Anda di halaman 1dari 9

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Saat ini, wacana tentang pentingnya pendidikan karakter kembali muncul

dan menjadi bahan perhatian sebagai respon atas berbagai persoalan bangsa.

Persoalan bangsa yang dimaksud terutama masalah dekadensi moral kejujuran

seperti korupsi, kecurangan dalam ujian dan pemilu, budaya menyontek, plagiat

dan lain sebagainya. Salah satu tantangan karakter bangsa saat ini adalah pesta

demokrasi. Para calon pemimpin dengan segala cara dan upaya berusaha untuk

meyakinkan rakyat agar bisa terpilih. Kampanye, iklan di radio, televisi, surat

kabar, papan reklame, dan aneka bentuk promosisi diri lainnya menjadi sarana

bagi para calon pemimpin bangsa. Jika ditelusuri isi promosinya terpampang

banyak janji, niat, visi dan misi.

Dari sekian janji yang ada, kata jujur dan bersih juga dipakai oleh para

calon pemimpin bangsa. Benarkah kata jujur dan bersih akan menjadi pegangan

bagi para calon pemimpin setelah mereka terpilih? Ataukah kata jujur hanya

dipakai untuk memperdaya rakyat, sebab de facto, kata jujur dikalangan para

pemimpin bangsa akhir-akhir ini “jauh dari panggang”. Setelah terpilih, semua

janji tidak lagi diingat, korupsi berjalan terus dan bahkan menjadi sebuah mata

rantai birokrat. Rakyat misikin tetap miskin, sementara para koruptor bebas

berkeliaran.

1
2

Selain fenomena dan iklim demokrasi dalam berbangsa di atas, masalah

kejujuran juga tidak jauh dari panorama dunia pendidikan. Panorama yang

dimaksud adalah praktek menyontek para siswa saat ulangan atau ujian, para

siswa takut mengatakan yang sebenarnya kepada guru karena takut dihukum,

plagiat, kecurangan ujian akhir nasional (UAN), penyimpangan dana biaya

operasional (BOS) dan biaya pendidikan lainnya, kecurangan dalam

penyelengaraan sertifikasi dan penyetaraan guru (PLPG dan PSKGJ) serta aneka

ketidakjujuran lainnya. Akhir-akhir ini sering terdengar masalah pelanggaran

kejujuran akademik, seperti menyontek dan plagiarisme.

Pelanggaran ini dilakukan di semua tingkat pendidikan mulai dari Sekolah

Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas sampai Perguruan

Tinggi. Bahkan yang lebih menyedihkan pelanggaran akademik, seperti kegiatan

menyontek, dilakukan secara bersama-sama dengan melibatkan tenaga pendidik,

seperti yang terjadi di salah satu sekolah dasar di Surabaya (Santosa, 2011).

Demikian juga pelanggaran kejujuran akademik lainnya, seperti plagiarisme.

Akhir-akhir ini muncul berita tentang plagiarisme yang dilakukan oleh tenaga

pendidik dan peserta didik. Nama besar tak selalu ditopang kejujuran dan tidak

jarang kejujuran harus dikorbankan demi merajut popularitas, entah itu berbentuk

gelar, jabatan, pangkat atau kekayaan (Damanik, 2010).

Menyontek sudah tidak asing bagi semua orang, meskipun orang tersebut

tidak setuju dan belum pernah melakukan tindakan menyontek. Tindakan

menyontek sering dikaitkan dengan saat siswa mengerjakan tugas dan ujian,
3

karena semua peserta ujian menginginkan hasil ujian lebih bagus. Kegiatan

pembelajaran jarak jauh (PJJ) dalam situasi pandemi Covid 19, sangat

memungkinkan sikap dan perilaku menyontek terjadi. Isu kecurangan akademik

ini rupanya mewabah juga pada masa ini. Sebagai contoh, makser yang

seharusnya dipakai untuk menangkak virus covid 19, justru menjadi alat atau

sarana bagi seorang siswa untuk menyelibkan kertas contekannya.

(https://www.suara.com/news/2022/01/26/195024).

Masih banyak contoh lainnya, yang pada intinya mengemukan perilaku

dan cara yang dapat dilakukan untuk mendapatkan hasil yang lebih kendati

dengan cara yang salah (curang). Pada kondisi tertentu orang pun tak peduli

dengan tindakan ketidak-jujuran akademik, orang membiarkan orang lain

melakukan tindakan menyontek, bahkan orang yang peduli pada kegitan ini malah

dikucilkan dari masyarakat (Santosa, 2011).

Kegiatan menyontek ini menunjukkan suatu bukti bahwa sistem

pendidikan tak sempurna dan menjadi penyakit masyarakat atau epidemi yang

bisa menyebabkan kegagalan sistem pendidikan nasional. Melihat kondisi

tersebut, Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri dan Koordinator Perguruan Tinggi

Swasta Seluruh Indonesia mengutuk keras tindakan menyontek dan plagiarisme

tersebut melalui deklarasi bersama yang ditandatangani tanggal 4 Mei 2011

(Supriyadin, 2011).

Kondisi ini mengindikasikan bahwa kejujuran masih harus dan terus

diperjuangkan. Salah satu cara memperjuangkan kejujuran adalah melatih dan

membiasakan sikap dan perilaku jujur sejak dini di sekolah. Salah satu alternatif
4

untuk mengatasi persoalan masalah kejujuran adalah melalui peningkatan kualitas

pendidikan. Pendidikan dianggap sebagai alternatif yang bersifat preventif, karena

hasil proses pendidikan diharapkan mampu membangun generasi baru yang lebih

baik (Raharjo, 2009:2). Sebagai alternatif yang bersifat preventif, pendidikan

diharapkan dapat mengembangkan kualitas generasi muda bangsa dalam berbagai

aspek yang dapat memperkecil dan mengurangi penyebab berbagai masalah

karakter bangsa.

Upaya preventif ini harus mengacu pada tujuan pendidikan nasional dalam

dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 Bab II

Pasal 3 berbunyi:

“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan


membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Keseriusan pemerintah untuk mengoptimalkan fungsi dan mewujudkan

tujuan pendidikan nasional di atas, antara lain tampak dari adanya kebijakan

pendidikan karakter yang disuarakan sejak tahun 2003. Pendidikan karakter

diharapkan agar diterapkan oleh semua satuan pendidikan secara terintegrasi

dalam pembelajaran di kelas dan kultur sekolah.

Senada dengan komitmen pemerintah di atas, Koesoema (2010:116)

menegaskan bahwa pendidikan karakter bisa menjadi salah satu sarana

pembudayaan dan pemanusiaan. Peran pendidikan karakter bukan saja bersifat

integratif, dalam arti mengukuhkan moral intelektual subjek didik, dan preventif
5

saja melainkan juga bersifat kuratif, baik secara personal maupun sosial, yakni

bisa menjadi salah satu sarana penyembuh penyakit sosial, khusunya kejujuran.

Tujuan pendidikan karakter kejujuranakan tercapai bilaseorang guru sadar

akan tugasnya di sekolah. Tugas pertama-tama seorang guru adalah mengajar.

Sebagai pengajar, ia dituntut untuk menyeimbangkan aspek kognitif, afektif dan

psikomotor dalam diri siswanya. Hal ini berarti, ia bukan sekedar mentranfer ilmu

saja, tetapi membentuk sikap dan keterampilan sesuai potensi siswa.

Berkaitan dengan dengan pembentukan karakter kejujuran, Albert Bandura

() menawarkan sebuah teori yang bisa membantu guru-guru dalam mengajar yakni

self-efficacy.Wheatley (2005) mendefinisikan self-efficacy mengajar sebagai

keyakinan terhadap kemampuan diri untuk memberikan sesuatu yang bernilai

pada siswa. Self-efficacy dalam mengajar dibagi menjadi dua jenis yaitu Self-

efficacy yang terkait dengan keluaran (output) dan self-efficacy harapan

(expectancy) (Renmin, 2000). Self-efficacy keluaran dalam mengajar secara

umum merupakan keyakinan individu untuk mampu mencapai target yang

diharapkan sedangan self-efficacy terhadap harapan dalam mengajarsecara

personal merupakan self-efficacy mengajar yang terkait dengan situasi

mengajaryang lebih spesifik. Penelitian ini menekankan self-efficacy pada jenis

kedua yaitu self-eficacy mengajar yang secara spesifik yakni meningkatkan

sikap dan perilaku jujur siswa.

Dalam pendidikan, pentingnya teori self-eficacy telah diakui oleh banyak

peneliti meskipun masih dipandang sebagai konsep yang relatif baru. Namun

demikian, konsep ini telah terbukti memberikan dampak kuat terhadap prestasi
6

akademik guru dan siswa. Berkaitan dengan hal-hal di atas, penulis tertarik untuk

menganalisi sikap dan perilaku para guru di SMA Negeri 1 Namorambe dalam

menanamkan sikap kejujuran kepada para siswa. Oleh karena itu, penulis memilih

judul: Peranan Self-efficacy Mengajar Guru dalam Meningkatkan Sikap dan

Perilaku Jujur di SMA Negeri 1 Namorambe.

1.2 Fokus Penelitian

Kejujuran kini ibarat barang langka yang sulit ditemukan dalam kehidupan

sehari-hari. Orang mudah memanipulasi apa saja, di mana saja, serta kapan saja,

tanpa tersekat ruang dan waktu. Bohong dapat dilakukan oleh siapa pun, misalnya

guru yang berbohong kepada kepala sekolah, murid kepada gurunya, bawahan

kepada atasan, atau pun pejabat kepada rakyat.

Mengembalikan kejujuran menjadi suatu kebiasaan baik yang mudah

ditemukan di dalam kehidupan sehari-hari membutuhkan usaha dan kerja keras.Di

lingkup pendidikan, tugas yang amat berat ini diembankan kepada guru-guru,

terutama guru sekolah dasar.Bila pendidikan dasar salah meletakan dasar karakter,

terutama sikap dan perilaku jujur, maka konsekuensinya ialah siswa akan sulit

diatur karakternya di tingkat pendidikan menengah dan perguruan tinggi. Dalam

usaha menganalisis pengaruh self-efficacy mengajar dalam meningkatkan

kejujuran di tingkat pendidikan dasar di SMA Negeri 1 Namorambe., peneliti

akan menfokuskan diri pada dua hal yakni guru dan siswa.
7

Pada tataran guru-guru, peneliti akan mengkaji aspek self-efficacy

mengajar sebagai variabel bebas sesuai dengan teori Kognitif Sosial dari Albert

Bandura dan pada tataran siswa, peneliti akan memfokuskan diri pada tingkat

kejujuran sebagai variabel terikat. Mengingat luasnya cakupan dan pengertian

kejujuran, peneliti memfokus diri pada kejujuran sosial, religius dan akademik.

Kejujuran Sosial yang dimaksud adalah kejujuran terhadap orang tua atau kerabat,

teman, guru, dan orang yang baru dikenal; kejujuran religius berkaitan dengan

hal-hal kerohanian dan Tuhan; sedangkan kejujuran akademik meliputi kejujuran

pada waktu ujian dan dalam mengerjakan pekerjaan akademik di rumah.

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan dan fokus penelitian di atas, ada beberapa

rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini antara lain:

a. Apakah ada pengaruh self-efficacy mengajar guru dalam meningkatkan sikap

dan perilaku jujur kepada siswa di SMA Negeri I Namorambe?

b. Bagaimana tingkat kejujuran sosial siswa di SMA Negeri 1 Namorambe?

c. Bagaimana tingkat kejujuran religius siswa di SMA Negeri 1 Namorambe?

d. Bagaimana tingkat kejujuran akademik siswa diSMA Negeri 1 Namorambe?

e. Apakah Self-efficacy guru turut menentukan tingkat kejujuran sosial, religius

dan akademik para siswa di SMA Negeri 1 Namorambe?


8

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran kualitatif mengenai

peranan self-efficacy mengajar guru dalam meningkatkan kejujuran sosial, relgius

dan akademik para siswa di SMA Negeri 1 Namorambe yakni:

a. Untuk mengetahui adanya pengaruh self-efficacy mengajar guru dalam

meningkatkan sikap dan perilaku jujur siswa di SMA Negeri I Namorambe.

b. Untuk mengetahui tingkat kejujuran sosial siswa SMA Negeri I Namorambe.

c. Untuk mengetahui tingkat kejujuran relgius siswa SMA Negeri I Namorambe.

d. Untuk mengetahui tingkat kejujuran akademik siswa SMA Negeri I

Namorambe.

e. Untuk mengetahui pengaruh self-efficacy mengajar guru dalam meningkatkan

kejujuran sosial, religious dan akademik siswa SMA Negeri I Namorambe.

1.5 Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Kajian dalam penelitinan ini diharapkan dapat bermanfaatkan bagi wacana

akademik bagi dunia pendidikan dalam kerangka meningkatkan mutu dan

profesionalitas guru, khususya pendidikan karakter

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada kepala

sekolah sebagai bahan evaluasi kinerjanya.

b. Masukan bagi guru-guru sebagai bahan untuk mengevaluasi kinerjanya baik

sebagai individu maupun sebagai kelompok sehingga secara bersama-sama


9

terus meningkatkan self-eficacy-nya dalam mengajar, khususnya dalam

membentuk sikap dan karakter jujur siswa.

Anda mungkin juga menyukai