Pada zaman Kerajaan Majapahit, profesi jaksa dikenal dengan istilah “dhyaksa”,
“adhyaksa”, dan “dharmadhyaksa”. Shyaksa dikatakan sebagai pejabat negara yang dibebani
tugas untuk menangani masalah-masalah peradilan di bawah pengawasan Mahapatih Gajah
Mada selaku pejabat Adhyaksa. Sedangkan dharmdhyaksa berperan sebagai pengawas
tertinggi dari kekayaan suci dalam urusan kepercayaan dan menjabat sebagai ketua
pengadilan. Kemudian kata dhyaksa berubah menjadi jaksa.
Meskipun telah mengalami pergantian nama dan pemerintah, fungsi dan tugas
kejaksaan tetaplah sama, yaitu:
1
Darji Darmodiharjo, Pokok-Pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat Islam Hukum di
Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1999).
3. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap;
4. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan
pidana pengawasan;
5. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;
6. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan
tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya
dikoordinasikan dengan penyidik.
Kode etik jaksa adalah serangkaian norma sebagai pedoman untuk mengatur prilaku
jaksa dalam menjalankan jabatan profesi, menjaga kehormatan dan martabat profesinya, serta
menjaga hubungan kerjasama dengan penegak hukum lainnya. Tri Krama Adhyaksa
ditetapkan sebagai pedoman yang menjiwai setiap warga kejaksaan dan harus terwujud dalam
sikap mental yang terpuji serta hal tersebut merupakan ciri hakiki Kejaksaan Republik
Indonesia.
Sebagai perwujudan dari sikap mental yang terpuji tersebut adalah Satya Adhi
Wicaksana, yang dijelaskan sebagai berikut:
1. Satya, kesetiaan yang bersumber pada rasa jujur, baik terhadap Tuhan Yang Maha
Esa, terhadap diri pribadi, dan keluarga, maupun sesama manusia;
2. Adhi, kesempurnaan dalam bertugas dan berunsur utama pada rasa tanggung jawab
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, keluarga, dan terhadap sesama manusia;
3. Wicaksana, bijaksana dalam tutur kata dan tingkah laku, khususnya dalam penerapan
kekuasaan dan kewenangannya.
Dalam dunia kejaksaan di Indonesia, terdapat lima norma kode etik profesi jaksa,
yaitu sebagai berikut:
Karena disusun dengan tujuan agar dijalankan, kode etik jaksa mengandung nilai-nilai
luhur dan ideal sebagai pedoman berperilaku dalam profesi. Apabila kode etik ini dijalankan
sesuai dengan tujuan, akan lahir jaksa-jaksa yang mempunyai kualitas moral yang baik dalam
melaksanakan tugasnya sehingga kehidupan peradilan di negara kita akan mengarah pada
keberhasilan.
Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk
bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. Jabatan
fungsional jaksa adalah bersifat keahlian teknis yang melakukan penuntutan. Bahwa dalam
rangka mewujudkan jaksa yang memiliki integritas kepribadian serta disiplin tinggi guna
melaksanakan tugas penegakan hukum dalam mewujudkan keadilan dan kebenaran, maka
diperlukan adanya kode etik profesi jaksa.
Kode etik jaksa mempunyai implementasi yang sangat strategis dengan pelaksanaan
tugas jaksa sebagai Penuntut Umum, antara lain:
1. Kode Etik Jaksa terkandung nilai-nilai luhur yang dapat membangun pribadi para
penegak hukum yang lebih bermartabat dalam menjalankan fungsinya;
2. Sanksi yang diberikan kepada oknum jaksa yang melanggar kode etik jaksa dapat
berupa sanksi administrasi terhadap pelanggaran yang ringan dan sanksi
diberhentikan dengan tidak hormat apabila oknum jaksa memenuhi alasan
pemberhentian dalam Pasal 13 Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia.
Kendala yang sering muncul dalam penerapan kode etik jaksa terhadap tugas jaksa
sebagai penuntut umum adalah:
1. Pengawasan terhadap tugas jaksa sebagai penuntut umum yang di lakukan oleh setiap
kepala masing-masing divisi dalam pelaksanaanya kurang efektik karena masih
terdapat oknum jaksa yang melanggar kode etik jaksa;
2. Sanksi terhadap oknum jaksa yang melanggar kode etik jaksa kurang memberikan
efek jera sehingga perlu disempurnakan karena masih terdapat oknum jaksa yang
melanggar kode etik jaksa.
Kemudian dari apa yang telah dijabarkan di atas dan untuk berjalannya penegakan
hukum yang lebih baik, maka kami memberikan saran sebagai berikut:
1. Peraturan kode etik jaksa harus lebih di sempurnakan, karena belum bisa memberikan
efek jera bagi oknum yang melakukan pelanggaran;
2. Harus ada ketentuan peraturan yang jelas tentang berapa kali jaksa boleh
mengembalikan berkas perkara kepada penyidik, karena hal ini berkaitan dengan asas
peradilan cepat dengan biaya ringan;
3. Jaksa Penuntut Umum dalam melakukan tugas harus benar-benar berpedoman pada
kode etik dan peraturan lain yang mengatur tentang hal itu;
4. Perlu diadakannya pembinaan yang berkelanjutan guna membangun pribadi jaksa
agar dapat menciptakan jaksa-jaksa yang bernilai positif, baik dari awal penerimaan
jaksa-jaksa yang baru sampai pada tingkat atas;
5. Perlu diadakannya studi khusus kepada oknum-oknum di kejaksaan, untuk
mengetahui faktor apa yang paling dominan mempengaruhi oknum jaksa melakukan
pelanggaran.