Anda di halaman 1dari 4

Tiga Dosa Besar Dunia Pendidikan Indonesia

Ares Faujian

- Guru Sosiologi di Prov. Kep. Bangka Belitung - Narasumber Literasi dan Penguatan
Karakter - Terbaik III Nasional Guru Dedikatif dan Inovatif Kemdikbud RI - Agen Penguatan
Karakter Kemdikbud-Ristek RI
Konten dari Pengguna

9 Agustus 2021 20:33


Sebuah refleksi bangsa menyambut HUT ke-76 tahun Republik Indonesia.

Perbesar
Ilustrasi pelajar SMA. Foto: Shutter Stock
Memasuki tahun pelajaran baru (2021/2022), menjadi hal yang menarik dan sentilan keras
bagi kita berkenaan “Tiga Dosa Besar Dunia Pendidikan Indonesia”. Karena, hampir di setiap
webinar Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi RI (Kemendikbud-
Ristek RI), Mas Menteri Nadiem Makarim, selalu menyinggung dosa-dosa besar yang selalu
mewarnai dunia pendidikan Indonesia.

Perihal tiga dosa besar ini pernah ia ungkapkan pada webinar “Perempuan Pemimpin dan
Kesetaraan Gender” dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret
2021, dan webinar bertajuk “Puasa, Kemanusiaan, dan Toleransi” pada 8 Mei 2021. Tidak
hanya di situ semata, ihwal ini pun penulis dengar langsung secara daring dari beliau, ketika
mengikuti Diskusi Kelompok Terpumpun Pusat Penguatan Karakter (Puspeka)
Kemendikbud-Ristek RI pada 26-28 April 2021 di Bekasi, Jawa Barat.
Menyambut usia Indonesia yang ke-76 tahun, tentunya tiga dosa besar di dunia pendidikan
ini patut menjadi kajian mendalam serta refleksi bagi kita bersama akan masa depan bangsa.
Bahwa, perihal ini tentunya akan mengganggu sistem pendidikan nasional yang sedang
berlangsung, yaitu stabilitas proses pendidikan siswa di sekolah, tumbuh kembang anak
secara intelektual, emosional, spiritual, dan sosial, termasuk mewujudkan harapan Generasi
Emas 2045, yaitu Profil Pelajar Pancasila.

Intoleransi
Intoleransi ialah dosa yang disebutkan pertama kali terkait tiga dosa besar di dunia
pendidikan Indonesia oleh Mas Menteri. Intoleransi adalah praktik sosial yang sampai saat ini
masih menjadi penyebab tindakan-tindakan amoral lainnya. Misalnya perisakan, konflik,
hingga kekerasan. Nadiem Makarim dalam webinar “Puasa, Kemanusiaan, dan Toleransi”
menyampaikan, “Pendidikan harusnya bebas dari intoleransi, karena kreativitas, nalar kritis,
dan inovasi hanya dapat berkembangkan jika peserta didik dan pendidik di seluruh Indonesia
belajar dengan merdeka tanpa paksaan dan tekanan. Itulah esensi dari Merdeka Belajar," ucap
Mas Menteri dalam webinar tersebut.
Menurut KBBI, intoleransi adalah ketiadaan tenggang rasa. Di mana, keadaan seperti ini
dapat diartikan sebagai sikap yang tidak menghargai dan menghormati orang lain. Terkhusus
yang terjadi di dunia pendidikan Indonesia, kasus-kasus intoleransi ini lebih mengarah
kepada ihwal keagamaan.

Berdasarkan data dari kompas.com pada artikel “Kumpulan Kasus Intoleransi di Sekolah”
oleh Dian Ihsan (26/01/2021), kasus seperti yang dimaksud pernah terjadi di Bali tahun 2014,
yaitu pelarangan menggunakan jilbab/ hijab di SMPN 1 Singaraja dan SMAN 2 Denpasar.
Selanjutnya, kasus pelarangan berhijab terjadi pula pada tahun 2017 di SMAN 1 Maumere
dan tahun 2019 di SD Inpres 22 Wosi Manokwari. Tak cukup itu saja, pada tahun 2020
terjadi perisakan kepada siswi yang tidak memakai kerudung oleh siswa aktivis Rohis di
SMAN 1 Gemolong Sragen. Hingga, pada awal tahun 2021 terjadi pula kasus viral
intoleransi. Yang mana, kesalahan interpretasi peraturan sekolah dari pihak tertentu di tempat
tersebut, yang menjadikan siswi wajib memakai jilbab di SMKN 2 Padang Sumatra Barat.

Sejatinya secara hukum, Pasal 3 Ayat 4 Permendikbud No. 45 Tahun 2014 tentang Pakaian
Seragam Sekolah Bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah telah
menyebutkan bahwa, pakaian seragam khas diatur oleh masing-masing sekolah dengan tetap
memperhatikan hak setiap warga negara untuk menjalankan keyakinan agamanya masing-
masing. Lalu, mengapa kasus-kasus intoleransi seperti ini masih terus saja terjadi?

