212.56
CV SAH MEDIA
Jl. Antang Raya No. 83
Kel. Antang, Kec. Manggala, Kota Makassar
Telp. 0411-497150, HP. 081343617376
Email: sah_media@yahoo.com www.penerbitsahmedia.co.id
ii ETIKA BIROKRAT
KATA PENGANTAR
iv ETIKA BIROKRAT
DAFTAR ISI
'A)TA5,6, v
BAB VI Konsep Etika Administrasi dan Etika
Birokrasi .............................................................. 111
A. Konsep Etika Administrasi ....................... 111
B. Konsep Etika Birokrasi .............................. 116
BAB VII Strategi Penerapan Etika Birokrasi dalam
Pelayanan Publik................................................ 129
A. Etika Birokrat dalam Pelayanan Izin
Usaha di Kota Makassar ............................ 135
B. Strategi Birokrat dalam Pelayanan Izin
Usaha di Kota Makassar ............................ 163
C. Faktor Determinan dalam Pelayanan Izin
Usaha di Kota Makassar ............................ 176
BAB VIII Penutup ............................................................... 205
A. Kesimpulan ................................................. 205
B. Rekomendasi ............................................... 207
Daftar Pustaka .................................................................... 209
Proil Penulis ........................................................................ 217
vi ETIKA BIROKRAT
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN 1
fungsi-fungsi tersebut. Dalam kenyataannya, keberadaan
birokrasi pemerintah seringkali dipandang secara dikotomis,
selain dibutuhkan untuk melaksanakan urusan pemerintahan
sehari-hari, birokrasi juga seringkali dianggap sebagai sistem
yang menyebabkan jalannya pemerintahan dan layanan publik
tersendat dan bertele-tele.
Dalam paradigma “dikotomi politik dan administrasi”
ditegaskan bahwa pemerintah memiliki dua fungsi yang
berbeda, yaitu fungsi politik yang berkaitan dengan pembuatan
kebijakan (public policy making) atau pernyataan apa yang menjadi
keinginan negara, dan fungsi administrasi yang berkenaan
dengan pelaksanaan kebijakan tersebut. Dengan demikian,
kekuasaan membuat kebijakan publik berada pada kekuasaan
politik (political master), dan untuk melaksanakan kebijakan
politik tadi merupakan kekuasaan administrasi negara. Namun
karena administrasi negara dalam menjalankan kebijakan
politik memiliki kewenangan secara umum disebut discretionary
power, yakni keleluasaan untuk menafsirkan suatu kebijakan
politik dalam bentuk program dan proyek, maka timbul suatu
pertanyaan, apakah ada jaminan dan bagaimana menjamin
bahwa kewenangan itu digunakan secara baik dan tidak secara
buruk (Widodo, 2001: 45).
Atas dasar inilah etika diperlukan dalam administrasi
publik. Etika dapat dijadikan pedoman, referensi, petunjuk
tentang apa yang harus dilakukan oleh aparat birokrasi dalam
menjalankan kebijakan politik, dan sekaligus digunakan seba-
gai standar penilaian apakah perilaku aparat birokrasi dalam
menjalankan kebijakan birokrasi dapat dikatakan baik atau
buruk. Ada 6 (enam) ide agung landasan etika yang dapat
dijadikan pedoman dalam bertindak, yaitu: (1) Kebe-naran
(truth), yang mempertanyakan esensi dari nilai-nilai moral
beserta pembenarannya dalam kehidupan sosial, (2) Kebaikan
(goodness), yaitu sifat atau karakteristik dari sesuatu yang
menimbulkan pujian, (3) Keindahan (beauty), yang menyangkut
2 ETIKA BIROKRAT
prinsip-prinsip estetika mendasari segala sesuatu yang mencakup
penikmatan rasa senang terhadap keindahan, (4) Kebebasan
(liberty), yaitu keleluasaan untuk bertindak atau tidak bertindak
berdasarkan pilihan-pilihan yang tersedia bagi seseorang, (5)
Persamaan (equality), yaitu adanya persamaan antar manusia
yang satu dengan yang lain, dan (6) Keadilan (justice), yaitu
kemauan yang tetap dan kekal untuk memberikan kepada setiap
orang apa yang semestinya. (Albrow, 2005: 75).
Dalam konteks birokrasi, etika birokrat digambarkan
sebagai suatu panduan norma bagi aparat birokrasi dalam
menjalankan tugas pelayanan pada masyarakat. Etika birokrat
harus menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan
pribadi, kelompok, dan organisasinya. Etika harus diarahkan
pada pilihan-pilihan kebijakan yang benar-benar mengutamakan
kepentingan masya-rakat luas (Dwiyanto, 2008: 12). Oleh karena
itu, etika pelayanan publik harus menunjukkan cara dalam
melayani publik dengan menggunakan kebiasaan-kebiasaan
yang mengandung nilai-nilai hidup dan hukum atau norma-
norma yang mengatur tingkah laku manusia ya ng dianggap
baik (Kumorotomo, 1996: 27).
Di Indonesia, etika birokrat merupakan bagian dari aturan
main dalam organisasi birokrasi atau pegawai negeri yang secara
struktural telah diatur aturan mainnya, dan dikenal sebagai
“Kode Etik Pegawai Negeri Sipil (PNS)”. Adapun dasar hukum
ditetapkannya etika PNS adalah (1) Undang-undang Nomor 8
Tahun 1974 tentang pokok-pokok kepegawaian sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999, (2)
Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
(KKN), (3) Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010 tentang
Disiplin Pegawai Negeri Sipil. dan (4) Peraturan Pemerintah
Nomor 42 tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode
Etik Pegawai Negeri Sipil.
PENDAHULUAN 3
Birokrasi bagi sebagian orang dimaknai sebagai prosedur
yang berbelit-belit, menyulitkan dan menjengkelkan. Namun
bagi sebagian yang lain birokrasi dipahami dari perspektif yang
positif yakni sebagai upaya untuk mengatur dan mengendalikan
perilaku masyarakat agar lebih tertib. Ketertiban yang dimaksud
adalah ketertiban dalam hal mengelola berbagai sumber daya
dan mendistri-busikan sumber daya tersebut kepada setiap
anggota masyarakat secara berkeadilan.
Pendapat yang berbeda di atas dapat dipahami dari
perspektifnya masing-masing. Bagi yang berpandangan posisif
terhadap birokrasi maka baginya birokrasi adalah sebuah
keniscayaan. Akan tetapi bagi mereka yang berpandangan
negatif maka birokrasi justru menjadi salah satu penghalang
tercapainya tujuan. Pandangan negatif terhadap birokrasi bukan
muncul tanpa alasan, melainkan melalui suatu proses interaksi
dalam pola hubungan antara birokrat dengan masyarakat, baik
dalam tataran pembuatan kebijakan maupun dalam tataran
implementasi kebijakan, khususnya yang berkaitan dengan
pelayanan publik.
Konteks hubungan birokrasi dengan masyarakat dalam
penyelenggaraan pelayanan publik sudah sangat lama terdengar
keluhan, namun sampai saat ini belum ada perubahan yang
berarti. Bahkan, harapan masyarakat bahwa pergantian rezim
akan membawa perbaikan terhadap penyelenggaraan layanan
publik ternyata tidak pernah terwujud. Pemerintahan sudah
mengalami pergantian selama beberapa kali, tetapi perilaku
birokrat terutama dalam pelayanan publik belum banyak
berubah.
Keberhasilan penyelenggaraan pelayanan publik secara
garis besar ditentukan oleh 3 (tiga) aspek, yaitu: (1) Bagaimana
pola penyelenggaraannya, (2) Dukungan sumber daya manusia,
dan (3) Etika kelembagaan (organisasi). Berdasarkan ketiga
aspek tersebut, maka penelitian ini akan diarahkan untuk
mengkaji aspek sumber daya manusia dengan penekanan pada
4 ETIKA BIROKRAT
etika birokrat dalam pelayanan publik, khususnya pelayanan
izin usaha. Birokrasi sebagai konsep, pengetahuan dan teknik,
secara umum dapat dipergunakan di setiap organisasi manapun,
yang memanfaatkannya untuk kelancaran pencapaian tujuan
organisasi. Dalam melaksanakan fungsinya, birokrasi dapat
tampil dalam dua sisi, yaitu: satu sisi yang baik dan satu sisi
yang lain adalah menunjukkan gambaran birokrasi yang buruk
atau biasa disebut dengan pelanggaran etika birokrasi.
Etika sebagai sebuah aturan nilai normatif dan prileku
dalam konteks birokrasi dimaknai sebagai suatu panduan norma
bagi aparat birokrasi dalam men-jalankan tugas pelayanan pada
masyarakat Dwiyanto, dkk, (2006: 188). Dengan demikian etika
birokrasi sebenarnya menuntuk adanya nilai moralitas dalam hal
kemampuan aparatur birokrat menempatkan kepentingan publik
di atas kepen-tingan pribadi, kelompok, dan organisasinya.
Hal ini jika dilaksanakan maka akan mengarahkan birokrat
untuk memberikan pelayanan yang diorientasikan pada pilihan
kebijakan yang benar-benar mengutamakan kepentingan masya-
rakat luas.
Etika, termasuk etika birokrasi mempunyai dua fungsi,
yaitu: pertama, Sebagai pedoman, acuan, referensi bagi adminis-
trasi negara (birokrasi publik) dalam menjalankan tugas dan
kewenangannya agar tindakannya dalam organisasi dinilai
baik, terpuji, dan tidak tercela. dan Kedua, Etika birokrasi
sebagai standar penilaian mengenai sifat, perilaku, dan tindakan
birokrasi publik dinilai baik, tidak tercela dan terpuji. Merujuk
pada pandangan Leys daalam Keban (2008:51) bahwa seorang
administrator dianggap etis apabila ia menguji dan memperta-
nyakan standar-standar yang digunakan dalam pembuatan
keputusan, dan tidak mendasarkan keputusannya semata-
mata pada kebiasaan dan tradisi yang sudah ada. Selanjutnya,
Anderson daalam Keban (2008:51) menambahkan suatu poin
baru bahwa: “standar-standar yang digunakan sebagai dasar
keputusan tersebut sedapat mungkin mereleksikan nilai-nilai
PENDAHULUAN 5
dasar dari masyarakat yang dilayani”. Berikutnya, Golembiewski
daalam Keban (2008:51) mengingatkan dan menam-bah elemen
baru yakni: “standar etika tersebut mungkin berubah dari waktu-
kewaktu dan karena itu administrator harus mampu memahami
perkembangan standar-standar perilaku tersebut dan bertindak
sesuai dengan standar tersebut”.
Tantangan besar yang kini dihadapi pemerintah adalah
bagaimana menampilkan aparatur yang memiliki sikap mental
dan perilaku yang mencer-minkan keunggulan watak, keluhuran
budi, dan berbagai asas etis yang bersumber pada kebajikan
moral, khususnya keadilan. Oleh karena itu, setiap aparat
birokrasi wajib memahami asas-asas etis yang bersumber pada
berbagai kebajikan moral, kemudian membina diri sehingga
sungguh-sungguh menghayati asas-asas etis itu, dan terakhir
benar-benar menerapkannya sebanyak mungkin dalam tindakan
jabatannya (Nurcholis, 2005: 91).
Banyak kasus membuktikan bahwa kepentingan pribadi,
keluarga, kelompok, partai dan bahkan struktur yang lebih
tinggi justru mendikte perilaku seorang birokrat atau aparat
pemerintahan. Birokrat dalam hal ini tidak memiliki independensi
dalam bertindak etis. Banyaknya tindakan indisipliner yang
dilakukan birokrat juga akan mengurangi kredibilitas dan
performanya sebagai pelayan publik. Misalnya pada sebuah
kesempatan sidak (inspeksi mendadak) yang dilakukan oleh
seorang pejabat daerah setempat, didapati sebanyak 50 persen
lebih pegawai pada sebuah kantor dinas daerah mangkir dari
pekerjaannya. Bahkan dinyatakan sebagian besarnya tersebut
membolos tanpa keterangan. Lebih memperihatinkan lagi,
ternyata kondisi seperti itu hampir terjadi setiap harinya
(Sedarmayanti, 2010: 78).
Persoalan lain yang terkait adalah etika birokrat di
Indonesia saat ini menjadi catatan merah yang perlu diperbaiki.
Dari sekian data KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme),
prosedur dan mekanisme kerja yang berbelit-belit dan kaya
6 ETIKA BIROKRAT
struktur tetapi miskin fungsi. Kesemuanya merupakan persoal-
an perilaku aparatur didalamnya. Pada tataran tertentu, per-
masalahan-permasalahan tersebut bisa terjadi secara parsial
yang terfragmentasikan pada masing-masing kondisi. Salah satu
tugas birokrasi dalam memberi pelayanan kepada masyarakat
adalah pelayanan izin usaha. Penerapannya mengenai izin
usaha yang telah ada, perlu ditinjau lebih lanjut mengenai peran
birokrasi dan perilaku dalam menangani izin usaha yang ada
di setiap provinsi yang menjadi patokan setiap kabupaten/kota
yang ada di Negara Indonesia.
Seperti halnya provinsi Sulawesi Selatan khususnya Kota
Makassar yang memiliki banyak jenis usaha yang telah dijalankan
masyarakatnya untuk mendapatkan penghasilan. Dalam segi
ekonomi, berkembangnya perekonomian masyarakat lebih ke
arah industrialisasi, mendorong berdirinya berbagai macam
usaha mikro, kecil dan menengah ataupun berbagai macam
pabrik. Sehingga Pemerintah Kota Makassar membentuk Kantor
Badan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal (BPTPM) Kota
Makassar yang berdiri dalam lingkup Pusat Pelayanan Publik
Kota Makassar. Dalam konteks etika birokrat di Kantor BPTPM
Kota Makassar, khususnya di pelayanan izin usaha. kerapkali
ditemukan adanya pelayanan yang tidak semestinya.
Berdasarkan peraturan jelas hal ini akan menjadi pelang-
garan bagi aparat yang menjadi salah satu calo untuk masyarakat.
Fenomena seperti ini, masih sering terjadi diproses pelayanan
perizinan di Kantor BPTPM Kota Makassar.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Tahir, dkk (2004:
10) tentang etika birokrasi pelayanan publik pada Sintap Pare-
Pare menemukan bahwa ada kecenderungan pelayanan sudah
mempertimbangkan aspek etis, akan tetapi sifatnya masih
parsial pada level tertentu saja. Semestinya aspek etis ini tidak
hanya pada level institusi atau unit tertentu saja, seperti pada
level terbawah birokrasi masih menunjukkan adanya praktek
praktek kurang normatif dan adaftif yang dirasakan masyarakat.
PENDAHULUAN 7
Dari keseluruhan aspek pelayanan yang diberikan dinilai sangat
lemah dan kualitas pelayanan kepada masyarakat rendah yang
ditandai dengan waktu pengurusan dan biaya yang tidak sesuai
dengan ketentuan.
Dari penelitian yang telah dilakukan oleh Tahir (2004),
disimpulkan bahwa adanya kebutuhan dan tuntutan masya-
rakat akan pentingnya iklim pelayanan publik pada Sistem
Administarasi Satu Atap (Sintap) Pare-Pare, maka pemerintah
membentuk Badan Perizinan Terpadu Nomor 13 Tahun 2004
Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kantor Badan
Perizinan Terpadu sebagai instansi yang memberikan jasa
pelayanan publik yang dibentuk dalam rangka mengkoordinir
Pelayanan Administrasi Pemerintah di bidang Pelayanan
Perizinan yang secara spesiik bekerja untuk melayani permo-
honan berbagai perizinan, dan formalitas lainnya di Kota Sintap
yang menjalankan sistem administarasi satu atap. Setelah BPTPM
dibentuk, maka Pemerintah Kota Sintap mengeluarkan kebijakan
melalui Peraturan Walikota Sintap Nomor 14 Tahun 2004 tentang
tata cara pemberian izin pada Pemerintah Kota Sintap.
Akan tetapi dari keseluruhan kondisi dan usaha tersebut,
nampaknya faktor etika masih menempati urutan pertama dari
usaha yang harus dilakukan pemerintah dalam memberikan
pelayanan publik berkualitas kepada masyarakat. Jika tidak,
maka akan memunculkan kelemahan seperti pelayanan yang
sulit untuk diakses, prosedur yang berbelit-belit ketika harus
mengurus suatu perizinan tertentu, biaya yang tidak jelas serta
terjadinya praktek pungutan liar (pungli), merupakan indikator
rendahnya kualitas pelayanan publik di Kota Sintap terma-suk
pada Badan Perizinan Terpadu.
Jika menelusuri konsep dan teori tentang etika pelayanan
publik oleh birokrat dapat disadur beberapa pandangan seperti:
Kumorotomo (1996: 7) yang menegaskan bahwa etika pelayanan
publik merupakan suatu cara dalam melayani publik dengan
menggunakan kebiasaan-kebiasaan yang mengandung nilai-
8 ETIKA BIROKRAT
nilai hidup dan hukum atau norma-norma yang mengatur
tingkah laku manusia yang dianggap baik. Dengan demikian
pelayanan publik yang diberikan harus menggunakan cara atau
kebiasaan yang beretis sesuai dengan hukum formal dan tabiat
atau perilaku yang dianggap baik di masyarakat.
Kenyataan tersebut dibuktikan dengan beberapa hasil
studi, meskipun masih sangat kecil akan tetapi paling tidak studi
etika pelayanan publik menunjukkan bahwa aspek etis menjadi
faktor dominan dalam membentuk pelayanan prima. Studi
yang dilakukan Dwiyanto, dkk, (2006: 16) mengung-kapkan
tidak adanya perubahan dalam budaya birokrasi dan perilaku
birokrasi dalam pelayanan publik. Sementara budaya birokrasi
seharusnya lahir dari pertimbangan etika birokrasi. Penelitian
ini menegaskan bahwa kedudukan etika dalam pelayanan
publik akan menjadi peletak dasar penciptaan budaya birokrasi
dan perilaku birokrat yang diharapkan dapat menciptakan
akuntabilitas dan transparansi kepada masyarakat.
Penelitian lain menemukan bahwa etika sebagai unsur
dominan yang mempengaruhi kualitas pelayanan publik.
Kemunculan krisis pelayanan publik yang diindikasikan oleh
penelitian Anwaruddin (2004: 35) ditunjukkan dengan lambannya
pelayanan dan tingginya biaya pelayanan, timbul karena terkait
dengan etika pelayanan publik oleh pemerintah. Temuan peneli-
tian ini menun-jukkan bahwa pada dasarnya pelayana publik
yang diberikan kepada masyarakat masih mengandung nilai-
nilai yang bertentangan dengan norma dan aturan yang berlaku.
Proses pelayanan yang lamban, membutuhkan waktu yang
relatif lebih lama dari yang seharusnya, beban biaya yang timbul
lebih besar dari yang semestinya, menjadikan proses pelayanan
tersebut jauh dari nilai etisnya. Seyog-yanya, pelayanan publik
harus lebih mengedepankan pada kepentingan masya-rakat,
bukan berdasarkan kepentingan birokrasi.
Kondisi lemahnya etika pelayanan tersebut yang diharapkan
dapat dihin-dari dengan memenuhi nilai-nilai dan norma-
PENDAHULUAN 9
norma etis yang disepakati dan dijunjung bersama. Pentingnya
menjunjung tinggi nilai-nilai dan norma tersebut oleh Maani
(2010: 68) dapat diwujudkan dalam bentuk pemenuhan nilai-
nilai dan norma-norma sikap dan prilaku birokrasi publik dalam
pelayanan dan tindakan yang dapat diterima oleh masyarakat
luas. Atas dasar inilah etika diperlukan dalam administrasi
publik. Etika dapat dijadikan pedoman, referensi, petunjuk
tentang apa yang harus dilakukan oleh aparat birokrasi dalam
menjalankan kebijakan politik, dan sekaligus digunakan sebagai
standar penilaian apakah peri-laku aparat birokrasi dalam
menjalankan kebijakan politik dapat dikatakan baik atau buruk.
