Anda di halaman 1dari 9

EXECUTIVE SUMMARY

SEXUAL LITERACY AND MITIGATION FOR SANTRI DI LOMBOK TIMUR

A. Latar Belakang
Berbagai kasus pelecehan dan kekerasan seksual kian marak terjadi di Indonesia. Hal
ini tentu saja menjadi masalah krusial dalam kehidupan sosial berbangsa dan bernegara. Rilis
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) tahun 2023
mencatat terdapat sekitar 401.975 kasus kekerasan sepanjang 2023. Data kekerasan terhadap
perempuan dari Komnas Perempuan, lembaga layanan dan Badan Peradilan Agama (Badilag)
mengalami penurunan (55.920 kasus atau sekitar 12%) dibandingkan tahun 2022, yaitu
menjadi 401.975 dari 457.895. Artinya adanya penurunan jumlah pengaduan kasus dibanding
2022. Pada tahun 2023, aduan yang diterima oleh Komnas Perempuan sebanyak 399 ribu,
sementara pada 2022 sebanyak 289 ribu. Artinya ada peningkatan tipis jumlah pengaduan
kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan ke Komnas Perempuan sepanjang 2023.
Total pengaduan mencapai 4.374 kasus, meningkat 3 kasus dibanding tahun sebelumnya 4.371
kasus.
Komnas Perempuan mencatat Kekerasan Ranah Negara Selama 2023 Naik 176%
Kemudian, Komnas Perempuan mencatat 3.303 kasus kekerasan berbasis gender di tahun
2023. Lembaga layanan melaporkan 6.305 kasus, dan Badilag mencatat jumlah yang jauh lebih
tinggi, yaitu 279.503 kasus. Kekerasan di ranah personal menjadi laporan tertinggi yang
diterima Komnas Perempuan. Dalam laporan tersebut, kekerasan diklasifikasikan dalam tiga
kategori, yakni personal, publik, dan negara. Berdasarkan data yang dilihat, kasus di ranah
personal yang diadukan ke Komnas Perempuan berjumlah 1.944 kasus. Turun dibandingkan
pada 2022 yang mencapai 2.098 kasus. Sementara itu, kasus kekerasan di ranah publik dan
negara meningkat tajam. Pada ranah publik, jumlah kasus meningkat 44% menjadi 4.182 kasus
dan ranah negara meningkat 176% menjadi 188 kasus.
Berdasarkan bentuk kekerasan, aduan pada lembaga layanan didominasi kekerasan
seksual sebesar 2.363 atau 34,80%, diikuti dengan kekerasan psikis sebanyak 1.930 atau
28,50%, kekerasan fisik sebesar 1.840 atau 27,20%, dan kekerasan ekonomi sebesar 640 kasus
atau 9,50%. Sementara itu, data Komnas Perempuan menunjukkan kekerasan psikis
mendominasi dengan jumlah sebesar 3.498 atau 41,55%, diikuti dengan kekerasan fisik sebesar
2.081 atau 24,71%, kekerasan seksual sebesar 2.078 atau 24,69%, dan kekerasan ekonomi
sebesar 762 atau 9,05%.
Bahkan, kini tindak kekeresan seksual semakin banyak terjadi di lingkungan pondok
pesantren. Diantranya yang terjadi di beberapa pesantren, seperti di kota di Bandung,
Tasikmalaya, Cilacap, Trengalek, Jombang, Lampung, Jember, Mojokerto, Pinrang Sulawesi
Selatan, dan Lombok-NTB. Deretan kasus tersebut menujukkan, pesantren menjadi medan
darurat kekerasan seksual. Mirisnya, sebagian besar pelaku tindak kekerasan seksual adalah
pimpinan dan atau unsur pengajar di pondok pesantren.
Berdasarkan kenyataan itu, kekerasan seksual di pesantren di Indonesia adalah isu yang
serius dan kompleks. Dalam beberapa tahun terakhir, laporan tentang kekerasan seksual di
pesantren mengalami peningkatan. Hal ini tentu menuntut perlunya perhatian yang lebih besar
terhadap masalah ini. Oleh karenanya, perlu adanya kajian serius dan advokasi terhadap
pesantren-pesantren atas maraknya fenomena kekerasan seksual di lembaga tersebut. Adalah
merupakan tanggung jawab kita semua untuk menganalisa dan memahami faktor-faktor
penyebab tindak kekerasan itu terjadi, serta kita dituntut untuk mencari solusi dalam upaya
mencegah kekerasa seksual terjadi berulan-ulang di pesantren.
Dampak kasus kekerasan seksual di pesantren memengaruhi kehidupan santri dan
komunitas pesantren secara luas. Kasus-kasus seperti pelecehan verbal, pelecehan fisik, hingga
pemerkosaan merupakan gejala yang menyelimuti kehidupan pesantren. Beberapa contoh
kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkugan pesantren misalnya.
Pertama, Pelecehan oleh Pengajar atau Pengurus Pesantren. Terdapat kasus-kasus di
mana pengajar atau pengurus pesantren menyalahgunakan kepercayaan dan kewenangan
mereka untuk melakukan kekerasan seksual terhadap siswa pesantren. Misalnya, kasus di mana
seorang ustadz melakukan pelecehan seksual terhadap siswa laki-laki atau perempuan di dalam
ruang kelas atau di tempat-tempat lain di pesantren.
Kedua, Pelecehan antar Sesama Santri. Kadang-kadang, kekerasan seksual juga dapat
terjadi antar sesama santri di pesantren. Misalnya, kasus di mana para santri yang lebih senior
menekan atau memaksa santri yang lebih muda untuk melakukan tindakan seksual yang tidak
diinginkan. Hal ini rentan terjadi, bahkan dalam beberapa kasus cukup jamak terjadi dalam
kultur senior-junior di pesantren.
Ketiga. Penyalahgunaan Tradisi atau Ritual Keagamaan. Beberapa kasus menjukkan,
pelaku kekerasan seksual menggunakan tradisi atau ritual keagamaan sebagai kedok untuk
melakukan tindakan kekerasan. Misalnya, kasus di mana pelaku menggunakan upacara
keagamaan atau praktik-praktik keagamaan tertentu untuk membenarkan tindakan kekerasan
seksual terhadap santri pesantren. Dalam konteks ini, santri menjadi tidak bedaya, karena
iming-iming ritual agama, selain itu karena pelakunya adalah orang yang dihormati, seperti
ustazanya atau tuan guru dan kiai.
Keempat. Kasus kekerasan seksual di Pesantren banyak tidak dilaporkan. Sebagian
besar kasus kekerasan seksual di pesantren mungkin tidak dilaporkan ke pihak berwenang
karena berbagai alasan, termasuk stigma sosial, ketakutan akan pembalasan, atau kurangnya
kepercayaan pada sistem hukum. Sehingga, jumlah kasus yang dilaporkan mungkin hanya
mencerminkan sebagian kecil dari keseluruhan masalah. Problem inilah yang menjadi
hambatan utama dalam mengungkap kasus kekerasan seksual di lingkungan pesantren. Namun
demikian, perlu kiranya pihak pengambil kebijakan, terutama kementerian agama merancang
solusi atas permaslahan ini.
Kasus-kasus kekerasan seksual tersebut, telah menimbulkan trauma psikologis bagi
korban. Bahkan merusak hubungan antara santri dan pengajar, serta memunculkan reputasi
buruk bagi pesantren dan lembaga pendidikan agama secara umum. Oleh karena itu, penting
untuk mengambil langkah-langkah preventif, seperti meningkatkan pengawasan, memberikan
pendidikan seksual yang komprehensif, dan mendorong budaya yang menolak segala bentuk
kekerasan dan pelecehan di pesantren. Selain itu, korban kekerasan seksual juga perlu
mendapatkan dukungan dan perlindungan yang memadai untuk memulihkan diri dan
mendapatkan keadilan. Pada titik ini, kita perlu memberi bekal wawasan mitigasi jika santri di
pondok pesantren menjadi korban. Perlu adanya pembentukan komunitas santri anti kekerasan
seksual dan pusat atau unit pengaduan di dalam pesanren untuk menanagani kasus kasus
kekerasan seksual.
Dalam konteks program pengabdian ini, ditemukan bahwa kekerasan seksual di
pesantren Lombok disebabkan oleh sejumlah faktor, seperti kekuatan struktural dalam
pesantren, ketidaksetaraan gender, kurangnya pendidikan seksual komprehensif, dan
kekurangan pengawasan serta perlindungan terhadap siswa. Perlindungan hukum dan stigma
sosial juga memperumit penanganan kasus kekerasan seksual di pesantren. Untuk mengatasi
masalah ini, tentu diperlukan pendekatan yang holistik yang melibatkan kolaborasi antara
pesantren, pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat luas. Menurut penulis, perlu
langkah taktis dalam menyikapi kasus kekerasn seksual yang terjadi di Lombok. Misalnya
perlunya political will dari pengurus pesantren dalam meningkatkan pengawasan dan
perlindungan kepada santri dalam sistem keamana pondok. Pihak pengurus pesantren juga
harus memberikan wawsan pendidikan seksual yang inklusif, serta perlu adanya pelatihan bagi
pengajar dan staf pesantren dalam isus isu kekerasan seksual. Kesadaran dan keterlibatan aktif
dari semua pihak diperlukan untuk memastikan pesantren menjadi lingkungan yang aman dan
mendukung bagi semua santri. Dengan langkah-langkah kolaborasi semacam itu, diharapkan
mampu menciptakan perlindungan terhadap santri dan mencegah kekerasan seksual di masa
mendatang.
Dalam konteks yang lebuh luas, pemerintah Indonesia telah mengambil sejumlah
langkah untuk mencegah kekerasan seksual di negara ini. Namun masih saja terjadi sejumlah
kasus kekerasan seksual di berbagai tempat. Padahal, pemerintah sudah melakukan beberapa
upaya pencegahan sebagai berikut:
Pertama. Pengesahan Undang-Undang Perlindungan Korban Tindak Kekerasan
Seksual. Pada tahun 2016, pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Undang-undang ini memberikan landasan hukum yang lebih kuat untuk
melindungi korban kekerasan seksual, memberikan sanksi yang lebih tegas terhadap pelaku,
serta mendorong pencegahan kekerasan seksual di masyarakat.
Kedua. Pendidikan Seksual di Sekolah: Pemerintah telah mendorong peningkatan
pendidikan seksual di sekolah-sekolah sebagai bagian dari kurikulum pendidikan. Pendidikan
seksual yang tepat dan komprehensif diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih
baik kepada anak-anak mengenai hak, kewajiban, dan bagaimana menghadapi situasi
berpotensi berisiko, termasuk kekerasan seksual.
Ketiga. Pelatihan dan Sosialisasi untuk Penegak Hukum: Pemerintah telah
melakukan pelatihan dan sosialisasi kepada aparat penegak hukum, termasuk polisi dan jaksa,
tentang penanganan kasus kekerasan seksual dengan lebih baik. Hal ini bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan mereka dalam mengidentifikasi, menangani, dan memberikan
perlindungan kepada korban kekerasan seksual.
Keempat. Kampanye Kesadaran Masyarakat. Pemerintah juga aktif dalam
melakukan kampanye kesadaran masyarakat tentang kekerasan seksual dan pentingnya
melaporkan kasus-kasus tersebut. Kampanye ini dilakukan melalui berbagai media, seperti
televisi, radio, internet, dan kampanye langsung di masyarakat, untuk meningkatkan
pemahaman dan partisipasi masyarakat dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.
Kelima. Penguatan Lembaga Perlindungan Anak dan Perempuan: Pemerintah
telah memperkuat peran lembaga perlindungan anak dan perempuan, seperti Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap
Perempuan (Komnas Perempuan). Melalui lembaga-lembaga ini, pemerintah berupaya untuk
memberikan bantuan, perlindungan, dan advokasi bagi korban kekerasan seksual, serta
mengadvokasi kebijakan yang lebih baik untuk mencegah kekerasan seksual.
Langkah-langkah tersebut merupakan bagian dari upaya pemerintah Indonesia untuk
melindungi warga negara dari kekerasan seksual dan menciptakan lingkungan yang aman dan
mendukung bagi semua orang, terutama anak-anak dan perempuan. Namun, tantangan dalam
pencegahan kekerasan seksual tetap ada, dan kerja sama lintas sektor dan partisipasi aktif dari
masyarakat masih sangat dibutuhkan dalam upaya mencapai tujuan tersebut.
Dalam konteks pengadian ini, di Kabupaten Lombok Timur ditemukan dua pondok
pesantren yang memiliki kasus kekerasan seksual, yakni pondok pesantren di desa Kotaraja
dan desa Sikur. Korban kasus tersebut berjumlah 41 orang santriwati. Pelakunya adalah
pimpinan pondok pesantren. Modus yang digunakan dalam tindak pelecehan seksual adalah
berupa bujuk rayu agar korban mau berhubungan intim, serta diimingi keberkahan dan pahala.
Menurut laporan Direktur Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH) Universitas Mataram
menjelaskan, bahwa ada beberapa santriwati lain yang menjadi korban, diperkirakan sekitar 30
orang santriwati yang belum berani membuka suara. Ada beberapa faktor yang menyebabkan
kenapa kekerasan seksual rentan terjadi di pesantren: Pertama. Persoalan (literasi) seksual
masih dianggap tabu untuk didiskusikan secara terbuka di lingkungan pondok pesantren.
Kedua, pesantren tidak memfasilitasi santri dalam menciptakan program penguatan literasi dan
mitigasi kekerasan seksual. Ketiga, pondok pesantren belum membangun kemitraan dengan
berbagai pihak dalam kegiatan penyuluhan dan peningkatan literasi dan mitigasi kekerasan
seksual. Oleh karena itu, kalangan santri rentan menjadi korban tindak kekerasan seksual.

B. Program Pendampingan Literasi Seksual


Sehubungan alasan-alasan di atas, kami melaksanakan program pengabdian Sexual
literacy and mitigation for santri di Lombok Timur. Kegiatan ini penting dilakukan,sebagai
bentuk pendampingan bagi para santri untuk meningkatkan literasi pendidikan seksual dan
mitigasi bagi korban kekerasan seksual di lingkungan pesantren. Adapun tujuan yang akan
dicapai dari kegiatan ini adalah:
1. Meningkatkan wawasan dan pengetahuan santri terhadap isu kekerasan seksual.
2. Membentuk komunitas santri anti-kekerasan seksual sebagai upaya preventif
mengurangi korban kekerasan seksual di Pesantren.
3. Memberikan wawasan dan teknis dalam menangani dan mendampingi korban
kekerasan seksual di pesantren.
4. Meningkatkan kesadaran pengurus pesantren dalam melihat kasus kekerasan yang
terjadi, dan memiliki empati terhadap persoalan-persoalan tersebut.
Kegiatan ini dilakukan di Pondok Pesantren Darul Kamal Kembang Kerang Lombok
Timur. Awalnya kegiatan ini akan dilkasanakan di tiga pondok pesantren, namun dua pihak
pesantren terkait tidak memberikan izin pelaksaan. Karena itu, kegiatan ini difokuskan di satu
lokasi, yakni Pondok Pesantren Darul Kamal. Pemilihan fokus lokasi ini didasarkan pada bahwa
pondok pesantren Darul Kamal menampung banyak santriwati, baik yang sekolah menengah,
maupun yang menjadi mahasantri di perguruan tinggi. Narasumber dan fasilitator kegiatan ini
melibatkan penyuluh agama, aktivis perempuan, dan LSM pembela dan perlindungan korban
kekerasan seksual. Sedangkan peserta kegiatan adalah para santriwati asrama putri dan
mahasiswi di Sekolah Tinggi Agama Islam Darul Kamal, dengan dengan jumlah total peserta 70
orang.Dalam pelaksanaan kegiatan, peserta diberikan materi-materi tentang bentuk bentuk
kekerasan seksual, cara penanganan kasus, dan cara mitigasi korban.
Adapun hasil yang telah dicapai dari kegiatan ini adalah sebagai berikut:
1. Tersosialisasinya isu kekerasan seksual yang sedang marak terjadi di pesantren kepada
santriwati. Sehingga mereka bisa menumbuhkan rasa waspada dan sikap hati-hati.
2. Meningkatnya pengetahuan orang peserta kegiatan dalam memahami bentuk-bentuk
kekerasan seksual, mekanisme pelaporan dan mitigasi korban.
3. Meningkatnya partisipasi peserta dalam melakukan pendampingan dan kampanye anti
kekerasan seksual terhadap santriwati lainnya.
C. Identifikasi temuan/masalah
Kekerasan seksual yang terjadi di pesantren bisa disebabkan oleh berbagai faktor
kompleks yang melibatkan unsur struktural, budaya, sosial, dan individu. Beberapa faktor yang
dapat menjelaskan mengapa kekerasan seksual sering terjadi di pesantren meliputi:
1. Kekuatan Struktural dalam Pesantren: Struktur kuasa yang otoriter dan hierarkis di
pesantren dapat menciptakan lingkungan di mana pengajar atau ustadz memiliki
kekuasaan besar terhadap murid. Kekuasaan ini dapat disalahgunakan untuk melakukan
kekerasan seksual, karena adanya ketidaksetaraan kekuasaan antara guru dan murid.
2. Ketidaksetaraan Gender: Pesantren tradisional sering kali mengajarkan nilai-nilai yang
konservatif tentang peran gender, yang dapat menghasilkan ketidaksetaraan gender dan
memperkuat norma-norma yang mendukung kekerasan terhadap perempuan dan anak
perempuan.
3. Kurangnya Pengawasan dan Perlindungan: Beberapa pesantren mungkin kurang
memiliki mekanisme pengawasan dan perlindungan yang memadai terhadap siswa,
sehingga memungkinkan peluang bagi para pelaku untuk melakukan tindakan
kekerasan tanpa takut akan konsekuensinya.
4. Stigma dan Ketakutan: Korban kekerasan seksual di pesantren mungkin mengalami
stigma sosial yang kuat, terutama jika kekerasan tersebut terjadi dalam konteks
keagamaan. Hal ini dapat membuat korban enggan melaporkan kejadian tersebut
karena takut dicap sebagai orang yang tidak beriman atau membawa malu bagi keluarga
mereka.
5. Kurangnya Pendidikan Seksual dan Kesadaran: Pesantren mungkin kurang
memberikan pendidikan seksual yang memadai kepada siswa, sehingga mereka tidak
memiliki pengetahuan yang cukup untuk mengenali tanda-tanda kekerasan seksual atau
melaporkannya jika mereka menjadi korban.
6. Penyalahgunaan Kepercayaan dan Kewibawaan: Dalam beberapa kasus, para pelaku
kekerasan seksual di pesantren mungkin menyalahgunakan kepercayaan dan
kewibawaan mereka sebagai tokoh agama atau pengajar untuk melakukan tindakan
kekerasan terhadap siswa.
Semua faktor ini bersama-sama menciptakan kondisi di mana kekerasan seksual dapat
terjadi di pesantren dengan tingkat kejadian yang lebih tinggi daripada di tempat-tempat lain.
Oleh karena itu, perlu adanya langkah-langkah yang menyeluruh untuk mencegah kekerasan
seksual di pesantren, termasuk pendidikan seksual yang inklusif, peningkatan pengawasan dan
perlindungan terhadap siswa, serta penguatan norma-norma yang melindungi hak-hak individu
dari segala bentuk kekerasan.
Di dalam proses pelaksanan kegitan ini ditemukan tiga masalah utama:
1. Secara individual, para santriwati merasa memiliki keterbatasan-keterbatasan
pengetahuan tentang detail-detail isu kekerasan seksual.
2. Secara institusional, tidak adanya sinergi antara pesantren dengan berbagai lembaga
masyarakat yang concern terhadap isu kekerasan seksual untuk melaksanakan program
workshop atau seminar tentang isu-isu kekerasan seksual. Selain itu, pihak pesantren
tidak memiliki konsern terhadap penguatan pengetahuan santriwati terkait berbagai
permasalahan kekerasan seksual yang terjadi di Lombok.
3. Secara sosio-kultural, Lombok masih memiliki budaya patriarkhi yang cukup kuat.
Sehingga ada relasi yang timpang antara laki-laki dan perempuan. Terutama menyangkut
relasi pimpinan pondok dan santriwati. Sehingga banyak kasus kekerasan seksual yang
korbannya bungkam. Karena korbannya takut membuaka suara, dan dia akan mendapat
stigma dari masyarakat.
D. Rekomendasi
Mempertimbangkan berbagai hal di atas, maka direkomendasikan hal-hal sebagai
berikut:
a) Ditjen Pesantren, perlu mensosialisasikan pentingnya wawasan mengenai isu-isu
kekerasan seksual kepada santriwati di seluruh pesantren di Indonesia. Bahkan perlu
adanya modul yang akan menjadi pedoman bagi pengelola pesantren dan menjadi
sumber bacaan bagi santriwati.
b) Ditjen Pesantren, perlu memasukkan isu kekerasan seksual sebagai salah satu materi
dalam pelatihan kapasitas pengurus pesantren. Bahkan, perlu adanya semacam pilot
project pendampingan korban kekerasan seksual di pesantren-pesantren di setiap daerah.
Pelaksanan proyek ini bisa bekerjasma dengan lembaga-lembaga yang konsen pada isu
tersebut, seperti PEKKA, LBH APIK, P2TP2A, dan lain-lain.
c) Ditjen Pesantren, perlu melakukan pembekalan terhadap tokoh-tokoh pimpinan pondok
pesantren tentang kekerasan seksual, hukuman, dan dampak bagi lembaga yang
membiarkan kekerasan seksual terjadi di dalamnya. Misalnya pesantrennya ditutup.
Dengan demikian, hal ini dapat memberikan sikap hati-hati pimpinan pesantren agar
tidak terjadi kekerasan seksual di lingkungan pesantren yang dikelola.
d) Ditjen Pesantren perlu mendorong terbentuknya lembaga "Santri Anti Kekerasn Seksual"
di setiap pesantren. Lembaga inilah yang akan mendapat pembinaan oleh pemerintah dan
lembaga-lembaga lainnya dalam membahas dan menangani isu kekerasan seksual.
Selain rekomendasi tersebut, isu kekerasan seksual harus disosalisasikan secara luas.
Sehingga memunculkan patisipasi masyarakat, terutama generasi Z. Kampanye anti
kekerasan seksual yang ditujukan kepada generasi Z harus dirancang dengan
memperhatikan karakteristik, preferensi, dan pola perilaku yang unik dari generasi tersebut.
Berikut adalah beberapa cara kampanye yang dapat dijalankan untuk mencapai efektivitas:
1. Kolaborasi dengan Influencer Digital: Generasi Z cenderung lebih terhubung dengan
influencer digital daripada dengan media tradisional. Kampanye anti kekerasan seksual
dapat bekerja sama dengan influencer digital yang memiliki pengikut yang besar di
platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube untuk menyampaikan pesan-pesan
yang relevan dan menjangkau generasi Z secara langsung.
2. Konten yang Kreatif dan Menarik: Generasi Z cenderung lebih responsif terhadap
konten yang kreatif, menarik, dan autentik. Oleh karena itu, kampanye anti kekerasan
seksual perlu menggunakan berbagai jenis konten seperti video pendek, meme,
animasi, dan gambar yang dapat menarik perhatian dan menginspirasi audiens.
3. Pendidikan Seksual yang Inklusif: Kampanye harus menyediakan informasi tentang
kekerasan seksual secara jelas dan akurat, serta mengajarkan keterampilan
interpersonal seperti komunikasi yang sehat, pengambilan keputusan yang bijaksana,
dan pengenalan tanda-tanda kekerasan seksual. Pendidikan seksual yang inklusif juga
harus mengakomodasi keberagaman gender dan orientasi seksual.
4. Partisipasi Aktif dari Generasi Z: Melibatkan generasi Z dalam perencanaan, desain,
dan pelaksanaan kampanye dapat meningkatkan rasa memiliki dan keterlibatan mereka.
Misalnya, kampanye dapat mengadakan kompetisi desain poster atau video, forum
diskusi online, atau kelompok-kelompok diskusi di media sosial untuk memperkuat
keterlibatan generasi Z dalam isu kekerasan seksual.
5. Mendorong Perubahan Budaya: Kampanye harus bertujuan untuk merubah sikap dan
perilaku budaya yang mendukung kekerasan seksual. Ini bisa dilakukan melalui narasi
cerita yang kuat, menyajikan contoh-contoh positif dari individu atau komunitas yang
melawan kekerasan seksual, dan mempromosikan nilai-nilai seperti kesetaraan gender,
penghormatan, dan persetujuan.
6. Sumber Daya dan Dukungan Mental: Kampanye juga harus menyediakan sumber daya
dan dukungan mental bagi individu yang telah menjadi korban kekerasan seksual. Ini
dapat mencakup informasi tentang layanan dukungan, panduan untuk mencari bantuan,
dan ruang aman untuk berbagi pengalaman. Melalui pendekatan yang holistik dan
disesuaikan dengan preferensi dan kebutuhan generasi Z, kampanye anti kekerasan
seksual dapat mencapai efektivitas yang lebih besar dalam menyadarkan dan
melibatkan generasi ini dalam upaya pencegahan dan penanggulangan kekerasan
seksual.

Anda mungkin juga menyukai