Anda di halaman 1dari 36

MENGGAGAS SEKOLAH RAMAH ANAK

HASIL KONSULTASI ANAK DAN GURU

TENTANG BENTUK-BENTUK KEKERASAN TERHADAP ANAK


DI SEKOLAH SEBAGAI BAHAN MENGGAGAS
SEKOLAH RAMAH ANAK.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak-anak dapat mengalami kekerasan dalam lingkungan di mana saja mereka
menghabiskan masa kanak-kanaknya, mulai dari rumah, sekolah, panti, tempat kerja, sistem
peradilan dan di tengah komunitas mereka. Paparan terhadap kekerasan di suatu
lingkungan mungkin dipicu oleh kekerasan di lingkungan lainnya. Laporan Studi Kekerasan
Terhadap Anak yang dilakukan Sekretaris Jenderal PBB dalam World Report on Violence
against Children menunjukan, bahwa :
a. Hampir 53.000 anak diperkirakan telah meninggal di seluruh dunia pada tahun
2002 sebagai akibat homisida (pembunuhan termasuk pembantaian dan kekerasan
dalam perang).
b. Dari anak-anak yang menjadi korban homisida, 22.000 (42%) berusia 15-17 tahun
dan dari jumlah itu 75% nya adalah anak laki-laki.
c. Menurut studi yang dilakukan di negara-negara di seluruh dunia, sebanyak 80-98%
anak pernah mengalami hukuman fisik di rumah mereka, dengan sepertiga atau
lebih mengalami hukuman fisik yang serius.
d. Di lebih dari 100 negara, anak masih mengalami ancaman atau hukuman fisik yang
nyata dengan cambuk, ikat pinggang atau alat lain di sekolah
e. Antara 20 dan 65% anak usia sekolah dinegara-negara berkembang dilaporkan
telah mengalami penggertakan atau kekerasan verbal dan fisik dalam 30 hari
terakhir.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Unicef Indonesia pada tahun 2006 di Jawa
Tengah, Sulawesi Selatan dan Sumatera Utara mengungkapkan bahwa hampir 80 persen
guru pernah memberikan sanksi berupa hukuman termasuk secara verbal. Selain itu, hasil
penelitian ini juga menunjukkan bahwa sebagian besar tindakan kekerasan pada anak
dilakukan oleh orang-orang di sekitar anak-anak termasuk orang tua, guru dan teman-
temannya.
Kekerasan pada anak secara terus menerus mengakibatkan stress dan kecemasan
berlebihan yang akan berdampak kerusakan pada otak anak.
1. Hasil Penelitian juga menunjukkan bahwa sebagian besar tindakan kekerasan pada
anak dilakukan orang sekitar anak termasuk orang tua, guru dan temannya;
2. Kekerasan pada anak secara terus menerus mengakibatkan stress dan kecemasan
berlebihan yang akan berdampak kerusakan pada otak anak;
3. Adanya pencegahan kekerasan terhadap anak di sekolah merupakan salah satu
bentuk sistem perlindungan anak serta menjadi bagian penting dari indikator
Kota/Kabupaten Layak Anak.
Untuk Kepentingan tersebut maka UNICEF bersama dengan BAPPEDA Provinsi Jawa
Timur dan Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Provinsi Jawa Timur
akan melakukan langkah awal guna mempromosikan pencegahan dan penanganan
terhadap bentuk-bentuk kekerasan di sekolah. Adanya pencegahan kekerasan terhadap
anak di sekolah merupakan salah satu bentuk sistem perlindungan anak serta menjadi
bagian penting dari indikator Kota/Kabupaten Layak Anak.
Mengutip Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Republik Indonesian (PERMEN) Nomor 12 Tahun 2012 tentang Indikator Kota/ Kabupaten
Ramah Anak disebutkan bahwa pada Klaster IV: Pendidikan, Pemanfaatan Waktu Luang dan
Kegiatan Budaya, salah satu indikator yang diukur adalah “Persentase sekolah ramah anak”.
Dimana persentase ini dihitung dari persentase sekolah yang sudah “ramah anak” serta
upaya-upaya yang dilakukan pemerintah Kabupaten/Kota untuk meningkatkan sekolah
ramah anak. Peraturan Menteri tersebut juga menjelaskan bahwa sekolah ramah anak
adalah sekolah yang mampu menjamin pemenuhan hak anak dalam proses belajar
mengajar, aman, nyaman, bebas dari kekerasan dan diskriminasi, serta menciptakan ruang
bagi anak untuk belajar berinteraksi, berpartisipasi, bekerja sama, menghargai
keberagaman, toleransi dan perdamaian.
Sebagai langkah awal untuk menciptakan sekolah ramah anak, maka akan
dilaksanakan konsultasi dengan anak-anak dan guru untuk memetakan bentuk-bentuk
kekerasan yang terjadi di sekolah. Pemetaan ini dilakukan untuk menggambarkan
bagaimana pendapat anak dan guru tentang berbagai jenis dan bentuk kekerasan,
bagaimana pencegahan bisa dilakukan, siapa yang bisa berperan dan terlibat baik secara
langsung maupun tidak langsung dalam upaya pencegahan ini dan apa yang harus dilakukan
bila terjadi kekerasan di sekolah. Hasil pemetaan ini akan menjadi penting sebagai data
dasar atau entry point untuk menyusun strategi dan kegiatan-kegiatan yang mendukung
upaya pencegahan dan deteksi dini kekerasan atau perlakuan salah di sekolah.

B. Tujuan dan Hasil yang diharapkan dari Pemetaan adalah:


Tujuan dari Pemetaan ini adalah mengidentifikasi bentuk-bentuk kekerasan dan
perlakuan salah terhadap anak serta penyebab terjadinya kekerasan dan perlakuan salah
dilingkungan sekolah.
Adapun hasil yang diharapkan adalah:
1. Adanya kesepakatan bersama mengenai bentuk Sekolah Ramah Anak sebagai bagian
dari Perlindungan Anak dan pemenuhan Indikator Kota/Kabupaten Ramah Anak.
Indikator tersebut pada kluster IV yaitu Pendidikan, Pemanfaatan Waktu Luang, dan
Kegiatan Budaya;
2. Terlaksananya konsultasi anak dan guru dalam rangka pemetaan masalah kekerasan di
sekolah dan masyarakat oleh fasilitator yang terlatih;
3. Tersedianya gambaran mengenai bentuk-bentuk kekerasasan anak di sekolah dan
bentuk-bentuk pencegahannya.

C. Bentuk dan Rangkaian Kegiatan


Kegiatan konsultasi anak dan guru untuk memetakan bentuk-bentuk Kekerasan di
Sekolah serta Upaya Pencegahannya dilakukan dengan penggalian data dengan
menggunakan metode partisipatoris. Adapun Metode partisipatoris yang digunakan adalah
Body Mapping, Focus Group Discussion (FGD) dan interview.
Rangkaian Kegiatan Pemetaaan tersebut, meliputi:
(1) Melakukan Review dan penyempurnaan Alat Pemetaan, yang pernah dilaksanakan
di Kabupaten Tulungagung, Kabupaten Probolinggo dan Kota Malang , dengan
menghadirkan konsultan dari LSM SEJIWA Jakarta yang memiliki pengalaman dengan
penggalian informasi bersama anak-anak;
(2) Mengadakan pertemuan persiapan, untuk memfinalkan alat pemetaan oleh Tim dan
melakukan koordinasi dengan Kota Pasuruan dan Kabupaten Bondowoso untuk
mengatur pelaksanaan pemetaan.
(3) Memetakan kekerasan dan upaya pencegahannya melalui Konsultasi dengan Guru
dan Siswa di Kota Pasuruan dan Kabupaten Bondowoso. Pelaksanaan konsultasi ini
melibatkan siswa SD/MI, SMP/MTs, Guru, Kepala Sekolah dan Dinas Pendidikan
Kota/ Kabupaten setempat. Jumlah partisipan untuk setiap Kota/ Kabupaten adalah
40 anak dan 12 orang dewasa dengan rincian sebagai berikut :
 Dewasa : Guru SD/ MI 4 orang (2 laki-laki dan 2 perempuan) guru SMP/ Mts 4
orang (2 laki-laki dan 2 perempuan) Komite sekolah 2 orang ( 1 SD/MI, 1 SMP/
MTs) ;
 Anak laki-laki (10) dan anak perempuan (10), pada sesi pagi : SD dan MI dan
pada sesi sore : MTs dan SMP;
 Interview Kepala Sekolah dan Kepala Dinas.
(4) Melakukan kompilasi hasil pemetaan dan sosialisasi draf hasil untuk mendapatkan
masukan-masukan dari Stakeholders Kota Pasuruan dan Kabupaten Bondowoso,
melalui beberapa kali pertemuan dengan tahapan sebagai berikut :
 Penyusunan kategori data;
 Pemberian indeks;
 Pengelompokan data berdasarkan kategori;
 Pembuatan analisa data per kategori dan trianggulasi data;
 Penulisan hasil penelitian.

(5) Menyusun laporan akhir hasil pemetaan, sebagai bahan Advokasi mencegah
terjadinya kekerasan di Sekolah dan mendorong Sekolah Ramah Anak. Laporan ini
akan menjadi pertimbangan bagi Dinas Pendidikan untuk mempertimbangkan
beberapa rekomendasi utamanya dalam penguatan kapasitas guru dan stakeholder
pendidikan untuk membangun kebijakan dan budaya sekolah ramah anak. Serta
partisipasi anak melalui pemberdayaan siswa dalam membangun ketrampilan hidup
agar mampu menjaga diri agar tidak menjadi korban dan tidak menjadi pelaku
kekerasan.

D. Susunan Tim
Penelitian dilakukan oleh 9 peneliti dan 4 pendukung penelitian dari Dinas
Pendidikan Provinsi Jawa Timur, Bappeda Provinsi Jawa Timur dan BPPKB Provinsi
Jawa Timur. Tim Peneliti dipilih berdasarkan keterwakilan kelembagaan dan yang
pernah atau berpengalaman dalam melakukan penelitian partisipatoris berbasis aksi
di Jawa Timur terkait dengan kekerasan terhadap anak. Adapun anggota tim
tersebut adalah :

1. Abu Thoyyib : Pendamping penelitian anak;


2. Allosiya Vira : Pusham Ubaya;
3. Anwar Sholikin : LPKP Jawa Timur;
4. Ardi Juan Syahputra : Peneliti anak dari Dewan Perwakilan Anak;
5. Budiati : LPA Jawa Timur dan FORPAMA;
6. Isa Anshori : LPA Jawa Timur dan Hotline Pendidikan;
7. Khairun Sani : Pendamping penelitian anak;
8. Muhammad Izzudin Faizal : Peneliti Anak dari Dewan Perwakilan Anak;
9. Winny Isnaini : LPA Jatim dan Fasilitator peneliti anak

Sedangkan Tim Pendukung penelitian terdiri dari:


1. Diah : BPPKB Jawa Timur;
2. Iriani : Dinas pendidikan Jawa Timur;
3. Heri : Dinas pendidikan Jawa Timur;
4. Priandika Patria Perdana SH,MH : Bappeda Provinsi Jawa Timur
BAB II
KAJIAN KEPUSTAKAAN
KEKERASAN ANAK DAN SEKOLAH RAMAH ANAK
A. Kekerasan terhadap Anak
1. Pengertian Kekerasan
Kekerasan berarti penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah. Menurut WHO
(dalam Bagong. S, dkk, 2000), kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan
orang kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau
sekelompok atau masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar
mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan
perkembangan atau perampasan hak.

Barker (dalam Huraerah, 2007) mendefinisikan child abuse merupakan tindakan


melukai berulang-ulang secara fisik dan emosional terhadap anak yang
ketergantungan, melalui desakan hasrat, hukuman badan yang tak terkendali,
degradasi dan cemoohan permanen atau kekerasan seksual.

2. Bentuk-bentuk Kekerasan terhadap Anak


Terry E. Lawson (dalam Huraerah, 2007), psikiater internasional yang merumuskan
definisi tentang child abuse, menyebut ada empat macam abuse, yaitu emotional
abuse, verbal abuse, physical abuse, dan sexual abuse). Sedangkan menurut
pengalaman LSM SEJIWA yang banyak bekerja mendampingi anak-anak
menambahkan ada jenis kekerasan cyber abuse.

a) Kekerasan secara Fisik (physical abuse)


Physical abuse, kekerasan yang dilakukan seseorang berupa melukai atau
menimbulkan rasa sakit pada bagian tubuh anak.

b) Kekerasan Emosional (emotional abuse)


Emotional abuse, kekerasan yang berdampak melukai kejiwaan anak dengan
berbagai perilaku, misalkan membiarkan anak basah atau lapar karena ibu
terlalu sibuk atau tidak ingin diganggu pada waktu itu, mengabaikan
kebutuhan anak untuk dipeluk atau dilindungi.

c) Kekerasan secara Verbal (verbal abuse)


Biasanya berupa perilaku verbal dimana pelaku melakukan pola komunikasi
yang berisi penghinaan, ataupun kata-kata yang melecehkan anak. Pelaku
biasanya melakukan tindakan mental abuse, menyalahkan, melabeli, atau
juga mengkambinghitamkan.

d) Kekerasan Seksual (sexual abuse)


Sexual abuse meliputi pemaksaan hubungan seksual atau mengganggu
orgran pribadi dalam rangka tujuan aktifitas seksual. Kekerasan seksual
(sexual abuse) merupakan jenis penganiayaan yang biasanya dibagi dalam
kategori berdasar identitas pelaku (Tower, 2002), terdiri dari:

1) Familial Abuse
Incest merupakan sexual abuse yang masih dalam hubungan darah,
menjadi bagian dalam keluarga inti.
2) Extrafamilial Abuse
Extrafamilial Abuse, dilakukan oleh orang lain di luar keluarga korban,
dan hanya 40% yang melaporkan peristiwa kekerasan. Kekerasan
seksual yang dilakukan oleh orang dewasa disebut pedophile, yang
menjadi korban utamanya adalah anak-anak. Pedophilia diartikan
”menyukai anak-anak” (deYong dalam Tower, 2002). Pedetrasy
merupakan hubungan seksual antara pria dewasa dengan anak laki-laki
(Struve & Rush dalam Tower, 2002). Pornografi anak menggunakan
anak-anak sebagai sarana untuk menghasilkan gambar, foto, slide,
majalah, dan buku (O’Brien, Trivelpiece, Pecora et al., dalam Tower,
2002).

