Anda di halaman 1dari 11

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG

NOMOR 245 K/PID.SUS/2009


TERKAIT PELANGGARAN KODE ETIK KEJAKSAAN

Sebagai Pemenuhan Tugas


Mata Kuliah Etika Profesi Hukum Kelas A
Dosen Pengampu : Dr. Reka Dewantara, S.H., M.H.

Oleh:
Farhan Ariza Aly S. 155010107111149
Ismi Pratiwi Podungge 155010100111152

KEMENTERIAN RISET DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS HUKUM
MALANG
2019
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga pemerintahan yang
melaksanakan kekuasaan negara secara merdeka terutama pelaksanaan tugas
dan kewenangan di bidang penuntutan dan melaksanakan tugas dan
kewenangan di bidang penyidikan dan penuntutan perkara tindak pidana korupsi
dan Pelanggaran HAM berat serta kewenangan lain berdasarkan undang-
undang. Pelaksanaan kekuasaan negara tersebut diselenggarakan oleh:
1. Kejaksaan Agung, berkedudukan di ibukota negara Indonesia dan
daerah hukumnya meliputi wilayah kekuasaan negara Indonesia.
Kejaksaan Agung dipimpin oleh seorang Jaksa Agung yang
merupakan pejabat negara, pimpinan dan penanggung jawab
tertinggi kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan
tugas, dan wewenang Kejaksaan Republik Indonesia. Jaksa
Agung diangkat dan diberhentikan oleh presiden;
2. Kejaksaan Tinggi, berkedudukan di ibukota provinsi dan daerah
hukumnya meliputi wilayah provinsi. Kejaksaan Tinggi dipimpin
oleh seorang kepala kejaksaan tinggi yang merupakan pimpinan
dan penanggung jawab kejaksaan yang memimpin,
mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang kejaksaan di
daerah hukumnya;
3. Kejaksaan Negeri, berkedudukan di ibukota kabupaten/kota dan
daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota. Kejaksaan
Negeri dipimpin oleh seorang kepala kejaksaan negeri yang
merupakan pimpinan dan penanggung jawab kejaksaan yang
memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang
kejaksaan di daerah hukumnya. Pada Kejaksaan Negeri tertentu
terdapat juga Cabang Kejaksaan Negeri yang dipimpin oleh
Kepala Cabang Kejaksaan.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menyatakan bahwa Negara Indonesia merupakan Negara Hukum. Berdasarkan
pernyataan tersebut Negara Hukum memiliki prinsip penting yaitu adanya
kesederajatan bagi setiap orang dihadapan hukum (equality before the law).
Oleh karena itu setiap orang berhak atas perlakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil, serta mendapatkan perlakuan yang sama dihadapan
hukum. Kejaksaan merupakan salah satu lembaga penegak hukum dituntut
untuk berperan penting dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan
kepentingan hukum, penegakkan HAM, serta pemberantasan KKN.1
Dalam melaksanakan fungsinya, Kejaksaan RI sebagai lembaga
pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan
harus mampu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan, dan
kebenaran berdasarkan hukum, serta mengindahkan norma-norma keagamaan,
kesopanan, dan kesusilaan, serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum,
dan keadilan yang ada dalam masyarakat. Kejaksaan juga harus mampu
berpartisipasi dalam proses pembangunan seperti turut mewujudkan masyarakat
yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila, serta berkewajiban untuk turut
menjaga dan menegakkan hukum demi melindungi kepentingan bangsa dan
negara.. Selain fungsi tersebut Kejaksaan RI mempunyai Tugas dan Wewenang
yang ditulis dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan yaitu:
1. Melakukan penuntutan;
2. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
3. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana
bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas
bersyarat;
4. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu
berdasarkan Undang-Undang;
5. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat
melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke
pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan
penyidik.2

