Anda di halaman 1dari 10

RENCANA TESIS

KAJIAN TEORI HUKUM CHAOS TERHADAP PENGHENTIAN


PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN PADA
PELAKU BEGAL DI NUSA TENGGARA BARAT

Oleh:

HASDIWANTI
NIM. B012212024

PROGRAN STUDI MAGISTER ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2022
A. Rumusan Masalah

1. Bagaimana hukum pidana formil terkait alasan penghentian

penyidikan tindak pidana pembunuhan terhadap pelaku begal di

Nusa Tenggara Barat?

2. Bagaimana kajian teori hukum chaos terhadap penghentian

penyidikan tindak pidana pembunuhan pelaku begal di Nusa

Tenggara Barat?

B. Permasalahan Hukum Terkait Objek Penelitian

Penelitian yang akan penulis lakukan yakni penelitian mengenai

chaos legal theory terhadap penghentian penyidikan oleh Polda NTB dalam

kasus pembunuhan pelaku begal di NTB. Seperti yang diketahui bahwa

kasus pembunuhan pelaku begal di NTB pada bulan April 2022 telah

menyita perhatian masyarakat Indonesia setelah diangkat ke media dengan

headline “Korban jadi pelaku” yang kemudian memancing emosi

masyarakat dan menekan kepolisian untuk segera menghentikan proses

hukum terhadap pelaku.

Tindak pidana pembunuhan dua orang pelaku begal tersebut terjadi

di Desa Ganti, Kecamatan Praya Tumur, NTB yang terjadi pada dini hari

tanggal 10 April 2022. Dimana seorang warga bernama Amaq Sinta (AS)

melawan dua pelaku begal hingga tewas yang kemudian diindikasikan

sebagai tindakan pembelaan diri. Karena hal tersebut, Amaq Sinta

ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan/penganiayaan yang

mengakibatkan kematian oleh Satreskrim Polres Lombok Tengah.

1
Masyarakat memberikan kritik dan meminta kepolisian untuk

segera membebaskan Amaq Sinta setelah berbagai media mengangkat

terkait dengan kasus tersebut. Polda NTB kemudian mengambil alih kasus

tersebut pada tanggal 14 April 2022 dan tidak lama setelahnya, yakni pada

tanggal 16 April 2022 mengeluarkan surat penghentian penyidikan setelah

melakukan gelar perkara. Dimana alasan penghentian penyidikan tersebut

karena tidak ditemukannya unsur melawan hukum sehingga perbuatan

tersebut dinilai sebagai bentuk pembelaan terpaksa sebagaimana yang

diatur dalam Pasal 49 KUHP.

Dari kasus tersebut di atas, kita dapat melihat bagaimana kemudian

teknologi dan masyarakat mampu untuk merusak pola atau sistem dalam

hukum itu sendiri. Dan penegak hukum yang seolah tidak berdaya dan

mengikuti kemauan masyarakat yang sejatinya merupakan orang-orang

yang awam tentang hukum. Alasan penghentian penyidikan oleh kepolisian

dalam kasus di atas menurut penulis bertentangan dengan sistem atau pola

yang sudah diatur dalam norma hukum itu sendiri, serta tidak sesuai

dengan porsi atau pembagian peran para penegak hukum. Dimana yang

berhak untuk mempertimbangkan kemudian memutuskan mengenai suatu

tindakan dapat digolongkan sebagai pembelaan diri adalah hakim

pengadilan, bukan kepolisian. Kita dapat melihat bahwa hukum memang

tunduk pada kekuatan-kekuatan sentripetal yang menciptakan institusi

yang terorganisir, tetapi pada waktu yang sama juga tunduk pada kekuatan-

kekuatan sentrifugal yang menciptakan konflik dan ketidakteraturan

2
(disorder). Dalam hal ini teori chaos mencoba untuk menjelaskan realitas

yang terjadi tersebut dan melihat hukum dari sisi yang berbeda.

Penulis ingin mengkaji bagaimana analisis hukum pidana formil

atau hukum acara pidana terkait dengan alasan penghentian penyidikan

kasus pembunuhan begal di NTB. Sebagaimana yang penulis jelaskan di

atas bahwa penghentian penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian

menurut penulis tidak sesuai dengan hukum acara sebagaimana yang telah

diatur secara jelas dalam KUHAP serta apa yang telah ditetapkan dalam

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun

2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana.

