Anda di halaman 1dari 12

REALITA TINDAK LANJUT KASUS KEKERASAN SEKSUAL DI LINGKUNGAN

PERGURUAN TINGGI DI INDONESIA

Michael Angelo, Resinta, Keren Yustin Toding

Program studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin. Jl. Perintis
Kemerdekaan Km. 10 Tamalanrea, Makassar 90245

*e-mail: wantoromichael9@gmail.com

sintamalili07@gmail.com

kerenrande@gmail.com

ABSTRAK

Kekerasan seksual di lingkungan pendidikan, terutama di perguruan tinggi,


merupakan masalah serius. Dalam rentang 2015-2021, Komnas Perempuan mencatat 35
laporan kekerasan seksual di perguruan tinggi. Kekerasan berbasis gender terhadap
perempuan di perguruan tinggi mendominasi, dengan persentase kekerasan seksual mencapai
87,91%, diikuti oleh kekerasan psikis dan diskriminasi (8,8%) serta kekerasan fisik (1,1%).
Studi ini bertujuan untuk mengeksplorasi respons dan sanksi perguruan tinggi terhadap
kekerasan seksual serta upaya penanggulangannya. Metode penelitian yang digunakan adalah
metode penelitian normatif dengan melihat kembali kepada nilai-nilai norma atau hukum
yang berlaku. Dalam hal ini, hukum yang akan dikaji adalah Undang-Undang Peraturan
Menteri Pendidikan, Budaya, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang
Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Kata Kunci: Kekerasan seksual, perguruan tinggi, penanganan, undang-undang.


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam Bab 1 Pasal 1 Peraturan Menteri Pendidikan, Budaya, Riset, dan Teknologi
Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di
Lingkungan Perguruan Tinggi, dikemukakan definisi kekerasan seksual adalah setiap
perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau
fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang
berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik yang mengganggu kesehatan reproduksi
seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan
optimal.1

Dalam beberapa tahun terakhir telah kita lihat banyak terjadi kasus kekerasan seksual
dalam lingkungan perguruan tinggi. Seperti peristiwa pelecehan seksual yang dilakukan
oleh oknum dosen yang mengajar di fakultas teknik salah satu perguruan tinggi di
Makassar yang baru terungkap beberapa bulan yang lalu 2dan juga tindakan kekerasan
seksual yang dilakukan oleh seorang dosen fakultas ilmu sosial dan politik kepada salah
satu mahasiswi di salah satu perguruan tinggi yang terletak di Riau yang dimana dosen
tersebut berujung dibebaskan.3 Hal ini tentunya sangat memprihatinkan mengingat bahwa
seharusnya dengan diciptakannya undang-undang Permendikbudristek Nomor 30 Tahun
2021 yang mengatur tentang kasus kekerasan seksual oleh pemerintah, dunia perkuliahan
seharusnya menjadi sarana pendidikan yang aman dari kasus kekerasan seksual dimana
para mahasiswa bisa menempuh pendidikan dengan baik demi mempersiapkan diri dalam
mencapai cita-cita setelah lulus dari perguruan tinggi.
Jika kita melihat lebih dalam beberapa kasus yang telah berlalu, penegakan hukum
terhadap para korban dan pelaku kekerasan seksual masih belum optimal. Hal ini
disebabkan karena adanya perguruan tinggi yang berusaha menjaga nama baik dengan

