Anda di halaman 1dari 14

2.

PENEGAKKAN ATURAN PENCEGAHAN KEKERASAN SEKSUAL DI PESANTREN


Upaya-upaya pencegahan agar kasus pelecehan di pesantren tidak terulang :
-Edukasi tentang seksualitas harus dilakukan sejak dini, bagaimana seorang anak harus bisa menjaga tubuhnya, menjaga
pandangan, menjaga kemaluan. Edukasi ini dilakukan sebelum anak masuk ke pesantren.
-Sadarkan keluarga terutama anak-anak untuk mengenali situasi potensial yang dapat menyeret ke jurang pelecehan.
-Jangan segan dan sungkan membahas masalah pelecehan seksual yang muncul di pemberitaan media massa.
-Latih diri dan anak-anak untuk dapat bersikap tegas walau mungkin itu bertentangan dengan karakternya.
-Anak wajib dilatih keterampilan menghadapi dan menyelesaikan masalah. Caranya dengan menghadapkan anak dengan
permasalahan sehari-hari, orangtua mengontrol apa saja yang akan dilakukan anak bila menghadapi masalah.
-Cerdas memilih lembaga pendidikan bagi anaknya. Banyak aspek yang perlu dipertimbangkan mulai dari biaya, fasilitas,
metode belajar, asal usul pendidikan guru, pendiri, yayasan, hingga legalitas lembaga.
Keterampilan dan keberanian ini bisa menjadi modal anak ketika menghadapi masalah. Tugas orangtua adalah
memberi kesempatan anak untuk terampil menyelesaikan masalahnya, bukan mengambil alih masalah anak. Mengambil
alih masalah anak ini membuat anak tidak mandiri dalam menghadapi kesulitan.
Dari Sisi Aturan Pesantren
-Orangtua perlu memastikan bahwa pesantren yang hendak dimasuki memiliki aturan terkait kekerasan yang disepakati
saat mendaftar. Aturan harus bersifat jelas dan masuk akal.
“Sehingga ada kepercayaan serta tanggung jawab antara sesama murid dan guru untuk selalu berperilaku baik.”
-Orangtua dan anak harus tahu alur pelaporan ketika terjadi kekerasan. Kepada siapakah anak/siswa akan mencari
perlindungan serta melapor ketika dia merasakan ada tindak kejahatan.
-Sosialisasi terus menerus sehingga anak/siswa merasa bahwa melaporkan sebuah kasus kekerasan adalah hal yang
harus dilakukan.
-Komunikasi terbuka antara anak, orangtua serta guru. Hal ini berfungsi sebagai kontrol sosial. Komunikasi tidak bisa
hanya dilakukan oleh orangtua dan guru saja, karena kondisi psikis anak tetap harus terjaga dan terkontrol dengan
komunikasi langsung (menggunakan sambungan telepon). Suara, kata-kata, intonasi akan menunjukkan kondisi psikis
anak ketika berjauhan dengan orangtua
-Kerja sama dengan aparat penegak hukum serta penegakan aturan yang seadil-adilnya.
Berikut aturan penanganan kekerasan seksual di satuan pendidikan yang berada di bawah Kemenang berdasarkan
Peraturan Menteri Agama RI Nomor 73 Tahun 2022.
Aturan Pelaporan Kekerasan Seksual di Madrasah & Pesantren
Laporan kekerasan seksual paling sedikit memuat keterangan mengenai:
- Identitas pelapor
- Identitas korban
- Identitas terduga pelaku
- Jenis kekerasan seksual yang terjadi
- Waktu dan tempat kejadian.
- Pihak lain yang terkait.
Pelindungan diberikan sepanjang pihak terlindung berasal dari satuan pendidikan yang bersangkutan
Pelindungan diberikan dalam bentuk:
- Pelindungan atas kerahasiaan identitas
- Penyediaan informasi mengenai hak dan fasilitas pelindungan
- Penyediaan akses terhadap informasi penyelenggaraan pelindungan
- Jaminan keberlanjutan untuk menyelesaikan pendidikan bagi peserta didik
- Jaminan keberlanjutan pekerjaan sebagai pendidik dan/atau tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang
bersangkutan, dan atau pelindungan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
Pelindungan anak yang berkonflik dengan hukum atau anak sebagai pelaku meliputi:
- Pelindungan atas kerahasiaan identitas
- Jaminan keberlanjutan untuk menyelesaikan pendidikan bagi peserta didik
- Perlakuan secara manusiawi.
Aturan Pendampingan dalam Penanganan Kekerasan Seksual di Madrasah & Pesantren
Pimpinan satuan pendidikan melakukan pendampingan oleh pendamping terhadap saksi, korban, dan anak Pelaku
Kekerasan Seksual. Pendampingan meliputi konseling, layanan kesehatan, bantuan hukum, dan layanan rehabilitasi.
Bila satuan pendidikan tidak dapat menyediakan pendamping, pimpinannya berkoordinasi dan bekerja sama dengan:
- Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
- Perguruan tinggi
- Unit teknis pemerintah daerah yang menangani pelindungan anak
- Dinas kesehatan
- Dinas sosial
- Organisasi profesi
- Lembaga bantuan hukum
- Lembaga penyedia layanan pelindungan anak berbasis masyarakat
- Organisasi kemasyarakatan keagamaan
- Lembaga keagamaan
- Unsur lain.
Bila saksi atau korban merupakan penyandang disabilitas, pendampingan dilakukan dengan memperhatikan
kebutuhan penyandang disabilitas.
Aturan Penindakan Kekerasan Seksual di Madrasah & Pesantren
Pimpinan satuan pendidikan melakukan penindakan terhadap terlapor kekerasan seksual yang dilakukan oleh
pendidik, tenaga Kependidikan, dan peserta didik yang berusia lebih dari 18 tahun.
Penindakan dilakukan dalam bentuk:
- Pembebasan sementara dari tugas dan/atau jabatannya
- Pembebasan sementara dari layanan pendidikan terlapor.
Sanksi Pelaku Kekerasan Seksual di Sekolah di Madrasah & Pesantren
-Pengenaan sanksi administratif bagi pelaku kekerasan seksual yang berstatus sebagai PNS dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang undangan mengenai disiplin PNS.
-Pengenaan sanksi administratif bagi pelaku kekerasan seksual yang tidak berstatus sebagai PNS dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan yang diatur oleh penyelenggara satuan pendidikan.
-Pimpinan satuan pendidikan juga wajib melaporkan pelaksanaan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual
minimal 1 kali setahun.
1. Fokus Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 adalah Kekerasan Seksual
- Pasal 1, definisi kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang
tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau
dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan
hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.
2. Prioritaskan Hak Korban
Perlindungan dan hak korban menjadi prioritas utama dalam Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021. "Target dari
Permendikbud ini adalah melindungi puluhan ribu bahkan ratusan ribu korban dan untuk mencegah terjadinya
kontinuasi daripada korban-korban ini,"
3. Sasaran Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021
sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 antara lain:
a. Mahasiswa;
b. Pendidik;
c. Tenaga Kependidikan;
d. Warga Kampus; dan
e. Masyarakat umum yang berinteraksi dengan Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan dalam pelaksanaan
Tridharma.
Bentuk Kekerasan Seksual
Secara spesifik, terdapat 21 bentuk kekerasan seksual dalam Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 sebagaimana
tercantum dalam Pasal 5 :
1. Menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender
korban;
2. Memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan korban;
3. Menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada korban
4. Menatap korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman;
5. Mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada korban meskipun sudah
dilarang korban;
6. Mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual korban yang bernuansa
seksual tanpa persetujuan korban;
7. Mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban;
8. Menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban;
9. Mengintip atau dengan sengaja melihat korban yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi dan/atau pada ruang
yang bersifat pribadi;
10. Membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan
seksual yang tidak disetujui oleh korban;
11. Memberi hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual;
12. Menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada
tubuh Korban tanpa persetujuan korban;
13. Membuka pakaian korban tanpa persetujuan korban;
14. Memaksa korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual;
15. Mempraktikkan budaya komunitas mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan yang bernuansa kekerasan
seksual;
16. Melakukan percobaan perkosaan, namun penetrasi tidak terjadi;
17. Melakukan perkosaan termasuk penetrasi dengan benda atau bagian tubuh selain alat kelamin;
18. Memaksa atau memperdayai korban untuk melakukan aborsi;
19. Memaksa atau memperdayai korban untuk hamil;
20. Membiarkan terjadinya kekerasan seksual dengan sengaja;
21. Melakukan perbuatan kekerasan seksual lainnya