Suharto (1997) mengelompokkan kekerasan pada anak menjadi kekerasan fisik,


psikis, seksual dan sosial. Kekerasan secara sosial dapat mencakup penelantaran
anak dan eksploitasi anak. Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orangtua
yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh-kembang
anak. Misalnya anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga, atau tidak diberikan
pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak. Eksploitasi anak menunjuk pada
sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan
keluarga atau masyarakat.

3. Faktor Penyebab Kekerasan terhadap Anak


Gelles Richard.J (1982) mengemukakan bahwa kekerasan terhadap anak (child
abuse) terjadi akibat kombinasi dari berbagai faktor, yaitu:
a. Pewarisan Kekerasan Antar Generasi (intergenerational transmission of
violance)
Banyak anak belajar perilaku kekerasan dari orangtuanya dan ketika tumbuh
menjadi dewasa mereka melakuakan tindakan kekerasan kepada anaknya,
perilaku kekerasan diwarisi (transmitted) dari generasi ke generasi. Studi-studi
menunjukkan bahwa lebih kurang 30% anak-anak yang diperlakukan dengan
kekerasan menjadi orangtua yang bertindak keras kepada anak-anaknya. Tetapi,
sebagian besar anak-anak yang diperlakukan dengan kekerasan tidak menjadi
orang dewasa yang memperlakukan kekerasan kepada anak-anaknya.
b. Stres Sosial (social stress)
Stres yang ditimbulkan oleh berbagai kondisi sosial meningkatkan risiko
kekerasan terhadap anak dalam keluarga. Kondisi-kondisi sosial ini mencakup:
pengangguran, penyakit, kondisi perumahan buruk, keluarga besar dari rata-
rata, kelahiran bayi baru, orang cacat di rumah, dan kematian seorang anggota
keluarga. Sebagian besar kasus dilaporkan tentang tindakan kekerasan terhadap
anak berasal dari keluarga yang hidup dalam kemiskinan. Tindakan kekerasan
terhadap anak juga terjadi dalam keluarga kelas menengah dan kaya yang
mengalami disfungsi keluarga.
c. Isolasi Sosial dan Keterlibatan Masyarakat Bawah
Orangtua dan pengganti orangtua yang melakukan tindakan kekerasan
terhadap anak cenderung terisolasi secara sosial. Sedikit sekali orangtua yang
bertindak keras ikut serta dalam suatu organisasi masyarakat dan kebanyakan
mempunyai hubungan yang sedikit dengan teman atau kerabat.
d. Struktur Keluarga
Tipe-tipe keluarga tertentu memiliki risiko yang meningkat untuk melakukan
tindakan kekerasan dan pengabaian kepada anak. Misalnya, orangtua tunggal
lebih memungkinkan melakukan tindakan kekerasan terhadap anak
dibandingkan dengan orangtua utuh. Selain itu, keluarga-keluarga di mana baik
suami atau istri mendominasi di dalam membuat keputusan penting.
e. Efek Kekerasan Seksual
Kebanyakan korban perkosaan merasakan kriteria psychological disorder yang
disebut post-traumatic stress disorder (PTSD), simtom-simtomnya berupa
ketakutan yang intens terjadi, kecemasan yang tinggi, emosi yang kaku setelah
peristiwa traumatis. Beitch-man et al (dalam Tower, 2002), korban yang
mengalami kekerasan membutuhkan waktu satu hingga tiga tahun untuk
terbuka pada orang lain. Finkelhor dan Browne (dalam Tower, 2002) menggagas
empat jenis dari efek trauma akibat kekerasan seksual, yaitu:
1) Betrayal (penghianatan)
2) Traumatic sexualization (trauma secara seksual)
3) Powerlessness (merasa tidak berdaya)
4) Stigmatization
B. Sekolah Ramah Anak
1. Pengertian Sekolah
Pendidikan adalah proses perubahan sikap dan tatalaku seseorang atau kelompok
orang dalam rangka usaha meningkatkan kapasitas atau kemampuan manusia
melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Sekolah adalah salah satu bentuk lembaga
pendidikan.
2. Pengertian Ramah Anak
Pengertian Ramah Anak adalah apabila ada komitmen di suatu lingkungan otoritas
yang melibatkan semua sumber dayanya untuk memprioritaskan dukungan pada
pemenuhan hak-hak anak di lingkungan tersebut. Ramah anak pada dasarnya
memberikan dukungan optimal pada anak dan tidak mengganggu tumbuh kembang
anak atau melanggar hak anak. Istilah ‘ramah anak atau layak anak’ diluncurkan
dalam inisiasi tentang Kota Layak Anak.
 Pembangunan KLA diawali dengan penelitian mengenai Children’s Perception of
the Environment oleh Kevin Lynch (arsitek MIT) di 4 kota Melbourne, Warsawa,
Salta dan Mexico City
 Melalui Keppres No. 36 Tahun 1990, Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB
tentang Hak Anak yang ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-
Bangsa dengan Resolusi No. 44/25 tanggal 20 November 1989.
 Tugas utama Negara yang telah meratifikasi berkewajiban untuk:
 Menghargai (to respect)
 Melindungi (to protect)
 Memenuhi (to fullfil)
 Memajukan (to promote)
 Melalui City Summit Mei 2002, UNICEF dan UNHABITAT memperkenalkan Child
Friendly City Initiative (Inisiatif Kota/kabupaten Layak Anak)

3. Konsep Sekolah Ramah Anak

Sekolah yang ramah anak merupakan institusi yang mengenal dan menghargai hak
anak untuk memperoleh pendidikan, kesehatan, kesempatan bermain dan
berekreasi, melindungi dari kekerasan dan pelecehan, dapat mengungkapkan
pandangan secara bebas, dan berperan serta dalam mengambil keputusan sesuai
dengan kapasitas mereka. Sekolah juga menanamkan tanggung jawab untuk
menghormati hak-hak orang lain, kemajemukan dan menyelesaikan masalah
perbedaan tanpa melakukan kekerasan. Didalam konsep sekolah ramah anak murid
selalu dilibatkan didalam menciptakan lingkungan sekolah yang menarik dan ideal,
seperti :
a) Dilibatkan dalam mengungkapkan ide, gagasannya mendesain sekolah dengan
media belajar (kotak saran, jam diri, kotak soal, majalah dinding, taman, kebun
sekolah, penataan bangku, dekorasi kelas sehingga menarik).
b) Murid dilibatkan dalam berbagai aktifitas yang mengembangkan kompetensi
dengan menekankan proses belajar melalui berbuat sesuatu.

Sebuah Sekolah Ramah Anak semestinya memiliki sembilan (9) tujuan, antara lain :

1) Mendorong peran serta anak-anak baik di sekolah maupun dalam masyarakat


2) Meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan anak-anak
3) Menjamin tempat yang aman dan terlindungi bagi anak-anak
4) Menggalakkan pendaftaran dan penyelesaian
5) Menjamin keberhasilan dan prestasi akademik anak yang tinggi
6) Meningkatkan motivasi dan moral para guru
7) Mengerahkan dukungan masyarakat untuk pendidikan
8) Menjamin keselamatan dari bencana
9) Menerapkan pembelajaran yang aktif-kreatif-menyenangkan-ramah anak

Ada 13 (tigabelas) kriteria yang diberikan oleh lembaga Unicef, agar sebuah sekolah
menjadi sekolah ramah anak, yaitu:

1) Merefleksikan dan menjalankan hak anak di sekolah.


2) Memandang anak dengan utuh, sebagai bagian dari keluarga, sekolah dan
komunitas.
3) Berpusat pada kemajuan siswa.
4) Peka pada perbedaan gender dan ramah pada siswa perempuan.
5) Lebih mengutamakan kemajuan kualitas hasil belajar.
6) Memberikan pendidikan yang relevan pada kehidupan.
7) Fleksibel menyikapi perbedaan.
8) Terbuka pada pendidikan inklusi serta menghormati persamaan kesempatan.
9) Menunjang kesehatan mental dan fisik anak.
10) Menyediakan pendidikan terjangkau dan mudah diakses.
11) Menguatkan kapasitas, nilai-nilai, komitmen dan status guru.
12) Fokus dan melibatkan keluarga.
13) Fokus dan melibatkan lingkungan sekitar sekolah.**

Persyaratan minimal Sekolah Ramah Anak dalam Peraturan Menteri Pemberdayaan


Perempuan dan Perlindungan Anak (PERMEN) Nomor 12 Tahun 2012 tentang Indikator
Kota/Kabupaten Ramah Anak, antara lain adalah:
1) Mempunyai kebijakan anti kekerasan (sesama siswa, tenaga pendidik dan
kependidikan, termasuk pegawai sekolah lainnya);
2) Memiliki program Usaha Kesehatan Sekolah (UKS);
Llingkungan sekolah yang bersih dan sehat;
3) Menerapkan Perilaku Hidup Bersih Sehat (PHBS);
4) Sekolah Adiwiyata;
5) Memiliki Warung/Kantin Kejujuran; dan
6) Siswa terlibat/dilibatkan dalam pembuatan kebijakan sekolah
BAB III
PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA
HASIL PEMETAAN KEKERASAN
A. Paparan Data Sekunder Pendidikan
Penduduk Jawa Timur berjumlah 37.467.011 jiwa, dari jumlah tersebut 9.341.774
adalah anak usia sekolah mulai 04- 18 tahun. Sementara anak-anak yang duduk di bangku
TK/RA, SD/MI, SMP/MTs dan SMA/SMK/MA terdiri dari 7.020.634 anak serta 8.387 anak
duduk di SMP dan SMA terbuka. Anak yang berada di pendidikan luar biasa terdiri dari
8.887 anak di SDLB, 2.189 anak di SMPLB dan 1.021 anak di SMALB. Sementara lainnya
berada di Pendidikan Non Formal atau sedang tidak bersekolah. Angka Partisipasi Murni
untuk SD/MI sebesar 97,16% ; untuk SMP/MTs sebesar 85,96% dan untuk SMA/SMK/MA
sebesar 54,97%.
Angka transisi dari SD/MI ke SMP/MTs sebesar 98,67% sedang untuk transisi
SMP/MTs ke SMA/MA/SMK sebesar 87,69%. Sedangkan angka putus sekolah SD/MI
sebesar 0,18%, putus sekolah dari SMP/MTs sebesar 0,41% dan putus sekolah di
SMA/MA/SMK sebesar 0,84%

1. Kota Pasuruan
Penduduk Kota Pasuruan berjumlah 186.262 jiwa, dari jumlah tersebut 46.896
adalah anak usia sekolah mulai 04- 18 tahun. Sementara anak-anak yang duduk di bangku
TK/RA, SD/MI, SMP/MTs dan SMA/SMK/MA terdiri dari (6.224 + 21.636 + 10195 + 11.335).
Sementara lainnya berada dalam SLB, Pendidikan Non Formal atau sedang tidak
bersekolah. Angka Partisipasi Murni untuk SD/MI sebesar 97,16% ; untuk SMP/MTs
sebesar 85,96% dan untuk SMA/SMK/MA sebesar 54,97%.

