Anda di halaman 1dari 15

1

Mewujudkan Sekolah Yang Aman dan Nyaman Untuk Warga Sekolah


A. Latar Belakang
Salah satu isi Nawa Cita pemerintahan Joko Widodo diantaranya Melakukan
revolusi karakter bangsa
pendidikan

nasional

melalui kebijakan
dengan

penataan

mengedepankan

kembali kurikulum
aspek

pendidikan

kewarganegaraan, yang menempatkan secara proporsional aspek pendidikan,


seperti pengajaran sejarah pembentukan bangsa, nilai-nilai patriotisme dan cinta
Tanah Air, semangat bela negara dan budi pekerti di dalam kurikulum pendidikan
Indonesia.
Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Mengacu pada hal tersebut,
kiranya kita perlu merefleksi kembali pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang
dilaksanakan di sekolah

apakah sudah sejalan dengan tujuan pendidikan

nasional itu sendiri. Arah kebijakan pendidikan yang dikembangkan oleh


pemangku kepentingan sudah seharusnya menghasilkan lulusan peserta didik
yang memiliki jati diri dan menunjukan karakter sebagai warga negara suatu
bangsa yang beradab dan bermanfaat.
Sekolah sebagai sebuah komunitas masyarakat belajar memerlukan
adanya tatanan yang memungkinkan terciptanya situasi yang kondusif untuk
berlangsungnya kegiatan pembelajaran. Sekolah sebagai suatu komunitas yang
terdiri dari berbagai macam latar belakang sosial ekonomi, memungkinkan
terjadinya benturan perilaku diantara sesama warga belajar dilingkungan sekolah.
Hal ini terjadi karena faktor pengaruh kebiasaan perilaku siswa dilingkungan
keluarga dan masyarakatnya yang cenderung permisip dengan ketatnya
penerapan tatanan nilai-nilai serta norma aturan yang berlaku dilingkungan
sekolah.
Disisi lain Memasuki abad ke 21 dunia mengalami perubahan besar yang
kita kenal sebagai era globalisasi. Keterbukaan dan transparansi teknologi
informasi adalah sebuah keniscayaan yang tidak mungkin bisa kita hindari.
Transparasi peradaban dunia melahirkan multi budaya baik kearah positif ataupun
2

sebaliknya menuju ke arah negatif. Laju dampak globalisasi berdampak pula pada
lahirnya pemikiran sebagian masyarakat kita yang seolah-olah

mendewakan

demokrasi dengan mengusung Hak Azasi Manusia (HAM) sebagai senjata untuk
pembenaran kebebasan diri. Ironisnya era reformasi yang sudah lebih sepuluh
tahun kita jalani ternyata justru seolah melahirkan peradaban masyarakat yang
jauh dari nilai-nilai karakter dan jati diri Bangsa Indonesia itu sendiri. Sekolah
sebagai lembaga yang mempunyai tugas dan fungsi untuk menjaga, membina dan
membentuk generasi bangsa agar sejalan dengan nilai-nilai dan norma serta
kepribadian bangsa Indonesia itu sendiri.
Untuk mewujudkan hal tersebut, sudah seharusnya sekolah menjadi tempat
yang nyaman, menyenangkan dan penuh kedamaian bagi semua peserta didik
serta seluruh warga sekolah. Hal ini sejalan dengan konsep Bapak Pendidikan
Nasional,

Ki Hajar Dewantara yang menamakan sekolahnya sebagai Taman

Siswa, artinya sekolah sebagai taman. Filosofinya seharusnya sekolah sebagai


tempat yang menyenangkan bagi peserta didik untuk belajar. Sebagai seorang
guru seharusnya bisa memahami mengapa sekolah membutuhkan kegembiraan,
kebebasan dan yang terpenting kehadiran figur seorang guru yang mengenali
secara utuh murid-muridnya, bukan hanya mengenali murid-muridnya dari
jawaban soal dan ujian. Guru seharusnya dapat membimbing dan menuntun
murid-muridnya mengenali hidup serta potensi yang dimilikinya, untuk bekal
mengarungi kehidupan yang sesungguhnya melalui kegiatan pembelajaran yang
menggairahkan.
B. Masalah Nyata Yang Terjadi di Sekolah
Untuk

mewujudkan

lingkungan

sekolah

yang

nyaman,

aman

dan

menyenangkan bagi peserta didik serta seluruh warga sekolah, tidaklah mudah
untuk mewujudkannya. Diantara masalah-masalah yang terjadi dilingkungan
sekolah adalah menyangkut hal-hal sebagai berikut :
1. Kekerasan Antar Siswa.
Sekolah dihuni oleh peserta didik yang berasal dari latar belakang keluarga
yang beragam. Baik dari latar belakang ekonomi, sosial dan pendidikan. Dengan
demikian memungkinkan terjadinya perbedaan sikap dan perilaku siswa karena
kebiasaan yang dibawa dari kehidupan keseharian dikeluarganya masing-masing.
3

Perbedaan kebiasaan dan latar belakang kehidupan keluarga dengan keluarga


lainnya, hal ini memungkinkan terjadinya benturan perilaku antara siswa dengan
siswa lainnya.Sehingga tidak heran jika disekolah diantara siswa membentuk
geng yang diantaranya karena kesamaan emosi atau karena senioritas. Hal inilah
yang melatar belakangi lahirnya bullying disekolah, yang dilakukan antar siswa
yang satu dengan lainnya.
2. Kekerasan Yang Terjadi Antara Guru dan Siswa.
Kompetensi Kepribadian guru sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan
perkembangankepribadian
pembelajaran

guru

peserta

didik.

Tanpa

disadari

sering melakukan tindak kekerasan

dalam

kegiatan

terhadap

siswa.

Melakukan bullying sampai kekerasan pisik kepada siswa yang dimata guru
dianggap bermasalah. Hal inilah yang bagi siswa tertentu akan menjadi tekanan
yang luar biasa, sehingga siswa yang bersangkutan melakukan pemberontakan
bahkan melakukan tindak kekerasan kepada gurunya.
3. Kekerasan Yang dilakukan Oleh orangtua siswa kepada Guru.
Kurangnya komunikasi yang baik antara sekolah dan orang tua siswa, akan
berakibat terjadinya kesalahan informasi berbagai hal yang terkait dengan
perkembangan siswa selama berada dilingkungan sekolah. Terkait dengan
perlakuan guru disekolah terhadap seorang siswa, terkadang informasi yang
disampaikan siswa yang bersangkutan kepada orang tuanya ditelan secara
mentah tanpa konfirmasi kepada sekolah. Dalam hal ini tidak jarang orang tua
tersulut emosinya yang kemudian melakukan tindakan kekerasan terhadap guru
dan pihak sekolah.
C. Pembahasan Masalah Dan Solusinya
1. Kekerasan Antar Siswa.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan mengemban tugas yang sangat berat
terutama terkait dengan pembentukan perilaku peserta didik, baik menyangkut
segi kogninif, afektif maupun psykomotor.Orang tua berharap melalui lembaga
pendidikan terjadinya perubahan perilaku yang menyangkut tiga ranah tersebut,
sehingga siswa

yang bersangkutan mampu mengarungi kehidupan nyata

dimasyarakat selepas lulus dari sekolah. Salah satu masalah besar yang dihadapi
guru dan sekolah adalah ketika terjadi ketimpangan nilai-nilai ideal yang diajarkan
disekolah dengan kenyataan yang terjadi dirumah maupun dimasyarakat.
4

Sehingga seolah terjadi benturan antara nilai nilai yang berlaku sekolah dengan
kenyataan yang dialami siswa dalam kehidupannya.
Keberagaman latar belakang siswa menjadi salah satu pemicu lahirnya
geng / kelompok siswa yang menjurus kepada tindakan kriminal melalui bullying
yang dilakukan antar geng yang ada disekolah. Perkelahian, pemalakan dari
siswa senior kepada juniornya atau dari alumni terhadap adik kelasnya.
Disinilah kemampuan guru dan institusi sekolah diuji, bagaimana guru mampu
menanamkan sejak dini kepada siswa bahwa perbedaan itu adalah suatu hal yang
tidak bisa dihindari dalam kehidupan. Sebagai negara yang berlandaskan
Pancasila dan Bhineka Tunggal ika, maka siswa diajarkan harus dapat
mengharagai perbedaan yang ada dilingkungan barunya yaitu sekolah.
Dalam Undang-Undang No.35.Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak
dijelaskan bahwa Kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap Anak yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual,
dan/atau

penelantaran,

termasuk

ancaman

untuk

melakukan

perbuatan,

pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum. Selanjutnya


dalam pasal 54(1) disebutkan bahwa Anak di dalam dan di lingkungan satuan
pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak Kekerasan fisik, psikis,
kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga
kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.
Kekerasan yang terjadi antar siswa disekolah, biasanya disebabkan oleh
hal-hal yang sepele, seperti saling ejek diantara teman yang kemudian berlanjut
pada tindakan kekerasan.Guru dan pihak sekolah kadang abai dan menganggap
enteng perbuatan saling ejek antara siswa disekolahnya. Kekerasan yang terjadi
antar siswa biasanya berawal dari bullying verbal berupa ejekan kata-kata yang
dilakukan antara siswa atau kelompok siswa yang satu dengan yang lainnya dari
mulai jenjang siswa Sekolah Dasar sampai Mahasiswa di Perguruan Tinggi
bahkan dalam beberapa kasus sudah menjurus kepada tindak pidana.
Masih segar dalam ingatan kita kasus yang menimpa salah satu siswaSD
Negeri 07 Pagi Kebayoran Lama Utara, yang tewas karena dipukul oleh teman
sekolahnya. Ini menunjukan bahwa kekerasan diantara siswa baik dilingkungan
sekolah maupun diluar lingkungan sekolah, hendaknya menjadi perhatian

bersama. Dalam hal ini bukan hanya tanggung jawab guru, akan tetapi tanggung
jawab bersama antara guru, orang tua dan masyarakat.
Dalam pasal 20 Undang-Undang Perlindungan anak disebutkan bahwa
Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat,Keluarga, dan Orang Tua atau Wali
berkewajiban danbertanggung jawab terhadap penyelenggaraanPerlindungan
Anak. Guru hendaknya memahami perkembangan peserta didik, termasuk
didalamnya sikap dan perilaku siswa dalam berhubungan serta berinteraksi
dengan semua warga sekolah. Dalam menangani siswa yang dianggap
bermasalah, sekolah dapat melakukan dua pendekatan yaitu :
1) Pendekatan disiplin yang merujuk pada aturan dan ketentuan Tata Tertib
yang berlaku disekolah beserta sanksinya. Dalam rangka menjaga wibawa
sekolah sebagai institusi pendidikan maka, pelanggaran siswa terhadap
tata tertib perlu mendapatkan sanksi sesuai dengan tingkat kesalahannya.
Sebagai lembaga pendidikan tentu saja bentuk sanksi yang diberikan harus
bersifat edukasi dan memberi efek jera sehingga tidak mengulanginya
dikemudian hari. Sebab sanksi itu diberikan dalam rangka membina dan
mendidik siswa agar menyadari bahwa tindakannya melanggar aturan yang
berlaku dan telah disepakati bersama.
2) Pendekatan melalui Bimbingan Konseling. Berbeda dengan pendekatan
disiplin yang memberikan sanksi, penanganan siswa bermasalah melalui
bimbingan dan konseling lebih menekankan pada upaya mencari akar
masalah yang dialami siswa yang bersangkutan dan menemukan
solusinya.

Penanganan

siswa

bermasalah

melalui

Bimbingan

dan

Konseling tidak dalam bentuk pemberian sanksi, tetapi lebih mengandalkan


pada terjadinya kualitas hubungan interpersonal yang saling percaya di
antara konselor dan siswa yang bermasalah, sehingga secara bertahap
siswa yang bersangkutan dapat menemukan dan memahami diri dan
lingkungannya.
Sekecil apapun perubahan perilaku siswa yang terindikasi berpotensi terjadinya
tindak kekerasan, maka saat itu pula guru atau wali kelas mengkomunikasikan
kepada orang tua siswa yang bersangkutan. Kesamaan langkah penanganan
antara guru dan orang tua, akan lebih memudahkan dalam mencegah dan
menyelesaikan

Perkelahian antar pelajar dan tindak kekerasan yang terjadi


6

diluar lingkungan sekolah, pemerintah daerah dan masyarakat hendaknya


responsif untuk menangkal dan menanganinya. Razia oleh Polisi Pamong Praja
ditempat-tempat umum terhadap pelajar yang berkeliaran dan bolos pada saat
jam pelajaran diharapkan dapat meminimalisir terjadinya perkelahian antar pelajar
yang sudah dianggap meresahkan masyarakat.

2. Kekerasan Yang Terjadi Antara Guru dan Siswa.


Jika siswa dari latar belakang keluarga yang tidak harmonis dan
bermasalah, maka pantas jika siswa tersebut merasa sekolah bagaikan penjara.
Karena perilaku siswa yang bersangkutan berbenturan dengan norma dan aturan
yang berlaku disekolah. Akan tetapi jika siswa yang cerdas, berbakat dan datang
dari latar belakang keluarga yang harmonis dan tidak bermasalah, kemudian
siswa yang bersangkutan merasa sekolah bagaikan penjara, maka hal ini
menunjukan ada yang salah dengan penyelenggaraan sekolah tersebut. Betulkah
sekolah bagaikan penjara bagi siswanya? Beberapa kalimat dari Fadh Jibran
dalam Revolusi Sekolah-nya (2006) mungkin dapat menggambarkan kegelisahan
perasaan siswa kita saat ini. Mereka bilang, sekolah bagai sebuah penjara.
Pelajaran begitu menyiksa. Sekolah telah merampas kebebasan mereka. Katanya
sih demi masa depan. Tapi mengapa banyak pelajaran yang didapatkan tak ada
hubungannya dengan masa depan mereka dan semua itu susah diterapkan dalam
kehidupan bermasyarakat. Mereka berteriak, Kami mual dijejali oleh banyak
materi pelajaran. Tujuan kami kesekolahpun bukan lagi untuk mencari ilmu,
melainkan mengejar nilai rapor yang tinggi. Yang penting bagi kami adalah hasil
akhir bukan suatu proses belajar. Itulah yang bikin kami memiliki hobi baru,
menyontek. Kami hanyalah objek. Kami harus menerima apapun yang guru
berikan. Kami tidak diberikan kesempatan untuk memilih pelajaran yang kami
inginkan.
Potret buram lain dari sekolah kita juga tercermin dari ungkapan penulis muda
Muhammad Izza Ahsin yang merasa sekolah seperti sebuah penjara yang telah
memasung dan membelenggunya untuk bebas berekspresi dalam hal kebaikan.
Banyak diantara kami yang membolos karena tidak betah tinggal di dalam kelas,
hanya untuk mendengarkan ceramah guru. Walau ada banyak guru yang baik,
namun guru-guru killer pun tak kalah jumlahnya. Guru yang bertingkah bak
7

preman, penjatuh mental anak didik, dan telah membuat kelas menjadi tempat
pelecehan. Mereka mengajar dengan gaya konvensional yang hampir seperti
praktik pendidikan kaum tertindas (Dunia Tanpa Sekolah, 2007). Pendapat lain
dikemukakan oleh Dr.Seto Mulyadi, Ketua Komnas Perlindungan Anak (KPA)
yang mengatakan bahwa Sistem pendidikan di Indonesia belum membebaskan.
Peserta didik menjalani proses belajarbagaikan dalam penjara. Karena sekolah
tidak

memberikan

ruang

mengekspresikanperasaannya,

bagi

siswa

untuk

Intinya

tidak

membebani

berkreasi,
anak

dan

dan
tidak

menjadikan sekolah itu seperti penjara.


Guru sebagai pelaksana kurikulum, merupakan ujung tombak bagi
keberhasilan pendidikan, khususnya dalam kegiatan pembelajaran dikelas.
Masalahnya tidak sedikit guru yang masih belum merubah paradigmanya dalam
memperlakukan siswa dalam kegiatan pembelajaran, dari pembelajaran yang
berpusat pada guru( guru sentris ) menjadi pembelajaran yang berpusat pada
siswa ( siswa sentris ). Misalnya guru dalam kegiatan pembelajaran bersifat satu
arah, siswa hanya diperlakukan sebagai objek, seperti botol kosong yang harus
dijejali dengan berbagai informasi dari guru. Siswa tidak mendapat kesempatan
yang maksimal untuk mengembangkan potensi dirinya. Sistem pembelajaran yang
komvensional menyebabkan hilangnya gairah siswa dan timbulnya kebosanan
dalam kegiatan pembelajaran. Hal inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya
pemberontakan siswa terhadap guru, kabur saat kegiatan pembelajaran dan
perilaku lainnya yang bukan hanya sebagai bentuk kenakalan remaja akan tetapi
sudah menjurus pada tindakan kriminal. Disisi lain respon guru atas siswa
tersebut, alih-alih melakukan refleksi diri atas kekurangan dalam kegiatan
pembelajaran, justru malah menjadi tidak objektif dan rasional sebagai pendidik
profesional, sehingga terjadilah bullying baik secara fisik maupun psykis yang
dilakukan guru terhadap siswanya. Tindakan kekerasan dalam bentuk apapun
yang dilakukan oleh guru tidak dapat dibenarkan, karena hal tersebut
bertentangan dengan kaidah-kaidah pendidikan serta secara tegas bertentangan
dengan Undang-Undang Perlindungan Anak.
Ketika guru terpaksa harus memberikan sanksi kepada siswa, hendaknya
sanksi itu bersifat edukatif. Untuk siswa dijenjang SMA sudah selayaknya kita
mengedepankan dialog sehingga siwa menyadari bahwa dia pantas untuk
8

mendapatkan sanksi dari gurunya. Hindari perkataan guru yang menyakiti dan
mempermalukan siswa didepan teman-temannya, sebab hal tersebut akan
membekas dalam diri siswa, karena merasa dipermalukan didepan umum. Hal
tersebut akan menutup ruang dialog antara siswa dengan gurunya. Dan yang
terpenting siswa menyadari bahwa sanksi yang diberikan guru bukan karena guru
benci kepada siswa melainkan bentuk tanggungjawab guru sebagai pendidik yang
mendapat amanah dari orang tua siswa.
Penanganan siswa yang bermasalah tidak terselesaikan secara tuntas
akan berakibat pada sikap tidak puas bahkan akan memunculkan dendam dari
siswa yang bersangkutan terhadap gurunya.Yang paling memprihatinkan adalah
ketika siswa melibatkan pihak ketiga untuk melampiaskan rasa dendamnya yang
berujung dikepolisian.
3. Kekerasan Yang Dilakukan oleh Orang tua Kepada Guru.
Sekolah harus menyadari bahwa salah satu komponen terpenting untuk
keberhasilan dalam mewujudkan visi dan misi sekolah adalah terbangunnya
komunikasi yang baik dan intensif antara sekolah dan orang tua siswa. Kenyataan
yang ada menunjukan bahwa sekolah seperti menara gading yang terpisah dan
tertutup dari orang tua siswa yang notabene pemberi amanat kepada sekolah
untuk mendidik putra putrinya. Kalaupun dibentuknya Komite sekolah sebagai
jembatan komunikasi antara orang tua siswa dan sekolah, kenyataannya tidak
lebih hanya sebagai formalitas belaka untuk memenuhi ketentuan peraturan yang
ada. Banyak diantara orang tua siswa yang merasa tidak terwakili oleh komite
sekolah, terutama dalam hal menyalurkan kepentingan orang tua siswa atas
kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh sekolah.Komunikasi yang kurang baik
antara pihak sekolah dan orang tua siswa akan berdampak dalam menyelesaikan
permasalahan siswa disekolah. Tidak sedikit orang tua yang melaporkan guru ke
pihak kepolisian dan berujung dipengadilan, hanya karena orang tua terhasut oleh
laporan anaknya terkait tindakan guru dalam menyelesaikan atas tindakan
pelanggaran yang dilakukan siswa tersebut disekolah. Bullying guru terhadap
siswa dan orang tua siswa terhadap guru terjadi karena sekolah tertutup dan tidak
membangun komunikasi antara sekolah dan orangtua siswa.
Masih segar dalam ingatan kita kasus yang menimpa Dasrul guru SMK 2
Makasar yang dipukuli oleh orang tua muridnya sendiri Muhamad Alif. Kasus
9

bermula ketika siswa dihukum oleh guru Arsitektur karena tidak mengerjakan
tugas yang diberikan. Siswa merasa tidak terima kemudian melapor kepada orang
tuanya. Tidak terima sanksi yang diberikan Dasrul kepada anaknya kemudian
orang tua tersebut melakukan penganiayaan yang mengakibatkan mata Dasrul
mengalami gangguan dalam penglihatannya.
Atau kasus

Aop Saopudin, seorang guru honorer SDN Penjalin Kidul V,

Majalengka, Jawa Barat harus berurusan dengan hukum hanya gara-gara


mencukur rambut murid didiknya.Kejadian konyol ini terjadi pada Maret 2012. Saat
itu, Aop Saopudin melakukan razia rambut gondrong. Dalam razia itu, didapati 4
siswa yang berambut gondrong yaitu AN, M, MR dan THS. Aop lalu melakukan
tindakan disiplin dengan memotong rambut THS ala kadarnya sehingga gundul
tidak beraturan.Sepulang sekolah, THS menceritakan hukumannya itu ke
orangtuanya, Iwan Himawan. Atas laporan itu, Iwan tidak terima dan mendatangi
sekolah.

Iwan

marah-marahdanmengancam

balik

Aop.

Bahkan Iwan mencukur balik rambut sang guru sebagai tindakan balasan. Namun
tak puas sampai disitu saja, Iwan juga melaporkan Aop ke pihak berwajib. Guru
honorer itu pun dikenakan pasal berlapis yaitu tentan Perlindungan Anak dan
tentang Perbuatan Tidak Menyenangkan. Atas tuntutan itu, pengadilan negeri
akhirnya menjatuhkan hukuman percobaan. Yaitu dalam waktu 6 bulan.Masih
banyak kasusu-kasus yang sejenis lainnya yang berujung ke pengadilan.
Kasus yang mencoreng dunia pendidikan kita ini sebenarnya tidak akan
terjadi, jika guru ketika memberikan sanksi kepada siswanya menggunakan
pendekatan hubungan orang tua dan anak. Sehingga terjalin kedekatan hati
antara guru dan siswa yang bersangkutan. Dan masalah yang terjadi antara siswa
dan gurunya diselesaikan secara tuntas. Karena anak menganggap masalahnya
sudah tuntas maka, tidak akan terjadi pengaduan dari siswa kepada orang tuanya
apalagi dilebih-lebihkan, yang memicu konflik baru antara guru dan orang tuanya.
Guru adalah sebuah profesi yang ketika menjalankan tugas dan fungsinya
sebagai pendidik dipagari oleh kode etik yang melekat pada profesinya sebagai
guru. Kode Etik Guru Indonesia, adalah norma dan asas yang disepakati dan
diterima oleh guru-guru Indonesia sebagai pedoman sikap dan perilaku dalam
melaksanakan tugas profesi sebagai pendidik, anggota masyarakat, dan warga
negara.( Pasal 1 ayat 1 ) Sedangkan dalam Pasal 1 ayat (2) dijelaskan bahwa
10

pedoman sikap dan perilaku sebagaimana yang dimaksudkan pada ayat (1) pasal
ini adalah nilai-nilai moral yang membedakan perilaku guru yang baik dan buruk,
yang boleh dan tidak boleh dilaksanakan selama menunaikan tugas-tugas
profesionalnya untuk mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih,
menilai dan mengevaluasi peserta didik, serta pergaulan sehari-hari di dalam dan
di luar sekolah.
Dengan ditetapkannya Kode Etik Guru Indonesia, maka terbentuk pula
Dewan Kehormatan Guru Indonesia, yang berwenang untuk memberikan
rekomendasi sanksi kepada guru yang dianggap melanggar kode etik guru dalam
menjalankan tugas sebagai guru. Sanksi yang diberikan tentu saja dalam upaya
pembinaan kepada guru yang melakukan pelanggaran dan dalam rangka menjaga
harkat

dan

martabat

profesi

guru.

Hal ini

seperti

Dewan

Pers

yang

merekomendasikan sanksi untuk pelanggaran kode etik jurnalistik yang dilakukan


oleh seorang wartawan. Dengan demikian jika ada guru yang melakukan
pelanggaran kode etik guru dalam menjalankan tugasnya maka, siapapun
termasuk orang tua siswa hendaknya tidak serta merta melaporkan guru yang
bersangkutan ke pihak kepolisian, melainkan ke Dewan Kehormatan Guru yang
berhak

menilai

dan

merekomendasikan

apakah

tindakan

guru

tersebut

bertentangan dengan kode etik guru atau tidak. Sehingga guru dalam
menjalankan tugasnya tidak gamang serta terbelenggu oleh isu-isu tentang Hak
Asasi Manusia (HAM) ketika guru menegur dan membetulkan sikap siswa yang
dinilai melanggar etika dan norma-norma yang berlaku baik dilingkungan sekolah
maupun dimasyarakat.
Oleh karena itu PGRI dan Organisasi guru lainya dapat mensosialisasikan
Kode Etik Guru kepada anggotanya, masyarakat dan pihak-pihak terkait. Hal ini
menjadi penting karena sebagian besar guru belum mengetahui tentang isi Kode
Etik Guru dan Dewan Kehormatan Guru yang baru ditetapkan, termasuk orang tua
siswa dan pihak terkait lainnya seperti kepolisian. Diharapkan dimasa yang akan
datang tidak ada lagi guru yang dipolisikan hanya karena ada pelanggaran
kode etik dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik. Dengan demikian
adanya jaminan dan perlindungan hukum bagi guru dalam menjalankan
profesinya sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Guru dan Dosen.

11

Dari semua itu yang terpenting bagi guru dalam menjalankan tugasnya
terutama dalam hubungannya dengan peserta didik hendaknya dilandasi rasa
kasih sayang dengan penuh keihlasan serta menghindari tindak kekerasan fisik
yang diluar kaidah dan koridor pendidikan. Jalin komunikasi yang intensif dan
berkelanjutan dengan orang tua siswa sehingga terjadi kesepahaman

dan

sinergis dalam menghantarkan peserta didik yang cerdas, terampil, dan berahlak
mulia sebagaimana ditetapkan dalam tujuan pendidikan nasional.
Pada hakekatnya guru dan orang tua dalam pendidikan yang mempunyai
tujuan yang sama, yakni mengasuh, mendidik, membimbing, serta membina
anaknya menjadi orang dewasa dan dapat memperoleh kebahagiaan hidupnya
dalam arti yang seluas-luasnya. Kesamaan persepsi antara guru, siswa dan orang
tua siswa dalam menterjemahkan visi dan misi sekolah akan memuluskan jalan
dalam mencapai target yang telah ditetapkan oleh sekolah. Hubungan yang
harmonis antara pihak sekolah dan orang tua, akan menumbuhkan sikap saling
mempercayai diantara kedua belah pihak. Disisi lain siswa merasa aman,
nyaman dan terlindungi selama berada dilingkungan sekolah.
D.Kesimpulan Dan Saran
a. Kesimpulan
Berkaitan dengan tindak kekerasan yang terjadi dilingkungan sekolah baik
yang dilakukan antara sesama siswa, antara guru terhadap siswa dan sebaliknya
maupun antara orang tua terhadap guru, dapat disimpulkan hal-hal sebagai
berikut :
1. Latar belakang kehidupan dan kebiasaan siswa dalam keluarga, sangat
berpengaruh terhadap perilaku siswa dilingkungan sekolah.
2. Perkelahian siswa dilingkungan sekolah biasanya bermula dari hal-hal yang
sepele, terutama terjadinya bullying secara verbal, yang dilakukan antara
siswa yang satu terhadap siswa lainnya.
3. Guru tanpa disadari sering melakukan bullying kepada siswa nya baik
secara fisik maupun secara psykis, hal ini yang kemudian menimbulkan
konflik antara siswa dan guru.
4. Konflik yang terjadi antara orang tua dan guru terjadi karena kurang
harmonisnya hubungan antara pihak sekolah dengan orang tua siswa,

12

sehingga orang tua hanya menerima informasi sepihak dari anaknya, tanpa
melakukan konfirmasi kepada pihak sekolah.

b. Saran-saran
1. Sekolah hendaknya menciptakan lingkungan sekolah yang bersih, sehat,
nyaman, rindang dan indah, sehingga tercipta lingkungan sekolah yang
kondusif untuk kegiatan belajar mengajar.
2. Sekolah hendaknya membina dan mengembangkan hubungan saling
menghormati, menghargai dan mengasihi diantara seluruh warga
sekolah, sehingga tercipta suasana kekeluargaan serta siswa merasa
sekolah sebagai rumah keduanya.
3. Sekolah hendaknya mengembangkan berbagai macam kegiatan
ekstrakulikuler, yang dapat menampung berbagai bakat dan kreativitas
siswa, sehingga potensi siswa dapat tersalurkan untuk hal-hal yang
positif bagi pengembangan dirinya.
4. Guru hendaknya berupaya meningkatkan kompetensinya, secara terus
menerus dan berkesinambungan sebagai bekal dalam melaksanakan
tugas dan fungsinya sebagai guru professional.
5. Guru hendaknya berhati-hati dan menghindari pemberian sanksi kepada
siswa yang menjurus kepada kekerasan fisik, sebab hal tersebut akan
melahirkan sikap kekerasan baru baik yang dilakukan oleh siswa
maupun orang tua terhadap guru.
6. Guru dan Wali kelas hendaknya menjalin komunikasi yang intensif
kepada orang tua siswa, agar terjadi kesamaan persepsi dalam
membimbing dan membina perilaku siswa sesuai dengan tujuan yang
diharapkan.

13

E. Daftar Pustaka

1. Departemen Pendidikan Nasional,2001.Manajemen Peningkatan Mutu


Berbasis Sekolah, Jakarta, Direktorat Dikmenum.
2. E.Mulyasa,2007, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, Bandung,
PT.Remaja Rosda Karya.
3. E.Mulyasa, 2007, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Bandung,
PT.Remaja Rosda Karya.
4. Iskandar Agung, 2010,Meningkatkan Kreativitas Pembelajaran Bagi Guru,
Jakarta, Bestari Buana Murni.
5. Majelis Luhur Taman Siswa,1976, Pendidikan dan Pembangunan: 50 Tahun
Taman Siswa, Yogyakarta, Majelis Luhur Taman Siswa.

14

15

Anda mungkin juga menyukai