0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
47 tayangan11 halaman
Putusan Mahkamah Agung menyatakan bahwa tindakan Jaksa Urip Tri Gunawan yang menerima uang dan memberitahu perkembangan penyidikan secara rahasia merupakan pelanggaran Kode Etik profesi Jaksa. Pelanggaran Kode Etik ini sesuai dengan sanksi yang diberikan oleh Mahkamah Agung.
Putusan Mahkamah Agung menyatakan bahwa tindakan Jaksa Urip Tri Gunawan yang menerima uang dan memberitahu perkembangan penyidikan secara rahasia merupakan pelanggaran Kode Etik profesi Jaksa. Pelanggaran Kode Etik ini sesuai dengan sanksi yang diberikan oleh Mahkamah Agung.
Putusan Mahkamah Agung menyatakan bahwa tindakan Jaksa Urip Tri Gunawan yang menerima uang dan memberitahu perkembangan penyidikan secara rahasia merupakan pelanggaran Kode Etik profesi Jaksa. Pelanggaran Kode Etik ini sesuai dengan sanksi yang diberikan oleh Mahkamah Agung.
Mata Kuliah Etika Profesi Hukum Kelas A Dosen Pengampu : Dr. Reka Dewantara, S.H., M.H.
Oleh: Farhan Ariza Aly S. 155010107111149 Ismi Pratiwi Podungge 155010100111152
KEMENTERIAN RISET DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA FAKULTAS HUKUM MALANG 2019 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara secara merdeka terutama pelaksanaan tugas dan kewenangan di bidang penuntutan dan melaksanakan tugas dan kewenangan di bidang penyidikan dan penuntutan perkara tindak pidana korupsi dan Pelanggaran HAM berat serta kewenangan lain berdasarkan undang- undang. Pelaksanaan kekuasaan negara tersebut diselenggarakan oleh: 1. Kejaksaan Agung, berkedudukan di ibukota negara Indonesia dan daerah hukumnya meliputi wilayah kekuasaan negara Indonesia. Kejaksaan Agung dipimpin oleh seorang Jaksa Agung yang merupakan pejabat negara, pimpinan dan penanggung jawab tertinggi kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang Kejaksaan Republik Indonesia. Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh presiden; 2. Kejaksaan Tinggi, berkedudukan di ibukota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi. Kejaksaan Tinggi dipimpin oleh seorang kepala kejaksaan tinggi yang merupakan pimpinan dan penanggung jawab kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang kejaksaan di daerah hukumnya; 3. Kejaksaan Negeri, berkedudukan di ibukota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota. Kejaksaan Negeri dipimpin oleh seorang kepala kejaksaan negeri yang merupakan pimpinan dan penanggung jawab kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang kejaksaan di daerah hukumnya. Pada Kejaksaan Negeri tertentu terdapat juga Cabang Kejaksaan Negeri yang dipimpin oleh Kepala Cabang Kejaksaan. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia merupakan Negara Hukum. Berdasarkan pernyataan tersebut Negara Hukum memiliki prinsip penting yaitu adanya kesederajatan bagi setiap orang dihadapan hukum (equality before the law). Oleh karena itu setiap orang berhak atas perlakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta mendapatkan perlakuan yang sama dihadapan hukum. Kejaksaan merupakan salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk berperan penting dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan hukum, penegakkan HAM, serta pemberantasan KKN.1 Dalam melaksanakan fungsinya, Kejaksaan RI sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan harus mampu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan, dan kebenaran berdasarkan hukum, serta mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan, serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum, dan keadilan yang ada dalam masyarakat. Kejaksaan juga harus mampu berpartisipasi dalam proses pembangunan seperti turut mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila, serta berkewajiban untuk turut menjaga dan menegakkan hukum demi melindungi kepentingan bangsa dan negara.. Selain fungsi tersebut Kejaksaan RI mempunyai Tugas dan Wewenang yang ditulis dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan yaitu: 1. Melakukan penuntutan; 2. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; 3. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; 4. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan Undang-Undang; 5. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.2
1Id.Wikipedia.id., Kejaksaan Repubilik Indonesia, diakses dari
https://id.wikipedia.org/wiki/Kejaksaan_Republik_Indonesia, diakses pada 30 Maret 2019 jam 10.11 WIB. 2Kejaksaan.go.id, Tugas dan Wewenang Kejaksaan, diakses dari https://www.kejaksaan.go.id/profil_kejaksaan.php?id=7, diakses pada 30 Maret 2019 jam 10.43 WIB. Tugas dan Wewenang Kejaksaan diatas merupakan Tugas dan Wewenang Kejaksaan dalam lingkup hukum pidana. Selain dalam hukum pidana, Tugas dan Wewenang Kejaksaan juga dapat mencakup hukum perdata dan hukum tata usaha negara dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah. Kejaksaan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya diwakili oleh seorang Jaksa. Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan melaksanakan putusan pengadilan yang teah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan Undang-Undang. Seorang Jaksa sebelum melakukan tugasnya harus disumpah dan berjanji terlebih dahulu seagai pertanggungjawaban dirinya kepada Negara, Bangsa, dan Lembaganya. Dilihat dari penjelasan diatas Kejaksaan merupakan profesi hukum yang berhubungan langsung dengan masyarakat umum. Profesi hukum harus dijalankan oleh orang-orang tertentu yang dapat dipercaya dan bertanggungjawab besar terhadap apa yang menjadi tugasnya dan tidak menyalahgunakan situasi yang ada dengan menggunakan kemampuan dan keahlian serta pengetahuan yang dimilikinya. Oleh karena itu Kode Etik sangat diperlukan dalam profesi Jaksa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Kode Etik Jaksa adalah Tata Krama Adhyaksa dimana dalam menjalankan tugas, Jaksa sebagai pengemban tugas dan wewenang Kejaksaan adalah insani yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa yang berdasarkan satu dan tidak terpisahkan, bertindak berdasarkan hukum dan sumpah jabatan dengan mengindahkan norma keagamaan, kesopanan, kesusilaan dan keadilan yang hidup dalam masyarakat serta berpedoman kepada Doktrin Tata Krama Adhyaksa. Dengan adanya Kode Etik maka akan memperkuat sistem pengawasan terhadap kinerja Jaksa dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. 1.2 Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah yang dapat diangkat berdasarkan latar belakang tersebut adalah: 1. Apakah dalam Kasus Putusan Mahkamah Agung tersebut merupakan suatu pelanggaran Kode Etik profesi Jaksa? 2. Apakah Putusan yang telah dijatuhkan oleh Mahkamah Agung tersebut sudah sebanding dengan pelanggaran Kode Etik yang telah dilakukan? 3. Apa solusi yang tepat dalam mengantisipasi terjadinya pelanggaran Kode Etik Jaksa agar tidak terjadi lagi pelanggaran Kode Etik di kemudian hari? BAB II PEMBAHASAN DAN ANALISIS
Kronologis Kasus (berdasarkan Putusan No. 243 K/Pid.Sus/2009)
Bahwasanya Urip Tri Gunawan selaku Penyelenggara Negara yaitu
sebagai Jaksa dengan Jabatan Sub Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Tindak Pidana Khusus lainnya pada Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Republik Indonesia telah membantu dalam hal memberitahukan perkembangan penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi yang sifatnya rahasia dan memberikan kesempatan agar Sjamsul Nursalim (selaku Mantan Presiden Direktur PT. BDNI) tidak dihadirkan dalam proses penyidikan dugaan tindak pidana korupsi tersebut. Dalam hal ini, Jaksa Urip merupakan salah satu anggota Tim Penyidik Kasus Dugaan Tindak Pidana Korupsi dalam penyerahan asset oleh PT. Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) atas nama Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham Bank penerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Penerimaan hadiah tersebut tertangkap tangan oleh petugas KPK saat keluar dari tempat tinggal saksi Artalyta Suryani dan ditemukn barang bukti berupa kardus warna putih bertuliskan ADES yang berisikan uang senilai 660.000 US dollar terdiri dari 66 ikat dengan pecaha 100 US Dollar. Tidak hanya pada saat itu saja, pada tanggal 31 Januari sebelum tertangkap tangan itu terjadi. Jaksa Urip telah memaksa seseorang saksi yaitu Reno Iskandar dan Glend Muhammad untuk memberikan sesuatu berupa uang tunai yang berjumlah Rp. 1.000.000.000 (satu milyar rupiah) dengan menduga saksi Glend Muhammad dapat menjadi tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi penyerahan asset tersebut, dengan itu dalam pertemuan yang dilakukan oleh Jaksa Urip dengan saksi Reno Iskandarsyah tanpa alasan yang sah dan berdalih dapat membantu saksi Glend Muhammad tidak dijadikan tersangka dalam perkara kasus tindak pidana korupsi tersebut Berdasarkan kasus tersebut, Jaksa Urip dibidik dengan dua pasal, yaitu melanggar Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Udang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan dengan Pasal 12 huruf dengan Undang-Undang yang sama
2.1 Analisis Putusan MA Terkait Pelanggaran Kode Etik Jaksa
Penyalahgunaan profesi hukum dapat terjadi karena persaingan yang
melanda individu profesional hukum atau karena tidak adanya disiplin diri. Dalam profesi hukum sering terjadi pertentangan antara 2 (dua) kepentingan yang bersebrangan, yaitu cita-cita etika yang tinggi di satu sisi, sedang praktek hukum berada pada posisi yang jauh dengan cita-cita tersebut. Dalam Kasus yang telah dijelaskan sebelumnya telah nyata terjadi pelanggaran kode profesi jaksa, dimana jaksa yang bernama Urip Tri Gunawan (selanjutnya disebut Urip) telah menerima suap sebesar 660 US Dolar dari Artalyta Suryani karena membantu mantan presiden Direktur PT. BDNI dengan memberitahukan perkembangan penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi yang sifatnya rahasia serta memberikan kesempetan kepada mantan presiden Direktur tersebut untuk tidak dihadirkan dalam proses penyidikan dugaan tindak pidana korupsi tersebut. Keduanya tertangkap tangan oleh petugas Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) dan pada akhirnya diseret ke meja hijau untuk ditindak lanjuti. Berdasarkan, putusan Mahkamah Agung, Nomor: 243 K/Pid.Sus/2009 telah diputuskan bahwa Jaksa Urip telah jelas dan terbukti dalam hal menerima suap dari seorang klien
Perbuatan tersebut dinilai telah melanggar tugasnya sebagai seorang
penyelenggara negara yaitu jaksa dengan jabatan Kepala Sub Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Tindak Pidana Khusus lainnya pada Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung RI dalam Pasal 7 Ayat 1 huruf b Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia (Nomor 14/2012) tentang Kode Perilaku Jaksa, dijelaskan bahwasanya dalam melaksanakan tugas profesi sebagai jaksa dilarang dalam hal meminta dan/atau menerima hadiah dan/atau keuntungan dalam bentuk apapun dari siapapun yang memiliki kepentingan baik langsung maupun tidak langsung. Dalam pasal tersebut telah jelas bahwa Jaksa Urip telah melanggar kode etik profesi jaksa.
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, jaksa senantiasa
harusnya bertindak berdasarkan hukum dengan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, kesusilaan serta wajib menggali dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat serta menjaga kehormatan dan martabat profesinya. Tetapi yang dilakukan oleh Jaksa Urip sangat melanggar wewenangnya dan tidak menjaga martabatnya sebagai seorang Jaksa. Perbuatan Jaksa Urip tersebut juga bertentangan dengan makna timbangan yang terdapat didalam lambang kejaksaaan, bahwasanya Seorang Jaksa seharusnya memnadang sama semua terdakwa, baik itu dari kalangan atas maupun kalangan bawah, karena sejatinya semua orang memiliki kedudukan yang sama dimata hukum.
Putusan Mahkamah Agung yang menjadi dasar dari permasalahan ini
adalah bahwasanya Jaksa Urip telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi karena telah melanggar Undang- Undang Tindak Pidana Korupsi, Pasal 12 huruf b dan Pasal 12 huruf e Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Udang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan hasil dari putusan tersebut tidak serta merta Jaksa Urip tidak menerima sanksi dalam hal melanggar kode etik seorang jaksa, atau dalam hal ini sanksi tersebut tidak diindahkan karena Jaksa Urip telah mendapatkan sanksi yang lebih berat. Selain dituntut atau didakwa melakukan tindak pidana suap, ia juga dapat dijatuhi sanksi dalam hal pelanggaran kode perilaku seorang jaksa. Oleh karena itu, Jaksa Urip juga dilakukan pemeriksaan oleh Kejaksaan Agung terkait pelanggaran kode perilaku jaksa yang dilakukan oleh Jaksa Urip. Berdasarkan Peraturan Kode Perilaku Jaksa Pasal 12 Ayat 3 bahwasanya Jaksa yang terbukti melakukan pelanggaran dijatuhkan tindak administratif. Tindakan Administratif tersebut dijelaskan dalam Pasal 13 Ayat 1 yaitu:
a. Pembebasan dari tugas-tugas jaksa, paling singkat selama 3
(tiga) bulan dan paling lama selama 1 (satu) tahun b. Pengalihatugasan pada satuan kerja yang lain, paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 2 (dua) tahun. 2.2
2.3 Solusi yang tepat dalam mengantisipasi terjadinya pelanggaran
Kode Etik Jaksa
Dengan semakin maraknya kasus pelanggaran kode etik kejaksaan,
Komisi Kejaksaan harus berani menindak tegas para jaksa yang terbukti melanggar Kode Etik Jaksa. Sebenarnya pencegahan pelanggaran Kode Etik Jaksa ini bisa dibagi menjadi dua, yaitu secara preventif dan represif.
a. Secara Preventif yaitu dengan cara memberikan pendidikan karakter
kepada seluruh warga Kejaksaan mengenai pentingnya kode etik jaksa dalam menjalankan tugasnya, tidak hanya dibekali Technical Aspect (Pertanggung jawaban secara ilmiah) tetapi juga Ethical Aspect (Pertanggung jawaban lahirian), karena seorang Penegak Hukum haruslah mempunyai dua aspek penting tersebut. Hal itu perlu dilakukan agar semua warga kejaksaan tetap berpegang kepada kode etik jaksa ketika ia bertugas. b. Secara Represif yaitu Komisi Kejaksaan harus aktif dalam menindak Jaksa-Jaksa yang terbukti melanggar kode etik, berilah mereka hukuman yang setimpal dengan apa yang telah mereka perbuat. Dengan dua cara tersebut diharapkan bahwa kedepannya Warga Kejaksaan tidak lagi melakukan pelanggaran kode etik BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan