Anda di halaman 1dari 2

Lembayung Luh Jingga

21202244063
Pendidikan Bahasa Inggris

ANALISIS KASUS TINDAK KEKERASAN PELAJAR


DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI

Secara fundamental, sekolah merupakan wahana pengembangan intelektual, wadah


untuk mengembangkan potensi/bakat, tempat untuk belajar menanamkan nilai-nilai
kemanusiaan, sekaligus proses pembudayaan peradaban yang berkelanjutan dalam
menyiapkan generasi penerus bangsa dan sumber daya. Orang tua mempercayakan
sepenuhnya untuk menitipkan buah hati mereka di sekolah demi memupuk multi kecerdasan
dalam dimensi kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dimensi tersebut idealnya tumbuh dalam
diri seorang pelajar, akan tetapi realitanya hal tersebut tidak dapat berkembang secara
maksimal karena pendidikan di sekolah lebih terpacu dalam menitikberatkan pada aspek
kecerdasan kognitif, sehingga abai dalam pendidikan karakter, kreativitas, dan kecerdasan
sosial.
Oleh karena sistem dan metode pendidikan yang kurang prima dalam memfokuskan
pengembangan pendidikan karakter dan kecerdasan sosial, hal ini berpengaruh pada
munculnya permasalahan pelajar yang acapkali melakukan tindak kekerasan yang disebabkan
oleh kurangnya praktis penanaman nilai-nilai humanis di sekolah. Data menunjukkan bahwa
sebanyak 84 persen anak di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah. Angka ini
berdasarkan data yang dirilis Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menurut survei
International Center for Research on Women (ICRW). Menurut penelitian Universitas
Airlangga (2019), juga menegaskan bahwa hampir sebagian besar siswa pernah mengalami
kekerasan, baik di sekitar sekolah maupun di luar sekolah, dan kekerasan yang lebih banyak
dialami siswa terjadi di lingkungan sekolah. Pelaku dan korban kekerasan pada umumnya
adalah sesama siswa di sekolah. Namun di setiap jenjang pendidikan yang dilalui siswa,
pelaku kekerasan berbeda-beda. Di jenjang SD dan SMA pelaku kekerasan terbanyak adalah
sesama siswa, sedangkan di jenjang SMP, pelaku kekerasan terbanyak adalah guru di
sekolah.
Berbagai jenis kekerasan yang dialami murid di sekolah dapat dikategorikan
menjadi : kekerasan fisik, kekerasan verbal atau psikis, dan kekerasan simbolis. Bentuk
kekerasan lainnya didasarkan atas kadar kekerasan dan kondisi korban yang meliputi
kekerasan langsung, kekerasan tidak langsung, kekerasan represif, dan kekerasan alienatif
(Salmi, 2005:32). Dalam perkembangannya, pendidikan diharapkan dapat menjadi media
inspiratif bagi perubahan kehidupan yang konstruktif. Pangkal permasalahan yang muncul
dalam dunia pendidikan bermula dari praktik hukuman yang terkadang berlebihan,
membelenggu kebebasan, rendahnya kemandirian, sehingga tidak menumbuhkan kreativitas
dan kesadaran siswa. Dilanjutkan dengan proses berlangsungnya imitasi/peniruan dimana
pelajar mewarisi kultur kekerasan dari seniornya (Septi Gumiandari, 2009). Mirisnya,
kekerasan tidak hanya diwariskan, melainkan terus direproduksi dalam kehidupan pelajar saat
ini. Tradisi/ritus dan habitat/situs yang tetap diawetkan, membuka peluang bagi lahirnya
reproduksi kekerasan. Kekerasan selalu dihidupkan Kembali oleh oknum-oknum baru seiring
dengan transformasi perkembangan zaman (Okamoto & Rozaki, 2006).
Apabila dipandang dari perspektif sosiologi, kekerasan pelajar dapat terjadi karena
adanya interaksi simbolis yang menjadi kultur di kalangan pelajar. Kekerasan bertindak
sebagai simbol kekuasaan, dimana orang yang lebih berkuasa dapat mengintimidasi dan dapat
menindas pihak yang lemah. Hal ini berkaitan dengan adanya simbolis antara senior dan
junior yang merupakan tradisi dan kebiasaan yang diwariskan, sehingga terjadi ketimpangan
hubungan yang mempengaruhi interaksi diantara keduanya. Selanjutnya, kekerasan di
kalangan pelajar dapat dipandang melalui perspektif fungsionalis. Kekerasan di kalangan
pelajar merupakan bentuk terhambatnya struktur sosial yang disebabkan oleh adanya
ketidaksatuan antara interaksi manusia satu, dengan manusia lainnya. Sistem sosial
terpengaruh oleh adanya ketimpangan antara siswa satu, dengan siswa lainnya sehingga tidak
dapat membentuk fungsi sosial yang utuh. Terakhir, kekerasan di kalangan pelajar dapat
dipandang melalui teori kritis, yaitu teori konflik. Kekerasan di kalangan pelajar dapat terjadi
karena siswa saling terlibat dalam persaingan sengit. Setiap aktor-aktor memiliki kepentingan
berbeda yang harus saling berhadapan, sehingga dapat berujung pada berbagai tindak
kekerasan. Konflik antara siswa satu, dengan siswa lainnya terjadi karena adanya persaingan
terkait manakah pihak yang lebih berkuasa, sehingga pihak yang berkuasa dapat menindas
pihak yang lemah.
Oleh karena itu, perlu dipahami bahwa sekolah bukan hanya semata-mata sebagai
media belajar dan ruang publik yang ditandai dengan bentuk fisik berupa gedung bertembok
dan berpagar tinggi. Namun, sekolah perlu dipandang sebagai ruang dinamis, yang di
dalamnya terdapat proses relasional sekaligus praktis berbagai nilai humanis yang beradab
dan berbudaya. Spirit pendidikan sesungguhnya adalah membawa perubahan dan pencerahan,
yaitu membebaskan dari kondisi ketidakadilan. Pembebasan tidak selalu identik dengan
liberalisme, tetapi juga berarti memanusiakan manusia sebagai subjek pendidikan yang
memiliki hak untuk hidup sejahtera dan damai.
Apabila sekolah disebut sebagai “wadah” reproduksi kekerasan, itu karena sekolah
gagal dalam menyelesaikan konflik-konflik yang dialami oleh pelajar. Dengan demikian,
kekerasan pelajar perlu dilihat tidak hanya dari perspektif orang dewasa (adult perspective),
melainkan juga perlu diselami dari perspektif pelajar itu sendiri (their own perspective).
Dengan demikian, upaya solutif untuk mengurai persoalan dan memutus rantai kekerasan
pelajar dapat lebih berfokus pada inti persoalannya. Selanjutnya, sekolah perlu direkonstruksi
menjadi arena yang kondusif bagi penyemaian nilai-nilai anti kekerasan.

Anda mungkin juga menyukai