Anda di halaman 1dari 119

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena hanya

dengan berkat, rahmat, dan karunia-Nyalah, sehingga kami dapat

menyelesaikan penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan

Daerah Kabupaten Bone tentang Protokoler Pimpinan dan Anggota Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah tepat waktu. Naskah Akademik ini diharapkan

bermanfaat dalam Perancangan Peraturan Daerah khususnya tentang

Protokoler Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Naskah akademik ini disusun secara sistematis dan komprehensif

berdasarkan sistematika penyusunan Naskah Akademik sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Makassar, 2022

Hormat Kami

Tim Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ..........................................................................ii

Daftar Isi ...................................................................................iii

Daftar Tabel ...............................................................................vi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .................................................................... 1

B. Identifikasi Masalah ............................................................. 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penyusunan Naskah Akademik ........ 7

D. Sistematika Penyusunan Naskah Akademik ......................... 9

E. Metode Penyusunan Naskah Akademik ................................ 10

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

A. Kajian Teoritis .................................................................... 12

1. Teori Pemisahan Kekuasaan .......................................... 12

2. Kekuasaan Legislatif ...................................................... 17

3. Negara Kesatuan dan Otonomi Daerah ........................... 21

4. Teori Kepastian Hukum ................................................. 25

5. Konsepsi Hukum, Etika, dan Moralitas .......................... 27

B. Kajian Terhadap Asas Asas atau Prinsip Prinsip yang

Terkait dengan Penyusunan Norma ....................................... 33

C. Kajian terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi Yang

Ada, serta Permasalahan yang Dihadapi Masyarakat............. 41

D. Kajian Terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru yang

Akan diatur dalam Peraturan Daerah Terkait dengan

iii
Aspek Kehidupan Masyarakat dan Dampaknya Terhadap

Aspek Beban Keuangan Negara ............................................. 54

BAB III EVALUASI DAN ANALISA PERATURAN PERUNDANG-

UNDANGAN TERKAIT

A. UUD NRI Tahun 1945 ......................................................... 57

B. Undang-undang Nomor 29 Tahun 1959 tentang

Pembentukan Daerah Tingkat II di Sulawesi ....................... 60

C. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang

Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu

Kebangsaan ....................................................................... 60

D. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang

Keprotokolan ...................................................................... 61

E. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 sebagaimana

telah diubah Undang-Undang 11 Tahun 2020 .................... 63

F. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24

Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan

Keuangan Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah .......................................................................... 64

BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

A. Landasan Filosofis .............................................................. 65

B. Landasan Sosiologis............................................................ 67

C. Landasan Yuridis ................................................................ 76

BAB V SASARAN, ARAH DAN JANGKAUAN PENGATURAN,

SERTA RUANG LINGKUP MATERI MUATAN

iv
A. Jangkauan Peraturan Daerah ............................................. 82

B. Arah Pengaturan................................................................. 83

C. Materi Muatan .................................................................... 84

BAB VI PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................................ 93

B. Saran.................................................................................. 94

DAFTAR PUSTAKA .................................................................... 95

LAMPIRAN ................................................................................ 98

v
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Jumlah Kursi DPRD Kabupaten Bone Periode

2014-2024 .......................................................................... 48

Tabel 2. Dapil Kabupaten Bone........................................................ 49

Tabel 3. Jumlah Anggota DPRD Kabupaten Bone

berdasarkan Jenis Kelamin ................................................ 51

Tabel 4. Jumlah Anggota DPRD Kabupaten Bone

berdasarkan Jenjang Pendidikan ........................................ 52

Tabel 5. Jumlah Keputusan DPRD Kabupaten Bone

2017 – 2021 ....................................................................... 53

Tabel 6. Nama Anggota DPRD Kabupaten Bone

Hasil Pemilihan Umum Tahun 2019 ................................... 71

vi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia sebagai negara yang menganut teori pemisahan

kekuasaan. Konsep Trias Politika dari Montesquieu memiliki 3 tiga

lembaga negara yakni lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang

memiliki tugas dan wewenang berbeda-beda serta diatur lebih jelas

di dalam Undang-Undang. Membahas mengenai anggota parlemen

yang duduk di masing-masing tingkatan baik DPR RI, DPRD Provinsi

dan DPRD Kabupaten/ Kota ini dalam penetapannya dan

pemilihannya, rakyat ikut andil melalui pesta demokrasi melalui

Tahapan Pemilihan Umum.

Pelaksanaan Pemilu ini untuk menentukan masing-masing

anggota DPRD yang duduk di tingkat masing masing sesuai dengan

pelaksanaan azas desentralisasi. Adanya azas desentralisasi ini

membuat pemerintah di daerah tingkat satu (Provinsi) dan daerah

tingkat dua (Kabupaten/Kota) memiliki hak untuk mengatur segala

urusan daerahnya tanpa campur tangan pihak lain. DPRD

merupakan salah satu contoh lembaga negara yang diberikan

kewenangan untuk mengatur urusan daerahnya sendiri. Adapun

fungsi yang dimiliki oleh DPRD kabipaten/kota adalah fungsi

legislasi, pengawasan dan anggaran. Dalam menjalankan fungsi

legislasinya, DPRD disebut sebagai legislature atau badan legislatif.

1
Fungsi legislasi yang dijalankan oleh DPRD ini berarti DPRD berhak

untuk membuat suatu kebijakan berupa aturan yang tertuang dalam

produk hukum salah satunya adalah melalui Peraturan Daerah

(Perda). Dalam proses pembuatan Perda ini DPRD dapat bekerjasama

dengan Kepala Daerah agar nantinya mampu menghasilkan Perda

yang berkualitas, tentunya sesuai dengan yang dibutuhkan oleh

masyarakat di daerah yang dipimpinnya. Perda yang dibuat oleh

DPRD ini haruslah Perda yang berkualitas agar sesuai dengan tujuan

negara yang diharapkan yakni negara kesejahteraan (welfare state).1

Pengawasan merupakan salah satu fungsi utama yang melekat

pada DPRD selain fungsi legislasi dan anggaran. Seyogyanya aspirasi

masyarakat dalam bidang pengawasan, secara melembaga sudah

terwakili melalui wakil-wakilnya yang duduk di DPRD. Fungsi

pengawasan ini diharapkan bisa berjalan efektif sesuai harapan

masyarakat, peraturan dan perundangundangan yang berlaku.

Pengawasan DPRD bertujuan untuk menjamin agar pemerintah

daerah menjalankan programnya sesuai dengan rencana dan

ketentuan perundangan yang berlaku.2 Sedangkan Fungsi anggaran

merupakan salah satu fungsi dari DPRD dalam menyusun dan

menetapkan APBD Bersama dengan pemerintah daerah yang dalam

hal ini adalah Kepala Daerah. Hal tersebut telah tertuang dalam

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 Pasal 101 ayat (1) huruf b yang

1Novia Rahmawati (anonim) Literasi Legislasi, Jurnal JCMS Vol. 5 No. Tahun 2020.
2Aminuddin, Fungsi Pengawasan DPRD dalam Mewujudkan Tata Kelola Pemerintahan
yang Baik, Volume 3 No. 12, Jurnal Katalogis, 2015.

2
menyatakan bahwa: “membahas dan memberikan persetujuan

Rancangan Perda Provinsi tentang APBD Provinsi yang diajukan oleh

gubernurmembahas dan memberikan persetujuan Rancangan Perda

Provinsi tentang APBD Provinsi yang diajukan oleh gubernur”. DPRD

dalam melaksanakan fungsi anggaran harus terlibat secara aktif dan

proaktif dalam setiap proses penyusunan APBD dan memahami

makna anggaran dengan baik. Dalam hal ini, DPRD harus pintar

dalam menyusun APBD agar sesuai dengan perencanaan

pembangunan dan kebutuhan masyarakat. DPRD harus berperan

serta dalam setiap proses penyusunan APBD dengan menyusun

menjunjung fiduciary duty. Dalam perencanaan penggunaan

keuangan daerah akan dibahas dan ditetapkan dalam bentuk APBD

oleh DPRD bersama kepala daerah dalam bentuk peraturan daerah

(PERDA) dalam setiap tahunnya. Maka DPRD mempunyai

kewenangan untuk menyetujui atau menolak serta menetapkan

RAPBD yang diajukan oleh pihak pemerintah daerah menjadi APBD.

Penyelenggaraan pemerintahan daerah, sebagaimana

dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah, dilaksanakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah (DPRD) dan kepala daerah yang berkedudukan sebagai unsur

penyelenggara pemerintahan daerah yang diberi mandat oleh rakyat

untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang diserahkan kepada

daerah. Sebagai salah satu unsur penyelenggara pemerintahan

daerah, DPRD diharapkan mampu membawa nilai-nilai demokratis

3
dan memperjuangkan aspirasi rakyat dan daerah. DPRD, dengan

demikian, bukan hanya menjadi perantara yang menjembatani

pemerintah (eksekutif) dengan rakyatnya, namun juga menjembatani

ketegangan dari berbagai segmen dalam masyarakat yang saling

memperjuangkan kepentingannya.

Implementasi dari ketiga fungsi itu selanjutnya

dioperasionalkan dalam bentuk hak dan kewajiban anggota dalam

lembaga DPRD yang kesemuanya harus di atur jelas dalam peraturan

tata tertib DPRD. Pelaksanaan hak dan kewajiban sebagai

manifestasi dari trifungsinya itu harus dapat dipertanggungjawabkan

pada diri sendiri, masyarakat, lingkungan dan terutama konstituen

yang memberikan kepercayaan penuh padanya untuk memperbaiki

sistem pemerintah ke arah yang diinginkan seluruh elemen bangsa

dan negara.3

Lembaga legislatif sebagai lembaga perwakilan dalam bertindak

atas nama kepentingan rakyat yang diwakili sebagai pencerminan

demokrasi, agar dapat berjalan, lembaga legislatif memiliki beberapa

macam fungsi. Berjalannya fungsi lembaga perwakilan rakyat akan

dapat mencerminkan derajat demokrasi. Pada umumnya fungsi

perwakilan dibedakan menjadi empat macam fungsi, yaitu (1) fungsi

3Jhony Fredy Hahury, Fungsi DPRD dalam Mewujudkan Good Government, (anonim),
2014, hlm. 265.

4
penganggaran, (2) fungsi perundangan, (3) fungsi pengawasan, dan

(4) fungsi menampung dan menyalurkan aspirasi rakyat.

DPRD harus melaksanakan fungsinya dengan baik guna

mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih yaitu dengan

terselenggaranya good governance yang merupakan prasyarat utama

mewujudkan aspirasi masyarakat mencapai tujuan dan citacita

bangsa dan negara. Tolak ukur keberhasilan DPRD menjalankan

amanat rakyat, tidak terlepas dari sumber daya manusia, integritas,

dan kredibilitas Pimpinan dan Anggota DPRD. Untuk menunjang hal

tersebut, perlu dilakukan koordinasi antara DPRD dan Pemerintah

Daerah agar terjalin hubungan yang baik, harmonis, serta tidak

saling mendominasi satu sama lain. Peningkatan kerja sama secara

kelembagaan dilaksanakan melalui keseimbangan antara mengelola

dinamika politik disatu pihak dan tetap menjaga stabilitas

pemerintahan daerah di pihak lain, sehingga pola keseimbangan

pengelolaan pemerintahan daerah yang dilakukan dapat memberikan

manfaat secara signifikan bagi peningkatan kesejahteraan rakyat di

daerah tersebut.

Untuk dapat berjalannya pola keseimbangan pengelolaan

pemerintahan daerah perlu ditunjang dengan kesejahteraan yang

memadai. Salah satu upaya untuk memberikan penghormatan

kepada anggota DPRD kabupaten bone sebagai bagian dari

pemerintahan daerah kabupaten bone itu diatur dalam Undang-

5
Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan, khususnya

dalam ketentuan yang menjelaskan Kedudukan Protokoler Pimpinan

dan Anggota DPRD, dimana disebutkan bahwa Pimpinan dan Anggota

memperoleh kedudukan protokoler dalam acara resmi. Hal ini

kemudian dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014

tentang Pemerintahan Daerah.

Lebih lanjut dalam Pasal 123 Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 2 Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004 tentang kedudukan protokoler

dan keuangan pimpinan dan anggota dewan perwakilan rakyat

daerah disebutkan bahwa Pimpinan dan Anggota DPRD mempunyai

protokoler. Merujuk pada amanat ketentuan tersebut, maka

Pemerintah Daerah Kabupaten Bone perlu menyusun peraturan

daerah yang dimaksudkan untuk mengatur lebih lanjut hal-hal yang

berkaitan dengan pelaksanaan Protokoler Pimpinan dan Anggota

DPRD Kabupaten Bone.

Selain sebagai berfungsi sebagai peraturan pelaksana dari

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah

dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004 tentang

Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan anggota dewan

perwakilan rakyat daerah dengan Peraturan tersebut juga berfungsi

sebagai pedoman dalam rangka memperoleh penghormatan

berkenaan dengan jabatannya baik dalam acara kenegaraan, acara

6
resmi maupun dalam melaksanakan tuigasnya. Hal tersebut

dimaksudkan untuk mendukung kelancaran tugas dan fungsi DPRD.

B. Identifikasi Masalah

Merujuk uraian latar belakang sebelumnya, identifikasi

masalah dalam Rancangan Peraturan Daerah (selanjutnya disebut

Ranperda) Kabupaten Bone tentang Protokoler Pimpinan dan Anggota

DPRD dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah kajian teoritis, asas/prinsip terkait dengan

penyusunan norma, praktik empiris, implikasi penerapan sistem

baru, serta dampak Ranperda Kabupaten Bone tentang Protokoler

Pimpinan dan Anggota DPRD terhadap daerah?

2. Bagaimanakah evaluasi dan analisis peraturan perundangan-

undangan terkait terhadap Ranperda Kabupaten Bone tentang

Protokoler Pimpinan dan Anggota DPRD?

3. Bagaimanakah pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis,

dan yuridis pembentukan Ranperda Kabupaten Bone tentang

Protokoler Pimpinan dan Anggota DPRD? dan

4. Bagaimanakah sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup

pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam Kabupaten

Bone tentang Protokoler Pimpinan dan Anggota DPRD?

C. Tujuan dan Kegunaan Penyusunan Naskah Akademik

Tujuan penyusunan Naskah Akademik Ranperda Kabupaten

Bone tentang Protokoler Pimpinan dan Anggota DPRD ialah, sebagai

berikut:

7
1. Untuk mengetahui kajian teoritis, asas/prinsip yang terkait

dengan penyusunan norma, praktik empiris, implikasi

penerapan sistem baru, serta dampak Ranperda Kabupaten

Bone tentang Protokoler Pimpinan dan Anggota DPRD terhadap

keuangan daerah?

2. Untuk mengetahui evaluasi dan analisis Ranperda Kabupaten

Bone tentang Protokoler Pimpinan dan Anggota DPRD terhadap

Peraturan Perundang-undangan terkait?

3. Untuk mengetahui pertimbangan atau landasan filosofis,

sosiologis, dan yuridis pembentukan Ranperda Kabupaten Bone

tentang Protokoler Pimpinan dan Anggota DPRD? dan

4. Untuk mengetahui sasaran yang akan diwujudkan, ruang

lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam

Ranperda Kabupaten Bone tentang Protokoler Pimpinan dan

Anggota DPRD?

Sedangkan kegunaan penyusunan naskah akademik ini

yaitu:

1. Memberikan landasan ilmiah yang diperlukan bagi

pembentukan Ranperda Kabupaten Bone tentang Protokoler

Pimpinan dan Anggota DPRD;

2. Merumuskan konsep ideal yang akan digunakan sebagai acuan

dalam Protokoler Pimpinan dan Anggota DPRD dengan

memperhatikan peraturan perundang-undangan yang ada serta

mempertimbangkan aspek lain yang berpengaruh terhadap

8
Protokoler Pimpinan dan Anggota DPRD Kabupeten Bone yang

ada saat ini; dan

3. Sebagai gambaran umum tentang Protokoler Pimpinan dan

Anggota DPRD dari segi regulasi

D. Sistematika Penyusunan Naskah Akademik

Pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Bone

tentang Protokoler Pimpinan dan Anggota DPRD, memuat

sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab 1 :Pendahuluan, yang menguraikan latar belakang,

identifikasi masalah, maksud dan tujuan, sistematika

penyusunan serta metode penyusunan naskah

akademik.

Bab 2 :Merupakan bab yang mengungkapkan kajian teoretis,

kajian terhadap asas/prinsip yang terkait dengan

penyusunan norma. Kajian terhadap praktik

penyelenggaraan, kondisi yang ada, serta permasalahan

yang dihadapi masyarakat, serta kajian terhadap

implikasi penerapan sistem baru yang akan diatur dalam

undang-undang terkait dengan aspek kehidupan

masyarakat dan dampaknya terhadap aspek beban

keuangan negara dan daerah.

Bab 3 :Merupakan bab yang mengungkapkan evaluasi dan

analisis peraturan perundang-undangan terkait

9
Ranperda tentang Protokoler Pimpinan dan Anggota

DPRD.

Bab 4 :Merupakan bab yang mengungkapkan landasan

filosofis, sosiologis, dan yuridis pembentukan Ranperda

Protokoler Pimpinan dan Anggota DPRD.

Bab 5 :Merupakan bab yang mengungkapkan jangkauan, arah

pengaturan, dan ruang lingkup materi muatan Ranperda

tentang Protokoler Pimpinan dan Anggota DPRD.

Bab 6 :Merupakan bab penutup yang berisi tentang kesimpulan

dan saran dalam melakukan perumusan norma baru

terkait Protokoler Pimpinan dan Anggota DPRD.

E. Metode Penyusunan Naskah Akademik

Penyusunan Naskah Akademik Ranperda Kabupaten Bone

tentang Protokoler Pimpinan dan Anggota DPRD berlandaskan

metode penelitian yuridis empiris. Penelitian ini juga didukung oleh

studi perbandingan hukum4 dengan mengambil bahan hukum

sekunder dari beberapa literatur lokal dan beberapa daerah lain,

serta kajian bahan hukum primer meliputi peraturan perundang-

undangan nasional dan ketentuan-ketentuan peraturan daerah lain

yang berlaku positif dan terkait dengan Protokoler Pimpinan dan

4 Dalam ilmu pengetahuan terdapat tiga konsep pokok yaitu klasifikasi, pengukuran
(kuantitatif), dan perbandingan. Perbedaan ketiga konsep tersebut hanya terletak pada
cakupan informasi yang tersedia atas suatu objek atau fenomena apapun yang sedang
diamati. Di antara ketiga konsep dimaksud, konsep perbandingan (komparatif) adalah
konsep yang lebih efektif memberikan informasi karena komparatif memiliki atau terikat
oleh suatu struktur hubungan logis yang relatif kompleks dan rumit.

10
Anggota DPRD. Proses penyusunan naskah akademik ini

melibatkan berbagai stakeholder, meliputi ahli/pakar, akademisi,

praktisi hukum, dan unsur lainnya sebagai narasumber melalui

penyelenggaraan Fokus Group Discusion (FGD), diskusi publik, dan

forum komunikasi. Kesemuanya itu dilakukan guna menyaring

pandangan dan aspirasi dari semua pemangku kepentingan guna

merumuskan Protokoler Pimpinan dan Anggota DPRD yang ideal di

Kabupaten Bone dan berkesesuaian dengan hukum positif. Dengan

demikian, baik tujuan maupun kegunaan dari naskah akademik ini

pada gilirannya dapat direalisasikan.

11
BAB II

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

A. Kajian Teoritis

1. Teori Pemisahan Kekuasaan

Jika ditinjau dalam perspektif sistem ketatanegaraan pada

dasarnya keumuman para sarjana dan pakar hukum saat ini

mengaitkan konsep pemisahan kekuasaan ke dalam konsep

trichonomy yang membagi kekuasaan dalam tiga bagian, yaitu

eksekutif, legislatif, dan yudikatif.5 Namun pada dasarnya konsep

pemisahan kekuasaan sangatlah luas. Dalam perspektif ilmu

kenegaraan banyak teori yang juga memandang sistem

ketatanegaran tidak selamannya bersifat trichonomy.

Sebelum Montesquieu mengemukakan konsep trichonomynya

atau yang saat ini dikenal juga dengan konsep trias politica. Di

negara Perancis pada abad ke-XVI, yang pada umunya diakui

sebagai fungsi-fungsi kekuasaan negara itu ada lima, Kelimanya itu

adalah 1) fungsi diplomacie 2) fungsi defencie 3) fungsi nancie 4)

fungsi justicie dan 5) fungsi policie.6 Hal senada dengan C. Van

Vollenhoven7 yang membagi fungsi-fungsi kekuasaan negara itu

atas empat cabang, yaitu 1) fungsi regeling (pengaturan), 2) fungsi

bestuur (penyelenggaraan pemerintahan), 3) fungsi rechtsspraak

5 Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Pasca Amandemen UUD 1945,
Kencana, Jakarta, 2011, hlm. 74.
6 Jimmly Ashiddiqie, Perkembangan Dan Konsolodasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,

Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 29.


7 ibid, hlm. 29-30.

12
atau peradilan, dan 4) dan fungsi politie yang berkaitan dengan

fungsi ketertiban dan keamanan. Demikian juga Goodnow8 melihat

secara prinsipil mengenai fungsi negara yang menurutnya cukup

dibagi dua, yaitu 1) Policy making, berkaitan dengan kebijaksanaan

negara untuk waktu tertentu, untuk seluruh masyarakat, 2) Policy

executing, adalah kebijaksanaan yang harus dilaksanakan sebelum

tercapainya policy making.9 Dari berbagai teori diatas, tidak

menafikkan bahwa pengaruh gagasan trias politica Montesquieu

saat ini dianggap masih lebih mendalam dan bahkan

mempengaruhi cara berpikir banyak ahli.

Montesquieu dalam bukunya L’Esprit des Lois yang mengikuti

jalan pikiran John Locke, membagi kekuasaan negara dalam tiga

cabang, yaitu 1) kekuasaan legislatif sebagai pembuat undang-

undang, 2) kekuasaan eksekutif yang melaksanakan, dan 3)

kekuasaan yudikatif untuk menghakimi. Dari klasifikasi

Montesquieu inilah dikenal pembagian kekuasaan negara modern

dalam tiga fungsi, yaitu legislatif (the legislatif function), eksekutif

(the executive or administratif function), dan yudisial (the judicial

function).10 Satu organ hanya boleh menjalankan satu fungsi

(functie), dan tidak boleh saling mencampuri urusan masing-

8 Romi Librayanto, Ilmu Negara (Suatu Pengantar), Cet.2, Arus Timur, Makassar, 2012,
hlm. 133.
9 ibid
10 Jimmly Ashiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Rajawali Pers, Jakarta, 2014,

hlm. 281.
10 ibid, hlm. 283.

13
masing dalam arti yang mutlak, jika tidak demikian, maka

kebebasan akan terancam.11

Sebagai sandingan terhadap pemikiran Montesquiou, juga

terdapat pemikiran John Locke yang dituangkan dalam bukunya

yang berjudul Two Treatises On Civil Goverment. John Locke

memisahkan kekuasaan negara dalam tiga bentuk, yaitu 1)

kekuasaan legislatif, kekuasaan untuk membentuk undang-

undang; 2) kekuasaan eksekutif, kekuasaan untuk melaksanakan

undang-undang; dan 3) kekuasaan federatif, kekuasaan

mengadakan perserikatan dan aliansi serta segala tindakan dengan

semua orang dan badan-badan di luar negeri.12

Inti dari konsep trias politica Montesquieu adalah untuk

mengantisipasi pemusatan kekuasaan dan mencegah terbentuknya

kekuasaan mutlak yang sewenang-wenang, olehnya kekuasaan

perlu dipisahkan.13 Kehadiran konsep pemisahan kekuasaan juga

tidak terlepas dari gagasan bahwa demi terjaminnya kebebasan

politik rakyat (political liberty). Kebebasan merupakan hal penting

dalam pemikiran Montesqieu. Gagasan keharusan adanya jaminan

kebebasan inilah diantaranya yang menyebabkan Montesqieu

merumuskan konsep perlunya pembatasan kekuasaan. Kebebasan

11 Zulkifli Aspan, Lembaga-Lembaga Negara Pascaamendemen Konstitusi Dalam


Hubungan Fungsional, Pelaporan, Dan Pengawasan, Jurnal Ilmu Hukum AMANNA
GAPPA Vol. 20 Nomor 4, Desember 2012. hlm. 402
12 C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Sistem Pemerintahan Indonesia, Bumi Aksara,

Jakarta, 2005, hlm. 8


13 Ismail Sunny, Mekanisme Demokrasi Pancasila, cet.vi, Aksara Baru, Jakarta, 1987,

hlm. 9-10.

14
politik sulit dijaga atau dipertahankan bila kekuasaan negara

tersentralisasi atau dimonopoli oleh seorang penguasa atau

lembaga politik tertentu. Kekuasaan negara menurutnya perlu

dibagi-bagi. Inilah yang kemudian dikenal sebagai gagasan

pemisahan kekuasaan negara (separation of power).14

Montesquieu seperti yang diutarakan Deliar Noer,15 apabila

kekuasaan legislatif dan eksekutif disatukan pada tangan yang

sama ataupun pada badan penguasa yang sama, tidak mungkin

terdapat kemerdekaan. Begitu pula juga tidak akan bisa ditegakkan

kemerdekaan itu bila kekuasaan mengadili tidak dipisahkan dari

kekuasaan legislatif dan eksekutif. Apabila kekuasaan mengadili

disatukan dengan baik eksekutif atau legislatif, kemerdekaan

rakyat akan terancam. Bila kekuasaan mengadili digabungkan pada

kekuasaan eksekutif, hakim itu akan bersikap dan bertindak

dengan kekerasan dan penindasan. Alexander Hamilton dalam the

federalist paper nomor 24,26, dan 28 menyatakan pemisahan

kekuasaan legislatif dan eksekutif terlihat sebagai bagian upaya

mencegah terjadinya pembentukan undang-undang yang

merugikan rakyat sehingga kepercayaan rakyat dapat

dipertahankan.16

14 Ahmad Yani, Sistem Pemerintahan Indonesia: Pendekatan Teori dan Praktik, Lentera
Hukum Volume 5 Issue 2, Jakarta, 2018, hlm. 253
15 Deliar Noer, Pemikiran Politik Di Negeri Barat, Mizan, Bandung, 1998, hlm. 136.
16 Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam

Sistem Presidensial Indonesia, Raja Grafindo, Jakarta, 2010, hlm.

15
Konsep trias politica juga hadir dalam rangka membangun

kultur checks and ballances antar cabang kekuasaan. Dengan

adanya pemisahan kekuasaan antara legislatif, eksekutif, dan

yudikatif maka akan terjadi saling mengontrol satu sama lain sesuai

dengan prinsip ‘checks and balances’ sebab ketiga kekuasaan

tersebut memiliki kedudukan yang sederajat satu sama lain.

Dengan adanya prinsip ‘checks and balances’ ini maka kekuasaan

negara dapat diatur, dibatasi bahkan dikontrol dengan sebaik-

baiknya, sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat

penyelenggara negara ataupun pribadi-pribadi yang kebetulan

sedang menduduki jabatan dalam lembaga-lembaga negara yang

bersangkutan dapat dicegah dan ditanggulangi dengan sebaik-

baiknya.17

Konsep pemisahan kekuasaan oleh Montesquieu telah

menekankan adanya kedudukan yang sederajat baik antara

lembaga eksekutif, legislatif, serta yudikatif. Adanya kedudukan ini

menjadi dasar pentingnya menaruh perhatian terhadap mekanisme

kerja ketiga kekuasaan tersebut khsusnya dalam menjalankan

tugas dan fungsinya. Penyelenggaran sistem pemerintahan yang

akuntabel tidak hanya menjadi tanggungjawab kekuasaan

eksekutif, tapi juga termasuk menjadi tanggung jawab lembaga

yang selama ini menjalankan fungsi legislasi baik di tingkat pusat

17 Jimly Ashiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Sekretariat Jenderal dan


Kepaniteraan MKRI, Jakarta, 2005, hlm. 59

16
maupun pada tingkat daerah. Lembaga yang menjalankan fungsi

legislasi berperan dalam peyusunan norma hukum yang nantinya

akan mengikat masyarakat. Penyelenggaraan kinerja yang baik oleh

lembaga yang menjalankan fungsi legislasi nantinya akan sangat

membantu pencapaian tujuan penyelenggaran pemerintahan agar

dapat memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat.

2. Kekuasaan Legislatif

Sebagaimana yang dikemukakan Montesquieu dalam teori

trias politica menyebutkan bahwa Lembaga Legislatif merupakan

wakil rakyat yang diberikan kekuasaan untuk membuat undang-

undang dan menetapkannya.18 Lebih lanjut hal serupa juga

dikemukakan oleh Miriam Budiarjo bahwa lembaga legislatif atau

legislature mencerminkan salah satu tugas badan tersebut, yaitu

legislate atau membuat undang-undang.19

John Locke menyebutkan bahwa legislatif merupakan

lembaga perwakilan rakyat dengan kewenangan untuk menyusun

peraturan yang dibuat pemerintah sebagai wujud kedaulatan

tertinggi yang berada di tangan rakyat. Maka dengan begitu,

lembaga legislatif harus dengan benar melakukan tugasnya dengan

mengatas namakan rakyat dan diharapkan tidak ikut serta

menekan kepentingan rakyat.20 Menurut CF. Strong, Lembaga

18 Montesquieu, www.wikipedia.com, diakses 7 Mei 2022


19 Eka Nam Sihombing , Hukum Kelembagaan Negara, Yogyakarta, Ruas Media, 2018,
hlm. 45.
20 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi, Gramedia, Jakarta, 2008,

hlm. 136.

17
Legislatif merupakan lembaga dengan memegang kekuasaan

pemerintahan yang mengurusi pembuatan suatu produk hukum,

sejauh hukum tersebut memerlukan kekuatan undang-undang

(statutory force). Hal tersebut juga dipertegas oleh Hans Kelsen,

bahwa fungsi legislatif merupakan suatu pembentukan norma

umum yang dilakukan oleh organ khusus, yang disebut sebagai

Lembaga Legislatif.21

Lembaga Legislatif memiliki beberapa fungsi, diantaranya: (i)

menyerap aspirasi rakyat; (ii) mengagregasikan kepentingan rakyat,

(iii) melakukan rekruitmen politik, (iv) mengontrol dan mengawasi

kinerja eksekutif.22 Menurut Miriam Budiardjo, Badan Legislatif

memiliki dua fungsi penting, diantaranya:23

1) Menentukan suatu kebijakan dan membuat undang-undang,

sehingga legislatif tersebut diberi hak inisiatif, yakni hak untuk

mengadakan amandemen terhadap rancangan undang-

undang, dan terutama dibidang budget atau anggaran;

2) Mengontrol badan eksekutif, bahwa legislatif diharap untuk

menjaga tindakan badan eksekutif sesuai dengan

kebijakankebijakan yang telah ditetapkan. Untuk menjalankan

tugas tersebut maka badan perwakilan rakyat diberi hak-hak

kontrol khusus.

21 Yokotani. Sistem Bikameral di Lembaga Legislatif Berdasarkan Tugas dan Kewenangan


Dewan Perwakilan Daerah (Perbandingan dengan Amerika Serikat, Inggris, dan
Argentina). Jurnal Hukum Progresif. Vol. XI No. 1 Juni 2017. hlm. 1850.
22 Eka Nam Sihombing, Op cit, hlm. 45.
23 Miriam Budiardjo. Op.Cit. hlm 322-323

18
Berdasarkan Undang-Undang No 17 Tahun 2014 Tentang

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,

DPRD sebagai salah satu lembaga perwakilan memiliki beberapa

fungsi yang diatur dalam pasal 165. Pasal tersebut menyebutkan

bahwa DPRD kabupaten/kota mempunyai fungsi:

a. legislasi;

b. anggaran; dan

c. pengawasan.

Ketiga fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijalankan

dalam kerangka representasi rakyat di kabupaten/kota. Fungsi

legislasi merupakan fungsi yang dimiliki anggota DPRD provinsi

maupun kabupaten atau kota dalam membentuk Peraturan Daerah

(selanjutnya disebut Perda) bersama Gubernur/Bupati/Walikota.

Seperti dalam Pasal 150 Undang-Undang No. 23 Tahun 2014

tentang Pemerintahan Daerah yang menjelaskan terkait

pelaksanaan fungsi pembentukan Perda, diantaranya dilakukan

dengan cara:24

a. Membahas bersama kepala daerah dan menyetujui atau tidak

menyetujui rancangan Perda;

b. Mengajukan usul rancangan Perda;

c. Menyusun program pembentukan Perda bersama dengan kepala

daerah.

24 Pasal 150 Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

19
John M. Echols menjelaskan terkait fungsi legislasi yang

berasal dari kata “legislasi” atau “legislation” yang diartikan sebagai

perundang-undangan dan pembuatan undang-undang. Sementara

itu untuk kata “legislation” merupakan kata asal “to legislate” yang

berarti mengatur atau membuat undang-undang.25 Menurut Jimly

Asshidiqie, fungsi legislasi menyangkut empat bentuk kegiatan,

diantaranya:26

a. Prakarsa pembuatan undang-undang (legislative initation);

b. Pembahasan rancangan undang-undang (law making process);

c. Menyetujui atas pengesahan rancangan undang-undang (law

enactement approval);

d. Memberi persetujuan ratifikasi atas perjanjian atau persetujuan

internasional dan dokumen-dokumen hukum yang mengikat

lainnya.

Disamping melaksanakan fungsi legislasi, DPRD juga

memilikitugas untuk melaksanakan fungsi anggaran. Fungsi

anggaran oleh DPRD dilakukan dengan cara:27

a. membahas KUA dan PPAS yang disusun oleh kepala daerah

berdasarkan RKPD;

b. membahas rancangan Perda tentang APBD;

c. membahas rancangan Perda tentang perubahan APBD; dan

25 John M. Echols, Dictionary of Law, Gramedia, Jakarta, 1997, hlm. 353.


26 Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam
Sistem Presidensial Indonesia. Jakarta, Raja Grafindo. 2010, hlm. 79.
27 Pasal 152 ayat (2) Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

20
d. membahas rancangan Perda tentang pertanggungjawaban

pelaksanaan APBD. Fungsi anggaran merupakan suatu kegiatan

yang dijalankan dalam penyusunan dan penetapan anggaran

pendapatan dan belanja daerah bersama-sama pemerintah

daerah.

DPRD dalam menjalankan fungsi ini harus terlibat secara

aktif, proaktif, dan bukan reaktif dan sebagaimana legitimator

usulan APBD atas pengajuan pemerintah daerah.28

DPRD sebagai lembaga yang menjalankan fungsi legislasi dan

anggaran juga memiliki kewenangan dalam menjalanakn fungsi

pengawasan. Berdasarkan Pasal 153 Undang-Undang No. 23 Tahun

2014 tentang Pemerintahan Daerah menjelaskan terkait fungsi

pengawasan diwujudkan dalam bentuk pengawasan terhadap:

a. Pelaksanaan Perda dan peraturan kepala daerah;

b. Pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan lain

yang terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah;

c. Pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan laporan keuangan

oleh Badan Pemeriksa Keuangan

3. Negara Kesatuan dan Otonomi Daerah

L.J Van Apeldorn menyebutkan bahwa suatu negara dapat

disebut sebagai negara kesatuan apabila kekuasaan hanya

dipegang oleh pemerintah pusat sementara provinsi-provinsi

28Mustaking Hamzah, Penguatan Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Sumatera Barat


Dalam Rangka Menjalankan Fungsi Anggaran Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemda,Jurnal Ilmiah Langue and Parole. Vol. 1 No. 1. hlm. 219.

21
menerima menerima kekuasaan dari pemerintah pusat. Privinsi-

provinsi tersebut tidam memupunyai hak mandiri. 29 Abu Daud

Busroh mengutarakan:

Negara kesatuan adalah negara yang tidak tersusun

adaripada beberapa negara seperti halnya negara federasi,

melainkan negara itu sifatnya tunggal , artinya hanya ada satu

negara, tidak ada negara dalam negara. Jadi dengan demikian

didalam negara kesatuan itu hanya ada satu pemerintahan yaitu

pemerintah pusat yang mempunyai kekuasaan atau wewenang

tertinggi dalam segala lapangan pemerintahan.30

Negara kesatuan terbagi dalam 2 bentuk: 1) negara kesatuan

dengan sistem sentralisasi dan 2) negara kesatuan dengan sistem

desentralisasi. Dalam suatu negara kesatuan yang sentralisasi

maka segala sesuatu dalan negara lansung diatur dan diurus oleh

pemerintah pusat dan daerah-daerah hanya tinggal melaksanakan

segala yang telah diinstruksikan oleh pemerintah pusat. Sedangkan

dalam negara kesatuan dengan sistem desentralisasi maka kepada

daerah-daerah diberikan kesempatan dan kekuasaan untuk

mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri yang kemudian

dikenal juga dengan daerah otonom.31

29 Bonar Siorangkir et al, Otonomi atau federalisme dampaomnya terhadap perekonomian,


cetakan pertama, pustaka sinar harapan dan harian suara pembaruan, jakarta, 2000,
hlm 4
30 Abu Daud Busroh, Ilmu negara, Cetakan Pertama, Bumi Aksara, Jakarta, 1990, hlm

64-65
31 Ni’Matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, cetakan ketiga, Nusa Media, Bandung,

2012, hlm. 28

22
Konsep negara kesatuan tidak ada kedaulatan cabang,

sehingga tidak konflik kewenangan antara pemerintah pusat

dengan daerah, daerah selalu tunduk dan merupakan subordinat

dari pemerintah pusat. Pendapat yang sama diungkapkan oleh

Hans Antlov yang dikutip oleh Suharizal bahwa prinsip negara

kesatuan berlandaskan kepada kedaulatan negara secara

keseluruhan, lebih lanjut mengemukakan :

“the unitary principle ground sovereignity in the nation as a whole.

A Goverment represing a unitry nation has right to delegate powers

downward to region and local institutions, through legislation, but

the region have no right to any og these powers. A Unitery staste

can higly cantralized (like france) or it can be decentralized, with a

substatial degree of autonomy of for provinces or communes (like

Britain and Nethreland) At any rate, it is a unitry satate. The power

held by local and region organs have been received from above, and

can be withdrawn throught new legislation without any need for

consent from the communes or provinces concerned”.

Pendapat Hans Antlov tersebut mengandung pengertian

bahwa dalam negara kesatuan baik yang sentralistik maupun

desentralistik yang diberikan hak otonom ke daerah atau organ atau

institusi merupakan pemberian pemerintah pusat, pemberian hak

otonom itu dapat ditarik baik kewenangan maupun peraturan

perundang-undangan tingkat daerah tanpa harus meminta

23
persetujuan terlebih dahulu dari daerah.32 Sedangkan istilah

otonomi berasal dari dua kata bahasa Yunani, yaitu autos (sendiri),

dan nomos (peraturan) atau “undang-undang”. Oleh karena itu,

otonomi berarti peraturan sendiri atau undang-undang sendiri,

yang selanjutnya berkembang menjadi pemerintahan sendiri.

Dalam terminologi ilmu pemerintahan dan hukum administrasi

negara, kata otonomi ini sering dihubungkan dengan kata otonomi

daerah. Menurut Fernandez yang dikutip oleh Dharma Setyawan

Salam, bahwa otonomi daerah adalah pemberian hak, wewenang,

dan kewajiban kepada daerah memungkinkan daerah tersebut

dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri untuk

meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan

pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan

pelaksanaan pembangunan.33

Hal senada juga dikemukakan oleh Van Der Pot bahwa setiap

Negara kesatuan dapat disusun dan diselenggarakan menurut asas

dan sistem sentralisasi atau desentralisasi. pemerintahan

sentralisasi dapat sepenuhnya dilaksanakan oleh dan dari

pemerintah pusat atau pemerintah pusat bersama dengan organ-

organya yang telah terpencar di daerah-daerah. Sementara

desentralisasi akan didapatkan apabila kewenangan mengatur dan

mengurus penyelenggaraan pemerintahan tidak semata-mata

32 Suharizal, Demokrasi Pemilukada Dalam Sisitem Ketatanegaraan RI, UNPAD


Press, Bandung, 2012, hlm. 54-55.
33 Dharma Setyawan Salam, Otonomi Daerah Dalam Persepektif Lingkungan, Nilai dan

Sumber daya, Djembatan, Jakarta, 2002, hlm. 88-89.

24
dilakukan oleh pemerintah pusat, melainkan juga oleh satuan -

satuan pemerintahan yang lebih rendah dana mandiri serta bersifat

otonom34

4. Teori Kepastian Hukum

Gagasan mengenai asas kepastian hukum ini awalnya

diperkenalkan oleh Gustav Radbruch dalam bukunya yang berjudul

“einführung in die rechtswissenschaften”. Radbruch menuliskan

bahwa di dalamhukum terdapat 3 (tiga) nilai dasar, yakni:35 (1)

Keadilan (Gerechtigkeit); (2) Kemanfaatan (Zweckmassigkeit); dan

(3) Kepastian Hukum (Rechtssicherheit).

Keberadaan asas kepastian hukum merupakan sebuah

bentuk perlindungan bagi yustisiabel (pencari keadilan) terhadap

tindakan sewenang- wenang, yang berarti bahwa seseorang akan

dan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan

tertentu.36 Pernyataan tersebut sejalan dengan apa yang dikatakan

oleh Van Apeldoorn bahwa kepastian hukum memiliki dua segi,

yaitu dapat ditentukannya hukum dalamhal yang konkret dan

keamanan hukum. Hal memiliki arti bahwa pihak yang mencari

keadilan ingin mengetahui apa yang menjadi hukum dalam suatu

hal tertentu sebelum ia memulai perkara dan perlindungan bagi

para pencari keadilan. Sehingga tujuan kepastian hukum mutlak

34 C.W. Van Der Pot, Handboek Van Nederlandse Staatrecth, Tjeenk Willink, Zwolle, 1983,
hlm. 525
35 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012, hlm. 19
36 Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti,

Bandung, 1993, hlm. 2.

25
untuk dicapai agar dapat melindungi kepentingan umum (yang

mencakup juga kepentingan pribadi) dengan fungsi sebagai motor

utama penegak keadilan dalam masyarakat (order), menegakkan

kepercayaan warga negara kepada penguasa (pemerintah), dan

menegakkan wibawa penguasa dihadapan pandangan warga

negara.37

Lebih lanjut terkait kepastian hukum, Lord Lloyd mengatakan

bahwa:38 “…law seems to require a certain minimum degree of

regularity and certainty ,f or without that it would be impossible to

assert that what was operating in a given territory amounted to a legal

system” Dari pandangan tersebut maka dapat dipahami bahwa

tanpa adanya kepastian hukum, orang tidak tahu apa yang harus

diperbuatnya dan akhirnya timbulah ketidakpastian (uncertainty)

yang pada akhirnya akan menimbulkan kekerasan (chaos) akibat

ketidaktegasan sistem hukum. Sehingga dengan demikian

kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang

jelas, tetap dan konsisten dimana pelaksanaannya tidak dapat

dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif.39

37 A. Ridwan Halim, Evaluasi Kuliah Filsafat Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1987,
hlm. 166.
38 Mirza Satria Buana, Hubungan Tarik-Menarik Antara Asas Kepastian Hukum (Legal

Certainpi) Dengan Asas Keadilan (Substantial Justice) Dalam Putusan-Putusan Mahkamah


Konstltusi, Tesis Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2010,
hlm. 34
39 R. Tony Prayogo, Penerapan Asas Kepastian Hukum Dalam Peraturan Mahkamah Agung

Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Hak Uji Materiil Dan Dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi
Nomor 06/Pmk/2005 Tentang Pedoman Beracara Dalam Pengujian Undang-Undang,
Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 13, Nomor 2, 2016, hlm.194

26
5. Konsepsi Hukum, Etika, dan Moralitas

Etik atau etika pada hakikatnya merupakan pandangan

hidup dan pedoman tentang bagaimana orang itu seyogyannya

berperilaku. Etik yan berasal dari kesadaran manusia merupakan

petunjuk tentang perbuatan mana yang baik dan mana yang buruk.

Etik juga merupakan penilaian atau kualifikasi terhadap perbuatan

seseorang.40

Etik adalah usaha manusia untuk mencari norma baik dan

buruk. Etik juga diartikan sebagai “the principles of morality” atau

“the field of study or morals or right conduct”. Secara lebih sederhana

dapatlah dikatakan bahwa etik adalah filsafat tingkah laku atau

filsafat mencari pedoman untuk mengetahui bagaimana manusia

bertindak yang baik atau etis. Setiap tingkah laku dari manusia

tentunya memiliki kriterium untuk menentukan apakah termasuk

baik atau tidak. Kriterium yang digunakan untuk menentukan baik

atau tidaknya suatu tingkah laku bukanlah melalui hasil dari

pengamatan suatu individu sebagai makhluk sosial akan tetapi

sebagai individu yang melihat sesuatunya melalui penghayatan

terhadap hati nurani.41

Dalam tataran teoritis, jenis etika terbagi atas tiga pembagian

yang telah berlaku secara universal yang dikemukakan oleh W.K

40Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta, Liberty, 2003.


hlm 38.
41Ibid. hlm 38.

27
Frankena.42Pertama yaitu Etika Deskriptif (etika paparan,

beschrijvende ethiek) dimana ketegori pertama ini sejenis sejarah

atau sosiologi moral yang digarap oleh para antropolog, historikus,

psikolog, dan sosilog. Di dalamnya yang dipaparkan adalah pola

moral yang berlaku (berpengaruh) dalam suatu masyarakat

tertentu, atau disebut juga dengan moral positif. Dimana arti

“positif” mempunyai arti yang sama dengan hukum positif.

Jenis kedua adalah Etika Kaidah (norm-ethiek) dan Etika Nilai

(waarde-ethiek) yang juga dinamakan ajaran Kesusilaan (zedenleer).

Bentuk-bentuk etika ini adalah yang paling dikenal dan terbagi ke

dalam berbagai aliran. Serta bagian yang ketiga adalah apa yang

disebut dengan Meta-Etika yang merupakan teori tentang etka yang

mempersoalkan teori tentang moral.

a. Etika Paparan43

Dalam bentuk etika paparan, orang memaparkan pola moral yang

berpengaruh atau yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu.

Tidak hanya dalam pandangan normatif tetapi juga dalam

pandangan positivistik, maka bentuk etika ini harus berkenaan

dengan suatu pendekatan empirik murni tentang moral. Dalam

realitasnya, sering ditemukan adanya ketumpangtindihan antara

kaidah hukum dan moral. Dari tumpang tindih kedua sistem kaidah

tersebut dapat dibedakan adanya tiga jenis kaidah yaitu:

42JJ.H Bruggink, Refleksi Tentang Hukum (Pengertian-Pengertian Dasar dalam Teori


Hukum), alih bahasa oleh: B. Arief Sidharta. Citra Aditya Bakti, Bandung. 2015. hlm 225-
226.
43Ibid., hlm 229-237.

28
1) Ada kaidah hukum yang tidak dapat dimasukkan kedalam

kaidah terpenting yang dikenal manusia, dan karena itu tidak

bersifat moral. Kaidah ini adalah kaidah hukum netral atau

kaidah hukum teknikal: “Pengendara wajib mengendarakan

kendaraannya pada sisi (jalur) kiri jalan”. Dalam arti itu adalah

suatu kaidah hukum netral sehingga orang dapat saja

menentukan bahwa pengendara harus mengendarai

kendaraannya pada sisi kanan. Kanan atau kiri dalam konteks

ini secara moral adalah indiferen atau netral.

2) Banyak kaidah hukum yang dipandang sebagai kaidah yang

penting bagi manusia, dan kaidah itu adalah kaidah hukum

moral. Disini sistem kaidah moral dan hukum saling tumpang

tindih contoh jenis kaidah ini adalah hampir semua ketentuan

hukum pidana materiil dan banyak aturan hukum yang di

dalamnya asas-asas hukum dirumuskan.

3) Bagian terakhir berkenan dengan kaidah moral yang mengatasi

hukum. Kaidah yang mana yang termasuk ke dalam kategori ini

juga bergantung pada batasan pengertian moral dan hukum.

Jika orang dengan hukum mengartikan hukum positif, maka

banyak kaidah moral berada diluarnya, seperti kaidah yang

berkenan dengan hubungan-hubungan afektif, hubungan-

hubungan dalam ikatan keluarga dan lingkungan persahabatan.

29
b. Etika Kaidah dan Etika Nilai44

Etika kaidah mencakup teori-teori yang menyatakan bahwa

orang melakukan perbuatan secara moral baik jika ia mematuhi

perintah (aturan), yang dengan bantuan akalnya dijabarkan dari

kaidah moral yang berlaku umum. Istilah lain untuk etika kaidah

adalah etika asas dan etika aturan. Karena kaidah ini untuk setiap

orang berlaku, maka etika kaidah memiiki sifat yang khas

universalistik. Tiap orang yang berada dalam situasi tertentu

dengan bantuan akal budinya berdasarkan kaidah universal pasti

akan sampai pada keputusan moral yang sama. Karena etika ini

secara khusus mengarahkan diri pada perbuatan manusia, maka ia

disebut juga dengan etika kelakukan (doe-ethiek).

Dalam etika ini, pengertian “kewajiban” (plicht) menempati

kedudukan sentral. Kewajiban ini dalam berbagai teori memiliki

sifat yang kurang lebih absolut. Menurut etika kaidah ciri khas pada

moral itu adalah bahwa jika orang atas dasar kaidah moral telah

menemukan perintah tentang bagaimana orang harus melakukan

perbuatan, maka perintah itu begitu saja mewajibkan orang itu

untuk melakukan perbuatan itu. Perbuatan baik adalah perbuatan

yang memiliki sifat melakukan kewajibannya, dan perbuatan buruk

adalah perbuatan yang melalaikan (tidak melakukan)

kewajibannya.

44Ibid., hlm 238-254.

30
Sedangkan etika nilai (wardhe ethiek) meliputi teori-teori yang

didalamnya diuraikan bahwa manusia melakukan perbuatan baik

secara moral jika ia mengacu pada nilai-nilai yang harus ia berikan

untuk sebanyak mungkin dalam kehidupannya. Etika nilai lebih

tua dibandingkan etika kaidah. Dalam etika nilai diandaikan bahwa

terdapat suatu hierarki nilai yang kurang lebih ajek, yang dengan

derajat-derajat berbeda dapat ditemukan orang. Pemahaman dalam

nilai-nilai itu memberikan acuan kepada manusia bagi

kehidupannya. Semakin berhasil mewujudkan nilai-nilai tersebut,

manusia itu semakin sempurna. Jadi etika nilai tidak hanya

mengarah pada perbuatan-perbuatan manusia melainkan juga

kepribadiannya. Karena itu, etika nilai disebut juga etika

keberadaan atau etika eksistensi.

Satu nama lagi untuk etika nilai adalah etika kebajikan,

sebab dalam pengertian ini pengertian “kebajikan” atau

“keutamaan” menempati posisi sentral. Kebajikan adalah suatu

kemampuan khusus untuk memberikan bentuk pada nilai tertentu

dalam kehidupannya. Jadi kebajikan adalah suatu disposisi atau

kesesuaian untuk baik secara moral dalam segi tertentu.

c. Meta Etika45

Meta etika mewujudkan kesejajaran dengan teori hukum dala

arti sempit. Dalam artian bahwa, meta etika adalah suatu teori

45Ibid., hlm 255-256.

31
tentang etika yang mempelajari moral sebagai suatu sistem

konseptual.

Setelah adanya kategorisasi etika, maka perlu adanya

pembahasan terkait korelasi yang terjadi antara hukum dan etika

itu sendiri. Hukum ditujukan kepada manusia sebagai makhluk

sosial. Hukum ditujukan kepada manusia yang hidup di dalam

ikatan dengan masyarakat yang terpengaruh oleh ikatan-ikatan

sosial. Etika sebaliknya ditujukan kepada manusia sebagai

individu, yang berarti bahwa hati nuraninyalah yang diketuk.46

Sasaran etika semata-mata adalah perbuatan manusia yang

dilakukan dengan sengaja. Baik tidaknya, tercela tidaknya suatu

perbuatan itu dihubungkan dengan ada tidaknya kesengajaan:

kalau ada unsur kesengajaan dalam pelanggaran maka tercela.

Orang harus bertanggung jawab atas perbuatannya yang disengaja.

Perbuatan yang disengaja harus sesuai dengan kesadaran etisnya.47

Apa yang menurut masyarakat demi ketertiban atau

kesempurnaan masyarakat baik, itulah yang baik. Hukum adanya

hanya dalam masyarakat manusia, sedangkan masyarakat

manusia itu beraneka ragam, maka dapatlah dikatakan bahwa

ukuran baik buruk dalam hal ini tidak mungkin bersifat universal,

karena hukum itu terikat pada daerah atau wilayah tertentu.

46Sudikno Mertokusumo, op.cit,. hlm 38.


47Ibid. hlm 38.

32
Kesadaran etis bukan hanya berarti sadar akan adanya baik dan

buruk, tetapi juga sadar bahwa orang harus berbuat baik.48

B. Kajian terhadap asas/prinsip yang terkait dengan penyusunan

norma dan Analisis terhadap penentuan asas-asas Peraturan

Perundang-undangan

Pembahasan tentang asas-asas pembentukan peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan ilmu perundang-

undangan (dalam arti sempit), sebagai suatu disiplin ilmu yang bersifat

normatif, dalam hal ini yang berhubungan dengan pembentukan

norma-norma dalam peraturan perundang-undangan.

Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan adalah

suatu pedoman atau suatu rambu-rambu dalam pembentukan

peraturan perundang-undangan yang baik. Oleh karena itu aturan

mengenai penyelenggara pelaksanaan harus berlandaskan pada

beberapa asas dibawah ini. Menurut I.C. van der Vlies, di dalam

bukunya yang berjudul “Het wetsbegrip en beginselen van behoorlijke

regelgeving” membagi asas-asas dalam pembentukan peraturan

perundang-undangan yang baik (algemene beginselen van behoorlijke

regelgeving), dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu asas formal

(formele beginselen) dan asas materiil (materiele beginselen).

Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik,

sebagaimana yang dikehendaki oleh tujuan hukum, yakni adanya

keadilan dan kepastian hukum, adalah telah dipositifkan dalam

48Ibid. hlm 38-39.

33
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah melalui UU

No. 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No. 12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam

undang-undang sebagaimana dimaksud, asas yang bersifat formal

diatur dalam Pasal 5 dan asas yang bersifat materiil diatur dalam Pasal

6. Pengertian masing-masing asas ini dikemukakan dalam penjelasan

pasal dimaksud. Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan

yang baik, asas yang bersifat formal pengertiannya dapat dikemukakan

dibawah ini:

1. Kejelasan Tujuan

Bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

(PPu) harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.

Berdasarkan hal tersebut bahwa peraturan daerah ini telah memilki

tujuan yang jelas yang hendak dicapai yaitu untuk meningkatkan

kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Daerah selaku lembaga

perwakilan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya berdasarkan

prinsip saling mengimbangi checks and balances, yang dilandasi

prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah yang bersih dan

berwibawa serta sekaligus meningkatkan kewibawaan dan

kepercayaan masyarakat terhadap fungsi representasi lembaga

perwakilan yang memperjuangkan aspirasi masyarakat.

34
2. Kelembagaan atau Pejabat Pembentuk yang Tepat

Bahwa setiap jenis PPu harus dibuat oleh lembaga negara

atau pejabat Pembentuk PPu yang berwenang. PPu tersebut dapat

dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga

negara atau pejabat yang tidak berwenang. Berdasarkan hal

tersebut, pembuatan perda ini dibentuk oleh pemerintah daerah

yang memiliki kewenangan untuk membentuk peraturan daerah

sebagaimana diatur dalam UU No 12 tahun 2011 Tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan UU No. 23

Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.

3. Kesesuaian Antara Jenis, Hierarki, dan Materi Muatan;

Bahwa dalam Pembentukan PPu harus benar-benar

memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan

hierarki PPu. Berdasarkan hal tersebut peraturan perundang-

undangan ini masuk dalam jenis peraturan daerah yang materi

muatanya adalah penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi dalam hal ini Undang-

Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan, Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, serta

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2004

tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

35
4. Dapat Dilaksanakan

Bahwa setiap Pembentukan PPu harus memperhitungkan

efektivitas PPu tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis,

sosiologis, maupun yuridis. Berdasarkan hal tersebut perda ini

telah dibuat dengan memperhatikan efektifitas pelaksanaannya

terhadap masyarakat di kabupaten Bone baik secara filosofis,

sosiologis, maupun yuridis.

5. Kedayagunaan dan Kehasilgunaan

Bahwa setiap PPu dibuat karena memang benar-benar

dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Peraturan daerah ini

berguna untuk mewujudkan peningkatan kinerja serta

penghormatan terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai

lembaga yang mampu mengejawantahkan nilai-nilai demokrasi

serta menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat sesuai dengan

tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara

terkhususnya di Kabupaten Bone.

6. Kejelasan Rumusan

Bahwa setiap PPu harus memenuhi persyaratan teknis

penyusunan PPu, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta

bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak

menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.

Berdasarkan hal tersebut penyusunan perda ini telah

memperhatikan sistematika, pilihan kata atau istilah dan bahasa

36
hukum yang sangat jelas karena didasarkan atas analisis dan

kajian yang menyeluruh dan dengan memperhatikan kondisi

masyarakat di kabupaten Bone.

7. Keterbukaan

Bahwa dalam Pembentukan PPu mulai dari perencanaan,

penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan

pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian,

seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-

luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan PPu.

Berdasarkan hal tersebut perda ini telah disusun dengan tetap

menjunjung tinggi prinsip transparansi dengan membuka

partisipasi masyarakat khususnya masyarakat di kabupaten Bone.

Adapun asas pembentukan peraturan perundang-undangan

yang baik, yang bersifat materiil berikut pengertiannya, sebagaimana

termuat dalam Pasal 6 UU No. 12 Tahun 2011 yang tercantum dibawah

ini, yaitu:

1. Pengayoman

Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan

(PPu) harus berfungsi memberikan pelindungan untuk menciptakan

ketentraman masyarakat. Berdasarkan hal tersebut hadirnya perda

ini berfungsi untuk memberikan kepastian hukum terkait

protokoler anggota DPRD dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya.

37
2. Kemanusiaan

Bahwa setiap Materi Muatan PPu harus mencerminkan

perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat

dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara

proporsional. Berdasarkan hal tersebut hadirnya perda yang

mengatur Protokoler pimpinan dan anggota DPRD akan

memberikan suatu jaminan pemenuhan hak-hak secara

proporsional sesuai dengan tanggungjawab dan fungsi yang

diemban.

3. Kebangsaan

Bahwa setiap materi muatan PPu harus mencerminkan sifat

dan watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga

prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan hal

tersebut perda ini pada dasarnya telah dibuat dengan tetap menjaga

konsistensi prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia karena

materi muatanya tidak keluar dari batasan-batasan yang diatur

dalam peraturan perundang-undangan diatasanya dan juga tetap

sejalan dengan watak kepribadian bangsa Indonesia baik secara

filosofis, yuridis, maupun sosiologis.

4. Kekeluargaan

Bahwa setiap Materi Muatan PPu harus mencerminkan

musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan

keputusan. Berdasarkan hal tersebut materi muatan yang terdapat

38
dalam Perda ini merupakan hasil dari adanya proses musyawarah

mufakat dari berbagai pihak dan komponen yang ada di

masyarakat.

5. Kenusantaraan

Bahwa setiap Materi Muatan PPu senantiasa memperhatikan

kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan Materi Muatan PPu

yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum

nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan hal tersebut

bahwa Perda ini telah disusun dengan tetap memperhatikan

kesatuan di berbagai wilayah di Indonesia dan juga telah disusun

hierarkhis baik secara vertikal maupun horizontal dengan berbagai

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

6. Bhinneka Tunggal Ika

Bahwa Materi Muatan PPu harus memperhatikan keragaman

penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta

budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan

bernegara. Berdasarkan hal tersebut perda inipun telah dibuat

dengan mengakomodir prinsip kebhinekaan dan prinsip

ketunggalikaan melalui kajian dan analisis sosiologis yang

menyeluruh.

7. Keadilan

Bahwa setiap Materi Muatan PPu harus mencerminkan

keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara. Berdasarkan

39
hal tersebut materi muatan pada perda inipun juga telah dibuat

dengan sangat menitikberatkan pada terciptanya keadilan dengan

memberikan pedoman sekaligus batasan atas pelaksanaan hak

serta kewajiban bagi Pimpinan dan Anggota DPRD.

8. Kesamaan Kedudukan dalam Hukum dan Pemerintahan

Bahwa setiap Materi Muatan PPu tidak boleh memuat hal

yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain,

agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.

Berdasarkan hal tersebut materi muatan pada perda tentang

protokoler pimpinan dan anggota DPRD hadir dalam rangka

memberikan jaminan serta kepastian atas pelaksanaan tugas dan

fungsinya khususnya dalam hal mewakili kepentingan masyarakat

serta dalam menjalankan menjalankan prinsip cheks and ballances

dalam sistem pemerintahan daerah.

9. Ketertiban dan Kepastian Hukum

Bahwa setiap Materi Muatan PPu harus dapat mewujudkan

ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum.

Berdasarkan hal tersebut hadirnya perda ini tentunya bertujuan

untuk memberikan kepastian hukum dan tertib hukum bagi

penyelenggaraan protokoler bagi pimpinan dan anggota DPRD.

10. Keseimbangan, Keserasian, dan Keselarasan

Bahwa setiap Materi Muatan PPu harus mencerminkan

keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan

individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara.

40
Berdasarkan hal tersebut tentunya materi muatan dalam Perda

inipun juga dibuat dengan memperhatikan berbagai kepentingan

baik itu kepentingan individu, sosial, dan negara sebagai suatu

kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan dalam negara

Pancasila.

C. Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada, serta

permasalahan yang dihadapi masyarakat.

DPRD berdasarkan kedudukannya terbagi atas 2 yaitu DPRD

provinsi dan DPRD Kabupaten/kota. DPRD terdiri atas anggota partai

politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum.

Berdasarkan Undang-Undang No 23 Tahun 2014 Tentang

Pemerintahan Daerah pada Pasal 148 disebutkan bahwa DPRD

kabupaten/kota merupakan lembaga perwakilan rakyat Daerah

kabupaten/kota yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara

Pemerintahan Daerah kabupaten/kota. Anggota DPRD

kabupaten/kota adalah pejabat Daerah kabupaten/kota. Fungsi yang

dimiliki oleh DPRD mengacu pada pasal 149 Undang-Undang No 23

Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah terdiri atas:

a. pembentukan Perda Kabupaten/Kota;

b. anggaran; dan

c. pengawasan.

Ketiga fungsi sebagaimana dimaksud dijalankan dalam kerangka

representasi rakyat di Daerah kabupaten/kota. Dalam rangka

melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud, DPRD kabupaten/kota

41
juga diwajibkan untu menjaring aspirasi masyarakat. Pengaturan

terkait fungsi DPRP juga diatur dalam Undang-Undang No 17 Tahun

2014, DPRD sebagai salah satu lembaga perwakilan berdasarkan pasal

165 mempunyai fungsi:

a. legislasi;

b. anggaran; dan

c. pengawasan.

DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah yang

berkedudukan sebagai Lembaga Pemerintah Daerah. Sebagai unsur

penyelenggara Pemerintahan Daerah, DPRD memiliki tanggung jawab

yang sama dengan Pemerintah Daerah dalam membentuk Peraturan

Daerah, menyusun dan menetapkan APBD, dan mengawasi setiap

kebijakan-kebijakan Kepala Daerah untuk kesejahtraan rakyat. Fungsi

pembentukan Perda Kabupaten/Kota sebagaimana berdasarkan Pasal

150 Undang-Undang No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah

dilaksanakan dengan cara:

a. Membahas bersama bupati/wali kota dan menyetujui atau tidak

menyetujui rancangan Perda Kabupaten/Kota;

b. Mengajukan usul rancangan Perda Kabupaten/Kota; dan

c. Menyusun program pembentukan Perda Kabupaten/Kota bersama

bupati/wali kota. Program pembentukan Perda Kabupaten/Kota

memuat daftar urutan dan prioritas rancangan Perda

Kabupaten/Kota yang akan dibuat dalam 1 (satu) tahun anggaran.

42
Pada pasal 151 ayat (2) disebutkan bahwa dalam menetapkan

program pembentukan Perda Kabupaten/Kota, DPRD kabupaten/kota

melakukan koordinasi dengan bupati/wali kota. Mengacu pada pasal

152, Fungsi anggaran diwujudkan dalam bentuk pembahasan untuk

persetujuan bersama terhadap Rancangan Perda Kabupaten/Kota

tentang APBD Kabupaten/Kota yang diajukan oleh bupati/wali kota.

Adapaun fungsi anggaran dilaksanakan dengan cara:

a. Membahas KUA dan PPAS yang disusun oleh bupati/wali kota

berdasarkan RKPD;

b. Membahas rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang APBD

kabupaten/kota;

c. Membahas rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang perubahan

APBD kabupaten/kota; dan

d. Membahas rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang

pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kabupaten/kota.

Lebih lanjut, pada Pasal 153 dijabarkan mengenai fungsi

pengawasan yang kemudian diwujudkan dalam bentuk pengawasan

terhadap:

a. Pelaksanaan Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali

kota;

b. Pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang

terkait dengan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

kabupaten/kota; dan

43
c. Pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan laporan keuangan

oleh Badan Pemeriksa Keuangan.

Berdasarkan pasal 153 ayat (2) diatur bahwa dalam

melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan tindak lanjut hasil

pemeriksaan laporan keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan,

DPRD kabupaten/kota berhak mendapatkan laporan hasil

pemeriksaan keuangan yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa

Keuangan (BPK). DPRD kabupaten/kota melakukan pembahasan

terhadap laporan hasil pemeriksaan laporan keuangan serta dapat

meminta klarifikasi atas temuan laporan hasil pemeriksaan laporan

keuangan kepada Badan Pemeriksa Keuangan.

Masih mengacu pada Undang-Undang No 23 Tahun 2014

tentang Pemerintahan Daerah, pada pasal 154 ayat (1), DPRD

kabupaten/kota mempunyai tugas dan wewenang:

a. membentuk Perda Kabupaten/Kota bersama bupati/wali kota;

b. membahas dan memberikan persetujuan rancangan Perda

mengenai APBD kabupaten/kota yang diajukan oleh bupati/wali

kota;

c. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan APBD

kabupaten/kota;

d. memilih bupati/wali kota;

e. mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian bupati/wali kota

kepada Menteri melalui gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat

44
untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan

pemberhentian.

f. memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah

Daerah kabupaten/kota terhadap rencana perjanjian international

di Daerah;

g. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama

internasional yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah

kabupaten/kota;

h. meminta laporan keterangan pertanggungjawaban bupati/wali kota

dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kabupaten/kota;

Mengacu pada uraian diatas, Keberadaan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah (DPRD) dalam pemerintahan daerah tentu memiliki

fungsi dan tugas yang penting. Untuk menunjang pelaksanaan

sejumlah fungsi dan tugasnya itu, DPRD baik provinsi dan

kabupaten/kota memiliki sejumlah hak khusus. Berdasarkan Undang-

Undang No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah khususnya

pada pasal 159 disebutkan bahwa hak DPRP Kabupaten/kota terdiri

atas hak interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat. Hak

interpelasi adalah hak DPRD kabupaten/kota untuk meminta

keterangan kepada bupati/wali kota mengenai kebijakan Pemerintah

Daerah kabupaten/kota yang penting dan strategis serta berdampak

luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hak angket

adalah hak DPRD kabupaten/kota untuk melakukan penyelidikan

terhadap kebijakan Pemerintah Daerah kabupaten/kota yang penting

45
dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat,

Daerah, dan negara yang diduga bertentangan dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan. Sedangkan, Hak menyatakan

pendapat adalah hak DPRD kabupaten/kota untuk menyatakan

pendapat terhadap kebijakan bupati/wali kota atau mengenai kejadian

luar biasa yang terjadi di Daerah kabupaten/kota disertai dengan

rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan

hak interpelasi dan hak angket.

Guna upaya mendukung optimalisasi pelaksanaan tugas DPRD,

pengaturan terkait haknya tidak hanya sampai pada 3 hak

sebagaimana yang telah disebutkan diatas. Pada pasal 160 Undang-

Undang No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah disebutkan

bahwa anggota DPRD kabupaten/kota mempunyai hak:

a. mengajukan rancangan Perda Kabupaten/Kota;

b. mengajukan pertanyaan;

c. menyampaikan usul dan pendapat;

d. memilih dan dipilih;

e. membela diri;

f. imunitas;

g. mengikuti orientasi dan pendalaman tugas;

h. protokoler; dan

i. keuangan dan administratif.

Berdasarkan ketentuan penjelasan sebagaimana pasal 160

disebutkan bahwa protokoler adalah hak anggota DPRD

46
kabupaten/kota untuk memperoleh penghormatan berkenaan dengan

jabatannya baik dalam acara kenegaraan atau acara resmi dalam

melaksanakan tugasnya.

Protokoler yang dimiliki oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

secara teknis diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor

24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan

Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dalam PP ini

menjabarkan bahwa Kedudukan Protokoler adalah kedudukan yang

diberikan kepada seseorang untuk mendapatkan penghormatan,

perlakuan, dan tata tempat dalam acara resmi atau pertemuan resmi.

Lebih lanjut PP ini juga menjelaskan bahwa Protokol adalah

serangkaian aturan dalam acara kenegaraan atau acara resmi yang

meliputi aturan mengenai tata tempat, tata upacara, dan tata

penghormatan sehubungan dengan penghormatan kepada seseorang

sesuai dengan jabatan dan/atau kedudukannya dalam negara,

pemerintahan atau masyarakat.

DPRP Kabupaten Bone dalam angka

Kabupaten Bone adalah salah satu daerah otonom di provinsi

Sulawesi Selatan. Ibu kota kabupaten bone adalah Watampone. Secara

geografis, kabupaten ini memiliki luas wilayah 4.559 km² dan

berpenduduk sebanyak kurang lebih 717,268 jiwa (2010).49

49 https://sulselprov.go.id/pages/des_kab/3

47
Penyelenggaran sistem pemerintahan di daerah kabupaten bone

tentunya mengacu pada konsep penyelenggaran pemerintahan daerah

yang dilaksanakan oleh Bupati sebagai kepala daerah bersama dengan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(DPRD) Kabupaten Bone terdiri atas 45 anggota yang kemudian

tersebar dalam 12 partai politik. Pimpinan DPRD Kabupaten Bone

terdiri atas satu orang ketua dan tiga orang wakil ketua yang berasal

dari partai politik yang memiliki suara terbanyak di dewan.50

Berikut ini adalah komposisi anggota DPRD Kabupaten Bone dalam

dua periode terakhir.

