Anda di halaman 1dari 11

PENGANTAR SOSIOLOGI

KEKERASAN DALAM DUNIA PENDIDIKAN

Diajukan untuk memenuhi tugas UAS

Oleh

AZIN DANY SYAGITA

2021717

STISIPOL PAHLAWAN 12

SUNGAILIAT – BANGKA

TAHUN AJARAN 2017 - 2018

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tindak kekerasan tak pernah diinginkan oleh siapapun, apalagi di lembaga sosial
pendidikan yang sepatutnya menyelesaikan masalah secara edukatif. Namun tak bisa
ditampik, di lembaga ini ternyata masih sering terjadi tindak kekerasan. Akhir 1997, di salah
satu SDN Pati,seorang ibu guru kelas IV menghukum murid-murid yang tidak mengerjakan
PR dengan menusukkan paku yang dipanaskan ke tangan siswa. Di Surabaya, seorang guru
oleh raga menghukum lari seorang siswa yang terlambat datang beberapa kali putaran. Tapi
karenafisiknya lemah, pelajar tersebut tewas. Dalam periode yang yang tidak berselang
lama,seorang guru SD Lubuk Gaung, Bengkalis, Riau, menghukum muridnya dengan lari
kelilinglapangan dalam kondisi telanjang bulat. Bulan Maret 2002 yang lalu, terjadi pula
seorangpembina pramuka bertindak asusila terhadap siswinya saat acara camping. Selain
tersebutdi atas, banyak lagi kasus kekerasan pendidikan masih melembari wajah pendidikan
kita.
Dalam melihat fenomena ini, beberapa analisa bisa diajukan: pertama, kekerasan
dalam pendidikan muncul akibat adanya pelanggaran yang disertai dengan hukuman,
terutama fisik. Jadi, ada pihak yang melanggar dan pihak yang memberi sanksi. Bila sanksi
melebihi batas atau tidak sesuai dengan kondisi pelanggaran, maka terjadilah apa yang
disebut dengan tindak kekerasan.Tawuran antarpelajar atau mahasiswa merupakan contoh
kekerasan ini. Selain itu, kekerasan dalam pendidikan tidak selamanya fisik, melainkan bisa
berbentuk pelanggaran atas kode etik dan tata tertib sekolah. Misalnya, siswa membolos
sekolah dan pergi jalan-jalan ke tempat hiburan.
Kedua, kekerasan dalam pendidikan bisa diakibatkan oleh buruknya sistem dan
kebijakan pendidikan yang berlaku. Muatan kurikukum yang hanya mengandalkan
kemampuan aspek kognitif dan mengabaikan pendidikan afektif menyebabkan
berkurangnya proseshumanisasi dalam pendidikan. Ketiga, kekerasan dalam pendidikan
dipengaruhi olehlingkungan masyarakat dan tayangan media massa yang memang
belakangan ini kianvulgar dalam menampilkan aksi-aksi kekerasan. Keempat, kekerasan bisa
merupakanrefleksi dari perkembangan kehidupan masyarakat yang mengalami pergeseran
cepat,sehingga meniscayakan timbulnya sikap instant solution maupun jalan pintas.
Dan, kelima,kekerasan dipengaruhi oleh latar belakang sosial-ekonomi pelaku.

2
Kasus perilaku kekerasan dalam pendidikan juga bervariasi: pertama, kategori
ringan,langsung selesai di tempat dan tidak menimbulkan kekerasan susulan atau aksi balas
dendam oleh si korban. Untuk kekerasan dalam klasifikasi ini perlu dilihat terlebih
dahulu,apakah kasusnya selesai secara intern di sekolah dan tidak diekspos oleh media massa
ataukah tidak selesai dan diekspos oleh media massa,karena sudah banyak masyarakat yang
mengalami perubahan sosial.Dari dulunya yang hanya diam jika mempunyai masalah atau
konflik tapi zaman sekarang apa saja yang dilakukan pasti akan terekspos keluar baik itu dari
segi buruk maupun baiknya. Kedua, kategori sedang namun tetap diselesaikan oleh pihak
sekolah dengan bantuan aparat, dan ketiga, kategori berat yang terjadi di luar sekolah dan
mengarah pada tindak kriminal serta ditangani oleh aparat kepolisian atau pengadilan.
Umumnya kasus perilaku kekerasan kategori ringan dan sedang ini terjadi di lingkup sekolah,
masih berada dalam jam sekolah/ kuliah dan membawa atribut sekolah. Lingkup inilah
yang akan menjadi sosotan dalam penelitian ini.Studi Kasus dengan menggunakan metode
deskriptif-analitis ini bertujuan membuat tipologi perilaku kekerasan dalam pendidikan di
Indonesia, terutama pasca reformasi sembari mencari kondisi apa saja yang melatarbelakangi
munculnya kekerasan dalam pendidikan tersebut. Sebagai tanggung jawab moral, penelitian
ini juga mengusulkan kebijakan publik guna membenahi pendidikan kondisi pendidikan yang
lebih humanis, sehingga mampu mencegah berlanjutnya kekerasan dalam pendidikan
tersebut.

