Anda di halaman 1dari 70

HASIL PENELITIAN

TINJAUAN HUKUM TERHADAP PERGESERAN KEKUASAAN


LEGISLATIF PASCA AMANDEMEN KONSTITUSI

OLEH :

BIL FAHMI AKHSANA SEJATI


NIM. 040 2017 0456

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mengikuti Ujian Seminar Hasil Penelitian
Pada Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2023

i
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Diterangkan bahwa Hasil Penelitian Mahasiswa dibawah ini:

Judul : TINJAUAN HUKUM TERHADAP PERGESERAN

KEKUASAAN LEGISLATIF PASCA

AMANDEMEN KONSTITUSI

Nama Mahasiswa : Bil Fahmi Akhsana Sejati

No. Stambuk : 04020170456

Program Studi : Ilmu Hukum

Bagian : Hukum Tata Negara

Dasar Penerapan : 0705/H.05/FH-UMI/XI/2022

Telah diperiksa dan dapat disetujui untuk diajukan dalam ujian seminar

hasil penelitian.

Makassar, 10 Maret 2023

Komisi Pembimbing,

Pembimbing I Pembimbing II

Prof.Dr. H. A. Muin Fahmal, S.H.,M.H Dr. Muhammad Rinaldy Bima, S.H.,M.H


NIP. 19530207 198103 1 005 NIPs. 104101110

Mengetahui,
Ketua Bagian Hukum Tata Negara,

Muhammad Ya’rif Arifin, SH., MH.


NIPs. 104171460

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL............................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................. ii
DAFTAR ISI .......................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah........................................................ 1
B. Rumusan Masalah ............................................................... 8
C. Tujuan Pemelitian ................................................................. 8
D. Manfaat Penelitian ................................................................ 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Prinsip Pemisahan Kekuasaan (Separation Of Power)
Lembaga-lembaga Negara.................................................... 10
1. Pemisahan Kekuasaan Sebelum Amandemen.............. 10
2. Pemisahan Kekuasaan Pasca Amandemen UUD 1945 13
B. Tinjauan Tentang Lembaga Legislatif.................................. 15
1. Pengertian Lembaga Legislatif ....................................... 15
2. Fungsi Lembaga Legislatif.............................................. 17
C. Tinjauan Tentang Amandemen............................................ 18
1. Pengertian Amandemen ................................................ 18
2. Tujuan Amandemen UUD 1945....................................... 19
3. Alasan Terjadinya Amandemen ..................................... 19
D. Tinjauan Tentang Konstitusi ................................................ 20
1. Pengertian Konstitusi...................................................... 20
2. Tujuan Konstitusi ........................................................... 23
E. Sistem Ketatanegaraan Indonesia Sebelum dan Sesudah
Amandemen UUD NRI 1945 ................................................ 24
1. Masa Pemerintahan Orde Baru ...................................... 24
2. Pelaksanaan UUD NRI 1945 Masa Orde Baru 11
Maret 1966 s/d 21 Mei 1998 ........................................... 33

iii
3. Sistem Ketatanegaraan Sesudah Amandemen UUD
NRI 1945 ......................................................................... 36
F. Kedudukan Kekuasaan Legislatif Sebelum dan Sesudah
Amandemen UUD NRI 1945 .............................................. 40
1. Kedudakan Lembaga Legislatif Pra Amandemen UUD
NRI 1945 ......................................................................... 40
2. Lembaga Legislatif Pasca Amandemen UUD NRI 1945 41
3. Pergeseran Kekuasaan Legislatif Pasca Amandemen . . 43
BAB III METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian ...................................................................... 47
B. Jenis dan Sumber Bahan Hukum ....................................... 47
C. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum .................................... 48
D. Analisis Bahan Hukum ......................................................... 48
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Pergeseran kekuasaan legislative pasca amandemen Undang-
undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ................ 49
...............................................................................................
B. Implikasi atas pergeseran kekuasaan legislative pasca
amandemen Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 .......................................................................... 55
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................... 56
B. Saran .................................................................................... 57
DAFTAR PUSTAKA

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Reformasi ketatanegaraan lewat empat kali perubahan Undang-

undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selama ini tidak

hanya diwujudkan dengan adanya ketentuan mengenai mekanisme

dan syarat-syarat pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden

(Pasal 6 dan Pasal 6A UUD NRI 1945)1, jaminan kepastian mengenai

pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 7 UUD NRI 1945)2

pengaturan mengenai mekanismen pemberhentian Presiden dan Wakil

Presiden (Pasal 7A dan Pasal 7B 1945) 3, serta ketentuan mengenai

larangan bagi Presiden untuk membekukan atau membubarkan

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) (Pasal 7C UUD NRI 1945). Tetapi

juga, diwujudkan lewat penataan struktur lembaga perwakilan, seperti

penguatan kedududkan dan fungsi DPR, perbaikan sistem lembaga

perwakilan daerah lewat kehadiran DPD, penghapusan DPA, serta

pembentukan lembaga-lembaga batu seperti Komisi Yudisial dan

Mahkamah Konstitusi.

Penguatan kedudukan dan fungsi DPR antara lain tampak dari

ketetntuan Pasal 20 ayat (1) UUD NRI 1945 yang menegaskan bahwa

1
Perubahan Ketiga UUD 1945,kecuali ketentuan Pasal 6A ayat (4) melalui Perubahan
Keempat UUD 1945.
2
Simak : Bagir Manan.2004. Perkembangan UUD 1945. Penerbit: FH-UII Press.
Yogyakarta. Hlm.93
3
Perubahan ketiga UUD 1945

1
DPR memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang. Sebelum

terjadi perubahan UUD NRI 1945, Pasal 5 ayat (1) UUD NRI 1945

menyebutkan bahwa kekuasaan membentuk Undang-Undang berada

pada Presiden. Kini, setelah perubahan Pasal 5 ayat (1) UUD NRI

1945, Presiden hanya berhak mengajukan RUU kepada DPR.

Tuntutan reformasi atas perubahan Pasal 5 ayat (1) dan

kaitannya dengan Pasal 20 ayat (1) UUD NRI 1945, bukan suatu hal

yang berlebihan. Menurut Bagir Manan 4, bahwa rumusan pasal 5 ayat

(1) UUD NRI 1945 lama sangatlah berlebihan. Bahkan muncul

penilaian ekstrim dari Bagir Manan 5, bahwa Pasal 5 ayat (1) UUD NRI

1945 lama, bukan saja membingungkan, tetapi juga mengandung

anomali. Bukankah menjadi sesuatu yang diterima umum bahwa

kekuasaan legislatif.

Penguatan kedudukan dan fungsi DPR lewat perubahan Pasal

20 ayat (1) UUD NRI 1945, sesungguhnya bertolak dari fakta empirik

masa lalu mengenai ketidakberdayaan DPR. Sebagaimana diketahui,

bahwa pada era pemeritahan Orde Baru, DPR tampak tidak berdaya

dalam melaksanakan fungsi legislasi dan pengawasan. Dalam

pelaksanaan fungsi legislasi, DPR hanya sekedar sebagai yukang

stempel (rubber stamp).6 Setiap RUU yang diajukan atas inisiatif

pemerintah dengan mudah mendapatkan persetujuan oleh DPR tidak

4
Bagir Manan. 2004. Op.Cit
5
Bagir Manan. 2003. “DPR, DPD, dan MPR Dalam UUD 1945 baru”. FH UII Press.
Yogyakarta. Hlm.20
6
Ni’matul Huda.2003.”Politik Ketatanegaraan Indonesia (Kajian Terhadap Perubahan
UUD)”. FH UII Press. Yogyakarta. Hlm. 19

2
mampu mengembangkan sikap kritis dalam setiap persidangan di

DPR, termasuk dalam menilai setiap kebijakan yang ditempuh

pemerintah. Berpuluh-puluh tahun eksitensi DPR tidak mampu menjadi

lembaga penyeimbang dan menjalankan fungsi kontrol terhadap

kekuasaan pemerintah (eksekutif). Bahkan kehadiran DPR hanya

sekedar sebagai penguat legitimasi setiap kebijakan yang ditempuh

oleh Presiden.

Penataan struktur kelembagaan negara lewat empat kali

perubahan UUD NRI 1945, harus diakui sebagai suatu upaya yang

luar biasa guna mewujudkan harapan (das sollen) untuk menciptakan

tata kelola negara yang lebih demokratis. Dikatakan upaya luar biasa,

karena reformasi ketatanegraan tersebut tidak hanya diakukan dalam

waktu yang relatif singkat, tetapi juga menguras tenaga dan biaya yang

tidak sedikit.

Namun demikian, harapan reformasi ketatanegaraan lewat

empat kali perubahan UUD NRI 1945 tersebut, tampaknya belum

mampu memberi jawaban yang memuaskan terhadap fenomena

ketatanegaraan yang muncul selama ini. Penguatan kedudukan dan

fungsi DPR khususnya dalam bidang legislatif tidak bersinergi dengan

penguatan kedudukan dan fungsi DPD sebagai salah satu lembaga

perwakilan yang mempresentasikan kepentingan masyarakat di

daerah. Dalam pelaksanaan fungsi legislasi, DPD hanya sebatas

mengajukan RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungn

3
pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan

daerah dan seterusnya, serta hal-hal yang berkaitan dengan

pertimbangan keuangan pusat dan daerah (Pasal 22 D ayat 1). Lebih

dari itu, DPD hanya sebatas membahas RUU seperti yang ditentukan

dalam Pasal 22 D ayat (2) UUD NRI 1945, memberikan pertimbangan

kepada DPR atas RUU yang berkaitan dengan APBN, serta

melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 22 D ayat (3) UUD NRI 1945.

Belajar dari pengalaman ketatanegaraan pada masa berlakunya

Konstitusi RIS 1945, maka perlembagaan DPD sebagai lembaga

perwakilan idealnya juga diberi kekuasaan untuk membentuk UU

seperti layaknya DPR (Pasal 20 ayat (1) UUD NRI 1945). Tidak eperti

yang ada saat ini, dimana DPD tampak hanya sebagai pelengkap

semata dalam sistem lembaga perwakilan Indonesia. Sementara

mekanisme pengisian keanggotaannya juga dilakukan secara

demokratis, yakni dengan mekanisme Pemilu seperti halnya pengisian

DPR.

Dalam konteks pembentukan UU, wewenang DPD sangat

terbatas jika dibandingkan dengan wewenang Presiden. Menurut

ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUD NRI 1945, bahwa setiap RUU

dibahas oleh anggota DPR dan Presiden untuk mendapatkan

persetujuan bersama. Jadi, hanya DPR dan Presiden yang terlibat

dalam menentukan lahirnya suatu UU. Sementara DPD samasekali

4
tidak terlibat, meskipun RUU yang telah disetujui bersama menjadi UU

pada dasarnya terkait dengan wewenang DPD sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 22 D ayat (1) UUD NRI 1945.

Selain problema ketatanegaraan yang disebutkan di atas,

pergeseran kekuasaan legislatif dari Presiden ke DPR yang dihasilkan

dari perubahan UUD 1945 juga menyisahkan problema

ketatanegaraan dalam konteks pengesahan UU. Menurut ketentuan

Pasal 20 ayat (4) UUD NRI 1945, bahwa Presiden mengesahkan RUU

yang telah disetujui bersama untuk menjadi UU. Selanjutnya ketentuan

Pasal 20 ayat (5) yang muncul setelah Perubahan Kedua UUD NRI

1945 menyebutkan bahwa dalam hal RUU yang telah disetujui

bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh

hari semenjak RUU tersebut disetujui, RUU tersebut sah menjadi UU

dan wajib diundangkan.

Ketentuan Pasal 20 ayat (5) diatas mengundang pertanyaan :

untuk aoa Presiden menolak (memveto) suatu RUU jika ketentuan

mengenai persetujuan bersama (Pasal 20 ayat (2) masih tetap

dipertahankan? Apa makna persetujuan bersama (DPR dan Presiden)

dalam konteks pembentukan UU? Bukankah persetujuan bersama

tersebut telah diputuskan melalui persidangan di DPR?

Problema ketatanegaraan yang disebutkan di atas, khususnya

implikasi terhadap kemungkinan Presiden memveto suatu RUU yang

telah mendapatkan persetujuan bersama, baik dalam konteks

5
pengesahan maupun pengundangan terhadap suatu UU,

seseunguhnya telah pernag diulas oleh Jimly Asshiddiqie dalam dua

buku yang berbeda7. Bagi Jimly Asshiddiqie, kunci jawaban terhadap

semua pertanyaan itu adalah terletak pada persoalan bahwa

pengalihan fungsi legislatif ke DPR tidak didasari sebagai penerimaan

terhadao prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power) sebagai

pengganti prinsip pembagian kekuasaan (distribution/ devision of

power).

Bagi penulis, adanya pergeseran kekuasaan legslatif dari

Presiden ke DPR tidak hanya dilihat dalam konteks ada dan tidaknya

penerimaan prinsip pemisahan atau pembagian kekuasaan, tetapi hal

yang penting dari itu adalah soal ada dan tidaknya mekanisme checks

and balances yang dianut dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

Bagi penulis, suatu sistem ketatanegaraan yang baik apabila

menerapkan prinsip mekanisme cheks and balances, dan prinsip itu

harus terlenih dahulu ditetapkan dalam konstitusi (UUD). Lewat prinsip

mekanisme cheks and balances tersebut, maka dapat dicegah

kemungkinan terjadinya kekuasaan yang sewenang-wenang oleh

suatu lembaga negara terhadap lembaga negara lainnya. Selanjutnya,

lewat prinsip mekanisme cheks and balances, maka dapat dijamin

adanya pertimbangan dan saling kontrol kekuasaan antar lembaga

negara yang terlibat dalam proses pembentukan UU.


7
Jimly Asshiddiqie.2006. “Perihal UU”. Konstitusi Press. Jakarta. Hlm.288-307

6
Selain Jilmy Asshiddiqie, Saldi Isra 8 juga telah mengakaji soal

implikasi pergeseran fungsi legislasi pasca perubahan UUD NRI 1945.

Pergeseran kekuasaan legislasi itu berimplikasi pada soal prakarsa,

pembahasan, persetujuan, dan pengesahan RUU, serta

pengundangan UU. Bagi Saldi Isra, pelaksanaan fungsi legislasi pasca

perubahan UUD NRI 1945 justru menunjukkan adanya penguatan

model legislasi parlementer dalam sistem presidensial Indonesia.

Sehubungan dengan pembahasan diatas, mengenai kekuasaan

sebagaimana dengan Firman Allah dalam Q.S. Ali ‘Imran ayat 26:

        


          
       

Terjemahan:
“Katakanlah (Muhammad), “ Wahai Tuhan Pemilik kekuasaan, Engkau
berikan kekuasaan kepada siapapun yang Engkau kehendaki, dan
Engkau cabut kekuasaan dari siapapun yang Engkau kehendaki.
Engkau muliakan siapapun yang Engkau kehendaki dan Engkau
hinakan siapapun yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah
segala kebijakan. Sungguh, Engkau Maha Kuasa atas segala
sesuatu”.

Selanjutnya, mengenai pola hunungan kekuasaan antar

lembaga negara sesungguhnya buukan sesuatu hal yang baru.

Kuntana Magnar9, juga telah mengakajipola hubungan kekuasaan

antara DPR dengan Presiden, yakni dalam lingkup perwujudan fungsi

legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Namun demikian,


8
Saldi Isra.2010. “Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi
Parlementer dalam Sistem Prsidensial Indonesia”. PT. Raja Grafindo Persada.
Jakarta. Hlm.209-229
9
Kunatan Magnar. 2006.”Hubungan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan
Presiden Setelah Perubahan UU Dasar(UUD) 1945”. Pencarian Bentuk dan Isi,
Disertasi pada Program Pasca Sarjana UNPAD. Bandung

7
sisi lain yang masih perlu didalami dalam konteks perubahan struktur

ketatanegaraan pasca-perubahan UUD NRI 1945 adalah terkait

dengan pelaksanaan fungsi legislasi yang melibatkan tiga kembaga

negara, yakni DPR, Presiden, dan DPD. dalam pelaksanaan fungsi

legislasi tersebut pola hubungan kekuasaan di antara tiga lembaga

negara (DPR, Presiden ,dan DPD), masih menyisahkan persoalan

ketatanegaraan, terutama jika dilihat dalam konteks prinsip mekanisme

cheks and balances dalam proses pembentukan UU.

B. Rumusan Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang di atas maka dapat dirumuskan

pokok permasalahan sebagai berikut :

1. Apakah pergeseran kekuasaan legislatif pasca amandemen

Undang-undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ?

2. Apakah implikasi atas pergeseran kekuasaan legislatif pasca

amandemen Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945?

C. Tujuan Pemelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis pergeseran kekuasaan

legislatif pasca amandemen tahun 1945.

8
2. Untuk mengetahui dan menganalisa implikasi atas pergeseran

kekuasaan lagislatif pasca amandemen Undang-undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Teoretik

Secara teoretik penelitian hukum ini bermanfaat sebagai dasar

pengembangan penelitian atas pergeseran kekuasaan legislatif

pasca amandemen 1945.

2. Manfaat Praktik

Secara praktik penelitian ini sebagai pengembang wawasan ilmu

pengetahuan di bidang Hukum Tata Negara. Dapat menjadi

masukan bagi pihak yang membutuhkan referensi pelengkap

tentang pasca amandemen 1945.

9
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Prinsip Pemisahan Kekuasaan (separation of power) Lembaga-

lembaga Negara

1. Pemisahan Kekuasaan Sebelum Amandemen

Untuk menilai apakah UUD NRI 1945 menganut pemisahan

kekuasaan atau pembagian kekuasaan, dapat digunakan kriteria

yang dibuat oleh Ivor Jenning. Jenning mengatakan bahwa

pemisahan kekuasaan (separation of powers) dapat dilihat dari

sudut materil dan formil. Pemisahan kekuasaan dalam arti materil

berarti bahwa pembagian kekuasaan itu dipertahankan dengan

tegas dalam tugas-tugas kenegaraan yang secara karakteristik

memperlihatkan adanya pemisahan kekua-saan itu dalam tiga

bagian yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif. Sebaliknya apabila

pembagian kekuasaan tidak dipertahankan secara tegas, maka

disebut pemisahan kekuasaan dalam arti formil.10

Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim 11, pemisahan

kekuasaan dalam arti materil dapat disebut sebagai pemisahan

kekuasaan. Sementara pemisahan kekuasaan dalam arti formil

disebut dengan pembagian kekuasaan. Jimly Assiddiqiqie 12

10
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim.(1988). “Hukum Tata Negara Indonesia”.
Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI, hlm. 143
11
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, ibid
12
Jimly Asshiddiqie.(2005).” Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan
Dalam UUD 1945”. Yogyakarta: FH UII PRESS, hlm. 35

10
berpendapat bahwa pemisahan kekuasaan dapat bersifat

horizontal dan vertikal. Dalam arti horizontal berarti kekuasaan

dipisah-pisahkan ke dalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam

lembagalembaga negara yang sederajat dan saling mengimbangi

(check and balances). Sedangkan pemisahan kekuasaan bersifat

vertikal dalam arti perwujudan kekuasaan itu dibagikan secara

vertikal ke bawah kepada lembaga-lembaga tinggi negara di bawah

lembaga pemegang kedaulatan rakyat. Berdasarkan kriteria yang

dibuat Jenning, Kusnardi dan Harmaily 13 berkesimpulan bahwa

UUD NRI 1945 (sebelum amandemen) tidak menganut sistem

pemisahan kekuasaan (Trias Politica) sebagaimana diajarkan oleh

Montesquieu, melainkan menganut sistem pembagian kekuasaan

karena:

1) UUD NRI 1945 tidak membatasi secara tajam, bahwa setiap

kekuasaan itu harus dilakukan oleh satu organ/badan tertentu

yang tidak boleh saling campur tangan.

2) UUD NRI 1945 tidak membatasi kekuasaan itu dibagi atas tiga

bagian saja dan juga tidak membatasi pembagian kekuasaan

dilakukan oleh tiga organ/badan saja.

3) UUD NRI 1945 tidak membagi habis kekuasaan rakyat yang

dilakukan oleh MPR (Pasal 1 ayat 2), kepada lembaga negara

lainnya.

13
Moh. Kusnardi dan Harmaily. Ibid., hlm. 181

11
Demikian juga Jimly14, yang menyatakan bahwa selama ini

(sebelum amandemen), UUD NRI 1945 menganut paham

pembagian kekuasaan yang bersifar vertikal, bukan pemisahan

kekuasaan yang bersifat horizontal. Kedaulatan rakyat dianggap

terwujud penuh dalam wadah MPR yang dapat ditafsirkan sebagai

lembaga tertinggi ataupun sebagai forum tertinggi. Dari sini, fungsi-

fungsi tertentu dibagikan sebagai tugas dan kewenangan lembaga-

lembaga tinggi negara yang ada dibawahnya, yaitu Presiden, DPR,

MA, dan seterusnya. Dalam perpspektif pembagian kekuasaan

yang bersifat vertikal itu, prinsip kesederajatan dan perimbangan

kekuasaan itu tidaklah bersifat primer. Karena itu, dalam UUD NRI

1945 yang asli (UUD NRI 1945 sebelum amandemen) tidak diatur

pemisahan yang tegas dari fungsi legislatif dan eksekutif. Dalam

sistem yang lama, fungsi utama DPR lebih merupakan lembaga

pengawas daripada lembaga 11 legislatif dalam arti yang

sebenarnya. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan UUD NRI 1945

sebelum amandemen. Presiden disamping memegang kekuasaan

pemerintahan (kepala eksekutif, Pasal 4 ayat 1), juga memegang

kekuasaan membentuk undang-undang dan peraturan pemerintah

(kekuasaan legislatif, Pasal 5), sementara fungsi DPR dalam

membentuk undang-undang bersifat pasif yaitu sebatas

memberikan persetujuan (Pasal 20). Presiden juga memberi grasi,

amnesti, abolisi dan rehabilitasi (kekuasaan yudikatif, Pasal 14).


14
Jimly Assiddiqie, Format Kelembagaan., Op.Cit., hlm. 35-36

12
Demikian juga kekuasaan Presiden yang lain mendapatkan porsi

pengaturan yang lebih besar dalam UUD NRI 1945, dibandingkan

dengan kekuasaan lembaga negara tinggi lainnya. Kekuasaan

Presiden yang besar, menjadi tidak terimbangi oleh kekuasaan

lembaga negara tinggi lainnya, karena sebagian besar

kekuasaannya tidak dipengaruhi oleh kekuasaan lainnya (Presiden

dianggap mempunyai hak prerogatif /hak istimewa). MPR (lembaga

legislatif) sebagai pemegang tunggal kedaulatan rakyat memilih

Presiden (Pasal 6) dan dapat memberhentikan Presiden dalam

masa jabatannya (Pasal 8), apabila dalam pengawasan DPR

dianggap sungguh-sungguh telah melanggar UUD dan GBHN

(penjelasan UUD NRI 1945). GBHN yang dituangkan dalam TAP

MPR merupakan program kerja yang dimandatkan kepada

Presiden. Penjelasan UUD 1945 menegaskan bahwa Presiden

yang diangkat oleh Majelis, bertunduk dan bertanggung jawab

kepada Majelis. Ia ialah ”mandataris” dari Majelis. Ia berwajib

menjalankan putusan-putusan Majelis.

2. Pemisahan Kekuasaan Pasca Amandemen UUD NRI1945

Salah satu unsur terpenting dari negara hukum adalah

terpenting dari negara hukum adalah adanya pembagian

kekuasaan atau pemisahan kekuasaan dalam negara. Ajaran

pemisahan kekuasaan (separation of power) telah memperlihatkan

corak yang beragam di berbagai negara. Kenyataan menunjukkan

13
bahwa sistem pemerintahan yang berbeda telah mengembangkan

doktrin ini dengan cara yang berbeda, tergantung pada praktik

politik, kebiasaan dan prinsip-prinsip hukum yang dianut suatu

negara. Bahkan Marshall menyatakan bahwa “The phrase

“separation of power” is, however, one of the most confusing in the

vocabulary of political and constitutional thought It has been used

with variying implications by historians and political scientists”15.

(Ungkapan pemisahan kekuasaan merupakan hal yang sangat

membingungkan di dalam kosakata pemikiran politik dan

konstitusional. Ungkapan pemisahan kekuasaan tersebut telah

digunakan dengan berbagai implikasi oleh para sejarahwan dan

ilmuwan politik).