Tabel 1. Jumlah Kursi DPRD Kabupaten Bone Periode 2014-2024

JUMLAH KURSI DALAM PERIODE


PARTAI POLITIK
2014-2019 2019-2024

PKB 1 3

Gerindra 5 5

PDI-P 2 3

Golkar 15 9

NasDem 4 4

PKS 3 4

Perindo - (baru) 1

PPP 2 2

PAN 5 5

50 https://id.wikipedia.org/wiki/Dewan_Perwakilan_Rakyat_Daerah_Kabupaten_Bone

48
Hanura 2 2

Demokrat 4 5

PBB 2 2

Jumlah Anggota 45 45

Jumlah Partai 11 12
Sumber : Publikasi BPS “Bone Dalam Angka.51

Dari tabel diatas, kita dapat menyimpulkan bahwa kursi

terbanyak pada DPRP kabupaten bone dipegang oleh partai golkar

dalam 2 (dua) periode terakhir. Setelha partai golkar, mayoritas kursi

di DPRP Kabupaten Bone dipegang oleh parta Gerindra, PAN, Demokrat

yang pada periode 2019-2024 memenang masing-masing 5 kursi.

Adapun parta yang memegang kursi paling sedikit adalah partai

perindo dengan 1 kursi pada periode 2019-2024.

Pada Pemilu 2019, pemilihan DPRD Kabupaten Bone dibagi

kedalam 5 daerah pemilihan (dapil) sebagai berikut:

Tabel 2. Dapil Kabupaten Bone


NAMA DAPIL WILAYAH DAPIL JUMLAH KURSI
Palakka, Tanete Riattang, Tanete

BONE 1 Riattang Barat, Tanete Riattang 10

Timur

Barebbo, Cina, Mare, Ponre, Sibulue,


BONE 2 8
Tonra

51 selengkapnya lihat https://bonekab.bps.go.id/

49
Bontocani, Kahu, Kajuara, Libureng,
BONE 3 9
Patimpeng, Salomekko

Amali, Bengo, Lamuru, Lappariaja, T


BONE 4 8
ellulimpoe, Ulaweng

Ajangale, Awangpone, Cenrana, Dua


BONE 5 10
Boccoe, Tellu Siattinge

TOTAL 45
Sumber : Publikasi BPS “Bone Dalam Angka.52

Dari tabel diatas, dapat disimpulkan bahwa jumlah kuota kursi

DPRD Kabupaten Bone secara keseluruhan adalah sebanyak 45 kursi.

Adapun Dapil dengan jumlah kuota kursi terbanyak adalah Bone 1

yang terdiri dari Kecamatan Palakka, Tanete Riattang, Tanete Riattang

Barat, Tanete Riattang Timur dan dapil Bone 5 yang terdiri dari

Kecamatan Ajangale, Awangpone, Cenrana, Dua Boccoe, Tellu

Siattinge. Kedua dapil ini masing-masing diberikan kuota 10 kursi.

Dapil dengan jumlah kuota kursi terbanyak kedua juga dimiliki oleh

Dapil Bone 3 yang terdiri dari kecamatan

Bontocani, Kahu, Kajuara, Libureng, Patimpeng, Salomekko. Dapil ini

diberikan kuota kursi sebanyak 9 kursi.

Jumlah Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut

partai politik dan jenis kelamin di Kabupaten Bone tahun 2021.

52 selengkapnya lihat https://bonekab.bps.go.id/

50
Tabel 3. Jumlah Anggota DPRD Kabupaten Bone berdasarkan Jenis

Kelamin

PARTAI
LAKI-LAKI PEREMPUAN JUMLAH
POLITIK

Golkar 8 1 9

Gerindra 4 1 5

Pan 4 1 5

DEMOKRAT 5 - 5

NASDEM 3 1 4

HANURA 2 - 2

PBB 2 - 2

PDI-P 3 - 3

PKS 4 - 4

PPP 2 - 2

PKB 3 - 3

PPI 1 - 1

JUMLAH 41 4 45

Sumber : Publikasi BPS “Bone Dalam Angka.53

Dari data tabel diatas dapat disimpulkan bahwa anggota DPRP

Kabupaten Bone secara umum masih didominasi dengan jenis kelamin

laki-laki sebanyak 41 orang dan sisanya dengan jenis kelamin

perempuan sebanyak 4 orang. Jika dipresentasikan dari jumlah

53 selengkapnya lihat https://bonekab.bps.go.id/

51
anggota dewan berjenis kelamin perempuan maka diperoleh angka 8,8

persen, sisanya anggota denwan dengan jenis kelamin laki-laki

sebanya 91,2 persen. Tidak semua partai memiliki anggota dewan

berjenis kelamin perempuan, dari 4 total perempuan tersebut berasal

hanya dari 4 partai yaitu Partai Golkar, Gerindra, PAN, dan Nasdem.

Jumlah Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Menurut

Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan dan Jenis Kelamin di Kabupaten

Bone, 202154

Tabel 4. Jumlah Anggota DPRD Kabupaten Bone berdasarkan

Jenjang Pendidikan

PENDIDIKAN LAKI-LAKI PEREMPUAN JUMLAH

SLTA 12 2 14

D-I - - -

D-II - - -

D-III - - -

D-IV - - -

S-1 20 1 21

S-2 9 1 10

S-3 - - -

JUMLAH 41 4 45
Sumber : Publikasi BPS “Bone Dalam Angka.55

54 Badan Pusat Statistik Kabupaten Bone, Bone Dalam Angka, Badan Pusat Statistik
Kabupaten Bone, 2021, hlm. 24
55 selengkapnya lihat https://bonekab.bps.go.id/

52
Mengacu dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa tingkat

pendidikan tertinggi anggota DPRD Kabupaten Bone didominasi

dengan pendidikan terakhir S1 (Sarjana) dengan jumlah 21 orang.

Tingkat pendidikan tertinggi anggota DPRD Kabupaten Bone juga

terdapat yang berasal dari SLTA dengan jumlah sebanyak 14 orang.

Adapaun anggota DPRD Kabupaten Bone dengan tingkat pendidikan

tertinggi S2 (Magister) adalah sebanyak 10 orang.

Tabel 5. Jumlah Keputusan DPRD Kabupaten Bone 2017 – 2021

Produk 2017 2018 2019 2020 2021

Peraturan 17 6 10 8 5

Daerah

Keputusan 24 17 19 14 17

DPRD

Keputusan 1 1 1 2 3

Pimpinan

DPRD

Keputusan - - - - -

Daerah

Rapat- 200 184 212 248 269

Rapat

Sumber : Publikasi BPS “Bone Dalam Angka.56

56 selengkapnya lihat https://bonekab.bps.go.id/

53
Mengacu pada tabel diatas dapat disimpulkan bahwa kebanyakan

kegiatan DPRP Kabupaten bone dalam periode 2017-2021 didimonasi

oleh kegiatan rapat-rapat. Selain rapat-rapat, DPRD Kabupaten Bone

juga mengasilkan beberapa produk berupa Peraturan Daerah,

Keputusan DPRD, dan Keputusan Pimpinan DPRD. Dari ketiga produk

tersebut, dalam periode 2017-2021 itu kebanyakan didominasi produk

Keputusan DPRD selanjutnya disusul Peraturan Daerah dan terakhir

adalah Keputusan Pimpinan DPRD.

D. Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang akan diatur

dalam Peraturan Daerah terhadap aspek kehidupan masyarakat

dan dampaknya terhadap aspek beban keuangan negara dan

daerah.

Sejauh ini belum terdapat peraturan daerah di Kabupaten Bone

yang secara spesifik dan lebih lanjut mengatur ketentuan mengenai

protokoler yang dimiliki oleh Pimpinan dan Anggota DPRD. hal ini

berdampak pada pelaksanaan teknis dilapangan yang belum

memperoleh kepastian dan jaminan hukum dalam hal pelaksanaan

protokoler bagi pimpinan dan anggota DPRD. jika mengacu pada

peraturan perundang-undang yang lebih tinggi, dasar hukum terkait

protokoler terdapat pada Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004

tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Meskipun demikian ketentuan

tersebut juga sudah terhitung perlu diperbaharui kembali sebab masih

mengacu pada aturan hukum yang sudah tidak berlaku seperti

54
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

Ketentuan mengenai protokoler juga kembali diatur pada lebih tinggi

dan terbaru dibanding PP no 24 Tahun 2004. Aturan tersebut adalah

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan. Dalam

undang-undang ini dijabarkan berbagai ketentuan mengenai

protokoler yang dimiliki oleh pejabat negara berserta pejabat

pemerintahan. Namun demikian undang-undang ini tidak juga

mengatur secara spesifik mengenai protokoler bagi pimpinan dan

anggota DPRD. hal ini sejatinya berpotensi menjadi problematika

teknis sebab dalam pasal 160 huruf h Undang-Undang No 23 Tahun

2014 tentang Pemerintah Daerah telah menegaskan adanya protokoler

sebagai salah satu hak anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten/kota.

Disusunya peraturan daerah ini diharapkan akan berimplikasi

adanya jaminan kepastian hukum khususnya bagi pimpinan dan

anggota DPRD dalam menjalankan protokolernya. Keberadaan

peraturan daerah ini nantinya akan bermanfaat sebagai pedoman bagi

instansi pemerintah daerah lainnya yang ada di Kabupaten Bone

khususnya Sekretariat DPRD Kabupaten Bone dalam menyusun

kegiatan yang melibatkan pimpinan dan anggota DPRD Kabupaten

Bone.

Terhadap implikasi pada aspek beban keuangan negara dapat

dijabarkan bahwa segala biaya yang timbul dalam pengaturan dan

pelaksanaan protokoler bagi pimpinan dan anggota DPRD dibebankan

55
tanggungjawab pengaggarannya pada Pemerintah Daerah Kabupaten

Bone melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

56
BAB III

EVALUASI DAN ANALISIS

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

Dalam membentuk Peraturan Daerah tentang Protokoler Pimpinan

dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, perlu dilakukan evaluasi

dan analisis terhadap beberapa peraturan perundang-undangan yang

terkait, baik secara vertikal maupun secara horisontal. Kajian berupa

evaluasi dan analisis terhadap peraturan perundang-undangan mengenai

materi terkait dimaksudkan untuk mengetahui kondisi hukum dan

peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai protokoler

khususnya bagi pimpinan dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Kajian dilakukan dengan melihat jenis, hierarki dan materi muatan yang

berkaitan dengan kedudukan serta pengimplementasian teknis

protokoler.

Dengan demikian dalam membentuk Peraturan Daerah tentang

Protokoler Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,

maka peraturan perundang-undangan yang dievaluasi dan dianalisis

meliputi:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Pemerintahan Daerah

berhak menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan-peraturan lain

untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Dasar

57
kewenangan pembentukan Peraturan Daerah ini merupakan dasar

konstitusional yang dimiliki oleh Pemerintahan Daerah (Pemerintah

Daerah dan DPRD) dalam membentuk Peraturan Daerah untuk

mengatur dan menjalankan otonomi daerah. Kewenangan

pembentukan Peraturan Daerah merupakan kewenangan yang

melekat kepada Pemerintahan Daerah dalam menjalankan otonomi

daerah. Sehingga secara konstitusional tujuan utama dari

pembentukan Peraturan Daerah adalah untuk melaksanakan

otonomi daerah dan tugas pembantuan. Oleh karena itu,

pembentukan Peraturan Daerah harus diselaraskan dengan tujuan

Pemerintahan Daerah.

Kewenangan konstitusional Pemerintahan Daerah untuk

membentuk Peraturan Daerah diatur dalam Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 setelah amandemen kedua

Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Melalui Amandemen Undang-

Undang Dasar Tahun 1945, pengakuan dan penerapan

desentralisasi melalui penyerahan kewenangan kepada Pemerintah

Daerah dalam mengatur dan mengurus daerahnya masing-masing

sesuai dengan corak dan kemampuan daerah.

Peraturan Daerah merupakan jenis peraturan perundang-

undangan yang dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama

Kepala Daerah. Salah satu dasar pembentukan Peraturan Daerah

dapat dilihat dari dasar penyusunan program pembentukan

peraturan daerah yaitu penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas

58
pembantuan. Otonomi Daerah diberikan oleh Pemerintah Pusat

kepada Pemerintah Daerah yang dalam pelaksanaannya dilakukan

oleh kepala daerah dan DPRD dengan dibantu oleh Perangkat

Daerah. Urusan Pemerintahan yang diserahkan ke Daerah berasal

dari kekuasaan pemerintahan yang ada ditangan Presiden. Dalam

melaksanakan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan

Daerah, unsur pemerintahan daerah (kepala daerah dan DPRD)

membentuk Peraturan Daerah sebagai dasar hukum bagi Daerah

dalam menyelenggarakan Otonomi Daerah yang disesuaikan dengan

kondisi dan aspirasi masyarakat serta corak dari Daerah tersebut.

Selain menyelenggarakan otonomi daerah, Pemerintah Daerah

juga menyelenggarakan tugas pembantuan yang merupakan

penugasan dari pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

melaksanakan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi

kewenangan pemerintah pusat atau pemerintah provinsi

kepada pemerintah daerah kabupaten/kota karena tidak semua

wewenang dan tugas pemerintahan dapat dilakukan oleh Pemerintah

Pusat. Pemberian tugas pembantuan dimaksudkan untuk

meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan

pemerintahan, pengelolaan pembangunan, dan pelayanan umum.

Sehingga dalam menyelenggarakan otonomi daerah dan tugas

pembantuan, Pemerintah Daerah sebagai penyelenggara

pemerintahan daerah berwenang membentuk Peraturan Daerah.

59
2. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 tentang Pembentukan

Daerah Tingkat II di Sulawesi

UU No 29 Tahun 1959 secara umum mengatur tentang

pembentukan daerah-daerah tingkat II di Sulawesi. Undang-Undang

ini juga mengatur mengenai pembubaran 20 daerah dan semua

daerah swapraja dan swapraja tidak sejati yang terdapat di Provinsi

Sulawesi waktu itu. UU No 29 Tahun 1959 juga menjadi dasar

penbentukan beberapa daerah tingkat II di sulawesi. Dari sejumlah

daerah yang dibentuk, salah satunya adalah daerah tingkat II Bone.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Kabupaten Bone

merupakan salah satu daerah kabupaten yang ada di Indonesia dan

terletak dalam wilayah Provinsi Sulawesi Selatan.

3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa,

dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan

UU No 24 Tahun 2009 menjadi salah satu dasar dalam

penyusunan peraturan daerah ini disebabkan adanya aturan

mengenai pengibaran bendera saat pimpinan anggota Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah meninggal dunia. Hal tersebut dijelaskan

secara rinci pada pasal 12 ayat (4), (8), dan (12) dengan bunyi

ketentuan sebagai berikut;

Ayat (4)

Bendera Negara digunakan sebagai tanda berkabung sebagaimana

60
dimaksud pada ayat (1) huruf b apabila Presiden atau Wakil Presiden,

mantan Presiden atau mantan Wakil Presiden, pimpinan atau

anggota lembaga negara, menteri atau pejabat setingkat menteri,

kepala daerah, dan/atau pimpinan dewan perwakilan rakyat

daerah meninggal dunia.

Ayat (8)

Apabila anggota lembaga negara, kepala daerah dan/atau pimpinan

dewan perwakilan rakyat daerah sebagaimana dimaksud pada ayat

(4) meninggal dunia, pengibaran Bendera Negara setengah tiang

dilakukan selama satu hari, terbatas pada gedung atau kantor

pejabat yang bersangkutan.

Ayat (12)

Bendera Negara sebagai penutup peti atau usungan jenazah

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat dipasang pada

peti atau usungan jenazah Presiden atau Wakil Presiden, mantan

Presiden atau mantan Wakil Presiden, anggota lembaga negara,

menteri atau pejabat setingkat menteri, kepala daerah, anggota

dewan perwakilan rakyat daerah, kepala perwakilan diplomatik,

anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Republik

Indonesia yang meninggal dalam tugas, dan/atau warga negara

Indonesia yang berjasa bagi bangsa dan negara.

4. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan

Pada pasal 1 angka (1) UU No 9 Tahun 2010 disebutkan bahwa

61
keprotokolan adalah serangkaian kegiatan yang berkaitan dengan

aturan dalam acara kenegaraan atau acara resmi yang meliputi Tata

Tempat, Tata Upacara, dan Tata Penghormatan sebagai bentuk

penghormatan kepada seseorang sesuai dengan jabatan dan/atau

kedudukannya dalam negara, pemerintahan, atau masyarakat.

Pada pasal 1 angka (3) juga disebutkan bahwa Acara Resmi

adalah acara yang diatur dan dilaksanakan oleh pemerintah atau

lembaga negara dalam melaksanakan tugas dan fungsi tertentu dan

dihadiri oleh Pejabat Negara dan/atau Pejabat Pemerintahan serta

undangan lain.

Pada pasal 3 juga dijelaskan bahwa pengaturan keprotokolan

bertujuan untuk:

a. memberikan penghormatan kepada Pejabat Negara, Pejabat

Pemerintahan, perwakilan negara asing dan/atau organisasi

internasional, serta Tokoh Masyarakat Tertentu, dan/atau Tamu

Negara sesuai dengan kedudukan dalam negara, pemerintahan,

dan masyarakat;

b. memberikan pedoman penyelenggaraan suatu acara agar berjalan

tertib, rapi, lancar, dan teratur sesuai dengan ketentuan dan

kebiasaan yang berlaku, baik secara nasional maupun

internasional; dan

c. menciptakan hubungan baik dalam tata pergaulan antarbangsa.

UU No 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan tidak mengatur

62
secara spesifik mengenai keprotokolan terhadap Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah. Meskipun demikian, UU ini tetap digunakan sebagai

rujukan sebab terdapat pengaturan mengenai acara resmi yang

berbentuk upacara bendara dan acara resmi yang bukan upacara

bendara.

5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah

Daerah

Pada Pasal 1 angka (2) diatur bahwa Pemerintahan Daerah

adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah

daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas

otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-

luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik

Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Berikutnya pada Pasal 160 disebutkan bahwa anggota DPRD

kabupaten/kota mempunyai hak:

j. mengajukan rancangan Perda Kabupaten/Kota;

k. mengajukan pertanyaan;

l. menyampaikan usul dan pendapat;

m. memilih dan dipilih;

n. membela diri;

o. imunitas;

p. mengikuti orientasi dan pendalaman tugas;

q. protokoler; dan

63
r. keuangan dan administratif.

Mengacu pada ketentuan penjelasan Pasal 160 huruf h,

dijelaskan bahwa protokoler adalah hak anggota DPRD

kabupaten/kota untuk memperoleh penghormatan berkenaan dengan

jabatannya baik dalam acara kenegaraan atau acara resmi dalam

melaksanakan tugasnya.

6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun

2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan

dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Pada Pasal 1 angka (7) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun

2004 mengatur bahwa Protokol adalah serangkaian aturan dalam

acara kenegaraan atau acara resmi yang meliputi aturan mengenai

tata tempat, tata upacara, dan tata penghormatan sehubungan

dengan penghormatan kepada seseorang sesuai dengan jabatan

dan/atau kedudukannya dalam negara, pemerintahan atau

masyarakat.

Selanjutnya pada pasal 28 ayat (2) diatur bahwa Kedudukan

Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD

Kabupaten/Kota ditetapkan dengan Peraturan Daerah

Kabupaten/Kota.

PP No 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan

Keuangan Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

sejatinya telah mengalami perubahan. Perubahan ketentuan ini

64
diatur dalam PP No 18 Tahun 2017 tentang Hak Keuangan dan

Administratif Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah. Meskipun demikian, dalam Pasal 31 ketentuan penutup PP

ini menjelaskan bahwa Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 2004

tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota

DPRD sepanjang mengatur mengenai hak keuangan dan

administratif pimpinan dan anggota dewan perwakilan rakyat daerah

dinyatakan dicabut dan tidak berlaku. Dengan demikian,

dikarenakan kedudukan protokoler tidak disebutkan sebagai

ketentuan yang juga ikut dicabut maka aturan dalam PP No 24

Tahun 2004 yang mengatur mengenai kedudukan protokoler tetap

berlaku hingga hari ini.

65
BAB IV

LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

A. Landasan Filosofis

Landasan filosofi yang mendasari pembentukan rancangan

peraturan perundang-undangan akan berimplikasi pada langkah –

langkah yang di tempuh untuk menghasilkan suatu rancangan

peraturan perundang – undangan. Selanjutnya, akan menghasilkan

suatu peraturan perundang – undangan yang berlaku.

Dalam hal pembentukan peraturan perundang – undanga,

pembuatnya harus penerapkan dasar pemikiran yang melandasi

pembentukan peraturan perundang – undangan, disamping asas –

asas pembentukan peraturan perundang – undangan yang bersifat

umum dan yang bersifat khusus.

Pancasila merupakan dasar negara kesatuan republik

Indonesia, Pancasila disebut sebagai sumber dari segala sumber

hukum bagi negara Indonesia, Pancasila yang terdiri dari lima sila

yang dimuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara

Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, merupakan gagasan

ideal yang telah disiapkan oleh para pendiri bangsa sebelum bangsa

Indonesia lahir, nilai-nilai yang terkandung dari Pancasila

merupakan nilai-nilai dasar yang dirumuskan secara seksama oleh

para pendahulu pendiri bangsa dan berasal dari jati diri nusantara

yang multi etnis, agama, bahasa, budaya, suku bangsa.

66
Sebagai sumber dari segala sumber hukum bagi negara

Indonesia, segala hal ikhwal kehidupan berbangsa dan bernegara

harus merujuk dan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai

Pancasila. Pembangunan bangsa Indonesia dari berbagai aspek

seperti aspek pendidikan, sosial politik, budaya, hukum,

pertahanan dan keamanan, ekonomi dan teknologi harus

mendasarkan pada nilai-nilai Pancasila, yang terjelma dalam lima

sila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan

beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh

hikmat, kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Rumusan Pancasila yang terdiri dari lima sila yang termaktub

dalam alinea ke IV Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara

Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan jiwa bangsa

Indonesia, antara sila pertama dan sila kedua dan sila-sila

selanjutnya satu sama lain harus dipahami secara komprehensif

dan sistematis, dimana sila yang satu dengan sila yang lain saling

berhubungan dan membentuk arti yang saling bertautan satu sama

lainnya.

Penjabaran lebih lanjut atas nilai-nilai Pancasila dituangkan

dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, sebagai hukum dasar dalam menata hidup

dan kehidupan berbangsa dan bernegara, UUD NRI 1945 sebagai

hukum dasar tidak boleh bertentangan dengan Pancasila,

67
begitupun terhadap peraturan perundang- undangan dibawahnya

juga tidak boleh bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tentu

tidak boleh pula bertentangan dengan landasan filosofi negara yaitu

Pancasila.

Atas dasar konsep pemikiran bahwa Pancasila dan UUD NRI

1945 disusun secara teknis beberapa peraturan perundang-

undangan dalam berbagai bentuk dan level, untuk mengatur hidup

dan kehidupan berbangsa dan bernegara berdasar nilai-nilai filosofi

Pancasila dan UUD NRI 1945, seperti dibentuknya :

1. Undang – Undang Nomor 29 Tahun 1959 tentang Pembentukan

Daerah-Daerah Tingkat II di Sulawesi Selatan (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 74, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1822);

2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera,

Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 109,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5035);

3. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 125,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5166);

4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah

Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014

Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir

68
dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta

Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor

245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

6573);

5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun

2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan

dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 90) sebagaimana

telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan

Pemerintah Nomor 21 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga

atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004 tentang

Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

Demikian halnya dengan pembentukan peraturan-

perundang- undangan pada tingkat daerah propinsi dan pada

tingkat daerah kabuapten dan kota, baik berupa peraturan daerah

ataupun berupa peraturan kepala daerah seperti peraturan

Gubernur/Bupati/Walikota tetap harus mendasarkan nilai-nilai

filosofis pancasila dan tidak boleh bertentangan dengan Peraturan-

perundang-undangan yang lebih tinggi.

Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa landasan filosofis

dari Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Bone tentang

Protokoler Pimpinan dan Anggota DPRD Kabupaten Bone adalah

Pancasila dan berdasarkan pada konstitusi bangsa Indonesia yaitu

69
Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

B. Landasan Sosiologis

Landasan sosiologis merupakan landasan yang terdiri atas

fakta – fakta yang merupakan tuntutan kebutuhan masyarakat

yang mendorong perlunya pembentukan peraturan perundang –

undangan (Peraturan Daerah Kabupaten Bone), yaitu bahwa ada

sesuatu yang pada dasarnya dibutuhkan oleh pemerintah maupun

masyarakat sehingga perlu pengaturan.

Pemerintahan Daerah Kabupaten Bone merupakan daerah

otonom yang dibentuk berdasarkan ketentuan Undang – Undang

Nomor 29 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah-Daerah

Tingkat II di Sulawesi Selatan (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 1959 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 1822).

Kabupaten Bone adalah salah satu Daerah

Otonom di Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Terdiri dari 27

kecamatan, 44 kelurahan dan 328 desa. Ibu Kota Kabupaten ini

terletak di Kota Watampone.

Berdasarkan data Kabupaten Bone Dalam Angka Tahun 2021

yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik kabupaten Bone,

jumlah penduduk Kabupaten Bone tahun 2021 adalah 801.775

jiwa, terdiri atas 391.682 laki‐laki dan 410.093 perempuan. Dengan

luas wilayah Kabupaten Bone sekitar 4.559,00 km2, rata‐rata

tingkat kepadatan penduduk Kabupaten Bone adalah 162 jiwa/km2.

70
dengan batas sebagai berikut:

Timur: Teluk Bone

Utara: Kabupaten Wajo, Soppeng

Barat: Kabupaten Maros, Pangkep, Barru

Selatan: Kabupaten Sinjai, Gowa

Pada Pemilihan Umum Tahun 2019 terpilih 45 Anggota

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bone yang berasal dari

5 Daerah Pemilihan, sebagai berikut:

Tabel 6. Nama Anggota DPRD Kabupaten Bone Hasil Pemilihan

Umum Tahun 2019

NO. NAMA PARTAI POLITIK DAPIL

1. FAHRI RUSLI, S.H. GERINDRA 1

2. Ir. BAHTIAR MALLA PDIP 1

dr. A. RYAD BASO PADJALANGI,


3. GOLKAR 1
S.Ked.

ADE FERRY AFRISAL, S.H.,


4. GOLKAR 1
M.Sc.

5. A. MUH. SALAM NASDEM 1

ANDI IRWAN WIRASASTI,


6. PKS 1
S.H.

7. RANGGA RISA SWARA, S.H. PPP 1

71
ANDI WAHYUDI TAQWA,
8. PAN 1
S.E.

9. ANDI MUHAMMAD BAHTIAR HANURA 1

10. MUHAMMAD WAHYU DEMOKRAT 1

11. MULYADI PKB 2

12. H. ABD. HAMID GERINDRA 2

13. H. ABD. RAHMAN PDIP 2

14. ANDI BOBY ISHAK GOLKAR 2

ANDI HERYANTO BAUSAD,


15. NASDEM 2
S.H.

16. IDRIS USMAN. T, S.E. PKS 2

17. A. NURSALAM NAWIR PAN 2

18. INDRA JAYA, S.E. DEMOKRAT 2

19 A. ADIL FADLI LURA, S.E. PKB 3

BUSTANIL ARIFIN AMRI,


20. GERINDRA 3
S.E.

21. Drs. A. ATORO GOLKAR 3

22. Drs. A. TAUFIK KADIR, M.H. NASDEM 3

23. MUHAMMAD RAMLI, S.E. PKS 3

24. HERMAN, S.T. PAN 3

25. HASRUL HARAHAP, S.H. HANURA 3

26. H. NDI SUAEDI, S.H., M.H. DEMOKRAT 3

72
27. ANDI MUHAMMAD NUR PBB 3

28. ANDI PURNAMA SARI A. GERINDRA 4

29. IRWANDI BURHAN, S.E. GOLKAR 4

30. Hj. ADRIANI A. PAGE, S.E. GOLKAR 4

ANDI MAPPANYUKKI
31. GOLKAR 4
TAKKA, S.Sos.

32. SUHARNI NASDEM 4

33. MARLIATI, A.Md. PAN 4

34. MUHAMMAD AMIR, S.E. DEMOKRAT 4

H. SAIPULLAH LATIF, S.E.,


35. PBB 4
M.Si.

36. MUH. ASRULLAH, S.H. PKB 5

37. H. RAMANG GERINDRA 5

38. ANDI AKHIRUDDIN, S.ST. PDIP 5

Drs. ANDI AKBAR YAHYA,


39. GOLKAR 5
M.M.
A. MUH. IDRIS RAHMAN,
40. GOLKAR 5
S.H., M.H.

41. H. ASKARIANTO, S.H. PKS 5

42. H. RAHMAT PERINDO 5

ARIFUDDIN, D., S.Sos.,


43. PPP 5
M.Si.

44. FAISAL PAN 5

45. H. KAHARUDDIN, S.E., M.Si. DEMOKRAT 5

73
Pemerintahan Daerah yang terdiri dari unsur Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah dan unsur eksekutif, masing-masing

memiliki peran dan tugas yang diatur dalam peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Salah satu peraturan perundang-

undangan yang mengatur adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2014 tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana diubah dengan

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua

Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor

58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679).

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bone memiliki

Visi “terwujudnya DPRD yang tangguh, tanggap dan amanah dalam

mewujudkan masyarakat bone yang lebih maju, mandiri,

demokratis dan beradab.

Visi tersebut kemudian dirumuskan dalam bentuk misi

sebagai target kerja yang harus dicapai oleh unsur Pimpinan dan

Anggota DPRD Kabupaten Bone yaitu:

1. Mewujudkan DPRD yang professional, peka dan tanggap, kritis,

dan responsive serta berwawasan luas.

2. Mewujudkan produktivitas SDM aparatur DPRD yang

berorientasi pada professionalisme pelaksanaan tugas dan

fungsi.

3. Mewujudkan pengawasan DPRD dari hilir, hidup, aktif,

terpercaya, abjektif, dan bertanggung jawab.

74
4. Mewujudkan DPRD yang handal dan kapable.

5. Mewujudkan DPRD yang dinamis, pro aktif, dan komunikatif.

6. Mewujudkan sinergi DPRD yang kokoh, berdaya dalar tinggi

jujur akuntable.

7. Mewujudkan harmonisasi dalam lingkup dprd untuk mendorong

sinergitas dprd dengan pimpinan dan anggota dprd serta dengan

jajaran pemerintah Kabupaten Bone beserta instansi.

Dalam rangka optimalisasi pelayanan administrasi dan

operasional yang prima terhadap pelaksanaan tugas-tugas anggota

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bone, maka tugas

tersebut dijalankan oleh Sekretariat DPRD Kabupaten Bone yang

tertuang dalam Visi Sekretariat DPRD Kabupaten Bone Mewujudkan

Pelayanan Administrasi dan Operasional Yang Prima Terhadap

Pelaksanaan Tugas-Tugas Anggota Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah.

Selanjutnya Visi tersebut dirumuskan dalam bentuk misi

sebagai target kerja yang harus dicapai oleh Sekretariat DPRD

Kabupaten Bone yaitu:

1. Terciptanya tertib administrasi keuangan sekretariat DPRD

Kabupaten Bone.

2. Tersedianya sarana dan prasarana kantor untuk mendukung

pelaksanaan tugas anggota DPRD.

75
3. Terciptanya sesuana kerja dan disiplin kerja aparatur

Sekretariat DPRD.

4. Terciptanya pelayanan prima terhadap kegiatan DPRD.

5. Terciptanya kelancaran pengelolaan tata usaha DPRD.

Adapun Fungsi utama dari kelembagaan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah Kabupaten Bone adalah melakukan pengawasan,

membentuk peraturan daerah dan juga fungsi penganggaran.

Sebagai upaya menunjang fungsi-fungi DPRD agar dapat

berjalan secara baik dalam upaya menciptakan kesejahteraan

dalam masyarakat, dipandang perlu Pembentukan Peraturan

Daerah Kabupaten Bone tentang Hak Protokeler Pimpinan dan

Anggota DPRD Kabupaten Bone.

C. Landasan Yuridis

Landasan Yuridis merupakan ketentuan hukum yang

menjadi sumber hukum/dasar hukum untuk pembentukan

peraturan perundang-undangan. Meskipun secara normatif dan

ideal konstitusional, Indonesia adalah negara hukum yang

berasaskan kedaulatan rakyat, implementasinya dalam praktik,

baik pada masa kini maupun masa depan tergantung pada budaya

hukum dan politik yang berkembang dalam masyarakat.

Dalam hubungannya dengan Undang–Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 para ahli hukum tata Negara

Indonesia pada umumnya sependapat bahwa kedudukan

76
Pembukaan Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 lebih tinggi dari pada Batang Tubuh Undang-Undang

Dasar.

Pembentukan Peraturan Daerah sebagai salah satu jenis

peraturan perundang- undangan sebagaimana diamanatkan dalam

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan, menyebutkan jenis dan hierarkhi

peraturan perundang-undangan sebagai berikut:

a. UUD 1945;

b. Tap MPR RI;

c. Undang-Undang/Perpu;

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi;

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, dibuat oleh Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota bersama dengan

Bupati/Walikota. Peraturan Daerah dibentuk dalam rangka

penyelenggaraan otonomi daerah tingkat Kabupaten/Kota, dan

Peraturan Daerah pada hakekatnya merupakan penjabaran lebih

lanjut dan bersumber dari peraturan perundang-undangan yang

lebih tinggi. Oleh karenanya Peraturan Daerah tidak boleh

bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi.

77
Selanjutnya agar Peraturan Daerah Kabupaten Bone yang

akan dibentuk tentang Protokoler Pimpinan dan Anggota DPRD

Kabupaten Bone dapat mempunyai daya berlaku secara yuridis,

maka harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Kaidah hukum itu harus pasti;

b. Bentuknya harus berupa peraturan perundang-

undangan;

c. Memperhatikan tata urutan susunan berjenjang

(hirarkhi); dan

d. Adanya penegakan terhadap kaidah hokum (role of law).

Pembentukan suatu Peraturan Daerah dilarang

bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi.

Dalam konsep negara hukum yang demokratis keberadaan

peraturan perundang-undangan, termasuk Peraturan Daerah

dalam pembentukannya harus didasarkan pada beberapa asas.

Menurut Van der Vlies sebagaimana dikutip oleh A. Hamid

S. Attamimi membedakan 2 (dua) kategori asas-asas pembentukan

peraturan perundang-undangan yang patut (beginselen van

behoorlijk rege!geving), yaitu asas formal dan asas material.

Asas-asas formal meliputi:

a. Asas tujuan jelas (het beginsel van duideijke doelstellin);

b. Asas lembaga yang tepat (het beginsel van het juiste

orgaan);

78
c. Asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkheid

beginsel);

d. Asas dapat dilaksanakan (het beginsel van

uitvoorbaarheid); dan

e. Asas Konsensus (het beginsel van de consensus).

Asas-asas material, meliputi:

a. Asas kejelasan terminologi dan sistematika (het beginsel

van de duiddelijke terminologie en duidelijke systemstiek);

b. Asas bahwa peraturan perundang-undangan mudah

dikenali (het beginsel van den kenbaarheid);

c. Asas persamaan (het rechts gelijkheids beginsel);

d. Asas kepastian hukum (het rechtszekerheids beginsel);

e. Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan

individual (het beginsel van de individuelerechtsbedeling).

Asas-asas tersebut lebih bersifat normatif, meskipun bukan

norma hukum, karena pertimbangan etik yang masuk ke dalam

ranah hukum. Asas-asas pembentukan peraturan perundang-

undangan tersebut penting untuk diterapkan karena dalam era

otonomi luas, dapat terjadi pembentuk Peraturan Daerah membuat

suatu peraturan atas dasar intuisi sesaat bukan karena kebutuhan

masyarakat. Pada prinsipnya asas pembentukan peraturan

perundang-undangan sangat relevan dengan asas-asas umum

administrasi publik yang baik (general principles of good

administration).

79
Dasar Yuridis rencana Pembentukan Peraturan Daerah

Kabupaten Bone tentang Hak Protokeler Pimpinan dan Anggota

DPRD Kabupaten Bone adalah sebagai berikut:

1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa

“Pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan

peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi daerah

dan tugas pembantuan”.

2. Undang – Undang Nomor 29 Tahun 1959 tentang Pembentukan

Daerah-Daerah Tingkat II di Sulawesi Selatan (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 74, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1822);

3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera,

Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 109,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5035);

4. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 125,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5166);

5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah

Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014

Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir

dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta

80
Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020

Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 6573);

6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun

2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan

dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 90)

sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan

Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2007 tentang

Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun

2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan

dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Demikian beberapa ketentuan peraturan perundang-

undangan yang dapat dijadikan dasar yuridis rencana dibentuknya

Peraturan Daerah Kabupaten Bone tentang Hak Protokeler

Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten Bone.

81
BAB V

JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI

MUATAN PERATURAN DAERAH

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai lembaga yang

mewakili aspirasi masyarakat wajib dihormati kedudukannya dalam

sistem ketatanegaraan dan pemerintahan di dearah. Sebagai lembaga

yang merepresentasikan keinginan rakyat di daerah, anggota DPRD

melekat kedudukan keprotokolan yang harus diakui, dihormati, dan

dijalankan secara konsisten di setiap daerah, termasuk di Kabupaten

Bone. Pengakuan dan penghormatan tersebut dimaksudkan agar

tercipta hubungan yang harmonis dan sinergis antara pemerintah

daerah dan DPRD kabupaten sehingga pelaksanaan otonomi daerah

terlaksana dengan baik. Maka dari itu diperlukan adanya kepastian

hukum terhadap pengaturan protokoler Pimpinan dan Anggota DPRD di

Kabupaten Bone.

A. Jangkauan Rancangan Peraturan Daerah

Jangkauan Ranperda Kabupaten Bone tentang Protokoler

Pimpinan dan Anggota DPRD meliputi pengklasifikasian pelbagai

acara resmi yang menghadirkan Pimpinan dan Anggota DPRD

Kabupaten Bone sehingga wajib diberlakukan keprotokolan Pimpinan

dan Anggota DPRD. Selain itu, jangkauan pengaturan Ranperda ini

akan mengatur mengenai tata tempat, tata upacara, dan tata

82
penghormatan kepada Pimpinan dan Anggota DPRD Kabupaten Bone

sebagai satu kesatuan keprotokolan.

Tata tempat berkaitan dengan posisi kursi atau tempat duduk

bagi Pimpinan dan Anggota DPRD Kabupaten Bone saat menghadiri

rapat atau acara resmi Pemerintah Daerah. Tata Upacara berkaitan

dengan upacara yang dilakukan dan/atau diikuti oleh Pimpinan dan

Anggota DPRD Kabupaten Bone, termasuk di dalamnya upacara

bendera dalam acara resmi seperti Hari Jadi Kabupaten Bone dan

upacara bukan upacara bendera. Tata penghormatan berkaitan

dengan penghormatan yang diberikan kepada Pimpinan dan Anggota

DPRD ketika meninggal dunia, yakni penghormatan pengibaran

bendera negara setengah tiang pada halaman instansi yang

bersangkutan selama 1 (satu) hari, dan penghormatan lainnya yang

diatur dalam peraturan perundang-undangan.

B. Arah Pengaturan

Jika merujuk pada ruang lingkup di atas, maka arah

pengaturan dalam Ranperda Kabupaten Bone tentang Protokoler

Pimpinan dan Anggota DPRD Kabupaten Bone akan mengatur

mengenai ketentuan posisi atau tempat duduk bagi Pimpinan dan

Anggota DPRD Kabupaten Bone saat menghadiri acara resmi di

Kabupaten Bone. Lebih lanjut, Ranperda ini akan menentukan secara

spesifik letak dan posisi duduk masing-masing Ketua DPRD, Wakil

Ketua DPRD, Anggota DPRD, Sekretaris DPRD, Bupati, Wakil Bupati,

Gubernur dan Instansi Vertikal lainnya ketika menghadiri acara

83
resmi yang dilaksanakan di Kabupaten Bone. Pengaturan ini

bertujuan untuk memberikan penghormatan kepada DPRD sebagai

lembaga perwakilan masyarakat di masing-masing wilayah.

C. Materi Muatan

1. Ketentuan Umum

Beberapa nomenklatur yang akan digunakan dalam

Ranperda ini diantaranya sebagai berikut:

a. Daerah adalah Kabupaten Bone.

b. Bupati adalah Bupati Kabupaten Bone.

c. Pemerintah Daerah adalah Bupati sebagai unsur penyelenggara

pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan

pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.

d. Dewan Perwakilan Rakyat Dewan Daerah yang selanjutnya

disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten Bone.

e. Pimpinan DPRD adalah pejabat daerah yang memegang jabatan

ketua dan wakil ketua DPRD Kabupaten Bone sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

f. Anggota DPRD adalah pejabat Daerah yang memegang jabatan

Anggota DPRD Kabupaten Bone sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

g. Sekretaris DPRD adalah pejabat perangkat Daerah yang

memimpin sekretariat DPRD Kabupaten Bone.

84
h. Bendera Negara Kesatuan Republik Indonesia yang selanjutnya

disebut Bendera Negara adalah Sang Merah Putih.

i. Protokoler adalah serangkaian kegiatan yang berkaitan dengan

aturan dalam acara resmi yang meliputi tata tempat, tata

upacara, dan tata penghormatan sebagai bentuk

penghormatan kepada seseorang sesuai dengan jabatan

dan/atau kedudukannya dalam negara, pemerintahan, atau

masyarakat.

j. Kedudukan Protokoler adalah kedudukan yang diberikan

kepada seseorang untuk mendapatkan penghormatan,

perlakuan, dan tata tempat dalam acara resmi atau pertemuan

resmi.

k. Acara Resmi adalah acara yang bersifat resmi yang diatur dan

dilaksanakan oleh pemerintah daerah atau Dewan Perwakilan

Rakyat daerah dalam melaksanakan tugas dan fungsi tertentu,

dihadiri oleh pejabat negara, pejabat pemerintah, pejabat

pemerintah daerah serta undangan lainnya.

l. Tata Tempat adalah aturan mengenai urutan tempat bagi

pejabat negara, pejabat pemerintah, pejabat pemerintah

Daerah, dan tokoh masyarakat tertentu dalam acara

kenegaraan atau acara resmi.

m. Tata Upacara adalah aturan untuk melaksanakan upacara

dalam acara resmi.

85
n. Tata Penghormatan adalah aturan untuk melaksanakan

pemberian hormat bagi pimpinan dan anggota Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah.

o. Pejabat Pemerintah Daerah adalah pejabat daerah otonom yang

diberi tugas tertentu di bidangnya sesuai dengan peraturan

perundang-undangan.

p. Instansi Vertikal adalah perangkat departemen dan/atau

lembaga pemerintah non kementerian di Daerah.

2. Materi yang Akan Diatur

Materi yang akan diatur dalam Ranperda Kabupaten Bone

tentang Protokoler Pimpinan dan Anggota DPRD terdiri dari 1

(satu) bab inti yakni Bab Protokoler dengan beberapa bagian di

dalamnya yaitu:

a. Bagian Kesatu Umum

Pada bagian kesatu ini akan diatur hal yang bersifat

umum mengenai keprotokolan DPRD yakni menegaskan bahwa

Pimpinan dan Anggota DPRD mendapatkan kedudukan

protokoler dalam setiap acara resmi yang dilaksanakan di

Kabupaten Bone. Acara Resmi yang dimaksdu meliputi:

1) Acara Resmi Pemerintah yang diselenggarakan di Daerah;

2) Acara Resmi Pemerintah Daerah yang menghadirkan

Pejabat Pemerintah; dan

3) Acara Resmi Pemerintah Daerah yang dihadiri oleh Pejabat

Pemerintah Daerah.

86
b. Bagian Kedua Tata Tempat

Pada bagian kedua ini akan diatur secara spesifik

mengenai tata tempat atau letak/posisi duduk Pimpinan dan

Anggota DPRD dalam acara resmi. Pengaturan ini dibagi

menjadi beberapa jenis acara resmi diantaranya:

1) Acara Resmi

Tata Tempat Pimpinan dan Anggota DPRD dalam

Acara Resmi dilaksanakan dengan ketentuan:

a) Ketua DPRD di sebelah kiri Bupati.

b) Wakil Ketua DPRD bersama dengan wakil Bupati setelah

pejabat Instansi Vertikal lainnya.

c) Anggota DPRD ditempatkan bersama dengan Pejabat

Pemerintah Daerah lainnya yang setingkat asisten

sekretaris Daerah dan kepala dinas atau badan dan/atau

satuan kerja daerah lainnya.

2) Rapat DPRD

Tata Tempat dalam rapat DPRD dilasanakan dengan

ketentuan:

a) Ketua DPRD didampingi oleh wakil Ketua DPRD.

b) Bupati dan wakil Bupati ditempatkan sejajar dan di

sebelah kanan Ketua DPRD.

c) Wakil Ketua DPRD duduk di sebelah kiri Ketua DPRD.

d) Anggota DPRD menduduki tempat yang telah

disediakan.

87
e) Sekretaris DPRD, peninjau, dan tamu undangan sesuai

dengan kondisi ruang rapat.

3) Pelantikan Bupati dan Wakil Bupati

Tata Tempat dalam acara pengambilan sumpah atau

janji dan pelantikan Bupati dan wakil Bupati dilaksanakan

dengan ketentuan:

a) Ketua DPRD duduk di sebelah kiri pejabat yang akan

mengambil sumpah atau janji Bupati dan wakil Bupati.

b) Wakil Ketua DPRD duduk di sebelah kiri Ketua DPRD.

c) Anggota DPRD menduduki tempat yang telah disediakan

untuk anggota.

d) Bupati dan wakil Bupati yang lama duduk di sebelah

kanan pejabat yang akan mengambil sumpah atau janji.

e) Bupati dan wakil Bupati yang akan dilantik duduk di

sebelah kiri wakil Ketua DPRD.

f) Sekretaris DPRD, peninjau, dan tamu undangan sesuai

dengan kondisi ruangan rapat.

g) Mantan Bupati dan wakil Bupati setelah pelantikan

duduk di sebelah kiri wakil Ketua DPRD.

h) Bupati dan wakil Bupati yang baru dilantik duduk di

sebelah kanan pejabat yang mengambil sumpah atau

janji Bupati dan wakil Bupati.

4) Serah Terima Jabatan Bupati dan Wakil Bupati

88
Tata Tempat dalam acara serah terima jabatan Bupati

dan wakil Bupati dilaksanakan dengan ketentuan:

a) Ketua DPRD duduk di sebelah kiri gubernur.

b) Wakil Ketua DPRD duduk di sebelah kiri Ketua DPRD.

c) Anggota DPRD menduduki tempat yang telah disediakan.

d) Bupati dan wakil Bupati duduk di sebelah kanan

Gubernur;.

e) Mantan Bupati dan wakil Bupati duduk di tempat yang

telah disediakan.

f) Gubernur yang diwakili oleh pejabat provinsi duduk di

tempat yang telah disediakan.

5) Pelantikan Anggota DPRD

Tata Tempat dalam acara pengucapan sumpah atau janji

Anggota DPRD dilaksanakan dengan ketentuan:

a) Pimpinan DPRD duduk di sebelah kiri Bupati dan wakil

Bupati.

b) Ketua pengadilan negeri atau pejabat yang ditunjuk

duduk di sebelah kanan Bupati.

c) Anggota DPRD yang akan mengucapkan sumpah atau

janji duduk di tempat yang telah disediakan.

d) Pimpinan sementara DPRD duduk di sebelah kiri Bupati

setelah pengucapan sumpah atau janji.

89
e) Mantan Ketua DPRD dan ketua pengadilan negeri atau

pejabat yang ditunjuk duduk di tempat yang telah

disediakan.

f) Sekretaris DPRD duduk di belakang pimpinan sementara

DPRD.

g) tamu undangan dan anggota DPRD yang lama duduk di

tempat yang telah disediakan.

h) Pers, kru televisi dan/atau radio disediakan tempat

tersendiri.

6) Pelantikan Ketua dan Wakil Ketua DPRD

Tata Tempat dalam Acara pengambilan sumpah atau janji

dan pelantikan Ketua DPRD dan wakil Ketua DPRD

dilaksanakan dengan ketentuan:

a) Pimpinan sementara DPRD duduk di sebelah kiri Bupati

dan wakil Bupati.

b) Pimpinan sementara DPRD duduk di sebelah kanan

ketua pengadilan negeri.

c) Ketua DPRD duduk di sebelah kiri Bupati dan wakil

Bupati setelah pelantikan;

d) Wakil Ketua DPRD duduk di sebelah kiri Ketua DPRD

setelah pelantikan.

e) Mantan pimpinan sementara DPRD dan ketua

pengadilan negeri duduk di tempat yang telah

disediakan.

90
c. Bagian Ketika Tata Upacara

Pada bagian ketiga ini akan diatur mengenai tata upacara

yang dilaksanakan dan/atau dihadiri oleh Pimpinan dan

Anggota DPRD Kabupaten Bone. Tata Ucapa dalam acara resmi

dalam pengaturan ini akan ditentukan yakni terdiri dari

upacara bendera dan upacara bukan upacara bendera.

Upacara bendara dalam kegiatan resmi akan ditentukan

terbatas pada:

1) Hari ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik

Indonesia.

2) Hari besar nasional.

3) Hari ulang tahun lahirnya provinsi Sulawesi Selatan dan

Daerah.

Sedangkan upacara bukan upacara bendara dalam

kegiatan resmi terdiri dari selain upacara bendara di atas.

Mengenai pakaian Pimpinan dan Anggota DPRD Kabupaten

Bone dalam acara resmi seperti pakaian adat Kabupaten Bone

dalam acara Hari Jadi Bone atau acara resmi lainnya tidak

akan diatur dalam Ranperda ini mengingat subtansi

pengaturan tersebut diatur secara internal dalam peraturan

DPDR tentang Tata Tertib DPRD Kabupaten.

d. Bagian Keempat Tata Penghormatan

Pada bagian ini akan diatur mengenai penghormatan

kepada Pimpinan dan Anggota DPRD yang setara dengan

91
penghormatan yang diberikan kepada Pemerintah Daerah.

Penghormatan yang dimaksud meliputi:

1) Penghormatan dengan Bendera Negara.

2) Penghormatan dengan lagu kebangsaan.

3) Bentuk penghormatan lain sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

92
BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Ranperda tentang Protokoler Pimpinan dan Anggota DPRD

koheren dengan konsepsi tata pemerintahan daerah yang hal

berkaitan dengan kekuasaan legislatif dalam sistem otonomi

daerah.

2. Analisis dan evaluasi peraturan perundang-undangan (PUu)

terhadap pembentukan Ranperda tentang Protokoler Pimpinan

dan Anggota DPRD telah berkesesuaian, PUu tersebut meliputi:

Pasal 18 Ayat (6) Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun

1945; Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera,

Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan; Undang-

Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan; Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah

sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja; dan Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2004 tentang

Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah

beberapa kali terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 21

Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan

93
Keuangan Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah.

3. Landasan filosofis pembentukan Ranperda Kabupaten Bone

tentang Protokoler Pimpinan dan Anggota DPRD adalah untuk

memberikan dasar penghormatan kedudukan terhadap DPRD

yang merupakan representasi rakyat sesuai dengan Pancasila dan

berdasarkan pada konstitusi bangsa Indonesia. Landasan

sosiologis berkaitan upaya menunjang fungsi-fungi DPRD agar

dapat berjalan secara baik dalam upaya menciptakan

kesejahteraan dalam masyarakat, dipandang perlu Pembentukan

Peraturan Daerah Kabupaten Bone tentang Protokeler Pimpinan

dan Anggota DPRD Kabupaten Bone. Landasan yuridis

pembentukan Ranperda ini ialah untuk memberikan landasan

hukum dalam pengaturan Protokoler Pimpinan dan Anggota

DPRD.

4. Arah Pengaturan Ranperda ini ialah akan mengatur mengenai tata

tempat, tata upacara, dan tata penghormatan kepada Pimpinan

dan Anggota DPRD Kabupaten Bone sebagai satu kesatuan

keprotokolan.

B. Saran

Untuk menjamin penghormatan terhadap kedudukan Pimpinan

dan Anggota DPRD Kabupaten Bone, perlu segera ditetapkan

Peraturan Daerah tentang Protoker Pimpinan dan Anggota DPRD.

94
DAFTAR PUSTAKA

Buku

A. Ridwan Halim. Evaluasi Kuliah Filsafat Hukum. Ghalia Indonesia:


Jakarta, 1987.
Abu Daud Busroh. Ilmu negara, Cetakan Pertama. Bumi Aksara:
Jakarta, 1990.
Bonar Siorangkir, et al. Otonomi atau Federalisme Dampakmnya
terhadap Perekonomian, cetakan pertama. Pustaka Sinar Harapan
Dan Harian Suara Pembaruan: Jakarta, 2000.
C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil. Sistem Pemerintahan Indonesia.
Bumi Aksara: Jakarta, 2005.
C.W. Van Der Pot. Handboek Van Nederlandse Staatrecth. Tjeenk Willink:
Zwolle, 1983.
Deliar Noer. Pemikiran Politik Di Negeri Barat. Mizan: Bandung, 1998.
Dharma Setyawan Salam. Otonomi Daerah Dalam Persepektif
Lingkungan, Nilai dan Sumber daya. Djembatan: Jakarta, 2002.
Eka Nam Sihombing. Hukum Kelembagaan Negara. Yogyakarta: Ruas
Media, 2018.
Ismail Sunny. Mekanisme Demokrasi Pancasila, cet.vi. Aksara Baru:
Jakarta, 1987.
Jimly Ashiddiqie. Konstitusi dan Konstitusionalisme. Sekretariat Jenderal
dan Kepaniteraan MKRI: Jakarta, 2005.
_____________. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Rajawali Pers: Jakarta,
2014.
_____________. Perkembangan dan Konsolodasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi.Sinar Grafika: Jakarta, 2012.
JJ.H Bruggink, Refleksi Tentang Hukum (Pengertian-Pengertian Dasar
dalam Teori Hukum), alih bahasa oleh: B. Arief Sidharta. Citra
Aditya Bakti, Bandung. 2015.

95
Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi. Gramedia:
Jakarta, 2008.
Mirza Satria Buana. Hubungan Tarik-Menarik Antara Asas Kepastian
Hukum (Legal Certainpi) Dengan Asas Keadilan (Substantial
Justice) Dalam Putusan-Putusan Mahkamah Konstltusi, Tesis
Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta,
2010.
Ni’Matul Huda. Hukum Pemerintahan Daerah, cetakan ketiga. Nusa
Media: Bandung, 2012.
Romi Librayanto. Ilmu Negara (Suatu Pengantar), Cet.2. Arus Timur:
Makassar, 2012.
Saldi Isra. Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi
Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia. Raja Grafindo:
Jakarta, 2010.
Satjipto Rahardjo. Ilmu Hukum. Citra Aditya Bakti: Bandung, 2012.
Sudikno Mertokusumo. Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum. Citra Aditya
Bakti: Bandung, 1993.
Sudikno Mertokusumo. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta:
Liberty, 2003.
Suharizal. Demokrasi Pemilukada Dalam Sisitem Ketatanegaraan RI.
UNPAD Press: Bandung, 2012.
Titik Triwulan Tutik. Konstruksi Hukum Tata Negara Pasca Amandemen
UUD 1945. Kencana: Jakarta, 2011.

Jurnal

Zulkifli Aspan. Lembaga-Lembaga Negara Pascaamendemen Konstitusi


Dalam Hubungan Fungsional, Pelaporan, dan Pengawasan, Jurnal
Ilmu Hukum AMANNA GAPPA Vol. 20 Nomor 4, Desember 2012.
Ahmad Yani. Sistem Pemerintahan Indonesia: Pendekatan Teori dan
Praktik, Lentera Hukum Volume 5 Issue 2, 2018.

96
Yokotani. Sistem Bikameral di Lembaga Legislatif Berdasarkan Tugas dan
Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah (Perbandingan dengan
Amerika Serikat, Inggris, dan Argentina). Jurnal Hukum Progresif.
Vol. XI No. 1 Juni 2017.
Mustaking Hamzah. Penguatan Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi
Sumatera Barat Dalam Rangka Menjalankan Fungsi Anggaran
Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda. Jurnal Ilmiah
Langue and Parole. Vol. 1 No. 1.
R. Tony Prayogo. Penerapan Asas Kepastian Hukum Dalam Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Hak Uji Materiil
Dan Dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/Pmk/2005
Tentang Pedoman Beracara Dalam Pengujian Undang-Undang,
Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 13, Nomor 2, 2016.
Internet

https://sulselprov.go.id/pages/des_kab/3
https://bonekab.bps.go.id/
Montesquieu, www.wikipedia.com, diakses 7 Mei 2022

97
LAMPIRAN

98
-1-

BUPATI BONE

PROVINSI SULAWESI SELATAN

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONE

NOMOR ..... TAHUN 2022

TENTANG

PROTOKOLER PIMPINAN DAN ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN


RAKYAT DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Menimbang : a. bahwa negara menghormati Dewan Perwakilan Rakyat


Daerah sebagai lembaga yang mewakili kepentingan
dan aspirasi masyarakat;
b. bahwa penghormatan kedudukan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah perlu dilakukan upaya penyesuaian
terhadap sistem ketatanegaraan, budaya, dan tradisi
masyarakat;
c. bahwa pengaturan penghormatan kedudukan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah perlu diatur dalam
pengaturan protokoler pimpinan dan anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Daerah tentang Protokoler
-2-

Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat


Daerah;

Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara


Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 tentang


Pembentukan Daerah Tingkat II di Sulawesi (Lembaran
negara Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 74,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 1822);

3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang


Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu
Kebangsaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5035);

4. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang


Keprotokolan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2010 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5166);

5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang


Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587)
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang
Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6573);

6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24


Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan
-3-

Keuangan Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan


Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 90, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4416) sebagaimana telah
diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 21 Tahun 2007 tentang Perubahan
Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan
Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4712);

BUPATI BONE,

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BONE


dan

BUPATI BONE

MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN DAERAH TENTANG PROTOKOLER
PIMPINAN DAN ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT DAERAH.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan:


-4-

1. Daerah adalah Kabupaten Bone.


2. Bupati adalah Bupati Kabupaten Bone.
3. Pemerintah Daerah adalah Bupati sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
4. Dewan Perwakilan Rakyat Dewan Daerah yang selanjutnya
disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten Bone.
5. Pimpinan DPRD adalah pejabat daerah yang memegang jabatan
ketua dan wakil ketua DPRD Kabupaten Bone sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
6. Anggota DPRD adalah pejabat Daerah yang memegang jabatan
Anggota DPRD Kabupaten Bone sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
7. Sekretaris DPRD adalah pejabat perangkat Daerah yang
memimpin sekretariat DPRD Kabupaten Bone.
8. Bendera Negara Kesatuan Republik Indonesia yang selanjutnya
disebut Bendera Negara adalah Sang Merah Putih.
9. Protokoler adalah serangkaian kegiatan yang berkaitan dengan
aturan dalam acara resmi yang meliputi tata tempat, tata
upacara, dan tata penghormatan sebagai bentuk penghormatan
kepada seseorang sesuai dengan jabatan dan/atau
kedudukannya dalam negara, pemerintahan, atau masyarakat.
10. Kedudukan Protokoler adalah kedudukan yang diberikan
kepada seseorang untuk mendapatkan penghormatan,
perlakuan, dan tata tempat dalam acara resmi atau pertemuan
resmi.
11. Acara Resmi adalah acara yang bersifat resmi yang diatur dan
dilaksanakan oleh pemerintah daerah atau Dewan Perwakilan
Rakyat daerah dalam melaksanakan tugas dan fungsi tertentu,
dihadiri oleh pejabat negara, pejabat pemerintah, pejabat
-5-

pemerintah daerah serta undangan lainnya.


12. Tata Tempat adalah aturan mengenai urutan tempat bagi
pejabat negara, pejabat pemerintah, pejabat pemerintah
Daerah, dan tokoh masyarakat tertentu dalam acara
kenegaraan atau acara resmi.
13. Tata Upacara adalah aturan untuk melaksanakan upacara
dalam acara resmi.
14. Tata Penghormatan adalah aturan untuk melaksanakan
pemberian hormat bagi pimpinan dan anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
15. Pejabat Pemerintah Daerah adalah pejabat daerah otonom yang
diberi tugas tertentu di bidangnya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
16. Instansi Vertikal adalah perangkat departemen dan/atau
lembaga pemerintah non kementerian di Daerah.

BAB II
PROTOKOLER

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 2
(1) Pimpinan dan Anggota DPRD memperoleh Kedudukan
Protokoler dalam Acara Resmi.
(2) Acara Resmi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Acara Resmi Pemerintah yang diselenggarakan di Daerah;
b. Acara Resmi Pemerintah Daerah yang menghadirkan
Pejabat Pemerintah; dan
c. Acara Resmi Pemerintah Daerah yang dihadiri oleh Pejabat
Pemerintah Daerah.
-6-

(3) Penyelenggaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


dilaksanakan dilaksanakan dengan ketentuan Tata Tempat,
Tata Upacara, dan Tata Penghormatan.

Bagian Kedua
Tata Tempat

Pasal 3
Pimpinan dan Anggota DPRD dalam Acara Resmi mendapat tempat
sesuai dengan pengaturan Tata Tempat.

Pasal 4
Tata Tempat Pimpinan dan Anggota DPRD dalam Acara Resmi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilaksanakan dengan
ketentuan:
a. Ketua DPRD di sebelah kiri Bupati;
b. wakil Ketua DPRD bersama dengan wakil Bupati setelah pejabat
Instansi Vertikal lainnya;
c. Anggota DPRD ditempatkan bersama dengan Pejabat Pemerintah
Daerah lainnya yang setingkat asisten sekretaris Daerah dan
kepala dinas atau badan dan/atau satuan kerja daerah lainnya.

Pasal 5
Tata Tempat dalam rapat DPRD dilasanakan dengan ketentuan:
a. Ketua DPRD didampingi oleh wakil Ketua DPRD;
b. Bupati dan wakil Bupati ditempatkan sejajar dan di sebelah
kanan Ketua DPRD;
c. wakil Ketua DPRD duduk di sebelah kiri Ketua DPRD;
d. Anggota DPRD menduduki tempat yang telah disediakan; dan
e. Sekretaris DPRD, peninjau, dan tamu undangan sesuai dengan
kondisi ruang rapat.
-7-

Pasal 6
Tata Tempat dalam acara pengambilan sumpah atau janji dan
pelantikan Bupati dan wakil Bupati dilaksanakan dengan
ketentuan:
a. Ketua DPRD duduk di sebelah kiri pejabat yang akan mengambil
sumpah atau janji Bupati dan wakil Bupati;
b. wakil Ketua DPRD duduk di sebelah kiri Ketua DPRD;
c. Anggota DPRD menduduki tempat yang telah disediakan untuk
anggota;
d. Bupati dan wakil Bupati yang lama duduk di sebelah kanan
pejabat yang akan mengambil sumpah atau janji;
e. Bupati dan wakil Bupati yang akan dilantik duduk di sebelah kiri
wakil Ketua DPRD;
f. Sekretaris DPRD, peninjau, dan tamu undangan sesuai dengan
kondisi ruangan rapat;
g. mantan Bupati dan wakil Bupati setelah pelantikan duduk di
sebelah kiri wakil Ketua DPRD; dan
h. Bupati dan wakil Bupati yang baru dilantik duduk di sebelah
kanan pejabat yang mengambil sumpah atau janji Bupati dan
wakil Bupati.

Pasal 7
Tata Tempat dalam acara serah terima jabatan Bupati dan wakil
Bupati dilaksanakan dengan ketentuan:
a. Ketua DPRD duduk di sebelah kiri gubernur;
b. wakil Ketua DPRD duduk di sebelah kiri Ketua DPRD;
c. Anggota DPRD menduduki tempat yang telah disediakan;
d. Bupati dan wakil Bupati duduk di sebelah kanan Gubernur;
e. mantan Bupati dan wakil Bupati duduk di tempat yang telah
disediakan; dan
-8-

f. gubernur yang diwakili oleh pejabat provinsi duduk di tempat


yang telah disediakan.

Pasal 8

Tata Tempat dalam acara pengucapan sumpah atau janji Anggota


DPRD dilaksanakan dengan ketentuan:
a. Pimpinan DPRD duduk di sebelah kiri Bupati dan wakil Bupati;
b. ketua pengadilan negeri atau pejabat yang ditunjuk duduk di
sebelah kanan Bupati;
c. Anggota DPRD yang akan mengucapkan sumpah atau janji
duduk di tempat yang telah disediakan;
d. pimpinan sementara DPRD duduk di sebelah kiri Bupati setelah
pengucapan sumpah atau janji;
e. mantan Ketua DPRD dan ketua pengadilan negeri atau pejabat
yang ditunjuk duduk di tempat yang telah disediakan;
f. Sekretaris DPRD duduk di belakang pimpinan sementara DPRD;
g. tamu undangan dan anggota DPRD yang lama duduk di tempat
yang telah disediakan; dan
h. pers, kru televisi dan/atau radio disediakan tempat tersendiri.

Pasal 9
Tata Tempat dalam Acara pengambilan sumpah atau janji dan
pelantikan Ketua DPRD dan wakil Ketua DPRD dilaksanakan
dengan ketentuan:
a. pimpinan sementara DPRD duduk di sebelah kiri Bupati dan
wakil Bupati;
b. pimpinan sementara DPRD duduk di sebelah kanan ketua
pengadilan negeri;
c. Ketua DPRD duduk di sebelah kiri Bupati dan wakil Bupati
setelah pelantikan;
-9-

d. wakil Ketua DPRD duduk di sebelah kiri Ketua DPRD setelah


pelantikan; dan
e. mantan pimpinan sementara DPRD dan ketua pengadilan negeri
duduk di tempat yang telah disediakan.

Bagian Ketiga
Tata Upacara

Pasal 10
Tata Upacara dalam Acara Resmi terdiri:
a. upacara bendera; dan
b. bukan upacara bendara.

Pasal 11
(1) Upacara bendera sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf
a hanya dapat dilaksanakan untuk Acara Resmi:
a. Hari ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia;
b. hari besar nasional; dan
c. hari ulang tahun lahirnya provinsi Sulawesi Selatan dan
Daerah.
(2) Tata Upacara bendera sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
meliputi:
a. tata urutan dalam upacara bendera;
b. tata bendera negara dalam upacara bendera;
c. tata lagu kebangsaan dalam upacara bendera; dan
d. tata pakaian dalam upacara bendera.

Pasal 12
-10-

(1) Upacara bukan upacara bendera sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 10 huruf b dapat dilaksanakan untuk Acara
Resmi.
(2) Upacara bukan upacara bendera sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi tata urutan upacara dan tata pakaian
upacara.

Pasal 13
Untuk keseragaman, kelancaran, ketertiban dan kekhidmatan
jalannya Tata Upacara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan
Pasal 12 diselenggarakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Bagian Keempat
Tata Penghormatan

Pasal 14
(1) Pimpinan dan Anggota DPRD mendapat penghormatan sesuai
dengan penghormatan yang diberikan kepada pejabat
Pemerintah Daerah.
(2) Penghormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. penghormatan dengan Bendera Negara;
b. penghormatan dengan lagu kebangsaan; dan/atau
c. bentuk penghormatan lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 15
(1) Dalam hal Pimpinan DPRD atau Anggota DPRD meninggal
dunia, dilakukan pengibaran Bendera Negara setengah tiang
selama satu hari.
-11-

(2) Dalam hal Pimpinan DPRD atau Anggota DPRD meninggal


dunia di luar negeri, pengibaran Bendera Negara setengah tiang
dilakukan sejak tanggal kedatangan jenazah di Indonesia.
(3) Pengibaran bendera setengah tiang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2), terbatas pada gedung DPRD.

Pasal 16
Pelaksanaan pengibaran Bendera Negara setengah tiang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dilaksanakan
dengan ketentuan:
a. Bendera Negara yang hendak dikibarkan setengah tiang
dinaikkan hingga ke ujung tiang, dihentikan sebentar dan
diturunkan tepat setengah tiang; dan
b. dalam hal Bendera Negara hendak diturunkan, dinaikkan
terlebih dahulu hingga ujung tiang, dihentikan sebentar,
kemudian diturunkan.

BAB III
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 17

Peraturan daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan


Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam lembaran
daerah Kabupaten Bone.

Ditetapkan di Watampone

pada tanggal ... …… 2022

BUPATI BONE,
-12-

ttd

................................

Diundangkan di Watampone

pada tanggal ... ……2022

SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN BONE,

ttd

.........................

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BONE TAHUN 2022 NOMOR ...

NO. REGISTER TAHUN 2022 PERATURAN DAERAH KABUPATEN


BONE PROVINSI SULAWESI SELATAN: (..,../2022)
-13-

PENJELASAN ATAS

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONE

NOMOR …… TAHUN 2022

TENTANG

PROTOKOLER PIMPINAN DAN ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN


RAKYAT DAERAH

I. UMUM
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mempunyai
kedudukan setara dan memiliki hubungan kerja bersifat
kemitraan dengan Pemerintah Daerah. Kedudukan yang setara
bermakna bahwa antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan
Pemerintah Daerah memiliki kedudukan yang sama dan sejajar
dalam arti tidak saling membawahi. Hubungan bersifat
kemitraan menempatkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
sebagai mitra kerja Pemerintah Daerah dalam membuat
kebijakan Daerah untuk melaksanakan otonomi daerah.
Berdasarkan hal tersebut antara kedua lembaga tersebut wajib
memelihara dan membangun hubungan kerja yang harmonis.
Untuk terjalinnya hubungan kerja yang harmonis dan
saling sinergis antara Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten Bone dengan Pemerintah Daerah
Kabupaten Bone, diperlukan adanya pengaturan tentang
Protokoler Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah di Kabupaten Bone. Hal tersebut bertujuan untuk
merespon penyesuaian terhadap sistem ketatanegaraan,
budaya, dan tradisi masyarakat yang tumbuh dan berkembang
di Kabupaten Bone
Pengaturan tentang Protokoler Pimpinan dan Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bone merupakan
pedoman pelaksanaan keprotokolan dalam acara resmi
-14-

terhadap tata tempat, tata upacara, dan tata penghormatan bagi


Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten
Bone. Hal tersebut didasari bahwa sebagai lembaga yang
mewakili aspirasi rakyat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
wajib mendapatkan penghormatan kedudukan keprotokolan.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Cukup jelas.

Pasal 3

Cukup jelas.

Pasal 4

Cukup jelas.

Pasal 5

Cukup jelas.

Pasal 6

Cukup jelas

Pasal 7

Cukup jelas.

Pasal 8

Cukup jelas.

Pasal 9

Cukup jelas.

Pasal 10
-15-

Cukup jelas.

Pasal 11

Cukup jelas.

Pasal 12

Cukup jelas.

Pasal 13

Cukup jelas.

Pasal 14

Cukup jelas.

Pasal 15

Cukup jelas.

Pasal 16

Cukup jelas.

Pasal 17

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BONE NOMOR .....

Anda mungkin juga menyukai