Anda di halaman 1dari 8

TUGAS

PROFESI HUKUM JAKSA


FHK ETIKA PROFESI
SEKSI : C
Oleh :
1. Andonius Simanjorang (2011-0502. Juan Martin (2011-050
3. Kristianto (2011-050-181)
4. Sarah Neville Djunaidi (2011-050-229)
5. Anggiat Johanes (2011-0506. Justitia Medica Primasakti(2011-050-248)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA ATMAJAYA
JAKARTA
2014

SEJARAH PROFESI JAKSA


Profesi jaksa sudah ada dan dikenal sejak lama sebelum
Indonesia merdeka, bahkan sebelum ada negara Indonesia. Pada
masa Kerajaan Majapahit, jaksa dikenal dengan ilstilah dhyaksa,
adhyaksa, dan dharmadhyaksa. Dhyaksa dikatakan sebagai pejabat
negara yang dibebani tugas untuk menangani masalah-masalah
peradilan di bawah pengawasan Majapahit. Gajah Mada selaku
pejabat adhyaksa, sedangkan dharmadhyaksa berperan sebagai
pengawas tertinggi dari kekayaan suci dalam urusan kepercayaan,
dan menjabat sebagai ketua pengadilan. Kata dhyaksa ini kemudian
menjadi jaksa.
Setelah

Indonesia

merdeka,

lembaga

jaksa

tetap

dipertahankan, yakni dengan mengambil alih peraturan yang


pernah berlaku pada masa penjajahan Jepang.
Undang-undang

Dasar

Republik

Indonesia

tahun

1945

menyatakan secara tegas bahwa Negara Indonesia adalah negara


hukum.

Prinsip

negara

hukum

menuntut

adanya

jaminan

kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality before


the law). Oleh karena itu, Undang-undang Dasar juga menentukan
bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum. Dalam usaha mewujudkan prinsip tersebut dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara, peran dan fungsi advokat
sebagai profesi yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab
merupakan hal yang penting disamping lembaga peradilan dan
instansi penegak hukum lainnya seperti polisi, jaksa, dan hakim.
Jaksa berdasarkan undang undang nomor 16 tahun 2004
tentang kejaksaan republik Indonesia yang dimaksud jaksa adalah
pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang
untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta
wewenang lain berdasarkan undang-undang. Jaksa berbeda dengan

hakim, pengangkatan dan pemberhentian jaksa tidak dilakukan oleh


kepala negara, tetapi oleh jaksa agung sebagai atasannya.
Agar kejaksaan dapat mengemban kewajibannya dengan baik,
maka berdasarkan Keputusan Jaksa Agung No. Kep-052/J.A/8/1979
ditetapkan pula tentang Doktrin Adhyaksa Tri Krama Adhyaksa.
Doktrin tersebut berunsurkan Catur Asana, Tri Atmaka, dan Tri
Krama Adhyaksa.
Catur Asana merupakan empat landasan yang mendasari
eksistensi, peranan, wewenang, dan tindakan kejaksaan dalam
mengemban

tugasnya

baik

di

bidang

yustisial,

nonyustisial,

yudikatif, maupun eksekutif. Landasan idiilnya adalah Pancasila,


landasan

konstitusionalnya

adalah

UUD

1945,

dan

landasan

peraturan perudangan yang lainnya.


Tri Atmaka merupakan tiga sifat hakiki kejaksaan yang
membedakan dengan alat negara lainnya. Tiga sifat itu adalah
tunggal, mandiri, dan mumpuni. Bersifat tunggal karena kejaksaan
adalah satu-satunya lembaga negara yang mewakili pemerintah
dalam urusan pengadilan dan dengan sistem hierarki tindakan
setiap jaksa dianggap sebagai tindakan seluruh korps. Dikatakan
mandiri karena kejaksaan merupakan lembaga yang berdiri sendiri
terlepas dari Departemen Kehakiman, dan mandiri dalam arti
memiliki kekuasaan istimewa sebagai alat penegak hukum yang
mewakili pemerintah dalam bidang yudikatif, satu-satunya aparat
yang berwenang mengenyampingkan perkara, menuntut tindak
pidana di pengadilan, dan berwenang melaksanakan putusan
pengadilan. Kekhususan ini merupakan ciri khas lembaga kejaksaan
yang membedakan dirinya dari lembaga atau badan penegak
hukum lainnya. Mumpuni menunjukkan bahwa kejaksaan memiliki
tugas luas, yang melingkupi bidang-bidang yustisial dan nonyustisial
dengan dilengkapi kewenangan yang cukup dalam menunaikan
tugasnya.
Tri Krama Adhyaksa adalah sikap mental yang baik dan terpuji
yang harus dimiliki oleh jajaran kejaksaan, yang meliputi sifat satya,

adi, dan wicaksana.

IDEALISME PROFESI JAKSA


Profesi jaksa adalah sebuah profesi dalam posisi yang sangat
penting dalam penegakan hukum di peradilan. Lembaga kejaksaan
secara umum dan jaksa secara khusus adalah lembaga independen
yang mewakili pemerintah dalam hal peradilan. Kedudukan ini
membuat banyak sorotan terhadap kinerja jaksa dalam menjalankan
profesinya.
Dalam dunia kejaksaan di Indonesia terdapat lima norma kode
etik profesi jaksa, yaitu :
a. Bersedia untuk menerima kebenaran dari siapapun, menjaga
diri, berani, bertanggung jawab dan dapat menjadi teladan di
lingkungannya.
b. Mengamalkan dan melaksanakan pancasila serta secara aktif
dan kreatif dalam pembangunan hukum untuk mewujudkan
masyarakat adil.
c. Bersikap adil dalam memberikan pelayanan kepada para
pencari keadilan
d. Berbudi luhur serta berwatak mulia, setia, jujur, arif dan
bijaksana dalam diri, berkata dan bertingkah laku, dan
e. Mengutamakan kepentingan bangsa dan Negara daripada
kepentingan pribadi atau golongan.
Seorang jaksa harus dapat mencerminkan tata pikir,tata tutur,
tata laku terpuji sebagaimana tercantum dalam kode etik dan
sumpah jabatan, antara lain :
a. Memiliki kesungguhan dalam bekerja, berani, adil, tidak
membedakan suku, agama, ras, dan golongan.
b. Dalam melaksanakan tugas Jaksa senantiasa memupuk serta
mengembangkan kemampuan professional, integritas pribadi
dan kedisiplinan yang tinggi.
c. Menghormati adat kebiasaan setempat tercermin dalam sikap

dan perilaku sehari-hari.


d. Dapat menerima kebenaran, bersikap mawas diri, berani
bertanggung jawab dan menjadi teladan di lingkungannya.
e. Memindakan norma kesopanan dan keputusan dalam
menyampaikan pandangan dan menyalurkan aspirasi profesi.
Menjaga idealisme dan etika profesi jaksa berkaitan dengan
moral dan hati nurani seorang jaksa. Peraturan hukum dan undangundang yang ada hanya sebagai jalur dan rambu-rambu untuk jaksa
dalam melaksanakan tugasnya. Sebagus apapun peraturan, saat diri
pribadi jaksa tidak mempunyai kesadaran yang tinggi untuk
menegakkan nilai-nilai hukum. Sebaliknya, dengan peraturan yang
tidak terlalu banyak namun ada moral dan hati nurani yang baik,
peraturan tersebut dapat dilaksanakan dengan baik pula. Nilai-nilai
hukum dapat ditegakkan dan dijunjung tinggi.
Oleh sebab itu dalam rangka mewujudkan jaksa yang memiliki
integritas kepribadian serta disiplin tinggi guna melaksanakan
tuigas penegakan hukum dalam rangka mewujudkan keadilan dan
kebenaran, maka dikeluarkanlah kode prilaku jaksa sebagaimana
tertuang dalam peraturan jaksa agung RI (PERJA) No. : Per067/A/JA/07/2007 tanggal 12 Juli 2007.
Dalam kode perilaku jaksa antara lain disebut:
a.

Kewajiban pasal (3)


1. Mentaati kaidah hukum, peraturan perundang-undang dan
peraturan kedinasan yang berlaku
2. Menghormati prinsip cepat, sederhana, biaya ringan sesuai
dengan asas peradilan yang diatur dalam KUHAP.
3. Berdasarkan pada keyakinan dan alat bukti yang sah untuk
mencapai keadilan kebenaran
4. Bersikap mandiri, bebas dari pengaruh, tekanan/ ancaman,
opini public secara langsung atau tidak langsung
5. Bertindak secara objektif dan tidak memihak
6. Memberitahukan dan atau memberikan hak-hak yang dimiliki
oleh tersangka/terdakwa maupun korban

7. Membangun

dan

memelihara

hubungan

antara

aparat

penegak hokum dan mewujudkan system peradilan pidana


terpadu
8. Mengundurkan diri dari penanganan perkara yang mempunyai
kepentingan pribadi atau keluarga, mempunyai hubungan
pekerjaan,

partai

atau

financial

atau

mempunyai

nilai

ekonomis secara langsung atau tidak langsung


9. Menyimpan dan memegang rahasia sesuatu yang seharusnya
dirahasiakan
10.

Menghormati

kebebasan

dan

perbedaan

pendapat

sepanjang tidak melanggar ketentuan peraturan perundangundangan.