. Penanganan yang Wajib Dilakukan


a. Pendampingan
Pendampingan berupa konseling, layanan kesehatan, bantuan hukum, advokasi, dan/atau bimbingan sosial dan rohani.
b. Perlindungan
Jaminan keberlanjutan pendidikan atau pekerjaan, penyediaan rumah aman, dan korban atau saksi bebas dari ancaman
yang berkaitan dengan kesaksian yang diberikan.
c. Pengenaan sanksi administratif
Sanksi terdiri dari tiga golongan, yaitu ringan, sedang, dan berat. Bentuk sanksi yang dijatuhkan dilakukan secara
proporsional dan berkeadilan sesuai rekomendasi satuan tugas. Selain itu, sanksi yang diberikan tidak mengesampingkan
peraturan lain.
d. Pemulihan korban
Melibatkan psikolog, tenaga medis, pemuka agama, dan organisasi pendamping korban. Masa pemulihan tidak
mengurangi hak pembelajaran dan/atau kepegawaian.
Dilansir dari laman Databoks Indonesia (2022), Komnas Perempuan mencatat bahwa selama periode 2017-2021,
kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan yang terjadi di pondok pesantren merupakan kasus kekerasan
tertinggi kedua (16 kasus) setelah lingkup perguruan tinggi (35 kasus).
Pada kasus yang terjadi di lingkup pondok pesantren, ditemukan bahwa mayoritas pelaku menduduki posisi
petinggi. Sebagaimana dilaporkan oleh BBC News (2023), pada awal 2023 telah terungkap setidaknya empat kasus
kekerasan seksual di pondok pesantren yang berlokasi di Lampung dan Jember dengan mayoritas pelaku adalah ketua
atau pimpinan pondok pesantren itu sendiri.
Kasus yang inkrah pada pertengahan Januari 2023 ini diproses sejak Februari 2022 ketika dilaporkan oleh orang
tua korban setelah korban menceritakan tindakan pelaku kepada keluarganya. Pelaku akhirnya diputus dengan hukuman
pidana 8 tahun penjara dan denda 50 juta subsider 2 bulan kurungan. Terhadap putusan kasus ini, juga dikabulkan
restitusi (ganti rugi) bagi korban sebesar 16.645.000. Adapun hukuman ini dijatuhkan atas dasar Pasal 82 ayat (1) dan
ayat (2) UU Perlindungan Anak (berlaku bagi anak di bawah 18 tahun) yang berbunyi:
-Ayat (1), “Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah).
-Ayat (2), “Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak,
pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).”
-keterangan Pasal 76E sebagaimana tercantum pada Pasal 81 Ayat (1) adalah sebagai berikut:
“Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan
serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.”
kasus-kasus kekerasan seksual di pesantren biasanya memiliki karakter sendiri, di mana pelakunya mencari
pembenaran atas perilakunya melalui tafsir agama yang keliru. Misalnya, pada kasus di Kabupaten Tulang Bawang Barat,
ketua pondok pesantren berinisial AA melecehkan enam santrinya. Tiga orang di antaranya diperkosa dengan dalih
mendapat berkah dari Tuhan jika melayaninya. Terlebih, ketika pelaku adalah pimpinan, umumnya merupakan sosok
yang dihormati, sehingga korban berpikir ulang untuk melapor
Tidak berhenti di situ, dalam lingkungan pondok pesantren juga terdapat prinsip sami’na wa atha’na yang berarti
“kami mendengar dan kami patuh”. Prinsip ini mengatur tentang adab yang sebetulnya tidak hanya mengenai adab
seorang santri terhadap kyai, tetapi juga anak terhadap orang tua, selama dalam hal kebaikan. Salah satunya pada kasus
di satu pesantren di Solo pada 2018, di mana petinggi pesantren melakukan modus terhadap santrinya untuk menghafal
kitab suci di ruang tertutup dengan melakukan ritual yang disebutnya dengan ‘ritual pembersihan vagina’. Selain itu, juga
pada kasus Moch Subchi Azal Tzani (Bechi), anak kandung pengasuh dari salah satu pesantren di Jombang, yang
menyebarkan doktrin mengenai vagina sebagai jalan mulia yang tidak boleh dimasuki orang lain kecuali dirinya. Ia juga
menggunakan ilmu metafakta (kesaktian untuk menyembuhkan penyakit dan mengabulkan keinginan) sebagai modus
dalam melakukan kekerasan seksual.
Prinsip Pencegahan: Regulasi dan Edukasi
Pada Oktober 2022 lalu, Kementerian Agama menerbitkan Peraturan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 2022 tentang
Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama sebagai respons atas
terungkapnya kasus pemerkosaan pimpinan sebuah pondok pesantren di Bandung, Herry Wirawan kepada 13
santriwatinya. Dalam regulasi ini telah diatur mulai dari pelaporan, perlindungan, pendampingan, penindakan, hingga
pemulihan korban.
Prinsip Penanganan:
Dalam penanganan, pendamping perlu mengedepankan esensi pendampingan korban yang setidaknya mencakup lima
hal berikut:
1) meminimalisir resiko; 2) memulihkan dampak; 3) memenuhi rasa keadilan; 4) mengembalikan keberfungsian hidup,
dan; 5) sumber data advokasi kebijakan dan mitigasi.
Adapun dalam mengupayakan tercapainya esensi pendampingan korban beberapa hal yang perlu dilakukan sebagai
berikut:
1. Berjejaring
Kerja sama di sini diperlukan untuk menciptakan support system yang mampu mengakomodasi segala kebutuhan
korban dalam proses pendampingan. Adapun pihak-pihak yang terlibat mencakup pihak pemerintahan, maupun
lembaga swadaya masyarakat, antara lain:
 Dinas Sosial
 P2T2PA (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak)
 LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban)
 Kepolisian
 DP3AP2 (Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk)
 KemenPPPA (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak)
 Forum Pengada Layanan
 Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan
 KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia)
2. Membangun perspektif gender pada seluruh pihak terkait
Dukungan yang baik dari berbagai pihak memerlukan perspektif gender yang baik pula pada pihak-pihak yang terlibat.
Maka, upaya edukasi mengenai wawasan gender menjadi perlu  agar penanganan kasus mempertimbangkan sudut
pandang korban yang berposisi sebagai anak dan sebagai perempuan.
3. Menerapkan strategi advokasi yang berkelanjutan
Selain pendampingan hukum, penanganan kasus kekerasan seksual juga disertai pendampingan pada aspek:
-Psikologis
-Psikososial
-Pendidikan (memastikan korban dapat melanjutkan pendidikannya dengan aman dan nyaman)
Hal ini penting dilakukan untuk mengembalikan keberfungsian hidup korban dan terpenuhinya hak korban sebagai anak.
-Memperhatikan keputusan terbaik bagi korban
Segala tindakan yang dilakukan pendamping memerlukan persetujuan (consent) dengan korban dan keluarganya.
Pendamping perlu terbuka terhadap suara korban dan keluarganya.
-Memastikan putusan dapat berjalan
Berkaitan dengan strategi advokasi yang diterapkan, pendamping juga perlu memastikan bahwa putusan berjalan
sebagaimana mestinya, terutama untuk memenuhi rasa keadilan bagi korban dan memulihkan dampak yang dialami
korban.
Pesantren memiliki payung hukum tersendiri yang ditetapkan dengan Undang-Undang Pesantren Nomor
18 Tahun 2016 (UU Pesantren), yang memastikan bahwa mereka menjalankan fungsi pendidikan, dakwah
dan pemberdayaan di Indonesia. Tujuan lahirnya hukum tersebut yaitu untuk memperkuat keimanan,
ketakwaan, keluhuran dan budi pekerti. Namun keberadaan UU Pesantren tidak secara komprehensif
mengatur upaya mendorong dan mencegah kejahatan, seperti kejahatan seksual. Pesantren, meskipun
merupakan lembaga pendidikan yang memerlukan pendaftaran dan pemantauan khusus karena beberapa
sistem pendidikan pesantren ditutup dan lainnya terbuka.
Di dalam pesantren santriwati merupakan kelompok rentan menjadi korban kekerasan seksual karena
beberapa faktor yakni faktor situasional, personal, dan sosial.
- Faktor pribadi siswa adalah karena siswa masih anak-anak maka timbul rasa takut ketika siswa belum bisa mengambil
keputusan dan belum bisamengadu dan membela diri. Berdasarkan tipologi yang dikemukakan oleh VonHentig bahwa
perempuan,anak-anak, lanjut usia, dan penyandang disabilitas intelektual berisiko menjadi korban kejahatan.
Pencegahan pelecehan seksual terdiri dari beberapa faktor yakni:
1. Faktor Hukum
Menurut ketentuan Pasal 81 Ayat (1) UU 23 Tahun 2002 lampiran KUH Perdata 35 Tahun 2014, barangsiapa dengan
sengaja menggunakan kekerasan atau mengancam akan menggunakan kekerasan untuk memaksa seorang anak
melakukan persetubuhan dengan dirinya sendiri atau dengan orang lain, dipenjarakan. dengan jangka waktu paling lama
15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)
dan paling sedikit Rp60.000.000 (enam puluh juta rupiah).
Sedangkan Pasal 82 UU 23/2002 jo UU 35/2014 mengatur bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan
kekerasan atau mengancam akan menggunakan kekerasan, pemaksaan, penipuan, kebohongan massal atau membujuk
anak untuk melakukan atau melakukan perbuatan cabul dipidana. pidananya sama dengan yang diatur dalam Pasal 81.
Penjatuhan pidana terhadap pelaku dianggap terlalu ringan karena dampak yang diderita anak akibat kekerasan tersebut
sangat besar dan berlangsung seumur hidup pelaku
a. Faktor Penegak Hukum
1. Dikeluarkan dari ponpes
2. Diserahkan kedua orang tua
3. Diserahkan aparat setempat agar di tindak lanjuti sesuai aturan pemerintah
- “keberadaan pengasuh yang bertugas mengawasi gerak gerik dan aktivitas anak di
pesantren memiliki kontribusi penting dalam upaya pencegahan praktik pelecehan seksual terhadap anak”,
dan apabila ditemukan perilaku yang mencurigakan yang dilakukan oleh santri, melalui kewenangan yang
diberikan kepadanya dapat menegur dan memberikan sanksi bagi santri tersebut.
b. Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung
Salah satunya pemasangan CCTV di pondok pesantren yang ditempatkan di asrama santri agar dapat mendeteksi
perilaku yang tidak diinginkan. “Pemasangan CCTV di setiap sudut memberikan nilai yang positif dalam upaya
pencegahan praktik pelecehan seksual. CCTV menjadi bagian controlling yang dapat digunakan sebagai alat bantu di
pesantren”.
c. Faktor Masyarakat
Sejumlah besar kejahatan kekerasan seperti pembunuhan, pemerkosaan dan penyerangan telah dilakukan terhadap
perempuan. Kualitas perlindungan bagi perempuan dan anak harus setara dengan laki-laki dan orang dewasa.
Karena setiap orang sama di depan hukum (equality before the law).

