Anda di halaman 1dari 5

A.

Masalah Keutuhan Pencapaian Sasaran

Di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II
Pasal 4 telah dinyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional ialah mengembangkan manusia
Indonesia seutuhnya. Kemudian dipertegas lagi secara rinci di dalam GBHN butir 2a dan b,
tentang arah dan tujuan pendidikan bahwa yang dimaksud dengan manusia utuh itu adalah
manusia yang sehat jasmani dan rohani, manusia yang memiliki hubungan secara vertical
(dengan Tuhan) dan Horizontal (dengan lingkungan dan masyarakat), dan konsentris (dengan
diri sendiri), yang berimbang antara duniawi dan ukhrawi.

Konsepnya sudah cukup baik. Tetapi di dalam pelaksanaannya pendidikan afektif belum
ditangani semestinya. Kecenderungan mengarah kepada pengutamaan pengembangan aspek
kognitif. Pendidikan agama dan Pendidikan Moral Pancasila misalnya yang semestinya
mengutamakan penanaman nilai-nilai bergeser kepada pengetahuan agama dan Pancasila.
Keberhasilan pendidikan dinilai dari kemampuan kognitif atau penguasaan pengetahuan.
Pengembangan daya pikir dinomorsatukan, sedangkan pengembangan perasaan dan
pengamalan terabaikan. Padahal untuk pengembangan perasaan dan hati agar memahami
nilai-nilai tidak cukup hanya berkenalan dengan nilai-nilai melainkan harus mengalaminya.
Dengan mengalami peserta didik dibuka kemungkinannya untuk menghayati hal-hal seperti
kepercayaan diri, kemandirian, keyakinan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
penghargaan terhadap waktu dan kerja, kegairahan belajar, kedisiplinan, kesetiakawanan
sosial, dan semangat kebangsaan.

B. Masalah Peranan Guru

Dahulu pada sekolah sudah dapat beroperasi jika ada murid, guru, dan ruangan tempat belajar
dengan beberapa sarana seperlunya, guru merupakan satu-satunya sumber belajar, ia menjadi
pusat tempat bertanya. Tugas guru memberikan ilmu pengetahuan kepadamurid. Cara
demikian dipandang sudah memadai karena ilmu pengetahuan guru belum berkembang,
cakupannya masih terbatas.

Dengan singkat dikatakan tugas guru adalah “membelajarkan pelajar”. Guru mendudukkan
dirinya hanya sebagai bagian dari sumber belajar. Beraneka ragam sumber belajar yang hanya
justru dapat ditemukan di luar diri guru seperti perpustakaan, taman bacaan, museum, orang-
orang pintar, kebun binatang, toko buku dll. Sebagaimana Comenius pernah mengingatkan
bahwa alam ini adalah buku besar yang sangat lengkap isinya.

Dari sisi kebutuhan murid, guru tidak mungkin seorang diri melayaninya. Untuk memandu
proses pembelajaran murid ia dibantu oleh sejumlah petugas lainnya seperti konselor (guru
BP), pustakawan, laboran, dan teknik sumber belajar. Dengan hadirnya petugas lain tersebut
guru kini memiliki cukup waktu untuk mengajarkan hal-hal yang semestinya ia lakukan,
tetapi selama itu tertelantarkan lantaran ketiadaan waktu karena terpaksa menanggulangi
kegiatan-kegiatan yang semestinya dilakukan oleh tenaga-tenaga lainnya.
Melakukan kontak dan pendekatan manusiawi yang lebih intensif dengan murid-muridnya.
Pelayanan kelompok dan individual dalam bentuk memperhatikan kebutuhan, mendorong
semangat untuk maju berkreativitas, dan bekerja sama, menumbuhkan rasa percaya diri,
harga diri, dan tanggung jawab, menghargai waktu, dan kedisiplinan, menghargai orang lain,
dan menemukan jati diri. Inilah sisi pendidikan dari tugas seorang guru yang telah lama
terabaikan. Dari sini pembelajaran ia diharapkan mampu mengelola proses pembelajaran
(sebagai manajer), menunjukkan tujuan pembelajaran (director), mengorganisasikan kegiatan
pembelajaran (coordinator), mengkomunikasikan murid dengan berbagai sumber belajar
(komunikator), menyediakan dan memberikan kemudahan belajar (fasilitator), dan
memberikan dorongan belajar (stimulator).

C. Ujian Nasional

Ujian Nasional merupakan salah satu jenis penilaian yang diselenggarakan pemerintah guna
mengukur keberhasilan belajar siswa. Dalam beberapa tahun ini, kehadirannya menjadi
perdebatan dan kontroversi di masyarakat. Di satu pihak ada yang setuju, karena dianggap
dapat meningkatkan mutu pendidikan. Dengan adanya ujian nasional, sekolah dan guru akan
dipacu untuk dapat memberikan pelayanan sebaik-baiknya agar para siswa dapat mengikuti
ujian dan memperoleh hasil ujian yang sebaik-baiknya. Demikian juga siswa didorong untuk
belajar secara sungguh-sungguh agar dia bisa lulus dengan hasil yang sebaik-
baiknya.Sementara, di pihak lain juga tidak sedikit yang merasa tidak setuju karena
menganggap bahwa Ujian Nasional sebagai sesuatu yang sangat kontradiktif dan
kontraproduktif dengan semangat reformasi pembelajaran yang sedang kita kembangkan.
Sebagaimana dimaklumi, bahwa saat ini ada kecenderungan untuk menggeser paradigma
model pembelajaran kita dari pembelajaran yang lebih berorientasi pada pencapaian
kemampuan kognitif ke arah pembelajaran yang lebih berorientasi pada pencapaian
kemampuan afektif dan psikomotor, melalui strategi dan pendekatan pembelajaran yang jauh
lebih menyenangkan dan kontekstual, dengan berangkat dari teori belajar konstruktivisme.

Kita maklumi pula bahwa Ujian Nasional yang dikembangkan saat ini dilaksanakan melalui
tes tertulis. Soal-soal yang dikembangkan cenderung mengukur kemampuan aspek kognitif.
Hal ini akan berdampak terhadap proses pembelajaran yang dikembangkan di sekolah. Sangat
mungkin, para guru akan terjebak lagi pada model-model pembelajaran gaya lama yang lebih
menekankan usaha untuk pencapaian kemampuan kognitif siswa, melalui gaya pembelajaran
tekstual dan behavioristik.

Selain itu, Ujian Nasional sering dimanfaatkan untuk kepentingan diluar pendidikan, seperti
kepentingan politik dari para pemegang kebijakan pendidikan atau kepentingan ekonomi bagi
segelintir orang. Oleh karena itu, tidak heran dalam pelaksanaannya banyak ditemukan
kejanggalan-kejanggalan, seperti kasus kebocoran soal, nyontek yang sistemik dan disengaja,
merekayasa hasil pekerjaan siswa dan bentuk-bentuk kecurangan lainnya.

Terlepas dari kontroversi yang ada bahwa sampai saat ini belum ada pola baku sistem ujian
akhir untuk siswa. Perubahan sering terjadi seiring dengan pergantian pejabat. Hampir setiap
pejabat ganti, kebijakan sistem juga ikut berganti rupa.

Pelaksanaan UN mendapat berbagai kecaman dari berbagai pihak, terutama dari komunitas
pendidikan di Tanah Air. Apa UN relevan menjadi senjata peningkat mutu dan membentuk
standarisasi pendidikan nasional? Kalangan pendidikan pun malah menganggap bahwa UN
justru tidak sesuai dengan UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)
dan berbagai program pemerintah lainnya. Kalangan aktivis pendidikan dari Koalisi
Pendidikan pun berpendapat serupa. "Penambahan mata pelajaran yang di-UN-kan semakin
mencerminkan betapa pemerintah semakin besar kuasanya dalam menentukan kelulusan,"
ujarnya. Dia berpandangan, terjadi kekeliruan berpikir. Pemerintah berkeinginan keras untuk
menerapkan UN dengan harapan dapat mengangkat kualitas pendidikan di Tanah Air.
Peningkatan kualitas dianggap cukup lewat tes. Padahal, kualitas hanya dapat diperoleh lewat
proses. Pemerintah justru harus melihat faktor-faktor penentu berjalannya proses dan sejauh
mana itu sudah terpenuhi di sekolah.

Penerapan standard tunggal evaluasi hasil belajar dalam bentuk ujian nasional saat ini
tampaknya masih sulit diterapkan di Indonesia. Sulitnya penerapan standar tunggal hasil
belajar itu berkaitan erat dengan masih tingginya tingkat disparitas kualitas antarsekolah di
Indonesia. ”Mengacu pada PP No 28/1990 tentang Pendidikan Dasar, penilaian pendidikan
tidak hanya dilakukan dengan mengevaluasi hasil belajar, tetapi juga mencakup proses
belajar-mengajar dan upaya pencapaian tujuan yang dilakukan. Kalau sekarang proses
belajar-mengajarnya saja masih sangat berbeda satu sama lain kualitasnya, hasilnya tentu
juga akan sangat berbeda. Arena pendidikan dari wilayah yang berbeda (desa-kota, misalnya)
pun menyebabkan perbedaan kualitas pendidikan.

D. Kekerasan di Sekolah

Kekerasan di dunia pendidikan kembali terjadi. Beberapa kali kasus selalu terjadi, baik
sekolah kota maupun disekolah yang ada di desa. Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak
(Komnas PA) Arist Merdeka Sirait mengatakan kekerasan terhadap anak di lingkungan
sekolah kembali terjadi karena belum ada tindakan tegas dari pemerintah terhadap pelaku
kekerasan di sekolah. "Guru yang melakukan kekerasan, setahu saya belum ada yang sampai
dipecat karena Menteri menganggap ini hal biasa untuk mendisiplinkan anak. Padahal itu
salah," katanya saat berbincang dengan okezone, Rabu (28/9/2011). Dampaknya, psikologis
anak akan menjadi tertekan. "Itu salah satu proses radikalisme terjadi. Kalau sekolah sudah
mengajarkan kekerasan itu bagian dari menumbuhkan sikap radikal," ujarnya.

Padahal Undang-Udang perlindungan anak tahun 2002 pasal 59 jelas menyebutkan sekolah
wajib menjadi zona anti kekerasan. Guru yang melakukan kekerasan terhadap anak tidak
memenuhi syarat psikologis untuk menjadi tenaga pengajar.
E. Dana Pendidikan

Muhammad Nuh sebagai menteri pendidikan nasional mengajukan tambahan dana untuk
anggaran pendidikan sebesar Rp 11,762 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara Perubahan (APBN-P) 2011. Rencananya tambahan dana ini diajukan untuk
menambah anggaran beasiswa dan juga pendidikan di daerah timur Indonesia. Di satu sisi,
hal ini patut diapresiasi mengingat dana pendidikan di Indonesia akan ditambah. Tentu saja,
jika penyamapaiannya tepat, dana ini akan sangat membantu mereka yang tidak memiliki
akses terhadap pendidikan. Namun di sisi lain, hal ini akan menimbulkan pertanyaan lebih
jauh: akankah dana pendidikan ini tepat sasaran seperti yang diharapkan?. Bahwa dengan
anggaran pendidikan sekarang yang dipatok sebesar 20% dari APBN, masih saja terjadi hal-
hal yang tidak diinginkan. Padahal, pemerintah mematok adanya program wajib belajar
sembilan tahun. Dan kejadian-kejadian di atas terjadi pada daerah pendidikan dasar tersebut.
Oleh karena itu, wajar jika masyarakat akan menilai tambahan dana yang sekalipun akan
dikucurkan tersebut tidak akan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat kecil terkait akses
pendidikan. Realitas yang ada sekarang ini menyatakan hal sebaliknya. Malahan, yang akan
timbul adalah ketakutan akan penyelewengan dana tersebut.

Menambahkan dana pendidikan itu memang perlu namun, untuk apa penambahan tersebut
dilakukan jika harus mengalami kebocoran dimana-mana? Analoginya seperti menambahkan
debit air bersih. Jika debit ditambahkan namun kebocoran pada pipa tetap terjadi, akhirnya
penambahan itu akan sia-sia juga sebab yang membuat debit itu berkurang sampai di
pelanggan bukan hanya masalah besar atau kecilnya debit awal melainkan kebocorannya.
Oleh karena itu, yang seharusnya dilakukan sebelum penambahan dana adalah dengan
menanggulangi kebocoran itu terlebih dahulu. Dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang
dialirkan ke daerah-daerah sudah sepatutnya diawasi pemakaiannya oleh pemerintah daerah.
Jangan sampai dana tersebut sampai pada tangan-tangan yang tidak berhak mendapatkannya.
Jika dana BOS ini sudah terealisasi dengan baik, maka seharusnya masalah uang kursi dan
seragam sekolah tidak lagi harus dipermasalahkan.

A. Kesimpulan

Di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan


Nasional Bab II Pasal 4 telah dinyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional ialah
mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Kemudian dipertegas lagi secara
rinci di dalam GBHN butir 2a dan b. Konsepnya sudah cukup baik. Tetapi di dalam
pelaksanaannya pendidikan afektif belum ditangani semestinya. Kecenderungan
mengarah kepada pengutamaan pengembangan aspek kognitif.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Kemendiknas tahun 2009 mengenai kondisi
sekolah di Indonesia, masih banyak keprihatinan yang harus diperhatikan oleh
segenap bangsa dan tanah air.

Masalah kekerasan yang melanda dunia pendidikan juga menjadi isu hangat yang
sering diperbincangkan. Padahal Undang-Udang perlindungan anak tahun 2002
pasal 59 jelas menyebutkan sekolah wajib menjadi zona anti kekerasan.

B. Saran

Demikianlah yang dapat kami uraikan tentang isu-isu aktual yang terjadi di dunia
pendidikan, kami menyarankan kepada teman-teman yang ingin mengetahui lebih
dalam lagi tentang hal tersebut di atas untuk mencari referensi melalui berbagai
media yang tersedia.

Anda mungkin juga menyukai