11.

Menghormati dan melindungan hak-hak asasi manusia

dan hak-hak kebebasan sebagaimana yang tertera dalam


peraturan

perundang-undang

dan

instrument

hak

asasi

manusia yang diterima secara universal.


12.

Menanggapi kritik dengan arif dan bijaksana

13.

Bertanggung jawab secara internal dan berjenjang,

sesuai dengan prosedur yang ditetapkan


14.

Yang bertanggung jawab secara eksternal kepada public

sesuai dengan kebijakan pemerintah dan aspirasi masyarakat


tentang keadilan dan kebenaran
b.

Larangan (pasal 4)
1. Dalam menjalankan tugas profesi jaksa dilarang:
2. Menggunakan

jabatan

dan

atau

kekuasaanya

untuk

kepentingan pribadi atau pihak lain


3. Merekayasa fakta-fakta hokum dalam penanganan perkara
4. Menggunakan kapasitas dan otoritasnya untuk melakukan
penekanan secara fisik atau dan psikis
5. Meminta dan atau menerima hadiah dan atau keuntungan
serta melarang keluarganya meminta dan atau menerima
hadiah dan atau keuntungan sehubungan dengna jabatannya

6. Menangani perkara yang mempunyai kepentingan pribadi


atau keluarga, atau mempunyai hubungan pekerjaan, partai,
atau

financial

atau

mempunyai

nilai

ekonomis

secara

langsung atau tidak langsung


7. Bertindak diskriminatif dalam bentuk apapun
8. Membentuk opini public yang dapat merugikan kepentingan
kepenegakan hokum
9. Memberikan keterangan kepada public kecuali terbatas pada
hal-hal teknis perkara yang ditangani
10.

Saksi.

11.

Sanksui sesuai dengan perundang-undangan

12.

Tindakan administeratif

13.

Jenis tindakan administrative terdiri dari


a. Pembebasan dari tugas-tugas jaksa paling singkat 3
bulan dan paling lama 1 tahun, dan selama masa
menjalani

sanksi

administrative

tersebut

tidak

diterbitkan surat keterangan kepegawaiaan


b. Pengalihtugasan pada satuan kerja yang lain

MASALAH DENGAN IDEALISME PROFESI JAKSA SAAT INI.


Jaksa Penuntut Umum diberi amanah oleh Negara untuk
membantu proses peradilan di Indonesia dalam hal mengatasi
permasalahan hukum yang khususnya karena munculnya tindak
pidana yang dilakukan oleh seseorang, dimana seorang Jaksa
melakukan Penuntutan terhadap seorang yang diduga sebagai
pelaku tindak pidana dalam persidangan. Secara praktek cita-cita
tersebut diiringi dengan niat bahwa menjadi seorang Jaksa harus
memiliki idealis tanpa intervensi dari siapapun.
Seperti

yang

kita

tahu,

banyak

penegak

hukum

yang

memperjualbelikan Hukum, terlibat kasus penyuapan dan lain


sebagainya. Dan hal tersebut dalam lingkungan itu, sangatlah biasa.

Posisi jaksa sangat riskan menghadapi tantangan baik dari


internal

maupun

tantangan

eksternal.

Jaksa

mudah

saja

memanfaatkan posisinya untuk mencari keuntungan pribadi. Ini


adalah tantangan eksternal, yang berasal dari luar diri jaksa dimana
pihak-pihak yang sedang dalam perkara dalam peradilan meminta
jaksa agar memberi keringanan dalam tuntutan dengan memberi
sejumlah imbalan/hadiah. Tantangan internal adalah sikap moral,
hati nurani, dan perasaan yang dimiliki jaksa. Seorang jaksa yang
tidak memiliki moral dan hati nurani yang baik akan mudah
terpengaruh untuk memanfaatkan kondisi tersebut.
Sebagai

contoh

nyata

adalah

terungkapnya

dugaan

penyuapan yang diterima Jaksa Urip Tri Gunawan yang sedang


menangani kasus BLBI. Kasus ini seolah mengungkap betapa carutmarutnya lembaga kejaksaan dan jaksa yang ada di dalamnya.
Betapa

tidak,

keuntungan

kedudukan

pribadi,

jaksa

bukannya

dimanfaatkan
menjaga

untuk

wibawa

mencari

negara

dan

menegakkan nilai-nilai keadilan

DAFTAR PUSTAKA
Kansil, C.S.T. 1996. Pokok-pokok Etika Profesi Hukum. Jakarta : PT
Pradnya Paramita
Sungguh, Asad. 2000. Etika Profesi. Jakarta : Sinar Grafika

Anda mungkin juga menyukai