1
Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang
Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi
2
Detik.com, “Oknum Dosen UNM Diduga Lecehkan Mahasiswi Saat Bimbingan Dinonaktifkan” (2022)
< https://www.detik.com/sulsel/hukum-dan-kriminal/d-6170016/oknum-dosen-unm-diduga-lecehkan-
mahasiswi-saat-bimbingan-dinonaktifkan > diakses 9 Oktober 2022
3
Suara.com, “Dosen Unri Pencabul Mahasiswi Divonis Bebas, Komisi III Sebut Putusan Hakim Bikin Korban
Lainnya Takut Melapor” (2022) < https://www.suara.com/news/2022/04/19/135215/dosen-unri-pencabul-
mahasiswi-divonis-bebas-komisi-iii-sebut-putusan-hakim-bikin-korban-lainnya-takut-melapor > diakses 9
Oktober 2022
melindungi pelaku sehingga tidak mengimplementasikan nilai-nilai peraturan hukum yang
berlaku. Dari data penelitian yang dilakukan Kemendikbudristek pada tahun 2021, 77%
dosen mengaku bahwa kekerasan seksual pernah terjadi di lingkungan perguruan tinggi
dan ada 63% kasus yang tidak terlapor. 4Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak korban
yang belum menerima penanganan yang sesuai sebagaimana diatur dalam
Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021.

Hal yang melatarbelakangi penulis untuk mengambil judul ini adalah langkah dan
tindakan yang diambil oleh pihak perguruan tinggi kadang tidak tepat dan tidak
mengimplementasikan nilai-nilai hukum dalam menangani masalah ini. Demi menjaga
nama baik perguruan tinggi, laporan tindakan kekerasan seksual yang diterima biasanya
tidak mendapat tanggapan. Seperti yang dapat lihat dalam kasus pelecehan yang terjadi di
salah satu perguruan tinggi di Riau dimana korban mahasiswi sudah melaporkan ke pihak
rektorat mengenai kekerasan seksual yang ia alami, namun pihak tidak segera mengambil
tindakan yang menuai gelombang protes dari kalangan mahasiswa. Kebanyakan kasus
tidak mendapat respon yang cepat karena sistem pelaporan dan sanksi bagi pelaku yang
kurang jelas, ditambah dengan tidak adanya bukti dokumentasi yang benar-benar
menunjukkan bahwa korban benar-benar mengalami kekerasan seksual. Ditambah lagi
jika para korban melapor, mereka harus menyaksikan kembali alur peristiwa kekerasan
seksual yang mereka alami di depan umum. Hal tersebut tentunya berdampak besar bagi
kondisi psikis korban.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis paparkan, maka penulis merumuskan
masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana selama ini pihak perguruan tinggi menindaklanjuti kasus kekerasan
seksual yang terjadi di lingkungan kampus?
2. Bagaimana sanksi yang dikenakan terhadap pihak perguruan tinggi yang tidak segera
menindaklanjuti laporan kekerasan seksual menurut hukum positif yang berlaku di
Indonesia?
3. Bagaimana tindakan yang seharusnya diambil oleh pihak perguruan tinggi menurut
hukum positif yang berlaku dalam menangani kekerasan seksual?
4
Kompasiana, “Menilik Kembali Pelecehan dan Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus” (2022) <
https://www.kompasiana.com/mesakh32918/62878f4b3623ae519d6d9712/menilik-kembali-pelecehan-dan-
kekerasan-seksual-di-lingkungan-kampus > diakses 9 Oktober 2022
C. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan pada studi ini adalah metode penelitan
secara normatif dan juga menggunakan studi kasus dalam studi ini.

D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah
untuk mengetahui realita kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan
perguruan tinggi di Indonesia, dan memberitahukan kepada masyarakat bahwa kasus
seperti ini masih sering terjadi dan mengetahui tindak lanjut dari pihak universitas
yang ada di Indonesia yang mengalami kasus ini. Serta melihat efektivitas dari
undang-undang yang berlaku saat ini.
BAB II
ISI

Seperti yang telah dipaparkan oleh penulis pada bagian pendahuluan, jumlah kasus
kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi di Indonesia yang belum
terselesaikan masih sangat banyak. Dalam beberapa kasus yang terjadi dalam beberapa
tahun terakhir, tindakan penanganan pihak perguruan tinggi atas kasus kekerasan seksual
yang terjadi bisa terbilang belum optimal. Beberapa kasus kekerasan seksual baru mencuat
ketika lembaga media dan pers sudah terlebih dahulu menyoroti kasus tersebut. Menurut
mantan Ketua Komnas Perempuan Azriana Rambe Manalu, kalau kekerasan seksual
terjadi antara sesama mahasiswa, biasanya pihak kampus akan lebih cepat bertindak.
Berbeda lagi jika pelakunya adalah dosen tenaga pendidik yang memiliki relasi kuasa
dalam pendidikan. 5Ada dua bentuk respon dari pihak perguruan tinggi dalam menghadapi
kasus kekerasan seksual. Yang pertama adalah dengan sengaja menutupi kasus dengan
tidak memproses laporan korban demi menjaga nama baik perguruan tinggi. 6 Dalam
beberapa kasus yang ada, bahkan korban disuruh untuk bungkam sedangkan pelaku diberi
kesempatan untuk bersaksi. Respon yang kedua adalah dengan memberikan keadilan
kepada korban dengan memproses laporan dan memberi sanksi yang pantas bagi pelaku
demi memulihkan nama baik korban. Sanksi yang berlaku tercantum dalam Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan lebih
spesifiknya bagi civitas akademika perguruan tinggi, tercantum dalam Permendikbudristek
Nomor 30 Tahun 2021. Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022, sanksi yang
diberikan bagi pelaku kekerasan seksual berupa hukuman kurungan penjara dan denda7.
Sanksi dalam Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 mengatur, jika pelaku kekerasan
seksual adalah mahasiswa, sanksi yang diberikan adalah dengan menonaktifkan status
pelaku sebagai mahasiswa di kampus tempat ia mengenyam pendidikan. Sanksi yang
diberikan jika pelakunya adalah guru atau dosen, maka menurut Undang-Undang No. 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, sanksi yang diberikan berupa teguran, peringatan
tertulis, penurunan pangkat, hingga pemberhentian dari jabatan secara tidak hormat. 8

5
Pusat Data dan Analisa Tempo, Catatan Komnas Perempuan Menyoroti Kasus Kekerasan Seksual, hlmn.
49
6
Nikmatullah, “Demi Nama Baik Kampus VS Perlindungan Korban” (2021), Qawwam, 46, 47
7
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual
8
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
Ada banyak isu-isu media yang mengatakan bahwa langkah-langkah yang diterapkan
pihak perguruan tinggi masih kurang dalam menangani kasus kekerasan seksual. Langkah
tindakan yang dilakukan akan dinilai sesuai dengan implementasi hukum positif yang
berlaku jika setiap laporan yang masuk segera diproses dengan cepat demi terciptanya
keadilan bagi korban kekerasan seksual dan sanksi tegas bagi para pelaku kekerasan
seksual di lingkungan perguruan tinggi. Sebagaimana yang telah tercantum dalam
Pemendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021, akan dikenakan sanksi administratif bagi
pelaku kekerasan seksual. Jenis sanksinya ada 3, yang pertama yaitu sanksi administratif
ringan dimana sanksinya berupa teguran tertulis atau pernyataan permohonan maaf secara
tertulis yang dipublikasikan di lingkungan internal kampus atau media massa. Sanksi
administratf sedang berupa pemberhentian sementara dari jabatan, tanpa memperoleh hak
jabatan, atau pengurangan mahasiswa dan sanksi skorsing, yaitu pelaku mahasiswa tidak
diperbolehkan mengikuti kegiatan pembelajaran di kampus untuk sementara waktu,
pencabutan beasiswa, atau pengurangan hak lain. Yang terakhir ada sanksi administratif
berat yang sanksinya berupa pemberhentian tetap sebagai mahasiswa, pemberhentian dari
jabatan, tenaga, dan warga kampus sesuai ketentuan aturan perundang-undangan. Bagi
Perguruan Tinggi yang terdapat tidak melakukan tindakan penanganan, maka seperti yang
tercantum dalam Pasal 19 Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 akan diberikan
sanksi berupa penghentian bantuan keuangan dari pemerintah dan penurunan tingkat
akreditasi perguruan tinggi. 9
Selain mengatur mengenai sanksi bagi pelaku kekerasan seksual dan pihak kampus
yang mengabaikan laporan kasus, Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 juga
mengemukakakan mengenai bagaimana tindakan penanganan dan pemulihan yang
seharusnya dilakukan oleh pihak kampus terhadap laporan tindak kekerasan seksual yang
terjadi. Dalam Pasal 10 Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021, dikemukakan bahwa
perguruan tinggi wajib melakukan penanganan kekerasan seksual melalui pendampingan,
pelindungan, pengenaan sanksi administratif, dan pemulihan korban. Tindakan
pendampingan yang dilakukan pihak kampus telah dijabarkan lebih dalam di Pasal 11.
10
Pendampingan yang diberikan dari pihak kampus kepada korban berupa konseling,

9
Kementerian Pendidikan, Riset, Teknologi, dan Kebudayaan, “Kampus Medeka dari Kekerasan Seksual”
(2021) <https://merdekadarikekerasan.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2021/11/MB14-Kampus-
Merdeka-dari-Kekerasan-Seksual.pdf > diakses 10 Oktober 2022
10
Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang
Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi
layanan kesehatan, bantuan hukum, advokasi, dan bimbingan secara sosial maupun rohani.
Jika korban merupakan penyandang disabilitas, maka pihak kampus memiliki kewajiban
untuk memperhatikan kebutuhan korban. Pendampingan dilakukan jika ada persetujuan
dari pihak korban atau saksi, namun jika korban sedang dalam kondisi tidak dapat
memberikan persetujuan, maka persetujuan dapat diberikan oleh orang tua, pendamping,
atau wali korban. Pasal 12 Permendikbudristek menjelaskan mengenai tindakan
perlindungan dari pihak kampus. Perlindungan yang diberikan dari pihak kampus berupa
jaminan keberlanjutan untuk menyelesaikan pendidikan bagi mahasiswa, jaminan
keberlanjutan pekerjaan bagi pendidik atau tenaga kependidikan perguruan tinggi yang
bersangkutan, jaminan perlindungan dari ancaman fisik dan nonfisik dari pihak pelaku
atau pihak lain dengan memberikan fasilitas pelaporan jika terjadi ancaman, perlindungan
atas kerahasiaan identitas, perlindungan dari perilaku yang bersifat merendahkan dari
aparat penegak hukum selama proses, perlindungan atas korban atau pelapor dari tuntutan
pidana, penyediaan rumah aman bagi korban, dan perlindungan atas keamanan yang
berkenaan dengan kesaksian yang diberikan. Pengenaan sanksi administratif diatur dari
Pasal 13 hingga Pasal 19 Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021. Sanksi administratif
yang diberikan untuk pelaku dari pihak kampus dari berupa teguran, hingga pencabutan
status dan pemberhentian jabatan. Sedangkan untuk pihak kampus sanksi yang diberikan
berupa penghentian bantuan berupa keuangan atau sarana dan prasarana untuk perguruan
tinggi dan penurunan tingkat akreditas perguruan tinggi.
Setelah tindakan penanganan pihak kampus harus segera melakukan tindakan
pemulihan demi memulihkan luka fisik atau psikis yang terdapat pada korban setelah
mengalami kekerasan seksual. Merujuk pada Pasal 20 sampai Pasal 22
Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021, tindakan pemulihan korban kekerasan seksual
dapat berupa tindakan medis, terapi fisik dan psikologis, dan bimbingan sosial atau rohani
dengan melibatkan dokter atau tenaga kesehatan lain, konselor, psikolog, tokoh
masyarakat, pemuka agama, atau pendamping lainnya sesuai kebutuhan korban.
Pemulihan korban hanya dapat dilakukan atas dasar persetujuan korban kekerasan seksual.
Dalam alinea keempat dijelaskan jika saksi pelapor juga berhak mendapatkan pemulihan
apabila terjadi stres traumatis atas persetujuan saksi. Pasal 21 menegaskan bahwa masa
pemulihan korban kekerasan seksual tidak mengurangi haknya dalam proses
pembelajaran, hak kepegawaian, atau hak lain sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan. Dalam Pasal 22, dikemukakan bahwa jika korban atau saksi berstatus
masyarakat umum, Perguruan Tinggi dapat melakukan tindakan penanganan berupa
pendampingan, perlindungan, dan pemulihan korban atau saksi kekerasan seksual dengan
mengikutsertakan lembaga dinas yang membidangi penanganan kekerasan seksual. Jika
korban atau saksi masih dibawah umur, Perguruan Tinggi melakukan tindakan
penanganan dengan mengikutsertakan lembaga perlindungan anak.
Sudah terdapat beberapa perguruan tinggi yang berpartisipasi dalam mewujudkan visi
Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021. Seperti perguruan tinggi Universitas
Hasanuddin yang membuat lembaga Komite Anti Kekerasan Seksual Universitas
Hasanuddin yang bertugas menangani laporan yang masuk terkait tindakan kekerasan
seksual di lingkungan kampus. Komite Anti Kekerasan Seksual Unhas telah beberapa kali
menangani kasus pelecehan dan kekerasan seksual dengan melibatkan organisasi internal
fakultas dan dengan sigap mendengarkan tuntutan korban serta memberikan
pendampingan dan perlindungan yang dibutuhkan korban selama masa trauma.
Pembentukan komite atau badan dalam rangka menangani kasus kekerasan seksual
merupakan salah satu contoh implementasi Pasal ke-23 Permendikbudristek Nomor 30
Tahun 2021.11