2. Kabupaten Bondowoso
Penduduk Kabupaten Bondowoso berjumlah 745.267 jiwa, dari jumlah tersebut
171.238 adalah anak usia sekolah mulai 04- 18 tahun. Sementara anak-anak yang duduk di
bangku TK/RA, SD/MI, SMP/MTs dan SMA/SMK/MA terdiri dari ( 25.339 + 78.774+ 30.795+
27.070). Sementara lainnya berada dalam SLB, Pendidikan Non Formal atau sedang tidak
bersekolah. Angka Partisipasi Murni untuk SD/MI sebesar 99,75% ; untuk SMP/MTs
sebesar 91,88% dan untuk SMA/SMK/MA sebesar 62,81%.
Angka transisi dari SD/MI ke SMP/MTs sebesar 96,04% sedang untuk transisi
SMP/MTs ke SMA/MA/SMK sebesar 78.20%. Sedangkan angka putus sekolah SD/MI
sebesar 0.28%, putus sekolah dari SMP/MTs sebesar 0,29% dan putus sekolah di
SMA/MA/SMK sebesar 0.25%.
Data kekerasan terhadap anak dan perempuan yang ditangani UPPA Polres Bondowoso
selama 3(tiga) tahun terakhir adalah :
Jenis Kasus 2010 2011 2012
Kekerasan terhadap Anak 10 5 10
Persetubuhan terhadap Anak 9 10 15
Pencabulan 2 1 6
Penculikan - - -
KDRT (fisik) 29 18 22
Penelantaran 5 10 9
Membawa lari anak 3 2 5
Jumlah

Belum diperoleh data skunder untuk masing-masing Daerah, terutama yang terkait
dengan:
1. Data kasus yang terjadi di daerah sasaran : di P2TP2A, UPPA dan dinas
pendidikan serta dinas lain terkait kekerasan;
2. Profil sekolah tempat partisipan (jumlah siswa, guru, tata tertib sekolah,
status sekolah dll);
3. Peraturan pendidikan yang terkait dengan siswa (bersumer dari dinas
pendidikan, Kementrian Agama, sekolah ataupun OSIS dan eskul);
4. Data pendukung tingkat Daerah: Jumlah Sekolah SD/MI, SMP/MTs, Jumlah
Murid, Jumlah Guru dll
BAB IV
ANALISIS HASIL PEMETAAN
KEKERASAN TERHADAP ANAK DI SEKOLAH
A. Situasi Kekerasan Terhadap Anak di Sekolah
Bentuk kekerasan terhadap anak di Sekolah yang diidentifikasi melalui pemetaan dalam
rangka mewujudkan sekolah ramah anak dicermati dalam 3 jenis yaitu Kekerasan Fisik, Psikis
dan Seksual. Berdasarkan hasil identifikasi peneliti membagi hasil identifikasi berdasarkan
jenisnya, pelaku dan korban yang ditampilkan dalam data terpisah antara temuan di SD/MI dan
SMP/MTs.

A1. Kekerasan yang dialami oleh siswa-siswi SD/MI di Sekolah


Jenis Yang Dilakukan Guru Kepada Yang Dilakukan Teman Kepada
Kekerasan
Korban Murid Korban Korban Teman Korban Teman
Laki-Laki Murid Perempuan Laki-Laki Perempuan
Fisik Dijewer, Dicubit, Ditarik Digodek,dijiwit, dipukul, Di cokok tagih (didorong Ditendang,
godeknya, dipukul pakai disuruh berlari, dipukul kepalanya), ditinju, dijambak, dicubit,
alat, ditendang, menulis kaki, jidat, dijewer, didorong, diinjak, diinjak, dipukul,
sampai 4 lembar Menyapu dan ditendang, digigit, digepuk dijegal, ditinju
membersihkan sampah, (Dipukul dengan benda),
Menulis Astahfirulloh 100 diceplos (ditampar),
kali, Menulis “saya dipetek (leher dikempit
terlambat 10 kali”, dengan lengan sendiri),
Ditampar, Menempeleng, ditungkak (paha ditendang
di jemur, Mencubit, dengan lutut), ditotok
Istighfar 50 kali, Istighfar dengan dua jari, di cubit
1000 kali dibawah tiang dan di jambak.
bendera, Menjewer,
ditendang, Memukul
dengan lidi
Psikis Disindir, dimarahi di Dibentak dan dimarahi, Memanggil dengan nama Dihina
depan kelas, dipanggil berdiri di depan kelas , orang tua, di jodoh- Dicecar lewat sms,
bodoh, dihina karena dikeluarkan sampai jam jodohkan, dipanggil Di sms yang isinya
suka bolos, dipanggil pelajaran selesai goblok, dipisuhi, dihina nggak-ngagak
ndableg, sepatu disita, karena kekurangan fisik
membersihkan kamar (gigi maju, kulit hitam,
mandi, disuruh keluar rambut keriting), dipanggil
kelas dengan nama hewan (ex :
asu, jangkrik, tokek, dll),
dipanggil embana (kakek),
dikucilkan
Seksual Dicubit dadanya Digelitik oleh guru laki-laki Dipegang pantat, diremas Payudara dipegang,
pantat, dipegang pipi dijawil, disiuli,
kemaluan, ditendang membuka rok
kemaluan, dipukul
kemaluan, dipegang
susunya, rok disingkap,
disiuli, dipaksa suruh lihat
kemaluan teman, cowok
lihat dalamnya cewek,
dipaksa kemaluannya mau
dilihat oleh teman,
disetrum (kemaluan
digetarkan dengan kaki
sambil kedua kakinya
dipegangi) , merempon
(meremas payudara).

A2. Kekerasan yang dialami oleh siswa siswi SMP/MTS di Sekolah


Jenis Yang Dilakukan Guru Kepada Yang Dilakukan Teman Kepada
Kekerasan
Korban Murid Korban Murid Korban Teman Korban Teman
Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan
Fisik Ditampar, Ditendang, Dijewer, hidung ditarik, Dijitak kepala, didorong, Ditendang,
dicubit, dijewer. pipi dicubit, ditampar, dipukul, dicubit, dijegal, dijambak, dicubit,
Memukul dislentik, dipukul dengan dipukul, dijegal,
benda, carok, dijambak Berkelahi karena
berebut pacar,
dikencingi

Psikis perkataan goblok, Dimarahi, dibentak, Dikata-katai sesame siswa Diolok-olok,


repot, cerewet cetakan mengejek, (pathek, anjing, janchuk, dibentak,
bungka (kepala bulat) mempermalukan, dihina, bodoh, semok/ PSK, Moke Mengejek, nyandak
bagi tidak pandai, dibilang bodoh, bandel, /kelamin, katempai/ kura- (memanggil anak
gendut dipanggil galon. nakal, kura, Imut ireng mutlak, dengan nama orang
ambon/ beta, manusia tua),
Dibanding-bandingkan dan
purba, miss universe bagi
perlakuan yang berbeda
yang jelek dan goblok,
antara murid yang pinter
babi, monyet, kotak,
dan bodoh, kelas unggulan
rambut sarimi. acong,
dan biasa (pembedaan
ambon, copek karena fisik
kasta).
(gendut, gemuk, hitam,
panggilan nama orangtua,
Panggilan bodoh dari
Diskriminasi layanan anak
teman, Diacuhkan sering
sekolah unggulan punya
terjadi.
masalah ditutup-tutupi
kalau anak regular
masalah di buka (sengaja
di perlihatkan & di dengar
oleh orang lain. Ada yang
ngatain juga Wis elek gak
pinter
Guru kalo murid Pinter
pinter pinter, gomblok
goblok
Seksual - Dipandang dengan memegang bagian vital Rok disingkap,
tatapan aneh, dicium saat teman, dipegang pipinya, pantat diraba,
berkemah. dipegang dadanya, ditekan pacar,
dipegang pantatnya dicium, digoda
,ditusuk pantatnya, melecehkan
dipukul kemaluannya, dengan isyarat,
diraba dadanya, dipegang memegang
dadanya, dicium payudara, merayu
mulutnya, dicium secara terus-
keningnya, disiuli menerus sampai
yang dirayu stres,
disuit-suit,
Mengacungkan jari
tengah kepada
teman perempuan

Berdasarkan tabel diatas maka dapat dicermati bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi di sekolah
berdasar hasil penelitian sebagai berikut:
 Kekerasan fisik pada anak perempuan yang di lakukan oleh Guru lebih banyak terjadi dari pada
anak laki-laki terutama pada anak perempuan di bangku sekolah dasar (SD). Sedang kekerasan
fisik yang di lakukan oleh teman cenderung banyak terjadi pada anak laki-laki.
 Kekerasan seksual di tingkat SD banyak terjadi pada anak laki-laki yang pelakunya temannya
sendiri, hal ini kemungkinan di sebabkan masa usia SD masih malu-malu dan
memperalat/menyuruh temannya untuk melakukan pada anak perempuan. Di tingkat SMP
cenderung terjadi pada anak perempuan yang pelakunya adalah teman dan pacar dalam bentuk
paksaan dan ancaman misalnya pacar minta di cium kalau ngak mau di putus, berebut pacar,
dan hamil masa pacaran. Sehingga kekerasan seksual makin nampak dengan semakin
berkembangnya organ reproduksi pada usia anak. Baik posisi anak sebagai pelaku maupun
korban.
 Kekerasan ternyata tidak hanya di lakukan oleh guru atau teman tapi juga orang-orang sekitar
dan berada di lingkungan sekolah contohnya pengamen dalam bentuk memalak dan penjual es
yang menunjukkan Film Porno di HP. Di samping itu juga orang tua yang memukul siswa lain di
depan kelas untuk membela anaknya.
 Kekerasan juga terjadi ketika kegiatan ektrakurikuler di luar sekolah contohnya adanya temuan
guru Pembina Pramuka memandang/memperhatikan dengan cara yang aneh dan membuat
risih siswi. Mondar-mandir depan tenda siswi kemudian mencium siswi-siswi saat mereka tidur
di dalam perkemahan.

B. Penyebab Kekerasan
Kekerasan terhadap anak di sekolah sering dipicu oleh kebiasaan buruk yang di lakukan
oleh anak kepada temannya dan adanya peraturan sekolah yang tidak di patuhinya sehingga
memicu guru untuk menegakan aturan yang rawan menggunakan cara kekerasan. Bentuk
sanksi atau hukuman dari sekolah ada yang dilakukan dengan cara-cara kekerasan dengan dalih
menegakkan kedisiplinan pada anak-anak. Faktor pemicu terjadinya kekerasan terhadap anak
maupun tindakan yang menjadi penyebab langsung timbulnya kekerasan terhadap anak
menurut hasil penelitian adalah sebagai berikut:

1). Pada anak SD/MI


Pemicu Kekerasan oleh Guru:
 Melanggar peraturan seperti terlambat sekolah, tidak mengerjakan PR, tidak memakai
topi waktu upacara
 Melakukan kesalahan terhadap guru diantaranya mengembalikan kapur dengan tangan
kiri, dipanggil ndableg (tidak mengindahkan perintah guru) karena tidak mengerjakan
PR, berani sama guru kalau gurunya marah muridnya melawan dengan dibalas bicara.
 Sikap siswa yang dianggap nakal karena bergurau, soal ujian dicoret, murid saat istirahat
melepas sepatu maka sepatu disita oleh gurunya, makan di kelas, tidak ikut senam dan
kuku panjang
 Ada temuan, jika nilai ulangan harian jelek maka kena denda Rp. 1.000 ke bendahara
kelas (kas)

Pemicu Kekerasan antar teman


 Tidak ada Guru/saat kelas jam kosong
 Berkelahi antar murid
 Dianggaap bersikap kurang ajar
 Sepak bola dalam kelas
 Klotekan (memukul bangku dengan irama musik)
 Rame (ramai)
 Ada teman yang misuh (berkata kotor) kemudian dibalas
 Rambut yang panjang, potongan rambut yang tidak sopan, potongan rambut yang unik
 Nyumet mercon (menyalakan kembang api)
 Pulang awal sebelum waktunya
 iseng, nakal pelakunya ada yang mengganggu teman

2). Pada anak usia SMP/MTs


Pemicu kekerasan oleh Guru:
 Murid dianggap menghambat kegiatan misalnya saat upacara tidak mau berada di
barisan yang depan atau bergurau saat upacara.
 Guru kesal murid karena anak kelakuannya di luar bata, bajunya dikeluarkan, makan di
kelas, main bulu tangkis dikelas, tidak ikut senam, jika soal ulangan dicoret, kuku
panjang, pulang sebelum waktunya.
 Hukuman dari guru contohnya ketika melihat anak memegang payudara temannya lalu
ditempiling, terlambat, tidak mengerjakan PR, ramai di kelas, berani terhadap guru.
 Agar anak lebih disiplin atau tidak mengulang kenakalan yang dilakukan.
 Bersumber dari sikap guru diantaranya diskriminasi dari guru menimbulkan konflik
antar siswa, nafsu amarah pemgin marah, iseng padahal anak cewek diam.
Bahkan kalau ada anak yang melanggar tata tertib justru komite sekolah tidak keberatan
anaknya dihukum oleh guru, kalau tidak diberi hukuman bila melanggar, justru akan menjadi
pertanyaan walimurid berkaitan dengan keseriusan sekolah dalam mendidik anak.
Pemicu Kekerasan antar teman
 Berdesak-desak dengan banyak orang memicu saling dorong dan mencolek dengan
maksud seksual
 Melihat orang tua yang terbiasa dan sering melakukan kekerasan
 Berpacaran dengan teman melakukan hal yang menjurus kontak fisik di lokasi sekolah
 Suka iseng, pelaku nakal, korban nakal, suka mengganggu teman
 Cantik, nakal, cara berpakaian; centil, sikap/perilaku, kutu buku menjadi korban
eksploitasi untuk dimintai contekan, difabel rentan menjadi korban diskriminasi.
 Terlambat masuk, Tidak ada alasan, misal: dicubit tangannya dengan alasan bercanda,
bercanda saja (kekerasan seksual), Bertengkar, usil, Tidak usah mencari gara-gara, Tidak
nakal di hadapan guru, Harus diam.
 Dianggap nakal, sehingga pantas dapat hukuman atau diolok-olok.
 Cara berpakaian pake tanktop, hot pants, centil genit, sering ngumbar keseksian. Karena
ada teman dari SMP lainnya we kate nang ndhi, nyanyi atau ikut forum awas rek enenk
artis liwat, baju, rambut, lekalekuk
 Kalo cantik sopan lebih aman, Cuma digoda asalamualaikum. Arek wedhok sing
kudhungan luwih diajeni. Kalau pake krudung masih digoda karena sikapnya anaknya.
Ada temen lebih digoda sebab kecentilan walaupun pake krudung
 Di dunia cyber anak laki-laki mau add dilihat posenya mulai dari foto atau albumnya
 Rentan biasanya anak yang cacat katanya aduh adah, maksudnya kalau dilihat dari
belakang aduh kalau dilihat dari depan adah
 Yang banyak belajar dikira kuper cupu
 Biasanya anak pendiam soalenya nggak bisa nglawan, di angkot waktu sekolah dikena
pegang sama orang yang tidak dikenal, desak-desakan ada yang sengaja megang. Buat
salah , buat ulah
 Kepala gundul,kalah dalam permainan, alasan iseng bisa mengarah ke berantem, anak
minoritas (Kristen) Anak cacat, di Juling , gagap