Pemisahan kekuasaan, karena itu dapat dipahami sebagai

doktrin konstitusional atau doktrin pemerintahan yang terbatas yang

membagi kekuasaan pemerintahan ke dalam cabang kekuasaun

legislatif, eksekutif dan yudisial. Tugas kekuasaan legislatif adalah

membuat hukum, kekuasaan eksekutif bertugas menjalankan

hukum dan kekuasaan yudisial bertugas menafsirkan hukurn.

Terkait erat dan tidak dapat dipisahkan dengan pengertian ini

adalah checks and balances, yang mengatakan bahwa masing-

masing cabang pemerintahan membagi tindakan-tindakannya. Ini

berarti, kekuasaan dan fungsi dari masing-masing cabang adalah

15
Geoffrey Marshalml.(1971).”Constitutional Theory”. London : Oxford University
Press., hlm. 97

14
terpisah dan dijalankan oleh orang yang berbeda, tidak ada agen

tunggal yang dapat menjalankan otoritas yang penuh karena

masingmasing bergantung satu sama lain. Kekuasaan yang terbagi

semacam inilah yang mencegah absolutisme (sebagaimana dalam

kekuasaan monarki atau diktator ketika semua cabang terpusat

pada otoritas tunggal), atau mencegah korupsi kekuasaan yang

timbul karena kemungkinan kekuasaan tanpa pengawasan.

Bagaimana memahami rationale dan doktrin pemisahan kekuasaan

yang pada esensinya merupakan doktrin konstitusionalisme atau

doktrin pemerintahan yang terbatas (limited government) ini?

Kontrol atau dorongan publik hampir tidak mungkin jika kekuasaan

negara berada pada satu atau sejumlah kecil orang. Kontrol dan

pengaruh yang efektif atas kekuasaan negara hanya mungkin

terjadi melalui kekuasaan negara sendiri. Jadi, masyarakat yang

bebas harus membagi kekuasan diantara otoritas yang berbeda

dan berdiri sendiri. Kebebasan individu akan terjaga jika warga

negara dapat saling mengawasi satu sama lain, dan jika

konsentrasi atau monopoli kekuasaan dapat dicegah.16

B. Tinjauan Tentang Legislatif

1. Pengertian Legislatif

Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata lembaga diartikan

sebagai asal mula atau bakal (yang akan menjadi sesuatu) bentuk

16
Agus Wahyudi.(2005).” Doktrin Pemisahan Kekuasaan Akar Filsafat dan Praktek”.,
dalam Jurnal Hukum Lentera,”Nega-ra & Kekuasaan”. Edisi 8

15
asli (rupa, wujud) acuan, ikatan badan atau organisasi dengan

tujuan untuk melakukan penyelidikan suatu keilmuan atau

melakukan suatu usaha dan pola perilaku yang mapan yang terdiri

dari interaksi sosial yang berstruktur17.

Montesquieu dalam teori trias politika mengemukakan,

Lembaga Legislatif merupakan wakil rakyat yang diberikan

kekuasaan untuk membuat undang-undang dan menetapkannya.17

Lebih lanjut hal serupa juga dikemukakan oleh Miriam Budiarjo

bahwa lembaga legislatif atau legislature mencerminkan salah satu

tugas badan tersebut, yaitu legislate atau membuat undang-

undang18. John Locke menyebutkan bahwa legislatif merupakan

lembaga perwakilan rakyat dengan kewenangan untuk menyusun

peraturan yang dibuat pemerintah sebagai wujud kedaulatan

tertinggi yang berada di tangan rakyat. Maka dengan begitu,

lembaga legislatif harus dengan benar melakukan tugasnya dengan

mengatas namakan rakyat dan diharapkan tidak ikut serta

menekan kepentingan rakyat19.

Menurut CF. Strong, Lembaga Legislatif merupakan

lembaga dengan memegang kekuasaan pemerintahan yang

mengurusi pembuatan suatu produk hukum, sejauh hukum tersebut

memerlukan kekuatan undang-undang (statutory force). Hal


17
Departemen Pendidikan Nasional.(2003). “Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)”.
Edisi Kegita. Jakarta: Balai Pustaka., hlm.665
18
Montesquice.www.wikipedia.com, diakses 10 September
19
Mariam Budiardjo.(2008). “Dasar-Dasar Ilmu Politik”. Edisi Revisi. Jakarta :
Gramedia., hlm. 136

16
tersebut juga dipertegas oleh Hans Kelsen, bahwa fungsi legislatif

merupakan suatu pembentukan norma umum yang dilakukan oleh

organ khusus, yang disebut sebagai Lembaga Legislatif.20

2. Fungsi Legislatif

Lembaga Legislatif memiliki beberapa fungsi, diantaranya

menyerap aspirasi rakyat, mengagregasikan kepentingan rakyat,

melakukan rekruitmen politik, mengontrol dan mengawasi kinerja

eksekutif.21

Menurut Miriam Budiardjo, Badan Legislatif memiliki dua

fungsi penting, diantaranya:22

1) Menentukan suatu kebijakan dan membuat undang-undang,

sehingga legislatif tersebut diberi hak inisiatif, yakni hak untuk

mengadakan amandemen terhadap rancangan undang-undang,

dan terutama dibidang budget atau anggaran;

2) Mengontrol badan eksekutif, bahwa legislatif diharap untuk

menjaga tindakan badan eksekutif sesuai dengan

kebijakankebijakan yang telah ditetapkan. Untuk menjalankan

tugas tersebut maka badan perwakilan rakyat diberi hak-hak

kontrol khusus.

C. Tinjauan Tentang Amandemen


20
Yokotani.(2017.” Sistem Bikameral di Lembaga Legislatif Berdasarkan Tugas dan
Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah (Perbandingan dengan Amerika Serikat,
Inggris, dan Argentina). Jurnal Hukum Progresif. Vol XI No.1 Juni 2017., hlm. 1850
21
Ekanam Sihombing. (2018).” Hukum Kelembagaan Negara”. Yogyakarta : Ruas
Media., hlm.45
22
Miriam Budiardjo. Op.cit., hlm. 322-323

17
1. Pengertian Amandemen

Amandemen berasal dari serapan Bahasa Inggris amend

yang sering di kenal dengan to make better. Dalam Bahasa

Indonesia, Amandemen berarti suatu hal yang dilakukan untuk

perubahan peraturan yang lebih baik, dalam hal ini Undang-

undang.

Sedangkan pengertian Amandemen secara umum adalah

proses menyempurnakan Undang-undang tanpa melakukan

perubahan apapun mengenai inti sari Undang-undang yang asli.

Tetapi hanya memperbaiki dengan menambah atau merinci UUD

menjadi lebih lengkap dan jelas.23

Menurut Sujatmiko, amandemen merupakan solusi yang

perlu dilakukan untuk menyempurnakan konstitusi sebagai aturan

tertinggi dalam bernegara yang selama ini belum sepenuhnya

sempurna.

Sedangkan menurut Husnie Thamrien, amandemen

dilakukan untuk menyatukan aturan dasar tata negara nasional

bersama dengan mengubah dan menyempurnakan aturan dasar

yang mendukung hak rakyat dan paham demokrasi, membangun

pemerintahan yang transparan dan juga membentuk Lembaga

untuk memperbaharui perkembangan zaman.

2. Tujuan Amandemen UUD NRI 1945


23
Ibid

18
Amandemen UUD NRI 1945 yang telah dilakukan beberapa

kali memiliki fungsi dan tujuan demi kepentingan Negara Republik

Indonesia, antara lain:

1) Untuk menyempurnakan aturan dasar penyelenggaraan negara

bersifat demokratis dan modern;

2) Untuk menyempurnakan aturan dasar negara dan mencapai

tujuan nasional;

3) Untuk menyempurnakan jaminan dan pelaksanaan kedaulatan

rakyat;

4) Untuk menyemputnakan jaminan dan perlindungan HAM (Hak

Asasi Manusia)

5) Untuk menyempurnakan konstitusional serta mewujudkan

kesejahteraan social, menceerdaskan kehidupan bangsa,

menegakkan moral, etika, dan solidaritas berbangsa dan

bernegara.

3. Alasan Terjadinya Amandemen

Undang-undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia

sudah mengalami beberapa kali amandemen. Dari setiap

amandemen UUD NRI 1945 itu ada beberapa alasan sesuai

dengan kejadian amandemennya:

1) Amandemen pertama secara umum dilakukan dengan alas an

untuk membatasi masa periode pemerintahan Presiden

19
kaitannya dengan kemampuan memerintah dan mengurangi

Undang-undang yang bersifat executive heavy.

2) Amandemen kedua secara umum dilakukan dengan alas an

untuk mengokohkan keberadaan pemerintah daerah dan

menambah atau memperluas cakupan HAM.

3) Amandemen ketiga secara umum dilakukan dengan alasan

untuk memperbaiki system dan aturan Lembaga-lembaga

negara seperti pemilihan Presiden, system bilkameral dan

lainnya.

4) Amandemen keempat secara umum dilakukan dengan alasan

untuk menyempurnakan bagian-bagian yang kurang dari

amandemen sebelumnya.

Setiap amandemen bertujuan demi penyempurnaan UUD

1945 agar dapat mencapai tujuan nasional dan mewujudkan

kesejahteraan bersama serta dapat melindungi HAM (Hak Asasi

Manusia) yang sesuai dengan peradaban.

D. Tinjauan Tentang Konstitusi

1. Pengertian Konstitusi

Dalam sejarah,kita melihat bahwa identifikasi antara

pengertian konstitusi dan Undang-Undang Dasar itu, dimulai sejak

Oliver Cromwell (Lord Protector) kerajaan inggris (1599-1658) yang

menamakan Undang-Undang Dasar itu sebagai the Instrument of

Government atau “ius trusment of government” yang berati bahwa

20
Undang-Undang Dasar dibuat sebagai pegangan untuk

memerintah dan dari sinilah muncul identifikasi dan Konstitusi dan

Undang-Undang Dasar. Pada tahun 1787 pengertian Konstitusi

menurut Cromwell tersebut kemudian diambil alih oleh Amerika

Serikat yang selanjutnya oleh Lafayette diambil oleh Negara

Perancis pada tahun 1789.

Pada umumnya, Negara-negara yang mendasarkan atas

demokrasi konstitusional, maka undang-undang dasar (sering

disebut juga konstitusi dalam arti sempit) mempunyai fungsi yang

khusus yaitu membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa

sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat

sewenangwenang sehingga hak-hak warga Negara akan lebih

terjamin. Pandangan ini dinamakan konstitualisme. Menurut Carl J.

Friendrich bahwa konstitualisme merupakan gagasan bahwa

pemerintahan merupakan suatu kumpulan kegiatan yang

diselenggarakan oleh dan atas nama rakyat, tetapi yang dikenakan

pembatasan yang diharapkan akan menjamin bahwa kekuasaan

yang diperlukan untuk tidak disalahgunakan oleh mereka yang

mendapat tugas untuk memerintah. Cara pembatasan yang

dianggap efektif ialah dengan jalan membagi kekuasaan. 24

24
Miriam Budiarjo.(2008). “Dasar dasar Ilmu Politik”. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama., hlm. 171

21
Menurut Prof. Mr. A.A.H. Struycken Konstitusi adalah

undang-undang yang memuat garis-garis besar dan asas-asas

tentang organisasi daripada Negara.

Sejalan dengan pendapat Prof. Mr. A.A.H. Struycken di atas,

Prof. Padmo Wahjono,S.H. mengemukakan Konstitusi adalah suatu

pola hidup berkelompok dalam organisasi Negara, yang sering kali

diperluas dalam organisasi apa pun”. Menyangkut organisasi dalam

Negara, Prof. Padmo Wahjono, S.H. :”Organisasi dalam Negara

secara garis besar terbagi dalam alat perlengkapan Negara

(staatsorganen) dan organisasi kemasyarakatan dalam arti luas”.

Dalam jenis organisasi di luar Negara atu organisasi yang lain

seperti pada partai politik dan organisasi kemasyarakatan lazim

disebut Anggaran Dasar.25

Selanjutnya, Dr. Sri Soemantri Martosoewignjo, S.H.10

membagi konstitusi dalam dua pengertian yaitu:

1) Dalam arti luas, menggambarkan keseluruhan sistem

ketatanegaraan suatu Negara, yaitu berupa kumpulan-

kumpulan peraturan yang membentuk, mengatur atau

memerintah Negara. Peraturan-peraturan tersebut ada yang

tertulis sebagai keputusan badan yang berwenang dan ada

yang tidak tertulis yang berupa usages, understanding.

Customs, or conventions.
25
Hestu Cipto Handoyo.(2003).” Hukum Tata Negara,Kewarganegaraan,& Hak Asasi
Manusia (memahami Proses Konsolidasi Sistem Demokrasi di Indonesia).
Yogyakarta., hlm. 266

22
2) Dalam arti sempit, dituangkan dalam suatu dokumen, seperti

undang-undang dasar.

G.S. Diponolo 11 dalam bukunya Ilmu Negara, membagi

pengertian konstitusi dalam dua pengertian pula, yaitu : 26

1) Dalam arti luas, konstitusi berarti keseluruhan dari ketentuan-

ketentuan dasar atau hukum dasar (droit constituonnelle).

2) Dalam arti terbatas, konstitusi berarti piagam dasar atau

undang-undang dasar (loi Constitutionnelle).

2. Tujuan Konstitusi

Hukum pada umumnya bertujuan mengadakan tata tertib

untuk keselamatan masyarakat yang penuh dengan konflik antara

berbagai kepentingan yang ada di tengah masyarakat. Tujuan

hukum tata negara pada dasarnya sama dan karena sumber utama

dari hukum tata negara adalah konstitusi atau Undang-Undang

Dasar, akan lebih jelas dapat dikemukakan tujuan konstitusi itu

sendiri. Tujuan konstitusi adalah juga tata tertib terkait dengan:

1) Berbagai lembaga-lembaga negara dengan wewenang dan

cara bekerjanya.

2) Hubungan antar lembaga Negara.

3) Hubungan lembaga negara dengan warga negara (rakyat)

dan.

4) Adanya jaminan hak-hak asasi manusia serta.

26
G.S. Diponolo.(1975). ”Ilmu Negara Jilid 2”. Jakarta : Balai Pustaka., hlm.166

23
5) Hal-hal lain yang sifatnya mendasar sesuai dengan tuntutan

perkembangan zaman.27

E. Sistem Ketatanegaraan Indonesia Sebelum dan Sesudah

Amandemen UUD 1945

1. Masa Pemerintahan Orde Baru

Orde baru Baru dibawah pimpinan Soeharto lahir dengan

tekad untuk melakukan koreksi atas berbagai penyimpangan dan

kebobrokan Demokrasi Terpimpin pada Era Orde Lama. Pada

awalnya Orde Baru berupaya untuk memperbaiki nasib bangsa

dalam berbagai bidang. Dalam bidang Politik dibuatlah UU No. 15

Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan

DPRD. Atas dasar Undang-Undang tersebut Orde Baru

mengadakan pemilihan umum pertama tahun 1971. Namun lama

kelamaan banyak terjadi penyimpangan- penyimpangan. Ambisi

penguasa Orde Baru mulai merambah ke seluruh sendi-sendi

kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Penafsiran pasal-pasal UUD

NRI 1945 tidak dilaksanakan sesuai dengan isi yang tertuang

dalam UUD tersebut, melainkan dimanipulasi demi kepentingan

sang penguasa. Realisasi kekuasaan dalam UUD NRI 1945 praktis

lebih banyak memberikan porsi pada presiden. Sesungguhnya

UUD NRI 1945 memang memberi wewenang yang amat besar

pada lembaga kepresidenan. Namun, Presiden hanyalah

27
Budiyanto.(2004). “Kewarganegaraan Untuk SMA kelas X”. Jakarta: Erlangga, cet.I.,
hlm. 152

24
mandataris MPR serta dalam menjalankan pemerintahan diawasi

oleh DPR. Dalam kenyataan di lapangan, posisi legislatif berada

di bawah presiden. Seperti tampak dalam UU No. 16 Tahun 1969

Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD, UU No.

3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya, serta UU

No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum, posisi Presiden

terlihat sangat dominan. Dengan paket Undang-Undang Politik

tersebut praktis secara politis kekuasaan legislatif berada di bawah

presiden. Akibat kekuasaan yang nyaris tanpa kontrol tersebut

akhirnya menjadikan penguasa Orde Baru cenderung melakukan

penyimpangan hampir di semua sendi kehidupan bernegara.

Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) merajalela dan membudaya,

pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati segelintir orang yang dekat

dengan penguasa, kesenjangan sosial semakin melebar, utang luar

negeri menjadi menggunung, akhirnya badai krisis ekonomi

menjalar menjadi krisis multidimensi. Rakyat yang dipelopori

mahasiswa menuntut dilakukannya reformasi di segala bidang.

Akhirnya runtuhlah Orde Baru bersamaan mundurnya Soeharto

pada tanggal 21 Mei 1998.

Secara konstitusional sistem ketatanegaraan Indonesia pada

masa pemerintahan orde baru menggunakan UUD NRI 1945.

Secara prinsip terdapat lima kekuasaan pemerintah Negara

Republik Indonesia menurut UUD NRI 1945, yaitu:

25
1) Kekuasaan menjalankan perundang- undangan Negara, disebut

juga kekuasaan eksekutif dilakukan oleh pemerintah (dalam hal

ini adalah presiden);

2) Kekuasaan memberikan pertimbangan kenegaraan kepada

pemerintah, disebut juga kekuasaan konsultatif dilakukan oleh

dewan Pertimbangan Agung;

3) Kekuasaan membentuk perundang- undangan Negara atau

kekuasaan legislatif, dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat

bersama dengan presiden;

4) Kekuasaan mengadakan pemeriksaan keuangan Negara,

disebut kekuasaan eksaminatif atau kekuasaan inspektif,

dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan;

5) Kekuasaan mempertahankan Perudang- undangan Negara atau

kekuasaan Yudikatif, dilakukan oleh Mahkamah Agung.28

Pelaksanaan kekuasaan Negara dilakukan dengan

pembagian (bukan pemisahan) tugas atau fungsi dari masing-

masing penyelenggara Negara yang dalam UUD NRI 1945 disebut

fungsi negara. Pelaksanaan kekuasaan Negara secara menyeluruh

dilakukan berdasar sistem pemerintahan Negara. Fungsi tersebut

antara lain:

- Indonesia adalah Negara yang berdasar atas hukum

- Pemerintah berdasar atas sistem konstitusi

28
C.ST. Kansil. (1978).“Sistem Pemerintahan Indonesia”. Hlm.83. Jakarta : Aksara
Baru

26
Dalam prinsip UUD NRI 1945 ini, Republik Indonesia tidak

menganut asas Trias Politica seperti yang diajarkan Montesqueau,

Indonesia tidak menganut asas pemisahan kekuasaan, melainkan

pembagian kekuasaan. Kekuasaan tertinggi negara justru

disatukan bukan dipisahkan dalam satu lembaga tertinggi negara

yang merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia (MPR).

Kekuasaan legislatif dilimpahkan kepada DPR bersama-sama

dengan presiden. Kekuasaan eksekutif di tangan presiden,

kekuasaan yudikatif ada di tangan Mahkamah Agung dan badan-

badan peradilan, namun sebagian juga di tangan presiden. Selain

itu juga terdapat DPA (Dewan Pertimbangan Agung) dan BPK

(Badan Pengawas Keuangan) yang masing- masing sebagai

lembaga tinggi Negara yang berfungsi untuk menjamin jalannya

pemerintahan yang efektif.29

Ketentuan mengenai lembaga-lembaga Negara diatur pada

Pasal 1 sampai dengan 16, Pasal 19 sampai dengan Pasal 23

(ayat 1 dan 5) serta Pasal 24 UUD NRI 1945 dan selanjutnya

kedudukan lembaga-lembaga Negara diatur dalam Ketetapan MPR

No III/MPR/1978 tentang Kedudukan Dan Hubungan Tata Kerja

Lembaga Tertinggi Negara Dengan/Atau Antara Lembaga-

Lembaga Tinggi Negara.

29
Oetojo Oesman.(1991). “Pancasila Sebagai Ideologi Negara”. Hlm. 295. Jakarta :
BP7 Pusat.

27
Lembaga tertinggi Negara adalah Majelis Permusyawaratan

Rakyat yang disingkat MPR. MPR sebagai penjelmaan seluruh

rakyat Indonesia adalah pemegang kekuasaan tertinggi Negara

dan pelaksana kedaulatan rakyat. MPR memilih dan mengangkat

presiden/mandatris dan wakil presiden untuk membantu presiden.

MPR memberikan mandate kepada presiden untuk melaksanakan

Garis-Garis Besar Halauan Negara (GBHN) dan putusan- putusan

MPR lainnya. MPR dapat pula memberhentikan presiden sebelum

habis masa jabatannya, yaitu karena:

a. Atas permintaan sendiri;

b. Berhalangan tetap (mangkat, berhenti atau tidak dapat

melaksanakan kewajiban dalam masa jabatannya, sesuai

dengan ketentuan pasal 8 UUD NRI 1945);

c. Sungguh-sungguh melanggar halauan Negara yang ditetapkan

oleh MPR.

Presiden tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR dan

pada akhir masa jabatannya (5 tahun) memberikan

pertanggungjawaban atas pelaksanaan GBHN yang ditetapkan

UUD NRI 1945 dan MPR di hadapan sidang MPR.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang seluruh anggotanya

adalah anggota MPR berkewajiban senantiasa mengawasi

tindakan-tindakan presiden dalam rangka pelaksanaan haluan

Negara. Apabila DPR menganggap presdien sungguh melanggar

28
haluan Negara, maka DPR menyampaikan memorandum untuk

mengingatkan presiden. Jika dalam waktu 3 bulan presiden tidak

memperhatikan memorandum tersebut, maka DPR menyampaikan

memorandum yang kedua. Apabila memorandum keduapun tidak

diindahkan oleh presiden, maka DPR dapat meminta MPR

mengadakan sidang istimewa untuk meminta pertanggung

jawaban presiden (Lihat Pasal 19 – 23 UUD 1945). Selama masa

jabatan presiden Soeharto tahun 1967 – 1998 sidang istimewa

untuk meminta pertanggungjawaban presiden ini belum pernah

dilaksanakan.

Pada tanggal 21 Mei 1998, Presiden Soeharto menyatakan

mundur dari jabatannya dan menyerahkan segala tanggungjawab

sebagi kepala negara dan kepala pemerintahan kepada Wakil

Presiden yaitu B.J.Habibi.

Pada masa pemerintahan orde baru, keanggotaan MPR

dikelompokkan dalam fraksi-fraksi, yaitu: Fraksi ABRI, Fraksi Karya

Pembangunan, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia, Fraksi

Persatuan Pembangunan dan Fraksi utusan Daerah. Fraksi-fraksi

ini dibentuk untuk meningkatkan daya guna kerja MPR dan

anggota-anggotanya dalam melaksanakan tugasnya sebagai wakil

rakyat.30 Sedangkan dalam melaksanakan tugas-tugasnya, MPR

mempunyai alat-alat kelengkapan sebagai berikut:

a. Pimpinan MPR
30
C.S.T. Kansil. Op Cit. hlm.90

29
b. Badan Pekerja MPR

c. Komisi Majelis

d. Panitia ad hoc MPR

Termasuk lembaga tinggi negara sesuai dengan urut-urutan

yang terdapat dalam UUD 1945 ialah presiden (Pasal 4 s.d 15),

Dewan Pertimbangan Agung (Pasal 16), Dewan Perwakilan Rakyat

(Pasal 19 s.d 22), Badan Pemeriksa Keuangan (Pasal 23) dan

Mahkamah Agung (Pasal 24).

Presiden ialah penyelenggara kekuasaan pemerintahan

negara tertinggi di bawah MPR, yang dalam melakukan

kewajibannya dibantu oleh satu orang wakil presiden (Pasal 4 UUD

NRI 1945). Tidak ada ketentuan lebih rinci mengenai tugas wakil

presiden dalam UUD NRI 1945. Dalam Ketetapan MPR No.

II/MPR/ 1973 tentang Tata Cara Pemilihan Presiden dan Wakil

Presiden, pada Pasal 2 disebutkan:

1) Presiden dan wakil presiden harus dapat bekerjasama;

2) Calon wakil presiden selain memenuhi persyaratan tertentu.

Yang ditetapkan MPR, harus juga menyatakan sanggup

dan dapat bekerjasama dengan presiden. Oleh karena tidak ada

ketentuan yang jelas dalam UUD 1945 tersebut, maka dalam

pengumuman presiden pada pembentukan Kabinet Pembangunan

II tanggal 27 Maret 1973, Presiden RI (Soeharto) menegaskan

tugas Wakil Presiden sebagai berikut:

30
1) Tugas Umum : Sesuai dengan Pasal 4 ayat (2) UUD NRI 1945,

tugas wakil presiden adalah membantu presiden dalam

melaksanakan tugasnya

2) Tugas Khusus:

a. Memperhatikan secara khusus, menampung masalah-masalah

dan mengusahakan pemecahan masalah- masalah yang perlu

yang menyangkut bidang tugas kesejahteraan rakyat;

b. Melakukan pengawasan operasional pembangunan dengan

bantuan departemen-departemen, dalam hal ini inspektur-

inspektur jendral dari departemen- departemen yang

bersangkutan.31

Presiden bersama-sama dengan DPR membentuk Undang-

Undang termasuk menetapkan Undang-Undang Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Presiden juga dengan

persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan

perjanjian dengan negara lain. Dalam menjalankan

pemerintahannya, presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR

dan presiden juga tidak dapat membubarkan DPR.

Dewan Pertimbangan Agung atau biasa disingkat DPA

adalah badan penasehat pemerintah yang berkewajiban memberi

jawaban atas pertanyaan presiden. Di samping itu DPA berhak

mengajukan usul dan wajib mengajukan pertimbangan kepada

31
Ibid

31
presiden. Susunan dan kedudukan DPA diatur dalam Undang-

Undang No. 3 Tahun 1967.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah badan yang

memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara yang dalam

pelaksanaan tugasnya terlepas dari pengaruh kekuasaan

pemerintah, namun tidak berdiri di atas pemerintah. BPK

memeriksa semua pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja

negara dan hasil pemeriksaannya diberitahukan kepada DPR.

Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan dan kedudukan BPK

diatur dalam Undang- Undang No. 5 Ttahun 1973.

Mahkamah Agung ialah badan yang melaksanakan

kekuasaan kehakiman yang dalam pelaksanaan tugasnya, terlepas

dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh-pengaruh

lainnya. Tugas Mahkamah Agung adalah memberikan

pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum baik diminta

maupun tidak kepada lembaga-lembaga tinggi negara, juga

memberikan nasehat hukum kepada Presiden/kepala negara untuk

pemberian/penolakan grasi. Di samping itu Mahkamah Agung

mempunyai wewenang menguji seorang menteri hanya terhadap

peraturan perundangan-undangan di bawah Undang-Undang.

Hubungan tata kerja antara lembaga- lembaga tinggi negara

diatur sebagai berikut:

32
1) Presiden ialah penyelenggara kekuasaan pemerintahan negara

tertinggi di bawah majelis, yang dalam melakukan kewajibannya

dibantu oleh wakil Presiden;

2) Hubungan kerja antara Presiden dan Wakil Presiden diatur dan

ditentukan oleh Presiden dibantu oleh Wakil Presiden;

3) Presiden bersama-sama DPR membentuk Undang-Undang

termasuk menetapkan Undang-Undang Anggaran Pendapatan

dan Belanja Negara;

4) Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang,

membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain;

5) Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR;

6) Presiden tidak dapat membubarkan DPR;

7) Presiden harus memperhatikan sungguh-sungguh suara DPR;

2. Pelaksanaan UUD NRI 1945 Masa Orde Baru 11 Maret 1966 s/d

21 Mei 1998

Masa Orde Baru (1966-1998), Pemerintah menyatakan

akan menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan

konsekuen. Namun pelaksanaannya ternyata menyimpang dari

Pancasila dan UUD NRI 1945 yang murni, terutama pelanggaran

Pasal 33 UUD NRI 1945 yang memberi kekuasaan pada pihak

swasta untuk menghancurkan hutan dan sumber alam yang lain.

Pada masa Orde Baru, UUD NRI 1945 juga menjadi konstitusi yang

sangat "sakral", di antaranya melalui sejumlah peraturan :

33
a) Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1983 yang menyatakan bahwa

MPR berketetapan untuk mempertahankan UUD NRI 1945, tidak

berkehendak akan melakukan perubahan terhadapnya;

b) Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum yang

antara lain menyatakan bahwa bila MPR berkehendak

mengubah UUD NRI 1945, terlebih dahulu harus minta

pendapat rakyat melalui referendum.

c) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum,

yang merupakan pelaksanaan TAP MPR Nomor IV/MPR/1983.

d) Konvensi Dalam Praktek Ketatanegaraan RI pada masa Orde

Baru Dalam praktik ketatanegaraan RI konvensi digunakan

sebagai pelengkap UUD NRI 1945, fungsi dari konvensi

berperan sebagai patner untuk memperkokoh kehidupan

ketatanegaraan Indonesia di bawah sistem UUD NRI 1945,

konvensi merupakan hukum dasar tak tertulis yang dalam

peranannnya tidak boleh bertentangan dengan UUD NRI

1945,contoh konvensi yang tidak bertentangan dengan UUD

1945 dalam praktik ketatanegaraan RI pada masa Orde Baru

adalah sebagai berikut:

1) Praktek di Lembaga Tertinggi Negara bernama Majelis

Permusyawaratan Rakyat (MPR), mengenai pengambilan

keputusan berdasarkan musyawarah untuk mufakat.

34
2) Pidato Presiden setiap tanggal 16 Agustus didepan sidang

Paripurna DPR yang di satu pihak memberi l laporan

pelaksanaan tugas pemerintah dalam setahun anggaran

yang lewat, dan di lain pihak mengandung arah

kebijaksanaan tahun mendatang

3) Pada setiap minggu pertama bulan januari, Presiden

Republik Indonesia selalu menyampaikan penjelasan

terhadap rancangan Undang-undang tentang APBN

dihadapan DPR. Perbuatan Presiden tersebut termasuk

dalam konvensi.32

Bagaimana dengan perubahan dalam ketatanegaraan RI

tentang pelaksanaan Pemilu. Pemilu merupakan sarana

pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara

langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara

Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilu

dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan asas langsung,

umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pada masa Orde

Baru,pemilu hanya berasaskan Langsung, Umum, Bebas, Rahasia

atau LUBER. Pemilu-Pemilu pada Orde Baru dilangsungkan pada

tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pemilu-Pemilu ini

diselenggarakan di bawah pemerintahan Presiden Soeharto.

Pemilu-Pemilu ini seringkali disebut dengan Pemilu Orde Baru.

Sesuai peraturan Fusi Partai Politik tahun 1975, pemilu-pemilu


32
Kaelan.(2004).“Pendidikan Pancasila”. Hlm. 180. Yogyakarta : Paradigma

35
tersebut hanya diikuti dua partai politik dan satu Golongan Karya.

Pemilu-pemilu tersebut kesemuanya dimenangkan oleh Golongan

Karya. dan Presiden Soeahrto terpilih terus pada 5 kali pemilu

tersebut.33

Pemilu yang dilaksanakan sepanjang rezim Orde Baru, lebih

merupakan selebrasi demokrasi yang artificial, tidak menyentuh

substansinya. Bahkan untuk sebuah demokrasi prosedural pun

jauh dari memenuhi persyaratan, karena pemilu yang berlangsung

secara tidak fair, penuh kecurangan, pemaksaan kehendak bahkan

intimidasi. Penyimpangan tiga unsur kehidupan demokrasi, yang

bermuara pada maraknya KKN, telah melemahkan kewibawaan

pemerintah, sekaligus hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap

pemerintah. Munculnya krisis moneter regional, telah menjadi

pemicu munculnya gerakan reformasi.

3. Sistem Ketatanegaraan Sesudah Amandemen UUD NRI 1945

Salah satu agenda penting dari gerakan reformasi adalah

amandemen terhadap UUD NRI 1945 yang kemudian berhasil

dilaksanakan selama 4 tahun berturut urut melalui Sidang Tahunan

MPR yaitu tahun 1999, 2000,2001 dan tahun 2002.

Reformasi dalam sistem perundang- undangan Indonesia ini

dilakukan dengan pertimbangan penyesuaian dengan kondisi

negara dan masyarakat Indonesia. Diharapkan dengan

diadakannya amandemen UUD NRI 1945 sebagai dasar hukum

33
Macheda.blog.uns.ac.id.Sejarah Ketatanegaraan

36
negara Indonesia bisa lebih menyerap kebutuhan rakyat serta

sesuai dengan kondisi yang terjadi saat ini. Karena UUD NRI 1945

setelah amandemen dianggap lebih demokratis bila dibandingkan

dengan UUD NRI 1945 sebelumnya. Latar Belakang pelaksanaan

Amandemen UUD NRI 1945:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

membentuk struktur ketatanegaraan yang bertumpu pada

kekuasaan tertinggi di tangan MPR yang sepenuhnya

melaksanakan kedaulatan rakyat. Hal ini berakibat pada tidak

terjadinya checks and balances pada institusi-institusi

ketatanegaraan.

2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada pemegang

kekuasaan eksekutif (Presiden). Sistem yang dianut UUD NRI

1945 adalah executive heavy yakni kekuasaan dominan berada

di tangan Presiden dilengkapi dengan berbagai hak

konstitusional yang lazim disebut hak prerogatif (antara lain:

memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi) dan kekuasaan

legislatif karena memiliki kekuasan membentuk Undang-

undang.

3) UUD NRI 1945 mengandung pasal-pasal yang terlalu “luwes”

dan “fleksibel” sehingga dapat menimbulkan lebih dari satu

37
penafsiran (multitafsir), misalnya Pasal 7 UUD NRI 1945

(sebelum di amandemen).

4) UUD NRI 1945 terlalu banyak memberi kewenangan kepada

kekuasaan Presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan

Undang-undang. Presiden juga memegang kekuasaan legislatif

sehingga Presiden dapat merumuskan hal-hal penting sesuai

kehendaknya dalam Undang-undang.

Amandemen terhadap UUD NRI 1945 dilaksanakan dengan

beberapa kesepakatan dari panitia Ad Hoc, antara lain :

1) Tidak mengubah Pembukaan Undang- Undang Dasar Republik

Indonesia Tahun 1945, sistematika, aspek kesejarahan dan

orisinalitasnya.

2) Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia

(NKRI).

3) Mempertegas Sistem Pemerintahan Presidensial.

4) Penjelasan UUD NRI 1945 ditiadakan serta hal-hal normatif

dalam penjelasan dimasukkan dalam pasal-pasal.

5) Perubahan dilakukan dengan cara “adendum”.

Rumusan UUD NRI 1945 tentang semangat

penyelenggaraan negara belum cukup didukung ketentuan

konstitusi yang memuat aturan dasar tentang kehidupan yang

38
demokratis, supremasi hukum, pemberdayaan rakyat,

penghormatan hak asasi manusia dan otonomi daerah.

Setelah dilakukan amandemen, MPR yang semula berisi

anggota-anggota DPR dan kelompok-kelompok fungsional

tambahan, termasuk militer, telah dirubah sehingga anggota MPR

hanya terdiri dari anggota-anggota DPR dan DPD saja. Bila

anggota DPR mewakili kepentingan- kepentingan partai politik,

maka anggota DPD mewakili kepentingan-kepentingan daerah

yang diwakilinya. Anggota MPR tersebut dipilih oleh rakyat

sehingga bisa dikatakan bahwa tidak terdapat lagi "kursi pesanan"

untuk militer dan golongan- golongan yang lain.

Perubahan pada sistem pemerintahan setelah amandemen

dilakukan juga terlihat jelas pada kekuasaan MPR di mana

sebelumnya MPR memiliki kekuasaan yang tidak terbatas dirubah

menjadi : kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan

menurut Undang Undang Dasar. Amandemen juga mencabut

kekuasaan untuk membuat Undang-Undang dari tangan Presiden

dan memberikan kekuasaan untuk membuat Undang- Undang

tersebut kepada DPR. Sehingga jelas bahwa amandemen ingin

mempertegas posisi check and balances antara presiden sebagai

lembaga eksekutif dan DPR sebagai lembaga legislatif.

39
Setelah pelaksanaan amandemen, Presiden tetap

memegang hak veto secara absolut untuk menolak segala

rancangan Undang-Undang yang dibuat DPR pada tahap

pembahasan. Langkah reformasi lembaga legislatif setelah

amandemen adalah dibentuknya Dewan Perwakilan Daerah (DPD)

yang dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada masyarakat

daerah untuk turut berperan aktif dalam pelaksanaan sistem

pemerintahan, di mana ide ini sejalan dengan konsep otonomi

daerah yang telah berjalan. Namun, otoritas DPD sangat terbatas

bila dibandingkan dengan otoritas DPR.

F. Kedudukan Kekuasaan Legislatif Sebelum dan Sesudah

Amandemen UUD NRI 1945

1. Kedudakan Lembaga Legislatif Pra Amandemen UUD NRI 1945

Terdapat hubungan yang sangat erat antara demokrasi

sebagai suatu sistem politik dengan kehadiran atau eksistensi dari

lembaga perwakilan rakyat atau parlemen. Demokrasi atau yang

dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 disebut kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan

dalam permusyawaratan/ perwakilan telah diterima sebagai salah

satu sendi kehidupan bernegara dalam Undang-undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dalam sistem ketatanegaraan menurut UUD NRI 1945 pra

amandemen Dewan Perwakilan Rakyat adalah salah satu lembaga

40
tinggi negara. Pengaturannya terdapat dalam Bab VII Pasal 19

sampai dengan Pasal 22. Realisasi dari Pasal 19 UUD NRI 1945

telah dikeluarkan UU Nomor 16 Tahun 1969 Tentang Susunan Dan

Kedudukan MPR, DPR dan DPRD sebagaimana telah diubah

dengan UU Nomor 5 Tahun 1975 dan UU Nomor 2 Tahun 1985.

Pada dasarnya DPR mempunyai tiga fungsi yaitu fungsi

legislasi, fungsi anggaran (Pasal 23 UUD NRI 1945) dan fungsi

pengawasan. Namun demikian, sebenarnya fungsi legislasi dalam

sistem UUD NRI 1945 dijalankan oleh Presiden sebagaimana

disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) UUD NRI 1945 : Presiden

memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan

persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam hubungan dengan

fungsi legislatif di Indonesia menurut UUD NRI 1945 pra

amandemen, J.C.T. Simorangkir menulis :

"Berlainan dengan sistem di banyak negara, fungsi legislatif

di Indonesia tidak hanya dilakukan oleh DPR, juga tidak oleh

pemerintah, tetapi kedua- duanya. Dalam hal pembuatan undang-

undang, kedudukan DPR dan Presiden adalah seimbang dan

sekuasa".34

Oleh karena lembaga yang berwenang membentuk undang-

undang menurut Undang-undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 adalah Presiden, sedangkan Dewan

34
J. C.T. Simorangkir dan B. Mang Reng Say.(1982).”Tentang dan Sekitar
UUD 1945”. Hlm. 75. Jakarta: Jambatan

41
Perwakilan Rakyat hanya memberikan persetujuan, maka

kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat sangat lemah, dalam arti

bahwa dalam banyak hal Dewan Perwakilan Rakyat hanya

berfungsi sebagai "stempel" pemerintah. Hampir semua rancangan

undang-undang yang menjadi undang-undang berasal dari usul

inisiatif Presiden, dan sangat sedikit rancangan undang-undang

yang berasal dari usul inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat.

2. Lembaga Legislatif Pasca Amandemen UUD NRI 1945

Dalam praktek penyelenggaran pemerintahan di Indonesia

fungsi legislasi dipandang sebagai fungsi yang dianggap utama,

sedangkan fungsi anggaran dan fungsi pengawasan adalah fungsi

kedua dan ketiga sesuai dengan urut-urutan penyebutan dalam

undang-undang. Padahal, ketiga-tiganya sama penting. Bahkan

menurut Jimly Assidiqie, "dewasa ini di seluruh penjuru dunia,

yang lebih diutamakan justru adalah fungsi pengawasan daripada

fungsi legislasi".35

Dari aspek politik melihat tugas-tugas dan wewenang Dewan

Perwakilan Rakyat memang kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat

adalah kuat, karena Dewan ini tidak dapat dibubarkan oleh

Presiden. Sebaliknya Dewan Perwakilan Rakyat berfungsi

mengawasi jalannya pemerintahan yang dilakukan oleh Presiden.

Di sisi lain, pemilihan Presiden secara langsung juga membuat


35
Sadu Wasistiono dan Yonatan Wiyoso. (2009). ”Meningkatkan Kinerja Dewan
Perwakilan Rakyat (DPRD)”. Hlm. 59.Bandung : Fokusmedia.

42
akuntabilitas Presiden menjadi kuat. Presiden hanya bertanggung

jawab kepada rakyat, dan tidak bertanggung jawab kepada Dewan

Perwakilan Rakyat atau lembaga negara lain. Akibatnya terjadi

pergeseran titik berat politik yang tadinya berada di tangan Dewan

Perwakilan Rakyat (heavy parlemen) atau legislative heavy kearah

heavy executive yang akan memperkuat posisi seorang Presiden.

Apalagi kalau mayoritas partai politik yang ada di Dewan

Perwakilan Rakyat telah melakukan koalisi untuk mendukung

Presiden, maka dapat saja kedua lembaga ini melakukan bentuk

hubungan secara negatif yang dapat merugikan rakyat.

Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia sejak Proklamasi

Kemerdekaan sampai sekarang kedudukan dan fungsi Dewan

Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

mengalami pasang surut. Ada suatu masa, di mana kedudukan

badan perwakilan rakyat ini sangat lemah dibandingkan dengan

kedudukan badan eksekutif, ada, pula suatu masa di mana,

kedudukan dan fungsi lembaga ini sangat kuat, yang pada akhirnya

mencapai titik keseimbangan antara badan legislatif dan badan

eksekutif.

3. Pergeseran Kekuasaan Legislatif Pasca Amandemen

Sebelum melangkah lebih jauh tentang pembahasan

pergeseran kekuasaan legislatif pasca amandemen terlebih dahulu

kita mengenal makna pergeseran. Pergesaran di sini lebih kepada

43
terjadinya suatu perubahan dan timbulnya keadaan baru yang

sebelumnya tak ada ataupun dari yang sebelumnya ada kemudian

menjadi tidak ada. Ada dua hal yang perlu digaris bawahi dalam

pergeseran kekuasaan legislatif pasca amandemen yakni

menyangkut:

a) Pergeseran Kekuasaan Legislatif Secara Kelembagaan

Sebelum amandemen yakni pada masa pemerintahan

Soeharto, kekuasaan legislatif secara kelembagaan dipegang oleh

MPR dan DPR. Tentu kedua lembaga ini mempunyai kedudukan

dan fungsi yang berbeda walaupun secara keanggotaan setiap

anggota DPR pada masa itu secara otomatis adalah sebagai

anggota MPR. Pasca amandemen UUD terjadi perubahan yang

sangat kentara berkaitan dengan kelembagaan negara di tubuh

legislatif. Yakni dengan masuknya DPD dalam kekuasaan legislatif.

Sehingga setelah amandemen UUD NRI 1945 ada 3 lembaga

didalam kekuasaan legislatif yakni MPR, DPR dan DPD. Banyak

pihak yang menyebut bahwa sistem perwakilan di Indonesia adalah

3 kamar (trikameral) karena adanya 3 lembaga negara yang

mempunyai fungsi berbeda dalam konstitusi. Ada juga yang

menyebut bahwa sistem perwakilan di Indonesia menganut sistem

2 kamar (bikameral) karena secara keanggotaan hanya ada 2

lembaga saja yakni DPR dan DPD, keanggotaan MPR adalah

adalah gabungan dari keanggotaan DPR dan DPD. Tentu masing-

44
masing pihak boleh memiliki pandangan tersendiri dalam melihat

sistem perwakilan di dalam tubuh legislatif.

b) Pergeseran Kekuasaan Legislatif berkaitan dengan Fungsi

Legislasi.

Setelah Amandemen UUD terjadi sebuah pergeseran

kekuasaan legislatif dalam menjalankan fungsinya yakni

membentuk undang-undang. Peran DPR sebagai organ kekuasaan

legislatif pasca amandemen lebih diperkuat lagi. DPR yang dulu

hanya diberikan wewenangan untuk memberikan persetujuan atas

rancangan undang- undang yang diajukan presiden (Pasal 20 ayat

1) kini mulai diberikan kekuasaan membentuk undang-undang

(Pasal 20 ayat 1 amandemen pertama). Peran presiden yang dulu

lebih dominan dalam pembuatan undang-undang karena diberikan

kekuasaan membentuk undang-undang kemudian mulai dikurangi

menjadi hanya sebatas mengajukan rancangan undang- undang,

melakukan pembahasan bersama- sama DPR dan mengsahkan

rancangan undang-undang tersebut.

Pergeseran lainnya adalah masuknya DPD kedalam tubuh

legislatif. Meskipun DPD bukan badan legislatif penuh karena

fungsinya tidak sebesar DPR namun kehadiran DPD dirasa sangat

berarti karena kontribusinya dianggap penting dalam mewakili

daerahnya masing-masing. Sayang, sejak disepakatinya kehadiran

DPD, sudah dapat diduga bahwa ”kamar kedua” dalam lembaga

45
perwakilan rakyat ini tidak akan punya peran signifikan. Jika

dibandingkan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dugaan itu

terkait dengan terbatasnya kewenangan DPD dalam sistem

ketatanegaraan Indonesia. Sebagai lembaga legislatif, misalnya,

DPD hanya dapat mengajukan dan ikut membahas rancangan

undang-undang tentang otonomi daerah; hubungan pusat-daerah;

pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah;

pengelolaan sumber daya alam dan ekonomi lain; serta

perimbangan keuangan pusat-daerah.

Dengan kewenangan yang begitu terbatas, DPD tidak dapat

mempunyai fungsi legislasi. Bagaimanapun juga fungsi legislasi

harus dilihat secara utuh yaitu dimulai dari proses pengajuan

sampai menyetujui sebuah RUU menjadi undang- undang.

Ketimpangan fungsi legislasi menjadi semakin nyata dengan

adanya Pasal 20 Ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa

kekuasaan membentuk undang-undang berada di tangan DPR.

Tidak hanya itu, Pasal 20A Ayat (1) UUD NRI 1945 secara eksplisit

menentukan bahwa fungsi legislasi hanya dimiliki oleh DPR.

46
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Penelitian ini merupakan tipe penelitian hukum Normatif yaitu,

penelitian yang objek penelitiannya adalah dokumen peraturan

perundang-undangan dan bahan pustaka. Penelitian hukum normatif

adalah penelitian yang dilakukan dengan pendekatan pada norma

atau substansi hukum, asas hukum, teori hukum, dalil-dalil hukum dan

perbandingan hukum.36

B. Jenis dan Sumber Bahan Hukum

Adapun jenis dan sumber bahan hukum yang digunakan dalam

penelitian dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu,

1. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat dan

terdiri dari norma atau kaidah dasar, peraturan dasar, peraturan

perundang-undangan, bahan hukum yang tidak dikodifikasi seperti

hukum adat dan yudisprudensi atau putusan peradilan. 37

2. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan

undang-undang, hasil-hasil penelitian atau pendapat para pakar.


36
Syaharuddin Nawi. (2018). “Penelitian hukum normatif versus penelitian hukum
empiris”. Makassar: PT Umitoha Ukhuwah Grafika Makassar. Hal. 7
37
Peter Mahmud Marzuki.(2017).” Penelitian Hukum”. Jakarta: Kencana. Hal. 182

47
Sebagai bahan hukum sekunder yang terutama adalah buku-

buku hukum termasuk skripsi, tesis dan disertasi hukum dan jurnal-

jurnal hukum.38

3. Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan

petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan

sekunder, seperti kamus hukum dan ensiklopedia.

C. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan

melakukan pencarian bahan-bahan kepustakaan atau biasa disebut

library reaserch yang terkait dengan pembahasan. Library reaserch

digunakan untuk mendapatkan informasi yang akurat dari bahan

hukum primer dan bahan hukum sekunder serta bahan hukum tersier

yang berhubungan dengan kajian permasalahan.

D. Analisis Bahan Hukum

Pada proses analisis bahan hukum penulis menggunakan

penelitian kualitatif yang guna memperoleh pemahaman mendalam,

mengembangkan teori mendeksripsikan realitas dan kompleksitas

sosial. Penelitian kualitatif bersifat umum, fleksibel dan dinamis.

Penelitian kualitatif sendiri dapat berkembang selama proses

penelitian berlangsung.

BAB IV
38
Ibid. hal. 195

48
HASIL PENELITIAN

A. Pergeseran kekuasaan legislatif pasca amandemen Undang-

undang Negara Republik Indonesia tahun 1945

B. Implikasi atas pergeseran kekuasaan legislatif pasca

amandemen Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945

Meningat karena pemegang kekuasaan legislatif saat ini

telah berada pada DPR, maka sudah sewajarnya paradigma

pembentukan UU menempatkan kedudukan DPR sebagai tempat

teratas dalam format atau kerangka dari setiap UU. Penempatan

frasa DPR dalam posisi teratas pada format bagian pembukaan

dari setiap UU, sesungguhnya tidak hanya merefleksikan

semangat yang dilekatkan pada DPR sebagai pembentuk UU

(primary legislator), tetapi juga memiliki makna simbolik terkait

dengan kedudukan DPR sebagai lembaga perwakilan yang

mempresentasikan rakyat.

Kedudukan DPR sebagai lembaga perwakilan yang

mempresentasikan rakyat, sesungguhnya berakar dari dasar

pemikiran filosofis tentang kehidupan bernegara yang berpijak pada

prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat. Dasar filosofis tersebut

49
berpijak bertolak dari argumentasi bahwa segala kehendak dan

keputusan yang diambil oleh lembaga perwakilan pada dasarnya

merefleksikan kehendak dan keputusan rakyat sebagai pemegang

kedaulatan. Demikian halnya Undang-Undang, pada hakikatnya

merupakan pernyataan kehendak rakyat yang dibahasakan ke

dalam rumusan kaidah-kaidah normatif. Oleh karena itu, salah satu

cara untuk merefleksikan kehendak rakyat (sebagai pemegang

kedaulatan) adalah dengan menempatkan frasa DPR (sebagai

lembaga perwakilan rakyat) dalam posisi teratas pada format

atau kerangka bagian pembukaan pada suatu Undang-Undang.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 memang tidak menentukan bagaimana seharusnya kerangka

suatu Undang-Undang setelah adanya pergeseran kekuasaan

legislatif dari Presiden ke DPR. Ketentuan Pasal 22A UUD 1945

hanya memerintahkan tentang tata cara pembentukan UU diatur

dengan UU, dan perintah Pasal 22A tersebut telah dijabarkan

lewat UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan.

Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 telah menetapkan

mengenai teknik penyusunan peraturan perundang-undang,

yakni berpedoman pada lampiran Undang-Undang No. 10

Tahun 2004. Berdasarkan ketentuan Pasal 44 ayat (2), maka

lampiran mengenai pedoman teknik penyusunan peraturan

50
perundang-undangan merupakan bagian yang tidak terpisahkan

dari UU No. 10 Tahun 2004.

Pasca perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 atau saat kekuasaan legislatif telah beralih

dari Presiden ke DPR, pembentuk Undang-undang (DPR dan

Presiden) “mencoba” merubah wajah format bagian ke DPR. Hal itu

tampak ketikaaaa mencermati format bagian pembukaan UU NRI

No.25 Tahun 2002 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau,

UU NRI No.32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran, UU NRI No. 18

Tahun 2003 tentang Advokat, yakni mencantumkan frasa: Dengan

Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA setelah konsiderans

menimbang dan mengingat hanya bertuliskan frasa : dengan

persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT. Penulisan frasa

seperti diatas dapat dilihat pada UU NRI No.5 Tahun 1974 tentang

Pokok-pokok Pemerintahan Daerah.

Jadi, perubahan format bagian pembukaan pada tiga UU

NRI tersebut di atas hanya terkait dengan ketentuan Pasal 20 ayat

(2) UUD NRI 1945, yakni soal keterlibatan Presiden bersama DPR

dalam membahas setiap RUU untuk mendapatkan persetujuan

bersama. Sementara makna simbolik terkait dengan kedudukan

DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif, belum tampak pada

format pembukaan pada tiga UU NRI diatas. Artinya,pada format

51
bagian pembukaan tiga UU NRI tersebut masih mencantumkan

frasa PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA sebagai symbol bahwa

Presiden berhak meletakkan dasar menimbang dan mengingat bagi

terbentuknya UU NRI. Pencantuman frasa PRESIDEN REPUBLIK

INDONESIA tersebut pada format bagian pembukaan setiap UU

NRI, masih tetap dipertahankan hingga sampai sekarang, terlebih

setelah adanya pedoman Teknik penyusunan peraturan

perundang-undangan yang tercantum pada Lampiran UU NRI No.

10 Tahun 2004.

Penulis sengaja menggunakan kata “mencoba” terkait

dengan upaya pembentuk UU NRI (DPR dan Presiden) dalam

menyikapi pergeseran kekuasaan legislatif dari Presiden ke DPR,

sebab penggunaan frasa: Dengan Persetujuan Bersama DEWAN

PERWAKILAN RAKYAT dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

pada tiga UU NRI di atas, yakni: UU NRI No. 25 Tahun 2002, UU

NRI No. 32 Tahun 2002, dan UU NRI No. 18 Tahun 2003, tidak

merujuk pada peraturan yang jelas mengenai pedoman teknik

penyusunan UU NRI. Hal itu semakin tampak ketika mencermati

format bagian pembukaan UU NRI No. 17 Tahun 2003 tentang

Keuangan Negara, yang juga terbentuk setelah kekuasaan legislatif

berada pada DPR, Format bagian pembukaan UU NRI No 17

Tahun 2003 tersebut masih mengikuti format lama seperti format

bagian pembukaan pada UU NRI No. 5 Tahun 1974, yakni

52
bertuliskan frasa: Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN

RAKYAT.39

Selain itu, frasa Dengan Persetujuan Bersama DEWAN

PERWAKILAN RAKYAT dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

pada format bagian pembukaan UU NRI No. 25 Tahun 2002, UU

NRI No. 32 Tahun 2002, dan UU NRI No. 18 Tahun 2003,

menunjukkan adanya kesamaan dengan pedoman yang terdapat

pada Lampiran UU NRI No. 10 Tahun 2004, khususnya pada

angka 37. Namun demikain, tidak argumentatif untuk mengatakan

bahwa penulisan frasa tersebut berpedoman pada Lampiran UU

NRI No. 10 Tahun 2004, sebab tahun terbentuknya tiga UU NRI

yang disebutkan di atas (Tahun 2002 dan 2003) lebih dulu dari

pada tahun terbentuknya UU NRI No. 10 Tahun 2004.

Menurut ajaran ilmu perundang-undangan, konsiderans

menimbang pada hakikatnya memuat dasar pertimbangan yang

bersifat filosofis, politik, dan sosiologis. Pertimbangan yang bersifat

filosofis, politik, dan sosiologis itulah yang mendasari mengapa

suatuUU perlu dibentuk. Idealnya, yang menangkap pertimbangan

filosofis, politik, dan sosiologis itu adalah DPR sebagai lembaga

perwakilan rakyat. Seperti kita ketahui, bahwa kedudukan dan

fungsi lembaga perwakilan rakyat adalah menampung dan

menyalurkan aspirasi rakyat. Hal ini merupakan konsekuensi logis


39
Contoh format bagian pembukaan UU NRI No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara telah
diperlihatkan pada Lampiran 2.

53
dari prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat. Oleh karena itu,

dalam logika demokrasi dan dalam konteks negara yang

berdasarkan hukum, kedudukan DPR sebagai lembaga perwakilan

melekat fungsi sebagai penampung dan penyalur aspirasi rakyat.

Aspirasi itulah yang kemudian diartikulasikan atau dibahasakan ke

dalam kaidah-kaidah normatif, selanjutnya dikemas dalam bentuk

UU NRI . Atas dasar itu, maka DPR yang sepatutnya berhak

meletakkan dasar filosofis, politik, dan sosilogis (konsiderans

menimbang) bagi terbentuknya suatu UU NRI, bukan Presiden

seperti yang tampak pada kerangka bagian pembukaan UU NRI

yang ada sekarang, yakni berpedoman pada Lampiran UU NRI No.

10 Tahun 2004.

Demikian pula konsiderans “mengingat” pada format bagian

pembukaan suatu UU NRI. Dalam ajaran ilmu perundang-

undangan, pembentukan suatu UU NRI mengharuskan adanya

dasar yuridis konstitusional sebagai landasan keabsahan setiap UU

NRI. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari kehadiran negara

yang mengklaim diri sebagai negara yang berasaskan demokrasi

dan berdasarkan hukum. Suatu negara yang berasaskan

demokrasi dan negara hukum, pada prinsipnya menempatkan DPR

sebagai pemegang kekuasaan membentuk UU NRI. Ketika UU NRI

dimaknai sebagai wujud pernyataan kehendak rakyat, maka

lembaga yang berwenang mengartikulasikan kehendak rakyat

54
adalah DPR sebagai lembaga yang mempresentasikan rakyat.

Dengan meminjam pendapat Rousseau,40 yang menyatakan bahwa

lembaga legislatif ibarat jantungnya negara, dan menentukan mati

dan hidupnya negara hukum, maka cukup beralasan kalau DPR

ditempatkan sebagai lembaga utama dan terdepan yang

menentukan terbentuknya UU NRI. Oleh karena itu, pada format

bagian pembukaan setiap UU NRI harus tampak makna simbolik

mengenai kedudukan DPR sebagai organ utama dan terdepan

dalam membentuk UU NRI (primary legislator). Hal itu hanya bisa

diwujudkan jika ada penyesuaian terhadap format bagian

pembukaan setiap UU NRI.

Jadi, adanya pergeseran kekuasaan legislatif dari Presiden

ke DPR pasca perubahan UUD NRI 1945, berimplikasi terhadap

penyesuaian format UU NRI. Jika selama ini, format bagian

pembukaan UU NRI masih mencantumkan frasa PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA setelah frasa DENGAN RAHMAT TUHAN

YANG MASA ESA, maka ke depan harus diganti dengan frasa

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT.

Pencantuman frasa DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

sebagai simbol bahwa DPR sebagai pemegang kekuasaan

legislatif yang berhak meletakkan dasar filosofis, politik, dan

sosiologis (konsiderans menimbang), serta dasar yuridis

40
Rousseau, The Social Contract,… Loc Cit,

55
(konsiderans mengingat) pada format bagian pembukaan setiap

UU NRI, pada dasarnya juga memberi makna bahwa ketentuan

Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 memperoleh penjabarannya.

Menurut Jimly Asshiddiqie, bahwa sepertinya kurang

disadari bahwa pengalihan kekuasaan membentuk UU NRI dari

Presiden ke DPR, membawa akibat pada perubahan format UU

NRI itu sendiri di masa depan. Seperti diketahui, UU NRI yang

ditetapkan oleh Kongres Amerika Serikat menggunakan kepala

surat ‘The Congress of the United States of America”, bukan

dengan kepala surat “President of the United States of America”.41

Format bagian pembukaan UU NRI yang mencantumkan

frasa PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA sebelum konsiderans

menimbang dan mengingat, sesungguhnya hanya mengikuti praktik

pembentukan UU NRI pada masa lalu, yakni pasca kemerdekaan

negara republik Indonesia. Pada masa itu, MPR dan DPR belum

terbentuk sesuai amanat UUD NRI Tahun 1945, sehingga

pengelolaan kekuasaan negara terpusat pada Presiden, dan

dibantu oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Lalu, setelah

keluarnya Maklumat Wakil Presiden No. X pada tanggal 16 Oktober

1945, maka terjadi pergeseraan kekuasaan membentuk UU NRI

dari Presiden ke KNIP.

41
Jimly Asshiddiqie. Format Kelembagaan, Op.Cit, Hlm.9

56
Pencantuman frasa PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

pada format bagian pembukaan UU NRI , pada dasarnya untuk

menunjukkan makna simbolik terkait dengan kedudukan Presiden

sebagai kepala negara. Pemberian makna simbolik itu seperti pada

dua contohUU di atas, yakniUU yang pernah ditetapkan pada

periode pertama berlaku UUD NRI Tahun 1945 (UU Tahun 1945

No. 1 dan UU Tahun 1947 No. 17), sesungguhnya tidak terlepas

dari pengaruh pemikiran lama yang menempatkan Presiden

sebagai pusat kekuasaan negara. Soepomo adalah salah seorang

the founding fathers yang menghendaki konsentrasi kekuasaan

negara berada pada Presiden (consentration of power and

responsibility)42. Bahkan Soepomo pernah berkata; bahwa buat

(pelaksanaan pemerintahan) sehari-hari, Presiden yang merupakan

penjelmaan kedaulatan rakyat. Penjelmaan kedaulatan rakyat

adalah Presiden, bukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Jadi

Soepomo memang menghendaki a very strong position of

President.43

Pemikiran yang menghendaki konsentrasi kekuasaan

negara berada pada Presiden atau Presiden dianggap sebagai

penjelmaan kedaulatan rakyat, tampaknya tidak sesuai lagi dengan

semangat yang mendasari tuntutan atas perubahan UUD NRI

42
Sima pernyataan Soepomo dalam Rapat Besar BPUPKI tanggal 15 Juli 1945 dalam Saafroedin
Bahar, dkk (Penyunting), Op Cit, hlm. 274, dan Moh. Mahfud, MD.1999.” Amandemen Konstitusi
Menuju Reformasi Tata Negara” .UII Press, Yogyakarta. Hlm. 51
43
Muhammad Yamin.”Naskah Persiapan”. Op Cit, hlm. 260

57
Tahun 1945 dimana telah menempatkan kedudukan DPR sebagai

pemegang kekuasaan legislatif. Oleh karena itu, terlalu berlebihan

jika Presiden yang meletakkan dasar filosofis, politik dan sosiologis

(konsiderans menimbang), serta dasar yuridis (konsiderans

mengingat) bagi terbentuknya setiap UU NRI.

Berbeda dengan sistem pembentukanUU di Amerika Serikat,

yang hanya melibatkan dua majelis di Kongres (sistem bikameral).

Di Indonesia, DPD yang mempresentasikan kepentingan daerah

hanya sebagai pelengkap semata dalam sistem lembaga

perwakilan Indonesia. Meskipun selama ini, sudah banyakUU

tentang pembentukan kabupaten/kota yang ditetapkan oleh DPR

bersama Presiden, namun pada tingkat pembahasan dan

persetujuan RUU itu di DPR, DPD sama sekali tidak dilibatkan.

Berhubung karena masih ada distorsi perimbangan

kekuasan antara DPR dan DPD, maka mekanisme kontrol ganda

(double checks) dalam proses pembentukan UU NRI tidak bisa

diwujudkan. Adanya distrosi tersebut dengan jelas menunjukkan

bahwa reformasi sistem ketatanegaraan Indonesia masih perlu

dilakukan lewat perubahan kelima UUD NRI 1945. Lalu, jika

memang ada kehendak politik untuk mengamandemen kembali

UUD NRI 1945, maka salah satu materi perubahan yang perlu

mendapat perhatian adalah penguatan wewenang DPD sebagai

pemegang kekuasaan legislatif yang berdampingan dengan DPR.

58
Paling tidak, DPD diberi kewenangan untuk mengajukan RUU,

serta membahas dan menyetujui setiap RUU yang terkait dengan

otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan

pemekaran, serta penggabungan daerah, anggaran pendapatan

dan belanja negara, dan lain-lain RUU yang terkait dengan

kepentingan daerah.

Harapan untuk menguatkan DPD sebagai pemegang

kekuasaan legislatif yang berdampingan dengan DPR lewat

perubahan kelima UUD NRI Tahun 1945, tentu saja tidak bisa

dilakukan secara parsial hanya sebatas pada ketentuan yang

mengatur tentang wewenang DPD, tetapi juga membawa

konsekuensi pada perubahan beberapa ketentuan dalam UUD NRI

Tahun 1945, seperti Pasal 22D (wewenang DPD), Pasal 2 ayat 1

(sistem lembaga perwakilan), Pasal 20 (wewenang DPR). Jika

harapan itu kelak menjadi suatu realitas, maka pada akhirnya

membawa konsekuensi pada perubahan peraturan perundang-

undangan yang terkait dengan mekanisme pembentukan peraturan

perundang-undangan, termasuk di dalamnya perubahan terhadap

format UU NRI.

Jika kelak hasil perubahan kelima UUD NRI Tahun 1945

juga menempatkan DPD sebagai pemegang kekuasaan legislatif

seperti halnya DPR, maka konfigurasi formatUU akan bervariasi.

Idealnya, jika suatu RUU berasal DPD dan materinya memang

59
terkait dengan wewenang DPD, selanjutnya telah dibahas dan

disetujui oleh DPD bersama dengan DPR dan Presiden

menjadiUU, maka format bagian pembukaan UU NRI itu

selayaknya mencantumkan frasa DEWAN PERWAKILAN DAERAH

guna menunjukkan bahwa DPD yang meletakkan dasar filosofis,

politik, dan sosiologis (konsiderans menimbang), serta dasar yuridis

(konsiderans mengingat) atas terbentuknya UU NRI.

Selanjutnya, jika suatu RUU berasal DPR, selanjutnya telah

dibahas dan disetujui oleh DPR bersama dengan DPD dan

Presiden menjadi UU NRI, maka format bagian pembukaan UU

NRI itu mencantumkan frasa DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

guna menunjukkan bahwa DPR yang meletakkan dasar filosofis,

politik, dan sosiologis (konsiderans menimbang), serta dasar yuridis

(konsiderans mengingat) atas terbentuknya UU NRI.

Konfigurasi format bagian pembukaanUU seperti yang

digambarkan di atas, hanya dapat dipertahankan sepanjang tidak

ada perubahan UUD 1945 yang mengatur pemurnian kekuasaan

legislatif berada sepenuhnya pada lembaga perwakilan (DPR dan

DPD). Artinya, jika terjadi pemurnian kekuasaan legislatif

sepenuhnya berada pada lembaga perwakilan (DPR dan DPD)

seperti halnya kekuasaaan legislatif di Amerika Serikat yang

sepenuhnya berada pada Kongres (DPR dan Senat), maka

Presiden tidak lagi terlibat dalam pembahasan RUU untuk

60
mendapatkan persetujuan bersama. Lalu, dengan terlepasnya

keterlibatan Presiden dalam pembahasan RUU untuk mendapatkan

persetujuan bersama, maka frasa PRESIDEN REPUBLIK

INDONESIA tidak perlu tercantum pada format bagian pembukaan

setiap UU NRI.

61
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dapat disimpulakn bahwa rumusan permasalahan yang

merupakan central pembahasan skripsi ini:

1. (BELUM DIISI)

2. Meskipun sudah terjadi pergeseran kekuasaan legislatif dari

Presiden ke DPR yang dihasilkan dari Perubahan Pertama UUD

NRI Tahun 1945, namun proses pembentukan UU NRI masih

didominasi oleh Presiden. Hal itu tampak dari penggunaan hak

inisiatif dalam mengajukan RUU untuk dibahas dan disetujui

bersama (DPR dan Presiden). Selain itu, keterlibatan Presiden

dalam memberikan persetujuan bersama terhadap suatu RUU

masih menyisahkan problema ketatanegaraan ketika Presiden

menolak mengesahan suatu RUU yang telah disetujui bersama.

B. Saran

1. (belum diisi)

2. DPD perlu melakukan konsolidasi kembali (untuk kedua kalinya)

guna menghimpun dukungan politik dari berbagai pihak

terutama dari kepada anggota DPD agar persyaratan jumlah

MPR yang mengusulkan perubahan Kelima UUD 1945 dapat

terpenuhi.

62
63
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan Terjemahan Departemen Agama RI

Literatur:

Adji Habib.(2008). Hukum Notaris Indonesia. Bandung: PT. Refika


Aditama.

Agus Wahyudi.(2005). Doktrin Pemisah Kekuasaan Akar Filsafat dan


Praktek.

Asshiddiqie, Jimly. Struktur Ketatanegaraan Indonesia setelah Perubahan


Keempat UUD tahun 1945, Makalah Seminar Pembangunan
Hukum Nasional VII. Denpasar : Departemen Kehakiman dan Hak
Asasi Manusia RI, 14-18 Juli

______________. (2006). Perihal Undang-Undang. Jakarta: Konstitusi


Pers.

______________.(2010). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta:


Rajawali Pers.

Bangir Manan. (2004). Perkembangan UUD 1945. Yogyakarta : FH UII


Press.

___________. (2003). DPR,DPD,dan MPR Dalam UUD NRI 1945 baru .


Yogyakarta: FH UII Press.

Budiyanto. (2004). Kewarganegaraan untuk SMA kwla X. Jakarta:


Erlangga, cet I

Departemen Pendidikan Nasional.(2003). Kamus Besar Bahasa Indonesia


(KBBI). Jakarta : Balai Pustaka.

Eka Sihombing. (2018). Hukum Kelembagaan Negara. Yogyakarta: Ruas


Media.

G.S. Diponolo. (1975). Ilmu Negara Jilid 2. Jakarta : Balai Pustaka.

Geoffrey Marshalmi.(1971). Constitutional Theory. London : Oxford


University Press

Hadjon, Phiiliphus M.(2002). Pengantar Hukum Administrasi Indonesia.


Yogyakarta: Gajah MadaUniversity Press

64
Hestu Cipto Handoyo.(2003). Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan &
Hak Asasi Manusia (memahami Proses Konsolidasi Sistem
Demokratis di Indonesia). Yogyakarta

Indra, Muh. Ridwan. (1990). UUD Sebagai Karya Manusia. Jakarta: Sinar
Harapan.

Kaelan. (2004). Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.

Kansil, C.S.T.(1978). Sistem Pemerintahan Indonesia. Jakarta: Aksara


Baru.

Kuntan Magnar.(2006). Hubungan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)


dengan Presiden Setelah Perubahan UU Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Bandung : Disertasi pada Program Pasca
Sarjana UNPAD.

Mariam Budiardjo. (2008). Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi. Jakarta:


Gramedia.

Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim.(1988). “Hukum Tata Negara


Indonesia”. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI

Naning, Randlon.,(1982). Lembaga Legislatif sebagai pilar Demokrasi dan


mekanisme Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945.
Yogyakarta: Liberty.

Ni’matul Huda.(2003). “Politik Ketatanegaraan Indonesia (Kajian Terhadap


Perubahan UUD”. Yogyakarta : FH UII Press.

Oesman, Oetojo.(1991). Pancasila Sebagai Ideologi Negara. Jakarta: BP7


Pusat.

Peter Mahmud Marzuki.(2017). Penelitian Hukum. Jakarta : Kencana

Sadu Wasistiono dan Yonatan Wiyoso.(2009). Meningkatkan Kinerja


Dewan Perwakilan Rakyat(DPRD). Bandung: Fokusmedia

Salang, Sebastian., Djadijono, M.., Wiratma, I Made Leo.,danLegowo, TA.,


(2009). Menghindari Jeratan Hukum Bagi Anggota Dewan. Jakarta:
PT. Penebar Swadaya.

Saldi Isra.(2010). Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model


Legislasi Parlementer dalam Sistem Pridensial Indonesia. Jakarta:
PT.Raja Grafindo Persada

Simorangkir, J.C.T. dan Say, B. Mang Reng.(1982). Tentang dan Sekitar


UUD 1945. Jakarta: Jambatan.

65
Syahruddin Nawi.(2018). Penelitian hukum normartif versus penelitian
hukum empiris. Makassar: PT. Umitoha Ukhuwah Grafika Makassar

PerUndang-undangan :

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan


Perundang-undangan

Sumber-Sumber Lain :

http://menangpemilulegislatif.blogspot.com/2011/03/legislatif-di-
indonesia.html Macheda.blog.uns.ac.id.Sejarah Ketatanegaraan
Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2007).

Montesquice.www.wikipedia.com, diakses 10 september

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,


Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta : Penerbit BalaiPustaka,
Cetakan ke-3, 1990).

Yokotani.(2017). System Bikameral di Lembaga Legislatif Berdasarkan


Tugas dan Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah. Jurnal Hukum
Progresif. Vol.XI No.1 Juni 2017

66

Anda mungkin juga menyukai