Authors :
1. Kaoline Eki Maharani Putri E 101711133106
2. Qomariah Dianti Sari 101711133110
3. Erlian Indah Mustikawati 101711133189
___________________________________________________________________________
A. Outlining Policy Paper/Brief
Menurut Menteri PPPA, sosialisasi terkait isu-isu pemenuhan hak dan perlindungan
anak dapat dimulai dari keluarga. Keluarga harus mampu menciptakan lingkungan
yang aman dan nyaman untuk anak-anak dengan mendampingi, melindungi, dan
mencintai mereka sepenuh hati. Selain itu, anak-anak perlu diberikan ruang untuk
menyampaikan suara sebagai salah satu hak yang harus dipenuhi.
SIMFONI-PPA menyatakan bahwa pada tahun 2020 terdapat 1.082 anak menjadi
korban kekerasan pada rentang usia 0-5 tahun, 2.852 anak korban kekerasan pada
rentang usia 6-12 tahun, dan 5.268 korban kekerasan pada rentang usia 13-17 tahun.
Sakti Peksos 2020 yang diadakan dalam Kemensos mencatat bahwa telah merespon
sebanyak 3.555 kasus pada bulan Juni, 4.928 kasus pada bulan Juli, dan 5.364 kasus
pada bulan Agustus.
4. What stage in the policy process are you targeting with this brief?
Implementasi kebijakan yang berfokus pada penanganan (pencegahan dan
pengendalian) kasus kekerasan fisik dan psikis pada anak di keluarga/ satuan
pendidikan
5. What overall message will you send in the brief? Write it down in 2 sentences.
UU Perlindungan Anak masih belum dapat berjalan dengan efektif, hal ini disebabkan
karena belum adanya pembahasan yang spesifik terkait upaya pencegahan dan
penanggulangan kekerasan anak di lingkungan sekolah. Selain itu, diseminasi UU
perlindungan anak belum dilaksanakan secara maksimal sehingga memicu terjadinya
banyak kasus kekerasan anak baik di lingkungan keluarga maupun di institusi
pendidikan.
Data KPAI
Databoks.katadata.co.id
What is the impact on stakeholders of the current policy approach?
Sebagai bahan evaluasi dari implementasi Undang-Undang Perlindungan Anak
4. Proposed policy option(s) (How many options are you going to critique in the
brief? Which policy option(s) are your arguing for/against?)
Pasal yang dikritik terkait kekerasan anak secara fisik dan psikis pada lingkungan
keluarga dan sekolah
What arguments and evidence will you provide to demonstrate the
strengths/weaknesses of the option(s) included? Will these be convincing for your
target audience?
1. Menurut Maryam (2017), sebagian besar orang tua sering melakukan kekerasan
fisik pada anak secara spontan dan dengan volume yang sering. Banyak
ditemukan bahwa keluarga tidak memahami bahwa anak harus mendapat
pengasuhan tanpa kekerasan.
2. Sebanyak 45% siswa dan 22% siswi pernah mendapatkan kekerasan dari guru
dan tenaga pendidikan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2020).
3. Terdapat 87% anak-anak menjadi korban kekerasan di sekolah (Akunonto &
Kompas.com, 2012).
4. Seringkali kata-kata verbal yang diucapkan orang tua menggunakan nada yang
tinggi hingga anak mengalami ketakutan (Anggraeni & Samai, 2013).
5. Sufriani & Sari (2017) menyatakan pada penelitiannya bahwa bullying
merupakan kekerasan yang sering terjadi di lingkungan sekolah.
6. Pada saat pandemi Covid-19 Kemen PPPA membentuk PATBM saat pandemi
Covid-19 yang bertujuan untuk melakukan upaya-upaya pencegahan dengan
membangun kesadaran masyarakat agar terjadi perubahan pemahaman, sikap,
dan perilaku yang memberikan perlindungan kepada anak.
7. Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 membentuk Protokol
Penanganan Anak Korban Tindak Kekerasan dalam Situasi Pandemi Covid-19.
Protokol ini dapat digunakan untuk menangani anak korban tindak kekerasan
anak.
5. Policy recommendations (Which specific steps or measures should be taken (and
by whom) to realistically and feasibly implement the chosen option?)
1. Memberikan sosialisasi secara berkala kepada setiap pihak terkait yang
memiliki peran terhadap pencegahan dan penanggulangan kekerasan anak yaitu
keluarga, masyarakat, dan sekolah.
2. Menekankan bahwa kekerasan anak pada lingkungan keluarga dan sekolah
bukan hal yang lumrah serta tidak dapat dibenarkan dalam hal mendidik anak.
3. Memperkuat komitmen pemerintah dan pemberi pelayanan kesehatan dalam
penanganan korban kasus kekerasan anak melalui upaya yang telah dituliskan
pada Undang-Undang terkait.
4. Masyarakat dalam lingkup RT dan RW harus lebih memperhatikan keadaan
anak dan lebih peka serta tanggap terhadap kekerasan anak yang terjadi di
sekitarnya saat Pandemi Covid-19 maupun di kemudian hari.
5. Menambah rincian upaya perlindungan yang harus dilakukan dalam aspek
pencegahan dan pengendalian terkait kekerasan pada anak di lingkungan
sekolah.
7. Sources consulted or recommended (Are there published documents available
that also support the position you are putting forward?)
Buletin Risalah Kebijakan Indonesia (BRiKK)
C. Content Framework
A. Title (Judul)
B. Executive Summary (Ringkasan Eksekutif)
C. Background (Pendahuluan)
D. Method (Metode)
E. Result and Discussion (Hasil dan Pembahasan)
F. Implication/Policy Option* (Implikasi/Opsi Kebijakan*)
G. Policy Recommendation (Rekomendasi Kebijakan)
H. References (Referensi)
I. Contact Details (Detail kontak)
Keberadaan Undang-Undang Perlindungan Anak dalam Upaya Menekan Angka
Kekerasan Anak di Indonesia
Penyusun:
Kaoline Eki Maharani Putri Efendi, Qomariah Dianti Sari, Erlian Indah Mustikawati.
Korespondensi:
Kaoline Eki Maharani Putri Efendi
kaoline.eki.maharani-2017@fkm.unair.ac.id
https://medium.com/@kaolineki
Ringkasan Eksekutif
Kekerasan terhadap anak adalah suatu tindakan/perbuatan terhadap anak yang dapat
menimbulkan kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, penelantaran,
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan
dengan cara melawan hukum. Kekerasan kepada anak masih dianggap sebagai hal yang
lumrah terjadi di lingkungan keluarga maupun lingkungan sekolah. Keluarga dan pihak
sekolah menganggap bahwa pemberian hukuman dan nada tinggi yang sebenarnya menjurus
terhadap kekerasan fisik maupun psikis adalah salah satu cara untuk mendidik anak. Hal ini
bertolak belakang dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 yang menegaskan bahwa
setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan secara mutlak. Hal yang perlu dilakukan
adalah pemberian sosialisasi secara berkala kepada setiap pihak yang berperan terkait
pencegahan dan penanggulangan kekerasan anak. Pemerintah dan pemberi pelayanan
kesehatan juga harus berkomitmen melakukan penanggulangan melalui upaya yang telah
dituliskan pada Undang-Undang terkait serta masyarakat dalam lingkup RT dan RW harus
lebih memperhatikan keadaan anak dan lebih peka serta tanggap terhadap kekerasan anak
yang terjadi di sekitarnya saat Pandemi Covid-19 maupun di kemudian hari. Rincian terkait
upaya perlindungan dalam aspek pencegahan dan pengendalian kekerasan pada anak di
lingkungan sekolah juga harus ditambahkan pada Undang-Undang Perlindungan Anak.
Pendahuluan
Kekerasan Anak di Indonesia
Kekerasan anak merupakan salah satu permasalahan yang kerap terjadi di Indonesia. Menurut
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, kekerasan terhadap anak adalah suatu
tindakan/perbuatan terhadap anak yang dapat menimbulkan kesengsaraan atau penderitaan
secara fisik, psikis, seksual, penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan dengan cara melawan hukum. Menurut WHO,
kekerasan terhadap anak adalah segala bentuk kekerasan terhadap anak berusia dibawah 18
tahun mencakup semua bentuk perlakuan yang salah baik secara fisik dan emosional, seksual,
penelantaran, dan eksploitasi yang berdampak dan membahayakan kesehatan, perkembangan,
harga diri anak dalam konteks tanggung jawab. Anak laki-laki dan anak perempuan sama-
sama berisiko mengalami kekerasan fisik maupun emosional serta penelantaran. WHO
menyatakan bahwa anak perempuan berisiko lebih besar mengalami pelecehan seksual
daripada anak laki-laki.
