(5) Menyusun laporan akhir hasil pemetaan, sebagai bahan Advokasi mencegah
terjadinya kekerasan di Sekolah dan mendorong Sekolah Ramah Anak. Laporan ini
akan menjadi pertimbangan bagi Dinas Pendidikan untuk mempertimbangkan
beberapa rekomendasi utamanya dalam penguatan kapasitas guru dan stakeholder
pendidikan untuk membangun kebijakan dan budaya sekolah ramah anak. Serta
partisipasi anak melalui pemberdayaan siswa dalam membangun ketrampilan hidup
agar mampu menjaga diri agar tidak menjadi korban dan tidak menjadi pelaku
kekerasan.
D. Susunan Tim
Penelitian dilakukan oleh 9 peneliti dan 4 pendukung penelitian dari Dinas
Pendidikan Provinsi Jawa Timur, Bappeda Provinsi Jawa Timur dan BPPKB Provinsi
Jawa Timur. Tim Peneliti dipilih berdasarkan keterwakilan kelembagaan dan yang
pernah atau berpengalaman dalam melakukan penelitian partisipatoris berbasis aksi
di Jawa Timur terkait dengan kekerasan terhadap anak. Adapun anggota tim
tersebut adalah :
1) Familial Abuse
Incest merupakan sexual abuse yang masih dalam hubungan darah,
menjadi bagian dalam keluarga inti.
2) Extrafamilial Abuse
Extrafamilial Abuse, dilakukan oleh orang lain di luar keluarga korban,
dan hanya 40% yang melaporkan peristiwa kekerasan. Kekerasan
seksual yang dilakukan oleh orang dewasa disebut pedophile, yang
menjadi korban utamanya adalah anak-anak. Pedophilia diartikan
”menyukai anak-anak” (deYong dalam Tower, 2002). Pedetrasy
merupakan hubungan seksual antara pria dewasa dengan anak laki-laki
(Struve & Rush dalam Tower, 2002). Pornografi anak menggunakan
anak-anak sebagai sarana untuk menghasilkan gambar, foto, slide,
majalah, dan buku (O’Brien, Trivelpiece, Pecora et al., dalam Tower,
2002).
Sekolah yang ramah anak merupakan institusi yang mengenal dan menghargai hak
anak untuk memperoleh pendidikan, kesehatan, kesempatan bermain dan
berekreasi, melindungi dari kekerasan dan pelecehan, dapat mengungkapkan
pandangan secara bebas, dan berperan serta dalam mengambil keputusan sesuai
dengan kapasitas mereka. Sekolah juga menanamkan tanggung jawab untuk
menghormati hak-hak orang lain, kemajemukan dan menyelesaikan masalah
perbedaan tanpa melakukan kekerasan. Didalam konsep sekolah ramah anak murid
selalu dilibatkan didalam menciptakan lingkungan sekolah yang menarik dan ideal,
seperti :
a) Dilibatkan dalam mengungkapkan ide, gagasannya mendesain sekolah dengan
media belajar (kotak saran, jam diri, kotak soal, majalah dinding, taman, kebun
sekolah, penataan bangku, dekorasi kelas sehingga menarik).
b) Murid dilibatkan dalam berbagai aktifitas yang mengembangkan kompetensi
dengan menekankan proses belajar melalui berbuat sesuatu.
Sebuah Sekolah Ramah Anak semestinya memiliki sembilan (9) tujuan, antara lain :
Ada 13 (tigabelas) kriteria yang diberikan oleh lembaga Unicef, agar sebuah sekolah
menjadi sekolah ramah anak, yaitu:
1. Kota Pasuruan
Penduduk Kota Pasuruan berjumlah 186.262 jiwa, dari jumlah tersebut 46.896
adalah anak usia sekolah mulai 04- 18 tahun. Sementara anak-anak yang duduk di bangku
TK/RA, SD/MI, SMP/MTs dan SMA/SMK/MA terdiri dari (6.224 + 21.636 + 10195 + 11.335).
Sementara lainnya berada dalam SLB, Pendidikan Non Formal atau sedang tidak
bersekolah. Angka Partisipasi Murni untuk SD/MI sebesar 97,16% ; untuk SMP/MTs
sebesar 85,96% dan untuk SMA/SMK/MA sebesar 54,97%.
2. Kabupaten Bondowoso
Penduduk Kabupaten Bondowoso berjumlah 745.267 jiwa, dari jumlah tersebut
171.238 adalah anak usia sekolah mulai 04- 18 tahun. Sementara anak-anak yang duduk di
bangku TK/RA, SD/MI, SMP/MTs dan SMA/SMK/MA terdiri dari ( 25.339 + 78.774+ 30.795+
27.070). Sementara lainnya berada dalam SLB, Pendidikan Non Formal atau sedang tidak
bersekolah. Angka Partisipasi Murni untuk SD/MI sebesar 99,75% ; untuk SMP/MTs
sebesar 91,88% dan untuk SMA/SMK/MA sebesar 62,81%.
Angka transisi dari SD/MI ke SMP/MTs sebesar 96,04% sedang untuk transisi
SMP/MTs ke SMA/MA/SMK sebesar 78.20%. Sedangkan angka putus sekolah SD/MI
sebesar 0.28%, putus sekolah dari SMP/MTs sebesar 0,29% dan putus sekolah di
SMA/MA/SMK sebesar 0.25%.
Data kekerasan terhadap anak dan perempuan yang ditangani UPPA Polres Bondowoso
selama 3(tiga) tahun terakhir adalah :
Jenis Kasus 2010 2011 2012
Kekerasan terhadap Anak 10 5 10
Persetubuhan terhadap Anak 9 10 15
Pencabulan 2 1 6
Penculikan - - -
KDRT (fisik) 29 18 22
Penelantaran 5 10 9
Membawa lari anak 3 2 5
Jumlah
Belum diperoleh data skunder untuk masing-masing Daerah, terutama yang terkait
dengan:
1. Data kasus yang terjadi di daerah sasaran : di P2TP2A, UPPA dan dinas
pendidikan serta dinas lain terkait kekerasan;
2. Profil sekolah tempat partisipan (jumlah siswa, guru, tata tertib sekolah,
status sekolah dll);
3. Peraturan pendidikan yang terkait dengan siswa (bersumer dari dinas
pendidikan, Kementrian Agama, sekolah ataupun OSIS dan eskul);
4. Data pendukung tingkat Daerah: Jumlah Sekolah SD/MI, SMP/MTs, Jumlah
Murid, Jumlah Guru dll
BAB IV
ANALISIS HASIL PEMETAAN
KEKERASAN TERHADAP ANAK DI SEKOLAH
A. Situasi Kekerasan Terhadap Anak di Sekolah
Bentuk kekerasan terhadap anak di Sekolah yang diidentifikasi melalui pemetaan dalam
rangka mewujudkan sekolah ramah anak dicermati dalam 3 jenis yaitu Kekerasan Fisik, Psikis
dan Seksual. Berdasarkan hasil identifikasi peneliti membagi hasil identifikasi berdasarkan
jenisnya, pelaku dan korban yang ditampilkan dalam data terpisah antara temuan di SD/MI dan
SMP/MTs.
Berdasarkan tabel diatas maka dapat dicermati bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi di sekolah
berdasar hasil penelitian sebagai berikut:
Kekerasan fisik pada anak perempuan yang di lakukan oleh Guru lebih banyak terjadi dari pada
anak laki-laki terutama pada anak perempuan di bangku sekolah dasar (SD). Sedang kekerasan
fisik yang di lakukan oleh teman cenderung banyak terjadi pada anak laki-laki.
Kekerasan seksual di tingkat SD banyak terjadi pada anak laki-laki yang pelakunya temannya
sendiri, hal ini kemungkinan di sebabkan masa usia SD masih malu-malu dan
memperalat/menyuruh temannya untuk melakukan pada anak perempuan. Di tingkat SMP
cenderung terjadi pada anak perempuan yang pelakunya adalah teman dan pacar dalam bentuk
paksaan dan ancaman misalnya pacar minta di cium kalau ngak mau di putus, berebut pacar,
dan hamil masa pacaran. Sehingga kekerasan seksual makin nampak dengan semakin
berkembangnya organ reproduksi pada usia anak. Baik posisi anak sebagai pelaku maupun
korban.
Kekerasan ternyata tidak hanya di lakukan oleh guru atau teman tapi juga orang-orang sekitar
dan berada di lingkungan sekolah contohnya pengamen dalam bentuk memalak dan penjual es
yang menunjukkan Film Porno di HP. Di samping itu juga orang tua yang memukul siswa lain di
depan kelas untuk membela anaknya.
Kekerasan juga terjadi ketika kegiatan ektrakurikuler di luar sekolah contohnya adanya temuan
guru Pembina Pramuka memandang/memperhatikan dengan cara yang aneh dan membuat
risih siswi. Mondar-mandir depan tenda siswi kemudian mencium siswi-siswi saat mereka tidur
di dalam perkemahan.
B. Penyebab Kekerasan
Kekerasan terhadap anak di sekolah sering dipicu oleh kebiasaan buruk yang di lakukan
oleh anak kepada temannya dan adanya peraturan sekolah yang tidak di patuhinya sehingga
memicu guru untuk menegakan aturan yang rawan menggunakan cara kekerasan. Bentuk
sanksi atau hukuman dari sekolah ada yang dilakukan dengan cara-cara kekerasan dengan dalih
menegakkan kedisiplinan pada anak-anak. Faktor pemicu terjadinya kekerasan terhadap anak
maupun tindakan yang menjadi penyebab langsung timbulnya kekerasan terhadap anak
menurut hasil penelitian adalah sebagai berikut:
Akar permasalahan yang menjadi latar belakang kekerasan antar teman adalah
pelaku yang merupakan anak-anak nakal atau bandel diantaranya disebabkan merasa
berkuasa karena anaknya tentara, anak yatim dan broken home karena kurang perhatian.
Pada anak usia SMP akar permasalahan mulai kompleks hubungan antar teman yang
bersamaan dengan perkembangan fungsi reproduksinya diantaranya berkaitan dengan
pacar, respon terhadap anak yang dianggap menarik atau seksi. Respon mereka terhadap
kondisi teman yang dianggap lemah, aneh untuk dapat dimanfaatkan untuk kepentingan
pribadinya dengan mengambil keuntungan atau menjadikannya sasaran kekerasan.
Sementara di kalangan guru perlu dikembangkan alternatif hukuman yang
mendidikan agar dapat digunakan sebagai pilihan bagi guru disamping menghukum dengan
kekerasan.Sebagian guru dianggap anak terbiasa melakukan kekerasan sehingga sikap
mereka perlu dievaluasi.
F. Respons Korban
Anak sekolah yang mendapatkan perlakukan tidak menyenangkan atau perbuatan yang berakibat
kesengsaraan, penderitaan dan tidak nyaman yang terjadi pada anak SD/MI perasaan yang
dialaminya adalah:
Menangis
Sedih
Marah, ingin membalas
Dendam, sakit hati pingin membalas
Mau menghujat guru tapi takut (pelaku guru)
Takut dan diam saja (nrimo)
Ingin membalas dendam, terganggu dan risih
Malu dan marah
Sedangkan respon korban kekerasan pada anak SMP/MTs, ketika mendapatkan kekerasan
mengungkapkan perasaan mereka sebagai berikut:
Menyesal, jengkel, ingin menampar, mengumpat,menantang berkelahi, terpaksa menurut.
Malas ikut pelajaran, Mangkel, pengin nampar, mengumpat , ngejak gelut, Menyesal sudah
terjadi padahal semua sudah diberikan, sekarang masa pacaran belum tentu sampai besok.
Penginnya balas dendam karena semua udah diberikan kok ditinggal (kekerasan seksual).
Kesel (jengkel), mangkel penginnya balas dendam, tetapi lingkungan sekitar memberi
masukan tidak dendam, soale lingkungan agama.
Pengin berhenti jadi OSIS karena dipermalukan di depan orang banyak.
Kalo punya masalah sepele nggak sampai keluar dari sekolah tapi kalo berat bisa keluar sekolah.
Takut menegur Sakit hati, Kasihan, Tidak terima, Kesakitan, ingin membalas, membalas
menghina, dan mengamuk.
Diam saja.
Disedakne ae (didoakan jelek)
BAB V
Analisa Sistem
A. Analisa Norma
1. Identifikasi berbagai kebijakan yang ada
Kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Bondowoso dan Kota Pasuruan terkait
perlindungan anak ataupun aturan yang mengatur tentang sekolah ramah anak sampai
sekarang belum ada. Karena itu kebijakan yang dijadikan acuan oleh Dinas Pendidikan dalam
mendorong sekolah ramah anak adalah dengan memberikan himbauan kepada sekolah agar
menerapkan Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan (PAKEM) yang
merupakan turunan dari kebijakan nasional di Kementerian Pendidikan Nasional.
Pelaksanaan PAKEM sendiri adalah merupakan bagian dari Kebijakan dari Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS) yang terdiri dari 3 pilar, antara lain:
a) Manajemen Sekolah
b) PAKEM
c) Peran serta masyarakat.
Dasar pelaksanaan PAKEM, antara lain :
a) UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
b) Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Tentang Standart Nasional
Pendidikan (SNP) yang diatur dalam Bab IV (Standart Proses) Pasal 19 ayat 1-3
dan Bab VIII (Standart Pengelolaan) Pasal 49 ayat 1
c) Peraturan Menteri No. 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses untuk Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah.
Penerapan PAKEM di kedua daerah ini (Kabuapten Bondowoso dan Kota Pasuruan) belum
berjalan di semua sekolah. Selain itu pelaksanaan PAKEM sendiri sangat bergantung pada
kepala sekolah dan guru di masing-masing sekolah dalam memaknai dan mengembangkan
PAKEM itu sendiri. Sebab tidak semua sekolah mendapat dukungan pelaksanaan PAKEM
yang sama. Ada yang merupakan sekolah model dengan dukungan dana optimal dan
pengalaman sehingga dapat benar-benar malakukan penerapan PAKEM. Tipe kedua melalui
replikasi baik yang didukung APBD maupun mandiri dan ketiga hanya didorong melalui
himbauan dan belum tentu menerapkannya.
Dinas Pendidikan selama ini masih terfokus sarana dan prasarana yang mendukung
pendidikan dan kemampuan guru dalam proses pembelajaran. Ada kebijakan Sekolah
Adiwiyata yang menjadi salah satu ciri sekolah ramah anak. Penilaian sekolah Adiwiyata
dilakukan oleh dinas pendidikan secara rutin bahkan dilombakan setiap tahunnya. Hal ini
merupakan potensi bagi sumber daya pendidikan untuk terus mendorong sekolah menjadi
lebih baik. Namun persoalannya dukungan sekolah adiwiyata sering difokuskan untuk
membawa nama baik Kabupaten/Kota sehingga di satu sekolah tertentu sangat didukung
sementara di sekolah lainnya masih membutuhkan banyak sentuhan.
Dalam pengembangan peran serta masyarakat belum ada informasi kebijakan. Peran serta
masyarakat dikembangkan berbasis kebiasaan lembaga pendidikan. Peran Dinas Pendidikan
selama ini adalah melakukan sosialisasi tentang peraturan sekolah yang ada kepada orang
tua siswa, guru, komite sekolah, kepala sekolah dan dewan pendidikan. Untuk tingkat
sekolah melakukan sosialisasi peraturan sekolah kepada masyarakat lingkungan sekolah dan
tokoh masyarakat setempat. Belum nampak pelibatan masyarakat dalam mengembangkan
peraruran sekolah
Bentuk peran serta biasanya direalisasikan dengan dukungan dana pendidikan masyarakat
terutama oleh wali murid. Namun Kebijakan yang ada di Dinas Pendidikan Kabupaten
Bondowoso dan Kota Pasuruan melarang pihak sekolah untuk melakukan pungutan kepada
siswa khususnya sekolah dasar. Di Kota Pasuruan justru ada sekolah yang memberikan
bantuan sepeda kepada siswa miskin sebagai alat tranportasi. Dana bantuan ini diperoleh
dari BOS dan bantuan pemerintah daerah setempat.
Dalam menyelesaikan masalah terutama perkaitan dengan kenakalan anak-anak atau
permasalahan yang berkaitan dengan siswa lainnya, dinas pendidikan bekerja sama dengan
dewan pendidikan, tokoh masyarakat (kyai) dan birokrasi. Bentuk kerjasama merupakan
langkah spontanitas yang tidak dituangkan dalam kebijakan, kecuali bentuk peran resmi
Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.
2. Pemahaman Terhadap Kebijakan Yang Ada
a) Pemahaman Kebijakan Ramah Anak Dinas Pendidikan
Pemahaman di tingkat pengambil kebijakan tentang kekerasan anak ataupun sekolah
ramah anak belum ada. Hal ini karena belum adanya pemahaman tentang Konvensi Hak
Anak (KHA) dan Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA) dilingkungan Dinas
Pendidikan. Bagi Dinas Pendidikan bahwa penerapan PAKEM dan memberikan ilmu dan
memperhatikan perilaku siswa adalah merupakan sekolah ramah anak. Peluang program
Kementrian Pendidikan Nasional yang dapat mendukung perwujudan sekolah ramah anak
adalah pengembangan pendidikan karakter yang dilakukan di setiap lini penguatan
kapasitas guru.
Dalam proses penggalian data para partisipan tidak memahami betul masalah sekolah
ramah anak. Tanggapan yang diberikan selalu menjurus pada PAKEM yang merupakan
salah satu pilar MBS. Hal ini merupakan temuan penting akan kebutuhan untuk
menyebarkan informasi berkaitan dengan sekolah ramah anak terutama pada lembaga
pendidikan.
Selama ini peraturan sekolah bentuknya sama, kemungkinan berasal dari dinas
pendidikan dan pihak sekolah hanya melakukan perbaikan peraturan yang berkaitan
dengan tata tertib. Contoh perubahan tersebut dilakukan dengan membuat kuisioner
yang akan diberikan kepada walimurid. Isi kusioner adalah bagaimana sekolah harus
menegakkan tata tertib berkaitan dengan pelanggaran yang dilakukan siswa. Jawaban
dari kuisioner tersebut dalah “S” (setuju) dan “TS” (tidak setuju) dan hampir 90% para
orang tua siswa setuju terhadap tata tertib yang ada. Para orang tua siswa banyak
memberi usulan terkait sanksi pelanggaran, artinya sanksi pelanggaran harus dibedakan
dan berdasarkan jenis pelanggaran yang dilakukan siswa. Point besar jika melanggar
norma dan point jika pelanggaran yang dilakukan tidak mengerjakan PR.
Kebijakan berkaitan dengan reward dan punishmen yang sifatnya tidak menjurus kepada
kekerasan dan mendidik anak masih sebatas himbauan. Dinas Pendidikan juga
menghimbau kepada sekolah untuk melakukan pembinaan kepada anak-anak melalui
guru dan guru BK. Apabila terjadi pelanggaran atau kekerasan oleh guru terhadap siswa,
maka kepala sekolah membina dan menyelesaikan dengan membuat surat pernyataan
tidak akan mengulangi. Jika ditingkat kepala sekolah tidak selesai, maka dinas pendidikan
akan memanggil guru untuk dilakukan pembinaan dan guru membuat pernyataan tidak
akan mengulangi. Jika guru tidak ada perubahan, maka dinas pendidikan akan memberi
sanksi.
