Anda di halaman 1dari 5

Tia Rachma Utamie The Saga Universitas Pendidikan Indonesia

Bullying atau Sekadar Bercanda? Menjamur Menjadi Budaya


Kekerasan anak di lingkungan sekolah merupakan fenomena yang sudah tua,
namun dalam 3 tahun terakhir tidak kunjung mereda. Laman resmi KemenPPPA
mencatat data kasus kekerasan tahun 2021 yang terjadi di lingkungan sekolah mencapai
466 kasus. Sementara itu, pada tahun 2022, kasus kekerasan mengalami peningkatan
pesat hingga mencapai angka 1.155 kasus. Di tahun 2023 yang baru berjalan 4 bulan,
kasus kekerasan di lingkungan sekolah sudah mencapai 466 kasus dan masih
memungkinkan untuk terus meningkat.1 Di sisi lain, berbagai upaya untuk pengendalian
kasus kekerasan telah dilakukan, namun sampai saat ini tidak menunjukan
perkembangan.
Kekerasan di lingkungan sekolah atau yang sering dikenal sebagai bullying
merupakan perilaku agresif yang menunjukan tindakan negatif pada dimensi fisik,
psikologis, dan sosial yang dilakukan secara sengaja dan berulang (Swearer dkk., 2010).
Tindakan bullying dilakukan oleh pihak yang memiliki kekuatan lebih kepada korban
yang cenderung tidak dapat mempertahankan dirinya (Sestiani & Muhid, 2021).
Meninjau dari banyaknya jenis perilaku bullying, kekerasan verbal, kekerasan seksual,
dan kekerasan fisik adalah tindakan yang paling sering dilakukan. Hal tersebut terjadi
karena berbagai faktor seperti kepribadian, komunikasi antara orang tua dan anak,
lingkungan, peran teman sebaya, serta kondisi sekolah (Lestari dkk., 2020).
Kondisi orang tua berperan besar terhadap perilaku anak. Menurut Yusuf (dalam
Fatimatuzzahro & Suseno, 2017) anak memiliki kemampuan untuk mengontrol emosi
dikarenakan meniru dari orang tua. Proses meniru menjadi waktu emas bagi anak untuk
mengendalikan diri mereka. Ketika orang tua mengekspresikan dirinya secara agresif,
maka anak akan meniru cara tersebut. Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk
menciptakan lingkungan yang stabil bagi anak. Tidak hanya itu, orang tua yang bekerja
juga melatarbelakangi anak untuk memiliki perilaku bullying. Hal tersebut terjadi
karena anak merasa terabaikan dan kurang perhatian (Menesini & Salmivalli, 2017).
Akibatnya, anak akan mengekspresikan dirinya secara agresif di lingkungan lain seperti
sekolah.
Bullying yang terjadi di sekolah cenderung dilakukan oleh anak-anak secara
berkelompok. Hal tersebut biasanya terjadi karena adanya keinginan untuk mendapat
1
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. (2023).
https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan diakses pada 23 April 2023
pengakuan sebagai kelompok yang kuat (Swearer dkk., 2010). Situasi tersebut sesuai
dengan hipotesis dari teori Penerapan Homophily yang menyatakan bahwa komunikasi
antara orang-orang dengan kontak yang sama lebih tinggi daripada dengan yang tidak
sama. Sehingga pembentukan kelompok-kelompok tersebut membuat budaya bullying
semakin kuat. Sementara anak-anak lain akan menjadi penonton dan menertawakan
tindakan bullying yang membuat keadaan berlangsung semakin lama dan semakin
memojokan korban. Perilaku tersebut kemudian memperparah keadaan karena pelaku
juga merasa mendapat dukungan dari sekitar.
Sisi buruknya, tindakan bullying di lingkungan sekolah cenderung dianggap
sebagai bercanda antar teman sehingga beberapa sekolah menganggap hal tersebut
normal. Rawlings (2019), menyatakan bahwa tindakan bullying akan ditindak lanjuti
ketika dilakukan secara terus-menerus tanpa henti. Tidak hanya itu, khususnya
kekerasan verbal yang menggunakan kata-kata dengan menunjukan kesan lelucon
ditanggapi dengan tidak serius. Tindakan seperti mengolok, menghina, menyebarkan
desas-desus negatif, dan lainnya dianggap tidak berbahaya sehingga bullying secara
verbal seringkali tidak identifikasi sebagai tindakan bullying (Rawlings, 2019). Padahal,
di zaman berkembang ini, bullying lebih sering dilakukan secara verbal yang dapat
memberikan dampak sama besarnya dengan kekerasan fisik bagi para korban.
Kebiasaan menormalisasi tindakan bullying seringkali mengakibatkan seseorang
tidak menyadari bahwa dirinya adalah korban. Namun, perasaan tidak nyaman seperti
ketakutan, cemas, tidak nyaman, tidak berharga, dan menarik diri dari sekolah tetap
dirasakan korban meskipun perasaan tersebut cenderung diabaikan (Kustanti dkk.,
2019). Kebiasaan menganggap bullying hanya sekadar bercanda dan lelucon membuat
para korban juga enggan mengakui dirinya korban. Tidak jarang pelaku juga berlindung
dibalik kata “sekadar bercanda” atau “iseng aja”. Peristiwa ini yang juga membuat
korban tidak menceritakan atau mengadukannya kepada orang lain. Alur dari perilaku
bullying tersebut sesuai dengan yang digambarkan oleh Khanolainen dkk. (2020),
mengenai pemetaan bullying escalation snowball.
Gambar 1. Bullying Escalation Snowball

Alur tersebut terlihat seperti lingkaran tanpa putus sehingga membuat kasus
bullying menjamur dan terus meradang. Tidak ada cara lain untuk menghentikannya
selain memutus garis lingkaran tersebut. Kasus bullying juga dianalogikan sebagai
‘peradangan yang menular’ sehingga ketika berbagai upaya telah dilakukan dan
menunjukan keredaan, namun kasusnya kembali meradang bahkan di tempat yang
berbeda. Untuk itu, penting meninjau kembali upaya-upaya yang telah dilakukan
sebelumnya dan mencari alternatif lain.
Pemerintah telah melakukan berbagai bentuk pencegahan seperti
mengembangkan sekolah penggerak dengan menghadirkan peserta didik yang
berkarakter pelajar pancasila, melakukan sosialisasi di berbagai sekolah, melakukan
pendataan sekolah yang menerapkan ramah anak secara kontinu, hingga membuat
pedoman pencegahan dan penanggulangan perundungan di Sekolah Dasar.2 Namun,
perlu dilakukan peninjauan kembali terkait efektivitas program-program tersebut.
Melihat bagaimana karakteristik pelajar saat ini, beberapa poin perlu
diperhatikan kembali. Melakukan pencegahan dan penanggulangan bullying perlu

2
Direktorat Sekolah Dasar. (2020, Desember 13). Pemerintah Kuatkan Pencegahan dan Penanggulangan
Perundungan Anak di Sekolah Dasar.
http://ditpsd.kemdikbud.go.id/artikel/detail/pemerintah-kuatkan-pencegahan-dan-penanggulangan-perund
ungan-anak-di-sekolah-dasar-2 diakses pada 23 April 2023
memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi kepada instansi atau sekolah agar korban atau
‘penonton’ berani melaporkan kasus bullying. Sementara itu, tidak hanya siswa-siswi
yang berpotensi menjadi pelaku atau korban yang mendapatkan edukasi. Namun,
berbagai pihak pemangku kepentingan juga perlu mendapat edukasi yang sama agar
memiliki awareness yang tinggi pada kasus bullying. Instansi atau sekolah serta
komponen pendukungnya harus terbuka agar dapat memberikan laporan atau data kasus
bullying, bukan justru menutup-nutupi kasus tersebut. Tidak hanya itu, perlu juga
memperhatikan bagaimana karakteristik target audiens di zaman ini sehingga dapat
memberikan pelayanan yang sesuai dengan karakteristik agar dapat diterima dan
dipahami.
Oleh karena itu, diperlukan inovasi dalam upaya memberantas tindakan bullying
seperti melakukan kampanye secara digital dan dikemas dengan menarik agar dapat
terus diingat oleh target audiens sebagai upaya meningkatkan pengetahuan mengenai
tindakan bullying. Melibatkan agen perubahan dan pemangku kepentingan dalam
konten-konten kampanye dapat membuat target audiens memiliki rasa kepercayaan.
Serta berikan dukungan aksi seperti bersama-sama melakukan gerakan anti bullying
atau gerakan speak up secara viral sebagai bentuk support nyata kepada target audiens.
Upaya-upaya ini penting sekali dilakukan secara bersama-sama untuk mengobati
peradangan dan mencegah kasus terus terjadi secara maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Fatimatuzzahro, A., & Suseno, M. N. (2017). Efektivitas Terapi Empati Untuk
Menurunkan Perilaku Bullying pada Anak Usia Sekolah Dasar. Jurnal Empati,
7(3), 362-378.
Khanolainen, D., Semenova, E., & Magnuson, P. (2020). Teachers see nothing’:
exploring students’ and teachers’ perspectives on school bullying with a new
arts-based methodology. Pedagogy, Culture & Society, 1-23.
https://doi.org/10.1080/14681366.2020.1751249
Kustanti, E. R., Rahmandani, A., & Febriyanti, D. A. (2020). Bullying Experience in
Elementary School Students. International Journal of Psychosocial
Rehabilitation, 24(1), 1475-7192. DOI: 10.37200/IJPR/V24I1/PR200248
Lestari, N. D., Lestari, N. A., Ningrum, E. Q., & Anggraini, K. P. (2020). Determinant
analysis of bullying among school-age children in Yogyakarta, Indonesia.
Journal of Health Technology Assessment in Midwifery, 3(1), 46-56.
Menesini, E., & Salmivalli, C. (2017). Bullying in schools: the state of knowledge and
effective interventions. Psychology, Health & Medicine, 22(S1), 240-253.
https://doi.org/10.1080/13548506.2017.1279740
Rawlings, V. (2019). ‘It’s not bullying’, ‘It’s just a joke’: Teacher and student discursive
manoeuvres around gendered violence. British Educational Research
Association, 45(4), 698-716. https://doi.org/10.1002/berj.3521
Sestiani, R. A., & Muhid, A. (2021). Pentingnya Dukungan Sosial Terhadap
Kepercayaan Diri Penyintas Bullying: Literature Review. Jurnal Tematik, 3(2),
245-251.
Swearer, S. M., Espelage, D. L., Vaillancourt, T., & Hymel, S. (2010). What Can Be
Done About School Bullying? Linking Research to Educational Practice.
Educational Researcher, 39(1), 38-47. https://doi.org/10.3102/0013189X093576

Anda mungkin juga menyukai