Anda di halaman 1dari 96

SKRIPSI

HUBUNGAN PEER GROUPING DAN REGULASI EMOSI DENGAN

PERILAKU BULLYING PADA REMAJA USIA 13 – 14 TAHUN

DI SMP NEGERI 20 MAKASSAR

DISUSUN OLEH:

AYU ARYANI. S

21.01.024

YAYASAN PERAWAT SULAWESI SELATAN

STIKES PANAKKUKANG MAKASSAR

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

2023

ii
HUBUNGAN PEER GROUPING DAN REGULASI EMOSI DENGAN

PERILAKU BULLYING PADA REMAJA USIA 13– 14 TAHUN

DI SMP NEGERI 20 MAKASSAR

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan

(S.Kep) Pada Program Studi S1 Keperawatan STIKES Panakkukang Makassar

DISUSUN OLEH:

AYU ARYANI. S

21.01.024

YAYASAN PERAWAT SULAWESI SELATAN

STIKES PANAKKUKANG MAKASSAR

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

2023

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masa remaja adalah periode transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa.

Perubahan termasuk perubahan biologis, psikologis, dan sosial. Banyak remaja

tidak dapat menghadapi perubahan, yang terjadi pada diri mereka sendiri dan

berdampak pada luapan emosi dan tekanan jiwa, yang menyebabkan frustasi dan

perilaku kekerasan yang terkait erat dengan bullying (Swearer, 2019).

Bullying, fenomena remaja, kembali menjadi perhatian publik. Bullying

adalah perilaku yang tidak baik dimana orang yang kuat memaksa, melecehkan,

memojokkan, dan melukai orang yang lemah secara berulang kali (Hanifah &

Nurmaguphita, 2018). Biasanya, pelecehan berulang dan sistematis terjadi

(Hanifah & Nurmaguphita, 2018). Menurut Andrew Mellor, ada dua jenis

pelecehan: (1) Pelecehan fisik, yang mencakup pelecehan fisik; dan (2)

Pelecehan verbal, yang mencakup pelecehan verbal yang bertujuan untuk

menyakiti hati seseorang (Hanifah & Nurmaguphita, 2018).

Data hasil riset Programme for Internasional Students Assessment (PISA)

2018 prevalensi kejadian bullying tertinggi terjadi di wilayah Filipina sebanyak

64,9 %, diikuti Brunei Darussalam sebanyak 50,1 %, Republik Dominika

1
sebanyak 43,9 %, Maroko 43,8 %, Indonesia 41,1 %, Jordan 38 %, Rusia 36,6

%, Baku (Azerbaijan 35,8 %, Malaysia 35,7 %, Latvia 35,5%).

Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terkait dengan

perlindungan anak di Tahun 2021 yaitu ada 2.982 kasus. Berdasarkan jumlah

tersebut, diperoleh 38% korban kekerasan fisik serta psikis 50% kekerasan fisik

yaitu penganiayaan, 45% kekerasan psikis, 3,5% pembunuhan, serta 1,5%

korban tawuran), 29% korban kejahatan seksual, 14% korban penelantaran, 7%

korban ekspoitasi secara ekonomi dan 4% berhadapan dengan hukum menjadi

pelaku kejahatan. (Tim KPAI, 2022)

Sedangkan di provinsi Sulawesi Selatan, dilaporkan bahwa kasus bullying

yang terjadi sangat memprihatinkan. Peneliti Yayasan Indonesia Mengajar,

Farida Ohan melaporkan 6 hingga 10 orang siswi setiap hari mengalami serta

melakukan tindakan bullying di lingkungan sekolahnya, khususnya Makassar

dan Gowa. Beliau mengatakan bahwa hal ini tidak bisa dibiarkan, sebab jika

dibiarkan tindakan bullying akan terbawa hingga dewasa ( et al., 2018)

Terdapat banyak faktor penyebab remaja terlibat dalam kasus bullying

salah satunya adalah teman sebaya. Interaksi sosial secara mendalam dengan

teman sebaya dapat meningkatkan pengaruh kelompok teman sebaya terhadap

remaja. Hal ini terjadi sebab remaja lebih banyak menghabiskan waktu dengan

teman sebayanya dibandingkan keluarganya.

Teman sebaya sangat berpengaruh terhadap pembentukan perilaku remaja,

teman sebaya dapat berpengaruh baik serta buruk. Teman sebaya yang baik akan

berpengaruh baik pula pada temannya, begitupun sebaliknya. Sebab remaja


cenderung mengikuti teman sebayanya yang tidak melakukan bullying, sehingga

meskipun tidak ada orang tua yang mengajarkan mereka tentang dampak

perilaku bullying mereka tetap mendapatkan informasi itu dari teman sebayanya

(Ningrum dkk, 2019).

Bullying sangat erat hubungannya dengan emosi. Seseorang yang merasa

cemas, cemburu, putus asa, atau terasingkan akan menyebabkan kesulitan

belajar, banyak diam, serta sulit membangun hubungan dengan teman yang lain

sehingga akan mendorong anak untuk melakukan tindakan bullying di sekolah.

Bullying sangat merugikan semua pihak baik pelaku maupun korban jika tidak

bisa mengontrol emosi atau regulasi emosi.

Regulasi emosi merupakan kemampuan seseorang mengontrol emosinya

dengan menggunakan berbagai cara sehingga dapat menyalurkan emosinya

(Nurwahidah, 2021, pp. 68-80). Gross dan John (2003) mengemukakan terdapat

dua cara mengontrol emosi yakni cognitive reappraisal dan expressive

suppression. Cognitive reappraisal ialah bentuk perubahan kognitif yang

melibatkan seseorang dalam mengubah cara berpikir tentang situasi yang dapat

memunculkan emosi sehingga mampu mengubah pengaruh emosinya.

Sedangkan expressive suppression merupakan bentuk modulasi respon yang

melibatkan seseorang dalam mengurangi perilaku emosi yang ekspresif ketika

seseorang dalam keadaan emosi. (Nurwahidah, et. all. 2021).

Berdasarkan pengambilan data awal pada tanggal 30 November 2022 di

SMP Negeri 20 Makassar, diperoleh data siswa sebanyak 941 siswa, yang terdiri

30 kelas dengan rincian kelas VII terdiri dari 10 ruang kelas dengan jumlah siswa
309 siswa, 10 ruang kelas VIII dengan jumlah siswa 312 siswa, dan 10 ruang

kelas IX dengan jumlah siswa 320 siswa. Berdasarkan hasil wawancara salah

satu guru BK mengatakan fenomena perundungan di sekolah ini sekitar 20%,

yakni perundungan lisan (bullying verbal) dengan angka kejadian terbanyak di

kelas VII, perilaku bullying yang biasa terjadi diantaranya mengejek, memanggil

nama orang tua serta mengolok-olok bentuk fisik. Jam istirahat dan jam kosong

merupakan salah satu faktor penyebab dari perilaku bullying di sekolah ini.

Kejadian bullying yang baru terjadi di SMP Negeri 20 Makassar Tahun

2022 adalah bullying verbal dan bullying fisik yang melibatkan 10 orang siswa.

Bullying verbal yang terjadi yaitu memaki, meneriaki, dan mempermalukan di

depan umum, sedangkan bullying fisik yang terjadi yakni: memukul dan

menendang, dan sebagainya. Untuk mengatasi hal tersebut guru BK telah

memberikan nasehat, memanggil pelaku dan korban serta memanggil orang tua

siswa. Namun kurangnya pengawasan dari guru BK sehingga tidak setiap saat

guru BK dapat mengetahui apa perilaku perundungan tersebut masih sering

terjadi atau tidak.

Menurut Novianti (Adriel & Indrawati, 2019) tingkat pengawasan di

sekolah menentukan seberapa banyak dan seringnya terjadi peristiwa bullying.

Rendahnya tingkat pengawasan di sekolah berkaitan erat dengan

berkembangnya perilaku bullying di kalangan siswa.

Berdasarkan kasus di atas peneliti pun bertanya-tanya apakah

perundungan lisan (bullying verbal) sudah, menjadi tradisi di sekolah? Dan

Apakah perilaku tersebut dapat diminimalisir? Seperti yang kita ketahui remaja
merupakan generasi penerus bangsa. Adapun dampak dari bullying dapat

mengakibatkan korban merasa malu, tertekan, perasaan takut, sedih dan cemas.

Bila hal ini berkepanjangan dapat menyebabkan depresi (Adriel & Indrawati,

2019). Korban bullying di sekolah dapat beresiko terhadap perkembangan

kesehatan mental misalnya rendah diri, depresi, kecemasan, masalah kesehatan

somatik, kurangnya prestasi dalam akademik, bahkan menyebabkan bunuh diri.

(Forsberg & Thornberg, 2016).

Sedangkan dampak bagi pelaku bullying yakni tidak dapat

mengembangkan hubungan yang sehat, kurang cakap untuk memandang dari

perspektif lain, tidak memiliki empati, dan menganggap dirinya kuat sehingga

dapat mempengaruhi pola hubungan sosialnya di masa mendatang, melakukan

tindakan bullying, pelaku merasa bahwa mereka memiliki kekuasaan (Coloroso,

2007). Dampak yang disebabkan dapat berkepanjangan dan berpengaruh pada

perkembangan masa depan anak, perlu dilakukan penanganan yang serius dari

berbagai pihak. Remaja yang terkena dampak bullying harus diberikan perhatian

khusus (Joseph, 2019). Sebelum bullying menimbulkan dampak pada kesehatan

fisik dan psikologis yang lebih lanjut, keperawatan memiliki peranan penting

dalam penyampaian pelayanan kesehatan dan meningkatkan kesehatan.

Sesuai peran perawat dalam menghadapi kejadian bullying di sekolah

yakni menjadi edukator dan konselor. Perawat wajib aktif berperan di sekolah

untuk melakukan intervensi melalui pendidikan kesehatan mengenai bullying

sehingga anak mengetahui dampak dari perilaku bullying. Perawat juga wajib
memberikan pelayanan secara holistik yaitu aspek biopsikososial anak

(Marliyani et al., 2020).

Maka dari itu, berdasarkan uraian latar belakang dan fenomena di atas,

peneliti menganggap penting untuk mengetahui lebih lanjut tentang hubungan

peer grouping dan regulasi emosi dengan perilaku bullying pada remaja usia 13

– 14 tahun di SMP Negeri 20 Makassar.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada penelitian ini adalah “Apakah ada hubungan Peer

Grouping dan regulasi emosi dengan perilaku bullying ada remaja usia 13 – 14

tahun di SMP Negeri 20 Makassar?”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan Peer Grouping dan regulasi emosi dengan

perilaku Bullying pada remaja usia 13 – 14 tahun di SMP Negeri 20

Makassar.

2. Tujuan Khusus

a. Diketahuinya Peer Grouping pada remaja usia 13 – 14 tahun di SMP

Negeri 20 Makassar.

b. Diketahuinya regulasi emosi pada remaja usia 13 – 14 tahun di SMP

Negeri 20 Makassar.

c. Diketahuinya perilaku bullying pada remaja usia 13 -14 tahun di SMP

Negeri 20 Makassar.
d. Diketahuinya hubungan Peer Grouping dengan perilaku bullying pada

remaja usia 13 -14 tahun di SMP Negeri 20 Makassar.

e. Diketahuinya hubungan regulasi emosi dengan perilaku bullying pada

remaja usia 13 – 14 tahun di SMP Negeri 20 Makassar.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan secara teoritis bagi

teori Keperawatan Anak mengenai hubungan peer grouping (teman sebaya)

dan regulasi emosi dengan perilaku bullying (perundungan) pada remaja usia

13 – 14 tahun di SMP Negeri 20 Makassar.

2. Manfaat praktis

a. Bagi tempat penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu pertimbangan

dalam menentukan kebijakan di sekolah untuk mencegah terjadinya

perilaku bullying.

b. Bagi institusi

Meningkatkan pengetahuan tentang hubungan peer grouping (teman

sebaya) dan regulasi emosi dengan perilaku bullying (perundungan) pada

remaja.

c. Bagi Peneliti

Menambah pengetahuan mahasiswa yang akan melakukan penelitian

mengenai hubungan peer grouping (teman sebaya) dan regulasi emosi

dengan perilaku bullying (perundungan) pada remaja.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Remaja

1. Definisi Remaja

Remaja berasal dari bahasa Yunani adolescare yang berarti “tumbuh”

atau “tumbuh menjadi dewasa”. Adolescence (inggris) yang memiliki arti

kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik (Hurlock 2012).

Menurut Piaget (dalam Hurlock, 2012), masa remaja adalah waktu

ketika seseorang berintegrasi dengan masyarakat dewasa. Ini adalah waktu

ketika anak-anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih

tua, tetapi berada di tingkat yang sama dengan mereka. Dalam hal hak,

integrasi dalam masyarakat mempunyai banyak aspek yang

mempengaruhinya, terutama terkait dengan masa puber. Perubahan

intelektual yang signifikan dan cara berpikir remaja memungkinkan integrasi

dalam hubungan sosial yang dewasa.

Menurut Kartono (2014), remaja juga berfungsi sebagai titik peralihan

antara masa kanak-kanak dan masa dewasa. Fungsi rohaniah dan jasmaniah

mengalami perubahan besar dan penting selama masa remaja. Selama

periode ini, remaja mulai memperoleh kesadaran diri yang kuat dan

keyakinan tentang kemampuan, potensi, dan harapan mereka sendiri.

Dengan kesadaran ini, remaja berusaha mencari nilai-nilai seperti kebaikan,

keluhuran, kebijaksanaan, dan keindahan.


Menurut Erickson (dalam Hurlock, 2012), masa remaja adalah saat di

mana seseorang mengalami krisis atau pencarian identitas diri. James Marcia

menemukan bahwa remaja memiliki empat status identitas diri: difusi atau

kekacauan identitas, moratorium, penutup, dan identitas yang dicapai.

Penemuan ini mendukung gagasan Erickson ini. Remaja sering menghadapi

masalah karena karakteristik ini, yang merupakan bagian dari proses mencari

identitas diri mereka. Papalia dan Olds (2001) mengatakan bahwa masa

remaja adalah masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa. Ini

biasanya dimulai pada usia dua belas atau tiga belas tahun dan berakhir pada

akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa remaja adalah masa

transisi atau peralihan dari masa kanak-kanak menuju dewasa yang ditandai

dengan elemen fisik psikis dan psikososial. Usia remaja adalah antara 12 dan

21 tahun.

2. Klasifikasi Remaja

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), remaja adalah orang

yang berusia 10 hingga 19 tahun. Di sisi lain, Peraturan Menteri Kesehatan

RI Nomor 25 Tahun 2014 mendefinisikan remaja sebagai orang yang berusia

10-18 tahun, dan Badan Kependudukan dan Keluaga Berencana

mendefinisikan remaja sebagai orang yang belum menikah (infodatin dan

Kesehatan, 2017).

Menurut Kartini (1995), ada batasan usia remaja yang berfokus pada

upaya untuk meninggalkan sikap dan perilaku kekanak-kanakan untuk


menjadi seperti orang dewasa. Batasan usia ini dibagi menjadi tiga kategori,

yaitu:

a. Remaja awal (10 – 14 tahun)

Remaja saat ini sangat tertarik pada dunia luar karena mereka

mengalami perubahan fisik yang sangat pesat dan perkembangan

intelektual yang sangat intensif. Meskipun mereka tidak mau dianggap

sebagai kanak-kanak lagi, mereka masih belum bisa meninggalkan pola

kekanak-kanakannya. Remaja saat ini juga sering merasa ragu-ragu,

tidak stabil, tidak puas, dan kecewa.

b. Remaja Pertengahan (15 – 18 tahun)

Meskipun kepribadian remaja masih kekanak-kanakan, mereka

mengembangkan kesadaran diri dan kehidupan badaniah sendiri.

Remaja mulai menetapkan prinsip-prinsip tertentu dan berpikir tentang

etika dan filosofi. Karena itu, kepercayaan diri akan muncul dari

perasaan yang penuh dengan keraguan selama masa remaja yang rawan.

Rasa percaya diri pada remaja mendorongnya untuk menilai tingkah

lakunya sendiri. Selain itu, remaja sedang menemukan identitas mereka

sendiri.

c. Remaja Akhir (18 – 21 tahun)

Remaja saat ini sudah kuat dan stabil. Remaja mulai memahami jalan

dan tujuan hidup mereka dan ingin menjalani gaya hidup yang

digariskan sendiri dengan keberanian. Remaja telah membuat pola yang

jelas yang baru mereka temui.


