Anda di halaman 1dari 4

Hammambara Di Dzatulazha_Asia Tenggara_Kelas C_Week 12_Jurnal Individu

Upaya ASEAN dalam Mewujudkan Kondusifitas Regional

Dapat diketahui bahwa salah satu komponen krusial dari hubungan internasional kontemporer
merupakan hak asasi manusia atau human rights. Hal ini dikarenakan hak asasi manusia dapat
diketahui sebagai prinsip yang ditetapkan supaya kehidupan antar manusia diseluruh dunia dapat
berlangsung dengan koeksistensi dan damai, tanpa hak asasi manusia atau HAM tentu kondisi dunia
yang hidup dengan koeksistensi tidak akan tercapai. Ditambah lagi dengan adanya UDHR atau
United Declaration of Human Rights yang telah disepakati oleh ranah internasional terutama
Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB sebagai pedoman universal bagi setiap negara untuk dapat
memberikan kehidupan yang adil dan layak bagi setiap manusia sebagai individu. Maka dapat
diketahui bahwa interaksi antarnegara yang berbasis manusia sebagai penggerak tentu dipengaruhi
secara signifikan oleh adanya hak asasi manusia, sehingga HAM merupakan suatu aspek yang juga
dapat berdampak pada dinamika negara-negara diseluruh dunia, termasuk pada wilayah Asia
Tenggara dalam aspek berhubungan dengan satu sama lain. Dalam perkembangannya, aspek-aspek
HAM merupakan suatu nilai yang sudah dianut semenjak UDHR ditetapkan. Hal ini terdorong oleh
adanya sejumlah negara pada regional ASEAN yang tergabung dalam PBB, yakni dimana UDHR
merupakan pedoman yang wajib untuk diikuti oleh negara-negara anggotanya (Weatherbee, 2005).

Akan tetapi dalam sejumlah konferensi serta diskusi yang telah diadakan, negara-negara anggota
ASEAN belum dapat menemukan pandangan yang satu mengenai HAM (Weatherbee, 2005). Hingga
kemudian terindikasi adanya kesepakatan oleh para menteri luar negeri negara-negara anggota
ASEAN yang menyetujui serta menegaskan kembali kesepakatan mengenai HAM sebagaimana yang
telah ditetapkan pada konferensi WINA yang disepakati oleh dunia internasional pada tahun 1993.
ASEAN kemudian menyepakati untuk menyusun suatu basis regional yang sesuai dengan mekanisme
dari hak asasi manusia universal seperti UDHR. Kesepakatan tersebut dapat terealisasikan secara
resmi pada Piagam ASEAN atau ASEAN Charter yang telah disepakati oleh negara-negara anggota
ASEAN pada tanggal 15 Desember 2008. Dalam piagam tersebut juga ditegaskan bahwa negara-
negara anggota ASEAN diwajibkan untuk menghormati HAM serta kebebasan dalam kehidupan
manusia sebagaimana yang tertera pada Deklarasi Wina serta UDHR. Dalam piagam tersebut juga di
deklarasikan bahwa ASEAN menyatakan komitmennya untuk mempromosikan hak asasi manusia
melalui empat prinsip. Pertama, yakni mempromosikan pendidikan serta kesadaran masyarakat akan
pentingnya HAM. Kedua, mendirikan suatu kerjasama antarnegara anggota ASEAN dalam upaya
untuk menegakkan HAM. Ketiga, menekankan terkait perlindungan serta hak asasi manusia bagi
pekerja serta immigran. Kemudian yang terakhir yakni akan dibentuknya suatu badan oleh ASEAN
dalam upaya menegakkan serta mempromosikan perlindungan serta hak bagi anak-anak serta wanita
(Tan, 2011).
Hammambara Di Dzatulazha_Asia Tenggara_Kelas C_Week 12_Jurnal Individu

