Anda di halaman 1dari 54

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/348558539

MAKNA DAN IMPLIKASI PERGESERAN KEKUASAAN LEGISLATIF DALAM SISTEM


KETATANEGARAAN INDONESIA PASCA PERUBAHAN UUD 1945 I

Research · September 2010


DOI: 10.13140/RG.2.2.30273.38244

CITATIONS READS

7 607

1 author:

Aminuddin Kasim
Universitas Tadulako
97 PUBLICATIONS   27 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

KAJIAN TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG PEMILU (Pendekatan Regulatory Impact Assesment dan Cost Benefit Analysis) View project

All content following this page was uploaded by Aminuddin Kasim on 17 January 2021.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


MAKNA DAN IMPLIKASI PERGESERAN KEKUASAAN LEGISLATIF
DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA
PASCA PERUBAHAN UUD 1945

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Reformasi ketatanegaraan lewat empat kali perubahan UUD 1945 selama ini tidak hanya
diwujudkan dengan adanya ketentuan mengenai mekanisme dan syarat-syarat pengisian jabatan
Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 6 dan Pasal 6A UUD 1945),1 jaminan kepastian mengenai
pembatasan jabatan Presiden (Pasal 7 UUD 1945) 2, pengaturan mengenai mekanisme
pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 7A dan Pasal 7B UUD 1945), 3 serta
ketentuan mengenai larangan bagi Presiden untuk membekukan atau membubarkan DPR
Perwakilan Rakyat (Pasal 7 C UUD 1945). Tetapi juga diwujudkan lewat penataan struktur
lembaga perwakilan, seperti penguatan kedudukaan dan fungsi DPR, perbaikan sistem lembaga
perwakilan daerah lewat kehadiran DPD, penghapusan DPA, serta pembentukan lembaga-
lembaga baru seperti KY dan MK.
Penguatan kedudukan dan fungsi DPR antara lain tampak dari ketentuan Pasal 20 ayat (1)
UUD 1945 yang menegaskan bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk UU. Sebelum
terjadi perubahan UUD 1945, Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa kekuasaan
membentuk UU berada pada Presiden. Kini, setelah perubahan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945,
Presiden hanya berhak mengajukan RUU kepada DPR.
Tuntutan reformasi atas perubahan Pasal 5 ayat (1) dan kaitannya dengan Pasal 20 ayat
(1) UUD 1945, bukan sesuatu hal yang berlebihan. Menurut Bagir Manan,4 bahwa rumusan
Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 lama sangatlah berlebihan. Bahkan muncul penilaian ekstrim dari
Bagir Manan,5 bahwa Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 lama, bukan saja membingungkan, tetapi juga
mengandung anomali. Bukankah menjadi sesuatu yang diterima umum bahwa kekuasaan
membentuk UU tetap berada pada badan perwakilan rakyat sebagai pemegang kekuasaan
legislatif.
Penguatan kedudukan dan fungsi DPR lewat perubahan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945,
sesungguhnya bertolak dari fakta empirik masa lalu mengenai ketidak-berdayaan DPR.
Sebagaimana diketahui, bahwa pada era pemerintahan Orde Baru, DPR tampak tidak berdaya
dalam melaksanakan fungsi legislasi dan pengawasan. Dalam pelaksanaan fungsi legislasi, DPR
hanya sekedar sebagai tukang stempel (rubber stamp).6 Setiap RUU yang diajukan atas inisiatif
pemerintah dengan mudah mendapatkan persetujuan oleh DPR. Demikian pula dalam
pelaksanaan fungsi pengawasan (kontrol), anggota DPR tidak mampu mengembangkan sikap
kritis dalam setiap persidangan di DPR, termasuk dalam menilai setiap kebijakan yang ditempuh

1
Perubahan Ketiga UUD 1945, kecuali ketentuan Pasal 6A ayat (4) melalui Perubahan Keempat UUD 1945.
2
Simak: Bagir Manan, Perkembangan UUD. 1945, Penerbit: FH-UII Press, Yogyakarta, 2004, hlm.93.
3
Perubahan Ketiga UUD 1945.
4
Bagir Manan, Perkembangan UUD …Op Cit, hlm. 27.
5
Bagir Manan, DPR, DPD, dan MPR Dalam UUD 1945 Baru, Penerbit : FH UII Press, Yogyakarta, 2003, hlm.
20.
6 Ni’matul Huda, Politik Ketatanegaraan Indonesia (Kajian Terhadap Perubahan UUD. 1945), Penerbit: UII

Press, Yogyakarta, 2003, hlm. 19., dan Toto Sugiato, Kembalinya Tukang Stempel, Artikel dalam Harian Kompas,
Edisi Rabu, 22 Pebruari 2006, hlm.6.
pemerintah. Berpuluh-puluh tahun eksistensi DPR tidak mampu menjadi lembaga penyeimbang
dan menjalankan fungsi kontrol terhadap kekuasaan pemerintah (eksekutif). Bahkan kehadiran
DPR hanya sekedar sebagai penguat legitimasi setiap kebijakan yang ditempuh oleh Presiden.
Penataan struktur kelembagaan negara lewat empat kali perubahan UUD 1945, harus
diakui sebagai suatu upaya yang luar biasa guna mewujudkan harapan (das Sollen) untuk
menciptakan tata kelola negara yang lebih demokratis. Dikatakan upaya luar biasa, karena
reformasi ketatanegaraan tersebut tidak hanya dilakukan dalam waktu yang relatif singkat, tetapi
juga menguras tenaga dan biaya yang tidak sedikit.
Namun demikian, harapan reformasi ketatanegaraan lewat empat kali perubahan UUD
1945 tersebut, tampaknya belum mampu memberi jawaban yang memuaskan terhadap fenomena
ketatanegaraan yang muncul selama ini. Penguatan kedudukan dan fungsi DPR khususnya dalam
bidang legislatif tidak bersinergi dengan penguatan kedudukan dan fungsi DPD sebagai salah
satu lembaga perwakilan yang merepresentasikan kepentingan masyarakat di daerah. Dalam
pelaksanaan fungsi legislasi, DPD hanya sebatas mengajukan RUU yang berkaitan dengan
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan
daerah, …dst, serta hal-hal yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah
(Pasal 22D ayat 1). Lebih dari itu, DPD hanya sebatas membahas RUU seperti yang ditentukan
dalam Pasal 22D ayat (2) UUD 1945, memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU yang
berkaitan dengan APBN, serta melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22D ayat (3) UUD 1945.
Belajar dari pengalaman ketatanegaraan pada masa berlakunya Konstitusi RIS 1945,
maka pelembagaan DPD sebagai lembaga perwakilan idealnya juga diberi kekuasaan untuk
membentuk UU seperti layaknya DPR (Pasal 20 ayat (1) UUD 1945). Tidak seperti yang ada
saat ini, di mana DPD tampak hanya sebagai pelengkap semata dalam sistem lembaga
perwakilan Indonesia. Sementara mekanisme pengisian keanggotaannya juga dilakukan secara
demokratis, yakni dengan mekanisme Pemilu seperti halnya pengisian keanggotaan DPR.
Dalam konteks pembentukan UU, wewenang DPD sangat terbatas jika dibandingkan
dengan wewenang Presiden. Menurut ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945, bahwa setiap RUU
dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama.
Jadi, hanya DPR dan Presiden yang terlibat dalam menentukan lahirnya suatu UU. Sementara
DPD sama sekali tidak terlibat, meskipun RUU yang telah disetujui bersama menjadi UU pada
dasarnya terkait dengan wewenang DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22D ayat (1) UUD
1945.
Selain problema ketatanegaraan yang disebutkan di atas, pergeseran kekuasaan legislatif
dari Presiden ke DPR yang dihasilkan dari perubahan UUD 1945 juga menyisahkan problema
ketatanegaraan dalam konteks pengesahan UU. Menurut ketentuan Pasal 20 ayat (4) UUD 1945,
bahwa Presiden mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama untuk menjadiUU.
Selanjutnya ketentuan Pasal 20 ayat (5) yang muncul setelah Perubahan Kedua UUD 1945
menyebutkan bahwa dalam hal RUU yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh
Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak RUU tersebut disetujui, RUU tersebut sah
menjadiUU dan wajib diundangkan.
Ketentuan Pasal 20 ayat (5) di atas mengundang pertanyaan: untuk apa Presiden menolak
(memveto) suatu RUU jika ketentuan mengenai persetujuan bersama (Pasal 20 ayat (2) masih
tetap dipertahankan? Apa makna persetujuan bersama (DPR dan Presiden) dalam konteks
pembentukan UU? Bukankah persetujuan bersama tersebut telah diputuskan melalui persidangan
di DPR?
Problema ketatanegaraan yang disebutkan di atas, khususnya implikasi terhadap
kemungkinan Presiden memveto suatu RUU yang telah mendapatkan persetujuan bersama, baik
dalam konteks pengesahan maupun pengundangan terhadap suatu UU, sesungguhnya telah
pernah diulas oleh Jimly Asshiddiqie dalam dua buku yang berbeda.7 Bagi Jimly Asshiddiqie,
kunci jawaban terhadap semua pertanyaan itu adalah terletak pada persoalan bahwa pengalihan
fungsi legislatif ke DPR tidak disadari sebagai penerimaan terhadap prinsip pemisahan
kekuasaan (separation of power) sebagai pengganti prinsip pembagian kekuasaan (distribution/
devision of power).
Bagi penulis, adanya pergeseran kekuasaan legislatif dari Presiden ke DPR tidak hanya
dilihat dalam konteks ada dan tidaknya penerimaan prinsip pemisahan atau pembagian
kekuasaan, tetapi hal yang lebih penting dari itu adalah soal ada dan tidaknya mekanisme checks
and balances yang dianut dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Bagi penulis, suatu sistem
ketatanegaraan yang baik apabila menerapkan prinsip mekanisme checks and balances, dan
prinsip itu harus terlebih dahulu ditetapkan dalam konstitusi (UUD). Lewat prinsip mekanisme
checks and balances tersebut, maka dapat dicegah kemungkinan terjadinya kekuasaan yang
sewenang-wenang oleh suatu lembaga negara terhadap lembaga negara lainnya. Selanjutnya,
lewat prinsip mekanisme checks and balances, maka dapat dijamin adanya perimbangan dan
saling kontrol kekuasaan antar-lembaga negara yang terlibat dalam proses pembentukan UU.
Selain Jimly Asshiddiqie, Saldi Isra,8 juga telah mengkaji soal implikasi pergeseran
fungsi legislasi pasca perubahan UUD 1945. Pergeseran kekuasaan legislasi itu juga berimplikasi
pada soal prakarsa, pembahasan, persetujuan, dan pengesahan RUU, serta pengundanganUU.
Bagi Saldi Isra, pelaksanaan fungsi legislasi pasca perubahan UUD 1945 justru menunjukkan
adanya penguatan model legislasi parlementer dalam sistem presidensial Indonesia.
Meskipun kajian mengenai implikasi pergeseran kekuasaan legislatif pasca perubahan
UUD 1945 telah ada selama ini, terutama yang dilakukan oleh Jimly Asshiddiqie dan Saldi Isra,
namun ada sisi perbedaan dengan kajian disertasi ini. Bagi penulis, pengkajian terhadap
problema ketatanegaraan pasca perubahan UUD 1945 tidak hanya difokuskan pada implikasi
pergeseran kekuasaan legislatif dari Presiden ke DPR semata, terutama terkait dengan
keterlibatan Presiden dalam mengajukan RUU, membahas, dan menyetujui RUU, juga mengkaji
makna filosofis dari pergeseran kekuasaan legislatif tersebut. Bertolak dari tampilan formatUU
setelah adanya pergeseran kekuasaan legislatif dari Presiden ke DPR, penulis ingin menggali
argumentasi teoritis terhadap makna filosofis yang dikandung pada setiap frasa PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA dan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT pada format bagian
pembukaanUU, termasuk makna frasa persetujuan bersama sebagai penjabaran ketentuan Pasal
20 ayat (2) UUD 1945, serta hubungannya dengan status hukum suatu RUU hingga memperoleh
kekuatan sebagaiUU. Semua itu belum disentuh secara mendalam oleh para penekun ilmu
hukum tata negara lewat penulisan disertasi.
Selanjutnya, kajian akademis mengenai pola hubungan kekuasaan antar lembaga negara,
sesungguhnya bukan sesuatu hal yang baru. Kuntana Magnar9 misalnya, juga telah mengkaji
pola hubungan kekuasaan antara DPR dengan Presiden, yakni dalam lingkup perwujudan fungsi
7
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, Penerbit: FH.
UII-Press, Yogyakarta, 2004, hlm. 8, 9, dan 183-185., dan Jimly Asshiddiqie, PrihalUU, Penerbit: Konstitusi Press,
Jakarta, 2006, hlm.288-307.
8
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Siatem Presidensial
Indonesia, Penerbit: PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm. 209-229.
9 Kuntana Magnar, Hubungan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Presiden Setelah PerubahanUU

Dasar (UUD) 1945: Pencarian Bentuk dan Isi, Disertasi pada Program Pasca Sarjana UNPAD, Bandung, 2006.
legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Namun demikian, sisi lain yang masih perlu
didalami dalam konteks perubahan struktur ketatanegaraan pasca-perubahan UUD 1945 adalah
terkait dengan pelaksanaan fungsi legislasi yang melibatkan tiga lembaga negara, yakni DPR,
Presiden, dan DPD. Dalam pelaksanaan fungsi legislasi tersebut, pola hubungan kekuasaan di
antara tiga lembaga negara (DPR, Presiden, dan DPD), masih menyisahkan persoalan
ketatanegaraan, terutama jika dilihat dalam konteks prinsip mekanisme checks and balances
dalam proses pembentukanUU.

B. Identifikasi Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang di atas, maka ditetapkan 3 (tiga) permasalahan penelitian
ini yang menjadi dasar analisis, yakni:
1. Apakah pergeseran kekuasaan legislatif dari Presiden ke DPR pasca perubahan UUD 1945,
telah menciptakan mekanisme checks and balances dalam proses pembentukan UU?
2. Adakah problema ketatanegaraan yang ditimbulkan dari adanya pergeseran kekuasaan
legislatif dari Presiden ke DPR pasca perubahan UUD 1945?
3. Apakah pergeseran kekuasaan legislatif dari Presiden ke DPR pasca perubahan UUD 1945
berimplikasi pada format UU?

C. Tujuan Penelitian
Bertitik tolak dari permasalahan penelitian di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari
penelitian disertasi adalah:
1. Mengetahui mekanisme checks and balances dalam proses pembentukan UU setelah adanya
pergeseran kekuasaan legislatif dari Presiden ke DPR pasca perubahan UUD 1945.
2. Mengetahui problema ketatanegaraan yang timbul dari adanya pergeseran kekuasaan legislatif
dari Presiden ke DPR pasca perubahan UUD 1945.
3. Mengetahui implikasi dari pergeseran kekuasaan legislatif dari Presiden ke DPR pasca
perubahan UUD 1945 pada format UU.

E. Kerangka Pemikiran
Memahami hakikat kekuasaan legislatif tidak bisa dilepaskan dari landasan filosofis
mengenai kehidupan bernegara yang berasaskan demokrasi (kedaulatan rakyat dan negara
hukum. Lembaga Legislatif adalah salah satu cabang kekuasaan negara yang menentukan
kokohnya bangunan negara demokrasi dan bangunan negara hukum. Oleh karena itu, untuk
memhami hakikat keberadaan lembaga legislatif dalam sistem ketatanegaraan Indonesia pasca
Perubahan UUD 1945, maka harus dilihat dalam kerangka berpikir demokrasi dan negara
hukum.

F. Metode Penelitian.
Mengingat fokus kajian disertasi ini berada dalam domain hukum tata negara, khususnya
dalam konteks pergeseran kekuasaan legislatif dari Presiden ke DPR pasca perubahan UUD
1945, maka penulisan disertai ini menggunakan dua tipe penelitian, yaitu: (1) Penelitian hukum
normatif (legal research)10, dan (2). Penelitian hukum sosiologis (penelitian hukum non

10 Simak: Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Penerbit:
PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2001, hlm. 14
doktrinal). Penggunaan tipe penelitian hukum non doktrinal semata-mata dimaksudkan sebagai
“pelengkap” terhadap hasil temuan penelitian hukum normatif.
Terkait tipe penelitian yang digunakan di atas, maka secara garis besar, ada tiga teknik
pengumpulan data/bahan hukum yang digunakan, yaitu: 1). Teknik kepustakaan, dan 2). Teknik
pengamatan. Selanjutnya, bahan hukum yang diperoleh melalui penggunaan tipe penelitian
hukum normatif (legal research), dianalisis dengan menggunakan logika berpikir hukum,
selanjutnya lazim disebut metode analisis hukum, yaitu: mMetode penafsiran hukum, metode
komparatif (metode perbandingan), dan metode penyelesaian konflik norma hukum dengan
menggunakan asas-asas hokum.
Setelah melalui proses analisis deskriptif, selanjutnya ditetapkan suatu konsepsi pemikiran
dengan menggunakan logika deduktif, yakni dengan terlebih dahulu menetapkan premis-premis
mayor, lalu dihubungkan dengan praktek ketatanegaraan dalam konteks fakta spesifik (khusus),
selanjutnya menjadi dasar untuk manarik simpulan penelitian. Disamping itu, juga menggunakan
logika induktif, yakni berangkat dari fakta-fakta yang bersifat khusus mengenai praktek
ketetanegaraan, lalu mengaitkannya dengan konsep yang berlaku umum, dan seterusnya
digeneralisasi menjadi suatu kesimpulan.11

11 Daud Silalahi, Metodologi Penelitian Hukum (Preferensi Khusus pada Pendekatan Multi Interdisiplin,

Lawencon Binding Centre, Bandung, 2001,hlm.7, antara lain mengemukakan bahwa; …….. semua penelitian
memerlukan “logical reasoning”. Reasoning adalah proses berpikir yang menggunakan hukum berpikir (rules of
logic), dengan mana sesuatu menghasilkan pernyataan umum (a general statement) untuk menghasilkan kesimpulan
tertentu (specific conclusion, deduction) atau sebaliknya, dari pernyataan spesifik ke suatu generalisasi (induction).
Pada deductive reasoning, bilamana premis benar, maka konklusi dengan sendirinya (automatically) benar.
Kesimpulan dari a deductive logical syllogism tidak akan keluar dari premis (never extend beyond the content of the
premises).
Logika berpikir deduktif seperti di atas, juga dapat dipahami dari contoh yang diberikan oleh Hans Kelsen,
Essay In Legal And Moral Philosophy, Dialihbahasakan oleh Arief Sidharta (Hukum dan Logika), Penerbit:
Alumni, Bandung, 2006, hlm. 59-60, dan contoh yang diberikan oleh Peter Mahmud Marzuki, Penelitian …. Op
Cit, hlm. 47.
BAB II
DEMOKRASI DAN NEGARA HUKUM

A. Hakikat Pemerintahan Demokrasi.


Dalam sistem pemerintahan demokrasi, kehendak rakyatlah yang dijadikan dasar untuk
mengatur bagaimana seharusnya pemerintahan diselenggarakan untuk kepentingan rakyat.
Sistem pemerintahan demikian berakar dari suatu pemahaman bahwa sumber kekuasaan
pemerintah berasal dari kehendak rakyat. Rakyat yang dipandang sebagai pemegang kedaulatan.
Menurut teori kedaulatan rakyat, hal itu terjadinya dengan sendirinya, tetapi melalui suatu proses
yang disebut kontrak sosial. Jadi, kehendak rakyat sebagai dasar dari sistem pemerintahan
demokrasi pada dasarnya terkait dengan pelaksanaan prinsip kedaulatan rakyat.
Strong,12 telah menggambarkan keterkaitan antara sistem pemerintahan demokrasi melalui
lembaga perwakilan dengan idea kedaulatan rakyat, yakni:
“Democracy in this sense we therefore mean a system of government in which the majority
of the grown members of political community participate through a method of
representation which secures that the government is ultimately responsible for is actions
to that majority. In other word, the contemporary constitutional state must be based on a
system of democratic representation which quaratees the sovereignty of the people”.
( … suatu sistem pemerintahan, dalam hal mana mayoritas anggota masyarakat politik
ikut berpartisipasi melalui cara perwakilan yang menjamin bahwa pemerintah pada
akhirnya mempertanggung-jawabkan tindakan-tindakannya kepada mayoritas itu. Dengan
kata lain, negara demokrasi yang didasarkan pada sistem perwakilan demokratis yang
menjamin kedaulatan rakyat).
Demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang didasarkan atas kehendak rakyat, dalam arti
rakyat yang berdaulat, sesungguhnya tidak terlepas dari aliran pemikiran hukum alam (natural
law). Salah satu ciri yang melekat pada ajaran hukum alam adalah tidak memisahkan antara
hukum dan moral (moral as part of law).13 Penganut hukum alam pada umumnya memandang
bahwa hukum dan moral sebagai pencerminan dan pengaturan secara internal dan eksternal
dalam kehidupan manusia dan penghubungnya sesama manusia).14
Aliran hukum itu memandang bahwa setiap manusia terlahir dalam keadaan bebas meski
dimana pun dia berada dalam suatu ikatan-ikatan tertentu.15 Dalam kehidupan setiap warga juga
melekat hak-hak politik yang diakui secara universal. Atas dasar itu, rasionalitas hubungan
antara penguasa (raja) dengan rakyat dalam suatu organisasi publik (negara) adalah didasarkan
pada suatu perjanjian (kontrak) yang mengikat kedua belah pihak. Pelopor faham ini adalah Jean
Jacques Rousseau (1712-1778), dan ajarannya yang terkenal hingga kini dituangkan dalam buku
Du Contract Social, yang kemudian diterjemahan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Social
Contract (kontrak sosial). 16

12
C.F. Strong, Modern Political … Loc Cit.
13
M.D.A. Freeman, Lloyd’s Introduction To Jurisprudence (Seventh Edition), Published by Sweet & Maxwell
Limited, London, 2004, hlm.49.
14
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu kajian Filosofis dan Sosiologis), Chandra Pratama, Jakarta 1996,
hlm. 275-276.
15
Susan Dunn (Editor), The Social Contract…….Op Cit, hlm.146.
16
Buku“Du Contrat Social” dari Rousseau pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris di London tahun
1791 tanpa mencantumkan nama penerbit. Selanjutnya, terbitan dalam bahasa Inggris dengan hak cipta pada Hafner
Publishing Com. pada tahun 1947.
Robert N. Beck17 dan Rukmana Amanwinata,18 juga tertarik dengan pemikiran Rousseau
berkenaan dengan hakikat keberadaan (kehidupan) manusia. Pemikiran Rousseau tersebut
berangkat dari suatu anggapan bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan bebas dan merdeka
(men are borned free and equal), yaitu suatu anggapan bahwa manusia dilahirkan suci dan diberi
kesempatan untuk mengembangkan kepribadiannya dengan menggunakan kebebasannya.
Bagi Rousseau bahwa tujuan kontrak sosial adalah mengesahkan negara politik yang telah
ditapaki manusia dan di mana tiada jalan kembali. Selain itu, Rousseau juga menjelaskan adanya
mekanisme yang melegalkan didirikannnya pemerintahan. Seluruh manusia harus bersatu lewat
kontrak untuk menempatkan diri dan kekuatan mereka di bawah kontrol tertinggi berupa
“kehendak umum” dan menerima setiap anggota yang berkontrak sebagai bagian tak terpisahkan
dari keutuhan. Lewat keluhuran kontrak ini, setiap anggota menukarkan kebebasan alami untuk
melakukan apa yang kehendak umum tentukan harus ia lakukan.19
Selanjutnya, Rousseau menjelaskan inti kontrak sosial itu lewat seuntai kalimat sebagai
berikut:
“….. jumlah pemindahan dari setiap anggota asosiasi beserta semua haknya kepada
komuniti karena setiap individu memberikan dirinya sepenuhnya, hingga kondisi tiap
pribadi menjadi sama. Demikian pula tidak akan menjadi kepentingan seseorang bila
kondisi itu melancarkan serangan terhadap yang lain………. Akhirnya setiap orang
memberikan dirinya untuk umum, dan tidak lagi terdapat individu yang berdiri sendiri.
……… Jika kita meniadakan atau menyingkirkan segala yang tidak penting dari
kesepakatan sosial, maka kita akan mengembalikannya pada kalimat: setiap kita
menempatkan diri dalam kebersamaan, semua daya kekuatan ditempatkan di bawah
tujuan utama dari kehendak umum, dan sebagai satu kelompok kita semua menerima
karena setiap suatu bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan”.20.
Jadi, Rousseau beranggapan bahwa ketertiban sosial (social order) merupakan hasil
pilihan manusia, dan manusia harus memikul tanggung jawab moral (moral responsibility)
terhadap model organisasi masyarakat yang telah mereka pilih. Gagasan Rousseau mengenai
kehendak umum mencerminkan lambang pemersatu, yakni menggabungkan ketidak-puasan
manusia yang terpecah-pecah dari struktur kelas yang berbeda.
Rousseau berpendirian, bahwa kedaulatan itu dinyatakan dalam bentuk pernyataan
kehendak, dan kehendak rakyat itu disalurkan dalam dua cara, yaitu: (1). Kehendak rakyat atau
“volonte de tous” (individuele wil) seluruhnya, dan (2). Kehendak sebagian besar dari rakyat
atau “volonte generale” (algemene wil). Volonte de tous seluruhnya, hanya dipergunakan sekali
saja, yaitu pada waktu negara hendak dibentuk. Maksudnya, untuk menyatakan hal tersebut
sebagai suatu kebulatan kehendak. Kemudian untuk memberi dasar agar supaya negara dapat
berdiri abadi, maka pernyataan kehendak tersebut tidak bisa ditarik kembali. Selanjutnya volonte
de tous tidak dipakai lagi, karena apabila tiap keputusan harus dilakukan melalui suara bulat
(keseluruhan), maka roda pemerintahan tidak dapat berjalan. Sedangkan kehendak umum
(volonte generale) dipergunakan setelah negara berdiri, yakni dengan menyatakan kehendak