Selama ini komite sekolah meminta sekolah agar tidak melakukan kekerasan apabila
terjadi pelanggaran oleh siswa. Komite sekolah berharap sanksi yang diberikan kepada
siswa dalam kerangka mendidik dan tidak ada diskriminasi. Meskipun ada temuan justru
pihak wali murid yang duduk di Komite meminta pihak sekolah untuk menghukum anak-
anak sebagai bentuk pendisiplinan.
Penyampaian informasi tentang tata tertib sekolah ada yang tertulis dan ditempel di
depan kelas dan ada yang hanya disampaikan secara lisan ketika upacara. Mekanisme
penanganan dan penegakkan tata tertib di sekolah dilakukan semacam tim pengawas
yang terdiri dari Kepala Sekolah, guru dan guru Bimbingan Konseling (BK). Dan jika ada
siswa yang melanggar peraturan sekolah, maka tim pengawas mengarahkan penanganan
ke wali kelas dan dari walikelas kemudian dikomunikasikan dengan guru BK. Bahkan
dalam menangani pelanggaran oleh siswa sekolah juga melibatkan pihak luar seperti kyai
dari pesantren untuk ceramah agama, agar anak-anak mendapatkan pencerahan agama
Selama ini mekanisme atau SOP dalam menangani siswa yang melakukan pelanggaran
pertama akan diberi peringatan. Apabila terjadi pengulangan, maka siswa akan dihukum
pus up. Apabila terjadi pengulangan lagi, maka orang tua siswa dipanggil oleh pihak
sekolah untuk Tanya tentang kondisi siswa. Jika terjadi pengulangan lagi, maka sekolah
akan membuat kesepakatan bersama antara orang tua siswa dan guru BK dengan
diketahui kepala sekolah. Apabila belum selesai, maka kepala sekolah akan melakukan
kunjungan ke rumah siswa. Selain itu ada beberapa sanksi dalam bentuk lain yang
dikenakan kepada siswa antara lain: menyita hand phone, membayar denda kepada
Ketua Kelas atau Osis untuk dibelikan kebutuhan kelas dan OSIS, mengaji surat pendek,
sholat dhuha. Ada temuan jika ada anak-anak melakukan kesalahan berulang-ulang, maka
guru akan melakukan doa bersama setelah sholat berjama’ah agar anak (tanpa menyebut
anak yang melanggar) yang melakukan pelanggaran diberi kesadaran oleh Tuhan.
c) Pemahaman Kebijakan Ramah Anak di kalangan Siswa
Peraturan sekolah selama ini dibuat tanpa melibatkan para siswa dan orangtua siswa
serta komite sekolah, mereka hanya mendapatkan sosialisasi saja. Selama ini keterlibatan
komite sekolah didominasi pada penanganan siswa miskin atau berkaitan dengan
kebutuhan pendanaan.
Untuk siswa SMP mereka dilibatkan dalam pembuatan tata tertib kelas khususnya yang
berkaitan dengan kebersihan. Selanjutnya siswa mendengarkan presentasi tentang
rancangan peraturan kelas dan menentukan besar poin bagi setiap bentuk pelanggaran.
Guru akan memberikan masukan dan menentukan bentuk sanksi. Mekanisme yang
dilakukan yaitu ketua kelas memberikan masukan kepada pengurus OSIS. Sedangkan
untuk siswa SD / MI para siswa hanya dilibatkan dalam pembuatan jadwal piket, selain
itu semua sudah ditentukan pihak sekolah. Pemahaman tentang hak anak dan kekerasan
anak juga masih rendah di kalangan para siswa. Beberapa anak yang memahani hak anak
termasuk isu kekerasan memperoleh informasi dari kegiatan PIK KRR dan pelajaran PPKn.
Tata tertib kelas yang dibuat oleh masing-masing biasanya berbeda antara kelas satu dan
kelas lainnya, karena tata tertib kelas dibuat berdasarkan kesepakatan siswa bersama
ketua kelas. Tetapi pada intinya tata tertib kelas tidak keluar dari tata tertib sekolah. Hal
ini karena tata tertib sekolah adalah merupakan turunan dari tata tertib sekolah.Tata
tertib yang ada dilingkungan sekolah, menurut siswa mengatur antara lain:
1) Siswa laki-laki tidak boleh berambut panjang
2) Siswa tidak boleh datang terlambat
3) Siswa tidak boleh membawa hand phone
4) Tidak boleh memakai perhiasan berlebihan
5) Tidak boleh memanjangkan kuku
6) Memakai seragam dan atribut lengkap
7) Tidak boleh keluar kelas sebelum jam pelajaran selesai
8) Tidak boleh membawa mainan, novel dan komik
9) Tidak memakai rok dibawa pinggang
10) Dilarang merokok dilingkungan sekolah
11) Dilarang membuat gaduh
12) Dilarang membawa senjata tajam
Kebijakan yang ada sekarang adalah pengembangan kegiatan ekstra kurikuler dan
sekolah adiwiyata. Pihak sekolah sendiri sudah melakukan pertemuan rutin bulanan untuk
melakukan evaluasi terkait permasalahan setiap kelas, jika sekolah dianggap sudah dapat
menyelesaikan persoalan yang ada maka permasalahan dianggap selesai. Selama ini
penanganan masalah anak disekolah selain melibatkan guru, pihak sekolah juga melibatkan
dukun bagi siswa kesurupan dan polisi serta tentara untuk menakut-nakuti siswa.
4. Kesimpulan :
a) Tidak ada Kebijakan Perlindungan Anak di tingkat daerah, kebijakan yang ada sekarang
termasuk PAKEM adalah kebijakan nasional dan Kabupaten/ Kota hanya melaksanakan di
lapangan dengan bentuk yang dimaknai oleh sekolah dan guru sesuai dukungan
implementasi yang mereka dapatkan.
b) Penerapan PAKEM di lingkungan sekolah dipahami sebagai perwujudan pelaksanaan hak
anak dan sekolah ramah anak. Meskipun sebenarnya kebijakan untuk membangun sekolah
Adiwiyata dan pengarusutamaan pendidikan karakter juga dapat mendukung realisasi
Sekolah Ramah Anak.
c) Peraturan sekolah yang telah ada sekarang sudah ada sejak dahulu, peran komite sekolah,
orangtua siswa dan siswa terlibat dalam sosialisasi program.
d) Siswa SMP/ MTs terlibat dalam pembuatan tata tertib kelas dan siswa SD/ MI tertib dalam
pembuatan jadwal piket.
e) Ada banyak temuan potensi yang dapat dikembangkan untuk mendukung kebijakan sekolah.
