Anda di halaman 1dari 9

UJIAN AKHIR SEMESTER PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

PRODI PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS – FBS UNY 2022


Lembayung Luh Jingga
21202244063
PBI H

1. Jelaskan hubungan Pendidikan, Demokrasi dan Kewarganegaraan!


Jawab:
Istilah “Demokrasi” dipopulerkan pertama kali oleh bangsa Yunani, yang mana
istilah tersebut diambil dari bahasa Yunani, yaitu demos yang berarti ‘rakyat’ dan
kratos yang berarti ‘pemerintahan’. Pengertian tentang demokrasi diperluas kembali
oleh presiden Amerika Serikat ke-16, yaitu Abraham Lincoln yang menjelaskan bahwa
demokrasi merupakan sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Dwi Sulisworo dkk. dalam Bahan Ajar Demokrasi menjelaskan bahwa hakikat
demokrasi pemerintahan dari rakyat, mengandung pengertian tentang pemerintahan
yang sah di mata rakyat dan mendapat dukungan penuh oleh rakyat sehingga
pemerintah dapat menjalankan birokrasi dan program-programnya sesuai dengan suara
rakyat. Selanjutnya, pemerintahan oleh rakyat mengandung pengertian bahwa suatu
pemerintahan harus dijalankan atas nama rakyat, bukan atas dorongan sendiri. Proses
pengawasan pemerintahan tersebut juga dilakukan oleh rakyat, baik melalui
pengawasan langsung, maupun melalui lembaga-lembaga pengawas pemerintahan.
Demokrasi juga berarti pemerintahan untuk rakyat, di mana kekuasaan pemerintah
yang diberikan oleh rakyat merupakan bentuk kepercayaan masyarakat kepada
pemerintah untuk menjalankan kepentingan rakyat.
Pada dasarnya, demokrasi merupakan sistem pemerintahan di mana kekuasaan
tertinggi berada di tangan rakyat. Dengan demikian, rakyat memiliki wewenang yang
penting dalam menentukan berjalannya suatu pemerintahan. Bangsa Indonesia sendiri
merupakan negara hukum yang memegang erat prinsip demokrasi dalam menjalankan
pemerintahan. Prinsip demokrasi yang dijalankan bangsa Indonesia tidak hanya
dijalankan dalam kehidupan politik, melainkan juga dijalankan pada kehidupan sehari-
hari masyarakat Indonesia di berbagai bidang. Prinsip demokrasi tersebut didasarkan
pada sila dari Pancasila, yaitu sila ke-4 yang berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Oleh karena itu, untuk
mensiasati penegakan demokrasi di Indonesia, maka diperlukan adanya
kewarganegaraan yang setara (equal citizenship). Konsep kewarganegaraan sendiri
terbentuk dari istilah “warga negara”. Berdasarkan UUD NRI 1945 pasal 26 ayat (1),
warga negara didefinisikan sebagai orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang
bangsa lain yang telah disahkan dengan undang-undang yang berlaku sebagai warga
negara. Kewarganegaraan merupakan hubungan individu terhadap negara sehingga
warga negara memiliki hak dan kewajiban penuh kepada negara yang mereka jadikan
sebagai identitas kebangsaan (nationality).
Sebagai negara demokrasi, maka negara tersebut wajib menjamin
kewarganegaraan demokratis. Kewarganegaraan demokratis tidak hanya menyangkut
tentang praktik politik, melainkan juga menyangkut hak-hak dan kewajiban sipil. Hak
yang menyangkut dalam kewarganegaraan demokratis tersebut diwujudkan dalam hak
asasi manusia. Hak asasi manusia merupakan hak dasar/hak kodrati yang melekat pada
diri manusia semenjak manusia tersebut dilahirkan. Negara demokrasi dengan
kewarganegaraan demokratis wajib menjamin perlindungan hak asasi bagi setiap
warganya. Negara Republik Kesatuan Indonesia telah menyempurnakan instrumen
undang-undang yang melindungi hak asasi manusia bagi warga negaranya. Instrumen