1.2 Rumusan Masalah


Selanjutnya Makalah ini akan dibahas dalam pokok pembahasan, yang menjadi rumusan
masalah dalam Studi Kasus ini yaitu :
1. Bagaimana fenomena Kekerasan Dalam Dunia Pendidikan di tinjau dalam sosiologi?
2. Apa saja faktor penyebab Kekerasan Dalam Dunia Pendidikan ditinjau dari sosiologi?

1.3 Tujuan
Tujuan penyusunan Studi Kasus ini adalah antara lain untuk mengetahui fenomena mengenai
adanya tindakan kekerasan dalam dunia pendidikan. Mengetahui faktor-faktor penyebab
kekerasan dalam pendidikan, dan mencari solusi penyelesaiannya dalam tinjauan sosiologi
pendidikan. Agar hal ini tidak terus menjadi ranjau dalam dunia pendidikan, yang terus
mencoreng citra baik dunia pendidikan Indonesia selama ini.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Peristiwa Kejadian


Akhir-akhir ini, ibu pertiwi kembali menangisi kelakukan tak pantas dari putra-
putrinya.Belum selesai penanganan bencana alam di berbagai wilayah Indonesia, juga belum
tuntas permasalahan lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, sekarang, giliran dunia pendidikan
yang dilibas bencana. Jika tahun 1966, kaum muda bersatu padu menumbangkan kekuasaan
Orde Lama, begitu juga dengan tahun 1998 ketika meruntuhkan keangkuhan Orde Baru,maka
dalam era reformasi, segelintir kaum muda malah mencoreng wajah dunia pendidikan
Indonesia.Dimulai dengan berita-berita yang menyiarkan pelecehan oleh guru terhadap
sejumlah muridnya, kemudian dilanjutkan dengan tawuran dan konflik fisik yang melibatkan
mahasiswa di beberapa perguruan tinggi di Indonesia. Kini, giliran mahasiswa APDN berebut
merampas nyawa orang lain.Tidak puas dengan menganiaya juniornya hingga tewas,mereka
malah lebih berani lagi melakukan penganiayaan di luar kampus. Akibatnya seorang pemuda
harus meregang nyawa.Ironis memang,karena kasus-kasus itu justru dilakukan oleh mereka
yang dipersiapkan untuk menjadi pemimpin negeri ini dan dilatarbelakangi oleh alasan yang
sepele. Lantas, dari sejumlah kasus tersebut, timbul pertanyaan ada apa dengan dunia
pendidikan Indonesia ?

Konflik sosial seperti kekerasan dan pelecehan yang terjadi dalam dunia pendidikan
di Indonesia akhir-akhir ini,bukanlah sesuatu yang muncul dengan tiba-tiba. Namun, semua
itu telah tertanam kuat sejak dulu sebelum kemudian akhirnya meledak. Sebagai contoh,
masyarakat yang pernah mengenyam dunia pendidikan tentu masih ingat benar dengan istilah
MOS (Masa OrientasiSiswa) atau OSPEK (Orientasi Pengenalan Kampus) dengan berbagai
nama lainnya.Kedua kegiatan tersebut senantiasa dilakukan setiap tahun untuk menyambut
siswa dan mahasiswa baru.Tujuan awalnya adalah untuk memberikan pembekalan, baik
materi maupun pengenalan lingkungan sekolah atau kampus kepada siswa maupun
mahasiswa baru. Hal ini dianggap penting untuk membantu proses belajar mengajar sebagai
kegiatan utama.Sayang,dalam pelaksaannya kedua kegiatan ini justru mengalami
penyimpangan tujuan.MOS dan OSPEK seringkali dijadikan ajang para senior untuk
menunjukkan kekuasaan dan senioritasnya. Dalam kegiatan ini, tak jarang mereka melakukan
tindakan kekerasan dan pelecehan pada junior. Hukuman seperti push up, lari keliling
lapangan, atau di jemur dibawah terik matahari merupakan hal yang biasa. Ditambah lagi