3. Ciri – Ciri Masa Remaja

Menurut Hurlock (2012), masa remaja memiliki karakteristik yang

membedakannya dari masa lalu. Berikut adalah beberapa karakteristik

remaja:

a. Perubahan yang dialami selama masa remaja berdampak secara

langsung akan memengaruhi perkembangan selanjutnya

b. Remaja sebagai masa pelatihan. Di sini berarti perkembangan yang

dimulai saat seseorang masih dalam masa kanak-kanak dan belum

dianggap sebagai orang dewasa. Remaja memiliki status yang tidak

jelas, yang memberinya waktu untuk mencoba berbagai cara hidup

dan menentukan kebiasaan, prinsip, dan sifat yang paling sesuai

dengan dirinya.

c. Remaja adalah periode perubahan yang melibatkan perubahan emosi,

tubuh, minat, dan peran (menjadi dewasa yang mandiri), dan nilai-

nilai yang dianut.

d. Masa remaja adalah periode pencarian identitas diri. Mereka

berusaha untuk menentukan peran mereka dalam masyarakat dan

siapa diri mereka.

e. Remaja sebagai masa yang menakutkan. Dikatakan demikian karena

sulit untuk diatur dan cenderung berperilaku buruk, yang membuat

banyak orang tua takut.

f. Remaja adalah masa yang tidak dapat diterima. Remaja cenderung

melihat kehidupan dari kacamata merah jambu; mereka melihat diri


mereka sendiri dan orang lain dengan cara yang mereka inginkan

daripada sebagaimana sebenarnya, terutama berdasarkan cita-cita

mereka.

g. Masa remaja dibandingkan dengan masa dewasa. Remaja

menunjukkan kebiasaan yang memberikan kesan bahwa mereka

hampir dewasa atau sudah dewasa, seperti merokok, minum-minum

keras, menggunakan obat-obatan, dan berpartisipasi dalam aktivitas

seksual. Dalam upaya mereka untuk meninggalkan kebiasaan ini,

mereka mengalami kebingungan atau kesulitan. Mereka percaya

bahwa tindakan ini akan menghasilkan gambar yang mereka

inginkan.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa masa remaja adalah masa

penting, pelatihan, perubahan, pencarian identitas, usia yang menakutkan,

tidak realistik, dan ambang masa dewasa.

4. Perkembangan Remaja

a. Perkembangan Fisik

Perkembangan fisik mencakup perkembangan tubuh, otak,

kemampuan sensoris, dan keterampilan motorik. Pertambahan tinggi dan

berat tubuh, pertumbuhan otot dan tulang, dan kematangan organ seksual

dan fungsi reproduksi adalah semua tanda perubahan fisik. Tubuh remaja

mulai berkembang dari tubuh anak-anak menjadi tubuh orang dewasa,

dan salah satu tanda transisi ini adalah kematangan. Perubahan fisik yang
terjadi pada struktur otak semakin menyempurnakan untuk

meningkatkan kemampuan kognitif. Jahja (2013)

Pada masa remaja, pertumbuhan fisik yang cepat dan banyak

perubahan terjadi, termasuk pertumbuhan organ reproduksi (organ

seksual) sehingga kematangan, yang ditunjukkan dengan kemampuan

melakukan fungsi reproduksi. Perubahan-perubahan ini diikuti dengan

munculnya tanda-tanda berikut (Widyastuti, Rahmawati, &

Purwaningrum, 2009):

a) Tanda – tanda seks primer

Selama masa puber, semua organ reproduksi wanita tumbuh, tetapi

tumbuh dengan kecepatan yang berbeda. Pada usia 11 atau 12 tahun,

berat uterus kira-kira 5,3 gram, dan pada usia 16 tahun, beratnya

rata-rata 43 gram. Adanya menstruasi pada wanita adalah tanda

kematangan sistem reproduksi mereka. Ini adalah permulaan dari

pengeluaran uterus secara berkala dari darah, lendir, dan jaringan sel

yang hancur, yang terjadi kira-kira setiap 28 hari. Hal ini berlanjut

sampai menjelang menopause, yang dapat terjadi pada usia sekitar

lima puluhan.

b) Tanda – tanda seks sekunder

Pada remaja, tanda-tanda seks sekunder dapat meliputi:

 Rambut: Rambut kemaluan wanita tumbuh serupa dengan

rambut remaja laki-laki. Rambut kemaluan ini mulai tumbuh

setelah pinggul dan payudara berkembang. Setelah haid,


semua rambut kecuali rambut wajah mula-mula lurus dan

berwarna terang, tetapi kemudian menjadi lebih kasar, lebih

gelap, dan agak keriting.

 Pinggul: Membesarnya tulang pinggul dan berkembangnya

lemak di bawah kulit menyebabkan pinggul menjadi

berkembang, membesar, dan membulat.

 Payudara: Saat pinggul membesar, payudara juga membesar,

dan puting susu menonjol. Kedua perkembangan ini sejalan

dengan perkembangan dan pertumbuhan kelenjar susu, yang

menghasilkan payudara yang lebih besar dan lebih bulat.

 Kulit: Kulit wanita, seperti halnya kulit laki-laki, menjadi

lebih kasar, lebih tebal, dan pori-pori membesar, tetapi kulit

mereka tetap lebih lembut daripada kulit laki-laki.

 Kelenjar lemak dan kelenjar keringat. Sumbatan kelenjar

lemak dapat menyebabkan jerawat. Sebelum dan selama

masa haid, kelenjar keringat dan baunya menusuk.

 Otot: Menjelang akhir masa puber, otot-otot Anda akan

menjadi lebih besar dan lebih kuat. Ini akan mengarah pada

pembentukan bahu, lengan, dan tungkai kaki.

 Suara: Wanita jarang mengalami suara serak, dan suara

mereka berubah semakin merdu.


b. Perkembangan Psikis

Pada titik ini, anak-anak mulai mencari identitas mereka sendiri,

yang berarti mereka membutuhkan perhatian dan dukungan dari orang

tua mereka. Remaja akan mengalami perubahan psikologis, seperti:

a) Perubahan emosi terdiri dari hal-hal berikut:

 Orang yang sensitif atau peka cenderung menangis,

cemas, atau frustasi, dan sebaliknya, mereka bisa tertawa

tanpa alasan yang jelas. Sering terjadi pada remaja

perempuan, terutama sebelum menstruasi.

 Sangat responsif terhadap gangguan atau rangsangan luar

yang mempengaruhinya, bahkan bisa menjadi agresif. Itu

sebabnya konflik sering terjadi. suka mencari perhatian

dan bertindak tanpa mempertimbangkan apa pun.

 Sangat sensitif terhadap gangguan atau rangsangan dari

luar, dan mungkin menjadi agresif. Ini adalah alasan

konflik sering terjadi. suka mencari perhatian orang lain

dan bertindak tanpa mempertimbangkan apa pun yang

terjadi di belakangnya.

c. Perkembangan Intelegensia. Perkembangan ini menyebabkan remaja:

a) Ada kecenderungan untuk berpikir abstrak dan menyukai kritik.

b) Mereka cenderung ingin belajar hal-hal baru dan mencoba hal-hal

baru.
d. Perkembangan Kognitif

Perubahan dalam kemampuan otak, seperti menalar, berpikir,

bahasa, belajar, dan memori, disebut perkembangan kognitif (Jahja,

2013).

Adaptasi biologis remaja mendorong mereka untuk memahami

dunia. Menurut teori Piaget, remaja secara aktif membuat dunia kognitif

mereka sendiri. Dalam dunia kognitif ini, informasi tidak hanya

dimasukkan ke dalam skema kognitif mereka. Remaja mengembangkan

ide-ide mereka setelah mereka belajar membedakan mana yang lebih

penting. Seorang remaja tidak hanya dapat mengorganisasikan apa yang

mereka alami dan amati, tetapi mereka juga memiliki kemampuan untuk

mengubah cara mereka berpikir sehingga mereka dapat menghasilkan

ide-ide baru (Jahja, 2013).

Remaja menjadi lebih baik dalam penalaran ilmiah dan logis.

Mereka belajar berpikir dalam jangka panjang dan berpikir tentang apa

yang menyebabkan sesuatu terjadi. Mereka juga memiliki perspektif

unik yang berbeda dari orang lain.

e. Perkembangan Sosial

Menurut Wong, Wilson, ML, dan Schwartz (2009), remaja awal

lebih cenderung bersosialisasi dengan teman sebaya perempuan atau

lelaki. Mereka cenderung kehilangan hubungan atau interaksi dengan

orang tua mereka. Interaksi sosial remaja pertengahan menjadi lebih

terbuka dan mereka memulai menjalin hubungan yang dekat seperti


hubungan antara laki-laki dan perempuan. Masalah utama adalah konflik

dengan orangtua pada tahap ini karena remaja merasa mereka sudah bisa

mandiri tanpa memerlukan pengawasan orangtua, sementara orangtua

memiliki pandangan yang berbeda tentang masalah ini. Pada titik ini,

hubungan sosial remaja menjadi lebih individual dan mengarah pada

hubungan yang lebih serius. Karena mereka sudah menjadi individu yang

mandiri secara utuh, konflik dengan orang tua hampir tidak terjadi lagi.

f. Perkembangan Moral

Pada titik ini, seorang remaja memiliki kemampuan untuk

mengambil keputusan secara mandiri, menurut teori perkembangan

moral Pieget. Mereka tidak memperoleh kemampuan ini dari orang tua

mereka, tetapi dari interaksi mereka dengan teman sebaya mereka (Pieget

dalam Moshman, 2005). Seringkali, keputusan moral yang mereka buat

bertentangan dengan nilai moral yang sudah ditanamkan dalam keluarga

mereka. Namun, masih ada nilai dari keluarga yang menjadi acuan untuk

keputusan moral mereka.

g. Perkembangan Spiritual

Pengembangan spiritual remaja biasanya dipengaruhi oleh nilai-nilai

yang ditanamkan dalam keluarga mereka; namun, nilai-nilai yang

diajarkan oleh teman sebaya juga berdampak pada perkembangan

spiritual remaja.
5. Tugas Perkembangan Remaja

Tugas perkembangan masa remaja adalah untuk meninggalkan sikap

dan perilaku kekanak-kanakan dan belajar berperilaku dan bersikap seperti

orang dewasa. Menurut William Key (Jahja, 2013), tanggung jawab yang

harus dipenuhi oleh remaja adalah sebagai berikut:

1) Menerima fisiknya sendiri berikut keragaman kualitasnya.

2) Mencapai kemandirian emosional dari orang tua atau figur-figur

yang mempunyai otoritas.

3) Mengembangkan keterampilan komunikasi interpersonal dan belajar

bergaul dengan teman sebaya atau orang lain, baik secara individual

maupun kolompok.

4) Menemukan manusia model yang dijadikan identitasnya.

5) Menerima dirinya sendiri dan memiliki kepercayaan terhadap

kemampuannya sendiri.

6) Memperkuat self-control (kemampuan mengendalikan diri) atas

dasar skala nilai, psinsip-psinsip, atau falsafah hidup.

(Weltanschauung).

7) Mampu meninggalkan reaksi dan penyesuaian diri (sikap/perilaku)

kekanak-kanakan.

B. Perilaku Bullying

1. Definisi Perilaku Bullying

"Bullying" berasal dari kata Inggris "bull", yang berarti "banteng"

yang suka menanduk. Bullying adalah tindakan seseorang atau kelompok


yang menyalahgunakan kekuatan atau kekuasaan mereka terhadap korban

yang tidak mampu membela atau mempertahankan diri karena kelemahan

fisik atau mental. Apabila tindakan dilakukan berulang kali dan membuat

seseorang merasa takut atau terintimidasi, tindakan tersebut dapat dianggap

sebagai perilaku bullying (Sejiwa, 2008).

Bullying juga dapat didefinisikan sebagai tindakan agresi yang

sengaja dilakukan oleh individu atau kelompok dengan tujuan untuk melukai

orang lain secara berulang kali sehingga orang lain tidak dapat membela

dirinya sendiri. Tindakan ini dapat terjadi antara pelaku yang lebih kuat dan

korban yang lebih lemah, baik secara verbal maupun nonverbal, atau secara

langsung maupun tidak langsung (Olweus, 2012).

Menurut Dracic (2009), bullying adalah jenis kekerasan atau

serangan yang bertujuan untuk melukai atau membuat orang lain sakit atau

tidak nyaman. Tindakan pelecehan dilakukan tanpa memperdulikan lokasi,

intensitas, dan durasi. Perilaku ini terjadi berulang kali dan menunjukkan

hubungan kekuasaan atau kekuatan yang tidak proporsional antara individu

atau kelompok yang kuat dan yang lemah.

Berdasarkan berbagai definisi bullying di atas, dapat disimpulkan

bahwa bullying adalah tindakan menyerang secara berulang yang bertujuan

untuk melukai, melukai, atau membuat tidak nyaman seseorang atau

kelompok yang lebih lemah yang tidak dapat membela diri.

2. Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Bullying

Faktor- faktor yang mempengaruhi bullying terdiri dari:


1. Kepribadian

Salah satu faktor yang mempengaruhi bullying adalah kepribadian

seseorang. Kepribadian extraversion adalah salah satu yang berasosiasi

positif dengan bullying, dan kepribadian callosness adalah kepribadian

lain yang mempengaruhi perilaku bullying. Seseorang dengan

kepribadian ini dapat melakukan bullying karena mereka tidak dapat

menangani efek bahaya dari apa yang mereka lakukan.

2. Keluarga

Keluarga memainkan peran penting dalam bullying. Faktor

keluarga yang mempengaruhi bullying termasuk pola asuh dan

rendahnya fungsi keluarga (Mazzone & Camodeca, 2019). Karena anak-

anak terbiasa menerima hukuman fisik dari orang tua mereka saat mereka

dibesarkan, anak-anak dengan pola asuh otoriter cenderung tidak mampu

untuk mengembangkan kepedulian terhadap lingkungan (Smith, 2004).

Pola asuh otoriter yang mendukung penerapan hukuman sebagai metode

pendisiplinan juga meningkatkan kemungkinan anak-anak tersebut

terlibat dalam perilaku pelecehan (Ortiz, Romera & Ruiz, 2015).

Anak-anak menemukan keluarga sebagai tempat di mana mereka

belajar berperilaku dan membuat hubungan dengan orang lain.

Pengalaman anak bersama keluarga dan pola asuh orang tua

mempengaruhi kemampuan anak untuk beradaptasi di sekolah dan

hubungannya dengan teman sebaya (Lereya, Samara, & Wolke, 2013).

Hubungan anak dengan keluarga juga dapat memprediksi perilaku


bullying (Malm & Henrich, 2019). Anak yang mengalami pengabaian di

rumah mungkin mengalami perkembangan yang lebih buruk daripada

anak yang tidak mengalami pengabaian (Chapple & Vaske, 2010).

Kekerasan di rumah dan penolakan ibu juga dapat meningkatkan

kemungkinan perilaku pelecehan di sekolah (Sung, Dorothy, Kaylor, &

Allen, 2011). Pola attachment keluarga yang buruk, ketidakpercayaan

pada orang tua, dan lingkungan keluarga yang buruk juga sering

dikaitkan dengan bullying. Selain itu, orang tua yang tidak dekat dengan

anaknya memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk melakukan

pelecehan (Murphy, Laible, & Augustine, 2017).

3. Lingkungan Sekolah

Lingkungan sekolah adalah faktor tambahan yang mempengaruhi

bullying. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Rezapour, Khanjani,

dan Mirzai (2019) menemukan bahwa lingkungan sekolah yang nyaman

menghasilkan lebih sedikit bullying verbal, bullying relasional, dan

cyberbullying, sedangkan lingkungan sekolah yang tidak nyaman dan

banyak gangguan menghasilkan lebih banyak bullying verbal dan

bullying relasional. Selain itu, peraturan yang berkaitan dengan

kenyamanan fisik, keterlibatan, dan dukungan lingkungan juga terkait

dengan perilaku bullying. Selain itu, ada korelasi antara jenis sekolah dan

kualitasnya dengan kemungkinan terjadinya perilaku bullying

(Bevilacqua et al., 2016).


Menurut Monica Santosa dan Rini Sugiarti (2022), berikut adalah

faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya perilaku bullying di sekolah:

 Faktor Internal

a. Jenis Kelamin

Karena baik laki-laki maupun perempuan memiliki kemampuan

untuk menggertak dan menyiksa, anak laki-laki lebih mungkin

diintimidasi daripada perempuan, menurut penelitian. Menurut

Cook CR, Williams KR, Guerra NG, dan Kim TE (2010),

perbedaan bullying lebih jelas ketika terjadi secara fisik atau

melalui ancaman atau tindakan langsung lainnya. Namun,

hubungan ini tidak signifikan jika dibandingkan dengan perilaku

bullying tidak langsung, seperti menyebarkan rumor atau

mengisolasi diri. Menurut Farrington D. (2010)

b. Perilaku Eksternalisasi

Meskipun kekerasan sering dikaitkan dengan perilaku

eksternalisasi (seperti egresi, pembangkangan, gangguan, atau

kenakalan), viktimisasi biasanya dikaitkan dengan perilaku

internalisasi (seperti kecemasan, kesedihan, atau harga diri yang

rendah). Menurut Cool CR, Williams KR, Guerra NG, dan Kim

TE pada tahun 2010.

c. Self-esteem

Ada anggapan yang masuk akal bahwa harga diri yang buruk

adalah penyebab agresi dan bullying. Meskipun bullying dan


(lemahnya) kesadaran negatif yang berhubungan dengan diri

sendiri dikaitkan, kemungkinan menjadi pengganggu yang murni

dan tidak terpengaruh tidak meningkat. Menurut penelitian, lebih

dari yang diperkirakan sebelumnya, bullying lebih erat

berhubungan dengan narsisme, arogansi, dan kualitas emosional

yang tidak berperasaan (seperti kurangnya empati dan rasa malu).