hukum terkait HAM di Indonesia diatur dalam UUD NRI 1945 pasal 28A-28 J dan
juga TAP MPR Nomor XVII/MPR/I998. Pasal-pasal yang terkandung pada TAP MPR
tersebut, ditindaklanjuti melalui Undang-Undang No.39 Tahun 1999. Salah satu hak
dasar yang dilindungi oleh negara di Indonesia adalah hak untuk mendapatkan
pendidikan yang layak. Hak pendidikan tersebut diatur dalam UUD NRI 1945 pasal
28C ayat (1) yang berbunyi “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui
pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh
manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan
kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”. Perlindungan hak asasi
untuk mendapatkan pendidikan tersebut juga diperluas oleh Undang-Undang No.39
Tahun 1999 pasal 12 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas perlindungan bagi
pengembangan pribadinya, untukmmemperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan
meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa,
bertanggung jawab, berakhlak mulia, bahagia, dan sejahtera sesuai dengan hak asasi
manusia”.
Hak asasi untuk mendapatkan pendidikan yang layak menjadi kewajiban utama
yang perlu dilindungi dan difasilitasi oleh negara. Mutu pendidikan perlu ditingkatkan
agar negara dapat mencetak generasi-generasi emas yang berkualitas sehingga dapat
mengharumkan bangsa dan negara. Fungsi dan tujuan pendidikan nasional ini telah
tercantum pada Undang-Undang Republik Indonesia (RI) No. 20 Tahun 2003 pasal 3
tentang SISDIKNAS yang berbunyi “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Dengan demikian, maka diperlukan
suatu sistem pendidikan yang berkualitas sehingga dapat meningkatkan mutu
pendidikan di Indonesia. Salah satu sistem pendidikan yang baik diterapkan dalam
kurikulum pendidikan di Indonesia adalah demokrasi dalam pendidikan (Democracy
Education). Demokrasi Pendidikan merupakan suatu metode pendidikan yang
memberikan kesempatan pendidikan setara kepada semua orang tanpa membedakan
ras, suku, agama, golongan, dan status sosial.
Demokrasi pendidikan tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia
(RI) No. 20 Tahun 2003 pasal 4 ayat (1) yang menyebutkan bahwa pendidikan di
Indonesia diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan. Demokrasi dalam
pendidikan didukung oleh teori John Dewey yang menerapkan metode pendidikan
dengan upaya disiplin. Metode pengajaran displin berarti seorang mengarahkan
pembelajaran dengan cara: Membuang segala bentuk paksaan dalam proses
pendidikan, Memunculkan minat siswa melalui proses intimisasi guru dengan
kecakapan dan minat setiap murid, Penciptaan suasana kelas yang partisipatif sehingga
setiap elemen kelas turut berpartisipasi dalam proses belajar. Konsep demokrasi dalam
pendidikan menurut Dewey merupakan pendidikan dengan kebebasan. Kebebasan yang
dimaksud oleh Dewey merupakan kebebasan intelegensi, di mana manusia dapat
menentukan caranya sendiri dalam mengolah ilmu pengetahuan yang mereka dapatkan.
Apabila bangsa Indonesia dapat mengembangkan konsep Pendidikan Demokrasi di
seluruh institusi-institusi pendidikan, maka bangsa Indonesia mampu mencapai tujuan
pendidikan nasional yang sesuai dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.
Dengan demikian, konsep negara demokrasi yang menaungi hak asasi warganya,
khususnya dalam hak asasi pendidikan dapat tercapai. Dengan sistem pendidikan yang
baik dan terjamin, maka bangsa Indonesia dapat menjadi bangsa yang berkualitas
sehingga menghasilkan masyarakat intelektual dan dapat bersaing dengan negara
lainnya di kancah dunia.

2. Apa yang membedakan Demokrasi Pancasila berbeda dengan demokrasi lainnya?


Jawab:
Demokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan yang berpusat pada
kedaulatan rakyat. Seiring dengan berkembangnya zaman, sistem demokrasi mulai
berkembang menjadi berbagai model demokrasi yang telah disesuaikan dengan
lingkungan dan budaya masyarakat. Model demokrasi tersebut dapat dibagi menjadi
Demokrasi Liberal, Demokrasi Terpimpin, Demokrasi Sosial, Demokrasi Partisipasi,
Demokrasi Konstitusional, dan lain sebagainya. Pada dasarnya, prinsip demokrasi
bertumpu pada kebebasan hak asasi masyarakat sehingga pemerintah wajib menaungi
dan mengaspirasikan suara-suara rakyat. Nilai-nilai demokrasi yang diterapkan
seharusnya mengandung nilai penghargaan atas kesamaan, penghargaan akan
partisipasi dalam kehidupan bersama, penghargaan atas kebebasan, dan penghargaan
atas perbedaan. Oleh karena itu, untuk mewujudkan nilai-nilai demokrasi yang dapat
menuntun rakyat menuju kesejahteraan, maka dibutuhkan suatu sistem demokrasi yang
baik agar tercipta suatu masyarakat yang makmur.
Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki sistem demokrasi yang berbeda
dengan sistem demokrasi pada negara-negara lainnya. Indonesia menganut sistem
Demokrasi Pancasila, di mana prinsip demokrasi tersebut didasarkan pada falsafah
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pelaksanaan demokrasi di Indonesia
identik dengan pengamalan nilai-nilai Pancasila sebagai pandangan hidup masyarakat
Indonesia. Demokrasi Pancasila juga didasarkan pada asas kekeluargaan yang
mengandung unsur-unsur religius, berbudaya, dan berbudi pekerti luhur. Terdapat dua
aspek yang dapat menjabarkan isi dari Demokrasi Pancasila, yaitu Aspek Material dan
Aspek Formal. Aspek Material meliputi substansi dan isi yang menjelaskan tentang
pengakuan terhadap harkat dan martabat manusia. Demokrasi Pancasila tidak hanya
difungsikan dalam demokrasi politik saja, melainkan juga difungsikan dalam prinsip
demokrasi ekonomi dan sosial. Aspek Formal menjelaskan tentang proses pengambilan
suara rakyat dalam memutuskan pelaksana lembaga perwakilan rakyat. Dalam hal ini,
Demokrasi Pancasila menekankan musyawarah mencapai mufakat dalam mengambil
suatu keputusan. Penekanan musyawarah tidak hanya digunakan pada kegiatan politik,
melainkan juga digunakan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat Indonesia.