Bentuk Kekerasan Anak
Berdasarkan definisi kekerasan anak, kekerasan anak dapat berupa kekerasan fisik, emosional
atau psikis, seksual, pengabaian dan penelantaran, serta kekerasan ekonomi. Kekerasan fisik
pada anak merupakan jenis kekerasan yang sangat sering terjadi. Kekerasan fisik pada anak
adalah kekerasan yang dilakukan oleh seseorang dengan menggunakan anggota tubuhnya
atau objek lain yang bisa membahayakan anak atau mengontrol kegiatan anak. Kekerasan
fisik pada anak dapat berupa mendorong, menggigit, menendang, menarik rambut,
membakar, melukai dengan benda, hingga membunuh. Ciri-ciri yang dapat diketahui ketika
anak mendapatkan kekerasan fisik meliputi adanya luka lebam, bekas gigitan, dan patah
tulang yang tidak dapat dijelaskan, anak sering tidak masuk sekolah,cedera tapi ditutupi,
tampak ketakutan akan kehadiran seseorang tertentu, dan sering lari dari rumah.
Kekerasan dalam bentuk fisik maupun non fisik (verbal) terhadap anak menurut beberapa
penelitian akan berdampak pada perkembangan anak itu sendiri. Ibu yang menggunakan
kekerasan verbal dalam pengasuhan dapat berimplikasi pada masalah perilaku dan emosi
anak. Perkataan atau opini negatif membuat anak berpendapat bahwa hal tersebut adalah
benar dan melihat dirinya sebagai sosok yang negatif. Hal ini dapat semakin merendahkan
harga diri pada anak tersebut (Mackowics, 2013, 474-478).
Pada laporan UNICEF tahun 2015 ditemukan bahwa terdapat 40% anak berusia 13-15 tahun
melaporkan bahwa setidaknya pernah diserang secara fisik paling tidak satu kali dalam
setahun, 26% melaporkan pernah mendapat hukuman fisik dari orang tua maupun pengaruh
di rumah, dan 50% anak pernah menjadi korban pembullyan di sekolah. Pada tahun 2018,
terdapat 4.979 kasus pengaduan anak yang mana terjadi kenaikan dari tahun sebelumnya
yaitu sebesar 357 kasus. Terdapat 10 kasus perlindungan anak pada tahun 2011-2017
diantaranya yaitu terkait sosial dan anak dalam situasi darurat, hak sipil dan partisipasi,
agama dan budaya, kesehatan dan NAPZA, trafficking dan eksploitasi, pornografi dan cyber
crime, pendidikan, keluarga dan pengasuhan alternatif, anak berhadapan hukum, serta kasus
perlindungan anak lainnya.
Jumlah kasus pengaduan anak berdasarkan klaster perlindungan anak selama tahun 2011-
2018 sebesar 30.462 kasus. Kasus pengaduan terbanyak yaitu terkait anak yang berhadapan
dengan hukum sebanyak 10.186 kasus, kemudian pengaduan terkait keluarga dan pengasuhan
alternatif sebanyak 5.618 kasus, pengaduan terkait kasus pendidikan sebanyak 3.184 kasus,
pengaduan terkait pornografi dan cyber dan crime sebanyak 2.845 kasus, pengaduan terkait
kasus kesehatan dan NAPZA sebanyak 2.557, pengaduan terkait kasus trafficking dan
eksploitasi sebanyak 1.956 kasus, pengaduan terkait kasus agama dan budaya sebanyak 1.394
kasus, pengaduan terkait sosial dan anak dalam situasi darurat sebanyak 1.390 kasus,
pengaduan terkait kasus hak sipil dan partisipasi sebanyak 733 kasus, serta pengaduan kasus
perlindungan anak lainnya sebanyak 599 kasus (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2018).
