Anda di halaman 1dari 54

KELEMBAGAAN BADAN USAHA MILIK DESA (BUMDes)

di KABUPATEN BUTON SELATAN

BUMDes INSTITUTION IN SUOTHERN BUTON DISTRICT

FIRMAN AKBAR SYAMAUN

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS DAYANU IKHSANUDDIN
BAUBAU
2020
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL ...................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN ......................................................................... i

DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii

DAFTAR TABEL ............................................................................................. iv

DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... v

BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................... 1

A. Konteks Penelitian ......................................................................... 1

B. Fokus Penelitian ............................................................................. 9

C. Tujuan Penelitian ........................................................................... 10

C.1 Tujuan Umum Penelitian……………………………..….….. 10

C.2 Tujuan Khusus Penelitian…………………………………… 10

D. Manfaat Penelitian .................................................................... . 11

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 12

A. Tinjauan Hasil Penelitian ............................................................... 12

B. Tinjauan Teori dan Konsep............................................................ 16

1. Pengertian Kelembagaan. ........................................................ 16

2. Unsur-unsur Kelembagaan .................................................... 18

3. Kinerja Kelembagaan ............................................................ 20

4. Penguatan Kapasitas Kelembagaan ....................................... 22

5. Model Analitis Kelembagaan dari Richard.W.Scott .............. 23

6. Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) ..................................... 26

ii
C. Kerangka Konsep ........................................................................... 32

BAB III. METODE PENELITIAN ................................................................ 35

A. Desain Penelitian ........................................................................... 35

B. Pengelolaan Peran Penelitian ......................................................... 36

C. Lokasi Penelitian............................................................................ 37

D. Sumber Data .................................................................................. 38

E. Teknik Pengumpulan Data............................................................. 40

F. Teknik Analisis Data ..................................................................... 41

G. Keabsahan Data Temuan ............................................................... 42

H. Tahap dan Jadwal Penelitian.......................................................... 44

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 45

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Tahap dan Jadwal Penelitian................................................................44

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Bentuk kelembagaan BUMDes… ………………………………. 29

Gambar 2.2 Proses pendirian BUMDes…. …………………………………… 30

Gambar 2.3 Kerangka Konseptual………… ………………………………… 34

v
BAB I

PENDAHULUAN

A. Konteks Penelitian

Otonomi daerah secara tegas memberikan kewenangan kepada Desa dalam

mengatur rumah tangganya sendiri. Dalam upaya meningkatkan pembangunan

desa untuk kesejahteraan masyarakat, Pemerintah Indonesia melalui Badan

Pemerdayaan Masyarakat Desa (BPMD) membentuk suatu lembaga ekonomi

yang dinamakan Badan Usaha Milik Desa yang biasa di singkat dengan BUMDes.

Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) merupakan lembaga usaha desa yang

dikelola oleh masyarakat dan pemerintahan desa, dalam upaya memperkuat

perekonomian desa dan dibentuk berdasarkan kebutuhan dan potensi desa. Cara

kerja Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) adalah dengan jalan menampung

kegiatan-kegiatan ekonomi masyarakat dalam sebuah bentuk kelembagaan atau

badan usaha yang dikelola secara profesional, namun tetap bersandar pada potensi

asli desa. Hal ini dapat menjadikan usaha masyarakat lebih produktif dan efektif.

Lahirnya lembaga seperti Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), diharapkan

akan menjadi lembaga yang menampung kegiatan ekonomi masyarakat yang

berkembang menurut ciri khas desa dalam rangka meningkatkan kesejahteraan

masyarakat desa sebagai tempat kehidupan dan penghidupan. Bahkan lebih dari

itu, desa diharapkan akan menjadi fondasi penting bagi kemajuan bangsa dan

negara dimasa yang akan datang.

1
Membahas tentang definisi kelembagaan tergolong sangat membingungkan

bahkan beberapa ilmuan sosial masih memperdebatkan istilah tersebut. Dalam

banyak literatur teoritis, istilah kelembagaan selalu disilangkan dengan organisasi.

Kedua kata ini sering sekali menimbulkan perdebatan diantara para ahli. Menurut

Koentjaraningrat (1997) kata kelembagaan menunjuk kepada sesuatu pemantapan

perilaku yang hidup pada suatu kelompok orang sehingga kelembagaan

merupakan sesuatu yang stabil, mantab, dan berpola, berfungsi untuk tujuan-

tujuan tertentu dalam masyarakat. Sedangkan definisi kelembagaan menurut

Hendropuspito (1989) merupakan suatu bentuk organisasi yang secara tetap

tersusun dari pola-pola kelakuan, peran-peran dan relasi sebagai cara mengikat

guna tercapainnya kebutuhan-kebutuhan sosial dasar. (Wibowo: 2011). Definisi

kelembagaan tersebut hampir sama dengan yang dijelaskan oleh Macmilan

sebagaimana yang diuraikan Saharuddin (2001), bahwa kelembagaan merupakan

seperangkat hubungan norma, keyakinan dan nilai yang nyata, yang terpusat pada

kebutuhan sosial dan serangkaian tindakan yang penting dan berulang (Wibowo:

2011). Sementara itu, Taneko (1993) mendefinisikan kelembagaan sebagai adanya

norma dan kebutuhan masyarakat dalam situasi tersebut. (Wibowo: 2011).

Dengan demikian lahirnya kelembagaan di masyarakat sebagai bentuk aturan

yang ada dan mengikat guna untuk memperoleh serta memenuhi kebutuhan

masyarakat dalam kehidupan sosialnya. Sedangkan menurut Scott (2001)

kelembagaan didefinisikan sebagai struktur sosial yang mengandung elemen-

elemen simbolik, aktivitas sosial, dan sumber daya material. Kelembagaan

mempuyai tiga pilar yaitu : pilar regulatif, pilar normatif, dan pilar kultural-

2
kognitif. Pilar regulatif dari kelembagaan membatasi dan mengatur perilaku, pilar

normatif mengajukan dimensi-dimensi prekripsi, evaluasi, dan kewajiban sosial,

sedangkan pilar kognitif-kultural mengajukan konsepsi-konsepsi tentang hakekat

realitas sosial dan kerangka untuk memaknai realitas tersebut (Scott: 2001).

Berdasarkan definisi ahli/pakar diatas, dapat disimpulkan bahwa

kelembagaan hadir di masyarakat karena kondisi masyarakat dipenuhi oleh

berbagai aturan dan perilaku dengan melihat aturan-aturan tersebut. Untuk

mengatur perilaku manusia maka kelembagaan sebagai media atau wadah dalam

membentuk pola-pola yang telah mempunyai kekuatan yang tetap dan aktivitas

guna memenuhi kebutuhan harus dijalankan melalui pola yang ada di

kelembagaan. Melalui kelembagaan yang dibuat untuk mengatur terhadap pola

perilaku dan pemenuhan kebutuhan manusia, maka keberadaan kelembagaan akan

memberikan kontribusi bagi kehidupan masyarakat.

Dalam Undang - Undang (UU) Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pemerintahan

Daerah, Undang – Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa dan juga Peraturan

Pemerintah (PP) nomor 11 tahun 2019 tentang perubahan atas PP nomor 43 tahun

2014 tentang peraturan pelaksanaan undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang

Desa, telah jelas menyatakan bahwa bahwa desa adalah kesatuan masyarakat

hukum yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat

setempat, berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan

dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia.

Dengan adanya otonomi daerah secara tegas memberikan peran dan

kewenangan kepada desa dalam mengatur rumah tangganya sendiri dalam

3
upayanya untuk meningkatkan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat, pada

proses perkembangannya melalui Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa

(BPMDes) dibentuklah suatu badan/lembaga yang fokus pada pengembangan

ekonomi desa yang dinamakan Badan Usaha Milik Desa yang biasa di sebut

dengan BUMDes.

Berdasarkan informasi dari link berita Berdesa.com, tanggal 22 Februari 2018

dengan judul “ 9 hal yang menghambat Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)

menjadi raksasa”, dikatakan bahwa dalam setiap program Badan Usaha Milik

Desa (BUMDes) belum mampu menjadi lembaga yang memberi pengaruh

kesejahteraan bagi masyarakat disebabkan beberapa hal yaitu :

1. Lemahnya kelembagaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) khususnya

perangkat desa sebagai pengerak utama program tersebut;

2. Para perangkat kelembagaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) belum

memahami wewenang yang dimiliki desa saat ini meski sudah lahir Undang –

Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa;

3. Konsep pembangunan desa yang selama ini dipahami sebatas pemahaman

akan pembangunan fisik semata atas arahan pimpinan;

4. Belum terciptanya komunikasi yang baik antara para penggerak kelembagaan

desa dengan masyarakat mengenai berbagai isu yang seharusnya di

komunikasikan;

5. Adanya perilaku kekuasaan yang koruptif terbukti dengan adanya banyak

kasus pimpinan di desa yang harus berhadapan dengan meja hijau karena

4
dugaan penyalahgunaan dana desa untuk kepentingan sendiri maupun

golongan tertentu;

6. Banyak program - program pemberdayaan masyarakat sebelumya yang telah

dilaksanakan oleh pemerintah dan banyak program bantuan lainnya yang

gagal dan tidak jelas pertanggungjawabanya membuat sebagian masyarakat

desa berpikir bahwa mereka tidak harus mengembalikan dana yang

seharusnya menjadi modal bagi usaha desa yang dijalankan Badan Usaha

Milik Desa (BUMDes);

7. Penguasaan kemampuan manajerial yang kurang memadai;

8. Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sendiri dikatakan tidak cukup menarik

untuk sebagian besar kaum muda untuk berkarya;

9. Gencarnya kampanye yang menciptakan citra bahwa Badan Usaha Milik

Desa (BUMDes) harus menghasilkan keuntungan besar berupa profit

(rupiah).

