“Kekerasan (violance)”, kata yang tentunya sudah tak asing di telinga kita. Dewasa ini,
kekerasan sering kali digunakan dalam menyelesaikan suatu konlik atau permasalahan kehidupan
sehari-hari Kekerasan dapat diartikan sebagai suatu tindakan yang tidak menyenangkan atau
merugikan orang lain yang dilakukan oleh individu maupun kelompok yang didalamnya terdapat
komponen kekuasaan, tekanan, dan paksaan. Kekerasan dapat terjadi kapan saja dan dimana saja
dengan berbagai pemicu dan tujuan yang melatarbelakangi tindakan tersebut. Kekerasan tidak
hanya berbentuk eksploitasi isik semata, tetapi justru kekerasan psikislah yang perlu diwaspadai
karena akan menimbulkan efek traumatis yang cukup lama bagi si korban.
Fenomena Kasus kekerasan yang belakangan ini marak terjadi, memang cuku menghebohkan.
Bagaimana tidak, dari sekian kasus kekerasan tersebut, sangat banyak terjadi di dunia
pendidikan. Tindakan asusila yang dilakukan para aktor dunia pendidikan tersebut benar-benar
sangat menyedihkan. Mulai dari kasus tindak kekerasan isik yang dilakukan oleh sesama peserta
didik atau yang disebut bullying maupun para guru terhadap peserta didiknya, hingga kasus
menyedihkan yakni pelecehan seksual yang dilakukan guru terhadap siswanya.
Sekolah yang diharapkan menjadi tempat yang aman bagi anak untuk menuntut ilmu dan
mengembangkan diri, justru kini berubah menjadi tempat yang berbahaya dan tidak aman lagi.
Para pendidik yang harusnya mempersiapkan para generasi bangsa, justru malah melakukan hal
yang tidak sepantasnya. Para siswa yang seharusnya tertanam rasa kasih sayang antar sesamanya
malah bermemorfosis menjadi tindakan kriminal.
Adanya beberapa tindak kekerasan dalam lembaga pendidikan yang masih merajalela merupakan
indikator bahwa proses atau aktivitas pendidikan kita masih jauh dari nilai-nilai kemanusiaan.
Disinilah urgensi humanisasi pendidikan. Humanisasi pendidikan merupakan upaya untuk
menyiapkan generasi yang cerdas nalar, cerdas emosional, dan cerdas spiritual, bukan
menciptakan manusia yang kerdil, pasif, dan tidak mampu mengatasi persoalan yang dihadapi.
(Assegaf, Ringkasan Laporan Hasil Penelitian Tentang Kondisi dan Pemicu Kekerasan dalam
Pendidikan : 2002)
Dalam melihat fenomena tindak kekerasan yang terjadi dalam dunia pendidikan, beberapa
analisis dapat diajukan ;
Pertama, budaya kekerasan dalam pendidikan muncul akibat adanya pelanggaran yang
disertai dengan hukuman, terutama isik. Jadi, ada pihak yang melanggar dan pihak yang
memberi sanksi. Bila sanksi melebihi batas atau tidak sesuai dengan kondisi pelanggaran,
maka terjadilah apa yang disebut dengan tindak kekerasan.
Kedua, kekerasan dalam pendidikan bisa diakibatkan oleh buruknya sistem dan kebijakan
pendidikan yang berlaku. Ketidak jelasan konsep dan arah pendidikan yang akan dituju
adalah bukti nyata dari sistem Pendidikan yang masih lemah di negara ini. Finlandia dan
Jepang ; kedua negara tersebut merupakan contoh negara yang maju dalam pendidikannya.
Mereka menerapkan aturan yang jelas yakni keseimbangan antara pendidikan kognitif dan
pendidikan karakter. Sejak dini, anak-anak diajarkan untuk berkasih sayang, bersikap adil
dan bertanggung- jawab terhadap diri mereka, manusia dan lingkungan sekitar mereka.
Sedangkan di Indonesia, muatan kurikukum yang digunakan hanya mengandalkan
kemampuan aspek kognitif dan mengabaikan pendidikan afektif. Padahal, kedua hal itu
sangat penting untuk mencetak generasi muda yang cerdas bukan saja dalam ilmu
pengetahuan tetapi juga dalam hal sikap dan perilaku yang humanis. Sekolah hanya
bertanggungjawab mengajarkan keilmuan dan pengetahuan umum saja. Bimbingan dan
konseling yang dibentuk oleh sekolah hanya bertugas menyelesaikan kasus kekerasan yang
terjadi, tetapi tidak memberikan aspek preventif kepada seluruh pelaku didik semisal
menanamkan nilai-nilai humanisme dalam proses belajar mengajar.
Ketiga, Kurangnya moral dari para pendidik. Beberapa pendidik memang enderung
menggunakan kekerasan terhadap para perta didiknya. Ketidak mampuan pendidik dalam
mengelola emosi adalah salah satu penyebabnya
Keempat, kekerasan dalam pendidikan dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat dan
tayangan media massa yang memang belakangan ini kian vulgar dalam menampilkan aksi-
aksi kekerasan.
Kelima, kekerasan bisa merupakan releksi dari perkembangan kehidupan masyarakat yang
mengalami pergeseran cepat, sehingga meniscayakan timbulnya sikap instant solution
maupun jalan pintas.
Yang terakhir, kurangnya perhatian pemerintah dalam memperhatikan sistem pendidikan
yang berjalan ditiap daerah di Indonesia. Pemerintah seakan menutup mata dan melepas
tangan dari hal-hal kecil yang terjadi, salah satunya dengan lambatnya kerja pemerintah
dalam menanggapi fenomena-fenoma dalam masalah pendidikan, misaaalnya dalam
memberikan sanksi terhadap tindakan kekerasan yang terjadi. Sekarang nasi telah menjadi
bubur, kekerasan yang menimpa dunia pendidikan kita seakan telah mendarah daging.
Berbagai macam dampak negatif yang ditimbulkan benarbenar menyerap ke seluruh
komponen pendidikan. Pendidikan seakan menjadi sosok yang tak seindah dulu. Para
korban yang mengalami tindak kekerasan entah yang dilakukan dari sesama siswa maupun
gurunya tentu akan berdampak pada isik maupun psikologis juga sosial mereka.
Dampak fisik : mengakibatkan organ-organ tubuh siswa mengalami kerusakan seperti memar,
luka-luka, dll.
Dampak psikologis yang ditimbulkan seperti trauma psikologis, rasa takut, rasa tidak aman,
dendam, menurunnya semangat belajar, daya konsentrasi, kreativitas, hilangnya inisiatif, serta
daya tahan (mental) siswa, menurunnya rasa percaya diri, inferior, stress, depresi dsb. Dalam
jangka panjang, dampak ini bisa terlihat dari penurunan prestasi, perubahan perilaku yang
menetap.
Dampak sosial : siswa yang mengalami tindakan kekerasan tanpa ada penanggulangan, bisa saja
menarik diri dari lingkungan pergaulan, karena takut, merasa terancam dan merasa tidak bahagia
berada diantara teman-temannya. Mereka juga jadi pendiam, sulit berkomunikasi baik dengan
guru maupun dengan sesama teman. Bisa jadi mereka jadi sulit mempercayai orang lain, dan
semakin menutup diri dari pergaulan.
Sehingga untuk mengatasi masalah kekerasan tersebut terus berlanjut, maka diperlukan aksi
nyata yang cepat dan tanggap dari pemerintah dan seluruh komponen masyarakat untuk
menyelesaikan permasalahan ini. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi tentunya
harus lebih bersikap tegas dalam menanggapi hal ini. Pemerintah harus lebih berusaha untuk
melakukan perubahan,mengkonstruksi sistem pendidikan salah satunya. Kemudian, mengenai
moral Tenaga pendidik. Negara perlu menyediakan pelatihan dan bimbingan pengajaran yang
berperspektif setara kepada para guru dan calon guru sehingga dalam proses belajar mengajar
tidak ada superioritas yang muncul, tidak ada lagi “guru yang selalu benar”, dan tidak ada lagi
pemanfaatan atas jabatan mereka untuk dengan mudah melakukan kekerasan isik, psikis dan
seksual kepada muridnya.
Aturan yang mengikat mengenai para guru pun harus diperketat, Pemerintah harus terus
mengawasi jalannya pendidikan dengan terus mengontrol jalannya sistem pendidikan.
Kemudian, harus ada jaminan keamanan yang pasti dalam setiap proses pembelajaran yang
terjadi baik di institusi pendidikan formal maupun nonformal. Kemudian, Sanksi yang tegas
mulai dari penurunan nilai akreditasi, pencopotan pimpinan sekolah, hingga pencabutan izin
operasional lembaga pendidikan bila tetap membiarkan terjadinya perilaku kekerasan dan tindak
amoral di sekolah.
Sosialisasi Undang-undang No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak kepada siswa,
orangtua, guru, kepala sekolah, dan birokrat pendidikan agar semua pihak tahu bagaimana
melindungi anak dari berbagai bentuk kekerasan terutama dalam dunia pendidikan juga
merupakan langkah dari penyelesaian masalah kekerasan ini.
Selain itu, peran serta masyarakat juga tentu sangat dibutuhkan dalam rangka mencegah tindakan
kekerasan dalam pendidikan. Mulai dari Keluarga yang merupakan lingkup terkecil dalam
sebuah struktur kemasyarakatan. Keluarga harus bisa mendidik anak-anak mereka dengan kasih
sayang tanpa kekerasan, karena secanggih apapun sistem pendidikan suatu negara tidak akan
berhasil jika akarnya bermasalah.
Lembaga Pendidikan yang menjadi tonggak utama juga harus bisa mendidik sikap anak, bukan
hanya kecerdasan intelektualnya saja melainkan mampu menanamkan nilai-nilai moral,
kedisiplinan, sopan santun, dan ketertiban sesuai dengan peraturan atau tata tertib yang berlaku
di sekolah masing-masing.
Dengan demikian, diharapkan siswa tumbuh menjadi peribadi yang sigap, mandiri, dan disiplin.
ketegasan sekolah dalam menerapkan peraturan dan sanksi kepada segenap warga sekolah,
termasuk di dalamnya guru, karyawan, dan siswa itu sendiri. Sehingga dengan penegakan displin
di semua unsur, tidak terdengar lagi seorang guru menghukum siswanya dengan marah-marah
atau menampa dan diharapkan tidak ada lagi siswa yang melakukan tindakan kekerasan terhadap
temannya. Sebab, kalau terbukti melanggar, berarti siap menerima sanksi.
Untuk siswa yang mengalami kekerasan segera sharing pada orangtua atau guru atau orang yang
dapat dipercaya mengenai kekerasan yang dialaminya sehingga siswa tersebut segera
mendapatkan pertolongan untuk pemulihan kondisi isik dan psikisnya.
Selanjutnya adalah Peran Masyarakat umum yang bersama-sama membuat gerakan untuk
mengubah kehidupan menjadi lebih baik. Salah satunya dengan berani melaporkan halhal yang
berkaitan dengan kekerasan kepada pihak yang polisi dan KPAI, sehingga diharapkan dengan
cara tersebut pelaku menjadi jera dan tentunya salah satu masalah pendidikan di Negara tercinta
kita ini akan berkurang.
b. Kekerasan tertutup (covert) yakni kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan secara
langsung; seperti mengancam, intimidasi, atau simbol-simbol lain yang menyebabkan
pihak-pihak tertentu merasa takut atau tertekan. Ancaman dianggap sebagai bentuk
kekerasan¸ sebab orang hanya mempercayai kebenaran ancaman dan kemampuan
pengancam mewujudkan ancamannya. Misalnya, Sastrawan terkenal berinisial SS (45)
dilaporkan ke Polda Metro Jaya oleh seorang mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Indonesia berinsial RW (22). SS dituding tidak bertanggungjawab dan diduga
melakukan intimidasi terhadap RW hingga hamil 7 bulan.