SIMFONI-PPA menyatakan bahwa pada tahun 2020 terdapat 1.082 anak menjadi korban
kekerasan pada rentang usia 0-5 tahun, 2.852 anak korban kekerasan pada rentang usia 6-12
tahun, dan 5.268 korban kekerasan pada rentang usia 13-17 tahun.
KPAI sebagai lembaga negara yang bertugas secara khusus untuk mengawasi perlindungan
anak Indonesia, juga melakukan survei selama pandemi Covid-19. Hasil survei yang
dilakukan KPAI menyatakan bahwa selama pandemi, anak mengalami kekerasan fisik
maupun psikis. Kekerasan fisik yang dialami oleh anak berupa tamparan, kurungan,
tendangan, dorongan, jeweran, pukulan, dan cubitan. Sedangkan, kekerasan psikis yang
dialami oleh antara lain dimarahi, dibentak, dipelototi, dihina, diancam, dipermalukan, di-
bully, dan diusir. Kementerian Sosial mengakui bahwa kasus kekerasan anak melonjak sejak
adanya pandemi Covid-19. Sakti Peksos tahun 2020 yang diadakan dalam Kemensos
mencatat bahwa telah merespon sebanyak 3.555 kasus pada bulan Juni, 4.928 kasus pada
bulan Juli, dan 5.364 kasus pada bulan Agustus.
Kajian UU
Di Indonesia peraturan mengenai perlindungan anak diatur dalam Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2014. Namun, dalam implementasinya masih ditemukan beberapa pasal yang tidak
dapat berjalan secara maksimal sehingga masih banyak ditemukan kasus terkait perlindungan
anak.
Metode
Metode yang digunakan dalam pembahasan kebijakan ini yaitu melalui telaah peraturan
tentang perlindungan anak yang sudah ada saat ini, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
tentang Perlindungan Anak. Selain itu, dilakukan pengumpulan data mengenai isu kebijakan
yang ada di media elektronik melalui website Simfoni-PPA, UNICEF, Sakti Peksos, dan
berita online seperti Kompas.com, Republika, dan masih banyak lainnya.
Peran Sekolah
Pada pasal 9 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 setiap anak dijamin haknya
untuk mendapatkan perlindungan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh
pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain. Sementara itu juga,
pada pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 ditegaskan bahwa anak yang berada di
dalam lingkungan pendidikan wajib untuk mendapatkan perlindungan anak dari tindak
kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh
pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.
Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 menyatakan bahwa upaya yang dapat dilakukan
satuan pendidik agar tidak terjadi tindak kekerasan di lingkungan pendidikan adalah upaya
pencegahan dan penanggulangan. Upaya pencegahan dilakukan oleh peserta didik,
orangtua/wali peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, satuan pendidikan, komite
sekolah, masyarakat, pemerintah kabupaten/kota, pemerintah provinsi, dan Pemerintah sesuai
dengan kewenangannya. Upaya pencegahan yang dapat dilakukan meliputi menciptakan
lingkungan yang aman, nyaman, menyenangkan serta bebas dari tindak kekerasan. Sekolah
juga wajib melaporkan kepada orang tua atau wali apabila ada gejala tindak kekerasan yang
melibatkan peserta didik baik sebagai korban maupun pelaku. Sekolah juga dapat menjalin
kerjasama antara lain dengan lembaga psikologi, organisasi keagamaan, dan pakar
pendidikan dalam rangka pencegahan dan wajib membentuk tim pencegahan tindak
kekerasan di lingkungan pendidikan.
Tindakan penanggulangan yang dilakukan sekolah meliputi memberikan pertolongan
terhadap korban tindakan kekerasan di sekolah, melaporkan kepada orang tua atau wali
peserta didik setiap tindak kekerasan yang melibatkan peserta didik baik sebagai korban
maupun pelaku, menindaklanjuti kasus tersebut secara proporsional sesuai dengan tingkat
tindak kekerasan yang dilakukan, dan wajib menjamin hak peserta didik untuk tetap
mendapatkan pendidikan. Sekolah juga wajib memfasilitasi peserta didik untuk mendapatkan
hak perlindungan hukum. Jika peserta didik mengalami kekerasan, sekolah wajib
memberikan rehabilitasi. Jika terjadi tindak kekerasan yang mengakibatkan luka fisik yang
cukup berat/cacat fisik/kematian harus melaporkan ke dinas pendidikan dan aparat penegak
hukum setempat.