Meskipun Demokrasi Pancasila yang dianut oleh sistem pemerintahan di


Indonesia menjunjung tinggi adanya Hak Asasi Manusia, akan tetapi pelaksanaan Hak
Asasi Manusia tersebut dibatasi dengan adanya undang-undang yang berlaku dan juga
dibatasi oleh nilai-nilai moral yang sesuai dengan budaya masyarakat Indonesia. Hal
inilah menjadi perbedaan antara praktik Demokrasi Pancasila dengan demokrasi
lainnya, khususnya Demokrasi Liberal dan Demokrasi Otoriter
(Komunis/Marxis/Sosialis). Liberalisme diartikan sebagai kebebasan untuk bertindak,
berpendapat, dan berbagai kebebasan yang berkaitan dengan terpenuhinya tuntutan
HAM. Konsep Demokrasi Liberalisme ini mengandung pemikiran Individualistik, di
mana negara memiliki batasan kekuasaan dalam mengatur hak-hak pribadi masyarakat.
Paham Liberalisme memandang bahwa manusia merupakan makhluk yang bebas
sehingga peran pemerintah sangat kecil dalam mengatur kehidupan masyarakatnya.
Demokrasi Otoriter dinilai memiliki konsep yang sangat kontradiktif dengan konsep
Demokrasi Liberal. Konsep Demokrasi Otoriter diambil dari ide pemikiran filsuf Karl
Marx, yang mana paham tersebut menolak teori hak-hak alami karena hak yang
dimiliki oleh manusia dianggap sebagai bagian dari kontrol negara sehingga
masyarakat diwajibkan memiliki status sosial yang sama rata, serta sama rasa.
Pada kenyataannya, Demokrasi Liberal dan Demokrasi Otoriter masih memiliki
kekurangan dalam praktisnya. Praktik Demokrasi Liberal menyebabkan adanya
kesenjangan antara masyarakat dengan status ekonomi kuat, dengan masyarakat yang
memiliki status ekonomi lemah. Selain itu, praktik Demokrasi Liberal menyebabkan
kurangnya kekuatan negara dalam menegakkan hukum tanpa pandang bulu, serta
kurangnya peran negara dalam mengontrol tindakan masyarakatnya. Hal ini tentunya
akan berakibat fatal sehingga hal ini dapat menyebabkan angka kriminalitas semakin
tinggi. Salah satu contoh nyata dari kurang tercapainya praktik Demokrasi Liberal
adalah maraknya penembakan murid-murid sekolah dasar di Amerika Serikat. Tindak
kriminal yang sangat berbahaya dan sangat merugikan warganya ini disebabkan oleh
adanya persetujuan izin masyarakat Amerika Serikat untuk memiliki senjata api secara
bebas. Dalam hal ini, persetujuan izin masyarakat Amerika Serikat dalam memiliki
senjata api akan berakibat kepada maraknya kasus kriminal atas dasar kepuasan
subjektif masing-masing pribadi. Dengan demikian, kebebasan hak asasi manusia yang
diberikan oleh negara disalahgunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab.
Selanjutnya, praktik Demokrasi Otoriter juga dinilai kurang berhasil dalam
mengelola suatu negara menjadi negara yang makmur dan sejahtera. Demokrasi
Otoriter tidak mengakui adanya hak asasi manusia terhadap rakyatnya sehingga hal ini
tentunya telah melanggar esensi hak asasi manusia itu sendiri, sebab sistem tersebut
telah merampas hak-hak yang dimiliki secara naluriah. Kebebasan dalam menentukan
hak milik juga sangat dibatasi oleh negara sehingga hanya golongan tertentu saja yang
dapat memiliki kekuasaan atas kepemilikan. Hal ini tentunya akan berakibat fatal
karena pemerintah cenderung bertindak sewenang-wenang sehingga menyebabkan
masyarakatnya merasa tertindas. Dengan demikian, maka Demokrasi Otoriter dinilai
sebagai demokrasi yang tidak manusiawi karena sistem yang dijalankan tersebut tidak
mengkaji secara jangka panjang tentang bagaimana nasib rakyatnya di masa depan.
Demokrasi tersebut hanya berfokus pada kekuatan penguasa dan hanya berfokus
meningkatkan kedudukan negara. Hal ini tentunya akan menciptakan sikap
chauvinisme sehingga dapat menimbulkan pertikaian antar bangsa-bangsa.
Oleh karena itu, bangsa Indonesia membutuhkan suatu sistem pemerintahan
yang sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia. Demokrasi Pancasila
dapat dinilai sebagai sistem demokrasi yang sesuai karena sistem demokrasi tersebut
bersifat moderat sehingga tidak hanya berpihak kepada salah satu sisi saja. Demokrasi
Pancasila dinilai sebagai sistem yang sesuai, sebab sistem demokrasi ini menghargai
hak asasi manusia, serta menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Meskipun demokrasi ini
menghargai kebebasan hak asasi, akan tetapi hak asasi yang dijalankan juga tetap
berada di bawah naungan instrumen hukum yang berlaku. Hak asasi yang
dikembangkan oleh sistem Demokrasi Pancasila harus mencerminkan keseimbangan
antara unsur-unsur hakikat kemanusiaan sehingga tidak condong kepada ekstrem
individualistik dan tidak condong kepada ekstrem sosialistis. Dengan demikian,
pelaksanaan hak asasi pada sistem Demokrasi Pancasila dapat dijalankan secara adil
tanpa adanya ketimpangan status sosial dan golongan yang berkuasa. Demokrasi
Pancasila diharapkan dapat memprioritaskan rasa kekeluargaan dan kesejahteraan
Bersama di atas kepentingan pribadi dan kepentingan golongan.

