Anda di halaman 1dari 9

Pendidikan

AntiKorupsi
Nama : Nabila Septia Putri
NPM : A1L022073

Dosen Pengampu :
Edytiawarman S.H, M. Hum
Korupsi sesungguhnya bukan merupakan penyakit di luar diri bangsa.
Ia adalah penyakit bawaan, sebab benih-benih korupsi sudah ada
dalam tubuh bangsa Indonesia tidak hanya pada masa- masa ketika
Indonesia dijajah bangsa kolonial, tetapi juga sudah berlangsung
pada masa kejayaan kerajaan-kerajaan nusantara.

Korupsi menjadi salah satu masalah yang serius di tubuh pemerintahan. Ia


tidak hanya merupakan masalah lokal, tetapi sudah menjadi fenomena
internasional yang memengaruhi seluruh masyarakat dan merusak seluruh
sendi kehidupan. Perhatian masyarakat internasional sangat tinggi
terhadap fenomena korupsi ini. Komitmen untuk melakukan
pemberantasan korupsi didukung oleh lembaga-lembaga pembiayaan
dunia, seperti World Bank, ADB, IMF, dan organisasi internasional
lainnyaseperti OECDdan APEC.
Pendidikan antikorupsi yang dalam Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 ditangani oleh Subbidang Pendidikan dan Pelayanan
Masyarakat merupakan pilar penting dari Bidang Pencegahan KPK.

Pendidikan antikorupsi mutlak diperlukan untuk memperkuat


pemberantasan korupsi yang sedang berjalan, di antaranya
melalui reformasi sistem (constitutional reform) dan reformasi
kelembagaan (institutional reform) serta penegakan hukum (law
enforcement). Menurut Azra (2006: viii), pendidikan antikorupsi
merupakan upaya reformasi kultur politik melalui sistem pendidikan
untuk melakukan perubahan kultural yang berkelanjutan, termasuk
untuk mendorong terciptanya good governance culture di sekolah
dan perguruan tinggi.
Melalui pengembangan kultur sekolah, diharapkan siswa-siswa memiliki modal sosial
untuk membiasakan berperilaku antikorupsi. Pendidikan antikorupsi seyogyanya
diberikan kepada anak-anak paling tidak sejak mereka duduk di bangku SD. Berikut
ini merupakan alasan (reasoning) mengapa pendidikan antikorupsi perlu diberikan
sejak dini, terutama kepada anak-anak yang duduk di bangku SD

1. Siswa belum mendapatkan informasi dan sosialisasi tentang antikorupsi.


2. Kurangnya keteladanan dari lingkungan (orang tua, guru, orang dewasa di
sekitar, dan media).
3. Adanya kompetisi yang kurang sehat antarsiswa.
4.Sekolah tidak menerapkan aturan yang jelas dan konsisten. Itulah sebabnya,
aturan sekolah harus dibuat bersama antara guru, orang tua, dan siswa,supaya
siswa merasa ikut memiliki dan bertanggung jawab terhadapnya.
5. Pembelajaran di sekolah masih didominasi oleh aspek kognitif. Pembelajaran
seperti ini kurang mampu membentuk karakter siswa.
Bagaimana membangun nilai-nilai Materi yang diangkat dalam
antikorupsi di kalangan siswa-siswa pendidikan antikorupsi di SMP/
SMP. Siswa-siswa SMP yang berusia MTs dikenal dengan 9 karakter
antara 13 hingga 15 memiliki karakter pelajar, yaitu tanggung jawab,
yang tidak jauh berbeda dengan disiplin, jujur (merupakan nilai inti
anak- anak SD kelas V dan VI. bagi pelajar), sederhana, kerja
Proses pembelajaran antikorupsi keras, mandiri (sebagai etos atau
kepada mereka diarahkan untuk gaya hidup yang harus dimiliki oleh
mempersiapkan siswa menjunjung generasi penerus), adil, berani, dan
tinggi nilai-nilai luhur dalam setiap peduli (sebagai sikap kepada
sikap dan perilakunya. orang lain).
Mengapa pendidikan antikorupsi juga perlu diberikan
kepada siswa-siswa SMA/SMK/MA? Sebagaimana
diketahui siswa- siswa SMA dan sederajat berada
tahap perkembangan remaja pertengahan, dimana
perkembangan intelektualnya menurut Piaget berada
pada tahap formal operations, saat dimana siswa
memiliki kemampuan berpikir abstrak dengan berpikir
hipotetis, sehingga mereka mampu membayangkan
berbagai kemungkinan penyelesaian masalah
(Tamrin, 2008: 1).
Seperti halnya alasan yang dikemukakan berkaitan dengan perlunya pendidikan
antikorupsi diberikan kepada anak- anak SD, kondisi berikut juga menjadi alasan
pembenar mengapa pendidikan antikorupsi perlu juga ditanamkan kepada siswa-siswa
SMA.
1. Pembelajaran afektif belum diterapkan dengan benar dan optimal.
2. Kurangnya keteladanan dari lingkungan (orang tua, guru, orang dewasa di sekitar,
pejabat pemerintahan, public figure, dan media).
3. Adanya kompetisi yang tidak sehat di kalangan anak-anak SMA. Anak-anak berasal
dari
keluarga dengan latar belakang status, kedudukan, dan lapisan yang beraneka ragam.
4. Sekolah belum dapat menerapkan aturan secara jelas, tegas, dan konsisten. Jika
sekolah
tidak menerapkan aturan secara tegas, kondisi seperti ini akan melahirkan kebiasaan
berperilaku menyimpang.
5. Siswa-siswa SMA mempunyai bobot tanggung jawab yang lebih besar dari pada
siswa-siswa
di bawahnya, seperti materi pelajaran yang makin sulit, tugas-tugas pekerjaan rumah
yang makin banyak, dan keterlibatannya dalam kegiatan OSIS.
6. Belum banyak sekolah, baik SMP maupun SMA yang memperoleh informasi dan
sosialisasi tentang pendidikan antikorupsi.
Pendidikan antikorupsi dibutuhkan, karena
akan dapat membentuk karakter
mahasiswa yang unggul, sekaligus juga
diharapkan pada saatnya nanti ketika
menjadi pemimpin dapat dipertanggung
jawab karena pemimpinannya.
Apalagi pada diri mahasiswa terdapat 3
(tiga) dimensi yang harus diasah secara
berkelanjutan, yaitu: (1) intelektual, (2) jiwa
muda, dan (3) idealisme (Saidi, 1989: 27).
Ketiga dimensi atau karakter tersebut
sangat diperlukan agar mahasiswa mampu
memberikan kontribusi penting dalam
menciptakan Indonesia yang unggul,
bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

Anda mungkin juga menyukai