Akar permasalahan yang menjadi latar belakang kekerasan antar teman adalah
pelaku yang merupakan anak-anak nakal atau bandel diantaranya disebabkan merasa
berkuasa karena anaknya tentara, anak yatim dan broken home karena kurang perhatian.
Pada anak usia SMP akar permasalahan mulai kompleks hubungan antar teman yang
bersamaan dengan perkembangan fungsi reproduksinya diantaranya berkaitan dengan
pacar, respon terhadap anak yang dianggap menarik atau seksi. Respon mereka terhadap
kondisi teman yang dianggap lemah, aneh untuk dapat dimanfaatkan untuk kepentingan
pribadinya dengan mengambil keuntungan atau menjadikannya sasaran kekerasan.
Sementara di kalangan guru perlu dikembangkan alternatif hukuman yang
mendidikan agar dapat digunakan sebagai pilihan bagi guru disamping menghukum dengan
kekerasan.Sebagian guru dianggap anak terbiasa melakukan kekerasan sehingga sikap
mereka perlu dievaluasi.

Tindakan agar tidak terjadi kekerasan


 Tidak mengulang kesalahan, agar tidak mengalami kekerasan lagi, lebih disiplin
 Berhati-hati, baik, tidak membuat kesal, ramah sopan, tidak cerewet
 Menjaga penampilan, tidak berganti-ganti pacar, tidak jadi perempuan gampangan.

C. Pelaku kekerasan pada anak di Sekolah


 Teman
 Kakak Kelas
 Guru
 Kepala Sekolah
 Satpam
 Guru pembina kegiatan Ekstrakulikuler
 Orang Tua wali murid
 Orang disekitar sekolah, contohnya Pengamen dan penjual Es

D. Kekerasan terhadap anak di sekolah melibatkan pihak-pihak yang berinteraksi langsung


dengan anak maupun tidak langsung dalam proses kegiatan belajar mengajar di sekolah. Berdasar
hasil penelitian di temukan ciri-ciri anak yang berpotensi menjadi korban dan pelaku kekerasan yang
digambarkan sebagai berikut:

D.1. Kekerasan yang terjadi terhadap anak SD/MI

Ciri-ciri pelaku kekerasan:


Anak yang biasanya menjadi pelaku
 Usia paling tua, ketua kelas, hyper aktif, kurang perhatian orang tua, nakal, berbadan besar,
kakak kelas, ikut gank
 Pelaku kekerasan fisik biasanya nakal, datang terlambat, suka mengancam

Guru sebagai pelaku yang teridentifikasi


 Guru perempuan, guru yang senior, guru mata pelajaran
 Guru yang sudah tua dianggap nggak gaul

Ciri-ciri anak yang menjadi korban:


 Berbadan besar tapi cengeng, badan kecil, adik kelas, pendek, beda ras, kasta rendah, anak
cowok yang biasa bermain bersama anak cewek, culun, kurang ajar, penakut, penampilan udik,
punya banyak uang.
 Gaya berlebihan, membuat kesal, lebih kecil/muda; junior-senior, suka marah marah, cerewet
 Pendiam, Genit (kekerasan seksual), Cantik, Ramai di kelas, Nakal Tidur di kelas, Bicara saat
pelajaran berlangsung (cerewet).
 Bikin resek (atau menjengkelkan orang), kecil badannya , kelas 2 memukul kelas 1 atau senior
terhadap junior, suka marah-marah nanti dimarahi teman lainnya.
D.2. Kekerasan yang terjadi terhadap anak SMP/MTs

Ciri-ciri pelaku kekerasan:


Anak yang biasanya menjadi pelaku
 Anak: anak yang ditakuti, penampilanya yang serem, kakak kelas, kelompok kuat yang ditakuti,
Kakak kelas dan teman sekelas yang sering menjadi pelaku, anaknya nakal, merasa lebih kuat
 Anak pelaku minta contekan ngancam ke anak pinter
 Anak suka merayu, nggombal suka memuji, kamu kok cantik se say. alpalagi kalau pake rok yang
segitu
 Anaknya kayak gak bek (agak kurang waras)
 Nakal, tubuhnya kekar, merasa paling hebat jadinya yang lainnya takut, yang suka pegang-
pegang suka lihat film prono dan ngoleksi, suka ngomong jorok
 Anak yang suka lihat gambar porno di HP , merahasiakan sesuatu, kadang anak laki-laki kalo
kumpul ya lihat gambar porno.
 Pelaku kekerasan seksual biasanya suka merayu, memuji, bercanda berlebihan, jelalatan,
berpura-pura baik.

Guru yang menjadi pelaku


 Guru olahraga, guru Qur’an tajwid, Guru IPS, Bahasa Daerah (Madura), Matematika yang semua
bapak-bapak.
 Guru tua yang tidak mengerti situasi anak remaja.
 Biasanya cepat emosinya, ada juga guru yang suka ngomongin organ kewanitaannya perempuan
di luar materi pelajaran. Ada guru cowok kalau lihat muridnya yang seksi bilang ‘wow’
menunjukkan nafsunya.

Ciri-ciri anak yang menjadi korban


 Anak yang rentan jadi korban temannya: anaknya kecil, lemah, tidak punya orangtua, punya
banyak kekurangan terutama fisik, anaknya tampak lemah gemulai, tingkat kecerdasan (lebih
pandai), cantik, genit.
 Anak yang dicap nakal, walaupun tidak nakal kalau ada sesuatu pasti menjadi tertuduh dan jika
berbuat baik masih dicurigai,
 Anak yang sering membuat salah dan ulah bisanya rawan dihukum guru.
 Etnis tertentu data yang muncul Arab dan Papua dan anak yang berkebutuhan khusus
 Kalo cantik sopan lebih aman, Cuma digoda asalamualaikum. Arek wedhok sing kudungan luwih
diajeni. Kalau pake krudung masih ad yang digoda karena sikapnya anaknya. Ada temen lebih
digoda sebab kecentilan walaupun pake krudung.
 Biasanya anak pendiam rentan soalnya nggak bisa nglawan.

E. Dampak Kekerasan pada Anak Sekolah


Berdasar hasil penelitian dampak yang di timbulkan akibat kekerasan terhadap anak di
sekolah, dikelompokkan sebagai berikut:

Beberapa dampak kekerasan terhadap anak SD/MI yang teridentifikasi diantaranya :


 Dampak Fisik seperti sakit, capek dan pusing kepalanya;
 Dampak psikis yang muncul merasa malu sama teman-teman,takut, minder. Bahkan ada
yang tidak masuk sekolah beberapa hari karena malu.
 Dampak seksual tidak terdeteksi di pemetaan

Beberapa dampak kekerasan terhadap anak SMP/MTs


 Dampak fisik memicu perkelahian dan luka atau sakit di pda bagian tertentu,
 Dampak psikis diantaranya :
 Jengkel dan kaget
 Mendapat cap buruk, malu sama teman-teman.
 Sedih dan malu di olok-olok teman
 Kasihan, disangka sombong
 Tidak enak dilihat menjadi tidak percaya diri.
 Pingin berhenti dari pengurus OSIS karena dipermalukan di depan orang banyak
 Trauma ingat-ingat pas kejadian dan takut terulang lagi
 Punya pikiran masa depan rusak
 Mendapat cap buruk, sehingga menjadi malu
 Dicap buruk oleh temannya kalau ketemuan diolok-olok, malu
 Korban seksual merasa dipermalukan, malu di lingkungan masyarakat dan teman,
minder,tapi lebih kuat ke malunya
 Korban seksual jadi trauma, ingat-ingat pas kejadian terus, takut kejadian lagi. Mikir
masa depan bagaimana, perempuan kena pelecehan mikir masa depannya sudah rusak
 Dampak seksual
 Tidak nyaman (kekerasan seksual)
 Hamil di masa pacaran
 Jijik

F. Respons Korban
Anak sekolah yang mendapatkan perlakukan tidak menyenangkan atau perbuatan yang berakibat
kesengsaraan, penderitaan dan tidak nyaman yang terjadi pada anak SD/MI perasaan yang
dialaminya adalah:
 Menangis
 Sedih
 Marah, ingin membalas
 Dendam, sakit hati pingin membalas
 Mau menghujat guru tapi takut (pelaku guru)
 Takut dan diam saja (nrimo)
 Ingin membalas dendam, terganggu dan risih
 Malu dan marah

Tindakan yang di lakukan untuk menghadapi kekerasan:


 Jera tidak mengulangi lagi kesalahan
 Berubah perilakunya
 Tidak mengulangi kesalahan,
 Sadar akan kesalahan

Sedangkan respon korban kekerasan pada anak SMP/MTs, ketika mendapatkan kekerasan
mengungkapkan perasaan mereka sebagai berikut:
 Menyesal, jengkel, ingin menampar, mengumpat,menantang berkelahi, terpaksa menurut.
 Malas ikut pelajaran, Mangkel, pengin nampar, mengumpat , ngejak gelut, Menyesal sudah
terjadi padahal semua sudah diberikan, sekarang masa pacaran belum tentu sampai besok.
Penginnya balas dendam karena semua udah diberikan kok ditinggal (kekerasan seksual).
 Kesel (jengkel), mangkel penginnya balas dendam, tetapi lingkungan sekitar memberi
masukan tidak dendam, soale lingkungan agama.
 Pengin berhenti jadi OSIS karena dipermalukan di depan orang banyak.
 Kalo punya masalah sepele nggak sampai keluar dari sekolah tapi kalo berat bisa keluar sekolah.
 Takut menegur Sakit hati, Kasihan, Tidak terima, Kesakitan, ingin membalas, membalas
menghina, dan mengamuk.
 Diam saja.
 Disedakne ae (didoakan jelek)

Tindakan yang di lakukan untuk menghadapi kekerasan:


 Tidak mau mengulangi kesalahan
 Curhat, nangis, melapor ke guru dan lapor ke orang tua
 Bercerita pada sahabat

G. Lokasi dan Waktu


Lokasi dan waktu terjadinya kekerasan anak di sekolah terdapat hampir di semua lingkungan
sekolah baik pada saat proses belajar di ruang kelas maupun di luar jam pelajaran. Berikut lokasi
dan waktu terjadinya kekerasan anak sekolah:
Menurut informasi anak SD/MI terdapat 7 lokasi terjadinya kekerasan
Dalam kelas & ruangan
 Di kelas jam kosong, bahkan berkelahi saat tidak ada guru, termasuk jam istirahat di kelas
diejek.
 Dihina ada pertengkaran dan berbagai kekerasan fisik antar teman, saat KBM (kegiatan belajar
mengajar),
 Anak disuruh keluar kelas oleh guru saat jam pelajaran,
 Kelas lantai dua anak ludah sembarangan saat jam istirahat,
 Dijewer, dicubit ketika ramai di kelas,
 Disuruh berdiri di luar kelas saat jam pelajaran,
 Ditinju oleh teman,
 Ditarik godeknya saat pelajaran.