1Id.Wikipedia.id., Kejaksaan Repubilik Indonesia, diakses dari


https://id.wikipedia.org/wiki/Kejaksaan_Republik_Indonesia, diakses pada 30 Maret 2019 jam 10.11
WIB.
2Kejaksaan.go.id, Tugas dan Wewenang Kejaksaan, diakses dari
https://www.kejaksaan.go.id/profil_kejaksaan.php?id=7, diakses pada 30 Maret 2019 jam 10.43
WIB.
Tugas dan Wewenang Kejaksaan diatas merupakan Tugas dan
Wewenang Kejaksaan dalam lingkup hukum pidana. Selain dalam hukum
pidana, Tugas dan Wewenang Kejaksaan juga dapat mencakup hukum perdata
dan hukum tata usaha negara dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di
dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.
Kejaksaan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya diwakili oleh
seorang Jaksa. Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh
Undang-Undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan melaksanakan
putusan pengadilan yang teah memperoleh kekuatan hukum tetap serta
wewenang lain berdasarkan Undang-Undang. Seorang Jaksa sebelum
melakukan tugasnya harus disumpah dan berjanji terlebih dahulu seagai
pertanggungjawaban dirinya kepada Negara, Bangsa, dan Lembaganya.
Dilihat dari penjelasan diatas Kejaksaan merupakan profesi hukum yang
berhubungan langsung dengan masyarakat umum. Profesi hukum harus
dijalankan oleh orang-orang tertentu yang dapat dipercaya dan
bertanggungjawab besar terhadap apa yang menjadi tugasnya dan tidak
menyalahgunakan situasi yang ada dengan menggunakan kemampuan dan
keahlian serta pengetahuan yang dimilikinya. Oleh karena itu Kode Etik sangat
diperlukan dalam profesi Jaksa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.
Kode Etik Jaksa adalah Tata Krama Adhyaksa dimana dalam
menjalankan tugas, Jaksa sebagai pengemban tugas dan wewenang Kejaksaan
adalah insani yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
berdasarkan satu dan tidak terpisahkan, bertindak berdasarkan hukum dan
sumpah jabatan dengan mengindahkan norma keagamaan, kesopanan,
kesusilaan dan keadilan yang hidup dalam masyarakat serta berpedoman
kepada Doktrin Tata Krama Adhyaksa. Dengan adanya Kode Etik maka akan
memperkuat sistem pengawasan terhadap kinerja Jaksa dalam menjalankan
tugas dan wewenangnya.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dapat diangkat berdasarkan latar
belakang tersebut adalah:
1. Apakah dalam Kasus Putusan Mahkamah Agung tersebut merupakan
suatu pelanggaran Kode Etik profesi Jaksa?
2. Apakah Putusan yang telah dijatuhkan oleh Mahkamah Agung
tersebut sudah sebanding dengan pelanggaran Kode Etik yang telah
dilakukan?
3. Apa solusi yang tepat dalam mengantisipasi terjadinya pelanggaran
Kode Etik Jaksa agar tidak terjadi lagi pelanggaran Kode Etik di
kemudian hari?
BAB II
PEMBAHASAN DAN ANALISIS

Kronologis Kasus (berdasarkan Putusan No. 243 K/Pid.Sus/2009)

Bahwasanya Urip Tri Gunawan selaku Penyelenggara Negara yaitu


sebagai Jaksa dengan Jabatan Sub Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan
Tindak Pidana Khusus lainnya pada Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda
Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Republik Indonesia telah membantu
dalam hal memberitahukan perkembangan penyidikan perkara dugaan tindak
pidana korupsi yang sifatnya rahasia dan memberikan kesempatan agar Sjamsul
Nursalim (selaku Mantan Presiden Direktur PT. BDNI) tidak dihadirkan dalam
proses penyidikan dugaan tindak pidana korupsi tersebut. Dalam hal ini, Jaksa
Urip merupakan salah satu anggota Tim Penyidik Kasus Dugaan Tindak Pidana
Korupsi dalam penyerahan asset oleh PT. Bank Dagang Negara Indonesia
(BDNI) atas nama Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham Bank penerima
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada Badan Penyehatan Perbankan
Nasional. Penerimaan hadiah tersebut tertangkap tangan oleh petugas KPK saat
keluar dari tempat tinggal saksi Artalyta Suryani dan ditemukn barang bukti
berupa kardus warna putih bertuliskan ADES yang berisikan uang senilai
660.000 US dollar terdiri dari 66 ikat dengan pecaha 100 US Dollar.
Tidak hanya pada saat itu saja, pada tanggal 31 Januari sebelum
tertangkap tangan itu terjadi. Jaksa Urip telah memaksa seseorang saksi yaitu
Reno Iskandar dan Glend Muhammad untuk memberikan sesuatu berupa uang
tunai yang berjumlah Rp. 1.000.000.000 (satu milyar rupiah) dengan menduga
saksi Glend Muhammad dapat menjadi tersangka dalam kasus dugaan tindak
pidana korupsi penyerahan asset tersebut, dengan itu dalam pertemuan yang
dilakukan oleh Jaksa Urip dengan saksi Reno Iskandarsyah tanpa alasan yang
sah dan berdalih dapat membantu saksi Glend Muhammad tidak dijadikan
tersangka dalam perkara kasus tindak pidana korupsi tersebut
Berdasarkan kasus tersebut, Jaksa Urip dibidik dengan dua pasal, yaitu
melanggar Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011
tentang Perubahan atas Undang-Udang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan dengan Pasal 12 huruf dengan
Undang-Undang yang sama

2.1 Analisis Putusan MA Terkait Pelanggaran Kode Etik Jaksa

Penyalahgunaan profesi hukum dapat terjadi karena persaingan yang


melanda individu profesional hukum atau karena tidak adanya disiplin diri. Dalam
profesi hukum sering terjadi pertentangan antara 2 (dua) kepentingan yang
bersebrangan, yaitu cita-cita etika yang tinggi di satu sisi, sedang praktek hukum
berada pada posisi yang jauh dengan cita-cita tersebut. Dalam Kasus yang telah
dijelaskan sebelumnya telah nyata terjadi pelanggaran kode profesi jaksa,
dimana jaksa yang bernama Urip Tri Gunawan (selanjutnya disebut Urip) telah
menerima suap sebesar 660 US Dolar dari Artalyta Suryani karena membantu
mantan presiden Direktur PT. BDNI dengan memberitahukan perkembangan
penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi yang sifatnya rahasia serta
memberikan kesempetan kepada mantan presiden Direktur tersebut untuk tidak
dihadirkan dalam proses penyidikan dugaan tindak pidana korupsi tersebut.
Keduanya tertangkap tangan oleh petugas Komisi Pemberantas Korupsi (KPK)
dan pada akhirnya diseret ke meja hijau untuk ditindak lanjuti. Berdasarkan,
putusan Mahkamah Agung, Nomor: 243 K/Pid.Sus/2009 telah diputuskan bahwa
Jaksa Urip telah jelas dan terbukti dalam hal menerima suap dari seorang klien

Perbuatan tersebut dinilai telah melanggar tugasnya sebagai seorang


penyelenggara negara yaitu jaksa dengan jabatan Kepala Sub Direktorat Tindak
Pidana Ekonomi dan Tindak Pidana Khusus lainnya pada Direktorat Penyidikan
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung RI dalam Pasal 7
Ayat 1 huruf b Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia (Nomor 14/2012)
tentang Kode Perilaku Jaksa, dijelaskan bahwasanya dalam melaksanakan
tugas profesi sebagai jaksa dilarang dalam hal meminta dan/atau menerima
hadiah dan/atau keuntungan dalam bentuk apapun dari siapapun yang memiliki
kepentingan baik langsung maupun tidak langsung. Dalam pasal tersebut telah
jelas bahwa Jaksa Urip telah melanggar kode etik profesi jaksa.

Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, jaksa senantiasa


harusnya bertindak berdasarkan hukum dengan mengindahkan norma-norma
keagamaan, kesopanan, kesusilaan serta wajib menggali dan menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat serta menjaga kehormatan
dan martabat profesinya. Tetapi yang dilakukan oleh Jaksa Urip sangat
melanggar wewenangnya dan tidak menjaga martabatnya sebagai seorang
Jaksa. Perbuatan Jaksa Urip tersebut juga bertentangan dengan makna
timbangan yang terdapat didalam lambang kejaksaaan, bahwasanya Seorang
Jaksa seharusnya memnadang sama semua terdakwa, baik itu dari kalangan
atas maupun kalangan bawah, karena sejatinya semua orang memiliki
kedudukan yang sama dimata hukum.

Putusan Mahkamah Agung yang menjadi dasar dari permasalahan ini


adalah bahwasanya Jaksa Urip telah terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana korupsi karena telah melanggar Undang-
Undang Tindak Pidana Korupsi, Pasal 12 huruf b dan Pasal 12 huruf e Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Udang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan
hasil dari putusan tersebut tidak serta merta Jaksa Urip tidak menerima sanksi
dalam hal melanggar kode etik seorang jaksa, atau dalam hal ini sanksi tersebut
tidak diindahkan karena Jaksa Urip telah mendapatkan sanksi yang lebih berat.
Selain dituntut atau didakwa melakukan tindak pidana suap, ia juga dapat
dijatuhi sanksi dalam hal pelanggaran kode perilaku seorang jaksa. Oleh karena
itu, Jaksa Urip juga dilakukan pemeriksaan oleh Kejaksaan Agung terkait
pelanggaran kode perilaku jaksa yang dilakukan oleh Jaksa Urip. Berdasarkan
Peraturan Kode Perilaku Jaksa Pasal 12 Ayat 3 bahwasanya Jaksa yang terbukti
melakukan pelanggaran dijatuhkan tindak administratif. Tindakan Administratif
tersebut dijelaskan dalam Pasal 13 Ayat 1 yaitu:

a. Pembebasan dari tugas-tugas jaksa, paling singkat selama 3


(tiga) bulan dan paling lama selama 1 (satu) tahun
b. Pengalihatugasan pada satuan kerja yang lain, paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 2 (dua) tahun.
2.2

2.3 Solusi yang tepat dalam mengantisipasi terjadinya pelanggaran


Kode Etik Jaksa

Dengan semakin maraknya kasus pelanggaran kode etik kejaksaan,


Komisi Kejaksaan harus berani menindak tegas para jaksa yang terbukti
melanggar Kode Etik Jaksa. Sebenarnya pencegahan pelanggaran Kode Etik
Jaksa ini bisa dibagi menjadi dua, yaitu secara preventif dan represif.

a. Secara Preventif yaitu dengan cara memberikan pendidikan karakter


kepada seluruh warga Kejaksaan mengenai pentingnya kode etik jaksa
dalam menjalankan tugasnya, tidak hanya dibekali Technical Aspect
(Pertanggung jawaban secara ilmiah) tetapi juga Ethical Aspect
(Pertanggung jawaban lahirian), karena seorang Penegak Hukum
haruslah mempunyai dua aspek penting tersebut. Hal itu perlu dilakukan
agar semua warga kejaksaan tetap berpegang kepada kode etik jaksa
ketika ia bertugas.
b. Secara Represif yaitu Komisi Kejaksaan harus aktif dalam menindak
Jaksa-Jaksa yang terbukti melanggar kode etik, berilah mereka hukuman
yang setimpal dengan apa yang telah mereka perbuat. Dengan dua cara
tersebut diharapkan bahwa kedepannya Warga Kejaksaan tidak lagi
melakukan pelanggaran kode etik
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai