Permen Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan
Perguruan Tinggi Tuai Dukungan
A. Latar Belakang Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi yang telah ditetapkan 31 Agustus 2021 menuai berbagai sambutan positif. Lebih lanjut, Permendikbudristek ini akan disosialisasikan lebih luas kepada publik sebagai Merdeka Belajar Episode Keempat Belas: Kampus Merdeka dari Kekerasan Seksual. «Dengan telah ditetapkan serta terbitnya Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021, maka secara yuridis pihak perguruan tinggi dapat melakukan langkah-langkah legal menindak pelaku kekerasan seksual,» ujarnya. Sejalan dengan sambutan positif sivitas akademika berbagai perguruan tinggi, Plt. Dirjen Nizam berharap kepastian hukum yang diberikan melalui Permendikbudristek ini akan memberikan kepercayaan diri bagi pimpinan perguruan tinggi untuk mengambil tindakan tegas bagi sivitas akademika yang melakukan kekerasan seksual. Sejumlah universitas pun mulai membentuk satgas di antaranya Universitas Khairun di Maluku Utara dan Universitas Cokroaminoto Yogyakarta yang merupakan perguruan tinggi Islam. Permendikburistek PPKS telah melalui tahapan sosialisasi kepada berbagai pemangku kepentingan dan melalui sejumlah rapat koordinasi. 1. Mematahkan Anggapan Melegalkan Zina Beberapa pihak menganggap bahwa Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi melegalkan perzinaan. Saat ini, kata Nizam, beberapa organisasi dan perwakilan mahasiswa menyampaikan keresahan dan kajian atas kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi yang tidak ditindak lanjuti oleh pimpinan perguruan tinggi. Kehadiran Permendikbudristek PPKS merupakan jawaban atas kebutuhan perlindungan dari kekerasan seksual di perguruan tinggi yang disampaikan langsung oleh berbagai mahasiswa, tenaga pendidik, dosen, guru besar, dan pemimpin perguruan tinggi yang disampaikan melalui berbagai kegiatan. Karenanya, kekerasan seksual di sektor pendidikan tinggi menjadi kewenangan Kemendikbudristek, sebagaimana ruang lingkup dan substansi yang tertuang dalam Permendikbudristek tentang PPKS ini. Nizam menekankan Kemendikbudristek wajib memastikan setiap penyelenggara pendidikan maupun peserta didiknya dapat menjalankan fungsi tri dharma perguruan tinggi dan menempuh pendidikan tingginya dengan aman dan optimal tanpa adanya kekerasan seksual. « Termasuk Permendikbud No 3/2020 ttg standar nasional pendidikan tinggi,» tutup Nizam. 2. Point Pendting Dalam Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) resmi mengesahkan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021. Aturan tersebut berisi tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi. Peraturan Menteri yang terdiri dari 58 pasal ini diteken Mendikbudristek Nadiem Makarim pada 31 Agustus 2021 lalu. Nadiem menegaskan, aturan ini merupakan bentuk perlindungan terhadap civitas akademika dalam mewujudkan pembelajaran yang aman. "Tidak ada pembelajaran tanpa rasa aman. Dan ini merupakan kenapa di dalam perguruan tinggi kita, kita harus mencapai suatu ideal yang lebih tinggi dari sisi perlindungan daripada masyarakat di dalam perguruan tinggi kita, baik itu dosen, mahasiswa, maupun semua tenaga kependidikan di dalam lingkungan kampus," ujar Nadiem dalam acara Merdeka Belajar Episode14: Kampus Merdeka dari Kekerasan Seksual. a. Fokus Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 adalah Kekerasan Seksual Fokus Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 adalah pada satu jenis tindak kekerasan. Peraturan tersebut tidak membahas aktivitas yang bertentangan dengan norma agama dan etika diluar tindak kekerasan seksual. Kami ingin menegaskan kembali bahwa Permendikbud ini hanya menyasar kepada satu jenis kekerasan, yaitu kekerasan seksual dengan definisi yang sangat jelas,» jelas Nadiem. b. Prioritaskan Hak Korban Perlindungan dan hak korban menjadi prioritas utama dalam Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021. "Target dari Permendikbud ini adalah melindungi puluhan ribu bahkan ratusan ribu korban dan untuk mencegah terjadinya kontinuasi daripada korban-korban ini," kata Nadiem.
Pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dilaksanakan dengan prinsip
kepentingan terbaik bagi korban, keadilan dan kesetaraan gender, kesetaraan hak dan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas, akuntabilitas, independen, kehati-hatian, konsisten, dan jaminan ketidakberulangan. c. Sasaran Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 Sasaran Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 antara lain: 1) Mahasiswa; 2) Pendidik; 3) Tenaga Kependidikan; 4) Warga Kampus; dan 5) Masyarakat umum yang berinteraksi dengan Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan dalam pelaksanaan Tridharma d. Bentuk Kekerasan Seksual Kekerasan seksual yang dimaksud dalam aturan ini mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi komunikasi. Perbuatan verbal dan daring diikutsertakan dengan pertimbangan bentuk kekerasan seksual jenis ini seringkali dianggap sepele padahal berdampak pada psikologi korban dan membatasi hak atas pendidikan atau pekerjaan akademiknya. Secara spesifik, terdapat 21 bentuk kekerasan seksual dalam Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 sebagaimana tercantum dalam Pasal 5. e. Penanganan yang Wajib Dilakukan Perguruan Tinggi Jika terdapat laporan kekerasan seksual, perguruan tinggi wajib melakukan penanganan yang meliputi pendampingan, perlindungan, pengenaan sanksi administratif, dan pemulihan korban. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 10 hingga 19. 1) Pendampingan Pendampingan berupa konseling, layanan kesehatan, bantuan hukum, advokasi, dan/atau bimbingan sosial dan rohani. 2) Perlindungan Jaminan keberlanjutan pendidikan atau pekerjaan, penyediaan rumah aman, dan korban atau saksi bebas dari ancaman yang berkaitan dengan kesaksian yang diberikan. 3) Pengenaan sanksi administratif Sanksi terdiri dari tiga golongan, yaitu ringan, sedang, dan berat. Bentuk sanksi yang dijatuhkan dilakukan secara proporsional dan berkeadilan sesuai rekomendasi satuan tugas. Selain itu, sanksi yang diberikan tidak mengesampingkan peraturan lain. 4) Pemulihan korban Melibatkan psikolog, tenaga medis, pemuka agama, dan organisasi pendamping korban. Masa pemulihan tidak mengurangi hak pembelajaran dan/atau kepegawaian. f. Sanksi Bukan Berorientasi pada Pelaku Nadiem menjelaskan, sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku harus berdasarkan dampak akibat perbuatan yang dilakukan terhadap kondisi korban dan lingkungan kampus, bukan berorientasi pada pelaku. (Pasal 14) g. Perguruan Tinggi Wajib Bentuk Satgas Sebagai tindak lanjut dari Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021, seluruh perguruan tinggi wajib untuk membentuk Satuan Tugas (Satgas) berdasarkan waktu yang telah ditentukan. "Semua perguruan tinggi jangan lupa wajib membuat satgas tersebut, ada proses, ada daftar sanksinya, ada perlindungan kepada korban, ada tanggung jawabnya. Jadi, ini adalah suatu permen yang lengkap dari sisi apa yang harus secara spesifik dilakukan satu dua tiga itu sudah sangat mendetail," tegas Nadiem. Satgas dibentuk pertama kali melalui panitia seleksi yang bersifat ad hoc. Berdasarkan aturan pada Pasal 27, satgas terdiri dari unsur pendidik, tenaga kependidikan, dan mahasiswa dengan memperhatikan keterwakilan keanggotaan perempuan, minimal dua pertiga dari jumlah anggota. Apabila dalam kurun waktu pembentukan Satgas terjadi tindak kekerasan seksual, pihak universitas dapat melaporkan kasus tersebut melalui platform LAPOR. Nantinya, pihak kementerian akan memberikan rekomendasi terkait langkah yang harus dilakukan melalui portal tersebut. h. Laporan Dilakukan Tiap Semester Pimpinan perguruan tinggi diwajibkan untuk melakukan pemantauan dan evaluasi (monev) secara rutin seluruh kegiatan pencegahan dan penangan kekerasan seksual dan kinerja satgas di kampusnya. Berdasarkan Pasal 54 Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021, hasil monev dilaporkan setiap semester yang berupa kegiatan pencegahan kekerasan seksual, hasil survei yang dilakukan oleh satgas, data pelaporan kekerasan seksual, kegiatan penanganan kekerasan seksual, dan kegiatan pencegahan keberulangan kekerasan seksual. Nadiem menjelaskan, untuk menghindari beban administratif, sistem pelaporan hasil pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dapat dilakukan secara daring.