17
Robert N. Beck, Perspectives in Social Philosophy, Published by Hold , Rinehart and Whinston ,New York,
1967, hlm. 146.
18
Rukmana Amanwinata, Pengaturan dan Batas Implementasi Kemerdekaan Berserikat dan Berkumpul Dalam
Pasal 28 UUD 1945, Disertasi pada Program Pascasarjana UNPAD, Bandung, 1996, hlm. 127.
19
Joseph Losco dan Leonard Williams, Political Theory, Volume II, Edisi Kedua (Edisi Terjemahan oleh Haris
Munandar), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm.224.
20
Rousseau, Kontrak Sosial (Edisi terjemahan oleh Sumardjo), Penerbit: Erlangga, Jakarta, 1986, hlm. 15.
rakyat melalui suara terbanyak (meerderheids dictatuur).21 Sedangkan menurut pemahaman
Jimly Asshiddiqie,22 bahwa konsep kedaulatan yang digagas Rousseau adalah kedaulatan yang
bersifat kerakyatan yang menjelma melalui perundang-undangan.
Seperti telah disinggung di atas bahwa demokrasi adalah, sistem pemerintahan yang
didasarkan atas kehendak rakyat, Faham ini dianut secara konsisten oleh Rousseau, sebab yang
memiliki kedaulatan adalah rakyat, dan kedaulatan (sovereignty) menurut Rousseau adalah
suatu yang bersifat “inalienable”23 atau tidak dapat dialihkan atau dicabut, dan bersifat
“indivisible”24 atau bulat dan tak terbagi.25 Terkait dengan sifat “inalienable” dari kedaulatan,
maka lebih lanjut Rousseau26 meyakinkan, sebagai berikut:
“I say, then, that sovereignty, being nothing but the exercise of the general will, can
never be alienated, and that sovereign power, which is only a collective being, can be
represented by itself alone; power indeed can be transmitted, but not will”.
(Saya mengatakan, bahwa kedaulatan sebagai pelaksanaan kehendak umum tidak
pernah dapat memindahkan haknya sendiri; dan penguasa yang hanya berbentuk sebuah
badan kolektif, tidak dapat diwakili selain oleh dirinya sendiri; kekuasaan power) boleh
saja diserahkan, tetapi kehendak (will) tidak).
Selanjutnya, terkait dengan pertanyaan: whether the general will can err?, maka
Rousseau27 kemudian meyakinkan; bahwa kehendak umum selalu benar dan cenderung selalu
menguntungkan umum (the general will is always right and always tends to the public
advantages). Lalu, bagaimanan jika terjadi perbedaan antara kehendak semuanya (the will of all)
dan kehendak umum (the general will). Bagi Rousseau, bahwa kehendak umum (the general
will) adalah menyangkut kepentingan bersama. Sedangkan kehendak semuanya (the will of all)
adalah lebih bersifat kepentingan pribadi, dan hal itu sesungguhnya merupakan komulatif dari
kehendak pribadi.28 Jelasnya, menurut Rousseau29 sebagai berikut:
“There is often a great deal of difference between the will of all and the general will; the
letter regards only the common interest, while the former has regard to private interest,
and is merely a sum of particular wills.”
Sebagian ahli menyangsikan gagasan kontrak sosial yang diajukan oleh Rousseau.
Djokosutono, misalnya, bahwa gagasan Rousseau tentang kontrak sosial (social contract) bukan
merupakan peristiwa sejarah, melainkan hanya suatu konstruksi berpikir semata untuk
membenarkan terdapatnya status civilis. Kata-kata permulaan dari buku Rousseau
mengemukakan suatu problem stelling bahwa manusia itu dilahirkan merdeka (l’home est ne
libre). Lalu, sejak anak manusia dilahirkan, maka manusia telah mempunyai hak-hak yaitu hak-

21 Abu Daud Busroh dan H. Abubakar Busroh, Asas-Asas Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta,

1991, hlm.130. Simak juga: Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
Penerbit: Pusat Studi Hukum Tata Negara, FH-UI, Jakarta, 1988, hlm. 126.
22
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi……Op Cit, hlm.126.
23
Rousseau, The Social……Op Cit, hlm. 27.
24
Ibid, hlm.28.
25
Bandingkan dengan pendapat Jean Bodin, dalam Muhammad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik
Indonesia, Penerbit: Ghalia Indonesia, Jakarta, Cet. Keenam, 1982, hlm. 57.
26
Ibid, hlm.27 dan Susan Dunn (Editor), Op Cit, hlm.170.
27
Rousseau, Op Cit, hlm.30-31.
28
Juga dapat disimak dari: Robert Dahl, Ian Shapiro, and Jose Antonio Cheibub (Editor), The Democracy
Sourcebook, The MIT Press (Massachusetts Institute of Technology), Cambridge, Massachusetts, London, 2003,
hlm. 3.
29
Ibid, hlm.30., dan Susan Dunn (Editor), Op Cit, hlm.172.
hak asasi (natuuerrechten). Namun, kalau dilihat kenyataan sesungguhnya, maka dalam
masyarakat dan dalam lapangan kenegaraan, kaki tangan manusia itu terikat oleh hukum.30
Selanjutnya, kesangsian sebagian orang terhadap konstruksi berpikir Roussesu adalah
terletak pada makna yang terkandung pada istilah kehendak umum (volonte generale atau
algemene wil). Joseph Losco dan Leonard Williams adalah salah seorang penulis dari kalangan
ahli politik yang menyangsikan atau mengeritik konsep kehendak umum yang diajarkan oleh
Rousseau. Selanjutnya, Joseph Losco dan Leonard Williams, antara lain mengungkapkan
sebagai berikut:
“Kehendak umum dinilai sebagai konsep yang kabur. Kehendak umum lebih dari
sekedar kehedak individu- individu dan menyerupai apa apa yang sekarang ini kita bisa
sebut sebagai kebaikan bersama, kehendak umum akan dikenal di bawah kepemimpinan
terampil sang legislator.31
Salah satu gagasan terkabur dalam filosofi Rousesau adalah kehendak umum.
Bagaimankah gagasan ini bila di bandingkan dengan teori-teori perwakilan tradisional?
Dapatkah kehendak umum di wujudkan melalui pemerintahan perwakilan samara?
Dalam cara-cara apakah ini memerlukan keterlibatan langsung seluruh warga
Negara?32
Pada kenyataannnya, jika satu kehendak khusus tidak memungkinkan untuk sejalan
dengan kehendak umum pada titik-titik tertentu , setidaknya mustahil persetujuan ini
bertahan lama dan konstan karena kekhususan akan cenderung berdasarkan sifatnya,
menuju keberpihakan , sementara kehendak umum akan cenderung menuju kesetaraan.
bahkan lebih mustahil untuk mendapatkan jaminan apa pun dari persetujuan ini. Karena
meskipun selalu ada, itu bukan merupakan usaha kreatif, melainkan hanya kebetulan.”33
Carl Joachim Friedrich,34 juga mengomentasi tentang makna kehendak umum yang
dimaksudkan oleh Rousseau. Menurutnya, bahwa konsep sentral Rousseau tentang kehendak
umum agak samar-samar, dan ada banyak pendapat tentang hal itu. Paragraf yang menentukan
dalam Contract Social adalah sebagai berikut:
“Kehendak tetap dari semua warga Negara merupakan kehendak umum; berkat
kehendak itu mereka menjadi warga Negara dan bebas. KetikaUU diajukan dalam
Majelis perwakilan rakyat, yang ditanyakan oleh rakyat bukanlah apakah Majelis ini
menyetujui atau menolak pengajuan itu, melainkan apakahUU itu selaras dengan
kehendak umum, yang merupakan kehendak mereka. Tiap orang dalam memberikan
suaranya, mengemukakan pendapatnya tentang hal itu, dan kehendak umum diketahui
melalui perhitungan suara”.
Selain adanya kesangsian terhadap kemerdekaan individu yang dinilai tidak sesuai
dengan realitas, dan persoalan makna kehendak umum (volonte generale), Rousseau juga pernah
di tuduh sebagai salah seorang penganut faham totaliter35 dan seorang penganut antitesis
pengajaran konstitusionalisme.36 Bahkan Rousseau juga pernah dituduh melakukan intimidasi

30
Djokosutono, Ilmu Negara (Kumpulan Materi Kuliah), Penerbit: Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hlm. 91.
31
Joseph Losco dan Leonard Williams, Op Cit, hlm. 224.
32
Ibid, hlm. 225.
33
Ibid, hlm. 252.
34
Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum: Perspektif Historis, (Edisi Terjemahan oleh Raisul Muttaqien),
Penerbit: Nuansa dan Nusamedia, Bandung, 2004, hlm. 155,
35
Mads Qvortrup, The political philosophy of Jean-Jacques Rousseau (The impossibility of Reason), Published
by: Manchester University Press, Manchester and New York, 2003, hlm.49.
36
Ibid, hlm.56
dan dituduh mengajukan sebuah doktrin umum yang intinya bagaimana perlakuan terhadap
suatu individu yang sedang berada dalam suatu kendala umum.37
Meskipun Rousseau banyak mendapat kritik karena gagasannya tentang Social Contract,
namun banyak juga diantara para penulis barat yang membela dan menyelamatkan gagasan
Rousseau. Calole Pateman misalnya, mengatakan bahwa fungsi partisipan pada teori Rousseau
merupakan salah satu hal yang bersifat mendidik (edukatif). Sistem ideal Rousseau dirancang
untuk mengembangkan tanggung jawab aksi individu secara sosial dan politik melalui efek dari
proses partisipasif.38 Lewat konsep kebebasan positif Rousseau secara umum dan teori
partisipasi dalam konteks demokrasi langsung, pada akhirnya Rousseau dapat terhindar dari
tuduhan orang bahwa dia seorang totalitarian. Lalu, sebagian penulis juga menilai (Levine,
1993; Fernon, 1997 seperti yang dikatakan oleh Gourevitch, 1998)39 bahwa ada suatu intepretasi
yang dapat dibaca oleh orang-orang bahwa teori politik Rousseau merupakan suatu kontribusi
untuk suatu keadaan yang lebih baik, yang kemudian mungkin bisa disebut konstitusionalisme.
Doktrin yang menekankan pentingnya kontrol dan perimbangan kekuasaan (checks and
balances). Bagaimana pun juga, tindak lanjut dan segala perdebatan yang muncul merupakan
suatu bentuk perjalanan sejarah politik dalam rentang waktu yang berbeda.
Apapun kontroversi di seputar gagasan Rousseau tentang sosial kontrak, namun gagasan
Rousseau tersebut telah memberi landasan teoritis bagi pengembangan teori kenegaraan.
Gagasan Rousseau tidak hanya menjadi roh dari semua gagasan yang berkenaan dengan sistem
pemerintahan demokrasi dan prinsip kedaulatan rakyat, melainkan juga menjadi roh dari setiap
gagasan yang berkenaan dengan sistem pembagian/pemisahan kekuasaan dalam suatu negara,
misalnya prinsip pemisahan/pembagian kekuasaan antara lembaga legislatif dan lembaga
eksekutif.
Harus juga diakui, bahwa gagasan Rousseau tentang kontrak sosial sedikit banyak telah
memberi kontribusi terhadap percepatan reformasi kekuasaan raja-raja yang absolut di Eropa,
termasuk kehidupan politik di Prancis. Menurut Miriam Budiardjo,40 pendobrakan terhadap
kedudukan raja-raja yang absolut didasarkan atas suatu teori rasionalistis yang umumnya dikenal
sebagai Social Contract (kontrak sosial). Salah satu asas dari gagasan kontrak sosial adalah
bahwa dunia dikuasai oleh hukum yang timbul dari alam (nature) yang mengandung prinsip-
prinsip keadilan yang universal. Hukum ini dinamakan natural law (ius naturale). Kontrak sosial
menentukan bahwa di satu pihak bahwa raja diberi kekuasaan oleh rakyat untuk
menyelenggarakan penertiban dan menciptakan suasana di mana rakyat dapat menikmati hak-
hak alamnya (natural rights) dengan aman. Di pihak lain, rakyat akan mentaati pemerintahan
raja asalkan hak-hak politik terjamin. Selanjutnya, idea bahwa manusia mempunyai hak-hak
politik, pada akhirnya mendorong terjadinya revolusi Prancis pada akhir abad ke-18, serta
revolusi Amerika melawan Inggris.

B. Kedudukan Lembaga Legislatif


Kehadiran lembaga legislatif dalam negara yang menganut prinsip demokrasi
konstitusional saat ini, sesungguhnya tidak terlepas dari pengaruh doktrin atau ajaran pemisahan
kekuasaan (separation of power) yang dicetuskan oleh John Locke dan Montesquieu. Meskipun

37
Ibid, hlm.56
38
Ibid, hlm.57.
39
Ibid, hlm.50.
40
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Penerbit: Gramedia, Jakarta, 1992, hlm. 55 dan 56.
doktrin ini tidak sepenuhnya dapat diterapkan secara murni dan konsekuen oleh semua negara
yang menganut prinsip demokrasi konstitusional karena ada penyesuaian dan koreksi, namun
semangat yang mendasari lahirnya doktrin pemisahan kekuasaan tersebut masih tetap
dipertahankan. Misalnya, perlunya kekuasaan dan kelembagaan legislatif harus terpisah dari
kekuasaan dan kelembagaan eksekutif adalah bagian dari semangat doktrin pemisahan
kekuasaan untuk membatasi kekuasaan yang absolut dan mencegah pemusatan kekuasaan negara
pada satu organ.
Saat ini, sebagian besar negara di dunia mencantumkan atau melembagakan kekuasaan
legislatif dalam naskah konstitusinya. Hasil penelitian Henc van Maarseveen dan Ger van der
Tang41 terhadap 142 konstitusi negara di dunia mengungkapkan; bahwa sebanyak 78 konstitusi
negara di dunia atau sekitar 54,9 persen mencantumkan kekuasan legislatif, sedangkan
pencantuman istilah yang serupa dengan kekuasaan legislatif adalah sebanyak 34 konstitusi
negara atau sekitar 23,9 persen dan sama sekali tidak mencantumkan kekuasan legislatif atau
istilah yang serupa dengan kekuasaan legislatif adalah sebanyak 30 konstitusi negara (21,1%).
Harus diakui, bahwa tidak semua negara mencantumkan kekuasaan dan kelembagaan
legislatif dalam naskah konstitusinya (hukum dasar tertulis), Namun demikian, negara-negara
yang tidak mencantumkan kekuasaan legislatif dalam naskah konstitusinya, tidak berarti atau
dengan serta merta diberi predikat bukan sebagai negara hukum. Kerajaan Inggris adalah salah
satu negara yang tidak memiliki naskah konstitusi tertulis, namun demikian kerajaan Inggris
menganut prinsip negara hukum (the rule of law). Prinsip negara hukum itu antara lain
ditegakkan melalui kekuasaan Parlemen Inggris.
Menurut Albert V. Dicey,42 bahwa Parlemen di kerajaan Inggris memiliki kedudukan
yang sangat penting, karena merefleksikan prinsip kedaulatan rakyat. Ada tiga prinsip yang
melekat pada kedaulatan Parlemen Inggris, yakni:
“(1) Parliament has the right to make or unmake any law whatever;
(2) No person or body is recognized by the law of England as having a right to override
or set aside the legislation of Pariament;
(3) The right or power of Parliament extends to every part of the King’s dominions.”
(Terjemahan: 1) Parlemen mempunyai hak untuk membuat atau membatalkan hukum
apa pun. (2). Tidak ada satu orang atau lembaga pun yang dikenal dalam hukum
Inggris yang berhak menolak atau mengesampingkan legislasi Parlemen, dan (3). Hak
dan kekuasaan Parlemen meluas ke setiap dominion raja).43
Demikian pentingnya kedudukan Parlemen di Inggris, maka sering digambarkan oleh
para ahli hukum Inggris seperti; Parliament can do everything, but make a woman a man, and a
man a woman.44 Parlemen dapat membuat apa saja, kecuali membuat perempuan menjadi laki-
laki, dan sebaliknya laki-laki menjadi perempuan.
Analisis klasik A.V. Dicey45 mengenai kedaulatan parlemen sebagai lembaga legislatif
terdiri dari dua konsep, yaitu kedaulatan dalam arti positif dan kedaulatan dalam arti negatif.

41
Henc van Maarseveen dan Ger van der Tang, Written Constitutions (A Computerized Comparative Study),
Oceana Publications, Inc, Dobbs Ferry, New York, 1978, hlm.55.
42
A.V. Dicey, Introduction To Study … Op Cit, hlm.xxxvi.
43
A.V. Dicey, Pengantar Studi Hukum Konstitusi (Edisi Terjemahan oleh Nurhadi), Penerbit: Nusamedia,
Bandung, 2007, hlm. 8.
44
A.V. Dicey, Introduction …. Op Cit, hlm.43.
45
Terpetik dari I.N. Stevens, Constitutional and Administrattive Law, Second Edition, The M and E Handbook
Series, Piunan Publishing, London, 1993, hlm. 46.
Konsep kedaulatan dalam arti positif yakni terkait dengan segala keputusan Parlemen yang
menciptakan hukum baru atau yang mencabut atau mengubah hukum akan dipatuhi oleh
pengadilan. Sedangkan kedaulatan dalam arti negatif yakni terkait dengan prinsip bahwa tidak
ada seorang atau lembaga yang ada menurut konstitusi Britania (Inggris) dapat membuat aturan
yang dapat mengambil alih atau membatalkan suatu keputusan parlemen.
Kehadiran lembaga legislatif dalam suatu negara merupakan salah satu kriteria penilaian
bahwa negara itu menganut prinsip negara hukum. Idealnya, negara hukum berpegang pada asas
legalitas, artinya semua tindakan yang dilakukan oleh pejabat atau aparatur negara harus
didasarkan pada hukum dan peraturan perundang-undangan. Dalam konteks inilah pentingnya
kedudukan lembaga legislatif, yakni memiliki kekuasaan untuk menetapkanUU, danUU itu
menjadi dasar bagi eksekutif dalam menjalankan roda pemerintahan. Jadi tidak berlebihan kalau
dikatakan, bahwa peraturan hukum atauUU yang diditetapkan oleh lembaga legislatif merupakan
sumber daya, dan sumber daya itu akan digunakan oleh pihak eksekutif untuk menggerakkan
roda pemerintahan.
Bagi John Locke, bahwa dari tiga cabang kekuasaan negara yang ada (kekuasaan eksekutif,
legislatif, dan federatif), kekuasaan politik tertinggi dan satu-satunya yang berdaulat adalah
kekuasaan legislatif (kekuasaan membentukUU). Kekuasaan itu dijalankan oleh Parlemen tempat
golongan yang kaya dan kaum bangsawan diwakili.46
Menurut Rousseau sebagaimana dikutip oleh Joseph Losco dan Leonard Williams,47 bahwa
Legislator (maksudnya wakil di lembaga legislatif) adalah ibarat seorang insinyur, sedangkan
sang pangeran (pemimpin kerajaan) atau kaisar sekadar sebagai mekanik yang mengatur dan
membuatnya bekerja.
Rousseau juga sangat ekstrem menempatkan kedudukan lembaga legislatif dalam
kerangka negara hukum. Bagi Rousseau, negara hukum ibarat tubuh manusia, dia bisa mati dan
bertahan hidup seperti layaknya manusia. Hal itu tergantung pada keadaan tubuhnya (kuat atau
lemah). Namun, bagi negara hukum, kelangsungan hidupnya tergantung pada manusianya, yakni
bagaimana manusia memberikan konstitusi sebaik mungkin kepadanya. Selanjutnya, dalam
konstitusi itu, dihadirkan lembaga legislatif yang kedudukannya dapat diibaratkan sebagai
jantung negara. Ilustrasi Rousseau tersebut termuat pada bab XI dalam buku Social Contract,
sebagai berikut::
The body politic, as well as the human body, begins to die from its birth, and contains in
it self the causes of its own destruction. But both may have a more or less robust
constitution, that can preserve them for a long while. The constitution of man is the work
of nature; that of the State is the work of art. It is not men’s prerogative to prolong their
lives; it is their prerogative to prolong the life of the State as long as possible, by giving
it the best constitution possible. The best constituted will come to an end, but later than
another, unless some unforeseen accident brings about its premature destruction.
The principle of political life is in the sovereign authority. The legislative power is the
heart of the State; the executive power is its brain, giving movement to all the parts. The
brain might be paralyzed and yet the individual can still live. A man might be an
imbecile but still live; but as soon as the heart stops, the animal dies. 48

46 Frans Magnis Suseno, Etika Politik… Op Cit, hlm.223.


47
Joseph Losco dan Leonard William, Op Cit, hlm.258.
48
Rousseau, The Social Contract and Discourse On the Origin of Inequality, (Edited and with an Introduction
by Lester G. Crocker), Washington Square Press, Pbulished by Pocket Bokks, New York, London, Toronto, Sidney,
Tokyo, Singapore, 1967, hlm.93, dan Susan Dunn (Editor), Op Cit, hlm.217.
Ilustrasi Rousseau yang mengibaratkan negara hukum (body politic)49 seperti tubuh
manusia yang terdiri jantung (lembaga legislatif) dan otak (lembaga eksekutif), cenderung
mengikuti teori organis tentang hakikat dan asal mula. Teori organis bertolak dari konsep
biologis yang melukiskan negara dengan istilah dalam ilmu alam. Esensinya, negara dianggap
atau dipersamakan dengan anatomi makhluk hidup, misalnya; individu sebagai komponen
negara, diibaratkan sebagai sel-sel makhluk hidup. Teori yang mengibaratkan komponen negara
dengan anatomi makhluk hidup, sudah ada sejak zaman Yunani kuno. Filsuf Yunani kuno yang
pernah mengemukakan hal itu adalah Plato (429-347), kemudian juga dikembangkan oleh
Cicero (106-43) pada zaman kekaisaran Romawi.50
Berbeda dengan penganut teori organis di atas, pengibaratan Rousseau hanya tertuju
pada dua lembaga, yakni lembaga legislatif yang diibaratkan sebagai jantung manusia, dan
lembaga eksekutif yang diibaratkan sebagai otak manusia, seperti tampak pada ragaan berikut
ini:
Ragaan: GAMBARAN ORGAN JANTUNG DAN OTAK MANUSIA YANG DIIBARATKAN
OLEH ROUSSEAU SEBAGAI LEMBAGA LEGISLATIF DAN LEMBAGA
EKSEKUTIF.

