Anda di halaman 1dari 6

Kelompok 2:

1. Winda Adhisa Triana Putri


2. Sinta Noviana
3. Isniyanti
4. Fitri Aida Aliah Mufida
5. Amelia Astuti
6. Nuriyatul Mukhlisa

Etika Profesi Jaksa

Pada zaman Kerajaan Majapahit, profesi jaksa dikenal dengan istilah “dhyaksa”,
“adhyaksa”, dan “dharmadhyaksa”. Shyaksa dikatakan sebagai pejabat negara yang dibebani
tugas untuk menangani masalah-masalah peradilan di bawah pengawasan Mahapatih Gajah
Mada selaku pejabat Adhyaksa. Sedangkan dharmdhyaksa berperan sebagai pengawas
tertinggi dari kekayaan suci dalam urusan kepercayaan dan menjabat sebagai ketua
pengadilan. Kemudian kata dhyaksa berubah menjadi jaksa.

Pasca kemerdekaan, lembaga kejaksaan tetap dipertahankan dengan diambil alihnya


peraturan yang pernah berlaku pada zaman penjajahan Jepang (Osamu Serei No. 3/1942, No.
2/1944, dan No. 49/1944). Kemudian aturan ini diperkuat dengan Peraturan Pemerintan No.
2/1945, Undang-Undang No. 1/1944, Undang-Undang No. 7/1947, dan Undang-Undang No.
19/1984.

Dalam struktur Pemerintahan RI pertama kali berdiri, kejaksaan menyatu dalam


Departemen Kehakiman. Kemudian pada tanggal 22 Juli 1960 dirasa penggabungan antara
jaksa dan hakim dalam satu jajaran departemen itu kurang menguntungkan bagi penegakan
hukum. dalam menjalankan tugas, pandangan jaksa memang tidak harus selalu sejalan
dengan hakim. Apabila keduanya dikoordinasi oleh satu instansi, dikhawatirkan independensi
masing-masing pihak tidak lagi dipercaya oleh rakyat.1

Meskipun telah mengalami pergantian nama dan pemerintah, fungsi dan tugas
kejaksaan tetaplah sama, yaitu:

1. Melakukan penuntutan terhadap perkara kriminal;


2. Mewakili negara sebagai penggugat atau tergugat dalam perkara perdata;

1
Darji Darmodiharjo, Pokok-Pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat Islam Hukum di
Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1999).
3. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap;
4. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan
pidana pengawasan;
5. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;
6. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan
tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya
dikoordinasikan dengan penyidik.

Sebagai pengemban tugas dan wewenang kejaksaan, jaksa dikonstruksikan sebagai


insan beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa yang berasaskan satu tidak
terpisah-pisahkan, bertindak berdasarkan hukum dan sumpah jabatan dengan mengindahkan
norma keagamaan, kesopanan, kesusilaan, dan keadilan yang hidup dalam masyarakat dan
berperdoman kepada Tata Krama Adhyaksa.

Kode etik jaksa adalah serangkaian norma sebagai pedoman untuk mengatur prilaku
jaksa dalam menjalankan jabatan profesi, menjaga kehormatan dan martabat profesinya, serta
menjaga hubungan kerjasama dengan penegak hukum lainnya. Tri Krama Adhyaksa
ditetapkan sebagai pedoman yang menjiwai setiap warga kejaksaan dan harus terwujud dalam
sikap mental yang terpuji serta hal tersebut merupakan ciri hakiki Kejaksaan Republik
Indonesia.

Sebagai perwujudan dari sikap mental yang terpuji tersebut adalah Satya Adhi
Wicaksana, yang dijelaskan sebagai berikut:

1. Satya, kesetiaan yang bersumber pada rasa jujur, baik terhadap Tuhan Yang Maha
Esa, terhadap diri pribadi, dan keluarga, maupun sesama manusia;
2. Adhi, kesempurnaan dalam bertugas dan berunsur utama pada rasa tanggung jawab
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, keluarga, dan terhadap sesama manusia;
3. Wicaksana, bijaksana dalam tutur kata dan tingkah laku, khususnya dalam penerapan
kekuasaan dan kewenangannya.

Dalam dunia kejaksaan di Indonesia, terdapat lima norma kode etik profesi jaksa,
yaitu sebagai berikut:

1. Bersedia menerima kebenaran dari siapapun, menjaga diri, berani, bertanggung


jawab, dan dapat menjadi teladan di lingkungannya;
2. Mengamalkan dan melaksanakan Pancasila serta secara aktif dan kreatif dalam
pembangunan hukum untuk mewujudkan masyarakat adil;
3. Bersikap adil dalam memberikan pelayanan kepada para pencari keadilan;
4. Berbudi luhur serta berwatak mulia, setia, jujur, arif dan bijaksana dalam diri, berkata
dan bertingkah laku;
5. Mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi atau
golongan.

Karena disusun dengan tujuan agar dijalankan, kode etik jaksa mengandung nilai-nilai
luhur dan ideal sebagai pedoman berperilaku dalam profesi. Apabila kode etik ini dijalankan
sesuai dengan tujuan, akan lahir jaksa-jaksa yang mempunyai kualitas moral yang baik dalam
melaksanakan tugasnya sehingga kehidupan peradilan di negara kita akan mengarah pada
keberhasilan.

Dalam melaksanakan tugas profesi, seorang jaksa wajib untuk:2

1. Mentaati kaidah hukum, peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan


yang berlaku;
2. Menghormati prinsip cepat, sederhana, biaya ringan sesuai dengan prosedur yang
ditetapkan;
3. Mendasarkan pada keyakinan dan alat bukti yang sah untuk mencapai keadilan dan
kebenaran;
4. Bersikap mandiri, bebas dari pengaruh atau tekanan atau ancaman opini publik secara
langsung;
5. Bertindak secara objektif dan tidak memihak;
6. Memberitahukan dan/atau memberikan hak-hak yang dimiliki oleh
tersangka/terdakwa maupun korban;
7. Membangun dan memelihara hubungan fungsional antara aparat penegak hukum
dalam mewujudkan sistem peradilan pidana terpadu;
8. Mengundurkan diri dari penanganan perkara yang mempunyai kepentingan pribadi
atau keluarga, mempunyai hubungan pekerjaan, partai atau finansial atau mempunyai
nilai ekonomis secara langsung atau tidak langsung;
9. Menyimpan dan memegang rahasia sesuatu yang seharusnya dirahasiakan;
10. Menghormati kebebasan dan perbedaan pendapat sepanjang tidak melanggar
2
Pasal 3, Kewajiban Jaksa dalam Melaksanakan Tugas Profesi, Peraturan Jaksa Agung RI No. PER-
014/A/JA/11/2012.
11. Ketentuan peraturan perundang-undangan;
12. Menghormati dan melindungi HAM;
13. Menanggapi kritik dengan arif dan bijaksana.

Sedangkan, di dalam menjalankan tugas profesinya, seorang jaksa dilarang untuk:3

1. Menggunakan jabatan dan/atau tugas kekuasaannya untuk kepentingan pribadi


dan/atau pihak lain;
2. Merekayasa fakta-fakta hukum dalam penanganan perkara;
3. Menggunakan kapasitas dan otoritasnya untuk melakukan penekanan secara fisik
dan/atau psikis;
4. Meminta dan/atau menerima hadiah dan/atau keuntungan serta melarang keluarganya
meminta dan/atau menerima hadiah dan/atau keuntungan sehubungan dengan
jabatannya;
5. Menangani perkara yang mempunyai kepentingan pribadi atau keluarga, mempunyai
hubungan pekerjaan, partai atau finansial atau mempunyai nilai ekonomis secara
langsung atau tidak langsung;
6. Bertindak diskriminatif dalam bentuk apapun;
7. Membentuk opini publik yang merugikan kepentingan penegakan hukum;
8. Memberikan keterangan kepada publik kecuali terbatas pada hal-hal teknis perkara
yang ditangani.

Adapun dalam Pasal 21 Undang-Undang Kejaksaan disebutkan bahwa seorang Jaksa


Agung dilarang merangkap menjadi:

1. Pejabat Negara lain atau penyelenggara negara menurut peraturan perundang-


undangan;
2. Advokat;
3. Wali, kurator/pengampu, dan/atau pejabat yang terkait dalam perkara yang
sedangdiperiksa olehnya;
4. Pengusaha, pengurus atau karyawan badan usaha milik negara/daerah, atau badan
usaha swasta;
5. Notaris, notaris pengganti, atau pejabat pembuat akta tanah;
6. Arbiter, badan atau panitia penyelesaian sengketa yang dibentuk berdasarkan
peraturan perundang-undangan;
3
Pasal 4, Larangan Jaksa dalam Melaksanakan Tugas Profesi, Peraturan Jaksa Agung RI No. PER-
014/A/JA/11/2012.
7. Pejabat lembaga berbentuk komisi yang dibentuk berdasarkan undang-undang; atau
8. Pejabat pada jabatan lainnya yang ditentukan berdasarkan undang-undang.

Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk
bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. Jabatan
fungsional jaksa adalah bersifat keahlian teknis yang melakukan penuntutan. Bahwa dalam
rangka mewujudkan jaksa yang memiliki integritas kepribadian serta disiplin tinggi guna
melaksanakan tugas penegakan hukum dalam mewujudkan keadilan dan kebenaran, maka
diperlukan adanya kode etik profesi jaksa.

Kode etik jaksa mempunyai implementasi yang sangat strategis dengan pelaksanaan
tugas jaksa sebagai Penuntut Umum, antara lain:

1. Kode Etik Jaksa terkandung nilai-nilai luhur yang dapat membangun pribadi para
penegak hukum yang lebih bermartabat dalam menjalankan fungsinya;
2. Sanksi yang diberikan kepada oknum jaksa yang melanggar kode etik jaksa dapat
berupa sanksi administrasi terhadap pelanggaran yang ringan dan sanksi
diberhentikan dengan tidak hormat apabila oknum jaksa memenuhi alasan
pemberhentian dalam Pasal 13 Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia.

Kendala yang sering muncul dalam penerapan kode etik jaksa terhadap tugas jaksa
sebagai penuntut umum adalah:

1. Pengawasan terhadap tugas jaksa sebagai penuntut umum yang di lakukan oleh setiap
kepala masing-masing divisi dalam pelaksanaanya kurang efektik karena masih
terdapat oknum jaksa yang melanggar kode etik jaksa;
2. Sanksi terhadap oknum jaksa yang melanggar kode etik jaksa kurang memberikan
efek jera sehingga perlu disempurnakan karena masih terdapat oknum jaksa yang
melanggar kode etik jaksa.

Kemudian dari apa yang telah dijabarkan di atas dan untuk berjalannya penegakan
hukum yang lebih baik, maka kami memberikan saran sebagai berikut:

1. Peraturan kode etik jaksa harus lebih di sempurnakan, karena belum bisa memberikan
efek jera bagi oknum yang melakukan pelanggaran;
2. Harus ada ketentuan peraturan yang jelas tentang berapa kali jaksa boleh
mengembalikan berkas perkara kepada penyidik, karena hal ini berkaitan dengan asas
peradilan cepat dengan biaya ringan;
3. Jaksa Penuntut Umum dalam melakukan tugas harus benar-benar berpedoman pada
kode etik dan peraturan lain yang mengatur tentang hal itu;
4. Perlu diadakannya pembinaan yang berkelanjutan guna membangun pribadi jaksa
agar dapat menciptakan jaksa-jaksa yang bernilai positif, baik dari awal penerimaan
jaksa-jaksa yang baru sampai pada tingkat atas;
5. Perlu diadakannya studi khusus kepada oknum-oknum di kejaksaan, untuk
mengetahui faktor apa yang paling dominan mempengaruhi oknum jaksa melakukan
pelanggaran.

Anda mungkin juga menyukai