Di halaman depan, taman atau lapangan


 Halaman sekolah tempat guru menghukum siswa dijemur karena tidak memaki atribut,
guyonan waktu upacara,
 Lapangan tempat anak ditotoki kepala oleh guru karena tidak pakai topi,
 Anak perempuan digodain anak laki-laki saat istirahat,
 Perkelahian siswa saat istirahat,
 Jembatan ada anak meludahi teman saat istirahat,
 Pulang sekolah dengan bentuk dipegang susunya (korban teman wanita),
 Rambut dipotong guru ketika operasi kerapian,
 Di halaman sekolah waktu olah raga, di alun-alun ketika olah raga,
 Di Halaman sekolah berkelahi, dipukul teman,

Di tempat parkir dan belakang sekolah


 Tempat parkir ada anak membocorkan ban dan gelut waktu istirahat,
 Gelut antar teman bahkan ada yang sampai masuk rumah sakit, anak dipajeki (pemerasan),
 Pintu belakang/ lorong sekolah bagian belakang anak ditarget, tawuran,penuh coretan pisuh-
pisuhan (kata-kata jorok),

Di kamar mandi dan tempat wudlu


Kamar mandi merupakan tempat yang rentan terjadi kekerasan sebab tempatnya yang jauh
dari pemantauan guru dan agak tersisih. Disamping itu banyak partisipan menginformasikan bahwa
kamar mandi merupakan lokasi yang tidak menyenagkan sebab berbau tidak enak bahkan ada yang
kotor. Sebagain kamar mandi penuh tulisan kata-kata kotor dan kata cinta-cintaan. Beberapa
kejadian di kamar mandi diantaranya:
 Tong air kamar mandi kencingi oleh anak-anak, diancam mau dibunuh ketika ketemu pelaku ,
siram-siraman air
 Tempat wudlu laki-laki anak-anak siram-siraman air
 Kamar mandi laki-laki ada yang narget
 Kamar mandi ada anak dikancing dari luar, ditakut-takuti
 Dipalak saat jam pelajaran

Koperasi atau kantin


Situasi tidak aman di koperasi adalah seringnya terjadi kasus pencurian. Anak Sementara itu banyak
kantin sekolah yang kurang representatif baik dari luasnya maupun pengaturannya sehingga jika
harus makan bersama situasi agak kacau. Ada peluang untuk mengatur agar anak-anak perempuan
tidak perlu berdesakan dengan lawan jenis yang memicu kekerasan seksual oleh temannya. Adapun
kejadian kekerasan diantaranya :
 Anak-anak gelut di kantin bahkan ada yang dipalak,
 Berdesak-desakan, berebut, kemudian didorong atau saling dorong, saling injak, dicolek bagian
sensitif untuk tujuan seksual karena berdesakan.

Masjid atau mushola


 Waktu sholat ditendang/ berantem
 Banyak anak mengganggu orang sholat

Kantor guru atau kepala sekolah


 Di kantor guru anak dicubit dan dijewer oleh guru
 Di Kantor Guru tempat anak dimarahi.

Menurut informasi anak SMP/MTs


Di Kantor Guru tempat anak dimarahi
Di Halaman sekolah berkelahi, dipukul teman
Di ruang dan kelas
Di kelas mereka juga kadang merokok, saling menghina, berkelahi saat istirahat.
 Oleh Guru kekerasan yang dilakukan sebagai hukuman saat anak nakal selama KBM bentuknya
ditampar, dijewer, dicubit, dipukul, dihukum depan kelas
 Oleh Teman yang usil anak perempuan dipegang dadanya, dan sesama laki-laki berkelahi,
dipukul pahanya.
 Perpustakaan ruang yang ideal karena anak nakal dan usil jarang masuk. Tetapi saat jam kosong
anak yang suka usil banyak ke perpustakaan,

Di halaman depan, taman atau lapangan


Halaman sekolah tempat yang stategis untuk berpacaran atau mereka mencuri kesempatan
merokok saat istirahat. Kejadian kekerasan diantaranya :
 Oleh teman : jongkrokan (didorong), dijegal teman, berkelahi saat pulang sekolah dan Pensi,
berkelahi saat istirahat tempat berkelahi jam istirahat
 Oleh Guru : dikejar satpam, dicubit guru, ditendang guru, dihukum sekojam oleh guru, disuruh
lari oleh guru, dijemur guru saat istirahat, dihukum guru push up, dihukum membersihkan
lapangan
 Saat Camping merasa terganggu ulah pembina yang memandangi anak-anak perempuan
dengan aneh dan ada yang dicium saat tidur,
 Di Pos Satpam digodain satpam saat lewat terjadi pada anak-anak perempuan.

Di parkir dan bagian belakang sekolah


Di bagian sekolah yang tersembunyi tempat banyak anak mencoba mengaktualisasi diri mereka,
mungkin dalam bentuk penyimpangan perilaku diantaranya merokok bahkan merusak barang
temannya seperti menggemboskan ban sepeda, atau mencopot bagian-bagian sepeda temannya.
Bahkan anak-anak juga rentan berkelahi di tempat tersembunyi ini. Dan biasanya kekerasan yang
terjadi diantaranya :
 Diejek karena kekurangan
 meremas/ melecehkan temannya saat istirahat
 tempat pacaran yang memicu peristiwa kekerasan seksual oleh pacar
 Di tempat parkir cowok berkumpul nggodain cewek.

Di kamar mandi dan tempat wudlu


Di toilet banyak anak perempuan yang diintip saat menggunakan toilet, data ini tidak hanya muncul
di satu tempat. Berantem dan merokok juga sering terjadi di tempat ini. Lokasi yang biasanya kotor
dan berbau tak sedap merupakan tempat untuk anak-anak berpacaran yang terlalu kebablasan atau
berbuat mesum. Kenakalan yang sering terjadi adalah :
 tempat pelecehan seksual siswa diluar jam sekolah
 anak dikunci dalam kamar mandi

Di koperasi atau kantin


Kantin dan koperasi saat istirahat sangat ramai karena merupakan kerempatan untuk jajan di
sekolah pada saat tersebut. Sehingga sering berdesak-desakan, berebut, kemudian didorong atau
saling dorong, saling injak, dicolek bagian sensitif untuk tujuan seksual karena berdesakan.

Kantor Guru atau Kepala Sekolah,


Lokasi ini biasanya identik dengan ruang yang aman sebab berada dibawah pengawasan guru.
Sehingga kekerasan yang terjadi juga berupa tindakan guru ketika harus menegakkan disiplin dengan
kekerasan.
Bentuk-bentuk kekerasan bisa terjadi kapan saja dan di mana saja tempatnya, siswa-siswi
perlu di bekali pengetahuan dan cara-cara perlindungan diri yang sederhana apabila terjadi
kekerasan pada dirinya. Pihak sekolah juga perlu menjamin kenyamanan dan keamanan siswa-
siswinya dengan peraturan-peraturan sekolah dan sanksi bagi pelakunya dengan bijak dan tidak
menimbulkan bentuk kekerasan baru pada anak didiknya. Lokasi-lokasi sekolah dapat berpeluang
rawan terjadinya kekerasan dipicu oleh situasi dan waktu tertentu. Informasi diatas penting untuk
direspon dalam rangka membuat pencegahan terjadinya kekerasan terhadap anak. Misalkan dengan
mendesain kantin yang membuat nyaman anak-anak termasuk anak perempuan saat harus jajan
makanan atau pemisahan kamar mandi laki-laki dan perempuan, pengawasan saat kegiatan
esktrakurikuler dan sebagaianya.
Tidak hanya di sekolah sebenarnya perlindungan anak dari kekerasan juga harus
memperhatikan di sarana umum. Data menunjukkan ketika berada di angkot waktu sekolah
dipegang sama orang yang tidak dikenal, ketika berdesak-desakan ada yang sengaja memegang.
Demikian pula pada lokasi hiburan seperti taman kota, maupun alon-alon dimana anak remaja biasa
berpacaran menunjukkan adanya pemaksaan kehendak untuk melakukan sesuatu yang menjurus
kepada pelecehan seksual.

BAB V
Analisa Sistem
A. Analisa Norma
1. Identifikasi berbagai kebijakan yang ada
Kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Bondowoso dan Kota Pasuruan terkait
perlindungan anak ataupun aturan yang mengatur tentang sekolah ramah anak sampai
sekarang belum ada. Karena itu kebijakan yang dijadikan acuan oleh Dinas Pendidikan dalam
mendorong sekolah ramah anak adalah dengan memberikan himbauan kepada sekolah agar
menerapkan Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan (PAKEM) yang
merupakan turunan dari kebijakan nasional di Kementerian Pendidikan Nasional.
Pelaksanaan PAKEM sendiri adalah merupakan bagian dari Kebijakan dari Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS) yang terdiri dari 3 pilar, antara lain:
a) Manajemen Sekolah
b) PAKEM
c) Peran serta masyarakat.
Dasar pelaksanaan PAKEM, antara lain :
a) UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
b) Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Tentang Standart Nasional
Pendidikan (SNP) yang diatur dalam Bab IV (Standart Proses) Pasal 19 ayat 1-3
dan Bab VIII (Standart Pengelolaan) Pasal 49 ayat 1
c) Peraturan Menteri No. 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses untuk Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah.
Penerapan PAKEM di kedua daerah ini (Kabuapten Bondowoso dan Kota Pasuruan) belum
berjalan di semua sekolah. Selain itu pelaksanaan PAKEM sendiri sangat bergantung pada
kepala sekolah dan guru di masing-masing sekolah dalam memaknai dan mengembangkan
PAKEM itu sendiri. Sebab tidak semua sekolah mendapat dukungan pelaksanaan PAKEM
yang sama. Ada yang merupakan sekolah model dengan dukungan dana optimal dan
pengalaman sehingga dapat benar-benar malakukan penerapan PAKEM. Tipe kedua melalui
replikasi baik yang didukung APBD maupun mandiri dan ketiga hanya didorong melalui
himbauan dan belum tentu menerapkannya.
Dinas Pendidikan selama ini masih terfokus sarana dan prasarana yang mendukung
pendidikan dan kemampuan guru dalam proses pembelajaran. Ada kebijakan Sekolah
Adiwiyata yang menjadi salah satu ciri sekolah ramah anak. Penilaian sekolah Adiwiyata
dilakukan oleh dinas pendidikan secara rutin bahkan dilombakan setiap tahunnya. Hal ini
merupakan potensi bagi sumber daya pendidikan untuk terus mendorong sekolah menjadi
lebih baik. Namun persoalannya dukungan sekolah adiwiyata sering difokuskan untuk
membawa nama baik Kabupaten/Kota sehingga di satu sekolah tertentu sangat didukung
sementara di sekolah lainnya masih membutuhkan banyak sentuhan.
Dalam pengembangan peran serta masyarakat belum ada informasi kebijakan. Peran serta
masyarakat dikembangkan berbasis kebiasaan lembaga pendidikan. Peran Dinas Pendidikan
selama ini adalah melakukan sosialisasi tentang peraturan sekolah yang ada kepada orang
tua siswa, guru, komite sekolah, kepala sekolah dan dewan pendidikan. Untuk tingkat
sekolah melakukan sosialisasi peraturan sekolah kepada masyarakat lingkungan sekolah dan
tokoh masyarakat setempat. Belum nampak pelibatan masyarakat dalam mengembangkan
peraruran sekolah
Bentuk peran serta biasanya direalisasikan dengan dukungan dana pendidikan masyarakat
terutama oleh wali murid. Namun Kebijakan yang ada di Dinas Pendidikan Kabupaten
Bondowoso dan Kota Pasuruan melarang pihak sekolah untuk melakukan pungutan kepada
siswa khususnya sekolah dasar. Di Kota Pasuruan justru ada sekolah yang memberikan
bantuan sepeda kepada siswa miskin sebagai alat tranportasi. Dana bantuan ini diperoleh
dari BOS dan bantuan pemerintah daerah setempat.
Dalam menyelesaikan masalah terutama perkaitan dengan kenakalan anak-anak atau
permasalahan yang berkaitan dengan siswa lainnya, dinas pendidikan bekerja sama dengan
dewan pendidikan, tokoh masyarakat (kyai) dan birokrasi. Bentuk kerjasama merupakan
langkah spontanitas yang tidak dituangkan dalam kebijakan, kecuali bentuk peran resmi
Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.
2. Pemahaman Terhadap Kebijakan Yang Ada
a) Pemahaman Kebijakan Ramah Anak Dinas Pendidikan
Pemahaman di tingkat pengambil kebijakan tentang kekerasan anak ataupun sekolah
ramah anak belum ada. Hal ini karena belum adanya pemahaman tentang Konvensi Hak
Anak (KHA) dan Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA) dilingkungan Dinas
Pendidikan. Bagi Dinas Pendidikan bahwa penerapan PAKEM dan memberikan ilmu dan
memperhatikan perilaku siswa adalah merupakan sekolah ramah anak. Peluang program
Kementrian Pendidikan Nasional yang dapat mendukung perwujudan sekolah ramah anak
adalah pengembangan pendidikan karakter yang dilakukan di setiap lini penguatan
kapasitas guru.
Dalam proses penggalian data para partisipan tidak memahami betul masalah sekolah
ramah anak. Tanggapan yang diberikan selalu menjurus pada PAKEM yang merupakan
salah satu pilar MBS. Hal ini merupakan temuan penting akan kebutuhan untuk
menyebarkan informasi berkaitan dengan sekolah ramah anak terutama pada lembaga
pendidikan.
Selama ini peraturan sekolah bentuknya sama, kemungkinan berasal dari dinas
pendidikan dan pihak sekolah hanya melakukan perbaikan peraturan yang berkaitan
dengan tata tertib. Contoh perubahan tersebut dilakukan dengan membuat kuisioner
yang akan diberikan kepada walimurid. Isi kusioner adalah bagaimana sekolah harus
menegakkan tata tertib berkaitan dengan pelanggaran yang dilakukan siswa. Jawaban
dari kuisioner tersebut dalah “S” (setuju) dan “TS” (tidak setuju) dan hampir 90% para
orang tua siswa setuju terhadap tata tertib yang ada. Para orang tua siswa banyak
memberi usulan terkait sanksi pelanggaran, artinya sanksi pelanggaran harus dibedakan
dan berdasarkan jenis pelanggaran yang dilakukan siswa. Point besar jika melanggar
norma dan point jika pelanggaran yang dilakukan tidak mengerjakan PR.
Kebijakan berkaitan dengan reward dan punishmen yang sifatnya tidak menjurus kepada
kekerasan dan mendidik anak masih sebatas himbauan. Dinas Pendidikan juga
menghimbau kepada sekolah untuk melakukan pembinaan kepada anak-anak melalui
guru dan guru BK. Apabila terjadi pelanggaran atau kekerasan oleh guru terhadap siswa,
maka kepala sekolah membina dan menyelesaikan dengan membuat surat pernyataan
tidak akan mengulangi. Jika ditingkat kepala sekolah tidak selesai, maka dinas pendidikan
akan memanggil guru untuk dilakukan pembinaan dan guru membuat pernyataan tidak
akan mengulangi. Jika guru tidak ada perubahan, maka dinas pendidikan akan memberi
sanksi.

b) Pemahaman Kebijakan Ramah Anak di kalangan guru


Kebijakan ramah anak yang dipahami guru sama dengan yang berkembang di kalangan
Dinas Pendidikan yakni berkaitan dengan pelaksanaan PAKEM, Sekolah Adiwiyata.
Potensi pendidikan karakter dapat digunakan menjadi support bagi guru untuk
melakukan pandidikan anak dengan beberapa tahapan sebelum memberikan hukuman
jiaka anak melakukan kesalahan. Kebijakan yang ada yang diketahui guru adalah tata
tertib sekolah dan tata tertib kelas. Peraturan tata tertib sekolah khususnya sekolah
SMP/ MTs sudah ada sejak dahulu dan dibuat oleh kepala sekolah yang dahulu.
Keterlibatan komite sekolah hanya sosialisasi program sekolah karena komite sekolah
sudah menyerahkan sepenuhnya kepada sekolah.