Lembaga
Lembaga
EKSEKUTIF
LEGISLATIF

49
Buku Rousseau The Social Contract (Inggris) atau Du Contract Social (Prancis) sudah diterjemahkan dari
bahasa Inggris ke Indonesia oleh Sumardjo dan dari bahasa Prancis ke Indonesia oleh Ida Sundari Husen dan
Rahayu Hidayat. Dua buku terjemahan yang ada sekarang mengartikan berbeda kata “body politic”. Sumardjo,
mengartikan kata “body politic” dengan negara hukum. Sedangkan Ida Sundari Husen dan Rahayu Hidayat,
mengartikan “body politic” dengan korps politik. Peneliti sendiri mengikuti terjemahan versi Sumardjo, karena lebih
relevan dengan materi bahasan.
50
F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Penerbit: Putra A Bardin, Bandung, hlm.156.
Ilustrasi Rousseau yang mengibaratkan kekuasaan legislatif sebagai jantung negara dan
kekuasaan eksekutif sebagai otak negara, sesungguhnya mengandung makna filosofis yang
sangat dalam terutama dalam memahami hakikat keberadaan lembaga legislatif dan lembaga
eksekutif dalam setiap negara. Selanjutnya, ilustrasi Rousseau tersebut, dapat ditarik beberapa
pelajaran penting, antara lain sebagai berikut:
a. Lembaga legislatif merupakan penyangga utama yang memperkokoh struktur bangunan
negara hukum. Tanpa adanya lembaga legislatif, maka bangunan negara hukum tidak
memiliki arti apa-apa, sebab di lembaga legislatif kehendak rakyat disalurkan dan
ditransformasi ke dalam kaidah-kaidah normatif, lalu diberi bentukUU, di lembaga legislatif
merupakan salah satu wadah untuk mengekspresikan hak-hak asasi manusia di bidang
politik, di lembaga legislatif terimplementasi idea pembatasan kekuasaan, serta fungsi
penyeimbang dan kontrol atas kekuasaan lembaga eksekutif. Di lembaga legislatif pula
amanat konstitusi dijabarkan dalam bentukUU, sehingga menjadi dasar legalitas atau
pedoman bagi setiap pejabat dan aparatur negara dalam menjalankan fungsi pemerintahan,
dan akhirnya di lembaga legislatif pula jantung negara hukum diletakkan.
b. Lembaga legislatif merupakan penyangga utama yang memperkokoh struktur bangunan
demokrasi. Tanpa adanya lembaga legislatif, bangunan demokrasi tidak memiliki arti apa-
apa, sebab di lembaga legislatif dilembagakan sistem demokrasi perwakilan (representative
democracy), di lembaga legislatif kehendak rakyat disalurkan dan disuarakan oleh wakil
rakyat yang terpilih lewat pemilihan umum, di lembaga legislatif pula keputusan mengenai
nasib rakyat ditetapkan, dan di lembaga legislatif makna kedaulatan rakyat memperoleh
penjabarannya.
Menurut Sri Soemantri51 bahwa hakikat kekuasaan legislatif adalah penting
dipersoalkan, karena di negara-negara modern seperti yang ada sekarang ini, lembaga tersebut
merupakan satu mesin yang mempunyai arti. Lebih-lebih jika hal itu dihubungkan dengan asas
demokrasi. Sebagai badan yang pada umumnya menetapkan hukum tertulis, dia memberi garis
pedoman yang harus dilaksanakan oleh badan-badan yang lain, seperti eksekutif dan yudisial.

51
Sri Soemantri, Pengantar … Op Cit, hlm. 69.
BAB V
MAKNA DAN IMPLIKASI PERGESERAN KEKUASAAN LEGISLATIF
PASCA-PERUBAHAN UUD 1945

A. Distorsi Perimbangan Kekuasaan dalam Proses PembentukanUU.


Dalam kurun waktu 2004-2009, ada sebanyak 193 (seratus sembilan tiga) RUU yang
telah disetujui menjadiUU. Lalu, dari 193 (seratus sembilan tiga)UU yang dihasilkan, sebanyak
125 (seratus dua puluh lima) atau sekitar 64,4% RUU berasal dari pemerintah, sedangkan
sebanyak 68 (enam puluh delapan) atau sekitar 33,6 persen merupakan RUU yang berasal dari
inisiatif DPR.52
Proses pembentukan 193UU tersebut hanya melibatkan DPR bersama menteri utusan
Presiden. Sebatas merujuk pada ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945, maka sepintas tidak
tampak persoalan konstitusional terkait dengan keterlibatan DPR dan Presiden dalam proses
pembentukan 193 RUU tersebut. Namun demikian, ketika sebagian RUU tersebut menyangkut
substansi pemekaran daerah (pembentukan daerah kabupaten/kota), maka persoalan
konstitusional mulai muncul. Sebagaimana diketahui, bahwa dari 33,6 persen RUU yang pernah
dibahas dan disetujui oleh DPR bersama Presiden, sebagian besar di antaranya adalah RUU
tentang pemekaran daerah. Selebihnya adalah terdiri atasUU No. 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan,
danUU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.53
Lalu, pertanyaan yang muncul kemudian adalah; apakah karena DPD tidak pernah
mengajukan RUU terkait dengan pemekaran daerah, sehingga DPD tidak perlu terlibat dalam
pembahasan RUU bersama DPR dan Presiden?
Jawaban atas pertanyaan di atas bukan semata-mata terletak pada lemahnya prakarsa
DPD dalam mengajukan RUU yang terkait dengan pembentukan daerah (Pasal 22D ayat 1),
tetapi terutama disebabkan oleh hambatan konstitusional. Reformasi ketatanegaraan lewat empat
kali perubahan UUD 1945 selama ini belum dilakukan secara konprehensif. Pelembagaan DPD
sebagai salah satu lembaga perwakilan yang berdampingan dengan DPR tidak diiringi dengan
pemberian kewenangan yang luas, terutama dalam hal pembentukanUU. UUD 1945 hanya
menempatkan DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif (Pasal 20 ayat 1). Pembahasan setiap
RUU untuk mendapatkan persetujuan bersama, hanya melibatkan DPR bersama Presiden (Pasal
20 ayat 2).
Luasnya kewenangan DPR dalam proses pembentukanUU juga dipertegas dengan
adanya ketentuan Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa DPR memiliki fungsi
legislasi. Sebelum perubahan UUD 1945, fungsi legislasi DPR bersamaan dengan fungsi
pengawasan dan fungsi anggaran, belum disebutkan dalam UUD 1945.
Berbeda dengan DPR, Bab VIIA UUD 1945 tidak menyebutkan secara tegas bahwa DPD
memiliki fungsi legislasi. Satu-satunya ketentuan dalam Bab VIIA UUD 1945 yang mengatur
soal kewenangan DPD dalam proses pembentukanUU adalah ketentuan Pasal 22D ayat (1), dan
ayat (2). Ketentuan Pasal 22D ayat (1) ini jelas menunjukkan bahwa DPD hanya sebatas “dapat”
mengajukan RUU kepada DPD, khususnya RUU yang terkait dengan otonomi daerah, hubungan
pusat dan daerah … dst. Selanjutnya, ketentuan Pasal 22D ayat (2) juga menunjukkan adanya

52
Data Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2004-2009, Dewan Perwakilan Rakyat RI, Jakarta, 2004.
53
Data Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2004-2009, Dewan Perwakilan Rakyat RI, Jakarta, 2004.
pembatasan dalam dua hal, yaitu: Pertama, bahwa kewenangan DPD hanya sebatas membahas
RUU, dan tidak sampai pada tahap memberi persetujuan bersama, dan Kedua, keikutsertaan
DPD dalam membahas RUU hanya sebatas pada RUU tertentu saja, yakni RUU yang terkait
dengan otonomi daerah … dst.
Makna frasa “ikut membahas” dalam ketentuan Pasal 22D ayat (2) di atas sama sekali
tidak menempatkan DPD dalam posisi yang strategis, bahkan tidak berlebihan kalau dikatakan
bahwa kedudukan DPD hanya sebagai pelengkap semata dalam sistem lembaga perwakilan
Indonesia. Sebab, makna frasa “dibahas” (pembahasan) pada dasarnya terkait dengan adanya
tujuan yang ingin dicapai,yakni lahirnya keputusan mengenai persetujuan bersama terhadap
suatu RUU. Sementara pembahasan setiap RUU untuk mendapatkan persetujuan bersama hanya
melibatkan DPR dan Presiden (Pasal 20 ayat (2) UUD 1945).
Frasa “persetujuan bersama” pada dasarnya mengandung konsekuensi hukum, sebab
pengesahan suatu RUU untuk memperoleh status sebagaiUU pada dasarnya mensyaratkan
terlebih dahulu bahwa status RUU itu telah mendapatkan persetujuan bersama, bukan
mensyaratkan bahwa RUU itu telah dibahas. Selain dari pada itu, pentingnya frasa “persetujuan
bersama” juga terlihat pada rumusan Pasal 20 ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa jika
suatu RUU tidak mendapat persetujuan bersama, maka RUU itu tidak boleh diajukan lagi dalam
persidangan DPR masa itu. Jadi, hanya dalam persidangan DPR pembahasan dan persetujuan
bersama suatu RUU dilakukan. Di luar dari persidangan DPR, tidak dikenal adanya persidangan
lain mengenai pembahasan hingga sampai pengambilan keputusan mengenai persetujuan
bersama terhadap suatu RUU.
Selanjutnya, terkait dengan proses pembentukanUU APBN, kewenangan DPD hanya
sebatas memberikan pertimbangan kepada DPR (Pasal 22D ayat (2) UUD 1945). Dalam praktik
yang berlangsung selama ini di DPR, DPD hanya dilibatkan dalam memberikan pandangan
umum sebelum RUU mengenai APBN dibahas oleh DPR bersama menteri utusan Presiden.
Keterlibatan DPD dalam memberikan pandangan umum terkait dengan RUU APBN,
hanya sebatas pada tahap pembicaraan Tingkat I, dan itu pun tidak sampai memasuki pada
pembicaraan inti, yakni tahap proses pembahasan RUU yang melibatkan DPR bersama menteri
utusan Presiden. Pembatasan seperti itu, menjadikan pandangan umum yang disampaikan oleh
DPD tidak memiliki arti penting di hadapan DPR. Dengan demikian, keterlibatan DPD dalam
pembicaraan Tingkat I di DPR sekedar hanya formalitas belaka, karena anggota DPR tidak harus
terikat dengan pandangan umum yang diberikan oleh DPD.
Pembatasan wewenang DPD tersebut sangat jauh berbeda dengan wewenang yang
dimiliki oleh DPR, Meskipun DPR selama ini tidak pernah mempersiapkan RUU APBN, namun
karena DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif (Pasal 20 ayat (1) UUD 1945) dan memiliki
fungsi anggaran (budgeter) berdasarkan ketentuan Pasal 20A ayat (1) UUD 1945, maka DPR
dapat menolak atau sebaliknya menyetujui, bahkan mempengaruhi besaran jumlah anggaran
yang diusulkan oleh Presiden dalam suatu RUU APBN.
Lemahnya kedudukan DPD juga diungkapkan oleh Susi Dwi Harijanti,54 bahwa
meskipun kelihatannya DPD dilengkapi oleh berbagai kekuasaan, namun hal itu justru tidak
mencerminkan kekuasaan sebagai Upper House. DPD tidak memiliki hak otonom untuk
membuatUU, melainkan hanya mengajukan RUU ke DPR. Di sinilah letak kelemahan
konseptual mengenai sistem perwakilan dua kamar yang kemudian dicerminkan dalam pasal-
pasal yang rancu satu dengan yang lain.

54
Susi Dwi Harijanti, Kelemahan Fundamental UUD 1945: Pra dan Pasca Amandemen, dalam Jurnal UNISIA,
Edisi No.49/XXVI/III/2003, hlm.260.
Meski wewenang DPR dalam proses pembentukanUU jauh lebih luas dibandingkan
dengan wewenang DPD. Namun, pelaksanaan fungsi legislasi DPR selama ini tidak mengalami
kemajuan yang berarti. Pelaksanaan fungsi legislasi DPR belum mencapai target sesuai harapan
yang ditetapkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Patrick Ziegenhain, seorang peneliti dari institut Arnold Bergstraesser di Freiburg-
Jerman dan pengajar ilmu politik di Universitas Albert Ludwigs Freiburg, telah melakukan studi
tentang “Peranan Parlemen Indonesia dalam Proses Demokratisasi antara Tahun 1997-2005”.
Hasil studinya mengungkapkan; bahwa pelaksanaan fungsi DPR berubah cukup drastis antara
tahun 1997 dan 2005. DPR di masa pemerintahan orde baru (masa Presiden Soeharto) dinilai
negatif dalam melaksanakan fungsi perwakilan, fungsi pengawasan (termasuk fungsi anggaran),
dan fungsi legislasi. DPR pada masa itu ibarat tukang stempel (rubber stamp). Sementara pada
masa Presiden B.J. Habibie, DPR mampu membuat perbaikan dalam fungsi pengawasan dan
legislasi. Selanjutnya, DPR 1999-2004, dinilainya jauh lebih baik dalam hal fungsi perwakilan,
lebih kuat dan efektif dalam menjalankan fungsi pengawasan. Namun, dalam pelaksanaan
“fungsi legislasi”, tampak masih memiliki kekurangan.55
Dalam kurun waktu 2004-2009 atau bersamaan dengan masa tugas DPR 2004-2009,
DPD memang belum menunjukkan peran yang maksimal dalam mengajukan RUU kepada DPR.
Hal ini bukan semata-mata karena ketidaksiapan DPD dalam hal mempersiapkan suatu RUU
yang terkait dengan wewenang DPD, tetapi juga didasarkan pada ketiadaan ruang bagi DPD
dalam penyusunan Program Legislasi Nasional (Proglenas) sebagaimana diatur dalam UU No.
10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pada satu sisi, Pasal 17
ayat (2) UU No. 10 Tahun 2004 mengakui adanya wewenang DPD untuk mengajukan RUU
tertentu sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 22D ayat (1) UUD 1945. Namun pada sisi
lain, DPD tidak terlibat dalam penyusunan Program Legislasi Nasional. Hal itu tampak pada
penjelasan Pasal 15 dari UU No.10 Tahun 2004 yang menyebutkan antara lain bahwa
penyusunan Program Legislasi Nasional disusun secara koordinasi, terarah, dan terpadu yang
disusun bersama oleh DPR dan Pemerintah. (Lihat: Pasal 16 ayat (1) dan (2) UU No.10 Tahun
2004).
Selain dibatasi oleh ketentuan dalam UU No. 10 Tahun 2004, pembatasan peran DPD
dalam proses pembentukanUU, juga terletak pada UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan
Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU. Susduk), yang diwariskan oleh DPR
sebelumnya (DPR hasil Pemilu 1999). Hal itu tampak ketika mencemati ketentuan Pasal 42 UU
No. 22 Tahun 2003.
Jadi, atas dasar ketentuan Pasal 42 UU No. 22 Tahun 2003 di atas, maka tidak ada
ruang bagi DPD untuk terlibat dalam pembahasan RUU yang terkait otonomi daerah … dst.
Ketentuan tersebut sesungguhnya tidak sesuai dengan makna Pasal 22D ayat (2) UUD 1945,
karena ketentuan Pasal 42 UU No. 22 Tahun 2003 hanya mendasarkan pada adanya hak inisiatif
sebagai syarat keikutsertaan DPD dalam pembahasan RUU yang terkait dengan batas wewenang
DPD. Lalu, ketika DPD tidak mengajukan RUU yang terkait dengan batas kewenangan DPD,
maka DPR tidak akan mengundang DPD untuk ikut membahas suatu RUU dimaksud.
Selanjutnya, kalaupun misalnya DPD mengajukan RUU yang terkait dengan batas kewenangan
DPD (Pasal 22D ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 42 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2003), maka
keterlibatan DPD dalam pembahasan RUU hanya dilakukan pada saat sebelum DPR membahas

Patrick Zeigenhain, The Indonesian Parliament And Democratization Book: The Indonesian Parliament And
55

Democratization, Publisher: Institute Of Southeast Asian Studies, 2008., hlm. 47-48 dan 78.
RUU itu dengan pemerintah (Pasal 42 ayat (3) UU No. 22 Tahun 2003). Padahal ketentuan Pasal
22D ayat (2) UUD 1945 tidak menyinggung pembatasan seperti yang dimaksud dalam
ketentuan Pasal 42 ayat (3) UU No. 22 Tahun 2003. Sementara dalam praktik selama ini, proses
pembentukanUU di DPR menurut Tata Tertib DPR hanya membatasi pada dua tahap
pembicaraan, yakni pembicaraan Tingkat I (pembahasan RUU yang melibatkan DPR dan
menteri utusan Presiden), dan tahap pembicaraan Tingkat II (persetujuan RUU untuk
menjadiUU).
Menambah satu tahap pembicaraan di luar dari dua tahap yang disebutkan di atas,
sesungguhnya bukan sesuatu hal sulit untuk dilakukan oleh DPR, sebab persoalannya hanya
terletak pada soal keinginan DPR untuk mengubah Peraturan Tata Tertibnya. Hal lebih penting
dari itu adalah bagaimana tafsir atau pemaknaan DPR terhadap ketentuan Pasal 20 ayat (2) dan
kaitannya dengan ketentuan Pasal 22D ayat (2) UUD 1945, serta penjabarannya lewatUU yang
terkait dengan kedudukan, tugas, dan wewenang DPR.
DPR hasil Pemilu 2004 mulai bersikap koperatif menjelang berakhir masa tugasnya. Hal
itu tampak ketika anggota DPR bersama Menteri utusan Presiden membahas RUU tentang MPR,
DPR, DPD, dan DPRD (sekarang menjadi UU No. 27 Tahun 2009) yang menggantikan UU
Susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebelumya, yakni UU. No. 22 Tahun 2003.
Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, telah
mengoreksi ketentuan Pasal 42 UU Susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebelumnya (UU No.
22 Tahun 2003). Berdasarkan ketentuan 224 ayat (1) huruf (a), (b), (c), dan (d) UU No. 27 Tahun
2009, maka keikut serta DPD dalam pembahasan RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat … dst, tidak lagi tergantung pada ada dan tidaknya RUU yang diajukan oleh
DPD terkait dengan wewenang DPD di atas, tetapi juga membahas RUU yang diajukan atas
inisiatif Presiden atau DPR sepanjang RUU tersebut terkait dengan baatas wewenang DPD
(Pasal 22D ayat (2) UUD 1945).
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah; apakah dengan adanya Pasal 224 ayat (1)
huruf (a), (b), (c), dan (d) UU No. 27 Tahun 2009 sudah cukup memberi jawaban yang
memuaskan terhadap tuntutan DPD untuk ikut terlibat dalam proses pembahasan RUU yang
terkait dengan wewenang DPD dalam persidangan di DPR?
Ketentuan Pasal 224 ayat (1) huruf (a), (b), (c), dan (d) UU No. 27 Tahun 2009 di atas
sesungguhnya belum cukup untuk menjadikan DPD berperan secara maksimal dalam proses
pembentukanUU. Persoalan yang mengganjal DPD selama ini tidak hanya sebatas padaUU,
yakni sebelumnya berada pada UU No. 22 Tahun 2003, tetapi lebih terletak pada UUD 1945,
yang belum menempatkan DPD sebagai lembaga perwakilan yang mampu menjadi penyeimbang
dan kontrol terhadap kekuasaan Presiden dan DPR khususnya dalam proses pembentukanUU.
Oleh karena itu, jika ada kehendak untuk mengamandemen kembali UUD 1945, maka salah satu
materi yang perlu tersentuh dengan perubahan adalah ketentuan Pasal 22D UUD 1945. Adapun
substansi yang dikehendaki terhadap perubahan pasal tersebut adalah penguatan kedudukan dan
fungsi DPD, yakni tidak hanya sebatas ikut membahas setiap RUU, tetapi juga berwenang
memberi persetujuan terhadap setiap RUU untuk menjadiUU. Pembatasan wewenang DPD
hanya membahas dan memberi persetujuan terhadap RUU yang terkait dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah … dst seperti ketentuan yang ada sekarang (Pasal 22D ayat (2) UUD
1945), dinilai tidak tepat lagi, sebab pembatasan seperti itu memberi kesan bahwa kehadiran
DPD sebagai lembaga perwakilan dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia, hanya
pada urusan tertentu saja.
Perlunya penguatan kedudukan DPD sebagai lembaga perwakilan yang berdampingan
dengan DPR dalam proses pembentukanUU, dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie,56 bahwa
dengan struktur bikameral tersebut (DPR dan DPD), maka diharapkan proses legislasi dapat
diselenggarakan berdasarkan sistem double-check, sehingga memungkinkan representasi
kepentingan seluruh rakyat secara relatif dapat disalurkan dengan basis sosial yang lebih luas.
Hal itu cukup beralasan, karena DPR merupakan cermin representasi politik (political
representation) sedangkan DPD sebagai cermin representasi teritorial atau regional (regional
representation).
Perlunya penguatan kedudukan DPD sebagai lembaga perwakilan yang berdampingan
dengan DPR dalam memberikan persetujuan terhadap RUU, tidak hanya mengemuka dalam
konteks wacana, tetapi sudah melalui pengkajian yang komprehensif yang pernah dilakukan oleh
Komisi Konstitusi. Salah satu alasan perlunya penguatan kedudukan DPD berdampingan dengan
DPR adalah untuk mewujudkan sistem checks and balances dalam rangka memperbaiki
kehidupan ketatanegaraan dan mendorong demokratisasi. Dengan adanya lembaga perwakilan
rakyat dengan dua kamar, maka diharapkan lembaga ini akan mampu menjalankan fungsi
legislasi dan fungsi kontrolnya dengan lebih baik.57
Sekedar sebagai bahan perbandingan, Kongres (Congress) dalam sistem ketatanegaraan
di Amerika Serikat, yakni terdiri atas Senat (Senate) dan DPR (House of Representative),
memiliki kekuasaan yang relatif seimbang dalam proses pembentukanUU. Baik Senat maupun
DPR (House of Representative) di Kongres Amerika Serikat terlibat secara aktif dalam proses
pembentukanUU. Jadi, pembentukanUU dalam Kongres Amerika Serikat melalui mekanisme
kontrol dari dua majelis (double check). Selanjutnya, meskipun ada perbedaan pandangan antara
Senat dan DPR terhadap sebuah RUU, namun komisi sidang yang terdiri dari wakil Senat dan
DPR akan selalu berupaya untuk menghilangkan perbedaan-perbedaan pandangan di antara
keduanya. Selanjutnya, jika suatu RUU telah lolos dari pembahasan komisi, lalu mendapatkan
pengesahan dari Senat dan DPR, maka sebelum RUU dinyatakan sah menjadi hukum (undang-
undang), Kongres menyerahkan RUU tersebut kepada Presiden Amerika Serikat untuk
mendapatkan persetujuan, dan diikuti penandatanganan.
Praktik ketatanegaraan di Amerika Serikat seperti yang disinggung di atas, memang
dimungkinkan karena lembaga perwakilan Amerika Serikat menganut sistem dua kamar
(bicameral), yakni Senat (Senate) dan DPR (House of Representative). Selanjutnya, Pasal 1 dari
bab 1 Konstitusi Amerika Serikat secara tegas menyebutkan bahwa semua kekuasaan
membentukUU diletakkan pada Kongres Amerika Serikat (Senate dan House of Representative).
Sementara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, kekuasaan membentukUU diletakkan pada
DPR (Pasal 20 ayat (1) UUD 1945). Selain itu, MPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia,
yang anggotanya terdiri atas anggota DPR dan DPD (Pasal 2 ayat (1) UUD 1945) merupakan
organ negara tersendiri yang juga memiliki wewenang tersendiri. Menurut Dahlan Thaib, bahwa
MPR masih memiliki kewenangan yang meletakkan dirinya sebagai suatu lembaga supra. 58
Jadi, dengan tetap mempertahankan MPR sebagai organ negara tersendiri bersamaan
dengan DPR dan DPD, maka wajah sistem lembaga perwakilan Indonesia terdiri dari tiga kamar,
yakni DPR, DPD, dan MPR. Sistem lembaga perwakilan demikian terkesan unik, karena tidak
ditemukan dalam sistem lembaga perwakilan negara lain di dunia. Sementara di Amerika

56 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan ... Op Cit, hlm. 140-141.


57 MPR RI, Naskah Akademik ... Loc Cit.
58
Dahlan Thaib, Ketatanegaraan Indonesia; Perspektif Konstitusional, Penerbit: Total Media, Yogyakarta,
2009, hlm. 220.
Serikat, Kongres hanya berfungsi menyelenggarakan sidang gabungan (joint session) antara
anggota Senat dan DPR (House of Representation).
Dalam catatan sejarah ketatanegaraan Indonesia, Konstitusi RIS 1945 memang tidak
bertahan lama, sebab sistem lembaga perwakilan dua kamar (Senat dan DPR) dinilai sebagai
bagian dari rekayasa pemerintahan Belanda untuk memecah belah negara kesatuan RI.59 Namun
demikian, ada pelajaran yang bisa dipetik dari praktik ketatanegaraan masa lalu terkait dengan
sistem lembaga perwakilan dua kamar. Saat ini, upaya reformasi lembaga perwakilan dengan
sistem dua kamar tidak perlu lagi terjebak dengan trauma pergolakan politik seperti pada masa
lalu. Persoalannya sekarang lebih terletak pada ada dan tidaknya kemauan politik, terutama dari
kalangan politisi di DPR.
Selanjutnya, para politisi di DPR juga tidak perlu khawatir mengenai kemungkinan
terjadinya perbedaan pandangan jika sistem double-check dalam proses pembentukanUU
dilembagakan. Kekhawatiran mengenai kemungkinan timbulnya perbedaan pandangan antara
DPR dan DPD terhadap suatu RUU, sesungguhnya dapat diatasi jika perubahan UUD 1945 ke
depan juga menetapkan mekanisme Komisi Bersama. Seperti halnya dalam sistem
ketatanegaraan Jepang, jika terjadi perbedaaan pandangan antara Sangiin (Majelis Tinggi)
dengan Shugiin (Majelis Rendah) mengenai substansi RUU Anggaran Negara, maka perbedaan
pandangan itu diselesaikan melalui mekanisme Komisi Bersama (Joint Committee) kedua
Majelis.
Idealnya, DPD sebagai lembaga perwakilan mestinya memiliki wewenang tersendiri
dalam membahas dan menyetujui RUU guna mewujudkan mekanisme checks and balances
dalam proses pembentukanUU. Apalagi dilihat dari mekanisme pengisian keanggotaan DPD
yang didasarkan pada Pemilihan Umum (Pemilu),60 yakni suatu cara pengisian keanggotaan
lembaga perwakilan yang dinilai demokratis. Namun hasil reformasi ketatanegaraan lewat empat
kali perubahan UUD 1945, penguatan kedudukan dan fungsi DPD tidak berimbang dengan
penguatan kedudukan dan fungsi DPR. Adanya pembatasan wewenang DPD dalam proses
pembentukanUU (Pasal 22D ayat (2) UUD 1945) tentu saja memberi gambaran bahwa sistem
lembaga perwakilan Indonesia tidak dibangun berdasarkan mekanisme checks and balances.
Menurut Jimly Asshiddiqie,61 mengemukakan bahwa DPD sebenarnya lebih tepat disebut
sebagai Dewan Pertimbangan DPR dari pada Dewan Perwakilan Daerah. Karena itu struktur
parlemen kita pasca perubahan keempat UUD 1945 tidak tepat untuk disebut sebagai parlemen
sistem dua kamar sesuai dengan prinsip “strong bicameralism”. Sistem yang dianut paling jauh
hanya dapat disebut sebagai “soft bicameralism”, karena kedudukan dua kamar (DPR dan DPD)
itu tidak sama kuat. Namun, karena MPR sendiri juga tidak dapat disebut hanya sebagai “joint
session” antara DPR dan DPD, maka bangunan parlemen kita juga tidak dapat disebut sebagai
“soft bicameralism” sekalipun.
Meski sudah banyak wacana yang mengemuka, dan sudah ada hasil kajian yang
komprehensif sebagai bahan untuk mereformasi sistem lembaga perwakilan Indonesia lewat
perubahan UUD 1945, pada akhirnya tergantung dari komitmen anggota MPR. Tertangkap kesan
bahwa para anggota MPR terutama dari unsur anggota DPR belum menghendaki penguatan
kedudukan dan fungsi DPD. Hal itu semakin jelas terlihat ketika usul perubahan kelima UUD

59
Simak: Susi Dwi Harijanti, Op Cit., hlm. 261.
60
Pasal 22C UUD 1945, selanjutnya pada Pemilu 2004 didasarkan padaUU No.12 Tahun 2003 dan pada
Pemilu 2009 didasarkan padaUU No. 10 Tahun 2008 (Keduanya mengatur tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,
DPD, dan DPRD).
61
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan … Op Cit, hlm.13.
1945 yang diprakarsai oleh anggota DPD kandas terbentur persyaratan quorum pada tanggal 7
Agustus 2007 (pukul 00,00). Anggota MPR yang setuju menandatangani usulan perubahan
kelima UUD 1945 tidak mencapai sepertiga (1/3) anggota atau kurang dari 226 anggota MPR.
Sudah dapat diduga, bahwa sebagian besar anggota di MPR khususnya yang berasal dari anggota
DPR belum menghendaki perubahan kelima UUD 1945 – terutama usulan perubahan yang
terkait dengan penguatan kedudukan dan fungsi DPD.

B. PembentukanUU Pasca Pergeseran Kekuasaan Legislatif dari Presiden ke DPR.


1. Hak Mengajukan RUU
Pergeseran atau pengalihan kekuasaan legislatif dari Presiden ke DPR yang dihasilkan dari
Perubahan Pertama UUD 1945 (Pasal 5 ayat 1 dan Pasal 20 ayat 1), setidaknya mencatat
beberapa hal: Pertama, dengan menggeser kekuasaan legislatif dari Presiden ke DPR berarti
memperkuat kedudukan dan fungsi DPR sebagai lembaga legisatif. Kedua, ketentuan Pasal 5
ayat (1) yang menyatakan bahwa Presiden berhak mengajukan RUU, berhadapan dengan
kewajiban konstitusional DPR dalam proses pembentukanUU. Ketiga, pergeseran kekuasaan
legislatif dari Presiden ke DPR membawa konsekuensi peningkatan peran anggota DPR,
khususnya dalam menggunakan hak inisiatifnya untuk mengajukan RUU.
Namun demikian, praktik ketatanegaraan yang terkait dengan pengajuan RUU, Presiden
tampak lebih dominan dibandingkan dengan peran DPR. Seperti telah disinggung pada uraian
sebelumnya, bahwa dalam kurun waktu 2004-2009, ada sebanyak 193 (seratus sembilan tiga)
RUU yang telah disetujui bersama menjadiUU. Lalu, dari 193 (seratus sembilan tiga)UU yang
dihasilkan, sebanyak 125 (seratus dua puluh lima) atau sekitar 64,4% RUU berasal dari
pemerintah, sedangkan sebanyak 68 (enam puluh delapan) atau sekitar 33,6 persen merupakan
RUU yang berasal dari inisiatif DPR.62
Dominasi Presiden dalam mengajukan RUU dalam persidangan di DPR tidak bisa
dilepaskan dari kedudukan Presiden sebagai kepala pemerintahan, yakni selain lebih responsif
dalam memahami tuntutan kebutuhan hukum masyarakat lewat berbagaiUU, juga memiliki
sumber daya manusia yang cukup dan memadai jika dibandingkan dengan DPR dalam hal
mempersiapkan RUU.
Praktik ketatanegaraan dimana Pemerintah cenderung lebih mendominasi dalam
mengajukan RUU dibandingkan dengan lembaga legislatif, sesungguhnya bukan hanya terjadi di
Indonesia. Menurut Jimly Asshiddiqie, kecenderungan demikian juga terjadi di negara-negara
Eropa sejak akhir abad ke-20, yang memang memberikan kesempatan yang luas kepada
pemerintah untuk mengambil hak inisiatif untuk menyusun dan mengajukan RUU. Seperti di
Prancis, di Jerman, dan berbagai negara lainnya, RUU yang diajukan oleh pemerintah selalu
lebih banyak dari pada RUU yang diajukan oleh para anggota parlemen.63
M.V. Polak juga mencontohkan di Amerika pada masa Presiden Wilson, yakni saat
adanya kecenderungan perkembangan kedudukan Presiden sebagai pemimpin dalam urusan
pembuatanUU. Lewat amanat Presiden di Kongres, maka Presiden memiliki kesempatan untuk
menyampaikan sejumlah keinginan, termasuk isiUU yang diinginkan.64 Bahkan praktik fungsi
legislasi di Amerika Serikat membuktikan bahwa hampir 80 persen RUU berasal dari prakarsa
eksekutif.65

62
Data Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2004-2009, Dewan Perwakilan Rakyat RI, Jakarta, 2004.
63
Jimly Asshiddiqie, Prihal … Loc Cit.
64
Terpetik dari Suparlan, Loc Cit.
65
Saldi Isra, Pergeseran … Op Cit, hlm. 324.
Praktik ketatanegaraan di Amerika Serikat juga menunjukkan bahwa RUU yang akan
diajukan oleh pemerintah kepada Kongres pada umumnya dipersiapkan oleh departemen-
departemen yang dipimpin oleh Presiden. Demikian pula di kerajaan Inggris, RUU yang dibahas
di Parlemen dapat berasal dari menteri yang terkait dengan urusan pemerintahan (government
bills) atau dari pemerintah yang menangani berbagai urusan pemerintahan (hybrid bills).
Disamping itu, RUU yang dibahas di Parlemen juga dapat berasal dari seorang anggota Majelis
Rendah.
Menurut Jimly Asshiddiqie, bahwa praktik ketatanegaraan dimana pihak Pemerintah
cenderung lebih mendominasi dalam mengajukan RUU dibandingkan dengan lembaga legislatif,
pada umumnya disebabkan oleh beberapa hal: Pertama, pemerintah yang paling banyak
memiliki informasi atau paling mengetahui mengenai apa, kapan, dan mengapa sesuatu
kebijakan harus diatur denganUU. Disamping itu, para anggota lembaga perwakilan yang juga
politisi memang tidak disyaratkan harus memiliki kualifikasi sebagai perancangUU.Kedua,
tenaga ahli atau orang-orang yang memiliki keahlian teknis mengenai sesuatu hal yang perlu
dituangkan dalamUU paling banyak berada dalam lingkungan pemerintahan atau di lingkungan
yang dapat lebih mudah diakses oleh fungsi-fungsi pemerintaahan. Ketiga, pemerintah juga
memiliki persedian dana atau anggaran yang paling banyak untuk membiayai segala sesuatu
yang berkenaan dengan kegiatan penelitian dan peRUU.66
Berbeda dengan Pemerintah yang memiliki beberapa kelebihan dalam hal mempersiapkan
naskah RUU. Lembaga legislatif memiliki keterbatasan dalam mempersiapkan RUU. Anggota
Parlemen yang terdiri dari para politisi, memang tidak dipersyaratkan harus memiliki kualifikasi
teknis sebagai perancangUU.67 Hal yang sama juga terjadi di Indonesia, rekruitmen anggota DPR
lewat Pemilu tidak mensyaratkan bahwa setiap calon anggota DPR harus memiliki kualifikasi
teknis sebagai perancangUU (legal drafter). Pasal 50 ayat (1) UU Pemilu Legislatif (UU. No. 10
Tahun 2008) hanya menilai kemampuan calon anggota DPR dari dua syarat, yaitu: cakap
berbicara, menulis, dan berbahasa Indonesia, serta berpendidikan paling rendah tamat Sekolah
Menengah Atas (SMA) atau pendidikan lain yang sederajat.
Menetapkan salah satu syarat untuk setiap anggota DPR harus memiliki kualifikasi teknis
perancangUU, memang tidak lazim dalam sistem rekruitmen anggota lembaga perwakilan di
berbagai negara. Apalagi fungsi utama lembaga perwakilan tidak hanya sebatas pada fungsi
membentukUU, melainkan juga memiliki fungsi pengawasan dan fungsi budget. Oleh karena itu,
untuk meningkatkan fungsi DPR dalam mengajukan RUU, persiapan naskah RUU cukup
dilakukan oleh staf ahli atau tenaga professional yang cukup dan handal dalam bidang peRUU.
Namun demikian, DPR sebagai lembaga legislatif yang didukung Badan Legislasi (Baleg)
dan sejumlah tenaga ahli atau tenaga professional, ternyata belum menandingi pergerakan
pemerintah dalam mempersiapkan RUU. Meskipun selama ini terdapat sebanyak 33,6 persen
RUU yang berasal dari DPR (2004-2209), namun sebagian besar merupakan RUU pemekaran
daerah. Penyusunan substansi RUU pemekaran daerah cenderung dilakukan dengan cara copy-
paste, sebab substansi RUU pemekaran daerah relatif mudah dibandingkan dengan RUU pada
umumnya.
Selain itu, lambatnya pergerakan DPR dibandingkan dengan pemerintah dalam hal
mempersiapkan naskah RUU, juga disebabkan oleh dua hal: Pertama, DPR cenderung lebih
memusatkan perhatian pada fungsi pengawasan. Rapat dengar pendapat atau meminta
keterangan yang dilakukan oleh komisi-komisi DPR dengan pejabat pemerintah dari berbagai

66
Ibid.
67
Ibid.
departemen, kunjungan kerja ke daerah atau studi banding ke luar negeri, lebih menarik
perhatian para anggota DPR jika dibandingkan dengan pekerjaan mempersiapkan RUU untuk
meningkatkan fungsi legislatif DPR. Kedua, DPR belum membuka ruang yang lebar bagi
masyarakat dan organisasi non pemerintah, serta akademisi dari berbagai Perguruan Tinggi
(PTN/PTS) untuk melakukan kerja-sama dalam rangka mempersiapkan naskah RUU.
UUD 1945 yang telah mengalami perubahan empat kali selama ini tidak menyebutkan
adanya kewajiban bagi DPR untuk menerima RUU yang diajukan oleh Presiden untuk dibahas
dalam persidangan di DPR. Praktik yang berlangsung selama ini menunjukkan bahwa RUU yang
diajukan oleh Presiden pada umumnya diterima oleh DPR untuk dibahas dalam persidangan di
DPR. Seperti telah disinggung di atas, bahwa dalam kurun waktu 2004-2009, RUU yang dibahas
dan disetujui dalam persidangan di DPR masih didominasi oleh hak inisiatif Presiden. Dari
sebanyak 193 (seratus sembilan tiga)UU yang dihasilkan oleh DPR bersama Presiden. sebanyak
125 (seratus dua puluh lima) atau sekitar 64,4% berasal dari RUU yang diajukan oleh Presiden.
Meski tidak ada ketentuan dalam UUD 1945 yang mengatur secara tegas mengenai
apakah DPR wajib atau serta merta harus menerima atau sebaliknya menolak RUU yang
diajukan oleh Presiden untuk dibahas dalam persidangan di DPR, namun praktik ketatanegaraan
yang berlangsung selama ini perlu tetap dipelihara sepanjang belum ada perubahan UUD 1945
yang terkait dengan hal itu. Kalaupun di kemudian hari DPR hendak menolak suatu RUU yang
diajukan oleh Presiden, maka penolakan hendaknya dilakukan dalam proses pembahasan pada
persidangan DPR.
Mengingat karena Presiden juga berhak mengajukan RUU (Pasal 5 ayat (1) UUD 1945,
maka tidak tertutup kemungkinan bahwa DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif juga
mengajukan RUU dengan materi serupa yang semula telah dipersiapkan oleh Badan Legislasi
DPR. Bahkan tidak tertutup kemungkinan RUU dengan materi sama juga dapat diajukan oleh
anggota DPR dengan mendasarkan ketentuan Pasal 21 UUD 1945. Lalu, bagaimana jika muncul
dua RUU yang ingin mengatur sesuatu hal yang sama, yang satu berasal dari anggota DPR, dan
yang satunya berasal dari Presiden? Apakah DPR memprioritaskan agenda pembahasan terhadap
RUU yang diajukan oleh anggota DPR?
Pertanyaan seperti di atas sesungguhnya tidak perlu muncul jika pada penyusunan
Program Legislasi Nasional telah ditetapkan agenda RUU yang akan menjadi prioritas bagi
kebutuhan hukum nasional. Lewat penyusunan Program Legislasi Nasional tersebut, juga
ditetapkan pembagian kapling RUU yang akan dipersiapkan oleh Presiden dan DPR. Hanya
dengan cara demikian, dapat hindari munculnya RUU dengan materi yang sama yang diajukan
oleh DPR dan Presiden.
Pasal 22A UUD 1945 telah memerintahkan bahwa tata cara pembentukanUU diatur
dengan suatuUU. Perintah ketentuan Pasal 22A UUD 1945 tersebut telah dijabarkan lewat UU.
No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Namun demikian,
UU. No. 10 Tahun 2004 tersebut tidak secara tegas mengatur mengenai tata cara pembahasan
terhadap dua usul RUU yang berasal dari Presiden dan anggota DPR terkait dengan pokok
masalah yang sama. Pengaturan mengenai hal itu hanya ditemukan dalam ketentuan Pasal 122
Tata Tertib DPR 2005/2006 yang menyebutkan sebagai berikut:
Apabila ada dua RUU yang diajukan mengenai hal yang sama dalam satu masa sidang,
yang dibicarakan adalah RUU dari DPR, sedangkan RUU yang disampaikan oleh
Presiden digunakan sebagai bahan sandingan.
Pengaturan mengenai hak anggota DPR untuk mengajukan usul RUU dalam tingkatan
UUD 1945 (Pasal 21), sesungguhnya sesuatu hal yang berlebihan ketika kekuasaan legislatif
telah bergeser dari Presiden ke DPR. Pengaturan seperti itu cukup diatur dalamUU, khususnya
UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan pada Peraturan Tata Tertib DPR. Ketentuan Pasal
20 ayat (1) UUD 1945 sudah cukup menjadikan alasan bagi anggota DPR untuk termotivasi agar
lebih produktif dalam mempersiapkan RUU. Idealnya, setiap anggota DPR harus menyikapi
penguatan kedudukan DPR sebagai lembaga pemegang kekuasaan legislatif. Bagaimanapun,
citra DPR sebagai lembaga perwakilan dalam banyak hal ditentukan oleh citra personal anggota
DPR. Oleh karena itu, tanpa harus diletakkan dalam UUD 1945, setiap anggota DPR sudah
semestinya menyadari eksistensinya sebagai wakil rakyat, serta memiliki kesadaran dan
komitmen untuk meningkatkan kinerja lembaganya, dan salah satunya adalah dengan cara
memprakarsai penyusunan RUU.
Ketentuan mengenai hak anggota DPR untuk memajukan usul RUU, sesungguhnya
sudah ada sebelum perubahan UUD 1945. Pasal 21 ayat (1) UUD 1945 lama menyebutkan
bahwa anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan RUU. Kini, setelah
perubahan UUD 1945, Pasal 21 hanya menyebut satu kali kata “anggota”, dan menambah kata
“usul” dibelakang kata RUU.
Gagasan yang tetap mempertahankan perlunya hak anggota DPR dalam mengajukan usul
RUU sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 21 UUD 1945 di atas, sesungguhnya terkait
dengan fakta empirik masa lalu. Pada masa pemerintahan Orde Baru, hak untuk mengajukan
RUU tidak pernah diwujudkan oleh anggota DPR. Hal itu antara lain disebabkan oleh kuatnya
dominasi kekuasaan Presiden dalam proses pembentukanUU. UUD 1945 lama (Pasal 5 ayat (1),
menempatkan Presiden sebagai pemegang kekuasaan legislatif. Lebih dari itu, praktik
pemerintahan yang cenderung otoriter pada masa pemerintahan Orde Baru, telah
mengkondisikan DPR tidak berdaya dalam proses pembentukanUU, termasuk hak anggota DPR
dalam mengajukan usul RUU. Pada masa pemerintahan Orde Baru, RUU yang diajukan untuk
dibahas di DPR pada umumnya berasal dari Presiden, sementara DPR tinggal memberikan
persetujuan.
Ketentuan Pasal 21 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat berhak mengajukan RUU, dapat ditafsirkan sebagai amanat yang mengandung
pendidikan politik. Ke depan, setiap partai politik (Parpol) peserta perlu menjadikan ketentuan
Pasal 21 UUD 1945 tersebut sebagai bahan pendidikan politik dalam proses pengkaderan calon
partai politik. Dengan menjadikan hal itu sebagai bahan pendidikan politik, maka calon anggota
DPR yang kelak diusung oleh setiap Parpol dapat mempersiapkan diri sedini mungkin untuk siap
menjadi legislator di DPR.

2. Pembahasan dan Persetujuan RUU


Ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 secara tegas menyebutkan bahwa setiap RUU
dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama.
Ketentuan tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa Presiden masih memiliki peranan penting
dalam proses pembentukanUU. Jadi, meskipun kekuasaan legislatif telah bergeser dari Presiden
ke DPR, namun Presiden tetap memegang peranan penting dalam proses pembentukanUU.
Tanpa adanya persetujuan Presiden, maka suatu RUU tidak akan pernah berubah status
menjadiUU.
Terlepas dari soal Presiden mendominasi pengajuan RUU, terkait dengan soal
keterlibatan Presiden bersama DPR dalam membahas RUU untuk mendapatkan persetujuan
bersama, sesungguhnya tidak berbeda dengan praktik ketatanegaaaan pada masa sebelum
perubahan UUD 1945. Bagi Suwoto Mulyosudarmo,68 praktik pembuatanUU seperti di atas pada
dasarnya tidak menunjukkan adanya penerapan sistem pemisahan kekuasaan, tetapi lebih pada
sistim kekuasaan terpadu. Jadi, sistem yang menampakkan adanya koordinasi yang erta antara
Presiden dan DPR.
Perbedaannya hanya terletak pada lembaga yang memegang kekuasaan legislatif. Naskah
UUD 1945 meletakkan kekuasaan pada Presiden (Pasal 5 ayat 1), sementara naskah UUD 1945
baru (hasil perubahan) meletakkan kekuasaan legislatif pada DPR (Pasal 20 ayat 1).
Praktik pembentukanUU selama ini menunjukkan bahwa Presiden memang tidak pernah
terlibat langsung dalam proses pembahasan RUU hingga pada tahap persetujuan bersama atas
suatu RUU untuk ditetapkan menjadi undang undang dalam persidangan di DPR. Dalam proses
pembahasan RUU hingga pada tahap persetujuan bersama di DPR, Presiden di wakili oleh
Menteri yang ditunjuk oleh Presiden. Dalam praktik selama ini, pembahasan RUU dilakukan
pada tahap pembicaraan Tingkat I, sedangkan pesetujuan bersama dilakukan pada tahap
pembicaraan Tingkat II.
Meskipun Presiden tidak terlibat langsung dalam proses pembahasan dan persetujuan
bersama dalam proses pembentukanUU di DPR, namun kehadiran Menteri yang mewakili
Presiden tidak mengurangi makna ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945. Keterlibatan Menteri
bersama DPR dalam pembahasan RUU untuk mendapatkan persetujuan bersama merupakan
suatu rangkaian proses yang menentukan sahnya suatuUU dalam arti materil. Praktik selama ini
menunjukkan bahwa setiap RUU yang dibahas dalam persidangan di DPR, terutama RUU yang
diajukan oleh DPR pada umumnya berakhir dengan persetujuan bersama (DPR dan Menteri yang
ditunjuk oleh Presiden).
Berbeda dengan RUU yang berasal dari DPR, RUU yang berasal dari Presiden sudah
pernah sekali tertolak untuk mendapatkan persetujuan dari DPR, yakni RUU tentang Rahasia
Negara69 pada penghujung Mei 2008. Tertolaknya RUU Rahasian Negara di DPR pada dasarnya
terkait adanya reaksi publik terutama dari pengelola media cetak dan elektronik, serta koalisi
LSM. Penolakan itu didasarkan pada anggapan bahwa RUU tersebut dinilai berkarakter otoriter
dan sangat berpotensi mengancam kebebasan pers untuk mendapatkan informasi publik. Lalu,
karena mendapat reaksi keras dari publik, maka pada tanggal 16 September 2008, DPR secara
resmi menghentikan pembahasan RUU itu. Sementara bagi DPR, alasan penghentian
pembahasan RUU tersebut bersandar pada sikap Pemerintah sebagai inisiator yang menarik
kembali RUU tersebut untuk dibahas lebih lanjut dalam persidangan DPR. 70
Pembahasan RUU hingga mendapatkan persetujuan bersama (DPR dan Menteri yang
ditunjuk oleh Presiden) juga memiliki arti penting dalam konteks ilmu perundang-undangan,
sebab dengan lahirnya persetujuan bersama, maka berakibat pada perubahan status RUU itu
menjadiUU (UU). Lalu, karena persetujuan bersama (DPR dan Menteri yang ditugaskan
Presiden) itu dikuatkan dengan keputusan DPR dalam rapat paripurna, maka dengan sendirinya
sudah terjadi tindakan pengesahan han dalam arti materil.71 Oleh karena itu, suatu RUU yang
telah disetujui bersama menjadiUU, pada prinsipnya tidak bisa lagi diubah sehubungan dengan
adanya keputusan DPR yang mengesahkan RUU itu menjadiUU. Setiap tindakan yang

68
Suwoto Mulyosudarmo, Op Cit, hlm. 33.
69
Penyusunan RUU Rahasia Negara dilakukan oleh Departemen Pertahanan dan Keamanan Republik
Indonesia.
70
Simpulan dari semua materi RUU Rahasia Negara, Sumber dari Internet, tertanggal 16 September 2008.
71
Simak: Jimly Asshiddiqie, Prihal…Op Cit, hlm. 291.
mengubah substansi RUU yang telah disetujui bersama menjadiUU, pada dasarnya menyangkali
adanya persetujuan bersama yang pernah diputuskan dalam rapat paripurna DPR.
Pasca perubahan UUD 1945 atau diakhir masa tugas DPR 2004-2009, perubahan
substansi RUU yang telah disetujui bersama menjadi UU sudah pernah terjadi ketika ayat (2)
dalam Pasal 113 pada UU Kesehatan yang mengatur tentang tembakau sebagai salah satu zat
adiktif, hilang (terhapus) justru setelah disahkan (pengesahan materil) dalam rapat paripurna
DPR, dan tinggal menunggu tindakan pengesahan (pengesahan formal) dari Presiden. Hilangnya
ayat tembakau (ayat 2 pada Pasal 113) pada RUU Kesehatan tersebut, diketahui ketika
Sekretariat Negara RI mecocokkan naskah RUU yang telah disetujui bersama menjadi UU di
DPR dengan naskahUU yang disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden guna
mendapatkan pengesahan lebih lanjut (pengesahan formal).
Bagi penulis, tindakan yang menghilangkan atau menghapus ayat tembakau padaUU
Kesehatan yang telah disetujui bersama dan telah disahkan dalam rapat paripurna DPR, tidak
saja dinilai menyangkali keputusan persetujuan bersama (DPR dan Menteri yang ditunjuk oleh
Presiden) dalam rapat paripurna DPR, tetapi juga dinilai sebagai kejahatan yang melecehkan
DPR (Contempt of Court) sebagai lembaga perwakilan rakyat, bahkan menciderai prinsip
demokrasi.
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, keterlibatan pemerintah dalam proses
pembentukan UU di DPR sudah terjadi pada masa berlakunya UUDS 1950. Pasal 89 UUDS
1950 pada pokoknya menyebutkan bahwa kekuasaan perundang-undangan dilakukan oleh
pemerintah bersama dengan DPR. Selanjutnya, pada masa sebelum reformasi, percampuran
kekuasaan antara cabang kekuasaan legislatif dan cabang kekuasaan eksekutif juga tampak pada
penjelasan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 lama, yang menyebutkan bahwa kecuali executive power,
Presiden bersama-sama DPR menjalankan legislative power dalam negara.
Bagi penulis, keterlibatan Presiden dalam pembahasan dan persetujuan bersama (DPR
dan Presiden) pada persidangan DPR, justru menunjukkan adanya keunikan dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia. Keunikan itu semakin tampak ketika hasil perubahan Pertama UUD
1945 menguatkan kedudukan DPR sebagai lembaga pemegang kekuasaan membentukUU (Pasal
20 ayat (1) UUD 1945). Sementara ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 masih memberi
kewenangan kepada Presiden untuk terlibat dalam proses pembahasan setiap RUU untuk
mendapatkan persetujuan bersama dengan DPR.

3. Pengesahan RUU.
Sistim ketatanegaraan juga memberi kewenangan kepada Presiden untuk
mengesahkanUU yang telah diputuskan dalam persidangan DPR. Seperti ditegaskan dalam
ketentuan Pasal 20 ayat (4) UUD 1945, bahwa Presiden mengesahkan RUU yang telah disetujui
bersama untuk menjadi undang. Lalu, jika Presiden tidak mengesahkan RUU itu, maka berlaku
ketentuaan Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa dalam hal RUU yang telah
disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak
RUU disetujui, RUU tersebut sah menjadiUU dan wajib diundangkan.
Sebagaimana diketahui bahwa pembahasan RUU untuk mendapatkan persetujuan
bersama melibatkan DPR bersama Presiden (Pasal 20 ayat (2) UUD 1945). Bertolak dari
ketentuan tersebut, timbul pertanyaan; apakah ketika Presiden menolak mengesahkan suatu RUU
yang telah disetujui bersama (DPR bersama Presiden), dapat berarti bahwa Presiden telah
mementahkan persetujuan bersama yang pernah diputuskan dalam persidangan di DPR?
Ketentuan Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 baru muncul setelah perubahan kedua UUD 1945.
Sebelumnya, hasil perubahan pertama UUD 1945, Pasal 20 UUD hanya terdiri 4 (empat) ayat.
Lalu, untuk mengantisipasi kemungkinan Presiden menolak mengesahkan suatuUU, meskipun
pada awalnya RUU itu telah disetujui bersama (DPR dan Presiden), maka MPR (pada Sidang
Tahunan MPR Tahun 2000) mengubah kembali ketentuan Pasal 20 UUD 1945 dengan
menambah satu ayat, yakni ayat (5) di atas.
Ketentuan Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 yang dihasilkan dari Perubahan Kedua UUD
1945, pada akhirnya dapat menjawab realitas yang muncul pada Tahun 2002 dan 2003 di masa
pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, yakni ketika Presiden (Megawati Soekarnoputi)
menolak mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama dalam persidangan DPR. AdapunUU
dimaksud adalah:
1. Undang-Undang No. 25 Tahun 2002 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau
(Lembaran Negara RI. Tahun 2002 Nomor 111, dan Tambahan Lembaran Negara RI Nomor
4237);
2. Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran ( Lembaran Negara RI. Tahun 2002
Nomor 139, dan Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4252)
3. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Termuat dalam Lembaran
Negara RI. Tahun 2003 Nomor 47, dan Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4286;
4. Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Termuat dalam Lembaran Negara RI.
Tahun 2003 Nomor 49, dan Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4288. 72
5. Undang-Undang No. No. 21 Tahun 2003 tentang Pengesahan Konvensi ILO No.81 mengenai
Pengawasan Ketenagakerjaan dalam Kawasan Industri dan Perdagangan.73
Tindakan Presiden yang menolak mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama dalam
persidangan di DPR, juga sudah terjadi pada Tahun 1997 di masa pemerintahan Presiden
Soeharto. RUU yang tertolak mendapatkan pengesahan dari Presiden adalah RUU Penyiaran,
yang sekarang telah menjadi UU No. 32 Tahun 2002. Jadi, dalam sejarah ketatanegaraan
Indonesia, RUU Penyiaran telah dua kali tertolak untuk memperoleh pengesahan dari Presiden.
Pada penolakan pertama pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, sikap penolakan itu
tampak ketika kurang lebih selama 1 (satu) bulan Presiden berdiam diri dan tidak melakukan
tindakan apapun terhadap RUU Penyiaran tersebut.74
Berhubung karena Presiden tidak mengesahkan RUU Penyiaran pada masa pemerintahan
Presiden Soeharto (1997), maka berlaku ketentuan Pasal 21 ayat (2) UUD 1945 lama, yang
menyebutkan; Jika rancangan itu, meskipun disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, tidak
disahkan oleh Presiden, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan
Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
Meskipun ketentuan Pasal 20 ayat (5) pada naskah UUD 1945 baru dan ketentuan Pasal
20 ayat (2) pada naskah UUD 1945 lama membawa akibat hukum yang berbeda dalam konteks
tindakan Presiden Megawati Soekarnoputri dan Presiden Soeharto menolak mengesahkan RUU
Penyiaran, namun terdapat hal yang sama, yakni keduanya pernah mementahkan persetujuan
bersama yang pernah diambil dalam persidangan di DPR.

72
Simak juga: Fajar Laksono dan Subardjo, KontroversiUU Tanpa Pengesahan Presiden, Penerbit: UII-Press,
Yogyakarta. 2006, hlm. 10-11, dan Jimly Asshiddiqie, Prihal … Op Cit, hlm. 301.
73
Simak juga: Bivitri Susanti, Menyoal Kompetisi Politik dalam Proses Legislasi di Indonesia, hlm.23. Artikel
yang ditampilkan dalam www.Parlemen.net.
74
Susi Dwi Harijanti, Op Cit, hlm. 252.
Di Indonesia pasca perubahan UUD 1945, tidak ada ketentuan dalam UUD 1945 yang
menegaskan mengenai alasan Presiden menolak untuk mengesahkan suatu RUU yang telah
disetujui bersama. Juga tidak ada ketentuan dalam UUD 1945 yang menegaskan bahwa Presiden
wajib mengembalikan suatu RUU yang telah disetujui bersama kepada DPR untuk dibahas
kembali dalam persidangan DPR. Selanjutnya, juga tidak ada ketentuan dalam UUD 1945 yang
menegaskan bahwa DPR berhak menolak (override) dengan syarat dukungan suara tertentu
dalam DPR terhadap sikap Presiden yang menolak mengesahkan suatu RUU. Di Indonesia pasca
perubahan UUD 1945, berlaku ketentuan Pasal 20 ayat (5) yang menegaskan bahwa dalam hal
RUU yang telah disetujui bersama tidak disahkan oleh Presiden dalam jangka waktu 30 hari (tiga
puluh) hari semenjak RUU tersebut disetujui, maka RUU tersebut dinyatakan sah menjadiUU,
dan wajib diundangkan. Jadi, dengan adanya ketentuan Pasal 20 ayat (5) tersebut, maka suatu
RUU dinyatakan sebagaiUU tidak mutlak harus digantungkan pada adanya tindakan pengesahan
formil dari Presiden.
Jika ketentuan Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 tersebut sebatas dimaknai sebagai bagian dari
mekanisme checks and balances, maka tidak ada problema ketatanegaraan terkait dengan
kedudukan DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif (Pasal 20 ayat (1) UUD 1945). Namun,
ketika hal itu dikaitkan dengan keterlibatan Presiden dalam pembahasan setiap RUU bersama
DPR untuk mendapatkan persetujuan bersama di DPR (Pasal 20 ayat (2) UUD 1945), maka
problema ketatanegaraan mulai muncul sehubungan dengan makna persetujuan bersama
tersebut. Oleh karena itu, tidak berlebihan adanya pertanyaan yang muncul selama ini, seperti:
untuk apa hak veto diadakan jika ketentuan mengenai persetujuan bersama masih tetap
dipertahankan? Jika suatu RUU sudah disetujui bersama melalui persidangan di DPR, mengapa
Presideen masih harus berhak menyatakan menolaknya.75
Meskipun tindakan Presiden yang mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama hanya
bersifat formal, karena dikaitkan dengan kedudukan Presiden sebagai kepala negara, namun
torehan tanda tangan Presiden memiliki arti penting dalam konteks ilmu perundang-undangan.
Torehan tanda tanda tangan Presiden sebagai tanda sahnyaUU, harus diartikan bahwa Presiden
menyetujui terhadap isi RUU yang telah disetujui bersama. Sebaliknya, tindakan Presiden yang
menolak mengesahkan suatu RUU yang telah disetujui bersama, harus pula diartikan bahwa
Presiden tidak menyetujui atau mementahkan isi RUU yang telah disetujui bersama, bahkan bisa
ditafsirkan bahwa Presiden menyangkali persetujuaan yang pernah diberikannya pada
persidangan di DPR.
Lebih dari itu, tindakan Presiden yang menolak untuk mengesahkan suatu RUU yang
telah disetujui bersama, juga dapat ditafsirkan bahwa Presiden telah melecehkan DPR (contempt
of parliament), karena Presiden dianggap telah mengingkari sesuatu hal yang pernah disetujui
bersama dengan DPR, yakni materi dari suatu RUU yang pernah disetujui bersama pada tahap
pembicaraan tingkat II di DPR). Artinya, bahwa Presiden dapat dinilai tidak mengakui adanya
pengesahan materil terhadap suatu RUU. Pada hal persetujuan bersama terhadap RUU itu telah
diputuskan dalam persidangan di DPR yang dinyatakan terbuka untuk umum.
Suatu RUU yang tidak disahkan Presiden, namun dinyatakan sah menjadiUU
berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5) UUD 1945, juga terkesan ganjil ketika kita mencermati
kerangka bagian pembukaan pada suatuUU. Sebagai contoh; UU No. 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran, UU No. 25 Tahun 2002 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau, dan UU No.
18 Tahun 2003 tentang Advokat. Kerangka bagian pembukaan pada tigaUU tersebut
mencantumkan frasa “Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT dan
75
Jimly Asshiddiqie, Format … Op Cit, hlm. 8.
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA”. Namun demikian, pada kerangka bagian akhir
(penutup) empatUU tersebut tidak tercantum tanda tangan Presiden (pengesahan formil) sebagai
tanda sahnya UU.
Ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa setiap RUU dibahas
oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama,
menunjukkan adanya dua hal yang saling terkait, yakni adanya proses dan adanya tujuan yang
ingin dicapai. Makna proses ditunjukkan dengan adanya frasa dibahas, sedangkan makna tujuan
ditunjukkan dengan adanya frasa persetujuan bersama. Jadi, proses pembahasan suatu RUU
pada dasarnya dimaksudkan untuk mendapatkan persetujuan bersama.
Tindakan Presiden yang menolak mengesahkan suatu RUU yang telah mendapatkan
persetujuan bersama dalam persidangan di DPR juga dapat menimbulkan persoalan ketika
Menteri yang ditunjuk oleh Presiden sudah menyetujui suatu RUU dalam persidangan di DPR.
Ke depan, tidak tertutup kemungkinan bahwa Presiden dapat memberikan penilaian buruk
terhadap Menteri yang terlibat dalam proses pembahasan dan memberi persetujuan terhadap
RUU yang telah dibahas di DPR. Sebab, menteri yang ditugaskan oleh Presiden dapat dinilai
tidak mampu memahami keinginan Presiden terhadap sesuatu hal yang akan diatur dalamUU.
Oleh karena itu, untuk menghindari adanya penilaian buruk dari Presiden, maka Menteri yang
ditugaskan oleh presiden dapat menolak memberi persetujuan terhadap RUU yang telah dibahas
bersama dengan DPR.
Bagi seorang Menteri yang ditugaskan oleh Presiden dalam mengikuti proses
pembentukanUU di DPR, memiliki waktu yang cukup untuk memahami apa sesungguhnya yang
dikehendaki Presiden terhadap materi dari ssuatu RUU. Sebelum suatu RUU dibahas di DPR,
pimpinan DPR terlebih dahulu menyampaikan RUU itu untuk kepada Presiden.76 Lebih dari itu,
juga tersedia waktu yang cukup (60 hari) bagi menteri untuk memahami apa sesungguhnya yang
dikehendaki oleh Presiden terhadap RUU yang akan dibahas di DPR.77
Selanjutnya, untuk mencegah timbulnya berbagai tafsir negatif terkait dengan
kemungkinan munculnya kembali praktik di mana Presiden menolak untuk mengesahkan RUU
yang telah disetujui bersama, maka DPR perlu menata kembali mekanisme pengambilan
keputusan dalam proses pembahasan dan persetujuan RUU di DPR, terutama pengaturan
mengenai waktu yang tepat bagi Presiden (Menteri yang ditugaskan oleh Presiden) dalam
menyampaikan pernyataan sikap menyetujui atau sebaliknya menolak suatu RUU. Terkait
dengan hal tersebut, Jimly Assiddiqie,78 mengemukakan pentingnya untuk membedakan adanya
tiga ketukan palu sidang di DPR, yaitu: (a) ketukan palu sidang dalam rangka pengambilan
keputusan atas keseluruhan materi RUU dalam suatu rapat paripurna DPR. Sidang yang
dimaksud di sini bersifat internal, hanya melibatkan anggota DPR. (b) ketukan palu sidang dalam
rangka pengambilan keputusan sebagai tanda dicapainya persetujuan bersama antara DPR dan
pemerintah terhadap suatu RUU untuk disahkan Presiden menjadiUU sebagaimana mestinya,
dan (c) ketukan palu sidang dalam rangka mengesahkan seluruh hasil rapat paripurna dan
sekaligus sebagai tanda penutupan sidang atau rapat paripurna DPR-RI.
Terkait dengan pilihan sidang DPR yang tepat bagi pemerintah untuk menyatakan sikap
terhadap suatu RUU. Jimly Asshiddiqie,79 mengemukakan bahwa pernyataan sikap pemerintah
dalam hal menyetujui atau menolak RUU, haruslah dilakukan dalam rapat paripurna terakhir

76
Simak: Pasal 21 ayat (1) UU No 10 Tahun 2004 (UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
77
Simak: Pasal 21 ayat (2) UU No 10 Tahun 2004.
78
Jimly Asshiddiqie, Prihal … Op Cit, hlm. 293.
79
Jimly Asshiddiqie, Prihal … Ibdi, hlm.294.
DPR-RI yang bermaksud untuk mengambil keputusan atas RUU itu. Sesudah diputuskan di
DPR, maka berlakulah ketentuan Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa dalam
hal RUU yang telah disetujui bersama tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari
semenjak RUU tersebut disetujui, RUU tersebut sah menjadiUU dan wajib diundangkan.
Ditegaskan kembali oleh Jimly Asshiddiqie,80 bahwa apabila suatu RUU telah diketuk dalam
rapat paripurna DPR sebagai tanda bahwa RUU itu telah mendapat persetujuan bersama, maka
RUU itu sudah tidak dapat diubah lagi isinya. Kalaupun misalnya presiden tidak mengesahkan
suatu RUU yang telah mendapatkan persetujuan bersama menjadiUU seperti yang pernah terjadi
pada beberapa RUU pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, maka yang
berlaku adalah ketentuan Pasal 20 ayat (5) UUD 1945.
Tindakan untuk mengesahkan suatu RUU memiliki arti penting dalam konteks ajaran
ilmu perundang-undangan. Menurut Usep Ranawijaya bahwa suatu RUU dinyatakan sah
menjadiUU setelah berakhirnya pekerjaan pembuatanUU. Sementara akhir dari pekerjaan
pembuatanUU adalah tindakan pengesahan yang dilakukan oleh Pemerintah (harus dibaca:
Presiden).81 Oleh karena itu, Pasal 20 ayat (4) UUD 1945 memerintahkan kepada Presiden untuk
mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama menjadiUU. Ketentuan itu tidak berlaku
terhadap RUU yang tidak mendapatkan pengesahan dari Presiden. Namun dalam jangka waktu
30 hari semenjak RUU itu mendapatkan persetujuan bersama, RUU tetap dinyatakan sah
sebagaiUU, dan wajib diundangkan (Pasal 20 ayat (5) UUD 1945).

4. PengundanganUU
Pada prinsipnya suatu RUU (yang telah disetujui bersama) dinyatakan sah sebagaiUU
apabila telah mendapatkan pengesahan dari Presiden. Namun demikian, tindakan pengesahan
dari Presiden terhadap suatu RUU hingga menjadiUU, belum menjadikan statusUU itu memiliki
kekuatan berlaku dan mengikat bagi umum. Lalu, pertanyaan yang muncul kemudian adalah;
kapan saatnya suatuUU dinyatakan berlaku dan memiliki kekuatan mengikat untuk umum.
Terkait dengan pertanyaan di atas, perlu disimak terlebih dahulu mengenai pengertian
kekuatanUU dan pengertian kekuatan mengikat. Menurut Usep Ranawijaya, bahwa suatu RUU
mendapatkan kekuatanUU setelah disahkan oleh Pemerintah. Hal itu berarti, bahwa suatu RUU
menjadiUU setelah berakhirnya pekerjaan pembuatanUU dengan dilakukannya tindakan
pengesahan oleh Pemerintah. Sedangkan kekuatan mengikat suatuUU hanya diperoleh
bilamanaUU itu diumumkan (diundangkan) sebagaimana mestinya menurut ketentuanUU.
Dengan kata lain, bahwa kekuatan berlakunya suatuUU secara sungguh-sungguh dalam
masyarakat pada dasarnya tergantung pada syarat pengundangan.82
Tindakan pengundangan sebagai syarat untuk menyatakan suatuUU berlaku mengikat
umum juga dianut Maria Farida Indrati Soeprapto. Suatu peraturan perundang-undang yang
sudah disahkan atau ditetapkan, baru dapat berlaku mengikat umum apabila peraturan
perundang-undangan tersebut diundangkan dalam suatu Lembaran Negara atau diumumkan
dalam suatu Berita Negara.83

80
Ibid, hlm. 295.
81
Usep Ranawijaya, Hukum Tata Negara Indonesia (Dasar-Dasarnya), Penerbit: Ghalia Indonesia, Jakarta,
1983, hlm. 33 (pada catatan khusus).
82
Usep Ranawijaya, Ibid, hlm. 36.
83
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang- undangan; Dasar- dasar dan Pembentukannya, Penerbit,
Kanisius, Yogyakarta, 1998, hlm. 176.
Lebih lanjut dikatakann Maria Farida Indrati Soeprapto, bahwa istilah pengundangan
atau “afkondiging” (Belanda) atau “promulgation” (Inggris), dapat berarti pemberitahuan
kepada umum, ditetapkan terhadap tindakan-tindakan pemerintah tertentu, sebagian berisi
dengan sanksi pidana (afkondiging). Selanjutnya, juga dapat berarti pengumuman atau membuat
sesuatu terbuka untuk umum atau diketahui oleh umum (promulgation). Adapun landasan bagi
perlunya suatu pengundangan adalah: een ieder wordt geacht de wet te kennen (agar setiap
orang dianggap mengetahuiUU). Dengan demikian, pengundangan pada prinsipnya adalah
pemberitahuan secara formal suatu peraturan negara dengan menempatkannya dalam suatu
penerbitan resmi yang khusus untuk maksud itu sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dengan
pengundangan, peraturan negara itu telah memenuhi prinsip pemberitahuan formal.84
Berbeda dengan dua pendapat yang dikemukakan di atas, Bagi Jimly Asshiddiqie,85 suatu
RUU dinyatakan sah menjadiUU yang mengikat untuk umum, tidak hanya berhenti pada
tindakan pengundangan, tetapi juga pada tahap pemberlakuanUU. Menurut Jimly Asshiddiqie,
ada 5 (lima) tindakan hukum yang perlu dilakukan untuk sahnya suatu RUU menjadiUU yang
mengikat untuk umum, yaitu: (a) pengesahan materil (pengesahan atas tercapai persetujuan
bersama dalam persidangan di DPR); (b) pengesahan formil (pengesahan oleh presiden sesuai
perintah Pasal 20 ayat (4) UUD 1945); (c) pengundangan; (d) penerbitan dalam lembaran negara;
dan (e) pemberlakuan.
UUD 1945 memang tidak mengatur mengenai kapan suatu UU dinyatakan berlaku dan
mengikat untuk umum. UUD 1945 hanya menyinggung soal pengesahan RUU (Pasal 20 ayat
(4) UUD 1945) dan pengundangan suatuUU (Pasal 20 ayat (5) UUD 1945). Bertolak dari
perspektif ilmu perundang-undangan, tindakan pengundangan memiliki arti penting dalam
menentukan kekuatan mengikat dari suatuUU. Semua RUU yang telah disetujui bersama (DPR
dan Presiden) pada akhirnya tetap dinyatakan sah menjadi undang baik RUU yang memperoleh
pengesahan Presiden maupun RUU yang tidak memperoleh pengesahan Presiden sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (5) UUD 1945. Namun, untuk menyatakanUU itu berlaku dan
mengikat umum,UU itu harus menyaratkan adanya tindakan pengundangan dalam Lembaran
Negara (LN). Pentingnya tindakan pengundangan terhadap suatuUU juga dapat dicermati dari
rumusan Pasal 20 ayat (5) UUD 1945. Rumusan yang terdapat pada ketentuan Pasal 20 ayat (5)
tersebut tidak berhenti pada frasa “sah menjadiUU”, tetapi masih berlanjut dengan frasa “dan
wajib diundangkan”.
Tindakan pengundangan sebagai syarat bagi suatuUU yang telah memiliki kekuatan
berlaku dan mengikat umum, pada umum ditegaskan dalam satu pasal pada bab ketentuan
penutup dari setiapUU, yang pada umumnya bertuliskan:UU ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan. Namun, ada juga praktik yang menunjukkan bahwa waktu atau tanggal suatuUU
mulai berlaku dan mengikat umum tidak bertolak dari tanggal pengundangannya dalam
Lembaran Negara. Sebagai contoh,UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi
Publik.UU ini nanti dinyatakan mulai berlaku mengikat untuk umum 2 (dua) tahun kemudian
terhitung sejak tanggal pengundangannya dalam Lembaran Negara. Sementara
pengundanganUU itu sendiri dalam Lembaran Negara dilakukan pada tangal 30 April 2008.
Dengan demikian, berdasarkan ketentuan Pasal 64 ayat (1) UU No. 14 Tahun 2008, makaUU itu
dinyatakan mulai berlaku mengikat umum pada pada tanggal 30 April 2010.
Penentuan berlakunya suatuUU yang tidak didasarkan pada tanggal pengundangannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia seperti contohUU yang disebutkan di atas (UU No.

84
Maria Farida Indrati Soeprapto, Op Cit, hlm. 177.
85
Jimly Asshiddiqie, Prihal … Op Cit, hlm.291.
14 Tahun 2008), sesungguhnya tidak menyalahi ketentuan yang terdapat dalam UU No. 10
Tahun 2004. Pasal 50 UU dariUU tersebut menyebutkan; Peraturan Perundang-undangan mulai
berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain
di dalam Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.
Perintah untuk mengundangkanUU dalam Lembaran Negara tidak hanya didasarkan pada
ketentuan Pasal 20 ayat (5) UUD 1945, tetapi juga didasarkan pada ketentuan yang tercantum
pada bagian penutup dari suatuUU yang bertuliskan frasa: “Agar semua orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundanganUU ini dalam Lembaran Negara Republik Indonesia”.
UU No. 10 Tahun 2004 dan Peraturan Presiden No. 1 Tahun 2007, telah memberi jalan
keluar terhadap problema pengesahan dan pengundanganUU yang semula tidak disahkan oleh
Presiden. Namun demikian, jalan keluar yang diberikan oleh UU No. 10 Tahun 2004 dan
Peraturan Presiden No. 1 Tahun 2007 tersebut belum memuaskan, sebab hal itu bisa
mengkondisikan munculnya praktik yang berlangsung secara terus menerus yang dilakukan oleh
Presiden dalam menolak memberi pengesahan terhadap RUU yang telah disetujui bersama.
Selain itu, juga terdapat keganjilan dari sisi hukum administrasi, di manaUU yang telah
diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia menggunakan kepala surat Presiden
Republik Indonesia, sementara padaUU itu tidak dibubuhi tanda tangan Presiden sebagai tanda
adanya pengesahan formil dari Presiden.

C. Implikasi Pergeseran Kekuasaan Legislatif dari Presiden ke DPR pada FormatUU.


Mengingat karena pemegang kekuasaan legislatif saat ini telah berada pada DPR, maka
sudah sewajarnya paradigma pembentukanUU menempatkan kedudukan DPR sebagai tempat
teratas dalam format atau kerangka dari setiapUU. Penempatan frasa DPR dalam posisi teratas
pada format bagian pembukaan dari setiapUU, sesungguhnya tidak hanya merefleksikan
semangat yang dilekatkan pada DPR sebagai pembentukUU (primary legislator), tetapi juga
memiliki makna simbolik terkait dengan kedudukan DPR sebagai lembaga perwakilan yang
mempresentasikan rakyat.
Kedudukan DPR sebagai lembaga perwakilan yang mempresentasikan rakyat,
sesungguhnya berakar dari dasar pemikiran filosofis tentang kehidupan bernegara yang berpijak
pada prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat. Dasar filosofis tersebut berpijak bertolak dari
argumentasi bahwa segala kehendak dan keputusan yang diambil oleh lembaga perwakilan pada
dasarnya merefleksikan kehendak dan keputusan rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Demikian
halnyaUU, pada hakikatnya merupakan pernyataan kehendak rakyat yang dibahasakan ke dalam
rumusan kaidah-kaidah normatif. Oleh karena itu, salah satu cara untuk merefleksikan kehendak
rakyat (sebagai pemegang kedaulatan) adalah dengan menempatkan frasa DPR (sebagai lembaga
perwakilan rakyat) dalam posisi teratas pada format atau kerangka bagian pembukaan pada
suatuUU,
UUD 1945 memang tidak menentukan bagaimana seharusnya kerangka suatu UU setelah
adanya pergeseran kekuasaan legislatif dari Presiden ke DPR. Ketentuan Pasal 22A UUD 1945
hanya memerintahkan tentang tata cara pembentukanUU diatur denganUU, dan perintah Pasal
22A tersebut telah dijabarkan lewat UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
UU No. 10 Tahun 2004 telah menetapkan mengenai teknik penyusunan peraturan
perundang-undang, yakni berpedoman pada lampiran UU No. 10 Tahun 2004. Berdasarkan
ketentuan Pasal 44 ayat (2), maka lampiran mengenai pedoman teknik penyusunan peraturan
perundang-undangan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari UU No. 10 Tahun 2004.
Pasca perubahan UUD 1945 atau saat kekuasaan legislatif telah beralih dari Presiden ke
DPR, pembentukUU (DPR dan Presiden) “mencoba” merubah wajah format bagian
pembukaanUU sebagai salah satu cara menyikapi pergeseran kekuasaan legislatif dari Presiden
ke DPR. Hal itu tampak ketika mencermati format bagian pembukaan UU No. 25 Tahun 2002
tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau, UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, UU
No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yakni mencantumkan frasa: Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA setelah konsiderans
menimbang dan mengingat. Sebelum perubahan UUD 1945, pada format bagian pembukaanUU
setelah konsiderans menimbang dan mengingat hanya bertuliskan frasa: Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT. Penulisan frasa seperti di atas dapat dilihat pada UU. No. 5
Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah.
Jadi, perubahan format bagian pembukaan pada tigaUU tersebut di atas hanya terkait
dengan ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945, yakni soal keterlibatan Presiden bersama DPR
dalam membahas setiap RUU untuk mendapatkan persetujuan bersama. Sementara makna
simbolik terkait dengan kedudukan DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif, belum tampak
pada format bagian pembukaan pada tigaUU di atas. Artinya, pada format bagian pembukaan
tigaUU tersebut masih mencantumkan frasa PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA sebagai
simbol bahwa Presiden yang berhak meletakkan dasar menimbang dan mengingat bagi
terbentuknyaUU. Pencantuman frasa PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA tersebut pada
format bagian pembukaan setiapUU, masih tetap dipertahankan hingga sampai sekarang, terlebih
setelah adanya pedoman teknik penyusunan peraturan perundang-undangan yang tercantum pada
Lampiran UU No. 10 Tahun 2004.
Penulis sengaja menggunakan kata “mencoba” terkait dengan upaya pembentukUU
(DPR dan Presiden) dalam menyikapi pergeseran kekuasaan legislatif dari Presiden ke DPR,
sebab penggunaan frasa: Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA pada tigaUU di atas, yakni: UU. No. 25 Tahun 2002, UU
No. 32 Tahun 2002, dan UU. No. 18 Tahun 2003, tidak merujuk pada peraturan yang jelas
mengenai pedoman teknik penyusunanUU. Hal itu semakin tampak ketika mencermati format
bagian pembukaan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang juga terbentuk
setelah kekuasaan legislatif berada pada DPR, Format bagian pembukaan UU No 17 Tahun 2003
tersebut masih mengikuti format lama seperti format bagian pembukaan pada UU. No. 5 Tahun
1974, yakni bertuliskan frasa: Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT.86
Selain itu, frasa Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA pada format bagian pembukaan UU. No. 25 Tahun 2002,
UU No. 32 Tahun 2002, dan UU. No. 18 Tahun 2003, menunjukkan adanya kesamaan dengan
pedoman yang terdapat pada Lampiran UU. No. 10 Tahun 2004, khususnya pada angka 37.
Namun demikain, tidak argumentatif untuk mengatakan bahwa penulisan frasa tersebut
berpedoman pada Lampiran UU. No. 10 Tahun 2004, sebab tahun terbentuknya tigaUU yang
disebutkan di atas (Tahun 2002 daan 2003) lebih dulu dari pada tahun terbentuknya UU No. 10
Tahun 2004.
Menurut ajaran ilmu perundang-undangan, konsiderans menimbang pada hakikatnya
memuat dasar pertimbangan yang bersifat filosofis, politik, dan sosiologis. Pertimbangan yang
bersifat filosofis, politik, dan sosiologis itulah yang mendasari mengapa suatuUU perlu dibentuk.
Idealnya, yang menangkap pertimbangan filosofis, politik, dan sosiologis itu adalah DPR

86
Contoh format bagian pembukaan UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara telah diperlihatkan pada
Lampiran 2.
sebagai lembaga perwakilan rakyat. Seperti kita ketahui, bahwa kedudukan dan fungsi lembaga
perwakilan rakyat adalah menampung dan menyalurkan aspirasi rakyat. Hal ini merupakan
konsekuensi logis dari prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, dalam logika
demokrasi dan dalam konteks negara yang berdasarkan hukum, kedudukan DPR sebagai
lembaga perwakilan melekat fungsi sebagai penampung dan penyalur aspirasi rakyat. Aspirasi
itulah yang kemudian diartikulasikan atau dibahasakan ke dalam kaidah-kaidah normatif,
selanjutnya dikemas dalam bentukUU. Atas dasar itu, maka DPR yang sepatutnya berhak
meletakkan dasar filosofis, politik, dan sosilogis (konsiderans menimbang) bagi terbentuknya
suatuUU, bukan Presiden seperti yang tampak pada kerangka bagian pembukaanUU yang ada
sekarang, yakni berpedoman pada Lampiran UU No. 10 Tahun 2004.
Demikian pula konsiderans “mengingat” pada format bagian pembukaan suatuUU.
Dalam ajaran ilmu perundang-undangan, pembentukan suatuUU mengharuskan adanya dasar
yuridis konstitusional sebagai landasan keabsahan setiapUU. Hal ini merupakan konsekuensi
logis dari kehadiran negara yang mengklaim diri sebagai negara yang berasaskan demokrasi dan
berdasarkan hukum. Suatu negara yang berasaskan demokrasi dan negara hukum, pada
prinsipnya menempatkan DPR sebagai pemegang kekuasaan membentukUU. KetikaUU
dimaknai sebagai wujud pernyataan kehendak rakyat, maka lembaga yang berwenang
mengartikulasikan kehendak rakyat adalah DPR sebagai lembaga yang mempresentasikan
rakyat. Dengan meminjam pendapat Rousseau,87 yang menyatakan bahwa lembaga legislatif
ibarat jantungnya negara, dan menentukan mati dan hidupnya negara hukum, maka cukup
beralasan kalau DPR ditempatkan sebagai lembaga utama dan terdepan yang menentukan
terbentuknyaUU. Oleh karena itu, pada format bagian pembukaan setiapUU harus tampak makna
simbolik mengenai kedudukan DPR sebagai organ utama dan terdepan dalam membentukUU
(primary legislator). Hal itu hanya bisa diwujudkan jika ada penyesuaian terhadap format bagian
pembukaan setiapUU,
Jadi, adanya pergeseran kekuasaan legislatif dari Presiden ke DPR pasca perubahan UUD
1945, berimplikasi terhadap penyesuaian format UU. Jika selama ini, format bagian pembukaan
UU masih mencantumkan frasa PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA setelah frasa DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MASA ESA, maka ke depan harus diganti dengan frasa DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT. .
Pencantuman frasa DEWAN PERWAKILAN RAKYAT sebagai simbol bahwa DPR
sebagai pemegang kekuasaan legislatif yang berhak meletakkan dasar filosofis, politik, dan
sosiologis (konsiderans menimbang), serta dasar yuridis (konsiderans mengingat) pada format
bagian pembukaan setiapUU, pada dasarnya juga memberi makna bahwa ketentuan Pasal 20 ayat
(1) UUD 1945 memperoleh penjabarannya.
Menurut Jimly Asshiddiqie, bahwa sepertinya kurang disadari bahwa pengalihan
kekuasaan membentukUU dari Presiden ke DPR, membawa akibat pada perubahan formatUU itu
sendiri di masa depan. Seperti diketahui,UU yang ditetapkan oleh Kongres Amerika Serikat
menggunakan kepala surat ‘The Congress of the United States of America”, bukan dengan kepala
surat “President of the United States of America”.88
Format bagian pembukaanUU yang mencantumkan frasa PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA sebelum konsiderans menimbang dan mengingat, sesungguhnya hanya mengikuti
praktik pembentukanUU pada masa lalu, yakni pasca kemerdekaan negara republik Indonesia.
Pada masa itu, MPR dan DPR belum terbentuk sesuai amanat UUD 1945, sehingga pengelolaan

87
Rousseau, The Social Contract, … Loc Cit, dan Susan Dunn (Editor), The Social … Loc Cit.
88
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan… Op Cit, hlm. 9.
kekuasaan negara terpusat pada Presiden, dan dibantu oleh Komite Nasional Indonesia Pusat
(KNIP). Lalu, setelah keluarnya Maklumat Wakil Presiden No. X pada tanggal 16 Oktober 1945,
maka terjadi pergeseraan kekuasaan membentukUU dari Presiden ke KNIP.
Meskipun Maklumat Wakil Presiden No. X tertanggal 16 Oktober 1945 pada hakikatnya
menggeser kekuasaan legislatif dari Presiden ke DPR, namun format bagian pembukaanUU
menempatkan Presiden sebagai peletak dasar filosofis, politik, dan sosiologis (konsiderans
menimbang), serta dasar yuridis (konsiderans mengingat) bagi terbentuknyaUU. Sebagai contoh,
UU Tahun 1945 No. 1 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah,
menggunakan frasa KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA sebelum konsiderans
menimbang dan mengingat. UU Tahun 1947 No. 17 tentang Pembentukan Haminte Kota
Yogyakarta, menggunakan frasa PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA sebelum konsiderans
menimbang dan mengingat (Lihat: Contoh pada Lampiran 5).
Pencantuman frasa PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA pada format bagian
pembukaanUU, pada dasarnya untuk menunjukkan makna simbolik terkait dengan kedudukan
Presiden sebagai kepala negara. Pemberian makna simbolik itu seperti pada dua contohUU di
atas, yakniUU yang pernah ditetapkan pada periode pertama berlaku UUD 1945 (UU Tahun
1945 No. 1 dan UU Tahun 1947 No. 17), sesungguhnya tidak terlepas dari pengaruh pemikiran
lama yang menempatkan Presiden sebagai pusat kekuasaan negara. Soepomo adalah salah
seorang the founding fathers yang menghendaki konsentrasi kekuasaan negara berada pada
Presiden (consentration of power and responsibility).89 Bahkan Soepomo pernah berkata; bahwa
buat (pelaksanaan pemerintahan) sehari-hari, Presiden yang merupakan penjelmaan kedaulatan
rakyat. Penjelmaan kedaulatan rakyat adalah Presiden, bukan Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR). Jadi Soepomo memang menghendaki a very strong position of President.90
Pemikiran yang menghendaki konsentrasi kekuasaan negara berada pada Presiden atau
Presiden dianggap sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat, tampaknya tidak sesuai lagi dengan
semangat yang mendasari tuntutan atas perubahan UUD 1945 dimana telah menempatkan
kedudukan DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif. Oleh karena itu, terlalu berlebihan jika
Presiden yang meletakkan dasar filosofis, politik dan sosiologis (konsiderans menimbang), serta
dasar yuridis (konsiderans mengingat) bagi terbentuknya setiapUU.
Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa formatUU Amerika Serikat yang
menggunakan kepala surat ‘The Congress of the United States of America”, pada dasarnya ingin
menunjukkan kedudukan Kongres sebagai pemegang kekuasaan legislatif (Article l, Section 1
Konstitusi Amerika Serikat). Oleh karena itu, pembahasan dan persetujuan setiap RUU di
Kongres Amerika Serikat hanya melibatkan dua majelis yaitu DPR (House of Representative dan
Senat. Sementara Presiden Amerika Serikat sama sekali tidak terlibat dalam menetapkan RUU di
Kongres, meskipun diketahui bahwa RUU yang dibahas di Kongres dapat berasal dari
departemen-departemen yang dipimpin oleh Presiden.
Berhubung karena Presiden Amerika Serikat tidak terlibat dalam proses pembahasan dan
persetujuan RUU di Kongres, maka format RUU yang telah ditetapkan oleh Kongres Amerika
Serikat tidak ditemukan adanya frasa yang menunjukkan adanya persetujuan bersama Kongres
Amerika Serikat dan Presiden Amerika. Persetujuan dan pengesahanUU oleh Kongres Amerika

89
Sima pernyataan Soepomo dalam Rapat Besar BPUPKI tanggal 15 Juli 1945 dalam Saafroedin Bahar, dkk
(Penyunting), Op Cit, hlm. 274, dan Moh. Mahfud, MD, Amandemen Konstitusi Menuju Reformasi Tata Negara,
Penerbit: UII Press, Yogyakarta, 1999, hlm. 51..
90
Muhammad Yamin, Naskah Persiapan, … Op Cit, hlm. 260, dan Harun Alrasid, Loc Cit.
Serikat ditandai dengan adanya frasa “Be it enacted by the Senate and House of Representatives
of the United States of America in Congress assembled” pada format bagian pembukaanUU.
Sementara dalam praktik sistem ketatanegaraan Indonesia, baik sebelum maupun sesudah
perubahan UUD 1945, Presiden bersama DPR terlibat dalam proses pembahasan setiap RUU
untuk mendapatkan persetujuan bersama. Keterlibatan Presiden dalam proses pembentukanUU
bersama DPR membawa konsekuensi pada adanya frasa PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
dan frasa DEWAN PERWAKILAN RAKYAT pada format bagian pembukaan setiapUU.
Sebagaimana telah disinggung pada uraian sebelumnya, bahwa pasca perubahan UUD
1945 khususnya setelah adanya UU No. 10 Tahun 2004,91 format bagian pembukaan setiap
undang berpedoman pada Lampiran UU No 10 Tahun 2004, yakni harus mencantumkan frasa
Dengan Persetujuan Bersama: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT dan PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA sebelum frasa MEMUTUSKAN. Frasa tersebut adalah berhubungan dengan makna
ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945, dan secara teknis yuridis dicantumkan dalam konsiderans
mengingat pada setiapUU.
Selanjutnya, dalam proses pembentukanUU di Kongres Amerika Serikat, DPR (House of
Representative) maupun Senat di Kongres Amerika Serikat masing-masing berhak
memepersiapkan RUU untuk dibahas dan disetujui menjadiUU. Untuk membedakan apakah
suatu RUU berasal dari DPR atau berasal dari Senat, cukup dengan mencermati format bagian
pembukaanUU. Jika pada format bagian pembukaanUU setelah frasa CONGRESS terdapat huruf
HR, maka RUU itu berasal dari DPR. Huruf HR (huruf kapital) tersebut merupakan singkatan
dari House of Representative.. Selanjutnya, jika pada format bagian pembukaan UU setelah frasa
CONGRESS terdapat huruf S (huruf kapital), maka RUU itu berasal dari Senat. Huruf S tersebut
merupakan singkatan dari Senat.
Berbeda dengan sistem pembentukanUU di Amerika Serikat, yang hanya melibatkan dua
majelis di Kongres (sistem bikameral). Di Indonesia, DPD yang mempresentasikan kepentingan
daerah hanya sebagai pelengkap semata dalam sistem lembaga perwakilan Indonesia. Meskipun
selama ini, sudah banyakUU tentang pembentukan kabupaten/kota yang ditetapkan oleh DPR
bersama Presiden, namun pada tingkat pembahasan dan persetujuan RUU itu di DPR, DPD sama
sekali tidak dilibatkan.
Berhubung karena masih ada distorsi perimbangan kekuasan antara DPR dan DPD, maka
mekanisme kontrol ganda (double checks) dalam proses pembentukanUU tidak bisa diwujudkan.
Adanya distrosi tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa reformasi sistem ketatanegaraan
Indonesia masih perlu dilakukan lewat perubahan kelima UUD 1945. Lalu, jika memang ada
kehendak politik untuk mengamandemen kembali UUD 1945, maka salah satu materi perubahan
yang perlu mendapat perhatian adalah penguatan wewenang DPD sebagai pemegang kekuasaan
legislatif yang berdampingan dengan DPR. Paling tidak, DPD diberi kewenangan untuk
mengajukan RUU, serta membahas dan menyetujui setiap RUU yang terkait dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran, serta penggabungan daerah,
anggaran pendapatan dan belanja negara, dan lain-lain RUU yang terkait dengan kepentingan
daerah.
Harapan untuk menguatkan DPD sebagai pemegang kekuasaan legislatif yang
berdampingan dengan DPR lewat perubahan kelima UUD 1945, tentu saja tidak bisa dilakukan

91
Terkecuali UU No. 25 Tahun 2002 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau, UU No. 32 Tahun 2002
tentang Penyiaran, dan UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Tiga UU tersebut mengikuti ketentuan angka 37
pada Lampiran UU No. 10 Tahun 2004. Meskipun diketahui bahwa tiga UU tersebut lebih dulu terbentuk dari UU
No. 10 Tahun 2004.
secara parsial hanya sebatas pada ketentuan yang mengatur tentang wewenang DPD, tetapi juga
membawa konsekuensi pada perubahan beberapa ketentuan dalam UUD 1945, seperti; Pasal 22D
(wewenang DPD), Pasal 2 ayat 1 (sistem lembaga perwakilan), Pasal 20 (wewenang DPR). Jika
harapan itu kelak menjadi suatu realitas, maka pada akhirnya membawa konsekuensi pada
perubahan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan mekanisme pembentukan
peraturan perundang-undangan, termasuk di dalamnya perubahan terhadap formatUU.
Jika kelak hasil perubahan kelima UUD 1945 juga menempatkan DPD sebagai pemegang
kekuasaan legislatif seperti halnya DPR, maka konfigurasi formatUU akan bervariasi. Idealnya,
jika suatu RUU berasal DPD dan materinya memang terkait dengan wewenang DPD, selanjutnya
telah dibahas dan disetujui oleh DPD bersama dengan DPR dan Presiden menjadiUU, maka
format bagian pembukaanUU itu selayaknya mencantumkan frasa DEWAN PERWAKILAN
DAERAH guna menunjukkan bahwa DPD yang meletakkan dasar filosofis, politik, dan
sosiologis (konsiderans menimbang), serta dasar yuridis (konsiderans mengingat) atas
terbentuknya UU.
Selanjutnya, jika suatu RUU berasal DPR, selanjutnya telah dibahas dan disetujui oleh
DPR bersama dengan DPD dan Presiden menjadiUU, maka format bagian pembukaanUU itu
mencantumkan frasa DEWAN PERWAKILAN RAKYAT guna menunjukkan bahwa DPR yang
meletakkan dasar filosofis, politik, dan sosiologis (konsiderans menimbang), serta dasar yuridis
(konsiderans mengingat) atas terbentuknyaUU.
Konfigurasi format bagian pembukaanUU seperti yang digambarkan di atas, hanya dapat
dipertahankan sepanjang tidak ada perubahan UUD 1945 yang mengatur pemurnian kekuasaan
legislatif berada sepenuhnya pada lembaga perwakilan (DPR dan DPD). Artinya, jika terjadi
pemurnian kekuasaan legislatif sepenuhnya berada pada lembaga perwakilan (DPR dan DPD)
seperti halnya kekuasaaan legislatif di Amerika Serikat yang sepenuhnya berada pada Kongres
(DPR dan Senat), maka Presiden tidak lagi terlibat dalam pembahasan RUU untuk mendapatkan
persetujuan bersama. Lalu, dengan terlepasnya keterlibatan Presiden dalam pembahasan RUU
untuk mendapatkan persetujuan bersama, maka frasa PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
tidak perlu tercantum pada format bagian pembukaan setiapUU.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Bertitik tolak dari landasan teori dan uraian pembahasan atas masalah yang diajukan,
maka penelitian disertasi ini pada akhirnya menarik kesimpulan, sebagai berikut:
1. Meskipun kekuasaan legislatif telah bergeser dari Presiden ke DPR pasca perubahan UUD
1945 (Pasal 5 ayat 1 dan Pasal 20 ayat 1), namun mekanisme perimbangan dan saling kontrol
kekuasaaan (checks and balances) dalam proses pembentukanUU belum berjalan sesuai yang
diharapkan. Hal itu tampak dari lemahnya kedudukan dan fungsi DPD dalam proses
pembentukanUU, baik dalam hal pengajuan RUU maupun dalam hal pembahasan hingga
pada persetujuan RUU.
2. Meskipun sudah terjadi pergeseran kekuasaan legislatif dari Presiden ke DPR yang dihasilkan
dari Perubahan Pertama UUD 1945, namun proses pembentukanUU masih didominasi oleh
Presiden. Hal itu tampak dari penggunaan hak inisiatif dalam mengajukan RUU untuk dibahas
dan disetujui bersama (DPR dan Presiden). Selain itu, keterlibatan Presiden dalam
memberikan persetujuan bersama terhadap suatu RUU masih menyisahkan problema
ketatanegaraan ketika Presiden menolak mengesahan suatu RUU yang telah disetujui
bersama.
3. Pergeseran kekuasaan legislatif dari Presiden ke DPR yang dihasilkan dari perubahan UUD
1945, membawa konsekuensi pada perubahan formatUU. Saat ini, format setiap UU belum
merefleksikan kedudukan DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif.