11
SuaraSulsel.id, “Rektor Unhas Siap Wujudkan Kampus Bebas dari Kekerasan Seksual” (2022)
< https://sulsel.suara.com/read/2022/07/15/170247/rektor-unhas-siap-wujudkan-kampus-bebas-dari-
kekerasan-seksual > diakses 10 Oktober 2022
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kesimpulan dari tulisan ini adalah pihak perguruan tinggi memiliki peran yang penting
dalam melakukan penanganan kasus kekerasan seksual. Tindakan yang diambil akan
mempengaruhi kredibilitas dan nama baik perguruan tinggi. Itulah mengapa harus
dilakukan langkah yang tegas dan adil dalam menangani pelaku kekerasan seksual yang
benar menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku demi menjaga nama baik
perguruan tinggi dan korban dan juga demi menegakkan keadilan pada korban kekerasan
seksual di lingkungan kampus. Selama ini, tindakan yang diambil oleh pihak perguruan
tinggi dinilai belum optimal karena masih ada beberapa korban yang masih menuntut
haknya. Salah satu hal yang menjadi penyebab adalah pihak perguruan tinggi yang tidak
mengimplementasikan nilai-nilai hukum dalam menangani kasus dengan cara berusaha
menutupi kasus demi menjaga nama baik perguruan tinggi. Sanksi yang dikenakan bagi
perguruan tinggi yang tidak menangani laporan kasus kekerasan seksual adalah dengan
melakukan penghentian bantuan dana dari pemerintah dan penurunan akreditasi,
sebagaimana yang telah tercantum dalam Pasal 19 Permendikbudristek Nomor 30 Tahun
2021. Langkah tepat yang seharusnya diambil oleh pihak perguruan tinggi adalah dengan
langsung memproses laporan korban, melakukan penyelidikan mendalam, dan
mengenakan sanksi bagi para pelaku, serta mendampingi dan menjalankan proses
pemulihan bagi korban yang mengalami luka baik secara fisik atau psikis.