Selama ini komite sekolah meminta sekolah agar tidak melakukan kekerasan apabila
terjadi pelanggaran oleh siswa. Komite sekolah berharap sanksi yang diberikan kepada
siswa dalam kerangka mendidik dan tidak ada diskriminasi. Meskipun ada temuan justru
pihak wali murid yang duduk di Komite meminta pihak sekolah untuk menghukum anak-
anak sebagai bentuk pendisiplinan.
Penyampaian informasi tentang tata tertib sekolah ada yang tertulis dan ditempel di
depan kelas dan ada yang hanya disampaikan secara lisan ketika upacara. Mekanisme
penanganan dan penegakkan tata tertib di sekolah dilakukan semacam tim pengawas
yang terdiri dari Kepala Sekolah, guru dan guru Bimbingan Konseling (BK). Dan jika ada
siswa yang melanggar peraturan sekolah, maka tim pengawas mengarahkan penanganan
ke wali kelas dan dari walikelas kemudian dikomunikasikan dengan guru BK. Bahkan
dalam menangani pelanggaran oleh siswa sekolah juga melibatkan pihak luar seperti kyai
dari pesantren untuk ceramah agama, agar anak-anak mendapatkan pencerahan agama
Selama ini mekanisme atau SOP dalam menangani siswa yang melakukan pelanggaran
pertama akan diberi peringatan. Apabila terjadi pengulangan, maka siswa akan dihukum
pus up. Apabila terjadi pengulangan lagi, maka orang tua siswa dipanggil oleh pihak
sekolah untuk Tanya tentang kondisi siswa. Jika terjadi pengulangan lagi, maka sekolah
akan membuat kesepakatan bersama antara orang tua siswa dan guru BK dengan
diketahui kepala sekolah. Apabila belum selesai, maka kepala sekolah akan melakukan
kunjungan ke rumah siswa. Selain itu ada beberapa sanksi dalam bentuk lain yang
dikenakan kepada siswa antara lain: menyita hand phone, membayar denda kepada
Ketua Kelas atau Osis untuk dibelikan kebutuhan kelas dan OSIS, mengaji surat pendek,
sholat dhuha. Ada temuan jika ada anak-anak melakukan kesalahan berulang-ulang, maka
guru akan melakukan doa bersama setelah sholat berjama’ah agar anak (tanpa menyebut
anak yang melanggar) yang melakukan pelanggaran diberi kesadaran oleh Tuhan.
c) Pemahaman Kebijakan Ramah Anak di kalangan Siswa
Peraturan sekolah selama ini dibuat tanpa melibatkan para siswa dan orangtua siswa
serta komite sekolah, mereka hanya mendapatkan sosialisasi saja. Selama ini keterlibatan
komite sekolah didominasi pada penanganan siswa miskin atau berkaitan dengan
kebutuhan pendanaan.
Untuk siswa SMP mereka dilibatkan dalam pembuatan tata tertib kelas khususnya yang
berkaitan dengan kebersihan. Selanjutnya siswa mendengarkan presentasi tentang
rancangan peraturan kelas dan menentukan besar poin bagi setiap bentuk pelanggaran.
Guru akan memberikan masukan dan menentukan bentuk sanksi. Mekanisme yang
dilakukan yaitu ketua kelas memberikan masukan kepada pengurus OSIS. Sedangkan
untuk siswa SD / MI para siswa hanya dilibatkan dalam pembuatan jadwal piket, selain
itu semua sudah ditentukan pihak sekolah. Pemahaman tentang hak anak dan kekerasan
anak juga masih rendah di kalangan para siswa. Beberapa anak yang memahani hak anak
termasuk isu kekerasan memperoleh informasi dari kegiatan PIK KRR dan pelajaran PPKn.
Tata tertib kelas yang dibuat oleh masing-masing biasanya berbeda antara kelas satu dan
kelas lainnya, karena tata tertib kelas dibuat berdasarkan kesepakatan siswa bersama
ketua kelas. Tetapi pada intinya tata tertib kelas tidak keluar dari tata tertib sekolah. Hal
ini karena tata tertib sekolah adalah merupakan turunan dari tata tertib sekolah.Tata
tertib yang ada dilingkungan sekolah, menurut siswa mengatur antara lain:
1) Siswa laki-laki tidak boleh berambut panjang
2) Siswa tidak boleh datang terlambat
3) Siswa tidak boleh membawa hand phone
4) Tidak boleh memakai perhiasan berlebihan
5) Tidak boleh memanjangkan kuku
6) Memakai seragam dan atribut lengkap
7) Tidak boleh keluar kelas sebelum jam pelajaran selesai
8) Tidak boleh membawa mainan, novel dan komik
9) Tidak memakai rok dibawa pinggang
10) Dilarang merokok dilingkungan sekolah
11) Dilarang membuat gaduh
12) Dilarang membawa senjata tajam

Sedangkan sanksi yang ada


1) Dipanggil orangtuanya
2) Dimarahi
3) Ditegur sampai 3 kali dan dihukum membersihkan WC atau kelas, dijemur atau
disuruh berlari keliling lapangan.
4) Menggunakan sistem point
5) Membayar denda
Kurangnya pemahaman hak anak dan sekolah ramah anak ditingkat pengambil kebijakan
berdampak pada prinsip dalam peraturan sekolah yang telah ada. Disamping itu
berpengaruh pada pengetahuan sikap dan perilaku guru dan siswa di lingkungan sekolah.
Sehingga peraturan sekolah yang ada di bawahnya seperti tata tertib sekolah yang dibuat
para siswa tidak banyak berbeda serta kurang berpihak pada kepentingan terbaik bagi
anak. Begitu pula bentuk sanksi yang digunakan oleh guru maupun siswa dalam
menangani siswa yang melakukan pelanggaran juga hampir sama. Hukuman yang bersifat
kekerasan yang digunakan guru dalam menghukum siswa bermasalah juga menjadi
model bagi para siswa untuk menghukum teman-teman yang dianggap melanggar.
Kemauan guru dan kepala sekolah yang baik perlu didukung kebijakan yang tepat dalam
mendidik anak-anak.
3.Kesenjangan terhadap Kebijakan
Pemahaman guru bahwa tindakan kekerasan dilakukan terhadap siswa adalah untuk
mendidik anak-anak supaya tidak melanggar peraturan. Para guru belum paham tentang hak
anak secara holistik. Sehingga niat baiknya masih memerlukan pijakan kebijakan dan bentuk
merealisasikan sekolah ramah anak tidak semata-mata berkaitan dengan tata tertib namun
setiap tindakan dan kegiatan belajar mengajat berdasar pada prinsip perlindungan anak.
Kebutuhan lainnya adalah cara dan mekanisme melakukan deteksi dini terhadap siswa korban
kekerasan. Deteksi dini sangat penting untuk mencegah kekerasan terjadi karena dapat segera
dicegah ketika telah nampak fenomenanya. Selain itu guru merasa dilematis apabila anak-anak
tahu tentang hak anak dan para guru belum memiliki kemampuan cukup untuk mendidik anak-
anak. Ketakutan ini juga semata-mata karena pemahanan yang setengah-setengah sehingga
rawan mempertentangkan hak anak dengan kepentingan guru yang seharusnya tidak perlu
terjadi.

Kebijakan yang ada sekarang adalah pengembangan kegiatan ekstra kurikuler dan
sekolah adiwiyata. Pihak sekolah sendiri sudah melakukan pertemuan rutin bulanan untuk
melakukan evaluasi terkait permasalahan setiap kelas, jika sekolah dianggap sudah dapat
menyelesaikan persoalan yang ada maka permasalahan dianggap selesai. Selama ini
penanganan masalah anak disekolah selain melibatkan guru, pihak sekolah juga melibatkan
dukun bagi siswa kesurupan dan polisi serta tentara untuk menakut-nakuti siswa.

4. Kesimpulan :
a) Tidak ada Kebijakan Perlindungan Anak di tingkat daerah, kebijakan yang ada sekarang
termasuk PAKEM adalah kebijakan nasional dan Kabupaten/ Kota hanya melaksanakan di
lapangan dengan bentuk yang dimaknai oleh sekolah dan guru sesuai dukungan
implementasi yang mereka dapatkan.
b) Penerapan PAKEM di lingkungan sekolah dipahami sebagai perwujudan pelaksanaan hak
anak dan sekolah ramah anak. Meskipun sebenarnya kebijakan untuk membangun sekolah
Adiwiyata dan pengarusutamaan pendidikan karakter juga dapat mendukung realisasi
Sekolah Ramah Anak.
c) Peraturan sekolah yang telah ada sekarang sudah ada sejak dahulu, peran komite sekolah,
orangtua siswa dan siswa terlibat dalam sosialisasi program.
d) Siswa SMP/ MTs terlibat dalam pembuatan tata tertib kelas dan siswa SD/ MI tertib dalam
pembuatan jadwal piket.
e) Ada banyak temuan potensi yang dapat dikembangkan untuk mendukung kebijakan sekolah.
Sehingga budaya sekolah dapat menjadi tambahan satu pilar membangun MBS atau
manajeman sekolah.
f) Latar belakang guru perlu mendapat telaah dalam membangun sekolah ramah anak dan
pencegahan kekerasan. Hal ini penting untuk tidak lanjut untuk membangun dukungan
kapasitas, lingkungan budaya dan sistem perlindungan anak khusunya pencegahan
kekerasan.

5. Rekomendasi :
a) Pertemuan bersama untuk membangun jejaring dan menyusun mekanisme penanganan
kekerasan di lingkungan sekolah yang melibatkan Dinas Pendidikan, UPPA Polres Setempat,
LSM Anak, BPPKB. Pertemuan ini harus ditindaklanjuti dengan sharing berbagai kebijakan
terkait dengan Sekolah Ramah Anak.
b) Melakukan inisiasi bersama untuk Perda atau kebijakan di tingkat Bupati/Walikota yang
terkait dengan perlindungan anak yang akan menjadi dasar hukum dalam setiap kegiatan
perlindungan anak di daerah tersebut. Kebijakan yang lebih sederhana dapat berupa
Peraturan Dinas Pendidikan dan Kementrian Agama. Muatan kebijakan dapat mengatur
bagaimana langkah sekolah, bentuk peran serta masyarakat, peran berbagai pihak dalam
membangun Sekolah Ramah Anak atau MBS peran serta anak, aturan main terhadap
reward dan punishmen.
c) Meningkatkan partisipasi Komite sekolah, orang tua siswa dan siswa dalam pembuatan
kebijakan di lingkungan sekolah.
d) Ada media informasi yang menginformasikan bagaimana mewujudkan sekolah ramah anak
dan kebijakan lainnya yang mendukung,
e) Sekolah meminta keterlibatan dan dukungan pihak Dinas Pendidikan maupun Departemen
Agama dalam program – program bersama. Beberapa kebutuhan program diantaranya
peningkatan kapasitas berkaitan dengan pemahaman KHA dan Sekolah Ramah Anak dan
deteksi dini pencegahan kekerasan yang dapat dituangkan melalui RKA.