Sehingga budaya sekolah dapat menjadi tambahan satu pilar membangun MBS atau
manajeman sekolah.
f) Latar belakang guru perlu mendapat telaah dalam membangun sekolah ramah anak dan
pencegahan kekerasan. Hal ini penting untuk tidak lanjut untuk membangun dukungan
kapasitas, lingkungan budaya dan sistem perlindungan anak khusunya pencegahan
kekerasan.
5. Rekomendasi :
a) Pertemuan bersama untuk membangun jejaring dan menyusun mekanisme penanganan
kekerasan di lingkungan sekolah yang melibatkan Dinas Pendidikan, UPPA Polres Setempat,
LSM Anak, BPPKB. Pertemuan ini harus ditindaklanjuti dengan sharing berbagai kebijakan
terkait dengan Sekolah Ramah Anak.
b) Melakukan inisiasi bersama untuk Perda atau kebijakan di tingkat Bupati/Walikota yang
terkait dengan perlindungan anak yang akan menjadi dasar hukum dalam setiap kegiatan
perlindungan anak di daerah tersebut. Kebijakan yang lebih sederhana dapat berupa
Peraturan Dinas Pendidikan dan Kementrian Agama. Muatan kebijakan dapat mengatur
bagaimana langkah sekolah, bentuk peran serta masyarakat, peran berbagai pihak dalam
membangun Sekolah Ramah Anak atau MBS peran serta anak, aturan main terhadap
reward dan punishmen.
c) Meningkatkan partisipasi Komite sekolah, orang tua siswa dan siswa dalam pembuatan
kebijakan di lingkungan sekolah.
d) Ada media informasi yang menginformasikan bagaimana mewujudkan sekolah ramah anak
dan kebijakan lainnya yang mendukung,
e) Sekolah meminta keterlibatan dan dukungan pihak Dinas Pendidikan maupun Departemen
Agama dalam program – program bersama. Beberapa kebutuhan program diantaranya
peningkatan kapasitas berkaitan dengan pemahaman KHA dan Sekolah Ramah Anak dan
deteksi dini pencegahan kekerasan yang dapat dituangkan melalui RKA.
B. Analisa Struktur
Telaah struktur dalam lembaga pendidikan sebenarnya telah memiliki komponen yang
lengkap dalam merealisasikan program sekolan ramah anak. Bahkan kapasitas yang berkaitan
dengan tugas dan fungsinya dapat menjadi potensi untuk mencegah kekerasan terhadap anak di
Sekolah. Karena kebijakan belum ada demikian juga pedoman secara teknis belum dipahamin maka
dengan melihat struktur yang ada dapat dikembangkan perwujudan sekolah ramah anak dengan
dukungan kapasitas.
1. Struktur dalam Lembaga Pendidikan
Pada Struktur diatas Lembaga Pendidikan berada di bawah Dinas Pendidkan dan Kementrian
Agama. Secara kelembagaan berada pada bidang TK/SD untuk SD dan Dikmen untuk SMP.
Sementara itu di Kementrian Agama berada di bawah bidang Mapenda. Pada tiap bidang telah
memiliki fungsi kontrol melalui pengawas dan penilik. Melalui pengawas sekolah, diknas
memberikan sosialisai, pendampingan tentang mengelola sekolah yang baik.Sedangkan fungsi
kontrol yang independen dilakukan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.
Struktur kelembagaan SD/MI dipimpin oleh Kepala Sekolah, untuk sekolah swasta di bawah
Yayasan Pendidikan. Pimpinan kelembagaan Kepala Sekolah dengan pelaksana guru baik dalam KBM
maupun guru yang mendapat tugas khusus dalam urusan siswa seperti wali kelas, pembina
esktrakulikuler. Siswa merupakan obyek dari proses kegiatan di Lembaga pendidikan, meskipun
sudah ada struktur kelas atau pimpinan dalam kelompok eskul siswa.
Untuk SMP/MTs struktur hampir serupa dengan SD/MI hanya saja partisipasi anak mulai
muncul dalam bentuk OSIS, Majelis Perwakilan Kelas dan pimpinan dalam eskul siswa yang berhak
melakukan kegiatan manajemen kelembagaan lebih mandiri. Siswa dapat memberikan masukan tata
tertib dibimbing wali kelas. Disamping itu munculnya layanan bagi siswa dengan tersedianya guru BK
yang bertugas memberikan bimbingan dan Konseling bagi siswa baik secara kelompok atau
perseorangan. Peran BK lebih pada dukungan psikososial bagi siswa.
Fungsi kontrol, penasehat, fasilitator dan dukungan yang independen untuk sekolah dapat
dijalankan oleh Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan untuk level Kabupaten dan Kota. Disamping
itu Tokoh Agama dan Masyarakat dapat juga melakukan fungsi yang sama termasuk wali murid yang
merupakan bagian dari Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Ada temuan Komite sekolah
memberikan masukan dan persetujuan terhadap tata tertib. Kepala Sekolah, guru dan BK
merupakan tim pengawas penegakan tata tertib di Sekolah.
Pola struktur diatas dapat dioptimalkan sesuai dengan fungsinya untuk merealisasikan
perwujudan sekolah ramah anak dan kebijakan lain yang mendukung seperti pelaksanaan MBS,
pendidikan karakter maupun sekolah adiwiyata untuk dukungan sarana dan lingkungan pendidikan.
2. Potensi / Layanan Respon KTA
Layanan untuk anak di tingkat kabupaten seperti LPA (Lembaga Perlindungan Anak), UPPA
(Unit Pelayanan Perempuan dan Anak) Polres, P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu) belum banyak
dikenal oleh guru dan siswa. Sehingga banyak yang kurang mengakses apalagi orang akan enggan
berhubungan dengan lembaga yang menangani permasalahan sebab artinya ketika mereka
bermasalah baru memerlukan lembaga tersebut. Kebutuhan pokok bagi anak-anak dan guru adalah
informasi keberadaan lembaga layanan tersebut beserta SOPnya.
Di tingkat kecamatan layanan Puskesmas untuk pengobatan anak-anak dikenal dan banyak
dimanfaatkan. Mungkin perlu ditelaah apakah setiap puskesmas telan melakukan tata laksana KTA
(mampu melakukan deteksi dini korban kekerasan) sesuai dengan program Kementrian Kesehatan.
Polsek sebenarnya juga telah terlibat di penerimaan siswa baru untuk baris-berbaris. Peluang yang
dapat dikembangkan adalah pengembangan informasi yang dapat memberikan informasi pada anak
misalnya bahaya narkoba, Undang-undang yang berkaitan dengan perlindungan anak.