B. Saran
Perguruan Tinggi seharusnya menjadi lingkungan belajar yang aman dari berbagai
bentuk pelecehan atau kekerasan seksual. Membentuk badan atau lembaga yang
menangani kasus kekerasan seksual merupakan salah satu solusi yang patut diterapkan
karena sesuai dengan Pasal 23 Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021. Jika terjadi
kasus kekerasan seksual yang melibatkan pelajar atau tenaga pendidik kampus, badan
tersebut harus segera menanggapi laporan yang masuk dan memanggil pihak-pihak yang
terlibat seperti korban, saksi, pelapor, dan tersangka pelaku kekerasan seksual untuk
dimintai keterangan. Setelah memanggil semua pihak yang terlibat, akan dilakukan
penyelidikan lebih dalam mengenai laporan yang masuk. Pihak pelapor, saksi, dan korban
berhak mendapatkan pendampingan dan perlindungan selama proses penyelidikan
berlangsung. Jika pada akhirnya terbukti bahwa tersangka benar melakukan tindak
kekerasan seksual terhadap korban, maka pihak perguruan tinggi harus segera
menegakkan keadilan dengan memberikan sanksi bagi pelaku dengan mengikuti aturan
undang-undang yang berlaku. Setelah memberikan sanksi, tindakan pemulihan harus
segera dilakukan dengan tidak mengurangi hak korban atau saksi dalam kegiatan
pembelajaran agar dapat menghilangkan trauma yang ada akibat peristiwa yang dialami.
DAFTAR PUSTAKA

 Undang-undang
- Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual
- Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
- Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan
Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
 Buku
- Pusat Data dan Analisa Tempo, Catatan Komnas Perempuan Menyoroti Kasus Kekerasan
Seksual (TEMPO Publishing 2022) 49.
 Jurnal
- Nikmatullah N, “Demi Nama Baik Kampus VS Perlindungan Korban”, (2021), Qawwam, 46,
47.
 Website
- Detik.com, “Oknum Dosen UNM Diduga Lecehkan Mahasiswi Saat Bimbingan
Dinonaktifkan” (2022)
https://www.detik.com/sulsel/hukum-dan-kriminal/d-6170016/oknum-dosen-unm-diduga-
lecehkan-mahasiswi-saat-bimbingan-dinonaktifkan?
utm_source=copy_url&utm_campaign=detikcomsocmed&utm_medium=btn&utm_conten
t=sulsel diakses 8 Juni 2023.
- Suara.com, “Dosen Unri Pencabul Mahasiswi Divonis Bebas, Komisi III Sebut Putusan
Hakim Bikin Korban Lainnya Takut Melapor” (2022)
https://www.suara.com/news/2022/04/19/135215/dosen-unri-pencabul-mahasiswi-divonis-
bebas-komisi-iii-sebut-putusan-hakim-bikin-korban-lainnya-takut-melapor
- Kompasiana, “Menilik Kembali Pelecehan dan Kekerasan Seksual di Lingkungan
Kampus” (2022)
https://www.kompasiana.com/mesakh32918/62878f4b3623ae519d6d9712/menilik-
kembali-pelecehan-dan-kekerasan-seksual-di-lingkungan-kampus diakses 9 Juni 2023.
- SuaraSulsel.id, “Rektor Unhas Siap Wujudkan Kampus Bebas dari Kekerasan Seksual”
(2022) https://sulsel.suara.com/read/2022/07/15/170247/rektor-unhas-siap-wujudkan-
kampus-bebas-dari-kekerasan-seksual diakses 9 Juni 2023.
- Kementerian Pendidikan, Riset, dan Teknologi, “Kampus Merdeka dari Kekerasan
Seksual” (2021)
https://merdekadarikekerasan.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2021/11/MB14-
Kampus-Merdeka-dari-Kekerasan-Seksual.pdf diakses 9 Juni 2023.

Anda mungkin juga menyukai