Anda di halaman 1dari 8

1. Apa alasan saudara mengangkat topik atau judul ini?

Jawaban: Karena topik atau judul ini tidak hanya berisi analisis saja tetapi juga mencoba
untuk memberikan masukan atau penyelesaian dalam sebuah permasalahan yang
bermanfaat untuk akademik maupun masyarakat mengenai krisis kudeta di Myanmar
yang hingga sekarang ini masih menjadi polemik dan belum dapat terselesaikan. Selain
itu, topik ini mengandung sebuah kebaharuan dan unsur urgenitas untuk segera
diselesaikan.
2. Bagaimana gap penelitian saudara dengan penelitian terdahulu?
Jawaban: Pada penelitian terdahulu contohnya penelitian yang berjudul Sikap Asean
Terhadap Pelanggaran Ham di Myanmar Pasca Kudeta yang ditulis oleh Ambarawati dari
Universitas Jayabaya pada 5 Januari 2022 tidak menyebutkan mengenai ASEAN sebagai
personalitas hukum dan instrumen hukum. Selain itu, dikarenakan krisis kudeta di
Myanmar hingga saat ini masih berlangsung, maka terdapat kebaharuan-kebaharuan yang
belum dibahas oleh penelitian sebelumnya.
3. Bagaimana urgensi dari penelitian saudara?
Jawaban: Adapun urgenitas dari penelitian ini adalah kebutuhan untuk menyelesaikan
dan mempercepat penyelesaikan krisis kudeta di Myanmar di mana ASEAN sebagai
organisasi regional yang menaungi Myanmar berperan penting untuk penelesaian
tersebut. Sehingga dari permasalahan yang saja kaji tersebut timbulah sebuah fenomena
yaitu permasalahan mengenai apakah ASEAN sebagai organisasi internasional regional
tempat Myanmar bernaung dapat berperan dalam mempercepat rekonsiliasi di Myanmar.
Melihat permasalahan tersebut, maka penelitian ini penting untuk dilakukan.
4. Apakah saudara dapat menjelaskan mengenai akar dari permasalahan kudeta di Myanmar
secara runtut dan jelas?
Jawaban: Kudeta tersebut dimulai tuduhan yang dikeluarkan oleh Junta Militer Myanmar
terhadap pemeritahan sipil yang telah menganggap bahwa ada kecurangan pemilu pada
akhirnya berbuntut panjang dan berakhir dengan ditahannya Aung San Suu Kyi sebagai
pemimpin sah Myanmar. Insiden kudeta tersebut kemudian memancing amarah rakyat
Myanmar dan konflik terus mengalir sehingga menimbulkan banyak polemik dan
kekacauan dalam negeri Myanmar.
5. Bagaimana mekanisme penegakkan HAM di ASEAN?
Jawaban: Berdasarkan landasan yuridis secara regional oleh ASEAN membentuk tiga
badan yang bertujuan untuk menjamin HAM yaitu ASEAN Inter-Governmental
Commission on Human Rights (AICHR), ASEAN Commission on Women and Children
(ACWC), dan ASEAN Commission on Migrant Worker (ACMW). Dari ketiga badan
tersebut AICHR merupakan badan yang bertujuan untuk membentuk sebuah mekanisme
penyelesaian sengketa dengan landasan hukum materil dan formil dalam upaya
perlindungan HAM. Dalam hal ini AICHR telah menyusun deklarasi hukum materil
HAM ASEAN yaitu deklarasi HAM ASEAN (ASEAN Human Right Declaration/
AHRD). Namun Deklarasi ASEAN yang ditujukan sebagai legitimasi yuridis dalam
perlindungan HAM pada masyarakat ASEAN dinilai belum stabil karena masih banyak
pelanggaran dan penyimpangan HAM di negara-negara anggota ASEAN.
6. Mengapa menurut saudara prinsip non-interference yang dipegang teguh oleh ASEAN
merupakan salah satu penghambat yang dilami oleh ASEAN dalam menangani krisis
kudeta Myanmar?