Di lembaga pendidikan UKS dan BK menjadi fungsi layanan bagi anak. UKS disamping
memberikan layanan kesehatan juga menjadi arena sharing anak berkaitan dengan kesehatan
termasuk kesehatan reproduksi. Ada temuan menunjukan anak-anak mendapatkan informasi hak
anak karena sebagai peer educator di UKS. BK sebagai layanan psikososial anak dalam menghadapi
permasalahan, meskipun selama ini nampak dominan sebagai lembaga pengadilan bagi anak yang
bersalah. Sisi positif yang dapat dideteksi adanya beberapa partisipan yang mampu melihat BK
sebagai tempat curhat. Kegiatan Ekstrakulikuler seperti pramuka, UKS, kesenian dan Olahraga sangat
mendukung anak untuk berkegiatan positif dan mendapatkan layanan untuk ketrampilan hidup.
Dari data diatas maka potensi struktur yang dapat dikembangkan untuk mendukung sekolah
ramah anank diantaranya :
Tingkat Layanan Kabupaten Kecamatan Sekolah dan Sekitarnya
Lembaga Layanan yang P2TP2A Puskesmas Guru :
berpotensi mendukung
Wali kelas, BK,
Sekolah ramah anak
pendamping khusus ABH
UPPA Polres Polsek Kecamatan Komite Sekolah
LPA Toga dan Toma Toga dan Toma
MKKS (Musyawarah Kerja Pondok Pesantren
Kepala Sekolah) dan KKM
(Kelompok Kerja
Madrasah)
3. Rekomendasi
Membangun mekanisme rujukan ketika ada permasalahan anak.
Bagaimana membuat anak-anak mencari informasi tentang perlindungan anak
BPPKB aktif dalam mensosialisasikan lembaga rujukan.
Koordinasi yang perlu dilakukan diantara lembaga rujukan.
Dinas Pendidikan mengadakan pelatihan khusus tentang KHA dan SRA dan workshop
sekolah ramah anak bagi para guru dan memberikan penghargaan kepada sekolah yang
melaksanakan pembelajaran ramah anak. Agar semua penyelenggara pendidikan memahami
landasan kebijakan dalam mencegah kekerasan terhadap anak. rogran intervensi yang
diperlukan disamping sarana dll)
Meningkatkan kemampuan guru agar mampu melakukan deteksi dini bagi anak-anak korban
kekerasan. Mengimplementasikan pendidikan karakter dalam membengun sekolah ramah
anak.
C. Analisa Proses
Pedoman yang sudah ada berkaitan dengan membangun SRA banyak dikembangkan dalam
program Dinas Pendidikan yang merupakan tindak lanjut dari Kebijakan Kementrian Pendidikan.
Adapun di sekolah pedoman yang diketemukan adalah :
Tingkat SD
Pedoman yang dimiliki oleh sekolah dalam mewujudkan sekolah ramah anak masih terbatas pada
peraturan sekolah yang telah ada di sekolah. Belum ada aturan yang jelas dari pihak sekolah
tentang hukuman bagi pelaku kekerasan di sekolah sehingga hukuman yang diberikan bagi para
pelanggar sesuai dengan kehendak guru sebagai pihak yang berwenang di sekolah.
Tingkat SMP
Sanksi yang telah diterapkan di beberapa sekolah adalah sistem poin. Sistem ini memberikan poin
pada setiap pelanggaran yang dilakukan oleh siswa di sekolah. Bobot poin disesuaikan dengan
beratnya pelanggaran (contoh : terlambat datang diberikan poin 3, Berkelahi diberi poin 20). Jika
sudah mencapai 100 poin pada tiap akhir semester maka siswa akan dikeluarkan. Hukuman akan
akan diberikan secara langsung setelah pencatatan poin pada buku poin milik siswa dan ada
hukuman tambahan yang diberikan pada akhir semester berdasarkan akumulasi poin pada tiap
semester dan jenis hukuman disesuaikan dengan isi buku poin.
Dengan prosedur yang kurang jelas dalam penegahan aturan rawan memunculkan
diskriminasi. Contohnya anak kelas unggulan lebih diperlakukan istimewa, proses layanan yang
dilakukan kepada mereka tertutup sedangkan anak kelas reguler dilayani secara terbuka bahkan
masalah anak disebarkan sehingga anak yang biasanya dianggap nakal. Prinsip-prinsip layanan di
ruang BK tidak selalu diterapkan berkaitan dengan kerahasiaan, non diskriminasi, kenyamanan dan
kesetaraan .
Penegakan aturan tergantung kondisi sekolah merespon kebijakan pendidikan karena
implementasinya tergantung pada lingkungan dan kapasitas sekolah. Kebijakan dari Dinas
Pendidikan yang disebarkan ke seluruh lembaga pendidikan akan ditindklanjuti sesuai kapasitas
sekolah. Misalnya penerapan PAKEM, sekolah adiwiyata dan pendidikan karakter akan berjalan
dengan optimal jika sekolah mempunyai potensi, pengawas/penilik di lingkungannya aktif
memfasilitasi dan kepala sekolah memiliki komitmen.
1. Penanganan/Respon
Mekanisme sanksi atas pelanggaran yang dilakukan anak di sekolah pada umumnya
dilakukan sebagai berikut:
Setiap pelanggaran yang dilakukan untuk pertama kali akan diberi peringatan,
Kalau masih diulangi akan diberi hukuman, biasanya siswa disuruh push up, membuat
tulisan atau membaca istiqfar tergantung keinginan guru dan tidak ada penetapan
bentunya dalam prosedur
Bila masih diulangi lagi maka orang tua dipanggil oleh sekolah,mencari informasi kepada
orang tua tentang kondisi yang terjadi pada anak, misalkan peanggarannya terlambat, akan
ditanyakan kenapa anak sampai terlambat
Kalau masih diulangi lagi, maka sekolah meminta orang tua untuk bekerjasama berupa
kesepakatan bekerja sama, dan yang memanggil ortu adalah BK diketahui oleh Kepsek
Kalau semuanya belum bisa diselesaikan, maka Kepala Sekolah akan melakukan kunjungan
ke rumah
Ada prosedur yang hilang yang perlu dicermati yaitu proses klarifikasi, sehingga ketika proses ini
terlewati banyak anak-anak yang merasakan ketidakadilan dalam penegakan hukuman.
Respon dari guru beragam, mereka biasanya langsung memberikan hukuman kepada siswa.
Jenis hukuman yang diberikan didominasi oleh hukuman fisik (contoh : berdiri di lapangan siang-
siang, menulis kalimat penyesalan berulang-ulang). Untuk pihak korban sendiri tidak ada
penanganan sama sekali, karena yang ditangani hanya sebatas pelaku kekerasan. Pada beberapa
kasus, jika sudah terlalu sering laporan tentang perkelahian atau tindak kekerasan lainnya, pihak
guru cenderung mengabaikan laporan tersebut. Tahapan pendidikan karakter sudah dilakukan tetapi
tidak diterapkan oleh semua guru. Respon yang beragam dipengaruhi cara pandang guru sehingga
ada beberapa guru melakukan lompatan prosedur seperti langsung marah atau menghukum.
Sedangkan ketika guru yang melakukan tindak kekerasan, maka siswa cenderung diam dan
tidak melawan. Hal ini disebabkan mereka sudah terbiasa dengan hukuman yang menjurus pada
kekerasan. Namun jika sudah kelewatan, sebagian siswa lebih memilih melapor kepada orang tua
daripada melapor ke kepala sekolah.Dari sini nampak bahwa proses yang berkaitan dengan kegiatan
di sekolah masih dominan berjalan satu arah, hal ini yang berpeluang untuk memicu hukuman
sebagai bentuk respon guru terhadap sesuatu yang tidak sesuai menurut cara pandang guru, tanpa
melakukan klarifikasi untuk memahami latar belakang masalah yang dihadapi siswa. Padahal dengan
memahami latar belakang dapat diketemukan akar permasalahan yang dapat diintervensi oleh pihak
sekolah misalnya berkaitan dengan keluarga siswa, lingkungan pergaulan yang mengakibatkan anak
berbuat salah.
Peran guru BK yang menonjol masih dalam melakukan intervensi tersier (apabila telah
terjadi pelanggaran), meskipun mereka memilki prosedur juga untuk melakukan kegiatan bimbingan
yang dapat mencegah anak-anak terjerumus maupun mendapat perlakuan salah. Bimbingan
dilakukan saat jam BK di kelas. Beberapa guru BK yang masih muda sudah mulai menerapkan
penjangkauan untuk memberikan dukungan anak dibawah pembianaannya dan mencegah anak-
anak melakukan hal yang menyimpang. Di SD situasi wali kelas juga mirip ada yang masih cenderung
ke tindakan tersier dan ada yang telah aktif melakukan pencegahan.
2. Partisipasi Anak
Tingkat SD
Anak sama sekali tidak dilibatkan dalam pembuatan peraturan sekolah. Mereka tinggal mengikuti
saja aturan yang telah ada.Untuk partisipasi dalam usia SD memang belum pada tangga anak yang
membuat keputusan. Namun perlu ditelaah kembali apakah pendapat mereka dapat didengar dan
di[erhatikan melalui mekanisme tertentu. Data yang menunjukan keterlibatan anak-anak dalam
membuat keputusan hukuman bagi temannya yang nakal oleh guru merupakan potensi untuk
dikembangkan dalam proses pembuatan aturan yang dapat disepakati di awal tahun ajaran
misalnya.
Tingkat SMP
Partisipasi anak yang sudah terjadi di lingkungan sekolah masih terbatas pada pembuatan peraturan
di kelas saja dan beberapa peraturan sekolah. Pelibatan siswa dalam pembuatan peraturan sekolah
sebatas melibatkan OSIS saja.Bagaimana OSIS atau MPK itu dapat menjadi representasi anak-anak
perlu ditelaah lebih lanjut, apakah mereka menjadi keterwakilan pribadi atau membawa aspirasi
anak. Pihak sekolah tidak mau pusing dengan melibatkan anak-anak dalam pembuatan peraturan
sekolah.
Rekomendasi
Pedoman untuk membangun SRA perlu dikembangkan, beberapa potensi mekanisme untuk
mendukung pencegahan kekerasan perlu ditelaah dan prosedur yang dapat mendukung pelaksanaan
SRA perlu dievaluasi implementasinya.
Partisipasi anak di sekolah ramah anak tidak hanya dapat dikembangkan dalam pembuatan aturan
saja namun pada beberapa kegiatan dukungan tumbuh kembang yang dapat mencegah tindak salah
terhadap anak. Sekolah Ramah Anak akan memperhatikan bagaimana anak didengar pendapatnya,
ambil bagian dalam membangun sekolahnya termasuk teman-temannya untuk menjadi pribadi yang
lebih berkualitas (pendidikan sebaya) atau dalam evaluasi program-program sekolah yang ada dalam
mendukung kebijakan dinas pendidikan berkaitan dengan PAKEM dan Adiwiyata. Partisipasi dapat
diterapkan difungsi kontrol dalam penegakan aturan. Jadi tinggal menyisipkan mekanismenya untuk
partisipasi anak.
Jika tahapan membangun karakter dilalui maka kecenderungan melakukan hukuman dengan
kekerasan kepada anak dapat diminimalkan sebab pembangunan karakter yang dikembangkan
kementrian Pendidikan adalah :
1) Ada pembelajaran dan pemberian informasi yang tepat;
2) Ada pembiasaan dan dukungan;
3) Ada suri tauladan (perannya terdapat pada guru);
4) Ada peran kontrol untuk meluruskan kesalahan melalui peringatan;
5) Ada penghargaan bagi yang berprestasi dan hukuman bagi yang senantiasa malakukan
pelanggaran
BAB VI
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Berdasarkan hasil konsultasi berkaitan bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak di sekolah,
data pendukung berkaitan dengan kekerasan dan situasi pendidikan serta beberapa konsep tentang
sekolah ramah anak sebagai salah satu indikator Kabupaten/Kota Layak Anak maka dapat disusun
kesimpulan dan rekomendasi sebagai berikut :
A. Kesimpulan
Beberapa kesimpulan yang dapat diidentifikasi dari hasil konsultasi dengan siswa, guru dan
stakeholders pendidikan berkaitan dengan kekerasan terhadap anak di sekolah dan sistem yang
melingkupinya diantaranya :
1) Bentuk-bentuk kekerasan masih terjadi disekolah dengan pelaku teman dan guru serta
orang-orang yang ada di lingkungan sekolah. Semua jenis kekerasan dapat terjadi tergantung
peluang yang ditimbulkan oleh perilaku siswa, guru, lokasi kejadian dan situasi di lokasi
kejadian. Dalam beberapa kegiatan yang positif juga masih membuka peluang munculnya
kekerasan, seperti saat berkemah, kegiatan belajar mengajar dan ekstrakurikuler. Sehingga
diperlukan ketrampilan guru untuk melakukan deteksi dini terhadap peluang kekerasan
dengan membuat srategi pencegahan termasuk melatih diri untuk tidak melakukan
kekerasan;
2) Faktor pemicu disamping ketidaktahuan terhadap masalah pelanggaran hak anak dan
dampaknya bagi tumbuhkembang anak. Kedua adalah banyaknya tekanan sosial yang
dialami anak-anak dan stakeholders pendidikan. Sehingga diperlukan dukungan penguatan
kapasitas dan ketrampilan hidup agar mampu berkomunikasi dengan baik, menghargai
orang lain, menyelesaikan masalah pribadi dan survive;
3) Belum ada pijakan kebijakan yang mendukung pelaksanaan SRA dalam semua level. Namun
telah ada beberapa program yang dapat mendukung perwujudan Sekolah Ramah Anak
seperti penerapan MBS dengan PAKEM, pelaksanaan sekolah adiwiyata, pembentukan
Majelis Permusyawaratan Kelas;
4) Sekolah belum menjadi bagian dari sistem rujukan dalam pencegahan, penjangkauan dan
penanganan anak yang menjadi korban kekerasan oleh lembaga layanan yang ada. Kegiatan
yang dilakukan dalam rangka sosialisasi bersifat intervensi program yang insidental tanpa
memperhatikan peta resiko yang ada di lembaga pendidikan;
5) Dalam struktur layanan pendidikan yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan dan
Kementrian Agama dapat digunakan untuk merealisasikan Sekolah Ramah Anak. Struktur
yang dimiliki mulai dari guru sebagai pelaksana; kelapa sekolah/madrasah sebagai
pengemban kebijakan; komite sekolah sebagai fungsi kontrol dan supporting; Dinas
Pendidikan, Kementrian Agama dan Pemerintah Daerah sebagai pembuat kebijakan sebagai
tindak lanjut dari komitmen Kabupaten/Kota mencanangkan menuju Kabupaten/Kota Layak
Anak;
6) Ruang partisipasi anak belum diberikan secara optimal, namun telah ada embrio atau upaya-
upaya untuk untuk memberikan ruang partisipasi anak. Ketidakoptimalan tersebut dipicu
oleh pemahaman yang kurang tentang batasan ruang partisipasi maupun bentuk-bentuk
partisipasi yang dapat dilakukan anak. Pendampingan orang dewasa sangat diperlukan agar
kegiatan partisipasi anak sesuai prinsip-prinsip perlindungan anak, sebab masih ada peluang
munculnya kekerasan di saat anak diberikan ruang partisipasi, misalnya saat MOS yang
berpeluang memicu bullying disebabkan ketidaktahuan anak-anak.
B. Rekomendasi
Sementara itu dari hasil kesimpulan diatas disusun beberapa rekomendasi yang dapat
ditindaklanjuti oleh stakeholders pandidikan diantaranya :
1) Perlu dikembangkan regulasi yang mendukung pengembangan Sekolah Ramah Anak dengan
dasar untuk mewujudkan salah satu indikator untuk membangun Kabupaten/Kota Layak
Anak . Bahkan pedoman operasional dari regulasi tersebut sangat diperlukan hingga UPTD
Pendidikan dengan mengacu SOP yang dikembangkan di Kabupaten/Kota. Hal ini penting
mengingat banyaknya lembaga pendidikan dengan sumberdaya yang bervariasi dengan
pemahaman prinsip perlindungan anak yang berbeda. Kesalahpahaman dalam prinsip
perlindungan anak dapat membuat niat baik justru berdampak buruk pada anak;
2) Penguatan kapasitas pada stakeholders pendidikan di kalangan guru, penyelenggara
pendidikan, pengambil kebijakan termasuk pada anak-anak secara terpadu agar saling
mendukung dalam mewujudkan sekolah ramah anak. Kapasitas dengan perilaku yang tepat
dapat dibangun dengan pengetahuan dan pemahaman yang tepat terhadap anak dan hak-
haknya yang dijamin undang-undang sehingga respon dengan sikap dan tindakan yang tepat
akan mendukung untuk terealisasinya pemenuhan hak-hak anak di sekolah dalam
membangun perilaku berkualitas pada generasi muda sekaligus mencegah perilaku buruk
menjadi budaya bangsa Indonesia;
3) Ketrampilan pokok bagi guru yang diperlukan adalah komunikasi dengan merespon segala
persoalan yang membuat anak menjadi rentan, membangun situasi KBM yang membuat
anak merasa perlu menuntut ilmu dan tidak membuat proses pembelajaran justru
berdampak negatif yang dapat muncul dari berbagai hal. Penguatan yang diperlukan
meliputi pemahaman Konvensi Hak Anak dan berbagai regulasi nasional serta isu-isu anak
yang dapat berkaitan dengan siswa dan pendidikan, ketrampilan mengelola kelas ramah
anak, deteksi dini masalah anak, menjadi konselor dan menumbuhkan partisipasi anak
dengan menghargai pendapat anak;
4) Pengembangan SRA harus memperhatikan sistem dengan komponen norma, struktur dan
perosedur yang jelas. Ketiga komponen tersebut direncanakan dalam intervensi
pencegahan, penjangkauan kelompok berisiko dan penanganan korban. Sistem ini harus
dibangun di level Kabupaten dan UPTD pendidikan dimana anak-anak berada yaitu sekolah,
madrasah maupun pondok pesantren. Assesment masalah lokal dan perencanaan intervensi
prioritas sangat penting dengan keterliban semua sumber daya yang ada termasuk orang
tua. Semua pihak terkait memerlukan penyamaan persepsi;
5) Pelibatan peran anak atau pemberian ruang partisipasi anak sangat dibutuhkan sebagai
pemenuhan hak partisipasi anak di sekolah . Partisipasi anak diperlukan pada penggalian
data, perencanaan, implementasi maupun monitoring. Disamping OSIS dan MPS serta
kegiatan Ekstrakurikuler merupakan kegiatan positif anak, namun perlu telaah dan
perubahan agar kegiatan tersebut tidak menjadi sumber kekerasan seperti bullying karena
senioritas atau munculnya peluang pelecehan seksual karena situasi yang tidak mendukung.
Penguatan kapasitas anak penting untuk memahami hak anak dan pencegahan segala
perlakuan salah terhadap anak. Bahkan jika perlu anak-anak diberi kepercayaan dan
tanggung jawab sebagai pendidik, konselor sebaya dan mengembangkan media agar
memperluas jangkauan pada ranah yang tidak mampu dijangkau guru (karena luasnya
jangkauan atau terhadap siswa yang memerlukan konselor sebaya). Strategi yang inovatif
sangat diperlukan agar pesan dapat sampai pada anak bukan sekerdar telah dilakukan
dengan komunikasi searah saja.