Anda di halaman 1dari 17

FAKTOR PENGHAMBAT ASEAN INTERGOVERNMENTAL COMMISION

ON HUMAN RIGHT (AICHR) UNTUK MENEGAKKAN HAM DALAM KONFLIK


ETNIS ROHINGYA-PEMERINTAH MYANMAR
Fisa Faurika/106216051

Semenjak terbentuk di tahun 2009, ASEAN Intergovernmental Commision on


Human Rights (AICHR) nyatanya belum mampu menjadi badan yang dapat menegakkan
permasalahan terkait hak asasi manusia yang terjadi antara etnis Rohingya dan Pemerintah
Myanmar. Hal ini terbukti dengan terus bertambahnya jumlah imigran Rohingya setiap
tahunnya. Dilansir dari UNHCR, data yang ditunjukkan hingga agustus 2017, jumlah imigran
Rohingya yang memasuki Bangladesh mencapai 923.000 jiwa, namun hanya 36.583
diantaranya yang terdaftar secara legal (UNHCR Family Counting Factsheet, 2017).
Peningkatan jumlah imigran ini terjadi dikarenakan etnis Rohingya tidak mendapat
pengakuan oleh Pemerintah Myanmar sebagai bagian dari kelompok warga negara Myanmar,
kelompok ini pada akhirnya kerap mendapatkan berbagai bentuk perlakuan diskriminatif
dalam berbagai aspek.
Terbentuknya AICHR merupakan sebuah batu loncatan dalam dunia hak asasi
manusia di kawasan Asia Tenggara. Proses yang memakan waktu begitu lama pada akhirnya
melahirkan sebuah komisi yang beranggotakan setiap perwakilan negara anggota ASEAN.
AICHR juga merupakan bentuk perwujudan dari Pasal 14 Piagam ASEAN yang dibentuk
dalam rangka memperkuat ASEAN dan menciptakan ASEAN community (Numnak, 2009).
Namun, penegakkan HAM di kawasan Asia Tenggara tidaklah mudah. Terbentuknya
AICHR tidak dengan serta merta mengatasi dan mengurangi pelanggaran HAM dalam
kawasan terlebih mengingat tatanan sistem internasional yang anarki. Terlebih pada
penyelesaian konflik Rohingya dan Pemerintah Myanmar. Direktur Pusat Informasi dan
Advokasi Indonesia mengenai Rohingya-Arakan, Heri Aryanto mengatakan bahwa
pemerintah Myanmar merupakan pemain dibalik kerusuhan yang menimpa etnis muslim
Rohingya dan dengan sengaja membiarkan kerusuhan tersebut. selain itu, beliau juga
menyebutkan bahwa terdapat tim khusus yang dinamakan Rohingya Elimination Group
(REG) yang merupakan tim yang dibentuk dengan sengaja untuk menghilangkan etnis
muslim di Myanmar dan terkenal dengan sebutan 969. Kelompok ini juga melakukan
provokasi terhadap warga dengan mendistribusikan video atau buku yang menghina agama
islam (Gamez, 2009).
The ASEAN Intergovernmental Commision on Human Rights (AICHR) sejak
kelahirannya telah mencapai hasil-hasil antara lain; mengadopsi panduan mengenai operasi
AICHR, membentuk tim yang menyusun deklarasi HAM ASEAN dimana deklarasi tersebut
menjadi sebuah roadmap untuk penegakan HAM regional, membuat TOR tim penyusun
deklarasi HAM ASEAN, mengadopsi aturan prosedur terkait dana AICHR, mengadopsi studi
tematik tentang program CSR dan HAM di ASEAN, menyetujui elemen kunci rencana kerja
lima tahun AICHR periode 2012-2015, menyetujui TOR tentang migrasi, melakukan dialog
dengan mekanisme HAM Inter-Amerika, UN Women, UNDP, UNHCR, serta beberapa wakil
institusi HAM Internasional di New York dan Washington serta dialog dengan European
Fundamental Rights Agency, Commisioner of Human Rights of CoE, Council of Europe,
European Human Rights Court 2011 (Djafar,2014).

Meskipun AICHR telah menjalankan beberapa mandate dan fungsinya, namun nyatanya
institusi ini belum mampu menjadi lembaga yang dapat menegekkan dalam kawasan
dikarenakan beberapa faktor hambatan, baik yang sifatnya internal maupun eksternal yang
diantaranya dalah sebagai berikut :

A.Faktor Eksternal

1. Patterns of Interest
Dalam merespon konflik Rohingya-Pemerintah Myanmar, ASEAN selain membentuk
AICHR juga membentuk ASEAN Inter-Parliamentary Myanmar Caucus (AIPMC). AIPMC
beranggotakan beberapa perwakilan dari negara Asia Tenggara yakni Indonesia, Malaysia,
Thailand, Singapura, Kamboja dan Filipina yang aktornya bukanlah pejabat pemerintah atau
orang yang bergelut dalam bidang politik. AIPMC melakukan beberapa kegiatan yang
berkaitan untuk menegakan hak asasi manusia khususnya konflik yang terjadi di Myanmar.
AIPMC selama dibentuk banyak bertindak menyerukan aksi dukungan penyelesaian konflik
Rohingya-Pemerintah Myanmar kepada beberapa institusi internasional dan beberapa
instrumen penegakan HAM lainnya (Burma Partnership, 2013).
Keberadaan AIPMC yang dibentuk ASEAN yang kemudian disusul dengan
keberadaan AICHR tentu menimbulkan kebingungan antara keduanya. AIPMC pasca
pembentukan AICHR menjadi sebuah komisi yang tidak memiliki fungsi bahkan dapat
dinilai sia-sia (Gamez, 2017). Dimulai dari anggota AIPMC yang berasal dari negara anggota
ASEAN, dimana AICHR juga beranggotakan negara anggota ASEAN. Mandat dan tujuan
dari keduanya juga berhubungan dengan penegakan hak asasi manusia dan turut menangani
kasus yang sama. Keberadaan komisi ini akan berakibat pada pelimpahan tanggungjawab
antara keduanya yang nantinya akan berakibat pada sulitnya penyelesaian konflik
dikarenakan akan menimbulkan pertanyaan mengenai institusi atau komisi manakah yang
bertanggungjawab.

2. Distributions of Influence
Pada sebuah institusi, pengaruh memiliki peranan dan dampak yang cukup besar bagi
proses pengambilan keputusan sebuah institusi dan juga tindakan yang diambil oleh institusi
tersebut. Dalam hal pengaruh, tiap-tiap institusi tentunya memiliki faktor pengaruh yang
berbeda-beda sesuai dengan lingkungan, budaya dan sosial dimana sebuah isntitusi itu
berada. Di dalam AICHR pengaruh yang paling besar yang juga menghambat dan menjadi
kendala utama jalannya institusi ini adalah adanya prinsip non-interference atau dengan kata
lain prinsip non-intervensi. Kata intervensi kerap dipakai untuk menunjukkan tindakan
campur tangan yang dilakukan oleh suatu negara dalam urusan dengan negara yang lain
(Starke, 2007).
Prinsip non-intervensi sendiri juga merupakan suatu kewajiban dimana setiap negara
berdaulat tidak ikut campur tangan dalam setiap urusan negara lain (Spiegel, 1995). Prinsip
ini dijalankan oleh negara karena didasari paham kemerdekaan dan adanya kesepahaman
mengenai persamaan derajar antar tiap negara, artinya negara yang berdaulat akan bebas dari
negara lainnya dan juga memiliki derajat yang sama dengan negara yang lain
(Kusumaatmadja, 2003). Di dalam AICHR sendiri prinsip non-intervensi dimuat secara tegas
dalam dokumen ASEAN. Sejak awal ASEAN dibentuk prinsip ini telah dimuat dalam
Deklarasi Bangkok, dalam berbagai pertemuan dan berbagai perjnjian antarnegara ASEAN
seperti saat pembukaan deklarasi the Zone of Peace, Freedom, and Neutrality (ZOPFAN)
tahun 1971 dan dimuat dalam salah satu prinsip yang disebutkan dalam Pasal 2 ayat (2)
(ASEAN, 2008). Keberadaan prinsip ini menjadikan negara juga ikut serta tidak melakukan
fungsi perlindungan HAM, maksudnya adalah kedaulatan dari negara secara tidak langsung
dimaklumi oleh masyarakat baik secara kelompok maupun individu. Adanya prinsip ini akan
berdampak pada meningkatnya peluang peningkatan terjadinya kejahatan manusia. Konflik
Myanmar merupakan salah satu isu yang dapat dijadikan contoh mengenai keberadaan
prinsip non-intervensi yang menjadikan terhambatnya penyelesaian terhadap kasus ini.
Selain adanya keberadaan prinsip non-intervensi, AICHR menjadi instiusi yang tidak
efektif dikarenakan kurangnya dorongan masyarakat di ASEAN dalam mendorong AICHR
dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Hal ini dikarenakan sejak awal pembentukannya,
AICHR sendiri dikecam oleh masyarakat ASEAN dan dianggap sebagai sebuah institusi yang
tugas dan fungsinya berkontradiksi dengan ASEAN karena menolak mengadakan pertemuan
dengan masyarakat sipil. Menurut perndapatnya Yap Swee Seng, AICHR sebagai sebuah
institusi penegakan HAM yang menolak pendapat serta pengadaan pertemuan dengan
masyarakat sipil, tidak mencerminkan perilaku dari sebuah institusi HAM, dimana
keberadaan HAM itu sendiri objek kajian dan target dari visi dan misi institusinya merupakan
masyarakat sipil namun justru tidak memberikan kesempatan bagi masyarakat sipil untuk ikut
turun tangan (SAPA TFAHR, 2010).

3.Nature of the Issue Area

1. Tertutupnya Negara Myanmar

Salah satu bentuk ancaman yang tidak dapat diprediksi AICHR dalam penangan kasus
konflik Rohingya-Pemerintah Myanmar adalah keberadaan Pemerintah Myanmar yang
tertutup dan enggan untuk memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai konflik yang terjadi
di dalam negaranya tersebut. Tertutupnya Myanmar terhadap negara-negara anggota AICHR
termasuk AICHR terkait pelanggaran masalah HAM di Rohingya tentu menghambat kinerja
dari AICHR. Kurang informasi serta tidak terbukanya pihak Myanmar tentu akan berakibat
pada eskalasi konflik yang lebih lanjut dan berujung pada meningkatnya jumlah korban jiwa
dan eksodus besar-besaran dari etnis Rohingya keberbagai wilayah di Asia Tenggara yang
tentunya akan mengganggu kestabilan dari wilayah Asia tenggara itu sendiri.