4
dengan bentakan parasenior yang kerap kali membuat kecut hati siswa atau mahasiswa baru.
Semua itu dilakukan dengan dalih untuk melatih kekuatan fisik dan mental. Padahal, jika
ditelusuri lebih jauh,alasan sebenarnya hanyalah untuk bersenang-senang mengerjai junior
dan balas dendam atas perlakukan senior terdahulu.

2.2 Kekerasan dalam Pendidikan dan Warisan Kolonial


Di tengah budaya masyarakat Indonesia, hukuman fisik adalah suatu yang sangat
wajar dan masih banyak para orang tua atau para pendidik yang dalam memberikan hukuman
fisik.Seorang teman yang menceritakan pengalaman traumatisnya, dari pengalamannya
seorang teman yang pernah mendapatkan hukuman fisik, pada suatu hari saat guru
mengajarkan suatu pelajaran tertentu, sang murid disuruh maju kedepan untuk mengerjakan
soal yang diberikan oleh guru, setelah mengerjakan soal dan diperiksa oleh guru ternyata
jawabannya salah semua, tanpa berpikir panjang guru langsung memberi hukuman dengan
memukulkan kayu rotan dipunggungnya. Dari pengalaman diatas hanya sebagian kecil saja
yang terjadi di Indonesia.
Suatu data menyebutkan sepanjang kwartal pertama 2007 terdapat 226 kasus
kekerasan terhadap anak di sekolah. Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan kwartal yang
sama tahun lalu yang berjumlah 196. Ketua Umum Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan
Anak Seto Mulyadi mengatakan selama Januari-April 2007 terdapat 417 kasus
kekerasanterhadap anak. Rinciannya, kekerasan fisik 89 kasus, kekerasan seksual 118 kasus,
dan kekerasan psikis 210 kasus. Dari jumlah itu 226 kasus terjadi di sekolah, ujar Seto
Mulyadi dalam diskusi di Jakarta, Rabu (3/5).Dan kemudian yang menjadi pertanyaan adalah
mengapa kekerasan fisik masih saja terjadi?dan bagaimana dampaknya terhadap anak?
Dalam pandangan penulis hukuman fisik yang adalah warisan budaya colonial, sejarah
pendidikan colonial sangat berpengaruh,yakni pendidikan colonial disini membangun
pola pendidikan tradisional yang melegitimasikan aksi hukuman fisik, berupa suatu tindakan
yang menyakiti secara fisik dengan tujuan untuk menekan perilaku negatif seorang anak atau
orang lain. Denganmenggunakan metode itu dipercaya bahwa perilaku positif anak akan
terbentuk. Warisan inidapat di identifikasi pada saat penjajahan belanda yang banyak sekali
menggunakan hukuman fisik sebagai bentuk hukuman yang paling mujarab. Tipologi
pendidikan warisan belanda semacam ini sampai sekarang bahkan masih aktif digunakan
secara terbuka ditengah masyarakat. Hal ini dapat kita ketahui juga lebih lanjut dengan
melihat bahwa pada kenyataanya identitas-identitas budaya yang dijajah dan penjajah secara
konstan bercampur atau bersilangan. Dengan melihat ungkapan dari Frantz Fanon seorang

