Anda di halaman 1dari 92

TINJAUAN HUKUM TERHADAP PERGESERAN

KEKUASAAN LEGISLATIF PASCA AMANDEMEN UNDANG-


UNDANG DASAR 1945

Oleh :
ASWIN SYAWAL HARMIN NUR
B 111 06 745

BAGIAN HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2011
HALAMAN JUDUL

TINJAUAN HUKUM TERHADAP PERGESERAN


KEKUASAAN LEGISLATIF PASCA AMANDEMEN UNDANG-
UNDANG DASAR 1945

Oleh :

Aswin Syawal.Harmin Nur

B 111 06 745

SKIRPSI

Diajukan Sebagai Tugas Akhir dalam Rangka Penyelesaian


Studi Sarjana Pada Bagian Hukum Tata Negara
Program Studi Ilmu Hukum

Pada

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2011

i
PENGESAHAN SKRIPSI

TINJAUAN HUKUM TERHADAP PERGESERAN KEKUASAAN


LEGISLATIF PASCA AMANDEMEN UNDANG-UNDANG
DASAR 1945

Disusun dan diajukan oleh :

ASWIN SYAWAL.HN

NIM B 111 06 745


Telah dipertahankan di hadapan panitia ujian skripsi yang dibentuk
dalam rangka penyelesaian Studi Sarjana Bagian
Hukum Tata Negara Program Studi Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Pada Hari Jumat, 4 Februari 2011

Dan Dinyatakan Lulus

Panitia Ujian

Ketua Sekertaris

Prof. Dr.Achmad Ruslan, S.H., M.H. Kasman Abdullah,S.H,M.H


NIP. 19570101986011001 NIP. 195801271989101001

a.n. Dekan
Pembantu Dekan I

Prof. Dr. Ir. Abrar, S.H., M.H


NIP. 196304191989031003

ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Dengan ini menerangkan bahwa Skripsi dari mahasiswa :

Nama : Aswin Syawal.Harmin Nur

Nomor Induk : B111 06 745

Fakultas : Hukum

Program Studi : Ilmu Hukum

Bagian : Hukum Tata Negara

Judul : Tinjauan Hukum Terhadap Pergeseran


kekuasaan Legislatif Pasca Amandemen
Undang-Undang Dasar 1945

Telah diperiksa dan disetujui untuk diajukan dalam seminar ujian Skripsi pada

Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin..

Makassar, Januari 2011

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Achmad Ruslan,S.H,M.H Kasman Abdullah, S.H,M.H


NIP.19570101986011001 NIP.195801271989101001

iii
PERSETUJUAN UNTUK MENEMPUH UJIAN SKRIPSI

Diterangkan bahwa skripsi dari mahasiswa :

Nama : ASWIN SYAWAL.HARMIN NUR

No. Pokok : B 111 06 745

Bagian : Hukum tata Negara

Fakultas : Hukum Universitas Hasanuddin

Judul Skripsi : Tinjauan Hukum Terhadap Pergeseran Kekuasaan

Legislatif Pasca Amandemen Undang-Undang

Dasar 1945

Telah memenuhi syarat untuk mengikuti ujian skripsi pada Fakultas

Hukum Universitas Hasanuddin.

Makassar, Januari 2011

A.n. Dekan, Pembantu


Dekan I,

Prof. Dr. Ir. Abrar, S.H., M.H.


NIP. 196304191989031003

i
ABSTRAK

Aswin Syawal. Harmin Nur, BIII 06745 Tinjauan Hukum Terhadap Pergeseran
Kekuasaan Legislatif Pasca Amandemen UUD 1945,Dibimbing oleh Prof. Dr.
Achmad Ruslan. S.H. M.H selaku Pembimbing I dan Kasman Abdullah. S.H.
M.H selaku Pembimbing II.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan


Tinjauan hukum Terhadap Pergeseran Kekuasaan Legislatif Pasca Amandemen
UUD 1945.

Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dan deskriptif dengan


teknik pengumpulan data yaitu:Penelitian ke kantor Kementrian Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia Kantor Wilayah Sulawesi Selatan dan UPT
Perpustakaan Universitas Hasanuddin. Data dilengkapi dengan data primer dari
hasil wawancara dan konsiuner, dan data sekunder dari referensi-referensi (buku)
seperti: refrensi konstitusi dari aspek jurnal legislasi Indonesia diterbitkan di
Jakarta oleh Dirjen peraturan perundang-undangan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dimana hak untuk mengajukan


RUU kepada Presiden ke DPR dalam pembentukan perundang-undangan antara
parlemen dan pemerintah membawa implikasi terhadap kekuasaan pemerintah.

v
UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih yang penulis ungkapkan adalah puji syukur kepada
Allah SWT atas karunia dan rahmatnya sehingga penulis dapat menyusun dan
menyelesaikan skripsi yang berjudul : “ Tinjauan Hukum Terhadap
Pergeseran Kekuasaan Legislatif Pasca Amandemen UUD 1945”.
Selesainya skripsi ini juga tidak terlepas dari do’a dan dukungan kedua orang tua.
Harmin Nur.SE, Hj. Hasnah Syukur atas cinta dan perhatiannya penulis mampu
menyelesaikan skripsi ini.

Penulis sadari bahwa skripsi ini jauh dari kata sempurna yang masih
memiliki banyak kekurangan, karena penulis mengharapkan kritik yang bersifat
membangun.

Penulis juga sadari bahwa selesainya skripsi ini tidak terlepas dari
bantuan para pihak, karena itu penulis menyampaikan terima kasih yang tidak
terkira kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Achmad Ruslan, S.H, M.H, selaku pembimbing I yang telah
memberikan bantuan dan arahannya hingga selesainya skripsi ini.
2. Bapak Kasman Abdullah, S.H, M.H, selaku pembimbing II yang telah
meluangkan untuk memberikan petunjuk hingga selesainya skripsi ini.
3. Terima kasih kepada kedua orang tua saya untuk motivasinya dan
dukungannya.
4. Kakanda Ashary.HN.S.H. terima kasih atas motivasinya.
5. Kepada Seluruh Keluarga Besar Castle atas dukungan,saran dan kritikannya.
6. Rekan-Rekan KKN Profesi Hukum angkatan X khususnya lokasi Polsekta
Bontoala terima kasih atas kerjasamanya selama dua bulan penuh, banyak
kenangan yang tak terlupakan.

v
7. My girls. Thank’s you’re support and I think you’re the best in my life.
Akhir kata semoga ini bermanfaat bagi semua yang membacanya,
terutama bagi diri penulis sendiri.

Makassar, Januari 2011

PENULIS

v
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING.........................................................................iii
PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI................................................iv
ABSTRAK..............................................................................................................v
UCAPAN TERIMA KASIH..................................................................................vi
DAFTAR ISI.........................................................................................................vii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang......................................................................................1
B. Rumusan masalah.................................................................................5
C. Tujuan penelitian..................................................................................5
D. Kegunaan penelitian
a. Manfaat teoritis...............................................................................5
b. Manfaat praktis...............................................................................6
E. Metode Penelitian

a. Lokasi Penelitian............................................................................7
b. Teknik Pengumpulan Data.............................................................7
c. Jenis Dan Sumber Data...................................................................7
d. Analisis Data...................................................................................8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN ANALISIS


PERMASALAHAN PERTAMA
A. Tinjauan Pustaka..................................................................................9
1. Kekuasaan...........................................................................................16
a. Pengertian Kekuasaan.............................................................17
b. Konsep Pembagian Kekuasaan...............................................17
2. Proses dan Materi Perubahan Konstitusi............................................20
a. Ketentuan yang di Cabut...............................................................22

v
b. Ketentuan dan Lembaga Baru.......................................................24
c. Ketentuan dan Lembaga yang di Modifikasi................................24
3. Reformasi Konstitusi dan Reformasi Lembaga Negara....................25
a. Pengertian Lembaga Negara...........................................................25
b. Urgensi Reformasi Lembaga Negara..............................................26
c. Perkembangan dan Macam Lembaga Negara setelah Reformasi
Konstitusi............................................................................................29
B. Pembahasan Analisis Pertama........................................................35
1. Urgensi Perubahan..........................................................................35
2. Metode Perubahan..........................................................................37

BAB III TINJAUAN PUSTAKA DAN ANALISIS PERMASALAHAN KEDUA


A. Tinjauan Pustaka............................................................................41
1. Kedudukan Dan Fungsi Lembaga-Lembaga Negara Dan UUD
1945 Sebelum Amandemen................................................................41
2. Kedudukan Dan Fungsi Lembaga-Lembaga Negara Dan UUD
1945 Setelah Amandemen...................................................................43
3. Lembaga Legislatif........................................................................46
4 .Strong Versus Soft Becameralism...................................................51
5. DPR dan DPD serta Rekruitmen Keanggotaanya...........................53
6. Fungsi DPR dan DPD.....................................................................58
a. Fungsi Pengawasan DPR dan DPD.............................................58
b. Fungsi Legislasi DPR dan DPD...................................................62
B. Pembahasan Analisis Kedua...........................................................63
1. Pergeseran – Pergeseran Kekuasaan (Legislatif -
Eksekutif)............................................................................................64
2. Pergeseran Kekuasaan Legislatif...................................................65
a. Keseimbangan Peran Lembaga Legislatif Versus Eksekutif 65
b. Kecenderungan Peran Parlemen dari Legislatif ke Controlling. .70
3. Implikasi Pergeseran Kekuasaan Legislatif ke DPR......................73

4. Format Undang – Undang Baru......................................................76

i
BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan..........................................................................................78
B. Saran....................................................................................................79

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................80

x
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Demokrasi sebagai dasar hidup bernegara meletakkan posisi tertinggi

kekuasaan kepada rakyat. Di dalam kehidupan Negara demokrasi adalah

sesuai dengan kehendak dan kemauan rakyat. Kendati dari berbagai pengertian

demokrasi bahwa rakyat diletakkan pada posisi sentral “rakyat berkuasa”

(government or role by the people). Dalam prakteknya oleh UNESCO

disimpulkan bahwa ide demokrasi itu dianggap ambigu atau mempunyai arti

ganda, sekurang- kurangnya ada ambiguity atau ketidaktentuan mengenai

lembaga- lembaga atau cara-cara yang dipakai untuk melaksanakan ide, atau

mengenai keadaan cultural serta historic yang mempengaruhi istilah, ide, dan

praktek demokrasi.

Dipandang dari sudut perkembangan demokrasi sejarah Indonesia

dapat dibagi dalam tiga masa, yaitu :

a. Masa Republik Indonesia I (1945-1959), yaitu masa demokrasi

(konstitusionil) yang menonjolkan peranan parlemen serta partai- partai

dan yang karena itu dapat dinamakan demokrasi parlementer.

b. Masa Republik Indonesia II (1959-1965), yaitu masa demokrasi terpimpin

yang dalam banyak aspek telah menyimpang dari

1
demokrasi konstitusionil yang secara formil landasannya, dan

menunjukkan beberapa aspek demokrasi rakyat.

c. Masa Republik Indonesia III (1965-1998), yaitu masa demokrasi pancasila

yang merupakan demokrasi konstitusionil yang menunjukkan system

presidensial.

Di Indonesia kita telah melalui empat tahap perkembangan Undang-

Undang Dasar yaitu :

1. Tahun 1945 (Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang de facto

hanya berlaku di Jawa, Madura dan Sumatera)

2. Tahun 1949 (undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat yang de

facto berlaku di seluruh Indonesia, kecuali Irian Barat),

3. Tahun 1950 (Undang-Undang Dasar Sementara, Negara Kesatuan, yang

defacto berlaku di seluruh Indonesia kecuali Irian Barat),

4. Tahun 1959 (Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 dengan

demokrasi terpimpin, disusul demokrasi pancasila, Undang-Undang Dasar

ini mulai 1963 berlaku di seluruh Indonesia termasuk Irian Barat).

Perubahan situasi bangsa Indonesia telah menyebabkan perubahan

dalam system ketatanegaraan Indonesia. UUD 1945 dirasakan telah

memeberikan kelemahan-kelemahan yang secara substansial harus dilakukan

perubahan didalamnya, tanpa melupakan jasa-jasa para pendiri bangsa (The

Founding Fathers). Pada tahun 1999 telah dilakukan amandemen

(perubahan) terhadap UUD 1945

2
sebanyak 4 kali, yang dilakukan oleh MPR yang sebelum amandemen,

berkedudukan sebagai lembaga tertinggi Negara yang memiliki kewenangan

untuk melakukan amandemen terhadap konstitusi Negara Indonesia.

Pada saat proklamasi kemerdekaan Indonesia, UUD 1945 digunakan

sebagai konstitusi dalam system ketatanegaraan Indonesia. Dalam Aturan

Peralihan pasal III UUD 1945 disebutkan bahwa untuk pertama kali Presiden

dan Wakil Presiden dipilih oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia

(PPKI). Hasil dari penunjukan oleh PPKI adalah Ir. Soekarno sebagai Presiden

dan Drs. Moh. Hatta sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia.

Kemudian dalam Aturan Peralihan pasal IV UUD 1945 disebutkan

bahwa sebelum majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat

dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar

ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan Komite

Nasional. Dalam UUD 1945 telah disebutkan masing-masing kewenangan

yang dimiliki oleh lembaga MPR, DPA, dan DPR.

Menurut George Mc Turnan Kahin (dalam Rusadi Kantaprawiera,

1999 : 77), tindakan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat

(BPKNIP) tanggal 30 Oktober 1945 antara lain adalah:

3
…meninggalkan system satu partai dan diganti dengan system multi

partai dimana semua aliran politik yang penting seyogyanya mendapat

perwakilan.

Lembaga perwakilan ketika itu, yang bersifat sementara ialah Komite

Nasional Indonesia Pusat (KNIP), yang diganti dengan Dewan Perwakilan

Rakyat pada pemilihan umum.

Pada awalnya telah disepakati dalam UUD 1945 bahwa tugas KNIP

adalah sebagai pembantu Presiden. Namun pada tanggal 16 Oktober 1945

keluarlah Maklumat Presiden X yang berisi tentang penugasan kata “bantuan”

oleh KNIP.

Gagasan parlementerisme segera muncul dari Komite Nasional

Indonesia yang sebenarnya berkedudukan sebagai pembantu Presiden dalam

menjalankan berbagai kekuasaan. Dalam rapat tanggal 16 Oktober 1945

tersebut, KNIP mengusulkan agar komite tersebut diserahi kekuasaan

legislatifdan menetapkan MPR dan DPR. Perubahan ini juga tidak diikuti

perubahan dalam UUD 1945 sebagai konstitusi yang berlaku pada saat itu.

Terjadi pergeseran dalam kekuasaan eksekutif, yaitu Presiden sebagai

pemegang kekuasaan pemerintahan (Head of Government) menjadi Kepala

Negara (Head of State), Presiden Soekarno ditempatkan sebagai pemilik

kekuasaan simbolik dan seremonial, sementara kekuasaan pemerintahan riil

dimiliki oleh Perdana Menteri, Kabinet dan Parlemen.

4
B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimanakah pergeseran kekuasaan legislative pasca

amandemen UUD 1945 ?

2. Bagaimanakah implikasi atas pergeseran kekuasaan legislative pasca

amandemen UUD 1945 ?

C. TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka

tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui pergeseran kekuasaan legislative dalam system

ketatanegaraan Indonesia pra dan pasca amandemen UUD 1945.

2. Untuk mengetahui implikasi pergeseran kekuasaan legislative pasca

amandemen UUD 1945.

D. KEGUNAAN PENELITIAN

Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat sebagai berikut:

a. Manfaat Teoritis

Penulisan ini diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi

perkembangan teori tentang lembaga perwakilan rakyat (lembaga

legislative), baik dalam hal analisis maupun wacana baru dalam teori-teori

mengenai system ketatanegaraan Indonesia.

5
b. Manfaat Praktis

Bagi Penulis

Penelitian ini bermanfaat untuk menambah wacana dan wawasan

penulis terutama dalam hal kekuasaan lembaga legislative serta proses

demokrasi di Indonesia.

Bagi Mahasiswa

Penelitian ini dapat bermanfaat sebagai bahan bacaan bagi

mahasiswa pada umumnya, khususnya mahasiswa fakultas hukum Pada

Bagian Hukum Tata Negara yang tertarik akan masalah kekuasaan

lembaga legislative serta demokratisasi di Indonesia.

Bagi Masyarakat

Dari penelitian ini masyarakat diharapkan dapat memperoleh

gambaran dan informasi yang jelas mengenai kekuasaan lembaga

legislative serta demokratisasi di Indonesia.

Bagi Lembaga Legislatif dan Eksekutif

Hasil penelitian dapat menjadi rujukan maupun rekomendasi bagi

pihak legislative dalam melaksanakan ketatanegaraan Indonesia, sehingga

pendemokratisasian Indonesia akan segera terwujud.

6
E. METODE PENELITIAN

a. Jenis Penelitian

Oleh karena masalah yang akan diteliti adalah Pergeseran

Kekuasaan Legislatif Pasca Amandemen UUD 1945 maka penelitian

dilakukan Di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi

Manusia RI Sulawesi Selatan Serta UPT Perpustakaan Universitas

Hasanuddin Sulawesi Selatan.

b. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan penulis dengan cara

melakukan penelitian kepustakaan atau penelitian dokumen, yaitu suatu

penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka dan

dokumen-dokumen yang ada relevansinya dengan penulisan dan judul

skripsi serta melakukan wawancara. Wawancara dalam hal ini oleh para

pakar Hukum Tata Negara di Universitas Hasanuddin.

c. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data

primer dan data sekunder. Yang dimaksud dengan data primer dalam hal

ini yaitu data yang diperoleh dari hasil wawancara langsung penulis

dengan para pakar hukum tata Negara di Universitas Hasanuddin

Makassar, sedangkan data sekunder yaitu data yang diperoleh dari hasil

penelitian kepustakaan dan penelitian dokumen. Misalnya adata yang

diperoleh dari buku-buku,

7
media cetak, dokumen-dokumen, internet dan peraturan

perundang-undangan yang terkait.

d. Analisis Data

Data yang diperoleh melalui kegiatan penelitian ini dianalisis

secara kualitatif , kemudian disajikan secara deskriptif yaitu dengan

menjelaskan, menguraikan dan menggambarkan sesuai permasalahan yang

erat kaitannya dengan penelitian ini. Penggunaan teknik analisis kualiitatif

mencakup semua data yang telah diperoleh baik itu data primer maupun

data sekunder. Adapun data hasil penelitian berupa angka-angka

presentase yang bersumber dari studi kepustakaan, bukan merupakan hasil

kualitatif yang secara langsung menghasilkan kesimpulan penelitian, akan

tetapi hanya merupakan data pendukung guna mempertajam analisis

kualitatif.

8
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN ANALISIS PERMASALAHAN

PERTAMA

A. TINJAUAN PUSTAKA

Pergeseran adalah berubahnya suatu keadaan dari keadaan semula

yang berupa penyempitan atau perluasan. Maka pergeseran kekuasaan yang di

maksudkan di sini adalah berubahnya kewenangan dan fungsi yang di miliki

oleh lembaga-lembaga tinggi Negara. Adapun definisi-definisi demokrasi

sebagai berikut:

1. Defenisi paling umum digunakan oleh ilmuwan social adalah defenisi

Joseph A. Schumpter dalam bukunya, Capitalism, Socialism, and

Democracy. Metode demokratis adalah suatu perencanaan

institusional untukk mencapai keputusan politik dimana individu-

individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan dengan cara

perjuangan kompetitif atas suara rakyat.

2. Sidney Hook dalam Encyclopedia Americana, mendefenisikan,

Demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana keputusan- keputusan

pemerintah yang penting atau arah kebijakan di balik keputusan ini

secara langsung maupun tidak langsung, didasarkan pada kesepakatan

mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa.

9
3. Philippe C. Schmitter dan Terry Linn Karl dalam artikel mereka, What

democracy is…and is not, mendefenisikan demokrasi politik

sebagai suatu system pemerintahan dimana pemerintah dimintai

tanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh

warga Negara, yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi

dan kerja sama, dengan para wakil mereka yang telah terpilih.

Dalam kaitan ini patut pula dikemukakan bahwa Hendry B. Mayo

(dalam M. Mahfud MD, 2003 : 66) memberikan pengertian sebagai

berikut

A democratic political system is one in which public policies


are made on a majority basics, by representative subject to
effective popular control at periodic elections which are
conducted on the political equality and under conditions of
political freedom.
(System politik demokratis adalah system yang menunjukkan
bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh
wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam
pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip
kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya
kebebasan politik).
Selanjutnya Hendry B. Mayo (dalam Sumali, 2002 : 15) mencatat

sedikitnya ada Sembilan nilai yang mendasari nilai demokrasi, yakni :

1. Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan sukarela

2. Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu

masyarakat yang sedang berubah

3. Menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur

4. Membatasi pemakaian kekerasan secara minimum

1
5. Adanya keanekaragaman

6. Tercapainya keadilan

7. Yang paling baik dalam memajukan ilmu pengetahuan

8. Kebebasan, dan

9. Adanya nilai-nilai yang dihasilkan oleh kelemahan-kelemahan system

yang lain

Begitu pula Harold Crouch (dalam Isrok, 2004 : 89) menyatakan

bahwa suatu demokrasi harus memenuhi tiga unsur, yaitu :

1. System untuk menentukan pemerintah yang didasarkan kepada

pemilihan umum yang diadakan cukup sering, misalnya empat tahun

sekali.

2. Sedikitnya ada dua partai yang bersaing

3. Civil liberties, misalnya kebebasan berbicara, berorganisasi dan lain-

lain.

Menurut James Bryce bahwa konstitusi dapat diartikan sebagai

kumpulan peraturan yang berisitentang kekuasaan pemerintah, hak-hak

mereka yang diperintah, dan relasi antara keduanya (pemerintah & rakyat).

Sedangkan menurut Hans Kelsen, konstitusi Negara biasa juga disebut

sebagai “hukum fundamental” Negara, yaitu dasar dari tata hukum

nasional. Konstitusi secara yuridis, dapat pula bermakna norma-norma

yang mengatur proses pembentukan Undang-Undang, di samping

mengatur pembentukan

1
dan kompetensi dari organ-organ eksekutif dan yudikatif. (dalam Sumali,

2002 : 19)

Selain itu, K. C. Wheare (dalam Sumali, 2002 : 24) membedakan

konstitusi dalam arti luas (wider sense) dan konstitusi dalam arti sempit

(narrower sense). Yang dimaksud dengan wider sense, adalah

keseluruhan system pemerintahan dari suatu Negara berupa kumpulan

aturan yang menetapkan dan mengatur tentang pemerintahan. Sedangkan

pengertian narrower sense, yaitu sekumpulan aturan hukum yang

mengatur pemerintahan dari suatu Negara yang disusun dalam suatu

naskah atau suatu dokumen formal. Hampir di setiap Negara kecuali

Inggris, tegas Wheare, istilah konstitusi digunakan dalam artian yang

sempit. Istilah konstitusi tidak dimaksudkan dalam pengertian sebagai

kumpulan seluruh aturan legal dan non legal, tetapi lebih pada seleksi

seluruh aturan yang ada yang kemungkinan dituangkan dalam sebuah

dokumen yang saling berkaitan.

Sedangkan Carl Smitt dalam bukunya yang berjudul

“Verfassungsgriff” membagi konstitusi dalam empat pengertian

(Soetomo, 1993 : 148), yait

1. Konstitusi dalam arti absolute (Absoluter Verfassungsgriff)

a. Konstitusi dianggap sebagai kesatuan organisasi yang nyata yang

mencakup semua bangunan hukum dan semua organisasi-

organisasi yang ada di dalam Negara ;

1
b. Konstitusi sebagai bentuk Negara dan yang dimaksud dengan

bentuk Negara adalah Negara dalam arti keseluruhannya. Bentuk

Negara itu bias demokrasi atau monarki ;

c. Konstitusi sebagai factor integrasi. Ini sifatnya bias abstrak dan

fungsional. Abstrak misalnya hubungan antar bangsa dan Negara

dengan lagu kebangsaannya, bahasa persatuannya, bendera sebagai

lambing persatuannya dan lain-lain, sedangkan fungsional karena

tugas konstitusi mempersatukan bangsa melalui pemilihan umum,

referendum, pembentukan cabinet, suatu diskusi atau debat dalam

politik pada Negara-negara liberal, mosi yang diajukan oleh

Dewan Perwakilan Rakyat baik yang sifatnya menuduh atau tidak

percaya dan sebagainya ;

d. Konstitusi sebagai system tertutup dari norma-norma hukum yang

tertinggi di dalam Negara. Jadi konstitusi itu merupakan sumber

bagi norma-norma lainnya yang berlaku di dalam Negara.

2. Konstitusi dalam arti relative (Relativer Verfassungsbegriff)

Konstitusi sdalam arti relative dimaksud sebagai konstitusi

yang dihubungkan dengan kepentingan suatu golongan tertentu dalam

masyarakat. Dalam arti ini konstitusi dibagi dalam dua sub pengertian :

1
a. Konstitusi sebagai tuntutan dari golongan borjuis liberal agar hak-

haknya dijamin tidak dilanggar oleh penguasa ;

b. Konstitusi sebagai konstitusi dalam arti formil atau konstitusi

tertulis.

3. Konstitusi dalam arti positif (Der Positive Verfassungsbegriff)

Konstitusi dalam arti positif mengandung pengertian sebagai

keputusan politik yang tertinggi berhubung dengan pembuatan

Undang-Undang Dasar Weimar pada tahun 1919 yang menentukan

nasib rakyat seluruh Jerman, karena Undang- Undang Dasar itu telah

merubah struktur pemerintahan lama dari stelsel monarchi dimana raja

masih kuat kedudukannya, menjadi suatu pemerintahan dengan

system parlementer.

4. Konstitusi dalam arti ideal

Disebutkan konstitusi dalam arti ideal karena ia merupakan

idaman dari kaum borjuis liberal seperti tersebut diatas sebagai

jaminan bagi rakyat agar hak-hak asasi dilindungi. Cita-cita ini lahir

sesudah revolusi Perancis.

Menurut Herman Heller (dalam Soetomo, 1993 : 146) sebagai

ukuran untuk mengetahui arti konstitusi, maka akan kelihatan bahwa

konstitusi itu mempunyai arti yang lebih luas dari Undang-Undang

Dasar. Herman Heller membagi konstitusi dalam tiga pengertian, yaitu

1
1. Konstitusi mencerminkan kehidupan politik di dalam masyarakat

sebagai suatu kenyataan dan ia belum merupakan konstitusi dalam

arti hukum (ein Rechtverfassung) atau dengan kata lain

konstitusi itu masih merupakan pengertian sosiologis atau politis

dan belum merupakan pengertian hukum.

2. Baru setelah orang mencari unsur-unsur hukumnya dari konstitusi

yang hidup dalam masyarakat itu dijadikan sebagai suatu kesatuan

kaidah hukum, maka konstitusi itu disebut Rechtfassung. Tugas

mencari unsur-unsur hukum dalam ilmu pengetahuan hukum

disebut “abstraksi”;

3. Kemudian orang mulai menulisnya dalam suatu naskah sebagai

Undang-Undang yang tertinggi dalam suatu Negara. Menurut

Ensiklopedia Nasional Indonesia (1990 : 117), konstitusi adalah

suatu pola berkelompok di dalam organisasi yang disebut Negara,

sekalipun kadang-kadang digunakan pula bagi organisasi lainnya.

Aspek-aspek yang berupa hukum lazim disebut sebagai hukum dasar,

sedangkan yang dituangkan di dalam suatu naskah tertulis disebut

Undang-Undang Dasar. Suatu konstitusi pada umumnya

meliputi hal-hal yang fundamentaldalam hal

bernegara, misalnya ketentuan mengenai Kepala Negara, Warga

Negara, hak dan kewajiban kenegaraan, perwakilan kenegaraan,

wilayah Negara. Di dalam

1
konstitusi modern biasanya dimuat pula hal yang dianggap penting

atau yang dicita-citakan, misalnya masalah agama atau ketuhanaan,

kemanusiaan , dan kecerdasan bangsa. Konstitusi yang dituangkan

dalam suatu naskah tertulis lazimnya tidak diinginkan untuk mudah

diubah. Untuk itu sering dituntut prosedur khusus atau lembaga

khusus. Hal ini adalah untuk kepastian dan kesinambungan

berorganisasi dalam Negara.

Amandemen atau perubahan UUD mengandung pengertian :

1. Menambah atau mengurangi redaksi dan/atau isi UUD menjadi

lain daripada semula.

2. Mengubah redaksi dan/atau isi UUD sebagian atau

seluruhnya.

3. Memperbarui UUD dengan cara merinci dan menyusun

ketentuannya menjadi lebih jelas, tegas, dan sistematis.

4. Pembaruan sendi-sendi bernegara, seperti : dasar

bernegara, bentuk Negara, dan bentuk pemerintahan.

1. Kekuasaan

Berbicara tentang sebuah kekuasaan akan terdapat dua pihak di

dalamnya. Pihak yang lemah dan pihak yang kuat. Kekuasaan biasa

digunakan untuk melakukan sesuatu hal tanpa melibatkan secara

langsung orang yang memiliki kekuasaan.

