Anda di halaman 1dari 81

IMPLEMENTASI MERIT SYSTEM DALAM PROMOSI

JABATAN APARATUR SIPIL NEGARA


DI KABUPATEN BUTON

PROPOSAL PENELITIAN

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Guna Penyusunan Tesis Pada


Program Pascasarjana Administrasi Negara Universitas Dayanu Ikhsanuddin
Baubau

Disusun
Oleh

JASMAL BAHARUDDIN
NPM. 216 110 028

PROGRAM PASCASARJANA ADMINISTRASI NEGARA


UNIVERSITAS DAYANU IKHSANUDDIN
BAUBAU
2021
i
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL.................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN....................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................ 1
A. Konteks Penelitian................................................................................. 1
B. Fokus Penelitian..................................................................................... 5
C. Rumusan Masalah.................................................................................. 6
D. Tujuan Penelitian................................................................................... 6
E. Kegunaan Penelitian............................................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 8
A. Tinjauan Hasil Penelitian....................................................................... 8
B. Tinjauan Teori dan Konsep.................................................................... 10
1. Konsep Kebijakan Publik................................................................ 10
2. Konsep Implementasi Kebijakan..................................................... 25
3. Model-Model Implementasi Kebijakan Publik................................ 30
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Implementasi
Kebijakan Publik.............................................................................. 42
5. Konsep Merit Sistem........................................................................ 48
6. Konsep Promosi Jabatan.................................................................. 56
7. Syarat-Syarat atau Indikator Promosi Jabatan................................. 60
C. Kerangka Pikir........................................................................................ 64
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................... 65
A. Desain dan Pendekatan Penelitian......................................................... 65
1. Desain Penelitian................................................................................ 65
2. Pendekatan Penelitian......................................................................... 65
B. Fokus Penelitian dan Definisi Konseptual............................................. 66
1. Fokus Penelitian.................................................................................. 66
2. Definisi Konseptual............................................................................ 66
C. Jenis Data, Sumber Data, dan Teknik Penentuan Informan................... 69

ii
1. Jenis Data........................................................................................... 69
2. Sumber Data....................................................................................... 70
3. Teknik Penentuan Informan............................................................... 71
D. Teknik Pengumpulan Data.................................................................... 71
E. Teknik Analisis Data............................................................................. 73
F. Lokasi dan Jadwal Penelitian................................................................. 73
1. Lokasi Penelitian............................................................................... 73
2. Jadwal Penelitian.............................................................................. 74
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 75

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Konteks Penelitian

Upaya Menpan dan Reformasi Birokrasi dalam memberikan

penghargaan bagi ASN yang berprestasi dalam berinovasi membuktikan

betapa seriusnya pemerintah dalam menanggapi masalah profesionalisme

ASN dimana salah satu langkah yang dilakukan dengan melaksanakan Merit

System yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014

tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). UU ini secara tegas melaksanakan

dan mewujudkan sistem merit dalam menata manajemen pemerintahan.

Merit system dalam praktik pemerintahan sudah lama dikenal dan

dilaksanakan. Akan tetapi, perwujudannya jauh dari yang seharusnya terjadi.

Merit system merupakan penempatan seseorang dengan jabatan pimpinan

tinggi berdasarkan kompetensi yang dimiliki. Namun praktek yang tejadi

sekarang ini proses merit sytem sudah mulai terkontaminasi dengan

praktekpraktek monopoli, terjadi sistem rekrutmen yang terindikasi

pengaruh partai politik dan masih banyak lagi praktek lainnya yang

mempengaruhi sistem ini, sehingga tidak berjalan dengan baik. Undang-

undang nomor 5 tahun 2014 tentang ASN dirasa masih kurang berkerja

maksimal. Penerapan merit system dalam manajemen ASN sudah

diterapkan di negara-negara maju. Oleh karena itu, diharapkan Indonesia

dapat lebih meningkatkan kualitas dan kompetensi pejabat pimpinan tinggi

yang ada. Dengan merit system tersebut diharapkan nantinya tidak ada lagi

penempatan jabatan pimpinan tinggi yang berdasarkan penilaian subjektif.

1
Setiap pegawai sangat besar peluang kesempatan untuk berprestasi.

Hal ini diawali dengan rekrutmen, pengembangan, penempatan dalam Job

Promosi, sesuai pada uraian isi Undang-undang ASN pasal 70 ayat

(1) ”Bahwa setiap pegawai memiliki hak dan kesempatan untuk

mengembangkan kompetensi. Yang artinya setiap pegawai pemerintah

berhak mendapatkan pendidikan baik formal maupun informal.

Buruknya indikator kinerja aparat pelayanan publik Aparatur Sipil

Negara (ASN) di Indonesia, ditunjukan oleh pelayanan yang birokratif ;

selain itu juga biaya yang tinggi (high cost economy); masih ada juga

pungutan-pungutan, serta adanya perlakuan aparat yang bersikap sebagai

pejabat ketimbang abdi masyarakat; dari segi pelayanan masih ada yang

diskriminatif; lamban dalam memberikan pelayanan; kurang berminat dalam

mensosialisasikan program penting dan yang paling paranya lagi

penempatan ASN tidak berdasarkan bidang ilmu yang dimiliki. Tentunuya

kondisi seperti ini harus perlu diperhatikan sehingganya dengan penerapan

merit ystem ini sekiranya dapat dilakukan dengan baik dan benar tanpa ada

tindakan Korupsi, kolusi dan nepotisme sehingga kedepan keberadaan ASN

benar-benar menampilkan aparatur sipil negara yang profesional

dibidangnya. tujuan dari reformasi birokrasi sendiri adalah menciptakan

birokrasi pemerintah yang profesional dengan karakteristik, berintegrasi,

berkinerja tinggi, bebas dan bersih KKN, mampu melayani publik, netral,

sejahtera, berdedikasi, dan memegang teguh nilai-nilai dasar dan kode etik

aparatur negara (Hanif, 2016:92).

2
Selain penerapan merit system dalam pemerintahan, masalah

kedisiplinan pegawai menjadi faktor penting yang sangat mempengaruhi

keberhasilan organisasi pemerintah. Seorang Aparatur Sipil Negara (ASN)

tidak akan bisa bertanggung jawab atas pekerjaannya apabila kurang disiplin

terhadap aturan – aturan yang berlaku. Disiplin ASN adalah kesanggupan

ASN untuk menaati kewajiban dan menghindari larangan yang ditentukan

dalam peraturan perundang–undangan dan atau peraturan kedinasan yang

apabila tidak ditaati atau dilanggar akan dijatuhi hukuman disiplin (Marthen,

2018:1).

Berdasarkan pengamatan awal peneliti, Dalam penempatan jabatan

di Pemerintah Kabupaten Buton pelaksanaan rekrutmen dilaksanakan

Berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara

Dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2017

Tentang Standar Kompetensi Jabatan Aparatur Sipil Negara pada pasal 1

ayat 6 berbunyi “sistem merit adalah kebijakan dan manajemen ASN yang

berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar

dengan tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama,

asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan.

Pelaksanaan penempatan jabatan dilakukan oleh Bupati selaku Pejabat

Pembina Kepegawaian atas usulan dari Tim Penilai Kinerja, proses

penempatan jabatan khususnya Pimpinan Tinggi Pratama dilaksanakan

secara terbuka untuk mengisi kekosongan jabatan Pimpinan Tunggi Pratama

dengan mempertimbangkan Disiplin, Prestasi kerja, Kecakapan, Loyalitas,

3
Pengalaman, Komunikatif, Pendidikan dan kepangkatan. Dalam

pelaksanaan penempatan jabatan Pimpinan Tinggi Pratama Bupati

Membentuk Panitia dan Tim seleksi serta melibatkan unsur dari Lembaga

Administrasi Negara (LAN), keseluruhan calon pimpinan tinggi pratama

yang memenuhi persyaratan di uji oleh Tim seleksi dari Pemerintah daerah

dan LAN. Secara administrasi persyaratan hasil seleksi yang dilakukan oleh

tim seleksi dari Pemerintah daerah dan LAN sudah memenuhi syarat dan

ketentuan yang ada dengan menghasilkan 3 calon yang akan

direkomendasikan kepada Bupati untuk ditunjuk menjadi pimpinan tinggi

Pratama. Alhasil dengan mengesampingkan Disiplin, Prestasi kerja,

Kecakapan, Loyalitas, Pengalaman, Komunikatif, Pendidikan dan

kepangkatan, hanya orang dekat dengan Bupati dan dianggap loyal dalam

bekerja serta yang melakukan lobi-lobi melalui desakan kelompok

masyarakat maupun intervensi dari pihak yang berkepentingan yang akan

ditunjuk untuk menempati jabatan yang ditujukan tersebut, artinya

pendekatan pola merit sistem diduga belum maksimal dilaksanakan dalam

promosi jabatan aparatur sipil negara di Kabupaten Buton.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik melakukan

penelitian dengan judul “Implementasi Merit System Dalam Promosi

Jabatan Aparatur Sipil Negara Di Kabupaten Buton “.

4
B. Fokus Penelitian

Fokus dalam penelitian ini meliputi aspek tempat (place) yaitu

Kabupaten Buton, pelaku (actor) yaitu ASN, dan aktivitas (activity) yaitu

implementasi merit system dalam promosi jabatan yang melihat interaksi di

dalam birokrasi pemerintah daerah Kabupaten Buton secara sinergi. Terkait

dengan pembahasan tentang inti penelitian ini dimana fokusnya pada

promosi jabatan ASN yang memungkinkan belum maksimal contohnya

kemungkinan promosi yang lebih besar dapat dilihat bukan saja pada

peningkatan penghasilan akan tetapi sebagai penghargaan atas kemampuan

yang semakin meningkat sehingga kepadanya dapat memberikan wewenang

dan tanggung jawab yang lebih besar dan luas, yang pada gilirannya dapat

meningkatkan kinerja pegawai sekaligus menambah kepuasan batin.

Dalam membuat keputusan promosi dibutuhkan berbagai

pertimbangan, apabila terdapat keputusan yang salah dalam melaksanakan

promosi jabatan, maka akan menimbulkan efek samping yang tidak baik

bagi pegawai. Yang semuanya akan mengakibatkan motivasi kerja menurun

sehingga harapan perusahaan untuk meningkatkan produktivitas tidak akan

tercapai. Untuk tidak terjadinya efek negatif di atas pimpinan kantor

hendaknya dalam melakukan penilaian terhadap pegawai yang akan

dipromosikan dilakukan seobjektif mungkin berdasarkan standar yang telah

ditetapkan. Untuk dapat dipromosikan seorang pegawai harus mempunyai

nilai-nilai prestasi kerja yang baik, disiplin kerja yang tinggi, pengalaman

kerja yang cukup, serta dedikasi dan loyalitas yang tinggi terhadap kantor.

5
Untuk itu kantor harus mampu menempatkan pegawainya yang tepat untuk

menduduki jabatan yang tepat pula, sesuai dengan prinsip the right man on

right place sehingga kantor akan mendapatkan dan menempatkan pegawai

yang benar-benar mampu untuk melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya.

Apabila kondisi tersebut dapat terjadi dalam implementasinya,

kecenderungan adanya ketidakpuasan atas keputusan yang diambil oleh

pimpinan akan dapat diminimalisir karena keputusan yang dibuat pimpinan

dipandang sudah tepat.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka rumusan masalah

dalam penelitian ini adalah bagaimanakah implementasi merit system dalam

promosi jabatan aparatur sipil negara di Kabupaten Buton ?

D. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk

mengetahui dan mendeskripsikan implementasi merit system dalam promosi

jabatan aparatur sipil negara di Kabupaten Buton.

E. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna baik secara teoritis

maupun secara praktis yaitu:

1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah

pengembangan ilmu administrasi negara khususnya yang berhubungan

dengan konsep implementasi merit system dalam promosi jabatan

aparatur sipil negara.

6
2. Secara praktis :

a. Bagi penelitian diharapkan dapat berguna pada konsep merit system

dalam promosi jabatan ASN dan dapat mengidentifikasi masalah-

masalah yang dihadapi dan dapat dicari alternatif pemecahan

masalahnya secara lebih lengkap dan menyeluruh.

b. Bagi Pemerintah Kabupaten Buton dalam hal ini Badan

Kepegawaian Daerah dan Pengembangan Sumber Daya Manusia

dalam menata merit system dan promosi jabatan ASN.

c. Pembuat kebijakan khususnya DPRD Kabupaten Buton dalam

membuat peraturan daerah tentang implementasi merit system dalam

promosi jabatan ASN.

d. Bagi masyarakat diharapkan dapat menerapkan merit system dalam

promosi jabatan ASN dan menaati segala ketentuan perundang-

undangan yang berlaku.

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Hasil Penelitian

Beberapa hasil penelitian yang relevan dengan rencana penelitian ini antara

lain:

1. Nurwita Ismail. 2019. Merit System Dalam Mewujudkan Transparansi

Pembinaan Karier Aparatur Sipil Negara Fakutlas Hukum Universitas

Gorontalo. Merit sistem merupakan cerminan manajemen kepegawaian

yang profesional dimana penempatan pegawai dan pejabat

menggunakan kompetensi kinerja dan track record sebagai alat ukur

pengangkatan. Namun sejauh ini merit sistem belum sepenuhnya

dilakukan padahal Jika sistem ini diterapkan, dapat menghasilkan figur

pejabat yang mumpuni dan memiliki kinerja bagus selain itu tidak akan

mengganggu kondisi internal karena memiliki kesinambungan dengan

pejabat lama. Praktek-praktek yang terjadi adanya politisasi terhadap

Aparatur Sipil Negara. Pelanggaran Merit itu biasanya seperti orang

diturunkan jabatannya tanpa alasan yang jelas dan mutasi. Kepala

daerah baru biasanya membongkar pegawainya dengan orang-orang

yang dia kenal. Semuanya masih berkaitan dengan balas budi dan balas

dendam, sehingganya tulisan ini dilakukan dengan tujuan mengetahui

Bagaimana implementasi Merit System dalam pembinaan karier ASN

serta Faktor yang mempengaruhi penerapan Merit System dapat

mewujudkan transparansi pembinaan karier ASN dengan menggunakan

8
Metode analisis Kualitatif. Sehingga diharapkan dapat memberikan

sumbangan pemikiran terhadap pemerintah dalam pengkajian dan

pelaksanaan Merid Sytem kearaha yang lebih baik.

2. Ahmad Faiz, Retno Sunu Astuti & Teuku Afrizal. 2020. Sistem Merit

pada Sektor Pemerintahan : Proses Pengisian dan Penempatan Jabatan

Pelaksana di Badan Kepegawaian Daerah Jawa Tengah. Perubahan

kebijakan birokrasi tentang Aparatur Sipil Negara menuntut perubahan

manajemen SDM Aparatur berbasis merit system khususnya dalam

pengisian Jabatan Pelaksana di birokrasi pemerintahan. Penelitian ini

bertujuan untuk mendeskripsikan merit system dalam proses pengisian

dan penempatan Jabatan Pelaksana di Badan Kepegawaian Daerah

Provinsi Jawa Tengah dan faktor-faktor yang mempengaruhi proses

tersebut. Metode penelitian yang digunakan kualitatif dengan

pengumpulan data primer melalui teknik wawancara mendalam dan

observasi, sedangkan data sekunder dikumpulkan melalui arsip dan

dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pengisian

dan penempatan SDM Jabatan Pelaksana di Badan Kepegawaian

Daerah Provinsi Jawa Tengah yang berasal dari seleksi CPNS tahun

2014 dan tahun 2018 sudah sesuai dengan prinsip merit system,

meskipun belum sepenuhnya diterapkan secara keseluruhan. Masih

terdapat penempatan PNS yang belum sesuai dengan kebutuhan jabatan

yaitu kualifikasi dan pangkat yang dipersyaratkan dalam menduduki

jabatan tersebut (job spesification). Perlu diketahui juga bahwa dalam

9
penilaian kinerja melalui Sasaran Kerja Pegawai (SKP) bulanan,

kedisiplinan dan kehadiran fingerprint yang berpengaruh pada

Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP). Teridentifikasi juga beberapa

faktor yang mempengaruhi proses pengisian dan penempatan pejabat

pelaksana, yaitu komitmen pimpinan, sumberdaya manusia dan regulasi.

B. Tinjauan Teori dan Konsep

1. Konsep Kebijakan Publik

Untuk mengerti tentang kebijakan publik kita dapat melihat

pendapat para ahli yang telah dipublikasikan dalam literatur – literatur yang

terbit baik diluar negeri maupun dalam negeri. Para ahli telah

mendeskripsikan lebih luas mulai dari objek kebijakan itu sendiri termasuk

subjek pelaksana kebijakan itu sendiri yakni pemerintah. Apabila kita bicara

mengenai kebijakan public tidak terlepas dari peran pemerintah didalamnya,

karena pada hakekatnya pemerintah adalah pelayan masyarakat.

Menurut Rasyid (2008:53) pemerintah tidaklah diadakan untuk

melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta

menciptakan kondisi yang memungkinkan bagi setiap anggota masyarakat

untuk mengembangkan kemampuannya dan kreatifitasnya demi mencapai

tujuan bersama. Dalam menjalankan perannya, menurut Wilson dalam

(Tangkilisan, 2003:15), Pemerintah mempunyai dua fungsi yang berbeda

(two distinc functions of government), yaitu fungsi politik dan fungsi

administrasi. Fungsi politik ada kaitannya dengan pembuatan kebijakan

(public policies making) atau pernyataan apa yang menjadi keinginan negara

10
(has to do policies or expressions of the state will), sedangkan fungsi

administrasi berkenaaan dengan pelaksanaan kebijakan – kebijakan tersebut.

Kebijakan publik dibuat bukan tanpa tujuan, akan tetapi kebijakan

publik itu (issues) dimasyarakat yang begitu banyak macam, variasi dan

insensitasnya. Menurut Walker dalam Widodo (2007:19) masalah publik

bisa menjadi kebijakan publik jika : (a) mempunyai dampak yang besar pada

orang banyak; (b) ada bukti yang menyakinkan, agar lembaga legislatif mau

memperhatikan masalah tersebut sebagai masalah serius; (c) ada pemecahan

masalah yang mudah dipahami terhadap masalah yang sedang diperhatikan

tadi. Sedangkan Jones dalam Widodo (2007:194)mengemukakan bahwa

masalah publik mudah menjadi kebijakan publik manakala: (a) skope dan

kemungkinan dukungan terhadap masalah publik (issues) tersebut dapat

dikumpulkan; (b) problem atau issues tersebut dinilai penting dan (c) ada

kemungkinan masalah publik (issues) tersebut dapat dipecahkan.

Berdasarkan dua pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa

masalah publik (issues) menjadi kebijakan publik (Widodo, 2007:36) akan

mudah menjadi kebijakan publik apabila:

1. Masalah (issues) dinilai penting dan membawa dampak yang besar pada

banyak orang;

2. Mendapat perhatian dari pembuat kebijakan (policy marker);

3. Sesuai dengan program politik pemerintah (platform politik);

4. Kemungkinan besar dapat dipecahkan.

11
Public policy advisors help develop plan of action on a wide range

of social and political issues. They work in all levels of government and in

nonprofit organizations that promote policy change. Public policy become

very specialized, focusing on a specific issue, their job often share similar

features. All policy analize and evaluate complex information to solve major

problem. Dalam upaya membantu pengembangan rencana aksi terhadap

berbagai isu dalam bidang sosial dan politik diperlukan adanya penasehat

kebijakan, karena merekalah yang bekerja di semua tingkat pemerintahan

dan organisasi nirlaba yang mempemasarankan perubahan kebijakan.

Kebijakan publik menjadi sangat khusus, dengan fokus pada isu tertentu,

pekerjaan mereka sering berbagi fitur serupa. Semua kebijakan menganalisa

dan mengevaluasi informasi yang rumit untuk memecahkan masalah besar

(Reeves & Rauf, 2005:115).

Public agency and nonprofit provider share core values and a sense

of serving the public interest, and each enters the relationship in a

partnership mentality, issues of conflict should be reduced and a more

collaborative model of decision making be more applicable. Upaya dalam

memberikan pelayanan kepada publik, maka harus ada rasa melayani

kepentingan masyarakat, menjalin hubungan mentalitas kemitraan,

menangani isu-isu konflik dan model-model pengambilan keputusan yang

lebih kolaboratif oleh karena itu diperlukan lembaga publik dan lembaga

nirlaba untuk mewujudkannya. (Killian and Niklas,2008:207).

12
Grindle (1980: 7) menyatakan, implementation of a general process of

administrative actions that can be studied at the level of a particular

program. Implementasi merupakan proses umum tindakan administratif

yang dapat diteliti pada tingkat program tertentu. Sedangkan Van Meter dan

Horn (Wibawa, 1994: 15) menyatakan bahwa implementasi kebijakan

merupakan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dan swasta baik secara

individu maupun secara kelompok yang dimaksudkan untuk mencapai

tujuan. Grindle (1980: 7) menambahkan bahwa the new implementation

process will begin when the goals and objectives have been set, the program

has been structured activities and funds have been prepared and has been

distributed to achieve the target. Proses implementasi baru akan dimulai

apabila tujuan dan sasaran telah ditetapkan, program kegiatan telah tersusun

dan dana telah siap dan telah disalurkan untuk mencapai sasaran.

Menurut Lane (Sabatier, 1986: 21-48), implementasi sebagai konsep

dapat dibagi ke dalam dua bagian. Pertama, implementation = Function

(Intention, Output, Outcome). Sesuai definisi tersebut, implementasi

merupakan fungsi yang terdiri dari maksud dan tujuan, hasil sebagai produk

dan hasil dari akibat. Kedua, implementasi merupakan persamaan fungsi

dari implementation = F (Policy, Formator, Implementor, Initiator, Time).

Penekanan utama kedua fungsi ini adalah kepada kebijakan itu sendiri,

kemudian hasil yang dicapai dan dilaksanakan oleh implementor dalam

kurun waktu tertentu.

13
Implementasi kebijakan menghubungkan antara tujuan kebijakan dan

realisasinya dengan hasil kegiatan pemerintah. Hal ini sesuai dengan

pandangan Van Meter dan Horn (Grindle, 1980: 6) bahwa tugas

implementasi adalah build networks that enable public policy objectives are

realized through the activities of government agencies that involve various

interested parties. Membangun jaringan yang memungkinkan tujuan

kebijakan publik direalisasikan melalui aktivitas instansi pemerintah yang

melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan (policy stakeholders).

Donovan dan Jackson dalam Keban (2004: 55) menjelaskan bahwa

policy dapat dilihat secara filosofis, sebagai suatu produk, sebagai suatu

proses dan sebagai kerangka kerja. Sebagai suatu konsep filosofis, kebijakan

merupakan serangkaian prinsip, atau kondisi yang diinginkan; sebagai suatu

produk, kebijakan dipandang sebagai serangkaian kesimpulan atau

rekomendasi; sebagai suatu proses, kebijakan dipandang sebagai suatu cara

dimana melalui cara tersebut suatu organisasi dapat mengetahui apa yang

diharapkan darinya yaitu program dan mekanisme dalam mencapai

produknya dan sebagai kerangka kerja, kebijakan merupakan suatu proses

tawar menawar dan negoisasi untuk merumuskan isu-isu dan metode

implementasinya.

Ealau dan Prewitt (Wahab, 2003:14) menyatakan bahwa kebijakan

publik adalah sebuah ketetapan yang berlaku yang dicirikan oleh perilaku

yang konsisten dan berulang, baik dari yang membuatnya maupun yang

mentaatinya (yang terkena kebijakan itu). Kamus Webster dalam Abidin

14
(2006:13) memberi pengertian kebijakan sebagai prinsip atau cara bertindak

yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan keputusan.

Dunn (2003:4), mengartikan kebijakan publik adalah suatu rangkaian

pilihan-pilihan yang saling berhubungan yang dibuat oleh suatu lembaga

atau pejabat pemerintah pada bidang-bidang yang menyangkut tugas

pemerintahan, seperti ketahanan keamanan, energi, kesehatan, pendidikan,

kesejateraan, masyarakat, kriminalitas, perkotaaan dan lain-lain.

Dari pandangan beberapa ahli di atas dapat dikatakan bahwa suatu

proses implementasi kebijaksanaan itu sesungguhnya tidak hanya

menyangkut perilaku badan-badan administratif yang bertanggung jawab

untuk melaksanakan suatu program yang telah ditetapkan serta

menimbulkan ketaatan pada diri kelompok sasaran, melainkan pula

menyangkut jaringan kekuatan politik, ekonomi, dan sosial yang secara

langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi segala pihak yang

terlibat, sekalipun dalam hal ini dampak yang diharapkan ataupun yang

tidak diharapkan.

Anderson (Winarno,2012:18), konsep kebijakan publik mempunyai

beberapa implikasi, yakni pertama, titik perhatian kita dalam membicarakan

kebijakan publik berorientasi pada maksud atau tujuan dan bukan perilaku

secara sembarangan. Kebijakan publik secara luas dalam sistem politik

modern bukan sesuatu yang terjadi begitu saja melainkan direncanakan oleh

aktor-aktor yang terlibat didalam sistem politik, Kedua, Kebijakan

merupakan arah atau pola tindakan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat

15
pemerintah dan bukan merupakan keputusan-keputusan yang tersendiri.

Suatu kebijakan mencakup tidak hanya keputusan untuk menetapkan

Undang-Undang mengenai suatu hal, tetapi juga keputusan-keputusan

beserta dengan pelaksanaannya. Ketiga, Kebijakan adalah apa yang

sebenarnya dilakukan pemerintah dalam mengatur perdagangan,

mengendalikan inflasi, atau mempemasarankan perumahan rakyat dan bukan

apa yang diinginkan oleh pemerintah.

Donald S.Van Mater dan Carl E.Va dalam Widodo (2007:85)

mengemukakan implementasi kebijakan menekankan pada suatu tindakan,

baik yang dilakukan oleh pihak pemerintah maupun individu (atau

kelompok) swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah

ditetapkan dalam suastu keputusan kebijakan sebelumnya.

Implementasi kebijakan publik dapat dilihat dari beberapa perspektif

atau pendekatan. Salah satunya ialah implementation problems approach

yang diperkenalkan oleh Edwards III (1984:9-10). Edwards III mengajukan

pendekatan masalah implementasi dengan terlebih dahulu mengemukakan

dua pertanyaan pokok, yakni: (i) factors that support successful

implementation of the policy. and (ii) what factors hinder the successful

implementation of the policy. (i) faktor apa yang mendukung keberhasilan

implementasi kebijakan. dan (ii) faktor apa yang menghambat keberhasilan

implementasi kebijakan.

Berdasarkan kedua pertanyaan tersebut dirumuskan empat faktor

yang merupakan syarat utama keberhasilan proses implementasi, yakni

16
komunikasi, sumber daya, sikap birokrasi atau pelaksana dan struktur

organisasi, termasuk tata aliran kerja birokrasi. Empat faktor tersebut

menjadi kriteria penting dalam implementasi suatu kebijakan. Edwards III

dalam Purwanto dan Sulistyastuti (2015:85) menyebut syarat ketiga di atas

dengan disposisi atau perilaku.

Kebijakan dapat pula dilihat dari perspektif subjek pelaksana, yakni

pemerintah. Menurut Thomas Dye dalam Kismartini (2005:1.9) kebijakan

publik itu adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak

melakukan sesuatu (public policy is what ever governments to do) sama

seperti pendapat Dye, Edward dan Sharkansy dalam Kismartini (2005:1.9)

mengatakan bahwa, kebijakan publik adalah apa yang pemerintah katakana

dan lakukan. Kebijakan merupakan rangkaian tujuan dan sasaran dari

program – program pemerintah (what government say and do, or not to do.

It is the goals or purpose of government programs). Selanjutnya, Anderson

dalam Kismartini (2005:1.9) mengartikan kebijakan publik sebagai

kebijakan yang dikembangkan oleh badan – badan dan pejabat pemerintah.

Disamping pendapat di atas, Friedrich dalam Kismartini (2005:1.5)

mengartikan kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan

yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam

lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan – hambatan

tertentu seraya mencari peluang – peluang untuk mencapai tujuan atau

mewujudkan sasaran yang diinginkan.

17
Menurut Mazmanian dan Sabatier (2001:5), There are two

perspectives in the analysis of the implementation that is the perspective of

public administration and political science perspective. Terdapat dua

perspektif dalam analisis implementasi, yaitu perspektif administrasi publik

dan perspektif ilmu politik. Menurut perspektif administrasi publik,

implementasi pada awalnya dilihat sebagai pelaksanaan kebijakan secara

tepat dan efisien. Namun, pada akhir Perang Dunia II berbagai penelitian

administrasi negara menunjukkan bahwa ternyata agen administrasi publik

tidak hanya dipengaruhi oleh mandat resmi, tetapi juga oleh tekanan dari

kelompok kepentingan, anggota lembaga legislatif dan berbagai faktor

dalam lingkungan politis.

Perspektif ilmu politik mendapat dukungan dari pendekatan sistem

terhadap kehidupan politik. Pendekatan ini seolah-olah mematahkan

perspektif organisasi dalam administrasi publik dan mulai memberikan

perhatian terhadap pentingnya input dari luar arena administrasi, seperti

ketentuan administratif, perubahan preferensi publik, teknologi baru dan

preferensi masyarakat. Perspektif ini terfokus pada pertanyaan dalam

analisis implementasi, yaitu seberapa jauh konsistensi antara output

kebijakan dengan tujuannya.

Ripley memperkenalkan pendekatan “kepatuhan” dan pendekatan

“faktual” dalam implementasi kabijakan (Ripley & Franklin, 1986: 11).

Pendekatan kepatuhan muncul dalam literatur administrasi publik.

Pendekatan ini memusatkan perhatian pada tingkat kepatuhan agen atau

18
individu bawahan terhadap agen atau individu atasan. Perspektif kepatuhan

merupakan analisis karakter dan kualitas perilaku organisasi. Menurut

Ripley (Grindle, 1980: 7), there are at least two perspectives compliance

deficiencies, namely: (1) a lot of factors that affect non-bureaucratic but

rather less attention, and (2) the existence of programs that are not designed

well. The second perspective is a factual perspective that assumes that there

are many factors that influence the process of policy implementation that

requires the implementor to more freely make adjustments. Terdapat dua

kekurangan perspektif kepatuhan, yakni: (1) banyak faktor non-birokratis

yang berpengaruh tetapi justru kurang diperhatikan, dan (2) adanya program

yang tidak didesain dengan baik. Perspektif kedua adalah perspektif faktual

yang berasumsi bahwa terdapat banyak faktor yang mempengaruhi proses

implementasi kebijakan yang mengharuskan implementor agar lebih leluasa

mengadakan penyesuaian.

Kedua perspektif tersebut tidak kontradiktif, tetapi saling melengkapi

satu sama lain. Secara empirik, perspektif kepatuhan mulai mengakui

adanya faktor eksternal organisasi yang juga mempengaruhi kinerja agen

administratif. Kecenderungan itu sama sekali tidak bertentangan dengan

perspektif faktual yang juga memfokuskan perhatian pada berbagai faktor

non-organisasional yang mempengaruhi implementasi kebijakan.

Berdasarkan pendekatan kepatuhan dan pendekatan faktual dapat

dinyatakan bahwa keberhasilan kebijakan sangat ditentukan oleh tahap

implementasi dan keberhasilan proses implementasi ditentukan oleh

19
kemampuan implementor, yaitu: (1) kepatuhan implementor mengikuti apa

yang diperintahkan oleh atasan, dan (2) kemampuan implementor

melakukan apa yang dianggap tepat sebagai keputusan pribadi dalam

menghadapi pengaruh eksternal dan faktor non-organisasional, atau

pendekatan faktual.

T.B. Smith (Nakamura dan Smallwood, 1980: 2) when the policy was

created, the policy should be implemented and the results wherever possible

in accordance with what is expected by policy makers. Kebijakan yang telah

dibuat, maka kebijakan tersebut harus diimplementasikan dan hasilnya

sedapat mungkin sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pembuat

kebijakan. Suatu kebijakan memiliki tujuan yang jelas sebagai wujud

orientasi nilai kebijakan. Tujuan implementasi kebijakan diformulasi ke

dalam program aksi dan proyek tertentu yang dirancang dan dibiayai.

Program dilaksanakan sesuai dengan rencana. Implementasi kebijakan atau

program–secara garis besar–dipengaruhi oleh isi kebijakan dan konteks

implementasi. Keseluruhan implementasi kebijakan dievaluasi dengan cara

mengukur luaran program berdasarkan tujuan kebijakan. Luaran program

dilihat melalui dampaknya terhadap sasaran yang dituju baik individu dan

kelompok maupun masyarakat. Luaran implementasi kebijakan adalah

perubahan dan diterimanya perubahan oleh kelompok sasaran.

Keberhasilan kebijakan atau program juga dikaji berdasarkan

perspektif proses implementasi dan perspektif hasil. Pada perspektif proses,

program pemerintah dikatakan berhasil jika pelaksanaannya sesuai dengan

20
petunjuk dan ketentuan pelaksanaan yang dibuat oleh pembuat program

yang mencakup antara lain cara pelaksanaan, agen pelaksana, kelompok

sasaran dan manfaat program. Sedangkan pada perspektif hasil, program

dapat dinilai berhasil manakala program membawa dampak seperti yang

diinginkan. Suatu program mungkin saja berhasil dilihat dari sudut proses,

tetapi boleh jadi gagal ditinjau dari dampak yang dihasilkan, atau sebaliknya.

Atas dasar pengertian di atas, maka dapat ditentukan elemen yang

terkandung dalam kebijakan publik ang dikemukakan oleh Anderson dalam

Kismartini (2008:95) yang mencakup antara lain:

1) Kebijakan selalu mempunyai tujuan atau orientasi pada tujuan tertentu.

2) Kebijakan adalah berisi tindakan atau pola tindakan pejabat – pejabat

pemerintah.

3) Kebijakan adalah apa yang benar – benar dilakukan oleh pemerintah,

dan bukan apa yang dimaksud akan dilakukan.

4) Kebijakan publik bersifat positif (merupakan tindakan pemerintah

mengenai sesuatu masalah tertentu) dan bersifat negative (keputusan

pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu).

5) Kebijakan publik (positif), selalu berdasarkan pada peraturan

perundangan tertentu yang bersifat memaksa (otoritatif).

Berdasarkan pengertian di atas dan elemen yang terkandung

dalam kebijakan sebagaimana disebut di atas, maka kebijakan publik dibuat

dalam kerangka untuk memecahkan masalah dan untuk mencapai tujuan

serta sasaran tertentu yang diinginkan. Kebijakan publik ini berkaitan

21
dengan apa yang senyatanya dilakukan oleh pemerintah dan bukan sekedar

apa yang ingin dilakukan.

Dalam praktek politik sehari-hari, ternyata tidak semua isu yang

pernah atau sedang berkembang ditengah - tengah masyarakat kemudian

secara otomatis menjadi kebijakan publik, adakalanya suatu isu tertentu

dalam bidang tertentu cukup mendapat respon, masuk menjadi agenda

kemudian pemerintah (public policy agenda) kemudian diambil langkah -

langkah konkrit terhadapnya. Pada sisi lain, ada sejumlah isu

tertentu,meskipun amat mendasar bahkan tidak pernah mampu melewati

rambu-rambu birokrasi atau saluran-saluran politik pembuatan kebijakan.

(Wahab, 2003:25).

Ada beberapa nilai atau norma serta pedoman tertentu yang

dikelompokkan dalam 5 (lima) kategori yang bisa dijadikan oleh pembuat

kebijakan (aktor kebijakan) dalam membuat keputusan yang melahirkan

kebijakan, sebagaimana dikemukakan oleh Anderson dalam Subarsono

(2005:26) yaitu:

(a) Nilai-nilai Politik

Pembuat keputusan mungkin melakukan penilaian atas alternatif

kebijakan yang dipilihnya dari sudut pentingnya alternatif-alternatif itu bagi

partai politiknya atau bagi kelompok-kelompok klien dan badan atau

organisasi yang dipimpinya. Keputusan yang lahir dari tangan para para

pembuat kebijakan seperti ini bukan mustahil dibuat demi keuntungan

politik, dan kebijakan dengan demikian akan dilihat sebagai instrument

22
untuk memperluas pengaruh-pengaruh politik atau untuk tujuan dan

kepentingan dari partai politik atau tujuan dari kelompok kepentingan yang

bersangkutan.

(b) Nilai-nilai organisasi

Para pembuat keputusan, khususnya birokrat (sipil atau militer)

mungkin dalam mengambil keputusan dipengaruhi oleh nilai-nilai organisasi

dimana ia terlibat didalamnya. Organisasi, semisal badan-badan administrasi,

menggunakan berbagai bentuk ganjaran dan sanksi dalam usahanya untuk

memaksa para anggotanya menerima, dan bertindak sejalan dengan nilai-

nilai yang telah digariskan orgganisasi. Sepanjang nilai-nilai semacam itu

ada,orang-orang yang bertindak selaku pengambil keputusan dalam

organisasi itu sebagai wujud dari hasrat untuk melihat organisasinya tetap

lestari, untuk tetap maju atau untuk memperlancar program-program dan

kegiatan-kegiatanya atau untuk mempertahankan kekuasaan dan hak-hak

istimewa yang selama ini dinikmati.

(c) Nilai-nilai pribadi

Hasrat untuk melindungi atau memenuhi kesejahteraan atau

kebutuhan fisik atau kebutuhan finansial, reputasi diri atau posisi historis

kemungkinan juga digunakan oleh para pembuat keputusan. Para politisi

yang menerima sogok untuk membuat keputusan tertentu yang

menguntungkan si pemberi atau pemberian perizinan atau penandatanganan

kontrak pembangunan proyek tertentu, jelas mempunyai kepentingan pribadi

dalam benaknya. Seorang presiden yang mengatakan didepan para

23
wartawan bahwa ia akan menggebuk siapa saja yang bertindak

inkonstitusional jelas juga dipengaruhi oleh pertimbangan – pertimbangan

pribadinya, misalnya agar ia mendapat tempat terhormat dalam sejarah

bangsa sebagai seorang yang konsisten dan nasionalis.

(d) Nilai-nilai kebijakan

Para pembuat keputusan bertindak berdasarkan persepsi mereka

terhadap kepentingan umum atau keyakinan tertentu mengenai kebijakan

negara apa yang sekiranya secara normal tepat dan normal. Seorang wakil

rakyat yang memperjuangkan undang – undang hak kebebasan sipil

mungkin akan bertindak sejalan dengan itu karena ia yakin bahwa tindakan

itulah yang secara moral benar, dan bahwa persamaan hak-hak sipil itu

memang tujuan kebijakan negara yang diinginkan, tanpa memperdulikan

bahwa perjuangan itu mungkin akan menyebabkan mengalami resiko-resiko

politik yang fatal.

(e) Nilai-nilai ideologi

Ideologi pada hakekatnya merupakan serangkaian nilai – nilai dan

keyakinan yang secara logis saling berkaitan yang mencerminkan gambaran

sederhana mengenai dunia serta berfungsi sebagai pedoman bertindak bagi

masyarakat yang meyakininya. Dinegara – negara yang sedang berkembang

di kawasan Asia, Afrika dan Timur tengah nasionalisme yang

mencerminkan hasrat dari orang – orang atau bangsa yang bersangkutan

untuk merdeka dan menentukan nasibnya sendiri telah memberikan peran

penting dalam mewarnai kebijakan luar negeri maupun dalam negeri mereka.

24
Pada masa gerakan nasional menuju kemerdekaan, nasionalisme telah

berfungsi sebagai minyak bakar yang mengobarkan semangat perjuangan

bangsa – bangsa di negara – negara sedang berkembang melawan kekuatan

kolonial.

Selain itu, isu – isu yang cenderung mendapat respon dari pembuat

kebijakan untuk dijadikan agenda kebijakan publik, kalau memenuhi

kriteria yang penting (Kimber, 1974; Salesbury, 1974; Sanbach, 1980;

Hogwood dan Gunn, 1986 dalam Wahab (2003: 40), ialah:

1. Isu tersebut telah mencapai suatu titik kritis tertentu, sehingga ia praktis

tidak bisa lagi diabaikan begitu saja; atau ia telah dipersepsikan sebagai

suatu ancaman serius jika tak segera di atasi justru akan menimbulkan

luapan krisis baru yang jauh lebih hebat dimasa mendatang.

2. Isu tersebut telah mencapai tingkat partikularitas tertentu yang dapat

menimbulkan dampak (impact) yang bersifat dramatik.

3. Isu tersebut menyangkut emosi tertentu dilihat dari sudut kepentingan

orang banyak,bahkan umat manusia pada umumnya, dan mendapat

dukungan berupa liputan media masa yang luas.

4. Isu tersebut menjangkau dampak yang amat luas.

2. Konsep Implementasi Kebijakan

Berdasarkan kamus Webster, dirumuskan secara pendek bahwa to

implement (mengimplementasikan) berarti to provide the means for carrying

out; (menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu). To give practical

effect to; (menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu). Jika mengikuti

25
alur piker tersebut, maka implementasi kebijakan dipandang sebagai suatu

proses. Melaksanakan keputusan kebiijakan (biasanya dalam bentuk Undang

– Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Peradilan, Perintah Eksekutif

atau Dekrit Presiden).

Selanjutnya A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier dalam Nugroho

(2004:66), menjelaskan makna implementasi ini dengan mengatakan bahwa

memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah sesuatu program dinyatakan

berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijakan,

kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya

pedoman-pedoman kebijakan negara, yang mencakup baik usaha – usaha

untuk mengadminstrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/dampak

nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian selanjutnya mereka

merumuskan proses implementasi kebijakan dengan rincian sebagai berikut

dalam Wahab (2003:68)

Implementation is the carrying out of a basic policy


decision,usually incorporated in a statute but which can also take
the from of imfortant executive order or court decision.Ideally,that
decision identifies that problem to be addressed,stipulates the
objectives to be pusued, and, in a variety of ways, “structure” the
implementation process. The process normally runs throught a
number of stage beginning with massage of the basic
statute ,followed by the policy outputs (decision) of the
implementation agencies,the compliance of target groups with
those decision, the actual impacs both intended and unintended of
thouse outputs,the persceived impacts of agency decision, and,
finally imfortant revisions (or attempted revision) in the basic
statute.

Implementasi adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar,

biasanya dalam bentuk undang – undang, namun dapat pula dalam bentuk

26
perintah – perintah atau keputusan – keputusan eksekutif yang atau

keputusan badan peradilan. Lazimnya keputusan tersebut

mengidentifikasikan masalah yang ingin di atasi, menyebutkan secara tegas

tujuan/sasaran yang ingin dicapai dan berbagai cara untuk

menstrukturkan/mengatur proses implementasinya. Proses ini berlangsung

setelah melalui sejumlah tahapan tertentu, biasanya diawali dengan tahapan

pengesahan UU, kemudian output kebijakan dalam bentuk pelaksanaan

keputusan untuk badan instansi pelaksana, kesediaan dilaksanakannya

keputusan-keputusan tersebut oleh kelompok – kelompok sasaran dampak

nyata baik yang dikehendaki maupun yang tidak dari output tersebut,

dampak keputusan sebagai dipersepsikan oleh badan – badan yang

mengambil keputusan dan akhirnya perbaikan – perbaikan penting ( atau

upaya - upaya untuk melakukan perbaikan) terhadap UU/Peraturan yang

bersangkutan.

Berdasarkan pandangan yang diutarakan oleh ahli di atas, bahwa

proses implementasi kebijakan itu, sesungguhnya tidak hanya menyangkut

perilaku badan-badan administratif yang bertanggungjawab untuk

melaksanakan program dan menimbulkan ketaatan pada diri kelompok

sasaran, melainkan pula menyangkut jaringan kekuatan politik, ekonomi dan

sosial yang langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku dari

semua pihak yang terlibat dan pada akhirnya berpengaruh terhadap dampak,

baik yang diharapkan (intended) maupun yang tidak spillover/negative

effect).

27
Kamus bahasa Indonesia oleh Rajasa (2009:198) dalam

mengidentifikasi implementasi adalah penerapan atau pelaksanaan

implementasi, sementara implementasi sendiri adalah sesuatu yang dianggap

perlengkapan kerja. Berdasarkan pendapat tersebut, implementasi

merupakan rangkaian kegiatan yang terencana dan bertahap yang dilakukan

oleh instansi pelaksana dengan didasarkan pada kebijakan yang telah

ditetapkan oleh otoritas berwenang.

Implementasi menurut Jones dalam Widodo (2007:194) terdapat tiga

macam aktivitas:

1) Organization; the estabilishment or rearrangment of resources, units,

and methods for puting a policy into effect.

2) Intepretation; the translation of languege (often contained in a state)

into acceptable and feasible plans and directives.

3) Application; the routine provision of service, payments, or other agree

upon objectives or instruments.

Aktivitas pengorganisasian (organization) merupakan suatu upaya

menetapkan dan menata kembali sumber daya (resources), unit-unit (units)

dan metode-metode (methods) yang mengarah pada upaya mewujudkan

(merealisasikan kebijakan menjadi hasil (outcome) sesuai dengan apa yang

menjadi tujuan dan sasaran kebijakan. Kemudian aktivitas intrepretasi

(intrepretation) merupakan aktivitas interpretasi substansi dari suatu

kebijakan dalam bahasa yang lebih operasional dan mudah dipahami

sehingga substansi kebijakan dapat dilaksanakan dan dapat diterima oleh

28
para pelaku dan sasaran kebijakan. Sedangkan aktifitas aplikasi (application)

merupakan aktivitas penyediaan pelayanan secara rutin, pembayaran atau

lainnya sesuai dengan tujuan dan sarana kebijakan yang ada (routine

provision of services, payment, or other agree upon objectives or

instruments) sehingga bisa disimpulkan bahwa implementasi adalah

merupakan proses yang memerlukan tindakan-tindakan sistematis dari

pengorganisasian, intreprestasi, dan aplikasi.

Tahap implementasi kebijakan dapat dicirikan dan dibedakan dengan

tahap pembuatan kebijakan. Pembuatan kebijakan di satu sisi merupakan

proses yang memiliki logika bottom-up, dalam arti proses kebijakan diawali

dengan penyampaian aspirasi, permintaan atau dukungan dari masyarakat.

Sedangkan implementasi kebijakan di sisi lain di dalamnya memiliki logika

top-down, dalam arti penurunan alternatif kebijakan yang abstrak atau

makro menjadi tindakan konkrit atau mikro (Wibawa, 1994: 2).

Grindle (1980: 7) menyatakan, implementation of a general process of

administrative actions that can be studied at the level of a particular

program. Implementasi merupakan proses umum tindakan administratif

yang dapat diteliti pada tingkat program tertentu. Sedangkan Van Meter dan

Horn (Wibawa, 1994: 15) menyatakan bahwa implementasi kebijakan

merupakan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dan swasta baik secara

individu maupun secara kelompok yang dimaksudkan untuk mencapai

tujuan. Grindle (1980: 7) menambahkan bahwa the new implementation

process will begin when the goals and objectives have been set, the program

29
has been structured activities and funds have been prepared and has been

distributed to achieve the target. Proses implementasi baru akan dimulai

apabila tujuan dan sasaran telah ditetapkan, program kegiatan telah tersusun

dan dana telah siap dan telah disalurkan untuk mencapai sasaran.

Menurut Lane (Sabatier, 1986: 21-48), implementasi sebagai

konsep dapat dibagi ke dalam dua bagian. Pertama, implementation = F

(Intention, Output, Outcome). Sesuai definisi tersebut, implementasi

merupakan fungsi yang terdiri dari maksud dan tujuan, hasil sebagai produk

dan hasil dari akibat. Kedua, implementasi merupakan persamaan fungsi

dari implementation = F (Policy, Formator, Implementor, Initiator, Time).

Penekanan utama kedua fungsi ini adalah kepada kebijakan itu sendiri,

kemudian hasil yang dicapai dan dilaksanakan oleh implementor dalam

kurun waktu tertentu.

3. Model-Model Implementasi Kebijakan Publik

Menurut Sabatier (1986: 21), there are two models competing in the

policy implementation phase, ie, top-down models and bottom-up models.

Terdapat dua model yang berpacu dalam tahap implementasi kebijakan,

yakni model top down dan model bottom up. Kedua model ini terdapat pada

setiap proses pembuatan kebijakan. Model elit, model proses dan model

inkremental dianggap sebagai gambaran pembuatan kebijakan berdasarkan

model top down. Sedangkan gambaran model bottom up dapat dilihat pada

model kelompok dan model kelembagaan.

30
Grindle (1980: 6-10) introduce a model implementation as a political

and administrative processes. Model implementasi sebagai proses politik

dan administrasi. Model tersebut menggambarkan proses pengambilan

keputusan yang dilakukan oleh beragam aktor, dimana keluaran akhirnya

ditentukan oleh baik materi program yang telah dicapai maupun melalui

interaksi para pembuat keputusan dalam konteks politik administratif. Proses

politik dapat terlihat melalui proses pengambilan keputusan yang melibatkan

berbagai aktor kebijakan, sedangkan proses administrasi terlihat melalui

proses umum mengenai aksi administratif yang dapat diteliti pada tingkat

program tertentu.

T.B. Smith (Nakamura dan Smallwood, 1980: 2) admit, when the

policy was created, the policy should be implemented and the results

wherever possible in accordance with what is expected by policy makers.

Mengakui, ketika kebijakan telah dibuat, kebijakan tersebut harus

diimplementasikan dan hasilnya sedapat mungkin sesuai dengan apa yang

diharapkan oleh pembuat kebijakan. Suatu kebijakan memiliki tujuan yang

jelas sebagai wujud orientasi nilai kebijakan. Tujuan implementasi kebijakan

diformulasi ke dalam program aksi dan proyek tertentu yang dirancang dan

dibiayai. Program dilaksanakan sesuai dengan rencana. Implementasi

kebijakan atau program – secara garis besar – dipengaruhi oleh isi kebijakan

dan konteks implementasi. Keseluruhan implementasi kebijakan dievaluasi

dengan cara mengukur luaran program berdasarkan tujuan kebijakan. Luaran

program dilihat melalui dampaknya terhadap sasaran yang dituju baik

31
individu dan kelompok maupun masyarakat. Luaran implementasi kebijakan

adalah perubahan dan diterimanya perubahan oleh kelompok sasaran.

Pada aspek pelaksanaan, terdapat dua model implementasi kebijakan

publik yang efektif, yaitu model linier dan model interaktif (Baedhowi, 2004:

47). Pada model linier, fase pengambilan keputusan merupakan aspek yang

terpenting, sedangkan fase pelaksanaan kebijakan kurang mendapat

perhatian atau dianggap sebagai tanggung jawab kelompok lain.

Keberhasilan pelaksanaan kebijakan tergantung pada kemampuan instansi

pelaksana. Jika implementasi kebijakan gagal maka yang disalahkan

biasanya adalah pihak manajemen yang dianggap kurang memiliki

komitmen sehingga perlu dilakukan upaya yang lebih baik untuk

meningkatkan kapasitas kelembagaan pelaksana.

Jika model interaktif implementasi kebijakan di atas disandingkan

dengan model implementasi kebijakan yang lain, khususnya model proses

politik dan administrasi dari Grindle, terlihat adanya kesamaan dan

representasi elemen yang mencirikannya. Tujuan kebijakan, program aksi

dan proyek tertentu yang dirancang dan dibiayai menurut Grindle

menunjukkan urgensi fase pengambilan keputusan sebagai fase terpenting

dalam model linier implementasi kebijakan. Sementara itu, enam elemen isi

kebijakan ditambah dengan tiga elemen konteks implementasi sebagai faktor

yang mempengaruhi aktivitas implementasi menurut Grindle mencirikan

adanya interaksi antara pengambil kebijakan, pelaksana kebijakan dan

pengguna kebijakan dalam model interaktif. Begitu pula istilah model proses

32
politik dan proses administrasi menurut Grindle, selain menunjukkan

dominasi cirinya yang cenderung lebih dekat kepada ciri model interaktif

implementasi kebijakan, juga menunjukkan kelebihan model tersebut dalam

cara yang digunakan untuk mengukur keberhasilan implementasi kebijakan,

beserta output dan outcomesnya.

Selain model implementasi kebijakan di atas Van Meter dan Van Horn

mengembangkan Model Proses Implementasi Kebijakan. (Tarigan, 2000:

20). Keduanya meneguhkan pendirian bahwa perubahan, kontrol dan

kepatuhan dalam bertindak merupakan konsep penting dalam prosedur

implementasi. Keduanya mengembangkan tipologi kebijakan menurut: (i)

jumlah perubahan yang akan dihasilkan, dan (ii) jangkauan atau ruang

lingkup kesepakatan mengenai tujuan oleh berbagai pihak yang terlibat

dalam proses implementasi.

Tanpa mengurangi kredibilitas model proses implementasi kebijakan

dari Van Meter dan Van Horn terlihat bahwa elemen yang menentukan

keberhasilan penerapannya termasuk ke dalam elemen model proses politik

dan administrasi menurut Grindle. Kata kunci yakni perubahan, kontrol dan

kepatuhan termasuk dalam dimensi isi kebijakan dan konteks implementasi

kebijakan. Demikian pula dengan tipologi kebijakan yang dibuat oleh

keduanya termasuk dalam elemen isi kebijakan dan konteks implementasi

menurut Grindle. Tipologi jumlah perubahan yang dihasilkan termasuk

dalam elemen isi kebijakan dan tipologi ruang lingkup kesepakatan

termasuk dalam konteks implementasi.

33
Sejalan dengan pendapat di atas, Korten (Tarigan, 2000: 19) membuat

Model Kesesuaian implementasi kebijakan atau program dengan memakai

pendekatan proses pembelajaran. Model ini berintikan kesesuaian antara tiga

elemen yang ada dalam pelaksanaan program, yaitu program itu sendiri,

pelaksanaan program dan kelompok sasaran program.

Korten menyatakan bahwa suatu program akan berhasil dilaksanakan

jika terdapat kesesuaian dari tiga unsur implementasi program. Pertama,

kesesuaian antara program dengan pemanfaat, yaitu kesesuaian antara apa

yang ditawarkan oleh program dengan apa yang dibutuhkan oleh kelompok

sasaran (pemanfaat). Kedua, kesesuaian antara program dengan organisasi

pelaksana, yaitu kesesuaian antara tugas yang disyaratkan oleh program

dengan kemampuan organisasi pelaksana. Ketiga, kesesuaian antara

kelompok pemanfaat dengan organisasi pelaksana, yaitu kesesuaian antara

syarat yang diputuskan organisasi untuk dapat memperoleh output program

dengan apa yang dapat dilakukan oleh kelompok sasaran program.

Berdasarkan pola yang dikembangkan Korten, dapat dipahami bahwa

jika tidak terdapat kesesuaian antara tiga unsur implementasi kebijakan,

kinerja program tidak akan berhasil sesuai dengan apa yang diharapkan. Jika

output program tidak sesuai dengan kebutuhan kelompok sasaran jelas

outputnya tidak dapat dimanfaatkan. Jika organisasi pelaksana program

tidak memiliki kemampuan melaksanakan tugas yang disyaratkan oleh

program maka organisasinya tidak dapat menyampaikan output program

dengan tepat. Atau, jika syarat yang ditetapkan organisasi pelaksana

34
program tidak dapat dipenuhi oleh kelompok sasaran maka kelompok

sasaran tidak mendapatkan output program. Oleh karena itu, kesesuaian

antara tiga unsur implementasi kebijakan mutlak diperlukan agar program

berjalan sesuai dengan rencana yang telah dibuat.

Model kesesuaian implementasi kebijakan yang diperkenalkan oleh

Korten memperkaya model implementasi kebijakan yang lain. Hal ini dapat

dipahami dari kata kunci kesesuaian yang digunakan. Meskipun demikian,

elemen yang disesuaikan satu sama lain – program, pemanfaat dan

organisasi – juga sudah termasuk baik dalam dimensi isi kebijakan (program)

dan dimensi konteks implementasi (organisasi) maupun dalam outcomes

(pemanfaat) pada model proses politik dan administrasi dari Grindle.

Menurut Grindle (1980: 10), to measure the performance of the

implementation of a public policy must consider the policy variables,

organizational and environmental. Untuk mengukur kinerja implementasi

suatu kebijakan publik harus memperhatikan variabel kebijakan, organisasi

dan lingkungan. Perhatian itu perlu diarahkan karena melalui pemilihan

kebijakan yang tepat maka masyarakat dapat berpartisipasi memberikan

kontribusi yang optimal untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Selanjutnya, ketika sudah ditemukan kebijakan yang terpilih diperlukan

organisasi pelaksana, karena di dalam organisasi ada kewenangan dan

berbagai sumber daya yang mendukung pelaksanaan kebijakan bagi

pelayanan publik. Sedangkan lingkungan kebijakan tergantung pada sifatnya

yang positif atau negatif. Jika lingkungan berpandangan positif terhadap

35
suatu kebijakan akan menghasilkan dukungan positif sehingga lingkungan

akan berpengaruh terhadap kesuksesan implementasi kebijakan. Sebaliknya,

jika lingkungan berpandangan negatif maka akan terjadi benturan sikap,

sehingga proses implementasi terancam akan gagal. Lebih daripada tiga

aspek tersebut, kepatuhan kelompok sasaran kebijakan merupakan hasil

langsung dari implementasi kebijakan yang menentukan efeknya terhadap

masyarakat.

Kriteria pengukuran keberhasilan implementasi menurut Ripley dan

Franklin (1986: 12), based on three aspects, namely: (1) the level of

adherence to bureaucratic red tape on it or the level of bureaucracy as

stipulated in the law, (2) the presence and absence of the smooth routine

problems, and (3) the implementation and impact (benefit) desired of all

existing programs targeted. Didasarkan pada tiga aspek, yaitu: (1) tingkat

kepatuhan birokrasi terhadap birokrasi di atasnya atau tingkatan birokrasi

sebagaimana diatur dalam undang-undang, (2) adanya kelancaran rutinitas

dan tidak adanya masalah; serta (3) pelaksanaan dan dampak (manfaat) yang

dikehendaki dari semua program yang ada terarah. Sedangkan menurut

Goggin et al. (1990: 20-21, 31-40), policy implementation process as a

transfer of information or messages from the institutions of higher

institutions to lower performance success is measured by variables: (1)

encouragement and coercion at the federal level, (2) the capacity of the

central / state, and (3) encouragement and coercion at central and local

levels. Proses implementasi kebijakan sebagai upaya transfer informasi atau

36
pesan dari institusi yang lebih tinggi ke institusi yang lebih rendah diukur

keberhasilan kinerjanya berdasarkan variabel: (1) dorongan dan paksaan

pada tingkat federal, (2) kapasitas pusat/negara, dan (3) dorongan dan

paksaan pada tingkat pusat dan daerah.

Variabel dorongan dan paksaan pada tingkat pusat ditentukan oleh

legitimasi dan kredibilitas, yaitu semakin sahih kebijakan yang dikeluarkan

oleh pemerintah pusat di mata daerah maka semakin besar kredibilitasnya,

begitu pula sebaliknya. Untuk mengukur kekuatan isi dan pesan kebijakan

dapat dilihat melalui: (i) besarnya dana yang dialokasikan, dengan asumsi

bahwa semakin besar dana yang dialokasikan maka semakin serius

kebijakan tersebut dilaksanakan dan (ii) bentuk kebijakan yang memuat

antara lain, kejelasan kebijakan, konsistensi pelaksanaan, frekuensi

pelaksanaan dan diterimanya pesan secara benar. Sementara itu, untuk

mengetahui variabel kapasitas pusat atau kapasitas organisasi dapat dilihat

melalui seberapa jauh organisasi pelaksana kebijakan mampu memanfaatkan

wewenang yang dimiliki, bagaimana hubungannya dengan struktur birokrasi

yang ada dan bagaimana mengkoordinasikan berbagai sumberdaya yang

tersedia dalam organisasi dan dalam masyarakat.

Model kesesuaian implementasi kebijakan atau program dari Korten

juga relevan digunakan sebagai kriteria pengukuran implementasi kebijakan.

Dengan kata lain, keefektifan kebijakan atau program menurut Korten

tergantung pada tingkat kesesuaian antara program dengan pemanfaat,

37
kesesuaian program dengan organisasi pelaksana dan kesesuaian program

kelompok pemanfaat dengan organisasi pelaksana.

Selain kriteria pengukuran implementasi kebijakan di atas, perlu pula

dipahami adanya hubungan pengaruh antara implementasi kebijakan dengan

faktor lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Van Meter dan Van Horn

(Grindle, 1980: 6) bahwa independent variables that are related to each

other at the same time linking between policy and performance. Variables

are referred to by both: (i) the size and purpose of the policy, (ii) the source

of the policy, (iii) the characteristics or nature of the agency / implementing

agency, (iv) inter-organizational communication and communication related

activities carried out, (v) the attitude of the implementers, and (vi) the

economic environment, social and political. Terdapat variabel bebas yang

saling berkaitan sekaligus menghubungkan antara kebijakan dengan prestasi

kerja. Variabel yang dimaksud oleh keduanya meliputi: (i) ukuran dan

tujuan kebijakan, (ii) sumber kebijakan, (iii) ciri atau sifat badan/instansi

pelaksana, (iv) komunikasi antar organisasi terkait dan komunikasi kegiatan

yang dilaksanakan, (v) sikap para pelaksana, dan (vi) lingkungan ekonomi,

sosial dan politik.

Sedangkan menurut Quade (1990: 310), Dalam proses implementasi

kebijakan yang ideal akan terjadi interaksi dan reaksi dari organisasi

pengimplementasi, kelompok sasaran dan faktor lingkungan yang

mengakibatkan munculnya tekanan dan diikuti dengan tindakan tawar-

menawar atau transaksi. Dari transaksi tersebut diperoleh umpan balik yang

38
oleh pengambil kebijakan dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam

perumusan kebijakan selanjutnya. Quade memberikan gambaran bahwa

terdapat empat variabel yang harus diteliti dalam analisis implementasi

kebijakan publik, yaitu: (1) Kebijakan yang diimpikan, yaitu pola interaksi

yang diimpikan agar orang yang menetapkan kebijakan berusaha untuk

mewujudkan; (2) Kelompok target, yaitu subyek yang diharapkan dapat

mengadopsi pola interaksi baru melalui kebijakan dan subyek yang harus

berubah untuk memenuhi kebutuhannya; (3) Organisasi yang melaksanakan,

yaitu biasanya berupa unit birokrasi pemerintah yang bertanggungjawab

mengimplementasikan kebijakan; dan (4) Faktor lingkungan, yaitu elemen

dalam lingkungan yang mempengaruhi implementasi kebijakan.

Dengan memperhatikan beberapa pengertian implementasi yang

telah dijelaskan di atas, maka kajian implementasi merupakan suatu proses

mengubah gagasan atau program menjadi tindakan, dan bagaimana

kemungkinan cara menjalankan perubahan tersebut. Untuk menganalisis

bagaimana proses implementasi kebijakan itu berlangsung maka dapat

dilihat dari berbagai model implementasi kebijakan. Untuk keperluan

penelitian ini, akan diambil beberapa pandangan mengenai implementasi,

masing-masing pandangan mewakili tiga dari empat perkembangan model

yang dikemukakan Parsons (1974) dalam Wahab (2003:70-81) model

implementasi kebijakan diantaranya yaitu:

39
a. Model Pendekatan Top-Down

Van Meter dan Van Horn (1975) dalam Wahab (2003:67),

memandang implementasi kebijakan sebagai “those actions by public or

provide individual-individual (or group) that are directed at the

achievement of objectives set forth in prior policy decision” (tindakan-

tindakan yang dilakukan oleh individu/pejabat-pejabat atau kelompok-

kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada pencapaian tujuan-

tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan).

Dalam teorinya, Van Meter dan Van Horn ini beranjak dari suatu

argumen bahwa perbedaan-perbedaan dalam proses implementasi akan

dipengaruhi oleh sifat kebijakan yang akan dilaksanakan. Selanjutnya

keduanya menawarkan suatu pendekatan yang mencoba untuk

menghubungkan antara isu kebijakan dengan implementasi dan suatu model

konseptual yang mempertalikan kebijakan dengan prestasi kerja

(performance). Mereka menegaskan pendiriannya bahwa perubahan, kontrol,

dan kepatuhan bertindak merupakan konsep-konsep penting dalam prosedur-

prosedur implementasi. Dengan memanfaatkan konsep-konsep tersebut,

maka permasalahan yang perlu dikaji dalam hubungan ini adalah hambatan-

hambatan apakah yang terjadi dalam mengenalkan perubahan dan organisasi?

Seberapa jauhkah tingkat efektivitas mekanisme-mekanisme kontrol pada

setiap jenjang struktur? (masalah ini menyangkut kekuasaan dari pihak yang

paling rendah tingkatannya dalam organisasi yang bersangkutan).

40
Atas dasar pandangan tersebut di atas, Van Meter dan Van Horn

kemudian berusaha untuk membuat tipologi kebijakan menurut: (1) jumlah

masing-masing perubahan yang akan dihasilkan dan, (2) jangkauan atau

lingkup kesepakatan terhadap tujuan di antara pihak-pihak yang terlibat

dalam proses implementasi. Alasan dikemukakannya hal ini ialah bahwa

proses implementasi itu akan dipengaruhi oleh dimensi-dimensi kebijakan

semacam itu, dalam artian bahwa implementasi kebanyakan akan berhasil

apabila perubahan yang dikehendaki relatif sedikit, sementara kesepakatan

terhadap tujuan terutama dari mereka yang mengoperasikan program di

lapangan relatif tinggi. Hal lain yang dikemukakan kedua ahli di atas ialah

bahwa jalan yang menghubungkan antara kebijakan dan prestasi kerja

dipisahkan oleh sejumlah variabel bebas (independent variable) yang saling

berkaitan. Variabel-variabel tersebut adalah: (1) ukuran dan tujuan kebijakan;

(2) sumber-sumber kebijakan; (3) ciri-ciri atau sifat badan/instansi pelaksana;

(4) komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan;

(5) sikap para pelaksana; dan (6) lingkungan ekonomi sosial dan politik.

b. Model Pendekatan Bottom-Up

Smith (Wahab, 2003:23) memandang implementasi sebagai proses

atau alur, melihat proses kebijakan dari perspektif perubahan sosial dan

politik, dimana kebijakan yang dibuat pemerintah bertujuan untuk

mengadakan perbaikan atau perubahan. Smith mengatakan bahwa ada empat

variabel yang perlu diperhatikan dalam proses implementasi kebijakan yaitu:

(a) idealized policy adalah suatu pola interaksi yang diidealisasikan perumus

41
kebijakan dengan tujuan untuk mendorong, mempengaruhi, dan merangsang

target group untuk melaksanakannya; (b) target group, yaitu bagian dari

policy stakeholders yang diharapkan dapat mengadopsi pola-pola interaksi

sebagaimana yang diharapkan oleh perumus kebijakan. Karena target group

ini banyak mendapat pengaruh dari kebijakan, maka diharapkan dapat

menyesuaikan pola-pola prilakunya dengan kebijakan yang dirumuskan; (c)

implementing organization, yaitu badan-badan pelaksana atau unit-unit

birokrasi pemerintah yang bertanggungjawab dalam implementasi kebijakan;

(d) environmental faktors, yaitu unsur-unsur di dalam lingkungan yang

mempengaruhi implementasi kebijakan (seperti aspek budaya, sosial,

ekonomi, dan politik).

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan Publik

Untuk mengimplementasikan suatu kebijakan bukanlah suatu hal

yang mudah, banyak hal atau factor yang mempengaruhinya. Sebagaimana

diungkapkannya oleh Repley (1985:53) bahwa kebijakan yang telah

diformulasikan dengan baik. Demi mendukung suatu kajian terhadap

implementasi kebijakan dapat digunakan model-model yang telah

dikembangkan oleh para ahli kebijakan publik. Beberapa diantaranya seperti

yang dikatakan Grindle (1980:53) dalam bukunya yang berjudul “ Politic

and policy implementation in the third world” dia mengatakan ada tiga

komponen kebijakan yaitu: policy objectives, activities or as a result of the

implementation and results of policy implementation. Tujuan kebijakan,

aktifitas pelaksanaan dan hasil atau akibat pelaksanaan kebijakan. Tujuan

42
kebijakan yang telah ditetapkan menjadi pedoman sebagai inspirasi dari

suatu kebijakan. Aktifitas pelaksanaan kebijakan dipengaruhi oleh content

dan context dari suatu kebijakan. Content dari suatu kebijakan terdiri dari:

1. Kepentingan pihak yang dipengaruhi (interest effected)

2. Tipe manfaat yang akan diperoleh (tipe of bonefids)

3. Derajat perubahan yang diharapkan (extent of change invisioned)

4. Posisi pengambil keputusan (Site of decision making)

5. Siapa pelaksana program (program implementators) dan

6. Sumber daya yang dilibatkan (resource commited)

Sedangkan context dari kebijakan terdiri tiga variabel :

1. Power, interests which made ​ ​ implementing. Kekuasaan,

kepentingan yang dilakukan pelaksana.

2. Characteristic regimes and institutions. Karakteristik rezim dan lembaga.

3. Compliance and responsiveness. Pemenuhan dan responsivitas

(Grindle,1980:54).

Kemudian menurut Van Metter dan Van Horn (1975) dalam

Winarno (2012:99), yang dapat mempengaruhi performance implementasi

suatu kebijakan terdiri dari enam variable: Standard dan obyektifitas; 2)

Sumber daya; 3) komunikasi interorganisasional dan penegakan kegiatan; 4)

Karakteristik instansi pelaksana; 5) ekonomi, kondisi politik dan sosial; Dan

6) disposisi pelaksana.

Menurut Gogging (1990:35), the failure to define the more important

variables of one variable with another variable. Generally, public policy is

43
made to answer or solve policy problems. Kegagalan dalam menetapkan

yang variabel lebih penting antara satu variabel dengan variabel yang lain.

Umumnya kebijakan publik dibuat untuk menjawab atau memecahkan

masalah kebijakan (policy problem). Masalah kebijakan, seperti dikatakan

Dunn adalah nilai, kebutuhan dan kesempatan yang belum terpuaskan, tetapi

dapat diidentifikasikan dan dicapai melalui tindakan publik, jawaban

terhadap pemecahan masalah publik merupakan tujuan kebijakan, yaitu

terpenuhinya kebutuhan, nilai dan peluang melalui tindakan kebijakan

(policy action).

Implementasi kebijakan bila dipandang dalam pengertian yang luas,

merupakan alat administrasi aturan dimana berbagai aktor, organisasi,

prosedur, dan teknik yang bekerja bersama-sama untuk menjalankan

kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan

(Winarno,2012:102).

Menurut teori implementasi kebijakan George Edward III (Winarno,

2012: 126-151), faktor-faktor yang mendukung implementasi kebijakan,

yaitu :

1) Komunikasi.

Ada tiga hal penting yang dibahas dalam proses komunikasi

kebijakan, yakni transmisi, konsistensi, dan kejelasan (clarity). Faktor

pertama yang mendukung implementasi kebijakan adalah transmisi. Seorang

pejabat yang mengimplementasikan keputusan harus menyadari bahwa suatu

44
keputusan telah dibuat dan suatu perintah umtuk pelaksanaanya telah

dikeluarkan.

Faktor kedua yang mendukung implementasi kebijakan adalah

kejelasan, yaitu bahwa petunjuk-petunjuk pelaksanaan kebijakan tidak

hanya harus diterima oleh para pelaksana kebijakan, tetapi komunikasi

tersebut harus jelas.

Faktor ketiga yang mendukung implementasi kebijakan adalah

konsistensi, yaitu jika implementasi kebijakan ingin berlangsung efektif,

maka perintah-perintah pelaksanaan harus konsisten dan jelas.

2) Sumber-sumber.

Sumber-sumber penting yang mendukung implementasi kebijakan

meliputi: staf yang memadai serta keahlian-keahlian yang baik untuk

melaksanakan tugas-tugas mereka, wewenang dan fasilitas-fasilitas yang

dapat menunjang pelaksanaan pelayanan publik.

3) Kecenderungan-kecenderungan atau tingkah laku-tingkah laku.

Kecenderungan dari para pelaksana mempunyai konsekuensi-

konsekuensi penting bagi implementasi kebijakan yang efektif. Jika para

pelaksana bersikap baik terhadap suatu kebijakan tertentu yang dalam hal ini

berarti adanya dukungan, kemungkinan besar mereka melaksanakan

kebijakan sebagaimana yang diinginkan oleh para pembuat keputusan awal.

45
4) Struktur birokrasi.

Birokrasi merupakan salah satu badan yang paling sering bahkan

secara keseluruhan menjadi pelaksana kebijakan, baik itu struktur

pemerintah dan juga organisasi-organisasi swasta.

Menurut teori proses implementasi kebijakan menurut Van Meter

dan Horn (Winarno, 2012:110), faktor-faktor yang mendukung

implementasi kebijakan, yaitu :

(a) Ukuran-ukuran dan tujuan kebijakan.

Dalam implementasi, tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran suatu program

yang akan dilaksanakan harus diidentifikasi dan diukur karena

implementasi tidak dapat berhasil atau mengalami kegagalan bila tujuan-

tujuan itu tidak dipertimbangkan.

(b) Sumber-sumber kebijakan.

Sumber-sumber yang dimaksud adalah mencakup dana atau perangsang

(incentive) lain yang mendorong dan memperlancar implementasi yang

efektif.

(c) Komunikasi antar organisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan.

Implementasi dapat berjalan efektif bila disertai dengan ketepatan

komunikasi antar para pelaksana.

(d) Karakteristik badan-badan pelaksana.

Karakteristik badan-badan pelaksana erat kaitannya dengan struktur

birokrasi. Struktur birokrasi yang baik akan mempengaruhi keberhasilan

suatu implementasi kebijakan.

46
(e) Kondisi ekonomi, sosial dan politik.

Kondisi ekonomi, sosial dan politik dapat mempengaruhi badan-badan

pelaksana dalam pencapaian implementasi kebijakan.

(f) Kecenderungan para pelaksana (implementors).

Intensitas kecenderungan-kecenderungan dari para pelaksana kebijakan

akan mempengaruhi keberhasilan pencapaian kebijakan.

Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tidak hanya ditujukan dan

dilaksanakan untuk intern pemerintah saja, akan tetapi ditujukan dan harus

dilaksanakan pula oleh seluruh masyarakat yang berada di lingkungannya.

Menurut James Anderson (Sunggono, 1994:144), masyarakat

mengetahui dan melaksanakan suatu kebijakan publik dikarenakan:

a. Respek anggota masyarakat terhadap otoritas dan keputusan-keputusan

badan-badan pemerintah;

b. Adanya kesadaran untuk menerima kebijakan;

c. Adanya keyakinan bahwa kebijakan itu dibuat secara sah, konstitusional,

dan dibuat oleh para pejabat pemerintah yang berwenang melalui

prosedur yang ditetapkan;

d. Sikap menerima dan melaksanakan kebijakan publik karena kebijakan itu

lebih sesuai dengan kepentingan pribadi;

e. Adanya sanksi-sanksi tertentu yaang akan dikenakan apabila tidak

melaksanakan suatu kebijakan.

47
5. Konsep Merit System

Kata merit berasal dari bahasa Inggris yang memiliki arti jasa,

manfaat serta prestasi. Merit pay merupakan pembayaran imbalan (reward)

yang dikaitkan dengan jasa atau kinerja seseorang maupun manfaat yang

telah diberikan karyawan kepada organisasi secara sederhana. Konsep

merit pay merupakan sistem pembayaran yang mengkaitkan imbalan

(reward) dengan prestasi kerja (performance) karyawan. Dalam hal ini

penilaian kinerja karyawan merupakan syarat mutlak yang harus dilakukan

manajemen agar merit pay dapat diterapkan dengan baik. Imbalan berupa

upah atau gaji merupakan salah satu diantara imbalan ekstrinsik yang

dapat dicapai orang-orang melalui kegiatan bekerja. (Sinurat, 2008:22).

Berdasarkan pendekatan analisa kosakata serta teori perubahan

perilaku tersebut, maka kebijakan personalia berdasarkan merit system

diberi batasan pengertian atau didefinisikan sebagai pengelolaan sumber

daya manusia yang didasarkan pada prestasi (merit) yaitu segenap kerja

pegawai dalam wujudnya sebagai baik atau buruk, hal mana berpengaruh

langsung pada naik atau turunnya penghasilan dan / atau karir jabatan

pegawai (Wungu dalam Sinurat, 2008:23).

Sistem merit menurut konsepsi disiplin ilmu merupakan suatu

sistem manajemen kepegawaian yang menekankan pertimbangan dasar

kompetensi bagi calon yang akan diangkat, ditempatkan, dipromosi, dan

dipensiun sesuai Undang-Undang yang berlaku. Kompetensi calon itu

mengandung arti calon harus punya keahlian dan profesionalisme sesuai

48
kebutuhan jabatan yang akan dipangku. Kompetensi, keahlian dan

profesionalistik calon menjadi pertimbangan utama. Sistem merit berasal

dari kata merit atau manfaat atau meritokrasi sebenarnya menunjukkan

kepada bentuk sistem politik yang memberikan penghargaan lebih kepada

mereka yang berprestasi atau berkemampuan yang dapat dipakai untuk

menentukan suatu jabatan tertentu (Meyrina, 2016:175).

Realita yang terjadi, Merit System dilaksanakan, tetapi

pelaksanaannya masih banyak terkontaminasi oleh praktek - praktek KKN

dan Politik. Proses pengangkatan calon secara diam-diam dilakukan tidak

sesuai dengan disiplin ilmu. Kompetensi calon diganti menjadi

kepentingan pemegang kekuasaan. Keahlian dan profesionalisme menjadi

sebaliknya, sesuai dengan persepsi dan keinginan pemegang kekuasaan

serta penempatan ditentukan oleh pertimbangan kedekatan calon dengan

pemegang kekuasaan.

Definisi dari Merit System menurut kosa kata “Merit; a good

quality which is deserve to be praised (hal-hal yang baik patut di hargai)”

sedangkan “System; a set of thing that that are connected or that work

together. (Gabungan beberapa faktor yang terkait satu sama lain, dan jika

salah satu faktor berubah akan mempengaruhi perubahan pada faktor-

faktor terkait lainnya) (Wungu & Jiwo. 2003:46).

Pengelolaan sumber daya manusia yang didasarkan pada prestasi

(Merit) yaitu segenap perilaku kerja pegawai dalam wujud nyata secara

baik atau buruk, hal mana berpengaruh langsung kepada naik atau

49
turunnya penghasilan dan atau karir pegawai. Kata merit berasal dari

bahasa Inggris yang memiliki arti jasa, manfaat serta prestasi. Merit pay

merupakan pembayaran imbalan (reward) yang dikaitkan dengan jasa atau

kinerja seseorang maupun manfaat yang telah diberikan karyawan kepada

organisasi secara sederhana. Konsep merit pay merupakan sistem

pembayaran yang mengkaitkan imbalan (reward) dengan prestasi kerja

(performance) karyawan. Dalam hal ini penilaian kinerja karyawan

merupakan syarat mutlak yang harus dilakukan manajemen agar merit pay

dapat diterapkan dengan baik. Imbalan berupa upah atau gaji merupakan

salah satu diantara imbalan ekstrinsik yang dapat dicapai orang-orang

melalui kegiatan bekerja.

Berdasarkan pendekatan analisa kosa kata serta teori perubahan

perilaku tersebut, maka kebijakan personalia berdasarkan Merit System

diberi batasan pengertian atau didefenisikan sebagai pengelolaan sumber

daya manusia yang didasarkan pada prestasi ( merit ) yaitu segenap

perilaku kerja pegawai dalam wujudnya sebagai baik atau buruk, hal mana

berpengaruh langsung pada naik atau turunnya penghasilan dan/atau karir

jabatan pegawai (Wungu & Jiwo, 2003:57).

Menurut Widodo (2007:15), merit sistem merupakan suatu sistem

penarikan atau promosi pegawai yang tidak didasarkan pada hubungan

kekerabatan, patrimonial (anak, keponakan, famili, alumni, daerah,

golongan, dan lain-lain) tetapi didasarkan pada pengetahuan, keterampilan,

kemampuan dan pengalaman yang dimiliki oleh orang yang bersangkutan.

50
Dengan menggunakan Merit System membuat orang-orang yang terlibat

dalam kegiatan usaha kerjasama menjadi cakap dan profesional dalam

menjalankan tugas dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.

Empat kebijakan pokok sebagai sub-sistem dari merit system

adalah penilaian prestasi kerja, penghasilan, karir dan pelatihan. Subsistem

pertama yang penting adalah kebijakan personalisa di bidang penilaian

karya pegawai dengan tujuan utamanya untuk menghasilkan nilai prestasi

kerja pegawai yang optimal objektif. Prestasi kerja adalah tindakan-

tindakan atau pelaksanaan tugas yang diselesaikan oleh seseorang dalam

kurun waktu tertentu dan dapat diukur.

Faktor-faktor prestasi kerja dipengaruhi oleh kecakapan, kerja,

kualitas kerja, pengembangan, tangung jawab, prakarsa, ketabahan,

kejujuran, tingkat kehadiran, kerjasama dan tingkah laku.

Penilaian prestasi kerja merupakan proses sistematik untuk menilai

segenap perilaku kerja pegawai dalam kurun waktu kerja tertentu yang

akan menjadi dasar penetapan kebijakan personalia dan pengembangan

pegawai.

Prestasi kerja dihasilkan oleh kemampuan atau ability dalam

wujudnya sebagai kapasitas untuk berprestasi, kemauan, semangat, hasrat

atau motivasi dalam wujudnya sebagai kesediaan untuk berprestasi, dan

kesempatan untuk berprestasi (Wungu & Jiwo, 2003:46).

Kebijakan personalia di bidang pemberian penghasilan

(compensation) sebagai sub sistem yang kedua bertujuan agar perusahaan

51
dapat memberikan imbalan jasa yang adil dan kompetitif bagi para

pegawainya (Wungu & Jiwo, 2003:49).

Kompensasi adalah sesuatu yang diterima karyawan sebagai

pengganti kontribusi jasa mereka pada perusahaan. Kompensasi memiliki

komponen-komponen seperti gaji, upah, insentif dan kompensasi tidak

langsung.

Imbalan berupa upah, gaji atau insentif dapat membantu

memberikan kepuasan pekerja untuk bekerja keras dalam upaya meraih

kinerja yang tinggi. Imbalan akan dinilai oleh individu. Individu juga

menerima atau memperoleh imbalan intrinsik dari pekerjaannya yaitu

penghargaan yang menjadi bagian dari pekerjaan itu sendiri, misalnya

tanggung jawab, tantangan, dan umpan balik (Ruky, 2006:76).

Besarnya imbalan yang sesuai dengan yang sepatutnya

menyebabkan individu mencapai tingkat kepuasannya. Sejumlah

penelitian telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh imbalan terhadap

kepuasan.

Edward Lawler (1988) dalam Wungu & Jiwo (2003:84)

menyimpulkan lima butir yang didasarkan atas riset kepustakaan perilaku,

yaitu :

1. Kepuasan imbalan merupakan fungsi atas berapa banyak diterima dan

berapa besar individu merasa sebaiknya menerima imbalan.

2. Penerapan kepuasan seseorang dipengaruhi oleh perbandingan dengan

apa yang diperoleh oleh orang lain.

52
3. Kepuasan dipengaruhi oleh seberapa puas karyawan oleh imbalan

instrinsik dan ekstrinsik.

4. Orang dengan imbalan yang berbeda memiliki keinginan dan

kepentingan yang berbeda bagi mereka.

5. Beberapa imbalan ekstrinsik dipuaskan karena mengarah kepada

imbalan lain.

Imbalan harus diberikan berdasarkan atas perilaku kerja yang

diinginkan dan bersifat spesifik serta adil. Berdasarkan teori harapan

dinyatakan bahwa gaji atau upah hanyalah satu diantara banyak imbalan

kerja yang dinilai oleh individu pada pekerjaan mereka. Apabila terdapat

harapan yang tinggi, upah atau gaji dapat menjadi sumber motivasi. Sub

sistem ketiga dari kebijakan personalia berdasarkan merit system adalah

berupa kebijakan personalia di bidang karir yang dapat memberikan

kepastian dan kejelasan arah jenjang karir jabatan pegawai dalam

wujudnya sebagai promosi (pindah jabatan lain yang lebih tinggi), rotasi

(pindah jabatan lain yang setara) ataupun demosi (pindah jabatan lain yang

lebih rendah). Sedangkan sub sistem keempat merit sistem adalah

pelatihan pegawai dengan tujuan utamanya untuk meningkatkan secara

optimal aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap-sikap kerja pegawai

(Wungu & Jiwo, 2003:54).

Karir adalah seluruh pekerjaan yang dimiliki atau dilakukan

individu selama masa hidupnya. Karir merupakan pola dari pekerjaan dan

sangat berhubungan dengan pengalaman (posisi, wewenang, keputusan,

53
dan interpretasi subjektif atas pekerjaan) dan aktivitas selama masa kerja

individu. Tujuan karir adalah posisi di masa mendatang yang ingin dicapai

oleh individu dalam pekerjaannya.

Salah satu faktor yang dapat merangsang profesionalisme adalah

jenjang karir yang jelas. Dengan adanya jenjang karir yang jelas akan

melahirkan kompetesi yang sehat, terukur dan terbuka, sehingga memacu

setiap individu untuk berkarya dan berbuat lebih baik. Karir adalah

keseluruhan jabatan, pekerjaan yang dapat diduduki seseorang selama

kehidupan kerjanya dalam organisasi atau dalam beberapa organisasi. Dari

sudut pandang pegawai jabatan merupakan suatu hal sangat penting sebab

setiap orang menginginkan suatu jabatan yang sesuai dengan keinginannya

dan menginginkan jabatan setinggi mungkin sesuai dengan

kemampuannya (Marihot, 2007:85).

Sub sistem keempat adalah terkait dengan pelatihan. Pelatihan

adalah proses sistematik pengubahan perilaku para karyawan dalam suatu

arah guna meningkatkan tujuan-tujuan organisasional. Pelatihan

dilaksanakan untuk meningkatkan tangung jawab dalam mencapai tujuan

perusahaan. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa pelatihan merupakan

proses keterampilan kerja timbal balik yang bersifat membantu. Sistem

Merit berjalan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut :

1. Merekrut dan mempromosikan karyawan atas dasar kemampuan

dengan Persaingan terbuka pada awalnya.

54
2. Melatih karyawan atas dasar kinerja atau prestasi. Inin termasuk

memperbaiki kinerja yang belum memadai, memisahkan mereka yang

memiliki kinerja kurang yang sulit untuk diperbaiki.

3. Mendorong pelatihan karyawan untuk memiliki kinerja yang bermutu

tinggi.

4. Melepaskan pengangkatan pada jabatan dari arena politik.

5. Memastikan bahwa karyawan melakukan pekerjaan sebagaimana telah

diklasifikasikan dan menerima upah.

6. Memberikan aturan yang jujur dan imparsial dan konsisten dalam

pengelolaan aturan.

7. Memastikan perlakuan yang adil dari karyawan dalam semua aspek

administrasi personalia tanpa mengacu kepada affiliasi politik, jenis

kelamin, agama, ketidakmampuan atau status perkawinan atau dasar

lainnya yang dilarang oleh undang-undang dan dengan mengacu

kepada hak privasi dan hak konstitusional sebagai warga negara.

Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi

Birokrasi Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2017 Tentang Standar

Kompetensi Jabatan Aparatur Sipil Negara pada pasal 1 ayat 6 berbunyi

“sistem merit adalah kebijakan dan manajemen ASN yang berdasarkan

pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar dengan

tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal

usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan.

55
6. Konsep Promosi Jabatan

Suatu motivasi yang mendorong seseorang untuk berpartisipasi

aktif dalam suatu organisasi atau perusahaan, antara lain kesempatan untuk

maju. Telah menjadi sifat dasar manusia pada umumnya untuk menjadi

lebih baik atau lebih maju dari pada posisi yang di milikinya pada saat ini.

Kesempatan untuk maju itu dalam organisasi sering disebut promosi.

Promosi memberikan peran penting bagi setiap karyawan, bahkan

menjadi idaman yang selalu dinanti-nantikan. Dengan promosi berarti ada

kepercayaan dan pengakuan mengenai kemampuan beserta kecakapan

karyawan yang berasngkutan untuk menduduki suatu jabatan yang tinggi.

Dengan demikian, promosi akan memberikan status sosial, wewenang,

tanggung jawab, serta penghasilan yang lebih besar serta fasilitas yang lain

bagi karyawan tersebut. (Hasibuan, 2006:107).

Adanya kesempatan untuk dipromosikan juga akan mendorong

penarikan (recruiting) pelamar yang yang semakin banyak memasukkan

lamarannya sehingga pengadaan (procurement) karyawan yang baik bagi

perusahaan akan lebih mudah. Sebaliknya, jika kesempatan untuk di

promosikan relatif kecil maka gairah kerja, semangat kerja, disiplin kerja,

dan prestasi kerja karyawan akan menurun. Penarikan dan pengadaan

karyawan semakin sulit bagi perusahaan bersangkutan. (Hasibuan,

2006:108).

Program promosi harus memberikan informasi tentang asas-asas,

dasar-dasar, jenis-jenis, dan syarat-syarat karyawan yang dapat di

56
promosikan dalam perusahaan bersangkutan. Program Promosi harus di

informasikan secara terbuka, baik asas, dasar, jenis, persyaratan, maupun

metode penilaian karyawan yang akan dilakukan dalam perusahaan. Jika

hal ini di informasikan dengan baik, akan menjadi motivasi bagi karyawan

untuk bekerja sungguh-sungguh. Promosi adalah perpindahan yang

memperbesar wewenang dan tanggung jawab karyawan ke jabatan yang

lebih tinggi di dalam suatu organisasi sehingga kewajiban, hak, status, dan

penghasilannya semakin besar. (Hasibuan, 2006:109).

Ada juga yang berpendapat Promosi Jabatan adalah perpindahan

seseorang ke tingkat pekerjaan dan kompensasi yang lebih tinggi termasuk

dalam proses seleksi. (Hasibuan, 2006:110).

Berdasarkan uraian di atas maka dapat di katakan bahwa promosi

adalah berpindahnya seorang karyawan pada jabatan yang lebih tinggi,

dengan wewenang, kekuasaan dan tanggung jawab yang lebih besar dari

sebelumnya dan biasanya di ikuti dengan penambahan gaji dan fasilitas

lain sesuai dengan tugas baru tersebut.

Asas promosi harus dituangkan dalam program promosi secara

jelas sehingga karyawan mengetahui dan perusahaan mempunyai

pegangan untuk mempromosikan karyawan (Hasibuan, 2006:108). Berikut

beberapa asas asas promosi :

a. Kepercayaan

Promosi hendaknya berasaskan pada kepercayaan atau keyakinan

mengenai kejujuran, kemampuan, dan kecakapan karyawan yang

57
bersangkutan dalam melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik pada

jabatan tersebut. Karyawan baru akan dipromosikan jika karyawan

tersebut menunjukkan kejujuran, kemampuan kerja, dan kecakapannya

dalam memangku jabatan.

b. Keadilan

Promosi berasaskan keadilan, terhadap penilaian kejujuran, kemampuan,

dan kecakapan semua karyawan. Penilaian harus jujur dan objektif

tidak pilih kasih atau suka dan tidak suka. Karyawan yang mempunyai

peringkat (ranking) terbaik hendaknya mendapat kesempatan pertama

untuk di promosikan tanpa melihat suku, golongan, dan keturunan.

Promosi yang berasaskan keadilan akan menjadi alat motivasi bagi

karyawan untuk meningkatkan prestasinya.

c. Formasi

Promosi harus berasaskan kepada formasi yang ada, karena promosi

karyawan hanya mungkin dilakukan jika ada formasi jabatan yang

lowong. Untuk itu harus ada uraian pekerjaan atau jabatan (job

description) yang akan di laksanakan karyawan. Jadi, promosi

hendaknya di sesuaikan dengan formasi jabatan yang ada didalam

perusahaan.

Program promosi hendaknya memberikan informasi yang jelas, apa

yang di jadikan sebagai dasar pertimbangan untuk mempromosikan

seseorang karyawan dalam perusahaan tersebut. Hal ini penting supaya

karyawan dapat mengetahui dan memperjuangkan nasibnya. Pedoman

58
yang di jadikan dasar untuk mempromosikan karyawan adalah:

(Burhanuddin, 198).

a. Pengalaman (senioritas)

Pengalaman yaitu promosi yang di dasarkan pada lamanya

pengalaman kerja karyawan. Pertimbangan promosi adalah

pengalaman kerja seseorang, orang yang terlama bekerja dalam

perusahaan mendapat perioritas pertama dalam tindakan promosi.

Kebaikannya adalah adanya penghargaan dan pengakuan bahwa

pengalaman merupakan saka guru yang berharga. Dengan

pengalaman, seseorang akan dapat mengembangkan kemampuannya

sehingga karyawan tetap betah bekerja pada perusahaan dengan

harapan suatu waktu dia akan dipromosikan.

b. Kecakapan (ability)

Kecakapan yaitu seseorang yang akan di promosikan berdasarkan

penilaian kecakapan. Pertimbangan promosi adalah kecakapan,

orang yang cakap atau ahli akan mendapatkan prioritas pertama

untuk dipromosikan. Kecakapan adalah total dari semua keahlian

yang diperlukan untuk mencapai hasil yang bisa dipertanggung

jawabkan.

c. Kombinasi Pengalaman dan Kecakapan

Kombinasi pengalaman dan kecakapan yaitu promosi yang

berdasarkan pada lamanya pengalaman dan kecakapan. Pertimbangan

promosi adalah berdasarkan lamanya dinas, ijazah pendidikan formal yang

59
dimiliki dan hasil ujian kenaikan golongan. Cara ini adalah dasar promosi

yang terbaik dan paling tepat karena mempromosikan orang yang paling

pengalaman dan terpintar, sehingga kelemahan promosi hanya berdasarkan

pengalaman dan kecakapan saja dapat diatasi.

7. Syarat - Syarat atau Indikator Promosi Jabatan

Menurut Hasibuan (2006:111), persyaratan promosi untuk setiap

perusahaan tidak selalu sama tergantung kepada perusahaan masing

masing. Syarat - syarat promosi pada umumnya meliputi hal hal berikut :

a. Disiplin

Karyawan harus disiplin pada dirinya, tugas tugasnya, serta mentaati

peraturan-peraturan yang berlaku baik tertulis maupun kebiasaan.

Disiplin karyawan sangat penting karena hanya dengan kedisiplinan

memungkinkan perusahaan dapat mencapai hasil yang optimal.

b. Prestasi kerja

Karyawan itu mampu mencapai hasil kerja yang dapat di pertanggung

jawabkan kualitas maupun kuantitas dan bekerja secara efektif dan

efisien. Hal ini menunjukkan bahwa karyawan dapat memanfaatkan

waktu dan mempergunakan alat alat dengan baik.

c. Kecakapan

Karyawan itu cakap, kreatif dan inovatif dalam menyelesaikan

pekerjaannya dengan baik, tanpa mendapat bimbingan yang terus-

menerus dari atasannya.

60
d. Loyalitas

Karyawan harus loyal dalam membela perusahaan atau korps dari

tindakan yang merugikan perusahaan atau korpsnya. Ini menunjukkan

bahwa dia ikut berpartisipasi aktif terhadap perusahaan atau korpsnya.

e. Pengalaman

Dengan pengalaman kerja yang lebih banyak dan lebih luas diharapkan

karyawan tersebut mempunyai kemampuan yang lebih tinggi, ide-ide

lebih banyak dan lebih cakap dalam menghadapi masalah.

f. Komunikatif

Karyawan itu dapat berkomunikasi secara efektif dan mampu menerima

atau mempersepsi informasi dari atasan maupun dari bawahannya

dengan baik, sehingga tidak terjadi miskomunikasi.

g. Pendidikan

Karyawan harus telah memiliki ijazah dari pendidikan formal sesuai

dengan spesifikasi jabatan.

Menurut Burhanuddin (201), tujuan dan manfaat promosi jabatan

adalah sebagai berikut :

a. Meningkatkan semangat kerja, perusahaan mempromosikan karya-wan

secara obyektif dan terprogram, maka karyawan akan terdorong untuk

bekerja yang lebih baik lagi, sehingga semangat kerja meningkat.

b. Untuk menjamin kesetabilitas kepegawaian, dengan adanya kesetabi-

lan kepegawaian maka aktifitas perusahaan tidak terganggu oleh ma-

61
salah kepegawaian, karena ketidakstabilan kepegawaian akan

menyebabkan aktivitas perusahaan tersebut terganggu.

c. Untuk memberikan pengakuan, jabatan, dan imbalan jasa yang semakin

besar kepada karyawan yang berprestasi kerja tinggi.

d. Memberikan kesempatan pada karyawan untuk mengembangkan

kreatifitas dan inovasi kerjanya serta dapat memperluas pengetahuan

dan pengalaman kerja.

e. Dapat menimbulkan kepuasan dan kebanggaan pribadi, status sosial

semakin tinggi dan penghasilan semakin besar.

f. Untuk merangsang karyawan agar bergairah, berdisiplin tinggi dan

memperbesar produktifitas kerja.

g. Kesempatan promosi dapat menimbulkan keuntungan berantai

(multiplier effect) dalam perusahaan karena timbulnya lowongan

berantai.

h. Untuk menambah/memperluas pengetahuan serta pengalaman kerja

para karyawan dan ini merupakan daya dorong bagi karyawan lainnya.

i. Untuk mengisi kekosangan jabatan karena pejabatnya berhenti. Agar

jabatan itu tidak lowong, maka dipromosikan karyawan lainnya.

j. Promosi akan memperbaiki status karyawan dari karywan sementara

menjadi karyawan tetap setelah lulus dalam masa percobaan.

Jenis-jenis promosi sebagai berikut : (Hasibuan, 2006:113).

62
a. Promosi Sementara (Temporary Promotion)

Seseorang karyawan dinaikkan jabatannya untuk sementara karena

adanya jabatan yang lowong atau kosong yang harus segera di isi,

seperti pejabat dekan dan lain sebagainya.

b. Promosi tetap (Permanent Promotion)

Seseorang karyawan di promosikan dari suatu jabatan ke jabatan yang

lebih tinggi karena karyawan tersebut telah memenuhi syarat untuk di

promosikan. Sifat promosi ini adalah tetap. Misalnya, seseorang dosen

dipromosikan menjadi dekan, wewenang, tanggung jawab, serta gajinya

akan naik.

c. Promosi kecil (Small Scale Promotion)

Menaikkan jabatan seseorang karyawan dari jabatan yang tidak sulit di

pindahkan ke jabatan yang sulit yang meminta keterampilan tertentu,

tetapi tidak di sertai dengan peningkatan wewenang, tanggung jawab,

dan gaji.

d. Promosi Kering (Dry Promotion)

Seorang karyawan dinaikkan jabatannya ke jabatan yang lebih tinggi

disertai dengan peningkatan pangkat, wewenang, dan tanggung jawab

tetapi tidak di sertai dengan kenaikan gaji atau upah.

63
C. Kerangka Pikir

Gambar 1.
Skema Kerangka Pikir

Promosi Jabatan Aparatur


Sipil Negara
Implementasi Merit System 1. Disiplin
1. Aktivitas 2. Prestasi kerja
pengorganisasian. 3. Kecakapan
2. Interpretasi. 4. Loyalitas
3. Aplikasi. 5. Pengalaman
6. Komunikatif
7. Pendidikan

Faktor Yang Mempengaruhi


Implementasi Implementasi
Merit System
1. Komunikasi
2. Sumberdaya
3. Disposisi
4. Struktur birokrasi

64
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain dan Pendekatan Penelitian

1. Desain Penelitian

Pada penelitian ini, desain penelitian yang digunakan adalah desain

kualitatif. Desain kualitatif pada prinsipnya mempunyai tujuan yang sama dengan

titik pandang yang menggambarkan bahwa desain kualitatif tersebut adalah

berbentuk deskriptif. Sesuai dengan tujuan daripada penelitian ini adalah untuk

menggambarkan atau mendeskripsikan implementasi merit system dalam promosi

jabatan aparatur sipil negara di Kabupaten Buton.

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

deskriptif. Penelitian deskriptif adalah suatu penelitian dengan tujuan untuk

memperoleh gambaran secara sistematik, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta

yang terjadi di lapangan. (Moleong, 2010:45).

Beberapa alasan mengapa peneliti ini menggunakan pendekatan deskriptif

antara lain, (1) untuk lebih memudahkan proses penelitian karena permasalahan

yang ingin diketahui adalah proses sebuah fenomena, yaitu implementasi merit

system dalam promosi jabatan aparatur sipil negara di Kabupaten Buton, tidak

hanya melihat teks normatif dari regulasi yang ada tetapi juga bentuk

implementasi dari teks normatif dan regulasi tersebut. (2) untuk mengetahui lebih

mendalam suatu fenomena atas permasalahan tersebut, maka peneliti perlu

berbicara dan mendengar langsung dari aktor atau narasumber yang terlibat dalam

65
promosi jabatan. (3) melalui penelitian deskriptif, peneliti berusaha

mendeskripsikan implementasi merit system dalam promosi jabatan aparatur sipil

negara di Kabupaten Buton yang menjadi pusat perhatian tanpa memberikan

perlakuan khusus terhadap permasalahan tersebut.

B. Fokus Penelitian dan Definisi Konseptual

1. Fokus Penelitian

Sugiyono (2011:32) mengungkapkan fokus penelitian kualitatif bersifat

holistik (menyeluruh, tidak dapat dipisah-pisahkan) sehingga penelitian kualitatif

menetapkan penelitiannya berdasarkan keseluruhan situasi sosial yang diteliti

yang meliputi aspek tempat (place), pelaku (actor), dan aktivitas (activity) yang

berinteraksi secara sinergi. Pada penelitian ini fokus penelitiannya mengenai

implementasi merit system dalam promosi jabatan aparatur sipil negara di

Kabupaten Buton, dimana implementasi merit system dan promosi jabatan

sebagai aktivitas (activity), pegawai sebagai pelaku (actor) dan Kabupaten Buton

sebagai tempat (place).

2. Definisi Konseptual

1) Kebijakan publik dalam penelitian ini adalah suatu tindakan yang dilakukan

oleh pemerintah dengan menetapkan merit system dalam promosi jabatan

aparatur sipil negara di Kabupaten Buton.

2) Implementasi kebijakan artinya rangkaian kegiatan yang terencana dan

bertahap yang dilakukan oleh instansi pelaksana dengan didasarkan pada

kebijakan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Buton terkait

merit system dalam promosi jabatan aparatur sipil negara.

66
3) Merit system artinya pengelolaan sumber daya manusia yang didasarkan pada

prestasi (merit) yaitu segenap kerja pegawai dalam wujudnya sebagai baik

atau buruk, hal mana berpengaruh langsung pada naik atau turunnya

penghasilan dan / atau karir jabatan pegawai.

4) Implementasi merit system memiliki tiga aspek yaitu:

a. Aktivitas pengorganisasian (organization) merupakan suatu upaya

menetapkan dan menata kembali sumber daya, unit-unit dan metode-

metode yang mengarah pada upaya mewujudkan (merealisasikan

kebijakan menjadi hasil sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dan

sasaran kebijakan. Indikatornya adalah penetapan sumber daya pegawai,

keuangan, sarana dan prasarana, penetapan unit-unit kerja pegawai dan

penetapan metode pelaksanaan kebijakan.

b. Interpretasi (intrepretation) merupakan aktivitas interpretasi substansi

dari suatu kebijakan dalam bahasa yang lebih operasional dan mudah

dipahami sehingga substansi kebijakan dapat dilaksnakan dan dapat

diterima oleh para pelaku dan sasaran kebijakan. Indikatornya adalah

pemahaman pegawai pelaksana kebijakan terhadap implementasi merit

system, dan dukungan terhadap promosi ASN secara profesional.

c. Aplikasi (application) merupakan aktivitas penyediaan pelayanan secara

rutin, pembayaran atau lainnya sesuai dengan tujuan dan sarana

kebijakan yang ada. Indikatornya adalah penyediaan layanan pengaduan

atas promosi jabatan, dan prosedur pengangkatan ASN atas dasar

peraturan yang berlaku.

67
3. Faktor yang mempengaruhi implementasi implementasi merit system

memiliki empat aspek yaitu :

a. Komunikasi artinya keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan

agar pegawai mengetahui apa yang harus dilakukan dalam pelaksanaan

kebijakan promosi jabatan. Indikatornya yaitu adanya sosialisasi tentang

promosi jabatan berdasarkan merit system, keterbukaan informasi

mengenai promosi jabatan.

b. Sumberdaya artinya walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan

secara jelas dan konsisten, tetapi apabila pemerintah Kabupaten Buton

kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan, implementasi tidak akan

berjalan efektif. Indikatornya yaitu penyediaan sumber daya pegawai

yang memadai, tersedianya sarana dan prasarana, alokasi anggaran dalam

promosi jabatan yang didasarkan merit system dan metode pelaksanaan

promosi jabatan.

c. Disposisi artinya watak dan karakteristik yang dimiliki oleh pegawai

yang mengikuti promosi jabatan seperti komitmen, kejujuran, dan sifat

demokratis. Apabila pegawai yang dipromosikan memiliki disposisi yang

baik seperti apa yang diharapkan oleh pembuat kebijakan. Indikatornya

yaitu dukungan peraturan daerah, dan adanya dukungan masyarakat

dalam promosi jabatan tersebut.

d. Struktur birokrasi yaitu mekanisme atau prosedur mengimplementasikan

kebijakan promosi jabatan yang didasarkan pada merit system.

68
Indikatornya yaitu adanya efisiensi struktur birokrasi, penyediaan dan

memaksimalkan kerja pegawai.

4. Promosi jabatan ASN artinya perpindahan yang memperbesar wewenang dan

tanggung jawab pegawai ke jabatan yang lebih tinggi di dalam suatu

organisasi sehingga kewajiban, hak, status, dan penghasilannya semakin

besar.

C. Jenis Data, Sumber Data, dan Teknik Penentuan Informan

1. Jenis Data

Data yang digunakan sebagai dasar untuk menunjang penelitian ini

(Moleong, 2010:32) adalah:

1. Data primer diperoleh dari dua sumber yaitu observasi dan wawancara.

Observasi adalah sumber data yang diperoleh melalui kegiatan pengamatan

lapangan. Kegiatan ini sepenuhnya menjadi aktivitas peneliti secara aktif di

lapangan untuk mengamati secara langsung berbagai aktivitas yang berkaitan

dengan masalah yang diteliti. Wawancara penelitian dengan tanya jawab

kepada para informan yaitu tim seleksi promosi jabatan, dan pegawai yang

mengikuti promosi jabatan di Kabupaten Buton.

2. Data sekunder diperoleh dari penelusuran dokumentasi lembaga atau instansi

berupa LAKIP Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya

Manusia Kabupaten Buton, Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber

Daya Manusia Kabupaten Buton, dan daftar nominatif pegawai dan struktur

organisasi. Lembaga atau instansi ditentukan berdasarkan fungsinya dan

mempunyai keterkaitan dengan masalah yang diteliti.

69
2. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian adalah subjek darimana data dapat diperoleh.

Apabila penelitian menggunakan wawancara dalam pengumpulan datanya, maka

sumber data disebut informan, yaitu orang-orang yang menjawab pertanyaan-

pertanyaan peneliti, baik pertanyaan tertulis maupun pertanyaan lisan.

Sumber data utama dalam penelitian berupa kata-kata dan tindakan

selebihnya merupakan data tambahan seperti dokumen dan sumber data yang lain.

Penelitian yang dilakukan peneliti di Badan Kepegawaian dan Pengembangan

Sumber Daya Manusia Kabupaten Buton menggunakan data yang berasal dari

wawancara, sehingga sumber daya dalam penelitian ini adalah kata-kata yang

diperoleh dari informan (pegawai Badan Kepegawaian dan Pengembangan

Sumber Daya Manusia Kabupaten Buton) dan dokumen yang merupakan data

tambahan. Dalam hal ini data penelitian diperoleh dari sumber data yang terbagi

atas:

(1) Sumber personal, data yang diperoleh berupa jawaban lisan. Dalam hal ini,

sumber data dapat diperoleh dari pegawai Badan Kepegawaian dan

Pengembangan Sumber Daya Manusia Kabupaten Buton.

(2) Sumber place, sumber data yang menyajikan tampilan yang berupa keadaan di

Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kabupaten

Buton tersebut. Sumber data ini diperoleh dari pengamatan peneliti tentang

suasana dan keadaan di Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber

Daya Manusia Kabupaten Buton.

70
(3) Sumber paper, sumber data yang menyajikan data berupa tulisan-tulisan,

arsip-arsip, notulen rapat, paper. Sumber paper dapat diperoleh dari Rencana

kerja Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia

Kabupaten Buton, dan Laporan kinerja Badan Kepegawaian dan

Pengembangan Sumber Daya Manusia Kabupaten Buton.

3. Teknik Penentuan Informan

Menurut Nasution (2008:23), “dalam penelitian kualitatif yang menjadi

subjek penelitian hanyalah sumber yang dapat memberikan informasi dan data

yang berhubungan dengan penelitian”. Metode purposive digunakan untuk

menentukan sumber informasi yang diwawancarai. Sedangkan sumber informasi

berikutnya (pegawai yang terlibat langsung dalam seleksi promosi jabatan di

Kabupaten Buton, ditentukan melalui accidental sampling yaitu mereka yang

ditemui pada saat dilakukan penelitian. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka

yang menjadi subjek atau informan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia

Kabupaten Buton.

2. Tim Seleksi Promosi Jabatan di Kabupaten Buton

3. Pegawai yang mengikuti seleksi promosi jabatan pimpinan tinggi pratama.

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini dilakukan

melalui langkah-langkah sebagai berikut:

1. Pengamatan (observation), dilakukan dengan pengamatan secara langsung di

lokasi penelitian di Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya

71
Manusia Kabupaten Buton untuk melengkapi dan mendukung data/informasi

yang diperoleh melalui wawancara dan dokumentasi penelitian. Kegiatan ini

sepenuhnya menjadi aktivitas peneliti secara aktif di lapangan untuk

mengamati secara langsung berbagai aktivitas para pegawai dalam

memberikan pelayanan kepada masyarakat, mengamati sarana prasarana, dan

kondisi kantor yang berkaitan dengan masalah yang diteliti

2. Wawancara yaitu penulis berkomunikasi secara lisan atau bertatap muka

(wawancara). Menurut Nawawi (2001:111) wawancara adalah “usaha

mengumpulkan informasi dengan mengajukan sejumlah pertanyaan secara

lisan untuk dijawab secara lisan pula”. Dalam teknik ini, penulis

mempersiapkan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada Kepala Badan

Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kabupaten Buton,

tim seleksi promosi jabatan di Kabupaten Buton dan pegawai yang mengikuti

seleksi promosi jabatan pimpinan tinggi pratama guna mendapatkan informasi

yang diperlukan dalam bentuk pedoman wawancara.

3. Penelitian kepustakaan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari

teori dan pendapat beberapa ilmu dengan cara membaca berbagai literatur,

majalah, surat kabar dan jenis-jenis karya ilmiah lainnya.

4. Dokumentasi, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara menelusuri

dokumen-dokumen yang berhubungan dengan implementasi merit system

dalam promosi jabatan di Kabupaten Buton seperti program kerja Badan

Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kabupaten Buton,

laporan pertanggung jawaban Badan Kepegawaian dan Pengembangan

72
Sumber Daya Manusia Kabupaten Buton, dan profil Badan Kepegawaian dan

Pengembangan Sumber Daya Manusia Kabupaten Buton.

E. Teknik Analisis Data

Sesuai dengan jenis penelitian ini, yaitu deskritif, maka pengolahan dan

analisa data yang digunakan yaitu teknik analisis kualitatif. Menurut Azwar

(2009:5) “analisis kualitatif artinya suatu teknik analisis yang lebih menekankan

analisisnya pada proses penyimpulan induktif serta analisis terhadap dinamika

hubungan antar fenomena yang diamati, dengan menggunakan logika ilmiah”.

Artinya, analisis tersebut akan menguraikan serta menghubungkan antar hasil

yang diperoleh dari wawancara mendalam dengan catatan lapangan sebagai hasil

observasi. Antara apa yang dilihat dan apa yang didengar, diurai secara cermat

dalam kata-kata sehingga dapat membangun konsep yang lebih bermakna, dalam

mengkaji permasalahan penelitian. Kesimpulan-kesimpulan tersebut diharapkan

dapat melahirkan proposisi-proposisi tentang implementasi merit system dalam

promosi jabatan aparatur sipil negara di Kabupaten Buton. Penelitian ini juga

menggunakan model data interaktif dari Miles Huberman dan Saldana (2014)

yang terdiri dari pengumpulan data, reduksi data, penyajian data dan penarikan

kesimpulan.

F. Lokasi dan Jadwal Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ditetapkan di Badan Kepegawaian dan Pengembangan

Sumber Daya Manusia Kabupaten Buton. Alasan peneliti mengambil lokasi ini

73
yaitu peneliti menduga bahwa promosi jabatan di Kabupaten Buton belum

maksimal yang disebabkan oleh pelaksanaan merit sistem dalam promosi jabatan

di Kabupaten Buton masih dipengaruhi oleh kepentingan politik (intervensi dari

pihak yang berkepentingan dan desakan - desakan masyarakat).

2. Jadwal Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam jangka waktu tiga bulan, dengan rincian

sebagai berikut:

Tabel 3.2.

Jadwal Penelitian

Bulan/Tahun
No Jenis Kegiatan Maret Ket
April 2021 Mei 2021
2021
1. Orientasi lapangan
2. Studi literatur
Seminar dan revisi
3.
proposal penelitian
Penelitian lapangan
4.
dan analisis data
Pengumpulan hasil
5.
penelitian
6. Penyusunan Tesis
Konsultasi hasil
7.
penelitian
Ujian Tesis dan
8.
revisi

74
DAFTAR PUSTAKA

Abidin. 2006. Kebijakan Publik, Edisi Revisi, Jakarta: Suara Bebas

Ahmad Faiz, Retno Sunu Astuti & Teuku Afrizal. 2020. Sistem Merit pada Sektor
Pemerintahan : Proses Pengisian dan Penempatan Jabatan Pelaksana di
Badan Kepegawaian Daerah Jawa Tengah

Azwar, Saifuddin. 2009. Metodologi Penelitian. Yogyakarta. Pustaka Pelajar


(2009

Baedhowi. 2004. Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah Bidang Pendidikan:


Studi Kasus di Kabupaten Kendal dan Kota Surakarta, Disertasi
Departemen Ilmu Administrasi FISIP Universitas Indonesia, Jakarta

Burhanuddin, Yusuf. 2015. Manajemen Sumber Daya Manusia Di Lembaga


Keuangan Syariah, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Edwards III. George C. 1984. Implementing Public Policy. Washington, D.C:


Congressional Quarterly Press

Goggin Malcolm L et al. 1990. Implementation, Theory and Practice: Toward a


Third Generation, Scott, Foresmann and Company, USA

Grindle, Merilee S. 1980. Politics and Policy Implementations in the Third Word,
New jersey: Princetown University Press

Hasibuan, Malayu. 2006. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi


Aksara.

Hanif. 2016. Sistem kompensasi PNS Berbasis Kinerja. Ekonomi Dan Bisnis
Islam. 1(April) 2016, 92–104.

Keban. 2004. Perbedaan Kebijakan dan Kebijaksanaan. Rineka Cipta, Jakarta

Killian, Jerri and Niklas Eklund. 2008. Handbook of administrative reform an


international perspective. London New York. CRC Press Taylor & Francis
Group

Kismartini. 2005. Implementasi Kebijakan Publik, Yogyakarta: Lukman Offset

Marihot, T. Efendi Hariadja. 2007. Manajemen Sumber Daya Manusia. PT.


Grafindo Anggota Ikapi

Marthen, R., & Polidu, I. 2018. Kepegawaian Daerah Kabupaten Gorontalo


Utara. Gorontalo Law Review. Volume 1 April 2018.

75
Mazmanian D.A. Dan Sabatier, P.A., 2001, Implementation And Public Policy,
Scott Foresman And Company, USA, London.

Meyrina, R. S. A. 2016. Implementasi Peningkatan Kinerja Melalui Merit Sistem


Guna Melakanakan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara No. 5 Tahun
2014 Di Kementerian Hukum Dan HAM. Pedagogia, 10(no.2, juli 2016),
175– 185.

Moleong, Lexy. J .2010, Metodologi Penelitian Kualitatif Penerbit PT. Remaja


Rosdakarya, Bandung

Nakamura, Robert T and FrankSmallwood. 1980. The Politics of Policy


Implementation, St. Martin Press, New York

Nasution, M. Arif. 2008. Metodologi Penelitian. Medan: Fisip USU Press

Nawawi, Hadari. 2001. Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Gajah Mada

Nugroho, Rian. 2004. Kebijakan publik; Formula, Implementasi, dan Evaluasi.


PT.Gramedia. Bandung

Nurwita Ismail. 2019. Merit System Dalam Mewujudkan Transparansi


Pembinaan Karier Aparatur Sipil Negara. Fakutlas Hukum Universitas
Gorontalo

Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi


Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2017 Tentang Standar Kompetensi
Jabatan Aparatur Sipil Negara

Purwanto E.A. dan Sulistyastuti. 2015. Metode Penelitian Kuantitatif. Yogyakarta:


Gava Media

Quade E.S. 1990. Analysis For Public Decisions, Elsevier Science Publishers,
New York

Rajasa, Sutan. 2009. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Mitra Cendekia.


Surabaya

Rasyid Ryaas, 2008. Makna Pemerintah: Tinjauan dari Segi Etika dan
Kepemimpinan. PT.Yasri. Jakarta

Reeves Diane Lindsey and Don Rauf. 2005. Career Ideal for teens in Government
and public service. Library of congress cataloging in publication data

Repley Randall B. 1985. Policy Analysis In Polical Science. Cicago : Nelson-


Hall Inc

76
Ripley, Randall., & Franklin, Grace A. 1986. Bureucracy and Policy
Implementation. Homewood: The Dorsey Press

Ruky, Rahman. 2006. Penilaian Kinerja Organsasi. Jakarta: Rajawali Pers

Sabatier, Paul. 1986. “Top down and Bottom up Approaches to Implementation


Research” Journal of Public Policy 6, (Jan), h. 21-48

Sinurat, Sumiati. P. 2008. Analisis Pengaruh Merit System Terhadap Peningkatan


Kinerja Guru SMU Dharma Pancasila di Medan. Sekolah Pascasarjana.
Universitas Sumatera Utara. Medan.

Subarsono AG. 2005. Analisis Kebijakan Publik:Konsep, teori, dan Aplikasi,


Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:


Alfabeta.

Sunggono, Bambang. 1994. Aturan dan Kebijaksanaan Publik. Jakarta: Sinar


Grafika

Tangkilisan, Hessel Nogi S. 2003. Kebijakan Publik: Untuk Pemimpin


Berwawasan Internasional, Balairung, Yogyakarta

Tarigan. 2000. Artikulasi Konsep Implementasi Kebijakan: Perspektif, Model dan


Kriteria Pengukurannya, Jurnal Kebijakan Publik. Jakarta

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 32 ayat


(2)

Wahab, Solihin, A. 2003. kebijakan sebagai prinsip pengambilan keputusan,


Bumi Aksara, Jakarta

Wibawa, Samodra. 1994. Kebijakan Publik, Intermedia Jakarta

Widodo, Joko. 2007. Analisis Kebijakan Publik. Bayumedia Publising. Malang

Winarno, Budi. 2012. Kebijakan Publik; Teori dan proses. Media press.
Yogyakarta

Wungu & Jiwo. 2003. Tingkatkan Kinerja Perusahaan dengan Merit System. PT.
Rajagrafindo Persada, Jakarta.

77

Anda mungkin juga menyukai