Berdasarkan paparan di atas, maka untuk selanjutnya
buku ini difokuskan pada masalah yang berkaitan etika birokrat
dalam pelayanan izin usaha di Kota Makassar yaitu pada Badan
Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal. Dengan harapan
bahwa buku ini memberikan gambaran tentang pelayanan
yang etis berdasarkan etika birokrat sesuai dengan peraturan
Aparatur Sipil Negara (ASN) Tahun 2014 tentang sikap birokrat
dalam pemberian pelayanan pada Badan Perizinan Terpadu dan
Penanaman Modal Kota Makassar.
10 ETIKA BIROKRAT
BAB II
GAMBARAN UMUM KOTA MAKASSAR
12 ETIKA BIROKRAT
kecamatan, yaitu Biringkanaya, Tamalanrea, dan Manggala.
Adapun Jumlah penduduk Kota Makassar dan penyebarannya
menurut kecamatan sebagai berikut:
14 ETIKA BIROKRAT
sebagai amanah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antar Pemerintah Pusat
dan Daerah di daerah otonom Kota Makassar disebut sebagai
lembaga legislatif dan lembaga teknis kabupaten/kota.
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Kota Makassar
adalah: Sekretariat Daerah, yang terdiri atas:
1. Asisten Bidang Pemerintahan, terdiri dari:
a. Bagian Tata Pemerintahan.
b. Bagian Hukum.
c. Bagian Organisasi dan Tata Laksana.
d. Bagian Humas.
2. Asisten Bidang Ekonomi, Pembangunan dan Sosial, terdiri
dari:
a. Bagian Perekonomian dan Pembangunan.
b. Bagian Kesejahteraan Rakyat.
c. Bagian Pemberdayaan Perempuan.
3. Asisten Bidang Administrasi, terdiri dari:
a. Bagian Umum.
b. Bagian Keuangan.
c. Bagian Perlengkapan.
4. Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, terdiri dari:
a. Bagian Umum.
b. Bagian Persidangan.
c. Bagian Keuangan.
d. Bagian Perlengkapan.
5. Dinas Daerah, terdiri dari:
a. Dinas Kelautan dan Katahanan Pangan.
b. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata.
c. Dinas Informasi dan Komunikasi.
d. Dinas Pendapatan.
e. Dinas Kesehatan.
16 ETIKA BIROKRAT
D. Badan Perizinan Terpadu dan Penanaman
Modal
Dengan dituangkannya pelayanan prima dalam visi dan
misi nasional Indonesia sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor
3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Investasi, menunjukkan
bahwa tuntutan masyarakat terhadap pelayanan prima aparatur
pemerintah merupakan keharusan dan tidak dapat diabaikan lagi
dalam rangka penyederhanaan Pelayanan Perizinan Satu Pintu
(PPSP), sehingga pemerintah Kota Makassar membentuk kantor
Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) sesuai dengan Peraturan
Daerah Nomor 19 Tahun 2006 tentang Pembentukan Organisasi
dan Tata Kerja kantor Pelayanan Perizinan Satu Atap.
Berdasarkan Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 20
Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata kerja Unit
Pelayanan Perizinan Terpadu di Daerah, maka pemerintah Kota
Makassar melakukan perubahan struktur organisasi dengan
mengubah nama organisasi Unit Pelayanan Terpadu Perizinan
(UPTP) menjadi Badan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal
(BPTPM) sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor
5 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah
Kota Makassar Nomor 4 Tahun 2008 tentang Pembentukan
Organisasi dan Lembaga Teknis Daerah Kota Makassar.
Kelembagaan BPTPM
BPTPM Kota Makassar dibentuk dengan Peraturan
Daerah Nomor 5 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas
18 ETIKA BIROKRAT
Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 23 Tahun 2008 tentang
Pembentukan Organisasi Lembaga Teknis Daerah Kota Makassar.
Struktur Organisasi BPTPM Kota Makassar terdiri dari:
1. Kepala Badan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal
(BPTPM)
2. Sekretariat
3. Bagian Tata Usaha terdiri dari:
a. Sub Bagian Program
b. Sub Bagian Keuangan dan Perlengkapan
c. Sub Bagian Umum dan Kepegawaian
4. Bidang Perizinan dan Non Perizinan
5. Bidang Pengawasan dan Pengendalian
6. Bidang Pengaduan
7. Bidan Evaluasi dan Pelaporan
8. Tim Teknis
9. Kelompok Jabatan Fungsional.
Untuk dapat memberikan pelayanan yang optimal kepada
masyarakat, BPTPM Kota Makassar di dukung oleh personil
45 orang dengan melayani 22 kewenangan perizinan, personil
yang akan memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat
diharapkan memiliki tingkat keahlian dan keterampilan atau
kompetensi. Bentuk Bagan Struktur Organisasi BPTPM Kota
Makassar adalah:
Sekretaris
Bidang
Bidang perizinan Pengawasan & Bidang evaluasi
dan non perizinan Pengendalian Bidang Pengaduan dan pelaporan
Personalia BPTPM
Keadaan personalia BPTPM dapat diketahui melalui
klasiikasi tingkat pendidikan formal dan jenis kelamin yang
dideskripsikan pada masing-masing tabel di bawah ini. Adapun
tingkat pendidikan formal aparatur BPTPM digambar pada tabel
3 berikut ini.
Tabel 3: Tingkat Pendidikan Aparatur BPTPM
No Pendidikan PNS Pegawai tidak Tetap Jumlah
1 Strata II 4 1 5
2 Strata I 9 14 23
3 Diploma 1 1 2
4 SMA 2 13 15
Jumlah 16 29 45
20 ETIKA BIROKRAT
Tabel 4: Jenis Kelamin Aparatur BPTPM
No Jenis Kelamin PNS Pegawai tidak Tetap Jumlah
1 Laki-laki 8 20 28
2 Perempuan 8 9 17
Jumlah 16 29 45
22 ETIKA BIROKRAT
5) Penggelondongan ikan di air tawar dengan areal lahan
lebih dari 0,75 hektar atau di air payau atau di air laut
dengan areal lahan lebih dari 0,5 hektar sebesar Rp. 0,7/
ekor.
6) Pembenihan ikan di air tawar dengan areal lahan
lebih dari 0,75 hektar atau air payau atau di air laut
dengan areal lahan lebih dari 0,5 hektar sebesar
Rp. 0,5/ekor.
Kemudian proses pengurusan izin gangguan memakan
waktu 5 hari kerja.
2. Perizinan Non Retribusi
a. Surat Izin Tempat Usaha
Persyaratan untuk memperoleh Surat Izin Tempat
Usaha (SITU) adalah:
1) Formulir permohonan.
2) Foto copy KTP pemilik usaha.
3) Foto copy akte pendirian bagi usaha yang berbadan
hukum.
4) Foto copy PBB tahun terakhir.
5) Foto copy IMB.
6) Bukti keikutsertaan BPJS Ketenagakerjaan bagi usaha
menengah dan besar atau usaha yang berbadan
hukum.
Kemudian proses pengurusan surat izin tempat
usaha memakan waktu 3 hari kerja.
b. Surat Izin Usaha Perdagangan dan Tanda Daftar Perusahaan
Persyaratan untuk memperoleh Surat Izin Usaha
Perdagangan (SIUP) dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP)
adalah:
1) Formulir permohonan.
2) Foto copy KTP pemilik usaha/penanggungjawab
perusahaan
24 ETIKA BIROKRAT
3) Foto copy IMB.
4) Foto copy SITU dan Izin gangguan (HO).
5) Foto copy IUI dan TDI (khusus industri).
Kemudian proses pengurusan menggunakan waktu
5 hari kerja.
e. Izin Usaha Jasa Konstruksi
Persyaratan untuk memperoleh izin usaha jasa
konstruksi adalah:
1) Formulir permohonan.
2) Foto copy SBU yang masih berlaku.
3) Foto copy HO, SITU, SIUP, dan TDP.
4) Foto copy ijasah tenaga ahli yang digunakan.
5) Foto copy SKT/SKA yang masih berlaku.
6) Pas foto penanggungjawab 4x6 cm sebanyak 2 lbr.
Kemudian proses pengurusan memanfaatkan
waktu selama 3 hari kerja.
e. Izin Penempatan Reklame
Persyaratan untuk memperoleh izin penempatan
reklame sebagai berikut;
1) Formulir permohonan.
2) Identitas/proil usaha.
3) Foto copy akte pendirian perusahaan bagi usaha yang
berbadan hukum.
4) Surat pernyataan sanggup memenuhi persyaratan
teknis dari instansi yang berwenang.
5) Gambar denah lokasi pemasangan reklame.
Kemudian proses pengurusan izin penempatan
reklame selama 3 hari kerja.
f. Izin Lingkungan
Persyaratan untuk memperoleh izin lingkungan
sebagai berikut:
26 ETIKA BIROKRAT
4) Foto copy NPWP.
5) Keterangan rencana kegiatan.
a) Untuk industri berupa uraian proses produksi yang
mencantumkan jenis bahan baku dan dilengkapi
dengan diagram alir/low chart.
b) Untuk sektor jasa berupa uraian kegiatan yang
dilakukan dan penjelasan produk jasa yang
dihasilkan.
6) Rekomendasi dari kementerian/instansi pemerintah
terkait bila dipersyaratkan.
7) Permohonan ditandatangani diatas materai cukup
oleh direksi perusahaan dilengkapi surat kuasa
bermaterai cukup untuk pengurusan permohonan
yang tidak dilakukan secara langsung oleh direksi
perusahaan.
Kemudian proses pengurusan izin perinsip
penanaman modal menggu-nakan waktu selama 3 hari
kerja.
Pelayanan perizinan di BPTPM Kota Makassar,
baik bentuk non retribusi maupun pelayanan perizinan
dengan retribusi memiliki sistem mekanis dan prosedur
pelayanan, sebagai berikut:
1) Pemohon mengambil formulir permohonan di loket
informasi.
2) Pemohon melakukan pendaftaran permohonan
perizinan di loket pendaftaran.
3) Staf loket pendaftaran menerima dan memeriksa
kelengkapan berkas permohonan.
4) Tim teknis memveriikasi berkas permohonan dan
melakukan kunjungan lapangan apabila memerlukan
tinjauan lapangan.
28 ETIKA BIROKRAT
BAB III
KEPEMIMPINAN
A. Hakekat Kepemimpinan
Dalam kehidupan sehari-hari, baik di lingkungan
keluarga, organisasi, perusahaan sampai dengan pemerintahan
sering kita dengar sebutan pemimpin, kepemimpinan serta
kekuasaan. Ketiga kata tersebut memang memiliki hubungan
yang berkaitan satu dengan lainnya.
Beberapa ahli berpandapat tentang Pemimpin, beberapa
diantaranya:
1. Menurut Hasibuan, Pemimpin adalah seseorang dengan
wewenang kepemimpinannya mengarahkan bawahannya
untuk mengerjakan sebagian dari pekerjaannya dalam
mencapai tujuan.
2. Menurut Robert Tanembaum, Pemimpin adalah mereka
yang menggunakan wewenang formal untuk mengor-
ganisasikan, mengarahkan, mengontrol para bawahan
yang bertanggung jawab, supaya semua bagian pekerjaan
dikoordinasi demi mencapai tujuan perusahaan.
3. Menurut Maccoby, Pemimpin pertama-tama harus seorang
yang mampu menumbuhkan dan mengembangkan segala
yang terbaik dalam diri para bawahannya. Pemimpin
KEPEMIMPINAN 29
yang baik untuk masa kini adalah orang yang religius,
dalam artian menerima kepercayaan etnis dan moral dari
berbagai agama secara kumulatif, kendatipun ia sendiri
mungkin menolak ketentuan gaib dan ide ketuhanan yang
berlainan.
4. Menurut Lao Tzu, Pemimpin yang baik adalah seorang
yang membantu mengembangkan orang lain, sehingga
akhirnya mereka tidak lagi memerlukan pemimpinnya itu.
5. Menurut Davis and Filley, Pemimpin adalah seseorang
yang menduduki suatu posisi manajemen atau seseorang
yang melakukan suatu pekerjaan memimpin.
6. Sedangakn menurut Pancasila, Pemimpin harus bersikap
sebagai pengasuh yang mendorong, menuntun, dan
membimbing asuhannya.
Seorang pemimpin boleh berprestasi tinggi untuk
dirinya sendiri, tetapi itu tidak memadai apabila ia tidak
berhasil menumbuhkan dan mengembangkan segala yang
terbaik dalam diri para bawahannya. Dari begitu banyak
deinisi mengenai pemimpin, menurut penulis bisa dikatakan
bahwa Pemimpin adalah orang yang mendapat amanah serta
memiliki sifat, sikap, dan gaya yang baik untuk mengurus
atau mengatur orang lain.
Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang mem-
pengaruhi dan memotivasi orang lain untuk melakukan
sesuatu sesuai tujuan bersama. Kepemimpinan meliputi
proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi,
memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan,
mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budaya-
nya. Sedangkan kekuasaan adalah kemampuan untuk
mempengaruhi orang lain untuk mau melakukan pap yang
diinginkan pihak lainnya.”The art of inluencing and directing
meaninsuch away to abatain their willing obedience, conidence,
respect, and loyal cooperation in order to accomplish the mission”.
Kepemimpinan adalah seni untuk mempengaruhidan meng-
30 ETIKA BIROKRAT
gerakkan orang-orang sedemikian rupa untuk memperoleh
kepatuhan, kepercayaan, respek, dan kerjasama secara royal
untuk menyelesaikan tugas – Field Manual 22-100.
Kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi
orang lain untuk mau melakukan apa yang diinginkan pihak
lainnya. Ketiga kata yaitu pemimpin, kepemimpinan serta
kekuasaan yang dijelaskan sebelumnya tersebut memiliki
keterikatan yang tak dapat dipisahkan. Karena untuk men-
jadi pemimpin bukan hanya berdasarkan suka satu sama
lainnya, tetapi banyak faktor. Pemimpin yang berhasil
hendaknya memiliki beberapa kriteria yang tergantung pada
sudut pandang atau pendekatan yang digunakan, apakah
itu kepribadiannya, keterampilan, bakat, sifat-sifatnya, atau
kewenangannya yang dimiliki yang mana nantinya sangat
berpengaruh terhadap teori maupun gaya kepemimpinan
yang akan diterapkan.
Fungsi pemimpin dalam suatu organisasi tidak dapat
dibantah merupakan sesuatu fungsi yang sangat penting bagi
keberadaan dan kemajuan organisasi yang bersangkutan.
Pada dasarnya fungsi kepemimpinan memiliki 2 aspek yaitu:
– Fungsi administrasi, yakni mengadakan formulasi kebijak-
sanakan administrasi dan menyediakan fasilitasnya.
– Fungsi sebagai Top Mnajemen, yakni mengadakan
planning, organizing, staing, directing, commanding,
controling, dsb.
Kepemimpinan adalah suatu subjek yang telah lama
diminati oleh para ilmuwan maupun untuk orang awam.
Istilah tersebut berisi konotasi mengenai citra individu-
individu yang berkuasa dan dinamis yang telah berhasil
memimpin armada yang menang perang, yang dapat
mengendalikan kerajaan-kerajaan korporasi dari atas gedung-
gedung pencakar langit yang sangat berkilauan, atau yang
mengarahkan kemana tujuan bangsa-bangsa. Kebanyakan
dari uraian kita mengenai sejarah berupa cerita mengenai
KEPEMIMPINAN 31
pemimpin-pemimpin militer, politik, agama dan sosial.
Kehebatan-kehebatan yang berasal dari para pemimpin yang
berani merupakan inti dari banyaknya legenda serta sebuah
mitos. Kekaguman yang meluas mengenai kepemimpinan
mungkin karena merupakan sesuatu proses yang demikian
misterius dan menyangkut tentang kehidupan semua orang.
Beberapa orang pemimpin tertentu seperti (Gandhi, Nabi
Muhammad Saw, Mao Tse-tung) bisa menimbulkan adanya
semangat dan dedikasi yang demikian mendalam. Pemimpin-
pemimpin tertentu seperti Julius Caesar, Iskandar Agung, dan
Charlemagne yang telah membangun kerajaan-kerajaan yang
sedemikian besarnya. Pemimpin-pemimpin tertentu seperti
Indira Gandhi dan Winston Churchill mendadak jatuh dari
kekuasaannya, meskipun kelihatannya memiliki kekuasaan
serta memiliki catatan prestasi yang sangat baik. Orang-
orang yang tertentu yang kurang dikenali seperti Claudius
Caesar dan Adolf Hitler memiliki pengikut-pengikut yang
begitu setia sehingga bersedia untuk mengorbankan seluruh
hidupnya untuk dirinya tersebut, sedangkan pada beberapa
pemimpin lainnya sedemikian begitu dibencinya sehingga
para pengikut mereka melakukan untuk berkomplot agar
bisa membunuh mereka.
Pernyataan-pernyataan tentang kepemimpinan sudah
lama menjadi suatu subjek spekulasi, akan tetapi pada penelitian
ilmiah tentang kepemimpinan itu belum dimulai sebelum di
abad kedua puluh. Fokus dari kebanyakan dari penelitian
ialah tentang determinan-determinan dari segala efektivitas
kepemimpinan. Para ilmuwan perilaku atau behavioral scientist
sudah mencoba untuk bisa menemukan beberapa ciri-ciri,
perilaku-perilaku, kemampuan-kemampuan, sumber-sum-
ber kekuasaan atau aspek-aspek apa sajakah dari situasi
tersebut yang dapat menentukan klompok. Alasan mengapa
orang-orang tersebut timbul sebagai pemimpin dan menjadi
determinan dari cara seseorang dalam bertindak merupakan
32 ETIKA BIROKRAT
sesuatu pertanyaan yang sangat penting lainnya yang sudah
diteliti, namun perhatian yang sangat dominan mengenai
efektivitas kepemimpinan.
Adapun beberapa pengertian kepemimpinan menurut
para ahli yaitu: menurut Hemhill dan Coons adalah perilaku
dari seorang individu yang memimpin aktivitas-aktivitas
suatu kelompok ke suatu tujuan yang ingin dicapai bersama
(shared goals). Menurut Tannenbaum, Weschler dan Masarik
menyatakan bahwa kepemimpinan adalah Pengaruh antar
pribadi yang dijalankan dalam suatu situasi tertentu, serta
diarahkan melalui proses komunikasi, ke arah pencapaian
satu atau beberapa tujuan tertentu”. Menurut Stogdill
menyatakan bahwa kepemimpinan adalah pembentukan
awal serta pemeliharaan struktur dalam harapan dan
interaksi. Menurut Kaz dan Kahn menyatakan bahwa adalah
peningkatan pengaruh sedikit demi sedikit pada , dan berada
di atas kepatuhan mekanis terhadap pengarahan-pengarahan
rutin organisasi. Menurut Rauch dan Behling menyatakan
bahwa kepemimpinan adalah suatu proses mempengaruhi
aktivitas-aktivitas sebuah kelompok yang diorganisasi
ke arah pencapaian tujuan. Menurut Jacobs dan Jacques
menyatakan bahwa kepemimpinan adalah suatu proses
memberi arti atau pengarahan yang berarti terhadap usaha
kolektif dan yang mengakibatkan kesediaan untuk melakukan
usaha yang diinginkan untuk mencapai sasaran. Pengertian
kepemimpinan menurut Hosking adalh mereka yang secara
konsisten memberi kontribusi yang efektif terhadap orde
sosial yang diharapkan dan dipersepsikan melakukannya.
Sedangkan menurut Siagian menyatakan bahwa
kepemimpinan adalah suatu keterampilan dan kemampuan
dari seseorang yang telah menduduki jabatan menjadi
pimpinan dalam sebuah pekerjaan dalam mempengaruhi
tindakan orang lain, terutama kepada bawahannya agar
berikir dan bertingkah laku sedemikian rupa sehingga melalui
KEPEMIMPINAN 33
tingkah laku positif ini dapat memberikan sumbangan yang
nyata didalam pencapaian tujuan organisasi. Menurut Young
menyatakan bahwa kepemimpinan adalah suatu bentuk
dominasi yang disengaja atau disadari oleh kemampuan
pribadi yang mampu mendoring atau mengajak kepad aorang
lain dalam melakukan sesuatu berdasarkan atas penerimaan
oleh kelompoknya dan mempunyai keahlian yang khusus
secara tepat bagi situasi yang khusus.
Pengertian kepemimpinan menurut Ordway Tead
dalam bukunya The Art Of LeaderShip yang menyatakan
bahwa kepemimpinan adalah suatu kegiatan dalam
mempengaruhi orang-orang agar mereka ingin bekerja sama
dalam mencapai tujuan yang kita inginkan. George R. Terry
menyatakan bahwa kepemimpinan adalah suatu kegiatan
untuk mempengaruhi orang-orang agar mereka menyukai
untu berusaha dalam mencapai tujuan-tujuan kelompok atua
organisasi. Sedangkan Howard H. Hoyt menyatakan bahwa
kepemimpinan adalah seni untuk bisa mempengaruhi segala
tingkahlaku dari manusia, dan memiliki kemampuan dalam
membimbing seseorang.
Itulah beberapa pengertian kepemimpinan menurut
pandangan para ahli. Kebanyakan pengertian kepemimpinan
mencerminkan asumsi bahwa kepemimpinan menyangkut
sebuah proses pengaruh sosial yang dalam hal ini pengaruh
yang disengajai untuk dijalankan oleh seseorang terhadap
organisasi atau kelompok. Berbagai pengertian kepemimpinan
yang sudah ditawarkan tapi kelihatannya tidak berisi hal-hal
selain itu. Pengertian tersebut berbeda dalam berbagai aspek,
termasuk didalamnya siapa yang menggunakan pengaruh,
sasaran yang ingin diperoleh dari pengaruh tersebut, cara
bagaimana pengaruh tersebut digunakan, serta hasil dari
uasaha menggunakan pengaruh tersebut. Perbedaan-
perbedaan tersebut bukan hanya merupakan sebuah
hal akademis yang dicari-cari. Ia mencerminkan adanya
34 ETIKA BIROKRAT
ketidaksesuaian yang mendalam mengenai identiikasi dari
para pemimpin serta proses kepemimpinan. Perbedaan-
perbedaan didalam pemilihan fenomena untuk melakukan
penyelidikan dan kemudian menimbulkan perbedaan-
perbedaan dalam mengeinterpretasikan hasilnya.
B. Teori-teori Kepemimpinan
Teori kepemimpinan yaitu teori genetis dimana men-
jelaskan bahwa seseorang akan dapat menjadi pemimpin
karena ia telah dilahirkan untuk bisa menjadi pemimpin; dia
telah memiliki bakat dan mempunyai pembawaan untuk bisa
menjadi pemimpin. Menurut teori kepemimpinan seperti teori
genetis ini mengasumsikan bahwa tidak setiap orang dapat
menjadi pemimpin, hanya beberapa orang yang memiliki
pembawaan dan bakat saja yang dapat menjadi pemimpin.
Hal tersebut memunculkan “Pemimpin tidak hanya sekedar
dibentuk tapi dilahirkan”.
Teori kepemimpinan yang kedua yaitu teori sosial yang
menyatakan bahwa seseorang akan dapat menjadi pemimpin
karena lingkungannya yang mendukung, keadaan dan waktu
memungkinkan ia bisa menjadi pemimpin. Setiap orang
dapat memimpin asal diberikan kesempatan dan diberikan
pembinaan untuk dapat menjadi pemimpin meskipun ia
tidak memiliki pembawaan atau bakat. Adapun istilah dari
teori kepemimpinan sosial ini yaitu Pemimpin itu dibentuk
bukan dilahirkan.
Teori kepemimpinan yang ketiga yaitu teori ekologis,
dalam teori kepemimpinan ekologis ini menyatakan bahwa
gabungan dari teori genetis dan sosial, dimana seseorang
akan menjadi pemimpin membutuhkan bakat dan bakat
tersebut mesti selalu dibina agar berkembang. Kemungkinan
untuk bisa mengembangkan bakat tersebut itu tergantung
dari lingkungannya.
KEPEMIMPINAN 35
Teori kepemimpinan yang keempat yaitu teori situasi,
dalam teori kepemimpinan situasi ini menyatkaan bahwa
seseorang dapat menjadi pemimpin ketika berada dalam
situasi tertentu karena dia memiliki kelebihan-kelebihan
yang dibutuhkan dalam situasi tersebut. Akan tetapi pada
situasi yang lainnya, kelebihannya tersebut tidak dibutuhkan,
akhirnya ia tidak akan menjadi pemimpin lagi, bahkan bisa
jadi menjadi pengikut saja.
Oleh karena itu, jika seorang ingin menjadi pemimpin
dan ingin meningkatkan kecakapannya dan kemampuannya
dalam memimpin maka dibutuhkan untuk bisa mengetahui
segala ruang lingkup gaya kepemimpinan yang efektif.
Adapun para ahli dalam bidang kepemimpinan sudah
meneliti dan mengembangkan beberapa gaya kepemimpinan
yang berbeda dimana sesuai dengan adanya evolusi dari teori
kepemimpinan. Untuk ruang lingkupnya, gaya kepemimpinan
terbagi atas tiga pendekatan yaitu pendekatan sifat kepri-
badian pemimpin, dan pendekatan perilaku pemimpin dan
pendekatan situasional atau kontingensi.
36 ETIKA BIROKRAT
banyak sekali yang berasal dari pemimpin dan tidak ada
satupun peran para anak buah dalam merencanakan dan
sekaligus mengambil suatu keputusan. Gaya kepemimpinan
otokratis ini akan menentukan sendiri keputusan, peran,
bagaimana, kapan dan bilamana secara sepihak. Yang pasti
tugas yang diperintahkan mesti dilaksanakan. Paling sangat
menonjol dalam gaya kepemimpinan otokratis ini adalah
seseorang akan memberikan perintah dan mesti dipatuhi. Ia
akan memerintah berdasarkan dari kemampuannya untuk
menjatuhkan hukuman serta memberikan hadiah. Gaya
kepemimpinan otokratis adalah suatu kemampuan dalam
mempengaruhi orang lain yang ada disekitar agar mau
bersedia berkerjasama dalam mencapai tujuan yang sudah
ditentukan dengan ditempuh atas segala cara kegiatan
yang akan dijalankan atas dasar putusan dari pemimpin.
Adapun ciri-ciri gaya kepemimpinan otokratis ini yaitu
wewenang mutlak itu terpusat dari pemimpin, keputusan
akan selalu dibuat oleh pemimpin, kebijakan akan selalu
dibuat oleh pemimpin, komunikasi hanya berlangsung
dalam satu arah dimana dari pimpinan ke bawahan bukan
sebaliknya, pengawsan terhadap (sikap, perbuatan, tingkah
laku atau kegiatan) dari para bawahannya dilakukan
dengan ketat, tak ada kesempatan untuk para bawahan
dalam memberikan (pendapat, saran atau pertimbangan),
lebih banyak mendapatkan kritikan dibanding pujian,
menuntut adanya kesetiaan dan prestasi yang sempurna
dari para bawahan tanpa adanya syarat, dan cenderung
memberikan paksaan, hukuman dan anacaman.
KEPEMIMPINAN 37
yang dapat dilakukan dimana ditentukan bersama antara
bawahan dan pimpinan.
Gaya tersebut terkadan gidsebut sebagai gaya
kepemimpinan yang terpusat pada anak buah, kepemim-
pinan dengan adanya kesederajatan, kepemimpinan
partisipatif atau konsultatif. Pemimpin yang berkonsultasi
kepada anak buahnya dalam merumuskan suatu tindakan
putusan bersama. Adapun ciri-ciri dari gaya kepemimpinan
demokratis ini yaitu memiliki wewenang pemimpin yang
tidak mutlah, pimpinan bersedia dalam melimpahkan
sebagian wewenang kepada bawahan, kebijakan dan
keputusan itu dibuat bersama antara bawahan dan
pimpinan, komunikasi dapat berlangsung dua arah
dimana pimpinan ke bawahan dan begitupun sebaliknya,
pengawasan terhadap (sikap, perbuatan, tingkah laku
atau kegiatan) kepada bawahan dilakukan dengan wajar,
prakarsa bisa datang dari bawahan atau pimpinan, bawahan
memiliki banyak kesempatan dalam menyampaikan saran
atau pendapat dan tugas-tugas yang diberikan kepada
bawahan bersifat permintaan dengan mengenyampingkan
sifat instruksi, dan pimpinan akan memperhatikan dalam
bertindak dan bersikap untuk memunculkan saling percaya
dan saling menghormati.
38 ETIKA BIROKRAT
Kepemimpinan delegatif merupakan sebuah gaya
kepemimpinan yang dijalankan oleh pimpinan untuk
bawahannya yang mempunyai kemampuan, agar bisa
menjalankan aktivitasnnya yang untuk sementara waktu
tak bisa dilakukan oleh pimpinan dengan berbagai macam
sebab. Gaya kepemimpinan delegatif ini sangat cocok
dilakukan kalau staf yang dimiliki ternyata mempunyai
motivasi dan kemampuan yang tinggi. Dengan demikian
pimpinan tak terlalu banyak dalam memberikan perintah
kepada bawahannya, bahkan pemimpin akan lebih banyak
dalam memberikan dukungan untuk bawahannya.
KEPEMIMPINAN 39
5. Gaya Kepemimpinan Laissez Faire
Gaya ini akan mendorong kemampuan anggota dalam
mengambil inisiatif. Kurang interaksi dan kontrol yang
telah dilakukan oleh pemimpin, sehingga gaya tersebut
hanya dapat berjalan jika bawahan mampu memperlihatkan
tingkat kompetensi dan keyakinan dalam mengejar tujuan
dan sasaran yangcukup tinggi.
Dalam gaya kepemimpinan ini, pemimpin sedikit
sekali dalam menggunakan kekuasaannya atau sama sekali
telah membiarkan anak buahnya untuk berbuat dalam
sesuka hatinya. Adapun ciri-ciri gaya kepemimpinan
Laissez Faire adalah Bawahan akan diberikan kelonggaran
atau leksibelitas dalam menjalankan tugas-tugasnya,
tetapi dengan hati-hati diberikan batasan serta berbagai
macam prosedur; Bawahan yang sudah berhasil dalam
menyelesaikan tugas-tugasnya akan diberikan hadiah atau
penghargaan, di samping adanya suatu sanksi-sanksi bagi
mereka yang kurang berhasil, sebagai dorongan; Hubungan
antara pimpinan dan bawahan dalam suasana yang sangat
baik secara umum manajer akan bertindak cukup baik;
Manajer akan menyampaikan berbagai macam peraturan
yang berhubungan dengan tugas-tugas atau perintah, dan
sebaliknya para bawahan akan diberikan kebebasan dalam
memberikan pendapatannya.
40 ETIKA BIROKRAT
diberikan oleh suatu lembaga atau suatu organisasi, maka
kebijaksanaan dari lembaganya ini mesti diproyeksikan
dalam bagaimana ia dalam memerintah kepada bawahannya
agar mendapatkan kebijaksanaan tersebut dapat tercapai
dengan baik. Di sini bawahan hanyalah menjadi suatu
mesin yang hanya sekedar digerakkan sesuai dengan
kehendaknya sendiri, inisiatif yang datang dari bawahan
sama sekali tidak pernah sekalipun diperhatikan.
KEPEMIMPINAN 41
Apa yang dapat menguntungkan dirinya, dan juga dapat
menguntungkan lawannya.
Kesabaran dan kepasifan merupakan kelemahan
pemimpin dengan menggunakan gaya diplomatis ini.
Umumnya, mereka sangat begitu sabar dan sanggup dalam
menerima tekanan. Namun kesabarannya ini dapat sangat
keterlaluan. Mereka dapat menerima perlakuan yang
takmenyengangkan tersebut, tetapi pengikut-pengikutnya
tidak menerimanya. Dan seringkali hal inilah yang membuat
para pengikutnya akan meninggalkan si pemimpin.
42 ETIKA BIROKRAT
analisis, terutama analisis logika dari setiap informasi
yang didapatkan. Gaya ini akan berorientasi pada hasil
dan akan lebih menekankan pada rencana-rencana rinci
serta berdimensi jangka panjang. Kepemimpinan model
ini sangatlah mengutamakan logika dengan menggunakan
beberap pendekatan-pendekatan yang masuk akal serta
kuantitatif.
KEPEMIMPINAN 43
kunci sebagaimana dikemukakan oleh Burt Nanus (1992),
yaitu: (1) Seorang pemimpin visionermesti mempunayi
kemampuan untuk bisa berkomunikasi secara efektif dengan
manajer dan karyawan lainnya dalam organisasi. Hal ini
membutuhkan pemimpin untuk menghasilkan “guidance,
encouragement, and motivation.”; (2) Seorang pemimpin
visioner mesti dapat memahami lingkungan luar dan dapat
memiliki kemampuan dalam bereaksi secara tepat atas
segala ancaman dan peluang yang datang. Ini termasuk,
yang paling penting, dapat “relate skillfully” dengan
orang-orang kunci yang ada di luar organisasi, namun
memainkan peran yang sangat penting terhadap organisasi
(investor, dan pelanggan); (3) Seorang pemimpin mesti
bisa memegang peran penting didalam membentuk dan
dapat mempengaruhi segala praktek organisasi, prosedur,
produk dan jasa. Seorang pemimpin dalam hal ini mesti
dapat terlibat di dalam organisasi untuk bisa menghasilkan
dan dapat mempertahankan kesempurnaan pelayanan,
sejalan dengan mempersiapkan dan memandu jalan
organisasi ke masa depan (successfully achieved vision);
(4) Seorang pemimpin visioner mesti bisa mempunyai atau
mengembangkan “ceruk” untuk bisa mengantisipasi apa
yang terjadi di masa depan. Ceruk ini merupakan ssebuah
suatu bentuk imajinatif, yang mengacu atas kemampuan
data untuk dapat mengakses segala kebutuhan masa depan
konsumen, teknologi, dan lain sebagainya. Ini termasuk
kemampuan dalam mengatur sumber daya organisasi guna
dapat memperiapkan diri menghadapi adanya kemunculan
kebutuhan dan perubahan ini.
Dalam era turbulensi lingkungan seperti saat
ini, setiap pemimpin mesti siap dan dituntut mampu
dalam melakukan suatu transformasi terlepas dari gaya
kepemimpinan apa yang mereka anut. Pemimpin mesti
mampu dalam mengelola perubahan, termasuk di dalamnya
44 ETIKA BIROKRAT
dapat mengubah budaya organisasi yang tak lagi kondusif
dan produktif. Pemimpin mesti memiliki visi yang tajam,
pandai mengelola keragaman dan dapat mendorong terus
suatu proses pembelajaran karena adanya dinamika suatu
perubahan lingkungan serta adanya persaingan yang
semakin ketat.
KEPEMIMPINAN 45
16. Kepemimpinan Militeristik
Tipe pemimpin seperti ini sangatlah mirip dengan tipe
pemimpin yang otoriter yang merupakan tipe pemimpin
yang senantiasa bertindak sebagai diktator terhadap
para anggota kelompoknya. Adapun sifat-sifat dari tipe
kepemimpinan militeristik yaitu: (1) lebih banyak dalam
menggunakan sistem perintah atau komando, keras dan
sangat begitu otoriter, kaku dan seringkali untuk kurang
bijaksana, (2) menghendaki adanya kepatuhan yang mutlak
dari bawahan, (3) sangat menyenangi suatu formalitas,
upacara-upacara ritual dan tanda-tanda kebesaran yang
terlalu berlebihan, (4) menuntut adanya sebuah disiplin
yang keras dan kaku dari para bawahannya, (5) tidak
menghendaki adanya saran, usul, sugesti, dan kritikan-
kritikan dari bawahannya, (6) komunikasi hanya dapat
berlangsung searah.
46 ETIKA BIROKRAT
BAB IV
BIROKRASI
BIROKRASI 47
ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintah dan melihat
birokrasi sebagai hasrat pegawai negeri yang digaji untuk
selalu mencampuri urusan orang lain (Albrow, 2005: 17).
Dalam abad ke-19, terdapat beberapa penulis dan
pemikir yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan
teori birokrasi, antara lain yaitu Gaetano Mosca dan Max
Weber. Mosca dalam bukunya membagi semua pemerintahan
menjadi dua tipe yaitu feudal dan birokratis berdasarkan
kepada kelas yang memerintah. Dalam sistem pemerintahan
feodal, kelas yang memerintah adalah kelas yang sederhana
yang memonopoli fungsi-fungsi ekonomi, politik, militer
atau administrasi. Setelah masyarakat berkembang menjadi
lebih kompleks dan mempunyai fungsi terpisah satu sama
lain, maka pemerintahan dijalankan oleh birokrasi, yaitu
sekelompok pejabat yang digaji (Albrow, 2005: 22).
Ilmuan yang sangat berjasa dalam memperkenalkan
model organisasi birokratis adalah Max Weber. Dapat
dikatakan bahwa konsep birokrasi yang diajukan oleh
Weber masih menjadi acuan sampai sekarang ini,
walaupun mendapat kritik dari ilmuan-ilmuan lain. Weber
membahas peran organisasi dalam suatu masyarakat, dan
mempertanyakan bentuk organisasi yang sesuai bagi sebuah
masyarakat industri yang dijumpai di Eropa pada akhir
abad ke 19. Ia mencoba melukiskan sebuah organisasi yang
ideal organisasi yang secara murni rasional dan yang akan
memberikan eisiensi operasi yang maksimum (Robbins,
1994: 337).
Kontroversi tentang penerapan model birokrasi
Weberian dalam pemerintahan sudah lama berkembang,
bahkan menimbulkan polemik yang belum berakhir sampai
saat ini. Tidak dipungkiri bahwa ada kalangan yang cenderung
menolak model birokrasi Weberian karena menganggap
model birokrasi itu memiliki banyak kelemahan. Meskipun
demikian, sebagian kalangan praktisi administrasi publik
48 ETIKA BIROKRAT
yang telah lama berkecimpung dalam lingkungan birokrasi,
melihat bahwa model birokrasi Weberian masih diperlukan
sampai saat ini. Alasan yang dikemukakan oleh kalangan yang
disebutkan terakhir ini, bahwa sejauh ini belum ada model
pengaturan kelembagaan alternatif yang cukup lengkap dan
menye-luruh yang dapat digunakan untuk menggantikan
birokrasi Weberian.
Dalam Ilmu Administrasi Publik, birokrasi memiliki
sejumlah makna, di antaranya adalah pemerintahan yang
dijalankan oleh suatu biro yang biasanya disebut dengan
oicialism, badan eksekutif pemerintah (the executive organs
of government), dan keseluruhan pejabat publik (public
oicials), baik itu pejabat tinggi ataupun rendah (Albrow,
2005: 116-117). Diantara ketiga makna tersebut, karakteristik
umum yang melekat pada birokrasi adalah keberadaannya
sebagai suatu lembaga pemerintah. Makna birokrasi sebagai
lembaga pemerintah muncul karena lembaga pemerintah
pada umumnya selalu berbentuk birokrasi. Skala organisasi
pemerintah yang besar dan luas cakupannya mendorong
mereka untuk memilih birokrasi yang memiliki karakteristik
sebagai birokrasi Weberian.
Dalam konteks Indonesia, lembaga pemerintah pada
umumnya memiliki hierarki yang panjang, prosedur dan
standar operasi yang tertulis, spesialisasi yang rinci, dan
pajabat karier yang menjadi karakteristik birokrasi Weberian.
Oleh karena itu, lembaga pemerintah sering disebut sebagai
birokrasi pemerintah. Karena kinerja birokrasi pemerintah
pada umumnya cenderung buruk dan mengecewakan,
khususnya yang berkaitan dengan pelayanan publik, sehingga
pandangan masyarakat terhadap birokrasi pemerintah
cenderung negatif yang pada akhirnya menimbulkan stereotif
yang negatif tentang konsep birokrasi Weberian. Robbins
(1994: 338) mengutip konsep birokrasi ideal dari Weber yang
terdiri dari 7 elemen, sebagai berikut:
BIROKRASI 49
a) Spesialisasi pekerjaan, yaitu semua pekerjaan dilakukan
dalam kesederhanaan, rutinitas dan mendeinisikan tugas
dengan baik.
b) Hierarki kewenangan yang jelas, yaitu sebuah struktur
multi tingkat yang formal, dengan posisi hierarki atau
jabatan, yang memastikan bahwa setiap jabatan yang
lebih rendah berada di bawah supervisi dan kontrol dari
yang lebih tinggi.
c) Formalisasi yang tinggi, yaitu semua anggota organisasi
diseleksi dalam basis kualiikasi yang didemonstrasikan
dengan pelatihan, pendidikan atau latihan formal.
d) Pengambilan keputusan mengenai penempatan pegawai
yang didasarkan atas kemampuan, yaitu keputusan
tentang seleksi dan promosi didasarkan atas kualiikasi
teknis, kemampuan dan prestasi para calon.
e) Bersifat tidak pribadi (impersonalitas), yaitu sanksi-sanksi
diterap-kan secara seragam dan tanpa perasaan peribadi
untuk menghindari keterlibatan dengan keperibadian
individual dan freferensi peribadi para anggota.
f) Jejak karier bagi para pegawai, yaitu para pegawai
diharapkan mengejar karier dalam organisasi. Sebagai
imbalan atas komitmen terhadap karier tersebut, para
pegawai mempunyai masa jabatan, artinya mereka akan
dipertahankan meskipun mereka “kehabisan tenaga”
atau jika kepandaiannya tidak terpakai lagi.
g) Kehidupan organisasi yang dipisahkan dengan jelas
dari kehidupan peribadi, yaitu pejabat tidak bebas
menggunakan jabatannya untuk keperluan dan
kepentingan pribadinya termasuk keluarganya.
Tipe ideal birokrasi Weber tersebut di atas, sampai saat
ini belum sepenuhnya dapat diimplementasikan di Indonesia
sebagaimana yang diharapkan pencetusnya. Bahkan Weber
mempertegas dalam teorinya bahwa satu-satunya cara bagi
masyarakat modern untuk mengoperasikan secara efektif
50 ETIKA BIROKRAT
konsep ideal tersebut di atas ialah dengan mengorgani-sasikan
spesialis-spesialis birokrasi yang fungsional dan terlatih. Hal
ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh LeMay (Islamy,
2003) bahwa sebagai organisasi yang cenderung semakin
besar, membutuhkan pemba-gian kerja yang lebih kecil atau
bersifat khusus.
Weber sebenarnya memperhitungkan tiga elemen pokok
dalam konsep birokrasinya, yaitu: (1) birokrasi dipandang
sebagai instrumen teknis. (2) birokrasi dipandang sebagai
kekuatan independen. (3) birokrasi dipandang mampu
keluar dari fungsinya yang sebenarnya karena anggotanya
cenderung berasal dari kelas sosial yang partikular (Thoha,
2003: 19). Konsep birokrasi weberian berasumsi bahwa
birokrasi dibentuk independen dari kekuatan politik. Ia
berada di luar atau di atas aktor-aktor politik yang saling
berkompetisi satu sama lain. Birokrasi pemerintah diposisikan
sebagai kekuatan yang netral, lebih mengutamakan kepen-
tingan negara dan rakyat secara keseluruhan, sehingga
siapapun kekuatan politik yang memerintah birokrat dan
birokrasinya memberikan pelayanan terbaik kepadanya.
Pemikir lain yang juga penting untuk ditampilkan
dalam pemba-hasan birokrasi adalah Karl Marx (Thoha,
2003: 23). Pemikiran Marx tentang birokrasi merupakan
suatu gejala yang bisa dipergunakan secara terbatas dalam
hubungannnya dengan administrasi negara. Pandangannya
terhadap birokrasi hanya bisa difahami dalam kerangka
umum teorinya tentang perjuangan kelas, krisis kapitalisme,
dan pengembangan komu-nisme.
Marx mengelaborasi birokrasi dengan cara menganalisis
ilsafat Hegel tentang negara. Hegel berpendapat bahwa
administrasi negara (birokrasi) sebagai suatu jembatan
yang menghubungkan antara negara (pemerintah) dengan
masyarakatnya. Adapun masyarakat itu terdiri dari
kelompok-kelompok professional, usahawan dan lain
BIROKRASI 51
kelompok yang mewakili bermacam-macam kepentingan
particular (khusus). Meskipun Marx terinspirasi oleh
pemikiran Hegel, namun Marx berpendapat bahwa
negara itu tidak mewakili kepentingan umum. Bahkan ia
mengatakan bahwa kepentingan umum itu tidak ada, yang
ada adalah kepentingan partikular yang mendominasi
kepentingan partikular lainnnya. Kepen-tingan particular
yang memenangkan perjuangan kelas sehingga menjadi
kelas yang dominan itulah yang berkuasa. Menurut Marx
birokrasi adalah negara atau pemerintah itu sendiri. Birokrasi
merupakan instrumen yang dipergunakan oleh kelas yang
dominan untuk melaksanakan kekuasaan dominasinya
atas kelas-kelas sosial lainnya. Dengan kata lain, birokrasi
memihak kepada kelas partikular yang mendominasi
tersebut.
Hal yang sangat menarik adalah kritik yang
disampaikan Warren Bennis (Robbins, 1994:349), bahwa
struktur birokratik terlalu mekanis bagi kebutuhan
organisasi modern. Ia menyatakan bahwa struktur tersebut
telah usang, karena didesain untuk menghadapi lingkungan
yang stabil, sedangkan kebutuhan saat ini adalah struktur
yang dirancang untuk menanggapi perubahan yang
terjadi secara efektif. Bennis mencoba melakukan prediksi
masa depan tentang berbagai macam perubahan yang
pada gilirannya akan mempengaruhi eksistensi birokrasi.
Menurut Bennis, birokrasi merupakan penemuan sosial
yang sangat elegan, suatu bentuk kemampuan yang luar
biasa untuk mengorganisasikan, mengkoor-dinasikan
proses-proses kegiatan yang produktif pada masa revolusi
Industri. Birokrasi dikembangkan untuk menjawab berbagai
persoalan yang hangat pada waktu itu, misalnya persoalan
pengurangan peran-peran personal, persoalan subyektivitas
yang berlebihan, dan tidak dihargainya hubungan kerja
52 ETIKA BIROKRAT
kemanusiaan.
Singkatnya, dalam pandangan Bennis, birokrasi adalah
produk kultural dan sangat terikat oleh proses zaman pada
saat kemunculannya. Kita sangat membutuhkan birokrasi
yang berorientasi kemanusiaan, tidak secara konseptual
semata tapi merambah pada tataran praktis di lapangan. Hal
ini menjadi pekerjaan sangat penting untuk mendekatkan
birokrasi pada manusia, bukan lagi pada mesin. Sebuah
teori akan diuji menurut kelayakan historis dan kebutuhan
pada sebuah masa. Birokrasi yang humanis masih menjadi
pekerjaan rumah yang harus serius digarap oleh para
pemerhati masalah-masalah adminsitrasi negara dan
kebijakan publik.
Nada pesimistik Bennis yang menggambarkan kondisi-
kondisi sebagai penyebab matinya birokrasi dibantah oleh
Robert Miewald (Robbins, 1994:349-352) dengan mengajukan
argumentasi tandingan, bahwa birokrasi dapat menyesuaikan
diri dengan lingkungan yang berubah dan dinamis. Miewald
menegaskan bahwa Weber tidak pernah mengatakan
bahwa karakteristik-karakteristik birokrasi akan berlaku
untuk selama-lamanya. Sasaran utama dari Weber adalah
menciptakan sebuah bentuk rasional dan eisien. Bentuk
tersebut adalah birokrasi. Bentuk apapun yang diperlukan
untuk mempertahankan rasionalitas seperti eisiensi akan
menghasilkan birokrasi. Perkembangan birokrasi profe-
sional adalah contoh yang sempurna mengenai karakteristik
birokrasi yang dimodiikasi.
Pengkritisi lain terhadap birokrasi Weber adalah Fried W.
Riggs. Dalam penelitiannya di beberapa negara berkembang,
ia menemukan model birokrasi yang disebutnya sebagai
“model sala” atau biasa disebut dengan “model prismatik”.
Menurur Riggs (Robbins, 1994: 103) Kata sala diambil dari
bahasa Spanyol yang sering menunjuk arti kantor pemerintah
di negara-negara Amerika Latin. Arti sala secara umum ialah
BIROKRASI 53
“ruangan”, bahasa Perancis menyebutnya “Salle” yang pada
dasarnya masih serumpun. dalam penggunaan sehari-hari,
kata sala mengandung arti ruangan pribadi dalam suatu
rumah-keagamaan-ruangan pertemuan umum, tetapi juga
dan bahkan terutama mengandung arti kantor pemerintah.
Beberapa karakteristik birokrasi model keliru yang
dikemukakan oleh Riggs (Robbins, 1994: 105) yaitu; struktur
prismatik akan memper-kokoh pemborosan birokrasi-
Korupsi telah melembaga. Sementara pejabat menikmati
kedudukannnya karena leluasa memeras uang suap dalam
penentuan anggaran, semua tergantunng pada keahlian serta
besarnya pengaruh pejabat yang harus memperjuangkan
pengajuan anggaran, beberapa ketentuan tidak dapat
digunakan untuk mengatasi kekurangan anggaran suatu
biro, sedang kenyataannya anggaran terbuang sia-sia di
berbagai biro lainnya dalam model prismatic, hubungan
antara adminis-trator dengan pengikut sudah demikian
terstruktur, sehingga bobot berbagai sanksi akan memaksa
para pejabat model sala lebih cenderung menggunakan
kekerasan daripada menerapkan undang-undang. Terbu-
kanya kesempatan menerima suap lebih mendorong para
petugas pelaksana model sala menunda-nunda pekerjaan
dan mengintroduksi berbagai hambatan teknis dengan tujuan
agar dapat memetik imbalan pelayanan atas pekerjaan yang
seharusnya tidak dipungut biaya.
Gambaran birokrasi pemerintah seperti yang dikemu-
kakan oleh Riggs tersebut sangat bertentangan dengan
substansi birokrasi yang dikemukakan oleh Weber. Meskipun
kritik terhadap birokrasi Weber selalu muncul, namun
kenyataaan menunjukkan bahwa birokrasi ada dimana-mana,
perusahaan-perusahaan besar pada umumnya berstruktur
birokrasi, bahkan untuk kelompok yang terdiri dari beberapa
orang saja, birokrasi merupakan cara yang paling eisien
untuk mengorganisasikan sesuatu, sehingga pertanyaannya
54 ETIKA BIROKRAT
adalah mengapa birokrasi dapat berjaya terus sampai saat ini.
Mungkinkah karena karakteristik birokrasi yang dirumuskan
oleh Weber itulah yang menyebabkan demikian atau mungkin
ada faktor lain yang menjadi keampuhan birokrasi.
Salah satu agenda utama dan pertama yang harus
dilakukan dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan
birokrasi pemerintah terhadap masyarakatnya, adalah
perubahan perilaku aparatur birokrasi dalam memberikan
pelayanan. Paradigma perilaku birokrasi harus diubah dari
yang lebih condong sebagai abdi negara ketimbang abdi
masyarakat diubah menjadi lebih mengutamakan peranan
sebagai abdi masyarakat ketimbang abdi negara. Pada
hakekatnya, jika aparatur birokrasi sudah melaksanakan
tugasnya dengan sepenuh hati maka sesungguhnya mereka
telah melaksanakan tugasnya dengan baik sebagai abdi
masyarakat maupun sebagai abdi negara. Dengan perilaku
aparatur birokrasi yang berorientasi pada kepuasan
masyarakat, maka diharapkan melahirkan dan meningkatkan
partisipasi masyarakat kepada birokrasi pemerintah dalam
menyelenggarakan tugas pemerintahan, pembangunan dan
pelayanan kepada masyarakat. Dengan demikian maka
keberadaan birokrasi pemerintah bukan hanya karena adanya
dukungan legalitas formal, tetapi keberadaannya didukung
dan dibutuhkan oleh masyarakat.
Birokrasi memiliki beberapa fungsi, diantaranya adalah
fungsi pengaturan. Fungsi ini mutlak terselenggara dengan
efektif, karena suatu pemerintahan negara diberi wewenang
untuk melaksanakan berbagai peraturan perundang-
undangan yang ditentukan oleh lembaga legislatif melalui
berbagai ketentuan pelaksanaan dan kebijaksanaannya.
Persoalan yang sering muncul dalam praktik, acapkali terjadi
kekakuan dalam implementasi aturan. Kekakuan ini dapat
terlihat pada interpretasi secara hariah, padahal yang lebih
diperlukan adalah menegakkan hukum dan peraturan itu
BIROKRASI 55
dilihat dari semangat dan jiwanya, artinya bahwa pendekatan
yang digunakan adalah pendekatan situasional (Siagian,
2000: 147).
2. Lingkungan Birokrasi
Pembahasan tentanng birokrasi sebagai organisasi
tidak dapat dipisahkan dengan faktor lingkungan. Kehadiran
teori sistem sebagai pelopor perspektif modern membuka
wawasan baru dalam teori organisasi. Berbeda dengan
perspektif klasik, maka perspektif modern memasukkan
unsur lingkungan sebagai determinan dan mencoba
mengembangkan teori-teori yang menjelaskan hubungan
organisasi dan lingkungan. Berkaitan dengan ini Hatch
(1997: 76) mengelompokkannya ke dalam dua periode,
yaitu: (1) periode awal 1960-an hingga akhir 1970-an, dimana
teori-teori yang dikembangkan bersifat kontingensi dalam
arti lingkungan mempengaruhi organisasi, dan (2) periode
awal 1980-an sampai sekarang, dimana teori-teori yang
dikembangkan lebih ditekankan pada penjelasan secara
lebih detail tentang bagaimana lingkungan mempengaruhi
organisasi.
Burn dan Stalker dalam penelitiannya di Inggris dan
Scotlandia menemukan bahwa organisasi-organisasi yang
mereka teliti ternyata dapat dibedakan menjadi dua jenis
struktur yang berbeda, yaitu struktur mekanik dan organik
(Efendi, 1986: 51). Meskipun penelitian ini dilakukan
terhadap organisasi-organisasi industri, namun klasiikasi
ini juga ditemukan pada organisasi publik atau birokrasi
pemerintah.
Struktur organisasi yang mekanistik dibuat atas dasar
pertim-bangan bahwa sistem kerja yang stabil dibutuhkan
agar organisasi dapat menjalankan berbagai fungsinyasecara
efektif dan eisien. Oleh karena itu, untuk setiap posisi
atau jabatan di dalam organisasi harus ditentukan secara
56 ETIKA BIROKRAT
jelas otoritas atau wewenangnya, kebutuhan informasi,
kompetensi, dan aktivitas teknis yang dilakukan. Mereka
yang menduduki posisi tersebut tidak boleh melanggar batas-
batas yang telah ditentukan. Dengan cara ini, organisasi dapat
berjalan secara eisien karena dodasarkan pada prosedur-
prosedur yang distandardisasi, terutama untuk tugas-tugas
yang bersifat rutin.
Sedangkan struktur organik bekerja dengan prinsip
sebaliknya. Struktur ini mengandalkan kreativitas dan daya
adaptasi individu dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Oleh
karena itu batasan-batasan sebagai-mana telah disebutkan
diupayakan seminimal mungkin, sehingga anggota organisasi
memiliki ruang yang lebih luas untuk menyesuaikan
berbagai tugasnya sejalan dengan perubahan lingkungan
yang dihadapi. Menurut Burn dan Stalker (Efendi, 1986: 67),
bahwa organisasi mekanistik berjalan efektif jika lingkungan
yang dihadapi stabil dan tugas-tugas yang dilakukan dapat
ditangani dengan mekanisme yang bersifat rutin. Sementara
untuk lingkungan yang cenderung berubah-ubah dan sifat
permasalahannya tidak dapat diatasi dengan cara-cara rutin,
organisasi organik akan lebih mendukung (Kusdi, 2009: 73-
74).
Eksistensi birokrasi sebagai suatu organisasi memang
tidak dapat dipisahkan dengan lingkungannya. Lingkungan
yang dimaksud dapat berupa lingkungan internal dan
eksternal organisasi. Menuru Matheus dan Sulistiyani (Jumiati,
2012: 67) lingkungan internal organisasi tidak saja meliputi
kondisi isik yang sifatnya kasat mata, melainkan hal-hal yang
tidak secara eksplisit terlihat akan tetapi juga mempengaruhi
kondisi lingkungan internal, seperti budaya kerja, kebiasaan-
kebiasaan pegawai, perilaku organisasi, sistem diskresi,
dan lain-lain. Kondisi internal pegawai tersebut senantiasa
berubah dan berkembang, sehingga menuntut sebuah
pembelajaran yang sesuai, agar permasalahan-permasalahan
BIROKRASI 57
yang muncul dapat diantisipasi. Sedangkan lingkungan
eksternal meliputi instansi-instansi lain, organisasi swasta,
masyaralat, kebijakan-kebijakan pemerintah, teknologi,
kondisi sosial ekonomi yang mengalami dinamika dari waktu
ke waktu.
58 ETIKA BIROKRAT
dan Bowin (1996) mengemukakan beberapa langkah penting
untuk dilakukan yang disebutnya sebagai The Succes System
Model (Goodin, 1996: 53-54), yaitu:
a) Anticipating (antisipasi); Organisasi terlebih dahulu
menentukan manajemen SDM. Sistem ini harus dapat
mengantisipasi kemung-kinan-kemungkinan di masa
depan, mampu mengindikasikan kecen-derungan terbaru
dan mengembangkan program-program yang dapat
memenuhi perubahan kondisi.
b) Atracting (penarikan); Organisasi mulai memusatkan
perhatian pada aktivitas yang ditujukan untuk
meyakinkan bahwa organisasi mampu mencari orang-
orang yang sesuai dengan kualiikasi yang dibutuh-kan,
diantaranya meliputi analisis jabatan, penarikan, seleksi,
yang didahului oleh issu legal yang berkaitan dengan
penerimaan pegawai, yaitu Equal Employment Opportunity
(EEO).
c) Developing (pengembangan); Setelah organisasi mencari
dan mene-mukan orang yang sesuai dengan kualiikasi
yang dibutuhkan, maka selanjutnya diikuti dengan
pengembangan agar dapat menun-jukkan kinerja yang
tinggi. Upaya ini dimaksudkan dapat diperoleh dengan
melalui pelatihan dan pengembangan pegawai, baik
pada tingkat manajer maupun pada tingkat bawahan.
Termasuk dalam aktivitas ini adalah penilaian kinerja
pegawai, pelatihan, pengembangan organi-sasi dan
pengembangan karier.
d) Motivating (memotivasi); Motivasi perlu dilakukan agar
mereka bekerja dengan baik, sehingga menghasilkan
kinerja yang tinggi. Untuk itu haruslah diketahui
bagaimana cara memotivasi pegawai yang ada, misalnya
dengan sistem konmpensasi yang berfungsi untuk
memotivasi pegawai, seperti; gaji, insentif, dan berbagai
BIROKRASI 59
program keterlibatan pegawai.
e) Maintaining (memelihara); Aktivitas ini harus diikuti
dengan adanya komunikasi yang terbuka sebagai alat
utama dalam memelihara hubungan dengan pegawai
yang efektif. Hubungan pegawai meru-pakan faktor
penting karena akan mempengaruhi berbagai aktivitas
SDM.
f) Changing for Success (perubahan untuk sukses); Dalam
kondisi lingkungan yang terus berubah, manajemen
SDM memberikan pendekatan untuk mengembangkan
strategi-strategi baru, yakni mengadakan perubahan
budaya organisasi dan mengelola keragaman SDM.
Aktivitas ini akan menjadi pengkajian ulang struktur
organisasi, budaya dan proses manajerial, mengelola
perubahan sikap, nilai dan prosedur sehubungan dengan
keragaman SDM.
g) Focusing (pemfokusan); Mengukur efektiitas SDM dapat
dilakukan dengan mengevaluasi sejauhmana efektivitas
SDM dilakukan dalam organisasi. Berbagai alat dapat
digunakan, mulai dari survey tentang sikap pegawai
sampai dengan formal audit SDM. Untuk menunjang
aktivitas ini diperlukan sikap dan tindakan yang pro aktif
dari para manajer SDM, sehingga dapat menghadapi
situasi yang terus berubah.
B. Etika Birokrasi
Di negara-negara berkembang, tugas utama birokrasi leb-
ih dititik-beratkan untuk memperlancar proses pembangunan.
Itulah sebabnya banyak penulis yang menganalisis administra-
si negara-negara berkembang menggu-nakan istilah birokrasi
pembangunan atau administrasi pembangunan. Deinisi yang
sederhana mengatakan bahwa pembangunan adalah proses pe-
rubahan dari suatu keadaan tertentu kearah keadaan lain yang
60 ETIKA BIROKRAT
lebih baik. Kaz (1965). Dalam tugas-tugas pembangunan, aparat
administrasi diharapkan memiliki komitmen terhadap tujuan-
tujuan pembangunan, baik dalam perumusan kebijakan mau-
pun dalam pelaksanaannya secara efektif dan eisien. Dia harus
berorientasi kepada kegiatan (bukan hanya terpaku pada aturan-
aturan legalistik), mampu memecahkan masalah-masalah ke-
masyara-katan, serta mampu merumuskan kebijakan-kebijakan
tertentu ke arah kemajuan. Singkatnya, dia harus mampu men-
jadi agen-agen perubahan (change agents).
Dengan demikian, wajarlah apabila para administrator
pembangunan diberi hak-hak untuk mengambil kebijakan-kebi-
jakan yang diperlukan berdasarkan pertimbangan rasional dan
pengalaman yang dimilikinya. Keleluasaan untuk mengambil
kebijakan administratif (administrative discretion) ini diberikan su-
paya pemerintahan dapat berjalan secara efektif dan proyek-
proyek pembangunan yang kerapkali membutuhkan pengam-
bilan keputusan yang cepat itu dapat terlaksana dengan lancar.
Sayangnya, tidak setiap administrator menyadari bahwa mer-
eka mengemban tugas berat yang hams selalu dipertanggung-
jawabkan kepada rakyat. Seharusnya para administrator mem-
pergunakan hak-hak diskresinya untuk situasi unik yang belum
terdapat dalam peraturan, untuk masalah-masalah yang lidak
terlalu berpengaruh secara makro, atau untuk kebijakan- kebi-
jakan yang benar-benar urgen dan mendesak. Tetapi dalam ban-
yak kasus mereka selalu mempergunakan hak-hak yang melekat
dalam jabatannya, dan lebih buruk lagi mereka tidak melibat-
kan pertimbangan-pertimbangan rasional. Davis mengatakan
bahwa di negara-negara yang tengah melakukan usaha-usaha
modernisasi, banyak pejabat publik yang kini memiliki terlalu
banyak diskresi. Oleh sebab itu, tindakan-tindakan restruk-
turisasi perlu dilakukan untuk membatasi, menyusun kembali,
dan mengevaluasi pelbagai diskresi tersebut guna mencipta-
kan masyarakat yang lebih adil. (Davis, 1976: 3). Di negara kita,
BIROKRASI 61
pertanggungjawaban administratif terhadap masalah-masalah
pembangunan akan semakin diperlukan terutama jika diingat
bahwa pendekatan legalistik melalui Peradilan Tata Usaha Neg-
ara (PTUN) belum bisa betul-betul diterapkan. Jalan yang bisa
ditempuh adalah melalui sistem pertanggungjawaban kepada
tingkat-tingkat administratif yang lebih tinggi, atau melalui dia-
log terus-menerus secara terbuka dengan komponen-komponen
yang berfungsi menyalurkan aspirasi masyarakat. Betapapun
administrasi pembangunan tidak berjalan dalam kondisi vakum
politik, karena pelaksanaannya harus dapat dipertanggung-
jawabkan secara politik pula. Proses administrasi memperoleh
legitimasinya dari kehendak politik rakyat sehingga sudah se-
layaknya kalau ia mencerminkan kemauan rakyat sampai kepa-
da tingkat kebijakan yang paling mikro.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pembangunan nasional kita
selama kurun waktu 25 (dua puluh lima) tahun terakhir telah
berhasil mengangkat taraf kemakmuran ekonomis masyarakat.
Akan tetapi, prestasi ini tidak dibarengi dengan meningkatnya
kesejahteraan dipandang dari aspek-aspek sosial dan nilai-nilai
demokrasi. Pelaksanaan pembangunan komunitas pada skala
luas hanya menghasilkan tidak lebih dari seperangkat program
dan target baru yang dirumuskan dari pusat dengan pelaksana
struktur-struktur birokrasi yang konvensional dan tidak tang-
gap terhadap preferensi atau kebutuhan-kebutuhan rakyat se-
tempat. Secara rinci Korten mengemukakan ciri-ciri program
pembangunan pada kebanyakan negara berkembang, antara
lain: (a) ketergantungan pada organisasi-organisasi birokrasi
terpusat yang hanya mempunyai sedikit kemampuan untuk
menanggapi beraneka-ragam kebutuhan khas komunitas; keter-
gantungan ini juga tampak dalam perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan “partisipatif”; (b) investasi yang tidak memadai
dalam proses pengembangan kemampuan komunitas untuk
memecahkan masalah; (c) perhatian yang kurang dalam menan-
62 ETIKA BIROKRAT
gani keanekaragaman masyarakat, terutama dalam hal struktur
sosial pedesaan yang sangat berlapis-lapis; dan (d) tidak cukup-
nya integrasi antara komponen-komponen teknis dengan sosial
dalam upaya pembangunan. Untuk itu, Korten (1988: 231-249)
mengusulkan supaya program-program pembangunan tidak
hanya berdasarkan ancangan “cetak biru” yang terlalu kaku me-
lainkan diupayakan agar terjadi proses belajar (learning process)
yang bermanfaat bagi rakyat. Tantangan yang harus dihadapi
untuk menuju model pembangunan partisipatoris ialah usaha-
usaha pemaduan pelaksanaan kerja, pendidikan, dan pemben-
tukan lembaga ke dalam sebuah proses belajar yang koheren.
(Korten, 1988: 231-249). Ini hanya bisa dilaksanakan jika para
administrator bersedia selalu membuka diri untuk tidak hanya
terpancang pada pemahaman teknis dan asas-asas manajerial
dalam proses administratif tetapi juga membuka diri terhadap
pemahaman mengenai karakter dan kultur masyarakat.
Rumusan yang terdapat dalam Garis-garis Besar Haluan
Negara secara eksplisit telah menyebutkan bahwa ideologi pem-
bangunan yang kita anut mencita-citakan pembangunan manu-
sia seutuhnya. Itu berarti bahwa pembangunan nasional tidak
hanya mengutamakan tercukupinya kebutuhan-kebutuhan ma-
teri, sistem ekonomi yang sehat, dan taraf hidup yang lebih baik,
melainkan juga terbinanya manusia-manusia Indonesia yang
berwatak, berkepribadian, memiliki rasionalitas dan visi ke de-
pan, dan mempunyai nilai-nilai moralitas yang tinggi. Manusia
tidak ditempatkan sebagai objek pembangunan, tetapi sebagai
subjek atau titik sentral yang akan menentukan arah pembangu-
nan itu sendiri. Maka para administrator yang terlibat langsung
dalam perencanaan maupun operasionalisasi program-program
pembangunan diharuskan untuk selalu mempertimbangkan
nilai-nilai yang wajib dianut dalam melaksanakan tugas-tugas
kedinasan mereka. Asas-asas pembangunan yang manusiawi
itu mungkin terlalu abstrak untuk dikaitkan dengan tugas-tugas
BIROKRASI 63
yang bersifat teknis, tetapi melalui penilaian yang bijaksana dari
para administrator semua kebijakan akan selalu mengandung
konsekuensi yang terkait dengan ide-ide pembangunan yang
paling mendasar tersebut.
64 ETIKA BIROKRAT
BAB V
PELAYANAN PUBLIK
PELAYANAN PUBLIK 65
sesuai dengan harapan atau keinginan pelanggan dengan tingkat
persepsi mereka.
Ada tiga faktor yang menyebabkan timbulnya pelayanan
(Laksana, 2008: 199) yaitu: (1) Adanya rasa cinta dan kasih
sayang, yaitu Cinta dan kasih sayang membuat manusia bersedia
mengorbankan apa yang ada padanya sesuai kemampuaanya,
diwujudkan menjadi layanan dan pengorbanan dalam batas
ajaran agama, norma, sopan santun, dan kesusilaan yang hidup
dalam masyarakat, (2) Adanya keyakinan untuk saling tolong
menolong sesamanya, yaitu Rasa tolong menolong merupakan
gerak naluri yang sudah melekat pada manusia. Apa yang
dilakukan oleh seseorang untuk orang lain karena diminta
oleh orang yang membutuhkan pertolongan hakikatnya adalah
pelayanan, disamping ada unsur pengorbanan, namun kata
pelayanan tidak pernah digunakan dalam hubungan ini. dan
(3) Adanya keyakinan bahwa berbuat baik kepada orang lain
adalah salah satu bentuk amal, yaitu Inisiatif berbuat baik timbul
dari orang yang bukan berkepen-tingan untuk membantu orang
yang membu-tuhkan bantuan, proses ini disebut pelayanan.
Keinginan berbuat baik timbul dari orang lain yang membutuhkan
pertolongan, ini disebut bantuan.
Menurut Payne (2000: 139) bahwa layanan pelanggan
terdapat pengertian: (1) Segala kegiatan yang dibutuhkan untuk
menerima, mem-proses, menyampaikan dan memenuhi pesanan
pelanggan dan untuk menindak lanjuti setiap kegiatan yang
mengandung kekeliruan. (2) Ketepatan waktu dan reabilitas
penyampaian produk dan jasa kepada pelang-gan sesuai dengan
harapan mereka. (3) Serangkaian kegiatan yang meliputi semua
bidang bisnis yang terpadu untuk menyampaikkan produk
dan jasa tersebut sedemikian rupa sehingga dipersep-sikan
memuaskan oleh pelanggan dan yang merealisasikan pencapaian
tujuan-tujuan perusahaan. (4) Total pesanan yang masuk dan
seluruh komunikasi dengan pelanggan. (5) Penyampaian produk
66 ETIKA BIROKRAT
kepada pelanggan tepat waktu dan akurat dengan tidak lanjut
tanggapan keterangan yang akurat.
Disamping itu adanya suatu sistem pelayanan yang baik
terdiri dari tiga elemen (Laksana, 2008: 205), yakni: (1) Strategi
pelayanan, suatu strategi untuk memberikan layanan dengan
mutu yang sebaik mungkin kepada para pelanggan. (2) SDM
yang memberikan layanan. (3) Sistem pelayanan, prosedur atau
tata cara untuk memberikan layanan kepada para pelanggan
yang melibatkan seluruh fasilitas isik yang memiliki dan seluruh
SDM yang ada.
Dalam penetapan sistem pelayanan mencakup strategi
yang dilakukan, dimana pelayanan yang diberikan kepada
pelanggan dapat merasakan langsung, agar tidak terjadai distorsi
tentang suatu kepuasan yang akan mereka terima. Sementara
secara spesiik adanya peranan pelayanan yang diberikan secara
nyata akan memberikan pengaruh bagi semua pihak terhadap
manfaat yang dirasakan pelanggan.
PELAYANAN PUBLIK 67
rian terhadap masyarakat yang berupa penggunaan
fasilitas-fasilitas umum, baik jasa maupun non jasa yang
dilakukan oleh organisasi publik dalam hal ini adalah suatu
pemerintahan. Dalam pemerin-tahan, pihak yang memberikan
pelayanan adalah aparatur pemerintahan beserta segenap
kelengkapan kelembagaannya. Semua barang dan jasa yang
diselenggarakan oleh pemerintah kemudian disebut sebagai
pelayanan publik.
Pelayanan publik juga dapat diartikan sebagai
pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau
masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi
itu sesuai dengan aturan pokok dan tatacara yang telah
ditetapkan. Kurniawan (Sinambella, 2010: 76). Selanjutnya
dalam Kepmenpan (No.63/KEP/M.PAN/7.2003), pelayanan
publik diartikan sebagai segala kegiatan pelayanan yang
dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai
upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun
pelaksanaan ketentuan perundang-undangan.
Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang
Pelayanan Publik, pelayanan publik diartikan sebagai
kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan
kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas
barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang
disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Sementara
penyelenggara pelayanan publik yang selanjutnya disebut
penyelenggara adalah setiap institusi penyelenggara negara,
korporasi, lembaga independen yang diben-tuk berdasarkan
undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan
hukum lain yang semata-mata dibentuk untuk kegiatan
pelayanan publik.
Berdasarkan berbagai pengertian tersebut di atas,
maka secara sederhana pelayanan publik dapat diartikan
sebagai segala kegiatan dalam rangka peme-nuhan
68 ETIKA BIROKRAT
kebutuhan dasar sesuai dengan hak-hak dasar setiap warga
negara dan penduduk atas suatu barang, jasa dan atau
pelayanan administrasi yang disediakan oleh penyelenggara
pelayanan yang terkait dengan kepentingan publik. Adapun
penyelenggaranya adalah lembaga dan petugas pelayanan
publik, baik Pemerintah Daerah maupun Badan Usaha Milik
Daerah yang menyelenggarakan pelayanan publik. Sedangkan
penerima pelayanan publik adalah orang perseorangan dan
atau kelompok orang dan atau badan hukum yang memiliki
hak, dan kewajiban terhadap suatu pelayanan publik.
Dalam memahami konsep pelayanan publik, makna
“publik” perlu difahami, baik dalam perkembangan historis
atau latar belakang muncul-nya dan aplikasinya di dalam
manajemen publik. Dalam perkembangan ilmu administrasi
publik, konsep “publik” bermakna luas daripada hanya
“government” (pemerin-tah saja). Sebagai akibat meluasnya
makna konsep publik tersebut, milai-nilai keadilan, kewarga-
negaraan, (citizenship), etika, patriotisme, dan responsiveness
menjadi kajian penting di samping nilai-nilai eisiensi dan
efektivitas. (Nurmandi, 2010: 1).
Pemahaman terhadap sektor publik dan sektor privat
menjadi perdebatan dalam diskursus ilmiah. Perdebatan
itu antara lain menganggap bahwa kajian public sector
merupakan bidang studi administrasi negara, sedangkan
private sector merupakan kajian disiplin menajemen. Secara
substansial diskursus mengenai isu-isu sektor privat dan
publik sudah lama diperdebatkan di Amerika Serikat. Sebagai
kesimpulan umum yang sangat relevan (Haksever, 2000: 27).
Pertama, ada persamaan praktik-praktik manajemen pada
sektor publik dan privat, sehingga yang lebih ditekankan
adalah peranan respektif para manajer di bidangnya masing-
masing. Kedua, ada persamaan praktik-praktik manajemen
pada sektor publik dan privat ke arah meningkatkan
over time. Ketiga, persamaan-persamaan dan perbedaan
PELAYANAN PUBLIK 69
sektor publik dan privat relatif tidak penting, artinya tidak
menghasilkan sifat-sifat yang fundamental. Keempat, karena
peranan dan keahlian antara manajer sektor publik dan
privat berbeda, maka training-training yang digunakan juga
berbeda, manajer sektor publik mungkin akan gagal bila
menjalankan sektor privat begitu juga sebaliknya. Kelima,
gaya manajemen sektor publik berbeda dengan sektor privat.
Mungkin prinsip atau teknik manajemen dapat diterapkan
di dalam kedua sektor tersebut, tetapi dalam tataran praktis
tetap berbeda. Keenam, ada pertukaran nilai antara manajer
sektor publik dan sektor privat dalam menentukan program-
program pelayanan kepada publik.
Beberapa dimensi yang dapat dijabarkan dalam melihat
perbedaan antara sektor publik dan sektor privat seperti yang
dikemukakan oleh Bruce McCallum dalam Zauhar (1996:
87), yaitu dalam hal tujuan dan sasaran, akuntabilitas, merit
system, jaminan kerja, koordinasi, keterlibatan politik dalam
pembuatan kepu-tusan, konsistensi dalam pengambilan
keputusan, personalitas antara manajer publik dan privat.
Perbedaan antara manajemen sektor publik dan
sektor privat dalam hal dimensi tujuan, yaitu sektor publik
memiliki tujuan yang sangat banyak, seragam, bahkan
terkadang kabur dan tidak nyata. Hal ini disebabkan karena
ada polarisasi aspek politis dan ekonomis yang berarti
public sector goal itu tidak begitu nampak seperti halnya
private sector goal. Akuntabilitas dalam sektor publik dan
privat juga berbeda, dalam sektor privat kebebasan untuk
memilih pekerjaan guna meraih tujuan yang dbebankan
kepadanya akan dipertanggungjawabkan kepada komisaris
dan pemegang saham. Dalam sektor publik atasan vertical
bertanggung jawab pada institusi yang berwenang. Tanggung
jawab itu mencakup inansial, administratif, politis serta
pelaksanaan program kerja sesuai dengan yang ditetap-kan.
Ini merupakan konsekuensi peran administrator publik.
70 ETIKA BIROKRAT
Orang yang ditunjuk pada pelayanan publik adalah orang-
orang yang memiliki kriteria tertentu dan dinilai berdasarkan
keahlian, kualiikasi khusus, loyalitas secara politis. Sedang-
kan pada sektor privat, prinsip kepantasan sesuai dengan
kualiikasi keahlian yang berdasarkan prinsip-prinsip
manajemen modern, sehingga maximized proit yang dicapai
akan terwujud.
Perbedaan lain adalah masalah jaminan kerja. Dalam
sektor privat cenderung untuk meningkatkan jaminan dari
jabatan yang diembannya. Dalam hal ini, sektor publik juga
mengikuti trend demikian. Walaupun ada kecenderungan
ke arah security of tenure dari masing-masing sektor, akan
tetapi dalam praktiknya, jumlah imbalan yang diberikan
berbeda. Kenyataan ini disebabkan oleh pengelolaan pada
masing-masing sektor. Sektor privat selalu menggunakan
sumber dana, sumber daya dan sumber-sumber lainnya
mengikuti prosedur dan proses atau standar yang efektif
dan eisien. Segala sesuatunya dihitung dari berapa jumlah
biaya yang harus dikeluarkan dan proit yang akan diterima.
Hasil keuntungan bersih organisasi privat itulah yang akan
didistribusikan kepada pekerja sesuai dengan proporsi
masing-masing.
Fenomena yang terjadi pada sektor privat tersebut tidak
terjadi pada sektor publik. Rumitnya jalur birokrasi serta
tujuan yang bersifat sosial mengakibakan tidak eisiennya
pengelolaan organisasi. Hal tersebut berdampak pada
jaminan yang diberikan juga terbatas. Sektor publik memiliki
koordinasi antardepartemen dan lembaga publik, sementara
sektor privat koordinasinya antara pimpinan dan bawahan
serta komisaris organisasi.
Mendeinisikan pelayanan publik tidak lagi dapat
ditentukan dengan hanya melihat lembaga penyelenggaranya,
yaitu pemerintah atau swasta. Pelayanan publik tidak lagi
tepat untuk difahami sebagai pelayanan dari pemerintah,
PELAYANAN PUBLIK 71
begitu juga pelayanan swasta yang tidak dapat difahami
hanya sebagai pelayanan yang diberikan oleh lembaga non-
pemerintah. Pelayanan publik harus dilihat dari karakteristik
dan sifat dari pelayanan itu sendiri, bukan dari karakteristik
lembaga penyelenggaranya atau sumber pembia-yaannya
semata. Kriteria yang selama ini secara konvensional
digunakan untuk membedakan antara pelayanan publik dan
pelayanan privat tidak dapat lagi digunakan dengan mudah
untuk mendeinisikan pelayanan publik.
Atas dasar itu, maka muncul suatu pertanyaan, apa
yang kemudian dapat digunakan untuk menentukan suatu
pelayanan dapat dikategorikan sebagai pelayanan publik dan
kapan pelayanan itu kehilangan sifatnya sebagai pelayanan
publik?. Menurut Dwiyanto (2008: 18-19) terdapat banyak
kriteria untuk menentukan sebuah pelayanan (barang, jasa
dan administratif) termasuk sebagai pelayanan publik atau
bukan. Adapun kriteria tersebut dapat dilihat pada uraian
berikut.
Kriteria pertama yang biasanya digunakan adalah sifat
dari barang dan jasa itu sendiri (Denhart, 2000: 7). Barang
dan jasa yang termasuk dalam kategori barang publik atau
barang yang memiliki eksternalitas tinggi biasanya tidak
dapat diselenggarakan oleh korporasi atau diserahkan kepada
pasar, karena mereka tidak dapat mengontrol siapa yang
mengkonsumsi barang dan jasa tersebut, sementara barang
dan jasa tersebut sangat penting bagi kehidupan warga dan
masyarakat luas. Karena pelayanan ini sangat penting dan
harus disediakan oleh negara, sehingga pelayanan tersebut
seharusnya menjadi bagian dari pelayanan publik.
Kriteria kedua yang dapat digunakan untuk men-
deinisikan pelayanan publik adalah tujuan dari pelayanan
barang dan jasa. Penyediaan barang dan jasa yang dilakukan
untuk mencapai tujuan dan misi negara, walaupun barang
dan jasa itu bersifat privat, dapat dikatakan sebagai pelayanan
72 ETIKA BIROKRAT
publik. Tujuan dan misi negara biasanya diatur dalam
konstitusi atau peraturan perundangan lainnya.
Semua pelayanan yang memenuhi salah satu dari
kedua kriteria, yaitu merupakan jenis barang atau jasa
yang memiliki eksternalitas tinggi dan sangat diperlukan
oleh masyarakat serta penyediaannya untuk mencapai
tujuan atau misi negara, baik dalam rangka memenuhi
hak dan kebutuhan dasar warga, maupun tujuan strategis
pemerintah, seharusnya dikategorikan sebagai pelayanan
publik. Ketika sebuah pelayanan menjadi pelayanan publik,
maka negara tidak dapat lepas tangan dan menyerahkan
penyeleng-garaannya kepada mekanisme pasar atau
assosiasi sukarela sepenuhnya. Meskipun keterlibatan pasar
untuk berpartisipasi telah meringankan beban pemerintah,
namun untuk menghindari agar keterlibatan tersebut tidak
merugikan kepentingan warga pengguna, maka keterlibatan
pasar atau assosiasi sukarela dalam penyeleng-garaan
layanan publik harus diatur dalam peraturan perundangan.
Berdasarkan kedua kriteria seperti yang telah
disebutkan di atas, maka perbedaan ciri pelayanan publik
dengan pelayanan privat dapat dijelaskan. Pelayanan privat
dapat dideinisikan sebagai kegiatan untuk memenuhi
kebutuhan perseorangan, yang bukan menjadi hajat hidup
orang banyak, bukan menjadi kebutuhan bersama secara
kolektif, dan tidak menjadi bagian dari komitmen pemerintah
untuk memenuhi kebutuhan minimal warganya agar dapat
hidup secara layak. Lembaga pemerintah dan swasta yang
terlibat dalam penyelenggaraan layanan itu, tidak menjadi
bagian dari lembaga penye-lenggara layanan publik.
Sedangkan suatu pelayanan dideinisikan sebagai
pelayanan publik, maka tanggung jawab penyediaannya
menjadi tanggung jawab negara. Tentu hal ini tidak berarti
pemerintah atau unsur penyelenggara negara lainnya harus
melaku-kannya sendiri. Negara dapat melibatkan lembaga
PELAYANAN PUBLIK 73
non pemerintah untuk menye-lenggarakan pelayanan
publik. Dalam penyeleng-garaannya, negara harus menye-
diakan anggaran atau subsidi untuk menjamin semua warga
memiliki akses terhadap pelayanan tersebut.
Berbagai pemikiran yang berkaitan dengan itu,
antara lain dikemu-kakan oleh Denzim & Lincoln (2009:
31-32), dengan membedakan berbagai perspektif dalam
mendeinisikan publik, yaitu:
a) Publik sebagai kelompok kepentingan (perspektif
pluralis);
b) Publik sebagai pemilih rasional (perspektif pilihan
publik);
c) Publik sebagai pihak yang diwakili (perspektif
perwakilan);
d) Publik sebagai pelanggan (perspektif penerima
layanan publik)
e) Publik sebagai warganegara.
Dalam perspektif pluralis, publik difahami sebagai
kelompok kepen-tingan sebagaimana yang dikembangkan
oleh ilmuan politik. Kepentingan (interest) publik disalurkan
sedemikian rupa oleh kelompok kepentingan, baik dalam
bentuk artikulasi kepentingan maupun agregasi kepentingan.
Dalam demokrasi, sebuah atau beberapa kelompok kepen-
tingan melakukan aliansi dengan partai politik untuk
mengartikulasikan kepentingannya.
Pemahaman publik dalam perspektif pemilih rasional
dikembang-kan oleh Buchanan dan Tullock. Mereka
mengembangkan model ekonomi untuk memfor-mulasikan
perilaku indovidu dalam sistem politik. Salah satu karya
yang menerapkan model Buchanan dan Tullock adalah Down
(Denzim & Lincoln, 2009: 34) pada perilaku birokrat dalam
mengkalkulasi preferensi pribadinya. Teori Down tentang
instansi pemerintah adalah: Pertama, menekankan beneit
positif pada kegiatan instansi pemerintah dan mengurangi
74 ETIKA BIROKRAT
biaya; Kedua, Menunjukkan bahwa perluasan pelayanan
instansi akan lebih memenuhi harapan dan pengiritan akan
kurang memenuhi harapan; Ketiga, Instansi lebih membe-
rikan pelayanan pada kepentingan masyarakat dalam arti luas
daripada kepen-tingan yang spesiik; Keempat, menekankan
pada eisiensi pada instansi tingkat atas; Kelima, menekankan
pada prestasi dan kemampuan, sementara mengabai-kan
kegagalan dan ketidakmampuan.
Perspektif ketiga adalah perspektif perwakilan, yang
melihat publik sebagai pihak yang diwakili oleh elected
oicials (politisi). Dalam perspektif ini, kepentingan publik
diasumsikan telah diwakili oleh wakilnya yang duduk di
lembaga-lembaga perwakilan. Kelemahan utama perspektif
ini adalah pada kenyataannya politisi tidak menyuarakan
kepentingan publik, dan politisipun tidak pernah melibatkan
masyarakat dalam perumusan kebijakan.
Perspektif keempat, melihat publik sebagai pelanggan
(customer) pela-yanan publik yang diselenggarakan oleh
birokrasi publik. Lipsky mengem-bangkan konsep street level
bureaucracy untuk menunjukkan interaksi yang erat antara
aparat pelayanan publik dengan masyarakat yang dilayani.
Namun iapun mensinyalir bahwa birokrasi lebih melayani
kepentingannya daripada kepentingan masyarakat, dan
street level bureaucracy lebih memfungsikan dirinya sebagai
kelompok kepentingan.
Perspektif terakhir melihat publik sebagai warganegara.
Sebagai warga negara, seseorang tidak hanya mewakili
kepentingan individu namun juga kepentingan publik.
Model-model partisipasi publik dalam pengam-bilan kepu-
tusan lebih banyak menerapkan perspektif ini.
Setiap negara di manapun serta apapun bentuk
pemerintahannya selalu membutuhkan pelayanan publik.
Pelayanan publik merupakan suatu keha-rusan bagi negara
atau pemerintahan untuk melayani warga negaranya.
PELAYANAN PUBLIK 75
Pelayanan publik tidak mudah dilakukan, dan banyak negara
yang gagal melakukan pelayanan publik yang baik bagi
warganya. Pelayanan publik (public service), merupakan
salah satu pembahasan yang cukup aktual dalam kajian
birokrasi.
Berkaitan dengan produk pelayanan birokrasi,
Gronroos (Dwiyanto, 2006: 137) mengemukakan sejumlah
karakteristik pelayanan publik, baik dalam bentuk barang
maupun jasa seperti yang terlihat pada tabel 6 berikut:
Tabel 6.
Perbedaan Karakteristik antara Pelayanan Barang dan Jasa
No. Pelayanan Barang Pelayanan Jasa
1 Sesuatu yang berwujud Sesuatu yang tidak berwujud
2 Homogen: satu jenis barang Heterogen: satu bentuk
dapat berlaku untuk banyak pelayanan kepada seseorang
orang belum tentu sesuai atau sama
dengan bentuk pelayanan
kepada orang lain.
3 Proses produksi dan Proses produksi dan distribusi
distribusinya terpisah pelaya-nan berlangsung
dengan proses konsumsi bersamaan pada saat
dikonsumsi
4 Berupa barang/benda Berupa proses atau kegiatan
5 Nilai utamanya dihasilkan Nilai utamanya dihasilkan
di perusahaan dalam pro-ses interaksi antara
penjual & pembeli
6 Pembeli pada umumnya Pembeli terlibat dalam proses
tidak terlibat dalam proses produksi
produksi
7 Dapat disimpan sebagai Tidak dapat disimpan
persediaan
8 Dapat terjadi perpindahan Tidak ada perpindahan
kepemilikan kepemilikan
76 ETIKA BIROKRAT
Pelayanan publik menjadi ujung tombak interaksi
antara masyarakat dan pemerintah. Kemampuan birokrasi
dapat dinilai salah satunya dengan melihat sejauh mana
kualitas pelayanan publik. Sebagai implementasi kebi-jakan
birokrasi di lapangan, pelayanan publik pun menarik minat
tersendiri untuk dipelajari. Penilaian terhadap kemampuan
birokrasi publik tidak cukup hanya dilakukan dengan
menggunakan indikator-indikator yang melekat pada
birokrasi seperti eisiensi dan efektiitas, tetapi harus dilihat
pula dari indikator-indikator yang melekat pada pengguna
jasa, seperti kepuasan pengguna jasa, akuntabilitas dan
responsivitas (Dwiyanto dkk, 2006: 76).
Pelayanan publik merupakan segala kegiatan dalam
rangka pemenuhan kebutuhan dasar sesuai dengan hak-hak
dasar setiap warga negara dan penduduk atas suatu barang,
jasa dan atau pelayanan administrasi yang disediakan oleh
penyelenggara pelayanan yang terkait dengan kepentingan
publik. Adapun penyelenggaranya adalah lembaga dan
petugas pelayanan publik, baik Pemerintah Daerah maupun
Badan Usaha Milik Daerah yang menyelenggarakan
pelayanan publik. Sedangkan penerima pelayanan publik
adalah orang perseorangan dan atau kelompok orang
dan atau badan hukum yang memiliki hak, dan kewajiban
terhadap suatu pelayanan publik.
Hubungan antara penerima pelayanan dengan pelayan-
an birokrasi pemerintah, aparatur birokrasi yang mendapat
kepercayaan untuk melayani masyarakat perlu menyadari
bahwa pada dirinya dituntut untuk memberikan pelayanan
prima (excellent services), sebagai berikut: (a) sensitif dan
responsif terhadap peluang dan tantangan yang dihadapi,
(b) dapat mengembangkan fungsi instrumental dengan
melakukan terobosan melalui pemikiran yang inovatif dan
kreatif, (c) berwawasan futuris dan sistematis sehingga resiko
yang bakal timbul akan diminimalisir, dan (d) berkemampuan
PELAYANAN PUBLIK 77
dalam mengop-timalkan sumber daya yang potensial. Untuk
menjadikan kepuasan pelanggan sebagai tujuan utama, maka
perilaku aparatur birokrasi dalam memberikan pelayanan
harus melakukan pekerjaannya dengan sepenuh hati (Paton:
1997: 67).
Salah satu kekurangan mendasar organisasi pemerin-
tahan atau birok-rasi pemerintahan, khususnya dalam
penyelenggaraan pelayanan publik adalah ketidakmampuan-
nya menciptakan suatu iklim organisasi pembelajar. Padahal
dalam tuntutan masyarakat yang semakin dinamis organisasi
sangat diharap-kan memiliki karakter organisasi pembelajar.
Menurut Sangkala (2007: 210), bahwa organisasi pembelajar
akan memiliki kemampuan memperbaiki dan meningkatkan
adaptabilitas serta kapasi-tasnya dalam memenuhi tuntutan
lingkungan. Organisasi yang di dalamnya berisi orang-orang
yang senang belajar dan senan-tiasa membantu organisasi
melahirkan pengetahuan dan keterampilan baru.
Kemampuan memperbaiki dan meningkatkan adapta-
bilitas serta kapasitasnya dalam memenuhi tuntutan
lingkungan merupakan suatu issu penting yang justru
kurang mendapat perhatian selama ini. Secara teoritik
tuntutan dan kepentingan individu sebagai anggota
masyarakat yang merupa-kan bagian dari lingkungan
memang sangat bervariasi, sehingga dalam batas tertentu
berpeluang melahirkan benturan kepentingan, khususnya
dalam proses pengambilan kepu-tusan oleh para pejabat
birokrasi. Akibatnya pengambilan keputusan sebagai bagian
proses administrasi seringkali menimbulkan ketidakadilan
bagi masya-rakat. Menurut Permana (2009: 39-40) persepsi
masyarakat terhdap ketidakadilan itu muncul sebagai akibat
perbedaan cara pandang individu terhadap kebijakan yang
disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: preferensi individu
(individual preference), etika (ethic), kebebasan individu
(individual freedom), hak individu (individual rights), dan
78 ETIKA BIROKRAT
distribusi keadilan (distribution of justice). Proses pengambilan
kebijakan publik yang berkeadilan ditunjukkan dengan
gambar 2 berikut:
PELAYANAN PUBLIK 79
a) Old Public Administration
Woodrow Wilson merupakan tokoh penting yang
mempra-karsai gerakan perubahan dalam paradigma
OPA. Ia menyarankan agar adminis-trasi publik harus
dipisahkan dari dunia politik (dikhotomi administrasi
publik dengan politik). Berdasarkan pengalaman Wilson,
negara terlalu memberi peluang bagi para administrator
untuk mempraktekkan system nepotism dan spoil. Oleh
karena itu ia mengeluarkan doktrin untuk melakukan
pemisahan antara dunia legislatif (politik) dengan dunia
ekse-kutif, dimana para legislator hanya merumuskan
kebijakan dan para admi-nistrator hanya mengeksekusi
atau menmgim-plementasikan kebijakan. Sosok birokrasi
yang ditawarkan Wilson ini sejalan dengan jiwa atau
semangat bisnis. Wilson menuntut agar para administrator
publik selalu mengutamakan nilai eisiensi dan ekonomis,
sehingga mereka harus diangkat berdasarkan kecocokan
dan kecakapan dalam bekerja ketimbang keanggotaan
atau kedudukan dalam suatu partai politik. Ajaran Wilson
untuk meniru dunia bisnis ini membawa suatu implikasi
penting dalam pemerintahan, yaitu bahwa prinsip-prinsip
dalam dunia bisnis yang diprakarsai oleh Taylor pantas
untuk diperhatikan. Metode keilmuan menurut Taylor
harus menggeser metode rule of thumb. Tenaga kerja
harus diseleksi, dilatih dan dikembangkan secara ilmiah
dan didorong untuk bekerja sama dalam menyelesaikan
berbagai tugas pekerjaan sesuai prinsip-prinsip keilmuan.
Dunia telah mengakui kebesaran Taylor dalam memba-
ngun prinsip manajemen yang professional.
Max Weber juga mengajak untuk melaksanakan
prinsip-prinsip Taylor. Menurut Weber, ketika masyarakat
berkembang semakin kompleks, maka diperlukan suatu
institusi yang rasional yaitu birokrasi. Dalam birokrasi
ini, diatur perilaku yang tidak saja produktif, tetapi juga
80 ETIKA BIROKRAT
loyal terhadap pimpinan dan organisasi. Perilaku yang
impersonal dan saklek harus diterapkan. Hubungan
kekeluargaan dan kelompok sosial tidak mendapat
tempat untuk dipertimbangkan dalam birokrasi. Oleh
karena itu, para anggota organisasi harus ditempatkan
berdasarkan kemampuan yang dimiliki. Dikembangkan
dan dituntun dengan peraturan yang jelas dalam
menjalankan tugasnya.
Doktrin OPA, dalam perkembangannya menghada-
pi masalah (fallacies). Sebagai illustrasi misalnya, Weber
yakin bahwa sosok organisasi birokrasi sangat ideal,
padahal dalam perkembangannya bias berubah sifatnya
menjadi sangat kaku, bertele-tele dan penuh red-tape
(Weber fallacy). Demikian juga halnya dengan Taylor
sangat yakin bahwa hanya ada satu cara terbaik (one
way of doing the task) untuk melakukan tugas, padahal
dalam perkembangan jaman terdapat banyak cara lain
untuk bekerja terbaik, hasil rekayasa teknologi dan ilmu
pengetahuan (Taylor fallacy). Hal yang sama juga terjadi
pada Wilson, dimana ia cenderunmg melihat dunia
administrasi publik sebagai kegiatan yang tidak bersifat
politis,padahal dalam kenyataannya bersifat politis
(Wilson fallacy). Meskipun muncul berbagai masalah dalam
paradigma Old Poblic Administration (OPA), namun
belajar dari paradigma ini telah memberikan kontribusi
pengetahuan yang penting bahwa dalam membangun
birokrasi diperlukan profesionalitas, penggunaan prinsip
keilmuan, hubungan yang impersonal, penerapan aturan
dan standardisasi secara tegas, sikap yang netral dan
perilaku yang mendorong eisisiensi dan efektiitas.
PELAYANAN PUBLIK 81
Istilah management pada New Public Management,
diberikan lantaran istilah ini lebih agresif daripada istilah
administration (Vigoda, 2003). Paradigma ini didasarkan
pada teori pasar dan budaya bisnis dalam organisasi
publik (Vigoda,2002). Paradigma tersebut muncul tidak
hanya karena adanya krisis iskal pada tahun 1970an dan
1980an, tetapi juga karena adanya keluhan bahwa sektor
publik terlalu besar, boros, ineisien, merosotnya kenerja
pelayanan publik, kurangnya perhatian terhadap pengem-
bangan dan kepuasan kerja pegawai pemerintah.
Kemunculan NPM pertama kali hanya meliputi
lima doktrin Gaebler dan Osborn (Keraf, 1998: 85) yaitu
(a) penerapan deregulasi pada line management, (b)
konversi unit pelayanan publik menjadi organisasi yang
berdiri sendiri, (c) penerapan akuntabilitas berdasarkan
kinerja terutama melalui kontrak, (d) penerapan
mekanisme kompetisi seperti melakukan kontrak keluar,
dan (e) memperhatikan mekanisme pasar. Dalam perkem-
bangannya, telah menjadi sepuluh doktrin sebagaimana
yang disampaikan dalam Reinventing Governmen.
Beberapa tahun kemudian muncul lagi model NPM yang
lebih variatif misalnya model eisiensi drive, downsizing
and decentralization, in search of exelence dan public
service orientation. Ferile (Keraf, 1998: 85). Berbagai variasi
ini memberi kesan bahwa NPM hanyalah merupakan
upaya para ahli dalam memodernisasikan sektor publik.
Melalui berbagai doktrin NPM tersebut di atas,
dapat dipelajari bahwa proses reformasi harus diarahkan
pada enam dimensi kunci. Pertama, productivity, yaitu
bagaimana pemerintah menghasilkan lebih banyak hasil
dengan biaya yang lebih sedikit. Kedua, marketization yaitu
bagaimana pemerintah menggunakan insentif bergaya
pasar agar melenyapkan Pelanggaran Etika Birokrasi.
Ketiga, service orientation yaitu bagaimana pemerintah
82 ETIKA BIROKRAT
dapat berhubungan dengan wargamasyarakat secara
lebih baik agar program-programnya lebih responsif
terhadap kebutuhan warga masyarakat. Keempat,
decentralization yaitu bagaimana pemerintah membuat
program yang responsif dan efektif dengan memindahkan
program ke tingkat pemerintahan yang lebih rendah,
atau memindahkan tanggung jawab instansi pemerintah
ke para menejer lapangan yang berhadapan langsung
dengan warga masyarakat, atau memberi kesempatan
kepada mereka untuk melakukan adaptasi terhadap
kebutuhan warga masyarakat. Kelima, policy yaitu
bagaimana pemerintah memperbaiki kapasitas kebijakan.
dan Keenam, performance accountability yaitu bagaimana
pemerintah memperbaiki kemampuannya untuk meme-
nuhi janjinya (Keraf, 1998: 104).
Reformasi birokrasi tersebut diarahkan untuk
mencapai hasil nyata yang mencakup lima spek, yaitu
(1) saving, (2) perbaikan proses, (3) perbaikan eisiensi,
(4) peningkatan efektivitas, dan (5) perbaikan sistem
administrasi, seperti peningkatan kapasitas, leksibilitas
dan ketahanan. Dalam hal saving, perbaikan proses dan
eisiensi, serta sistem administrasi, Inggris dan Amerika
telah mengklaim berhasil, tetapi dalam hal efektiitas
masih belum dirasakan, karena hasil akhir program baru
dirasakan beberapa tahun kemudian (Keraf, 1998: 185). Di
negara-negara berkembang, NPM masih bersifat embrio
dan coba-coba. Keberhasilan NPM ini sangat tergantung
dari konteks dan karakteristik negara dan sektor yang
ditangani, kemampuan institusi, dan konteks dari
institusi itu sendiri seperti iklim dan ideologi manajemen
yang dianut, sikap terhadap otoritas, hubungan sosial dan
kelompok (Keraf, 1998: 106). Seperti halnya dengan OPA,
NPM pun menghadapi banyak kritikan, karena para elit
birokrasi cenderung berkompetisi untuk memperjuangkan
PELAYANAN PUBLIK 83
kepentingan dirinya daripada kepentingan umum, dan
berkolaborasi untuk mencapainya. Apalagi dasar NPM
adalah teori Public Choice yang sangat didominasi oleh
kepentingan pribadi (self interest) sehingga konsep seperti
public spirit, public service, dsb, terabaikan. Hal yang
demikian tidak akan mendorong proses demokratisasi.
Disamping itu, NPM tidak pernah ditujukan untuk
menangani pemerataan dan masalah keadilan sosial
(Harrow (Laksana, 2008: 76)). Munculnya NPM telah
mengancam nilai inti sektor publik yaitu citizen self
governance dan fungsi administrator sebagai servant of
public interest (Box (Laksana, 2008: 76)), bahkan kalau
tidak berhati-hati , justeru akan meningkatkan korupsi
dan menciptakan orang miskin baru.
Pelajaran penting yang dapat diambil dari
NPM ini adalah bahwa pembangunan birokrasi harus
memperhatikan mekanisme pasar, mendorong kompetisi
dan kontrak untuk mencapai hasil, harus lebih responsif
terhadap kebutuhan pelanggan, harus lebih bersifat
mengarah-kan (steering) daripada menjalankan sendiri
(rowing), harus melakukan deregulasi, memberdayakan
para pelaksana agar lebih kreatif, dan menekankan
budaya organisasi yang lebih leksibel, inovatif, berjiwa
wirausaha dan pencapaian hasil, ketimbang budaya taat
azas, orientasi pada proses dan input (Laksana, 2008:
106).
84 ETIKA BIROKRAT
percaya terhadap keefektifan kolaborasi. Mereka harus
membangun trust dan bersikap responsif terhadap
kepentingan atau kebutuhan masyarakat, dan bukan
semata mencari eisiensi yang lebih tinggi sebagaimanja
yang dituntut dalam NPM.
Di Inggris, muncul apa yang disebut joined up
thinking and joined up action (Denhart & Denhart, 2002: 76),
yang kemudian dikenal dengan paradigma New Public
Service (NPS). Di dalam paradigma ini tidak ada lagi yang
menjadi penonton, semua jadi pemain atau ikut bermain.
Disini pemerintah harus menjamin hak-hak warga
masyarakat, dan memenuhi tanggung jawabnya kepada
masyarakat dengan mengutamakan kepentingan warga
masyarakat.. Fiirst Citizens harus menjadi pegangan
atau semboyan pemerintah (Denhardt & Gray, 1998). Isu
tentang justice, equity, partic-ipation, dan leadership yang
tidak diperhatikan dalam buku Reinventing Government
justru harus mendapatkan perhatian utama (Denhardt
& Denhardt, 2002). Paradigma ini sejalan dengan prinsip
co-creating yang digagas oleh Prahalad dan Ramaswany
(Siagian, 2000: 76) sebagai sumber energi organisasi era
demokrasi, karena dapat menjamin hak, kebutuhan dan
nilai-nilai warga, dan bukan kebutuhan institusi.
Ada tujuh prinsip NPS (Denhardt & Denhardt, 2000:
87) yang berbeda dari NPM dan OPA. Pertama, peran utama
dari pelayan publik adalah membantu warga masyarakat
mengartikulasikan dan memenuihi kepentingan yang
telah disefakati bersama, daripada mencoba mengon-
trol atau mengendalikan masya-rakat kearah yang baru.
Kedua, administrator publik harus menciptakan gagasan
kolektif yang disetujui bersama tentang apa yang disebut
sebagai kepentingan publik. Ketiga, kebijakan dan
program yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan
publik dapat dicapai secata efektif dan responsif melalui
PELAYANAN PUBLIK 85
upaya-upaya kolektif dan proses kolaboratif. Keempat,
kepentingan publik lebih merupakan hasil suatu dialog
tentang nilai-nilai yang disetujui bersama dari pada
agregasi kepentingan pribadi para individu. Kelima,
para pelayan publik harus memberi perhatian, tidak
semata pada pasar, tetapi juga pada aspek hukum dan
peraturan perundangan, nilai-nnilai masya-rakat, norma-
norma politik, standard profesional dan kepentingan
warga masyarakat. Keenam, organisasi publik dan
jaringan-jaringan yang terlibat akan lebih sukses dalam
jangka panjang kalau mereka beroperasi melalui proses
kolaborasi dan melalui kepemimpinan yang menghargai
semua orang. dan Ketujuh, kepentingan publik lebih baik
dikembangkan oleh pelayan-pelayan publik dan warga
masyarakat yang berkomitmen memberikan kontribusi
terhadap masyarakat, dari pada oleh manajer wirausaha
yang bertindak seakan-akan uang adalah milik mereka.
Pelajaran penting yang dapat diambil dari paradigma
NPS ini adalah bahwa birokrasi harus dibangun agar
dapat memberi perhatian kepada pelayanan masyarakat
sebagai warga negara (bukan sebagai pelanggan),
mengutamakan kepentingan umum, mengikutsertakan
warga masyarakat, berpikir strategis dan bertindak
demokratis, memperhatikan norma, nilai dan standard
yang ada, dan menghargai masyarakat.
Birokrasi tadisional yang bekerja berdasarkan ciri-
ciri birokrasi perlu dipadukan dengan ciri-ciri demokrasi.
Perpaduan ciri tentunya akan melahirkan ciri-ciri baru
yaitu ciri-ciri birokrasi yang demokratis. Hal ini perlu
dilakukan karena prinsip-prinsip kerja birokrasi berbeda
dengan tuntutan moral dalam demokrasi.
Birokrasi dalam proses pencapaian tujuannya
menekankan eisiensi dan mengandalkan kapabilitas
satu orang, menekankan hirarcki, dan kewenangan
86 ETIKA BIROKRAT
yang mengalir secara vertikal mengikuti struktur yang
berbeda dengan semangat yang ada dalam nilai-nilai
demokrasi seperti persamaan hak dan kedudukan bagi
semua warga negara, serta peluang untuk terlibat dalam
proses pengambilan keputusan. Ciri-ciri birokrasi dan
demokrasi ini dijelaskan oleh Denhardt dan Denhardt
(2002) seperti yang terlihat pada tabel 7 berikut:
PELAYANAN PUBLIK 87
menghadapi kesulitan menyatukan eisiensi dan daya
tanggap.” Ciri-ciri birokrasi yang demokratis antara lain
birokrasi yang memiliki daya tanggap (responsivitas)
yang tinggi terhadap kebuuhan publik, memberi ruang
partisipasi publik dalam pengambilan keputusan dan
transparansi, atau lebih jelasnya adalah birokrasi yang
menerapkan prinsip-prisip good governance seperti yang
direkomendasikan oleh Bank Dunia, yaitu: participation,
rule of law, transparency, responsi-veness, consensus
orientation, equity, eicienscy and efectiveness, accountability,
dan strategic vision (Laksana, 2008: 68-69). Senada dengan
Wilson seperti yang dikutip Frederickson (Permana,
2009: 89), menyimpulkan bahwa birokrasi sukses adalah
birokrasi dengan eksekutif mampu menciptakan misi
yang jelas, mengidentiikasi tugas yang harus dicapai
untuk memenuhi misi, mendistribusikan otoritas di
dalam organisasi menurut tugas, dan memberi bawahan
otonomi yang memadai untuk mencapai tugas tersebut.
Malcolm Walters (Permana, 2009: 109) menambah-
kan bahwa kegagalan daripada pelayanan publik ini
disebabkan karena aparat (birokrasi) tidak menyadari
adanya perubahan dan pergeseran yang terjadi dalam
budaya masyarakatnya dari budaya yang bersifat
hirarkhis, budaya yang bersifat individual, budaya
yang bersifat fatalis, dan budaya yang bersifat egaliter.
Pelayanan publik yang modelnya birokratis cocok untuk
budaya masyarakat hirarkhis; pelayanan publik yang
modelnya privatisasi cocok untuk budaya masyarakat
individual (yang anti hirarkhis); pelayanan publik yang
modelnya kolektif cocok untuk budaya masyarakat fatalis
(yang mendukung budaya hirarkhis dan anti budaya
individu); sedangkan pelayanan publik yang modelnya
memerlukan pelayanan cepat dan terbuka cocok untuk
88 ETIKA BIROKRAT
budaya masyarakat egaliter (yang anti budaya hirarkhis,
anti budaya individu dan anti budaya fatalis).
Substansi pelayanan publik selalu dikaitkan
dengan suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang
atau kelompok orang atau instansi tertentu untuk
memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat
dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Oleh karena
itu institusi pelayanan publik dapat dilakukan oleh
pemerintah maupun non-pemerintah. Jika pemerintah,
maka organisasi birokrasi pemerin-tahan merupakan
organisasi terdepan yang berhubungan dengan pela-
yanan publik. Dan jika non-pemerintah, maka dapat
berbentuk organisasi partai politik, organisasi keagamaan,
lembaga swadaya masyarakat maupun organisasi-
organisasi kemasyarakatan yang lain. Siapapun bentuk
institusi pelayanananya, maka yang terpenting adalah
bagaimana memberikan bantuan dan kemudahan kepada
masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan dan
kepentingannya.
Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan peme-
rintahan, birokrasi sebagai ujung tombak pelaksana
pelayanan publik mencakup berbagai program-program
pembangunan dan kebijaksanaan-kebijak-sanaan peme-
rintah. Tetapi dalam kenya-taannya, birokrasi yang
dimaksudkan untuk melaksanakan tugas-tugas umum
pemerintahan dan pembangunan tersebut, seringkali
diartikulasikan berbeda oleh masya-rakat. Birokrasi
di dalam menyelenggarakan tugas pemerin-tahan dan
pembangunan (termasuk di dalamnya penyelenggaraan
pelayanan publik) diberi kesan adanya proses panjang
dan berbelit-belit apabila masyarakat menyelesaikan
urusannya berkaitan dengan pelayanan aparatur
pemerintahan. Akibatnya, birok-rasi selalu mendapatkan
citra negatif yang tidak menguntungkan bagi perkem-
PELAYANAN PUBLIK 89
bangan birokrasi itu sendiri (khususnya dalam hal
pelayanan publik).
Thompson, pernah menunjukkan bahwa budaya
birokrasi membuat tuntutan-tuntutan tertentu pada klien
serta organisasi pada karyawan. ada banyak orang di
masyarakat kita yang belum mampu menyesuaikan diri
dengan tuntutan-tuntutan ini. mereka melihat birokrasi
adalah kutukan. mereka tidak melihat baik dalam apapun,
tetapi melihat tuntutan organisasi modern sebagai “pita
merah” (Rossembloom, 2005: 442).
Perkembangan kehidupan masyarakat yang semakin
dinamis, sejalan dengan tingkat kehidupan yang semakin
baik, telah mening-katkan kesadarannya akan hak dan
kewajibannya sebagai warga negara dalam kehidupan
bermasya-rakat, berbangsa dan bernegara. Masyarakat
yang semakin kritis dan berani untuk mengajukan
keinginan, tuntutan dan aspirasinya, serta melakukan
kontrol atas kinerja pemerintah. Masyarakat semakin
berani menuntut birokrasi publik untuk mengubah posisi
dan perannya (revitalisasi) dalam memberikan layanan
publik. Kebiasaan suka mengatur dan memerintah mesti
diubah menjadi suka melayani, dari yang lebih suka
menggunakan pendekatan kekuasaan, berubah menjadi
suka menolong, semuanya menuju ke arah leksi-belitas,
kolaboratis dan dialogis, dan menghilangkan cara-cara
yang sloganis menuju cara-cara kerja yang realistik
pragmatis (Thoha, 2003: 119).
Dalam kondisi masyarakat seperti digambarkan di
atas, aparat birokrasi harus dapat memberikan layanan
publik yang lebih profesional, efektif, efesien, serderhana,
transparan, terbuka, tepat waktu, responsif, adaptif dan
sekaligus dapat membangun “kualitas manusia” dalam
arti meningkatkan kapasitas individu dan masyarakat
untuk secara aktif menentukan masa depannya sendiri.
90 ETIKA BIROKRAT
Berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah
dalam tinjauan manajemen pelayanan publik, sangat
dibutuhkan sistem birokrasi yang desentralistik. Ciri
struktur birokrasi yang terdesentralisir memiliki beberapa
tujuan dan manfaat antara lain: (a) Mengurangi (bahkan
menghilangkan) kesenjangan peran antara orga-nisasi
pusat dengan organisasi-organisasi pelaksana yang ada
dilapangan. (b) Melakukan efesiensi dan penghematan
alokasi penggunaan keuangan. (c) Mengu-rangi jumlah
staf/aparat yang berlebihan terutama pada level atas dan
level menengah (prinsip rasionalisasi). (d) Mendekatkan
birokrasi dengan masyarakat yang akan memperoleh
pelayayan.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dalam
konteks pelaya-nan publik dapat digaris bawahi bahwa
keberhasilan proses pelayanan publik sangat tergantung
pada dua pihak yaitu birokrasi (pelayan) dan masyarakat
(yang dilayani). Dengan demikian untuk melihat kualitas
pelayanan publik perlu diperhatikan dan dikaji dua aspek
pokok yakni: Pertama, aspek proses internal organisasi
birokrasi (pelayan); dan Kedua, aspek eksternal organisasi
yakni kemanfaatan yang dirasakan oleh masyarakat
pelanggan.
Target dan sasaran reformasi birokrasi, secara garis
besar ada lima hal. Pertama, Terbentuknya birokrasi yang
bersih, yaitu birokrasi yang anti KKN dan berkurangnya
perilaku koruptif pegawai negeri. Kedua, birokrasi yang
eisien dan hemat dalam menggunakan sumber daya yang
terbatas. Ketiga, birokrasi yang transparan yakni birokrasi
yang seluruh kebijakan dan aktivitasnya diketahui
masyarakat dan masyarakat dapat mengaksesnya dengan
mudah. Keempat, birokrasi yang melayani, yaitu birokrasi
yang tidak minta dilayani, tetapi birokrasi yang melayani
masyarakat. Kelima, birokrasi yang terdesen-tralisasi, yaitu
PELAYANAN PUBLIK 91
kewe-nangan pengambilan keputusan terdesentralisasi
kepada pimpinan unit kerja terdepan (Thoha, 2003: 66).
Reformasi politik yang tidak diikuti oleh reformasi
birokrasi ternyata tidak banyak menghasilkan perbaikan
kinerja pelayanan publik. Dengan birokrasi yang masih
kuat mempraktekan budaya korup, bersikap sebagai
penguasa dan tidak professional, maka perubahan apapun
yang terjadi dalam pemerintahan tidak akan memiliki
dampak yang berarti bagi perbaikan kinerja pelayanan
publik. Oleh karena itu, hal yang wajar kalau perbaikan
kehidupan politik yang menjadi semakin demokratis
sekarang ini belum memiliki dampak yang berarti pada
kinerja birokrasi dalam penyelenggaraan pelayanan
publik. Kinerja birokrasi pelayanan publik menjadi isu
kebijakan yang semakin penting dan strategis karena
perbaikan kinerja birokrasi memiliki implikasi yang luas
dalam kehidupan ekonomi, sosial, dan politik.
Dalam kehidupan ekonomi, perbaikan kinerja
birokrasi akan bisa memperbaiki iklim investasi. Buruk-
nya kinerja birokrasi publik di Indonesia sering menjadi
determinan yang penting dari penurunan minat investasi.
Dari berbagai studi dan observasi, kinerja birokrasi publik
di Indonesia tidak banyak mengalami perbaikan, bahkan
cenderung menjadi semakin buruk.Akibatnya, pemerintah
mengalami kesulitan dalam menarik investasi, belum lagi
ditambah dengan masalah-masalah lain, seperti ketidak-
pastian hukum dan keamanan nasional.
Dalam kehidupan sosial, perbaikan kinerja
birokrasi akan bisa memperbaiki sistem kehidupan
masyarakat yang lebih mengembangkan pola hubungan
secara terbuka, taat aturan, menghargai hasil kerja secara
profesional, dan berorientasi pada kepuasan hasil kerja
(produktivitas). Pada akhirnya perbaikan kinerja birokrasi
akan lebih mendorong tumbuhnya sistem sosial yang
92 ETIKA BIROKRAT
mengutamakan etos kerja dan moralitas sebagai bagian
dari relasi sosial. Dalam kehidupan politik, perbaikan
kinerja birokrasi pelayanan publik akan memiliki
implikasi luas, terutama dalam memperbaiki tingkat
kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Buruknya
kinerja birokrasi selama ini menjadi salah satu faktor
penting yang mendorong munculnya krisis kepercayaan
kepada pemerintah. Protes, demonstrasi, dan bahkan
pendudukan kantor-kantor pemerintah oleh masyarakat
yang banyak terjadi di berbagai daerah menjadi indikator
dari besarnya ketidak-puasan masyarakat terhadap
kinerja pemerintah.
Perbaikan kinerja birokrasi pelayanan publik
diharapkan akan memper-baiki kembali citra pemerintah
di mata masyarakat, karena dengan kualitas pelayanan
publik yang semakin baik, kepuasan dan kepercayaan
masyarakat bisa dibangun kembali. Oleh sebab itu, kajian
mengenai kinerja birokrasi publik menjadi isu sentral dan
memiliki nilai strategis, terutama yang terkait dengan
penyelenggaraan pelayanan publik.
Penggunaan teknologi informasi (information
technology) merupakan salah satu alternatif untuk
melakukan inovasi birokrasi dan perbaikan pelayanan
publik. Trend ini menjadi fenomena global, karena
kecende-rungan perkembangan masyarakat dan pereko-
nomiannya semakin digerakkan oleh inovasi teknologi.
Bahkan tidak dapat dipungkiri bahwa di luar lingkungan
birokrasi, inovasi-inovasi teknologi telah menghasilkan
kualitas kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya.
Manfaat Information Tecnology (IT) terhadap birokrasi
pemerintah telah dibuktikan oleh berbagai kalangan,
baik praktisi maupun akademisi. Bahkan Al Gore dan
Tany Blair (Anwaruddin, 2004: 47) secara bersemangat
menjelaskan manfaat yang dapat diperoleh dengan adanya
PELAYANAN PUBLIK 93
e-government, yaitu: (a) Memperbaiki kualitas pelayanan
pemerintah kepada para stakeholder-nya (masyarakat,
kalangan usahawan, dan industri), terutama dalam hal
kinerja efektivitas dan eisiensi diberbagai kehidupan
bernegara; (b) Mening-katkan transparansi, kontrol, dan
akuntabilitas penyelenggaraan peme-rintahan dalam
rangka penerapan konsep good corporate governance. (c)
Mengurangi secara signiikan total biaya administrasi,
relasi dan interaksi yang dikeluarkan pemerintah maupun
stakeholder-nya untuk keperluan aktivitas sehari-hari. (d)
Memberikan peluang pemerintah untuk mendapatkan
sumber-sumber pendapatan yang baru melalui interak-
sinya dengan pihak-pihak yang berkepentingan.
(e) Menciptakan suatu lingkungan baru yang dapat
menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi secara
cepat dan tepat sejalan dengan perubahan global dan
trend yang ada. (f) Memberdayakan masyarakat dan
pihak-pihak yang lain sebagai mitra pemerintah dalam
proses pengambilan kebijakan publik secara merata dan
demokratis.
Meskipun diakui bahwa manfaat e-government
terhadap pelayanan birokrasi pemerintah, namun dalam
prakteknya tidak luput dari berbagai kendala, antara lain
faktor kultur. Budaya kerja birokrasi kita merupakan
hambatan dalam implementasi penggunaan ICT/E-Gov
dalam pelaksanaan tugas birokrasi. Terjadinya kristalisasi
budaya Asal Bapak Senang (ABS) terhadap atasan
menjadi salah satu faktor penolakan penggunaan ICT/E-
Gov Turnip (Pramusinto dan Kumorotomo, 1996: 353).
Berdasarkan pengalaman, pada kantor pelayanan
administrasi perizinan telah menggunakan berbagai
produk teknologi informasi, namun dalam kenyataannya
proses layanan masih tergolong lamban. Pelayanan
perizinan pada prinsipnya adalah pelayanan data dan
94 ETIKA BIROKRAT
informasi perizinan. Data yang tersimpan di Kantor
Perizinan merupakan data yang diperoleh dan diolah
melalui proses yang rumit dan panjang mengikuti aturan
yang tertuang pada Peraturan Kepala BPN nomor 1 tahun
2005 tentang Standar Prosedur Opersional Pelayanan
Perizinan (SPOPP). Pembaruan data selalu dilakukan
apabila terjadi perubahan pada subyek atau obyek hak
atas tanah.
Salah satu usaha untuk mengotimalkan tugas-
tugas pelayanan perizinan dengan memanfaatkan
kemajuan teknologi informasi adalah pembangunan
dan pengembangan Komputerisasi Kantor Perizinan
(KKP). Kantor BPTPM merupakan basis terdepan dalam
kegiatan pelayanan. Dikembangkan model pelayanan
yang berbasis on-line system. Pembangunan pelayanan
on line, membangun data base elektronik, pembangunan
infrastruktur perangkat keras dan jaringan koneksi,
peningkatan SDM dalam kemampuan penguasaan IT
serta sosialisasi kegiatan di kalangan intern dan ekstren
merupakan tahap-tahap kegiatan yang harus dilakukan
pada kantor-kantor yang sedang dan sudah menerapakan
KKP.
Pembangunan Komputerisasi BPTPM Kota
Makassar tidak hanya memberikan pelayanan dengan
memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi secara
on-line system, tetapi sekaligus membangun basis data
digital. Melalui program KKP telah dilakukan digitalisasi
data perizinan (surat usaha, izin membangun, keterangan
kepemilikan usaha, dan sebagainya). Suatu hal yang tidak
dipungkiri bahwa stigma tentang pelayanan perizinan
dengan efek yang menyertainya adalah masalah yang
harus menjadi tantangan bagi semua insan perizinan.
Sikap masyarakat semakin kritis dalam menyikapi setiap
PELAYANAN PUBLIK 95
bentuk pelayanan apapun, terutama yang berkaitan
dengan pelayanan publik.
96 ETIKA BIROKRAT
moralitas sebagai hukum benar salah yang terkait dengan nilai
dan prilaku manusia, dan etika adalah studi di bidang tersebut.
Etika atau moral sering dipertukarkan, merupakan bidang ilmu
ilsafat dan psikologi, yang digunakan pula dalam dunia bisnis
dan profesi akuntan.
Menurut Suseno (Ndraha, 2000: 76) etika normatif
terbagi atas 2 yaitu, tolok ukur pertanggungjawaban moral dan
menuju kebahagiaan. Tolok ukur pertanggungjawaban moral
meliputi etika wahyu, etika peraturan, etika situasi, dan etika
relativisme. Sedangkan etika normatif menuju kebahagiaan
meliputi egoisme, pengembangan diri, dan utilitarianisme. Di
samping itu, Hardjoeno (Fadillah, 2001: 39) membagi jenis etika
atas 4 kelompok yaitu, etika normatif, etika peraturan, etika
situasi dan relativisme. Pengelompokkan etika normatif dan jenis
tika tersebut, juga terdapat dalam multidimensional ethics scale
(Bertens, 2000: 79) yang mengembangkan atas 4 dimensi yaitu
dimensi justice/relativist, dimensi egoism, dimensi utilitarian, dan
dimensi contractualism.
1. Fungsi Etika
Poedjawiyatna berpendapat fungsi etika (Saefullah,
1999: 65) seba-gai berikut:
a. sarana untuk memperoleh orientasi kritis berhadapan
dengan berbagai moralitas yang membingungkan.
b. etika ingin menampilkan keterampilan intelektual yaitu
keterampilan untuk berargumentasi secara rasional dan
kritis.
c. orientasi etis ini diperlukan dalam mengambil sikap yang
wajar dalam suasana pluralisme.
2. Tuntutan dan Tolok Ukur Etika
Menurut Jumiati (2012: 56), tuntutan akan etika dan
tolok ukur etika meningkat disebabkan oleh:
a. Pengungkapan etika pada publik, pengumuman dan
media massa (pengaruh terbesar, menurut suatu survei).
PELAYANAN PUBLIK 97
b. Kepedulian publik meningkat, kewaspadaan publik
meningkat, kesadaran publik meningkat, tekanan sosial
baik dalam maupun luar negeri (pengaruh besar).
c. Regulasi pemerintah, intervensi pemerintah dan tuntutan
pengadilan akan malpraktek (pengaruh besar).
d. Jumlah dan mutu manajer profesional dan terdidik
meningkat.
e. Pengharapan baru akan suatu peran sosial suatu profesi.
f. Kesadaran dunia usaha dan para CEO akan etika bisnis
meningkat (pengaruh besar).
Menurut Hoesada (Batinggi dan Badu, 2013: 75),
tuntutan akan etika dan tolok ukur etika menurun disebabkan
oleh:
a. Kerusakan sosial, masyarakat yang longgar, materialisme
dan hedoisme meningkat, hilangnya atau menurunnya
pengaruh agama, kebutuhan akan kecepatan dan
kuantitas,bukan kualitas.
b. Persaingan bertambah berat, gaya hidup, stress
merebutsukses.
c. Korupsi, hilangnya kepercayaan dan rasa hormat pada
pemerintah, etika sebagai sarana politik.
d. Pengetahuan akan tindakan non etikal meningkat dan
menjadi terbiasa oleh media massa. Media massa menjadi
penyebab meningkatnya kejahatan.
e. Haus harta, sukses diukur dengan materi, egoisme, dan
individualisme.
f. Tekanan laba dari investor dan penyandang dana, harus
bertahan untuk tetap hidup.
3. Etika Profesi
Suatu profesi yang memberikan pelayanan jasa pada
masyarakat harus memiliki kode etik yang merupakan
seperangkat prinsip-prinsip moral dan mengatur tentang
perilaku profesional (Abdullah, 1991: 57). Tanpa etika,
profesi birokrat tidak akan ada sebagai penyedia layanan
98 ETIKA BIROKRAT
bagi masyarakat. Etika profesi birokrat di Indonesia diatur
dalam Kode Etik Birokrat Indonesia. Kode Etik ini mengikat
para birokrat yang terdapat pada undang-undang ASN
Tahun 2014.
Sihwajoeni (Sarundajang, 2005: 67) berpendapat kode
etik adalah norma perilaku yang mengatur hubungan antara
birokrat dengan masyarakat, antara birokrat dengan sejawat,
dan antara profesi dengan masyarakat. Terdapat dua sasaran
pokok dari kode etik yaitu: pertama kode etik bermaksud
melindungi masyarakat dari kemungkinan dirugikan oleh
kelalaian baik secara sengaja ataupun tidak sengaja dari kaum
profesional. Kedua kode etik juga bertujuan melindungi
keluhuran profesi tersebut dari perilaku-perilaku buruk
orang-orang tertentu yang mengaku dirinya profesional
(Keraf, 1998: 75).
Menurut Keraf (1998: 65), prinsip etika profesi adalah
(1) tanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaan, (2)
tanggung jawab terhadap dampak kemasyarakatan umum,
(3) keadilan, tak melanggar hak orang lain, (4) otonomi
berkode etik.
4. Perilaku Etis
Weber (2002: 66), mengatakan bahwa sikap adalah
keadaan dalam diri manusia yang menggerakkan untuk
bertindak, menyertai manusia dengan perasaan-perasaan
tertentu dalam menanggapi objek yang terbentuk atas
dasar pengalaman-pengalaman. Sikap pada diri seseorang
akan menjadi corak atau warna pada tingkah laku orang
tersebut. Perilaku etis merupakan perilaku yang sesuai
dengan norma-norma sosial yang diterima secara umum,
berhubungan dengan tindakan-tindakan yang bermanfaat
dan membahayakan. Perilaku kepribadian merupakan
karakteristik individu dalam menyesuaikan diri dengan
lingkungan. Karakteristik tersebut meliputi sifat,
PELAYANAN PUBLIK 99
kemampuan, nilai, keterampilan, sikap, dan intelegensi yang
muncul dalam pola perilaku seseorang. Dapat disimpulkan
bahwa perilaku meru-pakan perwujudan atau manifestasi
karakteristik-karakteristik seseorang dalam menyesuaikan
diri dengan lingkungan (Kartasasmita, 2012: 16).
Menurut Steiner (Pamudji, 1994: 43) perilaku etis
juga dideinisikan sebagai pelaksanaan tindakan fair sesuai
hukum konstitusional dan peraturan pemerintah yang
dapat diaplikasikan Perilaku etis sering disebut sebagai
komponen dari kepemimpinan. Morgan (Masyudi, 2005:
45) berpendapat pengembangan etika merupakan hal yang
penting bagi kesuk-sesan individu sebagai pemimpin suatu
organisasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku
seseorang meliputi :
1) Faktor personal, yaitu faktor yang berasal dari dalam diri
individu.
2) Faktor situasional, yaitu faktor yang berasal dari luar
diri manusia sehingga dapat mengakibatkan seseorang
cenderung berperilaku sesuai dengan karakteristik
kelompok yang diikuti.
3) Faktor stimulasi yang mendorong dan meneguhkan
perilaku seseorang
Menurut Denhart (2000: 73) dalam etika terdapat
empat aliran utama, yaitu: (1) empirical theory; melihat bahwa
etika diturunkan dari pengalaman manusia dan persetujuan
umum. Dalam konteks ini penilaian tentang baik dan buruk
tidak terlepas dari atau tidak terpisahkan dari fakta dan
perbuatan; (2) rational theory; melihat bahwa baik atau buruk
sangat tergantung dari reasoning atau alasan dan logika
yang melatarbelakangi suatu perbuatan, bukan pengalaman.
Dalam konteks ini, setiap situasi dilihat sebagai suatu yang
unik dan membutuhkan penerapan yang unik dari logika
manusia dan memberikan kesimpulan yang unik pula
tentang baik atau buruk; (3) intuitive theory; melihat bahwa
Etika Keluarga
Etika Profesi
Etika Politik
Kritik Ideologi
2. Persamaan
Nilai-nilai moral yang terkandung dalam gerak pem-
bangunan juga ditentukan oleh seberapa jauh proses itu
dapat menciptakan persamaan derajat bagi warga negara.
Hal yang pertama-tama harus ditegakkan oleh pemerintah
adalah persamaan di depan hukum (equality before the taw).
Sisa-sisa budaya feodalistik terkadang menghalangi
terciptanya persamaan di depan hukum bagi seluruh unsur
masyarakat. Perlakuan hukum terhadap anggota masyarakat
masih berlain- lainan dan pilih kasih. Seorang pejabat
yang melanggar hukum dengan mencuri kekayaan negara
atau seorang penguasa yang ketahuan telah melakukan
korupsi besar-besaran kadang- kadang dapat saja bebas
dari tuntutan hukum, sementara seorang pemulung yang
menggelapkan sepeda harus mengalami penyiksaan yang
hebat dalam tahanan disertai hukuman penjara. Karena
memiliki kedudukan tinggi, banyak pejabat yang seolah-olah
“kebal hukum” meskipun pelanggaran yang dilakukannya
sesungguhnya sangat merugikan masyarakat. Kiranya sudah
saatnya bagi birokrasi untuk melakukan otokritik dengan
melihat setiap permasalahan yang menyangkut interaksi
administratif dengan rakyat secara objektif. Dalam sistem
administrasi negara kita ternyata masih sedikit sekali pejabat
yang secara jantan mau mengakui kekeliruannya dalam
melaksanakan tugas untuk kemudian meletakkan jabatannya
secara suka rela. Lebih parah lagi banyak di antara mereka
2) Faktor Penghambat.
Dalam penerapan kebijakan pengembangan SDA
BPTPM Kota Makassar yang dilaksanakan oleh BPTPM
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat
disimpulkan dengan deskripsi sebagai berikut:
1. Etika birokrat dalam pelayanan izin usaha di BPTPM Kota
Makassar dengan hasil: (a) Bertanggung jawab dalam
pelayanan izin usaha menunjukkan kemam-puan aparat
dalam melaksanakan tugas pelayanan kepada masyarakat
cukup baik dan dapat diandalkan, (b) Berintegritas dalam
pelayanan izin usaha, hasilnya: (i) Integritas afektif aparat
tergolong kurang loyal terhadap instansinya, (ii) Integ-ritas
kontinyu nampak bahwa aparat BPTPM tergolong baik, dan
(iii) Integritas integritas normatif aparat BPTPM tergolong
baik. (c) Kecermatan dalam pelaya-nan izin usaha dapat
teralisasi melalui struktur organik yang luwes, (d) Disiplin
dalam pelayanan izin usaha diperoleh hasilnya: (i) Bukti
langsung dengan hasil responsivitas aparat dapat dipercaya
masyarakat, (ii) Keandalan pelayanan aparat perizinan
PENUTUP 205
cukup andal, (iii) Daya tanggap diasumsikan lambat
dalam pemberian pelayanan perizinan oleh aparat kepada
masyarakat, (iv) Jaminan penerbitan izin usaha diterima
konsumen berkategori cukup terjamin, dan (v) Sikap empati
aparat bermanfaat bagi konsumen izin usaha, dan (e) Sopan
dalam pelayanan izin usaha menunjukkan (i) Memberikan
pelayanan umum pada umumnya belum menonjol, dan (ii)
Melakukan pemberdayaan dengan hasil penerapan norma
kesopanan aparat masih sangat kurang.
B. Rekomendasi
Berdasarkan hasil penelitian, maka peneliti menyarankan
empat hal sebagai berikut:
1. Birokrat BPTPM tidak hanya bertanggung jawab pada makna
acountability saja, tetapi harus bertanggung jawab juga pada
makna obligation dan cause.
2. Birokrat BPTPM diharapkan merespon dengan cepat apabila
masyarakat mengalami permasalahan atau kurang memahami
tentang mekanisme dalam pengurusan perizinan.
3. Sebaiknya Kepala BPTPM memperhatikan SOP yang terkait
dengan Perda Kota Makassar Nomor. 14 Tahun 2005 tentang
Tata Cara Pemberian Izin. Papan bicara harus singkat, padat
dan jelas mekanisme pengurusan izin usaha.
PENUTUP 207
4. Aparat BPTPM Kota Makassar harus berkomitmen dan
konsisten terhadap waktu penyelesaian izin usaha (6-12
hari kerja). Karena penyelesaian izin usaha sesuai dengan
waktu yang dijanjikan dapat memberikan kepuasan kepada
masyarakat.