Kabupaten Buton Selatan sebagai Daerah Otonomi Baru (DOB) yang

merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Buton melalui Undang-Undang

Republik Indonesia nomor 16 Tahun 2014 tentang Pembentukan Kabupaten

Buton Selatan di Provinsi Sulawesi Tenggara dengan pembagian wilayah

administrasi terdiri dari 7 (tujuh) kecamatan yaitu Batauga, Sampolawa,

Lapandewa, Siompu, Siompu Barat, Kadatua dan Batuatas. Kabupaten Buton

Selatan terdapat 70 kelurahan/desa dengan pembagian 60 desa dan 10 kelurahan.

Kegiatan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) di Kabupaten Buton Selatan telah

5
tertuang dalam Peraturan Bupati (Perbup) nomor 14 tahun 2017 tentang Pedoman

Tata Cara Pembentukan dan Pengelolaan Badan Usaha Miik Desa.

Kondisi perekonomian masyarakat di Kabupaten Buton Selatan pada

umumnya dapat dikatakan masih rendah sehingga sebahagian penduduknya

mencari pekerjaan di luar wilayah bahkan sampai menjadi tenaga kerja asing di

beberapa negara tetangga. Hal ini sangat kontradiktif dengan Sumber Daya Alam

(SDA) yang ada khususnya di bidang perikanan, pertanian serta peternakan.

Dengan luas perairan laut mencapai 2.478 Kilometer persegi, luas kawasan yang

belum di olah mencapai lebih dari 20.000 Ha yang bisa dimanfaatkan untuk lahan

pertanian dan juga peternakan (Dokumen RTRW Kabupaten Buton Selatan 2015),

juga memiliki pesona pariwisata alam dan religi yang cukup bisa di andalkan dan

menunggu untuk di manfaatkan sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat.

Dengan potensi – potensi tersebut juga telah menjadi perhatian Pemerintah

Daerah Kabupaten Buton Selatan melaui Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa

(BPMD) dengan mendorong berbagai usaha produktif dalam program Badan

Usaha Milik Desa (BUMDes) yang diharapkan mampu menjawab permasalah

ekonomi dan sosial yang ada. Kecamatan Batauga merupakan ibukota Kabupaten

Buton Selatan yang terdiri dari 7 (tujuh) kelurahan dan 5 (Lima) desa. Kelima

desa tersebut sudah memiliki Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yaitu Desa

Lawela, Lawela Selatan, Poogalampa, Bola dan Lampanairi.

Berdasarkan pengamatan awal peneliti bahwa masalah yang muncul adalah

peran kelembagaan yang kurang optimal terkait pengetahuan dan pemahaman

pengurus Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) terhadap program kerja dan

6
kegiatan yang dilakukan, inovasi serta kemampuan sumber daya manusia yang

masih rendah terkait identifikasi sumber usaha ekonomi, serta rendahnya

kesadaran masyarakat akan perannya mulai dari tahap pembentukan, pengelolaan

hingga evaluasi terhadap kinerja Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sehingga

belum dapat memberikan solusi terhadap permasalahan ekonomi yang dihadapi

walaupun tidak dipungkiri pula ada beberapa Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)

juga telah berhasil dan mampu membantu masyarakat dalam usaha ekonomi desa.

Program kegiatan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang ada di desa se-

Kecamatan Batauga, pada umumnya masih monoton bahkan cenderung tidak

berkembang seperti usaha penyewaan tenda sarnafil atau pemberian kredit usaha

yang masih menyisakan persoalan seperti kredit macet dan lain sebagainya.

Penelitian tentang kelembagaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sudah

pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya diantaranya adalah penelitian

pertama oleh Yuliana Windi Sari (2017) dengan judul Praktik Sosial

Kelembagaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Artha Guna di Desa Kedensari

Kecamatan Tanggulangin Kabupaten Sidoarjo yang menyimpulkan bahwa praktik

sosial kelembagaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Artha Guna merupakan

serangkaian proses yang berlangsung dengan kompleks pada stuktur kelembagaan

baik dari aspek pengurus Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Artha Guna,

anggota Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Artha Guna, legalitas sturktur

kelembagaan, mekanisme administrasi Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Artha

Guna, pengaturan posisi aktor dan agen dalam praktek sosial kelembagaan.

Penelitian kedua oleh Agung Wichaksono Probowo (2019) dengan judul

7
Penguatan Kebijakan Kelembagaan Badan Usaha Milik Desa di Desa Suka

Gerundi Kecamatan Perindu Kabupaten Sanggau yang menyimpulkan

menunjukkan kebijakan kelembagaan menuju desa mandiri belum berjalan secara

optimal, perlu adanya kebijakan pendidikan terhadap menejer Badan Usaha Milik

Desa (BUMDes), dan pendidikan serta pelatihan-pelatihan kepada anggota Badan

Usaha Milik Desa (BUMDes), perlu adanya partisipasi masyarakat didalam tahap

perencanaan, pelaksanaan dan pemanfaatan, Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)

yang dibentuk belum efektif dan sesuai dengan tujuan serta esensi dari Badan

Usaha Milik Desa (BUMDes) itu sendiri, masyarakat harus dijadikan aktor dalam

menciptakan iklim perekonomian desa yang aktif di bawahi oleh Badan Usaha

Milik Desa (BUMDes). Penelitian peneliti mengambil teori tiga pilar

kelembagaan Richard.W.Scott terkait pilar regulatif, pilar normatif dan pilar

kultural-kognitif karena teori tersebut dianggap mampu memaparkan dengan baik

terkait kelembagaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang ideal serta mampu

memberikan pandangan dan solusi terhadap permasalahan yang ada

Berdasarkan uraian diatas, penelitian tentang kelembagaan Badan Usaha

Milik Desa (BUMDes) penting untuk dilakukan karena terdapat beberapa masalah

berdasarkan data awal yang dimiliki peneliti. Oleh karena itu peneliti ingin

melakukan penelitian dengan judul “Kelembagaan Badan Usaha Milik Desa

(BUMDes) di Kabupaten Buton Selatan”

8
B. Fokus Penelitian

Adapun fokus penelitian dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana Kondisi Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) di desa-desa se-

Kecamatan Batauga Kabupaten Buton Selatan ?

2. Bagaimana kebijakan pemerintah daerah dalam mendukung terciptanya

kelembagaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang dapat bermanfaat

bagi masyarakat ?

3. Kendala dan hambatan apa yang dihadapi oleh pengurus Badan Usaha Milik

Desa (BUMDes) dalam melaksanakan program-program di desa-desa se-

Kecamatan Batauga Kabupaten Buton Selatan ?

4. Bagaimana upaya mengatasi kendala dan hambatan dalam melaksanakan

program-program Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) di desa-desa se-

Keamatan Batauga Kabupaten Buton Selatan ?

5. Bagaimana proses penerapan pilar regulatif pada kelembagaan Badan Usaha

Milik Desa (BUMDes) di desa-desa se-Kecamatan Batauga Kabupaten Buton

Selatan ?

6. Bagaimana proses penerapan pilar normatif pada kelembagaan Badan Usaha

Milik Desa (BUMDes) di desa-desa se-Kecamatan Batauga Kabupaten Buton

Selatan ?

7. Bagaimana proses penerapan pilar kognitif-kultural pada kelembagaan Badan

Usaha Milik Desa (BUMDes) di desa-desa se-Kecamatan Batauga Kabupaten

Buton Selatan ?

9
C. Tujuan Penelitian

C.1 Tujuan Umum Penelitian

Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah :

1. Mendeskripsikan kondisi Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) di desa-desa

se-Kecamatan Kabupaten Buton Selatan.

2. Mendeskripsikan kebijakan pemerintah daerah dalam mendukung terciptanya

kelembagaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang dapat bermanfaat

bagi masyarakat.

3. Mendeskripsikan kendala dan hambatan yang dihadapi oleh pengurus Badan

Usaha Milik Desa (BUMDes) dalam melaksanakan program-program dalam

di desa-desa se-Kecamatan Batauga Kabupaten Buton Selatan.

4. Mendeskripsikan upaya untuk mengatasi kendala dan hambatan dalam

melaksanakan program-program di Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) di

desa-desa se-Kecamatan Batauga Kabupaten Buton Selatan.

C.2 Tujuan Khusus Penelitian

1. Mendeskripsikan proses penerapan pilar regulatif pada kelembagaan Badan

Usaha Milik Desa (BUMDes) di desa-desa se-Kecamatan Batauga kabupaten

Buton Selatan.

2. Mendeskripsikan proses penerapan pilar normatif pada kelembagaan Badan

Usaha Milik Desa (BUMDes) di desa-desa se-Kecamatan Batauga kabupaten

Buton Selatan.

10
3. Mendeskripsikan proses penerapan pilar kognitif-kultural pada kelembagaan

Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) di desa-desa se-Kecamatan Batauga

kabupaten Buton Selatan.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapakan akan bermanfaat baik bagi pemerintah, para

akademisi maupun para pembaca, adapun :

1. Bagi pemerintah Kabupaten Buton Selatan dapat dijadikan masukan dan

informasi tentang kelembagaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dalam

meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Buton Selatan.

2. Bagi akademisi dan peneliti, dapat dijadikan sumber atau referensi dan

mengembangkan pengetahuan tentang kelembagaan Badan Usaha Milik Desa

(BUMDes) dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

11
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Hasil Penelitian

Tinjauan terhadap hasil penelitian terdahulu seperti penelitian yang dilakukan

dibawah ini, yakni oleh penelitian pertama yang dilakukan oleh Yuliana Windi

Sari (2017) dengan judul Praktik Sosial Kelembagaan Badan Usaha Milik Desa

(BUMDes) Artha Guna di Desa Kedensari Kecamatan Tanggulangin Kabupaten

Sidoarjo. Adapun yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah stuktur dan

organisasi Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang belum mampu

mengakomodasi potensi lokal masyarakat dan hanya mampu berperan pada unit

simpan pinjam yang bersumber dari dana pinjaman program pemerintah yang

seharusnya Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) tersebut menjadi suatu wadah

yang mampu memberikan kontribusi bagi kelangsungan kehidupan masyarakat

desa dan menjadi instrument pemberdayaan masyarakat. Adapun tujuan dari

penelitian ini yaitu untuk mengetahui sejauh mana penerapan pola praktik sosial

kelembagaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Artha Guna dengan metode

struktur interaksi institusi dalam kaidah secara legitimasi (menjadikan lembaga

yang keberadaannya di akui amsyarakat), secara signifikasi (menjadikan lembaga

memberikan dampak sosial dan ekonomi), secara dominasi ( mampu menjadi

lembaga yang kokoh dan mampu membangun kehidupan masyarakat desa dari

berbagai dimensi). Teori yang digunakan adalah teori Strukturisasi Lembaga oleh

Anthony Giddens yaitu 3 gugus struktur yang dominan dalam kehidupan sosial

12
yaitu Domonasi, Signifikasi, Legitimasi. Metode yang digunakan dalam penelitian

adalah metode kualitatif dengan cara pengumpulan data yaitu wawancara

mendalam, observasi tidak terlibat untuk penentuan informan dilakukan dengan

cara purposiv. Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktik sosial kelembagaan

Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Artha Guna merupakan serangkaian proses

yang berlangsung dengan kompleks pada sturktur kelembagaan baik dari aspek

pengurus Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Artah Guna, anggota Badan Usaha

Milik Desa (BUMDes) Artha Guna, legalitas sturktur kelembagaan, mekanisme

administrasi Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Artha Guna serta pengaturan

posisi actor dan agen dalam praktik sosial kelembagaan.

Penelitian kedua yang dilakukan oleh Agung Wichaksono Probowo (2019)

dengan judul Penguatan Kebijakan Kelembagaan Badan Usaha Milik Desa di

Desa Suka Gerundi Kecamatan Perindu Kabupaten Sanggau. Adapun tujuan dari

penelitian ini yaitu untuk mengetahui bagaimana penguatan kebijakan

kelembagaan desa menuju desa mandiri di Desa Suka Gerundi Kecamatan

Perindu Kabupaten Sanggau. Teori yang digunakan adalah teori Penguatan

Kelembagaan Lokal oleh Caventa dan Valderama yang menyatakan bahwa

keberhasilan pembangunan di ukur dari seberapa besar masyarakat mampu

mendayagunakan sumber-sumber lokal yang secara kategoris terdiri dari :

1. Modal Manusia, yang meliputi jumlah penduduk, skala rumah tangga, kondisi

pendidikan dan keahlian serta kondisi kesehatan warga.

2. Modal Alam, meliputi sumber daya tanah, air, hutan, tambang, sumber hayati

dan sumber lingkungan hidup.

13
3. Modal Finansial, meliputi sumber-sumber keuangan yang ada seperti

tabungan, pinjaman, subsidi dan lain sebagainya.

4. Modal Fisik, melliputi infrastruktur dasar yaitu transportasi, perumahan, air

bersih, sumber energy, komunikasi, peralatan produksi maupun sarana yang

membantu manusia untuk memperoleh mata pencaharian.

5. Modal Sosial, yakni jaringan kekerabatandan budaya, serta keanggotaan

dalam kelompok, rasa saling percaya, lembaga kemasyarakatan, pranata

sosial dan tradisi yang mendukung, serta akses terhadap kelembagaan sosial

yang sifatnya lebih luas.

Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif. Hasil penelitian

menunjukkan kebijakan kelembagaan menuju desa mandiri belum berjalan secara

optimal, perlu adanya kebijakan pendidikan terhadap menejer Badan Usaha Milik

Desa (BUMDes), dan pendidikan serta pelatihan-pelatihan kepada anggota Badan

Usaha Milik Desa (BUMDes), perlu adanya partisipasi masyarakat didalam tahap

perencanaan, pelaksanaan dan pemanfaatan, Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)

yang dibentuk belum efektif dan sesuai dengan tujuan serta esensi dari Badan

Usaha Milik DEsa (BUMDes) itu sendiri, masyarakat harus dijadikan aktor dalam

menciptakan iklim perekonomian desa yang aktif di bawahi oleh Badan Usaha

Milik Desa (BUMDes).

Perbedaan penelitian sebelumnya dengan penelitian peneliti yaitu fokus

penelitian pertama mengangkat masalah praktik sosial kelembagaan Badan Usaha

Milik Desa (BUMDes) Artha Guna dan stuktur interaksi (modalitas) Badan Usaha

Milik DEsa (BUMDes) Artha Guna yang terdiri dari Dominasi, Signifikasi dan

14
Legitimasi yang merupakan rangkaian dari struktur kelembagaan Badan Usaha

Milik Desa (BUMDes) Artha Guna. Fokus penelitian kedua adalah tentang

penguatan kebijakan kelembagaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) di Desa

Suka Gerundi Kecamatan Parindu Kabupaten Sanggau menuju desa yang mandiri

belum berjalan secara efektif serta partisipasi masyarakat yang belum secara

maksimal di berdayakan untuk menciptakan iklim perekonomian desa yang aktif.

Sedangkan penelitian peneliti mengangkat masalah kelembagaan pada Badan

Usaha Milik Desa (BUMDes) yang belum berjalan sesuai dengan yang

diharapkan sehingga optimalisasi dalam mengelola kelembagaan serta program

kegiatan dirasakan masih kurang, inovasi serta kemampuan sumber daya yang

masih rendah dalam mengidentifikasi sumber-sumber usaha serta peran serta

masyarakat dalam pelaksanaan program-program kegiatan perekonomian yang

belum terasa di tengah masyarakat.

Teori yang digunakan pada penelitian pertama yaitu Strukturisasi Lembaga

oleh Anthony Giddens yaitu 3 gugus struktur yang dominan dalam kehidupan

sosial yaitu Domonasi, Signifikasi, Legitimasi. Teori yang digunakan pada

penelitian kedua adalah teori kelembagaan lokal oleh Caventa dan Valderama

yang menyatakan bahwa keberhasilan pembangunan diukur dari seberapa besar

masyarakat mampu mendayagunakan sumber-sumber lokal yang mereka miliki

dan secara kategoris terdiri dari : (1) Modal manusia, (2) Modal Alam, (3) Modal

Finansial, (4) Modal Fisik, (5) Modal Sosial. Teori yang digunakan oleh peneliti

menggunakan teori Richard.W.Scott tentang pilar-pilar dalam perspektif

kelembagaan yaitu pilar regulatif (aturan), pilar normatif (norma), pilar kultural-

15
kognitif (perilaku terhadap lingkungan). Hasil kedua penelitian terdahulu tersebut

menyimpulkan bahwa keberadaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sangat

berperan membawa perubahan di bidang sosial dan ekomoni dan juga diperlukan

evaluasi secara menyeluruh terhadap kebijakan serta strategi yang diterapkan

dalam setiap kegiatan yang dilakukan.

B. Tinjauan Teori dan Konsep

1. Pengertian Kelembagaan

Kelembagaan dalam administrasi publik berkaitan dengan organisasi dan

manajemen institusi publik, mencakup hubungan antara struktur organisasi,

peraturan terkait serta norma-norma, dan proses organisasi, perilaku, hasil, dan

akuntabilitas lembaga publik. Dalam administrasi publik, istilah "lembaga"

biasanya mengacu pada sebuah organisasi publik yang dapat memanggil otoritas

negara untuk menegakkan keputusannya. Dalam konteks ini, lembaga-lembaga

umum didefinisikan sebagai konstruksi sosial, aturan dan norma-norma yang

membatasi perilaku individu dan kelompok. Istilah kelembagaan dan organisasi

sering membingungkan dan bersifat interchangeably dan banyak orang yang

masih rancu memahami perbedaan lembaga dengan organisasi.

Lembaga menurut Macmillan dalam Saharuddin (2001) adalah seperangkat

hubungan norma-norma, keyakinan-keyakinan, dan nilai-nilai yang nyata, yang

terpusat pada kebutuhan-kebutuhan sosial dan serangkaian tindakan yang penting

dan berulang.

16
Hendropuspito.O.C (1989) menurutnya institusi/lembaga merupakan suatu

bentuk organisasi yang secara tetap tersusun dari pola-pola kelakuan, peranan-

peranan dan relasi sebagai cara yang mengikat guna tercapainya kebutuhan-

kebutuhan sosial dasar. Unsur penting yang melandasi sebuah institusi menurut

Hendropuspito dapat dilihat dari unsur definisi sebagai berikut:

1. Kebutuhan sosial dasar (basic needs), kebutuhan sosial dasar terdiri atas

sejumlah nilai material, mental dan spiritual, yang pengadaannya harus

terjamin, tidak dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor kebetulan atau kerelaan

seseorang. Misalnya: kebutuhan sandang, pangan, perumahan, kelangsungan

jenis/keluarga, pendidikan, kebutuhan ini harus dipenuhi.