3. Mengapa kualitas demokrasi kita masih sangat memprihatinkan?


Jawab:
Demokrasi Pancasila dinilai sebagai demokrasi yang baik diterapkan di
Indonesia karena Demokrasi Pancasila bersifat moderat, serta menjunjung tinggi
kedaulatan rakyat. Namun, dalam realitanya, pelaksanaan demokrasi di Indonesia
masih berada dalam kualitas rendah, serta indeksnya semakin menurun setiap
tahunnya. Hal ini disebabkan karena demokrasi dianggap hanya menguntungkan para
elit politik sehingga rakyat belum dapat merasakan dampak dari demokrasi yang
signifikan, terutama terhadap kesejahteraan dan kemakmuran masyarakatnya.
Demokrasi yang dijalankan seolah-olah semakin condong kepada Demokrasi Liberal
karena dianggap hanya mensejahterakan golongan dan status sosial tertentu. Penyebab
lain yang mempengaruhi kualitas demokrasi di Indonesia sangat memprihatinkan, yaitu
karena banyaknya praktik korupsi yang semakin marak dilakukan oleh elit-elit negara.
Selanjutnya, ancaman kebebasan berekspresi dan kebebasan menyatakan pendapat
semakin dikekang, baik oleh negara, maupun masyarakat yang bersangkutan. Hal ini
juga diperparah dengan penegakan hukum yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Kegagalan pemerintah dalam mengelola demokrasi negara tentunya akan
berdampak besar di kemudian hari. Hal ini akan berakibat pada penyalahgunaan
kekuasaan yang akan menindas kaum-kaum di bawahnya. Salah satu contoh bentuk
kegagalan pemerintah dalam merealisasikan demokrasi adalah pengesahan RUU
KUHP. Pengesahan RUU KUHP menjadi isu yang besar di masyarakat sejak 2 tahun
lalu. DPR terus enggan memaparkan transparasi draft RUU KUHP kepada masyarakat.
Pengesahan RUU KUHP sempat mendapat penolakan sebab terdapat beberapa pasal
bermasalah yang dapat merugikan keutuhan demokrasi rakyat Indonesia. Salah satu
contoh pasal bermasalah tersebut, yakni pasal 353 ayat (1) yang berbunyi “Setiap
Orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau
lembaga negara dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6
(enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II”. Selanjutnya, contoh pasal
bermasalah dalam RUU KUHP, yakni pasal 354 yang berbunyi “Setiap Orang yang
menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar atau
memperdengarkan rekaman, atau menyebarluaskan melalui sarana teknologi
informasi yang berisi penghinaan kekuasaan umum atau lembaga negara, dengan
maksud agar isi penghinaan tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling
banyak kategori III”.
Dalam pasal 353, tercantum jelas bahwa pasal-pasal tersebut ditujukan untuk
melindungi kekuasaan umum atau lembaga negara dihormati. Dengan makna tersirat,
bahwa pasal-pasal tersebut ditujukan untuk melindungi DPR, DPRD, Kepolisian,
Kejaksaan, Kepala Daerah, dan lembaga negara lainnya. Padahal sejatinya, apabila
lembaga negara tersebut telah menerapkan kinerja yang baik, maka untuk melindungi
martabatnya tidak diperlukan pasal-pasal hukum untuk memidana masyarakat yang
unjuk rasa atas kinerja pemerintah. Tentunya pasal-pasal berikut harus diobservasi
terlebih dahulu, apakah pasal tersebut telah sesuai dengan hak asasi dan demokrasi
rakyat Indonesia, sebab pasal tentang menghormati kekuasaan tersebut sangat
berbenturan dan bertolakbelakang dengan kebebasan berpendapat, atau kebebasan
berekspresi. Dengan demikian, pengasahan RUU KUHP terus menjadi polemik di
tengah masyarakat, sebab masyarakat mendapat pembatasan kebebasan berbicara atas
nama menjaga “martabat” lembaga negara. Tentu saja pengesahan RUU KUHP ini
akan menyeleweng dari poin-poin UUD 1945 tentang demokrasi dan kebebasan
berpendapat, khususnya pada pasal 28, yang berbunyi “Kemerdekaan berserikat dan
berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan
dengan undang-undang”. Apabila hal ini direalisasikan, maka istilah demokrasi yang
menjadi hak asasi masyarakat Indonesia hanya sekadar ada di atas “kertas”. Dalam hal
ini, maka akan tercipta suatu ketimpangan antara penguasa dan rakyat, serta hal
demikian akan menyalahi asas hukum “Equality Before the Law”, dimana seharusnya
semua pihak memiliki posisi yang setara di hadapan hukum, baik itu penguasa, maupun
rakyat negara.

