Anda di halaman 1dari 9

RESUME

SOSIOLOGI PENDIDIKAN
ISU-ISU KONTEKSTUAL PENDIDIKANDI

LEMBAGA PENDIDIKAN

Dosen Pengampu :

Dr. Novriyanti Achyar, M.Pd

Luthfiani, M.Pd

Disusun Oleh :

Agnes Carisya (20002074)

JURUSAN ADMINISTRASI PENDIDIKAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI PADANG


ISU-ISU KONTEKSTUAL PENDIDIKANDI

LEMBAGA PENDIDIKAN

A. Isu-isu Kontekstual Pendidikan

Pada dasarnya pendidikan adalah pembelajaran pengetahuan, keterampilan, dan

kebiasaan sekelompok orang yang diturunkan dari satu generasi ke generasi

berikutnya melalui pengajaran, pelatihan, atau penelitian. Pendidikan sering terjadi

di bawah bimbingan orang lain, tetapi juga memungkinkan secara otodidak.

Pendidikan diusahakan oleh orang tua atau generasi tua untuk mempersiapkan anak

atau generasi muda agar mampu hidup secara mandiri dan mampu melaksanakan

tugas-tugas hidupnya dengan sebaik-baiknya.

B. Masalah keutuhan Pencapaian Sasaran

Di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan

Nasional Bab II Pasal 4 telah dinyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional ialah

mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Kemudian dipertegas lagi secara

rinci di dalam GBHN Garis-Garis Besar Haluan Negara butir 2a dan b, tentang arah

dan tujuan pendidikan bahwa yang dimaksud dengan manusia utuh itu adalah

manusia yang sehat jasmani dan rohani, manusia yang memiliki hubungan secara

vertical (dengan Tuhan) dan Horizontal (dengan lingkungan dan masyarakat), dan

konsentris (dengan diri sendiri), yang berimbang antara duniawi dan ukhrawi.

Konsepnya sudah cukup baik. Tetapi di dalam pelaksanaannya pendidikan


afektif belum ditangani semestinya. Kecenderungan mengarah kepada pengutamaan

pengembangan aspek kognitif. Pendidikan agama dan Pendidikan Moral Pancasila

misalnya yang semestinya mengutamakan penanaman nilai-nilai bergeser kepada

pengetahuan agama dan Pancasila. Keberhasilan pendidikan dinilai dari kemampuan

kognitif atau penguasaan pengetahuan. Pengembangan daya pikir dinomorsatukan,

sedangkan pengembangan perasaan dan pengamalan terabaikan. Padahal untuk34

pengembangan perasaan dan hati agar memahami nilai-nilai tidak cukup hanya

berkenalan dengan nilai-nilai melainkan harus mengalaminya. Dengan mengalami

peserta didik dibuka kemungkinannya untuk menghayati hal-hal seperti kepercayaan

diri, kemandirian, keyakinan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,

penghargaan terhadap waktu dan kerja, kegairahan belajar, kedisiplinan,

kesetiakawanan sosial, dan semangat kebangsaan.

C. Masalah Peranan Guru

Peranan guru sangat penting dalam proses pembelajaran, serta memajukan dunia

pendidikan. Kualitas peserta didik dalam dunia pendidikan sangat bergantung pada

mutu guru. Karena itu guru harus memiliki kompetensi yang sesuai dengan standar

nasional pendidikan agar dapat menjalankan tugas dan perannya dengan standar

kompetensi yang baik yang menghasil peserta didik menjadi manusia yang berilmu

dan sikap siswa. Maka guru haruslah individu yang kaya pengalaman dan mampu

mentransformasikan pengalamannya itu pada para siswa dengan cara-cara yang


variatif.” Salah satu cara untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas adalah dengan

memperbaiki strategi pembelajaran dan penggunaan metode yang tepat, sesuai

dengan materi salat tidak cukup dengan ceramah dan mencatat materi tetapi dapat

dilaksanakan dengan pemilihan strategi yang sesuai. Strategi pembelajaran langsung

dengan menggunakan beberapa metode, seperti demonstrasi, simulasi dan bermain

peran serta dengan menggunakan media yang sesuai akan dapat meningkatkan

motivasi belajar, agar bacaan salat dapat dibaca dengan baik oleh peserta didik

sehingga hasil belajar diharapkan dapat terwujud dengan baik pula.

Dahulu pada sekolah sudah dapat beroperasi jika ada murid, guru, dan ruangan

tempat belajar dengan beberapa sarana seperlunya, guru merupakan satu-satunya

sumber belajar, ia menjadi pusat tempat bertanya. Tugas guru memberikan ilmu

pengetahuan kepadamurid. Cara demikian dipandang sudah memadai karena ilmu5

pengetahuan guru belum berkembang, cakupannya masih terbatas.

Dari sisi kebutuhan murid, guru tidak mungkin seorang diri melayaninya. Untuk

memandu proses pembelajaran murid ia dibantu oleh sejumlah petugas lainnya

seperti konselor (guru BP), pustakawan, laboran, dan teknik sumber belajar. Dengan

hadirnya petugas lain tersebut guru kini memiliki cukup waktu untuk mengajarkan

hal-hal yang semestinya ia lakukan, tetapi selama itu tertelantarkan lantaran

ketiadaan waktu karena terpaksa menanggulangi kegiatan-kegiatan yang semestinya

dilakukan oleh tenaga-tenaga lainnya.

Melakukan kontak dan pendekatan manusiawi yang lebih intensif dengan murid
muridnya. Pelayanan kelompok dan individual dalam bentuk memperhatikan

kebutuhan, mendorong semangat untuk maju berkreativitas, dan bekerja sama,

menumbuhkan rasa percaya diri, harga diri, dan tanggung jawab, menghargai waktu,

dan kedisiplinan, menghargai orang lain, dan menemukan jati diri. Inilah sisi

pendidikan dari tugas seorang guru yang telah lama terabaikan. Dari sini

pembelajaran ia diharapkan mampu mengelola proses pembelajaran (sebagai

manajer), menunjukkan tujuan pembelajaran (director), mengorganisasikan kegiatan

pembelajaran (coordinator), mengkomunikasikan murid dengan berbagai sumber

belajar (komunikator), menyediakan dan memberikan kemudahan belajar

(fasilitator), dan memberikan dorongan belajar (stimulator).

D. Ujian Nasional

Ujian Nasional merupakan salah satu jenis penilaian yang diselenggarakan

pemerintah guna mengukur keberhasilan belajar siswa. Dalam beberapa tahun ini,

kehadirannya menjadi perdebatan dan kontroversi di masyarakat. Di satu pihak ada

yang setuju, karena dianggap dapat meningkatkan mutu pendidikan. Dengan adanya

ujian nasional, sekolah dan guru akan dipacu untuk dapat memberikan pelayanan

sebaik-baiknya agar para siswa dapat mengikuti ujian dan memperoleh hasil ujian

yang sebaik-baiknya. Demikian juga siswa didorong untuk belajar secara sungguh

sungguh agar dia bisa lulus dengan hasil yang sebaik-baiknya.Sementara, di pihak

lain juga tidak sedikit yang merasa tidak setuju karena menganggap bahwa Ujian
Nasional sebagai sesuatu yang sangat kontradiktif dan kontraproduktif dengan

semangat reformasi pembelajaran yang sedang kita kembangkan. Sebagaimana

dimaklumi, bahwa saat ini ada kecenderungan untuk menggeser paradigma model

pembelajaran kita dari pembelajaran yang lebih berorientasi pada pencapaian6

kemampuan kognitif ke arah pembelajaran yang lebih berorientasi pada pencapaian

kemampuan afektif dan psikomotor, melalui strategi dan pendekatan pembelajaran

yang jauh lebih menyenangkan dan kontekstual, dengan berangkat dari teori belajar

konstruktivisme.

Selain itu, Ujian Nasional sering dimanfaatkan untuk kepentingan diluar

pendidikan, seperti kepentingan politik dari para pemegang kebijakan pendidikan

atau kepentingan ekonomi bagi segelintir orang. Oleh karena itu, tidak heran dalam

pelaksanaannya banyak ditemukan kejanggalan-kejanggalan, seperti kasus

kebocoran soal, nyontek yang sistemik dan disengaja, merekayasa hasil pekerjaan

siswa dan bentuk-bentuk kecurangan lainnya.

E. Kekerasan di Sekolah

Kekerasan di sekolah merupakan tindak kekerasan yang melibatkan murid, guru,

dan staf sekolah yang dapat mengganggu proses pengajaran dan pembelajaran dan

merusak iklim sekolah. Dua peneliti Universitas California, Santa Barbara, Michael

Furlong dan Gale Morrison, mendefinisikan kekerasan di sekolah sebagai

"konstruksi multi faset yang melibatkan tindakan kriminal dan agresi di sekolah
yang menghambat perkembangan dan pembelajaran, serta merusak iklim sekolah".

Pelaku dan korban kekerasan dapat berasal dari kalangan murid ataupun guru dan

staf sekolah lainnya. Kekerasan dapat terjadi antar siswa maupun orang dewasa di

sekolah terhadap siswa dan sebaliknya. Kekerasan dapat mengambil tempat di dalam

maupun di luar kelas, di lingkungan sekitar sekolah, misalnya di area bermain dan

fasilitas olahraga, serta di jalan menuju ke sekolah. Kekerasan di sekolah merupakan

isu yang terkait dengan kesehatan masyarakat, hak asasi manusia, dan masalah

social. Menurut Peter K. Smith, guru besar di Goldsmiths College, London,

kekerasan di sekolah tak hanya berdampak negatif terhadap prestasi dan kehidupan

siswa, tapi juga merusak nilai-nilai demokrasi dan pendidikan kewarganegaraan.

Kekerasan di dunia pendidikan kembali terjadi. Beberapa kali kasus selalu

terjadi, baik sekolah kota maupun disekolah yang ada di desa. Ketua Komisi

Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait mengatakan

kekerasan terhadap anak di lingkungan sekolah kembali terjadi karena belum ada

tindakan tegas dari pemerintah terhadap pelaku kekerasan di sekolah. "Guru yang

melakukan kekerasan, setahu saya belum ada yang sampai dipecat karena Menteri

menganggap ini hal biasa untuk mendisiplinkan anak. Padahal itu salah," katanya7

saat berbincang dengan okezone, Rabu (28/9/2011). Dampaknya, psikologis anak

akan menjadi tertekan. "Itu salah satu proses radikalisme terjadi. Kalau sekolah

sudah mengajarkan kekerasan itu bagian dari menumbuhkan sikap radikal," ujarnya.

Padahal Undang-Udang perlindungan anak tahun 2002 pasal 59 jelas


menyebutkan sekolah wajib menjadi zona anti kekerasan. Guru yang melakukan

kekerasan terhadap anak tidak memenuhi syarat psikologis untuk menjadi tenaga

pengajar.

Jenis jenis kekerasan diantaranya, yaitu:

1. Kekerasan Fisik, merupakan penyerangan dengan tujuan melukai anggota

tubuh. Pelaku kekerasan fisik bisa murid, guru, dan staf sekolah.

2. Kekerasan Psikologis yang terdiri atas serangan emosional dan verbal.

Kekerasan psikologis meliputi segala bentuk pengucilan, penolakan,

pengabaian, hinaan, penyebarluasan rumor, mengarang kebohongan,

penyebutan nama, ejekan, ancaman, serta hukuman psikis.

3. Kekerasan Seksual, yang meliputi intimidasi yang bersifat seksual, pelecehan

seksual, sentuhan yang tidak diinginkan, pemaksaan seksual dan

pemerkosaan, dan dilakukan oleh guru, staf sekolah, atau teman sekolah.

4. Penindasan, merupakan agresi yang melibatkan pola perilaku, bukan

kejadian tunggal.

5. Penindasan Siber, adalah bentuk intimidasi psikologis atau seksual yang

terjadi secara daring, misalnya mengunggah pos atau mengirim pesan,

gambar atau video, yang bertujuan melecehkan, mengancam atau menarget

orang lain melalui berbagai media dan platform media sosial.

F. Dana Pendidikan
Dana pendidikan adalah sumber daya keuangan yang disediakan untuk

menyelenggarakan dan mengelola pendidikan. Menambahkan dana pendidikan itu

memang perlu namun, untuk apa penambahan tersebut dilakukan jika harus

mengalami kebocoran dimana-mana? Analoginya seperti menambahkan debit air

bersih. Jika debit ditambahkan namun kebocoran pada pipa tetap terjadi, akhirnya

penambahan itu akan sia-sia juga sebab yang membuat debit itu berkurang sampai di

pelanggan bukan hanya masalah besar atau kecilnya debit awal melainkan

kebocorannya. Oleh karena itu, yang seharusnya dilakukan sebelum penambahan

Anda mungkin juga menyukai