Anda di halaman 1dari 7

Ketika Guru Melewati Batas: Memahami Penyebab

dan Akibat Kekerasan Guru Terhadap Murid

Oleh : Renafa Pinky Santoso

Kekerasan dalam dunia pendidikan di


Indonesia baik dari guru terhadap murid, murid
terhadap guru, maupun sesama murid tidak terlepas
dari pengaruh pola relasi objek dan subjek yang
terbangun dalam pendidikan. Menurut (Martono:
2012) kekerasan didefinisikan sebagai tindakan yang
dilakukan oleh individu terhadap individu lain yang
dapat mengakibatkan gangguan fisik ataupun mental.
Fenomena kekerasan di sekolah terhadap siswa
sering kali dilakukan dengan dalih menumbuhkan
kedisiplinan.

Menurut (Nur Cholifa: 2016) fenomena


kekerasan terhadap murid yang terjadi di dunia
pendidikan Indonesia pada kenyataanya bertolak
belakang dengan larangan pemberian hukum fisik
terhadap murid. Larangan pemberian hukuman fisik
terhadap murid diatur pemerintah dalam Undang-
Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2003
pada BAB 54 yang menyatakan, “guru (pendidik) dan
siapapun di sekolah dilarang memberikan hukuman
fisik kepada anak-anak” (UU: 2002). Tetapi pada
kenyataanya kekerasan guru terhadap murid marak
terjadi di Indonesia.

Menurut laporan Catatan Tahunan Komnas


Perempuan 2023, kasus kekerasan pada lembaga
pendidikan mengalami peningkatan yang signifikan
dibanding tahun sebelumnya. Dan laporan guru
sebagai pelaku kekerasan menurut Koordinator
Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia
(JPPI), pada tahun 2022 guru menjadi mayoritas
pelaku kekerasan di sekolah sebanyak 117 kasus
dengan 65 kasus kekerasan fisik, dan pada tahun 2023
menurut SIMFONI PPA terdapat 597 kasus dengan
guru sebagai pelaku kekerasan.

Menurut (Lis Yuianti: 2013) dalam dunia


pendidikan banyak faktor yang memengaruhi guru
sebagai mayoritas pelaku dalam kekerasan antara
lain: Pertama, kurangnya pengetahuan bahwa
kekerasan itu tidak itu tidak efektif untuk memotivasi
murid atau merubah perilaku. Kedua, adanya
hambatan psikologis sehingga dalam mengelola
masalah guru lebih sensitif. Ketiga, pola yang dianut
adalah mengedepankan faktor kepatuhan dan
ketaatan siswa. Dan yang keempat, tekanan ekonomi
pada giliranya bisa menjelma kedalam kepribadian
yang tidak stabil, seperti berfikir pendek, emosional,
dan mudah goyah dalam merealisasikan rencana-
rencana yang sukar diwujudkan.

Selain faktor tersebut, adanya pelanggaran


oleh siswa juga menjadi faktor utama kekerasan yang
dilakukan oleh guru dengan pendisiplinan aturan
menjadi alasanya. Sedangkan faktor yang menjadikan
siswa melanggar aturan yaitu, yang pertama, tugas,
PR, aturan disiplin, sikap guru yang killer yang sering
memaksakan kehendak membuat siswa merasa
dirinya berada dalam tempat penyiksaan. Kedua,
masih diposisikanya siswa sebagai orang tidak tahu
apa-apa, orang yang tertindas, oleh sebab itu harus
dijejali dan disuapi. Ketiga, siswa merasakan jika masih
ada pendidikan yang kerap memaksa mereka
melakukan sesuatu pekerjaan dengan cara tidak
manusiawi, seperti dibawah ancaman pukulan atau
kekerasan yang lain. Keempat, adanya anggapan dari
siswa jika mereka terbebani dengan terus belajar yang
membuat stress.

Disamping penyebab atau faktor yang


menyebabkan kekerasan dalam dunia dengan guru
sebagai pelaku kekerasan, ada juga dampak yang
ditimbulkan dari kekerasan tersebut baik pada guru
maupun siswa. Dampak yang diperoleh guru sebagai
pelaku kekerasan antara lain, hukuman pidana yang
didapat dari tindak pidana yaitu kekerasan terhadap
anak yang telah diatur dalam undang-undang, dan
pengucilan oleh masyarakat karena status sebagai
tindak pidana. Selain dampak yang didapat oleh guru,
murid sebagai korban juga mendapat dampak baik
secara fisik, psikologis maupun sosial. Dampak fisik
yang didapat yaitu, siswa mengalami kerusakan organ
tubuh seperti memar, luka-luka, dll. Lalu secara
psikolgis yang didapat yaitu, rasa sakit, tidak aman,
menurunnya rasa kepercayaan diri, kreativitas dan
semangat. Sedangkan dalam jangka panjang
berakibat perununan prestasi dan perubahan dalam
perilaku siswa. Dan dampak sosial yang didapat siswa
yaitu, sulitnya berkomunikasi kembali dengan guru
dan orang lain, sulit mempercayai orang lain dan juga
menutup diri dari pergaulan.

Pencegahan kekerasan dalam dunia


pendidikan dapat diusahakan untuk meningkatkan
kualitas pendidikan di Indonesia, usaha dapat
dilakukan mulai dari sekolah yang menjadi pusat
pendidikan dan orangtua sebagai pendidik utama
dalam keluarga. Usaha yang dapat dilakukan oleh
sekolah antara lain, mengembangkan kemanusiaan
dalam pendidikan dengan menyatupadukan antara
pikiran dan kesadaran hati, terus membekali guru
untuk menambah wawasan, kesempatan dan
pengalaman untuk meningkatkan kreatifitas mereka.
Konseling, bukan hanya siswa yang membutuhkan
konseling, tetapi guru juga butuh dukungan,
penguatan dan bimbingan untuk melewati masa sulit
mereka. Selain itu orangtua juga bisa mengusahakan
dengan hati-hati dalam memilih sekolah untuk anak-
anaknya agar tidak mengalami kekerasan di sekolah,
dan juga menerapkan pola asuh yang lebih
menekankan dukungan bukan hukuman, agar anak
dapat tumbuh dengan rasa tanggungjawab secara
sosial.

DAFTAR PUSTAKA

Asykur, M.H, Fatimah, I., & Rustini,T. (2022). Tinjauan


Masalah Mengenai Kekerasan dalam Dunia
Pendidikan yang Dapat Merenggut Kesejahteraan
Anak. Journal of Basic Education, 3(2), 141-149.
Damanik, D.A. (2019). Kekerasan dalam Dunia
Pendidikan: Tinjauan Sosiologi Pendidikan. Jurnal
Sosiologi Nusantara, 5(1), 77-90.

Marlina. (2014). Punishment dalam Dunia Pendidikan


dan Tindak Pidana Kekerasan. Jurnal Mercatoria, 7(1),
46-57.

Siregar, L.Y.S. (2013). Kekerasan dalam Pendidikan.


Logaritma, 3(1), 51-61.

Sitio, C.E. (2021). Punishment Guru dalam Tindakan


Kekerasan dan Asusila terhadap Peserta Didik di
Indonesia. Jurnal Pendidikan Mutiara, 6(2), 73-81.

Anda mungkin juga menyukai