Peran Masyarakat
Masyarakat baik perseroangan maupun kelompok dapat berperan aktif dalam
perlindungan anak. Peran Masyarakat kelompok dapat dilakukan oleh lembaga perlindungan
anak, lembaga kesejahteraan sosial, organisasi kemasyarakatan, lembaga pendidikan, media
massa, dan dunia usaha.
Pada pasal 72 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, upaya yang dapat dilakukan
masyarakat dalam penyelenggaran perlindungan anak adalah:
a. Memberikan informasi melalui sosialisasi dan edukasi mengenai hak anak dan peraturan
perundang-undangan tentang anak
b. Memberikan masukan dalam perumusan kebijakan yang terkait perlindungan anak
c. Melaporkan kepada pihak berwenang jika terjadi pelanggaran hak anak
d. Berperan aktif dalam proses rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi anak
e. Melakukan pemantauan, pengawasan dan ikut bertanggungjawab terhadap
penyelenggaraan perlindungan anak
f. Menyediakan sarana dan prasarana serta menciptakan suasana kondusif untuk tumbuh
kembang anak
g. Berperan aktif dengan menghilangkan pelabelan negatif terhadap Anak korban
sebagaimana dimaksud dalam pasal 59
h. Memberikan ruang kepada anak untuk dapat berpartisipasi dan menyampaikan pendapat
Implikasi Kebijakan
Jika keberadaan Undang-Undang Perlindungan Anak tidak diimbangi dengan adanya
upaya peningkatan pemahaman dan kesadaran dari pihak keluarga, masyarakat, dan sekolah,
maka kasus kekerasan anak akan terus dianggap hal yang lumrah terjadi dan terus mengalami
peningkatan. Hal ini akan berdampak pada tumbuh kembang anak yang merupakan masa
depan bangsa. Masyarakat yang menjadi pihak terdekat pun juga belum mengetahui tempat
untuk melakukan pengaduan ketika terjadi kasus kekerasan anak di sekitar. UU Perlindungan
Anak sekadar menjadi salah satu dokumen tertulis milik Pemerintah tanpa adanya tindakan
nyata untuk menangani kasus kekerasan anak yang menjamur di Indonesia.
Rekomendasi Kebijakan
Setelah melakukan pengkajian ulang terhadap Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2014 tentang Perlindungan Anak, maka rekomendasi yang dapat kami berikan sebagai
berikut:
1. Memberikan sosialisasi secara berkala kepada setiap pihak terkait yang memiliki peran
terhadap pencegahan dan penanggulangan kekerasan anak yaitu keluarga, masyarakat,
dan sekolah.
2. Menekankan bahwa kekerasan anak pada lingkungan keluarga dan sekolah bukan hal
yang lumrah serta tidak dapat dibenarkan dalam hal mendidik anak.
3. Memperkuat komitmen pemerintah dan pemberi pelayanan kesehatan dalam penanganan
korban kasus kekerasan anak melalui upaya yang telah dituliskan pada Undang-Undang
terkait.
4. Masyarakat dalam lingkup RT dan RW harus lebih memperhatikan keadaan anak dan
lebih peka serta tanggap terhadap kekerasan anak yang terjadi di sekitarnya saat Pandemi
Covid-19 maupun di kemudian hari.
5. Menambah rincian upaya perlindungan yang harus dilakukan dalam aspek pencegahan
dan pengendalian terkait kekerasan pada anak di lingkungan sekolah.
Referensi
Adima, F. N. (2020, Agustus). Tindak Pidana Kekerasan Psikis dalam Rumah Tangga
Anak Kepada Orang Tua, dan Perbedaaan dengan Penghinaan Menurut KUHP (Studi
Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor: 168/PID/2020/PT.DKI). Jurnal Kajian
Ilmu-ilmu Hukum, 18(1), 14-21. https://doi.org/10.32694/010840
Akunonto, I., & Kompas.com. (2012, September 01). KPAI: 87 Persen Anak Korban
Kekerasan di Sekolah Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "KPAI:
87 Persen Anak Korban Kekerasan di Sekolah", Klik untuk baca:
https://edukasi.kompas.com/read/2012/09/01/12111191/KPAI.87.Persen.Anak.Korba
n.Kekera. Kompas.com. Retrieved December 9, 2020, from
https://edukasi.kompas.com/read/2012/09/01/12111191/KPAI.87.Persen.Anak.Korba
n.Kekerasan.di.Sekolah
Alif, M., Wati Dewi, & Intan, P. (2020). Identifikasi Bentuk dan Dampak Kekerasan
Pada Anak Usia Dini di Kota Yogyakarta. Jurnal Obsesi : Jurnal Pendidikan Anak
Usia Dini, Volume 4 Issue 2, 757-765.