2. Organisasi yang relatif tetap, dasar pertimbangannya mudah dipahami, karena

kebutuhan yang hendak dilayani bersifat tetap. Memang harus diakui bahwa

apa yang dibuat oleh manusia tunduk pada hukum perubahan, tetapi

berdasarkan pengamatan dapat dikatakan bahwa institusi pada umumnya

berubah lambat, karena pola kelakuan dan peranan-peranan yang melekat

padanya tidak mudah berubah.

3. Institusi/lembaga merupakan organisasi yang tersusun/terstruktur, komponen-

komponen penyusunnya terdiri dari pola-pola kelakuan, peranan sosial, dan

jenis-jenis antarrelasi yang sifatnya lebih kurang tetap. Kedudukan dan

jabatan ditempatkan pada jenjang yang telah ditentukan dalam struktur yang

terpadu.

4. Institusi/lembaga sebagai cara (bertindak) yang mengikat, keseluruhan

komponen yang dipadukan itu dipandang oleh semua pihak yang

17
berkepentingan sebagai suatu bentuk cara hidup dan bertindak yang

mengikat. Mereka menyadari bahwa kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam

suatu institusi harus disesuaikan dengan aturan institusi. Pelanggaran

terhadap norma-norma dan pola-pola kelakuan dikenai sanksi yang setimpal.

Dalam institusi/lembaga keterikatan pada norma dan pola dianggap begitu

penting bahkan diperkuat dengan seperangkat sanksi demi tercapainya

kelestarian dan ketahanan secara kesinambungan.

Norman Uphoff (1986) menyatakan sangat sulit sekali mendefinisikan

institusi, karena definisi intitusi sering dipertukarkan dengan organisasi. Institusi

atau lembaga merupakan serangkaian norma dan perilaku yang sudah bertahan

(digunakan) selama periode waktu tertentu untuk mencapai maksud/tujuan

bernilai kolektif atau maksud-maksud yang bernilai sosial.

Dari berbagai definisi diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa lembaga atau

yang disebut institusi bukan hanya organisasi/golongan tetapi juga merupakan

aturan-aturan yang ada dimasyarakat, atau pola-pola tingkah laku yang

berdasarkan pada aturan atau norma yang ada dan bersifat mengikat untuk

mencapai tujuan bersama yang bernilai sosial.

2. Unsur-Unsur Kelembagaan

Menurut pendapat para ahli (Ruttan dan Hayami,1984), (Ostrom,1985;1986),

(Nabli dan Nugent, 1989), (North, 1990), (Williamson, 1985), berbagai unsur

penting dari kelembagaan, di antaranya adalah:

18
1. Institusi merupakan landasan untuk membangun tingkah laku sosial

masyarakat;

2. Norma tingkah laku yang mengakar dalam masyarakat dan diterima secara

luas untuk melayani tujuan bersama yang mengandung nilai tertentu dan

menghasilkan interaksi antar manusia yang terstruktur;

3. Peraturan dan penegakan aturan/hukum;

4. Aturan dalam masyarakat yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama

dengan dukungan tingkah laku, hak dan kewajiban anggota;

5. Kode etik;

6. Kontrak;

7. Pasar;

8. Hak milik (property rights atau tenureship);

9. Organisasi;

10. Insentif untuk menghasilkan tingkah laku yang diinginkan.

Kelembagaan (institusi) bisa berkembang baik jika ada infrastruktur

kelembagaan (institutional infrastructure), ada penataan kelembagaan

(institutional arrangements) dan mekanisme kelembagaan (institutional

mechanism). Terlepas dari kompleksitas permasalahan yang ada, kelembagaan

dan kebijakan yang berkaitan dengan usaha-usaha masyarakat tidak terlepas dari

sejarah terbentuknya kelembagaan yang relevan dengan komponen penyusun

usaha tersebut, utamanya kelembagaan sosial dan politik.

19
3. Kinerja Kelembagaan

Kinerja kelembagaan didefinisikan sebagai kemampuan suatu kelembagaan

untuk menggunakan sumberdaya yang dimilikinya secara efisien dan

menghasilkan output yang sesuai dengan tujuannya dan relevan dengan kebutuhan

pengguna (Peterson, 2003). Ada dua hal untuk menilai kinerja kelembagaan yaitu

produknya sendiri berupa jasa atau material, dan faktor manajemen yang membuat

produk tersebut bisa dihasilkan. Satu cara yang lebih sederhana telah

dikembangkan untuk memahami kinerja internal dan (sedikit) eksternal suatu

kelembagaan, melalui ukuran-ukuran dalam ilmu manajemen.

Menurut Mackay (1998) ada empat dimensi untuk mempelajari suatu

kelembagaan (institutional assessment), yaitu

1. Kondisi lingkungan eksternal (the external environment). Lingkungan sosial

di mana suatu kelembagaan hidup merupakan faktor pengaruh yang dapat

menjadi pendorong dan sekaligus pembatas seberapa jauh sesuatu

kelembagaan dapat beroperasi. Lingkungan dimaksud berupa kondisi politik

dan pemerintahan (administrative and external policies environment),

sosiolkultural (sociocultural environment), teknologi (technological

environment), kondisi perekonomian (economic enviroenment), berbagai

kelompok kepentingan (stakeholders), infrastuktur, serta kebijakan terhadap

pengelolaan sumberdaya alam (policy natural resources environment).

Seluruh komponen lingkungan tersebut perlu dipelajari dan dapat dianalisis

bentuk pengaruhnya terhadap kelembagaan yang dipelajari. Sebagian

memiliki pengaruh yang lebih kuat dan langsung, sebagian tidak.

20
Implikasi kebijakan yang disusun dapat dialamatkan kepada lingkungan

tersebut, jika disimpulkan telah menjadi faktor penghambat terhadap

operasioal suatu kelembagaan.

2. Motivasi kelembagaan (institutional motivation). Kelembagaan dipandang

sebagai suatu unit kajian yang memiliki jiwanya sendiri. Terdapat empat

aspek yang bisa dipelajari untuk mengetahui motivasi kelembagaan, yaitu

sejarah kelembagaan (institutional history), misi yang diembannya, kultur

yang menjadi pegangan dalam bersikap dan berperilaku anggotanya, serta

pola penghargaan yang dianut (incentive schemes). Suatu fakta sosial adalah

fakta historik. Sejarah perjalanan kelembagaan merupakan pintu masuk yang

baik untuk mengenali secara cepat aspek-aspek kelembagaan yang lain.

3. Kapasitas kelembagaan (institutional capacity). Pada bagian ini dipelajari

bagaimana kemampuan kelembagaan untuk mencapai tujuan-tujuannya

sendiri. Kemampuan tersebut diukur dari lima aspek, yaitu: strategi

kepemimpinan yang dipakai (strategic leadership), perencanaan program

(program planning), manajemen dan pelaksanaannya (management and

execution), alokasi sumberdaya yang dimiliki (resource allocation), dan

hubungan dengan pihak luar yaitu terhadap clients, partners, government

policymakers, dan external donors.

4. Kinerja kelembagaan (institutional performance). Terdapat tiga hal pokok

yang harus diperhatikan yaitu keefektifan kelembagaan dalam mencapai

tujuan-tujuannya, efisiensi penggunaan sumber daya, dan keberlanjutan

kelembagaan berinteraksi dengan para kelompok kepentingan di luarnya.

21
Terkesan di sini bahwa kalkulasi secara ekonomi merupakan prinsip yang

menjadi latar belakangnya. Untuk mengukur keefektifan dan efisiensi

misalnya dapat digunakan analisis kuantitatif sederhana misalnya dengan

membuat rasio antara perolehan yang seharusnya dengan yang aktual

tercapai, serta rasio biaya dengan produktivitas.

4. Penguatan Kapasitas Kelembagaan

Penguatan kapasitas kelembagaan merupakan suatu pendekatan

pembangunan dimana semua orang (pihak) memiliki hak yang sama terhadap

sumberdaya, dan menjadi perencana pembangunan bagi diri mereka. Menurut

Sumpeno (2002), penguatan kapasitas adalah suatu proses peningkatan atau

perubahan perilaku individu, organisasi dan sistem masyarakat dalam mencapai

tujuan yang telah ditetapkan secara efektif dan efeisien.

Pengembangan kapasitas masyarakat menurut Maskun (1999) merupakan

suatu pendekatan pembangunan yang berbasis pada kekuatan-kekuatan dari

bawah secara nyata. Kekuatan-kekuatan itu adalah kekuatan sumberdaya alam,

sumberdaya ekonomi dan sumberdaya manusia sehingga menjadi suatu local

capacity. Kapasitas lokal yang dimaksud adalah kapasitas pemerintah daerah,

kapasitas kelembagaan swasta dan kapasitas masyarakat desa terutama dalam

bentuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dalam menghadapi

tangtangan pengembangan potensi alam dan ekonomi setempat. Organisasi-

organisasi lokal diberi kebebasan untuk menentukan kebutuhan organisasinya dan

kebutuhan masyarakat. Dalam konteks seperti itu otonomi dan pembangunan

22
masyarakat oleh masyarakat adalah suatu konsep yang sejalan. Karena itu

kebutuhan penting di sini adalah bagaimana mengembangkan kapasitas

masyarakat, yang mencakup kapasitas institusi dan kapasitas sumberdaya

manusia. Dalam konteks seperti itu pemerintah memiliki fungsi menciptakan

strategi kebijakan sebagai landasan bagi organisasi local untuk mengembangkan

kreativitasnya. Dalam pengertian lain pemerintah pusat mengemban fungsi

steering (mengarahkan), sedangkan “lokal” mengemban fungsi rowing

(menjalankan). Analog dengan pengertian bahwa pemerintah daerah mengambil

kebijakan strategis di daerah agar masyarakat mampu mengemban kapasitasnya

sendiri. Didalam penguatan kapasitas kelembagaan, kerjasama antar pihak

menjadi sangat penting, dalam hal ini kerjasama pemerintah, swasta dan Non

Goverment Organization (Lembaga Pengembangan Masyarakat) serta masyarakat

itu sendiri.

5. Model analitis kelembagaan dari Richard.W.Scott

Diantara berbagai kerangka kerja teoritis kelembagaan dalam administrasi

publik, peneliti menggunakan kerangka kerja pilar-pilar dan penyebar

kelembagaan dari Scott (2001). Meskipun menggunakan perspektif sosiologis,

tetapi teori Scott (2001) relevan karena administrasi publik menekankan salah satu

fitur penting dari pilar kelembagaan yang diajukan Scott (2001) yakni pilar

regulatif. Pilar ini menunjukkan pada basis konstitusional dan legal dari otoritas

dan kekuasaan. Seluruh aspek regulatif Scott (2001) pada dasarnya sama dengan

23
yang digunakan dalam teori organisasi modern, dan bahwa aplikasi dari teori

Scott (2001) tersebut ditemukan dalam administrasi publik.

Kerangka kerja pilar-pilar dan penyebar kelembagaan dari Scott (2001)

mengkategorisasikan pilar-pilar khusus kelembagaan yang mempunyai efek besar

pada stabilisasi dan pemaknaan terhadap struktur-struktur sosial. Kerangka kerja

yang dimaksud memasukkan dua dimensi kelembagaan tradisional (old

institusionalism), yakni dimensi regulatif dan normatif, serta satu dimensi

kelembagaan baru (new institusionalism), yakni dimensi kultural kognitif.

Menurut Scott (2001) teori kelembagaan baru (new institusional theory)

adalah tentang bagaimana menggunakan pendekatan kelembagaan baru dalam

mempelajari sosiologi organisasi. Ada 3 elemen analisis yang membangun

kelembagaan walau kadang-kadang ada yang dominan, tapi mereka bekerja dalam

kombinasi. Ketiganya datang dari perbedaan cara pandang terhadap sifat realitas

sosial dan keteraturan sosial dalam tradisi sosiologi sebelumnya. Ketiga elemen

tersebut seperti telah disebutkan diatas adalah aspek regulatif, aspek normatif, dan

aspek kultural-kognitif.

Lebih lanjut, Scott (2008) menjelaskan tentang adanya 3 pilar dalam

perspektif kelembagaan baru, yaitu:

1. Pilar regulatif berfungsi membatasi dan mengatur perilaku sosial. Proses-

proses regulatif mencakup aktivitas penetapan aturan, pemantauan, dan

pengenaan sanksi. Pilar regulatif ditandai dengan hukum-hukum, aturan-

aturan, regulasi-regulasi, dan standar prosedur operasional yang ditujukan

untuk mempengaruhi perilaku (Scott,2001). Pilar regulatif berkerja pada

24
konteks aturan (rule setting), monitoring, dan sanksi. Hal ini berkaitan

dengan kapasitas untuk menegakkan aturan, serta memberikan reward and

punishment. Cara penegakkannya melalui mekanisme informal (folkways)

dan formal (polisi dan pengadilan). Meskipun ia bekerja melalui represi dan

pembatasan (constraint), namun disadari bahwa kelembagaan dapat

memberikan batasan sekaligus kesempatan (empower) terhadap aktor. Aktor

yang berada dalam konteks ini dipandang akan memaksimalkan keuntungan,

karena itulah kelembagaan ini disebut pula dengan kelembagaan regulatif

(regualtive institution) dan kelembagaan pilihan rasional (rational choice

instituion).

2. Pilar normatif menunjuk pada aturan-aturan normatif yang mengintroduksi

preskripsi, evaluasi, dan obligasi (kewajiban) para aktor dalam kehidupan

sosial. Sistem normatif ini mencakup nilai-nilai dan norma. Nilai menunjuk

pada konsepsi mengenai apa yang paling disukai atau diinginkan. Norma

menspesifikasikan bagaimana segala sesuatunya harus dilakukan, dan sarana

yang absah untuk merealisasikan nilai-nilai tersebut (Scott, 2001). Pilar

normatif kelembagaan ditandai dengan standar-standar profesi, perincian

tanggung jawab, dan kewajiban moral. Pilar Normatif menghasilkan

preskripsi, bersifat evaluatif, dan menegaskan tanggung jawab dalam

kehidupan sosial. Dalam pilar ini dicakup nilai (value) dan norma. Norma

berguna untuk memberi pedoman pada aktor apa tujuannya (goal dan

objectives), serta bagaimana cara mencapainya. Karena itu, bagian ini sering

25
pula disebut dengan kelembagaan normatif (normatif institution) dan

kelembagaan historis (historical instituionalism).

3. Pilar kognitif-kultural menunjuk penciptaan identitas individu-individu dan

kelompok serta pemaknaan terhadap kerja partisipan dalam suatu lingkungan

tertentu (Scott, 2001). Dimensi ini penting, karena apa yang dilakukan oleh

seseorang tidak lain adalah fungsi dari interprestasinya terhadap lingkungan.

Dalam memahami dan menjelaskan suatu tindakan dari aktor, kita harus

mempertimbangkan bukan saja kondisi obyektif tetapi juga interprestasi

subyektif aktor terhadap tindakan tersebut. Pilar kultural-kognitif menyatakan

bahwa manusia berperilaku sangat ditentukan oleh bagaimana ia memaknai

(meaning) dunia dan lingkungannya. Manusia mengalami sedimentasi makna

dan kristalisasi makna dalam bentuk objektif. Aktor (individu dan organisasi)

mengalami proses interpretatif internal yang dibentuk oleh kerangka kultural

eksternal, dalam memaknai lingkungan sebagai situation shared secara

kolektif. Dalam konteks ini, diyakini aktor memiliki makna yang sangat

variatif, sehingga kreativitas aktor dihargai. Bagian ini sering disebut dengan

kelembagaan sosial (social institution).

6. Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)

Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) merupakan pilar kegiatan ekonomi di

desa yang berfungsi sebagai lembaga sosial (social institution) dan komersial

(commercial institution). Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sebagai lembaga

sosial berpihak kepada kepentingan masyarakat melalui kontribusinya dalam

26
penyediaan pelayanan sosial. Sedangkan sebagai lembaga komersial bertujuan

mencari keuntungan melalui penawaran sumberdaya lokal (barang dan jasa) ke

pasar. Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) adalah lembaga usaha desa yang

dikelola oleh masyarakat dan pemerintahan desa dalam upaya memperkuat

perekonomian desa dan dibentuk berdasarkan kebutuhan dan potensi desa.

Sebagai salah satu lembaga ekonomi yang beroperasi dipedesaan, Badan

Usaha Milik Desa (BUMDes) harus memiliki perbedaan dengan lembaga

ekonomi pada umumnya. Ini dimaksudkan agar keberadaan dan kinerja Badan

Usaha Milik Desa (BUMDes) mampu memberikan kontribusi yang signifikan

terhadap peningkatan kesejahteraan warga desa. Disamping itu, supaya tidak

berkembang sistem usaha kapitalistis di pedesaan yang dapat mengakibatkan

terganggunya nilai-nilai kehidupan bermasyarakat. Terdapat 7 (tujuh) ciri utama

yang membedakan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dengan lembaga

ekonomi komersial pada umumnya yaitu:

1. Badan usaha ini dimiliki oleh desa dan dikelola secara bersama;

2. Modal usaha dapat pula bersumber dari desa dan dari masyarakat melalui

penyertaan modal (saham atau andil);

3. Operasionalisasinya menggunakan falsafah bisnis yang berakar dari budaya

lokal (local wisdom);

4. Bidang usaha yang dijalankan didasarkan pada potensi dan hasil informasi

pasar;

27
5. Keuntungan yang diperoleh ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan

anggota (penyerta modal) dan masyarakat melalui kebijakan desa (village

policy);

6. Difasilitasi oleh Pemerintah, Pemerintah provinsi, Pemerintah kabupaten, dan

Pemerintah desa;

7. Pelaksanaan operasionalisasi dikontrol secara bersama (Pemerintah Desa,

BPD, anggota).

Menurut Pasal 213 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, yang menyatakan bahwa sebagai suatu lembaga ekonomi

modal usahanya dibangun atas inisiatif masyarakat dan menganut asas mandiri.

Ini berarti pemenuhan modal usaha Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) harus

bersumber dari masyarakat. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan

Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dapat mengajukan pinjaman modal kepada

pihak luar, seperti dari Pemerintah Desa atau pihak lain, bahkan melalui pihak

ketiga.

Kemudian dijelaskan pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun

2010 Tentang Badan Usaha Milik Desa Pasal 1 ayat (6) yang menyatakan bahwa

Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) adalah usaha desa yang dibentuk/didirikan

oleh pemerintah desa yang kepemilikan modal dan pengelolaannya dilakukan oleh

pemerintah desa dan masyarakat. Berikut adalah bentuk kelembagaan Badan

Usaha Milik Desa (BUMDes).

28
Gambar 2.1 Bentuk kelembagaan BUMDes

Musyawarah Desa

Kepala Desa

Direksi :
Badan pengawas - Direktur
- Sekertaris
- Bendahara

Unit Usaha A Unit Usaha B Unit Usaha C

Selain itu Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) selanjutnya dijelaskan dalam

pasal 78 pada peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 Tentang Desa

dinyatakan bahwa dalam rangka meningkatkan pendapatan masyarakat dan desa,

pemerintah desa mendirikan Badan Usaha Milik Desa (ayat 1). Pembentukan

badan usaha milik desa ditetapkan dalam peraturan desa dengan berpedoman pada

peraturan perundang-undangan (ayat 2), bentuk badan usaha milik desa harus

berbadan hukum (ayat 3).

Seperti dinyatakan di dalam Undang-Undang bahwa Badan Usaha Milik Desa

(BUMDes) dapat didirikan sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa. Maksud

kebutuhan dan potensi desa adalah kebutuhan masyarakat terutama dalam

pemenuhan kebutuhan pokok, tersedia sumberdaya desa yang belum

dimanfaatkan secara optimal terutama kekayaan desa dan terdapat permintaan di

pasar, tersedia sumberdaya manusia yang mampu mengelola badan usaha sebagai

29
aset penggerak perekonomian masyarakat, adanya unit-unit usaha yang

merupakan kegiatan ekonomi warga masyarakat yang dikelola secara parsial dan

kurang terakomodasi. Berikut adalah proses pendirian Badan Usaha Milik Desa

(BUMDes) secara umum.

Gambar 2. 2 Proses Pendirian BUMDes

Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan tahapan- tahapan dalam

pendirian Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yaitu :

1. Sosialisasi terkait apa itu Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) ke masyarakat.

Langkah ini penting dalam upaya melibatkan masyarakat sejak awal dan

menepis anggapan bahwa Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) milik orang

perorang atau milik kepala desa saja.

2. Membentuk tim persiapan pembentukan Badan Usaha MIlik Desa (BUMDes)

yang terdiri dari beberapa unsur dalam masyarakat seperti perangkat desa,

30
Badan Pemberdayaan Desa (BPD), PKK, Karang Taruna maupun tokoh-

tokoh masyarakat dan diusahakan dalam tim tersebut minimal memiliki latar

belakang sebagai pengusaha. Tim di bentuk dan ditetapkan dengan Surat

Keputusan (SK) oleh kepala desa. Tugas tim in adalah menginvetarisasi dan

memetakan potensi usaha, membuat usulan jenis usaha, menyusun draf

Anggaran Dasar dan Anggrana Rumah Tangga (AD/ART) dan menyiapkan

rancangan peraturan desa (raperdes) terkait pembentukan Badan Usaha Milik

Desa (BUMDes).

3. Menyusun Anggaran Dasar dan Anggrana Rumah Tangga (AD/ART).

Adapun yang perlu dimasukkan dalam penyusunan tersebut adalah nama

Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), tujuan, ruang lingkup, pembagian hasil

usaha. Inti dari Anggaran Dasar dan Anggrana Rumah Tangga (AD/ART)

adalah sebagai bahan penyusun rancangan peraturan desa (raperdes)

pembentukan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Kemudian rancangan

peraturan desa (raperdes) dan Anggaran Dasar dan Anggrana Rumah Tangga

(AD/ART) tersebut di sosialisasikan kepada seluruh masyarakat dan juga

pemerintah diminta untuk melakukan telaah terhadap aspek legal formalnya.

4. Langkah selanjutnya adalah sekertaris desa mengagendakan kegiatan

Musyawarah Desa (Musdes) pembentukan Badan Usaha Milik Desa

(BUMDes). Kegiatan tersebut dilakukan untuk mensahkan Anggaran Dasar

dan Anggrana Rumah Tangga (AD/ART) dan juga rancangan peraturan desa

(raperdes) menjadi peraturan desa (perdes) terkait pembentukan BUMDes

tersebut.

31
C. Kerangka Konsep

Otonomi daerah adalah hak dan kewenangan daerah otonom untuk mengatur

dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya. Berdasarkan Undang-Undang

Nomor 32 tahun 2004 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 tahun

2019 tentang pemerintah daerah disebutkan bahwa desa atau yang disebut dengan

nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang

memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus

kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat

setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

Teori kelembagaan dalam administrasi publik mengajukan penjelasan yang

berfokus pada konteks kelembagaan, peran aktor sosial dan hasil kebijakan.

Menurut teori ini, konteks kelembagaan berpengaruh besar pada proses dan

outcomes kebijakan yakni menstruktur pilihan dan tindakan aktor sehingga

mengarah pada outcomes tertentu. Akan tetapi aktor juga mempengaruhi aspek

kelembagaan, yakni aktor dapat memodifikasi dan mereproduksi elemen-elemen

kelembagaan untuk memenuhu kepentingan tertentu.

Penelitian ini mencoba memperluas pemahaman tentang peranan yang

kompleks dari kelembagaan dalam pengelolaan Badan Usaha Milik Desa

(BUMDes). Untuk maksud itu peneliti menggunakan kerangka kerja analitik

pilar-pilar kelembagaan dari Scott (2001).

Dalam pilar regulatif, peranan yang dipersepsikan dari aktor kelembagaan

mencakup perumusan prioritas sosial, koordinasi, pengendalian, dan akuntabilitas

32
publik, dengan mengacu kepada standar prosedur operasional. Dalam pilar

normatif, peranan yang dipersepsikan dari aktor kelembagaan adalah

melaksanakan sistem otoritas birokratik menurut standar professional dan

kewajiban moral, seperti misi organisasi, standar kerja, dan kepentingan publik.

Dalam pilar kognitif-kultural, peranan yang dipersepsikan dari aktor kelembagaan

membangun isomorfisme dan identitas organisasional. Isomorfisme menunjukkan

pada penciptaan dan pengembangan desain struktur organisasi yang berlaku

universal, sedangkan identitas menunjuk pada desain dan konsepsi yang bersifat

unitk sehingga organisasi dikenal karena mempunyai identitas struktural

tersendiri.

Prinsip-prinsip pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yaitu:

Pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) harus dijalankan dengan

menggunakan prinsip kooperatif, partisipatif, emansipatif, transparansi, akuntabel,

dan sustainable, dengan mekanisme member base dan self help yang dijalankan

secara profesional, dan mandiri. Berkenaan dengan hal itu, untuk membangun

Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) diperlukan informasi yang akurat dan tepat

tentang karakteristik ke-lokal-an, termasuk ciri sosial-budaya masyarakatnya dan

peluang pasar dari produk (barang dan jasa) yang dihasilkan.

Dalam pengelolaannya, tentu terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi, baik

itu bersifat pendukung maupun penghambat. Faktor pendukung yaitu potensi

sumber daya yang meliputi sumber daya alam, dana hibah dari Pemerintah

Daerah, fasilitas operasional Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Kemudian

yang menjadi faktor penghambat yaitu kebijakan pemerintah desa yang kurang

33
tepat, peran pengurus Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang kurang optimal,

kondisi sosial politik serta peran masyarakat yang kurang diberdayakan dalam

program kegiatan lembaga.

Berdasarkan uraian diatas, model penelitian ini memasukkan variabel aktor

kelembagaan dan pilar-pilar kelembagaantersebutSeluruh rangkaian kerangka

konseptual dapat di lihat pada gambar dibawah ini.

Gambar 2. 3 Kerangka Konseptual

• UU no 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah


• PP no 72 tahun 2005 tentang pemerintah desa
• Permendagri no 39 tahun 2010 tentang pedoman
pembentukan dan pengelolaan BUMDes.
• Peraturan Menteri Desa Nomor 4 tahun 2015 tentang Badan
Usaha Milik Desa (BUMDes)
• Perbup Buton Selatan No 14 Tahun 2017 tentang Tata Cara
pembentukan dan pengelolaan Badan Usaha Milik Desa
(BUMDes).

Peran Aktor kelembagaan : :


Aktor – Aktor
1. Pilar Regulatif, melaksanakan fungsi
pada konteks aturan, monitoring, dan 1.Pejabat BPMDes
sanksi serta kapasitas untuk Kabupaten Buton
menegakkan aturan sesuai dengan SOP Selatan
2. Pilar Normatif, melaksanakan otoritas 2.Kepala Desa/BPD
menurut standar profesi, evaluatis dan 3.Pengurus/anggota
tanggung jawab sosial. Dalam pilar ini BUMDes
4.Masyarakat umum
dicakup nilai dan norma. Norma
berguna untuk memberi pedoman, apa
tujuannya, serta bagaimana cara
mencapainya.
3. Pilar kultural-kognitif melaksanakan
fungsi serta pengembangan
struktural/identitas organisasi Outcome
Kelembagaan Badan Usaha
Milik Desa
( BUMDes)

34
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain kualitatif. Menurut Moleong (2010)

desain kualitatif adalah berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka,hal ini

disebabkan oleh adanya penerapan metode kualitatif, selain itu semua yang

dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti.

Sedangkan menurut Sugiyono (2011) metode penelitian kualitatif adalah metode

penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk

meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen)

dimana penelitian adalah sebagi instrument kunci, teknik pengumpulan data

dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif /kualitatif

dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankanmakna dari pada generalisasi.

Dari berbagai penjelasan tersebut dapat peneliti simpulkan bahwa penelitian

kualitatif adalah penelitian yang mengumpulkan berbagai data berlatar ilmiah

yang dilakukan oleh peneliti sebagai instrument kunci dengan melibatkan bebagai

metode yang ada dengan tujuan untuk menganalisis, mengidentifikasi

menjelaskan dan menggambarkan data dan fakta mengenai objek penelitian serta

menganalisa bagian-bagian yang menjadi indikator yang akan diteliti sehingga

akan terlihat sejauh mana penerapan pilar- pilar kelembagaan secara regulatif,

normatif, dan kultural-kognitif dalam pendirian dan pengelolaan Badan Usaha

35
Milik Desa (BUMDes) dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di

Kabupaten Buton Selatan khususnya di desa-desa se-Kecamatan Batauga.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

deskriptif. Menurut Moleong (2010) penelitian deskriptif adalah suatu penelitian

dengan tujuan untuk memperoleh gambaran secara sistematik, faktual dan akurat

mengenai fakta-fakta yang terjadi dilapangan.

Alasan peneliti menggunakan pendekatan deskriptif karena untuk mengetahui

suatu permasalahan, maka peneliti perlu berbicara dan mendengar langsung dari

narasumber yang terlibat dalam pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)

sehingga peneliti dengan mudah mendeskripsikan proses penerapan pilar- pilar

kelembagaan secara regulatif, normatif, dan kultural-kognitif dalam pendirian dan

pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dapat meningkatkan

kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Buton Selatan khususnya di desa-desa se-

Kecamatan Batauga.

B. Pengelolaan Peran Peneliti

Menurut Milles dalam Anggito (2018) kehadiran peneliti di lapangan dalam

penelitian kualitatif adalah sesuatu yang mutlak, karena peneliti bertindak sebagai

instrument penelitian sekaligus pengumpul data.

Peran peneliti dalam penelitian ini peneliti sebagai pengamat partisipan atau

pengamat penuh. Kehadiran peneliti juga diketahui oleh informan yang terdiri dari

unsur pengelola Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), Kepala Desa, masyarakat

umum, serta para pejabat di Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMDes)

36
Kabupaten Buton Selatan yang merupakan lokasi penelitian . Informan

merupakan alat pengumpul data utama sehingga peneliti dituntut untuk peka,

dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan dan dapat mengambil kesimpulan

berdasarkan data yang dikumpulkan

C. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian peneliti dilaksanakan di lima desa yaitu : Desa Lawela,

Desa Lawela Selatan, Desa Poogalampa, Desa Bola dan Desa Lampanairi

Kecamatan Batauga. Adapun alasan peneliti memilih lokasi ini adalah karena

kelima desa tersebut telah memiliki BUMDes dan berada di Kecamatan Batauga

yang merupakan Ibu Kota Kabupaten. Sebagai bagian dari penelitian tentang

penerapan teori kelembagaan Scott (2001) di kelima desa tersebut, dilihat dari

segi regulatif yang terkait dengan penerapan aturan-aturan dalam pelaksanaan

kelembagaan BUMDes baik berupa peraturan pemerintah, peraruran daerah

maupun peraturan bupati yang terkait dengan BUMDes. Dari segi normatif terkait

penerapan standar-standar evaluasi pelaksanaan kegiatan dalam kelembagaan

BUMDes, perincian tanggung jawab pelaksaaan kegiatan maupun kewajiban

moral yang melekat didalamya. Dari segi kognitif-kultural terkait hubungan antara

pengelola kelembagaan BUMDes dengan lingkungan masyarakat sekitar yang

diharapkan mampu meningkatkan partisipasi dan juga kesejahteraan masyarakat

secara umum.

37
D. Sumber Data

Jenis data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder

adalah:

1. Data primer, yaitu keseluruhan data yang diperoleh di lapangan melalui

pengamatan atau observasi dan wawancara secara langsung dengan obyek

penelitian, juga digunakan teknik interview terhadap responden atau informan

yang telah ditentukan, dengan cara mengajukan pertanyaan yang berpedoman

pada daftar pertanyaan (interview guide) yang telah disusun.

2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari hasil dokumentasi yang

dilakukan, dari studi perpustakaan, maupun dari instansi terkait, terutama

yang berkaitan dengan masalah dalam penelitian ini.

Sampel dalam penelitian kualitatif tidak dinamakan responden tetapi sebagai

narasumber atau informan. Menurut Moleong (2010), informan adalah sumber

data yang dibutuhkan oleh peneliti dalam sebuah penelitian. Informan dipilih guna

mendapatkan informasi yang sesuai dengan permasalahan peneliti, dimana

terlebih dahulu peneliti menetapkan siapa informannya dan kemudian

mendelegasikan tugas di bidang yang sesuai dengan tema penelitian.

Informan-informan tersebut akan diminta untuk bertukar pikiran dengan peneliti,

berbicara, atau membandingkan suatu kejadian yang ditemukan oleh subyek lain.

Menurut Agustinova (2015) ada empat teknik pengambilan sampel yang

cocok dalam penelitian kualitatif yaitu :

1. Sampel purposif (Purposive sampling). Sampel purposif adalah sampel yang

secara sengaja dipilih oleh peneliti, karena sampel ini dianggap memiliki ciri-

38
ciri tertentu yang dapat memperkaya data peneliti. Sampel purposif memiliki

pertimbangan tertentu dalam penentuan sampel misalnya pertimbangan

professional yang dimiliki oleh peneliti dalam usahanya memperleh informasi

yang relevan dengan tujuan penelitian.

2. Snowball Sampling. Snowball Sampling merupakan pelabelan (pemberian

nama) terhadap suatu aktivitas ketika peneliti mengumpulkan data dari satu

responden ke responden lainnya melalui kriteria, melalui wawancara

mendalam dan berhenti ketika tidak ada informasi baru lagi, terjadi replikasi

atau pengulangan variasi informasi, mengalami titik jenuh informasi.

Maksudnya informasi yang diberikan oleh informan berikutnya tersebut sama

saja dengan apa yang diberikan oleh informan berikutnya tersebut sama saja

dengan apa yang diberikan oleh informan sebelumnya. Cara ini banyak

dipakai ketika peneliti tidak banyak tahu tentang populasi penelitiannya.

3. Sampel Internal. Sampel internal berkaitan dengan keputusan yang diambil

oleh peneliti tentang siapa yang perlu diwawancarai, kapan melakukan

observasi atau dokumen apa atau sebanyak apa dokumen yang perlu dikaji.

4. Sampling Waktu. Sampling waktu adalah waktu tertentu (Minggu, bulan atau

tahun) yang sengaja dipilih peneliti untuk mengumpulkan data.

Dalam penelitian ini, pemilihan narasumber atau informan dilakukan melalui

teknik Purposive sampling yaitu pengumpulan sampel yang disesuaikan dengan

tujuan penelitian. Key Informan yang ditunjuk adalah orang yang terlibat langsung

dan benar-benar memahami tentang kelembagaan Badan Usaha Milik Desa

(BUMDes) di Desa Lawela, Lawela Selatan, Pogalampa, Bola dan Lampanairi

39
Kecamatan Batauga Kabupaten Buton Selatan sehingga mampu memberikan

informasi dan data secara maksimal.

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam

penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data.

Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan

mendapatkan data yang memenuhi standar data yang ditetapkan. Menurut Yusuf

(2014) keberhasilan dalam pengumpulan data banyak ditentukan oleh kemampuan

peneliti menghayati situasi sosial yang dijadikan fokus penelitian.

Ada beberapa teknik pengumpulan data dalam penelitian kualitatif yaitu :

1. Wawancara. Menurut Sugiono dalam Agustinova (2015), wawancara adalah

pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab

sehingga dapat dikonstruksikan dalam suatu topik tertentu. Dalam

pelaksanaan wawancara diperlukan keterampilan dari serang peneliti dalam

mewawancarai, motivasi yang tinggi dan rasa aman artinya tidak ragu dan

takut dalam menyampaikan wawancara.

2. Observasi. Menurut Darlington dalam Anggito (2018) Observasi adalah cara

yang sangat efektif untuk mengetahui apa yang dilakukan orang dalam

konteks tertentu, pola rutinitas, dan pola interaksi dari kehidupan sehari-hari.

3. Dokumen. Menurut Yusuf (2014) dokumen merupakan catatan atau karya

seseorang tentang sesuatu yang sudah berlalu. Dokumen tentang orang atau

sekelompok orang, peristiwa atau kejadian dalam situasi sosial yang sesuai

40
dan terkait dengan fokus penelitian adalah sumber informasi yang berguna

dalam penelitian kualitatif. Dokumen itu dapat berbentuk teks tertulis,

artefak, gambar maupun foto. Menurut Sugiono dalam Agustinova (2015)

studi dokumen merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi dan

wawancara dalam penelitian kualitatif untuk mendapatkan hasil penelitian

yang lebih kredibel/ dapat dipercaya.

Dalam penelitian ini peneliti akan melakukan wawancara dengan bertatapan

muka dengan nara sumber dan menanyakan langsung tentang suatu obyek yang

diteliti dan telah dirancang sebelumnya. Peneliti juga akan melakukan observasi

dengan melihat, mendengar atau merasakan informasi yang ada secara langsung

sehigga peneliti dapat mengolah informasi yang ada. Selain itu peneliti

menggunakan studi dokumen untuk menggali berbagai informasi dan data faktual

yang terkait dengan masalah yang menjadi obyek penelitian.

F. Teknik Analisis Data

Menurut Sugiyono dalam Anggito (2018) analisis data kualitatif yaitu proses

mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil

wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi dengan cara mengorganisasikan

data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa,

menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari,

dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun

orang lain.

41
Menurut Miles dan Hubermen dalam Agustinova (2015) analisis data

kualitatif dibagi menjadi tiga yaitu :

a. Tahap reduksi data. Reduksi data adalah proses penyempurnaan data, baik

terhadap data yang kurang perlu atau tidak relevan, maupun penambahan

terhadap data yang dirasa masih kurang.

b. Tahap penyajian data. Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya

adalah mendisplaykan data. Penyajian data adalah proses pengumpulan

informasi yang disusun berdasarkan kategori atau pengelompokan-

pengelompokan yang diperlukan.

c. Tahap penarikan kesimpulan. Penarikan kesimpulan/verifikasi merupakan

proses perumusan makna dari hasil penelitian yang diungkapkan dengan

kalimat yang singkat-padat dan mudah dipahami, serta dilakukan dengan cara

berulangkali melakukan peninjauan mengenai kebenaran dari penyimpulan

itu, khususnya berkaitan dengan relevansi dan konsistensinya terhapa judul,

tujuan dan perumusan masalah yang ada.