Terkait penegakan dan pemajuan HAM sendiri padahal di dalam kerangka acuan telah
disebutkan mengenai hak serta kewajiban negara-negara anggota untuk memberikan laporan
secara berkala pada tiap pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN. Namun, pihak Pemerintah
Myanmar seolah menutupi permasalahan tersebut dan tidak membuka diri. Menurut
penjelasan yang disampaikan oleh salah satu tokoh Buddha yakni Philip Wijaya, sikap
pemerintah Myanmar yang terkesan menutup dirinya serta menunjukkan respon yang sangat
minim atas tuntutan dunia terhadap tindakan genosida dan pelanggaran HAM yang menimpa
etnis Rohingya sangat disayangkan (Ramalan, 2017). Dalam pernyataannya tersebut, ia juga
menambahkan bahwa Pemeritah Myanmar memiliki kemampuan komunikasi yang buruk ke
dunia Internasional dan tidak memberikan gambaran yang bagus dan sesungguhnya ataupun
mengundang dunia unternasional untuk dapat turun dan menyaksikan langsung bagaimana
keadaan yang sesungguhnya di Myanmar.
Sedangkan menurut Wakil Indonesia untuk AICHR yakni Yuyun Wahyuningrum
mengatakan bahwa jika permasalahan ini dilihat melalui level Nasional Myanmar,
permasalahan etnis Rohingya ini tidak dianggap sebagai isu yang penting bagi Pemeritah
Myanmar itu sendiri (Syakur, 2019). AICHR sebagai institusi khusus yang dibentuk dalam
rangka menegakkan HAM di regional tentu memiliki peran yang cukup penting dalam
penyelesaian kasus ini. keberadaan Pemerintah Myanmar yang menutup diri tentu tidak hanya
akan berakibat pada stabilitas kawasan namun juga akan berdampak pada stabilitas di wilayah
lain, seperti Bangladesh.

2. Terganggunya stabilitas wilayah lain

Aliran migrasi dari Rohingya ke Bangladesh dimulai pada tahun 1978, saat
pemerintah junta militer Myanmar melakukan operasi yang dinamakan operasi Naga Min.
Setidaknya terdapat sekitar 200.000 orang Rohingya melarikan diri ke Bangladesh dengan
tujuan untuk mencari perlindungan. Jumlah aliran migrasi tumbuh lebih besar, yakni 250.000
orang di tahun 1992. Saat itu pemerintah Myanmar tidak henti-hentinya melakukan tindakan
represi kepada etnis Rohingya. Pemerintah Bangladesh menerima pengungsi dari Rohingya
dengan menyediakan dua puluh kamp pengungsian yang ditempatkan di distrik Cox’s Bazar
(Mapelcroft, 2013). Orang Rohingya yang datang ke Bangladesh berniat ingin menghindari
tekanan serta kesulitan yang didapatkan di negara asal, kebanyakan etnis Rohingya yang
datang ke Bangladesh dan beberapa negara lainnya pun harus menghadapi banyak kesulitan
di negara tujuan.
Orang-orang yang bermigrasi biasanya kerap akan ditempati di wilayah yang tingkat
kemiskinannya tinggi juga disertai dengan tingkat pembangunan yang rendah dengan jumlah
kapasitas lokal yang sangat terbatas, serta tingkat sosial ekonomi dan politik yang buruk
(Lwin, 2012). Oleh karenanya, permasalahan yang seringkali terjadi di wilayah-wilayah
kamp pengungsian adalah sumber daya primer, seperti ketersediaan air, tempat tinggal,
sanitasi, dan makanan yang buruk. Dalam menanggapi hal ini pemerintah Bangladesh
mengambil sikap dengan membenahi kualitas dari tempat tinggal di tempat pengungsian,
meskipun hasilnya juga tidak dapat dikatakan sebagai tempat yang layak untuk dihuni (Lwin,
2012). Peningkatan kualitas kamp pengungsi Rohingya ini tentu saja meggolontorkan dana
Pemerintah Bangladesh, yang tentu sangat mengganggu stabilitas negaranya. Namun perihal
migrasi dan eksodus ini tidak diprediksi oleh AICHR sebelumnya sehingga dampak yang
diakibatkan oleh konflik sangat besar dan mengganggu stabilitas dari kawasan lainnya.
Indonesia juga merupakan salah satu negara yang terkena dampak dari adanya migrasi etnis
Rohingya. Saat ini Indonesia mencoba mendorong Pemerintah Myanmar untuk dapat
menindak lanjuti laporan yang berjudul “Towards a Peaceful, Fair, and Properous Future
for the People of Rakhine” yang merupakan hasil investigasi yang dipimpin oleh Kofi Annan
(Bashar, 2012). Laporan tersebut merupakan hasil kerjasama pejabat Pemerintah Myanmar
dengan sipil lain dengan tujuan untuk meneliti akar permasalahan konflik yang terjadi di
Rakhine dimana mayoritas etnis Rohingya menetap.
Salah satu pengamat Hubungan Internasional yang pernah berkecimpung langsung di
dalam AICHR yakni Dinna Wisnu memberikan pandangan bahwa di satu sisi sejumlah badan
dan elemen yang berada di Myanmar sebetulnya ingin bergerak untuk menegakkan dan
memajukan hak asasi manusia dan mengatasi permasalahan mengenai Rohingya dan
Pemerintah Myanmar, akan tetapi di sisi lainnya sebagian lebih negara ASEAN yang
memiliki kepentingan di Myanmar terkait pemejuan HAM regional tidak memberikan
insentif dalam bentuk apapun kepada Myanmar baik dalam bentuk ekonomi maupun politik
(Wisnu, 2019). Sehingga hal ini menjadikan Pemerintah Myanmar akan merasa tidak akan
diuntungkan atau dirugikan apabila konflik tersebut tidak terselesaikan.

B. Faktor Internal

1. Design Features
Sebagai sebuah institusi hak asasi manusia, AICHR dalam penyusunan agenda masih
tidak dapat mengumpulkan berbagai kepentingan dari berbagai negara anggotanya. Hal ini
dikarenakan adanya independensi yang dimiliki oleh AICHR cenderung lemah baik dalam
segi tanggung jawab/akuntabilitas dari tiap-tiap negara anggota yang ditunjuk, keanggotaan,
pendanaan serta mekanisme proteksi yang juga lemah dimana tidak adanya weweang untuk
menerima pengaduan yang sifatnya individual, wewenang untuk melaukan investigasi dan
bahkan tidak terdapat wewenang untuk dapat melakukan kunjungan dan tidak ada diskusi
atau dialog mengenai country situation (AICHR, 2009). Kurangnya independen dari AICHR
ini dapat dilihat dari penempatan sekretariat AICHR yang digabungkan dengan lembaga
sekretariat ASEAN. Kondisi ini menjadikan AICHR berada dibawah kuasa ASEAN dan
menjadikan keberadaan AICHR tidak dihargai dan hanya sebagai simbolik penegakan HAM
tanpa adanya praktik. Berkaitan dengan permasalahan mengenai kelembagaan, hal ini juga
merujuk pada kurangnya fungsi perlindungan dalam AICHR yang diagmbarkan dalam TOR
yang hanya menekankan fungsi pemajuan. Pada tabel berikut akan memberikan gambaran
mengenai empat poin utama dari 14 mandat TOR, yakni standard setting, promotion and
education, protecting dan reporting.

Tabel 3.2.1.1 Mandat-Mandat AICHR


Standard Setting Promotion and Protecting Reporting
Education
Melakukan Melakukan Mengumpulkan Menyerahkan
pengembangan pengembangan infromasi dari laporan tahunan
strategi-strategi Deklarasi HAM berbagai negara mengenai
mengenai ASEAN agar anggota ASEAN kegiatan atau
pemajuan dan terciptanya menngenai laporan lain
perlindungan dari kerangka pemajuan dan apabila
HAM serta kerjasama HAM perlindungan diperlukan pada
kebebasan melalui berbagai HAM Pertemuan
fundamental macam konvensi Menteri Luar
untuk melengkapi dan instrumen Negeri ASEAN
pembentukan lainnya yang
komunitas terkait HAM
ASEAN
Memajukan Meningkatkan Menyiapkan Menjalankan
peningkatan kesadaran publik kajian- kajian tugas lain yang
kemampuan demi terhadap hak asasi tentang isu- isu mungkin
pelaksanaan manusia di antara tematik hak asasi diberikan oleh
kewajiban- rakyat ASEAN manusia di Pertemuan
kewajiban melalui ASEAN Menteri Luar
perjanjian hak pendidikan, Negeri ASEAN
asasi manusia penelitian, dan
secara efektif oleh diseminasi
negara- negara informasi
anggota ASEAN

Mendorong Memberikan
negara- negara pelayanan
anggota ASEAN konsultasi dan
agar bantuan teknis
mempertimbangka terhadap masalah-
n untuk masalah hak asasi
mengaksesi dan manusia kepada
meratifikasi badan-badan
instrumen- sektoral ASEAN
instrumen hak berdasarkan
asasi manusia permintaan
internasional

Memajukan Melakukan dialog


pelaksanaan dan konsultasi
instrumen- dengan badan-
instrumen badan ASEAN
ASEAN lain dan entitas
sepenuhnya lain yang terkait
terkait dengan hak dengan ASEAN,
asasi manusia termasuk institusi
rakyat sipil dan
para pemangku
kepentingan
lainnya seperti
tercantum dalam
Bab V Piagam
ASEAN

Mengupayakan Berkonsultasi
pendekatan dan bilamana
posisi bersama diperlukan dengan
institusi

Sumber : Memperkuat Perlindungan Hak Asasi Manusia di ASEAN, Djafar Dkk (2014:29-30)

Berdasarkan tabel tersebut, fungsi perlindungan tergambar lebih lemah jika


dibandingkan dengan fungsi pemajuan HAM. Adapun fungsi perlindungan dalam mandat
tersebut hanya meliputi pada pengumpulan informasi dari tiap-tiap negara anggota ASEAN
dalam implementasi mengenai perlindungan dan promosi HAM di negara masing-masing
anggota. Kondisi ini tentu sangat berbeda dengan fungsi pemajuan yang ditekankan oleh
AICHR. Berdasarkan tabel diatas, terdapat lima maandat mengenai penekanan kinerja
AICHR yang diantaranya ialah melakukan peningkatan kesadaran dari masyarakat dan publik
melalui edukasi dan pendidikan, penyebaran informasi, penelitian serta memberikan layanan
konsultasi dan bantuan teknis kepada badan sektoral ASEAN dan juga melakukan dialog dan
konsultasi dengan badan dan lembaga ASEAN lainnya termasuk dengan negara-negara
anggota AICHR, institusi masyarakat serta para pemangku kepentingan lainnya di ASEAN.
Selain itu, di dalam fungsi pelindungan juga tidak diatur mengenai mekanisme mengenai
penanganan permasalahan dan pelanggaran HAM seperti penyidikan terhadap sebuah isu atau
peristiwa ataupun pelaksanaan penanganan dalam bentuk lainnya. Padahal seharusnya,
AICHR sebagai sebuah institusi yang bergerak dalam penegakan dan pemajuan HAM harus
ikut terlibat aktif dalam menangani dan meghadapi pelanggaran HAM, sehingga dibutuhkan
adanya mekanisme baik dalam bentuk sanksi politik dan ekonomi atau pengadilan HAM
(Djafar, 2014). Bentuk mekanisme ini berlaku pada setiap jenis pelanggaran dan permasalah
HAM dengan mengikat anggotanya secara hukum namun tentu saja sulit untuk direalisasikan
mengingat keanggotaan AICHR menjunjung tinggi kedaulatan masing-masing negara
anggota.
Tidak adanya wewenang AICHR dan keberadaannya yang berada di bawah ASEAN
menjadikan sulitnya institusi ini untuk dapat menghasilkan kesepahaman dari tiap-tiap
negara-negara anggota, terlebih AICHR tidak dapat memberikan sanksi apapun atau
hukuman apapun kepada negara anggotanya. Lebih lanjut, kurang independensi AICHR juga
merujuk pada penunjukkan komisioner AICHR yang dilakukan oleh tiap-tiap negara anggota.
Dimana beberapa negara anggota ASEAN akan cenderung memilih pejabat negara ataupun
mantan pejabat negara yang dianggap pro terhadap pemerintah. Hal ini dibuktikan pada saat
pemilihan Nguyen Duy Hung sebagai perwakilan dari Vietnam untuk AICHR serta pemilihan
Dr. Awang Hj.Ahmad sebagai perwakilan dari Brunei Darussalam untuk AICHR (Djafar,
2014). Penunjukkan keduanya dipenuhi oleh kritik masyarakat ASEAN, sebab keduanya
memilik latar belakang yang tidak berkesinambungan dengan AICHR dan tidak ahli dalam
bidang hak asasi manusia. Keduanya merupakan mantan pejabat tinggi di negaranya maisng-
masing, dimana Nguyen Duy Hung merupakan mantan duta besar dari Vietnam untuk
Thailand dan Dr. Awang Hj. Ahmad adalah menteri industri dan sumber daya di Brunei
Darussalam (SAPA-TFAHR, 2012).
Kondisi ini tentu tidak menguntungkan AICHR secara kelembagaan, dikarenakan
anggota komisionernya justru akan condong bersifat independen dan tidak netral. Mereka
tentunya akan menjadi corong pemerintah mereka sendiri yang diwujudkan melalui adanya
penolakan terhadap setiap keputusan yang diambil oleh AICHR apabila terkesan merugikan
negaranya. Oleh karenanya, setiap ada pertemuan, dialog ataupun diskusi mengenai kasus
atau topik seringkali ditemukan tidak ada kata mufakat atau persamaan kepentingan,
termasuk dalam kasus Rohingya.

2.Programmatic activities
Agar sebuah institusi dapat dikatakan efektif maka diperlukan adanya pembentukan
agenda dan bagaimana agenda tersebut diikuti oleh negara-negara anggotanya dan negara-
negara anggota tersebut patuh terhadap agenda yang telah dibuat. Keterlibatan AICHR dalam
menangani setiap peristiwa dan isu-isu regional hanya dipersepsikan oleh negara-negara
anggotanya sebagai penghasil forum atau pengatur pertemuan untuk membahas dan
berdiskusi mengenai masalah-masalah yang dihadapi oleh negara-negara anggota. AICHR
dipersepsikan sebagai sebuah arena bagi negara anggotanya. Anggapan ini terjadi
dikarenakan dalam pengambilan keputusan, AICHR cenderung lebih mengutamakan
penggunaan konsensus yang dilakukan dengan melaksanakan pertemuan rutin setiap dua kali
dalam setahun. Apabila dibutuhkan, AICHR dapat mengadakan pertemuan tambahan lainnya
apabila semua perwakilan AICHR menyetutujui (AICHR, 2019). Oleh karenanya, identitas
AICHR seolah hanya dijadikan event organizer yang dipaksa untuk melaksanakan pertemuan
dalam upaya merespon setiap kasus pelanggaran HAM yang terjadi di ASEAN, contohnya
pada kasus Rohingya.
AICHR mengadakan beberapa pertemuan sebagai bentuk keteribatannya dalam kasus
Rohingya. Pada pertemuan pertama yang dilakukan di Jakarta, AICHR melaksanakan retreat
untuk melakukan diskusi mengenai kasus Rohingya selama dua jam. Sejak pertama kali
AICHR didirikan, perwakilan AICHR dari tiap-tiap negara anggota menyetujui untuk
membawa persoalan mengenai hak asasi manusia dan membahasnya pada pertemuan
tersebut. Akan tetapi, hasil akhir dari pertemuan tersebut tidak mencapai sebuah resolusi
pasca kebijakan retreat tersebut (Gamez, 2017). Hal ini dikarenakan sistem konsensus yang
diimplementasikan oleh AICHR tidak dapat mengambil keputusan tanpa adanya persetujuan
dari seluruh negara anggota ASEAN. Sementara pada saat pertemuan tersebut, satu-satunya
aktor yang menolak dan tidak mengakui hasil retreat tersebut adalah Myanmar (Septiar. n.d).
Myanmar mengemukakan bahwa permasalahan mengenai Rohingya merupakan
permasalahan internal dari negaranya (Wahyuningrum n.d).
Meskipun negara-negara anggota ASEAN meratifikasi suatu instrumen mengenai hak
asasi manusia internasional dan berada dibawah pengawasan treaty body dari isntrumen
tersebut, setiap negara-negara anggota diharuskan untuk melakukan pelaporan secara berkala.
Namun apabila mekanisme yang ada berada dalam skala regional, dalam hal ini AICHR,
apabila mengadopsi mekanisme yang sama maka setiap negara-negara anggota tersebut dapat
memberikan laporan pada mekanisme regional terlebih dahulu sebelum diajukan ke skala
internasional. Kemudian, komisi dapat melakukan penilaian terlebih dahulu atas laporan
tersebut untuk memastikan ketepatan dan akurasi dari laporan yang diberikan sebelum paada
akhirnya akan diserahkan ke treaty body yang ada (Sun, 2018).
Lebih lanjut, AICHR dapat melakukan monitoring pelaksanaan outcome report dan
rekomendari dari treaty body. Bila mekanisme tersebut dapat dilakukan, maka hal tersebut
akan membantu AICHR untuk dapat melaksanakan fungsinya untuk mendapatkan informasi
yang dapat digunakan untuk perlindungan dan pemajuan HAM di regional dan akan secara
efektif negara-negara anggota akan melaksanakan kewajiban mereka terkait penegakan hak
asasi manusia (AICHR, 2009). Tantangan penegakan hak asasi manusia yang dihadapi oleh
AICHR cukup banyak dan fundamental. Oleh sebab itu, kekurangan-kekurangan yang ada
dan menghambat berdirinya hak asasi manusia harus dikikis secara perlahan. Misalnya
dengan melakukan amandemen Kerangka Acuan AICHR sebagaimana dimungkinkan di
pasal 9 Kerangka Acuan AICHR (AICHR, 2009). Singkat kata, pembentukan agenda yang
dilakukan oleh AICHR sebagai institusi penegakan hak asasi manusia tidak menghasilkan
penyelesaian apapun. Hal ini dikarenakan AICHR tidak dapat meningkatkan derajat
kepatuhan negara-negara anggotanya.

