Anda di halaman 1dari 3

PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KEKERASAN SEKSUAL DI LINGKUNGAN

PERGURUAN TINGGI

Pendidikan tinggi merupakan batuloncatan, maka setiap kampus di Indonesia harus


merdeka dari segala bentuk kekerasan dan menjadi lingkungan yang kondusif bagi
mahasiswa untuk mengembangkan potensinya (Nadiem Makarim: Menteri Pendidikan,
Kebudayaan,Riset, dan Teknologi Republik Indonesia).
Topik mengenai kekerasan seksual di lingkungan Perguruan Tinggi menjadi sangat
penting untuk dibahas. Berdasarkan riset dan berita ditemukan bahwa 88% dari total kasus
yang diadukan ke Komnas Perempuan (2020) merupakan kasus kekerasan seksual yang
terjadi di lingkungan pendidikan. Dari kasus yang diadukan selama tahun 2015-2021
ditemukan data bahwa 35% dari universitas, 16% dari pesantren atau pendidikan berbasis
Islam, 15% tingkat SMU/SMK, dan 11% di tingkat pendidikan lainnya. Sedangkan
berdasarkan dari survey dan data, ditemukan bahwa 77% dosen menyatakan kekerasan
seksual pernah terjadi di kampus dan 63% dari mereka tidak melaporkan kasus yang
diketahuinya kepada pihak kampus (Ditjen Dikristek, 2020).
Berdasarkan Pasal 1 Permendikbud Nomor 32 Tahun 2015, tidak kekerasan adalah
perilaku yang dilakukan secara fisik, psikis, seksual, dalam jaringan (daring), atau melalui
buku ajar yang mencerminkan tindakan agresif dan penyerangan yang terjadi di lingkungan
satuan pendidikan dan mengakibatkan ketakutan, trauma, kerusakan barang, luka/cedera,
cacat, dan atau kematian. Sedangkan berdasarkan Pasal 1 Permendikbudristek Nomor 30
Tahun 2021, kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina,
melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena
ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan
psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang
kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.
Pada Pasal 6 Permendikbud Nomor 32 Tahun 2015 dijelaskan bahwa pelecehan
merupakan tindakan kekerasan secara fisik, psikis atau daring. Pencabulan merupakan
tindakan, proses, cara, perbuatan keji dan kotor, tidak senonoh, melanggar kesopanan dan
kesusilaan. Sedangkan pemerkosaan merupakan tindakan, proses, perbuatan, cara
menundukkan dengan kekerasan, memaksa dengan kekerasan, dan/atau menggagahi.
Sedangkan pada Pasal 5 Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021, kekerasan seksual
mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan atau melalui teknologi
informasi dan komunikasi.
Kekerasan seksual di perguruan tinggi adalah masalah serius yang mempengaruhi
banyak mahasiswa. Penting bagi perguruan tinggi dan universitas untuk mengambil
pendekatan proaktif untuk mencegah kekerasan seksual dan menanggapinya ketika itu terjadi.
Berikut adalah beberapa langkah kunci yang dapat diambil oleh institusi pendidikan tinggi:
1. Mengembangkan dan Menerapkan Kebijakan Komprehensif:
Lembaga harus mengembangkan kebijakan komprehensif yang secara jelas
mendefinisikan kekerasan seksual, menguraikan prosedur pelaporan, dan menjelaskan
konsekuensi dari melakukan kekerasan seksual. Kebijakan ini harus dikomunikasikan
kepada semua mahasiswa, pengajar, dan staf, dan tersedia di situs web institusi.
2. Memberikan Pendidikan dan Pelatihan:
Institusi pendidikan tinggi harus memberikan pendidikan dan pelatihan berkelanjutan
kepada mahasiswa, dosen, dan staf tentang pencegahan dan penanganan kekerasan
seksual. Ini dapat mencakup informasi tentang definisi kekerasan seksual, cara
mengenali dan melaporkannya, dan cara mendukung penyintas.
3. Ciptakan Lingkungan yang Mendukung:
Lembaga harus berusaha untuk menciptakan lingkungan yang mendukung bagi para
penyintas kekerasan seksual. Hal ini dapat mencakup penyediaan layanan konseling
dan dukungan, menciptakan ruang aman di kampus, dan memastikan bahwa penyintas
tidak dibalas karena melaporkan kekerasan seksual.
4. Menanggapi Secara Efektif:
Lembaga harus memiliki tanggapan yang kuat dan efektif terhadap kekerasan seksual.
Ini termasuk memberikan dukungan kepada para penyintas, melakukan penyelidikan
menyeluruh, dan mengambil tindakan disipliner yang sesuai terhadap para pelaku.
5. Berkolaborasi dengan Mitra Masyarakat:
Lembaga harus bekerja sama dengan organisasi masyarakat lokal dan penegak hukum
untuk mencegah dan menanggapi kekerasan seksual. Ini dapat mencakup bekerja
dengan pusat krisis pemerkosaan, penegakan hukum, dan organisasi lain untuk
memberikan dukungan dan layanan kepada para penyintas.
6. Evaluasi dan Pembaruan Kebijakan Secara Teratur: Perguruan tinggi harus secara
teratur mengevaluasi dan memperbarui kebijakan dan prosedur terkait kekerasan
seksual. Ini dapat mencakup meninjau kebijakan, prosedur, dan layanan untuk
memastikan bahwa mereka efektif dan mutakhir dengan penelitian terkini dan praktik
terbaik.
Dengan mengambil langkah-langkah ini, perguruan tinggi dapat membantu mencegah
kekerasan seksual dan menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi semua
mahasiswa.

Anda mungkin juga menyukai