Peneliti menggunakan analisis data penelitian kualitatif yaitu peneliti terjun

ke lapangan, mempelajari, menganalisis, menafsirkan dan menarik kesimpulan

dari fenomena yang ada di lapangan. Dengan data yang diperoleh dari lapangan

peneliti menganalisis sehingga menemukan hasil penelitian.

G. Keabsahan Data Temuan

Keabsahan data temuan dapat dilakukan dengan triangulasi. Menurut

Moleong dalam Agustinova (2015) triangulasi adalah teknik pemeriksaan

42
keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk

keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Menurut

Norman K. Denzin dalam Anggito (2018) mendefinisikan triangulasi sebagai

gabungan atau kombinasi berbagai metode yang dipakai untuk mengkaji

fenomena yang saling terkait dari sudut pandang dan perspektif yang berbeda.

Menurutnya, triangulasi meliputi empat hal yaitu :

1. Triangulasi metode adalah mengecek data kepada sumber yang sama dengan

teknik yang berbeda, misalnya data diperleh dengan wawancara, lalu dicek

dengan observasi, dan dokumentasi. Pada triangulasi metode terdapat dua

strategi yaitu pengecekan kepercayaan penemuan hasil penelitian beberapa

tehnik pengumpulan data dan pengecekan derajat kepercayaan beberapa

sumber data dengan metode yang sama.

2. Triangulasi antar-Peneliti (jika penelitian dengan kelompok) dilakukan

dengan cara menggunakan lebih dari satu orang peneliti dalam pengumpulan

dan analisis data. Teknik ini diakui memperkaya khasanah pengetahuan

mengenai informasi yang digali dari subyek penelitian. Triangulasi peneliti

dimaksudkan antara lain untuk menghindari potensi bias individu pada

peneliti tunggal.

3. Tiangulasi sumber yaitu untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan

cara mengecek data yang diperoleh melalui beberapa sumber. Data berbagai

sumber nantinya dideskripsikan, dikategorisasikan, mana pandangan yang

sama, yang berbeda, dan mana yang spesifik dari sumber-sumber itu, tidak

bisa dirata-ratakan seperti dalam penelitian kuantitatif. Setelah menghasilkan

43
kesimpulan selanjutnya dimintakan kesepakatan dengan sumber-sumber data

tersebut. Dalam triangulasi sumber data perlu diperhatikan adanya tiga tipe

sumber data yaitu waktu, ruang dan orang.

4. Tringulasi teori adalah menggunakan sejumlah perspektif atau teori dalam

menafsirkan seperangkat data. Dalam membahas suatu permasalahan yang

sedang di kaji, hendaknya peneliti tidak menggunakan satu perspektif teori.

Dari keempat jenis triangulasi tersebut, peneliti menggunakan dua model

triangulasi yaitu triangulasi metode dan triangulasi sumber data. Alasan peneliti

memilih menggunakan dua triangulasi yaitu karena sejalan dengan teknik

pengumpulan data penelitian peniliti dalam memeriksa keabsahan data temuan.

H. Tahap dan Jadwal Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama 4 (empat) bulan dengan rincian tahap dan

jadwal penelitian sebagai berikut:Tabel 3.1 Tahap dan Jadwal Penelitian

Bulan (2020)
No Kegiatan Ket
Juni Juli Agst Sep Okt
1 Tahap Persiapan
a. Penyusunan Proposal
b. Bimbingan Proposal
c. Seminar Proposal
d. Revisi Proposal
2 Tahap Pelaksanaan
a. Pengumpulan Data
b. Analisis Data
3 Tahap Penyusunan
Laporan
a. Pengumpulan Hasil
b. Penulisan Tesis
c. Bimbingan Tesis
d. Ujian Tesis
e. Revisi Tesis

44
DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU dan PENELITIAN

Agustinova, Danu eko. 2015. Memahami Metode Penelitian Kualitatif.


Yogyakarta : Calpulis.

Anggito, Albi dan Johan Setiawan. 2018. Metodologi Penelitian Kualitatif. Suka
Bumi : CV. Jejak.

Lubis, S.B. Hari (dkk); Husein, Martani. 1987. Teori Organisasi (suatu
pebdekatan makro). Jakarta : Pusat Antar Universitas Ilmu-Ilmu Sosial
Universitas indonesia.

Gundono. 2012. Teori Organisasi Edisi 2. Yogyakarta : BPFE

Irawan. Prasetya. 2005. Metodologi Penelitian Administrasi. Jakarta : Universitas


Terbuka

Moleong, Lexy. J .2010. Metodologi Penelitian Kualitatif Penerbit PT. Remaja


Rosdakarya, Bandung

Nasution M. Arif. 2008. Metodologi Penelitian. Medan: Fisip USU Press

Sugiarto, Eko. 2015. Menyusun Proposal Penelitian Kualitatif Skripsi dan Tesis.
Yogyakarta : Suaka Media.

Mindarti, Lely Indah. 2016. Aneka Pendekatan dan Teori Dasar Administrasi
Publik. Malang : UB Press.

Sugiarto, Eko. 2015. Menyusun Proposal Penelitian Kualitatif Skripsi dan Tesis.
Yogyakarta : Suaka Media.

Yusuf, A. Muri.2014. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Penelitian


Gabungan. Jakarta : Kencana.

Sudjiton. 2015. Disertasi. Peran Aktor Kelembagaan dalam Implementasi


Kebijakan Tata Ruang di Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi. Makassar :
Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin.

Fajri, Tasbih. 2015. Skripsi. Peranan Kepala Desa Dalam Pengelolaan Bandan
Usaha Milik Desa (BUMDes) di Desa Labbo Kecamatan Tompobulu
Kabupaten Bantaeng. Makassar. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Hasanuddin.

46
Windi Sari, Yuliana. 2017. Tesis. Praktik Sosial Kelembagaan Badan Usaha
Milik Desa (BUMDes) Artha Guna di Desa Kedensari Kecamatan
Tanggulangin Kabupaten Sidoarjo. Surabaya. Magister Sosiologi Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga.

Wichaksono Prabowo, Agung. 2019. Skripsi. Penguatan Kelembagaan Badan


Usaha Milik Desa (BUMDes) di Desa Suka Gerundi Kecamatan Parindu
Kabupaten Sanggau. Pontianak. Ilmu Administrasi Publik Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tanjungpura.

Berlian Ramadana, Coristya. Rubiwanto, Heru. Suwondo. 2013. Skripsi.


Keberadaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sebagai penguatan
ekonomi desa (studi di desa Landungsari Kecamatan Dau Kabupaten
Malang). Malang. Jurusan Administrasi Publik Fakultas Ilmu Administrasi
Universitas Brawijaya.

Alkhadafi S.Sos., M.Si, Muammar. 2014. Disertasi. Penguatan Ekonomi


masyarakat melalui pengelolaan kelembagaan Badan Usaha Milik Desa
(BUMDes) menuju Asean Economic Community 2015. Riau. Jurusan
Administrasi Negara Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial Universitas Islam
Negeri Syarif Kasim Riau.

Rosa Ratna Sri Anggraeni, Maria. 2016. Skripsi. Peranan Badan Usaha Milik
Desa (BUMDes) pada kesejahteraan masyarakat pedesaan (studi pada
BUMDes di Gunung Kidul, Yogyakarta). Yogyakarta. Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Amri, Kairul. 2015. Tesis. Evaluasi program Badan Usaha Milik Desa
(BUMDes). Riau. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau.

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Desa

Undang-Undang Nomor 20 tahun 2008 tentang Usaha Kecil, Mikro dan


Menengah

Undang- Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa

Undang- Undang Nomor 1 tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro

Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa

47
Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2014 (berubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 47 tahun 2015) tentang petunjuk pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2014 (berubah dengan Peraturan


Pemerintah Nomor 22 tahun 2015) tentang Dana Desa

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 tahun 2010 tentang Badan Usaha
Milik Desa (BUMDes)

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 113 tahun 2014 tentang Pengelolaan
Keuangan Desa

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 30 tahun 2010 tentang Badan Usaha
Milik Desa (BUMDes)

Peraturan Menteri Desa Nomor 4 tahun 2015 tentang Badan Usaha Milik Desa
(BUMDes)

A. SUMBER LAIN

http : // www. seputar pengetahuan.co.id. 2015.105/12- pengertian-organisasi-


menurut-para-ahli-lengkap.html

Nurida Fatimah.blogspot.com/ 2012/ 06/ v-behavior/ defaultvmlo.html

http:// www. Materi belajar.id/ 2016/ 02/ lembaga-sosial-dan-lembag-negara.html.

http:// www. Metri belajar.id/2016/02/organisasi-definisi-organisasi-menurut.html

http://bumdes.id/tahapan-pendirian-bumdes

http://bumdes.id/downloads/

www.bumdes.id

blog.bumdes.id/2017/05/tahapan-tata-cara-pembentukan-bumdes/

www.infodesa.com

risehtunong.blogspot.com/2017/08/pedoman-penyusunan-ad-art-bumdes.html

48
Murbani.L.Tacnica Aprilia dan Nugraha. Ditho. 2015. Kuliah publik.
Bolgspot.com/2015/04/teori-intitusional.html.

Dhedi-irawan.blogspot.com/2012/03/pendekatan-institusional-dalam.html

Ejournal.uin-suska.ac.id/indeks-php/elriyasah/article/view/656/610.

Repository.unair.ac.id/68328/3/is0%2003-17%20sar%20rp%20jurnal.pdf

49

Anda mungkin juga menyukai