C. Identifikasi Perilaku Aktor

Di dalam AICHR terdapat sepuluh aktor negara yang masing-masing memiliki perilaku
yang berbeda-beda. Sepuluh keanggotaan AICHR antara lain adalah : Filipina, Indonesia,
Malaysia, Singapura, Thailand, Brunei Darussalam, Vietnam, Laos, Myanmar dan Kamboja.
Terkait isu mengenai konflik antara etnis Rohingya-Pemerintah Myanmar, tiap-tiap aktor
menghasilkan respon dan tindakan yang berbeda. Indonesia misalnya, Indonesia merupakan
salah satu negara yang memiliki peran yang cukup besar di ASEAN dan termasuk kedalam
negara yang mencetuskan adanya pembentukan ASEAN di Asia Tenggara. Terkait isu
mengenai hak asasi manusia Indonesia kerap mendukung segala bentuk tindakan yang
bertujuan untuk menegakkan hak asasi manusia baik di dalam skala nasional, regional serta
internasional. Keberadaan AICHR sebagai institusi penegakan HAM di Asia Tenggara
tentunya mendapatkan respon positif dari Indonesia. Terlebih dalam penyelesaian kasus
konflik Rohingya-Pemerintah Myanmar, Indonesia merupakan aktor yang berperan cukup
aktif. Hal ini dibuktikan dengan beberapa tindakan yang dilakukan Indonesia seperti
menggalang bantuan kemanusiaan serta mengirimkan Menteri Luar Negeri ke Myanmar
untuk menyerukan penghentian pelanggaran HAM terhadap etnis Rohingya (Dewi, 2017) .
Namun, sikap Indonesia yang pro terhadap hak asasi manusia ini bukan dikarenakan
keberadaan AICHR ataupun menandakan bahwa AICHR berhasil menentukan arah perilaku
Indonesia.
Berbeda dengan Indonesia, Malaysia merupakan salah satu negara di Asia tenggara yang
memiliki permasalahan terkait penegakan HAM. Hal ini dibuktikan dari beberapa isu dan
peristiwa yang terjadi di negaranya. Pemerintahnya juga kerap bertindak melarang aktivis
HAM asing untuk menghadiri acara di Malaysia. Salah satu cotoh kasusnya ialah penahanan
aktivis perempuan asal Singapura yakni Han Hui Hui yang dilakukan oleh pejabat migrasi
Malaysia pada saat ia berusaha masuk ke Malaysia untuk menghadiri acara HAM. Han Hui
Hui kemudian dipulangkan kembali ke Singapura. Tidak hanya itu, Malaysia juga tidak
meratifikasi Konvensi Pengungsi Tahun 1951. Lebih dari 150.000 pengungsi serta pencari
suaka terdaftar di UNHCR, PBB, di Malaysia namuan mereka tidak dapat bepergian, bekerja
atau mendaftar di sekolah (Human Rights Watch, 2017).
Selain itu, tidak ada orang Malaysia yang bertanggung jawab atas kematian lebih dari
100 orang Rohingya yang merupakan korban perdagangan yang ditemukan di kamp
penahanan di hutan dekat perbatasan Thailand-Malaysia pada tahun 2015. Padahal selama
kejadian ini berlangsung, Malaysia ikut berpartisipasi aktif di AICHR. Namun, dengan
banyaknya pelanggaran HAM terlebih lagi keluarnya pernyataan dari Zahid yang merupakan
Menteri Luar Negeri Pemerintah Malaysia yang menyatakan bahwa Malaysia tidak ingin
menjadi negara yang menerima pengungsi Rohingya dan menyatakan akan mengeluarkan
kartu Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) bagi para pengungsi Rohingya
(Hutapea, 2017). Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan AICHR tidak dapat mengontrol
dan mengatur perilaku dari negara-negara anggotanya.
Lain halnya dengan Thailand, sikap Thailand sebagai sesama anggota ASEAN dan
juga AICHR berkomitmen untuk tidak melakukan intervensi mengenai urusan dalam negeri
Myanmar. Hal ini disampaikan oleh Perdana Menteri Thailand Prayut Chan-o-cha, “kami
tidak melakukan intervensi terhadap urusan dalam negerinya. (Saya paham bhawa)
Pemerintah Myanmar mendukung dan mengembangkan wilayah negara bagian Rakhine”
(Firman, 2017 ). Sikap yang dilakukan Thailand juga dilakukan oleh negara-negara anggota
ASEAN lainnya, seperti Singapura, Kamboja, Laos dan Vietnam. Singapura melalui Perdana
menterinya, Lee Hsien Loong tetap mendukung adanya prinsip non-intervensi dalam
penanganan kasus Rohingya. PM Lee mengatakan bahwa ASEAN bukanlah satu negara dan
ASEAN juga tidak bisa meminta negara lain untuk melakukan sesuatu atau bertindak. Sikap
ini berakar dari paham kesepakatan negara-negara anggota ASEAN untuk tidak campur
tangan terhadap suatu negara, termasuk mengenai permasalahan hak asasi manusia. Sama
halnya dengan Singapura, Kamboja, melalui PM Hun Sen menolak adanya internasionalisasi
kasus Rohingya dan menyatakan bahwa permasalahan tersebut merupakan masalah internal.
Sikap negara anggota ASEAN lainnya, seperti Filipina dan Brunei Darussalam mengenai
kasus Rohingya di Myanmar adalah hanya dengan memberikan kritik kepada pemerintah
Myanmar serta mendesak agar diterapkannya tindakan kemanusiaan yang efektif (Indra,
2018).
Tidak semua negara-negara anggota ASEAN memiliki sense of belonging atas
ASEAN dan AICHR, dan tidak semua anggota menganggap bahwa isu mengenai Rohingya