4. Cari data tentang kualitas demokrasi kita menurut beberapa sumber, berikan saran
untuk meningkatkannya?
Jawab:
Dilansir dari artikel “Dua Tahun Terakhir, Demokrasi Indonesia Alami
Penurunan” (Maulana, Arief. 2022, https://www.unpad.ac.id/2022/01/dua-tahun-
terakhir-demokrasi-indonesia-alami-penurunan/), Dosen Departemen Ilmu Politik
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran Dr. Caroline Paskarina,
M.Si., menyebut kualitas demokrasi Indonesia pada 2021 menurun dibandingkan 2019
berdasarkan data Indeks Demokrasi Indonesia Badan Pusat Statistik. Ada banyak riset
yang menjabarkan penyebab penurunan demokrasi tersebut. Beberapa di antaranya
laporan rutin The Economist Intelligence Unit (EIU), Indeks Demokrasi Indonesia, dan
2021 Democracy Report yang menunjukkan pengurangan signifikan kebebasan sipil,
pluralisme, dan fungsi pemerintahan.
Data dari The Economist Intelligence Unit (EIU) menunjukkan indeks
demokrasi Indonesia mengalami penurunan dan berada pada kondisi demokrasi tidak
sempurna. Pada tahun 2014 indeks demokrasi 6,79, sementara saat ini merosot menjadi
6,3 dan peringkat merosot dari 48 menjadi 64. Selain itu, berdasarkan data dari
Transparency International, indeks demokrasi menurun dari angka 40 menjadi 37
dengan kemerosotan peringkat dari 102 menjadi 108. Dari 5 indikator penilaian,
Indonesia mendapat nilai 7,92 untuk proses pemilu dan pluralisme, 7,14 fungsi
pemerintah, 6,11 partisipasi politik, 5,63 budaya politik demokrasi, dan 5,59 kebebasan
sipil.
Penuruan kualitas tersebut menunjukkan pergeseran pola demokrasi Indonesia,
yang semula demokrasi elektoral menjadi demokrasi yang cacat (flowed democracy).
Oleh karena itu, dibutuhkan adanya penguatan budaya demokrasi, baik dari
masyarakat, maupun dari penguasa. Kelompok oposisi perlu bersikap kritis dan
objektif terhadap polemik yang sedang terjadi, serta perlu mengkaji kembali tentang
realisasi demokratisasi di Indonesia. Selama ini, kontrol pemerintah terhadap
penegakan demokrasi semakin lemah, serta banyak oknum yang memanfaatkan jabatan
untuk bertindak sewenang-wenang dan menindas masyarakat. Lembaga pemerintahan
sebagai perwakilan suara rakyat sudah seharusnya menjalankan aspirasi rakyat, bukan
malah bertolakbelakang dengan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat.
Dalam hal ini, maka masyarakat perlu selektif dalam melaksanakan pemilu dan
memilih capres atau caleg yang sekiranya kompeten di bidangnya sehingga dapat
menyalurkan aspirasi masyarakat. Pemilu harus didudukkan dalam perspektif
konstitusi dan kedaulatan rakyat karena Pilkada, Pileg dan Pilpres merupakan
pengejawantahan dari kedaulatan rakyat, sehingga wakil rakyat harus mendengarkan
suara rakyat. Hal itu juga sebagai bentuk konsistensi kepada konstitusi, sebagaimana
dalam UUD 1945 pasca amandemen pada pasal 1 ayat 2 bahwa kedaulatan berada
ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD.
Sebaiknya praktik demokrasi di Indonesia harus kembali didasarkan pada
Pancasila dan instrumen hukum yang berlaku, bukan didasarkan pada kepentingan
masing-masing penguasa. Demokrasi disepanjang era reformasi masih bersifat
prosedural, belum substansial. Pemilu dilaksanakan belum dilakukan secara luber dan
jurdil sehingga belum menghasilkan wakil rakyat atau pemimpin daerah yang
berkualitas dan berintegritas. Seharusnya, presiden memiliki kuasa untuk menentukan
manakah wakil rakyat yang harus dipertahankan kinerjanya, serta manakah wakil
rakyat yang harus diundurkan dari jabatannya. Pemerintah juga harus memiliki
transparansi kepada masyarakat atas rancangan undang-undang yang akan disahkan,
sebab hal ini memiliki dampak yang besar bagi kesejahteraan masyarakat umum.
Fakta ini juga seharusnya mampu menjadi refleksi bagi masyarakat dan
penguasa atas eksistensi demokrasi ke depannya. Dibutuhkan adanya persamaan rasa
dan persamaan senasib sepenanggungan antara masyarakat dan penguasa sehingga
permasalahan terkait demokrasi dapat diselesaikan bersama. Apabila unsur-unsur
negara terpecah-belah, maka keutuhan negara akan dipertanyakan di masa depan. Maka
dari itu, pemerintah dan masyarakat harus memiliki kesadaran untuk meningkatkan
budaya demokrasi di tengah-tengah isu yang sedang terjadi.