1
Dalam hal ini pihak yang digunakan untuk melaksanakan

kekuasaan adalah pihak yang lemah.

a. Pengertian Kekuasaan

Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok

manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok

lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan

keinginan dan tujuan dari orang atau sekelompok manusia yang

memegang kekuasaan itu atau yang berkompetensi dalam hal

kekuasaan yang dimaksud. Kekuasaan itu dipakai secara gamblang,

tetapi adanya kemungkinan paksaan juga dipakai dalam hal tertentu

demi tercapainya tujuan dari kekuasaan itu. (Ensiklopedia Nasional

Indonesia 1990 : 224)

b. Konsep Pembagian Kekuasaan

Pembagian kekuasaan secara horizontal adalah pembagian

kekuasaan menurut fungsinya dan ini ada hubungannya dengan doktrin

Trias Politica. Trias Politica adalah anggapan bahwa kekuasaan

Negara terdiri dari tiga macam kekuasaan, yaitu :

1. Kekuasaan legislatif / kekuasaan membuat Undang-Undang

(rulemaking function) ;

2. Kekuasaan eksekutif / kekuasaan melaksanakan Undang- Undang

(rule application function) ;

1
3. Kekuasaan yudikatif / kekuasaan mengadili atas pelanggaran

undang-undang (rule nadjudcation function).

Menurut John Locke (dalam Miriam Budiardjo, 1982 : 151)

yang mengemukakan konsep pembagian kekuasaan (separation of

power) dalam bukunya berjudul Two Treatises on Civil

Government, kekuasaan Negara dibagi dalam tiga kekuasaan :

1. Kekuasaan legislatif / kekuasaan membuat peraturan Perundang-

undangan ;

2. Kekuasaan eksekutif / kekuasaan melaksanakan Undang- Undang

dan di dalamnya termasuk kekuasaan mengadili (Locke

memandang mengadili itu sebagai “uitvoering”, yaitu

dipandangnya sebagai termasuk pelaksanaan Undang- Undang ;

3. Kekuasaan federatif / kekuasaan yang meliputi segala tindakan

untuk menjaga keamanan Negara dalam hubungannya dengan

Negara lain seperti membuat aliansi dan sebagainya (atau disebut

hubungan luar negeri).

Mengenai konsep pembagian kekuasaan sebenarnya dapat

dipusatkan ataupun dibagi-bagi oleh pemegang kekuasaan itu sendiri.

Tetapi para ahli pemerintahan mencoba mengusulkan pendapat untuk

membagi ataupun memisahkan kekuasaan, walaupun pada prinsipnya

tidak pernah secara

1
keseluruhan diikuti oleh para birokrat. Pendapat-pendapat tersebut

(dalam Miriam Budiardjo, 1982 : 111) dapat digolongkan serta diberi

istilah sebagai berikut :

1. Eka Praja adalah apabila kekuasaan dipegang oleh suatu badan.

Bentuk ini sudah tentu diktator (authokrasi) karena tidak ada

balance (tandingan) dalam era pemerintahannya. Jadi yang ada

hanya pihak eksekutif saja dan biasa muncul pada suatu kerajaan

absolute atau pemerintahan fasisme.

2. Dwi Praja adalah apabila kekuasaan dipegang oleh dua badan.

Bentuk ini oleh Frank J. Goodnow dikategorikan sebagai lembaga

administratif (unsur penyelenggara pemerintahan) dan lembaga

politik (unsur pengatur Undang- Undang).

3. Tri Praja adalah apabila kekuasaan dipegang oleh tiga badan.

Bentuk ini banyak diusulkan oleh para pakar yang menginginkan

demokrasi murni, yaitu dengan pemisahan atas lembaga eksekutif,

legislatif dan yudikatif. Tokohnya Montesquieu dan John Locke

serta yang agak identik Gabriel Almond.

4. Catur Praja adalah apabila kekuasaan dipegang oleh empat badan.

Bentuk ini baik apabila benar-benar dijalankan dengan konsekuen.

Van Vollenhoven pernah

1
mengkategorikan bentuk ini menjadi regelling, bestuur, dan

rechtsrpaak.

5. Panca Praja adalah apabila kekuasaan dipegang oleh lima badan,

yaitu konsultatif, eksekutif, legislatif, yudikatif, dan inspektif.

System ini pernah dianut oleh negara Indonesia sebelum era

reformasi, yaitu badan konsultatif dipegang oleh Dewan

Pertimbangan Agung (DPA), badan eksekutif dipegang oleh

Presiden, badan legislatif dipegang oleh lembaga Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR), badan yudikatif dipegang oleh

Mahkamah Agung (MA) dan badan inspektif dipegang oleh Badan

Pemeriksa Keuangan (BPK).

Apalagi dilihat dari subtansi materinya secara keseluruhan, maka

perubahan UUD 1945 ini dapat dikelompokkan ke dalam tiga macam, yaitu :

1. Penghapusan atau pencabutan beberapa ketentuan ;

2. Menambah ketentuan atau lembaga baru ;

3. Modifikasi terhadap ketentuan atau lembaga lama.

2. PROSES DAN MATERI PERUBAHAN KONSTITUSI

Dalam melakukan perubahan terhadap UUD 1945, panitia ad hoc

(PAH) 1 MPR menyusun kesepakatan dasar berkaitan dengan perubahan

UUD 1945, yaitu:

a. Tidak mengubah pembukaan UUD Negara RI tahun 1945

2
b. Tetap mempertahankan Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

c. Mempertegas system pemerintahan

d. Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal normatif akan

dimasukkan ke dalam Pasal-Pasal (Batang Tubuh)

e. Melakukan perubahan dengan cara addendum

Sementara itu, Taufiqurrahman Syahuri sumbernya: (dari buku refrensi

konstitusi dari aspek dri jurnal legislasi Indonesia diterbitkan di Jakarta oleh

dirjen peraturan perundang-undangann :Halaman 157) lembaga negara

menyebutkan Amandemen, secara materil jumlah muatan materi perubahan

lebih besar dari pada naskah aslinya. Yang utama dalam system amandemen

adalah berlakunya konstitusi yang diubah itu tetap di dasarkan pada saat

berlakunya konstitusi asli. karena itu, perubahan redaksi dan atau substansi

atas beberapa pasal atau ketentuan tersebut di jadikan sebagai suatu addendum

atau lampiran dari dalam konstitusi yang diubah bukan merupakan penentuan

bagi system amandemen.

Dengan demikian, cara amandemen yang dilakukan atas perubahan

UUD 1945 memiliki akibat hukum, bahwa keberlakuan UUD 1945 yang

disandarkan pada Dekrit Presiden 5 juli 1959 masih tetap eksis dan

dipertahankan oleh MPR hasil pemilu demokratis tahun 1999, seperti halnya

yang dilakukan sebelumnya oleh MPR hasil pemilu tahun 1999 yang

demokratis, maka dapat dikatakan bahwa

2
hasil amandemen itu merupakan suatu keputusan hukum yang demokratis.

Dengan demikian, amandemen UUD 1945 justru

memperkuat eksistensi keabsahan UUD 1945 atau dikatakan bahwa secara

tidak langsung atau diam–diam MPR telah mengukuhkan keabsahan UUD

1945 atas dasar Dekrit Presiden itu. Apalagi dilihat dari subtansi

materinya secara keseluruhan, maka perubahan UUD 1945 ini dapat

dikelompokkan ke dalam tiga macam, yaitu : (1)Penghapusan atau pencabutan

beberapa ketentuan ;

(2) Menambah ketentuan atau lembaga baru ;

(3) Modifikasi terhadap ketentuan atau lembaga lama.

a. Ketentuan yang di Cabut

Beberapa ketentuan hukum yang di cabut oleh Perubahan UUD

1945 antara lain sebagai berikut :

1. Kekuasaan MPR sebagai lembaga tertinggi Negara dengan

kewenangan meminta pertanggungjawaban Presiden dan penyusunan

Garis–Garis Besar Haluan Negara. Dengan pencabutan kekuasaan ini,

posisi MPR bukan lagi sebagai lembaga tertinggi Negara, tetapi

sebagai lembaga tinggi lainnya seperti Presiden, Mahkamah Agung,

dan DPR ;

2. Kekuasaan Presiden yang menyangkut pembentukan Undang- Undang.

Kekuasaan pembentukan Undang–Undang ini berdasarkan Pasal 20

perubahan pertama UUD 1945, tidak lagi dipegang Presiden

melainkan dipegang oleh Dewan Perwakilan

2
Rakyat. Demikian juga kewenangan Presiden dalam hal pengangkatan

dan penerimaan Duta Besar Negara lain serta pemberian amnesti dan

abolisi. Kewenangan – kewenangan tersebut tidak lagi merupakan hak

prerogratif Presiden namun harus atas pertimbangan DPR.

Yuliandri sumbernya: (dari buku refrensi konstitusi dari aspek

jurnal legislasi Indonesia diterbitkan di Jakarta oleh dirjen peraturan

perundang-undangan. Halaman 83) menyebutkan bahwa akibat dari

pergeseran adalah hilangnya dominasi Presiden dalam proses

pembentukan Undang-Undang. Perubahan pasal 20 ayat

(1) UUD 1945 yang semula menyatakan, tiap Undang-Undang

menghendaki persetujuan DPR, menjadi DPR mempunyai kekuasaan

membentuk Undang-Undang. Pada penambahan pasal 20A ayat (1) bahwa

DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan pengawasan. Hal ini

tidak saja berakibat pada melemahnya fungsi legislasi Presiden, tetapi

memunculkan superioritas fungsi legislasi DPR terhadap DPD.

Sebab ruang untuk dapat mengajukan dan ikut membahas RUU

yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,

pembentukan, pemekaran, dan pengabungan daerah. Pengelolaan sumber

daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan

dengan perimbangan keuangan pusat dan

2
daerah dalam pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 tidak cukup

untuk mengatakan bahwa DPD mempunyai fungsi legislasi.

b. Ketentuan dan lembaga Baru

Ketentuan atau lembaga baru yang diatur dalam perubahan UUD

1945 antara lain:

1. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) diatur dalam Pasal 22C dan Pasal

22D UUD 1945 Perubahan ketiga.

2. Mahkamah konstitusi, diatur dalam Pasal 24C Perubahan ketiga.

3. Komisi yudisial diatur dalam Pasal 24B Perubahan ketiga.

4. Pemilihan umum yang sebelumnya diatur oleh UU sekarang diatur

langsung dalam bab baru (VIIB) UUD 1945 Pasal 22E.

5. Bank sentral yang sebelumnya hanya diatur dalam Undang- Undang,

sekarang diatur dalam Pasal 23D Perubahan ketiga.

c. Ketentuan dan Lembaga yang Dimodifikasi

Ketentuan-ketentuan yang merupakan modifikasi atas ketentuan

atau lembaga lama yang diatur dalam perubahan UUD 1945 antara lain:

1. Reposisi MPR yang merupakan modifikasi dari MPR lama, diatur

dalam Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 Perubahan keempat.

2. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat

yang sebelumnya dipilih oleh MPR, diatur dalam Pasal 6 A perubahan

ketiga.

2
3. Ketentuan hak asasi Manusia sebagai penambahan dari ketentuan dari

hak asasi lama, diatur dalam Pasal 28A sampai dengan pasal 28J

perubahan kedua.

4. Usul perubahan UUD dan pembatasan perubahan Negara Kesatuan

merupakan penambahan tatacara perubahan UUD, diatur dalam ayat

(1) dan ayat (5) pasal 37 perubahan keempat sumbernya:(dari buku

refrensi konstitusi dari aspek jurnal legislasi Indonesia diterbitkan di

Jakarta oleh dirjen peraturan perundang-undangan).

3. Reformasi Konstitusi dan Reformasi Lembaga Negara

a. Pengertian Lembaga Negara

Konsep organ Negara dan lembaga Negara itu sangat luas

maknanya, sehingga tidak dapat dipersempit hanya pada pengertian ketiga

cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan judikatif saja. Pertama, dalam

arti yang paling luas, organ Negara mencakup setiap individu yang

menjalankan fungsi law creating dan law applying. Kedua, yaitu

mencakup individu yang menjalankan fungsi law creating dan law

applying dan juga mempunyai posisi sebagai atau dalam struktur jabatan

kenegaraan atau jabatan pemerintah. Ketiga, organ Negara dalam arti lebih

sempit, yaitu badan atau organisasi yang menjalankan fungsi law creating

dan law applying dalam kerangka struktur dan system kenegaraan atau

pemerintah. Keempat, organ atau lembaga

2
Negara itu hanya terbatas pada pengertian lembaga-lembaga Negara yang

dibentuk berdasarkan UUD, UU, atau oleh peraturan yang lebih rendah.

Kelima lembaga-lembaga seperti MPR ,DPR, MA, MK, dan BPK dapat

pula disebut sebagai lembaga Negara yang tersendiri, yaitu lembaga

Negara dalam arti sempit yang dapat disebut sebagai lembaga tinggi

Negara menurut UUD 1945 ada tujuh institusi yaitu : (1) Presiden dan

Wakil Presiden ; (2) DPR ; (3) DPD ; (4) MPR ; (5) Mahkamah

Konstitusi ; (6) Mahkamah Agung ;

(7) Badan Pemeriksa Keuangan.

Lembaga Negara yang diatur dan dibentuk oleh UUD merupakan

organ konstitusi sedangkan yang dibentuk berdasarkan UU merupakan

organ UU sementara yang hanya dibentuk karena keputusan Presiden

tentunya lebih rendah lagi tingkatan dan derajat perlakuan hukum

terhadap pejabat yang duduk didalamnya. Demikian pula jika lembaga

dimaksud dibentuk dan diberi kekuasaan berdasarkan peraturan daerah,

tentu lebih rendah lagi tingkatannya. (dari buku refrensi konstitusi dari

aspek jurnal legislasi Indonesia diterbitkan di Jakarta oleh dirjen

peraturan perundang-undangan).

b. Urgensi Reformasi Lembaga Negara

Baron de Montesquieu mengidealkan ketiga fungsi kekuasaan

Negara, masing – masing fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif,

dilembagakan masing – masing ke dalam tiga organ

2
Negara. Satu organ hanya boleh menjalankan satu fungsi dan tidak boleh

saling mencampuri urusan masing – masing dalam arti yang mutlak.

Konsepsi yang kemudian disebut Trias Politica tersebut tidak relevan lagi

dewasa ini, mengingat tidak mungkin lagi mempertahankan bahwa ketiga

organisasi tersebut berurusan secara eksklusif dengan salah satu dari

ketiga fungsi kekuasaan tersebut. sumbernya:(dari buku refrensi konstitusi

dari aspek jurnal legislasi Indonesia diterbitkan di Jakarta oleh dirjen

peraturan perundang-undangan).