5
pakartentang kolonailisme mengatakan bahwa kolonalisme diartikan sebagai
penonmanusiawian (dehumanization) rakyat di daerah koloni.Orang-orang yang dijajah tidak
diperlakukan sebagai manusia, tetapi lebih kepada benda.Jelasalah bahwa ternyata begitu
besar pengaruh dari kolonialisme. Colonial jaman belanda kental dengan perbudakan yakni
dengan melihat adanya legitimasi majikan untuk menghukum budak bila melakukan
kesalahan, adanya nilai superior dan inferior dalam pengambilan keputusan seorang majikan
tidak memperhitungkan nilai-nilai demokratis.Budaya majikan disini jelas mempunyai
kewibawaan dan status social yang berbeda dengan masyarakat lainnya. Kalau melihat
realitas sekarang akar kekerasan tersebut masih ada, seperti dengan halnya guru menghukum
muridnya, posisi orang tua dalam mendidik anak dalam keluarga, golongan ningrat yang
melakukan kekerasan terhadap budak dan pejabat pemerintahan menekan rakyatnya, yang
juga memiliki legitimasi untuk menerapkan penghakiman dan distribusi sanksi sepihak tanpa
proses demokrasi.Hal tersebut terjadi karena adanya stratifikasi sosial atau terbentuknya
tingkatan,kelas-kelas dalam ruang lingkup masyarakat dan yang lainnya.Dalam proses
pendidikan tampaklah sebuah proses pemberian hak khusus kepada segolongan masyarakat
tertentu (guru, orang tua atau yang dituakan). Driyarkara menyebutkan sebagai
kecenderungan pendidikan yang stato-centris, dimana guru dijadikan sebagai pengontrol
(controleur). Apa yang dilakukan anak akan menjadi benar bilamana sesuai dengan yang
diharapakan orang lebih dewasa.
Kalau melihat pemikiran dari Eric Fromm yang mengatakan bahwa “ketakutan”
sebagai akar dari kekerasan”, jadi jelaslah bahwa akar kekerasan dalam pendidikan ialah
ketakutan yang muncul dari dalam diri seorang pendidik ketika secara eksistensial
berhadapan dengan seorang anak didiknya.Jadi dalam bahasa sederhananya para pendidik
harus ditakuti oleh muridnya, mahasiswa harus takut ke dosen, guru harus ditakuti oleh
mudirdnya.
2.3 Beberapa Indikator Kekerasan
Menurut Jack D. Douglas dan Frances Chalut Waksler, istilah kekerasaan
(violence)dipakai untuk menggambarkan tindakan atau perilaku, baik secara terbuka (over)
maupun tertutup (covert) dan baik yang sifatnya menyerang (offensive) maupun
bertahan(defensive),yang diikuti dengan penggunaan kekuatan fisik terhadap orang lain.Dari
definisi di atas, kita dapat menarik beberapa indikator kekerasan: Pertama, kekerasanterbuka,
yaitu kekerasan yang dilakukan seseorang terhadap orang lain yang dapat dilihatdan diamati
secara langsung, seperti perkelahian, tawuran, bentrokan massa, dan yangberkaitan dengan
tindakan fisik lainnya. Kedua, kekerasan tertutup,yaitu kekerasan yang dilakukan seseorang

6
terhadap orang lain secara tersembunyi, seperti mengancam dan intimidasi. Ketiga, kekerasan
agresif, yaitu kekerasan yang dilakukan seseorang terhadap orang lain dengan tujuan
mendapatkan seseuatu, seperti perampokan,pemerkosaan, dll.Ketiga indikator kekerasan di
atas selalu menjadi langganan dalam dunia pendidikan kita saat ini. Kekerasan tidak pernah
diinginkan oleh siapapun, apalagi di lembaga pendidikan yang sepatutnya menyelesaikan
masalah secara edukatif. Namun tak bisa dihindari, dilembaga ini ternyata masih sering
terjadi tindakan yang sifatnya destruktif.

