Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Proses pendidikan bisa berlangsung secara efektif apabila
semua faktor internal (dari dalam diri siswa) dan faktor eksternal (dari
luar diri siswa) diperhatikan oleh guru. Seorang guru harus bisa
mengetahui potensi, kecerdasan, minat, motivasi, gaya belajar, sikap
dan latar belakang sosial ekonomi dan budaya yang merupakan faktor
internal siswa. Begitu juga faktor eksternal seperti tujuan, materi,
strategi, pendekatan pembelajaran, metode, iklim sosial dalam kelas,
system evaluasi dan lain-lain.
Anak sebagai generasi penerus bangsa sering kali menjadi ajang
kekerasan atas problematika yang dialami guru maupun orang tua.
Anak juga sering menjadi pelampiasan kekerasan, baik di rumah,
sekolah, maupun lingkungan sekitar. Peringatan dan hukuman
sering dilakukan guru kepada anak didik yang dianggap nakal
dengan tujuan untuk memberi efek jera kepada siswa agar perbuatan
tersebut tidak diulang lagi. Peringatan tersebut dilakukan dengan ucapan
(bahkan bentakan) sedang hukuman dengan mencubit, menjewer dan ada
juga yang dikeluarkan dari dalam kelas. Setiap orang tidak
menginginkan terjadinya kekerasan, namun fakta memperlihatkan
sebaliknya. Kekerasan terus berlangsung, bahkan cenderung meningkat.
Ironisnya, kekerasan ternyata tidak melulu dimonopoli oleh perang
dan kerusuhan massal melainkan juga melanda dunia pendidikan,
suatu wilayah yang diandalkan sebagai wahana penyemai suasana
damai dan perdamaian.
Menurut KUHP pasal 29 (dalam Setyasih, 2012: 1), melakukan
kekerasan artinya mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani yang
tidak kecil atau sekuat mungkin, secara tidak sah, misalnya memukul
dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang
dan sebagainya sehingga orang yang terkena tindakan itu merasa sakit
yang sangat. Dalam Undang-undang nomor 23 Tahun 2002 tentang
perlindungan anak, juga menegaskan partisipasi anak yang berbunyi,
Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima,
mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan
usianya. Pusat Data dan Informasi Komisi Nasional Perlindungan Anak
melaporkan bahwa dalam tiga tahun (2004-2006) terjadi peningkatan
kekerasan terhadap anak, baik kekerasan fisik, psikis maupun kekerasan
seksual. Sementara itu, tempat terjadinya tindak kekerasan paling banyak
adalah di lingkungan sosial 35,03% rumah tangga 32,70% dan sekolah
32,27%. Ini berarti bahwa hampir sepertiga kekerasan terhadap anak
terjadi di lingkungan sekolah. Bentuk kekerasan yang paling tinggi
peningkatannya adalah kekerasan psikis. Deputi Bidang Perlindungan
Khusus Anak KemenPPPA, Nahar, di kantornya di Jakarta, Jumat
(27/1/2023) mengatakan bahwa berdasarkan data yang ia paparkan, pada
2019 jumlah kasus kekerasan terhadap anak tercatat 11.057 kasus. Pada
2020 meningkat 221 kasus menjadi 11.278. Lalu, kenaikan signifikan
terjadi pada 2021, yakni mencapai 14.517 kasus. Kenaikan signifikan
berikutnya terjadi pada 2022 yang mencapai 16.106 kasus
Fenomena tersebut membuktikan bahwa bagi beberapa anak,
sekolah tidak selalu memberikan pengalaman yang positif. Beberapa anak
mengalami kondisi yang kurang menyenangkan, mengalami pelecehan
atau kekerasan. Kondisi ini tidak kondusif untuk belajar atau berkembang,
dan seharusnya tidak ada anak yang mengalaminya. Oleh karena itu
dibutuhkan sekolah yang dianggap "ramah anak", karena perlindungan
anak dalam pendidikan formal menjadi penting, karena anak mempunyai
hak untuk dilindungi secara fisik maupun psikologis.
Sekolah ramah anak merupakan upaya mewujudkan pemenuhan
hak dan perlindungan anak selama 8 jam di sekolah, melalui upaya
sekolah untuk menjadikan sekolah menjadi, aman, bersih, ramah, indah,
sehat, asri, dan nyaman. Menciptakan generasi baru tanpa kekerasan.
Terciptanya harmoni antara sekolah dengan masyarakat agar anak belajar
tentang norma dan interaksi social, sekolah ramah anak disebut sekolah
berbasis masyarakat mengakui hak semua anak, terlepas dari gender,
agama dan status keluarga.
Menciptakan lingkungan sekolah yang bebas dari tindak kekerasan
dan diskriminasi serta pemenuhan semua hak-hak anak di sekolah niscya
untuk dilakukan. Apalagi setelah dikeluarkannya Peraturan Menteri
Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 2014 tentang Kebijakan Sekolah Ramah Anak.
Peraturan tersebut jelas merupakan sinyal positif untuk menciptakan
pendidikan yang bebas dari tindak kekerasan dan diskriminasi juga
sekolah dapat menjadi arena yang menyenangkan bagi anak untuk belajar
dengan aman dan nyaman.
Berdasarkan dari uraian diatas, maka dalam mengatasi
permasalahan tersebut dengan cara mengimplementasikan Sekolah
Ramah Anak guna membentuk karakter siswa tersebut , penulis akan
melakukan penelitian dengan judul, “Penerapan Program Sekolah
Ramah Anak RA Bunisari 2”.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Sekolah Ramah anak?
2. Bagaimana cara menerapkan sekolah ramah anak di RA Bunisari 2?

C. Tujuan
1. Mengetahui apa itu Sekolah Ramah anak.
2. Mengetahui bagaimana cara menerapkan sekolah ramah anak di RA
Bunisari 2.

D. Manfaat Penelitian
Dari penelitian ini diharapkan bisa memberi manfaat bagi semua
kalangan. Baik dikalangan pendidikan maupun dikalangan masyarakat.
Bahwa di era sekarang ini, sekolah ramah anak sudah menjadi kebutuhan
bagi anak didik, guru maupun orang tua.

Anda mungkin juga menyukai