Kenyataan dewasa ini menunjukkan bahwa hubungan antar cabang

kekuasaan itu tidak mungkin tidak saling bersentuhan, dan bahkan

ketiganya bersifat sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain

sesuai dengan prinsip Checks and balances. Di sisi lain, perkembangan

masyarakat baik secara ekonomi, politik, dan social budaya, serta

pengaruh globalisme dan lokalisme. Menghendaki struktur organisasi

Negara lebih responsive dan efisien dalam melakukan pelayanan publik

dan mencapai tujuan penyelenggaraan pemerintahan. Perkembangan

tersebut berpengaruh terhadap struktur organisasi Negara, termasuk

bentuk-bentuk dan fungsi-fungsi lembaga Negara. kemudian lembaga-

lembaga Negara sebagai bentuk eksperimentasi kelembagaan yang dapat

berupa dewan (council), komisi (commission), komite (committee),

badan (board), atau otorita

2
(authority). sumbernya:(dari buku refrensi konstitusi dari aspek jurnal

legislasi Indonesia diterbitkan di Jakarta oleh dirjen peraturan perundang-

undangan).

Dalam nada yang sedikit berbeda, terkait dengan reformasi

lembaga-lembaga Negara ini, (Burhanuddin Aritonang:Hal:8)

menyebutkan sebagai berikut :

Saya masih ingat semangat yang muncul dari pembentukan lembaga


quasi Negara ini adalah karena lembaga-lembaga Negara (formal)
dianggap tidak mampu menampung aspirasi rakyat. Ketika penegak
hukum tidak mampu memberantas korupsi kita melahirkan KPK.
Ketika siaran terlalu dikendalikan oleh pemerintah, kita membentuk
KPI (Komisi Penyiaran Indonesia). Demikian jiga ketika monopoli
sudah sedemikian merajalela kita bentuk KPPU (Komisi Pengawas
Persaingan Usaha) dan seterusnya. Kita selalu berfikir, tatkala suatu
institusi tidak berfungsi, maka kita membentuk institusi lain. Kita
tidak berfikir untuk menggerakkan institusi yang sudah ada itu agar
dapat berjalan dengan baik.

Pertengahan tahun 2009, penelitian LAN (Lembaga Administrasi

Negara) mengidentifikasi 92 LNS di Indonesia. Masih terdapat perbedaan

pendapat mengenai jumlah tersebut. Hal itu disebabkan belum adanya

kriteria dan definisi yang jelas untuk dijadikan acuan pembentukan LNS.

Yang jelas, sebagian besar lembaga yang diidentifikasi LAN itu terbentuk

pada era reformasi. Hasil evaluasi LAN terhadap LNS dengan

nomenklatur ‘komisi’ dan ‘dewan’ menyimpulkan bahwa masih terdapat

tumpang tindih (overlapping) dalam pelaksanaan tugas LNS, baik antar

sesama LNS maupun dengan lembaga pemerintah. sumbernya:(dari

buku

2
refrensi konstitusi dari aspek jurnal legislasi Indonesia diterbitkan di

Jakarta oleh dirjen peraturan perundang-undangan).

c. Perkembangan dan Macam Lembaga Negara Setelah

Reformasi Konstitusi

Reformasi konstitusi lembaga Negara juga dilakukan oleh bangsa

Indonesia terutama di masa transisi demokrasi setelah runtuhnya

kekuasaan Orde Baru seiring berhentinya Presiden Soeharto pada 21 Mei

1998 yang lalu. Pasca peristiwa itu, dilakukan berbagai agenda reformasi

yang salah satunya adalah perubahan (amandemen) UUD 1945 selama

empat tahun sejak 1999 sampai 2002. Dalam perubahan konstitusi ini

terjadi pembentukan dan pembaharuan lembaga-lembaga Negara. Berbeda

dengan Taufiqurrahman Syahuri, (Jimly Asshiddiqie: halaman 23).

Menyebutkan bahwa jika kita mencermati UUD 1945 pasca perubahan

tersebut, dapat dikatakan terdapat 34 (tiga puluh empat) lembaga Negara.

Dari ke-34 lembaga Negara tersebut, ada 28 (dua puluh delapan) lembaga

yang kewenangannya ditentukan baik secara umum maupun secara rinci

dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ke-28 lembaga

negara inilah yang dapat disebut sebagai lembaga Negara yang memiliki

kewenangan konstitusional atau kewenangannya diberikan secara eksplisit

oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2
Dari segi fungsinya, ke-34 lembaga Negara tersebut ada yang

bersifat utama atau primer, dan ada pula yang bersifat sekunder atau

penunjang (auxiliary). Sedangkan dari segi hirarkinya ke-34 lembaga itu

dapat dibedakan ke dalam tiga lapis. Organ lapis pertama dapat disebut

sebagai lembaga tinggi Negara. Organ lapis kedua disebut sebagai

lembaga Negara saja. Sedangkan organ lapis ketiga merupakan lembaga

daerah. Di antara lembaga-lembaga tersebut ada yang dapat dikategorikan

sebagai organ utama atau primer (primary constitutional organs) dan

adapula yang merupakan organ pendukung atau penunjang (auxiliary state

organs). sumbernya:(dari buku refrensi konstitusi dari aspek jurnal

legislasi Indonesia diterbitkan di Jakarta oleh dirjen peraturan perundang-

undangan).

Berkembangnya demikian banyak lembaga-lembaga yang bersifat

independen tersebut mencerminkan adanya kebutuhan untuk

mendekonsentrasikan kekuasaan dari tangan birokrasi ataupun organ-

organ konvensional pemerintahan tempat kekuasaan selama masa-masa

sebelumnya terkonsentrasi. Sebagai akibat tuntutan perkembangan yang

semakin kompleks dan rumit, organisasi-organisasi kekuasaan yang

birokratis, sentralistis, dan terkonsentrasi tidak lagi dapat diandalkan.

Karena itu, pada waktu yang hampir bersamaan muncul gelombang

deregulasi, debirokratisasi, privatisasi, desentralisasi, dan

3
dekonsentrasi. Salah satu akibatnya, fungsi-fungsi kekuasaan yang

biasanya melekat dalam fungsi-fungsi lembaga-lembaga eksekutif,

legislatif dan bahkan yudikatif dialihkan menjadi fungsi organ tersendiri

yang bersifat independen. Karena itu, kadang-kadang lembaga-lembaga

baru tersebut menjalankan fungsi-fungsi yang bersifat campuran, dan

masing-masing bersifat independen.

Lembaga-lembaga independen itu sebagian lebih dekat ke fungsi

legislatif dan regulatif, sebagian lagi lebih dekat ke fungsi administratif-

eksekutif, dan bahkan ada juga yang lebih dekat kepada cabang kekuasaan

yudikatif. Misalnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS

HAM) fungsinya lebih dekat ke fungsi perjuangan aspirasi seperti DPR

tetapi sekaligus dekat dengan fungsi pengadilan. Badan Pemeriksa

Keuangan (BPK) jelas hubungannya sangat dekat dengan fungsi

pengawasan oleh DPR. Meskipun demikian, substansi tugas BPK itu.

Komisi Yudisial jelas lebih dekat ke cabang kekuasaan kehakiman. Di

samping itu, adapula organ Kejaksaan Agung, KPK, KOMNAS HAM,

dan sebagainya. ketiga lembaga terakhir ini belum diatur dalam UUD

1945, melainkan hanya diatur dalam Undang-Undang. Namun, pengaturan

mengenai hal ini terkait erat dengan delegasi pengaturan yang ditentukan

oleh Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan : Badan-badan lain

yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam

Undang-Undang. Karena itu,

3
ketiga lembaga Negara tersebut dapat dikatakan memiliki constitutional

importance yang setara dengan lembaga lain yang secara eksplisit diatur

dalam UUD 1945 seperti TNI, Kepolisian, dan Komisi Yudisial.

sumbernya:(dari buku refrensi konstitusi dari aspek jurnal legislasi

Indonesia diterbitkan di Jakarta oleh dirjen peraturan perundang-

undangan).

Demikian pula dengan lembaga-lembaga seperti KPI (Komisi

Penyiaran Indonesia), KPU (Komisi Pemilihan Umum), PPATK (Pusat

Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan), KPPU (Komisi Pengawas

Persaingan Usaha) dan lain sebagainya yang dibentuk berdasarkan

ketentuan Undang-Undang. Pada umumnya lembaga-lembaga ini bersifat

independen dan mempunyai fungsi campuran antara sifat legislatif,

eksekutif, atau sekaligus yudikatif. Selanjutnya, lembaga-lembaga dan

komisi-komisi independen Negara dapat dikelompokkan.sebagai berikut

1. Lembaga Tinggi Negara yang sederajat dan bersifat independen, yaitu

1) Presiden dan Wakil Presiden;

2) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);

a. Dewan Perwakilan Daerah (DPD);

b. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);

c. Mahkamah Konstitusi (MK);

d. Mahkamah Agung (MA);

3
e. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

2. Lembaga Negara dan Komisi-Komisi Negara yang bersifat

independen, berdasarkan konstitusi atau yang memiliki constitutional

importance seperti :

1) Komisi Yudisial;

2) Bank Indonesia (BI) sebagai Bank Sentral;

3) Tentara Nasional Indonesia (TNI);

4) Kepolisian Negara RI (POLRI);

5) Komisi Pemilihan Umum (KPU);

6) Kejaksaan Agung;

7) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK);

8) Komnas HAM.

3. Lembaga-lembaga Independen lain yang dibentuk berdasarkan

Undang-Undang seperti :

1) Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK);

2) Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU);

3) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

4. Lembaga-lembaga dan Komisi-Komisi di lingkungan Eksekutif

(pemerintah) lainnya, seperti Lembaga, Badan Pusat, Komisi, atau

Dewan yang bersifat khusus di dalam lingkungan pemerintahan,

seperti :

1) Konsil Kedokteran Indonesia (KKI);

2) Komisi Pendidikan Nasional;

3
3) Dewan Pertahanan Nasional;

4) Lembaga Pertahanan Nasional;

5) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI);

6) Bada Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT);

7) Badan Kepegawaian Negara (BKN);

8) Lembaga Administrasi Negara (LAN);

9) Lembaga Informasi Nasional (LIN).

5. Lembaga-lembaga dan Komisi-Komisi di lingkungan eksekutif

(pemerintah) lainnya, seperti :

1) Menteri dan Kementerian Negara;

2) Dewan Pertimbangan Presiden;

3) Komisi Hukum Nasional;

4) Komisi Ombudsman Nasional;

5) Komisi Kepolisian;

6) Komisi Kejaksaan.

6. Lembaga, Korporasi, dan Badan Hukum Milik Negara (BHMN) atau

Badan Hukum yang dibentuk untuk kepentingan Negara atau

kepentingan umum lainnya seperti :

1) Lembaga Kantor Berita Nasional ANTARA;

2) Kamar Dagang dan Industri (KADIN);

3) Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI);

4) BHMN Perguruan Tinggi;

5) BHMN Rumah Sakit;

3
6) Korps Pegawai Negeri Republik Indonesia (KORPRI);

7) Ikatan Notaris Indonesia (INI);

8) Persatuan Advokat Indonesia (PERADI). sumbernya:(dari buku

refrensi konstitusi dari aspek jurnal legislasi Indonesia diterbitkan

di Jakarta oleh dirjen peraturan perundang- undangan)

B. Pembahasan Analisis Pertama

1. Urgensi Perubahan

Agenda paling mendasar dalam proses transisi menuju demokrasi adalah

reformasi konstitusi sebagai syarat utama dari sebuah negara demokrasi

konstitusional. Sebab, transformasi kearah pembentukan sistem demokrasi

hanya dimungkinkan bila didahului oleh perubahan fundamental dalam

aturan konstitusi yang memberikan dasar bagi berbagai agenda demokrasi

lainnya.

Reformasi politik dan ekonomi yang bersifat menyeluruh tidak mungkin

dilakukan tanpa diiringi oleh reformasi hukum. Namun reformasi hukum

yang menyeluruh juga tidak mungkin dilakukan tanpa didasari oleh agenda

reformasi ketatanegaraan yang mendasar, dan itu berarti diperlukan adanya

constitutional reform yang tidak setengah hati.

Perubahan konstitusi dipengaruhi oleh seberapa besar badan yang

diberikan otoritas melakukan perubahan memahami tuntutan perubahan dan

seberapa jauh kemauan anggota badan itu melakukan

3
perubahan. Perubahan konstitusi tidak hanya bergantung pada norma

perubahan, tetapi lebih ditentukan oleh kelompok elit politik yang memegang

suara mayoritas di lembaga yang mempunyai kewenangan melakukan

perubahan harus berhasil membaca arah perubahan yang dikehendaki oleh

masyarakat yang diatur secara kenegaraan.

Era reformasi memberikan harapan besar bagi terjadinya perubahan

menuju penyelenggaraan negara yang lebihdemokratis, transparan, dan

memiliki akuntabilitas tinggi serta terwujudnya good govermance dan

adanya kebebasan berpendapat. Semuanya itu diharapkan semakin

mendekatkan bangsa pada pencapaian tujuan nasional sebagaimana

terdapat dalam UUD 1945 Negara Republik Indaonesia tahun 1945.

Pada awal era reformasi, muncul berbagai tuntutan reformasi yang

didesakkan oleh berbagai komponen bangsa, termasuk mahasiswa dan

pemuda. Tuntutan perubahan UUD 1945 yang digulirkan oleh berbagai

kalangan masyarakat dan kekuasaan social politik didasarkan pada

pandangan bahwa UUD 1945 belum cukup memuat landasan bagi

kehidupan yang demokratis, pemberdayaan rakyat, dan penghormatan

HAM.

Tujuan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia tahun 1945:

3
1. Menyempurnakan aturan dasar mengenai tatanan negara

mencapai tujuan nasional yang tertuang dalam pembukaan UUD

1945 dan memperkokoh negara kesatuan republik Indonesia

yang berdasarkan pancasila.

2. Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan pelaksanaan

kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai

dengan perkembangan paham demokrasi.

3. Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan

perlindungan hak asasi manusia agar sesuai dengan

perkembangan paham hak asasi manusia dan peradaban umat

manusia yang sekaligus merupakan syarat bagi suatu negara

hukum dicita-citakan oleh UUD 1945.

4. Menyempurnakan aturan dasar penyelenggaraan negara secara

demokratis dan modern, antara lain melalui pembagian

kekuasaan yang lebih tegas, system saling mengawasi dan saling

mengimbangi (check and balances) yang lebih ketat dan

transparan, serta pembentukan lembaga-lembag negara yang

baru untuk mengakomodasi perkembangan kebutuhan bangsa

dan tantangan zaman.

2. Metode Perubahan

Pembaruan UUD dimana pun di dunia ini terutama tidak ditentukan tata

cara resmi (formal) yang harus dilalui. UUD yang tidak selalu

3
menentukan sendiri prosedur perubahan atas dirinya sendiri.perubahan yang

dilakukan diluar prosedur yang ditentukan itu bukanlah perubahan yang

dapat dibenarkan secara hukum (verfassung anderung).

