Anda di halaman 1dari 3

Ekosistem sekolah yang baik dan kondusif dapat mendorong peserta didik

mengembangkan potensi terbaiknya. Sekolah harus menjadi tempat yang aman dan
nyaman untuk peserta didik menimba ilmu. Tidak hanya mempelajari materi pelajaran,
tapi juga mempelajari cara bersosialisasi, pengembangan bakat dan minat serta
mengembangkan karakter-karakter baik.

Akan tetapi, sangat disayangkan di satuan pendidikan masih banyak kasus perundungan
pada peserta didik. Ini mengakibatkan efek negatif baik pada korban maupun pelaku.
Menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia kasus perundungan terhadap anak
lebih banyak terjadi dialami siswa Sekolah Dasar.

Perundungan tidak hanya terjadi secara langsung atau secara fisik, tetapi juga sudah
merambah kepada dunia maya yang disebut dengan cyber bullying. Bahkan kasus cyber
bullying meningkat seiring anak-anak banyak menghabiskan waktu di sosial media,
terutama di masa pandemi Covid-19 ini.

Terkait hal ini, Kemendikbudristek melalui Direktorat Sekolah Dasar memandang perlu
edukasi dan memperkuat guru, orang tua maupun pemangku kepentingan terkait bentuk
maupun dampak dari perundungan dengan melalui webinar yang bertajuk setop
perundungan, ciptakan sekolah aman, nyaman dan menyenangkan, pada 28 September
2021. Webinar bisa disaksikan ulang melalui link berikut ini:

Menurut Mulia Sari Dewi, M.Si., Dosen Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, para ahli perundungan adalah tindakan kekerasan atau tindakan agresif yang
terjadi berulang-ulang. Itu kemudian membuat para pelakunya merasa senang dengan
apa yang dia lakukan kepada korbannya.

“Perundungan ini bukan hanya terjadi dari orang per orang, tapi antar kelompok. Oleh
kelompok kecil atau geng melawan 1 atau melawan kelompok lain. Perundungan juga
bisa terjadi di luar lingkungan sekolah oleh kelompok besar atau kerumunan massa,”
papar Mulia Sari Dewi.

Ia melanjutkan, perundungan sendiri memiliki beberapa jenis. Di antaranya cyberbullying


yang merupakan tindakan yang dilakukan secara sadar untuk merugikan atau menyakiti
orang lain. Itu bisa dilakukan melalui gangguan komputer, jejaring sosial di dunia maya,
telepon seluler dan peralatan elektronik lainnya.

Kemudian ada perundungan fisik, yaitu merupakan tindakan yang mengakibatkan


seseorang secara fisik terluka akibat digigit, dipukul, ditendang dan bentuk serangan fisik
lainnya. Selanjutnya, ada jenis perlindungan social, yaitu mencakup perilaku seperti
menolak, memeras, mempermalukan, menilai karakteristik pribadi, memanipulasi
pertemanan dan mengucilkan.

“Yang terakhir ada perundungan verbal, yaitu meliputi perilaku kekerasan melalui
intimidasi atau ancaman kekerasan, ejekan atau komentar rasis. Tidak hanya itu, dia juga
melakukan bahasa bernada seksual atau menggoda ejekan dengki atau membuat
komentar kejam,” tuturnya.

Mulia Sari Dewi menegaskan, ketika mulai melihat ada perilaku anak yang senang
melakukan kekerasan, hal tersebut harus diwaspadai sebelum perlindungan terjadi pada
orang lain.

“Dalam perundungan ini ada beberapa pihak yang berkait, yang paling umum terbagi
tiga yaitu pelaku orang yang melakukan kekerasan. Yang kedua adalah korban yang
mendapatkan kekerasan dari pelaku. Yang ketiga adalah orang-orang yang ada di sekitar
peristiwa perundungan, baik yang mendukung pelaku maupun yang membela korban,”
kata Mulia Sari Dewi.

Mulia menjelaskan, ada beberapa alasan kenapa korban perundungan tidak ingin
melaporkan kejadian-kejadian tersebut. Pertama, mereka takut akan pembalasan. Merasa
malu karena tidak bisa membela diri. Bisa juga takut tidak percaya, tidak ingin membuat
khawatir orang tua, takut nasihat orang tua, takut guru akan memberitahu si pengganggu
dan dianggap menjadi pengadu.

“Sementara orang lain yang malas melaporkan kejadian perundungan mereka merasa
khawatir bahwa campur tangan akan membuat mereka menjadi target berikutnya. Salah
percaya bahwa tidak ada orang yang bertanggung jawab untuk menghentikan intimidasi,
tidak hadirnya guru atau orang tua dan keengganan saksi melapor menambah peluang
terjadinya perundungan,” kata Mulia.

Sementara itu, masyarakat bisa melakukan identifikasi dengan mengenali ciri-ciri pelaku
perundungan. Pertama dia cenderung agresif, sedikit di bawah rata-rata dalam intelegensi
dan kemampuan membaca, popularitas rata-rata, tidak memiliki banyak empati untuk
korban.

Sedangkan ciri-ciri korban perundungan di antaranya adalah siswa di kelas yang


cenderung lebih kecil dan lebih lemah daripada rekan-rekan mereka. Mereka yang tidak
tegas dan tidak kompeten secara sosial lebih cenderung menjadi korban perundungan.
Dan orang-orang yang memiliki banyak teman cenderung lebih kecil peluangnya untuk
menjadi korban perundungan dibandingkan dengan yang memiliki teman sedikit.

Ia melanjutkan, efek pada korban perundungan sangatlah berbahaya. Korban akan


mengalami sulit belajar sehingga nilai mungkin terganggu karena perhatiannya
teralihkan. Selain itu, korban juga bisa melakukan sikap ekstrem, di antaranya balas
dendam dalam bentuk melawan, membawa senjata ke sekolah atau bahkan bunuh diri,”
terangnya.

Perundungan sangat berbahaya khususnya terhadap dampak psikologis seperti stres


secara psikologis maupun fisik, melakukan bunuh diri, disfungsi sosial, kecemasan
depresi sehingga mengalami penurunan kesehatan.

“Yang jelas untuk mencegah perundungan itu harus melalui metode yang menyeluruh
dan komprehensif oleh semua pihak dan pemangku kepentingan. Mereka harus terlibat
dan memberikan komitmen yang sama untuk memerangi dan menghilangkan
perundungan di sekolah,” katanya.

Diena Haryana Pendiri SEJIWA menambahkan, jika tindakan perundungan tidak hanya
dilakukan secara langsung, tetapi juga dapat terjadi secara daring atau yang biasa disebut
dengan tindakan cyberbullying.

Tindakan cyberbullying adalah yang merusak tindakan menghina seseorang melalui


jejaring sosial, ponsel atau teknologi digital lainnya.

“Berdasarkan laporan-laporan yang kami terima, anak-anak yang mengalami


perundungan di sekolah ketika mereka sekolah online pun kembali mendapatkan
perundungan secara daring,” kata Diena.

Diena kemudian merujuk data UNICEF 2020. Dalam data itu, 3 anak di 30 negara menjadi
korban cyberbullying. Sementara itu tahun 2018 menurut APJII atau asosiasi
penyelenggara jasa internet Indonesia mengungkapkan, 49% anak di Indonesia menjadi
korban cyberbullying. Dan 31,6% korban memilih diam.

Dampak dari cyber bullying pada korban tidak kalah luar biasanya dari perundungan
langsung. Akibat cyberbullying, korban akan merasa tertekan, depresi, hilang segala
motivasi, hilang rasa percaya diri, menutup diri sampai bisa melakukan bunuh diri.

“Sedangkan alasan pelaku melakukan cyberbullying karena para pelaku ingin


mempermalukan korban, ingin membalas dendam, menarik perhatian, dianggap jagoan
dan juga iri hati,” tuturnya.

Diena menyebut, untuk mengurangi dan menghilangkan kasus perundungan banyak hal
yang harus dilakukan semua pihak. Di antaranya memberikan pertolongan pada anak
korban cyberbullying, memberikan dukungan kepada anak bahwa ia tidak layak
menerima perlakuan tersebut. Mengajak anak untuk memblok pelaku dan melaporkannya
dari medsosnya. Lalu untuk membantu bangkit fokuskan anak pada minat dan hobinya
dan yakinkan bahwa orang tua akan selalu mendukung mereka,” pungkasnya.

Di sisi lain, Yuliana Dewi Rahmat, S.Pd, Kepala SD Inpres Babau Kabupaten Kupang,
pihaknya sudah mengurangi perundungan di sekolah baik dalam bentuk kekerasan fisik
maupun psikologis.

Berkat mengikuti pelatihan, ia dan pihaknya semakin paham dalam mengetahui konsep
menghadapi peserta didik. Ia kini menerapkan pengetahuan keterampilan. Guru harus
menghargai peserta didiknya serta memperhatikan hak-haknya.

“Contoh kecilnya ketika ada seorang murid tidak tenang di dalam kelas dan suka keluar
dari kelas. Sebelum kita mendapatkan pelatihan, kita berpikir terhadap anak tersebut
negatif. Tapi setelah kita mendapatkan pelatihan dari save the children Indonesia, kita jadi
tahu menghadapinya. Guru bisa menjalin komunikasi yang baik dan sehat. Guru dapat
menanyakan penyebab kepada anak terkait sikapnya dengan baik dan penuh perhatian.
Hingga akhirnya terjadilah komunikasi yang baik antara guru dan peserta didik. Jika kita
memiliki komunikasi yang baik dengan peserta didik mereka merasa dihargai, dilindungi
serta diperhatikan maka akan tercipta suasana kelas yang nyaman dan aman,” tutupnya.
(*)

Anda mungkin juga menyukai