B. Saran-saran.
Bertitik tolak kesimpulan penelitian di atas, peneliti perlu menyarakan beberapa hal,
sebagai berikut:
1. MPR perlu membentuk Panitia Ad Hoc guna merumuskan naskah rancangan Perubahan
Kelima UUD 1945. Naskah tersebut hendaknya bersifat konprehensif dalam rangka
mewujudkan sistem ketatanegaraan berdasarkan mekanisme checks and balance khususnya
dalam konteks pembentukanUU. Terkait dengan hal tersebut, maka pasal-pasal yang perlu
tersentuh dengan materi perubahan adalah Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2),Pasal 20 ayat (1)
dan (2), serta Pasal 22D ayat (2) UUD 1945. Pasal 22D ayat (2) UUD 1945.
2. DPD perlu melakukan konsolidasi kembali (untuk kedua kalinya ) guna menghimpun
dukungan politik dari berbagai pihak terutama dari kepada anggota DPD agar persyaratan
jumlah MPR yang mengusulkan perubahan Kelima UUD 1945 dapat terpenuhi.
3. Sambil menunggu adanya Perubahan Kelima UUD 1945, DPR dan Pemerintah perlu
mengagendakan dalam Program Legislasi Nasional penyusunan RUU perubahan atas UU No.
10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan serta LampiranUU No.
10 Tahun 2004.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku:

Abdul Latif, Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Beleidregels) pada Pemerintahan Daerah,
Penerbit: UII-Press, Yogyakarta, 2005.
Abdul Mukhtie Fadjar, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing, Malang, 2005.
Abu Daud Busroh dan H. Abubakar Busro, Intisari Hukum Tata Negara Perbandingan,
Penerbit: PT. Bina Aksara, Jakarta, 1987.
Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, Penerbit: Bumi Aksara, Jakarta, 2001.
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu kajian Filosofis dan Sosiologis), Chandra Pratama,
Jakarta 1996
Althusser, Louis Politics and History Montesquieu, Rousseau, Hegel and Marx, Translation first
published, NLB,1972.
Anonim, Bikameral, Bukan Federal, Penerbit: Kelompok DPD di MPR RI, Jakarta, 2006.
Anna Erliyana, Keputusan Presiden (Analisis Keppres RI. 1987-1998), Penerbit: Program
Pascasarjana Fakultas Hukum UI, Jakarta, 2004.
Azhary, Negara Hukum Indonesia (Analisis Yuridis Normatif Tentang Unsur-Unsurnya),
Penerbit: UI-Press, Jakarta, 1955.
Bagir Manan, DPR, DPR, dan MPR Dalam UUD 1945 Baru, Penerbit: Fakultas Hukum, UII-
Press, Yogyakarta, 2003.
-----------------, Lembaga Kepresidenan, Penerbit: FH UII Press, Jakarta, 2003.
-----------------, Perkembangan UUD. 1945, Penerbit: Fakultas Hukum, UII Press, Yogyakarta,
2004.
-----------------, Teori dan Politik Konstitusi, Cetakan Kedua Juni, Penerbit: FH, UII-Press,
Yogyakarta, 2004
Carr, K. Robert, at all, American Democracy: Theory and Practice, Penerbit: Holt, Renehart and
Winston, New York, 1960.
Cole, Matt, ,Democracy In Britain, Penerbit: Edinburgh University Press, Edinburgh 2006.
Bambang Cipto, Politik dan Pemerintahan Amerika, Penerbit: Lingkaran, Yogyakarta, 2003.
Barnett, Hilaire, Constitutional and Administrative Law, Cavendish Publishing Limited,
London- Sydney, 2002.
Basuki Ismail, Negara Hukum Demokrasi Toleransi : Telaah Filosofis atas John Locke,
Penerbit: Intermedia, Jakarta, 1993.
Beck, N Robert, Perspectives in Social Philosophy, Published by Hold , Rinehart and Whinston
,New York, 1967.
Beetham, David, Democracy and Human Right, Polity Press, Camridge, 1999.
Bielefeldt, Heiner, Symbolic Representation in Kant’s Practical Philosophy,Published by:
Cambridge University Press, tanpa tahun.
Bivitri Susanti dalam Bikameral, Bukan Federal, Penerbit: Kelompok DPD di MPR RI, Jakarta,
2006
Birch, H. Anthony, The Concept and Theories Modern Democracy, Published by Routledge,
New York, 2007.
Brannen, Daniel E. Jr, Checks and Balances: The Three Branches of the American
Government, Volume 1: Executive, USA, 2005.
Burn, M.G,James, et all, Government By the People, 10th Edition, Prientice-Hall.Inc,
Englewood Cliffs, New Jersey, 1978.
Catt, Helena, Democracy In Practice, Publishied by Routledge, New York, 2002.
Cheibub, Jose Antonio, Presidentialism, Parliamentarism, and Democracy, Cambridge
University Press, Cambridge, New York, Melbourne, Madrid, Cape Town,
Singapore, Sao Paulo, 2007.
Cuomo, M. Mario dan Holzer, Harord, Lincoln Tentang Demokrasi, Penerbit: Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, 1996
Cole, Matt ,Democracy In Britain, Edinburgh University Press,2006.
Corwin, S. Edward, The Constitution: and what it means today, Princeton, University Press,
Princeton, New Jersey, 1948.
Costa, Pietro and Danilo Zolo (Editor), The Rule of Law: History, Theory and Criticism,
Published by Springer, Dordrecht, The Netherlands, 2007.
Cunningham, Frank, Theories of Democracy (A. Critical Introduction), Published by
Routledge, London and New York, 2002.
Dahl, A. Robert, Demokrasi dan Para Pengeritiknya, (Edisi Terjemahan Oleh A. Rahman
Zainuddin), Penerbit: Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1992.
Dahlan Thaib, dkk, Teori dan Hukum Konstitusi, Penerbit: Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2001.
---------------, dan Mila Karmila Adi (Ed), Hukum dan Kekuasaan, Penerbit: FH UII,
Yokyakarta, 1998.
---------------, Ketatanegaraan Indonesia; Perspektif Konstitusional, Penerbit: Total Media,
Yogyakarta, 2009.
Daud Silalahi, Metodologi Penelitian Hukum (Preferensi Khusus pada Pendekatan Multi
Interdisiplin, Penerbit: Lawencon Binding Centre, Bandung, 2001.
Dicey, A.V, Introduction to the Sudy of the Law of the Constitution, MacMillan and Co.Limeted,
ST. Martin’s Street, London, 1952.
--------------, Pengantar Studi Hukum Konstitusi (Edisi Terjemahan oleh Nurhadi), Penerbit:
Nusamedia, Bandung, 2007.
Djoko Sutono, Hukum Tata Negara (Materi Kuliah yang Dihimpun oleh Harun Alrasyid),
Penerbit: Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982.
---------------, Ilmu Negara (Kumpulan Materi Kuliah), Penerbit: Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982
Dunn, Susan (Editor), The Social Contract and The First and Second Discources-Jean Jacques
Rousseau, Yale University Press, New Haven and London, 2002.
Eddy Purnama, Negara Kedaulatan Rakyat (Analisis Terhadap Sistem Pemerintahan Indonesia
dan Perbandingannya dengan Negara-Negara Lain, Penerbit: Nusamedia, Bandung,
2007.
Ebenstein , William, et. all, American Democracy, In World Perspective, Harper & Row
Publisher, New York, 1967.
Ellydar Chaidir, Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia Pasca PerubahanUU Dasar
1945, Penerbit: Total Media Yogyakarta, 2008.
Estlund, David , Democracy, Published Black Well Ltd., Cowley Road, Melden, Massachusetts,
USA, 2002.
Fajar Laksono dan Subardjo, KontroversiUU Tanpa Pengesahan Presiden, Penerbit: UII-Press,
Yogyakarta. 2006.
Freeman, M.D.A, Lloyd’s Introduction To Jurisprudence (Seventh Edition), Published by Sweet
& Maxwell Limited, London, 2004.

Friedrich, Joachim Carl, Filsafat Hukum: Perspektif Historis, (Edisi Terjemahan oleh Raisul
Muttaqien), Penerbit: Nuansa dan Nusamedia, Bandung, 2004.
Garvey, H. John, dan T. Alexander Aleinikoff, Modern Constituional Theory, West Publishing
Co, St. Paul, Minn, 1989.
Genovese, A. Michael dan Robert J. Spitzer, The Presidency and the Constitution: Cases and
Controversies, Parlgrave MacMillan, New York, 2005.
Gould, C. Carol, Demokrasi Ditinjau Kembali (Edisi Terjemahan oleh Samodra Wibowo),
Penerbit: PT Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1993.
Hadjon, Philipus M. Perlindungan Hukum bagi Rakyat Di Indonesia, Penerbit: Bina Ilmu,
Surabaya, 1987.
----------------, dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 2005.
Hamdan Zoelva, Impeachment Presiden (Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden
Menurut UUD 1945, Penerbit, KONPress, Jakarta, 2005.
Horrison, Kevin and Tony Boyd, The Changing Constitution, Edinburgh University Press Ltd,
Edinburg, 2006.
Huijbers OSC, Theo, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit: Yayasan Kanisius,
Yogyakarta, 1982.
Huntinton, Samuel P, Gelombang Demokratisasi Ketiga, Eidis Terjemahan oleh Asril
Marjohan, Penerbit: Pustaka Utama Grafiti, 1995.
Ibrahim R dan R. Atu Kundewi Yudiati, Pengawasan Konstitusional Antara Legislatif,
Eksekutif, dan Yudikatif Dalam Sistem Pemerintahan Amerika Serikat, UPT Penerbit,
Universitas Udayana, 2000.
Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif,` Penerbit: Aksara Baru, Jakarta, 1983.
---------------, Pembagian Kekuasaan Negara, Penerbit: Aksara Baru, Jakarta, 1985.
Isjwara, F, Pengantar Ilmu Politik, Penerbit: Putra A Bardin, Bandung, tanpa tahun Genovese,
Michael A. dan Robert J. Spitzer, The Presidency and the Constitution : Cases and
Controversies, Parlgrave MacMillan, New York, 2005.
Iver , Mac, The Web of Government, Published by: The Mac Millan Co, 1961.
-------------, Negara Modern (Edisi Terjemahan oleh Moertono), Penerbit: Aksara Baru, Jakarta,
1982
Jennings, Ivor, The`Law and the Constitution, Fifth Edition: Ninth Impression, The`English
Languange Book Society and Hodder and Stoughton, London, 1976.
Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, Penerbit: PT. Bhuana Ilmu
Populer, Jakarta, 2009.
---------------, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD. 1945,
Penerbit: FH-UII Press,Yogyakarta, 2004.
---------------, Konstitusi Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Penerbit: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006.
---------------, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik dan Mahkamah Konstitusi,
Penerbit: Sekretariat Jenderal mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2006.
---------------, Perkembangan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Penerbit: KON-
Press, Jakarta, 2006.
---------------, PrihalUU, penerbit: KON-Press, Jakarta, 2006.
---------------, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Penerbit:
KON-Press, Jakarta, 2006.
---------------, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya Di Indonesia,
Penerbit: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1994.
Joeniarto, Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara, Penerbit: Bina Aksara, Jakarta, 1984.
Jones, Charles O, The Presidency in A Separated System, Brookings Institution Press,
Washington, D.C, 2005.
Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah (Pasang Surut Hubungan Kewenangan Antara DPRD
dan Kepala Daerah, Penerbit: PT. Alumni, 2004.
Stephensen, Jr, Grier D. et. all, American Government, Harper and Row, New York Inc, 1988.
Kay, David Mc, Essentials of American Government, Published By Westview Press, USA,
Colorado, 2002.
Kelsen, Hans, General Theory of Law and State, Published by Russel and Russel, New York,
1961.
----------------, Essay In Legal And Moral Philosophy, Dialihbahasakan oleh Arief Sidharta
(Hukum dan Logika), Penerbit: Alumni, Bandung, 2006.
Kontjoro Poerbopranoto, Sistim Pemerintahan Demokrasi, PT. Eresco, Bandung, 1987.
Laica Marzuki, M, Berjalan-jalan di Ranah Hukum (Pemikiran-Pemikiran Lepas), Buku Kesatu,
Penerbit: Sekjen dan Kepaniteraan MK, Jakarta, 2006.
Lev, Daniel S. Hukum dan Politik Di Indonesia; Kesinambungan dan Perubahan, Penerbit:
LP3ES, Jakarta, 1990.
Lijphart, Arend, Democracies: Patterns of Mmajoritarian and Consensus Government In
Twenty One Countries, Yale University Press, New Haven and London, 1984.
--------------, (Disadur oleh Ibrahim, dkk), Sistem Pemerintahan Palementer dan Presidensial,
Penerbit: Grafindo Persada, Jakarta, 1995.
--------------, Patterns of Democracy: Government Form and Performance In Thirty-Six
Countries, Yale University Press, New Haven and London, 1999.
Losco, Joseph dan Leonard William, Political Theory, Volume II, Edisi Kedua (Edisi
Terjemahan oleh Haris Munandar), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005.
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan; Dasar-dasar dan
Pembentukannya, Penerbit, Kanisius, Yogyakarta, 1998.
Maarseveen, van Henc dan Ger van der Tang, Written Constitutions (A Computerized
Comparative Study), Oceana Publications, Inc, Dobbs Ferry, New York, 1978.
Mads, Qvortrup, The political philosophy of Jean-Jacques Rousseau (The impossibility of
Reason), Published by: Manchester University Press, Manchester and New York,
2003.
McKay, J. David, Essentials of American Government, Published By Westview Press, USA,
Colorado, 2002 .
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
1992.
--------------, Menggapai Kedaulatan untuk Rakyat, Penerbit Mizan, Bandung, 1998.
--------------, dan Ibrahim Ambong (Editor), Fungsi Legislatif Dalam Sistem Politik Indonesia,
Penerbit: PT. Raja Grafindo Persada bekerja sama dengan AIPI, Jakarta, 1993.
Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Penerbit: Gama Media, Yogyakarta,
1999.
----------------, Amandemen Konstitusi Menuju Reformasi Tata Negara, Penerbit: UII-Press,
Yogyakarta, 1999.
----------------, Demokrasi dan Konstitusi Di Indonesia, Studi Tentang Interaksi Politik dan
Kehidupan Ketatanegaraan, Penerbit: Rineka Cipta, Jakarta, 2000.
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Penerbit:
Pusat Studi HTN, FH-UI dan CV. Sinar Bakti, 1988.
Montesquieu, The Spirit of Law, (Translated by Thomas Nugent, Volume I), Hafner Press, A
Devision of Mac Millan Publishing Co. Coller, London, 1949.
---------------, The Spirit of Laws; Dasar-dasar Ilmu Hukum dan Politik (Edisi Terjemahan ke
dalam Bahasa Indonesia oleh M Khoiril Anam), Penerbit: Nusamedia, Bandung,
2007.
---------------, Membatasi Kekuasaan (Telaah Mengenai JiwaUU), dialih-bahasan oleh J.R.
Sunaryo, Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993.
Muhammad Yamin, Naskah PersiapanUU Dasar 1945, Jilid`Pertama, Penerbit : Yayasan
Prapanca, Jakarta, 1956.
---------------, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, Penerbit: Ghalia Indonesia, Jakarta,
1982.
Mohammad Hatta, Demokrasi Kita (Pikiran-Pikiran Tentang Demokrasi dan Kedaulatan
Rakyat), Editor oleh: Kholid O Santosa, Penerbit: Segaarsy, Bandung, 2008.
Mukhtie Fadjar dan Harjono), Pembaharuan Ketatanegaraan Melalui Perubahan Konstitusi,
Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Jawa Timur dan In-TRANS, Malang, 2003.
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara (Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap Konstitusi
Indonesia), Penerbit: PSH FH. UII, Yogyakarta, 1999.
----------------, Politik Ketatanegaraan Indonesia (Kajian Terhadap Perubahan UUD. 1945),
Penerbit UII Press, Yogyakarta, 2003.
Notohamidjojo, O, Makna Negara Hukum dan Pembaharuan Negara dan Wibawa Hukum Bagi
Pembaharuan Masyarakat di Indonesia, Penerbit: Badan Penerbit Kristen, Jakarta,
1967.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Edisi Pertama, Cetakan Ke-1, Prenada Media,
Jakarta, 2005.
Prajudi Atmosudirdjo, dkk (Editor), Konstitusi Amerika Serikat, Penerbit: Ghalia Indonesia1,
Jakarta, 1988.
Powell, Anton Athens and Sparta: Constructing Greek Political and Social History from 478
BC, Second Edition, Rootledge, London and New York, 2001.
Pringgodigdo, A.G, Perubahan Kabinet Presidensial Menjadi Kabinet Parlementer, Penerbit:
Jajasan Fonds Universitas Negeri Gadjah Mada, Jogjakarta, tanpa tahun.
Reni Dewi Purnomowati, Implementasi Sistem Bikameral dalamm Parlemen Indonesia,
Penerbit: Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2005.
Robert Dahl, et.al, (Editor), The Democracy Sourcebook, The MIT Press (Massachusetts
Institute of Technology), Cambridge, Massachusetts, London, 2003.
Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan 1, PT. Eresco, Bandung, 1985.
Rousseau, Jean Jacques The Social Contract and Discourse On the Origin of Inequality,
(Edited and with an Introduction by Lester G. Crocker), Washington Square Press,
Pbulished by Pocket Bokks, New York, London, Toronto, Sidney, Tokyo, Singapore,
1967.
----------------, Kontrak Sosial (Edisi terjemahan oleh Sumardjo), Penerbit: Erlangga, Jakarta,
1986.
----------------, Prihal Kontrak Sosial atau Prinsip-prinsip Hukum Politik, (Edisi terjemahan oleh
Ida Sundari Husen dan Rahayu Hidayat), Penerbit: Dian Rakyat, Jakarta, 1989.
Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan Indonesia, CV. Mandar Maju,
Bandung, 1998.
Saafroedin Bahar, dkk, (Tim Penyunting), Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945-22 Agustus 1945, Cetakan Kedua, Penerbit:
Sekretariat Negara RI, Jakarta, 1999.
Saldi Isra, dalam Bikameral, Bukan Federal, Penerbit: Kelompok DPD di MPR RI, Jakarta,
2006.
-------------, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam
Siatem Presidensial Indonesia, Penerbit: PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010.
Samuel P. Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga, Eidis Terjemahan oleh Asril
Marjohan, Penerbit: Pustaka Utama Grafiti, 1995.
Schmid, J.J. von, Ahli-Ahli Pemikir Besar Tentang Negara dan Hukum (Edisi Terjemahan oleh
Mr. R. Wiratmo, Mr. Djamaluddin Dt. Singomangkuto), Penerbit: PT. Pembangunan,
Jakarta, 1962.
Smith, S. Steven, et.all, The American Congress (Fourth Edition), Published in the United States
of America by Cambridge University Press, New York, 2005.
Shapiro, Ian (Editor), Two Treatises of Government and A Letter Concerning Toleration JOHN
LOCKE, Yale University Press, New Haven and London, 2003.
Soifer, Paul, et.all., Cliffs Quick Review American Government, Hungry Minds, Inc, New York,
2001.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat , PT.
Raja Grafindo, Jakarta, 2001.
Sovensen, Georg, Democracy and Democratization (Dillema in World Politics), Westview Press
Boulder-San Fransisco-Oxford, 1993.
Sri Soemantri, Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara (Edisi Baru), Penerbit: CV.
Rajawali, Jakarta, 1981.
----------------, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Penerbit: Alumni, Bandung. 1992.
Suwoto Mulyosudarmo, Peralihan Kekuasaan (Kajian Teroritis dan Yuridis terhadap Pidato
Nawaksara), Penerbit: PT. Gramadia Pustaka Utama, Jakarta, 1997.
Stevens, I.N., Constitutional and Administrattive Law, Second Edition, The M and E Handbook
Series, Piunan Publishing, London, 1993.
Strong, C.F., Moderen Political Constitution (An Introduction to the Comparative Study of their
History and Existing Form, Sidwick and Jackson Limited, London, 1986.
Suparlan, Perbandingan Lembaga Kepresiden Republik Indonesia dan Amerika Serikat,
Penerbit: Usaha Nasional, Surabaya-Indonesia, 1982.
Suseno, Frans Magnis Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Moderen,
Cetakan Keenam, Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001.
Suyatno, Menjelajahi Demokrasi, Penerbit: Liebe Book, Yogyakarta, 2004.
Tambunan, A.S.S, Hukum Tata Negara Perbandingan, Penerbit: Pupolis Publishers, Jakarta,
2001.
Targonski, Rosalie (Editor), Garis Besar Pemerintahan Amerika Serikat, (Edisi Terjemahan
oleh Sumantri Ar, dkk), Edisi Revisi, Penerbit: Kantor Program Informasi
Internasional Deplu Amerika Serikat, Jakarta, 2000.
Tommy Legowo, dkk, Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia, Formappi, Jakarta, 2005.
Uhlin , Anders, Oposisi Berserak: Arus Deras Gelombang Demokratisasi Ketiga Di Indonesia,
Penerbit: Mizan, Bandung, 1998.
Usep Ranawijaya, Hukum Tata Negara Indonesia (Dasar-Dasarnya), Penerbit: Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1983.
Valina Singka Subekti, Menyusun Konstitusi Transisi (Pergulatan Kepentingan dan Pemikiran
dalam Proses Perubahan UUD 1945, Penerbit: PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2008.
Venter, Francois, Constitutional Comparison, Japan, Germany, Canada, and South Africa As
Constitutional States, Penerbit: Juta & Co, Ltd and Kluwer Law International,
Massachusetts Avenue Cambridge USA, 2000.
Verney, V Douglas . dalam Arend Lijphart (Disadur oleh Ibrahim, dkk), Sistem Pemerintahan
Palementer dan Presidensial, Penerbit: Grafindo Persada, Jakarta, 1995.
Waluchow, W. J, A Common Law Theory of Judicial Review: The Living Tree, Published in the
United States of America by Cambridge University Press, New York, 2007.
Wheare, K.C. Modern Constitution, Oxford University Press, Third Empression, London, 1975.
Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Penerbit: Alumni, Bandung,
2000.
Zeigenhain, Patrick, The Indonesian Parliament And Democratization Book: The Indonesian
Parliament And Democratization, Publisher: Institute Of Southeast Asian Studies,
2008.