Hambatan Dalam Upaya Penanggulangan Pelecehan Seksual antara lain:


1. Kurangnya pengawasan oleh manajemen keluarga terhadap pendidikan anak-anak, terutama di
pesantren-pesantren di seluruh dunia, karena tidak ada gerbang keamanan, sedikit perhatian diberikan
kepada anak-anak. Selain itu, dewan guru tidak dapat menciptakan suasana yang kondusif di lingkungan
Pondok. Dan terkadang para pengurus asrama cuek dengan perkembangan pendidikan santri,
menganggap bahwa masalah pendidikan adalah urusan pengurus asrama, mereka tidak
menyelesaikannya. Hal ini mengakibatkan program pondok tidak efektif dalam meremediasi kenakalan
remaja/siswa.
2. Kurangnya pengawasan orang tua terhadap kehidupan sosial siswa di masyarakat serta orang tua yang
perilakunya tidak sesuai dengan kewajibannya, siswa akan mencontoh tanpa disadari.
3. Semakin banyak tayangan televisi yang tidak mendidik seperti yang menampilkan adegan kekerasan,
pembunuhan, pelecehan seksual, dll. Hal ini akan berdampak buruk bagi perkembangan mental siswa.
4.Siswa sendiri atau pengurus kurang memiliki kesadaran untuk mematuhi peraturan dan ketentuan yang berlaku.
5. Tidak ada kamera pengintai di lingkungan pesantren
6. Tidak adanya aturan atau kebijakan atau mekanisme yang jelas dan memadai untuk mengaturnya
solusi yang dapat diajukan dalam rangka melawan pelecehan seksual, yaitu:
1. Memperdalam ajaran Islam. Hal ini dapat dilakukan dengan lebih meningkatkan kualitas pengajaran dengan
menekankan pengajaran yang bermakna.
2. Menjalin koordinasi yang baik antara guru, pengurus, pengurus, guru lainnya dan seluruh staf untuk kelancaran proses
belajar mengajar.
3. Terjalinnya hubungan kerjasama antara pondok pesantren dengan orang tua santri dilakukan melalui kunjungan guru
ke rumah orang tua atau pertemuan dengan tutor di pondok pesantren. Bagi keluarga untuk lebih aktif dalam pendidikan
fisik, mental dan sosial anak-anak mereka
4. Panel layanan pengaduan penyalahgunaan harus dipasang di rumah satuan pendidikan sehingga mudah diakses oleh
siswa, orang tua/guru, guru/administrator/tenaga kependidikan dan masyarakat.
5. harus mengembangkan dan menerapkan prosedur operasi standar (SOP) untuk mencegah tindakan kekerasan
berdasarkan pedoman yang dikeluarkan pemerintah
6. Melaksanakan sosialisasi di tempat penjualan untuk mencegah tindakan kekerasan terhadap siswa, guru, tenaga
kependidikan, orang tua/guru dan masyarakat
Orang tua menjadi ujung tombak perlindungan anak, tercantum dalam Undang-Undang tentang Hak Asasi
Manusia Pasal 26 ayat (2) yang berbunyi, “orang tua mempunyai hak pertama untuk memilih jenis pendidikan yang akan
diberikan pada anaknya”, artinya bahwa orang tua yang memutuskan tentang informasi maupun pendidikan yang terbaik
bagi anak-anaknya ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 sebagaimana diubah menjadi
UndangUndang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak Pasal 10 yang menyatakan bahwa “setiap anak berhak
menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat
kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan”.
Kekerasan seksual terhadap anak merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat dan harus ditempatkan
sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) karena kerusakan yang disebabkannya telah mengancam masa depan
generasi bangsa. Kekerasan seksual terhadap anak berarti juga telah merusak aset yang paling penting dan berharga dari
negara, karena masa depan negara digantungkan pada anak-anak di masa sekarang
A. Perlindungan dan Penegakan Hukum terhadap Kasus Kekerasan Seksual pada Anak Sebagaimana dalam ketentuan
Pasal 34 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 negara mempunyai kewajiban untuk melindungi harkat dan martabat
anak. Menurut Pasal 1 ayat (1) UU 23/ 2002 anak adalah seorang yang belum berusia delapan belas tahun termasuk
anak yang masih dalam kandungan. Adanya kesepakatan berbagai bangsa bahwa persoalan anak ditata dalam suatu
wadah yang disebut UNICEF (United International Children Educational of Fund), sejalan dengan UU 39/1999 Pasal 5
ayat (3) disebutkan bahwa kelompok rentan adalah orang usia lanjut, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil dan
penyandang cacat.
B. Dalam Pasal 3 UU 23/2002 jo UU 35/2014 mengandung aspek penting yaitu: terjamin dan terpenuhinya hak-hak
anak; terpenuhinya harkat dan martabat kemanusiaan; perlindungan anak dari kekerasan dan diskriminasi;
terwujudnya anak yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera. Sedangkan prinsip dasar konvensi hak-hak anak
meliputi: nondiskriminasi; kepentingan yang terbaik bagi anak; hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan
perkembangan; penghargaan terhadap pendapat anak
C. Dalam Pasal 59 UU 23/2002 jo UU 35/2014, dijelaskan bahwa pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban
dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus, yaitu: anak dalam situasi darurat; anak yang
berhadapan dengan hukum; anak dari kelompok minoritas dan terisolasi; anak tereksploitasi secara ekonomi dan atau
seksual; anak yang diperdagangkan; anak yang menjadi korban penyalahgunaan NAPZA; anak korban penculikan,
penjualan dan perdagangan; anak korban kekerasan baik fisik dan atau mental anak yang menyandang cacat; dan
anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
Jenis-jenis kekerasan terhadap anak yaitu:
1. Fisik (berupa: tendangan, pukulan, jambakan, tinju, tamparan, lempar benda, meludahi, mencubit, merusak,
membotaki, mengeroyok, menelanjangi, push up berlebihan, menjemur, membersihkan toilet, lari keliling lapangan
yang berlebihan/ tidak mengetahui kondisi siswa, menyundut rokok, dll.);
2. Verbal (mencaci maki, mengejek, memberi label/ julukan jelek, mencela, memanggil dengan nama bapaknya,
mengumpat, memarahi, meledek, mengancam, dll.);
3. Psikis (pelecehan seksual, memfitnah, menyingkirkan, mengucilkan,

- memaksa seseorang melakukan hubungan kelamin sesama jenis, ancaman pidananya 5 (lima) tahun penjara
sebagaimana ketentuan Pasal 292 KUHP. Dilihat dari isinya, Pasal 81 ayat (1) UU 23/2002 jo UU 35/2014 berisi setiap
orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan
dengannnya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling
singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit
Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
- Pasal 82 UU23/2002 jo UU 35/2014 berbunyi setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau
membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling
singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
- KUHP Pasal 287 ayat (1) menyebut barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal
diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umumnya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak
jelas, bawa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun
Apabila pelaku kekerasan seksual adalah anak, usia antara 14 (empat belas) tahun sampai dengan kurang dari 18
(delapan belas) tahun, menurut UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Pasal 5
ayat (3) menjelaskan bahwa dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, wajib diupayakan diversi. Pengertian diversi menurut
Pasal 1 angka 7 UU 11/2012, adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar
peradilan pidana.
Selanjutnya dalam Pasal 58 tercantum: 16 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
(1) Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental,
penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pdpengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak
lain manapun yang bertanggungjawab atas pengasuhan;
(2) Dalam hal orang tua, wali, atau pengasuh anak melakukan segala bentuk penganiayaan fisik atau mental,
penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual termasuk pemerkosaan, dan atau pembunuhan terhadap anak
yang seharusnya dilindungi maka harus dikenakan pemberatan hukuman
materi pencegahan kekerasan seksual sebagai bagian dari kegiatan life skill yang dilaksanakan di sekolah maupun
di luar sekolah. Materinya adalah, 4 (empat) organ yang tidak boleh dipegang oleh siapapun, kecuali oleh orang tua (ibu)
dan dokter (tatkala ia sakit, dengan pendampingan orang tua). Organ tubuh tersebut adalah dada (buah dada),
selangkangan (depan dan belakang) serta pantat, dengan mengetahui bahwa organ tersebut adalah organ terlarang,
anak dapat melindungi ataupun menolak apabila ada seseorang yang akan melakukan percobaan kekerasan seksual
contoh lagu dari tk "Ku Jaga Diriku" atau lebih dikenal dengan "Sentuhan Boleh Sentuhan Tidak Boleh."
Sentuhan boleh
Sentuhan boleh
Kepala tangan kaki
Karena sayang karena sayang
Karena sayang

Sentuhan tidak boleh


Sentuhan tidak boleh
Yang tertutup baju dalam
Hanya diriku hanya diriku
Yang boleh menyentuh

Sentuhan boleh
Sentuhan boleh
Kepala tangan kaki
Karena sayang karena sayang

Karena sayang
Sentuhan tidak boleh
Yang tertutup baju dalam
Katakan tidak boleh
Lebih baik menghindar
Bilang ayah ibu

FYI
Perbedaan sex dan gender
Seks
Seks adalah pembagian dua jenis kelamin, yakni laki-laki dan perempuan, yang ditentukan secara biologis. Seks juga
berkaitan dengan karakter dasar fisik dan fungsi manusia, mulai dari kromosom, kadar hormon, dan bentuk organ
reproduksi.
Gender
gender adalah persepsi masyarakat yang secara sosial telah dibangun dan mengacu pada peran, perilaku, dan identitas
seseorang. Dalam hal ini, gender seseorang tidak ditentukan berdasarkan jenis kelaminnya.
Ada beberapa istilah yang termasuk ke dalam pembahasan gender, yakni:
 Identitas gender

Identitas gender adalah pandangan seseorang terhadap gendernya sendiri, terlepas dari apa jenis kelamin ia saat lahir.
Beberapa identitas gender yang umum adalah pria, wanita, nonbiner, dan genderqueer atau transgender.
 Cisgender

Cisgender adalah istilah yang kerap digunakan bagi seorang individu yang merasa bahwa identitas gender dirinya sejalan
dengan jenis kelamin yang ia miliki.
 Transgender

Istilah transgender mengacu pada seseorang yang merasa bahwa identitas dirinya berbeda dari jenis kelamin mereka.
 Nonbiner

Nonbiner adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan seseorang yang tidak ingin identitas dirinya
dikategorikan sebagai laki-laki maupun perempuan.

Selain beberapa istilah diatas, ada juga istilah ekspresi gender. Istilah Ini mengacu pada bagaimana seseorang
mengekspresikan dirinya, baik dalam berperilaku, berpakaian, bersuara, atau memilih potongan rambut tanpa terpaku
pada jenis kelaminnya. Istilah yang umumnya melekat pada ekspresi gender adalah maskulin, feminin, dan androgini.
Seks adalah perbedaan biologis seorang laki-laki dan perempuan yang sudah dibawa sejak lahir. Sedangkan, gender
adalah karakteristik laki-laki dan perempuan yang dibentuk dan dibangun dalam lingkungan sekitar atau masyarakat.
2. ENFORCEMENT OF SEXUAL VIOLENCE PREVENTION RULES IN ISLAMIC BOARDING SCHOOL
Prevention efforts so that cases of harassment in Islamic boarding school do not recur:
Education about sexuality must be done from an early age, how a child should be able to maintain his body, keep his
gaze, keep his genitals. This education is carried out before children enter the pesantren.
Make families, especially children, aware of potential situations that could drag into the abyss of abuse.
-Do not hesitate and hesitate to discuss the issue of sexual harassment that appears in mass media reports.
Train yourself and your children to be assertive even if it may be contrary to their character.
-Children must be trained in coping and problem-solving skills. The trick is to confront children with daily problems,
parents control what children will do when facing problems.
-Smart to choose an educational institution for his child. Many aspects need to be considered ranging from costs,
facilities, learning methods, the origin of teacher education, founders, foundations, to the legality of the institution.
These skills and courage can be a child's capital when facing problems. The task of parents is to give children
opportunities to skillfully solve their problems, not take over children's problems. Taking over this child's problem makes
the child not independent in the face of difficulties.
In terms of Pesantren Rules
Parents need to ensure that the pesantren they want to enter has rules related to violence agreed upon when
registering. Rules should be clear and reasonable.
"So there is trust and responsibility between fellow students and teachers to always behave well."
Parents and children should know the flow of reporting when violence occurs. To whom will the child/student seek
protection and report when he or she senses a crime.
-Continuous socialization so that children / students feel that reporting a case of violence is the thing to do.
Open communication between children, parents and teachers. It serves as social control. Communication cannot only be
done by parents and teachers, because the child's psychological condition must still be maintained and controlled by
direct communication (using telephone connections). Voice, words, intonation will indicate the psychological condition of
the child when far away from parents
-Cooperate with law enforcement officials and enforce rules as fairly as possible.
The following are the rules for handling sexual violence in education units under Kekemenangan based on the Regulation
of the Minister of Religious Affairs of the Republic of Indonesia Number 73 of 2022.
Rules for Reporting Sexual Violence in Madrasah & Pesantren
Sexual assault reports contain at least information about:
- Identity of the whistleblower
- Identity of the victim
- Identity of the alleged perpetrator
- The type of sexual violence that occurred
- Time and place of occurrence.
- Other related parties.
Protection is provided as long as the protected party comes from the education unit concerned
Protection is provided in the form of:
- Protection of identity confidentiality
- Provision of information on rights and protection facilities
- Provision of access to information on the implementation of protection
- Sustainability assurance to complete education for learners
- Guarantee of continuity of work as educators and / or education personnel in the education unit concerned, and / or
other protection in accordance with the provisions of laws and regulations
Protection of children who are in conflict with the law or children as perpetrators include:
- Protection of identity confidentiality
- Sustainability assurance to complete education for learners
- Humane treatment.
Rules for Assistance in Handling Sexual Violence in Madrasah & Pesantren
The head of the education unit provides assistance by companions to witnesses, victims, and children of Perpetrators of
Sexual Violence. Assistance includes counseling, health services, legal aid, and rehabilitation services.
If the education unit is unable to provide assistance, its leadership coordinates and cooperates with:
- Ministry of Law and Human Rights
- Witness and Victim Protection Agency
-College
- Local government technical unit dealing with child protection
- Health department
- Social services
- Professional organizations
- Legal aid institutions
- Community-based child protection service providers
- Religious civic organizations
- Religious institutions
- Other elements.
If the witness or victim is a person with a disability, assistance is carried out by taking into account the needs of
the person with a disability.
Rules for Sexual Violence Enforcement in Madrasah & Pesantren
Education unit leaders take action against reported sexual violence committed by educators, education staff, and
students over the age of 18 years.
Enforcement is carried out in the form of:
- Temporary exemption from duties and/or positions
- Temporary exemption from reported education services.
Sanctions for Perpetrators of Sexual Violence in Schools in Madrasah & Pesantren
-The imposition of administrative sanctions for perpetrators of sexual violence who have the status of civil servants is
carried out in accordance with the provisions of laws and regulations regarding civil servant discipline.
-The imposition of administrative sanctions for perpetrators of sexual violence who do not have the status of civil
servants is carried out in accordance with the provisions regulated by the education unit organizers.
-Education unit leaders are also required to report on the implementation of sexual violence prevention and handling at
least 1 time a year.
1. The focus of Permendikbud Number 30 of 2021 is Sexual Violence
- Article 1, the definition of sexual violence is any act of degrading, insulting, harassing, and/or attacking a person's body,
and/or reproductive function, due to imbalances in power relations and/or gender, which results or can result in
psychological and/or physical suffering including those that interfere with a person's reproductive health and lose the
opportunity to carry out higher education safely and optimally.
2. Prioritize Victims' Rights
The protection and rights of victims are the top priorities in Permendikbud Number 30 of 2021. "The target of the
Ministry of Education and Culture is to protect tens of thousands or even hundreds of thousands of victims and to
prevent the continuation of these victims,"
3. Target of Permendikbud Number 30 of 2021
as stated in Article 4 inter alia:
a. Student;
b. Educators;
c. Education Personnel;
d. Campus Residents; and
e. The general public who interact with Students, Educators, and Education Staff in the implementation of Tridharma.
Forms of Sexual Violence
Specifically, there are 21 forms of sexual violence in Permendikbud Number 30 of 2021 as stated in Article 5:
1. Convey speech that discriminates or harasses the physical appearance, body condition, and/or gender identity of the
victim;
2. Deliberately exposing his genitals without the consent of the victim;
3. Deliver remarks containing sexual advances, jokes, and/or whistles to the victim
4. Staring at the victim with sexual and/or uncomfortable overtones;
5. Send sexually suggestive messages, jokes, images, photos, audio, and/or videos to the victim even though the victim
has prohibited it;
6. Take, record, and/or circulate sexually suggestive photographs and/or audio and/or visual recordings of the victim
without the victim's consent;
7. Upload sexually suggestive photos of the victim's body and/or personal information without the victim's consent;
8. Disseminating information related to the victim's body and/or personal that has sexual nuances without the victim's
consent;
9. Peeping or intentionally seeing victims who are carrying out activities in private and/or in private spaces;
10. Persuade, promise, offer something, or threaten the victim to engage in sexual transactions or activities not approved
by the victim;
11. Give punishment or sanctions that have sexual nuances;
12. Touching, rubbing, touching, holding, hugging, kissing and/or rubbing any part of his body on the Victim's body
without the victim's consent;
13. Undressing the victim without the victim's consent;
14. Forcing the victim to engage in sexual transactions or activities;
15. Practicing a community culture of students, educators, and education staff that nuances sexual violence;
16. Attempted rape, but penetration did not occur;
17. Committing rape including penetration with objects or body parts other than genitals;
18. Coercing or tricking the victim into having an abortion;
19. Coerces or deceives the victim into becoming pregnant;
20. Allowing intentional sexual violence to occur;
21. Committing other acts of sexual violence

. Mandatory Handling
a. Mentoring
Assistance in the form of counseling, health services, legal assistance, advocacy, and/or social and spiritual guidance.
b. Protection
Guarantees of continuity of education or employment, provision of safe housing, and victims or witnesses free from
threats related to the testimony given.
c. Imposition of administrative sanctions
Sanctions consist of three groups, namely mild, moderate, and severe. The form of sanctions imposed is carried out
proportionately and fairly according to the recommendations of the task force. In addition, the sanctions given do not
override other regulations.
d. Recovery of victims
Involving psychologists, medical personnel, religious leaders, and victim assistance organizations. The recovery period
does not reduce learning and/or employment rights.
Reporting from the Indonesian Databoks page (2022), Komnas Perempuan noted that during the 2017-2021
period, cases of sexual violence in the educational environment that occurred in Islamic boarding schools were the
second highest cases of violence (16 cases) after the scope of universities (35 cases).
In cases that occurred within the scope of Islamic boarding schools, it was found that the majority of
perpetrators occupied high-ranking positions. As reported by BBC News (2023), in early 2023 at least four cases of sexual
violence have been revealed in Islamic boarding schools located in Lampung and Jember with the majority of
perpetrators being the chairman or leader of the Islamic boarding school itself.
The case, which was filed in mid-January 2023, has been processed since February 2022 when it was reported by
the victim's parents after the victim told her family about the perpetrator's actions. The perpetrator was finally
sentenced to 8 years in prison and fined 50 million subsidiary to 2 months of confinement. Against the verdict of this
case, restitution (compensation) for victims amounting to 16,645,000 was also granted. This penalty is imposed on the
basis of Article 82 paragraph (1) and paragraph (2) of the Child Protection Law (applicable to children under 18 years old)
which reads:
-Paragraph (1), "Any person who violates the provisions as referred to in Article 76E shall be punished with a maximum
imprisonment of 5 (five) years and a maximum of 15 (fifteen) years and a maximum fine of Rp5,000,000,000.00 (five
billion rupiah).
-Paragraph (2), "In the event that a criminal act as referred to in paragraph (1) is committed by a parent, guardian,
babysitter, educator, or education staff, then the crime is plus 1/3 (one-third) of the criminal threat as referred to in
paragraph (1)."
-the information of Article 76E as stated in Article 81 Paragraph (1) is as follows:
"Everyone is prohibited from committing violence or threatening violence, coercing, deceit, committing a series of lies, or
inducing a child to commit or allow obscene acts to be committed."
Cases of sexual violence in pesantren usually have their own character, where the perpetrator seeks justification
for his behavior through erroneous religious interpretations. For example, in the case in West Tulang Bawang Regency,
the head of an Islamic boarding school with the initials AA harassed six of his students. Three of them were raped under
the pretext of getting blessings from God if they served her. Moreover, when the perpetrator is the leader, it is generally
a respected figure, so the victim thinks again about reporting
Not stopping there, in the Islamic boarding school environment there is also the principle of sami'na wa atha'na
which means "we listen and we obey". This principle regulates the actual adab not only about the adab of a student
towards kyai, but also children towards parents, as long as it is in terms of kindness. One of them was in the case of a
pesantren in Solo in 2018, where Islamic boarding school officials moderated their students to memorize scriptures in a
closed room by performing a ritual he called the 'vaginal cleansing ritual'. In addition, also in the case of Moch Subchi
Azal Tzani (Bechi), the biological son of a caretaker from one of the pesantren in Jombang, who spread the doctrine of
the vagina as a noble path that no one else but himself should enter. He also used metafacts (the power to cure diseases
and grant wishes) as a mode of sexual violence.
Precautionary Principles: Regulation and Education
In October 2022, the Ministry of Religious Affairs publishRegulation of the Minister of Religious AffairsNumber 73 of
2022 concerning the Prevention and Handling of Sexual Violence in Education Units at the Ministry of Religious Affairs
in response to the revelation of the rape case of the head of an Islamic boarding school in Bandung, Herry Wirawan to
13 of his students. This regulation has been regulated starting from reporting, protection, assistance, enforcement, to
victim recovery.
Handling Principle:
In handling, the companion needs to prioritize the essence of victim assistance which includes at least the following five
things:
1) minimize risk; 2) remediate the impact; 3) fulfill a sense of justice; 4) restore the functioning of life, and; 5) Policy
advocacy and mitigation data sources.
As for trying to achieve the essence of victim assistance, several things need to be done as follows:
2. Networking
Cooperation here is needed to create a support system that is able to accommodate all the needs of victims in the
mentoring process. The parties involved include the government, as well as non-governmental organizations, including:
 Social Services
 P2T2PA (Integrated Service Center for Women and Children Empowerment)
 LPSK (Witness and Victim Protection Agency)
 Police
 DP3AP2 (Office of Women's Empowerment, Child Protection and Population Control)
 Ministry of PPPA (Ministry of Women's Empowerment and Child Protection)
 Service Providers Forum
 National Commission on Violence against Women
 KPAI (Indonesian Child Protection Commission)
4. Building gender perspectives on all relevant parties
Good support from various parties requires a good gender perspective on the parties involved. Thus, education efforts
on gender insight are necessary so that case handling considers the perspective of victims who are in the position of
children and as women.
5. Implement a sustainable advocacy strategy
In addition to legal assistance, handling sexual violence cases is also accompanied by assistance in the aspects of:
-Psychological
-Psychosocial
Education (ensuring victims can continue their education safely and comfortably)
This is important to restore the functioning of the victim's life and the fulfillment of the victim's rights as a child.
-Pay attention to the best decision for the victim
All actions taken by the companion require consent with the victim and his family. Companions need to be open to the
voices of victims and their families.
-Ensure the verdict can go through
With regard to the advocacy strategy applied, the companion also needs to ensure that the verdict goes as it should,
especially to fulfill the sense of justice for the victim and restore the impact experienced by the victim.
Pesantren has its own legal umbrella stipulated by the Pesantren Law Number
18 of 2016 (Law on Pesantren), which ensures that they carry out the functions of education, da'wah
and empowerment in Indonesia. The purpose of the birth of the law is to strengthen faith,
piety, nobility and ethics. However, the existence of the Pesantren Law is not comprehensive
regulate efforts to encourage and prevent crimes, such as sexual crimes. Pesantren, though
is an educational institution that requires special registration and monitoring due to several
The pesantren education system is closed and others are open.
In pesantren, santriwati is a vulnerable group to become victims of sexual violence because
Some factors are situational, personal, and social factors.
- The personal factor of students is that because students are still children, fear arises when students cannot make
decisions and cannot complain and defend themselves. Based on the typology proposed by VonHentig that women,
children, the elderly, and people with intellectual disabilities are at risk of becoming victims of crime.
Sexual harassment prevention consists of several factors, namely:
2. Legal Factors
According to the provisions of Article 81 Paragraph (1) of Law 23 of 2002 annex to the Civil Code 35 of 2014, whoever
deliberately uses force or threatens to use force a child to have intercourse with himself or with another person, is
imprisoned. with a maximum period of 15 (fifteen) years and a minimum of 3 (three) years and a maximum fine of
Rp300,000,000.00 (three hundred million rupiah) and a minimum of Rp60,000,000 (sixty million rupiah).
While Article 82 of Law 23/2002 jo Law 35/2014 stipulates that anyone who intentionally commits violence or
threatens to use violence, coercion, fraud, mass lying or entices children to commit or commit lewd acts is punished. The
penalties are the same as those stipulated in Article 81. The criminal punishment of the perpetrator is considered too
light because the impact suffered by the child due to the violence is very large and lasts a lifetime for the perpetrator
a. Law Enforcement Factors
1. Removed from the ponpes
2. Submitted by both parents
3. Submitted by local officials for follow-up according to government regulations
- "the existence of a caregiver in charge of supervising the movements and activities of children in
pesantren have an important contribution in efforts to prevent the practice of sexual abuse against children",
and if suspicious behavior is found carried out by students, through the authority that
Given to him, he can reprimand and sanction the student.
b. Factors of Supporting Facilities or Facilities
One of them is the installation of CCTV in Islamic boarding schools placed in student dormitories in order to detect
unwanted behavior. "The installation of CCTV in every corner provides a positive value in efforts to prevent sexual
harassment practices. CCTV is a controlling part that can be used as a tool in pesantren".
c. Community Factors
A large number of violent crimes such as murder, rape and assault have been committed against women. The quality
of protection for women and children should be on par with that of men and adults. Because everyone is equal
before the law (equality before the law).

Obstacles to Efforts to Combat Sexual Harassment include:


1. Lack of supervision by family management of children's education, especially in
Boarding schools around the world, because there are no security gates, little attention is paid
to children. In addition, the teacher council cannot create a conducive atmosphere in the environment
Hut. And sometimes the dormitory administrators are ignorant of the development of student education,
Assuming that the issue of education is the business of the boarding board, they do not
Finish. This results in ineffective lodge programs in remediating delinquency
teenagers/students.
2. Lack of parental supervision of the social life of students in the community as well as parents who
His behavior is not in accordance with his obligations, students will imitate unconsciously.
3. More and more television shows that are not educational such as those that show violent scenes,
murder, sexual abuse, etc. This will adversely affect the mental development of students.
4. Students themselves or administrators lack awareness to comply with applicable rules and regulations.
5. There are no surveillance cameras in the pesantren environment
6. Absence of clear and adequate rules or policies or mechanisms to regulate them
Solutions that can be proposed in order to fight sexual harassment, namely:
1. Deepen the teachings of Islam. This can be done by further improving the quality of teaching by emphasizing
meaningful teaching.
2. Establish good coordination between teachers, administrators, administrators, other teachers and all staff for a
smooth teaching and learning process.
3. The establishment of a cooperative relationship between the Islamic boarding school and the parents of students is
carried out through teacher visits to parents' homes or meetings with tutors at the Islamic boarding school. For families
to be more active in the physical, mental and social education of their children
4. Abuse complaint service panels should be installed in the homes of education units so that they are easily accessible
to students, parents/teachers, teachers/administrators/education personnel and the community.
5. should develop and implement standard operating procedures (SOPs) to prevent acts of violence based on guidelines
issued by the government
6. Carry out socialization at points of sale to prevent acts of violence against students, teachers, education staff,
parents/teachers and the community
Parents spearhead child protection, stated in the Law on Human Rights Article 26 paragraph (2) which reads,
"parents have the first right to choose the type of education to be given to their children", meaning that parents decide
about the best information and education for their children is in line with Law Number 23 of 2002 as amended into Law
Number 35 of 2014 concerning Child Protection Article 10 which states that "every child has the right to express and be
heard, to receive, to seek and to provide information according to his level of intelligence and age for his or her
development in accordance with the values of decency and decency".
Sexual violence against children is a gross violation of human rights and must be placed as an extraordinary crime
because the damage it has caused has threatened the future of the nation's generation. Sexual violence against children
means that it has also damaged the most important and valuable asset of the state, because the future of the country
depends on children in the present

D. Protection and Law Enforcement of Cases of Sexual Violence against Children As stipulated in Article 34 of the 1945
Constitution, the state has an obligation to protect the dignity and dignity of children. According to Article 1
paragraph (1) of Law 23/2002, a child is a person who is not yet eighteen years old, including children who are still in
the womb. There is agreement of various nations that children's issues are organized in a forum called UNICEF
(United International Children Educational of Fund), in line with Law 39/1999 Article 5 paragraph (3) stated that
vulnerable groups are the elderly, children, the poor, pregnant women and people with disabilities.
E. Article 3 of Law 23/2002 and Law 35/2014 contains important aspects, namely: guaranteed and fulfilled children's
rights; fulfillment of human dignity and dignity; protection of children from violence and discrimination; the
realization of children who are qualified, have noble and prosperous character. While the basic principles of the
convention on the rights of the child include: nondiscrimination; the best interests of the child; the right to life,
survival and development; respect for the opinion of the child
F. In Article 59 of Law 23/2002 jo Law 35/2014, it is explained that the government and other state institutions are
obliged and responsible to provide special protection, namely: children in emergency situations; children facing the
law; children from minority and isolated groups; children who are economically and/or sexually exploited; trafficked
children; children who are victims of drug abuse; child abductee, sales and trade; child victims of physical and/or
mental violence of children with disabilities; and child victims of mistreatment and neglect.
The types of violence against children are:
1. Physical (in the form of: kicks, punches, jambakan, fists, slaps, throwing objects, spitting, pinching, damaging,
botching, ganging up, stripping, excessive push ups, drying, cleaning toilets, running around the field excessively / not
knowing the condition of students, smoking cigarettes, etc.);
2. Verbal (berberate, ridicule, labeling/nicknamed, reproaching, calling by his father's name, swearing, scolding,
teasing, threatening, etc.);
3. Psychic (sexual harassment, slander, removal, ostracism,

- forcing someone to have same-sex sex, the criminal threat is 5 (five) years imprisonment as stipulated in Article 292 of
the Criminal Code. Judging from its content, Article 81 paragraph (1) of Law 23/2002 jo Law 35/2014 contains any
person who intentionally commits violence or threats of violence forcing children to have intercourse with him or with
others, shall be punished with a maximum imprisonment of 15 (fifteen) years and a minimum of 3 (three) years and a
maximum fine of Rp300,000,000.00 (three hundred million rupiah) and at least Rp60,000,000, 00 (sixty million rupiah).
- Article 82 of Law 23/2002 jo Law 35/2014 reads that any person who intentionally commits violence or threats of
violence, coerces, commits deception, a series of lies, or entices a child to commit or allow obscene acts to be
committed, shall be punished with a maximum imprisonment of 15 (fifteen) years and a minimum of 3 (three) years
and a maximum fine of IDR 300,000,000.00 (three hundred million rupiah) and a minimum of IDR 60,000,000.00 (sixty
million rupiah).
- Article 287 paragraph (1) of the Penal Code mentions whoever has intercourse with a woman outside of marriage,
when he knows or should reasonably suspect that he is generally not fifteen years old, or if the age is not clear, bring it
not yet time to marry, punishable by imprisonment for not more than nine years
If the perpetrator of sexual violence is a child, aged between 14 (fourteen) years to less than 18 (eighteen) years,
according to Law Number 11 of 2012 concerning the Juvenile Criminal Justice System, Article 5 paragraph (3) explains
that in the Juvenile Criminal Justice System, diversion must be attempted. The definition of diversion according to Article
1 number 7 of Law 11/2012, is the transfer of the settlement of children's cases from the criminal justice process to
processes outside criminal justice.
Furthermore, Article 58 states: 16 of Law Number 11 of 2012 concerning the Juvenile Criminal Justice System. (1) Every
child has the right to legal protection from all forms of physical or mental abuse, neglect, ill-treatment, and sexual abuse
while in the care of his or her parents or guardians, or any other party responsible for care;
(2) In the event that a parent, guardian, or caregiver of a child commits any form of physical or mental abuse, neglect, ill-
treatment, and sexual abuse including rape, and/or murder of a child who is supposed to be protected, punishment shall
be imposed
Sexual Violence Prevention Material as part of Life Skills activities carried out at school and outside school. The
material is, 4 (four) organs that must not be held by anyone, except by parents (mother) and doctors (when he is sick,
with parental assistance). The organs of the body are the chest (breasts), groin (front and back) and buttocks, knowing
that these organs are forbidden organs, children can protect or refuse if someone will attempt sexual violence
Example of a song from kindergarten "Ku Take Care of Me" or better known as "Touch May Touch Not Allowed."
Touch may Touch may

be Head, hands, feet


Because it is dear because it is dear Because it is dear

Touch must not be Touch must


not be
Covered by underwear
Only myself Only myself
Can touch

Touch may Touch


may be Head
, hands, feet
Because it is dear because it is dear

Because it's a pity


Touch should not be allowed
The one covered in underwear
Say no
It's better to avoid
Said father, mother

FYI
Sex and gender differences
Sex
Sex is the division of two sexes, male and female, which is biologically determined. Sex is also related to the basic
physical character and function of humans, ranging from chromosomes, hormone levels, and the shape of reproductive
organs.
Gender
Gender is a societal perception that has been socially constructed and refers to a person's role, behavior, and identity. In
this case, a person's gender is not determined by their gender.
There are several terms included in the discussion of gender, namely:
 Gender identity

Gender identity is a person's view of his or her own gender, regardless of what sex he was born with. Some common
gender identities are male, female, nonbinary, and genderqueer or transgender.
 Cisgender

Cisgender is a term that is often used for an individual who feels that his gender identity is in line with the gender he
has.
 Transgender

The term transgender refers to someone who feels that their identity is different from their gender.
 Nonbinary

Nonbinary is a term used to describe someone who does not want to be categorized as male or female.

In addition to some of the terms above, there is also the term gender expression. It refers to how a person expresses
himself, whether in behavior, dressing, vocalizing, or choosing a haircut without fixating on his gender. Terms commonly
attached to gender expression are masculine, feminine, and androgynous.
Sex is a biological difference between a man and a woman that has been carried since birth. Meanwhile, gender is a
characteristic of men and women that is formed and built in the surrounding environment or society.

Anda mungkin juga menyukai