Dalam ayat 14 pada Piagam ASEAN, tertera bahwa diwajibkan untuk dibentuknya badan penegak
HAM ASEAN supaya dapat tetap konsistennya penegakan HAM pada wilayah regional Asia
Tenggara. Hal ini kemudian dapat direalisasikan pada tahun 2010 dengan terbentuknya ASEAN
Intergovermental Commission on Human Rights (AICHR) serta ACWC atau ASEAN Commission on
the Promotion and Protection of the Rights of Women and Children (Tan, 2011). Berdirinya lembaga-
lembaga penegak HAM tersebut merupakan salah satu upaya serta komitmen ASEAN untuk
menanggapi serta menangani isu-isu mengenai HAM atau krisis Humanitarianisme yang terjadi pada
wilayah Asia Tenggara tersebut. Dengan bedirinya lembaga-lembaga tersebut, negara-negara pada
wilayah Asia Tenggara terindikasi untuk mulai membuka diri, menangani, serta peduli terhadap isu-
isu HAM atau humanitarianisme yang terjadi dengan meratfikasikan kerangka AICHR atau ASEAN
Intergovermental Commission on Human Rights pada pertemuan menteri luar negeri ASEAN yang
ke-42 yangh diadakan pada Juli 2009 sebagai deklarasi bagi negara-negara anggotanya untuk
mengembangkan suatu strategi dengan tujuan untuk dapat suksesnya promosi serta perlindungan
kebebasan dasar serta hak asasi manusia  (Tan, 2011).

Dalam menyikapi krisis humanitarianisme yang diakibatkan oleh konflik ASEAN memiliki tiga
prinsip utama yakni penahanan, terminasi, serta prevensi. Ketiga prinsip tersebut merupakan pedoman
utama bagi ASEAN dalam menangani konflik atau krisis humanitarianisme yang terjadi pada wilayah
regionalnya. Akan tetapi peran ASEAN dalam mewujudkan keamanan serta mencegah konflik njuga
memiliki batasan, batasan tersebut yakni adanya aturan pada Deklarasi Bangkok 1967 yang
menyatakan bahwa ASEAN dilarang untuk terlibat dalam intervensi baik konflik ataupun persoalan
yang terjadi didalam suatu negara. ASEAN terindikasi sebagai salah satu organisasi regional yang
memiliki mekanisme baik dalam mencegah konflik, hal ini disebabkan oleh mekanisme kebbijakan
yang telah ditetapkan oleh ASEAN, serta adanya prinsip ASEAN Way yang mengedepankan
intervensi konflik dengan wujud diplomasi serta negoasiasi antara negara-negara yang bersangkutan,
dalam proses tersebut ASEAN berperan sebagai media konsultasi serta mediator. Menurut Soomro
(2017) prinsip tersebut dinilai efektif dan merupakan metode yang sangat meminimalisir adanya
gencatan senjata serta konflik, metode tersebut juga dinilai sebagai pendekatan yang paling relevan
dalam mencegah konflik hingga saat ini (Soomro, 2017).

Seperti yang kita ketahui ASEAN merupakan organisasi yang juga bergerak dalam menyelesaikan
konflik serta berupaya untuk menegakkan keadilan HAM bagi manusia yang berada pada wilayah
regional tersebut. Akan tetapi ASEAN dapat dinilai sebagi lembaga yang belum sepenuhnya dapat
merealisasikan hal tersebut. Hal ini disebabkan oleh adanya prinsip non-intervensi yang telah
disepakati ketika awal mula dibentuknya organisasi ASEAN. Prinsip tersebut menyebabkan ASEAN
tidak mampu untuk mencegah adanya pelanggaran HAM yang terjadi pada suatu negara yang
diakibatkan oleh persoalan yang terjadi pada negara tersebut. Hal ini dapat kita lihat pada berbagai
tindakan pelanggaran HAM yang terjadi pada kasus kudeta Myanmar, serta etnis Rohingya yang
Hammambara Di Dzatulazha_Asia Tenggara_Kelas C_Week 12_Jurnal Individu

diperlakukan secara tidak etis oleh Myanmar. Seharusnya ASEAN sebagai organisasi regional dapat
melakukan sesuatu terkait peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi pada Myanmar tersebut,
atau setidaknya melakukan diplomasi supaya dapat dikemukakannya solusi baik untuk menyelesaikan
pelanggaran HAM yang terjadi atau meminimalisir adanya konflik serta krisis humanitarianisme.
Dapat diketahui juga bahwa ASEAN belum sepenuhnya dapat merealisasikan HAM secara
sepenuhnya akibat dari belum ditemukannya pemahaman mengenai HAM yang satu terkait konsep
universal HAM seperti yang terkandung dalam UDHR. Hal ini dikarenakan negara-negara anggota
ASEAN menganut paham relatif mengenai HAM, sehingga pemahaman disesuaikan dengan ideologi
atau paham yang dimiliki oleh masing-masing negara anggota ASEAN (Bangun, 2017).