B. Analisa Struktur
Telaah struktur dalam lembaga pendidikan sebenarnya telah memiliki komponen yang
lengkap dalam merealisasikan program sekolan ramah anak. Bahkan kapasitas yang berkaitan
dengan tugas dan fungsinya dapat menjadi potensi untuk mencegah kekerasan terhadap anak di
Sekolah. Karena kebijakan belum ada demikian juga pedoman secara teknis belum dipahamin maka
dengan melihat struktur yang ada dapat dikembangkan perwujudan sekolah ramah anak dengan
dukungan kapasitas.
1. Struktur dalam Lembaga Pendidikan

DINAS PENDIDIKAN KEMENTRIAN AGAMA DEWAN


KAB/KOTA PENDIDIKAN

Bid TK/SD Bid Dikmen Bid (PNFI, Mapenda Bid lainnya


Kepegawaian)
Penilik Pengawas dll Pengawas

SD SMP Swasta SD SMP Negeri Madrasah Madrasah KOMITE


Swasta Negeri
SEKOLAH
Yayasan Kepala Sekolah Yayasan Kepala
Kepala Sekolah Guru (wali kelas, Kep Sekolah Sekolah (toga dan
guru kelas dan Guru (wali Guru(wali
toma)
Guru (wali kelas, guru pembina eskul) kelas, guru kelas, guru
kelas dan pembina kelas dan kelas dan
eskul) pembina pembina
eskul) eskul)
SMP dan MTS OSIS Kelas (Ketua) Kegiatan Ekstrakulikuler
(pengurus)
Siswa Siswa
Siswa (peserta eskul)

Pada Struktur diatas Lembaga Pendidikan berada di bawah Dinas Pendidkan dan Kementrian
Agama. Secara kelembagaan berada pada bidang TK/SD untuk SD dan Dikmen untuk SMP.
Sementara itu di Kementrian Agama berada di bawah bidang Mapenda. Pada tiap bidang telah
memiliki fungsi kontrol melalui pengawas dan penilik. Melalui pengawas sekolah, diknas
memberikan sosialisai, pendampingan tentang mengelola sekolah yang baik.Sedangkan fungsi
kontrol yang independen dilakukan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.
Struktur kelembagaan SD/MI dipimpin oleh Kepala Sekolah, untuk sekolah swasta di bawah
Yayasan Pendidikan. Pimpinan kelembagaan Kepala Sekolah dengan pelaksana guru baik dalam KBM
maupun guru yang mendapat tugas khusus dalam urusan siswa seperti wali kelas, pembina
esktrakulikuler. Siswa merupakan obyek dari proses kegiatan di Lembaga pendidikan, meskipun
sudah ada struktur kelas atau pimpinan dalam kelompok eskul siswa.
Untuk SMP/MTs struktur hampir serupa dengan SD/MI hanya saja partisipasi anak mulai
muncul dalam bentuk OSIS, Majelis Perwakilan Kelas dan pimpinan dalam eskul siswa yang berhak
melakukan kegiatan manajemen kelembagaan lebih mandiri. Siswa dapat memberikan masukan tata
tertib dibimbing wali kelas. Disamping itu munculnya layanan bagi siswa dengan tersedianya guru BK
yang bertugas memberikan bimbingan dan Konseling bagi siswa baik secara kelompok atau
perseorangan. Peran BK lebih pada dukungan psikososial bagi siswa.
Fungsi kontrol, penasehat, fasilitator dan dukungan yang independen untuk sekolah dapat
dijalankan oleh Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan untuk level Kabupaten dan Kota. Disamping
itu Tokoh Agama dan Masyarakat dapat juga melakukan fungsi yang sama termasuk wali murid yang
merupakan bagian dari Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Ada temuan Komite sekolah
memberikan masukan dan persetujuan terhadap tata tertib. Kepala Sekolah, guru dan BK
merupakan tim pengawas penegakan tata tertib di Sekolah.
Pola struktur diatas dapat dioptimalkan sesuai dengan fungsinya untuk merealisasikan
perwujudan sekolah ramah anak dan kebijakan lain yang mendukung seperti pelaksanaan MBS,
pendidikan karakter maupun sekolah adiwiyata untuk dukungan sarana dan lingkungan pendidikan.
2. Potensi / Layanan Respon KTA
Layanan untuk anak di tingkat kabupaten seperti LPA (Lembaga Perlindungan Anak), UPPA
(Unit Pelayanan Perempuan dan Anak) Polres, P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu) belum banyak
dikenal oleh guru dan siswa. Sehingga banyak yang kurang mengakses apalagi orang akan enggan
berhubungan dengan lembaga yang menangani permasalahan sebab artinya ketika mereka
bermasalah baru memerlukan lembaga tersebut. Kebutuhan pokok bagi anak-anak dan guru adalah
informasi keberadaan lembaga layanan tersebut beserta SOPnya.
Di tingkat kecamatan layanan Puskesmas untuk pengobatan anak-anak dikenal dan banyak
dimanfaatkan. Mungkin perlu ditelaah apakah setiap puskesmas telan melakukan tata laksana KTA
(mampu melakukan deteksi dini korban kekerasan) sesuai dengan program Kementrian Kesehatan.
Polsek sebenarnya juga telah terlibat di penerimaan siswa baru untuk baris-berbaris. Peluang yang
dapat dikembangkan adalah pengembangan informasi yang dapat memberikan informasi pada anak
misalnya bahaya narkoba, Undang-undang yang berkaitan dengan perlindungan anak.
Di lembaga pendidikan UKS dan BK menjadi fungsi layanan bagi anak. UKS disamping
memberikan layanan kesehatan juga menjadi arena sharing anak berkaitan dengan kesehatan
termasuk kesehatan reproduksi. Ada temuan menunjukan anak-anak mendapatkan informasi hak
anak karena sebagai peer educator di UKS. BK sebagai layanan psikososial anak dalam menghadapi
permasalahan, meskipun selama ini nampak dominan sebagai lembaga pengadilan bagi anak yang
bersalah. Sisi positif yang dapat dideteksi adanya beberapa partisipan yang mampu melihat BK
sebagai tempat curhat. Kegiatan Ekstrakulikuler seperti pramuka, UKS, kesenian dan Olahraga sangat
mendukung anak untuk berkegiatan positif dan mendapatkan layanan untuk ketrampilan hidup.
Dari data diatas maka potensi struktur yang dapat dikembangkan untuk mendukung sekolah
ramah anank diantaranya :
Tingkat Layanan Kabupaten Kecamatan Sekolah dan Sekitarnya
Lembaga Layanan yang P2TP2A Puskesmas Guru :
berpotensi mendukung
Wali kelas, BK,
Sekolah ramah anak
pendamping khusus ABH
UPPA Polres Polsek Kecamatan Komite Sekolah
LPA Toga dan Toma Toga dan Toma
MKKS (Musyawarah Kerja Pondok Pesantren
Kepala Sekolah) dan KKM
(Kelompok Kerja
Madrasah)

3. Rekomendasi
 Membangun mekanisme rujukan ketika ada permasalahan anak.
 Bagaimana membuat anak-anak mencari informasi tentang perlindungan anak
 BPPKB aktif dalam mensosialisasikan lembaga rujukan.
 Koordinasi yang perlu dilakukan diantara lembaga rujukan.
 Dinas Pendidikan mengadakan pelatihan khusus tentang KHA dan SRA dan workshop
sekolah ramah anak bagi para guru dan memberikan penghargaan kepada sekolah yang
melaksanakan pembelajaran ramah anak. Agar semua penyelenggara pendidikan memahami
landasan kebijakan dalam mencegah kekerasan terhadap anak. rogran intervensi yang
diperlukan disamping sarana dll)
 Meningkatkan kemampuan guru agar mampu melakukan deteksi dini bagi anak-anak korban
kekerasan. Mengimplementasikan pendidikan karakter dalam membengun sekolah ramah
anak.

4. Temuan kesenjangan kapasitas struktur


Pelaksanaan SRA menjadi bagian kecil dari pekerjaan struktur di Dinas Pendidikan maupun
Kementrian Agama. Demikian juga belum ada mandat khusus bagi salah satu pemegang jabatan di
lembaga tersebut yang fokus untuk merealisasikan ‘best intererts of the child’. Peluang realisasi SRA
adalah pada bagian kepegawaian untuk mengontrol perilaku guru dan pengawas atau penilik dalam
melihat proses kegiatan di sekolah. Pengawas dan penilik banyak fokus ke masalah guru, KBM atau
sarana. Namun pengawas dan penilik juga dapat dioptimalkan dalam realisasi lingkungan
pendidikan/ sekolah yang ramah anak, tinggal menguatkan untuk mencermati masalah keamanan
bagi siswa maupun memperkecil peluang terjadinya tindak salah terhadap anak dengan lebih
responsip terhadap perlindungan anak. Contohnya monitoring implementasi PAKEM yang menjadi
tugas pengawas dan penilik dalam pelaksanaannya merupakan KBM yang ramah anak. Sayang
kebijakan nasional di level Kabupaten/Kota hanya berupa himbauan.
Dalam pencegahan kekerasan masih berfokus pada hal-hal berkaitan tata tertib dan proses
pembelajaran melalui pakem.Padahal ramah anak itu luas cakupannya, sehingga pemahamn SRA
untuk prioritas dalam layanan anak sangat diperlukan
Untuk layanan struktur yang telah ada hanya memerlukan penguatan kapasitas tentang
implementasi pemenuhan hak anak sesuai porsinya. Niat baik sudah ada namun persoalan siswa
yang semakin kompleks memerlukan penguatan kapasitas bagi guru di KBM, wali kelas dan guru BK
serta pembina esktrakulikuler. Demikian pula untuk struktur yang telah melibatkan anak-anak,
disamping pengetahuan juga harus diberikan alternatif kegiatan atau solusi agar membuka wawasan
mereka.

