
kpai-soal-kekerasan-fisik-dan-psikis-terhadap-anak-selama?page=all
Kartika, D. A. (2018). Implementasi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak di SMP Negeri 2 Kotagajah Lampung Tengah.
Kemendikbud. (2015). PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2015 TENTANG PENCEGAHAN
DAN PENANGGULANGAN TINDAK KEKERASAN DI LINGKUNGAN SATUAN
PENDIDIKAN. KEMENDIKBUD.
Kemensos: Kasus Kekerasan Anak Melonjak Saat Pandemi. (2020, October 14).
Republika.co.id. https://republika.co.id/berita/qi6npr330/kemensos-kasus-kekerasan-
anak-melonjak-saat-pandemi
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Peraturan Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2013 tentang Kewajiban Pemberi
Layanan Kesehatan Untuk Memberikan Informasi Atas Adanya Dugaan Kekerasan
Terhadap Anak. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2018). Infodatin: Kekerasan Terhadap
Anak dan Remaja. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2020). Profil Kesehatan Indonesia
2019. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan RI. (2009). Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1226
Tahun 2009 tentang Pedoman Penatalaksanaan Pelayanan Terpadu Korban
Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak di Rumah Sakit.
Kementerian Sosial & Sinaga, G. (2020, April 20). Lindungi Anak dari Bahaya
Kekerasan. PUSPENSOS. Retrieved December 7, 2020, from
https://puspensos.kemsos.go.id/lindungi-anak-dari-bahaya-kekerasan
Lidia, b. d. I. (2020, September 21). Mengenali Bentuk dan Dampak Kekerasan pada
Anak. Retrieved December 07, 2020, from https://jovee.id/memahami-dampak-
kekerasan-pada-anak-bagi-kesehatannya/#:~:text=Sejumlah%20dampak
%20kekerasan%20anak%20pada,Kilas%20balik%20trauma%20(PTSD)
Mackowics, J. (2013). Verbal abuse in upbringing as the cause of low self-esteem in
children. European Scientific Journal, (2), 474–478.
Maryam, S. (2017, Maret). Gambaran Pendidikan Orang Tua dan Kekerasan pada
Anak dalam Keluarga di Gampong Geulanggang Teungoh Kecamatan Kota Juang
Kabupaten Bireuen. Gender Equality: International Journal of Child and Gender
Studies, Vol. 3, No. 1, Maret 2017, 69-76.
Sufriani, & Sari, E. P. (2017). Faktor yang Mempengaruhi Bullying pada Anak Usia
Sekolah di Sekolah Dasar Kecamatan Syiah Kuala Banda Aceh. Idea Nursing
Journal, 8(3).
WHO. (n.d.). Child abuse and neglect by parents and other caregivers (Chapter 3
ed.). WHO.
https://www.who.int/violence_injury_prevention/violence/global_campaign/en/
chap3.pdf
WHO. (n.d.). Violence against children. World Health Organization. Retrieved
Desember 7, 2020, from https://www.who.int/health-topics/violence-against-
children#tab=tab_1

Anda mungkin juga menyukai