Asia Tenggara juga dapat diketahui merupakan wilayah yang letak geografisnya kaya akan sumber
daya alam, akan tetapi hal ini menyebabkan wilayah dengan iklim tropis tersebut sulit untuk
diprediksi. Sehingga hal tersebut menyebabkan tingginya resiko akan terjadinya bencana alam.
Apabila hal tersebut tidak ditangani, tentu dapat membawa dampak buruk dalam berbagai aspek
(Sawada, 2011). Diantaranya yakni adanya korban jiwa, rusaknya infrastruktur, adanya kerugian serta
terhambatnya laju perekonomian. Maka untuk meminimalisir akibat serta menanggulangi
kemungkinan terjadinya bencana alam, ASEAN mendirikan AADMER atau Agreement on Disaster
Management and Emergency Response. Didirikannya lembaga tersebut terindikasi dapat
meminimalisir baik resiko serta dampak dari adanya bencana alam yang terjadi pada wilayah tersebut.
Lembaga tersebut bergerak sebagai media dalam kooperasi, asistensi, serta mobilisasi terkait adanya
bencana alam yang sudah atau akan terjadi. Dengan adanya lembaga tersebut ASEAN sebagai
organisasi regional dapat meningkatkan tingkat DRR atau disaster risk reduction wilayah Asia
Tenggara (Sawada, 2011).

Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa ASEAN sebagai organisasi regional
terindikasi telah berupaya dalam berbagai aspek untuk menjaga stabilitas serta kondusifitas wilayah
Asia Tenggara. Diantaranya yakni dengan adanya kesepakatan antar anggota mengenai pentingnya
penegakan hak asasi manusia, krisis humanitarianisme, serta bencana alam yang terjadi akibat sulit
untuk diprediksinya iklim pada wilayah tersebut. Upaya serta kepedulian ASEAN terindikasi secara
jelas dengan didirikannya sejumlah lembaga-lembaga yang bergerak dalam menangani bidang
tersebut. Diantaranya seperti AICHR, ACWC yang bergerak pada bidang kemanusiaan atau
humanitarianisme, serta AADMER yang bergerak dalam menanggulangi bencana alam. Akan tetapi
dalam upayanya tersebut, ASEAN juga dapat dinilai atau dikritik sebagai sebuah organisasi yang
belum sepenuhnya memiliki paham yang satu mengenai HAM secara universal. Hal ini terindikasi
dari bagaimana diterapkannya prinsip non-intervensi yang mengindikasikan bahwa konsep HAM
yang mendasar masih relatif dan menyesuaikan dengan masing-masing ideologi yang dianut oleh para
negara anggota ASEAN.
Hammambara Di Dzatulazha_Asia Tenggara_Kelas C_Week 12_Jurnal Individu

Referensi:

Bangun, B. H. 2017. Tantangan ASEAN dalam Melakukan Penanganan Pengungsi Rohingya. Jurnal
Ilmu Hukum, Volume 4 (3).

Sawada, Y. (2011), ‘On the Effectiveness of Overall Insurance Mechanisms against Disasters in East
and Southeast Asia’, in Intal Jr., P. S., S. Oum, and M. J. O. Simorangkir (eds.), Agricultural
Development, Trade and Regional Cooperation in Developing East Asia, Jakarta: ERIA.

Soomro, N.N. 2017. ASEAN’s Role in Conflict Management: Active and Effective?. University of
Nottingham.

Tan, H. (2011). Frontmatter. In The ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights:


Institutionalising Human Rights in Southeast Asia. Cambridge: Cambridge University Press.

Weatherbee, D. E. 2005. International Relations in Southeast Asia: The Struggle for Authonomy.
Oxford: Rowman & Littlefield Publishers, Inc.

Anda mungkin juga menyukai