Dalam rapat panitia ad hoc III (PAH) badan pekerja MPR masa siding

1999 sebelum sampai pada kesepakatan mengenai materi rancangan

perubahan UUD 1945, terlebih dahulu menyapakati dua hal: kesepakatan

untuk langsung melakukan perubahan tanpa menetapkan UUD 1945 terlebih

dahulu, dan kesepakatan dasar antarfraksi MPR dalam melakukan perubahan

UUD. Ditengah proses pembahasan perubahan UUD 1945, PAH I menyusun

kesepakatan dasar berkaitan dengan perubahan UUD 1945. kesepakatan itu

terdiri dari lima butir:

1. Tidak mengubah pembukaan UUD 1945

2. Tetap mempertahankan negara kesatuan republik Indonesia.

3. Mempertegas system pemerintahan presidensial.

4. Penjelasan UUD 1945 ditiadakan serta hal-hal normative dalam

penjelasan dimaksukkanke dalam pasal-pasal;

5. Perubahan dilakukan dengan cara addendum.

Perubahan UUD 1945 memuat dasr filosofis dan dasar normatif yang

mendasari seluruh pasal dalam UUD 1945. pembukaan UUD 1945

mengandung staatsidee berdirinya negara kesatuan Republik Indonesia

(NKRI), serta dasar negara yang harus dipertahankan.

3
Kesepakatan untuk tetap mempertahankan bentuk negara Indonesia yakni

negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) didasari pertimbangan bahwa

negara kesatuan adalah bentuk negara ini ditetapkan sejak awal berdirinya

negara dan yang dipandang paling tepat untuk mewadahi ide persatuan

sebuah bangsa yang majemuk ditinjau dari berbagai latar belakang.

Kesepakatan dasar untuk mempertegas system pemerintahan presidensial

bertujuan untuk memperkukuh system pemerintahan yang stabil dan

demokratis yang dianut oleh Negara Republik Indonesia dan telah dipilih

oleh pendiri negara pada tahun 1945. kesepakatan perubahan UUD 1945

dilakukan dengan cara addendum yakni perubahan UUD 1945 dilakukan

dengan tetap mempertahankan naskah asli UUD 1945 sebagaimana terdapat

dalam lembaran negara No. 75 tahun 1959 hasil dekrit Presiden 5 juli 1959

dan naskah perubahan-perubahan UUD 1945 diletakkan melekat pada naskah

asli.

Amandemen sebagai bentuk hukum perubahan UUD mempunyai

kedudukan sederajat dan merupakan bagian tak terpisahkan dari UUD.

Kebaikan bentuk hukum amandemen atau perubahan ada kesinambungan

histories dengan UUD asli (sebelum perubahan).

Amandemen atau perubahan merupakan suatu bentuk hukum, bukan sekedar

prosedur. Inilah praktik perubahan UUD 1945 yang disebut

3
perubahan pertama. Tidak perlu semua anggota MPR

menandatangani naskah perubahan.

4
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA DAN ANALISIS PERMASALAHAN KEDUA

A. TINJAUAN PUSTAKA

Agenda paling mendasar dalam proses transisi menuju demokrasi

adalah reformasi konstitusi sebagai syarat utama dari sebuah negara demokrasi

konstitusional. Sebab, transformasi kea rah pembentukan system demokrasi

hanya dimungkinkan bila didahului oleh perubahan fundamental dalam aturan

konstitusi yang memberikan dasar bagi berbagai agenda demokrasi lainnya.

1. Kedudukan dan Fungsi Lembaga-lembaga Negara dan UUD 1945

sebelum amandemen:

a. Majelis Permusyawaratan Rakyat

Dalam pasal 2 ayat (1) UUD 1945 amandemen keempat disebutkan

bahwa : “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan

Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang

dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan

Undang-Undang”.

b. Dewan Perwakilan Rakyat

Adalah perwakilan rakyat yang para anggotanya dipilih melalui

pemilihan umum. Susunan DPR diatur dengan Undang-Undang.

Berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 amandemen

pertama, DPR memegang kekuasaan untuk

4
membentuk Undang-Undang. Sebelum amandemen UUD1945

ditetapkan bahwa DPR dapat:

1) Memberi Persetujuan Undang-Undang

2) Berhak Mengajukan Rancangan Undang-Undang

3) Berhak Memberi Persetujuan Perpu

Dewan perwakilan rakyat bersidang setidaknya sekali dalam setahun

pasal 19 ayat (2).

c. Badan Pemeriksaan Keuangan

Sebelum amandemen badan ini diatur dalam pasal 23 ayat (5)

UUD1945 yang menyatakan untuk memeriksa tanggung jawab tentang

keuangan Negara diadakan suatu Badan Pemeriksaan Keuangan yang

peraturannya ditetapkan dengan Undang-

Undang. Hasil pemeriksaan itu diberitahukan kepada Dewan

d.. Presiden dan Wakil Presiden

Presiden RI adalah pemegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-

Undang Dasar (Pasal 4 ayat (1) UUD 1945). Wakil Presiden RI adalah

pembantu Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan (Pasal 4

ayat (2) UUD 1945). Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu

pasangan secara langsung oleh rakyat (Pasal 6 A ayat (1) UUD 1945

amandemen ketiga) serta memegang jabatan selama lima tahun dan

sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk

satu kali masa jabatan (pasal 7 UUD 1945 amandemen pertama).

4
e.Dewan Pertimbangan Agung

Menurut UUD 1945 sebelum amandemen ditetapkan dalam pasal 16

ayat (1) susunan Dewan Pertimbangan Agung ditetapkan dengan

Undang-Undang. Pasal 16 ayat (2) dewan ini berkewajiban memberi

jawab atas pertanyaan Presiden dan berhak memajukan kepada

pemerintah.

f. Mahkamah Agung

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara hukum yang

menjamin kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menjalankan

peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Undang-

Undang Dasar republic Indonesia 1945.

Pasal 24 ayat (1) kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah

Mahkamah Agung (MA) dan lain-lain badan Kehakiman menurut

Undang-Undang.

2. Kedudukan dan Fungsi Lembaga-lembaga dan UUD 1945 Setelah

Amandemen:

a. Majelis Permusyawaratan Rakyat

Dalam pasal 2 ayat (1) UUD 1945 amandemen keempat disebutkan

bahwa : “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan

Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang

dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan

Undang-Undang”.

4
b. Dewan Perwakilan Rakyat

Adalah perwakilan rakyat yang para anggotanya dipilih melalui

pemilihan umum. Susunan DPR diatur dengan Undang-Undang.

Berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 amandemen

pertama, DPR memegang kekuasaan untuk membentuk Undang-

Undang.

c. Dewan Perwakilan Daerah

Adanya perwakilan daerah provinsi yang dipilih secara perorangan

melalui pemilihan umum, yang jumlahnya sama setiap provinsi dan

tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR (Pasal 22 C ayat (1) dan

(2) UUD 1945 amandemen ketiga

d. Presiden dan Wakil Presiden

Presiden RI adalah pemegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-

Undang Dasar (Pasal 4 ayat (1) UUD 1945). Wakil Presiden RI adalah

pembantu Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan (Pasal 4

ayat (2) UUD 1945). Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu

pasangan secara langsung oleh rakyat (Pasal 6 A ayat (1) UUD 1945

amandemen ketiga) serta memegang jabatan selama lima tahun dan

sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk

satu kali masa jabatan (pasal 7 UUD 1945 amandemen pertama).

4
e. Badan Pemeriksa Keuangan

Adalah badan yang bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung

jawab tentang keuangan Negara yang bebas dan mandiri (Pasal 23 E

ayat (1) UUD 1945 amandemen ketiga)

f. Mahkamah Agung

Adalah pemegang kekuasaan kehakiman yang berwenang mengadili

pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang- undangan di bawah

Undang-Undang terhadap Undang-Undang dan mempunyai wewenang

lainnya yang diberikan oleh Undang-undang (pasal 24 ayat (1) UUD

1945 amandemen ketiga)

g. Komisi Yudisial

Adalah sebuah lembaga yang bersifat mandiri yang berwenang

mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang

lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran

martabat, serta perilaku hakim (pasal 24 B ayat (1) UUD 1945

amandemen ketiga).

h. Mahkamah Konstitusi

Adalah sebuah lembaga yang berwenang mengadili pada tingkat

pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji

undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa

kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh

Undang-Undang Dasar,

4
memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang

hasil pemilihan umum (pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 amandemen

ketiga).

3. LEMBAGA LEGISLATIF

Menurut Ensiklopedia Nasional (1990 : 344) Indonesia badan

legislatif adalah suatu badan yang memiliki hak inisiatif untuk membuat

undang-undang. Istilah ini berasal dari bahasa latin, latum yang artinya

yang membuat atau mengeluarkan, dan leges yang artinya Undang-

Undang. Istilah legislatif pertama kali dikenal dari perkataan Assemble

Legislative, yaitu sidang badan perundang-undangan Perancis (1791).

Dengan adanya badan ini, raja hanya memiliki kekuasaan untuk

menjalankan Undang-Undang dan tidak lagi berhak membatalkan

Undang-Undang yang diputuskan oleh badan legislatif. Kekuasaan

legislatif ialah salah satu kekuasaan klasik negara yang bersama-sama

dengan kekuasaan eksekutif dan yudikatif disebut Trias Politica (John

Locke, Montesquieu). Pelaksanaan asas Trias Politica di berbagai negara

memang bervariasi.

Badan legislatif (dalam Miriam Budihardjo, 1982 : 184)

menggunakan fungsi kontrolnya melalui hak-hak kontrol yang khusus,

yakni :

4
1. Hak Parlementer.

Anggota badan legislatif berhak untuk mengajukan pertanyaan kepada

pemerintah mengenai sesuatu hal. Di Inggris dan India terdapat

“question our” (jam bertanya), dimana pertanyaan diajukan secara

lisan dalam siding umum dan menteri yang bersangkutan atau kadang-

kadang Perdana Menteri sendiri menjawab secara lisan. Oleh karena

segala kegiatan banyak menarik perhatian media massa, maka badan

legislatif melalui diajukannya suatu pertanyaan parlementer dapat

menarik perhatian umum terhadap suatu kejadian atau keadaan yang

dianggap kurang wajar. Di Indonesia semua badan legislatif kecuali

Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong dalam masa demokrasi

terpimpin, mempunyai hak bertanya. Pertanyaan ini biasanya diajukan

secara tertulis dan dijawab pula secara tertulis oleh Departemen yang

bersangkutan. Di Indonesia pertanyaan parlemen hanya sedikit efek

politiknya.

2. Hak Interpelasi

Hak interpelasi yaitu hak untuk meminta keterangan kepada

pemerintah mengenai kebijaksanaanya di suatu bidang. Badan

eksekutif wajib memberi penjelasan dalam sidang pleno. Penjelasan

mana dibahas oleh anggota-anggota dan diakhiri dengan pemungutan

suara, apakah keterangan pemerintah memuaskan atau tidak. Jika

hasil pemungutan suara bersifat

4
negatif, maka hal ini merupakan tanda peringatan bagi pemerintah

bahwa kebijaksanaannya diragukan. Dalam suasana perselisihan

antara badan legislatif dan badan eksekutif, interpelasi dapat diajukan

sebagai batu loncatan diajukannya tidak di . Di Indonesia semua badan

legislatif, kecuali Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong dalam

masa Demokrasi Terpimpin, mempunyai hak interpelasi.

3. Hak Angket (Enquete)

Hak angket adalah hak anggota badan legislatif untuk mengadakan

penyelidikan sendiri. Untuk keperluan ini dapat dibentuk suatu panitia

angket yang melaporkan hasil penyelidikannya kepada anggota badan

legislatif lainnya, yang selanjutnya merumuskan pendapatnya

menegenai soal ini, dengan harapan agar diperhatikan pemerintah. Di

Indonesia semua badan legislatif, kecuali Dewan Perwakilan Rakyat

Gotong Royong dalam masa Demokrasi Terpimpin, mempunyai hak

angket.

4. Mosi

Umumnya dianggap bahwa hak mosi merupakan hak kontrol yang

paling ampuh. Jikalau badan legislatif menerima suatu mosi tidak

percaya, maka dalam system parlementer, kabinet harus

mengundurkan diri dan terjadi suatu krisis kabinet. Di Indonesia pada

masa system parlementer, badan legislatif

4
mempunyai hak mosi, tetapi mulai tahun 1959, hak ini ditiadakan.

Dalam system pemerintahan parlementer dilakukan pengawasan

terhadap eksekutif oleh legislatif, jadi kekuasaan parlemen yang besar

dimaksudkan untuk memberikan kesejahteraan pada rakyat, maka

pengawasan atas jalannya pemerintahan dilakukan wakil rakyat yang

duduk dalam parlemen.

Dengan begitu Dewan Menteri (kabinet) bersama Perdana Menteri

(PM) bertanggung jawab kepada parlemen (legislatif). Sebagai contoh

dalam system ini adalah Kerajaan Inggris, karena Raja atau Ratu hanya

sebagai kepala negara saja sedangkan yang menyelenggarakan

pemerintahan adalah Perdana Menteri bersama kabinetnya. Keadaan

dimana lembaga eksekutif bertanggungjawab kepada lembaga legislatif

seperti ini dapat membuat lembaga eksekutif tersebut dijatuhkan oleh

lembaga legislatif melalui mosi tidak percaya. Tetapi karena Perdana

Menteri Inggris kuat kedudukannya dalam arti memimpin partai yang

dominan, maka sulit dijatuhkan oleh Parlemen. Andai kata posisi dominan

tidak dimiliki, maka akan terjadi jatuhnya Perdana Menteri dalam waktu

yang relatif singkat. Sebenarnya dalam sistem ini apabila Perdana Menteri

memiliki posisi dominan, dapat saja ia bersama kabinetnya menggeser

kedudukan Raja atau Ratu yang selama ini hanya memimpin secara

seremonial.

4
Beberapa ciri dari system pemerintahan parlementer yaitu :

1. Raja / ratu atau Presiden adalah sebagai Kepala Negara.

Kepala Negara tidak bertanggungjawab atas segala kebijaksanaan yang

diambil oleh kabinet.

2. Eksekutif bertanggungjawab kepada legislatif. Dan yang disebut

eksekutif di sini adalah kebinet. Kabinet harus meletakkan atau

mengembalikan mandatnya kepada Kepala Negara, manakala

parlemen mengeluarkan pernyataan mosi tidak percaya kepada menteri

tertentu atau seluruh menteri.

3. Dalam sistem dua partai, yang ditunjuk sebagai pembentuk kabinet

dan sekaligus sebagai Perdana Menteri adalah ketua partai politik yang

memenangkan pemilihan umum. Sedangkan partai politik yang kalah

akan berlaku sebagai pihak oposisi.

4. Dalam system banyak partai, formatur kabinet harus membentuk

kabinet secara koalisi, karena kabinet harus mendapatkan dukungan

kepercayaan dari parlemen.

5. Apabila terjadi perselisihan antara kabinet dengan parlemen, dan

kepala negara beranggapan kabinet berada dalam pihak yang benar,

maka Kepala Negara akan membubarkan parlemen. Dan adalah

menjadi tanggungjawab kabinet untuk melaksanakan pemilihan umum

dalam tempo 30 hari setelah pembubaran itu. Sebagai akibatnya,

apabila partai politik yang menguasai parlemen menang dalam

pemilihan umum tersebut,

5
maka kabinet akan terus memerintah. Sebaliknya apabila partai oposisi

yang memenangkan pemilu, maka dengan sendirinya kabinet

mengembalikan mandatnya dan partai politik yang menang akan

membentuk kabinet baru.

4. Strong Versus Soft Becameralism

Semula, system bicameral yang disarankan oleh banyak kalangan para

ahli supaya dikembangkan adalah system bicameral yang kuat (strong

bicameralism) dalam arti kedua kamar dilengkapi dengan kewenangan yang

sama–sama kuat dan saling mengimbangi satu sama lain. Untuk itu, masing–

masing kamar diusulkan dilengkapi dengan hak veto. Usulan semacam ini

berkaitan erat dengan sifat kebijakan otonomi daerah yang cenderung sangat

luas dan hampir mendekati pengertian system federal. Hal itu dianggap sesuai

dengan kecenderungan umum di dunia, dimana Negara–Negara federal yang

memiliki parlemen dua kamar selalu mengembangkan tradisi ‘strong

bicameralism’, sedangkan dilingkungan Negara–Negara kesatuan

bicameralisme yang dipraktekkan adalah ‘soft bicameralism’. Kebijakan

otonomi daerah di Indonesia di masa depan dinilai oleh sebagian besar

ilmuwan politik dan hukum cenderung bersifat federalistik dank arena itu

lebih tepat mengembangkan struktur parlemen yang bersifat ‘strong

bicameralism’.

Namun demikian, perubahan ketiga UUD 1945 hasil Sidang Tahunan

Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 2001 justru

5
mengadopsikan gagasan parlemen ‘bicameral’ yang bersifat ‘soft’. Kedua

kamar dewan perwakilan tersebut tidak dilengkapi dengan kewenangan yang

sama kuat. Yang lebih kuat tetap Dewan Perwakilan Rakyat, sedangkan

kewenangan Dewan Perwakilan Daerah hanya bersifat tambahan dan terbatas

pada hal – hal yang berkaitan langsung dengan kepentingan daerah. Dalam

pasal 22D ayat (1), (2) dan (3), dinyatakan :

(1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada DPR rancangan

Undang–Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat

dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,

pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta

berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

(2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan Undang– Undang

yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,

pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber

daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta memberikan

pertimbangan kepada DPR atas Rancangan Undang–Undang yang

berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.

(3) Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan

Undang–Undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran

dan penggabungan daerah, hubungan

5
pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya

ekonomi lainnya, pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,

pajak, pendidikan dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya

itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk di tindaklanjuti.

Dengan ketentuan demikian, jelaslah bahwa kewenangan Dewan

Perwakilan Daerah terbatas. Dalam kaitannya dengan fungsi legislatif,

misalnya pada pokoknya Dewan Perwakilan Daerah hanya memberikan

pertimbangan terhadap Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pemegang

kekuasaan legislatif yang sesungguhnya. Lagi pula seperti ditentukan dalam

Pasal 22C ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945, jumlah anggota Dewan

Perwakilan Daerah hanya sepertiga jumlah anggota Dewan Perwakilan

Rakyat. Karena itu, secara akademis, struktur parlemen Indonesia

berdasarkan hasil perubahan ketiga UUD 1945 tersebut bersifat ‘soft

bicameralism’ atau bikameralisme yang sederhana.

5. DPR dan DPD serta Rekruitmen Keanggotaanya

Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam Bab VII Pasal 19, Pasal 20,

Pasal 21, Pasal 22 UUD 1945. pasal 19 ayat (1) menentukan bahwa susunan

Dewan Perwakilan Rakyat ditetapkan dengan Undang–Undang. Dalam ayat

(2) dinyatakan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat bersidang sedikitnya sekali

dalam setahun. Berdasarkan Perubahan Kedua UUD 1945, ketentuan Pasal

19 yang

5
berisi dua ayat tersebut diubah menjadi terdiri atas tiga ayat, yaitu : “(1)

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum. (2)

Susunan Dewan Perwakilan Rakyat diatur dengan Undang–Undang.

(3) Dewan Perwakilan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam setahun”.

Selanjutnya, Pasal 20 yang aslinya terdiri dari dua ayat, menentukan

bahwa tiap–tiap Undang–Undang menghendaki persetujuan Dewan

Perwakilan Rakyat (ayat 1) Jika sesuatu rancangan Undang–Undang tidak

mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, maka rancangan tadi tidak

boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu

(ayat 2). Berdasarkan Perubahan Pertama UUD 1945, Pasal 20 itu diubah

menjadi terdiri atas 4 ayat, dan berdasarkan Perubahan kedua ditambah lagi

dengan ayat (5) sehingga seluruhnya menjadi 5 ayat. Rumusan kelima ayat

Pasal 20 UUD 1945 tersebut selengkapnya berbunyi sebagai berikut :

(1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang–

Undang

(2) Setiap Rancangan Undang–Undang dibahas oleh Dewan Perwakilan

Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan mereka.

5
(3) Jika Rancangan Undang–Undang itu tidak mendapat persetujuan bersama,

Rancangan Undang–Undang itu tidak boleh dimajukan lagi dalam

persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu

(4) Presiden mengesahkan Rancangan Undang–Undang yang telah di setujui

bersama untuk menjadi Undang – Undang

(5) Dalam Rancangan Undang–Undang yang telah disetujui bersama tersebut

tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak

Rancangan Undang–Undang tersebut disetujui, Rancangan Undang–

Undang tersebut sah menjadi Undang– Undang dan wajib diundangkan.

Selain itu, dalam Perubahan Kedua UUD 1945, ditambah lagi

ketentuan Pasal 20A yang berisi 4 ayat sebagai berikut :

(1) Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan

fungsi pengawasan

(2) Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal–pasal

lain Undang–Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai

hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat

(3) Selain hak yang diatur dalam pasal–pasal Undang–Undang Dasar ini,

setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan

pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak umunitas.

5
(4) Ketentuan lebih lanjut tentang tatacara pembentukan Undang– Undang

diatur dengan Undang–Undang.

Para anggota Dewan Perwakilan Rakyat, menurut ketentuan Pasal 21

ayat (1), berhak memajukan Rancangan Undang–Undang ketentuan ayat (1)

ini, dalam perubahan pertama UUD, diperbaiki rumusannya menjadi : “

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul Rancangan

Undang–Undang”. Ayat (2) Pasal ini lebih lanjut menyatakan, “Jika

Rancangan Undang – Undang itu, meskipun disetujui oleh Dewan Perwakilan

Rakyat, tidak disahkan oleh Presiden, maka rancangan itu tidak boleh

dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu”.

Selanjutnya Pasal 22B hasil Perubahan Kedua, menentukan : “Anggota

Dewan Perwakilan Rakyat dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat–

syarat dan tatacaranya diatur dalam Undang–Undang”.

Jika kamar ada dua, tentulah rumahnya tetap ada satu. Untuk itu,

Majelis Permusyawaratan Rakyat sendiri tetap masih dapat dipertahankan

namanya, yaitu untuk menyebut nama rumah parlemen yang terdiri atas dua

kamar itu. Tetapi kedudukannya tidak lagi sebagai lembaga tertinngi Negara

seperti selama ini. Fungsi kekuasaan yang dikaitkan dengan Majelis yang

terdiri atas dua kamar itu adalah kekuasaan legislatif. Perbedaan kedua kamar

parlemen Indonesia yang disebut Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan

Perwakilan Daerah itu dapat ditentukan oleh dua factor, yaitu (a)

5
Sistem rekruitmen keanggotaannya, dan (b) Pembagian kewenangan di

antara keduanya dalam menjalankan tugas–tugas parlemen. Tujuan

dibentuknya parlemen bicameral itu memang biasanya dihubungkan dengan

bentuk Negara federal yang memerlukan dua kamar untuk maksud melindungi

formula federasi itu sendiri. Tetapi, dalam perkembangannya bersamaan

dengan terjadinya kecenderungan tuntutan kea rah desentralisasi kekuasaan

dalam bentuk Negara kesatuan, system bicameral juga dipraktekkan di banyak

nefara kesatuan. Dalam system pemerintahan parlementer, ada dua alasan

utama yang sering digunakan untuk menerapkan system bicameral ini, yaitu:

(a) adanya kebutuhan untuk menjamin keseimbangan yang lebih stabil antara

pihak eksekutif dan legislatif, dan (b) keinginan untuk membuat system

pemerintahan benar-benar berjalan lebih efisien dan setidaknya lebih lancar.

Alasan yang kedua itulah yang biasa disebut oleh para ahli system ‘

double check’ yang memungkinkan setiap produk legislatif diperiksa dua kali,

sehingga terjamin kualitasnya sesuai dengan aspirasi rakyat. Akan tetapi,

syaratnya jelas bahwa keanggotaan kedua kamar parlemen itu benar-benar

yang mewakili aspirasi yang berbeda satu sama lain, sehingga keduanya

benar-benar mencerminkan gabungan kepentingan seluruh rakyat. Karena itu,

pertama-tama perlu ditentukan mengenai system rekruitmen keanggotaan DPR

danDPD yang akan dituangkan dalam UUD itu mestilah dibedakan satu

sama

5
lain, bukan saja prosedurnya, tetapi juga hakikat aspirasi rakyat yang akan

disalurkan melalui system perwakilan di kedua kamar itu juga harus berbeda.

Siapa yang diwakili oleh DPR dan siapa yang diwakili oleh DPD?

Keduanya tentu haruslah sama-sama mewakili rakyat yang dipilih secara

demokratis. Akan tetapi, sesuai dengan namanya, Dewan perwakilan daerah

akan mewakili rakyat dalam konteks kedaerahan dan dengan orientasi

kepentingan daerah. Sedang Dewan perwakilan rakyat mewakili rakyat pada

umumnya dengan orientasi kepentingan nasional. Untuk menjamin hal ini,

maka prosedur pemilihan untuk anggota DPR haruslah berbeda dari prosedur

untuk pemilihan anggota DPD. Sebaiknya, anggota Dewan perwakilan daerah

dipilih langsung oleh rakyat melalui system distrik murni, yaitu dengan cara

memilih tokoh yang dikenal di daerah yang bersangkutan berdasarkan

perhitungan. Sedangkan anggota Dewan perwakilan rakyat dipilih langsung

oleh rakyat melalui system proposional yang memang berguna dalam

memperkuat kelembagaan partai politik yang bersifat nasional.

6. Fungsi DPR dan DPD

a. Fungsi Pengawasan DPR dan DPD

Mengenai perbedaan kewenangan antara DPR dan DPD di tingkat

pusat, dapat digunakan ditentukan dengan memerinci tugas-tugas

parlemen di bidang legislasi, pengawasan dan fungsi

5
anggaran. Secara akademis, sebenarnya fungsi anggaran itu dapat pula

dimasukkan ke dalam UU ataupun termasuk dalam pengertian fungsi

pengawasan sejauh menyangkut fungsinya sebagai alat atau instrumen

pegawasan terhadap kinerja pemerintah. Akan tetapi, karena pengaturan

Perundang-undangan kita yang resmi, ketiga fungsi itu dibedakan satu

sama lain, kita dapat memerinci ketiganya satu per satu untuk mengatur

perbedaan tugas dan kewenangan DPR dan DPD.

Tugas–tugas dan kegiatan diatas memang jarang dibicarakan secara

luas. Sebab, biasanya pengertian tugas, fungsi, dan hak parlemen selalu

dirumuskan disekitar kegiatan legislasi, pengawasan dan anggaran saja.

Padahal, jika dirinci kegiatan– kegiatan diatas justru sangat penting untuk

dirinci, dan termasuk dalam pengertian tugas parlemen yang sebenarnya.

Sebaiknya dibedakan antara pengertian fungsi, tugas dan hak parlemen.

Disamping itu, ada pula hak setiap anggota parlemen sebagai individu

yang juga harus dibedakan dari hak parlemen sebagai kelembagaan.

Untuk melaksanakan tugas dan kegiatannya itu, parlemen biasanya

dilengkapi dengan hak–hak sebagai berikut :

1. Hak interpelasi dan pertanyaan.

2. Hak penyelidikan terhadap kasus–kasus dugaan pelanggaran oleh

pemerintah.

5
3. Hak resolusi atau pernyataan pendapat.

4. Hak mengingatkan atau memorandum.

Untuk menjamin pelaksanaan tugas dan hak–hak lembaga parlemen

itu, maka setiap anggota parlemen biasanya diberikan oleh Undang–

Undang hak–hak sebagai berikut :

1. Hak bertanya;

2. Hak mengusulkan untuk dilaksanakannya hak–hak lembaga

parlemen;

3. Hak protocol;

4. Hak kekebalan (imunitas).

Dengan perincian demikian, dapat mudah didiskusikan mengenai

upaya membedakan tugas–tugas DPR dan DPD. Meskipun fungsi DPR

dan DPD sama–sama dapat dikatakan mencakup fungsi pengawasan,

Legislasi dan anggaran, tetapi rincian tugas dan kegiatan seperti tersebut

dapat memudahkan kita kedalam membagikannya menjadi tugas utama

DPR dan DPD. Sebaiknya, DPR maupun DPD dan para anggota

mempunyai fungsi, tugas dan hak yang sama. Tetapi khusus untuk tugas

pertama, yaitu penentuan pengangkatan dan pemberhentian pejabat publik,

sebaiknya tidak diberikan kepada Dewan Perwakilan Daerah, melainkan

hanya kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Khusus mengenai tugas

meminta pertanggungjawaban terhadap Kepala Pemerintahan, tugas

penuntutannya hanya

6
diberikan kepada DPR saja, sedangkan DPD akan ikut menentukan

penentuan vonisnya dalam persidangan Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Sebaliknya, khusus untuk menjamin perlindungan terhadap hak dan

kekayaan masyarakat dari pembebanan yang dilakukan oleh Negara, tugas

utamanya sebaiknya diberikan kepada DPD, karena dialah yang mewakili

rakyat didaerah– daerah yang mewakili lapisan masyarakat kita dilapisan

terbawah yang dapat dianggap paling menderita akibat beban–beban yang

memberatkan karena di bebani oleh pemerintah.

Mengenai tugas–tugas lainnya dapat ditentukan dilakukan bersama

oleh kedua lembaga perwakilan itu. Disamping itu, meskipun tugas

pengawasan terhadap pelaksanaan UUD dan UU ditentukan ada di DPR

dan DPD bersama–sama. Tetapi, dari segi materinya, dapat pula

ditentukan bahwa yang diawasi oleh Dewan Perwakilan Daerah hanyalah

pelaksanaan UUD dan pelaksanaan UU sejauh yang berkenaan dengan

urusan–urusan yang berkaitan langsung dengan kepentingan daerah atau

rakyat di daerah, bukan yang menyangkut soal–soal yang berkenaan

dengan kepentingan nasional dan apa lagi internasional. Hanya saja, harus

diakui tidak mudah membedakan adanya perbedaan kepentingan tersebut

antara daerah dan nasional.

6
b. Fungsi Legislasi DPR dan DPD

Berkenaan dengan fungsi legislasi, dapat dikatakan mencakup

kegiatan mengkaji, merancang, membahas, dan mengesahkan Undang–

Undang. Yang dapat dibedakan disini, hanyalah bidang yang diatur dalam

Undang–Undang itu. Akan tetapi, karena sulitnya menentukan pembagian

tugas legislasi ini tanpa menyebabkan timbulnya sengketa dan perebutan ”

proyek “ diantara DPR dan DPD, maka berkembang pendapat agar

dibiarkan sejalah bahwa pelaksanaan tugas legislasi itu tidak usah dibagi,

asalkan Secretariat Jenderal DPR dan DPD dijadikan dan dilengkapi

dengan satu badan legislasi yang dipimpin dan beranggotakan wakil–wakil

anggota DPR dan DPD itu sendiri, ditambah para ahli dari luar anggota

parlemen.

Jika Presiden yang berinisiatif mengajukan RUU, maka Badan

Legislasi itulah nantinya yang akan menentukan pembahasannya akan

dilakukan oleh DPR atau DPD. Jika inisiatif itu datang dari DPR atau

DPD maka lembaga perwakilan yang lebih dulu mendaftarkan draf usulan

rancangan kepada badan legislasi, itulah yang harus membahas rancangan

UU tersebut. Akan tetapi, bersamaan dengan itu, ditentukan pula

hubungan dengan “Chek and balances” dimana kedua kamar parlemen itu,

termaksud juga dengan Presiden, yaitu dengan mengatur adanya hak veto

diantara mereka.

6
Jika suatu RUU telah disetujui dan disahkan oleh satu kamar, dalam

tiga puluh hari mendapat penolakan (veto) dari kamar lainnya, maka RUU

itu harus dibahas lagi oleh kamar yang membahasnya untuk mendapatkan

persetujuan suara lebih banyak, yaitu ditentukan harus diatas dua pertiga

kali dua pertiga jumlah anggotanya (Over wride). Akan tetapi, jika suatu

RUU sudah disetujui oleh dua lembaga, yaitu misalnya DPR dan Presiden

atau DPD dan Presiden, ataupun sudah disetujui oleh DPR dan DPD,

tetapi diveto oleh Presiden, maka putusan penyelesaiannya harus diambil

dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan dukungan suara

dua pertiga kali dua pertiga dari gabungan jumlah anggota DPR dan DPD.

Dengan cara demikian, tidak perlu ada keraguan mengenai persengketaan

yang mungkin timbul antara DPR dan DPD dalam melaksanakan tugasnya

dibidang legislasi. Khusus mengenai penetapan dan perubahan UUD,

dapat ditentukan harus diputuskan dalam sidang Majelis Permusyawaratan

Rakyat atas usul dari DPR dan DPD. Sedangkan untuk perkara

“impeachment” terhadap Presiden atau Wakil Presiden dapat ditentukan

dilakukan hanya atas tuntutan DPR.

B. Pembahasan analisis kedua

Setelah Indonesia merdeka, terjadi perubahan dalam struktur ketatanegaraan

Indonesia. UUD 1945 sebagai konstitusi yang digunakan

6
mengatur tentang kedudukan dan wewenang lembaga-lembaga tinggi negara yang

ada di Indonesia. Sebagian besar lembaga yang ada memang hampir sama dengan

ketika pemerintahan Belanda, namun dengan nama dan penambahan kewenangan

yang sedikit berbeda.

1. Pergeseran – Pergeseran Kekuasaan (Legislatif - Eksekutif)

Sebagaimana umum diketahui bahwa dalam rangka Demokratisasi

dan pembatasan kekuasaan, dikenal adanya prinsip pemisahan kekuasaan.

Pemisahan kekuasaan dibagi dalam beberapa cabang kekuasaan yang

dikaitkan dengan fungsi lembaga–lembaga Negara tertentu yang diistilahkan

sebagai pemisahan kekuasaan yang dikembangkan oleh Montesquieu, yaitu

kedalam fungsi–fungsi Legislatif, eksekutif dan yudikatif. Fungsi legislatif

biasanya dikaitkan dengan peran lembaga parlemen atau “Legislatur”, fungsi

eksekutif dikaitkan dengan peran pemerintah dan fungsi yudikatif dikaitkan

dengan lembaga peradilan.

Dalam rangka pembagian fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif

tersebut, sebelum diadakan perubahan pertama terhadap UUD 1945, biasanya

dipahami bahwa hanya fungsi kekuasaan yudikatif sajalah yang tegas

ditentukan bersifat mandiri dan tidak dapat dicampuri atau diinterfensi oleh

cabang kekuasaan lain. Sedangkan Presiden, meskipun lembaga eksekutif,

juga ditentukan memiliki kekuasaan membentuk Undang–Undang, sehingga

dapat dikatakan memiliki fungsi legislatif sekaligus fungsi eksekutif. Oleh

karena itu,

6
dalam praktek penyelenggaraan Negara dibawah UUD 1945 selama ini,

berkembang aspirasi untuk lebih membatasi kekuasaan Presiden dengan

menerapkan prinsip pemisahan kekuasaan yang tegas antara fungsi legislatif

dan eksekutif. Fungsi legislatif dikaitkan dengan fungsi parlemen, sedangkan

Presiden hanya memiliki fungsi eksekutif saja. Pokok pikiran demikian inilah

yang mempengaruhi jalan pikiran para anggota MPR, sehingga diadakan

perubahan UUD 1945 yang mempertegas kekuasaan DPR dibidang legislatif

dengan merubah rumusan pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 (1) UUD 1945.

2. Pergeseran Kekuasaan Legislatif

a. Keseimbangan Peran Lembaga Legislatif Versus Eksekutif

Kekuasaan legislatif selama ini memang tidak ditentukan secara

tegas harus berada di tangan DPR. Dalam rumusan Pasal 5 ayat (1) lama

malah dinyatakan: “Presiden memegang kekuasan membentuk Undang-

Undang dengan persetujuan DPR”. Memang ditentukan pula dalam pasal

20 ayat (1) bahwa “Anggota DPR berhak memajukan rancangan Undang-

Undang”. Akan tetapi, hak inisiatif memajukan RUU itu sifatnya hanya

tambahan terhadap kewenangan utama (primer) yang dimiliki oleh DPR

dibandingkan dengan kewenangan utama membentuk Undang-Undang

yang dimiliki oleh Presiden. Ketentuan demikian ini memperlihatkan

kedudukan yang tidak seimbang antara Presiden dan DPR dalam bidang

legislatif.

6
Ketidak-seimbangan itu makin jelas terlihat dalam hal

pembentukan peraturan pemerintah sebagai pengganti UU (perpu) yang

diatur menurut ketentuan pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Persiden diberi

hak dan wewenang oleh UUD untuk menetapkan perpu dan

memberlakukannya selama 1 tahun tanpa memerlukan persetujaan DPR.

Sedangkan dalam hal suatu RUU yang

diperkarsai oleh DPR telah disahkan oleh DPR, tetapi apabila Presiden

tidak menyetujui RUU tersebut, maka otomatis RUU tersebut tidak

dapat diberlakukan sebagaimana ditentukan dalam pasal 21 ayat (2).

Bahkan lebih jauh lagi, dalam pembentukan peraturan perundang-

undangan, selama ini ada yang disebut sebagai “policy rules” yang

dianggap dengan sendirinya berada di tangan Presiden yang dalam

praktek tercerminkan dalam kewenangannya untuk

mengeluarkan keputusan Presiden yang bersifat mandiri dalam rangka

melaksanakan Undang-Undang. Bahkan dalam praktek. Cenderung

banyak sekali jenis Surat Keputusan Presiden yang bersifat mandiri,

yang mengatur hal-hal yang kadang-kadang seharusnya diatur dalam

undang-undang. Dari ketiga kasus tersebut, makin jelas bagi kita bahwa

kesusukan Presiden dalam bidang legislatif ini jauh lebih besar dari pada

DPR. Dalam penjelasan UUD 1945, memang dapat ditentukan adanya

pengertian mengenai “persetujuan DPR” dan mengenai fungsi legislatif

Presiden ‘bersama-sama’ DPR. Kewenangan DPR

6
untuk memberikan persetujuan itu terhadap setiap RUU dapat saja

ditafsirkan memberikan kedudukan yang lebih tinggi, lebih rendah, atau

setara kepada DPR dalam berhadapan dengan pemerintah. Akan tetapi,

dalam penjelasan UUD 1945, kedudukan DPR itu dinyatakan kuat, tetapi

Presiden tidak ‘untergeornet’, tetapi ‘neben’ terhadap DPR. Oleh karena

itu, pengertian ‘bersama-sama’ disitu berarti ‘kesetaraan’ dan

‘kesederajatan’. Bagaimanakah sebenarnya bentuk penjelasan dari prinsip

‘persetujuan bersama’ itu dalam praktek? Apakah persetujuan bersama itu

dilakukan dalam persidangan atau persetujuan itu bersifat institusional.

Disetujui tidaknya suatu RUU oleh DPR, sesuai tata tertib DPR dilakukan

dalam proses persidangan, bukan ditentukan begitu saja oleh pimpinan

DPR. Dengan sendirinya yang dimaksud dengan istilah ‘bersama-sama’ di

atas dilakukan dalam persidangan bersama-sama. Dalam proses

persidangan itu, biasa terjadi beberapa kemungkinan. Pertama,

berdasarkan mekanisme persidangan yang ada, suatu RUU diputus melalui

pemungutan suara dengan mayoritas dukungan memenagkan skenario atau

versi pemerintah. Kedua, putusan RUU justru diambil melalui

pemungutan suara yang memenangkan versi partai oposisi.

Dalam hal terjadi kemungkinan kedua, apakah dapat dikatakan

bahwa RUU tersebut sudah dibuat secara bersama- sama atau apakah

pengertian persetujuan bersama itu sudah

6
terpenuhi meskipun pihak pemerintah jelas-jelas tidak menyetujuinya,

tetapi kalah dalm pemungutan suara. Sudah seyogyanya persetujuan

bersama dalam persidangan itu dapat dianggap sebagai persetujuan yang

bersifat intitusional, meskipun suara yang menang adalah suara ‘oposisi’.

Pengertian ini harus diterima, karena dalam system demokrasi, proses

pengambilan keputusan memang harus dihadiri bersama, tetapi keputusan

yang diambil tidak berarti harus memuaskan semua pihak. Sudah

sewajarnya ada “take and give’ dan bahkan ad yang kalah dan ada yang

menang. Oleh karena itu terhadap putusan yang sudah diambil bersama

itu, Presiden yang kepentingannya dikalahkan dalam persidangan tidak

perlu lagi diberikan hak veto untuk tidak mengesahkan suatu RUU yang

sudah diputuskan oleh DPR dengan cara tidak menandatangani

pengundangan RUU tersebut. Itulah sebabnya, maka dalam perubahan

kedua UUD 1945, terhadap ketentuan pasal 20 baru ditambah pula ayat

baru, yaitu ayat (5) yang menegaskan bahwa dalam 30 hari, Presiden tidak

mengundangkan RUU yang sudah disetujui bersama, maka RUU tersebut

berlaku sebagai UU. Dengan demikian Presiden tidak memiliki hak veto

untuk menolak mengundangkan RUU yang sudah mendapat persetujuan

DPR melalui proses pembahasan bersama pemerintah.

6
Ketentuan seperti ini berbeda dari ketentuan seperti dalam Konstitusi

Amerika Serikat yang memberikan hak veto kepada Presiden untuk tidak

mengundangkan suatu RUU yang sudah disetujui Senat dan DPR, karena

pihak pemerintah tidak terlibat dalam proses pembahasan di parlemen, dan

tidak terikat dengan keputusan yang diambil di parlemen. Karena itu,

Presiden Amerika Serikat diberikan wewenang untuk memveto RUU yang

sudah disetujui oleh DPR. Akan tetapi, harus juga diperhatikan bahwa hak

veto juga dibatasi. Tanpa pembatasan, Presiden bisa saja bertindak

sewenang–wenang. Di Amerika Serikat diatur apabila suatu UU yang

telah disahkan parlemen diveto oleh Presiden, maka RUU tersebut dapat

dibahas lagi untuk diadakan pemungutan suara ulangan, dan jika

parlemen tetap menyetujui RUU tersebut maka RUU tersebut langsung

dapat menjadi UU tanpa memerlukan pengesahan Presiden. Dalam hal

yang terakhir ini, Presiden tinggal melaksanakan tindakan administrasi

perundangannya saja sebagaimana mestinya. Dengan demikian Presiden

Amerika Serikat mempunyai hak sebagai pemeran utama untuk

memajukan RUU, berhak memveto RUU inisiatif DPR, dan memveto

RUU yang mengalahkan kepentingan pemerintahannya. Akan tetapi,

Presiden (pemerintah) Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945,

memiliki kewenangan untuk memajukan RUU, memveto RUU inisiatif

DPR, dan ikut serta secara aktif dalam

6
proses pembahasan RUU di DPR. Sedangkan DPR – RI berhak

mengajukan RUU inisiatif sendiri, berhak menyetujui, mengamandemen,

atau menilai suatu RUU, dan menolak suatu PERPU yang telah

diberlakukan oleh Pemerintah.

b. Kecenderungan Peran Parlemen dari Legislatif ke Controlling

Sebenarnya fungsi legislatif itu hanyalah merupakan sebagian saja

dari tugas pokok parlemen. Asal mula terbentuknya lembaga parlemen

dalam sejarah Eropa dilator belakangi oleh kebutuhan untuk mengawasi

dan mengendalikan pelaksanaan tugas–tugas pemerintah. Bahkan istilah

parlemen itu sendiri berasal dari kata Perancis ‘Parle’ yang berarti ‘to

speak’, berbicara. Artinya, yang lebih diutamakan dari parlemen itu pada

dasarnya adlah fungsi ‘Controlling’, bukan ‘Legislation’. Bahkan,

meskipun secara formil fungsi legislatif itu ditentukan dalam konstitusi

sebagai fungsi pokok parlemen, tetapi dalam prakteknya justru fungsi

legislatif itu tetap saja tidak efektif untuk menggambarkan adanya

kesetaraan derajat antara pemerintah dan parlemen. Sebagai contoh kita

dapat melihat apa yang terjadi di Negara–Negara yang diidealkan

mempraktekkan system demokrasi seperti Amerika Serikat dan Perancis.