5. Bagaimana prospek demokratisasi di Indonesia ke depan? Berikan argumen atas


prediksi anda!
Jawab:
Demokrasi atau kedaulatan rakyat merupakan hak fundamental bagi
pelaksanaan HAM lainnya, termasuk untuk menyuarakan dan memperjuangkan hak-
hak lain ketika negara luput memuhi keinginan masyarakat. Namun sayangnya,
konstelasi politik yang ada belum memungkinkan tumbuhnya demokrasi yang
sebenarnya karena masih banyaknya rekayasa dan permasalahan yang terjadi di
dalamnya. Banyak sekali polemik demokrasi yang terjadi pada saat masa reformasi.
Pergolakan politik berkenaan dengan pengesahan rancangan undang-undang seperti
RUU Cipta Kerja, RUU KUHP, Revisi UU KPK, UU ITE, dan lain sebagainya,
menunjukkan indikasi bahwa demokrasi yang dijalankan masih dinilai cacat, bahkan
indeksnya selalu menurun setiap tahunnya. Tidak hanya itu, konflik yang terjadi antar
masyarakat masih kerap terjadi, seperti diskriminasi antar umat beragama, penindasan
kaum mayoritas terhadap kaum minoritas, bermunculannya ideologi intoleran dan
kejahatan terorisme, menjadi tantangan demokrasi yang harus dihadapi saat ini.
Apabila permasalahan-permasalahan yang terjadi tidak ditindaklanjuti secara
serius, maka hal ini akan menyebabkan prospek demokratisasi di Indonesia kedepannya
menjadi buruk. Banyak masyarakat yang terpecah-belah, serta maraknya tirani
penguasa terhadap masyarakat menunjukkan awal kehancuran bangsa Indonesia. Hal
tersebut sangat ironis karena kedaulatan ada di tangan rakyat dan partisipasi rakyat
adalah hal yang mutlak sekaligus kunci dari demokrasi itu sendiri. Hal-hal tersebut
berpotensi menciderai prinsip-prinsip Demokrasi Pancasila dan memecah belah
persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan ini,
maka pemerintah dan masyarakat perlu bekerjasama untuk mencapai stabilitas nasional
yang diharapkan.
Pemerintah perlu menerapkan akuntabilitas dalam kinerjanya sehingga
pemerintah yang mendapat kepercayaan oleh rakyat dalam memegang jabatan harus
bertanggungjawab atas kebijaksanaan yang hendak ditempuhnya. Dalam suatu negara
yang demokratis, setiap masyarakat wajib mendapatkan hak-hak dasar secara bebas,
termasuk hak kebebasan berpendapat, (freedom of expression), hak untuk berkumpul
dan berserikat (freedom of assembly), dan hak menikmati pers yang bebas (freedom
of press). Tuntutan dan kritik dari masyarakat seharusnya bisa menjadi koreksi yang
baik bagi pelaksanaan pemerintahan. Seharusnya, pemerintah mendengarkan aspirasi
rakyatnya dan meninjau kembali segala kebijakan-kebijakan yang telah diterapkan,
apakah kebijakan tersebut sudah mewakili rakyat, atau malah merugikan rakyat.
Oleh karena itu, agar masa depan demokrasi di Indonesia memiliki kejelasan
arah, maka diperlukan upaya untuk menjalankan demokrasi yang bebas, adil, jujur,
serta bijaksana. Legitimasi harus ditingkatkan kembali, sebab legitimasi menjadi tolok
ukur keberhasilan suatu demokrasi, yang mana dalam legitimasi tersebut, suara rakyat
menjadi referensi birokrasi kepemerintahan. Dengan demikian, diharapkan demokrasi
di Indonesia dapat berkembang menjadi lebih baik, serta dapat mengangkat derajat dan
martabat rakyat, agar setara dengan martabat penguasa.

Anda mungkin juga menyukai