C. Analisa Proses
Pedoman yang sudah ada berkaitan dengan membangun SRA banyak dikembangkan dalam
program Dinas Pendidikan yang merupakan tindak lanjut dari Kebijakan Kementrian Pendidikan.
Adapun di sekolah pedoman yang diketemukan adalah :
Tingkat SD
Pedoman yang dimiliki oleh sekolah dalam mewujudkan sekolah ramah anak masih terbatas pada
peraturan sekolah yang telah ada di sekolah. Belum ada aturan yang jelas dari pihak sekolah
tentang hukuman bagi pelaku kekerasan di sekolah sehingga hukuman yang diberikan bagi para
pelanggar sesuai dengan kehendak guru sebagai pihak yang berwenang di sekolah.
Tingkat SMP
Sanksi yang telah diterapkan di beberapa sekolah adalah sistem poin. Sistem ini memberikan poin
pada setiap pelanggaran yang dilakukan oleh siswa di sekolah. Bobot poin disesuaikan dengan
beratnya pelanggaran (contoh : terlambat datang diberikan poin 3, Berkelahi diberi poin 20). Jika
sudah mencapai 100 poin pada tiap akhir semester maka siswa akan dikeluarkan. Hukuman akan
akan diberikan secara langsung setelah pencatatan poin pada buku poin milik siswa dan ada
hukuman tambahan yang diberikan pada akhir semester berdasarkan akumulasi poin pada tiap
semester dan jenis hukuman disesuaikan dengan isi buku poin.
Dengan prosedur yang kurang jelas dalam penegahan aturan rawan memunculkan
diskriminasi. Contohnya anak kelas unggulan lebih diperlakukan istimewa, proses layanan yang
dilakukan kepada mereka tertutup sedangkan anak kelas reguler dilayani secara terbuka bahkan
masalah anak disebarkan sehingga anak yang biasanya dianggap nakal. Prinsip-prinsip layanan di
ruang BK tidak selalu diterapkan berkaitan dengan kerahasiaan, non diskriminasi, kenyamanan dan
kesetaraan .
Penegakan aturan tergantung kondisi sekolah merespon kebijakan pendidikan karena
implementasinya tergantung pada lingkungan dan kapasitas sekolah. Kebijakan dari Dinas
Pendidikan yang disebarkan ke seluruh lembaga pendidikan akan ditindklanjuti sesuai kapasitas
sekolah. Misalnya penerapan PAKEM, sekolah adiwiyata dan pendidikan karakter akan berjalan
dengan optimal jika sekolah mempunyai potensi, pengawas/penilik di lingkungannya aktif
memfasilitasi dan kepala sekolah memiliki komitmen.
1. Penanganan/Respon
Mekanisme sanksi atas pelanggaran yang dilakukan anak di sekolah pada umumnya
dilakukan sebagai berikut:
 Setiap pelanggaran yang dilakukan untuk pertama kali akan diberi peringatan,
 Kalau masih diulangi akan diberi hukuman, biasanya siswa disuruh push up, membuat
tulisan atau membaca istiqfar tergantung keinginan guru dan tidak ada penetapan
bentunya dalam prosedur
 Bila masih diulangi lagi maka orang tua dipanggil oleh sekolah,mencari informasi kepada
orang tua tentang kondisi yang terjadi pada anak, misalkan peanggarannya terlambat, akan
ditanyakan kenapa anak sampai terlambat
 Kalau masih diulangi lagi, maka sekolah meminta orang tua untuk bekerjasama berupa
kesepakatan bekerja sama, dan yang memanggil ortu adalah BK diketahui oleh Kepsek
 Kalau semuanya belum bisa diselesaikan, maka Kepala Sekolah akan melakukan kunjungan
ke rumah
Ada prosedur yang hilang yang perlu dicermati yaitu proses klarifikasi, sehingga ketika proses ini
terlewati banyak anak-anak yang merasakan ketidakadilan dalam penegakan hukuman.
Respon dari guru beragam, mereka biasanya langsung memberikan hukuman kepada siswa.
Jenis hukuman yang diberikan didominasi oleh hukuman fisik (contoh : berdiri di lapangan siang-
siang, menulis kalimat penyesalan berulang-ulang). Untuk pihak korban sendiri tidak ada
penanganan sama sekali, karena yang ditangani hanya sebatas pelaku kekerasan. Pada beberapa
kasus, jika sudah terlalu sering laporan tentang perkelahian atau tindak kekerasan lainnya, pihak
guru cenderung mengabaikan laporan tersebut. Tahapan pendidikan karakter sudah dilakukan tetapi
tidak diterapkan oleh semua guru. Respon yang beragam dipengaruhi cara pandang guru sehingga
ada beberapa guru melakukan lompatan prosedur seperti langsung marah atau menghukum.
Sedangkan ketika guru yang melakukan tindak kekerasan, maka siswa cenderung diam dan
tidak melawan. Hal ini disebabkan mereka sudah terbiasa dengan hukuman yang menjurus pada
kekerasan. Namun jika sudah kelewatan, sebagian siswa lebih memilih melapor kepada orang tua
daripada melapor ke kepala sekolah.Dari sini nampak bahwa proses yang berkaitan dengan kegiatan
di sekolah masih dominan berjalan satu arah, hal ini yang berpeluang untuk memicu hukuman
sebagai bentuk respon guru terhadap sesuatu yang tidak sesuai menurut cara pandang guru, tanpa
melakukan klarifikasi untuk memahami latar belakang masalah yang dihadapi siswa. Padahal dengan
memahami latar belakang dapat diketemukan akar permasalahan yang dapat diintervensi oleh pihak
sekolah misalnya berkaitan dengan keluarga siswa, lingkungan pergaulan yang mengakibatkan anak
berbuat salah.
Peran guru BK yang menonjol masih dalam melakukan intervensi tersier (apabila telah
terjadi pelanggaran), meskipun mereka memilki prosedur juga untuk melakukan kegiatan bimbingan
yang dapat mencegah anak-anak terjerumus maupun mendapat perlakuan salah. Bimbingan
dilakukan saat jam BK di kelas. Beberapa guru BK yang masih muda sudah mulai menerapkan
penjangkauan untuk memberikan dukungan anak dibawah pembianaannya dan mencegah anak-
anak melakukan hal yang menyimpang. Di SD situasi wali kelas juga mirip ada yang masih cenderung
ke tindakan tersier dan ada yang telah aktif melakukan pencegahan.
2. Partisipasi Anak
Tingkat SD
Anak sama sekali tidak dilibatkan dalam pembuatan peraturan sekolah. Mereka tinggal mengikuti
saja aturan yang telah ada.Untuk partisipasi dalam usia SD memang belum pada tangga anak yang
membuat keputusan. Namun perlu ditelaah kembali apakah pendapat mereka dapat didengar dan
di[erhatikan melalui mekanisme tertentu. Data yang menunjukan keterlibatan anak-anak dalam
membuat keputusan hukuman bagi temannya yang nakal oleh guru merupakan potensi untuk
dikembangkan dalam proses pembuatan aturan yang dapat disepakati di awal tahun ajaran
misalnya.
Tingkat SMP
Partisipasi anak yang sudah terjadi di lingkungan sekolah masih terbatas pada pembuatan peraturan
di kelas saja dan beberapa peraturan sekolah. Pelibatan siswa dalam pembuatan peraturan sekolah
sebatas melibatkan OSIS saja.Bagaimana OSIS atau MPK itu dapat menjadi representasi anak-anak
perlu ditelaah lebih lanjut, apakah mereka menjadi keterwakilan pribadi atau membawa aspirasi
anak. Pihak sekolah tidak mau pusing dengan melibatkan anak-anak dalam pembuatan peraturan
sekolah.
Rekomendasi
Pedoman untuk membangun SRA perlu dikembangkan, beberapa potensi mekanisme untuk
mendukung pencegahan kekerasan perlu ditelaah dan prosedur yang dapat mendukung pelaksanaan
SRA perlu dievaluasi implementasinya.
Partisipasi anak di sekolah ramah anak tidak hanya dapat dikembangkan dalam pembuatan aturan
saja namun pada beberapa kegiatan dukungan tumbuh kembang yang dapat mencegah tindak salah
terhadap anak. Sekolah Ramah Anak akan memperhatikan bagaimana anak didengar pendapatnya,
ambil bagian dalam membangun sekolahnya termasuk teman-temannya untuk menjadi pribadi yang
lebih berkualitas (pendidikan sebaya) atau dalam evaluasi program-program sekolah yang ada dalam
mendukung kebijakan dinas pendidikan berkaitan dengan PAKEM dan Adiwiyata. Partisipasi dapat
diterapkan difungsi kontrol dalam penegakan aturan. Jadi tinggal menyisipkan mekanismenya untuk
partisipasi anak.
Jika tahapan membangun karakter dilalui maka kecenderungan melakukan hukuman dengan
kekerasan kepada anak dapat diminimalkan sebab pembangunan karakter yang dikembangkan
kementrian Pendidikan adalah :
1) Ada pembelajaran dan pemberian informasi yang tepat;
2) Ada pembiasaan dan dukungan;
3) Ada suri tauladan (perannya terdapat pada guru);
4) Ada peran kontrol untuk meluruskan kesalahan melalui peringatan;
5) Ada penghargaan bagi yang berprestasi dan hukuman bagi yang senantiasa malakukan
pelanggaran

BAB VI
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Berdasarkan hasil konsultasi berkaitan bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak di sekolah,
data pendukung berkaitan dengan kekerasan dan situasi pendidikan serta beberapa konsep tentang
sekolah ramah anak sebagai salah satu indikator Kabupaten/Kota Layak Anak maka dapat disusun
kesimpulan dan rekomendasi sebagai berikut :
A. Kesimpulan
Beberapa kesimpulan yang dapat diidentifikasi dari hasil konsultasi dengan siswa, guru dan
stakeholders pendidikan berkaitan dengan kekerasan terhadap anak di sekolah dan sistem yang
melingkupinya diantaranya :
1) Bentuk-bentuk kekerasan masih terjadi disekolah dengan pelaku teman dan guru serta
orang-orang yang ada di lingkungan sekolah. Semua jenis kekerasan dapat terjadi tergantung
peluang yang ditimbulkan oleh perilaku siswa, guru, lokasi kejadian dan situasi di lokasi
kejadian. Dalam beberapa kegiatan yang positif juga masih membuka peluang munculnya
kekerasan, seperti saat berkemah, kegiatan belajar mengajar dan ekstrakurikuler. Sehingga
diperlukan ketrampilan guru untuk melakukan deteksi dini terhadap peluang kekerasan
dengan membuat srategi pencegahan termasuk melatih diri untuk tidak melakukan
kekerasan;
2) Faktor pemicu disamping ketidaktahuan terhadap masalah pelanggaran hak anak dan
dampaknya bagi tumbuhkembang anak. Kedua adalah banyaknya tekanan sosial yang
dialami anak-anak dan stakeholders pendidikan. Sehingga diperlukan dukungan penguatan
kapasitas dan ketrampilan hidup agar mampu berkomunikasi dengan baik, menghargai
orang lain, menyelesaikan masalah pribadi dan survive;
3) Belum ada pijakan kebijakan yang mendukung pelaksanaan SRA dalam semua level. Namun
telah ada beberapa program yang dapat mendukung perwujudan Sekolah Ramah Anak
seperti penerapan MBS dengan PAKEM, pelaksanaan sekolah adiwiyata, pembentukan
Majelis Permusyawaratan Kelas;
4) Sekolah belum menjadi bagian dari sistem rujukan dalam pencegahan, penjangkauan dan
penanganan anak yang menjadi korban kekerasan oleh lembaga layanan yang ada. Kegiatan
yang dilakukan dalam rangka sosialisasi bersifat intervensi program yang insidental tanpa
memperhatikan peta resiko yang ada di lembaga pendidikan;
5) Dalam struktur layanan pendidikan yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan dan
Kementrian Agama dapat digunakan untuk merealisasikan Sekolah Ramah Anak. Struktur
yang dimiliki mulai dari guru sebagai pelaksana; kelapa sekolah/madrasah sebagai
pengemban kebijakan; komite sekolah sebagai fungsi kontrol dan supporting; Dinas
Pendidikan, Kementrian Agama dan Pemerintah Daerah sebagai pembuat kebijakan sebagai
tindak lanjut dari komitmen Kabupaten/Kota mencanangkan menuju Kabupaten/Kota Layak
Anak;
6) Ruang partisipasi anak belum diberikan secara optimal, namun telah ada embrio atau upaya-
upaya untuk untuk memberikan ruang partisipasi anak. Ketidakoptimalan tersebut dipicu
oleh pemahaman yang kurang tentang batasan ruang partisipasi maupun bentuk-bentuk
partisipasi yang dapat dilakukan anak. Pendampingan orang dewasa sangat diperlukan agar
kegiatan partisipasi anak sesuai prinsip-prinsip perlindungan anak, sebab masih ada peluang
munculnya kekerasan di saat anak diberikan ruang partisipasi, misalnya saat MOS yang
berpeluang memicu bullying disebabkan ketidaktahuan anak-anak.

B. Rekomendasi
Sementara itu dari hasil kesimpulan diatas disusun beberapa rekomendasi yang dapat
ditindaklanjuti oleh stakeholders pandidikan diantaranya :
1) Perlu dikembangkan regulasi yang mendukung pengembangan Sekolah Ramah Anak dengan
dasar untuk mewujudkan salah satu indikator untuk membangun Kabupaten/Kota Layak
Anak . Bahkan pedoman operasional dari regulasi tersebut sangat diperlukan hingga UPTD
Pendidikan dengan mengacu SOP yang dikembangkan di Kabupaten/Kota. Hal ini penting
mengingat banyaknya lembaga pendidikan dengan sumberdaya yang bervariasi dengan
pemahaman prinsip perlindungan anak yang berbeda. Kesalahpahaman dalam prinsip
perlindungan anak dapat membuat niat baik justru berdampak buruk pada anak;
2) Penguatan kapasitas pada stakeholders pendidikan di kalangan guru, penyelenggara
pendidikan, pengambil kebijakan termasuk pada anak-anak secara terpadu agar saling
mendukung dalam mewujudkan sekolah ramah anak. Kapasitas dengan perilaku yang tepat
dapat dibangun dengan pengetahuan dan pemahaman yang tepat terhadap anak dan hak-
haknya yang dijamin undang-undang sehingga respon dengan sikap dan tindakan yang tepat
akan mendukung untuk terealisasinya pemenuhan hak-hak anak di sekolah dalam
membangun perilaku berkualitas pada generasi muda sekaligus mencegah perilaku buruk
menjadi budaya bangsa Indonesia;
3) Ketrampilan pokok bagi guru yang diperlukan adalah komunikasi dengan merespon segala
persoalan yang membuat anak menjadi rentan, membangun situasi KBM yang membuat
anak merasa perlu menuntut ilmu dan tidak membuat proses pembelajaran justru
berdampak negatif yang dapat muncul dari berbagai hal. Penguatan yang diperlukan
meliputi pemahaman Konvensi Hak Anak dan berbagai regulasi nasional serta isu-isu anak
yang dapat berkaitan dengan siswa dan pendidikan, ketrampilan mengelola kelas ramah
anak, deteksi dini masalah anak, menjadi konselor dan menumbuhkan partisipasi anak
dengan menghargai pendapat anak;
4) Pengembangan SRA harus memperhatikan sistem dengan komponen norma, struktur dan
perosedur yang jelas. Ketiga komponen tersebut direncanakan dalam intervensi
pencegahan, penjangkauan kelompok berisiko dan penanganan korban. Sistem ini harus
dibangun di level Kabupaten dan UPTD pendidikan dimana anak-anak berada yaitu sekolah,
madrasah maupun pondok pesantren. Assesment masalah lokal dan perencanaan intervensi
prioritas sangat penting dengan keterliban semua sumber daya yang ada termasuk orang
tua. Semua pihak terkait memerlukan penyamaan persepsi;
5) Pelibatan peran anak atau pemberian ruang partisipasi anak sangat dibutuhkan sebagai
pemenuhan hak partisipasi anak di sekolah . Partisipasi anak diperlukan pada penggalian
data, perencanaan, implementasi maupun monitoring. Disamping OSIS dan MPS serta
kegiatan Ekstrakurikuler merupakan kegiatan positif anak, namun perlu telaah dan
perubahan agar kegiatan tersebut tidak menjadi sumber kekerasan seperti bullying karena
senioritas atau munculnya peluang pelecehan seksual karena situasi yang tidak mendukung.
Penguatan kapasitas anak penting untuk memahami hak anak dan pencegahan segala
perlakuan salah terhadap anak. Bahkan jika perlu anak-anak diberi kepercayaan dan
tanggung jawab sebagai pendidik, konselor sebaya dan mengembangkan media agar
memperluas jangkauan pada ranah yang tidak mampu dijangkau guru (karena luasnya
jangkauan atau terhadap siswa yang memerlukan konselor sebaya). Strategi yang inovatif
sangat diperlukan agar pesan dapat sampai pada anak bukan sekerdar telah dilakukan
dengan komunikasi searah saja.

Anda mungkin juga menyukai