Menurut Cook CR, Williams KR, Guerra NG, dan Kim TE pada

tahun 2010.

d. Popularitas dan Keterampilan Sosial

Bullying telah disebut sebagai “masalah hubungan social.”

Faktanya, kekurangan keterampilan sosial terlihat pada korban,

korban perundungan, dan pengganggu tertentu. (Cook CR,

Williams KR, Guerra NG, Kim TE, 2010)

e. Tingkat Kelas

Bullying di sekolah dasar hingga sekolah menengah atas menurun

seiring bertambahnya usia. Intimidasi lebih sering terjadi di

sekolah menengah yaitu, antara sekolah dasar dan menengah, dan

sekolah menengah dan sekolah menengah atas meskipun data

menunjukkan bahwa ini terjadi paling sering di masa persiapan

siswa untuk sekolah menengah. (Jimerson SR dan Swearer SM

(2009))
f. Karakteristik Fisik

Orang-orang yang kuat cenderung menjadi pengganggu

(Farrington D, 2010). Pengganggu yang lebih kuat dan kuat akan

mengganggu dan mengancam orang lain.

g. Etnis

Bullying adalah fenomena yang mencakup budaya dan ras.

Misalnya, penelitian menunjukkan bahwa siswa etnis minoritas

lebih cenderung mengalami pelecehan di sekolah daripada siswa

mayoritas etnis. (Jimerson SR dan Swearer SM (2009)

h. Cacat Fisik

Siswa dengan kesulitan berperilaku lebih mungkin mengalami

bullying daripada siswa lainnya, meskipun bullying dapat

berfungsi sebagai pembalasan (Rose CA, Swearer SM, 2012).

 Faktor Eksternal

a. Teman Sebaya

Bagi remaja, perilaku teman sebaya sangat berpengaruh karena

mereka menghabiskan sebagian besar waktu bersama teman

sebaya. Remaja senang memiliki banyak teman dan sering

berkumpul dengan mereka. Akan membentuk kelompok

berdasarkan hobi dan tingkah laku yang sama (Sari, 2021, hal.

950-957)
b. Lingkungan Sekolah

Remaja tidak akan melakukan pelecehan jika sekolah memiliki

lingkungan yang baik. Perilaku remaja sangat dipengaruhi oleh

tata aturan sekolah. (Rosadi, 2020, hal. 2162-2167)

c. Keluarga

Perilaku bullying dipengaruhi oleh fungsi keluarga yang buruk

(Mazzone, A & Camodeca, 2019). Komunikasi yang tidak sehat

dalam keluarga meningkatkan kemungkinan perilaku bullying.

3. Aspek-Aspek Perilaku Bullying

Olweus (1993 dalam Rosen, Ornelas & Scoot 2017: 2-3) pertama kali

membagi bullying menjadi tiga komponen: keinginan untuk melakukannya,

keulangannya, dan ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku dan korban.

Namun, bullying terdiri dari tiga jenis: verbal, fisik, dan psikologis, menurut

Coloroso (2007: 21). Berikut ini adalah komponen perilaku bullying:

a. Bullying verbal

Kata-kata memiliki kekuatan yang dapat menghancurkan jiwa orang

yang menerimanya. Baik anak perempuan maupun laki-laki sering

menggunakan pelecehan verbal. Pemberian julukan, celaan, fitnah, kritik

yang kejam, penghinaan (baik secara pribadi maupun rasial), ajakan atau

pelecehan seksual, perampasan uang atau barang, telepon yang kasar,

tuduhan palsu, dan gossip adalah beberapa contoh pelecehan verbal.

Bullying verbal adalah jenis yang paling mudah untuk dilakukan dari

ketiga jenis penindasan lainnya. Ini juga merupakan awal dari bullying
fisik dan psikologis, serta merupakan langkah pertama menuju kekerasan

yang lebih kejam dan merendahkan martabat.

b. Bullying fisik

Dibandingkan dengan kedua jenis pelecehan lainnya, pelecehan fisik

adalah yang paling jelas dan mudah dikenali. Namun, kurang dari

setengah dari semua kasus bullying fisik yang dilaporkan oleh siswa,

meskipun empat belas dapat diidentifikasi dengan mudah. Jenis

pelecehan fisik termasuk memukul, mencekik, menyikut, meninju,

menendang, menggigit, mencakar, meludahi, dan merusak pakaian dan

properti korban. Bahkan jika mereka tidak melakukan cedera yang serius,

pelaku yang lebih kuat dan dewasa akan semakin berbahaya. Anak-anak

yang sering mengalami pelecehan fisik adalah penindas yang paling

bermasalah dan berpotensi terlibat dalam tindakan kriminal yang lebih

serius.

c. Bullying psikologis

Bullying psikologis adalah yang paling sulit untuk diidentifikasi dari luar.

Merupakan pelemahan harga diri korban yang dilakukan secara teratur

melalui pengabaian, pengucilan, atau penghindaran. Tindakan intimidasi

relasional yang paling efektif adalah menghindar. Ini dapat dicapai

dengan menyebarkan rumor agar orang tidak mau berteman dengan

korban. Bullying relasional dapat digunakan untuk menjauhkan

seseorang dari orang lain, menolak mereka, atau sengaja mengganggu

persahabatan. Sikap agresif, lirikan mata, helaan nafas, cibiran, tertawa


mengejek, dan bahasa tubuh yang kasar dapat membantu melakukannya.

Peneliti menggunakan elemen dari Coloroso (2007), yang terdiri dari

bullying fisik, bullying verbal, dan bullying psikologis, sesuai dengan

penjelasan di atas.

4. Ciri-Ciri Perilaku Bullying

Debord & Stephani (dalam Salsabiela, 2010) mengemukakan beberapa

ciri-ciri pelaku bullying yaitu:

a. Anak yang menujukkan agresivitas dalam mengharapkan sesuatu

ataupun perhatian.

b. Kurang memiliki empati dan sulit bertenggang rasa terhadap anak lain

c. Tidak ada rasa bersalah.

d. Merasa diri lebih unggul dan mengharapkan kemenangan disetiap situasi.

e. Memiliki orang tua dan orang terdekat yang menjadi model perilaku

agresif.

f. Memiliki jalan pikiran yang tidak realistik.

5. Karakteristik Perilaku Bullying

Bullying adalah tindakan yang disengaja dan keji yang dimaksudkan

untuk melukai atau menanamkan ketakutan melalui ancaman agresi lebih

lanjut. Hasil penelitian para ahli, seperti yang ditunjukkan oleh Migliaccio

dan Raskaukus (2015: 3-50), menunjukkan bahwa perilaku pelecehan yang

sering terjadi di sekolah umumnya memiliki tiga ciri khusus:


a. Ketidakseimbangan kekuatan

Perilaku pelaku membuat korban tertekan karena ketidakseimbangan

kekuatan. Pelaku pelecehan biasanya lebih tua, lebih besar, lebih kuat,

lebih mahir berbicara, lebih tinggi dalam status sosial, dan lebih dari satu

ras.

b. Perilaku agresi yang menyenangkan

Bullying menyebabkan penderitaan fisik dan emosional, serta tindakan

yang dapat melukai. Selain itu, bullying membuat pelaku merasa senang

menyaksikan penderitaan korban saat dilecehkan.

c. Perilaku yang berulang-ulang atau terus menerus

Bullying tidak dimaksudkan sebagai peristiwa yang hanya terjadi sekali;

itu adalah salah satu dari perilaku agresif yang terjadi berulang kali,

bersifat regeneratif, atau menjadi kebiasaan atau tradisi yang mengancam

kehidupan korban.

6. Jenis Perilaku Bullying

Riauskina (dalam Catshade, 2007) mengatakan bahwa ada lima yang

termasuk ke dalam jenis-jenis bullying:

a. School bullying

Tindakan agresif yang dilakukan secara berulang kali oleh siswa yang

memiliki kekuasaan di sekolah terhadap siswa yang lebih lemah.


b. Military bullying

Menggunakan kekerasan fisik atau penyalahgunaan kekuasaan di

akademi militer untuk mendorong korban tambahan dan memberikan

hukuman yang tidak wajar (ministry of defence (MOD)).

c. Workplace bullying

Bullying di tempat kerja adalah istilah yang mengacu pada perilaku dan

peraktek negatif yang berulang yang ditujukan kepada satu atau lebih

pekerja, yang menyebabkan ketidakberdayaan dan penderitaan

psikologis bagi korban dan berdampak pada perilaku mereka di tempat

kerja.

d. Cyberbullying

Bentuk bullying yang menggunakan alat-alat bantu, medium internet

dan teknologi digital, misalnya ponsel ,sms, mms, email, instant

messenger, website, situs jejaring social, blog, dan onlane forum.

e. Political bullying

Political bullying rasa cinta tanah air yang tinggi ketika suatu Negara

berusaha untuk menjatuhkan Negara lain, perilaku bullying ini muncul.

7. Dampak Perilaku Bullying

Bagi siswa yang merupakan korban bullying, perilaku bullying dapat

berdampak serius. Baik secara mental maupun fisik. Lazarus menjelaskan

bahwa stress adalah kondisi yang dirasakan oleh seseorang yang disebabkan

oleh dirinya sendiri yang berhadapan dengan kondisi internal dan eksternal.

Remaja yang mengalami stres karena bullying sangat beresiko mengalami


dampak negatif pada kehidupan sehari-hari mereka. Remaja merasa tidak

aman dan tidak nyaman sebagai akibat dari situasi tersebut. Akibat

perlakukan bullying yang mereka alami, korban akan mengalami rasa takut

karena diintimidasi, rasa rendah diri, dan perasaan tidak berharga di

lingkungan sekitar (Sakdiyah et al., 2020).

Korban bullying dapat mengalami masalah perilaku dan emosional

dalam jangka pendek, seperti perasaan tidak aman, terisolasi, perasaan harga

diri yang rendah, depresi, atau stress yang dapat menyebabkan bunuh diri.

Baik pelaku, korban, maupun guru dan orang tua mungkin tidak menyadari

efek bullying dalam jangka panjang. Karena efeknya lebih bersifat psikologis

dan emosi yang tidak dapat dilihat dan berlangsung lama, mereka tidak

muncul segera.Faith in (Daniels & Paradise, 2012).

Baik pelaku maupun korban dipengaruhi oleh pelecehan seksual.

Korban terburuk bullying. Dibandingkan dengan anak-anak lainnya, anak-

anak korban pelecehan cenderung mengalami gejala somatisasi. Gejala

somatisasi termasuk sakit kepala berulang hingga kesulitan tidur (Wahyuni

et al., 2019). Selain itu, anak-anak yang menjadi korban pelecehan akan

mengalami kesulitan dalam bergaul, merasa takut datang ke sekolah, dan

mengalami kesulitan untuk berkonsentrasi saat belajar. Semua ini akan

berdampak pada kinerja akademik mereka (Wahyuni et al., 2019). Dampak

psikologis bullying yang paling parah, menurut Semai Jiwa Amini

(SEJIWA), termasuk munculnya gejala gangguan stres pasca trauma,

depresi, dan keinginan untuk bunuh diri (Wahyuni et al., 2019).


Berbagai konsekuensi yang ditimbulkan oleh pelecehan sosial sangat

memengaruhi kesehatan tubuh. Dalam penelitian mereka, Elmerbrink,

Scielzo, dan Campbell (2015) menemukan bahwa pelecehan dapat

mempengaruhi ansietas korban. Selain itu, pelecehan dapat menyebabkan

korban mengalami gangguan psikologis seperti perasaan tidak bahagia,

ketakutan sekolah, dan penurunan prestasi akademik, menurut Sudibyo

(2012).Dalam situasi tambahan, ditemukan bahwa remaja mengalami

pengasingan diri dari sekolah atau mengalami kecemasan sosial, juga dikenal

sebagai kecemasan sosial (Astuti 2008 dalam Sakdiyah et al., 2020). Mereka

bahkan memiliki kecenderungan untuk melakukan bunuh diri (Astuti 2008

dalam Sakdiyah et al., 2020).

8. Pencegahan Bullying

a. Sekolah

Guru dapat membantu siswa mempelajari bullying dan akibatnya untuk

membantu menciptakan lingkungan yang lebih positif dan mengajarkan

keterampilan komunikasi yang positif. Selain itu, kesadaran diri

diperlukan untuk berbuat lebih baik dalam menghilangkan perilaku

pelecehan (Utomo, 2016). Sekolah dapat mengadakan acara untuk

mengurangi perilaku pelecehan, seperti membuat slogan anti pelecehan

(Trisnani, 2016).

b. Pemerintah

Kebijakan institusi atau sekolah dapat mencegah pelecehan. Diharapkan

setiap sekolah memiliki aturan yang jelas tentang perilaku pelecehan.


Selain itu, siswa harus melaporkan kasus pelecehan kepada guru untuk

mendapatkan bantuan (Utomo, 2016).

c. Keluarga

Kurangnya waktu bersama antara orang tua dan anak-anak membuat

mereka kurang terbuka dalam berkomunikasi. Akibatnya, mereka tidak

merasa aman dan percaya diri saat menceritakan masalah mereka. Orang

tua harus memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan anak

remajanya secara positif (Situmorang, 2016).

d. Individu

Untuk menghindari intimidasi dan diperlakukan kurang baik, orang

dapat menggunakan strategi coping seperti kontrol diri dan penerimaan

untuk menghindari tindakan bullying. Tindakan ini dilakukan untuk

mencegah penolakan dan tindakan bullying terulang (Bannink, 2014).

Strategi lain untuk bertahan hidup adalah keaktifan diri, sikap membaur,

dan bergaul dengan orang lain (Bannink, 2014).

C. Peer Grouping (Teman Sebaya)

1. Definisi Peer Grouping (Teman Sebaya)

Kelompok teman sebaya didefinisikan sebagai sekelompok orang yang

berusia sebanding (Surya, 2003:1). Havighurst (Surya, 2003:1) berpendapat

bahwa teman sebaya tidak hanya memiliki usia yang sama, tetapi juga

memiliki perasaan dan kesenangan yang sama.


Menurut Santoso (1999:85), kelompok teman sekolah yang sukses

adalah kelompok di mana siswa dapat berinteraksi satu sama lain. Dalam

kelompok rekan, orang memiliki kesamaan usia, kebutuhan, dan tujuan yang

dapat memperkuat kelompok. Struktur organisasi tidak penting dalam peer

group; sebaliknya, setiap anggota kelompok merasakan tanggung jawab atas

kesuksesan dan kegagalan kelompoknya. Dalam peer group ini, seseorang

dapat menemukan dirinya (pribadi) dan belajar rasa sosialnya seiring dengan

pertumbuhan kepribadiannya. Dalam penelitian ini, sekelompok orang yang

memiliki keinginan, dorongan, dan keinginan untuk terlibat dalam kelompok

disebut sebagai kelompok teman. Dalam kelompok teman sebaya, ikatan

emosional akan memungkinkan orang untuk berinteraksi, bergaul, dan

memberikan semangat dan motivasi kepada teman sebaya yang lain. Adanya

ikatan emosional dalam kehidupan kelompok akan memiliki banyak manfaat

dan dampak yang signifikan bagi semua orang yang terlibat dalam kelompok

tersebut.

2. Aspek – Aspek Interaksi Sosial Teman Sebaya (Peer Grouping)

Mildred B. (dalam Hayati Husna et.al), mengemukakan aspek-aspek

interaksi sosial teman sebaya, yaitu:

1. Jumlah waktu yang dihabiskan remaja di luar rumah meningkatkan

kemungkinan mereka untuk berbicara dengan bahasa dan

pertanyaan mereka sendiri kepada teman sebaya mereka.


2. Remaja yang terlibat dalam bermain bersama teman sebayanya

percaya bahwa teman sebayanya lebih memahami keinginan

mereka dan membantu mereka membuat keputusan sendiri.

3. Tendensi untuk bermain sendiri, remaja yang biasanya bermain

sendiri biasanya introvert, atau hanya berperan sebagai penonton

dalam situasi tekanan.

4. Remaja dengan kecenderungan bermain peran berusaha untuk

menyesuaikan diri dengan lingkungan di mana mereka aktif

bermain dengan teman sebayanya. Remaja menunjukkan

peningkatan perkembangan sosial, yang dapat dilihat dari keinginan

mereka untuk mendapatkan berbagai stimulan dari luar.

5. Dalam upaya menemukan identitasnya, remaja lebih suka bermain

dengan teman sebayanya untuk melepaskan diri dari lingkungan

orang tua.

6. Remaja pertama kali menerapkan prinsip hidup bersama dengan

teman di kelompok sebaya, menciptakan norma, nilai, dan simbol

mereka sendiri.