Disertasi, Tesis, Jurnal, Makalah dan Pidato Pengukuhan Guru Besar:


Firdaus, Sistem dan Prosedur Pertanggungjawaban Presiden Menurut AmandemenUU Dasar
1945, Tesis pada Program Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, 2005.
Girindro Pringgodigdo, M.R, Kebijaksanaan, Hirarki Perundang - Undangan dan
Kebijaksanaan Dalam Konteks Pengembangan Hukum Administrasi Negara di
Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum di FH-UI, Jakarta, 16
Nopember 1994.
Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden RI Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
Negara (Suatu Analisis Mengenai Keppres Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun
Waktu Pelita I-Pelita IV), Disertasi Doktor Ilmu Hukum, Fakutas Pascasarjana UI,
Jakarta, 1990.
----------------, Teori Perundang-undangan Indonesia (Suatu Sisi Ilmu Pengetahuan Perundang-
undangan Indonesia yang Menjelaskan dan Menjernihkan Persoalan), Pidato
Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum UI, Jakarta, 25 April 1992.
Hartati, Eksistensi dan Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah Dalam PembentukanUU.
Disertasi Pada Program Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran, Bandung,
2008Harun Alrasid, Pemilihan Presiden dan Pergantian Presiden Dalam Hukum
Positip Indonesia, Pidato yang diucapkan pada Upacara Pengukuhan Jabatan Guru
Besar Madya pada Fak. Hukum UI, Jakarta, 29 Juli 1995.
Harun Alrasid, Pemilihan Presiden dan Pergantian Presiden Dalam Hukum Positip Indonesia,
Pidato yang diucapkan pada Upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Madya pada
Fak. Hukum UI, Jakarta pada tanggal 29 Juli 1995.
I Gde Pantja Astawa, Hak Angket Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia MenurutUU Dasar
1945, Disertasi pada pada Program Doktor Bidang Ilmu Hukum, Program Pasca
Sarjana, Universitas Padjadjaran, Bandung, 2000.
----------------, Hukum Indonesia Seperti Langit dan Bumi (Sebuah Judul Wawancara dalam
Jurnal Dialektika), Vol. 2 No. 2, Penerbit: LPPMD, Unpad, Bandung, 2001.
Jimly Asshiddiqie, Mempopulerkan Kembali Gagasan Republik di Antara Cita-Cita Demokrasi
dan Nomokrasi, dalam Majalah Hukum dan Pembangunan, No. 4 Tahun XXV,
Fakultas Hukum UI, Jakarta, 1995.
Katon Y. Stefanus, Titian Menuju Negara Hukum Demokratis, Perlunya Mekanisme
Pengawasan Terhadap Legislatif, Artikel dalam Majalah Pro Justitia No.3,
Universitas Parahyangan, Bandung, 1977.
Kuntana Magnar, Hubungan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Dengan Presiden Setelah
PerubahanUU dasar (UUD) 1945: Pencarian Bentuk dan Isi, Disertasi pada
Program Doktor Bidang Ilmu Hukum, Program Pasca-Sarjana, Universitas
Padjadjaran, Bandung, 2006.
Koertiatmanto Soetoprawiro, Tentang Demokrasi, Tulisan dalam Majalah Hukum Pro Justitia,
Edisi Tahun XIV, Nomor 1, Januari 1996, Penerbit: Universitas Katholik
Parahyangan, Bandung, 1996.
Koetjoro Poerbopranoto, Sistim Pemerintahan Demokrasi, Penerbit: PT.Eresco, Bandung, 1987.
Rukmana Amanwinata, Pengaturan dan Batas Implementasi Kemerdekaan Berserikat dan
Berkumpul Dalam Pasal 28 UUD 1945, Disertasi pada Program Pascasarjana
UNPAD, Bandung, 1996.
----------------, Eksistensi dan Kedudukan Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan
Indonesia, Makalah pada forum Diskusi Mahasiswa HTN, FH. UNPAS, Bandung,
2004.
----------------, Sistem Pemerintahan Indonesia, dalam Jurnal Dialektika, Vol.2 No. 2, Penerbit:
LPPMD, Unpad, Bandung, 2001.
Satya Arinanto, dkk, Struktur Organisasi dan Kerangka Prosedural Bagi Penyempurnaan
Rancangan Kelembagaan DPD-RI (Suatu Studi Pendahuluan), Laporan Penelitian
Hasil Kerjasama antara Sekretariat Jenderal DPD-RI dengan United Nations
Development Programme (UNDP), Jakarta, 2006.
----------------, Demokrasi Berdasarkan Konstitusi: Mungkinkah Terjelma Dalam Realita, Artikel
Dalam Majalah Hukum dan Pembangunan, No. 3 Tahun XXIII, Fak. Hukum UI,
Jakarta, 1993.
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum, Kebebasan Warga, dan Kekuasaan Negara, dalam Jurnal
“Hukum dan Keadilan”, Vo. 1, No.1, Fakultas Hukum, UII, Yogyakarta, 1998.
Sri Soemantri, Reformasi Konstitusi, dalam Jurnal Dialektika, Vol.2 No. 2, Penerbit: LPPMD,
Unpad, Bandung, 2001.
-------------------, Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara (Edisi Baru), Penerbit:
CV. Rajawali, Jakarta, 1981.
Susi Dwi Harijanti, Kelemahan Fundamental UUD 1945: Pra dan Pasca Amandemen, dalam
Jurnal UNISIA, Edisi No.49/XXVI/III/2003.
Artikel di Media Cetak dan Elektronik.
Bivitri Susanti, Menyoal Kompetisi Politik dalam Proses Legislasi di Indonesia, hlm.23. Artikel
yang ditampilkan dalam www.Parlemen.net.
Erni Setyowati dan M. Nur Sholikin, BagaimanaUU Dibuat, Artikel dalam
http/www.Legalitas.Org, diakse tanggal 12 Mei 2009.
Eryanto Nugroho dan Reny Rawasita Parasibu, Sejarah DPR, sumber:
http//www.legalitas.org.
Toto Sugiarto, Kembalinya Tukang Stempel, Artikel dalam Harian Kompas, Edisi Rabu, 22
Februari 2006.

Kamus/Ensiklopedi:
Adiwinata, S, Istilah Hukum Latin-Indonesia, Tanpa Penerbit, Jakarta, 1977.
Collin, PH, Dictionary of Politics and Government, Third Edition, Bloomsbury Publishing Plc.
38 Soho Square, London, 2004.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Penerbit: Balai
Pustaka, Jakarta, 1999.
Garner A. Bryan, “Black’s Law Dictionary”, Seventh Edition,West Publishing Co-St.Paul
Minn, USA, 1999.

Dokumen:
DPR-RI, Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2004-2009, Jakarta, 2004.
-------------, Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2009-2014, Jakarta, 2009.
MPR RI, Naskah Akademik Kajian Komprehensif Komisi Konstitusi Tentang Perubahan UUD
Negara RI Tahun 1945, Jakarta, 2004.
-------------, Risalah Rapat ke-1 BP-MPR pada tanggal 6 Oktober 1999, Nomor MJ.210/1/1999
RIWAYAT HIDUP
A. Identitas Diri:
 Nama Lengkap : Aminuddin Kasim, S.H.,M.H.
 Tempat dan tgl lahir : Donggala, 12 Mei 1961
 NIP : 131 789 617
 Pangkat/Golongan : Pembina/IVa
 Jabatan Fungsional : Lektor Kepala
 Unit Kerja : Fakultas Hukum Universitas Tadulako (UNTAD) Palu
 Kelompok Pengajar : Hukum Tata Negara
 Agama : Islam
 Status : Kawin
 Nama Ayah dan Ibu : Mamma Kasim dan Ibau Latjandring
 Nama Istri : Sarifa Mardjun
 Nama Anak : 1. Sari Puji Lestari
2. Aris Nugraha
3. Risa Puji Astuti
4. Asri Rezki Saputra
 Alamat Rumah : Perum Dosen Untad Blok D2/19 RT/RW:001/002
Kelurahan Tondo, Palu – Sulawesi Tengah.
 E-mail : aminpalu@yahoo.com.au.
 Alamat Kantor : Kampus Bumi Kaktus Tondo

B. Riwayat Pendidikan dan Penghargaan yang Diraih


 SD. Muhammadiyah di Wani (1966–1972), meraih predikat sebagai Bintang Pelajar.
 SMI di Wani (1972-1975), meraih prestasi sebagai siswa terbaik
 SMAI di Wani (1975-1978, dan dilanjutkan di SMAKER Manado (1979-1980), meraih
prestasi sebagai siswa terbaik.
 Sarjana Hukum di Fak. Hukum UNSRAT Manado (1980-1987).
 Magister Hukum di PPs UNHAS Makassar (1998-2001).

C. Pengalaman Mengajar:
 Guru SMAI Wani (1987-1988)
 Dosen Fakultas Hukum UNISMUH Palu (1987-1996).
 Fakultas Hukum UNTAD Palu (sejak 1988).

D. Penataran/Kursus yang Pernah Diikuti:


 Penataran Penelitian Hukum di Palu, 1991.
 Penataran Penulisan Buku Ajar di Palu, 1993.
 Penataran Antropologi Hukum/Sosiologi Hukum di Jakarta, 1994.
 Penataran PEKERTI Angkatan I 1995 di Palu (Peringkat I).
 Enviromental Law and Enforcement Training (Conducted by: Litbang Mahkamah Agung
RI. dengan SAGRIC International Pty. Ltd., The University of South Australia, Australian
Centre for Enviromental Law (ACEL), and Indonesian Centre for Enviromental Law
(ICEL), Palu, 7-12 April 2002).
E. Pengalaman Menduduki Jabatan/Pengalaman Organisasi:
1. Dalam Lingkungan Lembaga Pendidikan:
 Wakil Kepala Sekolah Menengah Islam Wani (1987-1988).
 Ketua Pusat Studi Hukum dan Otonomi Daerah (PUSH-OD) di Fakultas Hukum
Universitas Tadulako (2002).
2. Di Luar Lembaga Pendidikan:
 Wakil Ketua Panitia Pengawas Penghitungan Suara untuk pengisian keanggotaan
DPRD Kabupaten Parigi Moutong (2002).
 Ketua Panitia Pengawas Pemilihan Umum Propinsi Sulawesi Tengah Untuk Pemilihan
Anggota DPR, DPD, DPRD, dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden RI (Juli 2003
s/d Nopember 2004).
3. Pengalaman Organisasi:
 Pendiri dan Pengurus Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Jakarta,
2004-sekarang).

F. Pengalaman Sebagai Penatar/Pelatih/Pemateri/Fasilitator:


 Penatar Bela Negara Bagi Anggota Menwa Se-Sulawesi Tengah (Penyelenggara: Kodam
VII Wirabuana, Palu, Oktober 2001).
 Penatar Legal Drafting (Perancangan PERDA) dalam “Work-Shop Anggota DPRD
Kabupaten/Kota Se Sulawesi Tengah” (Kerja-sama Fak. Sospol Unismuh dengan USAID-
OTI, Palu, 11 s/d 16 September 2001).
 Anggota Tim Asistensi DPRD Kota Palu: Penolakan Draft Revisi UU. No. 22 Tahun 1999
(Palu, Medio Pebruari 2002).
 Anggota Tim Asistensi DPRD Kota Palu: Tanggapan atas 6 (enam) Raperda dari usulan
Pemda (Eksekutif) Kota (Palu, 17 s/d 27 Juli 2002)
 Penatar Teknik dan Metode Perancangan PERDA dalam Pelatihan Anggota DPRD
Kabupaten Poso (Kerjasama P3OTDA Fisipol Untad, Unsimar Poso dan USAID, Palu, 12
s/d 19 Pebruari 2003).
 Penatar anggota Badan Perwakilan Desa (BPD) se Kabupaten Donggala (Kerjasama
P3OTDA dengan Pemda Kabupaten Donggala, Palu, 31 Oktober s/d 2 Nopember 2002).
 Pemateri dalam Pelatihan Anggota DPRD Poso (Kerjasama PSHK Fak. Hukum Untad
dengan DPRD Poso, Palu (PGH), Oktober 2004).
 Fasilitator dalam Pelatihan Panitia Pengawas Pemilu Propinsi se-Indonesia untuk Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden 2009 (Kerjasama BAWASLU dan UNDP Election MDP),
Bogor, tgl 17 s/d 20 Pebruari 2009).
 Fasilitator dalam Pelatihan Pengawasan untuk Panwas Pemilu Kabupaten/Kota se Propinsi
Sulawesi Tengah untuk Pemilu Preiden dan Wakil Presiden 2009 (Kerjasama BAWASLU
dan UNDP Election MDP), di Palu, tgl. 2 s/d 4 Maret 2009).
 Fasilitator dalam Pelatihan Pengawasan untuk Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota
se Propinsi Sulawesi Tenggara untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009
(Kerjasama BAWASLU dan UNDP Election MDP), di Kendari, tgl. 4 s/d 6 Maret 2009).
 Fasilitator pada Rakor Evaluasi Kinerja Pengawasan dan Bimbingan Teknis Bagi Panwaslu
Kabupaten/Kota dalam Pengawasan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Regional I di
Batam, 15 – 17 November 2009, Regional II di Mataram, Senggigi Lombok, 19-21
Nopember 2009, dan Regional III di Manado, 25 -27 November 2009.
 Fasilitator pada Rakor Penanganan Pelanggaran dan Penyelesaian Sengketa Pemilu Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah untuk Regional I di Batam, tgl. 17 – 19 April 2010,
Regional II di Banjarmasin, tgl. 24 – 26 April 2010, dan Regional III di Manado, tgl. 1 -3
Mei 2010.

G. Pengalaman Penelitian :
 Pelaksanaan Asas Dekonsentrasi Dalam Rangka Penyelenggaraan Tugas dan Fungsi
Keagrariaan di Manado (Skripsi, 1987).
 Tinjauan Yuridis Sosiologis Pelaksanaan Pendaftaran Tanah di Petobo (Ketua Peneliti,
1988).
 Aspek Hukum Kependudukan dan Pengembangan Kota Administratif Palu (Ketua Peneliti,
1989, didanai oleh Proyek OPF-Untad TA.1989/1990).
 Analisis Yuridis Terjadinya Kasus Kecelakaam Kerja Setelah 20 Tahun UU.No. 1 Tahun
1970 (Studi Kasus PT. Iradat Puri dan PT. Kebun Sari) (Anggota Peneliti, 1990, didanai
oleh Proyek OPF-Untad TA.1990/1991).
 Eksistensi Hak Milik Atas Tanah Menurut Hukum Adat Di Propinsi Sulawesi Tengah
Setelah 30 Tahun UUPA (Anggota Peneliti,1992, didanai oleh Bank Dunia-LOAN/DP3M
TA.1990/1991).
 Watasa Ntona dan Tana Niinda Dalam Komunitas Suku Kaili Di Daerah Tingkat II
Donggala (Ketua Peneliti, 1993, didanai oleh Proyek OPF-Untad TA. 1992/1993).
 Struktur Pemilikan dan Penguasaan Hak atas Tanah Berkenaan dengan Praktek Gadai
Tanah Di Kec. Sigi Biromaru (Ketua Peneliti,1993, didanai oleh Proyek OPF-Untad TA.
1993/1994).
 Efektivitas Pengawasan Terhadap Penggunaan Satuan Alat UUTP Menurut UU. No. 2
Tahun 1981 di Wil. Prop. Sulawesi Tengah (Anggota Peneliti, 1994, didanai oleh Proyek
Bank Dunia/DP3M TA. 1993/1994).
 Eksistensi Lembaga Hukum “Paja” dalam Melindungi Hak dan Kepentingan Petani dan
atau Pemilik Pohon Kelapa di Kec. Sirenja (Anggota Peneliti, 1995, didanai oleh Proyek
OPF-Untad TA. 1994/1995).
 Efektivitas Larangan Penebangan Hutan Secara Liar Di Lingkungan Transmigran (Studi
Kasus UPT. Lalundu Kec. Dolo, Kab. Donggala) (Anggota Peneliti, 1996, didanai oleh
Proyek OPF.Untad 1995/1996).
 Pemberdayaan DPRD Kota Palu Dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah (Analisis
Dari Perspektif Kedudukan dan Fungsi DPRD Berdasarkan UU. No. 22 Tahun 1999),
Tesis pada Program Pascasarjana UNHAS, 2001.
 Potret Hukum Adat Kaili (Studi Eksplorasi Terhadap Dimensi-Dimensi Hukum Adat Kaili
Dalam Konteks Ke Kinian) Anggota Peneliti, 2002, didanai oleh Biro Hukum Kantor
Gubernur Prop. Sulawesi Tengah).
 Naskah Akademik Perda Di Sektor Kelautan dan Perikanan (Ketua Tim Kaji), Proyek
MCRP. Kerjasama BAPPEDA Propinsi Sulawesi Tengah dengan Pusat Studi Kelautan dan
Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (PSKPM), Palu, 2002.
 Pemaknaan Fungsi Perda Dalam Era Otonomisasi Daerah (Studi Terhadap Peraturan
Daerah Kabupaten Di Provinsi Sulawesi Tengah), Dibiayai oleh Bagian PPSDM-Dirjen
Dikti Nomor Kontrak: 125/P4T/DPM/DM, SKW, SOSAG/III/2004

H. Karya Ilmiah/Artikel Terpublikasi:


1. Dalam Buku dan Jurnal Ilmiah:
 Beberapa Masalah Dalam Penyelenggaraan Pembangunan Di Kab. Dati II Donggala
Dikaitkan dengan Asas-asas Pemerintahan (Majalah GAGASAN-Untad, No. 2 Tahun
IX, 1991).
 Pendekatan Socio-yuridis terhadap Kasus Kecelakaan Kerja Setelah 20 Tahun
Kehadiran UU. No. 1 Tahun 1970 (Majalah Hukum dan Pembangunan UI-Jakarta, No.
2 Tahun XXI, April 1991).
 Perlindungan Konsumen Ditinjau dari Perspektif HAM (Jurnal Ilmiah Hukum
Toposantaro, Vol. 1 No. 2 Juli-September 2000).
 Urgensi Instrumen Hukum Administrasi Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Bersama Ali Jennah, dalam Jurnal KREATIF,Vol. 3 N0. 2 Januari-Maret 2000).
 Mekanisme Pemilihan dan Pergantian Presiden dan Wakil Presiden (Termuat dalam
Buku Eko Bambang Subiantoro, dkk (Editor): Menggagas Ulang Prinsip-prinsip
Lembaga Kepresidenan, Penerbit CPPS Paramadina bekerjasama Partnership For
Governance Reform in Indonesia, Jakarta, 2002).
 Penguatan Fungsi Hukum Ke Dalam Peraturan Daerah (Jurnal Media Hukum, UMSU,
Medan, Vol. XVI, Nomor 1, Januari-Juni 2006).
 Pertautan antara Hak Asasi Manusia da Hak-hak Konsumen (Jurnal Media Hukum,
UMSU, Medan, Vol. XVI, Nomor 1, Januari-Juni 2007).
 Memaknai Perda Sebagai Legal Resources (Suatu Pemikiran Ke Arah Pengembangan
Perda dalam Era Demokratisasi dan Otonomisasi Daerah (Jurnal Toposantaro, Fak.
Hukum Untad, Edisi 7 Oktober-Desember, 2001).
 Teori dan Praktik Kekuasaan Legislatif di Indonesia: Sebelum dan Sesudah Perubahan
UUD 1945 (Buku yang diterbitkan UNPAD PRESS, 2010).

2. Dalam Media Cetak:


 Mana Tanggungjawab Menhub (dalam Harian Jawa Pos, 8 Januari 2007 dan
Kalteng Pos, 27 Januari 2007).
 Tanyakan: Kenapa Hanya DPRD (dalam Harian Radar Sulteng, 15 Januari 2005)
 Pengadilan Tipikor: Antara harapan dan Kenyataan (Radar Sulteng, 15 Januari 2005).
 Dulu Tebar Tangis, Kini Tebar Pesona (Harian Radar Sulteng ,31 Januari 2007).
 Ketika Perubahan UUD 1945 Diingkari (Harian Radar Sulteng, 16 Februari 2007)
 Mewaspadai Reinkarnasi Otoritarianisme (Harian Radar Sulteng, 21 Februari 2007)
 Membidik Kejahatan Hukum Dalam PP 37/2006 (Kaltim Post, 20 Februari 2007)
 Presiden SBY Mendelegitimasi Tugas KPK (Radar Sulteng, 28 Februari 2007).
 Kisruh Pemindahan Ibukota Bangkep: Pelajaran Bagi Jakarta (dalam Harian Radar
Sulteng dan Gorontalo Pos,5 Maret 2007)
 Ibukota Bangkep: Romantisme Historis vs Argumentasi Normatif (dalam Mercusuar
Palu, 7 Maret 2007)
 Transplantasi PERDA: Bias Makna Otonomi Daerah.
 Indonesia Juara Dunia Karena Celotehnya Bagian 1: Seluas 300 Lapangan Bola
dirusak Tiap Jam(Harian Kaltim Post, 26 Maret 2007)
 Indonesia Juara Dunia Karena Celotehnya Bagian 2: Tak Sebatas Lirik Iwan Fals
(Harian Kaltim Post , 27 Maret 2007)
 Ketika Calon Kepala Daerah Meninggal Dunia Menjelang Hari Pemugutan Suara
(Harian Alkhairaat, Palu, Mei 2010).

I. Pengalaman Sebagai Konsultan Hukum/Stah Ahli:


 Konsultan Hukum PT Inowa untuk Proyek Perencanaan dan Pengembangan Air Minum di
Tenggarong Kab. Kutai Kartanegara (Kaltim), Kabangjahe dan Brastagi (Sumut), dan
Tangerang-Banten (2007).
 Konsultan Hukum Dalam Pengkajian UU No. 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian
Dalam Menyahuti Tuntutan Otonomi Daerah Berdasarkan UU No.32 Tahun 2004 (Proyek
Perencanaan Pengembangan Perkeretaapian Di Daerah – Kerjasama ITB Bidang Kajian
Transportasi dengan Departemen Perhubungan (2007).
 Staf Ahli Badan Pengawas Pemilu RI – Koordinator Bidang Regulasi (2009)

J. Rapat Kerja/Work Shop/Loka Karya yang Pernah Diikuti:


 Work Shop Penyusunan Program Legislasi Badan Pengawas Pemilu RI, Bogor, 13-14
September 2009.
 Loka Karya Perumusan Pola Hubungan dan Tata Kerja antara Bawaslu dengan Panwaslu
Kada, Kuta Bali, 6 – 8 Oktober 2009.
 Work Shop Evaluasi Pengawasan dan Penegakan Hukum Pemilu Terpadu Tahap I
(Kerjasama BAWASLU-UNDP Election MDP), Bogor, 10-12 September 2009.
 Work Shop Evaluasi Pengawasan dan Penegakan Hukum Pemilu Terpadu Tahap II
(Kerjasama BAWASLU-UNDP Election MDP), Kuta Bali, 8-10 Oktober 2009.
 Rapat Kerja Penyusunan RENSTRA BAWASLU, Lippo Cikarang, 1-3 Oktober 2009, dan
Bandung, 13-15 Oktober 2009
 Penyusunan Peraturan BAWASLU tentang Pola Hubungan Kerja Bawaslu dengan
Panwaslu Kada Provinsi dan Kabutan/Kota, Jakarta, 16 – 19 Oktober 2009.
 Work Shop Penyusunan Materi Pengawasan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah, Bogor, 23 – 25 Oktober 2009.
 Rapat Kerja Harmonisasi Peraturan BAWASLU, 26-28 Oktober 2009.
 Work Shop Sosialisasi Peraturan Bawaslu Nomor 15 Tahun 2009 dan Sosialisasi
Pengawasan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Bogor, 5-7
November 2009.
 Work Shop Penyusunan Pedoman Kerjasama Bawaslu, 9-11 November 2009.
 Work Shop Penyusunan Peraturan Bawaslu tentang Pedoman Seleksi Calon Anggota
Panwas Pemilu Kada, Bekasi, 26-28 Maret 2010.

K. Pengalaman dalam Temu Pakar (Expert Meeting):


 Pengembangan Kapasitas Kelembagaan (Capacity Building) BAWASLU untuk
Pengawasan Pemilu Legislati dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Kerjasama antara
Kemitraan (Partnership) dengan Bawaslu), Jakarta dan Bandung (2008-2009)
 Pengembangan Kapasitas Kelembagaan (Capacity Building) BAWASLU (Kerjasama
antara UNDP dengan Bawaslu), Jakarta dan Bandung (2009-2010).
 Mereview Usulan Kegiatan Pendanaan Peningkatan Pelayanan Bantuan Hukum untuk
LBH Sulteng dan dan LBH Kendari, Proyek Kerjasama LEAD-UNDP dan BAPPENAS,
Jakarta, tertanggal 5 Maret 2010.
 Peran CSO dalam Konsolidasi Demokrasi di Asia (Lesson Learnt dan Best Practices di
Indonesia, Kerjasama Kemitraan (Partnership) dan USAID, Jakarta, 28 April 2010 dan
Medio Mei 2010).
 Mekanisme Pembentukan Panwas Pemilu Kada Pasca Terbitnya Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 11/PUU-VIII/2010, Bekasi, tagl. 26 Maret 2010, dan Banten, tagl. 31 Maret
2010.

Bandung, 27 September 2010

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai