Disusun Oleh:
Dr. Basrowi
Bambang DH, M.M
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan pada Illahi Robbiy, berkat rahmat dan karunia-Nya
penyusunan Naskah Akademik penyertaan modal Pemerintah Daerah Provinsi Banten pada PT
BPD Jabar Banten, Tbk, PT Jamkrida Banten, PD BPR Pandeglang Berkah dan PD BPR LPK
Warunggunung telah selesai sesuai waktunya.
Tujuan Naskah Akademik ini adalah untuk (1) memudahkan penyusunan kerangka
pemikiran bagi Perancang Peraturan Daerah Provinsi Banten tentang Penyertaan Modal
Pemerintah Daerah Provinsi Banten pada PT BPD Jabar Banten, Tbk, PT Jamkrida Banten, PD
BPR Pandeglang Berkah dan PD BPR LPK Warunggunung; (2) mengkaji dan meneliti pokok-
pokok materi apa saja yang ada dan harus ada dalam Rancangan Peraturan Daerah tentang
Penyertaan Modal Pemerintah Daerah Provinsi Banten; (3) melihat keterkaitannya dengan
peraturan perundang-undangan lainnya sehingga jelas kedudukan dan ketentuan yang diaturnya;
dan (4) memberikan bahan dan data untuk menjadi bahan pembanding dan mempertegas
pentingnya merancang Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyertaan Modal Pemerintah
Daerah Provinsi Banten.
Naskah Akademik ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai acuan untuk merumuskan
pokok-pokok pikiran yang akan menjadi bahan dan dasar bagi penyusunaan Rancangan
Peraturan Daerah tentang Penyertaan Modal Pemerintah Daerah Provinsi Banten kepada PT.
BPD Jabar Banten, Tbk, PT Jamkrida Banten, PD. BPR Pandeglang Berkah dan PD. BPR LPK
Warunggunung
Naskah Akademik ini dapat terwujud berkat kerjasama yang baik, antara Biro Ekonomi
dan Administrasi Pembangunan Setda Provinsi Banten dengan tim penyusun (Dr. Dr.
Muhammad Busro, Bambang Dwi Suseno, SE., M.M, dan Tim pendukung), atas usaha kerasnya
kami sampaikan kepada semua pihak yang sudah berpartisipasi dan menyumbangkan masukkan
demi sukses dan terwujudnya naskah akademik ini. Kritik dan saran demi lebih sempurnanya
naskah akademik ini dan kajian yang akan datang, tentunya sangat kami harapkan.
Serang, Agustus 2016
Tim Penyusun
ii
DAFTAR ISI
JUDUL ....................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ......................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ..................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah .................................................................................. 13
C. Tujuan dan Kegunaan Penyusunan Naskah Akademik ............................. 13
D. Metode Penelitian .................................................................................... 14
iii
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
A. Konsep Evaluasi Peraturan Daerah .................................................................... 45
B. Analisis Kesesuaian Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyertaan
Modal Pemerintah daerah dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya .... 46
BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................... 72
B. Saran ......................................................................................................... 74
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam era otonomi daerah, pemerintah daerah memiliki kewenangan dan kemampuan
dalam menggali sumber-sumber keuangan sendiri dengan didukung perimbangan keuangan
pusat dan daerah serta provinsi dan kabupaten-kota. Pemerintah daerah berwenang mengatur
daerah dan mengelola berbagai potensi ekonomi yang ada di wilayahnya. Dengan
kewenangannya tersebut, daerah berkewajiban dan bertanggung jawab untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyatnya melalui pengelolaan dan pemanfaatan berbagai potensi yang ada
(Wijayanto, 2013).
Dari sisi pendanaan, upaya menggali sumber-sumber keuangan merupakan tantangan
yang cukup berat, mengingat secara umum pemerintah kabupaten-kota di Indonesia memiliki
ketergantungan yang sangat tinggi terhadap pemerintah pusat. Meskipun sumber-sumber
keuangan yang berasal dari PAD diusahakan dan dikelola sendiri oleh daerah, namun PAD yang
diterima oleh pemerintah daerah mayoritas tidak mampu memenuhi seluruh komponen
pengeluaran pemerintah daerah.
Salah satu tugas pemerintah termasuk Pemda adalah menyediakan lapangan pekerjaan
bagi rakyatnya. Saat ini tingkat pengangguran di Indonesia masih cukup tinggi. Bahkan menurut
data Kemendikbud (2015) jumlah pengangguran terdidik mencapai 2 juta orang. Penguatan dan
perluasan usaha BUMD pastinya akan dapat mengurangi tingkat pengangguran dan
meningkatkan stabilitas sosial di daerah. Dengan pengembangan BUMD ke bidang-bidang yang
strategis dan profitable serta pengelolaan yang profesional dan transparan, diharapkan BUMD
semakin maju dan mampu berkontribusi lebih banyak bagi APBD dan pembangunan di daerah.
Hal ini akan memberikan multiplier effect yang besar bagi perekonomian daerah dan akan
meningkatkan kesejahteraan bagi rakyat, sebagai pemilik sesungguhnya dari BUMD (Wijayanto,
2013).
Sebagaimana yang dimaksud dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
2015-2019 mengenai pentingnya pengoptimalisasian investasi dan peranan BUMN atau BUMD
v
untuk memicu dampak penggandanya (multiplier effect) pada daerah sekitarnya, termasuk di
wilayah-wilayah tertinggal. Pentingnya pengoptimalisasian BUMN dan BUMD ini mengingat
badan usaha ini sebagai sarana peningkatan ekonomi Nasional maupun Daerah.
Tujuan didirikannya Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) antara lain untuk mendorong
pembangunan ekonomi di daerah dan sebagai salah satu sumber pendapatan asli daerah (PAD).
Menurut Halim (2004: 67), "Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan
daerah yang berasal dari sumber pekonomi asli daerah.”
Pasal 304 ayat (1) UU No. 23 tahun 2014 menjelaskan bahwa, “Daerah dapat
melakukan penyertaan modal pada badan usaha milik negara dan/atau BUMD.” Ayat (2)
menjelaskan bahwa, “Penyertaan modal Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat ditambah, dikurangi, dijual kepada pihak lain, dan/atau dapat dialihkan kepada
badan usaha milik negara dan/atau BUMD.”
Kajian ini meliputi empat BUMD, yang terdiri atas dua PT dan dua Perusahan Daerah.
Keempat BUMD tersebut mempunyai berbagai permasalahan sendiri-sendiri, yang seluruhnya
dapat diuraikan sebagai berikut.
Pertama, permasalahan yang berkaitan dengan Bank Jabar Banten Tbk. Permasalahan
saat ini yaitu adanya kebutuhan pengembangan bisnis bank yang sehat. Sesuai dengan
ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2016
tanggal 29 Januari 2016 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum, bank
wajib menyediakan modal minimum sesuai profil risiko dan membentuk tambahan modal
sebagai penyangga (buffer) untuk memperkuat struktur permodalan dalam rangka mendukung
pengembangan bisnis bank secara sehat. Tambahan modal tersebut dapat berupa:
1) Capital Conservation Buffer, yaitu tambahan modal yang berfungsi sebagai penyangga
apabila terjadi kerugian pada periode krisis.
2) Capital Countercyclical Buffer, yaitu tambahan modal yang berfungsi sebagai penyangga
untuk mengantisipasi kerugian apabila terjadi pertumbuhan kredit perbankan yang
berlebihan sehingga berpotensi mengganggu stabilitas system keuangan.
3) Capital Surchargeuntuk Domestic Systemically Important Bank (D-SIB), yaitu tambahan
modal yang berfungsi untuk mengurangi dampak negatif terhadap stabilitas system
vi
keuangan dan perekonomian apabila terjadi kegagalan bank yang berdampak sistemik
melalui peningkatan kemampuan bank dalam menyerap kerugian.
Penyediaan modal minimum sesuai profil risiko ditetapkan paling rendah sebagai
berikut:
1) 8% dari Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) bagi bank dengan profil risiko Peringkat 1;
2) 9% sampai dengan kurang dari 10% dari Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) bagi bank
dengan profil risiko Peringkat 2;
3) 10% sampai dengan kurang dari 11% dari Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) bagi
bank dengan profil risiko Peringkat 3;
4) 11% sampai dengan kurang dari 14% dari Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) bagi
bank dengan profil risiko Peringkat 4 atau Peringkat 5;
Adapun besarnya tambahan modal sebagai penyangga diatur sebagai berikut:
1) Capital Conservation Buffer sebesar 2,5 % dari ATMR,
2) Countercyclical Buffer ditetapkan dalam kisaran sebesar 0% sampai dengan 2,5% dari ATMR
3) Capital Surcharge untuk D-SIB ditetapkan dalam kisaran sebesar 1% dampai dengan 2,5%
dari ATMR.
Namun demikian pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 46/POJK.03/2015
tanggal 23 Desember 2015 tentang Penetapan Systemically Important Bank dan Capital
Surcharge, besaran Capital Surcharge untuk SIB ditetapkan:
(1) 1 % dari ATMR bagi SIB yang digolongkan dalam kelompok 1;
(2) 1,5 % dari ATMR bagi SIB yang digolongkan dalam kelompok 2;
(3) 2 % dari ATMR bagi SIB yang digolongkan dalam kelompok 3;
(4) 2,5 % dari ATMR bagi SIB yang digolongkan dalam kelompok 4; dan
(5) 3,5 % dari ATMR bagi SIB yang digolongkan dalam kelompok 5
Berdasarkan hasil perhitungan, agar bank bjb dapat mengembangkan bisnis secara sehat
maka Rasio Kecukupan Modal (Capital Adequacy Ratio / CAR) minimum adalah sebesar 18,5%
pada tahun 2018. Adapun CAR bank bjb pada tanggal 31 Desember 2015 adalah sebesar
16,21% dan apabila tidak melakukan penambahan modal maka car bank bjb padatahun 2018
diperkirakan hanya 16,00% dengan demikian diperlukan tambahan modal.
vii
Adapun jumlah modal yang dibutuhkan sebesar Rp1,5Triliun. Oleh karena itu bank bjb
akan melakukan penambahan modal dengan mekanisme Penambahan Modal Tanpa Hak
Memesan Efek Terlebih Dahulu (PMT HMETD) dengan pertimbangan:
a. jenis saham yang akan diterbitkan adalah saham seri A yang khusus dimiliki oleh pemerintah
daerah. Pada saat ini terdapat 4 pemerintah daerah di wilayah Jawa Barat dan Banten yang
belum menjadi pemegang saham dapat diberikan alokasi (Kota Serang, KotaTanggerang
Selatan, Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Pangandaran)
b. jangka waktu pelaksanaan penyertaan modal oleh pemerintah daerah selama 2 tahun sejak
RUPS yang menyetujui pelaksanaan penambahan modal sehingga memberikan keleluasan
waktu bagi pemda untuk mempersiapkannya.
Sehubungan dengan mekanisme penambahan modal dilaksanakan melalui PMT HMETD,
terdapat ketentuan OJK yang menentukan batas maksimal penambahan modal sebesar 10%
dari modal disetor saat ini, yaitu kurang lebih Rp800 miliar sehingga untuk mencapai kebutuhan
tambahan modal sebesar Rp1,5 triliun akan diusulkan penurunan dividen pay out ratio menjadi
60% sehingga terdapat peningkatan cadangan sebesar Rp500 miliar.
Penambahan modal sebesar Rp800 miliar tersebut akan dialokasikan terlebih dahulu
kepada 4 pemda yang belum menjadi pemegang saham yaitu Kota Serang, Kota Tanggerang
selatan, Kabupaten. Bandung Barat dan Kabupaten Pangandaran dengan alokasi sebesar Rp35
miliar dan sisanya akan dialokasikan kepada pemegang saham eksisting secara proposional.
Jumlah saham Provinsi Banten saat ini yaitu 520.589.856 lembar saham dengan jumlah
nominal Rp130.147.464.000,- atau 5.37% dari total seluruh saham. total dividen yang diterima
sejak tahun 2002 sampai dengan tahun 2015 yaitu sebesar Rp359.317.052.799,00.
Alokasi saham untuk Provinsi Banten adalah sebanyak 56.183.715 lembar saham seri A
atau senilai Rp52.812.692.100,00. Adapun persentase kepemilikan provinsi banten setelah PMT
HMETD yaitu sebesar 5.41% dari total seluruh saham.
Apabila para pemegang saham tidak melakukan penyetoran tambahan modal, bank dapat
dikenakan larangan untuk melakukan distribusi laba jika distribusi laba dimaksud
mengakibatkan kondisi permodalan bank tidak memenuhi ketentuan terkait penyediaan modal
viii
minimum sesuai profil risiko baik secara individu maupun secara konsolidasi dengan
Perusahaan Anak.
Apabila bank tidak memenuhi ketentuan terkait penyediaan modal minimum sesuai profil
risiko dan tambahan modal sebagai penyangga (buffer) baik secara individu maupun secara
konsolidasi dengan Perusahaan Anak, maka bank dapat dikenakan pembatasan distribusi laba.
Apabila bank tidak memenuhi ketentuan seperti yang telah diatur dalam POJK KPMM,
sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 55 POJK KPMM, maka bank dapat
dikenakan sanksi administratif antara lain sebagai berikut:
a. Teguran tertulis;
b. Larangan transfer laba bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri;
c. Larangan melakukan ekspansi kegiatan usaha;
d. Pembekuan kegiatan usaha tertentu;
e. Larangan pembukaan jaringan kantor;
f. Penurunan tingkat kesehatan bank; dan / atau
g. Pencantuman pengurus dan/ atau pemegang saham bank dalam daftar orang yang dilarang
pemegang saham dan pengurus bank.
Kondisi kesehatan Bank bjb juga sangat sehat. Bahkan hingga saat ini, dari jumlah saham
Provinsi Banten yaitu 520.589.856 lembar saham dengan jumlah nominal Rp130.147.464.000,-
atau 5.37% dari total seluruh saham, telah mendapatkan total dividen 2002 s.d. 2015 yaitu
sebesar Rp359.317.052.799,00. Pada triwulan Pertama 2016 provinsi Banten mendapat dividen
sebesar 40 miliar. Dengan demikian, penyertaan modal pada Bank bjb sangat menguntungkan
bagi PAD provinsi Banten.
Alokasi saham bank bjb untuk Provinsi Banten tahun 2016 adalah sebanyak 56.183.715
lembar saham seri A atau senilai Rp 52.812.692.100,00. Sehingga total persentase kepemilikan
Provinsi Banten setelah PMT HMETD menjadi sebesar 5.41% dari total seluruh saham.
Kedua, permasalahan yang berkaitan dengan PT Jamkrida yaitu berkaitan dengan
pemenuhan modal dasar. Sesuai dengan Perda No 4 tahun 2015, modal dasar Jamkrida sebesar
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) sementara itu, modal disetor baru Rp56,5 miliar
oleh karena itu masih kurang Rp43,5 miliar. Dengan kondisi modal yang masih kurang dari
ix
Rp100 miliar, ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya pembatasan terhadap
perkembangan PT Jamkrida itu sendiri, antara lain:
1. Modal sebesar Rp56,5 Miliar membatasi wilayah kerja operasional yang hanya terbatas di
wilayah Provinsi Banten, belum bisa bersifat nasional.
2. Partner PT Jamkrida hanya bisa dengan Bank Umum Lokal, belum bisa berpartner dengan
Bank Umum Nasional, sementara itu, Bank Umum semuasanya sudah bersifat nasional.
Dengan kata lain, PT Jamkrida belum masuk dalam daftar Pemeringkatan Perusahaan
Penjaminan sehingga belum optimal bekerjasama dengan Bank Umum.
3. Penjaminan bersama dengan lembaga penjamin lain yang bersifat nasional juga belum bisa
dilakukan oleh PT Jamkrida
4. Batasan dari retensi (nilai yang boleh dijamin) hanya 5% dari modal sehingga maksimal
hanya boleh menjamin sebesar Rp2,75 miliar. Sementara itu, mayoritas nilai proyek di atas
Rp2,75 miliar sehingga PT Jamkrida belum mampu memberi jaminan terhadap proyek-
proyek yang nilainya di atas Rp2,75 Miliar.
5. Dari sisi bisnis, proyeksi s.d. tahun 2020 nilai kridit yang akan dijamin oleh PT Jamkrida
sebesar Rp1 Trilyun rupiah, sehingga Gearing Rasio yang dibutuhkan yaitu sebesar 10% dari
nilai kredit yang dijamin yaitu sebesar Rp100 miliar. Dengan kata lain, apabila ada kredit Rp1
trilyun, maka modal PT Jamkrida yang dibutuhkan yaitu Rp100 miliar.
Mengingat modal dasar PT Jamkrida baru Rp56,5 Miliar, maka seluruh keterbatasan di
atas, masih dialami oleh PT Jamkrida, sehingga ke depan, modal dasar PT Jamkrida minimal
harus Rp100 miliar. Pada posisi yang demikian, sangat diperlukan penyertaan modal
pemerintah daerah kepada PT Jamkrida Banten, sehingga modal dasar PT Jamkrida Banten
mencapai batasan minimal Rp100 miliar.
Berdasarkan data penyaluran kredit UMKM tahun 2015 yaitu sebesar 13% dengan
penyaluran kredit UMKM sebesar Rp31,57 Triliun. Sementara itu delta baki debet (Sumber
Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Banten TW IV 2015 dari BI) Rata-rata
pertumbuhan kredit UMKM Nasional dari tahun ke tahun adalah berkisar + 11%.
Tabel 1. Proyeksi Penyaluran Kredit UMKM di Banten
x
Tahun Proyeksi Penyaluran Kredit
2016 3,534,300,000,000
2017 3,923,073,000,000
2018 4,354,611,030,000
2019 4,833,618,243,300
2020 5,365,316,250,063
xii
pekerjaan sebanyak 9.830 orang. Dengan kondisi yang demikian, penting sekali bagi Provinsi
Banten untuk menyertakan modalnya hingga 100 miliar kepada PT Jamkrida Banten.
Ketiga, permasalahan PD BPR Berkah yaitu masih rendahnya modal minimal.
Sebagaimana ketentuan OJK bahwa kewajiban penyediaan modal minimum ( K P M M ) bagi
BPR paling sedikit Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah) paling lambat 31 Desember
2019.
Modal yang dimiliki oleh PD BPR Berkah masih sangat terbatas yang mengakibatkan PD.
BPR Berkah kesulitan dalam meningkatkan pemberian kredit. Non Performing Loan (NPL) PD.
BPR Berkah masih relatif tinggi sehingga kemampuan PD. BPR Berkah sangat terbatas, yang
berakibat terhadap kurangnya daya saing dalam memasarkan produk-produknya; karena PD.
BPR Berkah hanya berorientasi kepada usaha mikro, kecil dan menengah, belum mampu
menjangkau perusahaan bersekala besar.
Berbagai produk penyimpanan dana di PD BPR Berkah belum mengalami diversifikasi,
dan kegiatan pemasaran funding belum terintegrasi, hal tersebut dapat dilihat dari masih
kecilnya persentase pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) yang diterima oleh PD BPR Berkah.
Pangsa Pasar kredit yang dikuasai PD. BPR Berkah relatif masih kecil. Hal ini merupakan
dampak dari kecilnya penyaluran kredit PD. BPR Berkah di wilayah Kabupaten dalam 3 tahun
terakhir yang hanya dapat menyalurkan kredit sebesar 0,89 %.
Apabila dilihat dari tingkat kesehatan bank PD BPR Berkah dapat ditabulasikan sebagai
berikut.
Tabel 4. Tingkat kesehatan PD BPR Berkah
Rasio Rata – Rata Peraturan Keterangan
Tahun 2015 BI
NPL 3,01% <5% Non Performing Loans (NPL) yang tinggi
menyebabkan menurunnya laba yang
akan diterima oleh bank
Bangking Ratio (LDR) 106,17% 85% - dana yang disalurkan kepada debitur
110% secara baik dan berkualitas
Quick Ratio 1,36% >1% untuk mengantisipasi adanya resiko
likuiditas maka bank juga
menempatkan dananya dalam
Deposito pada Bank umum
xiii
ROA 7% >2% perbandingan antara keuntungan yang
diperoleh dengan asset total
BOPO 75.05% 70% - 80% perbandingan antara biaya operasional
termasuk beban bunga dan
pendapatan operasional termasuk
pendapatan bunga
Sumber: Laporan Akhir tahun 2015 PD BPR Berkah
Melihat tabel di atas, kondisi kesehatan PD BPR Berkah, sangat sehat, sehingga tidak ada
resiko sedikitpun bagi Pemerintah Provinsi Banten untuk menyertakan modalnya ke PD BPR
Berkah.
Data sejak tahun 2007 membuktikan bahwa penyertaan modal Provinsi Banten pada PD
BPR Berkah hingga tahun 2016 yaitu sebanyak Rp300 juta. Setiap tahunnya, PD BPR Berkah
memberikan benefit rata-rata sebesar 100 juta/tahun, sehingga keuntungan yang diterima
Provinsi Banten selama 9 (sembilan) tahun kurang lebih 900 juta, jauh lebih besar
dibandingkan modal yang disertakan.
Apabila PD. BPR Berkah mendapat tambahan penyertaan modal dari pemerintah
Provinsi Banten, tentu akan dapat menawarkan berbagai produk yang lebih bersaing, dan
mampu menambah jangkauan kredit, serta mampu menghasilkan deviden yang lebih besar
dari yang ada sekarang.
Laba PD BPR Berkah tiap lima tahun ke depan diprediksi tumbuh 3x lipat atau naik
sebesar 285% dari tahun 2016 s.d. 2020. Diagram di bawah ini memperlihatkan prediksi
kenaikan laba PD BPR Berkah.
xiv
Diagram 1.1 Pertumbuhan Aset PD BPR Berkah
Peningkatan laba tersebut akan dapat dicapai manakala ada penambahan penyertaan
Modal dari Pemerintah daerah. Adapun pembagian deviden dapat ditabulasikan sebagai
berikut.
Tabel 5. Prediksi setoran Deviden 2016-2020
PEMEGANG TAHUN
SAHAM 2016 2017 2018 2019 2020
Pemkab Pandeglang 406.839 528.891 687558 893.826 1.161.974
Pemprov. Banten 318.062 413.479 537523 698.780 908.414
Pemprov. Jabar 4.402 5.723 7.440 9.672 12.573
PT. Bank bjb 4.402 5.723 7.440 9.672 12.573
Total 733.705 953.816 1.239.961 1.611.950 2.095.534
Melihat besarnya peluang deviden yang akan diterima oleh Provinsi Banten, maka
apabila Pemerintah Provinsi Banten menyertakan modalnya ke PD BPR Berkah, tentu akan
memberikan manfaat baik bagi peningkatkan PAD maupun bagi peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Sehingga penting sekali bagi Provinsi Banten untuk menambah penyertaan
modalnya ke PD BPR Berkah.
Keempat, permasalahan PD BPR LPK Warunggunung yang dapat diidentifikasi sebagai
berikut:
a. Perusahaan Daerah Bank Perkreditan RakyatLembaga Perkreditan Kecamatan (PD. BPR
LPK ) WARUNGGUNUNG didirikan berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Lebak
Nomor.7 tahun 2015 tentang Penggabungan 3 (tiga) Perusahaan Daerah Bank
Perkreditan Rakyat Lembaga Perkreditan Kecamatan, 9 (sembilan) Perusahaan Daerah
Perkreditan Kecamatan dan Perubahan Bentuk Hukum, dengan modal dasar sebesar
Rp6.000.000.000 (enam miliar rupiah). Sedangkan modal disetor ketiga PD. BPR LPK
Kabupaten Tahun 2015 Lebak sebesar Rp4.655.051.409 (empat miliar enam ratus lima
xv
puluh lima juta lima puluh satu ribu empat tarus sembilan rupiah). Dengan kata lain,
modal yang dimiliki oleh PD BPR LPK Warungggunung masih sangat terbatas yang
mengakibatkan PD. BPR LPK Warunggunung sulit untuk meningkatkan pemberian kredit;
b. Non Performing Loan (NPL) masih relatif tinggi sehingga kemampuan PD. BPR LPK sangat
terbatas, yang berakibat terhadap kurangnya daya saing dalam memasarkan produk-
produknya; dengan kata lain, sasaran kredit umum PD. BPR LPK Kabupaten Lebak masih
hanya berorientasi kepada usaha mikro, kecil dan menengah, belum mampu
menjangkau perusahaan bersekala besar;
c. Cost of fund masih relatif tinggi, khususnya suku bunga deposito;
d. Pangsa Pasar kredit yang dikuasai relatif masih kecil; Hal ini dapat dari kecilnya
penyaluran kredit PD. BPR LPK di Wilayah Kabupaten Lebak dalam 3 tahun terakhir yang
hanya dapat menyalurkan kredit berturut-turut untuk tahun 2013 sebesar 0,89 %, tahun
2014 sebesar 0,83% dan tahun 2015 sebesar 0,77% dari penyaluran kredit di wilayah
Lebak. Pada tahun 2013 jumlah kredit Perbankan di Wilayah Lebak Rp535.001.837 ribu
sedangkan PD. BPR LPK hanya Rp. 4.807.118. Tahun 2014 kredit perbankan sebesar
Rp629.169.848 ribu, sedangkan PD. BPR LPK hanya sebesar Rp5.258.217 ribu. Pada
tahun 2015 perbankan Wilayah Lebak menyalurkan Rp727.483.776 ribu, sedangkan PD.
BPR LPK hanya sebesar Rp5.625.764 juta.
e. Berbagai produk penyimpanan dana di PD. BPR LPK belum mengalami diversifikasi, dan
kegiatan pemasaran funding belum terintegrasi, hal tersebut dapat dilihat dari masih
kecilnya persentase pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK).
Apabila dilihat dari laba yang diperoleh dari PD BPR LPK Warunggunung selama enam
tahun terakhir, dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 6. Perkembangan Laba PD BPR LPK Warunggunung
xvi
R INCIAN De s-10 De s-11 De s-12 De s-13 De s-14 De s-15
TOTAL ASET
4.364.488 5.124.764 6.020.556 7.866.275 8.249.235 10.796.261
LABA / (RUGI) SEBELUM PAJAK (656.325) 392.320 345.014 554.794 632.478 421.528
Tabel di atas memberikan informasi bahwa selama enam tahun terakhir, PD BPR LPK
Warunggunung belum pernah merugi dan hal ini memberi peluang kepada Pemerintah Provinsi
banten untuk menambah penyertaan modal bagi BPR tersebut. Dengan kata lain, tidak ada
resiko sedikitpun bagi Pemerintah Provinsi Banten untuk menyertakan modal kepada PD BPR
LPK Warunggungung. Karena pada satu sisi PD BPR LPK Warunggunung masih sangat
membutuhkan dana penyertaan modal, pada sisi yang lain, tidak ada resiko sedikitkan bagi
pemerintah Provinsi apabila menyertakan modal kepada PD BPR LPK Warunggungung, bahkan
akan sangat menguntungkan.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, perlu kiranya Pemerintah Provinsi Banten
menentukan kebijakan dalam upaya penyertaan modal pemerintah daerah sehingga modal
BUMD sesuai dengan ketentuan OJK yang pada akhirnya dapat menghasilkan keuntungan yang
signifikan dalam rangka meningkatan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan PAD
Provinsi Banten.
B. Identifikasi Masalah
xvii
permasalahan-permasalahan dan menjawab setiap permasalahan dalam menentukan dan
mengambil kebijakan dalam bentuk peraturan daerah Provinsi Banten. Berdasarkan hal
tersebut di atas, Peneliti merumuskan perumusan masalah sebagai berikut:
a. Bagaimana urgensitas Pembentukan Peraturan Daerah Provinsi Banten tentang penyertaan
modal pemerintah daerah Provinsi Banten pada PT. BPD Jabar Banten, Tbk, PT Jamkrida
Banten, PD. BPR Pandeglang Berkah dan PD. BPR LPK Warunggunung sebagai dasar dalam
penyertaan modal?
b. Bagaimana sasaran, jangkauan dan ruang lingkup Rancangan Peraturan Daerah Provinsi
Banten tentang penyertaan modal pemerintah daerah Provinsi Banten pada PT. BPD Jabar
Banten, Tbk, PT Jamkrida Banten, PD. BPR Pandeglang Berkah dan PD. BPR LPK
Warunggunung?
Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan di atas, tujuan
penyusunan naskah akademik tentang penyertaan modal pemerintah daerah Provinsi Banten
pada PT. BPD Jabar Banten, Tbk, PT Jamkrida Banten, PD. BPR Pandeglang Berkah dan PD. BPR
LPK Warunggunung adalah sebagai berikut:
1 Merumuskan mengenai permasalahan yang dihadapi dalam menentukan penyertaan
modal pemerintah daerah Provinsi Banten pada PT. BPD Jabar Banten, Tbk, PT Jamkrida
Banten, PD. BPR Pandeglang Berkah dan PD. BPR LPK Warunggunung
2 Merumuskan mengenai urgensitas Pembentukan Peraturan Daerah Provinsi Banten
Tentang penyertaan modal pemerintah daerah Provinsi Banten pada PT. BPD Jabar Banten,
Tbk, PT Jamkrida Banten, PD. BPR Pandeglang Berkah dan PD. BPR LPK Warunggunung.
3 Merumuskan mengenai landasan Filosofis, Sosiologis, dan Yuridis terhadap pembentukan
peraturan daerah tentang penyertaan modal pemerintah daerah Provinsi Banten pada PT.
BPD Jabar Banten, Tbk, PT Jamkrida Banten, PD. BPR Pandeglang Berkah dan PD. BPR LPK
Warunggunung.
4 Merumuskan sasaran, ruang lingkup pengaturan, jangkauan dan arah pengaturan
Peraturan Daerah Provinsi Banten tentang penyertaan modal pemerintah daerah Provinsi
xviii
Banten pada PT. BPD Jabar Banten, Tbk, PT Jamkrida Banten, PD. BPR Pandeglang Berkah
dan PD. BPR LPK Warunggunung.
D. Metode Penelitian
xx
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS PENYERTAAN MODAL
PEMERINTAH DAERAH KEPADA BUMD
A. Kajian teoretis
1. Pengertian
Dalam hal ini, pengertian yang penulis kutip adalah pengertian tentang penyertaan
modal, yang bersumber dari Peraturan perundang-undangan dengan pertimbangan
bahwa untuk mendapatkan kesesuaian raperda dengan peraturan perundang-undangan
diperlukan konsistensi arti/makna dari objek pengkajian ini, di anatara pengertian yang
berkaitan dengan penyertaaan modal pada BUMD antara lain:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah rencana keuangan
tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah
daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah.
b. Perseroan Terbatas (PT) Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat Banten.Tbk yang
selanjutnya disebut PT Bank Jabar Banten adalah badan hukum yang didirikan
berdasarkan Akta Notaris Popy Kuntari Sutresna Nomor 4 tanggal 8 April 1999 dan
telah mendapat pengesahan dari Menteri Kehakiman pada tanggal 16 April 1999
dengan Keputusannya Nomor C-7103.HT .01.01.TH.99.
c. Perseroan Terbatas Penjaminan Kredit Daerah Banten yang selanjutnya disebut P.T.
JAMKRIDA BANTEN adalah Badan Usaha Milik Daerah yang didirikan dan saham
mayoritasnya dimiliki oleh Pemerintah Provinsi Banten.
d. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disebut BPR yaitu bank yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang dalam kegiatannya tidak
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang mengenai perbankan.
e. Kas Umum Daerah adalah tempat penyimpanan uang daerah yang ditentukan oleh
Kepala Daerah untuk menampung seluruh penerimaan daerah dan digunakan untuk
membayar seluruh pengeluaran daerah.
xxi
f. Rapat Umum Pemegang Saham, yang selanjutnya disebut RUPS adalah organ
Persero yang memegang kekuasaan tertinggi dalam Persero dan memegang segala
wewenang yang tidak diserahkan kepada Direksi atau Komisaris.
g. Penyertaan Modal Daerah adalah penempatan dan/atau penambahan sejumlah
dana dan/atau barang oleh Pemerintah Daerah untuk memperoleh manfaat
ekonomi, sosial, dan/atau manfaat lainnya.
h. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian
besar modalnya dimiliki oleh daerah. Dengan kata lain, Badan Usaha Milik Negara
yang dikelola oleh pemerintah daerah disebut badan usaha milik daerah (BUMD).
i. Pendapatan Daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah
nilai kekayaan bersih. Kemandirian daerah akan dapat terlihat dari besaran
Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang diupayakan oleh Pemerintah Daerah (Pemda).
j. Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari
pelaksanaan hak dan kewajiban pemerintah daerah, serta pemanfaatan potensi
atau sumber daya daerah, baik yang dimiliki oleh Pemerintah daerah maupun yang
terdapat di wilayah daerah bersangkutan, yang mana pemungutannya merupakan
tanggung jawab pemerintah daerah.
k. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan
taraf hidup rakyat banyak (Undang-undang Nomor 10 tahun 1998)
l. Saham adalah surat berharga yang diperdagangkan di pasar modal sebagai tanda
penyertaan atau kepemilikan seseorang atau badan dalam suatu perusahaan atau
perseroan terbatas
a. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antar perusahaan
dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya
setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga (Menurut UU No. 10/1998
pasal 21 ayat (11)).
xxii
b. Modal inti merupakan komponen modal yang memiliki karakteristik yang paling
kuat dan stabil untuk menyerap risiko (Ketentuan umum No 4. SE OJK No: 8
/SEOJK.03/2016, tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Dan Pemenuhan
Modal Inti Minimum Bank Perkreditan Rakyat)
c. Modal pelengkap merupakan komponen modal yang memiliki karakteristik
sebagai modal sehingga dapat dikategorikan sebagai salah satu komponen
permodalan, namun tidak memiliki nilai tunai atau dapat dilunasi dengan memenuhi
persyaratan dan persetujuan sebagaimana diatur dalam peraturan Otoritas Jasa
Keuangan (Ketentuan umum No 5. SE OJK No: 8 /SEOJK.03/2016, tentang Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum Dan Pemenuhan Modal Inti Minimum Bank
Perkreditan Rakyat)
d. Pasar modal adalah pasar untuk berbagai instrumen keuangan (atau sekuritas )
jangka panjang yang biasa diperjualbelikan, baik dalam bentuk hutang ataupun
modal sendiri,baik yang diterbitkan oleh pemerintah, public autorities, maupun
perusahaan swasta (Husnan dan Pudjiastuti, 2004: 1)
e. Investasi merupakan penempatan sejumlah dana pada saat ini dengan harapan
untuk memperoleh keuntungan di masa mendatang (Halim, 2003: 2).
f. Dividen adalah keuntungan yang dapat diterima oleh investor atau pemegang
saham dari penanaman modal melalui pembelian saham suatu perusahaan. Dividen
adalah pembagian laba perusahaan kepada para pemegang saham yang besarnya
sebanding dengan jumlah lembar saham yang dimiliki (Baridwan, 2004: 434)
2. Peran BUMD
BUMD memiliki kedudukan sangat penting dan strategis dalam menunjang
pelaksanaan otonomi. Oleh karena itu, BUMD perlu dioptimalkan pengelolaannya agar benar-
benar menjadi kekuatan ekonomi yang handal sehingga dapat berperan aktif, baik dalam
menjalankan fungsi dan tugasnya maupun sebagai kekuatan perekonomian daerah. Laba dari
BUMD diharapkan memberikan kontribusi yang besar terhadap Pendapatan Asli Dearah
xxiii
(PAD). Ketidakmampuan BUMD untuk memenuhi target sumbangan PAD adalah salah satu
masalah yang dialami hampir seluruh Pemerintah Daerah di Indonesia.
Untuk mencapai sasaran tujuan BUMD sebagai salah satu sarana PAD, perlu adanya
upaya optimalisasi BUMD yaitu dengan adanya peningkatan profesionalisasi baik dari segi
manajemen, sumber daya manusia maupun sarana dan prasarana yang memadai sehingga
memiliki kedudukan yang sejajar dengan kekuatan sektor perekonomian lainnya.
Alasan-alasan perlu dilakukannya pembenahan BUMD, yaitu:
1. Untuk mendorong efisiensi pengelolaan perusahaan. Di tengah iklim bisnis yang berorientasi
pasar seperti saat ini, sungguh tidak mungkin bertahan untuk jangka panjang dalam kondisi
yang tidak efisien. Sebab, efisiensi sungguh erat kaitannya dengan harga produk yang
ditawarkan kepada masyarakat. Perusahaan yang lebih efisien tentu akan dapat memberikan
harga barang atau jasa yang lebih murah dari pada perusahaan yang kurang efisien.
Demikian juga, biaya yang semestinya tidak terjadi akan dapat ditekan, sehingga akan dapat
menaikkan laba.
2. Mempermudah pencarian dana guna perluasan usaha. Bila dilihat dari struktur
permodalannya, hampir semua BUMD membiayai kegiatannya dari hutang, baik hutang
jangka pendek dan jangka panjang, yang kesemuanya berasal dari bank. Lebih
memprihatinkan lagi pinjaman tersebut sebagian besar berasal dari utang luar negeri yang
notabene mempunyai resiko tinggi jika terjadi perubahan kurs.
3. Faktor kesulitan keuangan negara. BUMD di daerah dikategorikan menjadi dua kelompok
yaitu BUMD non keuangan dan BUMD keuangan. BUMD non keuangan misalnya PDAM atau
lembaga lain yang usahanya di luar bisnis keuangan. Sementara BUMD keuangan misalnya
Badan Kredit Kecamatan (BKK) dan Bank Pasar. Beberapa kasus yang terjadi di beberapa
daerah di Indonesia adalah kedua jenis BUMD ini sama kondisinya, tidak efisien dan menjadi
beban keuangan Pemda. Adalah tidak mungkin terus mengharapkan bantuan Pemerintah
Pusat dalam bentuk modal penyertaan, mengingat keterbatasan dana dan tuntutan yang
lebih besar akan pembiayaan pembangunan pada banyak sektor. Pada akhirnya BUMD harus
bisa mandiri dan sekaligus mampu memberikan sumbangan besar bagi pembiayaan
pembangunan di daerah.
xxiv
4. Liberalisasi ekonomi. Dengan anggapan bahwa kesepakatan antar negara-negara ASEAN dan
Asia Pasifik melalui AFTA dan APEC, peningkatan daya saing BUMD tetap relevan untuk
dipertimbangkan sebagai persiapan menjelang pasar bebas. Walaupun bukan merupakan
pasukan terdepan dalam globalisasi ekonomi tersebut BUMD harus pula berbenah diri.
Alasannya sederhana saja, salah satunya berkaitan dengan arus investasi. Dengan liberalisasi
ekonomi, arus investasi masuk ke semua negara dan ke semua sektor. Pemerintah Daerah
harus dapat memanfaatkan momen tersebut dengan menarik minat investor asing untuk
menanamkan modalnya ke dalam bidang-bidang yang dibawahkan masing-masing BUMD.
Usaha-usaha kreatif dan inovatif juga harus menjadi agenda semua BUMD agar mampu
bersaing dengan perusahaan pada bidang sejenis.
3. Ciri-ciri BUMD
BUMD dapat memberikan sumbangsih pada perekonomian nasional dan penerimaan kas
negara. Selaku perusahaan negara dapat mengejar dan mencari keuntungan pemenuhan hajat
hidup orang banyak, perintis kegiatan-kegiatan usaha, memberikan bantuan dan perlindungan
padausaha kecil dan lemah, melaksanakan pembangunan daerah melalui pelayananjasa kepada
masyarakat, penyelenggara kemanfaatan umum, dan peningkatan penghasilan pemerintah
daerah.
Berdasarkan kategori sasarannya secara lebih detail, BUMD dibedakan menjadi dua yaitu
sebagai perusahaan daerah untuk melayani kepentingan umum yang bergerak di bidang jasa
xxvii
dan bidang usaha. Tetapi, jelas dari kedua sasaran tersebut tujuan pendirian BUMD adalah
untuk meningkatkan PAD.
Bagi daerah badan usaha dibentuk merupakan upaya untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidakmampu untuk melepaskan diri
dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Artinya, memberdayakan sebagai langkah
untuk memampukan danmemandirikan masyarakat beserta kelembagaannya.
Khusus dalam hal BUMD, upaya memberdayakan itu haruslahpertama-tama dimulai
dengan menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensinya untuk berkembang.
Hal ini dengan landasan pertimbangan bahwa setiap masyarakat dan kelembagaannya, memiliki
potensi yang dapat dikembangkan. Maka dengan pemberdayaan itu, pertama, merupakan
upaya untuk membangun daya dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran
akan potensi dan daya yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya.
Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki tersebut sehingga diperlukan
langkah-langkah yang lebih positif dan nyata, penyediaan berbagai input yang diperlukan, serta
pembukaan akses kepada berbagai peluang sehingga semakin berdaya memanfaatkan peluang.
Ketiga, memberdayakan berarti pula melindungi, sehingga dalam proses pemberdayaan
haruslah dicegah agar jangan pihak yang lemah menjadi bertambah lemah, tapi dapat hidup
dengan daya saing yang memadai.
Pemerintah pada hakikatnya mengemban tiga fungsi utama yakni fungsi distribusi, fungsi
stabilisasi, dan fungsi alokasi. Fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi pada umumnya lebih efektif
dan tepat dilaksanakan oleh Pemerintah pusat, sedangkan fungsi alokasi lebih tepat jika
dilaksanakan oleh Pemerintahan Daerah yang lebih mengetahui kebutuhan, kondisi, dan situasi
masyarakat setempat. Dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah inilah, penyerahan,
pelimpahan, dan penugasan urusan pemerintahan kepada Daerah secara nyata dan
bertanggung jawab harus diikuti dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber
daya nasional secara adil, termasuk pembagian kewenangan dalam pengelolaan keuangan
negara dan perimbangan keuangan antara Pemerintah pusat dan Pemerintahan Daerah.
Wujud keuangan negara pada pemerintah daerah juga dapat dilihat pada Laporan
Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) masing-masing pemerintah daerah baik pemerintah
Provinsi maupun pemerintah Kabupaten/Kota, karena sebagaimana informasi yang terdapat
xxx
pada LKPP, dalam LKPD juga memberikan informasi tenteng aset, utang dan ekuitas pemerintah
daerah serta pendapatan, belanja dan pembiayaan daerah.
Otonomi daerah memberikan konsekuensi yang cukup besar bagi peran BUMD dalam
menopang Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sesungguhnya usaha dan kegiatan ekonomi daerah
yang bersumber dari BUMD telah berjalan sejak lama sebelum UU tentang otonomi daerah
disahkan.Untuk mencapai sasaran tujuan BUMD sebagai salah satu sarana PAD, perlu adanya
upaya optimalisasi BUMD yaitu dengan adanya peningkatanprofesionalisasi baik dari segi
manajemen, sumber daya manusia maupun saranadan prasarana yang memadai sehingga
memiliki kedudukan yang sejajar dengan kekuatan sektor perekonomian lainnya.
Dalam konsep otonomi daerah pemerintah daerah dituntut untuk melakukan pengelolaan
keuangan daerah secara efektif, efesien dan akuntabel. Pemerintah daerahharus berusaha
melakukan pengelolaan penerimaan daerah secara cermat, tepat dan hati-hati. Pemerintah
daerah harus menjamin bahwa semua potensi penerimaan telah terkumpul dan dicatat ke
dalam sistem akuntansi pemerintahan daerah.Aspek utama dalam manajemen penerimaan
daerah yang perlu mendapat perhatian serius adalah pengelolaan pendapatan asli daerah
(PAD). PAD harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar bagi pelaksanaan otonomi daerah.
Hal ini menunjukkan bahwa PAD merupakan tolak ukur terpenting bagi kemampuan
daerahdalam menyelenggarakan dan mewujudkan otonomi daerah, sehingga PAD
mencerminkan kemandirian suatu daerah.
PAD dapat berasal dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah
yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yangsah.PAD yang berasal dari hasil pengelolaan kekayaan
daerah yang dipisahkan merupakan pendapatan yang berasal dari Perusahaan Daerah (PD) atau
Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). BUMD memiliki peran dalam mewujudkan kemakmuran
daerah dengan memberikan kontribusi terhadap Penerimaan PAD baik dalam bentuk deviden
atau pajak. Tantangan meningkatkan PAD salah satunya dapat dijawab dengan meningkatkan
peran/kontribusi BUMD.
Secara makro, peranan BUMD terhadap perekonomian daerah dapat diukur melalui
kontribusi nilai tambahnya terhadap Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) dan
xxxi
kemampuannnya menyerap tenaga kerja. Dalam perkembangan dunia usaha, BUMD
dihadapkan tantangan yang berat.
7. Konsep Perbankan
Perbankan merupakan salah satu sarana yang mempunyai peran strategis dalam
menyerasikan dan menyeimbangkan unsur-unsur pembangunan, karena bank mempunyai
fungsi utama sebagai wahana yang dapat menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat
secara efektif dan efisien, yang berasaskan demokrasi ekonomi menduk-ung pelaksanaan
pembangan nasional dalam rangka meningkatkan peranan pembangunan dan hasil-hasllnya,
peambuhan ekonomi dan Irtas nasional, kearah peningkatan taraf hidup rakyat banyak.
Jenis Bank yang tercantum dalam Undang-undang No. 10 Tahun 1998 terdiri dari dua
yaitu:
1. Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional
dan/atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam
lalu lintas pembayaran.
2. Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran
Perekonomian Indonesia sampai dengan Juni 2016 menunjukkan kondisi yang cukup
stabil dan mengalami perbaikan seiring dengan terus berlangsungnya pemulihan perekonomian
global. Kondisi perbankan nasional tetap stabil, hal ini diindikasikan masih terjaganya Capital
Adequacy Ratio (CAR) per Juni 2016 sebesar 17,0%. Sementara itu, rasio Non Perfoming Loan
(NPL) tetap terkendali di bawah 5% dengan rasio net di bawah 2%. Likuiditas Perbankan,
termasuk likuiditas dalam Pasar Uang Antar Bank (PUAB) makin membaik dan pertumbuhan
Dana Pihak Ketiga (DPK) meningkat.
Selama juni 2016 nilai tukar rupiah secara rata-rata terapresiasi sebesar 1,32%. Rupiah
bergerak cukup stabil sebagaimana tercermin pada penurunan volatilitas dari 0,6% pada Juni
2016 menjadi 0,46%. Bank Indonesia memandang bahwa apresiasi rupiah tersebut masih
mendukung daya saing produk ekspor Indonesia dibandingkan dengan beberapa negara Asia
xxxii
lainnya. Di sektor keuangan domestik, perbaikan kinerja terus ditunjukkan oleh pasar keuangan
domestik. Di pasar saham, minat beli investor di bursa meningkat tinggi didukung oleh kondisi
fundamental ekonomi domestik yang baik, terutama realisasi pertumbuhan ekonomi yang lebih
baik dari perkiraan, serta kinerja perusahaan publik pada semester I 2016 yang menunjukkan
perkembangan positif.
Di pasar uang, kondisi likuiditas di pasar uang antar bank masih cenderung longgar. Hal
ini tercermin pada volume transaksi di pasar uang yang mencatat peningkatan. Suku bunga
PUAB overnight menurun dari bulan sebelumnya, sejalan dengan arah pergerakan BI Rate. Di
pasar obligasi, yield SUN (Surat Utang Negara) meningkat, yang antara lain disebabkan oleh
pelepasan aset oleh beberapa investor asing sebagai akibat aksi profit taking seiring dengan
peningkatan yield di periode sebelumnya dan kecenderungan nilai tukar yang menguat.
Di sektor perbankan, transmisi kebijakan moneter di pasar keuangan cenderung
semakin baik. Penurunan BI Rate sebesar 300 bps sejak Desember 2015 terus diikuti oleh
penurunan suku bunga. Hingga Juni 2016, suku bunga dasar pinjaman perbankan mencatat
penurunan sebesar 108 bps, suku bunga Kredit Modal Kerja (KMK) turun sebesar 85 bps, Kredit
Investasi (KI) turun sebesar 83 bps, sementara kredit konsumsi masih mencatat kenaikan 53
bps. Penyaluran kredit perbankan juga mulai menunjukkan perbaikan. Hingga Juni 2016 kredit
perbankan telah tercatat tumbuh positif, yaitu sebesar 1,2% (ytd) mencapai jumlah Rp15,9
triliun. Dengan optimisme akan perbaikan ekonomi yang semakin tinggi, penyaluran kredit
diperkirakan terus meningkat seiring dengan semakin berkurangnya ketidakpastian
perekonomian di sektor riil. Komitmen sejumlah bank untuk menurunkan suku bunga deposito
diperkirakan akan semakin mendorong penurunan suku bunga kredit dan penyaluran kredit
perbankan. Bank Indonesia akan terus memantau pelaksanaan dari komitmen tersebut dan
juga akan menempuh langkah-langkah lanjutan untuk meningkatkan efisiensi perbankan
sehingga dapat mendorong penurunan suku bunga kredit lebih lanjut.
Kesehatan bank diartikan sebagai kemampuan suatu bank untuk melakukan kegiatan
operasional perbankan secara normal dan mampu memenuhi semua kewajibannya dengan baik
dengan cara-cara yang sesuai dengan peraturan perbankan yang berlaku. Pengertian tentang
kesehatan bank merupakan suatu batasan yang sangat luas, karena kesehatan bank memang
xxxiii
mencakup kesehatan suatu bank untuk melaksanakan seluruh kegiatan usaha perbankannya.
Kegiatan tersebut meliputi:
1. Kemampuan menghimpun dana dari masyarakat, dari lembaga lain, dan dari modal sendiri.
2. Kemampuan mengelola dana.
3. Kemampuan untuk menyalurkan dana ke masyarakat.
4. Kemampuan memenuhi kewajiban kepada masyarakat, karyawan, pemilik modal, dan pihak
lain.
5. Pemenuhan peraturan perbankan yang berlaku.
Peraturan Bank Indonesia Nomor: 6/10/PBI/2004 tentang Standar Tingkat Kesehatan
Bank Umum, menjelaskan tentang standar tingkat kesehatan bank umum dilihat dari:
xxxiv
Tabel 2.1
Standar Tingkat Kesehatan Bank
Rasio-Rasio Standar Bank Indonesia
Cash Ratio 3%
Loan to Deposit Ratio (LDR) 85 % - 100 %
Capital Adequacy Ratio (CAR) 8%
Return on Equity (ROE) 5 % - 12,5 %
Return on Asset (ROA) 0,5 % - 1,25 %
Sumber: Peraturan Bank Indonesia Nomor : 6/10/PBI/2004 www.bi.go.id
BPR menurut Undang-undang No. 7 Tahun 1992 yang telah diubah dan disempurnakan
Undang-undang No. 10 Tahun 1998 bahwa Bank Perkreditan Rakyat adalah “Bankyang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah yang
dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.”
Pihak yang dapat mendirikan BPR adalah sebagai berikut :
1) Warga Negara Indonesia
2) Badan Hukum Indonesia yang seluruh kepemilikannya oleh WNI
3) Pemerintah Daerah
4) Kerjasama di antara pihak tersebut di atas.
Kegiatan operasional BPR wajib memperoleh izin usaha terlebih dahulu dari pimpinan
Bank Indonesia. Kegiatan kegiatan usaha yang dilakukan oleh
Menurut jenisnya, bank dan lembaga keuangan dapat digolongkan (dua), yaitu
(Suyatno, 2001: 12) bank umum dan bank perkreditan rakyat. Bank umum, adalah bank yang
dapat membenikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Bank umum mengkhususkan diri untuk
xxxv
melaksanakan kegiatan tertentu atau memberikan perhatian yang lebih besar kepada kegiatan
tertentu, antara lain melaksanakan kegiatan pembiayaan Jangka panjang, pembiayaan untuk
pengembangan koperasi, pengembangan pengusaha golongan ekonomi lemah/pengusaha
kecil, pengembangan ekspor non migas dan pengembangan pembangunan perumahan.
Sedangkan Bank Perkreditan Rakyat (BPR), adalah bank yang menerima simpanan hanya dalam
bentuk deposito berjangka, tabungan dan bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
Bentuk hukum BPR dapat berupa:
1) Perusahaan Daerah
2) Koperasi
3) Perseroan Terbatas
4) Bentuk lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (Sari, 2010)
Pengawasan Bank Indonesia terhadap BPR meliputi :
a. Pemberian bantuan dan layanan perbankan kepada lapisan masyarakat yang rendah yang
tidak terjangkau bantuan dan layanan bank umum, yaitu dengan memberikan pinjaman
kepada pedagang/pengusaha kecil di desa dan di pasar agar tidak terjerat rentenir dan
menghimpun dana mayarakat.
b. Membantu pemerintah dalam ikut mendidik masyarakat guna memahami pola nasional
dengan adanya akselerasi pembangunan.
c. Penciptaan pemerataan kesempatan berusaha bagi masyarakat.
Dalam melakukan pengawasan akan terjadi beberapa kesalahan, yaitu :
1) Organisasi dan sistem manajemen, termasuk di dalamnya perencanaan yang ditetapkan.
2) Kekurangan tenaga terampil dan profesional.
3) Mengalami kesulitan likuiditas.
4) Belum melaksanakan fungsi BPR sebagaimana mestinya (sesuai UU)
Usaha BPR meliputi:
1) Menghimpun dana, dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa simpanan berupa giro,
deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan dan bentuk lainnya yang dipersamakan
dengan itu.
2) Memberikan kredit dan melakukan pembinaan terhadap nasabah
xxxvi
3) Menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah.
4) Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), deposito berjangka,
sertifikat deposito, tabungan dan tabungan pada bank lain.
5) Menjalankan usaha-usaha lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku
Di samping kegiatan kegiatan yang dapat dilaksanakan oleh BPR di atas, terdapat juga
kegiatan yang merupakan larangan bagi BPR:
1) Menerima simpanan dalam bentuk giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran.
2) Melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing
3) Melakukan penyertaan modal
4) Melakukan usaha perasuransian
5) Melakukan usaha lain diluar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud di atas.
Berdasarkan kegiatan usaha dan larangan larangan di atas, maka secara umum BPR
mempunyai kegiatan usaha dan larangan di atas, maka secara umum BPR mempunyai kegiatan
usaha yang terbatas dibanding Bank Umum. Bank Umum dapat menghimpun dana dalam
bentuk simpanan dari masyarakat berupa giro, tabungan dan deposito sedangkan BPR tidak
boleh menghimpun dana dalam bentuk giro dan juga tidak boleh ikut serta dalam lalu lintas
pembayaran. Bank Umum dapat melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing sedangkan BPR
tidak diperbolehkan. Bank Umum dapat melakukan penyertaan modal pada lembaga keuangan
lain untuk mengatasi kredit macet, sedangkan BPR tidak boleh melakukan penyertaan modal.
Dalam hal usaha perasuransian, BPR dan Bank Umum sama sama tidak diperbolehkan.
xxxvii
seyogyanya disusun dengan mempertimbangkan asas pembentukan peraturan perundang-
undangan yaitu:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.
Asas-asas di atas, erat kaitannya dengan daya ikat dan daya laku dari peraturan yang
dibentuk, karena kepatuhan terhadap asas akan menjadikan Peraturan yang disusun menjadi
baik. bagaimana keterkaitan ketujuh asas diterapkan dalam rancangan peraturan daerah
tentang Penyertaan Modal Pemerintah Daerah, dapat dilihat berdasarkan Tabel di bawah ini
(disadur dari NA Retribusi Perpanjangan IMTA, 2013):
Tabel 2.2 Keterkaitan Raperda dengan Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
NO ASAS PER-UU-AN KETERKAITAN DENGAN RAPERDA PENYERTAAN
MODAL PEMERINTAH
1 Kejelasan Tujuan. Bahwa kejelasan tujuan dalam raperda ini adalah
bahwa setiap Pembentukan Peraturan tidak semata untuk memperoleh PAD tetapi lebih
Perundang-undangan harus pada pemenuhan ketentuan OJK, membuka
mempunyai tujuan yang jelas yang lapangan pekerjaan baru, meningkatkan
hendak dicapai perekonomian daerah, dan mensejahterakan
masyarakat Banten
2 Asas ”kelembagaan atau pejabat Raperda ini jelas akan dibentuk oleh organ
pembentuk yang tepat” adalah bahwa pembentuknya yaitu DPRD dan Gubenur, yang
setiap jenis Peraturan Perundang- masing-masing untuk DPRD dilaksanakan oleh
undangan harus dibuat oleh lembaga Panus sedangkan dari Gubernur (Pemerintah
negara atau pejabat Pembentuk Daerah) dilakukan oleh pejabat yang
Peraturan Perundang-undangan yang ditunjuk/ditugaskan oleh Kepala Daerah.
berwenang. Peraturan Perundang-
undangan tersebut dapat dibatalkan
atau batal demi hukum apabila dibuat
oleh lembaga negara atau pejabat
yang tidak berwenang
3. asas “kesesuaian antara jenis, hierarki, Peraturan terkait dengan penyertaan modal pada
dan materi muatan” adalah bahwa prinsipnya sudah baku sehingga raperda ini
dalam Pembentukan Peraturan merupakan tindaklanjut yang harus disusun oleh
xxxviii
NO ASAS PER-UU-AN KETERKAITAN DENGAN RAPERDA PENYERTAAN
MODAL PEMERINTAH
Perundang-undangan harus benar- pemerintah daerah sebagai dasar hukum
benar memperhatikan materi muatan melakukan penyertaan modal pemerintah daerah
yang tepat sesuai dengan jenis dan ke PT. BPD Jabar Banten, Tbk, PT Jamkrida Banten,
hierarki Peraturan Perundang- PD. BPR Pandeglang Berkah dan PD. BPR LPK
undangan Warunggunung.
4. asas “dapat dilaksanakan” adalah Raperda ini akan memberikan kepastian terhadap
bahwa setiap Pembentukan Peraturan penyertaan modal pemerintah daerah terhadap
Perundang-undangan harus BUMD, berdasarkan potensi ini akan memberikan
memperhitungkan efektivitas penambahan PAD, lapangan kerja, kesejahteraan
Peraturan Perundang-undangan masyarakat.
tersebut di dalam masyarakat, baik
secara filosofis, sosiologis, maupun
yuridis.
6. asas “kejelasan rumusan” adalah Bahwa rapera ini rumusannya sudah sangat jelas
bahwa setiap Peraturan Perundang- karena dari Kementerian Keuangan telah
undangan harus memenuhi menerbitkan buku panduan tata cara evaluasi
persyaratan teknis penyusunan rancangan peraturan daerah selain itu juga dalam
Peraturan Perundang-undangan, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
sistematika, pilihan kata atau istilah, Pembentukan Peratauran Perundag-Undangan
serta bahasa hukum yang jelas dan sudah diberikan pedoman materi apa saja yang
mudah dimengerti sehingga tidak harus dimasukan dalam raperda.
menimbulkan berbagai macam
interpretasi dalam pelaksanaannya
xl
Rasio modal bank (CAR=Capital Adequacy Ratio) di Bank bjb Tbk selama periode triwulan
empat tahun 2014 sampai dengan triwulan empat tahun 2015 mengalami relatif stabil sebesar
15,8 persen. Rasio CAR Bank bjb Tbk dilihat menurut standar minimal yang ditetapkan BI yaitu
sebesar 8 persen, telah berada jauh di atas itu. Berdasarkan hasil perhitungan rasio CAR di atas,
dengan demikian dapat disimpulkan rasio modal Bank BJBTbk telah memenuhi standar minimal
Bank Indonesia.
Rasio kas Bank bjb Tbk selama periode triwulan empat tahun 2014 sampai dengan
triwulan empat tahun 2015 mengalami peningkatan yang baik sebesar 21,1 persen. Rasio kas
bank BJB Tbk jika dilihat dari aset likuid bila dibandingkan dengan total simpanan pihak ketiga
sudah sesuai dan berada sedikit di atas standar minimal yang ditetapkan BI yaitu minimum 3%.
Berdasarkan hasil perhitungan rasio kas di atas, dengan demikian dapat disimpulkan rasio kas
Bank bjb Tbk telah memenuhi standar minimal Bank Indonesia.
Rasio pinjaman terhadap deposit Bank bjb Tbk selama periode triwulan empat tahun
2014 sebesar 80,5 persen dan di triwulan empat tahun 2015 sebesar 67,5 persen. Di triwulan
empat tahun 2014 rasio LDR Bank bjb Tbk mencapai 93,2 persen, dan nilai sebesar ini dapat
bertahan sampai dengan penutupan tahun 2015 (standar minimal yang ditetapkan BI yaitu
minimum 85% - 100%). Berdasarkan hasil perhitungan rasio LDR, dengan demikian dapat
disimpulkan rasio LDR Bank BJB belum memenuhi standar minimal Bank Indonesia. Bank BJB
belum dapat dikatakan sehat menurut rasio LDR yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Rasio ROA Bank bjb selama periode triwulan empat tahun 2014 sampai dengan triwulan
empat tahun 2015 dalam kondisi relatif stabil. Pada triwulan empat tahun 2014 diperoleh ROA
sebesar 1,3 persen dan di triwulan empat tahun 2015 sebesar 1,4 persen. Jika dilihat
berdasarkan standar Bank Indonesia sebesar 0,5% - 1,25%, maka rasio ROA Bank BJB telah
memenuhi standar minimal Bank Indonesia. Oleh karena itu, berdasarkan hasil perhitungan
rasio ROA dengan demikian dapat disimpulkan rasio ROA Bank BJB telah memenuhi standar
minimal Bank Indonesia dan dapat dikatakan sebagai bank sehat.
Rasio ROE Bank bjb selama periode triwulan empat tahun 2014 sampai dengan triwulan
empat tahun 2015 mengalami peningkatan yang cukup baik sebesar 18 persen. Pada triwulan
empat tahun 2014 diperoleh ROE sebesar 14,7 persen dan di triwulan empat tahun 2015
xli
sebesar 16,5 persen. Jumlah telah memenuhi dan berada di atas ketentuan minimal Bank
Indonesia. ROE Bank bjb Tbk telah memenuhi standar minimal Bank Indonesia sebesar 5% -
12,5%. Berdasarkan hasil perhitungan di atas, dengan demikian dapat disimpulkan ROE Bank
BJB telah memenuhi standar minimal Bank Indonesia dan dapat dikatakan sebagai bank sehat.
Membaca kondisi kesehatan Bank bjb sebagaimana diuraikan di atas, pemerintah Provinsi
Banten layak untuk menyertakan modalnya pada bank tersebut.
xlvi
Dana setoran modal yang selanjutnya disingkat DSM diperhitungkan sebagai
modal inti apabila telah dicatat sebagai DSM Ekuitas. Dana setoran modal sebagai bagian
dari modal inti disetorkan dengan tujuan penambahan modal yang oleh BPR ditempatkan
dalam bentuk deposito pada Bank Umum di Indonesia atas nama “Dewan Komisioner
Otoritas Jasa Keuangan q.q. (nama BPR)” dan mencantumkan keterangan nama penyetor
tambahan modal serta keterangan bahwa pencairannya hanya dapat dilakukan
setelah mendapat persetujuan tertulis dari Otoritas Jasa Keuangan dan/atau dalam
bentuk deposito pada BPR yang bersangkutan atas nama ”Dewan Komisioner Otoritas Jasa
Keuangan q.q. (nama pemegang saham penyetor)” dan mencantumkan keterangan bahwa
pencairannya hanya dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan tertulis dari Otoritas Jasa
Keuangan.
Pengakuan DSM Ekuitas yang berasal dari:
1) Setoran modal dalam bentuk deposito di Bank Umum
a) BPR mencatat pertama kali DSM dalam bentuk deposito di Bank Umum
dalam pos DSM Kewajiban.
b) Setelah mendapat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan, BPR mengakui
setoran modal yang telah ditempatkan dalam bentuk deposito di Bank Umum
menjadi DSM Ekuitas dengan melakukan reklasifikasi pencatatan dari pos DSM
Kewajiban ke dalam pos DSM Ekuitas.
2) Setoran modal dalam bentuk deposito di BPR yang bersangkutan
a) BPR mencatat setoran modal di BPR yang bersangkutan dalam pos
simpanan – deposito.
b) Setelah mendapat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan, BPR mengakui
setoran modal menjadi DSM Ekuitas dengan melakukan reklasifikasi pencatatan
dari pos simpanan deposito ke dalam pos DSM Ekuitas. Setoran
modal yang dicatat sebagai DSM Ekuitas tidak diperlakukan sebagai simpanan.
Dengan demikian DSM Ekuitas diakui sebagai komponen modal dalam
perhitungan KPMM.
xlvii
c. BPR wajib menyelesaikan kelengkapan administrasi DSM paling lambat 90
(sembilan puluh) hari kerja sejak tanggal persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.
d. DSM yang sudah ada sebelum ketentuan ini berlaku harus segera
menyelesaikan kelengkapan administrasi DSM paling lambat 31 Desember 2019.
e. BPR yang tidak menyelesaikan kelengkapan administrasi dalam batas waktu
sebagaimana dimaksud pada huruf c dan huruf d dikenakan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a dan huruf b POJK KPMM BPR
sampai dengan terpenuhinya kelengkapan administrasi.
f. DSM yang tidak dilengkapi dengan kelengkapan administrasi sebagaimana
dimaksud pada huruf e, tidak dapat diperhitungkan sebagai komponen
modal inti namun tetap dicatat dalam pos DSM Ekuitas.
Memperhatikan Pasal 7 ayat (2) dan Pasal 8 ayat (3) POJK KPMM BPR, BPR
menyampaikan laporan penggunaan aset kepada Otoritas Jasa Keuangan disertai dengan:
a. bukti penggunaan gedung, ruangan, dan infrastruktur penunjang, serta
b. dokumen administrasi yang membuktikan tujuan penggunaan aset untuk operasional
BPR antara lain keputusan Direksi mengenai penggunaan aset.
Komponen Modal Inti Tambahan dan Komponen Modal Pelengkap
a. Penambahan modal dalam bentuk komponen modal inti tambahan dan
komponen modal pelengkap dapat dilakukan oleh pemegang saham atau pihak luar.
b. Pengajuan komponen modal inti tambahan dan komponen modal pelengkap
dilakukan oleh BPR kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan menyampaikan dokumen
perjanjian yang mencantumkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
POJK KPMM BPR.
c. Pengakuan sebagai modal inti tambahan dan komponen modal pelengkapdalam
perhitungan KPMM dilakukan setelah mendapatkan persetujuan Otoritas Jasa
Keuangan.
d. Pembayaran kembali atau pelunasan komponen modal inti tambahan dan
komponen modal pelengkap dapat dilakukan setelah mendapatkan persetujuan Otoritas
Jasa Keuangan.
xlviii
e. BPR yang memiliki komponen modal berupa modal pinjaman dan pinjaman
subordinasi yang telah ada sebelum berlakunya POJK KPMM BPR, harus mengajukan
permohonan persetujuan kepada Otoritas Jasa Keuangan disertai dengan
dokumen perjanjian yang sesuai persyaratan sebagaimana tercantum dalam Pasal 5
ayat (2) dan (3) POJK KPMM BPR atau Pasal 10 ayat (1) huruf a POJK KPMM BPR sebelum
31 Desember 2019 untuk dapat diakui sebagai komponen modal inti tambahan atau
komponen modal pelengkap.
f. BPR yang belum mendapatkan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sampai
dengan tanggal 31 Desember 2019, tidak dapat memperhitungkan pinjaman
sebagaimana dimaksud pada huruf e dalam perhitungan permodalan BPR untuk periode
laporan posisi akhir Desember 2019. Selanjutnya, BPR harus melakukan reklasifikasi
dalam pembukuan menjadi pinjaman diterima sampai dengan mendapat
persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan.
Modal Sumbangan Dalam Bentuk Aset Lainnya
a. Permohonan persetujuan modal sumbangan harus disampaikan kepada Otoritas Jasa
Keuangan dengan disertai dokumen:
1) surat pernyataan dari pihak yang melakukan penyerahan modal sumbangan
baik dari pemegang saham maupun pihak luar bahwa aset tetap yang diserahkan
kepada BPR bebas dari tuntutan atau sengketa;
2) hasil penilaian aset tetap oleh lembaga penilai independen berisi informasi
antara lain mengenai nilai/harga, jenis/macam, status dan tempat kedudukan
aset tetap;
3) persetujuan RUPS; dan
4) bukti pengumuman aset tetap yang diserahkan sebagai modal sumbangan
dalam 2 (dua) surat kabar harian.
b. Setelah memperoleh persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan, BPR melakukan proses
balik nama terhadap aset berupa tanah dan bangunan menjadi atas nama BPR.
Memperhatikan ketentuan Pasal 17 dan Pasal 26 POJK KPMM BPR, penerapan rasio
modal sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 4 POJK KPMM BPR serta komponen
xlix
modal sebagaimana diatur dalam Pasal 3 POJK KPMM BPR, mulai berlaku sejak periode
laporan bulan Januari 2020.
Mengingat ketentuan Pasal 11 POJK KPMM BPR merupakan bagian dari perhitungan
ATMR dalam perhitungan rasio modal sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 4 POJK
KPMM BPR sehingga penerapan Pasal 11 POJK KPMM BPR, mulai berlaku sejak periode
laporan bulan Januari 2020.
BPR harus menjaga jumlah modal inti minimum paling sedikit
Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). Bagi BPR yang mendapatkan izin usaha dari
Otoritas Jasa Keuangan dengan modal disetor kurang dari Rp6.000.000.000,00 (enam
miliar rupiah) setelah berlakunya POJK KPMM BPR adalah 5 (lima) tahun setelah memperoleh
izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan.
l
kesejahteraan masyarakat, kondisi ini memiliki kepastian terrealisasi karena pemanfaatan
deviden dari hasil penyertaan modal akan digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
Selanjutnya implikasi lain yang mungkin saja terjadi adalah peningkatan jumlah
masyarakat yang mendapatkan akses kredit, semakin banyaknya UMKM yang mendapatkan
pembiayaan, dan meningkatnya kesempatan kerja dari terbukanya lapangan kerja, sehingga
permasalahan minimnya lowongan/lapangan pekerjaan kiranya dapat teratasi. Dengan
berkurangnya angka pengangguran, juga akan berdampak meningkatkan kemampuan daya beli
masyarakat.
li
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
lvi
lanjut yang dilakukan setiap kali untuk menambah modal yang ditempatkan harus
disetor penuh.
b. Penyetoran atas modal saham
Pasal 34 ayat (1) Penyetoran atas modal saham dapat dilakukan dalam bentuk
uang dan/atau dalam bentuk lainnya. Ayat (2) Dalam hal penyetoran modal saham
dilakukan dalam bentuk lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penilaian setoran
modal saham ditentukan berdasarkan nilai wajar yang ditetapkan sesuai dengan
harga pasar atau oleh ahli yang tidak terafiliasi dengan Perseroan. Ayat (3)
Penyetoran saham dalam bentuk benda tidak bergerak harus diumumkan dalam 1
(satu) Surat Kabar atau lebih, dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah akta
pendirian ditandatangani atau setelah RUPS memutuskan penyetoran saham
tersebut.
c. Penambahan modal Perseroan
Pasal 41 ayat (1) Penambahan modal Perseroan dilakukan berdasarkan
persetujuan RUPS. Ayat (2) RUPS dapat menyerahkan kewenangan kepada Dewan
Komisaris guna menyetujui pelaksanaan keputusan RUPS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. Ayat (3) Penyerahan
kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sewaktu-waktu dapat ditarik
kembali oleh RUPS.
d. Rapat Umum Pemegang Saha (RUPS)
Pasal 42 ayat (1) Keputusan RUPS untuk penambahan modal dasar adalah sah
apabila dilakukan dengan memperhatikan persyaratan kuorum dan jumlah suara
setuju untuk perubahan anggaran dasar sesuai dengan ketentuan dalam undang-
undang ini dan/atau anggaran dasar. Ayat (2) Keputusan RUPS untuk penambahan
modal ditempatkan dan disetor dalam batas modal dasar adalah sah apabila
dilakukan dengan kuorum kehadiran lebih dari 1/2 (satu perdua) bagian dari seluruh
jumlah saham dengan hak suara dan disetujui oleh lebih dari 1/2 (satu perdua)
bagian dari jumlah seluruh suara yang dikeluarkan, kecuali ditentukan lebih besar
lvii
dalam anggaran dasar. Ayat (3) Penambahan modal sebagaimana dimaksud pada
ayat wajib diberitahukan kepada Menteri untuk dicatat dalam daftar Perseroan.
e. Penawaran Saham Untuk Penambahan Modal
Pasal 43 Ayat (1) Seluruh saham yang dikeluarkan untuk penambahan modal
harus terlebih dahulu ditawarkan kepada setiap pemegang saham seimbang dengan
pemilikan saham untuk klasifikasi saham yang sama. Ayat (2) Dalam hal saham yang
akan dikeluarkan untuk penambahan modal merupakan saham yang klasifikasinya
belum pernah dikeluarkan, yang berhak membeli terlebih dahulu adalah seluruh
pemegang saham sesuai dengan perimbangan jumlah saham yang dimilikinya. Ayat
(3) Penawaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal
pengeluaran saham: (a) ditujukan kepada karyawan Perseroan; (b) ditujukan kepada
pemegang obligasi atau efek lain yang dapat dikonversikan menjadi saham, yang
telah dikeluarkan dengan persetujuan RUPS; atau (c) dilakukan dalam rangka
reorganisasi dan/atau restrukturisasi yang telah disetujui oleh RUPS. Ayat (4) Dalam
hal pemegang saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menggunakan hak
untuk membeli dan membayar lunas saham yang dibeli dalam jangka waktu 14
(empat belas) hari terhitung sejak tanggal penawaran, Perseroan dapat
menawarkan sisa saham yang tidak diambil bagian tersebut kepada pihak ketiga.
f. Keputusan RUPS
Pasal 44 ayat (1) Keputusan RUPS untuk pengurangan modal Perseroan adalah
sah apabila dilakukan dengan memperhatikan persyaratan ketentuan kuorum dan
jumlah suara setuju untuk perubahan anggaran dasar sesuai ketentuan dalam
undang-undang ini dan/atau anggaran dasar. Ayat (2) Direksi wajib
memberitahukan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada semua
kreditor dengan mengumumkan dalam 1 (satu) atau lebih surat kabar dalam jangka
waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal keputusan RUPS.
Pasal 45 ayat (1) Dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari terhitung sejak
tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2), kreditor
dapat mengajukan keberatan secara tertulis disertai alasannya kepada Perseroan
lviii
atas keputusan pengurangan modal dengan tembusan kepada Menteri. Ayat (2)
Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak keberatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diterima, Perseroan wajib memberikan jawaban secara
tertulis atas keberatan yang diajukan. Ayat (3) Dalam hal Perseroan: (a) menolak
keberatan atau tidak memberikan penyelesaian yang disepakati kreditor dalam
jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal jawaban Perseroan
diterima; atau (b) tidak memberikan tanggapan dalam jangka waktu 60 (enam
puluh) hari terhitung sejak tanggal keberatan diajukan kepada Perseroan, kreditor
dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi
tempat kedudukan Perseroan.
g. Saham .
Pasal 48 ayat (1) Saham Perseroan dikeluarkan atas nama pemiliknya. Ayat
(2) Persyaratan kepemilikan saham dapat ditetapkan dalam anggaran dasar dengan
memperhatikan persyaratan yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (3) Dalam hal persyaratan
kepemilikan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah ditetapkan dan tidak
dipenuhi, pihak yang memperoleh kepemilikan saham tersebut tidak dapat
menjalankan hak selaku pemegang saham dan saham tersebut tidak diperhitungkan
dalam kuorum yang harus dicapai sesuai dengan ketentuan undang-undang ini
dan/atau anggaran dasar.
Pasal 49 ayat (1) Nilai saham harus dicantumkan dalam mata uang rupiah.
Ayat (2) Saham tanpa nilai nominal tidak dapat dikeluarkan. Ayat (3) Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menutup kemungkinan diaturnya
pengeluaran saham tanpa nilai nominal dalam peraturan perundang-undangan di
bidang pasar modal.
Pasal 50 ayat (1) Direksi Perseroan wajib mengadakan dan menyimpan daftar
pemegang saham, yang memuat sekurang-kurangnya: (a) nama dan alamat
pemegang saham; (b) jumlah, nomor, tanggal perolehan saham yang dimiliki
pemegang saham, dan klasifikasinya dalam hal dikeluarkan lebih dari satu klasifikasi
lix
saham; (c) jumlah yang disetor atas setiap saham; (d) nama dan alamat dari orang
perseorangan atau badan hukum yang mempunyai hak gadai atas saham atau
sebagai penerima jaminan fidusia saham dan tanggal perolehan hak gadai atau
tanggal pendaftaran jaminan fidusia tersebut; (e) keterangan penyetoran saham
dalam bentuk lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2). Ayat (2) Selain
daftar pemegang saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direksi Perseroan
wajib mengadakan dan menyimpan daftar khusus yang memuat keterangan
mengenai saham anggota Direksi dan Dewan Komisaris beserta keluarganya dalam
Perseroan dan/atau pada Perseroan lain serta tanggal saham itu diperoleh. Ayat (3)
Dalam daftar pemegang saham dan daftar khusus sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) dicatat juga setiap perubahan kepemilikan saham. Ayat (4) Daftar
pemegang saham dan daftar khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) disediakan di tempat kedudukan Perseroan agar dapat dilihat oleh para
pemegang saham. Ayat (5) Dalam hal peraturan perundang-undangan di bidang
pasar modal tidak mengatur lain, ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (3), dan ayat (4) berlaku juga bagi Perseroan Terbuka.
Pasal 51 Pemegang saham diberi bukti pemilikan saham untuk saham yang
dimilikinya. Pasal Pasal 52 Ayat (1) Saham memberikan hak kepada pemiliknya
untuk: (a) menghadiri dan mengeluarkan suara dalam RUPS; (b) menerima
pembayaran dividen dan sisa kekayaan hasil likuidasi; (c) menjalankan hak lainnya
berdasarkan undang- undang ini. Ayat (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berlaku setelah saham dicatat dalam daftar pemegang saham atas nama
pemiliknya. Ayat (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan
huruf c tidak berlaku bagi klasifikasi saham tertentu sebagaimana ditetapkan dalam
undang- undang ini. Ayat (4) Setiap saham memberikan kepada pemiliknya hak yang
tidak dapat dibagi.Ayat (5) Dalam hal 1 (satu) saham dimiliki oleh lebih dari 1 (satu)
orang, hak yang timbul dari saham tersebut digunakan dengan cara menunjuk 1
(satu) orang sebagai wakil bersama.
lx
4. Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 8/SEOJK.03/2016 tentang Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum Dan Pemenuhan Modal Inti Minimum Bank Perkreditan
Rakyat
a. Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum
Sesuai dengan Pasal 2 POJK KPMM BPR, BPR diwajibkan untuk menyediakan
modal minimum sebesar 12% (dua belas persen) dari ATMR paling lambat 31
Desember 2019.
b. Komponen Modal
Modal terdiri dari modal inti dan modal pelengkap.
c. Kewajiban Penyediaan Modal Inti Minimum
Sesuai POJK KPMM BPR, BPR diwajibkan untuk menyediakan modal inti minimum
sebesar 8% (delapan persen) dari ATMR paling lambat 31 Desember 2019.
d. Dana Setoran Modal
1) Dana setoran modal yang selanjutnya disingkat DSM diperhitungkan
sebagai modal inti apabila telah dicatat sebagai DSM Ekuitas. Dana setoran
modal sebagai bagian dari modal inti disetorkan dengan tujuan
penambahan modal yang oleh BPR ditempatkan dalam bentuk deposito pada
Bank Umum di Indonesia atas nama “Dewan Komisioner Otoritas Jasa
Keuangan q.q. (nama BPR)” dan mencantumkan keterangan nama penyetor
tambahan modal serta keterangan bahwa pencairannya hanya
dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan tertulis dari Otoritas Jasa
Keuangan dan/atau dalam bentuk deposito pada BPR yang bersangkutan atas
nama
”Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan q.q. (nama pemegang saham
penyetor)” dan mencantumkan keterangan bahwa pencairannya hanya dapat
dilakukan setelah mendapat persetujuan tertulis dari Otoritas Jasa Keuangan.
2) Pengakuan DSM Ekuitas yang berasal dari:
a) Setoran modal dalam bentuk deposito di Bank Umum
lxi
(1) BPR mencatat pertama kali DSM dalam bentuk deposito di
Bank Umum dalam pos DSM Kewajiban.
(2) Setelah mendapat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan,
BPR mengakui setoran modal yang telah ditempatkan dalam
bentuk deposito di Bank Umum menjadi DSM Ekuitas dengan
melakukan reklasifikasi pencatatan dari pos DSM Kewajiban ke
dalam pos DSM Ekuitas.
e. Pemenuhan Modal Inti Minimum
1. BPR harus menjaga jumlah modal inti minimum paling sedikit
Rp6.000.000.000,00 (enam milyar rupiah) sebagai berikut:
a. bagi BPR yang pada saat berlakunya POJK KPMM BPR memiliki modal inti
kurang dari Rp3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah) adalah setelah tanggal
31 Desember 2024;
b. bagi BPR yang pada saat berlakunya POJK KPMM BPR memiliki modal inti
paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah) namun kurang dari
Rp6.000.000.000,00 (enam milyar rupiah)
2. BPR dilarang melakukan distribusi laba jika:
a. Distribusi laba mengakibatkan menurunnya modal inti menjadi kurang
dari Rp6.000.000.000,00 (enam milyar rupiah); atau
b. BPR belum memenuhi modal inti minimum sebesar
Rp6.000.000.000,00 (enam milyar rupiah) atau telah memiliki modal inti
paling sedikit Rp6.000.000.000,00 (enam milyar rupiah) adalah setelah
tanggal 31 Desember 2019;
c. bagi BPR yang mendapatkan izin usaha dari Otoritas Jasa
Keuangandengan modal disetor kurang dari Rp6.000.000.000,00 (enam milyar
rupiah) setelah berlakunya POJK KPMM BPR adalah 5 (lima) tahun setelah
memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan.
5. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2016 tentang Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum Bank Umum
lxii
Pasal 2
(1) Bank wajib menyediakan modal minimum sesuai profil risiko.
(2) Penyediaan modal minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan
menggunakan rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM).
(3) Penyediaan modal minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling
rendah:
a. 8% (delapan persen) dari Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) bagi
Bank dengan profil risiko Peringkat 1;
b. 9% (sembilan persen) sampai dengan kurang dari 10% (sepuluh persen) dari
ATMR bagi Bank dengan profil risiko Peringkat 2;
c. 10% (sepuluh persen) sampai dengan kurang dari 11% (sebelas persen) dari
ATMR bagi Bank dengan profil risiko Peringkat 3; atau
d. 11% (sebelas persen) sampai dengan 14% (empat belas persen) dari ATMR bagi
Bank dengan profil risiko Peringkat 4 atau Peringkat 5.
(4) Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan modal minimum lebih besar
dari modal minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam hal Otoritas
Jasa Keuangan menilai Bank menghadapi potensi kerugian yang membutuhkan
modal lebih besar.
(5) Kewajiban pemenuhan modal mínimum sesuai profil risiko sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan:
a. pemenuhan modal mínimum posisi bulan Maret sampai dengan bulan Agustus
didasarkan pada peringkat profil risiko posisi bulan Desember tahun
sebelumnya;
b. pemenuhan modal mínimum posisi bulan September sampai dengan bulan
Februari tahun berikutnya didasarkan pada peringkat profil risiko posisi bulan
Juni;
c. dalam hal terjadi perubahan peringkat profil risiko di antara periode
penilaian profil risiko, pemenuhan modal minimum didasarkan pada peringkat
profil risiko terakhir.
lxiii
Pasal 3
(1) Selain kewajiban penyediaan modal minimum sesuai profil risiko sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, Bank wajib membentuk tambahan modal sebagai
penyangga (buffer) sesuai kriteria yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
(2) Tambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. Capital Conservation Buffer;
b. Countercyclical Buffer; dan/atau c. Capital Surcharge untuk D-SIB.
(3) Besarnya tambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur:
a. Capital Conservation Buffer ditetapkan sebesar 2,5% (dua koma lima persen)
dari ATMR;
b. Countercyclical Buffer ditetapkan dalam kisaran sebesar 0% (nol persen) sampai
dengan 2,5% (dua koma lima persen) dari ATMR;
c. Capital Surcharge untuk D-SIB ditetapkan dalam kisaran sebesar 1% (satu persen)
sampai dengan 2,5% (dua koma lima persen) dari ATMR.
(4) Besarnya persentase Countercyclical Buffer sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) huruf b berdasarkan penetapan otoritas yang berwenang.
(5) Otoritas Jasa Keuangan menetapkan besarnya persentase Capital Surcharge untuk
D-SIB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c.
(6) Dalam menetapkan besar Capital Surcharge untuk D-SIB sebagaimana dimaksud
pada ayat (5), Otoritas Jasa Keuangan berkoordinasi dengan otoritas yang
berwenang.
(7) Otoritas Jasa Keuangan dapat menetapkan persentase Capital Surcharge untuk D-
SIB yang lebih besar dari kisaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c.
(8) Pemenuhan tambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipenuhi
dengan komponen modal inti utama (Common Equity Tier 1).
(9) Pemenuhan tambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diperhitungkan
setelah komponen modal inti utama (Common Equity Tier 1) dialokasikan untuk
memenuhi kewajiban penyediaan:
lxiv
a. modal inti utama minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
ayat (3);
b. modal inti minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2); dan
c. modal minimum sesuai profil risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(3).
Pasal 6
(1) Kewajiban Bank untuk membentuk tambahan modal berupa Capital Conservation
Buffer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a berlaku secara
bertahap mulai tanggal 1 Januari 2016.
(2) Pembentukan Capital Conservation Buffer sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dipenuhi secara bertahap:
a. sebesar 0,625% (nol koma enam ratus dua puluh lima persen) dari
ATMR mulai tanggal 1 Januari 2016;
b. sebesar 1,25% (satu koma dua puluh lima persen) dari ATMR mulai tanggal 1
Januari 2017;
c. sebesar 1,875% (satu koma delapan ratus tujuh puluh lima persen) dari
ATMR mulai tanggal 1 Januari 2018; dan
d. sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari ATMR mulai tanggal 1 Januari 2019.
(3) Kewajiban Bank untuk membentuk tambahan modal berupa Countercyclical Buffer
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b mulai berlaku pada tanggal 1
Januari 2016.
(4) Kewajiban Bank untuk membentuk Capital Surcharge untuk D-SIB bagi Bank yang
ditetapkan berdampak sistemik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3)
huruf c mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2016.
(5) Metode perhitungan dan tata cara pembentukan Capital Surcharge untuk D-
SIB diatur lebih lanjut dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan.
(6) Otoritas Jasa Keuangan berkoordinasi dengan otoritas yang berwenang dalam
menetapkan metode perhitungan dan tata cara pembentukan Capital Surcharge
untuk D-SIB sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
lxv
6. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2013 tentang Pembentukan Perseroan Terbatas
Penjaminan Kredit Daerah Banten ( Lembaran Daerah Provinsi Banten Tahun 2013
Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Banten Nomor 49 )
a. Permodalan
Bab IV Tentang Permodalan. Pasal 5 ayat (1) Modal dasar P.T. JAMKRIDA
BANTEN sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). Ayat (2) Modal
disetor P.T. JAMKRIDA BANTEN paling sedikit Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima
miliar rupiah). Ayat (3) Perubahan modal dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ditetapkan melalui RUPS. Ayat (4) Modal dasar, modal disetor dan perubahan modal
dasar PT. JAMKRIDA BANTEN sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat
(3), diatur lebih lanjut dalam Anggaran Dasar.
b. Saham
Pasal 6 ayat (1) Saham PT JAMKRIDA BANTEN, dimiliki oleh Pemerintah Daerah.
Ayat (2) Selain kepemilikan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dapatdimiliki oleh: (a) Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota se-Provinsi Banten; (b)
Warga Negara Indonesia; dan (c) Badan Hukum Indonesia. Ayat (2) Komposisi Saham
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: (a) Pemerintah Daerah paling
rendah 51 % (lima puluh satu persen); dan (b) pemegang saham lainnya paling tinggi
49 % (empat puluh sembilanpersen).
Pasal 7 ayat (1) Saham yang dikeluarkan oleh PT JAMKRIDA BANTEN adalah
saham atas nama. Ayat (2) Nilai saham, hak dan kewajiban pemegang saham
ditetapkan melaluiRUPS.
7. Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2013 tentang Penyertaan Modal Daerah Ke Dalam
Perseroan Terbatas Penjaminan Kredit Daerah
Bab II Tentang Permodalan Pasal 4 ayat (1) Pemerintah Daerah melakukan
penyertaan modal ke dalam modal PT JAMKRIDA BANTEN, sebesar Rp51.000.000.000,-
(lima puluh satumilyar rupiah). Ayat (2) Besarnya nilai Penyertaan Modal Daerah
lxvi
sebagaimana dimaksud padaayat (1), disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah
padatahun anggaran berkenaan
8. Anggaran Dasar Perseroan Terbatas Penjaminan Kredit Daerah Banten, Akta Pendirian
No. 10 tanggal 24-09-2014 yang dibuat Notaris Rovandy Abdams SH dan Berita Acara
Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT. Jamkrida Banten No. 3 Tanggal 16 April
2015 Pasal 4 ayat 1 tentang Modal Dasar Perseroan.
Pasal 4 ayat (1) Modal dasar Perseroan berjumlah Rp 100.000.000.000,- (seratus
milyar rupiah), yang terbagi atas 100.000 (seratus ribu) saham, masing-masing saham
bernilai nominal sebesar Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah). Ayat (2) Dari modal dasar
tersebut telah ditempatkan dan disetor 28,5 % (duapuluh delapan koma lima persen)
atau sejumlah 28.500 (duapuluh delapan ribu limaratus) saham dengan nilai nominal
seluruhnya sebesar Rp 28.500.000.000,- (duapuluh delapan milyar limaratus juta rupiah)
oleh para pendiri yang telah mengambil bagian saham dengan rincian dan nilai nominal
saham yang disebutkan pada bagian akhir, angka 1 sebelum penutup akta. Ayat (3)
Penambahan modal perseroan dilakukan menurut keperluan perseroan dandilakukan
sesuai ketentuan Pasal 41, Pasal 42 dan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut “UUPT”).
9. Berita Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT. Penjaminan Kredit Daerah Banten
tanggal 16 April 2015 Putusan Rapat Butir B
Merubah Modal Ditempatkan dan Disetor Perseroan yang termuat dalam pasal 4
dan angka 1 bagian akhir Anggaran Dasar Perseroan menjadi:
Pasal 4 ayat (1) Modal dasar Perseroan berjumlah Rp100.000.000.000, (seratus
milyar rupiah), yang terbagi atas 100.000 (seratus ribu) saham, masingmasing saham
bernilai nominal sebesar Rp1.000.000, (satu juta rupiah). Ayat (2) Dari modal dasar
tersebut telah ditempatkan dan disetor 55 % (limapuluh lima persen) atau sejumlah
55.000 (limapuluh lima ribu) saham dengan nilai nominal seluruhnya sebesar
Rp55.000.000.000, (limapuluh lima milyar rupiah) oleh para pendiri yang telah
lxvii
mengambil bagian saham dengan rincian dan nilai nominal saham yang disebutkan pada
bagian akhir, angka 1 sebelum penutup akta. Ayat (3) Penambahan modal perseroan
dilakukan menurut keperluan perseroan dan dilakukan sesuai ketentuan Pasal 41, Pasal
42 dan Pasal 43 UndangUndang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
(selanjutnya disebut “UUPT”).
Angka 1 bagian akhir Anggaran Dasar Perseroan: Ayat (1) Modal ditempatkan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat 2 telah diambil bagian dengan disetor penuh
dengan uang tunai melalui kas perseroan oleh para pemegang saham: (a) Pemerintah
Provinsi Banten, sejumlah Rp49.500.000.000 (Empat puluh sembilan milyar lima ratus
juta rupiah) atau 49.500 lembar saham; (b) PT Banten Global Development, sejumlah
Rp5.500.000.000 (Lima milyar lima ratus juta rupiah) atau 5.500 lembar saham;
10. Perda Pemerintah Kabupaten Lebak Provinsi Banten No 7 tahun 2015 tentang
Penggabungan 3 (tiga) Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat, Lembaga
Perkreditan Kecamatan, 9 (Sembilan) Perusahaan Daerah Perkreditan Kecamatan, dan
Perubahan Bentuk Badan Hukum.
Pasal 2 menjelaskan bahwa dengan peraturan daerah ini menggabungkan PD
BPR LPK Cipana, dan PD BPR LPK Malimping ke dalam PD BPR LPK Warunggunung.
Pasal 4 ayat (1) pada saat penggabungan PD PBR LPK Warunggunung dimiliki
oleh 4 (Empat pemegang saham yaitu: (a) Pemerintah Daerah dengan komposisi Saham
55%, (b) Pemerintah Provinsi Jawa Barat dengan Komposisi saham 15%, Pemerintah
Provinsi banten dengan komposisi saham 15%, dan PT Bank bjb 15%.
Pasal 5 ayat (1) Modal dasar PD BPR LPK Warunggunung ditetapkan paling sedikit
sebesar Rp24.000.000.000,00 ( dua puluh empat miliar rupiah). Ayat (2) kewajiban para
pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 paa pemenuhan modal dasar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: (a) pemerintah Provinsi Jawa Barat paling
banyak sebesar 15% atau sebesar Rp3,6 miliar rupiah; (b) pemerintah Provinsi Banten
paling banyak sebesar 15% atau sebesar Rp3,6 miliar rupiah, (c) PT bank Jabar Banten
paling banyak sebesar 15% atau sebesar Rp3,6 miliar rupiah. Ayat (3) pemenuhan modal
lxviii
dasar oleh para pemegang saham sebagaimana dimaksud ayat (2) dilakukan melalui
penyertaan modal, sesuai ketentuan peraturan perundang-undagan.
lxix
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
Secara teoritis, pembuatan sebuah Peraturan Daerah mendasarkan pada 3 (tiga) dasar
pemikiran, yaitu dasar filosofis, dasar Sosiologis dan Dasar Yuridis.
A. Dasar Filosofis
Dasar filosofis merupakan dasar filsafat atau pandangan hidup yang menjadi
dasar cita-cita sewaktu menuangkan hasrat ke dalam suatu rancangan/draft peraturan
perundang-undangan.
Dasar filosofis dari penyusunan Raperda tentang Penyertaan Modal Pemerintah
Daerah kepada PT. BPD Jabar Banten, Tbk, PT Jamkrida Banten, PD. BPR Pandeglang
Berkah dan PD. BPR LPK Warunggunung adalah adanya:
1. Keinginan untuk memenuhi Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor
8/SEOJK.03/2016 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Dan Pemenuhan
Modal Inti Minimum Bank Perkreditan Rakyat
2. Keiginan untuk memenuhi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
11/POJK.03/2016 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum
3. Keinginan dari perancang Raperda untuk menjalankan kewajiban Pemerintah
Provinsi Banten sebagai pemegang saham dalam pemenuhan modal dasar pada
empat BUMD tersebut.
Pemenuhan modal dasar diperlukan dengan tujuan: (1) agar rencana usaha
BUMD dapat dijalankan sehingga target dan sasaran perusahaan dapat dicapai apabila
asumsinya sesuai dengan kenyataan,; (2) mendukung pertumbuhan usaha adalah
keharusan dan sudah menjadi komitmen pemegang saham; (3) menjadi pemegang
saham mayoritas adalah amanat UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah,
sehingga dengan penambahan penyertaan modal kepada BUMD akan tetap
menempatan Pemerintah Provinsi Banten sebagai pemilik mayoritas.
lxx
B. Dasar Sosiologis
Dasar sosiologis merupakan dasar yang terdiri atas fakta-fakta yang merupakan
tuntutan kebutuhan masyarakat yang mendorong perlunya pembuatan perundang-
undangan, yaitu bahwa ada sesuatu yang pada dasarnya dibutuhkan oleh masyarakat
sehingga perlu pengaturan.
Secara sosiologis, Negara diharapkan dapat hadir di berbagai sektor yang sangat
dibutuhkan oleh masyarakat terutama kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan
fisik/jasmani, rasa aman, sosial, penghormatan, dan aktualisasi diri. Dengan adanya
modal kerja akan terpenuhi kebutuhan fisik/jasmani. Dengan adanya lembaga
penjaminan maka akan tercipta rasa aman atas kredit yang diambil. Dengan adanya
penghasilan dan perlindungan rasa aman akan semakin mudah dalam memenuhi
kebutuhan sosial dan penghormatan. Pada akhirnya upaya pemenuhan kebutuhan
aktualisasi diri masyakat dapat tercapai dengan baik.
Secara sosiologi, kehadiran Negara dan keuntungan atas lengkah kebijakan
ekonomi yang diambil pemerintah Provinsi banten dapat dinikmati baik oleh masyarakat
perkotaan, daerah penyangga perkotaan, maupun daerah 3T (terluar, terjauh, dan
tertinggal) khususnya daerah/wilayah selatan.
Dasar sosiologis dari Raperda tentang Penyertaan Modal Pemerintah Daerah
kepada PT. BPD Jabar Banten, Tbk, PT Jamkrida Banten, PD. BPR Pandeglang Berkah dan
PD. BPR LPK Warunggunung adalah adanya kebutuhan masyarakat akan kehadiran
lembaga keuangan yang lebih kuat dari sisi permodalannya sehingga dapat lebih leluasa
dalam membuka akses terhadap lembaga pembiayaan untuk meningkatkan
kemampuan pendanaan yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam menjalankan
usahanya.
C. Dasar Yuridis
Dasar Yuridis atau dasar hukum adalah dasar kewenangan pembentukan
peraturan perundang-undangan atau dasar peraturan perundang-undangan yang
memerintahkan pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
lxxi
Berikut landasan yuridis secara lengkap yang dipergunakan dalam penyusunan
Raperda Penyertaan Modal Pemerintah Daerah kepada PT. BPD Jabar Banten, Tbk, PT
Jamkrida Banten, PD. BPR Pandeglang Berkah dan PD. BPR LPK Warunggunung:
1. Pasal 18 ayat (6) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Banten
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4210);
3. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70)
4. Undang-undang No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5)
5. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia
6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244);
7. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4756);
8. Undang Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 93, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4866);
9. Undang Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 212, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5355);
10. Undang Undang No 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2016 Nomor 9)
11. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4578);
lxxii
12. Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2008 tentang Lembaga Penjaminan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4812);
13. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 222/PMK.010/2008 tentang Perusahaan
Penjaminan Kredit dan Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 99/PMK.010/2011 tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 222/PMK.010/2008 tentang
Perusahaan Penjaminan Kredit dan Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit
14. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor Nomor 6/Pojk.05/2014 Tentang
Penyelenggaraan Usaha Lembaga Penjaminan
15. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 5/POJK.03/2015 tentang
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum dan Pemenuhan Modal Inti Minimum
Bank Perkreditan Rakyat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5686),
16. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2013 tentang Pembentukan Perseroan Terbatas
Penjaminan Kredit Daerah Banten ( Lembaran Daerah Provinsi Banten Tahun 2013
Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Banten Nomor 49);
17. Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2013 tentang Penyertaan Modal Daerah Ke
Dalam Perseroan Terbatas Penjaminan Kredit Daerah Banten
18. Anggaran Dasar Perseroan Terbatas Penjaminan Kredit Daerah Banten , Akta
Pendirian No. 10 tanggal 24092014 yang dibuat Notaris Rovandy Abdams SH dan
Berita Acara Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT. Jamkrida Banten No. 3
Tanggal 16 April 2015
19. Peraturan Daerah Kabupaten Lebak No 7 tahun 2015 tentang Penggabungan 3
(tiga) Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat Lembaga Perkreditan
Kecamatan, 9 (sembilan) Perusahaan Daerah Perkreditan Kecamatan dan
Perubahan Bentuk Hukum, menjadi Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat
Lembaga Perkreditan Kecamatan (PD. BPR LPK ) WARUNGGUNUNG.
lxxiii
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUP
MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH
Dalam Bab ini akan menghasilkan konsep peraturan daerah yang memiliki karakteristik
sebagai salah satu jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, sehingga tidak keluar dari
kaidah-kaidah/ asas-asas yang menyatakan bahwa, semakin tinggi hierarki peraturan maka
materi yang diatur semakin luas/abstrak, sebaliknya, semakin rendah peraturan maka
materinya semakin sempit/teknis. Jika hal ini dipegang sebagai dasar bagi penyusun peraturan
maka materi yang dihasilkan tidak akan memasukkan kepentingan pribadi, kelompok/golongan
yang dapat mengakibatkan produk yang dihasilkan kontroversial, diskriminatif atau bahkan
bertentangan dengan kepentingan umum.
D. Jangkauan Pengaturan
Kata jangkauan sering digunakan dalam beragam kegiatan, begitu juga dalam
perundang-undangan, jangkauan sudah menjadi hal yang perlu dikaji keberdaannya apakah
memang termasuk ke dalam jangkauan substansi perda atau mungkin melebihi jangkauan yang
seharusnya di atur dalam perda.
Setiap peraturan memiliki jangkauan atau sejauhmana peraturan memiliki daya ikat dan
daya laku, sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa Peraturan Daerah hanya berlaku di
daerahnya saja tidak ke daerah yang lain. Oleh karena itu, ketika peraturan daerah diberlakukan
maka setiap orang yang berada di wilayah tersebut harus tunduk dan taat terhadap peraturan
yang ada termasuk pendatang (bukan warga).
Raperda tentang penyertaan modal pemerintah daerah kepada PT. BPD Jabar Banten,
Tbk, PT Jamkrida Banten, PD. BPR Pandeglang Berkah dan PD. BPR LPK Warunggunung
memiliki jangkauan sebagai berikut:
1. Memberikan landasan hukum bagi aparatur di daerah dalam memberikan penyertaan
modal Pemerintah Provinsi Banten kepada kepada PT. BPD Jabar Banten, Tbk, PT
Jamkrida Banten, PD. BPR Pandeglang Berkah dan PD. BPR LPK Warunggunung;
2. Menjadi dasar hukum dalam mengembangkan kegiatan usaha dan mendorong
lxxv
Secara Kamus Bahasa Indoenesia ruang lingkup tidak memiliki definisi yang baku,
namun kata ini cukup popeler dalam membatasi tema/kajian dari permasalahan, khusus
untuk ruang lingkup dalam Raperda tentang penyertaan modal Pemerintah Provinsi Banten
kepada kepada PT. BPD Jabar Banten, Tbk, PT Jamkrida Banten, PD. BPR Pandeglang Berkah
dan PD. BPR LPK Warunggunung seperti yang diuraikan dalam Bab 1 sampai dengan BAB IV
terdapat kejelasan ruang lingkup yang diatur dalam raperda tentang penyertaan modal
Pemerintah Provinsi Banten, dimana menurut Pasal 156 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 tentang Peraturan Daerah, paling sedikit mengatur mengenai:
a. maksud penyertan modal;
b. tujuan penyertaan modal;
c. besarnya penyertaan modal Pemerintah Provinsi;
d. waktu dan tahapan penyertaan modal;
e. hak pemerintah provinsi atas penyertaan modal;
f. kwajiban pihak yang menerima penyertaan modal;
g. laporan administrasi pihak yang menerima penyertaan modal;
h. pihak yang melakukan evaluasi;
i. Pembagian laba perusahaan;
j. cara pemberian laba perusahaan kepada pemerintah provinsi; dan
k. ketentuan penutup
Berdasarkan uraian di atas, penulis berpandangan agar ruang lingkup mampu
memberikan batasan terhadap materi muatan yang diatur dalam setiap Bab, Pasal perpasal
maka rincian ruang lingkup dapat terdiri dari:
a. Materi umumnya, Raperda menyertakan modal pemerintah daerah Provinsi Banten
kepada PT. BPD Jabar Banten, Tbk, PT Jamkrida Banten, PD. BPR Pandeglang Berkah dan
PD. BPR LPK Warunggunung yang wajib diatur yaitu sebagaimana dalam Pasal 332 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
b. Materi khusus yang wajib diatur yaitu BAB mengenai Penyertaan Modal.
lxxvi
c. Materi tambahan yaitu materi yang keberadaanya mendukung penyertaan modal,
sebagaimana tercantum dalam Pasal 333 ayat (1 s.d 5) Pasal 334 ayat (1 s.d 3) Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
Selanjutnya dalam menguraikan keseluruhan dari ruang lingkup dengan bentuk
kerangka peraturan daerahnya adalah sebagaimana Undang-Undang 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan meliputi:
lxxvii
j. UU No 1 Tahun 2016 sebagai dasar penyelenggaraan Penjaminan;
k. PP Nomor 58 Tahun 2005 sebagai dasar Pengelolaan Keuangan Daerah;
l. Peraturan Menteri Dalam Negeri No 13 Tahun 2006 sebagai Pedoman Pengelolaan
Keuangan daerah;
m. Peraturan Menteri Dalam Negeri No 52 Tahun 2012 Tentang Pedoman Pengelolaan
Investasi Pemerintah Daerah;
n. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2013 sebagai dasar pembentukan Perseroan
Terbatas Penjaminan Kredit Daerah Banten;
o. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2007 sebagai dasar Penyertaan Modal Daerah Ke
Dalam Modal Saham Perusahaan Daerah Banten Global Development, PT. Bank
Jabar, Bank Perkreditan Rakyat dan Lembaga Perkreditan Kecamatan di Provinsi
Banten;
p. Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2013 sebagai dasar Penyertaan Modal Daerah Ke
Dalam Perseroan Terbatas Penjaminan Kredit Daerah Banten.
5. Diktum;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI BANTEN
dan
GUBERNUR BANTEN
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN DAERAH TENTANG PENYERTAAN MODAL DAERAH PADA PT.
BPD JABAR BANTEN, Tbk, PT JAMKRIDA BANTEN, PD. BPR PANDEGLANG
BERKAH DAN PD. BPR LPK WARUNGGUNUNG.
6. Ketentuan Umum;
Berisi batasan pengertian yang sebelumnya pengertian tersebut ada pada peraturan
perundang-undangan lainnya, rumusannya adalah sebagai berikut:
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksudkan dengan:
1. Daerah adalah Provinsi Banten.
2. Pemerintah Daerah adalah Gubernur beserta Perangkat Daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan Daerah.
lxxviii
3. Gubernur adalah Gubernur Banten.
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Banten sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan Daerah.
5. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disingkat
APBD adalah
rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang
dibahas dan disetujui
bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD,
dan ditetapkan dengan peraturan
daerah.
6. Penyertaan Modal Daerah adalah penempatan dan/atau penambahan sejumlah
dana dan/atau barang oleh Pemerintah Daerah untuk memperoleh manfaat
ekonomi, sosial, dan/atau manfaat lainnya.
7. Perseroan Terbatas (PT) Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat Banten.Tbk yang
selanjutnya disebut PT Bank JabarBanten adalah badan hukum yang didirikan
berdasarkan Akta Notaris Popy Kuntari Sutresna Nomor 4 tanggal 8 April 1999 dan
telah mendapat pengesahan dari Menteri Kehakiman pada tanggal 16 April 1999
dengan Keputusannya Nomor C-7103.HT .01.01.TH.99.
8. Perseroan Terbatas Penjaminan Kredit Daerah Banten yang selanjutnya disebut P.T.
JAMKRIDA BANTEN adalah Badan Usaha Milik Daerah yang didirikan dan saham
mayoritasnya dimiliki oleh Pemerintah Provinsi Banten.
9. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disebut BPR yaitu bank yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang dalam kegiatannya tidak
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang mengenai perbankan.
10. Kas Umum Daerah adalah tempat penyimpanan uang daerah yang ditentukan oleh
Kepala Daerah untuk menampung seluruh penerimaan daerah dan digunakan untuk
membayar seluruh pengeluaran daerah.
11. Rapat Umum Pemegang Saham, yang selanjutnya disebut RUPS adalah organ
Persero yang memegang kekuasaan tertinggi dalam Persero dan memegang segala
lxxix
wewenang yang tidak diserahkan kepada Direksi atau Komisaris.Nama Retribusi
7. Maksud penyertaan modal
8. tujuan penyertaan modal;
9. besarnya penyertaan modal Pemerintah Provinsi;
10. waktu dan tahapan penyertaan modal;
11. hak pemerintah provinsi atas penyertaan modal;
12. kwajiban pihak yang menerima penyertaan modal;
13. laporan administrasi pihak yang menerima penyertaan modal;
14. pihak yang melakukan evaluasi;
15. Pembagian laba perusahaan;
16. cara pemberian laba perusahaan kepada pemerintah provinsi; dan
17. ketentuan penutup
18. Penjelasan.
Keselurahan kerangka di atas, selanjutnya penulis tuangkan dalam lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Naskah Akademik ini.
lxxx
BAB VI
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian Bab I sampai dengan Bab V, dapat disimpulkan mengenai pokok
pikiran yang berkaitan dengan kajian akademis Raperda tentang Penyertaan Modal
Pemerintah Daerah kepada PT. BPD Jabar Banten, Tbk, PT Jamkrida Banten, PD. BPR
Pandeglang Berkah, dan PD. BPR LPK Warunggunung, yaitu:
1. Bahwa urgensitas Pembentukan Peraturan Daerah Provinsi Banten tentang Penyertaan
Modal Pemerintah Daerah kepada PT. BPD Jabar Banten, Tbk, PT Jamkrida Banten, PD.
BPR Pandeglang Berkah, dan PD. BPR LPK Warunggunung sebagai dasar dalam
penyertaan modal sangat erat kaitannya dengan “legalitas yang dipersyaratkan oleh
peraturan perundang-undangan”, bahwa besarnya penyertaan modal ditetapkan dengan
Peraturan Daerah. Dengan demikian, selama Pemerintah Daerah tidak membentuk Perda
maka Penyertaan Modal Pemerintah Daerah kepada PT. BPD Jabar Banten, Tbk, PT
Jamkrida Banten, PD. BPR Pandeglang Berkah, dan PD. BPR LPK Warunggunung tidak
dapat dilaksanakan.
2. Bahwa yang menjadi sasaran, ruang lingkup pengaturan dan jangkauan Rancangan
Peraturan Daerah Provinsi Banten tentang Penyertaan Modal Pemerintah Daerah kepada
PT. BPD Jabar Banten, Tbk, PT Jamkrida Banten, PD. BPR Pandeglang Berkah, dan PD. BPR
LPK Warunggunung dapat dibagi ke dalam tiga hal:
a. Sasaran yang meliputi:
1) Mewujudkan tertib hukum Penyertaan Modal Pemerintah Daerah kepada PT.
BPD Jabar Banten, Tbk, PT Jamkrida Banten, PD. BPR Pandeglang Berkah, dan PD.
BPR LPK Warunggunung;
2) meningkatkan Pendapatan Asli Daerah guna menunjang pembangunan daerah
3) memberikan pelayanan optimal kepada Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah dalam hal penjaminan kredit;
4) memenuhi modal disetor Pemerintah Daerah;
lxxxi
5) mengembangkan investasi Daerah;
6) meningkatkan permodalan; dan
7) meningkatkan perekonomian masyarakat.
lxxxii
3) Materi tambahan yaitu materi yang keberadaanya mendukung penyertaan
modal, sebagaimana tercantum dalam Pasal 333 ayat (1 s.d 5) Pasal 334 ayat (1
s.d 3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
lxxxiii
B. Saran
Untuk efektivitas Peraturan Daerah tentang menyertakan modal pemerintah daerah
Provinsi Banten kepada PT. BPD Jabar Banten, Tbk, PT Jamkrida Banten, PD. BPR Pandeglang
Berkah dan PD. BPR LPK Warunggunung, Pemerintah Provinsi Banten disarankan untuk:
1) Melakukan penyertaan modal kepada BUMD yang benar-benar diyakini dapat
menghasilkan keuntungan dalam peningkatan PAD, bukan membebani APBD;
2) Melakukan penyertaan modal sesuai dengan jadwal pencairannya, sehingga dapat
menerima keuntungan sesuai dengan proporsi modal yang disertakan secara tepat waktu
juga.
3) Melakukan penyertaan modal sebagai bentuk perhatian pemerintah daerah Provinsi
Banten ke seluruh daerah bukan hanya kepada daerah perkotaan tetapi juga daerah
pinggiran terutama daerah selatan yang selama ini merasa kurang diperhatikan.
lxxxiv
DAFTAR PUSTAKA
Hasnah Pujiastuti. 2004. Partisipasi Politik Wanita Jepang Kontemporer. Deskripsi Dokumen:
http://lib.ui.ac.id/opac/ui/detail.jsp
Halim, Abdul. 2004. Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan
Akademi Manajemen Perusahaan YKPN
Ali, Zainuddin. 2009. Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika
Berita Acara Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT. Jamkrida Banten No. 3 Tanggal 16
April 2015
Berita Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT. Penjaminan Kredit Daerah Banten tanggal
16 April 2015
Biro Ekonomi dan Administrasi Pembangunan Setda Provinsi Banten. 2013. Naskah Akademik
Retribusi Perpanjangan IMTA, Serang: Biro Ekbang.
Buletin Teknis Nomor 02 Tahun 2005 tentang Penyusunan Neraca Awal Pemerintah Daerah
Kemendikbud. 2015. Jumlah Pengangguran Terdidik. Laporan Kajian. Jakarta: Kemendikbud.
Soerjono Soekamto, 1981. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press
Peraturan Perundangan
Akta Notaris Popy Kuntari Sutresna Nomor 4 tanggal 8 April 1999 (Pengesahan dari Menteri
Kehakiman pada tanggal 16 April 1999 dengan Keputusannya Nomor C-
7103.HT.01.01.TH.99)
Anggaran Dasar Perseroan Terbatas Penjaminan Kredit Daerah Banten, Akta Pendirian No. 10
tanggal 24-09-2014 yang dibuat Notaris Rovandy Abdams SH.
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
lxxxv
Peraturan Daerah Provinsi Banten Nomor 3 Tahun 2007 tentang Penyertaan Modal Daerah Ke
Dalam Modal Saham Perusahaan Daerah Banten Global Development, PT. Bank Jabar,
Bank Perkreditan Rakyat dan Lembaga Perkreditan Kecamatan di Provinsi Banten
Peraturan Daerah Provinsi Banten No. 3 Tahun 2013 tentang Perusahaan Penjaminan Kredit
Daerah (Jamkrida) Provinsi Banten.
Peraturan Daerah Provinsi Banten Nomor 4 Tahun 2013 tentang Penyertaan Modal Pada
Jamkrida Banten
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1998 tentang Bentuk Badan Hukum BUMD
Peraturan Menteri Dalam Negeri No 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
daerah
Peraturan Menteri Dalam Negeri No 52 Tahun 2012 Tentang Pedoman Pengelolaan Investasi
Pemerintah Daerah
Peraturan Bank Indonesia Nomor : 6/10/PBI/2004 www.bi.go.id
Perda Pemerintah Kabupaten Lebak Provinsi Banten No 7 tahun 2015 tentang Penggabungan 3
(tiga) Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat, Lembaga Perkreditan Kecamatan, 9
(Sembilan) Perusahaan Daerah Perkreditan Kecamatan, dan Perubahan Bentuk Badan
Hukum
POJK Nomor 11/POJK.03./2016 tentang Kwajiban Modal Minimal Bank Umum
POJK Nomor 5/POJK.05/2016 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Lembaga Penjaminan
SE OJK Nomor 8 /SEOJK.03/2016, tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum dan
Pemenuhan Modal Inti Minimum Bank Perkreditan Rakyat
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Banten
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN
Undang-undang No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
UndangUndang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor No. 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan
lxxxvi
RANCANGAN
TENTANG
GUBERNUR BANTEN,
lxxxviii
5. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4756);
xc
GUBERNUR BANTEN
MEMUTUSKAN
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PENYERTAAN MODAL DAERAH
PADA PT. BPD Jabar Banten, Tbk, P.T. JAMKRIDA BANTEN, PD
BPR PANDEGLANG BERKAH, DAN PD BPR LPK WARUNGGUNUNG
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
11. Rapat Umum Pemegang Saham, yang selanjutnya disebut RUPS adalah organ
Persero yang memegang kekuasaan tertinggi dalam Persero dan memegang
segala wewenang yang tidak diserahkan kepada Direksi atau Komisaris.
Pasal 2
Maksud dari penyertaan modal daerah ke dalam Ke Dalam PT. Bank Jabar
Banten, PT. Jamkrida Banten, PD BPR Pandeglang Berkah dan PD. BPR LPK
Warunggunung adalah untuk mengembangkan kegiatan usaha dan
memperkuat struktur permodalan, mendorong pertumbuhan
perekonomian daerah, pemberdayaan perekonomian masyarakat sehingga
memperoleh manfaat sosial, ekonomi, meningkatkan efisiensi, produktifitas
dan efektifitas pemanfaatan sumber daya yang ada.
Pasal 3
Penyertaan Modal Daerah Ke Dalam PT. Bank Jabar Banten, PT. Jamkrida
Banten, PD BPR Pandeglang Berkah dan PD. BPR LPK Warunggunung
xcii
bertujuan untuk:
BAB II
PENYERTAAN MODAL
Pasal 4
Pasal 5
BAB III
Pasal 5
PT. Bank Jabar Banten, P.T. JAMKRIDA BANTEN, PD BPR Pandeglang Berkah,
dan PD BPR LPK Warunggunung yang menerima penyertaan modal daerah,
setiap tahun wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada
Gubernur selaku pemegang saham baik didalamRUPS maupun di luar RUPS
berupa Laporan Tahunan dan laporan keuangan perusahaan.
Pasal 6
PT. Bank Jabar Banten, PT. JAMKRIDA BANTEN, PD BPR Pandeglang Berkah,
dan PD BPR LPK Warunggunung sebagai penerima penyertaan modal daerah
berkewajiban:
BAB IV
xciv
LAPORAN DAN EVALUASI
Pasal 7
. (1) PT. Bank Jabar Banten, P.T. JAMKRIDA BANTEN, PD BPR Pandeglang Berkah,
dan PD BPR LPK Warunggunungyang menerima penyertaan modal
daerah, setiap enam bulanan wajib menyampaikan laporan kepada
pemegang saham berupa laporan kinerja dan laporan keuangan
semester berjalan.
BAB V
HASIL USAHA
Pasal 8
. (2) Deviden atas laba sebagaimana ayat (1) disetor langsung ke Kas Umum
Daerah.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
xcv
Pasal 9
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap
orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Banten.
GUBERNUR BANTEN,
TTD
Diundangkan di Serang
TTD
H. RANTA SOEHARTA
xcvi
PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN
TENTANG
PENYERTAAN MODAL DAERAH KE DALAM PT. BPD BJB, TBK , P.T. JAMKRIDA
BANTEN, PD BPR PANDEGLANG BERKAH, DAN PD BPR LPK WARUNGGUNUNG
I. UMUM
a. PT BPD BJB merupakan Perseroan Terbatas (PT) Bank Pembangunan
Daerah Jawa Barat Banten yang selanjutnya disebut PT Bank Jabar
Banten adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan Akta Notaris
Popy Kuntari Sutresna Nomor 4 tanggal 8 April 1999 dan telah
mendapat pengesahan dari Menteri Kehakiman pada tanggal 16 April
1999 dengan Keputusannya Nomor C-7103.HT .01.01.TH.99.
b. P.T. Jamkrida Banten merupakan Perseroan Terbatas milik Provinsi
Banten yang dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun
2013 tentang Pembentukan Perseroan Terbatas Penjaminan Kredit
Daerah Banten. Dimana Perseroan Terbatas tersebut memberikan
jasa penjaminan kredit untuk penguatan permodalan Koperasi dan
Usaha, Mikro, Kecil dan Menengah yang ditujukan bagi kesejahteraan
rakyat yang diharapkan mampu memberikan pelayanan sebaik-
baiknya kepada masyarakat, meningkatkan perekonomian daerah
dan memberikan kontribusi terhadap pendapatan asli daerah.
xcvii
Jamkrida Banten, PD BPR Pandeglang Berkah dan PD. BPR LPK
Warunggunung
xcviii