Anggraeni, R. D., & Samai. (2013). Dampak Kekerasan Anak Dalam Rumah Tangga
(The Impact Children Of Domestic Violence). Artikel Ilmiah Hasil Penelitian
Mahasiswa 2013,, 1, 1-4.
Kamil, I. (2020, November 19). Hasil Survei KPAI soal Kekerasan Fisik dan Psikis
terhadap Anak selama Pandemi Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul
"Hasil Survei KPAI soal Kekerasan Fisik dan Psikis terhadap Anak selama Pandemi".
Kompas.com. https://nasional.kompas.com/read/2020/11/19/23214821/hasil-survei-
kpai-soal-kekerasan-fisik-dan-psikis-terhadap-anak-selama?page=all
Kartika, D. A. (2018). Implementasi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak di SMP Negeri 2 Kotagajah Lampung Tengah.
Kemendikbud. (2015). PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2015 TENTANG PENCEGAHAN
DAN PENANGGULANGAN TINDAK KEKERASAN DI LINGKUNGAN SATUAN
PENDIDIKAN. KEMENDIKBUD.
Kemensos: Kasus Kekerasan Anak Melonjak Saat Pandemi. (2020, October 14).
Republika.co.id. https://republika.co.id/berita/qi6npr330/kemensos-kasus-kekerasan-
anak-melonjak-saat-pandemi
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Peraturan Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2013 tentang Kewajiban Pemberi
Layanan Kesehatan Untuk Memberikan Informasi Atas Adanya Dugaan Kekerasan
Terhadap Anak. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2018). Infodatin: Kekerasan Terhadap
Anak dan Remaja. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2020). Profil Kesehatan Indonesia
2019. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan RI. (2009). Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1226
Tahun 2009 tentang Pedoman Penatalaksanaan Pelayanan Terpadu Korban
Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak di Rumah Sakit.
Kementerian Sosial & Sinaga, G. (2020, April 20). Lindungi Anak dari Bahaya
Kekerasan. PUSPENSOS. Retrieved December 7, 2020, from
https://puspensos.kemsos.go.id/lindungi-anak-dari-bahaya-kekerasan
Lidia, b. d. I. (2020, September 21). Mengenali Bentuk dan Dampak Kekerasan pada
Anak. Retrieved December 07, 2020, from https://jovee.id/memahami-dampak-
kekerasan-pada-anak-bagi-kesehatannya/#:~:text=Sejumlah%20dampak
%20kekerasan%20anak%20pada,Kilas%20balik%20trauma%20(PTSD)
Mackowics, J. (2013). Verbal abuse in upbringing as the cause of low self-esteem in
children. European Scientific Journal, (2), 474–478.
Maryam, S. (2017, Maret). Gambaran Pendidikan Orang Tua dan Kekerasan pada
Anak dalam Keluarga di Gampong Geulanggang Teungoh Kecamatan Kota Juang
Kabupaten Bireuen. Gender Equality: International Journal of Child and Gender
Studies, Vol. 3, No. 1, Maret 2017, 69-76.
Sufriani, & Sari, E. P. (2017). Faktor yang Mempengaruhi Bullying pada Anak Usia
Sekolah di Sekolah Dasar Kecamatan Syiah Kuala Banda Aceh. Idea Nursing
Journal, 8(3).
WHO. (n.d.). Child abuse and neglect by parents and other caregivers (Chapter 3
ed.). WHO.
https://www.who.int/violence_injury_prevention/violence/global_campaign/en/
chap3.pdf
WHO. (n.d.). Violence against children. World Health Organization. Retrieved
Desember 7, 2020, from https://www.who.int/health-topics/violence-against-
children#tab=tab_1