Jawaban: Iya, meskipun ASEAN mengatakan bahwa prinsip non-interference bukan
menjadi penghalang bagi ASEAN, tetapi faktanya ASEAN belum dapat melakukan
tindakan lebih tegas dan lebih memilih silent diplomacy untuk mendorong reformasi
politik di Myanmar. Selain itu, meskipun ASEAN telah memiliki AICHR sebagai komisi
penegakkan HAM di kawasan tetapi AICHR tersebut masih terikan dengan prinsip non-
interference.
7. ASEAN menyebut kudeta yang dilakukan oleh Junta Militer merupakan sebuah
pelanggaran HAM sehingga bukan saja menjadi isu domestik tetapi juga menjadi isu
mancanegara. Apakah prinsip non-interference tersebut masih dapat diterapkan?
Jawaban: Meskipun kudeta menjadi isu mancanegera, tetapi dewan keamanan PBB
sendiri tidak jelas mengatur apakah kudeta itu sebagai bentuk pelanggaran hukum
internasional atau tidak. DK PBB tidak melihat legalitas dari kudeta, tapi menilai apakah
kudeta itu berdampak atau tidak terhadap keamanan dan perdamaian dunia internasional.
Hal ini juga tercantum dalam Piagam PBB dalam pasal 2 ayat (7) yang berisi “Tidak ada
satu ketentuan-pun dalam Piagam ini yang memberi kuasa kepada Perserikatan Bangsa-
Bangsa untuk mencampuri urusan-urusan yang pada hakekatnya termasuk urusan dalam
negeri sesuatu negara atau mewajibkan anggota-anggotanya untuk menyelesaikan urusan-
urusan demikian menurut ketentuan-ketentuan Piagam ini; akan tetapi prinsip ini tidak
mengurangi ketentuan mengenai penggunaan tindakan-tindakan pemaksaan seperti
tercantum dalam Bab VII.”
8. Apa kendala yang dialami oleh ASEAN dalam mengatasi krisis kudeta di Myanmar?
Jawaban: Kendala yang pertama adalah prinsip non-interference yang dipegang teguh
oleh ASEAN sehingga ASEAN tidak dapat secara optimal mengatasi krisis kudeta
tersebut yang dianggap merupakan masalah internal dari negara Myanmar. Kendala
kedua, adanya perbedaan pendapat antara negara-negara anggota ASEAN seperti
Thailand, Kamboja, Filipina, Vietnam yang menganggap bahwa kudeta merupakan
urusan internal sedangkan Malaysia, Brunei, Singapura, dan Indonesia menganggap
ASEAN perlu bertindak dengan dialog serta rekonsiliasi. Meskipun kemudian Filipina
mengubah statement tersebut. Selain itu, AICHR juga terbukti tidak berhasil meredakan
atau menangani konflik tersebut.
9. Menurut saudara apa yang harus dilakukan oleh ASEAN untuk mengatasi krisis kudeta di
Myanmar tanpa harus bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar ASEAN?
Jawaban: Menurut saya yang dapat dilakukan oleh ASEAN yang pertama adalah
perlunya interpretasi prinsip non-interference yang fleksibel dengan membicarakan
secara terbuka mengenai krisis internal yang dialami oleh Myanmar. Kedua, ASEAN
dapat mengajukan inisiatif diplomatik dalam format dialog dan komunikasi dengan junta
militer. Namun harus berdasarkan intensi tidak mencampuri tetapi agar Myanmar dapat
kembali ke jalan demokratisasi yang benar. Ketiga, ASEAN mengawal janji pemimpin
junta militer untuk melakukan pemilu dalam waktu satu tahun. Keempat, ASEAN
membangun dialog dengan kelompok masyarakat sipil di Myanmar dan di ASEAN.
Kelima, ASEAN menjadi jembatan dengan komunitas internasional dan menyerukan
untuk mempertimbangkan kembali sanksi ekonomi karena pada akhirnya yang paling
menderita dari semua krisis ini adalah masyarakat Myanmar dan tidak dapat menjadi
solusi.
