Anda di halaman 1dari 4

Masalah Pelecehan dan Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus Maupun Dalam

Lingkup Kegiatan Mahasiswa di Luar Lingkungan Kampus

Oleh: Hasdiwanti
Nim: B012212024
Kelas: Politik Hukum A
Dosen: Prof. Dr. Achmad Ruslan, S.H.,M.H.
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas I Politik Hukum

Dalam tulisan ini, penulis akan mengemukakan terkait masalah pelecehan seksual di
lingkungan kampus maupun dalam lingkup kegiatan mahasiswa di luar lingkungan kampus yang
berorientasi pada pentingnya politik hukum atau kebijakan hukum pidana pada khususnya
terkait permasalahan tersebut. Jika menilik pada beberapa tahun terakhir, ada banyak sekali
tindak kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan yang dilakukan oleh berbagai
oknum. Hal ini mengindikasikan bahwa pelecehan dan tindak kekerasan seksual dapat terjadi
dimana saja, mulai dari lingkungan berbasis keagamaan, pendidikan, hingga pelayanan
kesehatan. Pun dapat dilakukan oleh siapa saja, baik itu oleh orang yang berprofesi sebagai
pemuka agama, pengajar, hingga polisi yang tentu saja memiliki tugas utama sebagai pengayom
masyarakat.
Khusus dalam tulisan ini, penulis akan berfokus pada masalah tindak kekerasan dan
pelecehan seksual dalam ranah pendidikan, tepatnya dalam lingkungan kampus maupun dalam
lingkup kegiatan mahasiswa diluar lingkungan kampus. Lebih jelasnya, berikut kasus-kasus
dugaan pelecehan seksual di kampus:
1. Universitas Riau
Di awal November 2021, akun Instagram milik Korps Mahasiswa Hubungan
Internasional Universitas Riau mengunggah video berisi pengakuan mahasiswi yang
dilecehkan oleh dekan FISIP. Saat bimbingan skripsi, pelaku diduga memaksa mencium pipi
dan kening korban. Bahkan sempat meminta mencium bibir, namun korban melawan.
2. Universitas Sriwijaya
Dosen di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unsri diduga melecehkan
beberapa mahasiswanya. Kasus ini bermula dari aduan anonim seorang mahasiswi di media
sosial Instagram Unsrifess pada 26 September 2021, setelah mendapat identitas mahasiswi,
BEM Unsri memfasilitasi pendampingan dan sudah direspon dekan fakultasnya. Kemudian
BEM Unsri kembali menerima 2 laporan baru kasus dugaan pelecehan terhadap mahasiswi
dari fakultas yang berbeda, namun dengan pelaku yang sama, pada 6 November 2021.
3. Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
Pada periode KKN UINAM Angk-68 mencuat dugaan kasus pelecehan seksual di tempat
KKN, tepatnya di daerah Sidrap yang dilakukan oleh seorang mahasiswa Fakultas Dakwah
dan Komunikasi terhadap 2 mahasiswi, masing-masing dari Fakultas Ushuluddin, Filsafat,
dan Ilmu Politik dan Fakultas Syariah dan Hukum. Mencuatnya berita ini diawali dengan
unggahan klarifikasi terduga pelaku di akun instagram aliansimahasiswauinan pada tanggal
20 Februari 2022 disusul dengan berita dari media kampus yakni Washillah, namun tidak
lama berita tersebut kemudian dicabut karena menimbulkan kegaduhan. Akibatnya, pelaku
dan 1 orang korban ditarik premature dari lokasi KKN.
Selain dari kasus-kasus yang disebutkan tersebut di atas, masih banyak sekali kasus
pelecehan dan kekerasan seksual yang terjadi, baik di lingkungan kampus maupun dalam lingkup
kegiatan mahasiswa yang dilakukan di luar lingkungan kampus. Kasus-kasus yang sama terus
saja terjadi dan bertambah, dan dari sekian banyak korban, hanya sedikit yang berani berbicara
atau melaporkan masalah kasus pelecehan atau kekerasan seksual yang dialaminya. Komisioner
Komnas Perempuan, Alimatul Qibtyah menyatakan bahwa salah satu alasan mengapa korban
enggan melaporkan tindakan pelecehan seksual yang dialami adalah karena tidak ada kebijakan
di kampus yang mampu menjamin bahwa pelaku tidak mengulangi perbuatannya dan tidak ada
kepastian soal pemulihan trauma yang dialami korban. Hal ini tentu saja dikarenakan rendahnya
perhatian hukum dalam ranah kekerasan seksual.
Dari ketiga kasus yang telah dipaparkan sebelumnya, sangat jelas bahwa korban tidak
akan bisa mengungkapkan terkait pelecehan yang dialaminya jika tanpa bantuan dari orang lain.
Bahkan setelah ada pendampingan pun, korban masih saja enggan berbicara lebih lanjut. Dan
pelaku tindak kekerasan atau pelecehan seksual bukan hanya datang dari kalangan dosen, tetapi
juga dari kalangan mahasiswa. Hal ini tentu saja sangat mencoreng wajah pendidikan tinggi.
Karena hal ini juga, dibutuhkan pemberian efek jera dan hukuman pidana demi memberikan
keadilan setinggi-tingginya bagi korban dan kemanfaatan sebesar-besarnya bagi semua pihak.
Memang, saat ini sudah ada Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 Tentang
Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Tetapi seperti
yang kita ketahui sendiri bahwa ini hanya sebuah peremen yang hanya boleh mengatur terkait
dengan sanksi administratif saja, dan tidak bisa mengatur terkait dengan sanksi pidana. Karena
sejatinya sesuai dengan asas “no punish without representative” maka pencantuman norma
sanksi pidana hanya diperbolehkan dengan persetujuan rakyat melalui DPR untuk undang-
undang. Sedang yang dibutuhkan dalam penanganan terkait dengan masalah pelecehan dan
kekerasan seksual di lingkungan kampus maupun dalam lingkup kegiatan mahasiswa di luar
lingkungan kampus adalah sanksi pidana yang tentu saja diatur dalam suatu undang-undang
hingga bisa memberikan efek jera bagi pelaku dan jaminan perlindungan hukum bagi korban.
Selain itu, hal utama yang juga dibutuhkan dalam penanganan pelecehan dan kekerasan seksual
ini yakni pemeriksaan yang tidak bertele-tele atau cenderung merugikan korban dan
membutuhkan waktu yang sangat lama. Atau dengan kata lain, dibutuhkan kebijakan kriminal
dari politik hukum pidana terkait permasalahan ini.
Politik hukum pidana dibutuhkan dalam permasalahan ini dikarenakan tindakan
pelecehan dan kekerasan seksual adalah salah satu bentuk kejahatan. Menurut Mahmud Mulyadi,
politik hukum pidana merupakan upaya menentukan kearah mana pemberlakuan hukum pidana
Indonesia di masa yang akan datang dengan melihat penegakkannya saat ini.1 Hal ini sejalan
dengan penjelasan Sudarto yang menyatakan bahwa politik hukum adalah:
a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan
situasi pada suatu saat;
b. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan
peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk
mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa
yang dicita-citakan.2
Dari penjelasan tersebut di atas maka sudah sangat jelas bahwa alangkah dibutuhkannya
politik hukum pidana demi memberikan perlindungan dan jaminan hukum bagi korban
kekerasan seksual dalam lingkungan kampus. Memang, saat ini sudah ada pula RUU

1
Mahmud Mulyadi, Criminal Policy:Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy Dalam
Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2008, hlm. 66.
2
Mawardi, Pelaksanaan Politik Hukum Pidana Dalam Penegakan Tindak Pidana Perdagangan Manusia,
Jurnal Kompilasi Hukum Volume 5 Nomor 2, Desember 2020, hlm. 319.
Penghapusan Kekerasan Seksual, namun mangkrak dalam pengesahannya. Selain itu,
dikarenakan ranah pendidikan tinggi adalah ranah yang cukup sensitif dan sangat berpengaruh,
maka memang butuh peraturan yang memang secara eksplisit mengatur terkait larangan dan
sanksi terkait tindak pelecehan dan kekerasan seksual dalam lingkungan pendidikan tinggi.
Terlebih jika kesempatan-kesempatan untuk melakukan tindak kejahatan tersebut berawal dari
kegiatan yang berhubungan dengan jabatan.

Anda mungkin juga menyukai