Perundungan
Perundungan atau perisakan ialah hal yang hampir terjadi di setiap sekolah, baik itu dalam
skala yang kecil, sedang, hingga besar/ berat. Berdasarkan KBBI, perundungan diartikan
sebagai proses, cara, perbuatan merundung. Di mana, merundung merupakan perbuatan yang
mengganggu, mengusik secara terus-menerus, hingga perilaku yang menyusahkan seseorang.
Merundung (KBBI) juga diartikan sebagai perbuatan yang menyakiti orang lain, baik secara
fisik maupun psikis, dalam bentuk kekerasan verbal, sosial, atau fisik berulang kali dan dari
waktu ke waktu. Misalnya memanggil nama seseorang dengan julukan yang tidak disukai,
memukul, mendorong, menyebar rumor, mengancam, atau merongrong. Kunci dari tindakan
yang dikategorikan rundung ini adalah dilakukan secara terus-menerus oleh seseorang/
kelompok untuk menyakiti pihak tertentu, bahkan hingga menimbulkan kematian.

Data kasus perundungan (bullying) di Indonesia sama halnya dengan kasus intoleransi,
banyak! Berdasarkan data kompas.com yang ditulis oleh Andi Hartik (10/02/2020), salah satu
kasus perundungan ini misalnya yang terjadi di SMPN 16 Malang. Dalam kasus ini, kepala
sekolah dan wakil kepala sekolahnya dipecat gegara kejadian yang berbuntut pada kekerasan
anak usia 13 tahun hingga masuk rumah sakit. Perundungan ini pun diindikasi karena faktor
kelalaian pihak sekolah. Di tahun 2021 sendiri, ada pula kasus di salah satu SMP di Cilacap,
yang ternyata kasus ini kembali bermuara seperti kasus-kasus lainnya, yakni kekerasan.
Di masa pandemi COVID-19 seperti ini tak menutup kasus bullying tetap terjadi. Ya,
cyberbullying atau perundungan siber/ daring melalui media sosial acap kali beredar
beritanya di media massa. Dalam web http://ditpsd.kemdikbud.go.id/ (2020) menyebutkan
bahwa, public figure dan orang yang memiliki banyak followers di instagram dapat menjadi
target cyberbullying, begitulah ungkap psikolog sekaligus dosen UGM, Novi Puspita.
Artinya, dalam hal ini siswa yang populer di sekolah atau media sosial, dan yang memiliki
keunikan/ perbedaan mencolok melalui posting-an, sering kali menjadi korban bullying.

Sekali lagi, keberadaan peraturan perundang-undangan dan eksekusinya menjadi pertanyaan


besar. Dalam hal ini Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan
Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan, UU Perlidungan
Anak, hingga UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) masih belum masif
disosialisasikan dan diterapkan di nusantara. Terutama di kalangan satuan pendidikan itu
sendiri.
Baca Juga

Maraknya Kasus Perundungan, Najwa Shihab Unggah Pesan

Kekerasan Seksual
Kekerasan atau violence menjadi warna kelam yang menyelimuti dunia pendidikan Ibu
Pertiwi. Aksi kekerasan (KBBI) merupakan perbuatan seseorang atau kelompok orang yang
menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang
orang lain. Awalnya aksi ini adalah praktik intoleransi, kemudian menjadi perisakan,
berlanjut pada kekerasan, dan akhirnya berujung pada luka bahkan kematian.

Kekerasan tidak hanya dalam kategori fisik dan verbal, namun ada pula kekerasan seksual.
Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga,
jenis kekerasan seksual merupakan kekerasan yang dilakukan untuk memuaskan hasrat seks
(fisik) dan verbal (non fisik). Secara fisik misalnya pelecehan seksual, yakni meraba,
menyentuh organ seks, mencium paksa, memaksa berhubungan seks dengan pelaku atau
orang ketiga, memaksa berhubungan intim. Sedangkan verbal, seperti membuat komentar,
julukan, atau candaan porno yang sifatnya mengejek, berikut pula membuat ekspresi wajah,
gerakan tubuh, atau pun perbuatan seksual lain yang sifatnya melecehkan dan atau menghina
korban.
Dari data yang dirilis oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2019,
sebanyak 89 siswa SD, SMP, dan SMA/SMK telah menjadi korban kekerasan seksual. Para
korban ini terdiri dari 55 anak perempuan dan 34 anak laki-laki. Mayoritas pelaku kekerasan
seksual ini adalah guru sebanyak 88%, dan 22% sisanya dilakukan kepala sekolah. Untuk
kategori guru, yang paling banyak melakukan praktik penyimpangan ini adalah guru olahraga
dan diikuti oleh guru agama. Hal ini jelas disampaikan oleh Komisioner KPAI Bidang
Pendidikan, yakni Retno Listyarti saat launching buku Catatan Akhir Tahun Pendidikan 2019
di Hotel Rivoli, Jakarta Pusat (dikutip dari kumparan.com, 2019).