10. Bagimana penerapan ASEAN Way bagi penyelesaian krisis kudeta di Myanmar?
Jawaban: Penerapan tersebut dimulai dari melakukan konsensus melalui IAMM pada
tanggal 2 Maret 2021, ASEAN mengambil kebijakan dengan memberikan desakan
kepada pihak militer Myanmar untuk membebaskan Aung San Suu Kyi dan permintaan
untuk menghentikan kekerasan yang dilakukan oleh pihak militer kepada pihak
masyarakat. Melalui desakan dan himbauan perdamaian tersebut, ASEAN dapat
memberikan upaya dengan secara halus untuk membantu isu kudeta militer di Myanmar
tanpa melanggar prinsip non-interferensi ASEAN namun juga tidak mengabaikan hukum
internasional yang dilanggar oleh pihak militer dengan melakukan kekerasan kepada
masyarakat Myanmar dengan begitu ASEAN tetap mengedepankan dialog dan mencari
upaya penyelesaian damai. Sikap ini yang dianggap sebagai code of conduct, sebagai
bentuk implementasi dari ASEAN Way. Konsep ini yang membedakan dengan
pendekatan intervensionisme yang diadopsi negara-negara Barat.
11. Apa saja instrumen hukum ASEAN yang telah dilanggar dengan dilakukannya kudeta
oleh Junta Militer di Myanmar?
Jawaban: Kudeta tersebut melanggar Deklarasi HAM ASEAN yang menyebut bahwa
kudeta merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia. Selain itu, kudeta
tersebut juga melanggar Piagam ASEAN Pasal 2 ayat 2 huruf h bahwa setiap negara
anggota harus “mematuhi aturan hukum, pemerintahan yang baik, prinsip demokrasi dan
pemerintahan konstitusional.
12. Apakah prinsip non-interference dapat menjadi dalih untuk membiarkan (melegitimasi)
kekerasan, atau kebrutalan, yang dilakukan militer (negara) terhadap penduduknya?
Jawaban: Prinsip non-interference tersebut seharusnya tidak menjadi dalih ASEAN untuk
membiarkan (melegitimasi) kekerasan, atau kebrutalan, yang dilakukan militer (negara)
terhadap penduduknya. Dikarenakan dalam hukum internasional sendiri terdapat norma
internasional yang berkembang yaitu tanggung jawab untuk melindungi
atau responsibility to protect (R2P). Norma ini mengatakan, ketika negara tidak mau atau
tidak mampu memberikan perlindungan kepada penduduknya sesuai dengan hukum dan
aturan yang diakui internasional, dan justru menjadi pelaku kekerasan dan kebrutalan
yang menyebabkan korban jiwa yang begitu masif, itu melahirkan tanggung jawab bagi
masyarakat internasional untuk campur tangan melalui tindakan nonkoersif hingga
intervensi militer sebagai upaya untuk mencegah dan menghentikan potensi krisis yang
lebih buruk lagi. Tetapi, dalam mengaplikasikan norma tersebut ASEAN juga mengalami
kendala yaitu hanya dapat dilakukan secara kolektif melalui otorisasi atau persetujuan
Dewan Keamanan PBB.
13. Apakah ada kemungkinan untuk terjadinya intervensi militer dalam mengatasi krisis
kudeta di Myanmar?
Jawaban: ASEAN sendiri untuk sekarang tidak dapat melakukan intervensi militer, hal
ini dikarenakan adanya ASEAN Way yang mengedepankan jalan damai dengan dialog
dan konsultasi dalam menyelesaikan sengketa. Selain itu, dalam Pasal 2 Ayat 2(d)
Piagam ASEAN yang menyatakan bahwa ASEAN beserta Negara-negara Anggotanya
wajib mengedepankan penyelesaian sengketa secara damai. Sedangkan dalam hukum
internasional sendiri , bahwa dalam keadaan tertentu yang sangat terbatas, intervensi
dengan menggunakan kekuatan militer dengan tujuan kemanusiaan ialah tindakan yang
sah meskipun tidak didahului dengan adanya otorisasi dari Dewan Keamanan PBB dan
selama tidak bertentangan dengan tujuan PBB, serta dalam rangka memulihkan
perdamaian dan kemananan internasional. Dengan kata lain, intervensi militer tanpa
otorisasi Dewan Kemanan PBB dapat dilakukan dalam keadaan tertentu yang sangat
mendesak sebagai pilihan terakhir (final resort). Sehingga adanya posisi dilematis bagi
ASEAN apabila cara damai tidak berhasil ditempuh.