2.4 Menyikapi Fenomena Kekerasan dalam Dunia Pendidikan


Secara umum, kekerasan dapat diartikan sebagai suatu tindakan yang tidak
menyenangkan atau merugikan orang lain, baik secara fisik maupun psikis. Kekerasan tidak
hanya berbentuk eksploitasi fisik semata, tetapi justru kekerasan psikislah yang perlu
diwaspadai karena akan menimbulkan efek traumatis yang cukup lama bagi si
korban.Dewasa ini, tindakan kekerasan dalam pendidikan sering dikenal dengan istilah
bullying.Pada kenyataannya, praktik bullying ini dapat dilakukan oleh siapa saja, baik oleh
teman sekelas, kakak kelas ke adik kelas, maupun bahkan seorang guru terhadap
muridnya.Terlepas dari alasan apa yang melatar belakangi tindakan tersebut dilakukan, tetap
saja praktik bullying tidak bisa dibenarkan, terlebih lagi apabila terjadi di lingkungan
sekolah.Tindakan kekerasan atau bullying dapat dibedakan menjadi kekerasan fisik dan
psikis.Kekerasan fisik dapat diidentifikasi berupa tindakan pemukulan (menggunakan tangan
atau alat), penamparan, dan tendangan. Dampaknya, tindakan tersebut dapat menimbulkan
bekas luka atau memar pada tubuh, bahkan dalam kasus tertentu dapat mengakibatkan
kecacatan permanen yang harus ditanggung seumur hidup oleh si korban.Adapun kekerasan
psikis antara lain berupa tindakan mengejek atau menghina,mengintimidasi, menunjukkan
sikap atau ekspresi tidak senang, dan tindakan atau ucapan yang melukai perasaan orang lain.
Dampak kekerasan secara psikis dapat menimbulkan perasaan tidak nyaman, takut, tegang,
bahkan dapat menimbulkan efek traumatis yang cukup lama. Selain itu, karena tidak
tampak secara fisik, penanggulangannya menjadi cukup sulit karena biasanya si korban
enggan mengungkapkan atau menceritakannya.Dampak lain yang timbul dari efek bullying
ini adalah menjadi pendiam atau penyendiri,minder dan canggung dalam bergaul, tidak mau
sekolah, stres atau tegang, sehingga tidak konsentrasi dalam belajar, dan dalam beberapa
kasus yang lebih parah dapat mengakibatkan bunuh diri.Maraknya tayangan-tayangan
kekerasan dalam dunia pendidikan yang termasuk dampak dari perubahan sosial, khususnya
yang dilakukan oleh guru terhadap siswanya ataupun oleh siswa terhadap

7
temannya,seharusnya mampu membuka atau menggugah hati kita, bahwa tidak tertutup
kemungkinan praktik bullying tersebut terjadi pula di lingkungan sekolah kita masing-
masing. Dan terkadang, pemberitaan yang kurang berimbang tentang suatu tayangan
kekerasan dapat mencoreng nama baik si pelaku (guru) dan secara umum mencoreng nama
baik sekolah yang bersangkutan. Tentunya peran media sebagai jendela informasi harus
menelusuri secara komprehensif kejadian tersebut dan menyajikan berita dari segala aspek
dan tidak hanya mengeksploitasi tindakan kekerasannya saja.

2.5 Solusi dan Pencegahan


Ditinjau dari segi Sosiologi Pendidikan, ada beberapa alternatif solusi penyelesaian
dan pencegahan terhadap permasalahn kekerasan dalam dunia pendidikan. Yaitu :
1. Peran orang tua dan guru Kurikulum apapun yang mencoba membangun generasi
yang proaktif dan optimis tidakakan pernah efektif mencapai tujuannya
apabila system hukuman fisik masih diimplementasikan dalam dunia pendidikan
sekolah. Untuk itu ada solusi yang akan ditawarkan. Yakni adanya reposisi orang
tua dalam mendidik anak dalam keluarga dan guru dalam mendidik murid di
sekolah. Reposisi ini berupa perubahan signifikan pada paradigma masyarakat
yang masih sering menggunakan hukuman fisik dalam mendidik.Selain itu juga
perubahan untuk mulai menempatkan guru ataupun orang tua dalan posisi setara
dengan pribadi seorang anak. Dengan membiarkan anak melakukan ekspresi dan
melakukan keunikan-keunikannya sendiri maka akan membentuk mental
yang bagus dan tidak apatis, keunikan anak disini tidak harus dipahami sebagai
suatu kesalahan, melainkan suatu perkembangan anak itu sendiri. Kesadaran anak
juga harus dibangun dengan sering mengajak berdialog dan menciptakan
komunikasi yang hangat, dan bukan memberikanperintah-perintah dan larangan.
Yang terpenting adalah membangun kepribadian untuksering berpendapat dan
mendengarkan pendapat-pendapat mereka. Dan sadarilah masa depan negeri ini
ada ditangan anak-anak kita dan oleh karena itu peran orang tua dan guru sangat
besar dalam menciptakan kepribadian seorang anak.
2. Humanisasi Pendidikan
Mengingat bahwa pendidikan adalah ilmu normatif, maka fungsi institusi
pendidikan adalah menumbuhkan etika dan moral subjek didik ke tingkat yang
lebih baik dengan cara atau proses yang baik pula serta dalam konteks positif.
Adanya beberapa bentuk kekerasan dalam pendidikan yang masih merajalela