Mayoritas Pelaku Kekerasan Seksual pada Anak di Sekolah Adalah Guru

Penuh rasanya otak memikirkan dan membayangkan tiga dosa besar ini. Apalagi hal ini
terjadi di sekitar kita dan dilakukan pihak-pihak yang familiar, yakni oleh siswa, guru, hingga
kepala sekolah. Lengkap! Semua elemen utama internal sekolah ada di dalamnya.
Dalam menyambut usia ke-76 tahun Republik Indonesia, tiga dosa besar dunia pendidikan ini
seharusnya bukan hanya menjadi PR di lingkup Kemendikbud-Ristek RI. Akan tetapi, ihwal
ini menjadi PR besar bangsa. Ya, kita! Kita yang ada di bumi nusantara ini, yakni semua
elemen mulai dari elemen internal sekolah, keluarga, masyarakat, hingga lembaga-lembaga
yang berwenang dan pranata yang tak terkait secara langsung. Di mana, semua elemen ini
harusnya bisa berkolaborasi dan serentak bergerak dalam memberantas kegaduhan sosial ini
Ada beberapa solusi yang bisa kita lakukan terkait problematika besar Indonesia ini. Dari
tingkat individu, perihal ini menjadi informasi penting bagi kita agar lebih meningkatkan
kepekaan sosial di lingkungan sekitar, termasuk jika hal ini terjadi di lingkungan pertemanan
dan keluarga kita. Dari tingkat keluarga, para orang tua bisa bertanya dengan pendekatan
persuasif kepada anaknya berkenaan hal-hal yang menjanggal dan malu/ takut untuk
diceritakan oleh si anak kepada orang tuanya. Jika ada, hal ini bisa menjadi bahasan khusus
kepada pihak sekolah yang menjadi wadah pendidikan si anak.

Selanjutnya, dari tingkat sekolah, sekolah wajib menyosialisasikan terkait tiga besar dosa
pendidikan ini dan membentuk satgas khusus terkait ihwal ini. Contohnya membentuk satgas
anti perundungan sekolah atau semacamnya, tergantung kasus-kasus yang terjadi di sekolah
tersebut. Selain itu, sekolah juga bisa mengundang pihak-pihak yang berkompeten untuk
mencegah, merespons, hingga melakukan aksi-aksi kuratif dari kasus-kasus yang terjadi di
lingkungan sekolah. Misalnya dengan melibatkan Agen Penguatan Karakter (APK)
Kemendikbud-Ristek RI yang berada di provinsi masing-masing, terkait sosialisasi Profil
Pelajar Pancasila, intoleransi, perundungan, kekerasan seksual, penyalahgunaan narkoba,
hingga isu-isu kritis pendidikan lainnya.

Karena tugas para agen yang berjumlah 109 orang se Indonesia ini adalah sebagai bagian dari
Puspeka Kemdikbudristek RI di daerah-daerah. Di mana, keberadaan APK ini diperkuat
berdasarkan Surat Kesepakatan Bersama antara Puspeka Sekretariat Jenderal Kemdikbud
dengan Guru dan Kepala Sekolah Dedikatif, Inovatif, dan Inspiratif Tahun 2020 No.
4592/J4/LK/2020 tentang Kemitraan dan Pemberdayaan dalam Penguatan Karakter. Untuk di
daerah, keberadaan agen-agen ini dilegalisasi dengan surat Puspeka Kemdikbud No.
4699/J4/RT/2020 perihal Dukungan untuk Agen Penguatan Karakter di lingkup Dinas
Pendidikan Provinsi dan Kabupaten setempat.
Selain melibatkan APK, sekolah bisa terlebih dahulu melakukan riset sederhana berkenaan
tiga dosa besar pendidikan ini kepada peserta didik dan guru. Selanjutnya, melakukan
evaluasi dan membuat program-program terkait upaya solutif dari kasus-kasus yang terjadi di
sekolah masing-masing. Jika memang kasus di sekolah tergolong berat, saran penulis, ada
baiknya melibatkan lembaga-lembaga penanganan khusus di daerah atau pun di pusat.
Misalnya KPAI, MUI, Kepolisian, dan sebagainya. Namun kembali lagi, semua itu
tergantung jenis kasus yang terjadi dan tingkat penanganan yang dilakukan pihak sekolah.

Itulah beberapa upaya yang bisa dilakukan oleh kita terkait masalah di dunia pendidikan
Indonesia. Harapannya, semoga kita bisa mengembalikan muruah sekolah menjadi lokasi
yang aman, nyaman, dan menyenangkan bagi peserta didik untuk keberlangsungan proses
belajar demi masa depan. Amin. Yuk, mari kita serentak bergerak untuk mengindentifikasi
secara dini, berkolaborasi, dan melibatkan pihak-pihak yang berkompeten guna
meminimalisasi dan menghilangkan dosa-dosa besar di dunia pendidikan Indonesia ini.
Merdeka Belajar!!
-Ares Faujian, Agen Penguatan Karakter Kemdikbud-Ristek RI

Anda mungkin juga menyukai