14. Apakah ada hubungannya antara kudeta yang terjadi di Myanmar dengan peningkatan
produksi maupun perdangan narkoba di Myanmar?
Jawaban: Ya, dikarenakan konflik sipil saat kudeta dan krisis uang tunai di negara
Myanmar telah melemahkan kapasitas penegakan narkoba di Myanmar, dan memberikan
kebebasan kepada para pedagang. Selain itu, kekacauan dan ketidakstabilan menjadi
kesempatan bagi para penyelundup. Kesulitan ekonomi juga telah menghantui Myanmar
sejak kudeta berlangsung dan para petani di tidak lagi mempunyai pilihan selain
menanam opium dalam jangka waktu dekat atau menengah.
15. Apakah dampak prinsip non-interference ASEAN terhadap AICHR?
Jawaban: Dikarenakan AICHR merupakan produk dari ASEAN, maka dalam
penerapannya juga AICHR berpegang pada prinsip-prinsi yang dimiliki oleh ASEAN. Di
dalam ASEAN charter maupun ToR AICHR tidak mengatur secara tegas dan gamblang
mengenai pengecualian dalam melakukan campur tangan terhadap negara saat terdapat
pelanggaran HAM berat di negara tersebut. Akibatnya komisi HAM yang bergerak pada
penegakan kemanusiaan di kawasan Asia Tenggara ini hanya menjadi hiasan dinding dan
diabaikan karena tugasnya sekedar promosi HAM. Prinsip non-interference tersebut juga
menyebabkan AICHR lebih terfokus pada negoisasi dibandingkan terjun langsung dalam
menyelesaikan permasalahan krisis kudeta di Myanmar.
16. Apa tugas dan fungsi AICHR dalam menengakkan HAM di wilayah Asia Tenggara?
Jawaban: Secara umum, tugas dan fungsi AICHR adalah merumuskan upaya pemajuan
dan perlindungan HAM di kawasan Asia Tenggara melalui pemantauan, edukasi, dan
standarnisasi HAM Internasional sesuai yang telah diamanatkan oleh Universal
Declaration of Humar Rights (UDHR) Deklarasi Wina tahun 1993 tentang HAM, dan
Instrumen Ham Internasional lainnya. Komisi HAM di ASEAN (AICHR)
bertanggungjawab untuk pemajuan dan pelindungan HAM di ASEAN. tetapi, sejauh ini
eksistensi AICHR lebih menekankan pada fungsi promosi, bukan protection.
17. Kendala apa yang dialami oleh AICHR dalam mengatasi krisisi kudeta di Myanmar?
Jawaban: Kendala yang dialami oleh AICHR adalah independensi yang lemah
dikarenakan dalam Pasal 2 rumusan TOR AICHR menegaskan bahwa AICHR selaku
lembaga yang berdiri dibawah kelembagaan ASEAN, tunduk dan patuh dengan prinsip
yang dipegang ASEAN yang tertuang di dalam Pasal 2 Piagam ASEAN sehingga hal
tersebut mengakibatkan AICHR memiliki keterbatasan ruang dalam bergerak untuk
menjalankan fungsinya sebagai lembaga perlindungan HAM dia Asia Tenggara. Kendala
lainnya adalah mekanisme dalam pengambilan keputusan AICHR juga berisiko tidak
bersifat netral dan berakhir pada kepentingan masing-masing negara anggota. Hal
tersebut disebabkan dalam pengambilan keputusan, AICHR menggunakan cara
konsensus dan konsultas. Selain itu, AICHR tidak memiliki mekanisme yang tertulis di
dalam TOR AICHR untuk melakukan tindakan represif apabila telah terjadi pelanggaran-
pelanggaran HAM di Asia Tenggara. Hal ini mengakibatkan AICHR hanya bisa diam
dan tidak bisa melakukan apa-apa selain melakukan upaya preventif.
18. Menurut saudara bagaimana cara penyelesaian kendala yang sudah dipaparkan oleh
saudara agar penyelesaian krisis kudeta di Myanmar oleh AICHR dapat berjalan dengan
baik?
Jawaban: Adanya perubahan prinsip di dalam AICHR dengan kelonggaran untuk
menyampingkan prinsip “non-intervensi” dan prinsip “menghormati kedaulatan” untuk
sesuatu yang lebih mulia yakni prinsip “kemanusiaan” yang tentunya lebih tinggi dari
prinsip lainnya, AICHR perlu melakukan perubahan mekanisme dalam pengambilan
keputusan yang selama ini dilakukan secara konsensus. Meskipun hal ini merupakan
“The ASEAN Way” yang selalu dijadikan jalan tengah untuk negara anggota ASEAN,
tetap diperlukan adanya penyampingan prinsip tersebut dengan cara pengambilan
keputusan secara pemungutan suara untuk menghasilkan kebijakan yang efektif, dan
Adanya aturan yang mengatur mekanisme AICHR untuk dapat menerima pengaduan
serta kapabilitas untuk dapat menjatuhkan sanksi kepada pelaku, baik subjek hukum
tersebut adalah orang, lembaga, ataupun negara.
19. Sejauh mana upaya yang sudah dilakukan oleh ASEAN maupun AICHR dalam
mengatasi krisis kudeta di Myanmar?
Jawaban: Dilaksanakannya Pertemuan Pemimpin ASEAN (ASEAN Leaders
Meeting/ALM) yang membentuk 5 poin konsesus yaitu pertama, kekerasan harus segera
dihentikan di Myanmar dan semua pihak harus menahan diri sepenuhnya, kedua, dialog
konstruktif di antara semua pihak terkait harus segera dimulai untuk mencari solusi damai
bagi kepentingan rakyat, ketiga, utusan khusus Ketua ASEAN akan memfasilitasi
mediasi proses dialog, dengan bantuan Sekretaris Jenderal ASEAN, keempat, ASEAN
akan memberikan bantuan kemanusiaan melalui AHA Centre (The ASEAN Coordinating
Centre for Humanitarian Assistance on disaster management), kelima, utusan khusus dan
delegasi akan mengunjungi Myanmar untuk bertemu dengan semua pihak terkait. Tetapi
dikarenakan Myanmar tidak menunjukkan komitmen menjalankan lima konsensus yang
telah disepakati, maka pemimpin dari Junta Militer tidak dapat diundang untuk
menghadiri KTT.
20. Bagaimana urgensi dibentuknya pengadilan HAM ASEAN bagi penyelesaian krisis
kudeta di Myanmar?
Jawaban: AICHR yang sebenarnya memiliki mandat untuk melakukan tidak hanya
sebatas promotion namun juga protection, hingga periode ini baru dapat melaksanakan
fungsi promotion saja. Beberapa kasus yang diduga terjadi pelanggaran HAM di
dalamnya yang sudah dilaporkan kepada AICHR tidak mendapat tanggapan apapun
dalam penegakan hukumnya. Dengan adanya pengadilan HAM ASEAN, nantinya akan
melengkapi fungsi proteksi yang dimiliki oleh AICHR (ASEAN Intergovernmental
Commission on Human Rights) berada di bawah AICHR. Jadi selain memberikan fungsi
promosi HAM di ASEAN, AICHR juga memiliki fungsi proteksi dan mampu
memberikan keputusan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di dalam
ASEAN terkhususnya masalah kudeta yang terjadi di Myanmar.

Anda mungkin juga menyukai