merupakan isu yang penting untuk diselesaikan. Adanya perbedaan pandangan menjadikan
konsep dari regional security complex yang selama ini digadang-gadang oleh ASEAN tidak
dapat dilakukan sepenuhnya. Jika melihat dari pengertian regional security complex yang
didefinisikan oleh Barry Buzan, dikatakan bahwa keamanan regional hanya akan terwujud
apabila sekelompok negara yang berada di dalamnya memiliki persamaan kepentingan
(Buzan, 2000). Hal inilah yang menyebabkan permasalahan mengenai etnis Rohingya ini
cenderung sulit ditemukan titik terangnya dikarenakan keberadaan ASEAN dan AICHR tidak
dapat merangkul kepentingan setiap negara anggotanya sehingga tidak ada alasan bagi negara
anggota untuk patuh dan tunduk kepada agenda institusi.
Permasalahan konflik yang tidak pernah terselesaikan ini juga dikarenakan adanya
perbedaan pandangan mengenai keamanan antara Pemerintah Myanmar dan ASEAN.
Pemerintah Myanmar dalam kasus konflik Rohingya ini berusaha untuk menjaga keamanan
wilayahnya dari etnis Rohingya dan menempatkan enmity pada ASEAN yang dianggap
mengganggu kestabilan wilayah serta kedaulatan negaranya apabila ASEAN terlalu
mengintervensi persoalan mengenai konflik Rohingya. Sedangkan di sisi lainnya, ASEAN
melalui AICHR berupaya untuk mengamankan setiap hak-hak dasar dari etnis Rohingya
yang tidak bisa dipenuhi oleh Pemerintah Myanmar dengan bersandar pada sikap amity yang
mengharapkan Pemerintah Myanmar dapat melakukan perubahan yang lebih baik dalam
memperlakukan etnis Rohingya.
Selain itu, adanya faktor domestik Myanmar mengenai perbedaan pemahaman terkait
etnis Rohingya, dimana pemerintah Myanmar meyakini bahwa kelompok etnis Rohingya
merupakan bagian dari imigran illegal yang datang dari Bangladesh ke Myanmar hanya untuk
mecari simpati. Sedangkan etnis Rohingya dengan tegas menyatakan bahwa mereka telah
berada di Myanmar sebelum Myanmar merdeka sehingga mereka berhak untuk mendapatkan
perlakuan yang sama dengan etnis-etnis lainnya. Perbedaan pandangan ini menjadikan
pemerintah Myanmar merasa harus menyingkirkan etnis Rohingya dari wilayah
kedaulatannya. Sedangkan etnis Rohingya melakukan segala upaya agar dapat
mempertahankan eksistensinya di Myanmar dan agar kebutuhan hidup mereka dapat
terpenuhi (Indra, 2018). Adanya perbedaan kepentingan antara institusi AICHR dengan
pemerintah Myanmar menjadikan negara tersebut enggan untuk tunduk atau patuh terhadap
institusi itu. Ketidakpatuhan pemerintah Myanmar tentu akan menjadikan AICHR sebagai
institusi sulit untuk dapat menentukan arah perilaku dari aktor. Negara-negara anggota
ASEAN lebih patuh terhadap konteks non-intervensi daripada penegakan hak asasi manusia.
Menurut Direktorat Investasi dan Administrasi Perusahaan negara Myanmar (DICA)
tahun 2016. Statistic DICA menunjukkan bahwa masuknya jumlah investasi asing langsung
ke Myanmar mencapai US$ 67,012 miliar dengan dipimpin oleh sektor minyak dan gas
sebesar US$ 22,41 miliar, kemudian diikuti oleh manufaktur, hotel dan pariwisata. Cina
merupakan investor terbesar negara ini dengan jumlah investasi US$ 18,511 miliar yang
kemudian disuusl oleh Singapura dan Thailand (DICA, 2016). Selain adanya faktor dan
keinginan untuk tidak ikut campur tangan, faktor ekonomi juga menjadi alasan yang
mempengaruhi sikap dari negara-negara anggota ASEAN. Hingga akhir tahun 2017
setidaknya beberapa negara anggota ASEAN masuk kedalam daftar investor terbesar di
Myanmar berdasarkan grafik.
Berdasarkan grafik tersebut dapat terlihat bahwa Singapura, Thailand, Vietnam,
Malaysia, Indonesia, Brunei Darussalam, dan Laos termasuk kedalam daftar negara investor
bagi Myanmar. Apabila negara-negara anggota AICHR tersebut melakukan tindakan yang
terlalu menekan negara Myanmar dalam perihal kasus persekusi etnis Rohingya, ditakutkan
akan dapat mengganggu hubungan ekonomi antar-negara terutama mengenai perdagangan
dan investasi. Oleh karenanya, negara-negara anggota AICHR pada hakikatnya tidak dapat
diikat oleh institusi ini dan pada akhirnya AICHR merupakan contoh institusi yang tidak
efektif dikarenakan tidak dapat mengatur pola perilaku dari aktor di dalam institusinya
tersebut (Indra, 2018).
Pada akhirnya dapat dikatakan bahwa AICHR belum mampu menjadi badan yang
dapat menegakkan permasalahan HAM yang terjadi antara Rohingya dan Pemerintah
Myanmar. Hal ini dibuktikan dengan bertambahnya jumlah imigran Rohingya setiap
tahunnya. Tidak hanya bertambahnya jumlah migrasi, korban akibat kekerasan yang
dilakukan Pemerintah Myanmar juga terus bertambah. Hal ini terjadi dikarenakan AICHR
sebagai sebuah institusi nyatanya belum tidak dapat memenuhi persyaratan dan indikator
penilaian terkait efektifitas sebuah institusi.

Daftar Pustaka

Buku & Jurnal


Dewi, Maria Umma . (2017). Langkah Nyata Indonesia untuk Rohingya. Jakarta : Goodnews.
Djafar, Wahyudi. (2014). Memperkuat Perlindungan Hak Asasi Manusia di ASEAN. Jakarta:
INFID & ICCO.
Gamez, Kimberly Ramos. (2017). Examining The ASEAN Intergovernmental Commission on
Human Rights (AICHR): The Case Study of The Rohingya Crisis. Tilburg: Tilburg University.
Indra, Erizon. 2018. Kepatuhan Negara-Negara ASEAN untuk tidak Campur Tangan dalam
Menangani Persekusi Etnis Rohingya di Myanmar. Semarang: JoIR
Kusumaatmadja, Mochtar. (2003). Pengantar Hukum Internasional. Bandung:Alumni.
Numnak, Gorawut. (2009). The Unfinished Business: The ASEAN Intergovernmental
Commission on Human Rights . Freiderich Naumann Stiftung Fur die Freihet.
Ramalan, Suparjo. (2017). Tokoh Buddha sesalkan sikap pemerintah Myanmar atas
Rohingya. Jambi:Tirto
SAPA TFAHR. (2010). Hiding Behind its limits: A Performance Report on the First Year of
the ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) 2009-2010. Thailand: Asian
Forum for Human Rights and Development.
Spiegel, Steven L. (1995). World politics in a new era. New jersey:harcout brace college
publishers.
Starke, J.G. (2007). Pengantar Hukum Internasional. Jakarta:Sinar Grafika
Sun, T. N. (2018). Corespondence of Human Rights Implementation in Myanmar and
Rohingya case. (O. B. Saputra, Interviewer).
Syakur, Abdus.(2019). AICHR: Tak ada komitmen kuat Myanmar selesaikan masalah
Rohingya. Jakarta: hidayatullah.
Wisnu, Dinna. (2019). Formulasi Diplomasi Rohingya untuk Capres. Jakarta: Sindo
Young Oran R. (1989). International Cooperation: Building Regimes for Natural Resources
and Environment. New York: Cornell University Press.

Website

AICHR. (2009). ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights Terms of


Reference. Jakarta: ASEAN Secretariat.
AICHR. (2014). AICHR What You Need to Know (2nd Edition). Jakarta: ASEAN
Secretariat.
ASEAN. (2008). Charter of the Association of Southeast Asian Nations. Jakarta: ASEAN
Secretariat.
ASEAN Inter-Parliamentary Myanmar caucus. Diakses dari :
https://www.burmapartnership.org/tag/asean-inter-parliamentary-myanmar-caucus/
DICA. (2016). Diakses dari : https://www.dica.gov.mm/sites/dica.gov.mm/files/document-
files/fdi_country_4.pdf
Firman, Tony. 2017. Rohingya: Membandingkan Respon Indonesia & Negara Lain.
https://tirto.id/rohingya-membandingkan-respons-indonesia-negara-lain-cv3b
Human Rights Watch. (2017). Malaysia. Diakses dari :
https://www.hrw.org/id/world-report/2018/country-chapters/313756
Human Right Watch. 1996. Diakses dari
http://www.unhcr.org/refworld/country,,USCIS,,MMR,,3ae6a6a41c,0.html.
Human Rights Watch. (2017, June 29). Burma: Repeal Section 66(d) of the 2013
Telecommunications Law. Diakses dari Human Rights Watch:
https://www.hrw.org/news/2017/06/29/burma-repeal-section-66d-2013- telecommunications-law.
Hutapea, Rita Uli. (2017). Rakhine bergolak, ini Sikap Malaysia Terkait Pengungsi Rohingya.
https://news.detik.com/internasional/d-3627840/rakhine-bergolak-ini-sikap-malaysia-terkait-
pengungsi-rohingya
Lwin, N. S. (2012). The Platform. Diakses dari : Burma’s Rohingya: A Denial of Citizenship
and Human Right. http://www.the- platform.org.uk/2012/07/12/burma%E2%80%99s-rohingya-a-
denial-of- citizenship-and-human-rights/
Mapelcroft. (2016). Human Rights Risk Index 2016 - Q4. Diakses dari : Reliefweb:
https://reliefweb.int/report/world/human-rights-risk-index-2016-q4
SAPA-TFAHR. (2012). A Performance Report on the ASEAN Intergovernmental
Commission on Human Rights 2010-2011. Bangkok: Asian Forum for Human Rights and
Developments.
UNHCR. 2017. https://data2.unhcr.org/en/situations/myanmar_refugees
Verisk Mapelcroft. (2013, December 04). Human Rights Risk Atlas 2014 . Retrieved from
70% increase in countries identified as 'extreme risk' for human rights since 2008 - Human Rights
Risk Atlas 2014: https://www.maplecroft.com/portfolio/new- analysis/2013/12/04/70-increase-
countries-identified-extreme-risk-human-rights- 2008-bhuman-rights-risk-atlas-2014b/
Wahyuningrum, Y. (t.th). Fourth Anniversary of the AICHR. Retrieved from Diplomacy
Training Program - UNSW Sydney: http://www.dtp.unsw.edu.au/sites/default/files/FOURTH
%20ANNIVERSARY% 20OF%20THE%20AICHR.doc

Anda mungkin juga menyukai