8
merupakan indikator bahwa kegiatan pendidikan kita masih jauh dari nilai-
nilai kemanusiaan. Disinilah urgensi humanisasi pendidikan.Humanisasi
pendidikan merupakan upaya untuk menyiapkan generasi bangsa yang cerdas
nalar, cerdas emosional, dan cerdas spiritual, bukan malah menciptakan individu-
individu yang berwawasan sempit, tradisional, pasif, dan tidak mampu
menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi.
3. Guru, Sebagai Ujung Tombak
Selain menjadi seorang pengajar, seorang guru juga berperan sebagai pendidik
dan motivator bagi siswa-siswinya. Sebagai seorang pengajar, guru dituntut
berkerja cerdas dan kreatif dalam mentranformasikan ilmu atau materi
kepada siswa. Dan berupaya sebaik mungkin dalam menjelaskan suatu materi
sehingga materi tersebut bisa diaplikasikan dalam keseharian siswa itu
sendiri.Tugas sebagai pendidik adalah tugas yang sangat berat bagi seorang guru.
Guru dituntut mampu menanamkan nilai-nilai moral, kedisiplinan, sopan santun,
dan ketertiban sesuai dengan peraturan atau tata tertib yang berlaku di sekolah
masing-masing. Dengan demikian, diharapkan siswa tumbuh menjadi
peribadi yang sigap, mandiri, dan disiplin. Dan sebagai motivator, guru harus
mampu menjadi pemicu semangat siswanya dalam belajar dan meraih prestasi.
Dari penjelasan di atas, yang terpenting untuk menanggulangi munculnya praktik
bullying di sekolah adalah ketegasan sekolah dalam menerapkan peraturan dan
sanksi kepada segenap warga sekolah, termasuk di dalamnya guru,karyawan, dan
siswa itu sendiri.Diharapkan, dengan penegakan displin di semua unsur, tidak
terdengar lagi seorang guru menghukum siswanya dengan marah-marah atau
menampar. Dan diharapkan tidak adalagi siswa yang melakukan tindakan
kekerasan terhadap temannya. Sebab, kalau terbukti melanggar, berarti siap
menerima sanksi

9
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Kekerasan dan pelecehan yang terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia akhir-
akhir ini,bukanlah sesuatu yang muncul dengan tiba-tiba. Namun, semua itu telah tertanam
kuat sejak dulu sebelum kemudian akhirnya meledak. Sebagai contoh, masyarakat yang
pernah mengenyam dunia pendidikan tentu masih ingat benar dengan istilah MOS (Masa
OrientasiSiswa) atau OSPEK (Orientasi Pengenalan Kampus) dengan berbagai nama
lainnya.Kedua kegiatan tersebut senantiasa dilakukan setiap tahun untuk menyambut siswa
dan mahasiswa baru. Tujuan awalnya adalah untuk memberikan pembekalan, baik materi
maupun pengenalan lingkungan sekolah atau kampus kepada siswa maupun mahasiswa baru.
Hal ini dianggap penting untuk membantu proses belajar mengajar sebagai kegiatan utama.
Sayang, dalam pelaksaannya kedua kegiatan ini justru mengalami penyimpangan tujuan.

3.2 Solusi/Saran
Untuk mengatasi masalah kekerasan dalam dunia pendidikan, ada beberapa alternatif
solusi penyelesaian dan pencegahan ditinjau dari segi SosiologiPendidikan, antara lain :
1. Peran Orang Tua dan Guru
2. Humanisme Pendidikan
3. Guru, Sebagai Ujung Tombak

10
DAFTAR PUSTAKA

Kekerasan Dalam Dunia Pendidikan - Analisis Sosiologi Pendidikan


https://id.scribd.com/doc/88673560/Contoh-Kasus-Dalam-Sosiologi-Pendidikan diakses pada
selasa, 2 januari 2018/ 22:17

11

Anda mungkin juga menyukai