Anda di halaman 1dari 2

PERAN GURU SEBAGAI FASILITATOR PENCEGAHAN BULLYING

Pendidikan adalah usaha dasar terencana untuk mewujudkan suasana


belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak, ilmu hidup, pengetahuan umum serta keterampilan
yang diperlukan dirinya untuk masyarakat berlandaskan Undang-Undang.Terlepas
dari itu di dunia pendidikan tidak jauh dari peran seorang guru dalam memberikan
pengajaran dan sebagai fasilitator baik di kelas maupun di luar kelas terutama pada
kasus yang lagi merak- meraknya terjadi yaitu bullying. Peran guru terhadap bullying
pada siswa yaitu sebagai orang yang membimbing atau yang memberi nasehat dan
mengarahkan serta membina siswa sehingga dapat mengatasi kasus atau masalah
yang terjadi mengenai bullying dan agar dapat meminimalisir bullying yang terjadi
disekolah, sehingga perilaku siswa bisa menjadi lebih baik.

Bullying sebagai bentuk kekerasan padainstitusi pendidikan bisa dilakukan


oleh siapa saja, baik antar siswa terhadap gurunya, antar siswa terhadap siswa,
maupun antar gengsiswadi sekolah. Lokasi kejadiannya mulai dari ruang kelas, toilet,
kantin, taman, pintu gerbang, bahkan di luar pagar sekolah. Akibatnya, sekolah
bukan lagi menjadi tempat yang menyenangkan bagi siswa melainkan menjadi
tempat yang menakutkan. Perilaku bullying tidak hanya membuat korban menderita
ketakutan di sekolah saja, bahkan banyak kasus bullying yang mengakibatkan
korbannya meninggal. Istilah bullying sendiri memiliki makna yang lebih luas,
mencakup berbagai bentuk penggunaan kekuasaan atau kekuatan untuk menyakiti
orang lain sehingga korban merasa tertekan, trauma, dan takberdaya (Wiyani dalam
Putri, 2016:63).1 Adapun faktor terjadinya perilaku bullyingada 3 yaitu faktor
hubungan keluarga yang menoleransi adanya kekerasan atau bullying, faktor teman
sebaya yang memberikan pengaruh negatif dengan cara menyebarkan bahwa
bullyingbukanlah suatu masalah besar dan merupakan suatu hal yang wajar untuk
dilakukan, dan faktor sekolah sering mengabaikan keberadaan perilaku bullying.
Fenomena perilaku bullying di sekolah semakin banyak bermunculan. Hal ini
diperkuat oleh data dari Unit Perlindungan Anak Polrestabes Makassar yang merilis
kasus kekerasan anak di Kota Makassar sepanjang tahun 2018, sebanyak 52 kasus
kekerasan terjadidi Makassar di dominasi lingkungan sekolah. Bullying yang paling
banyak dilakukan adalah memanggil dengan panggilan tidak menyenangkan atau
memanggil dengan nama orang tua.2 Sementara selebihnya adalah bullying fisik
yakni memalak, memukul, dan menendang bagi siswa laki-laki dan menjambak bagi
siswa perempuan (Kumparan, 2018).Sering kita melihat anak-anak mengejek,
mengolok-olok, atau mendorong teman yang lainnya. Perilaku tersebut sampai saat
ini masih dianggap hal yang sangat biasa, hanya sebatas bentuk relasi sosial antara
anak saja, padahal hal tersebut sudah pada bentuk perilaku bullying, namun belum
disadari konsekuensinya yang akan terjadi pada anak yang mengalami bullying.

1
Moh Khoerul Anwar, “Pembelajaran Mendalam Untuk Membentuk Karakter Siswa
Sebagai Pembelajar” Jurnal Tadris. Vol. 02, no. 2 Desember (2017): h. 97–98
2
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 54
Kasus perundungan melibatkan dua siswi yang tengah duduk di bangku SMP
di Kecamatan semparuk, Kabupaten Sambas berakhir damai.

Kedua pelajar bersama orang tua sepakat damai usai direstorative justice (RJ)
Polsek semparuk, Sabtu 29 Juli 2023.Kasus tersebut bermula ketika korban P
mendapat perlakukan tindak kekerasan oleh L.Video perundungan tersebut
kemudian menyebar di media sosial hingga viral.Orang tua korban pun melapor
kepada Polsek semparuk.Kapolsek semparuk Ipda Tri Kurnia Setiawan
membenarkan kasus perundungan atau bullying antara dua pelajar berakhir damai
secara kekeluargaan, Minggu 30 Juli 2023.
Selain KUHP, terdapat juga undang-undang khusus yang mengatur
perlindungan anak dari kekerasan, yaitu UU No.35 Tahun 2014 tentang Perubahan
Atas UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. UU ini melarang setiap
orang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut
serta melakukan kekerasan terhadap anak. UU ini juga mengatur beberapa bentuk
kekerasan terhadap anak yang telah disebutkan sebelumnya, seperti kekerasan fisik,
psikis, seksual, ekonomi, dan sosial budaya3.
Tentunya kasus-kasus kekerasan
tersebut tidak saja mencoreng citra pendidikan yang selama ini dipercaya
oleh banyak kalangan sebagai sebuah tempat dimana proses pembelajaran secara
optimal dan bermutu untuk dapat melahirkan siswa yang berkualitas, sebagaimana
dinyatakan dalam Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003, Bab II Pasal 3,bahwa
pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak,
serta peradaban bangsa yang bermanfaat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab (Kemendiknas, 2009:8), tetapi juga menimbulkan sejumlah
pertanyaan, bahkan gugatan dari berbagai pihak yang semakin kritis
mempertanyakan esensi pendidikan di sekolah.4

3
Hanlie Muliani, Why Children Bully? (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2018). h. 13
4
Amiirohana Mayasari, Syamsul Hadi, Dedi Kuswandi, “Tindak Perundungan di
Sekolah Dasar dan Upaya Mengatasinya" Jurnal Pendidikan, Vol. 4, No. 3, Maret (2019).
h. 402

Anda mungkin juga menyukai