Baik dalam konstitusi Perancis maupun Amerika Serikat jelas ditentukan

bahwa kekuasaan legislatif berada ditangan parlemen. Akan tetapi, dalam

prakteknya, justru hal itu tidak mudah dilakukan. Sebagai contoh selama

tahun 1970-an dan 1980-an,

7
sekitar 95 persen Rancangan Undang–Undang (RUU) yang dibahas di

parlemen Perancis justru berasal dari inisiatif pemerintah, bukan inisiatif

parlemen.

Oleh karena itu, dalam perspektif hubungan antara parlemen dan

pemerintah di masa depan berkembang pemikiran untuk lebih

mengutamakan pendekatan ‘check and balances’ yang mementingkan

pengawasan dari pada pendekatan ‘separation of power’ yang lebih

mementingkan tugas – tugas legislatif. Kekuasaan untuk membuat

Undang – Undang itu sendiri cenderung berkembang menjadi teknis –

teknis sifatnya, sedangkan fungsi pengawasan dan pengendalian yang

lebih bersifat politis cenderung dianggap makin penting dalam upaya

membangun citra parlemen yang efektif untuk menggambarkan

kesejahteraannya dengan pihak pemerintah. Karena itu, dalam kaitannya

dengan pengaturan soal ini menurut UUD 1945, sebenarnya,

meningkatkan fungsi control DPR terhadap pelaksanaan tugas–tugas

pemerintah. Akan tetapi, sekarang para wakil rakyat sudah menentukan

bahwa lembaga legislatif itu adalah DPR, sedangkan pemerintah hanya

pelaksana sebagaimana tercermin dalam Perubahan Pertama UUD 1945.

Dalam rumusan Pasal 5 ayat (1) yang lama jelas ditentukan bahwa

Presidenlah yang memegang kekuasaan membentuk UU dengan

persetujuan DPR, meskipun ditentukan pula bahwa DPR mempunyai hak

usul inisiatif untuk memajukan RUU. Tetapi, dalam

7
rumusan Pasal 5 ayat (1) yang baru ditegaskan : DPR memegang

kekuasaan membentuk Undang–Undang. Malah ditentukan secara terbalik

bahwa Presiden diberi hak untuk mengajukan RUU kepada DPR. Artinya,

pemegang utama (Primer) kekuasaan legislatif untuk membentuk Undang–

Undang itu adalah DPR, sedangkan Presiden hanyalah pemegang

kekuasaan sekunder.

Perubahan tersebut membawa implikasi terjadinya pergeseran

kekuasaan legislatif dari Presiden ke DPR yang berdampak sangat

prinsipil. Dapat dikatakan bahwa semangat yang terkandung di dalam

perubahan itu adalah untuk memastikan dianutnya prinsip pemisahan yang

tegas antara kekuasaan legislatif dan eksekutif dalam hubungan antara

parlemen dan pemerintah. Dalam rumusan Pasal 20 ayat (2) memang

ditegaskan bahwa tiap–tiap Undang– Undang menghendaki persetujuan

bersama antara Presiden dan DPR. Akan tetapi, persetujuan itu haruslah

dilakukan melalui proses persidangan. Dalam system demokrasi, biasa

saja terjadi bahwa meskipun pihak pemerintah berbeda pendapatnya

dengan kekuatan oposisi di parlemen, namun putusan akhir dalam

pembahasan suatu RUU justru dimenangkan oleh kelompok oposisi.

Dalam hal demikian, Presiden dihadapkan pada pilihan mengesahkan atau

tidak mengesahkan RUU tersebut. Sudah tentu, Presiden berhak untuk

menolak pengesahan RUU tersebut, dan

7
hak inilah yang biasa disebut sebagai hak veto Presiden

sebagaimana diuraikan diatas.

3. Implikasi Pergeseran Kekuasaan Legislatif ke DPR

Seperti dikemukakan diatas, secara hukum, pergeseran fungsi legislatif

itu ke DPR membawa implikasi yang luas baik terhadap cabang– cabang

kekuasaan pemerintah, terhadap fungsi DPR, maupun terhadap kekuasaan

kehakiman. Dengan terjadinya pergeseran tersebut, pemisahan fungsi legislatif

dan yudikatif makin tegas dipisahkan satu dengan yang lain. Hal ini

hendaknya disadari oleh semua pihak dan bersiap–siap untuk melakukan

penyesuaian yang diperlukan untuk melaksanakannya dengan sungguh–

sungguh. Dengan demikian, dapat diharapkan bahwa rumusan – rumusan

pasal UUD kita tidak berhenti menjadi kalimat–kalimat yang mati. Cita–cita

Negara Hukum Republik Indonesia adalah menjadikan Konstitusi sebagai

suatu yang hidup menjadi semacam “civil religion” sebagaimana Konstitusi

Amerika Serikat yang menjadi referensi dalam kehidupan rakyatnya sehati–

hari.

Diantara akibat pergeseran tersebut adalah :

(a) Semua jabatan dalam pemerintahan harus dilihat sebagai jabatan

pelaksanaan dan karenanya tidak dapat lagi diberikan wewenang untuk

membuat sendiri suatu produk peraturan Perundang- Undangan, kecuali

dalam rangka ‘pouvoir reglementair’, yaitu kekuasaan untuk mengatur

yang lahir atas perintah atau atas

7
kuasa Undang–Undang menurut istilah yang dipakai dalam UUDS 1950

ataupun Konstitusi RIS.

(b) Format UU yang biasanya menggunakan kepala : “Presiden Republik

Indonesia,….menetapkan …” harus disesuaikan menjadi : “ DPR-RI…

menetapkan…”.

(c) Alasan untuk menolak pentingnya memberikan wewenang kepada

kekuasaan Kehakiman untuk menguji materi UU terhadap UUD

pertimbangan tidak dianutnya prinsip pemisahan kekuasaan, tidak dapat

lagi dipertahankan. Sekarang, dengan terjadinya pergeseran fungsi legisatif

tersebut, kekuasaan Kehakiman harus juga dilengkapi dengan kewenangan

untuk menguji materi UU terhadap UUD.

(d) Keberadaan DPR sendiri harus pula mengalami perubahan cara kerja,

disamping perlu melengkapi diri dengan segala kelengkapan yang

diperlukan, misalnya keputusan akan tenaga ahli ataupun badan – badan

pengkajian dan perancangan Perundang– Undangan yang bersifat tetap.

Sebagai akibat terjadinya pergeseran kekuasaan Legislatif seperti

diuraikan diatas, cara kerja DPR-RI juga diharuskan mengalami perubahan

dari yang sudah–sudah. Dalam rangka pembentukan UU, pihak DPR lah

sekarang yang harus lebih banyak sering mengajukan rancangan UU, bukan

lagi pihak pemerintah seperti selama ini. Jika nanti ternyata kebanyakan

RUU masih tetap diajukan oleh Presiden,

7
maka perubahan ketentuan Pasal 5 ayat (1) uud 1945 dapat dikatakan tidak

mempunyai makna sama sekali.

Dalam tata tertib DPR-RI, sejak dulu sebenarnya sudah disebutkan

bahwa tugas pokok DPR adalah tugas Legislatif dan pengawasan. Bahkan

fungsi legislatif DPR terus menerus disoroti oleh para ahli indicator berperan

setidaknya DPR dari waktu ke waktu. Namun, praktek penggunaan hak

inisiatif DPR untuk mengajukan RUU tetap tidak banyak digunakan.

Sekarang, setelah makin dipertegasnya peralihan kekuasaan legislatif dari

Presiden ke DPR, maka implikasinya terhadap dukungan– dukungan teknis

yang dibutuhkan oleh DPR perlu benar–benar diperhitungkan. DPR-RI tidak

dapat lagi bekerja menurut cara–cara yang selama ini dipraktekkan. DPR perlu

dilengkapi dengan aparatur teknis, tidak saja dalam bentuk Staf ahli atau tim-

tim yang diperbantukan secara adhoc, tetapi apabila perlu dukungan–

dukungan teknis, yang lebih terlembagakan termaksud dukungan anggaran

yang perlu ditingkatkan.

Salah satu kemungkinan yang perlu dipertimbangkan ialah perlunya

dibentuk komisi–komisi tetap yang dipimpin oleh anggota DPR, tetapi

beranggotakan tokoh–tokoh yang berkeahlian dibidangnya yang berasal dari

luar keanggotaan DPR. Dibidang Perundang– undangan, misalnya DPR dapat

membentuk semacam, ‘legislatif council’ dan ‘legislatif refrence servis’

seperti di Kongres Amerika Serikat. Bahkan apabila perlu sebagian dari

fungsi instansi seperti

7
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Perundang–

undangan, terutama di bidang rancangan Undang– Undang dapat dialihkan ke

DPR-RI. Memang benar, pemerintah dapat saja membuat Rancangan

Undang–Undang dan mengajukan RUU sendiri kepada DPR. Akan tetapi,

kebiasaan yang ada selama ini harus diubah. Pengajuan RUU oleh pemerintah

hendaklah di batasi hanya apabila memang diperlukan saja. Sedangkan yang

lebih banyak harus mengajukan RUU adalah DPR, bukan lagi pemerintah.

Disamping itu, akhir–akhir kita juga sering menyaksikan dibentuknya

berbagai Komisi Independen dan dewan–dewan yang bersifat adhoc.

4. Format Undang – Undang Baru

Format naskah Undang – Undang selama ini selalu dimulai dengan

kalimat kepala : Presiden Republik Indonesia, dengan persetujuan Dewan

Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, menetapkan Undang – Undang

Nomor…tentang…kalimat demikian tepat karena berdasarkan ketentuan Pasal

5 ayat (1) lama UUD 1945 dinyatakan : “Presiden memegang kekuasaan

membentuk Undang – Undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan

Rakyat”. Akan tetapi, sekarang setelah di tentukan dalam Pasal 5 ayat (1)

bahwa : “DPR memegang kekuasaan membentuk Undang – Undang “.

Maka kepala kalimat tersebut diatas sudah tidak tepat lagi. Dalam format

Undang – Undang baru, sudah seharusnya kepala kalimatnya diubah

menjadi

7
“Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dengan persetujuan

Presiden, menetapkan Undang – Undang Nomor…tentang…”.

Dengan demikian, Undang – Undang sebagai salah satu bentuk

peraturan benar – benar ditetapka oleh DPR sebagai lembaga legislatif, tidak

seperti selama ini yang ditetapkan oleh Presiden. UU itu mempunyai derajat

yang paling tinggi dibawah UUD. Yang dapat dianggap sederajat dengan UU

hanyalah peraturan pemerintah yang merupakan pengganti UU. Sedangkan

dibawah UU adalah Peraturan Presiden, peraturan Menteri atau peraturan

Pejabat setingkat Menteri seperti peraturan Gubernur Bank Indonesia,

peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Peraturan Jaksa Agung, dan

sebagainya. Sebagai produk lembaga legislatif, UU mempunyai kedudukan

yang tinggi. dalam hal – hal tertentu Undang – Undang itu sendiri dapat saja

bertentangan dengan UUD. Tetapi pandangan ini terbatas, hanya dalam

konteks perubahan yang terjadi dalam suatu system misalnya dapat terjadi

bahwa suatu UU yang ada lebih dahulu daripada UUD. Dalam hal ini,

mungkin saja terjadi bahwa materi yang diatur dalam UU bertentangan

ataupun tidak sesuai dengan materi UUD, seperti misalnya banyak

ordonantie dari zaman Hindia Belanda yang bertentangan dengan ketentuan

UUD 1945.

7
BAB IV

PENUTUP

A.KESIMPULAN

Dari rangkaian hasil penelitian dan refrensi buku dapat ditarik beberapa

kesimpulan:

1. .Pergeseran kekuasaan legislatif pasca amandemen UUD 1945 telah

menunjukkan perubahan pada lembaga-lembaga negara dimana Presiden

diberi hak untuk mengajukan RUU kepada DPR sebagai pemegang

utama (primer) sedangkan Presiden hanyalah pemegang kekuasaan

sekunder. Dalam peraturan perundang- undangan perubahan tersebut

membawa implikasi terjadinya pergeseran kekuasaan legislatif dari

Presiden ke DPR terhadap kekuasaan pemerintah

2. Didalam pelaksanaan pergeseran kekuasaan legislatif pasca amandemen

UUD 1945dimana dalam melaksanakan RUU fungsi legislatif dalam

hubungan antara parlemen dan pemerintah membawa implikasi yang luas

terhadap kekuasaan kehakiman

7
B. SARAN

1. . Dalam pelaksanaan tugas pergeseran kekuasan legislatif pasca

amandemen UUD 1945. Dalam system demokrasi tersebut pergeseran

kekuasaan legislatif dalam pembentukan perundang- undangan

membawa perubahan dari Presiden ke DPR oleh pemerintah.

2. Akibat terjadinya pergeseran kekuasaan legislatif pasca amandemen

UUD 1945 dalam melaksanakan RUUdimana kekuasaan legislatif dari

Presiden ke DPR membawa implikasi terhadap cabang-cabang

kekuasaan kehakiman.

7
DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly. 2002. Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Budiardjo,

Miriam. 1982. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : P.T. Ensiklopedia Nasional

Indonesia. 1990. Jakarta : P.T. Cipta Adi Pustaka.

Gramedia. . 1993. Dasar dan Struktur Ketatanegaraan

Indonesia

Ibrahim, Harmaily. 1998. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia.

Jakarta : Pusat Studi HTN FH-UI.

Isrok. 2004. Hukum Tata Negara. Malang : Fakultas Hukum Universitas

Brawijaya.

Kantaprawira, Rusadi. 1999. System Politik Indonesia. Bandung : Sinar Baru.

Abdillah, Masykuri. 1999. Demokrasi di Persimpangan Makna. Yogyakarta :

P.T. Tiara Wacana Yogya.

Mahfud, M. D. 2003. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia. Jakarta : Rineka

Cipta.

Pengganti Undang-Undang (Perpu). Malang : UMM Press. Yogyakarta :

UII Press.

Samidjo. 1986. Ilmu Negara. Bandung : C. V. Armindo.

Soetomo. 1993. Ilmu Negara. Surabaya : Usaha Nasional

8
Soehino. 1996. Ilmu Negara. Yogyakarta : Liberty Yogyakarta.

Syafiie, Kencana, Inu. 2001. Pengantar Ilmu Pemerintahan. Bandung :

Refika Adiatma.

Sumali. 2002. Reduksi kekuasaan Eksekutif di Bidang Peraturan

Perubahan Keempat. Jakarta : HTN FH-UI.

. 2003. Study Tentang Interaksi Politik dan Kehidupan

Ketatanegaraan. Jakarta : Rineka Cipta.

Thaib, Dahlan. 2001. Teori dan Hukum Konstitusi. Jakarta : P.T. Raja Grafindo

Persada.

..

Anda mungkin juga menyukai