1. Bentuk-Bentuk Peer group

Macam-macam bentuk peer group adalah sebagai berikut:

a. Kelompok Chums (sahabat karib)

Chums adalah kelompok di mana seorang anak memiliki banyak sahabat

yang sangat dekat satu sama lain. Dalam kebanyakan kasus, kelompok

chums terdiri dari dua sampai tiga orang yang berjenis kelamin sama dan
memiliki minat, kemampuan, dan keinginan yang hampir sama. Jadi,

kesamaan mereka bisa membuat mereka akrab, meskipun kadang-

kadang ada perselisihan. Namun, perbedaan pendapat mereka tidak

bertahan lama dan mudah dilupakan.

b. Kelompok Cliques (komplotan sahabat)

Cliques adalah kelompok remaja yang memiliki minat, kemampuan, dan

keinginan yang sama dan biasanya terdiri dari empat sampai lima orang.

Cliques biasanya terbentuk dari dua rekan teman yang menjadi satu

kelompok, biasanya di tahun pertama masa remaja awal. Cliques

biasanya terdiri dari orang-orang yang berjenis kelamin sama: remaja

putri berteman dengan remaja putri, dan remaja putra berteman dengan

remaja putra. Kelompok cliques biasanya melakukan hal-hal bersama.

Ini termasuk menonton, bersenang-senang, berkomunikasi di media

sosial, dan sebagainya. Karena para remaja banyak menghabiskan waktu

untuk berbagai kegiatan dengan anggota Cliques-nya, tidak jarang terjadi

pertentangan antara orang tua dan remaja.

c. Kelompok Crowds (kelompok banyak remaja)

Crowds biasanya lebih banyak remaja daripada cliques. Karena jumlah

anggotanya yang besar, perasaan emosional anggota pun agak jauh satu

sama lain. Crowds terbentuk dari chums menjadi cliques dan kemudian

menjadi crowds. Dengan demikian, populasi memiliki variasi anggota

kelompoknya, termasuk perbedaan jenis kelamin, kemampuan, minat,

dan keinginan. Anggotanya sama-sama takut diabaikan atau ditolak oleh


rekan-rekannya. Jadi, bagi seorang remaja, peneriman dalam kelompok

adalah penting, terutama dalam kelompok teman.

d. Kelompok yang diorganisir

Kelompok yang dibentuk secara sistematis oleh orang dewasa disebut

kelompok yang diorganisir. Mereka biasanya dibentuk oleh lembaga

tertentu, seperti sekolah dan organisasi keagamaan masyarakat.

Kelompok ini dibentuk karena kesadaran orang dewasa bahwa seorang

remaja sangat membutuhkan adaptasi terhadap lingkungan sosialnya,

interaksi sosial, dan penerimaan dalam kelompok pertemanan. Banyak

remaja, baik yang sudah memiliki kelompok sahabat maupun yang

belum.

e. Kelompok Gangs

Kelompok yang berasal dari pelarian dari empat kelompok di atas

(chums, cliques, crowds, dan organised groups) dikenal sebagai gang.

Remaja pada umumnya memiliki kebutuhan sosial dan pribadi yang

dipenuhi dalam empat kelompok tersebut. Mereka belajar menghormati

dan menghargai teman-teman mereka serta mengikuti prinsip-prinsip

yang berlaku. Namun, ada beberapa anak yang kebutuhan-kebutuhannya

tidak dipenuhi karena mereka menolak atau tidak bisa menyesuaikan diri

dengan lingkungan tersebut. Jadi, remaja yang kecewa ini melarikan diri

dan membentuk gangs. Anggota gangs dapat berasal dari remaja yang

sama jenis kelamin atau berlainan jenis kelamin. Kebanyakan dari

mereka tidak bekerja, dan kelompok gangs kadang-kadang mengganggu


remaja lain dari kelompok sebelumnya. Hal ini sering terjadi karena

dendam yang tidak terkontrol. Namun, ada gangs yang tenang atau santai

juga, tetapi kebanyakan dari mereka agresif dan mengganggu.

2. Fungsi Teman Sebaya (Peer Grouping)

Seorang anak dapat menerima umpan balik atau feedback tentang

bagaimana mereka berperilaku dalam kelompok teman sebayanya sehingga

mereka dapat menilai dan mengevaluasi apakah mereka lebih baik, sama

saja, atau lebih buruk dari teman sebaya yang lain. Ini adalah peran yang

paling penting dari pergaulan teman sebaya. Mereka melihat orang lain

sebagai ukuran agar mereka dapat membandingkan diri mereka dengan

teman-teman mereka. Proses perbandingan ini merupakan salah satu bagian

penting dari pembentukan gambaran diri dan harga diri anak.

Menurut Slamet Santosa yang dikutip dari Nasution fungsi teman

sebaya (peer group) sebagai berikut:

a. Teman sebaya mengajarkan moral yang baru

b. Teman sebagai mengajarkan mobilitas sosial

c. Teman sebaya merupakan informasi baru bagi orang tua, guru dan

masyarakat

d. Teman sebaya membantu sebagai peran sosial sehingga memiliki

tanggung jawab

e. Dalam suatu kelompok teman sebaya masing-masing individu memiliki

ketergantungan satu sama lain.


Teman sebaya memainkan peran penting ketiga dalam perkembangan

pribadi dan sosial, karena mereka membantu dalam membentuk perilaku

dan keyakinan mereka. Teman sebaya juga dapat menentukan cara

menghabiskan waktu senggang, mungkin dengan belajar bersama atau

melakukan aktivitas yang bermanfaat.

Selain itu, teman sebaya juga memberikan dukungan sosial dan

emosional yang dibutuhkan remaja: anak-anak masih menganggap teman

sebaya sebagai hiburan, tetapi seiring bertambahnya usia, mereka mendapati

teman sebaya sebagai tempat yang nyaman dan aman.

3. Jenis – Jenis Teman Sebaya (Peer Grouping)

Menurut Hurlock, dalam teman sebaya (peer group) terdapat beberapa

jenis-jenis teman sebaya yaitu sebagai berikut:

a. Teman Dekat

Anak-anak biasanya memiliki dua atau tiga teman dekat. Teman-teman

ini biasanya berbagi minat dan keterampilan.

b. Kelompok kecil

Dalam kelompok kecil ini, teman-teman dekat biasanya terdiri dari jenis

kelamin yang sama dan kemudian dua jenis kelamin.

c. Kelompok besar

Kelompok besar ini, yang terdiri dari beberapa kelompok kecil dan

kelompok teman dekat, memiliki minat yang sama, yang dapat

menyebabkan jarak sosial yang lebih besar di antara individu.


d. Kelompok terorganisasi

Orang dewasa biasanya memimpin kelompok ini dan sekolah atau

organisasi masyarakat membentuknya untuk memenuhi kebutuhan sosial

remaja.

e. Kelompok geng

Mayoritas geng ini terdiri dari anak-anak yang berusaha mengatasi

penolakan teman-teman melalui perilaku sosial.

Di antara berbagai jenis teman sebaya yang disebutkan di atas, beberapa

memiliki minat dan tujuan yang sama. Salah satu peran yang paling penting dari

teman sebaya adalah bahwa anak-anak dapat menerima umpan balik dari teman

sebayanya tentang bagaimana mereka berprestasi, sehingga mereka dapat

menentukan apakah mereka lebih baik, sama atau lebih buruk dari teman

sebayanya.

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Teman Sebaya (Peer Grouping)

Menurut Conny R yang dikutip dari fitriani faktor-faktor yang

mempengaruhi teman sebaya sebagai berikut:

a. Kesamaan Umur

Anak-anak dipengaruhi secara signifikan oleh teman sebaya mereka

dalam hal berbicara dan berpartisipasi dalam kegiatan bersama, yang

dapat mendorong mereka untuk membangun hubungan persahabatan.

b. Situasi

Situasi atau keadaan di teman sebaya sangat penting dan berpengaruh

saat anak-anak atau remaja memilih teman yang ingin bermain


bersama. Akibatnya, mereka lebih suka bermain secara kompentensif

daripada bermain bersama.

c. Keakraban

Sangat penting bagi pertemanan teman sebaya untuk menjadi akrab satu

sama lain. Ini disebabkan oleh fakta bahwa teman sebaya tidak akan

menjadi renggang, melainkan akan mendorong munculnya perilaku

persahabaran antara mereka.

d. Ukuran Kelompok

Kelompok teman sebaya seharusnya lebih kecil, karena lebih sedikit

orang dapat membantu teman sebaya berinteraksi baik satu sama lain

tanpa membuat kesalahpahaman.

e. Perkembangan Kognisi

Seseorang dapat dipengaruhi oleh teman sekelasnya. Jika seseorang

mudah bergaul dengan orang yang berperilaku jahat, orang tersebut

juga berperilaku jahat begitu pun sebaliknya. Oleh karena itu, lebih baik

untuk berinteraksi dengan teman sebaya yang memiliki kemampuan

kognisi yang baik, karena ini akan memungkinkan peningkatan proses

kognisi dalam kelompok teman sebaya. Anak-anak dengan kognisi

yang baik cenderung menjadi pemimpin kelompok karena mereka

percaya dapat menjadi pemimpin dan memecahkan masalah.

Berdasarkan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi teman sebaya

di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi teman sebaya

rata-rata adalah tingkat usia yang sama, situasi atau keadaan di sekitar,
keakraban dalam menilai pertemanan, jumlah atau ukuran kelompok teman

sebaya, dan kemampuan untuk berpikir sama karena usia yang sama. Selain

itu, berteman dengan teman sebaya akan lebih baik bagi seorang anak untuk

berteman dengan anak-anak yang memiliki kebutuhan dan lingkungan yang

mendukung yang sama dengannya.

D. Regulasi Emosi

1. Definisi Regulasi Emosi

Menurut Gross (2007), regulasi emosi dapat didefinisikan sebagai

strategi yang dilakukan secara sadar atau tidak sadar untuk mempertahankan,

meningkatkan, atau mengurangi satu atau lebih aspek dari respons emosi,

yaitu pengalaman emosi dan perilaku. Seseorang yang memiliki regulasi

emosi juga dapat mengurangi atau mempertahankan emosi yang

dirasakannya, baik positif maupun negatif.

Menurut Shaffer (2005), regulasi emosi adalah kemampuan untuk

mengendalikan dan menyesuaikan emosi yang muncul pada intensitas yang

sesuai untuk mencapai suatu tujuan. Regulasi emosi yang tepat mencakup

kemampuan untuk mengatur perasaan, reaksi fisiologis, kognisi yang

berkaitan dengan emosi, dan reaksi yang berkaitan dengan emosi.

Secara kognisi, regulasi emosi membantu orang mengelola,

mengatur, dan mengendalikan emosi atau perasaan mereka agar tidak

berlebihan (Garnefski et al., 2009). Regulasi emosi mencakup kesadaran dan

pemahaman tentang emosi, penerimaan emosi, dan kemampuan untuk


mengontrol perilaku impulsif dan berperilaku dengan cara yang diinginkan

saat mengalami emosi negatif (Grafz dan Roemer, 2004).

Didasarkan pada definisi-definisi tersebut, regulasi emosi adalah

proses secara sadar maupun tidak sadar untuk mengelola emosi postif dan

negatif serta mengekspresikan mereka dengan cara yang diterima secara

sosial.

2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Regulasi Emosi

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi regulasi emosi adalah:

1. Hubungan Antar Orang Tua Dan Anak

Hubungan antara remaja dan orang tua sangat penting selama masa

pertumbuhan mereka. Remaja menginginkan pemahaman yang simpatis,

dan orang tua dapat merasakan bahwa anak-anaknya memiliki sesuatu

yang penting untuk dibicarakan Rice. Menurut Rice, affect yang

berkaitan dengan perasaan atau emosi yang ada di antara anggota

keluarga dapat bersifat positif atau negatif. Hubungan yang digolongkan

pada emosi seperti kehangatan, kasih sayang, cinta, dan sensitivitas

ditunjukkan oleh Felson et al. (Dalam Kartika, 2004).

Dalam hal ini, anggota menunjukkan bahwa mereka semua ingin

mendengarkan perasaan satu sama lain dan memahami kebutuhan satu

sama lain. Namun, emosi yang negatif terdiri dari emosi yang "dingin",

penolakan, dan permusuhan. Menurut Kartika (2004), anggota keluarga

berpendapat bahwa mereka saling tidak menyukai dan bahkan tidak

mencintai Rice.
Dengan adanya kebutuhan affect, Banerju (dalam Kartika 2004)

menyatakan bahwa orangtua memiliki dampak pada kehidupan emosi

anak-anak mereka. Orang tua yang berinteraksi dengan anak-anaknya

(terutama anak perempuannya) dengan cara yang mereka anggap sesuai

dengan lingkungan sosialnya akan menyebabkan anak-anaknya

mengalami emosi yang tidak stabil terhadap teman-temannya Banerju

(Dalam Kartika, 2004). Menurut beberapa penelitian, orangtua yang

mengajarkan anak-anaknya untuk mengekspresikan emosi mereka

dengan cara yang benar akan memiliki anak-anak yang lebih berperasaan

dan empatik. Salowey et al. (2004).

2. Umur dan Jenis Kelamin

Jenis kelamin dan umur juga ada. Wanita berusia 7 hingga 17 tahun

lebih mampu melupakan emosi yang menyakitkan daripada anak laki-

laki yang seumur dengannya. Salovey dkk. menyimpulkan bahwa anak

perempuan lebih banyak mencari dukungan dan perlindungan dari orang

lain untuk mengendalikan emosi negatif mereka, sedangkan anak laki-

laki menggunakan latihan fisik untuk mengendalikan emosi negatif

mereka.

3. Hubungan Interpersonal

Menurut Salovey et al. (dalam Kartika 2004), hubungan

interpersonal dan individual juga memengaruhi regulasi emosi.

Hubungan ini saling mempengaruhi, jadi emosi meningkat saat

seseorang berusaha mencapai suatu tujuan melalui interaksi dengan


lingkungannya dan dengan orang lain. Biasanya, emosi positif meningkat

saat seseorang mencapai tujuannya, dan emosi negatif meningkat saat

seseorang menghadapi kesulitan untuk mencapai tujuannya.

Menurut Salovey dan Sluyter (2004), permainan yang mereka mainkan,

program televisi yang mereka tonton, dan teman bermain mereka juga dapat

mempengaruhi perkembangan regulasi mereka.

Menurut pendekatan kognisi sosial, faktor-faktor yang memengaruhi

regulasi emosi termasuk lingkungan sosial seseorang dan sejauh mana

individu memberikan penilaian atau pemaknaan terhadap stimulus yang

diserapnya untuk mampu melakukan penyesuaian diri dan mendapatkan

kesejahteraan (Tamir & Mauss, 2014).

Hubungan orang tua-anak, umur dan jenis kelamin, dan hubungan

interpersonal adalah komponen regulasi emosi, menurut uraian di atas.

3. Aspek-Aspek Regulasi Emosi

Menurut Gratz & Roemer, 2004 (dalam Ningrum, 2019, pp. 124-136),

ada empat komponen yang digunakan untuk menentukan seberapa baik

seseorang dapat mengendalikan emosinya:

a. Strategies to emotion regulation (strategies)

Seperti keyakinan seseorang bahwa mereka dapat mengatasi

masalah, menemukan cara untuk mengurangi emosi negatif, dan dapat

dengan cepat menenangkan diri setelah mengalami emosi yang

berlebihan.
b. Engaging in goal directed behavior (goals)

Yakni kemampuan seseorang untuk tetap berpikir dan bertindak

dengan baik tanpa terpengaruh oleh emosi negatifnya.

c. Control emotional responses (impulse)

Maksudnya adalah kemampuan seseorang untuk mengendalikan

emosi yang mereka alami serta respons emosi mereka yang ditunjukkan,

seperti respons fisiologis, tingkah laku, dan nada suara, sehingga mereka

tidak akan merasakan emosi yang berlebihan dan menunjukkan respons

emosi yang tepat.

d. Acceptance of emotional response (acceptance)

Yakni kemampuan seseorang untuk menerima suatu peristiwa yang

menyebabkan emosi negatif tanpa merasa malu. Berdasarkan uraian di

atas, dapat disimpulkan bahwa komponen regulasi emosional termasuk

cara individu mengatasi masalah, kemampuan untuk menghindari

terpengaruh oleh emosi negatif, kemampuan untuk mengendalikan

emosi yang dirasakan dan respons emosi mereka, dan kemampuan untuk

menerima keadaan yang menyebabkan emosi negatif.

4. Strategi Regulasi Emosi

Menurut Gross dan John (Monica Santosa, Rini Sugiarti, 2022), ada dua

regulasi emosi, yaitu:

1. Cognitive reappraisal

Terkait dengan perubahan kognitif seseorang yang memungkinkan

mereka untuk mengubah cara mereka berpikir tentang situasi yang


dapat menyebabkan emosi, yang pada gilirannya dapat

mempengaruhi emosinya. Strategi ini memungkinkan emosi

negative muncul dan meningkatkan emosi positif. Seseorang yang

menggunakan strategi ini untuk mengontrol emosinya memiliki

kedekatan emosional dengan orang lain dan tidak mengalami

masalah dengan hubungan sosialnya.

2. Expressive Suppression

Merupakan modulasi respon di mana seseorang yang sudah dalam

keadaan emosional dapat mengurangi perilaku emosi ekspresif

mereka. Ini berbeda dengan strategi reevaluasi kognitif, yang

menghasilkan peningkatan emosi negatif dan penurunan emosi

positif.

E. Hubungan Peer Grouping (Teman Sebaya) dengan Perilaku Bullying

Perilaku bullying adalah salah satu jenis perilaku adresif yang memiliki

karakteristik unik. Menurut hasil penelitian sebelumnya, dapat disimpulkan

bahwa konfirmasi teman sebaya dapat mempengaruhi perilaku bullying. Ini

berarti bahwa semakin tinggi konfirmasi teman sebaya, semakin banyak perilaku

bullying, dan sebaliknya, semakin rendah konfirmasi teman sebaya, semakin

sedikit perilaku bullying.

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Agustina Dermawan

(2007), "Perilaku Agresif pada anak ditinjau dari Konformitas terhadap Teman

Sebaya", yang menemukan hubungan yang signifikan antara kecenderungan

untuk perilaku bullying dan konformitas teman sebaya.


Hal ini didukung oleh temuan penelitian Dewi (2015), yang menemukan

bahwa tekanan teman sebaya menyebabkan banyak siswa berperilaku

konformitas.

Sejalan dengan temuan penelitian ini, diketahui bahwa konformitas teman

sebaya memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kecenderungan untuk

melakukan perilaku bullying. Perilaku bullying yang sering terjadi saat ini dapat

dilakukan bukan hanya oleh individu, tetapi juga dapat dilakukan secara

berkelompok. Seseorang yang sering melihat teman sebayanya melakukan

bullying mungkin akan melakukannya karena ingin mendapat pengakuan dari

mereka. Ketahuilah bahwa meskipun seseorang menunjukkan respons negatif

terhadap perilaku bullying, lingkungan tempat orang tersebut beradaptasi masih

cenderung terjadi bullying. Akibatnya, seseorang tersebut akan dikucilkan oleh

kelompok karena pendiriannya yang negatif terhadap perilaku bullying. karena

seseorang akan menganggap bullying sebagai hal yang wajar terjadi di sekolah.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Santrock (dalam Ceilindri dan

Budiani, 2016), konformitas terjadi ketika seseorang berperilaku dengan cara

yang sebanding dengan perilaku orang lain. Perilaku ini dipaksa oleh orang lain,

baik secara nyata maupun tersirat. Ini dilakukan untuk memenuhi harapan

kelompok tentang tindakan yang dianggap benar dalam berbagai situasi. Ini juga

dilakukan untuk mencegah kekacauan sosial dan untuk memastikan bahwa

anggota kelompoknya diterima. oleh karena itu penting untuk memilih

lingkungan yang sesuai untuk pergaulan remaja.


F. Hubungan Regulasi Emosi Dengan Perilaku Bullying

Regulasi Emosi digunakan ntuk membentuk kepribadian mereka dan

membentuk perbedaan, seseorang dapat mengendalikan emosi mereka.

Misalnya, seseorang dapat tetap tenang dalam keadaan tertekan, sedangkan

orang lain siap meledak seperti gunung berapi.

Menurut perspektif evolusioner, regulasi emosi sangat penting karena

beberapa bagian otak manusia menginginkan seseorang untuk melakukan

sesuatu dalam situasi tertentu, sedangkan bagian lain melihat bahwa rangsangan

emosional ini tidak sesuai dengan keadaan, yang membuat seseorang melakukan

hal lain atau tidak melakukan apa pun (dalam Kartika, 2004). Seluruh proses

intrinsik dan ekstrinsik yang bertanggung jawab untuk melacak, mengevaluasi,

dan mengubah reaksi emosi untuk mencapai tujuan tertentu juga dapat disebut

sebagai regulasi emosi (Thompson et al., 2004).

Secara sosial, emosi diatur dengan mencari dukungan nyata dan hubungan

interpersonal. Sebaliknya, berbagai macam respons tingkah laku berfungsi untuk

mengontrol emosi. Berteriak, menjerit, menangis, atau menarik diri adalah

beberapa contoh tingkah laku yang tampaknya berusaha mengontrol emosi yang

muncul sebagai respons terhadap rangsangan. Terakhir, emosi juga membantu

mengatur proses kognitif yang disadari, seperti menyalahkan diri sendiri atau

menyalahkan orang lain, atau proses konsentrasi selektif, distorsi memori,

penolakan, atau proyeksi. Garnefski et al. (2004).

Kebanyakan regulasi ini disebabkan oleh reaksi sosial diakui atau tidak

diakui atau tindakan norma sosial yang disebabkan oleh rasa sopan dan perasaan
malu dalam kelompok sosial. Menurut Frijda (dalam Kartika 2004) dan

Garnefski dkk. (dalam Kartika 2004), regulasi emosi berhubungan dengan

kehidupan manusia dan membantu orang mengelola, mengatur, dan

mengendalikan emosi mereka agar tidak berlebihan.

Menurut beberapa definisi di atas, regulasi emosi berarti membantu

seseorang mengolah emosinya, mengatur emosi dan perasaannya, atau

mengendalikan emosi saat di-bully. Jika seseorang dapat mengendalikan atau

mengontrol emosinya, maka regulasi emosi yang diterimanya adalah regulasi

emosi positif.

Faktor penyebab perilaku bullying, seperti karakteristik individu,

merupakan salah satu hubungan antara regulasi emosi, menurut Cowie dkk.

(dalam Umasugi 2013). Anak-anak dengan temperamen tinggi cenderung lebih

agresif. Karena masa transisi dari anak-anak ke masa dewasa mengalami

berbagai macam perkembangan, termasuk kematangan fisik, mental, sosial, dan

emosional, remaja sering bingung dalam menempatkan dirinya di masyarakat.

Akibatnya, mereka sering mengungkapkan emosi negatifnya dengan cara yang

tidak tepat, misalnya dengan berperilaku agresif.

Menurut Cowie et al. (dalam Umasugi 2013), komponen kepribadian

temperamen adalah salah satu hubungan antara regulasi emosi dan perilaku

bullying. Temperamen adalah sifat atau kebiasaan yang dihasilkan dari respons

emosional. Temperamen bukan hanya cara mereka berpikir dan berinteraksi

dengan orang lain; mereka juga mengontrol emosi, psikologi, dan perilaku
mereka. Kebahagiaan seseorang dalam hidup bukan karena dia tidak memiliki

emosi; itu adalah kebiasaan untuk memahami dan mengendalikan emosi.

Bullying adalah perilaku agresif yang dilakukan secara sengaja dan

berulang kali untuk menyerang target atau korban yang lemah, mudah diejek,

dan tidak dapat membela diri sendiri. Bullying didefinisikan sebagai perilaku

agresif yang dilakukan dengan tenang, tanpa beban, dan berulang kali untuk

menyerang target atau korban yang lemah, mudah diejek, dan tidak dapat

membela diri sendiri (Sejiwa, 2008). Remaja yang tertindas biasanya tidak

memiliki keberanian untuk melawan temannya yang lebih kuat. Akibatnya,

ketika mereka dilecehkan, diejek, atau mendapat kekerasan dari temannya,

mereka cenderung tetap diam (Coloroso, 2007).

Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa remaja dengan

karakteristik yang disebutkan di atas memiliki regulasi emosi yang negatif. Ini

karena regulasi emosi yang negatif mendorong tingkah laku agresif yang

berulang, yang dikenal sebagai bullying.


56

BAB III
KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

A. Kerangka Konsep

Konsep merupakan abstrak suatu realita agar dapat dikomunikasikan

dan membentuk suatu teori yang mengungkapkan keterkaitan antar variabel

(baik yang diteliti maupun tidak diteliti). Kerangka konsep akan membantu

peneliti menghubungkan hasil penelitian dan teori (Nursalam, 2017).

Gambar 1.
Kerang Konseptual

Peer grouping

Perilaku bullying

Regulasi emosi

Keterangan:

: Variabel Independent yang diteliti


: Garis penghubung Variabel
: Variabel dependent yang diteliti

56
57

B. Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara dari rumusan masalah. Hipotesis

merupakan suatu pernyataan asumsi dari hubungan antar dua atau lebih variabel

yang diharapkan bisa menjawab suatu pertanyaan dalam suatu penelitian

(Nursalam, 2017).

(Ha):

 Ada Hubungan Yang Signifikan Antara Peer Grouping Dengan Perilaku

Bullying Pada Remaja Di SMP Negeri 20 Makassar.

 Ada Hubungan Yang Signifikan Antara Regulasi Emosi Dengan Perilaku

Bullying Pada Remaja Di SMP Negeri 20 Makassar.

(H0):

 Tidak Ada Hubungan Yang Signifikan Antara Peer Grouping Dengan

Perilaku Bullying Pada Remaja Di SMP Negeri 20 Makassar.

 Tidak Ada Hubungan Yang Signifikan Antara Regulasi Emosi Dengan

Perilaku Bullying Pada Remaja Di SMP Negeri 20 Makassar.

57
58

BAB IV
METODE PENELITIAN

Metode penelitian adalah suatu cara untuk memperoleh kebenaran ilmu

pengetahuan atau suatu masalah, pada dasarnya menggunakan metode ilmiah.

Metode ini meliputi: rancangan penelitian, waktu dan tempat penelitian, populasi

dan sampel, kerangka kerja, definisi operasional, pengumpulan dan analisa data dan

cara analisa data (Nursalam, 2017).

A. Definisi Penelitian

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, peneliti

menggunakan penelitian survey analitik dengan pendekatan Cross-Sectional

study. Cross-sectional study peneliti melakukan pengukuran atau penelitian

dalam satu waktu. Peneliti menggunakan desain cross-sectional study karena

peneliti bermaksud mengidentifikasi ada atau tidaknya hubungan antara variabel

independen dengan variabel dependen dalam satu kali pengukuran

menggunakan alat ukur kuesioner (Nursalam, 2017).

B. Populasi, Sampel, dan Sampling

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang diteliti (Laoh et al.,

2018). Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah semua siswa di

SMP Negeri 20 Makassar yang berusia 13 – 14 tahun dengan jumlah populasi

yang didapatkan sebanyak 309 siswa.

58
59

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh

populasi. Pengambilan sampel dilakukan dengan memilih siswa yang sesuai

kriteria eksklusi dan inklusi. Sedangkan sampling adalah proses menyeleksi

porsi dari populasi yang dapat mewakili populasi yang ada (Nursalam, 2017).

Pada penelitian ini peneliti mengambil sampel dengan menggunakan

rumus sampel Slovin (Nursalam, 2017) yaitu:

𝑁
𝑛=
1 + 𝑁 (𝑑)2

Keterangan:
n: Besar sampel
N: Besar populasi
d: Tingkat signifikasi (d = 0,05)

Jumlah sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah:

𝑁
𝑛=
1 + 𝑁(𝑑)2

309
𝑛=
1 + 309(0,05)2

309
𝑛=
1 + 309(0,0025)

309
𝑛=
1 + 0,7725

309
𝑛=
1,7725

𝑛 = 174,33 (dibulatkan menjadi 174)

59
61

Berdasarkan rumus di atas, maka jumlah sampel yang akan diambil dari

populasi adalah 174 orang. Namun tidak menutup kemungkinan jumlah

sampel tersebut akan berkurang apabila tidak sesuai dengan kriteria yang

diinginkan oleh peneliti. Adapun kriteria sampel yang dimaksud adalah:

a. Kriteria Inklusi

1) Siswa SMP Negeri 20 Makassar yang masih aktif sekolah.

2) Siswa SMP Negeri 20 Makassar yang bersedia menjadi responden.

3) Siswa SMP Negeri 20 Makassar yang mengisi kuesioner dengan

lengkap.

4) Siswa SMP Negeri 20 Makassar yang berusia 13 – 14 tahun.

b. Kriteria eksklusi

1) Siswa SMP Negeri 20 Makassar yang tidak ada di tempat saat

penelitian.

2) Siswa SMP Negeri 20 Makassar yang tidak menjawab kuesioner secara

menyeluruh.

3) Siswa SMP Negeri 20 Makassar yang tidak bersedia menjadi

responden.

4) Siswa SMP Negeri 20 Makassar yang tidak berusia 13 – 14 tahun.

3. Sampling

Sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi untuk dapat

mewakili populasi yang ada. Teknik sampling merupakan cara-cara yang

ditempuh dalam pengambilan sampel, agar memperoleh sampel yang benar-

benar sesuai dengan keseluruhan subjek penelitian (Nursalam, 2017).

61
62

Teknik sampling dalam penelitian ini adalah Nonprobality sampling

yaitu Purposive sampling yaitu teknik penetapan sampel dengan cara memilih

di antara populasi sesuai dengan yang dikehendaki peneliti. Kriteria ini

terbagi atas kriteria inklusi dan eksklusi.

C. Variabel Penelitian

Menurut Notoatmodjo (2019) menjelaskan bahwa variabel adalah sesuatu

yang digunakan sebagai sifat, ciri dan ukuran yang dimiliki atau diperoleh

berdasarkan satuan penelitian tentang sesuatu sesuatu konsep penelitian

terntentu, misalnya umur, pendidikan, jenis kelamin, pekerjaan, status

pernikahan, penyakit, pengetahuan, pendapatan dan sebagainya.

Berdasarkan perannya atau hubungan fungsional variabel dibedakan menjadi:

1. Variabel Independen

Variabel independen adalah variabel yang memengaruhi atau nilainya

menentukan variabel yang lain (Nursalam, 2017). Suatu kegiatan stimulus

yang dimanipulasi oleh peneliti menciptakan suatu dampak pada variabel

dependen. Variabel independen pada penelitian ini adalah peer grouping

(teman sebaya) dan regulasi emosi.

2. Variabel Dependen

Variabel dependen adalah variabel yang dipengaruhi nilainya ditentukan

oleh variabel lain (Nursalam, 2017). Variabel respons akan muncul sebagai

akibat dari manupulasi variabel-variabel lain. Variabel dependen pada

penelitian ini adalah bullying (perundungan).


62

D. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah uraian tentang batasan variabel yang dimaksud atau tentang apa yang diukur oleh variabel yang

bersangkutan (Notoatmodjo, 2019).

Tabel 4. 1 Definisi operasional

No. Variabel Defenisi Operasional Alat Skala Kriteria dan Skor


Ukur Data
1 Independen: Suatu hal yang mempengaruhi seseorang dengan usia yang sama Kuesioner Ordinal Pernyataan positif
Peer untuk meniru segala tindakan, perilaku dan gaya berpikir yang (favorable):
Grouping dilakukan oleh teman sebayanya. SS (Sangat Setuju):
3
S (Setuju): 2
TS (Tidak Setuju):
1
STS (Sangat Tidak
Setuju): 0
Pernyataan negatif
(unfavorable):
SS (Sangat Setuju):
0
S (Setuju): 1
TS (Tidak Setuju):
2
63

STS (Sangat Tidak


Setuju): 3

Kriteria Penilaian:
a. Dikatakan
Tinggi jika ≥
40
b. Dikatakan
rendah jika ˂
40
2 Independen: Kemampuan yang dimiliki seseorang untuk menilai, mengatasi, Kuesioner Ordinal Peryataan positif
Regulasi mengolah dan mengungkapkan emosi yang tepat dalam rangka (favorable):
Emosi mencapai keseimbangan emosional. SS (Sangat Sesuai):
4
S (Sesuai): 3
TS (Tidak Sesuai):
2
STS (Sangat Tidak
Sesuai): 1
Pernyataan negatif
(unfavorable)
SS (Sangat Sesuai):
1
S (Sesuai): 2, TS
(Tidak Sesuai): 3
STS (Sangat Tidak
Sesuai): 4
64

Kriteria Penilaian:
a. Dikatakan baik
jika ≥ 55.
b. Dikatakan
buruk jika ˂ 55.
3 Dependen: Tindakan agresif berupa menyakiti, mengancam, dan Kuesioner Ordinal Pernyataan positif
Perilaku mengintimidasi yang dilakukan individu atau kelompok dalam (favorable):
Bullying bentuk verbal, fisik, mental dan cyberbullying kepada orang lain TP (Tidak Pernah):
secara berulang-ulang. 4
P (Pernah): 3
JR (Jarang): 2
SR (Sering): 1
S (Selalu): 0
Pernyataan negatif
(unfavorable):
TP (Tidak Pernah):
0
P (Pernah): 1
JR (Jarang): 2
SR (Sering): 3
S (Selalu): 4
Kriteria Penilaian:
a. Dikatakan
tinggi jika ≥ 55.
Dikatakan rendah
jika ˂ 55.
E. Waktu dan Tempat Penelitian

1. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 10 Maret – 9 April 2023.

2. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 20 Makassar.

F. Instrument Penelitian

Instrument adalah alat ukur yang dipilih dan digunakan oleh peneliti dalam

kegiatan pengumpulan data, agar kegiatan tersebut menjadi sistimatis dan

mempermudah penelitian. Pembuatan instrument harus mengacu pada variabel

penelitian, definisi operasional dan skala pengukuran (Sujarweni, 2014).

Instrument yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner dengan

skala yang digunakan terdiri dari pernyataan-pernyataan yang berkaitan dengan

variabel dalam penelitian. Adapun pernyataan yang disajikan terdiri dari

pernyataan favorable dan unfavorable. Pernyataan favorable merupakan

pernyataan yang bersifat positif (mendukung) aspek-aspek dalam variabel,

sedangkan pernyataan unfavorable merupakan pernyataan yang bersifat negatif

(tidak mendukung) aspek dari variabel (Azwar, 2015).

1. Kuesioner Peer Grouping (Teman Sebaya)

Pada penelitian ini menggunakan lembar kuesioner Peer Grouping

(Teman Sebaya) yang di adopsi dari penelitian terdahulu milik Yurika Ratna

Pratiwi (2018). Skala dalam penelitian ini disusun dengan item sebanyak 10

item favorable dan 10 item unfavorable yang berjumlah 20 item secara

keseluruhan.

77
78

Skala ini disusun berdasarkan modifikasi model likert yang disusun

dalam empat alternatif jawaban yaitu SS (Sangat Setuju), S (Setuju), TS

(Tidak Setuju), dan STS (Sangat Tidak Setuju). Penilaian diberikan pada

pernyataan yang mengukur favorable, yaitu SS (Sangat Setuju) memperoleh

skor 3, S (Setuju) memperoleh skor 2, TS (Tidak Setuju) memperoleh skor

1, dan STS (Sangat Tidak Setuju) memperoleh skor 0.

Kemudian, penilaian yang diberikan pada pernyataan yang mengukur

unfavorable, yaitu SS (Sangat Setuju) memperoleh skor 0, S (Setuju)

memperoleh skor 1, TS (Tidak Setuju) memperoleh skor 2, dan STS (Sangat

Tidak Setuju) memperoleh skor 3.

Tabel 4. 2 Kisi-Kisi kuesioner teman sebaya(Peer Grouping)

Variabel Aspek Favorable Unfavorable Jumlah


Teman Sebaya (Peer Kekompakan 1,4,5 2,3,6 6
Grouping) Kesepakatan 10,11,13 12,15 5
Ketaatan 8,14,16,18 7,9,17,19,20 9
Total 20

Penentuan skoring pada kriteria objektif, pertama kita harus

menghitung skor tertinggi (X) dan skor terendah (Y), menggunakan

rumus umum sebagai berikut:

Y = Skor terendah x jumlah pertanyaan

= 1 x 20

= 20

X = Skor tertinggi x jumlah pertanyaan

= 3 x 20

= 60
79

Kemudian kita harus mengetahui interval (rentang jarak) dan

kriteria penilaian agar mengetahui penelitian dengan metode mencari

Interval (I), dengan rumus:

I = Range (R) / Kategorik (K)

R =X–Y

= 60 – 20

= 40

K = 2 adalah banyaknya kriteria yang disusun pada kriteria objektif

suatu variabel (Setuju dan Tidak Setuju).

Maka: I = R/K

= 40/2

= 20

Kriteria Penelitian =X–I

= 60 – 20

= 40

Sehingga dikatakan tinggi jika nilainya ≥ 40 dan rendah jika ˂ 40.

2. Kuesioner Regulasi Emosi

Pada penelitian ini menggunakan lembar kuesioner regulasi

emosi yang di adopsi dari penelitian terdahulu milik Deviani Risyana

(2019). Skala dalam penelitian ini disusun dengan item sebanyak 11

item favorable dan 11 item unfavorable yang berjumlah 22 item secara

keseluruhan.
80

Skala ini disusun berdasarkan modifikasi model likert yang

disusun dalam empat alternatif jawaban yaitu SS (Sangat Sesuai), S

(Sesuai), TS (Tidak Sesuai), dan STS (Sangat Tidak Sesuai). Penilaian

diberikan pada pernyataan yang mengukur favorable, yaitu SS (Sangat

Sesuai) memperoleh skor 4, S (Sesuai) memperoleh skor 3, TS (Tidak

Sesuai) memperoleh skor 2, dan STS (Sangat Tidak Sesuai)

memperoleh skor 1.

Kemudian, penilaian yang diberikan pada pernyataan yang

mengukur unfavorable, yaitu SS (Sangat Sesuai) memperoleh skor 1,

S (Sesuai) memperoleh skor 2, TS (Tidak Sesuai) memperoleh skor 3,

dan STS (Sangat Tidak Sesuai) memperoleh skor 4.

Tabel 4. 3 Kisi-kisi Kuesioner Regulasi Emosi

Variabel Aspek Favorable Unfavorable Jumlah


Regulasi Strategi to emotion 1,2,3 11,12,13 6
Emosi regulation
Engaging in goal directed 4,5,6 14,15,16 6
behavior
Control emotional 7,8 17,18,19 5
responses
Acceptance of emotional 9,10 20,21,22 5
response
Total 22

Penentuan skoring pada kriteria objektif, pertama kita harus

menghitung skor tertinggi (X) dan skor terendah (Y), menggunakan

rumus umum sebagai berikut:

Y = Skor terendah x jumlah pertanyaan

= 1 x 22

= 22
81

X = Skor tertinggi x jumlah pertanyaan

= 4 x 22

= 88

Kemudian kita harus mengetahui interval (rentang jarak) dan

kriteria penilaian agar mengetahui penelitian dengan metode mencari

Interval (I), dengan rumus:

I = Range (R) / Kategorik (K)

R =X–Y

= 88 – 22

= 66

K = 2 adalah banyaknya kriteria yang disusun pada kriteria objektif

suatu variabel (Sesuai dan Tidak Sesuai).

Maka: I = R/K

= 66/2

= 33

Kriteria Penelitian =X–I

= 88 – 33

= 55

Sehingga dikatakan tinggi jika nilainya ≥ 55 dan rendah jika ˂ 55.

3. Kuesioner Perilaku Bullying (Perundungan)

Pada penelitian ini menggunakan lembar kuesioner Perilaku

Bullying (Perundungan) yang di adopsi dari penelitian terdahulu milik

Yurika Ratna Pratiwi (2018). Skala dalam penelitian ini disusun


82

dengan item sebanyak 11 item favorable dan 11 item unfavorable yang

berjumlah 22 item secara keseluruhan.

Skala ini disusun berdasarkan modifikasi model likert yang

disusun dalam empat alternatif jawaban yaitu TP (Tidak Pernah), P

(Pernah), JR (Jarang), SR (Sering) dan S (Selalu). Penilaian diberikan

pada pernyataan yang mengukur favorable, yaitu TP (Tidak Pernah)

memperoleh skor 4, P (Pernah) memperoleh skor 3, JR (Jarang)

memperoleh skor 2, SR (Sering) memperoleh skor 1 dan S (Selalu)

memperoleh skor 0.

Kemudian, penilaian yang diberikan pada pernyataan yang

mengukur unfavorable, yaitu TP (Tidak Pernah) memperoleh skor 0,

P (Pernah) memperoleh skor 1, JR (Jarang) memperoleh skor 2, SR

(Sering) memperoleh skor 3 dan S (Selalu) memperoleh skor 4.

Tabel 4. 4 Kisi-kisi Kuesioner Perilaku Bullying

Variabel Aspek Favorable Unfavorable Jumlah


Perilaku Bullying Bullying Fisik 2,4 1,3,5 5
Bullying Verbal 6,9,10 7,8,11 6
Bullying Sosial 12,14,16 13,15 5
Bullying Sosial 18,20,21 17,19,22 6
Total 22

Penentuan skoring pada kriteria objektif, pertama kita harus

menghitung skor tertinggi (X) dan skor terendah (Y), menggunakan

rumus umum sebagai berikut:

Y = Skor terendah x jumlah pertanyaan

= 1 x 22
83

= 22

X = Skor tertinggi x jumlah pertanyaan

= 4 x 22

= 88

Kemudian kita harus mengetahui interval (rentang jarak) dan

kriteria penilaian agar mengetahui penelitian dengan metode mencari

Interval (I), dengan rumus:

I = Range (R) / Kategorik (K)

R =X–Y

= 88 – 22

= 66

K = 2 adalah banyaknya kriteria yang disusun pada kriteria objektif

suatu variabel (Baik dan Buruk).

Maka: I = R/K

= 66/2

= 33

Kriteria Penelitian =X–I

= 88 – 33

= 55

Sehingga dikatakan tinggi jika nilainya ≥ 55 dan rendah jika ˂ 55.


84

G. Prosedur Pengumpulan Data

1. Sumber data

Berdasarkan sumbernya, data dibedakan menjadi dua, yaitu data primer

dan data sekunder (Sugiyono, 2017):

a) Data primer yaitu data yang dibuat oleh peneliti untuk maksud khusus

menyelesaikan permasalahan yang sedang ditanganinya. Data

dikumpulkan sendiri oleh peneliti langsung dari sumber pertama atau

objek penelitian dilakukan. Dalam penelitian ini data primer diperoleh dari

kuesioner yang dibagikan kepada responden.

b) Data sekunder yaitu data yang telah dikumpulkan untuk maksud selain

menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Data ini dapat ditemukan

dengan cepat. Dalam penelitian ini yang menjadi sumber data sekunder

adalah literature, artikel, jurnal, dan situs di internet yang berkenaan

dengan penelitian yang sedang dilakukan.

2. Metode pengumpulan data

Metode pengumpulan data adalah teknik atau cara yang dilakukan oleh

peneliti untuk mengumpulkan data. Pengumpulan data dilakukan untuk

memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam rangka mencapai tujuan

penelitian. Metode pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan

angket (kuesioner) yang dibagikan kepada responden untuk mendapatkan

informasi dan data yang diinginkan.


85

H. Teknik Analisa Data

1. Pengelompokan data

Menurut Sugiyono (2017) agar analisis penelitian menghasilkan informasi

yang benar paling tidak ada empat tahapan dalam pengolahan data yang harus

dilalui, yaitu:

a. Editing

Merupakan kegiatan untuk melakukan pengecekan isian formulir

atau kuesioner apakah jawaban yang ada dikuesioner sudah:

1) Lengkap; semua pertanyaan sudah terisi jawabannya.

2) Jelas; jawaban pertanyaan apakah tulisannya cukup jelas terbaca.

3) Relevan; jawaban yang tertulis apakah relevan dengan pertanyaan.

4) Konsisten; apakah antara beberapa pertanyaan yang berkaitan isi

jawabannya konsisten.

b. Coding

Coding merupakan kegiatan mengubah data berbentuk huruf

menjadi data berbentuk angka/bilangan.

c. Processing

Setelah semua kuesioner terisi penuh dan benar, serta sudah

melewati pengkodean, maka langkah selanjutnya adalah memproses data

yang sudah di-entry dapat dianalisis. Pemprosesan data dilakukan dengan

cara meng-entry data dari kuesioner ke paket program komputer. Ada

bermacam-macam paket program yang dapat digunakan untuk

pemprosesan data dengan masing-masing mempunyai kelebihan dan


86

kekurangan. Salah satu paket program yang sudah umum digunakan untuk

entry data adalah paket program SPSS for Window.

d. Cleaning

Cleaning (pembersihan data) merupakan kegiatan pengecekan kembali

data yang sudah di-entry apakah ada kesalahan atau tidak. Kesalahan

tersebut dimungkinkan terjadi pada saat kita meng-entry ke komputer.

2. Analisa data di bagi menjadi 2 metode analisa univariant dan analisa

bivariate yaitu sebagai berikut:

a) Analisa Univariant

Pada analisa ini dilakukan analisis tabel distribusi frekuensi dari tiap

variabel yang dianggap dengan tujuan penelitian.

b) Analisa Bivariant

Analisa data ditunjukkan untuk menjawab tujuan penelitian menguji

hipotesa penelitian untuk mengetahui adanya hubungan variabel

independen terhadap variabel dependen dengan menggunakan uji statistik

chi square (X2) dengan nilai kemaknaan (α = 0, 05). Setelah uji hipotesa

dilakukan dengan taraf kesalahan (alpha) yang digunakan yaitu 5% atau

0,05, maka penelitian hipotesa yaitu: apabila p ≤ α = 0,05, maka penelitian

hipotesa yaitu: apabila p ≤ α = 0, 05, maka 𝐻𝑎 (Hipotesis Penelitian)

diterima, yaitu berarti ada hubungan antara variabel bebas dengan variabel

terikat. Sedangkan bila p > α = 0, 05 maka 𝐻0 (Hipotesis Penelitian)

ditolak, yang berarti tidak ada hubungan antara variabel terikat.


87

I. Etika Penelitian

Masalah etika penelitian keperawatan merupakan masalah yang sangat

penting dalam penelitian, mengingat penelitian keperawatan berhubungan

langsung dengan manusia, maka segi etika penelitian harus diperhatikan.

Menurut (Hidayat, 2018) masalah etika yang perlu diperhatikan antara lain

sebagai berikut yaitu:

1. Persetujuan Respondent (Informed Consert)

Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti

dengan responden. Informant consent tersebut diberikan sebelum

penelitian dilakukan dengan memberikan lembar persetujuan untuk

menjadi responden. Tujuan informed consent adalah agar subjek menegerti

maksut dan tujuan penelitian, mengetahui dampaknya (Hidayat, 2009).

2. Anonymity (Tanpa Nama).

Masalah ini merupakan masalah yang memeberikan jaminan dalam

penggunaan subjek penelitian dengan cara tidak memberikan atau

mancantumkan nama. Responden pada lembar alat ukur dan hanya

menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang

akan disajikan (Hidayat, 2009).

3. Kerahasiaan (Confidentality)

Masalah ini merupakan masalah etika dengan memberikan jaminan

kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah

lainnya. Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaan


88

oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada

hasil riset (Hidayat, 2009).

4. Privacy

Identitas responden tidak akan diketahui oleh orang lain dan mungkin oleh

peneliti sendiri sehingga responden dapat secara bebas untuk menentukan

pilihan jawaban dari kuesioner tanpa takut di intimidasi oleh pihak lain.
89

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 20 Makassar. Jenis penelitian yang

digunakan yaitu desain Survei Analitik dengan pendekatan Cross Sectional

Study. Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik Purposive

Sampling dengan jumlah sebanyak 174 responden. Instrument pengumpulan

data dalam penelitian ini menggunakan kuesioner. Pengumpulan data dilakukan

mulai tanggal 10 Maret sampai 9 April 2023. Data yang terkumpul selanjutnya

di editing, coding, tabulasi, dan dianalisis. Data diolah menggunakan program

SPSS dengan uji statistic chi-square dengan derajat kemaknaan (α) 0,05. Hasil

penelitian ini berupa analisis univariate dari masing-masing variabel yang

diteliti, analisi bivariate berupa korelasi antara masing-masing variabel

dependen dan independen.

1. Karakteristik Responden

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di SMP Negeri 20 Makassar maka

diperoleh data terkait karakteristik responden yaitu usia, jenis kelamin, kelas,

pernah mendapatkan informasi bullying, dan sumber informasi sebagai

berikut:

a. Usia

Tabel 5. 1 Distribusi Responden Berdasarkan Usia Di SMP Negeri 20 Makassar

Usia n %
13 Tahun 80 46,0
90

14 Tahun 94 54,0

Total 174 100,0


Sumber: Data Primer, April 2023

Berdasarkan tabel 5.1 di atas diperoleh data dari responden dengan

kelompok usia 13 tahun memiliki distribusi sebanyak 80 (46,0 %)

responden, sedangkan responden dengan kelompok usia 14 tahun memiliki

distribusi sebanyak 94 (54,0%) responden.

b. Jenis Kelamin

Tabel 5. 2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Di SMP Negeri 20


Makassar

Jenis Kelamin n %
Laki – laki 87 50,0
Perempuan 87 50,0
Total 174 100.0
Sumber : Data Primer, April 2023

Berdasarkan tabel 5.2 di atas diperoleh data dari responden berjenis

kelamin laki laki sebanyak 87 (50,0%) responden dan perempuan memiliki

distribusi sebanyak 87 (50,0%) responden.

c. Kelas

Tabel 5. 3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kelas Di SMP Negeri 20 Makassar

Kelas n %
7 72 41,4
8 102 58,6
Total 174 100.0
Sumber : Data Primer, April 2023

Berdasarkan tabel 5.3 di atas diperoleh data dari responden yang duduk

di bangku kelas 7 sebanyak 72 (41,4%) responden dan responden yang

duduk di bangku kelas 8 sebanyak 102 (58,6%) responden.


91

d. Pernah mendapatkan informasi bullying

Tabel 5. 4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pernah Tidaknya Mendapatkan


Informasi Bullying Di SMP Negeri 20 Makassar

Pernah mendapatkan n %
informasi
Ya 163 93,7
Tidak 11 6,3
Total 174 100.0
Sumber : Data Primer, April 2023

Berdasarkan tabel 5.4 di atas diperoleh data dari responden yang pernah

mendapatkan informasi bullying sebanyak 163 (92,7%) responden dan

yang tidak pernah mendapatkan informasi bullying sebanyak 11 (6,3%)

responden.

e. Sumber Informasi

Tabel 5. 5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Sumber Informasi Di SMP Negeri 20


Makassar

Sumber Informasi n %
Internet 73 42,0
Televisi 5 2,9
Teman 23 13,2
Sekolah 62 35,6
Belum Pernah 11 6,3
Total 174 100,0
Sumber : Data Primer, April 2023

Berdasarkan tabel 5.5 di atas diperolah data dari responden dengan

kategori sumber informasi tertinggi yaitu internet memiliki distribusi

sebanyak 73(42,0%) responden, sedangkan kategori sumber informasi

terendah yaitu televisi memiliki distribusi sebanyak 5(2,9%) responden.


92

2. Analisa Univariat

Analisa univariat dilakukan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan

karakteristik setiap variabel yang diteliti. Pada analisa univariat ini data

kategori dapat dijelaskan dengan angka atau nilai jumlah data persentase

setiap kelompok.

a. Peer Grouping

Tabel 5. 6 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Peer Grouping DI SMP Negeri 20


Makassar

Peer Grouping n %
Tinggi 72 41,4
Rendah 102 58,6
Total 174 100,0
Sumber : Data Primer, April 2023

Berdasarkan tabel 5.6 bahwa pengaruh teman sebaya (Peer Grouping) di

SMP Negeri 20 Makassar termasuk dalam kategori rendah sebanyak 102

(58,6%) responden.

b. Regulasi Emosi

Tabel 5. 7 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Regulasi Emosi Di SMP Negeri 20


Makassar

Regulasi Emosi n %
Baik 98 56,3
Buruk 76 43,7
Total 174 100,0
Sumber : Data Prime, April 2023

Berdasarkan tabel 5.7 bahwa pengaruh regulasi emosi di SMP Negeri 20

Makassar termasuk dalam kategori baik sebanyak 98 (56,3%) responden.


93

c. Perilaku Bullying

Tabel 5. 8 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Perilaku Bullying Di SMP Negeri 20


Makassar

Perilaku Bullying n %
Tinggi 56 32,2
Rendah 118 67,8
Total 174 100,0
Sumber : Data Primer, April 2023

Berdasarkan tabel 5.8 bahwa perilaku bullying di SMP Negeri 20

Makassar termasuk dalam kategori rendah sebanyak 118 (67,8%)

responden.

3. Analisa Bivariat

Analisa bivariate dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel

independen (Peer Grouping dan Regulasi Emosi) dan variabel dependen

(Perilaku Bullying) dengan uji statistic dengan menggunakan uji Chi-Square

dengan tingkat derajat kemaknaan α = 0,05.

a. Hubungan peer grouping dengan perilaku bullying pada remaja

Tabel 5. 9 Hubungan Peer Grouping Dengan Perilaku Bullying Di SMP Negeri 20


Makassar

Perilaku Bullying P Value


Peer Grouping Tinggi Rendah Total

n % n % n %
Tinggi 27 37,5 45 62,5 72 100 0,273
Rendah 29 28,4 73 71,6 102 100
Total 58 32,2 118 67,8 174 100
Sumber : Data Primer, April (2023)

Berdasarkan tabel 5.10 di atas menunjukkan bahwa didapatkan

jumlah reponden yaitu 174 (100%), responden dengan pengaruh peer


94

grouping yang tinggi dengan perilaku bullying tinggi sebanyak 27

(37,5%) responden, sedangkan responden dengan pengaruh peer

grouping tinggi dengan perilaku bullying rendah sebanyak 45 (62,5%).

responden dengan pengaruh peer grouping yang rendah dengan perilaku

bullying tinggi sebanyak 29 (28,4%) responden, sedangkan responden

dengan pengaruh peer grouping rendah dengan perilaku bullying rendah

sebanyak 73 (71,6%) responden.

Berdasarkan hasil analisis uji statistic dengan menggunakan uji

Chi-Square diperoleh nilai p value = 0,273 > (α = 0,05). Hasil tersebut

menunjukkan bahwa Ha ditolak dan H0 diterima. Sehingga dapat

disimpulkan tidak ada hubungan signifikan antara Peer Grouping dengan

perilaku bullying pada remaja di SMP Negeri 20 Makassar.

b. Hubungan regulasi emosi dengan perilaku bullying pada remaja

Tabel 5. 10 Hubungan Regulasi Emosi Dengan Perilaku Bullying DI SMP Negeri 20


Makassar

Perilaku Bullying P Value


Regulasi Emosi Tinggi Rendah Total

n % n % n %
Baik 34 34,7 64 65,3 98 100 0,521
Buruk 22 28,9 54 71,1 76 100
Total 56 32,2 118 67,8 174 100
Sumber : Data Primer, April (2023)

Berdasarkan tabel 5.11 di atas menunjukkan bahwa didapatkan

jumlah reponden yaitu 174 (100%), Responden dengan pengaruh

regulasi emosi yang baik dengan perilaku bullying tinggi sebanyak 34

(34,7%) responden, sedangkan responden dengan pengaruh regulasi


95

emosi baik dengan perilaku bullying rendah sebanyak 64 (65,3%).

r\esponden dengan pengaruh regulasi emosi yang buruk dengan perilaku

bullying tinggi sebanyak 22 (28,9%) responden, sedangkan responden

dengan pengaruh regulasi emosi buruk dengan perilaku bullying rendah

sebanyak 54 (71,1%) responden.

Berdasarkan hasil analisis uji statistic dengan menggunakan uji

Chi-Square diperoleh nilai p value = 0,521 > (α = 0,05). Hasil tersebut

menunjukkan bahwa Ha ditolak dan H0 diterima. Sehingga dapat

disimpulkan tidak ada hubungan signifikan antara regulasi emosi dengan

perilaku bullying pada remaja di SMP Negeri 20 Makassar.

B. Pembahasan

1. Gambaran Peer Grouping

Hasilnya menunjukkan bahwa pengaruh kelompok teman sebaya

(teman sebaya) pada remaja di SMP Negeri 20 Makassar adalah rendah.

Hasilnya menunjukkan bahwa kekompakan adalah faktor yang paling

penting dalam pengaruh teman sebaya dibandingkan dengan faktor lain

seperti kesepakatan dan ketaatan. Hal ini dibuktikan dengan jawaban siswa

yang setuju bahwa mereka berpartisipasi dalam membantu menyelesaikan

masalah yang muncul di antara teman dalam kelompok pertemanan. Mereka

juga berusaha meluangkan waktu untuk berkumpul dengan teman sebaya.

Remaja di SMP Negeri 20 Makassar memiliki pengaruh yang rendah hingga

tinggi dari teman sebaya karena kekompakan yang kuat (Saarento, 2019).
96

Kekompakan dalam hubungan teman sebaya membuat remaja

merasa nyaman, membuat mereka ingin tetap bersama (Hymel, 2020).

Selain itu, remaja yang tergabung dalam kelompok teman sebaya memiliki

perasaan suka dengan orang lain dan memiliki tujuan yang sama untuk

mendapatkan manfaat dari kelompok. Remaja menghabiskan lebih banyak

waktu di sekolah daripada anggota keluarga mereka sendiri, yang

menghasilkan lebih banyak interaksi dengan teman sebaya mereka. Remaja

akan memiliki kesempatan untuk bergabung dan berkontribusi dalam

kelompok teman sebayanya jika kelompok teman sebaya tetap ada di

sekolah dan kelas mereka (Surilena, 2019).

Pengaruh teman sebaya yang rendah terhadap sebagian besar remaja

berusia 14 tahun dalam penelitian ini. Perubahan sikap dan perilaku terjadi

pada masa remaja; ini lebih sering terjadi pada masa remaja awal (antara 13

dan 16 tahun) daripada pada masa remaja akhir (antara 17 dan 18 tahun)

(Wolke & Lereya, 2019). Keluarga sudah tidak lagi berfungsi sebagai

sumber utama yang memberikan umpan balik dan standar perilaku bagi

remaja. Akibatnya, kelompok teman sebaya menjadi sangat penting

(Herdyanti & Margaretha, 2020). Remaja memiliki kesempatan untuk

menjalin persahabatan yang kuat dalam kelompok teman sebaya, yang

memberikan rasa aman dan memberi tahu mereka bahwa mereka berbeda

dari teman-temannya. Jadi, remaja belajar untuk memahami orang lain dan

menerima kekurangannya, sehingga ia dapat belajar menyesuaikan diri

dengan teman-temannya. Remaja yang tergabung dalam kelompok teman


97

sebaya memiliki kekompakan yang kuat dengan teman mereka, sehingga

mereka dapat berbuat apa saja asalkan sejalan dengan aturan yang telah

ditetapkan oleh kelompoknya (Bahar, 2021). Ketika remaja melihat teman

sebayanya melakukan perilaku tertentu mereka akan mungkin melakukan

hal yang sama seperti yang dilakukan teman sebayanya dengan alasan

kekompakan, sehingga mereka dapat menghindari penolakan, demi

memenuhi harapan kelompok, karena melihat adanya daya tarik kelompok

dan memiliki kepercayaan tertentu terhadap teman sebaya (Kusuma, 2019).

Oleh karena itu kekompakan dalam teman sebaya memiliki pengaruh

penting dalam hubungan teman sebaya.

2. Gambaran Regulasi Emosi

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa subjek

penelitian memiliki regulasi emosi yang baik. Kegiatan ekstrakurikuler di

sekolah dapat membantu siswa dalam pengembangan emosi. Selain itu,

peran guru dalam membantu siswa dengan masalah internal dan eksternal

juga ada, seperti yang ditunjukkan oleh guru BK. Hal ini dapat membantu

siswa mengatasi masalah mereka, sehingga mereka dapat mengurangi

kemungkinan berperilaku bullying. Anak-anak berusia antara tiga belas dan

lima belas tahun meninggalkan sekolah dasar untuk memasuki sekolah

lanjutan tingkat pertama (SLTP atau SMP). Saat ini, anak-anak ingin

berkontribusi dan dihargai dalam kelompoknya. Perilaku yang baik adalah

perilaku yang menyenangkan dan diterima oleh teman sebayanya. Dia


98

mencari dukungan dan persetujuan dari teman-temannya tentang

tindakannya yang buruk atau baik (Lie, 2003). Fithria (2019)

Karena perubahan dalam berbagai aspek perkembangan mereka,

seperti fisik, psikologis, emosi, mental, sosial, dan moral, remaja kurang

dapat mengendalikan emosinya, sehingga mereka bingung dalam

menempatkan diri mereka di masyarakat. Akibatnya, perilaku bullying

kerap terjadi di usia remaja. Remaja yang dapat mengendalikan emosinya,

memahami emosinya, dan mengarahkan emosinya ketika mendapat tekanan

dapat bertindak lebih positif. Mereka dapat mengendalikan diri mereka saat

kesal sehingga mereka dapat memahami diri mereka untuk tidak melakukan

hal-hal yang dapat menyakiti orang lain atau melakukan tindakan bullying

(Puspitasri, 2020).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa/i di SMP Negeri 20

Makassar memiliki kemampuan untuk mengendalikan emosinya dengan

baik. Ini menunjukkan bahwa siswa/i di SMP Negeri 20 Makassar memiliki

kemampuan untuk melacak, mengevaluasi, dan mengubah emosi mereka

sehingga mereka dapat mengendalikannya dengan cara yang positif. Mereka

juga belajar untuk menghindari tindakan atau perilaku yang dapat merusak

emosi mereka.

3. Gambaran Perilaku Bullying

Perilaku bullying yang ditunjukkan oleh remaja di SMP Negeri 20

Makassar dianggap tinggi. Hal ini ditunjukkan oleh fakta bahwa beberapa
99

siswa pernah mengolok-olok dan melakukan kekerasan fisik kepada teman

sebayanya. Penemuan ini terkait dengan perilaku yang ditunjukkan oleh

siswa ketika teman sebayanya mengolok-olok dan melakukan kekerasan

fisik kepada siswa lain. Siswa juga menggunakan kata-kata kasar untuk

memerintah teman sebayanya dan memanggil nama siswa lain dengan

panggilan yang tidak disukai. Selain itu, mereka melakukan kekerasan fisik,

termasuk mendorong, memukul, dan menendang siswa lain. Ini

menunjukkan bahwa remaja di SMP Negeri 20 Makassar melakukan

bullying.

Sebagian besar siswa cenderung berperilaku bullying, menurut data

penelitian ini. Remaja di rentang usia 13-17 tahun memiliki emosional yang

lebih labil dan banyak konflik karena kecenderungan untuk memberontak,

yang menyebabkan tingginya perilaku bullying (Bara, 2019).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perilaku bullying pada

remaja memiliki hubungan dengan jenis kelamin laki-laki. Laki-laki

memiliki sifat maskulin, seperti rasional, tegas, persaingan, sombong,

agresif, dan fisikal, sedangkan perempuan memiliki sifat lebih feminin,

seperti emosional, fleksibel, kerjasama, selalu mengalah, berfokus pada

menjalin hubungan, menggunakan insting, pasif, mengasuh, dan cerewet

(Mazur, Tabak, & Zawadzka, 2021). Karena karakter maskulin dan agresi

yang ada pada remaja laki-laki, dapat disimpulkan bahwa remaja laki-laki

lebih cenderung berperilaku bullying secara fisik dibandingkan remaja


100

perempuan. Kesimpulan ini didasarkan pada teori dan penelitian terkait

yang dipaparkan di atas.

Menurut penelitian ini, sebagian besar remaja telah mengakses

informasi tentang perilaku bullying melalui internet. Dalam penelitian

Primasti (2020), ditemukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara

tindakan bullying dan tayangan tindakan kekerasan di media massa yang

dilakukan oleh remaja. Dalam kehidupan sehari-hari, internet adalah media

elektronik yang sangat umum. Bullying sering dipertontonkan dan

digambarkan sebagai perilaku lucu yang mengandung elemen kekerasan

(memperlakukan seseorang, ejekan, menendang, atau memukul) dan

dianggap sebagai hiburan. Hal tersebut akan terakumulasi dalam pikiran

remaja dan dapat memicu bullying.

4. Hubungan Peer Grouping Dengan Perilaku Bullying Pada Remaja

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara

kelompok teman sebaya (teman sebaya) dengan perilaku bullying yang

dilakukan oleh remaja di SMP Negeri 20 Makassar. Ini disebabkan oleh fakta

bahwa baik pengaruh teman sebaya yang rendah maupun tinggi

menunjukkan perilaku bullying yang lebih rendah. Kesimpulannya, perilaku

bullying yang dilakukan oleh remaja di SMP Negeri 20 Makassar tidak

memiliki perbedaan antara pengaruh teman sebaya yang rendah maupun

tinggi. Peneliti tidak dapat mengendalikan beberapa faktor pengganggu,

sehingga pengaruh teman sebaya bukanlah satu-satunya faktor yang

mempengaruhi perilaku pelecehan. Faktor-faktor tersebut termasuk


101

responden yang tidak terlalu tertarik untuk mengisi kuesioner karena jumlah

item yang cukup banyak dan mereka yang tidak memiliki pengawasan dari

guru, yang membuat mereka kurang teliti dalam menjawab semua item

kuesioner. Selain itu, ditemukan variabel lain yang mempengaruhi perilaku

bullying secara internal, seperti jenis kepribadian dan keyakinan seseorang,

serta variabel eksternal, seperti pola asuh orang tua, lingkungan sekolah, dan

media sosial.

Menurut penelitian Hadi (2019), tidak ada hubungan antara pengaruh

teman sebaya dengan perilaku bullying. Penelitian ini sejalan dengan temuan

ini. Tipe kepribadian dapat memengaruhi perilaku bullying; remaja

ekstrovert cenderung lebih terbuka terhadap lingkungan, aktif, agresif, dan

bertindak tanpa berpikir panjang, sementara introvert cenderung tertutup dan

pasif.

Percaya diri dianggap sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi

perilaku bullying remaja (Hymel, 2019). Remaja dengan tingkat kepercayaan

diri rendah menunjukkan perilaku bullying yang tinggi dalam penelitian

tersebut. Mereka yang percaya diri cenderung melihat segalanya secara

positif dan baik; mereka yang berani berpendapat dan mengambil keputusan

berani tanpa takut akan dikucilkan. Remaja yang percaya diri akan

berperilaku positif sesuai keinginan mereka. Sehingga dapat disimpulkan

bahwa kepercayaan diri adalah salah satu faktor yang berhubungan dengan

kemungkinan remaja mengalami perilaku bullying (Budiarto & Ervina,

2018).
102

Studi Primasti (2019) menunjukkan bahwa media sosial memengaruhi

perilaku bullying. Media sosial membiarkan penggunanya mengontrol akun

mereka sendiri. Dengan kebebasan ini, orang yang memiliki akun mungkin

tidak menyadari bahwa semua yang ada di akun mereka dapat diakses oleh

orang lain. Remaja sering mengalami kesulitan untuk mengendalikan emosi

mereka dan mungkin sering meluapkan perasaan mereka di depan orang tua,

saudara, atau media sosial. Media sosial memberi remaja kebebasan yang

lebih besar daripada media lain, memungkinkan mereka untuk meluapkan

amarah, kecewa, sedih, memaki, bahkan mem-bully teman mereka. Karena

kurangnya kontrol di media sosial, remaja biasanya melakukan bullying.

Menurut penelitian Rohman (2019), teman sebaya sangat

mempengaruhi perilaku bullying remaja, temuan ini tidak sejalan. Remaja

yang termasuk dalam penelitan ini berada di fase remaja pertengahan (15-17

tahun), dimana pengaruh teman sebaya sangat besar. Remaja tengah akan

berusaha mencari teman baru agar mereka memiliki lebih banyak teman

seusia mereka. Remaja melakukan perilaku bullying untuk mendapatkan

perhatian dari teman sebaya mereka. Jika teman-teman mereka tertawa saat

mereka melakukan perilaku bullying, mereka akan merasa bangga, yang

mendorong remaja untuk terus melakukan perilaku bullying.

Studi Shears (2018) juga memperkuat pengaruh teman sebaya terhadap

perilaku bullying, yang menemukan bahwa remaja dengan hubungan teman

sebaya yang kuat memiliki perilaku bullying yang lebih rendah. Hal ini

disebabkan oleh fakta bahwa teman sebaya yang kuat akan saling
103

mendukung satu sama lain saat salah satu di antara mereka menghadapi

masalah. Mereka akan saling menolong karena rasa solidaritas mereka,

terutama ketika salah satu dari anggota kelompok teman sebaya

mendapatkan perlakuan buruk dari teman lainnya.

Studi Dewi (2020) juga menemukan bahwa ada hubungan antara teman

sebaya dan perilaku bullying. Hal ini dapat dikaitkan dengan fakta bahwa

tekanan kelompok teman sebaya menyebabkan banyak remaja berperilaku

serupa. Banyak kasus bullying yang terjadi dalam geng, sebuah kelompok

teman sebaya. Ketika remaja melihat teman sebayanya berperilaku tertentu,

seperti bullying, mereka mungkin melakukan hal yang sama. Mereka

melakukan hal tersebut untuk menghindari penolakan dan memenuhi

harapan kelompok, karena kelompok teman sebaya meiliki daya tarik yang

tinggi dan dipercaya oleh remaja. Akibatnya, teman sebaya memainkan

peran penting dalam pembentukan perilaku bullying pada remaja.

5. Hubungan Regulasi Emosi Dengan Perilaku Bullying Pada Remaja

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara

regulasi emosi dengan perilaku bullying yang dilakukan oleh remaja di SMP

Negeri 20 Makassar, karena baik regulasi emosi yang baik maupun buruk

menunjukkan perilaku bullying yang lebih rendah. Kesimpulannya, perilaku

bullying yang dilakukan oleh remaja di SMP Negeri 20 Makassar tidak

berbeda dengan regulasi emosi yang rendah atau tinggi.

Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya (Topcu, 2019), yang

menunjukkan bahwa tidak ada hubungan negatif yang signifikan antara


104

strategi pengungkapan emosi ekspresif dan perilaku bullying. Remaja

kadang-kadang menyembunyikan emosinya, terutama emosi negatifnya,

karena mereka tidak ingin emosi tersebut diketahui orang lain dan khawatir

jika emosi tersebut akan memperburuk keadaan sekitarnya. Akibatnya,

mereka lebih suka menyendiri atau menjauh dari lingkungannya agar tidak

terlibat dalam masalah bullying.

Seperti yang disampaikan oleh subjek penelitian yang berinisial R,

seorang perempuan berusia 13 tahun. Ia mengatakan bahwa ia sering

menyembunyikan perasaan marah dan sedihnya karena ia merasa malu jika

ia diketahui orang lain, dan karena ia takut keadaan akan menjadi lebih

buruk jika ia harus marah-marah kepada orang lain. Namun, itu tidak

mencegah dia melampiaskan kemarahannya kepada orang lain, seperti

memukul atau menghina mereka. Subjek FK, seorang remaja laki-laki

berusia 14 tahun, membuat pernyataan serupa: ia mengaku malu jika harus

mengungkapkan emosi marahnya dan kesedihan kepada teman atau orang

tuanya, dan lebih memilih untuk memendamnya sendiri karena ia percaya

bahwa laki-laki harus lebih kuat secara mental. Namun, pernyataan ini tidak

berkaitan dengan tindakan buruknya terhadap orang lain, seperti memukul

atau menendang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa para remaja tidak

melakukan bullying meskipun mereka sering menggunakan strategi regulasi

emosi ekspresif untuk mengendalikan emosi negatifnya karena mereka pikir

itu tabu dan kekhawatiran akan memperburuk keadaan dan tidak pantas

untuk anak laki-laki.


105

Untuk menggunakan strategi pengusiran emosi ekspresif, remaja

harus benar-benar mengalami situasi yang tidak menyenangkan agar

mereka dapat menekan emosi yang tidak diinginkan mereka dan

menghasilkan respons yang sesuai dengan keadaan emosi mereka (Gross &

John, 2004).

Seperti emosi kemarahan dan kesedihan tidak terkait dengan

perilaku memukul atau menghina, emosi negatifnya diukur dalam penelitian

ini, tetapi tidak secara khusus menggambarkan emosi negatif yang

mengarah pada perilaku bullying.

C. Keterbatasan Penelitian

Saat penelitian ini dilakukan peneliti mengalami beberapa keterbatasan dan

hambatan yaitu:

a. Kurangnya antusias responden saat mengisi kuesioner karena jumlah item

kuesioner yang cukup banyak.

b. Kurangnya pengawasan dari guru membuat responden kurang teliti dalam

menjawab setiap item kuesioner yang ada.

D. Implikasi Keperawatan

Memberikan gambaran bagi perawat untuk memberikan penyuluhan atau

edukasi kesehatan kepada sekolah atau siswa/I tentang perilaku bullying dan

meminimalisir perilaku bullying.


BAB VI
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan di SMP Negeri 20

Makassar, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Di SMP Negeri 20 Makassar, remaja usia 13–14 tahun menunjukkan

pengaruh teman sebaya rendah dibandingkan dengan pengaruh teman sebaya

tinggi. Ketika remaja melihat teman sebayanya berperilaku tertentu, mereka

mungkin melakukan hal yang sama untuk memenuhi harapan kelompok dan

menghindari penolakan.

2. Remaja SMP Negeri 20 Makassar yang berusia 13–14 tahun memiliki

regulasi emosi yang lebih baik daripada yang buruk. Kondisi ini

menunjukkan bahwa siswa memiliki kemampuan untuk mengawasi, menilai,

dan mengubah emosi mereka sehingga mereka dapat mengendalikannya

dengan baik. Jika siswa dapat mengontrol emosi mereka, mereka dapat

mengarahkan emosi mereka ke arah yang positif dan belajar untuk

menghindari tindakan atau hal-hal yang dapat menyakiti orang lain.

3. Remaja usia 13–14 tahun di SMP Negeri 20 Makassar menunjukkan perilaku

bullying rendah dibandingkan dengan perilaku bullying tinggi. Remaja

dalam rentang usia 13–17 tahun memiliki banyak konflik dan kecenderungan

untuk memberontak, yang menyebabkan tingginya perilaku bullying.

97
98

4. Dengan nilai signifikan p value = 0,273 (>α= 0,005), tidak ada hubungan

antara kelompok teman sebaya dengan perilaku bullying pada remaja usia

13–14 tahun di SMP Negeri 20 Makassar. Jenis kepribadian dapat

memengaruhi perilaku bullying; remaja ekstrovert cenderung lebih terbuka

terhadap lingkungan, aktif, agresif, dan bertindak tanpa berpikir panjang,

dibandingkan dengan introvert.

5. Dengan nilai signifikan p value = 0,521 (>α= 0,005), tidak ada korelasi

antara regulasi emosi dan perilaku bullying pada remaja usia 13–14 tahun di

SMP Negeri 20 Makassar. Terkadang remaja menyembunyikan emosinya,

terutama yang negatif, karena mereka tidak ingin diketahui orang lain dan

khawatir jika emosi tersebut akan memperburuk keadaan sekitarnya.

Akibatnya, mereka memilih untuk menyendiri atau menjauh dari

lingkungannya agar tidak terlibat dalam masalah bullying.

B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diberikan

beberapa saran kepada pihak terkait, yaitu:

a. Bagi Sekolah

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sekolah dapat membuat kebijakan

untuk mencegah bullying agar remaja tidak mengalami masalah psikologis

yang berkelanjutan.
99

b. Bagi Remaja

Berdasarkan hasil penelitian ini remaja diharapkan lebih selektif lagi

dalam memilih teman dalam bergaul untuk mengurangi risiko

terjadinya perilaku bullying.

c. Bagi Peneliti Lain

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi dan informasi

yang bermanfaat. Peneliti selanjutnya yang ingin melakukan penelitian

serupa diharapkan dapat memperbaiki kuesioner agar lebih sesuai

dengan hasil yang diharapkan.


DAFTAR PUSTAKA

Adriel, Y., & Indrawati, E. S. (2019). Hubugan Antara Konformitas Teman Sebaya
Dengan Perilaku Bullying Pada Siswa Kelas Xii Smk Teuku Umar Semarang.
Jurnal EMPATI, 8(1), 271–276. https://doi.org/10.14710/empati.2019.23603
Asrori, M., & Ali, M. (2006). Psikologi remaja perkembangan peserta
didik. Jakarta: PT Bumi Aksara.
AUDIANA, C. (2018). PENGARUHI EXTERNAL LOCUS OF CONTROL
TERHADAP PERILAKU BULLYING DI SMA NEGERI 1 CERME (Doctoral
dissertation, UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH GRESIK).
Ceilindri, R. A., & Budiani, M. S. (2016). Harga diri dan konformitas dengan
perilaku bullying pada siswa sekolah menengah pertama. Jurnal Psikologi
Teori dan Terapan, 6(2), 64-70.
Chapple, C. L., Vaske, J., & Hope, T. L. (2010). Sex differences in the causes of
self-control: An examination of mediation, moderation, and gendered
etiologies. Journal of Criminal Justice, 38(6), 1122-1131.
Charalampous, K., Demetriou, C., Tricha, L., Ioannou, M., Georgiou, S., Nikiforou,
M., & Stavrinides, P. (2018). The effect of parental style on bullying and cyber
bullying behaviors and the mediating role of peer attachment relationships: A
longitudinal study. Journal of adolescence, 64, 109-123.
Coloroso, B. (2007). The Bully, The Bullied, and The Bystander. New York:
HarperCollins.
Cook, C. R., Williams, K. R., Guerra, N. G., Kim, T. E., & Sadek, S. (2010).
Predictors of bullying and victimization in childhood and adolescence: A meta-
analytic investigation. School psychology quarterly, 25(2), 65.
Farrington, D., & Baldry, A. (2010). Individual risk factors for school
bullying. Journal of aggression, conflict and peace research, 2(1), 4-16.
Forsberg, C., & Thornberg, R. (2016). The social ordering of belonging: Children’s
perspectives on bullying. International Journal of Educational Research, 78,
13-23.
Garnefski, N., Koopman, H., Kraaij, V., & ten Cate, R. (2009). Brief report:
Cognitive emotion regulation strategies and psychological adjustment in
adolescents with a chronic disease. Journal of adolescence, 32(2), 449-454.
Gómez-Ortiz, O., Romera, E. M., & Ortega-Ruiz, R. (2015). Parenting styles and
bullying. The mediating role of parental psychological aggression and physical
punishment. Child abuse & neglect, 51, 132-143.
Gratz, K. L., & Roemer, L. (2004). Multidimensional assessment of emotion
regulation and dysregulation: Development, factor structure, and initial

105
106

validation of the difficulties in emotion regulation scale. Journal of


psychopathology and behavioral assessment, 26, 41-54.
Gross, J. J.& Mauss, I. B., Bunge, S. A., (2007). Automatic emotion
regulation. Social and Personality Psychology Compass, 1(1), 146-167.
Hanifah, N., & Nurmaguphita, D. (2018). Hubungan Peran Teman Sebaya Dengan
Perilaku Bully pada Siswa Kelas VIII Di SMP Muhammadiyah 1
Bambanglipuro Bantul Yogyakarta. Naskah Publikasi.
Hong, J. S., Espelage, D. L., Grogan-Kaylor, A., & Allen-Meares, P. (2012).
Identifying potential mediators and moderators of the association between
child maltreatment and bullying perpetration and victimization in
school. Educational Psychology Review, 24(2), 167-186.
Hurlock, E. B. (2012). Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan (terjemahan). Jakarta: Erlangga.
Iyer-Eimerbrink, P. A., Scielzo, S. A., & Jensen-Campbell, L. A. (2015). The
impact of peer victimization. J Bullying Soc Aggression, 1.
Jahja, Y. (2013). Psikologi Perkembangan (1st ed.). Kencana Prenada Media
Group.
Jimerson, S. R., Swearer, S. M., & Espelage, D. L. (2009). International scholarship
advances science and practice addressing bullying in schools. In Handbook of
bullying in schools (pp. 1-6). Routledge.
Lereya, S. T., Samara, M., & Wolke, D. (2013). Parenting behavior and the risk of
becoming a victim and a bully/victim: A meta-analysis study. Child abuse &
neglect, 37(12), 1091-1108.
Malm, E. K., & Henrich, C. C. (2019). Longitudinal relationships between parent
factors, children’s bullying, and victimization behaviors. Child Psychiatry &
Human Development, 50(5), 789-802.
Marliyani, L., Mariyati, & Tamrin. (2020). Hubungan Kejadian Bullying dengan
Mekanisme Koping pada Remaja. Jurnal Ners Widya Husada, 7(1), 9–14.
Martínez, I., Murgui, S., Garcia, O. F., & García, F. (2019). Parenting in the digital
era: Protective and risk parenting styles for traditional bullying and
cyberbullying victimization. Computers in human behavior, 90, 84-92.
Mazzone, A., & Camodeca, M. (2019). Bullying and moral disengagement in early
adolescence: Do personality and family functioning matter?. Journal of Child
and Family Studies, 28(8), 2120-2130.
Moshman, D. (2005). Adolescent psychological development: Rationality,
morality, and identity. Psychology Press.
107

Murphy, T. P., Laible, D., & Augustine, M. (2017). The influences of parent and
peer attachment on bullying. Journal of child and family studies, 26(5), 1388-
1397.
Ningrum, R. E. C., Matulessy, A., & Rini, R. A. P. (2019). Hubungan antara
konformitas teman sebaya dan regulasi emosi dengan kecenderungan perilaku
bullying pada remaja. Insight: Jurnal Pemikiran Dan Penelitian Psikologi,
15(1), 124. doi:10.32528/ins.v15i1.1669.
Nurwahidah. (2021). Hubungan Antara Strategi Regulasi Emosi Dengan Perilaku
Bullying Pada Remaja Di DKI Jakarta. JCA Psikologi, Volume 2.
Olweus, D (2012). Bullying at school: What we know and what we can do.
Cambridge, MA: Blackwell.
Papadaki, E., & Giovazolias, T. (2015). The protective role of father acceptance in
the relationship between maternal rejection and bullying: A moderated-
mediation model. Journal of Child and Family Studies, 24(2), 330-340.
Pendidikan Keperawatan Indonesia, 5(1), 25–33.
https://doi.org/10.17509/jpki.v5i1.11180
Rahmawati, M. N., Rohaedi, S., & Sumartini, S. (2019). Tingkat Stres Dan
Indikator Stres Pada Remaja Yang Melakukan Pernikahan Dini. Jurnal
Rezapour, M., Khanjani, N., & Mirzai, M. (2019). Exploring associations between
school environment and bullying in Iran: Multilevel contextual effects
modeling. Children and youth services review, 99, 54-63.
Rose, C. A., Swearer, S. M., & Espelage, D. L. (2012). Bullying and students with
disabilities: The untold narrative. Focus on exceptional children, 45(2), 1-10.
Santosa, M., & Sugiarti, R. (2022). Studi Literatur: Perilaku Bullying Terhadap
Regulasi Emosi Pada Remaja Di Sekolah. Jurnal Pendidikan dan Konseling
(JPDK), 4(5), 474-481.
Sejiwa. (2008). Bullying. Jakarta: PT Grasindo.
Sugiyono. (2017). Metode penelitian kuantitatif kualitatif R&D. Alfabeta.
Sujarweni, V. W. (2014). Metodologi penelitian keperawatan. Yogyakarta: Gava
Media.
Trisnani, R. P., & Wardani, S. Y. (2016). Perilaku bullying di sekolah. G-Couns:
Jurnal Bimbingan dan Konseling, 1(1).
Umasugi, S. C. (2013). Hubungan antara regulasi emosi dan religiusitas dengan
kecenderungan perilaku bullying pada remaja. Fakultas Psikologi Universitas
Ahmad Dahlan, 2(1).

Anda mungkin juga menyukai