Secara fundamental, sekolah merupakan wahana pengembangan intelektual, wadah
untuk mengembangkan potensi/bakat, tempat untuk belajar menanamkan nilai-nilai kemanusiaan, sekaligus proses pembudayaan peradaban yang berkelanjutan dalam menyiapkan generasi penerus bangsa dan sumber daya. Orang tua mempercayakan sepenuhnya untuk menitipkan buah hati mereka di sekolah demi memupuk multi kecerdasan dalam dimensi kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dimensi tersebut idealnya tumbuh dalam diri seorang pelajar, akan tetapi realitanya hal tersebut tidak dapat berkembang secara maksimal karena pendidikan di sekolah lebih terpacu dalam menitikberatkan pada aspek kecerdasan kognitif, sehingga abai dalam pendidikan karakter, kreativitas, dan kecerdasan sosial. Oleh karena sistem dan metode pendidikan yang kurang prima dalam memfokuskan pengembangan pendidikan karakter dan kecerdasan sosial, hal ini berpengaruh pada munculnya permasalahan pelajar yang acapkali melakukan tindak kekerasan yang disebabkan oleh kurangnya praktis penanaman nilai-nilai humanis di sekolah. Data menunjukkan bahwa sebanyak 84 persen anak di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah. Angka ini berdasarkan data yang dirilis Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menurut survei International Center for Research on Women (ICRW). Menurut penelitian Universitas Airlangga (2019), juga menegaskan bahwa hampir sebagian besar siswa pernah mengalami kekerasan, baik di sekitar sekolah maupun di luar sekolah, dan kekerasan yang lebih banyak dialami siswa terjadi di lingkungan sekolah. Pelaku dan korban kekerasan pada umumnya adalah sesama siswa di sekolah. Namun di setiap jenjang pendidikan yang dilalui siswa, pelaku kekerasan berbeda-beda. Di jenjang SD dan SMA pelaku kekerasan terbanyak adalah sesama siswa, sedangkan di jenjang SMP, pelaku kekerasan terbanyak adalah guru di sekolah. Berbagai jenis kekerasan yang dialami murid di sekolah dapat dikategorikan menjadi : kekerasan fisik, kekerasan verbal atau psikis, dan kekerasan simbolis. Bentuk kekerasan lainnya didasarkan atas kadar kekerasan dan kondisi korban yang meliputi kekerasan langsung, kekerasan tidak langsung, kekerasan represif, dan kekerasan alienatif (Salmi, 2005:32). Dalam perkembangannya, pendidikan diharapkan dapat menjadi media inspiratif bagi perubahan kehidupan yang konstruktif. Pangkal permasalahan yang muncul dalam dunia pendidikan bermula dari praktik hukuman yang terkadang berlebihan, membelenggu kebebasan, rendahnya kemandirian, sehingga tidak menumbuhkan kreativitas dan kesadaran siswa. Dilanjutkan dengan proses berlangsungnya imitasi/peniruan dimana pelajar mewarisi kultur kekerasan dari seniornya (Septi Gumiandari, 2009). Mirisnya, kekerasan tidak hanya diwariskan, melainkan terus direproduksi dalam kehidupan pelajar saat ini. Tradisi/ritus dan habitat/situs yang tetap diawetkan, membuka peluang bagi lahirnya reproduksi kekerasan. Kekerasan selalu dihidupkan Kembali oleh oknum-oknum baru seiring dengan transformasi perkembangan zaman (Okamoto & Rozaki, 2006). Apabila dipandang dari perspektif sosiologi, kekerasan pelajar dapat terjadi karena adanya interaksi simbolis yang menjadi kultur di kalangan pelajar. Kekerasan bertindak sebagai simbol kekuasaan, dimana orang yang lebih berkuasa dapat mengintimidasi dan dapat menindas pihak yang lemah. Hal ini berkaitan dengan adanya simbolis antara senior dan junior yang merupakan tradisi dan kebiasaan yang diwariskan, sehingga terjadi ketimpangan hubungan yang mempengaruhi interaksi diantara keduanya. Selanjutnya, kekerasan di kalangan pelajar dapat dipandang melalui perspektif fungsionalis. Kekerasan di kalangan pelajar merupakan bentuk terhambatnya struktur sosial yang disebabkan oleh adanya ketidaksatuan antara interaksi manusia satu, dengan manusia lainnya. Sistem sosial terpengaruh oleh adanya ketimpangan antara siswa satu, dengan siswa lainnya sehingga tidak dapat membentuk fungsi sosial yang utuh. Terakhir, kekerasan di kalangan pelajar dapat dipandang melalui teori kritis, yaitu teori konflik. Kekerasan di kalangan pelajar dapat terjadi karena siswa saling terlibat dalam persaingan sengit. Setiap aktor-aktor memiliki kepentingan berbeda yang harus saling berhadapan, sehingga dapat berujung pada berbagai tindak kekerasan. Konflik antara siswa satu, dengan siswa lainnya terjadi karena adanya persaingan terkait manakah pihak yang lebih berkuasa, sehingga pihak yang berkuasa dapat menindas pihak yang lemah. Oleh karena itu, perlu dipahami bahwa sekolah bukan hanya semata-mata sebagai media belajar dan ruang publik yang ditandai dengan bentuk fisik berupa gedung bertembok dan berpagar tinggi. Namun, sekolah perlu dipandang sebagai ruang dinamis, yang di dalamnya terdapat proses relasional sekaligus praktis berbagai nilai humanis yang beradab dan berbudaya. Spirit pendidikan sesungguhnya adalah membawa perubahan dan pencerahan, yaitu membebaskan dari kondisi ketidakadilan. Pembebasan tidak selalu identik dengan liberalisme, tetapi juga berarti memanusiakan manusia sebagai subjek pendidikan yang memiliki hak untuk hidup sejahtera dan damai. Apabila sekolah disebut sebagai “wadah” reproduksi kekerasan, itu karena sekolah gagal dalam menyelesaikan konflik-konflik yang dialami oleh pelajar. Dengan demikian, kekerasan pelajar perlu dilihat tidak hanya dari perspektif orang dewasa (adult perspective), melainkan juga perlu diselami dari perspektif pelajar itu sendiri (their own perspective). Dengan demikian, upaya solutif untuk mengurai persoalan dan memutus rantai kekerasan pelajar dapat lebih berfokus pada inti persoalannya. Selanjutnya, sekolah perlu direkonstruksi menjadi arena yang kondusif bagi penyemaian nilai-nilai anti kekerasan.