Selanjutnya, penulis akan menganalisis apakah alasan

penghentian penyidikan yakni pembelaan terpaksa tersebut telah sesuai

dengan pembelaan terpaksa sebagaimana yang diatur dalam hukum

pidana. Karena, berdasarkan penelusuran penulis, pelaku yang dalam

wawancaranya dengan Kompas Tv pada tanggal 14 April 2022

menjelaskan bahwa pelaku mengejar korban kedua setelah membunuh

korban yang pertama. Tentunya, salah satu syarat suatu perbuatan dapat

dikategorikan sebagai pembelaan terpaksa yang kita ketahui dan kenal

dalam hukum pidana adalah adanya serangan, sementara dalam kasus ini,

pelaku mengejar kemudian membunuh korbannya yang kedua.

Terakhir, penulis akan menganalisis terkait penghentian penyidikan

ini menurut pandangan chaos legal theory untuk melihat apakah benar

terjadi kekacauan hukum terhadap dikeluarkannya SP3 dalam kasus ini

3
serta bagaimana kekacauan tersebut bisa terjadi dan bagaimana

penanganannya untuk mengembalikan situasi yang kacau atau tidak teratur

tersebut menjadi teratur. Ada tiga indikator yang akan penulis gunakan

untuk menjawab masalah ini, yakni ketidakteraturan dan ketidakpastian

dalam hubungan sosial, hubungan dalam masyarakat yang didasarkan

pada hubungan kekuatan, dan subjektifitas para pihak dalam

melaksanakan hukum.

Headline berita "korban jadi pelaku" benar-benar mempengaruhi

perspektif masyarakat awam terkait dengan penetapan Amaq Sinta sebagai

tersangka. Opini yang digiring solah-olah hanya ada satu kasus dimana

korban dijadikan pelaku dan begal yang selamat kemudian menjadi saksi.

Padahal sangat jelas ada dua jenis perkara pidana dalam hal ini, yaitu

penghilangan nyawa dan percobaan pencurian dengan pemberatan. Amaq

Sinta merupakan pelaku untuk tindakan penghilangan nyawa dan keempat

begal merupakan pelaku percobaan pencurian dengan pemberatan dimana

Amaq Sinta adalah korbannya.

Mengacu pada ketentuan penyidikan tindak pidana dalam KUHAP,

tepat ketika kemudian Amaq Sinta ditetapkan sebagai tersangka dan juga

proses penetapan tersangka yang terbilang cukup cepat. Kasus

penghilangan nyawa tersebut tidak memerlukan proses penyelidikan

karena sudah sangat jelas bahwa itu merupakan tindak pidana. Dimana

untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka, penyidik hanya

membutuhkan dua bukti yang cukup. Dalam hal ini, senjata dan keterangan

4
saksi sudah cukup untuk menetapkan Amaq Sinta sebagai tersangka, pun

ditambah dengan hasil visum et repertum.

Penggiringan opini masyarakat dengan headline berita yang

menjerumuskan serta ketidaktahuan masyarakat akan proses hukum

membuat masyarakat menuntut untuk pembebasan atas dasar keadilan

dan karena itu adalah sebuah pembelaan diri. Padahal, berdasarkan Pasal

7 ayat (1) huruf i Jo. Pasal 109 ayat (2) KUHAP, penyidik dapat

mengadakan penghentian penyidikan karna:

1) Tidak diperoleh cukup bukti,

2) Peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana,

3) Penghentian penyidikan demi hukum (nebis in idem dan daluarsa).

Kepolisian dalam tekanan masyarakat kemudian mengabulkan

keinginan masyarakat yang awam tentang hukum dengan mengeluarkan

surat penghentian penyidikan dengan alasan keadilan setelah melakukan

gelar perkara dimana ditemukan bahwa peristiwa penghilangan nyawa

yang dilakukan oleh Amaq Sinta merupakan pembelaan terpaksa. Keadilan

yang dimaksud oleh kepolisian didasarkan pada Pasal 30 PERKAP POLRI

Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana yang menyatakan

bahwa:

(1) Penghentian penyidikan dilakukan melalui Gelar Perkara,

(2) Penghentian penyidikan dapat dilakukan untuk memenuhi

kepastian hukum, rasa keadilan dan kemanfaatan hukum,

5
(3) Penghentian penyidikan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan

perundang-undangan.

Hal penting yang harus dicatat disini adalah bahwa hasil gelar

perkara yang bisa dijadikan dasar untuk menghentikan penyidikan

sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (2) PERKAP POLRI Nomor 6

Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana yaitu:

a. Merupakan tindak pidana, dilanjutkan ke tahap penyidikan,

b. Bukan merupakan tindak pidana, dilakukan penghentian

penyidikan,

c. Perkara tindak pidana bukan kewenangan Penyidik Polri, laporan

dilimpahkan ke instansi yang berwenang.

Penghilangan nyawa yang dilakukan oleh Amaq Sinta jelas

merupakan tindak pidana. Adapun untuk alasan pembenar ataupun alasan

pemaaf, baik itu berupa pembelaan diri, daya paksa, dan sebagainya

merupakan hal yang harus dibuktikan di persidangan, karena hakimlah

yang memiliki hak untuk mempertimbangkan mengenai hal tersebut. Maka

dapat dikatakan bahwa alasan kepolisian dalam mengeluarkan surat

penghentian penyidikan dalam perkara ini cacat hukum.

Ketidakteraturan hukum ini merupakan hal yang kontraks dengan

apa yang selama ini diyakini oleh para tokoh legal positivism yang

memandang hukum sebagai suatu sistem yang teratur. Padahal pada

kenyataannya, hukum juga penuh dengan ketidakteraturan.

6
Dalam teori chaos dikemukakan bahwa masyarakat pada dasarnya

tanpa sistem atau dalam kondisi yang asimetris/disorder dengan apa yang

disebut sebagai social melee (cair), dan hukum adalah bagian dari kondisi

masyarakat tersebut, hukum senantiasa dalam kondisi melee (legal melee).

Dan hubungan-hubungan yang terjadi dalam masyarakat pada dasarnya

menunjukkan adanya hubungan yang tidak simetris (asymmetries), karena

bagaimana pun hubungan-hubungan sosial selalu dipersepsikan secara

berbeda oleh para pihak. Dengan demikian apa yang dipermukaan tampak

tertib, teratur, jelas, pasti, sebenarnya penuh dengan ketidakpastian. Dalam

kasus ini kita dapat melihat bagaimana masyarakat secara bersama-sama

melawan apa yang telah ditetapkan oleh penegak hukum tanpa mengetahui

pola atau sistem yang sebenarnya terkait dengan proses hukum itu sendiri,

dan dengan tekanan tersebut, penegak hukum mengikuti kemauan

masyarakat dengan mengeluarkan surat penghentian penyidikan dengan

alasan demi keadilan karena tindakan yang dilakukan oleh Amaq Sinta

merupakan pembelaan terpaksa atau noodweer. Terlebih lagi dalam proses

penyidikan jelas alat buktinya belum sah, karena lagi-lagi hakimlah yang

berhak menilainya.

Teori hukum chaos membawa kita untuk menghadapi realitas yang

sedemikian kompleks seperti kasus tersebut di atas sebagai masalah

hukum dengan melihat dunia hukum sebagai sesuatu yang tidak selalu

harus dilihat semata-mata sebagai sebuah dunia yang serba tertib dan

teratur, melainkan harus pula dilihat dalam keadaan yang tidak beraturan

7
(kacau/chaos). Hukum tunduk pada kekuatan-kekuatan sentripetal yang

menciptakan institusi yang terorganisir, tetapi pada waktu yang sama juga

tunduk pada kekuatan-kekuatan sentrifugal yang menciptakan konflik dan

ketidakteraturan (disorder).

Power atau kekuatan media sosial dalam kendali masyarakat yang

mengangkat kasus tersebut menjadi konsumsi publik hingga dominannya

posisi masyarakat dalam mendesak penegak hukum untuk menghentikan

penyidikan yang kemudian dikabulkan oleh kepolisian merupakan situasi

yang menurut teori hukum chaos adalah situasi hukum yang kacau. Dan

sejatinya memang telah membuat kekacauan dalam hukum dimana pola

atau sistem tidak diikuti sebagaimana mestinya. Padahal, berdasarkan pola

atau sistem hukum yang ada, hakimlah yang memiliki hak untuk

mempertimbangkan ada tidaknya atau benar tidaknya tindakan tersebut

bisa digolongkan sebagai alasan pembenar ataupun alasan pemaaf, maka

proses penyidikan sampai pemeriksaan di sidang pengadilan harus terus

berlanjut sampai kemudian hakimlah yang akan menentukan apa tindakan

penghilangan nyawa tersebut adalah murni noodweer exces.

Keadaan yang kacau ini akan terus berlanjut pada kondisi yang

sama di masa depan jika tidak segera diperbaiki, sebagaimana yang

dikenal dalam teori hukum chaos sebagai butterfly effect. Maka langkah

yang paling tepat yang harus diambil oleh penegak hukum yakni dengan

mengedukasi masyarakat terkait dengan pola dan sistem hukum yang ada

dan telah diatur dengan sedemikian rupa. Tentu dengan melakukan

8
pendekatan untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat terlebih dulu.

Karena, sebagaimana dengan konsep yang diyakini dalam teori chaos

bahwa dalam kehidupan sosial terdapat kekuatan penarik (strange

attractor) yang mendorong terjadi keteraturan atau ketertiban.

Anda mungkin juga menyukai