Anda di halaman 1dari 226

Prof. Dr. Andi Rasyid Pananrangi, S.H., M.Pd.

Dr. Murlinah, M.Pd.


Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan
Andi Rasyid Pananrangi
Etika Birokrat/Andi Rasyid Pananrangi
Cet. 1—Makassar. CV Sah Media, 2017
23 cm x 15,5 cm, 226 Halaman
ISBN 978-602-6928-18-4

1. Etika Birokrat I. Judul

212.56

Hak cipta 2017, pada penulis


Dilarang mengutif sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apa pun,
termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin sah dari penerbit
Prof. Dr. Andi Rasyid Pananrangi, S.H., M.Pd.
ETIKA BIROKRAT
Cetakan Pertama, April 2017
Hak penerbit pada CV SAH MEDIA, Makassar
Editor: Muhammad Darwis, S.Pd., M.Pd.
Setting layout: Hanis GW
Desain cover: Sobirin

CV SAH MEDIA
Jl. Antang Raya No. 83
Kel. Antang, Kec. Manggala, Kota Makassar
Telp. 0411-497150, HP. 081343617376
Email: sah_media@yahoo.com www.penerbitsahmedia.co.id

ii ETIKA BIROKRAT
KATA PENGANTAR

Tiada kata dan ucapan mulia yang patut dipersembahkan


selain puji dan syukur ke hadirat Allah SWT karena atas segala
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga buku ini dapat diselesaikan.
Kemudian salam dan salawatpenulis haturkan pula atas
junjungan Nabi Besar Muhammad SAW, yang membawa Islam
menjadi Rahmat bagi Alam Semesta.
Birokrasi merupakan instrumen penting dalam masyara-
kat yang kehadirannya tidak mungkin terelakkan. Dalam
kenyataannya, keberadaan birokrasi pemerintah seringkali
dipandang secara dikotomis, selain dibutuhkan untuk melak-
sanakan urusan pemerintahan sehari-hari, birokrasi juga
seringkali dianggap sebagai sistem yang menyebabkan jalannya
pemerintahan dan layanan publik tersendat dan bertele-tele.
Atas dasar inilah etika diperlukan dalam administrasi
publik. Etika dapat dijadikan pedoman, referensi, petunjuk
tentang apa yang harus dilakukan oleh aparat birokrasi dalam
menjalankan kebijakan politik, dan sekaligus digunakan sebagai
standar penilaian apakah perilaku aparat birokrasi dalam
menjalankan kebijakan birokrasi dapat dikatakan baik atau
buruk.
Untuk itu, buku ini disusun dengan maksud ikut
memberikan sumbangsih pemikiran mengenai bagaimana

KATA PENGANTAR iii


seharusnya seorang birokrat dalam melaksanakan pelayanannya
kepada masyarakat. Buku yang berisi 8 (delapan) bab ini berisi
tentang kepemimpinan, birokrasi, pelayanan publik, konsep etika
administrasi dan etika birokrasi dalam pelayanan publik, serta
strategi penerapan etika birokrasi dalam pelayanan publik.
Penulis menyadari bahwa buku ini tersusun tidak terlepas
dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini
penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga
dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak
yang telah membantu dalam penyelesaian buku ini. Semoga jerih
payah menjadi penyemangat dan inspirasi hidup di kemudian
hari dalam rangka mengabdi kepada Keluarga, Bangsa, Negara
dan Agama.
Akhir kata, semoga bantuan, petunjuk, motivasi dan
pengorbanan yang diberikan dari berbagai pihak kepada penulis,
dapat bernilai ibadah di sisi Allah SWT. Mudah-mudahan
kehadiran buku ini, dapat membawa manfaat dan menamba
wawasan para pembaca serta dapat berkontribusi terhadap
pengembangan ilmu khususnya ilmu administrasi publik. Amiin
yaa Rabbal aalamiin.
Makassar, April 2017

Andi Rasyid Pananrangi

iv ETIKA BIROKRAT
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .................................................................... iii


Daftar Isi .............................................................................. v
BAB I Pendahuluan....................................................... 1
BAB II Gambaran Umum Kota Makassar................... 11
A. Kondisi Geograis Kota Makassar............ 11
B. Kondisi Demograis Kota Makassar ........ 12
C. Sistem Pemerintahan Kota Makassar ...... 14
D. Badan Perizinan Terpadu dan
Penanaman Modal..................................... 17
BAB III Kepemimpinan ................................................... 29
A. Hakikat Kepemimpinan ............................ 29
B. Teori-Teori Kepemimpinan ....................... 35
C. Tipe dan Gaya Kepemimpinan ................ 36
BAB IV Birokrasi .............................................................. 47
A. Pengertian dan Sejarah Birokrasi ............. 47
B. Etika Birokrasi ............................................. 60
BAB V Pelayanan Publik................................................ 65
A. Pengertian Pelayanan Publik .................... 65
B. Etika Pelayanan Publik .............................. 96

'A)TA5,6, v
BAB VI Konsep Etika Administrasi dan Etika
Birokrasi .............................................................. 111
A. Konsep Etika Administrasi ....................... 111
B. Konsep Etika Birokrasi .............................. 116
BAB VII Strategi Penerapan Etika Birokrasi dalam
Pelayanan Publik................................................ 129
A. Etika Birokrat dalam Pelayanan Izin
Usaha di Kota Makassar ............................ 135
B. Strategi Birokrat dalam Pelayanan Izin
Usaha di Kota Makassar ............................ 163
C. Faktor Determinan dalam Pelayanan Izin
Usaha di Kota Makassar ............................ 176
BAB VIII Penutup ............................................................... 205
A. Kesimpulan ................................................. 205
B. Rekomendasi ............................................... 207
Daftar Pustaka .................................................................... 209
Proil Penulis ........................................................................ 217

vi ETIKA BIROKRAT
BAB I
PENDAHULUAN

Birokrasi merupakan instrumen penting dalam masyarakat


yang kehadirannya tidak mungkin terelakkan. Birokrasi adalah
sebuah konsekuensi logis dari diterimanya suatu asumsi bahwa
negara mempunyai kewajiban mulia yaitu untuk mensejahterakan
rakyatnya melalui media birokrasi. Sebagai perwujudan dari
kewajiban tersebut, maka negara dituntut untuk terlibat lang-
sung menyediakan barang dan jasa publik yang diperlukan oleh
rakyatnya. Negara secara aktif terlibat dalam kehidupan sosial
rakyatnya, bahkan jika perlu negara yang memutuskan apa
yang terbaik bagi rakyatnya. Dalam rangka itulah, maka negara
membangun suatu sistem administrasi yang bertujuan untuk
melayani kepentingan rakyatnya yang disebut dengan istilah
birokrasi.
Sekalipun tingkat sosial dan ekonomi suatu masyarakat
telah meningkat, peran pemerintah tetap diperlukan untuk
melaksanakan fungsi regulasi, alokasi, distribusi, pelayanan dan
pemberdayaan masyarakat. Fungsi-fungsi ini harus dilaksanakan
oleh pemerintah agar tercapai keadilan dan pemerataan dalam
masyarakat. Inti pemerintahan adalah sistem birokrasi yang
diharapkan dapat menjalankan perannya secara optimal melalui

PENDAHULUAN 1
fungsi-fungsi tersebut. Dalam kenyataannya, keberadaan
birokrasi pemerintah seringkali dipandang secara dikotomis,
selain dibutuhkan untuk melaksanakan urusan pemerintahan
sehari-hari, birokrasi juga seringkali dianggap sebagai sistem
yang menyebabkan jalannya pemerintahan dan layanan publik
tersendat dan bertele-tele.
Dalam paradigma “dikotomi politik dan administrasi”
ditegaskan bahwa pemerintah memiliki dua fungsi yang
berbeda, yaitu fungsi politik yang berkaitan dengan pembuatan
kebijakan (public policy making) atau pernyataan apa yang menjadi
keinginan negara, dan fungsi administrasi yang berkenaan
dengan pelaksanaan kebijakan tersebut. Dengan demikian,
kekuasaan membuat kebijakan publik berada pada kekuasaan
politik (political master), dan untuk melaksanakan kebijakan
politik tadi merupakan kekuasaan administrasi negara. Namun
karena administrasi negara dalam menjalankan kebijakan
politik memiliki kewenangan secara umum disebut discretionary
power, yakni keleluasaan untuk menafsirkan suatu kebijakan
politik dalam bentuk program dan proyek, maka timbul suatu
pertanyaan, apakah ada jaminan dan bagaimana menjamin
bahwa kewenangan itu digunakan secara baik dan tidak secara
buruk (Widodo, 2001: 45).
Atas dasar inilah etika diperlukan dalam administrasi
publik. Etika dapat dijadikan pedoman, referensi, petunjuk
tentang apa yang harus dilakukan oleh aparat birokrasi dalam
menjalankan kebijakan politik, dan sekaligus digunakan seba-
gai standar penilaian apakah perilaku aparat birokrasi dalam
menjalankan kebijakan birokrasi dapat dikatakan baik atau
buruk. Ada 6 (enam) ide agung landasan etika yang dapat
dijadikan pedoman dalam bertindak, yaitu: (1) Kebe-naran
(truth), yang mempertanyakan esensi dari nilai-nilai moral
beserta pembenarannya dalam kehidupan sosial, (2) Kebaikan
(goodness), yaitu sifat atau karakteristik dari sesuatu yang
menimbulkan pujian, (3) Keindahan (beauty), yang menyangkut

2 ETIKA BIROKRAT
prinsip-prinsip estetika mendasari segala sesuatu yang mencakup
penikmatan rasa senang terhadap keindahan, (4) Kebebasan
(liberty), yaitu keleluasaan untuk bertindak atau tidak bertindak
berdasarkan pilihan-pilihan yang tersedia bagi seseorang, (5)
Persamaan (equality), yaitu adanya persamaan antar manusia
yang satu dengan yang lain, dan (6) Keadilan (justice), yaitu
kemauan yang tetap dan kekal untuk memberikan kepada setiap
orang apa yang semestinya. (Albrow, 2005: 75).
Dalam konteks birokrasi, etika birokrat digambarkan
sebagai suatu panduan norma bagi aparat birokrasi dalam
menjalankan tugas pelayanan pada masyarakat. Etika birokrat
harus menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan
pribadi, kelompok, dan organisasinya. Etika harus diarahkan
pada pilihan-pilihan kebijakan yang benar-benar mengutamakan
kepentingan masya-rakat luas (Dwiyanto, 2008: 12). Oleh karena
itu, etika pelayanan publik harus menunjukkan cara dalam
melayani publik dengan menggunakan kebiasaan-kebiasaan
yang mengandung nilai-nilai hidup dan hukum atau norma-
norma yang mengatur tingkah laku manusia ya ng dianggap
baik (Kumorotomo, 1996: 27).
Di Indonesia, etika birokrat merupakan bagian dari aturan
main dalam organisasi birokrasi atau pegawai negeri yang secara
struktural telah diatur aturan mainnya, dan dikenal sebagai
“Kode Etik Pegawai Negeri Sipil (PNS)”. Adapun dasar hukum
ditetapkannya etika PNS adalah (1) Undang-undang Nomor 8
Tahun 1974 tentang pokok-pokok kepegawaian sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999, (2)
Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
(KKN), (3) Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010 tentang
Disiplin Pegawai Negeri Sipil. dan (4) Peraturan Pemerintah
Nomor 42 tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode
Etik Pegawai Negeri Sipil.

PENDAHULUAN 3
Birokrasi bagi sebagian orang dimaknai sebagai prosedur
yang berbelit-belit, menyulitkan dan menjengkelkan. Namun
bagi sebagian yang lain birokrasi dipahami dari perspektif yang
positif yakni sebagai upaya untuk mengatur dan mengendalikan
perilaku masyarakat agar lebih tertib. Ketertiban yang dimaksud
adalah ketertiban dalam hal mengelola berbagai sumber daya
dan mendistri-busikan sumber daya tersebut kepada setiap
anggota masyarakat secara berkeadilan.
Pendapat yang berbeda di atas dapat dipahami dari
perspektifnya masing-masing. Bagi yang berpandangan posisif
terhadap birokrasi maka baginya birokrasi adalah sebuah
keniscayaan. Akan tetapi bagi mereka yang berpandangan
negatif maka birokrasi justru menjadi salah satu penghalang
tercapainya tujuan. Pandangan negatif terhadap birokrasi bukan
muncul tanpa alasan, melainkan melalui suatu proses interaksi
dalam pola hubungan antara birokrat dengan masyarakat, baik
dalam tataran pembuatan kebijakan maupun dalam tataran
implementasi kebijakan, khususnya yang berkaitan dengan
pelayanan publik.
Konteks hubungan birokrasi dengan masyarakat dalam
penyelenggaraan pelayanan publik sudah sangat lama terdengar
keluhan, namun sampai saat ini belum ada perubahan yang
berarti. Bahkan, harapan masyarakat bahwa pergantian rezim
akan membawa perbaikan terhadap penyelenggaraan layanan
publik ternyata tidak pernah terwujud. Pemerintahan sudah
mengalami pergantian selama beberapa kali, tetapi perilaku
birokrat terutama dalam pelayanan publik belum banyak
berubah.
Keberhasilan penyelenggaraan pelayanan publik secara
garis besar ditentukan oleh 3 (tiga) aspek, yaitu: (1) Bagaimana
pola penyelenggaraannya, (2) Dukungan sumber daya manusia,
dan (3) Etika kelembagaan (organisasi). Berdasarkan ketiga
aspek tersebut, maka penelitian ini akan diarahkan untuk
mengkaji aspek sumber daya manusia dengan penekanan pada

4 ETIKA BIROKRAT
etika birokrat dalam pelayanan publik, khususnya pelayanan
izin usaha. Birokrasi sebagai konsep, pengetahuan dan teknik,
secara umum dapat dipergunakan di setiap organisasi manapun,
yang memanfaatkannya untuk kelancaran pencapaian tujuan
organisasi. Dalam melaksanakan fungsinya, birokrasi dapat
tampil dalam dua sisi, yaitu: satu sisi yang baik dan satu sisi
yang lain adalah menunjukkan gambaran birokrasi yang buruk
atau biasa disebut dengan pelanggaran etika birokrasi.
Etika sebagai sebuah aturan nilai normatif dan prileku
dalam konteks birokrasi dimaknai sebagai suatu panduan norma
bagi aparat birokrasi dalam men-jalankan tugas pelayanan pada
masyarakat Dwiyanto, dkk, (2006: 188). Dengan demikian etika
birokrasi sebenarnya menuntuk adanya nilai moralitas dalam hal
kemampuan aparatur birokrat menempatkan kepentingan publik
di atas kepen-tingan pribadi, kelompok, dan organisasinya.
Hal ini jika dilaksanakan maka akan mengarahkan birokrat
untuk memberikan pelayanan yang diorientasikan pada pilihan
kebijakan yang benar-benar mengutamakan kepentingan masya-
rakat luas.
Etika, termasuk etika birokrasi mempunyai dua fungsi,
yaitu: pertama, Sebagai pedoman, acuan, referensi bagi adminis-
trasi negara (birokrasi publik) dalam menjalankan tugas dan
kewenangannya agar tindakannya dalam organisasi dinilai
baik, terpuji, dan tidak tercela. dan Kedua, Etika birokrasi
sebagai standar penilaian mengenai sifat, perilaku, dan tindakan
birokrasi publik dinilai baik, tidak tercela dan terpuji. Merujuk
pada pandangan Leys daalam Keban (2008:51) bahwa seorang
administrator dianggap etis apabila ia menguji dan memperta-
nyakan standar-standar yang digunakan dalam pembuatan
keputusan, dan tidak mendasarkan keputusannya semata-
mata pada kebiasaan dan tradisi yang sudah ada. Selanjutnya,
Anderson daalam Keban (2008:51) menambahkan suatu poin
baru bahwa: “standar-standar yang digunakan sebagai dasar
keputusan tersebut sedapat mungkin mereleksikan nilai-nilai

PENDAHULUAN 5
dasar dari masyarakat yang dilayani”. Berikutnya, Golembiewski
daalam Keban (2008:51) mengingatkan dan menam-bah elemen
baru yakni: “standar etika tersebut mungkin berubah dari waktu-
kewaktu dan karena itu administrator harus mampu memahami
perkembangan standar-standar perilaku tersebut dan bertindak
sesuai dengan standar tersebut”.
Tantangan besar yang kini dihadapi pemerintah adalah
bagaimana menampilkan aparatur yang memiliki sikap mental
dan perilaku yang mencer-minkan keunggulan watak, keluhuran
budi, dan berbagai asas etis yang bersumber pada kebajikan
moral, khususnya keadilan. Oleh karena itu, setiap aparat
birokrasi wajib memahami asas-asas etis yang bersumber pada
berbagai kebajikan moral, kemudian membina diri sehingga
sungguh-sungguh menghayati asas-asas etis itu, dan terakhir
benar-benar menerapkannya sebanyak mungkin dalam tindakan
jabatannya (Nurcholis, 2005: 91).
Banyak kasus membuktikan bahwa kepentingan pribadi,
keluarga, kelompok, partai dan bahkan struktur yang lebih
tinggi justru mendikte perilaku seorang birokrat atau aparat
pemerintahan. Birokrat dalam hal ini tidak memiliki independensi
dalam bertindak etis. Banyaknya tindakan indisipliner yang
dilakukan birokrat juga akan mengurangi kredibilitas dan
performanya sebagai pelayan publik. Misalnya pada sebuah
kesempatan sidak (inspeksi mendadak) yang dilakukan oleh
seorang pejabat daerah setempat, didapati sebanyak 50 persen
lebih pegawai pada sebuah kantor dinas daerah mangkir dari
pekerjaannya. Bahkan dinyatakan sebagian besarnya tersebut
membolos tanpa keterangan. Lebih memperihatinkan lagi,
ternyata kondisi seperti itu hampir terjadi setiap harinya
(Sedarmayanti, 2010: 78).
Persoalan lain yang terkait adalah etika birokrat di
Indonesia saat ini menjadi catatan merah yang perlu diperbaiki.
Dari sekian data KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme),
prosedur dan mekanisme kerja yang berbelit-belit dan kaya

6 ETIKA BIROKRAT
struktur tetapi miskin fungsi. Kesemuanya merupakan persoal-
an perilaku aparatur didalamnya. Pada tataran tertentu, per-
masalahan-permasalahan tersebut bisa terjadi secara parsial
yang terfragmentasikan pada masing-masing kondisi. Salah satu
tugas birokrasi dalam memberi pelayanan kepada masyarakat
adalah pelayanan izin usaha. Penerapannya mengenai izin
usaha yang telah ada, perlu ditinjau lebih lanjut mengenai peran
birokrasi dan perilaku dalam menangani izin usaha yang ada
di setiap provinsi yang menjadi patokan setiap kabupaten/kota
yang ada di Negara Indonesia.
Seperti halnya provinsi Sulawesi Selatan khususnya Kota
Makassar yang memiliki banyak jenis usaha yang telah dijalankan
masyarakatnya untuk mendapatkan penghasilan. Dalam segi
ekonomi, berkembangnya perekonomian masyarakat lebih ke
arah industrialisasi, mendorong berdirinya berbagai macam
usaha mikro, kecil dan menengah ataupun berbagai macam
pabrik. Sehingga Pemerintah Kota Makassar membentuk Kantor
Badan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal (BPTPM) Kota
Makassar yang berdiri dalam lingkup Pusat Pelayanan Publik
Kota Makassar. Dalam konteks etika birokrat di Kantor BPTPM
Kota Makassar, khususnya di pelayanan izin usaha. kerapkali
ditemukan adanya pelayanan yang tidak semestinya.
Berdasarkan peraturan jelas hal ini akan menjadi pelang-
garan bagi aparat yang menjadi salah satu calo untuk masyarakat.
Fenomena seperti ini, masih sering terjadi diproses pelayanan
perizinan di Kantor BPTPM Kota Makassar.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Tahir, dkk (2004:
10) tentang etika birokrasi pelayanan publik pada Sintap Pare-
Pare menemukan bahwa ada kecenderungan pelayanan sudah
mempertimbangkan aspek etis, akan tetapi sifatnya masih
parsial pada level tertentu saja. Semestinya aspek etis ini tidak
hanya pada level institusi atau unit tertentu saja, seperti pada
level terbawah birokrasi masih menunjukkan adanya praktek
praktek kurang normatif dan adaftif yang dirasakan masyarakat.

PENDAHULUAN 7
Dari keseluruhan aspek pelayanan yang diberikan dinilai sangat
lemah dan kualitas pelayanan kepada masyarakat rendah yang
ditandai dengan waktu pengurusan dan biaya yang tidak sesuai
dengan ketentuan.
Dari penelitian yang telah dilakukan oleh Tahir (2004),
disimpulkan bahwa adanya kebutuhan dan tuntutan masya-
rakat akan pentingnya iklim pelayanan publik pada Sistem
Administarasi Satu Atap (Sintap) Pare-Pare, maka pemerintah
membentuk Badan Perizinan Terpadu Nomor 13 Tahun 2004
Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kantor Badan
Perizinan Terpadu sebagai instansi yang memberikan jasa
pelayanan publik yang dibentuk dalam rangka mengkoordinir
Pelayanan Administrasi Pemerintah di bidang Pelayanan
Perizinan yang secara spesiik bekerja untuk melayani permo-
honan berbagai perizinan, dan formalitas lainnya di Kota Sintap
yang menjalankan sistem administarasi satu atap. Setelah BPTPM
dibentuk, maka Pemerintah Kota Sintap mengeluarkan kebijakan
melalui Peraturan Walikota Sintap Nomor 14 Tahun 2004 tentang
tata cara pemberian izin pada Pemerintah Kota Sintap.
Akan tetapi dari keseluruhan kondisi dan usaha tersebut,
nampaknya faktor etika masih menempati urutan pertama dari
usaha yang harus dilakukan pemerintah dalam memberikan
pelayanan publik berkualitas kepada masyarakat. Jika tidak,
maka akan memunculkan kelemahan seperti pelayanan yang
sulit untuk diakses, prosedur yang berbelit-belit ketika harus
mengurus suatu perizinan tertentu, biaya yang tidak jelas serta
terjadinya praktek pungutan liar (pungli), merupakan indikator
rendahnya kualitas pelayanan publik di Kota Sintap terma-suk
pada Badan Perizinan Terpadu.
Jika menelusuri konsep dan teori tentang etika pelayanan
publik oleh birokrat dapat disadur beberapa pandangan seperti:
Kumorotomo (1996: 7) yang menegaskan bahwa etika pelayanan
publik merupakan suatu cara dalam melayani publik dengan
menggunakan kebiasaan-kebiasaan yang mengandung nilai-

8 ETIKA BIROKRAT
nilai hidup dan hukum atau norma-norma yang mengatur
tingkah laku manusia yang dianggap baik. Dengan demikian
pelayanan publik yang diberikan harus menggunakan cara atau
kebiasaan yang beretis sesuai dengan hukum formal dan tabiat
atau perilaku yang dianggap baik di masyarakat.
Kenyataan tersebut dibuktikan dengan beberapa hasil
studi, meskipun masih sangat kecil akan tetapi paling tidak studi
etika pelayanan publik menunjukkan bahwa aspek etis menjadi
faktor dominan dalam membentuk pelayanan prima. Studi
yang dilakukan Dwiyanto, dkk, (2006: 16) mengung-kapkan
tidak adanya perubahan dalam budaya birokrasi dan perilaku
birokrasi dalam pelayanan publik. Sementara budaya birokrasi
seharusnya lahir dari pertimbangan etika birokrasi. Penelitian
ini menegaskan bahwa kedudukan etika dalam pelayanan
publik akan menjadi peletak dasar penciptaan budaya birokrasi
dan perilaku birokrat yang diharapkan dapat menciptakan
akuntabilitas dan transparansi kepada masyarakat.
Penelitian lain menemukan bahwa etika sebagai unsur
dominan yang mempengaruhi kualitas pelayanan publik.
Kemunculan krisis pelayanan publik yang diindikasikan oleh
penelitian Anwaruddin (2004: 35) ditunjukkan dengan lambannya
pelayanan dan tingginya biaya pelayanan, timbul karena terkait
dengan etika pelayanan publik oleh pemerintah. Temuan peneli-
tian ini menun-jukkan bahwa pada dasarnya pelayana publik
yang diberikan kepada masyarakat masih mengandung nilai-
nilai yang bertentangan dengan norma dan aturan yang berlaku.
Proses pelayanan yang lamban, membutuhkan waktu yang
relatif lebih lama dari yang seharusnya, beban biaya yang timbul
lebih besar dari yang semestinya, menjadikan proses pelayanan
tersebut jauh dari nilai etisnya. Seyog-yanya, pelayanan publik
harus lebih mengedepankan pada kepentingan masya-rakat,
bukan berdasarkan kepentingan birokrasi.
Kondisi lemahnya etika pelayanan tersebut yang diharapkan
dapat dihin-dari dengan memenuhi nilai-nilai dan norma-

PENDAHULUAN 9
norma etis yang disepakati dan dijunjung bersama. Pentingnya
menjunjung tinggi nilai-nilai dan norma tersebut oleh Maani
(2010: 68) dapat diwujudkan dalam bentuk pemenuhan nilai-
nilai dan norma-norma sikap dan prilaku birokrasi publik dalam
pelayanan dan tindakan yang dapat diterima oleh masyarakat
luas. Atas dasar inilah etika diperlukan dalam administrasi
publik. Etika dapat dijadikan pedoman, referensi, petunjuk
tentang apa yang harus dilakukan oleh aparat birokrasi dalam
menjalankan kebijakan politik, dan sekaligus digunakan sebagai
standar penilaian apakah peri-laku aparat birokrasi dalam
menjalankan kebijakan politik dapat dikatakan baik atau buruk.
Berdasarkan paparan di atas, maka untuk selanjutnya
buku ini difokuskan pada masalah yang berkaitan etika birokrat
dalam pelayanan izin usaha di Kota Makassar yaitu pada Badan
Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal. Dengan harapan
bahwa buku ini memberikan gambaran tentang pelayanan
yang etis berdasarkan etika birokrat sesuai dengan peraturan
Aparatur Sipil Negara (ASN) Tahun 2014 tentang sikap birokrat
dalam pemberian pelayanan pada Badan Perizinan Terpadu dan
Penanaman Modal Kota Makassar.

10 ETIKA BIROKRAT
BAB II
GAMBARAN UMUM KOTA MAKASSAR

A. Kondisi Geograis Kota Makassar


Secara administratif, Kota Makassar yang sekaligus Ibu
kota Provinsi Sulawesi Selatan, merupakan pusat pengembangan,
pelayanan, distribusi, dan akumulasi barang dan jasa, serta pusat
pendidikan. Kondisi ini menjadikan Kota Makassar menyandang
status sebagai pintu gerbang kawasan timur Indonesia.
Secara geograis Kota Makassar yang posisinya terletak
di pantai Barat Pulau Sulawesi, dengan titik koordinat antara
119024”17”38” Bujur Timur dan 508”6”19” Lintang Selatan,
dengan batas-batas sebagai berikut:
1. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Gowa.
2. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Pangkep.
3. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten maros; dan
4. sebelah Barat berbatasan dengan Selat makassar.
Berdasarkan batas-batas yang tersebut di atas, maka dapat
dikatakan Kota Makassar mempunyai kedudukan strategis
sebagai pusat pelayanan dan pengembangan di Provinsi
Sulawesi Selatan, bahkan sebagai pusat pelayanan bagi kawasan
Timur. Hal tersebut mempunyai konsekuensi bagi pemerintah

GAMBARAN UMUM KOTA MAKASSAR 11


Kota Makassar dalam mengelola berbagai potensi yang ada serta
mengatasi kendala dan tantangan yang dihadapi. Terlebih lagi
jika dikaitkan dengan kebesaran Kota Makassar pada masa lalu
yang tidak hanya dikenal sebagai kota besar di nusantara, tetapi
juga sebagai salah satu kota besar dunia karena keterbukaan
akses Kota Makassar terhadap perdagangan internasional.
Kota Makassar memiliki luas wilayah, tercatat 175,77 Km2,
yang meliputi 14 Kecamatan dengan 143 wilayah kelurahan, 970
RW dan 4.789 RT. Penduduk Kota Makassar Tahun 2014 tercatat
sebanyak 1.235.239 Jiwa, yang terdiri dari 618.233 Laki-laki dan
617.006 perempuan. Komposisi penduduk menurut jenis kelamin
dapat ditunjukkan dengann rasio jenis kelamin penduduk Kota
Makassar yaitu sekitar 100.20 persen, yaitu, berarti setiap 100
penduduk wanita tercatat 100 penduduk laki-laki.

B. Kondisi Demograis Kota Makassar


Penyebaran penduduk Kota Makassar dirinci menurut
kecamatan, menun-jukkan bahwa penduduk masih terkonsentrasi
di Wilayah Kecamatan Tamalate, yaitu sebanyak 150.014 Jiwa
(12.14%) dari total penduduk, disusul Kecamatan Rappocini
sebanyak 140.882 Jiwa (11.40%), Kecamatan Panakkukang
sebanyak 132.479 Jiwa (10.72%), dan yang terendah adalah
Kecamatan Ujung Pandang yaitu 28.206 Jiwa (2,28 %). Dan jika
ditinjau dari kepadatan penduduk, maka Kecamatan Makassar
adalah kecamatan yang terpadat, yaitu 32.399 jiwa per km
persegi, disusul Kecamatan Mariso yaitu 29.574 jiwa per km per
segi. Sedangkan Kecamatan Biringkanaya merupakan kecamatan
dengan kepadatan penduduk terendah yaitu hanya sekitar
2.630 Jiwa per km persegi. Wilayah-wilayah yang kepadatan
penduduknya tergolong rendah tersebut masih memungkinkan
untuk pengembangan daerah pemukiman terutama di tiga

12 ETIKA BIROKRAT
kecamatan, yaitu Biringkanaya, Tamalanrea, dan Manggala.
Adapun Jumlah penduduk Kota Makassar dan penyebarannya
menurut kecamatan sebagai berikut:

Tabel 1 Luas dan Persentase Luas Wialayah


Setiap Kecamatan di Kota Makassar
Kode Luas Persentase Terhadap
Kecamatan
Wil. Km2 Luas Kota Makassar

010 Mariso 1,82 1,04


020 Mamajang 2,25 1,28
030 Tamalate 20,21 12,07
031 Rappocini 9,23 5,25
040 Makassar 2,52 1,43
050 Ujung Pandang 2,63 1,50
060 Wajo 1,99 1,13
070 Bontoala 2,10 1,19
080 Ujung Tanah 5,94 3,38
090 Tallo 5,83 3,32
100 Panakkukang 17,05 9,70
101 Manggala 24,14 13,73
110 Biringkanaya 48,22 27,43
111 Tamalanrea 31,84 18,11

7371 Makassar 175,77 100,00


Sumber : Kantor Walikota Makassar. Tahun 2015

Dalam setiap kecamatan di Kota Makassar terdapat sejum-


lah kelurahan, Rukum Warga (RW) dan Rukun Tetangga (RT)
yang terinci dalam tabel 2 berikut ini.

GAMBARAN UMUM KOTA MAKASSAR 13


Tabel 2 Jumlah Kelurahan Setiap Kecamatan di Kota
Makassar
Kode
Kecamatan Kelurahan RW RT
Wil
010 Mariso 9 50 230
020 Mamajang 13 57 292
030 Tamalate 10 101 553
031 Rappocini 10 89 480
040 Makassar 14 71 308
050 Ujung Pandang 10 37 140
060 Wajo 8 45 159
070 Bontoala 12 58 262
080 Ujung Tanah 12 51 201
090 Tallo 15 82 504
100 Panakkukang 11 91 445
101 Manggala 6 66 368
110 Biringkanaya 7 91 420
111 Tamalanrea 6 82 427
7371 143 971 4.789
Sumber: Kantor Walikota Makassar. Tahun 2015

C. Sistem Pemerintahan Kota Makassar


Sebagaimana kabupaten/kota di Indonesia yang lain,
pemerintah Kota Makassar juga pengembangkan sistem
pemerintahan otonomi sesuai undang-undang yang berlaku.
Organisasi perangkat daerah dibentuk melalui beberapa
peraturan daerah sejak tanggal 28 Mei 2004 yang berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pedoman
Organisasi Perangkat Daerah. Organisasi perangkat daerah
dibentuk dengan nama Sekretariat Daerah Kabupaten/Kota.
Sedangkan DPRD Kabupaten/kota, Dinas-Dinas Daerah
Kabupaten/Kota, Lembaga Teknis Daerah Kabupaten/Kota,
Kecamatan dan Kelurahan dengan tugas utama melakukan
tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan

14 ETIKA BIROKRAT
sebagai amanah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antar Pemerintah Pusat
dan Daerah di daerah otonom Kota Makassar disebut sebagai
lembaga legislatif dan lembaga teknis kabupaten/kota.
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Kota Makassar
adalah: Sekretariat Daerah, yang terdiri atas:
1. Asisten Bidang Pemerintahan, terdiri dari:
a. Bagian Tata Pemerintahan.
b. Bagian Hukum.
c. Bagian Organisasi dan Tata Laksana.
d. Bagian Humas.
2. Asisten Bidang Ekonomi, Pembangunan dan Sosial, terdiri
dari:
a. Bagian Perekonomian dan Pembangunan.
b. Bagian Kesejahteraan Rakyat.
c. Bagian Pemberdayaan Perempuan.
3. Asisten Bidang Administrasi, terdiri dari:
a. Bagian Umum.
b. Bagian Keuangan.
c. Bagian Perlengkapan.
4. Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, terdiri dari:
a. Bagian Umum.
b. Bagian Persidangan.
c. Bagian Keuangan.
d. Bagian Perlengkapan.
5. Dinas Daerah, terdiri dari:
a. Dinas Kelautan dan Katahanan Pangan.
b. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata.
c. Dinas Informasi dan Komunikasi.
d. Dinas Pendapatan.
e. Dinas Kesehatan.

GAMBARAN UMUM KOTA MAKASSAR 15


f. Dinas Pendidikan.
g. Dinas Sosial.
h. Dinas Tenaga kerja.
i. Dinas Tata Rungan dan Bangunan.
j. Dinas Pekerjaan Umum.
k. Dinas Perhubungan.
l. Dinas Pemadam kebakaran dan Penanggulangan Ben-
cana.
m. Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Keindahan.
n. Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Penanaman Mo-
dal.
o. Dinas Koperasi dan Usaha kecil menengah.
p. Dinas Pemuda dan Olah Raga.
q. Dinas Kependudukan dan catatan Sipil.
6. Lembaga Teknis, terdiri dari:
a. Inspektorat.
b. Rumah Sakit Umum.
c. Badan-badan, terdiri dari :
1) Badan Perencanaan Pembangunan Daerah.
2) Badan Pendidikan dan Pelatihan.
3) Badan Pemberdayaan Masyarakat.
4) Badan Keluarga Berencana.
5) Badan Kepegawaian Daerah.
7. Kantor, terdiri dari:
a. Kantor Arsip, perpustakaan dan Pengolahan Data.
b. Kantor Kesatuan bangsa.
c. Kantor Pelayanan Administrasi Perizinan.
d. Satuan Polisi Pamong Praja.

16 ETIKA BIROKRAT
D. Badan Perizinan Terpadu dan Penanaman
Modal
Dengan dituangkannya pelayanan prima dalam visi dan
misi nasional Indonesia sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor
3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Investasi, menunjukkan
bahwa tuntutan masyarakat terhadap pelayanan prima aparatur
pemerintah merupakan keharusan dan tidak dapat diabaikan lagi
dalam rangka penyederhanaan Pelayanan Perizinan Satu Pintu
(PPSP), sehingga pemerintah Kota Makassar membentuk kantor
Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) sesuai dengan Peraturan
Daerah Nomor 19 Tahun 2006 tentang Pembentukan Organisasi
dan Tata Kerja kantor Pelayanan Perizinan Satu Atap.
Berdasarkan Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 20
Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata kerja Unit
Pelayanan Perizinan Terpadu di Daerah, maka pemerintah Kota
Makassar melakukan perubahan struktur organisasi dengan
mengubah nama organisasi Unit Pelayanan Terpadu Perizinan
(UPTP) menjadi Badan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal
(BPTPM) sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor
5 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah
Kota Makassar Nomor 4 Tahun 2008 tentang Pembentukan
Organisasi dan Lembaga Teknis Daerah Kota Makassar.

Visi, Misi, Maksud dan Tujuan BPTPM


Prinsip penyelenggaraan PTSP adalah kesederhanaan,
kejelasan, dan kepastian waktu, kepastian hukum, kemudahan
akses, kenyamanan, dan kondisi wilayah, serta kedisplinan,
kesopanan, dan keramahan sebagaimana yang terdapat dalam
Permendagri Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyeleng-
garaan PTSP, dimana dalam rangka mendukung pencapaian
prinsip penyelenggaraan BPTPM dan untuk mewujudkan
masyarakat Kota Makassar yang mandiri, maka perlu didukung

GAMBARAN UMUM KOTA MAKASSAR 17


dengan 4 pilar pelaksanaan pemerintahan di Kota Makassar
sebagai dasar komponen kerja BPTPM berupa 4 budaya kerja
yakini; (1) kerja cerdas; (2) kerja keras; (3) kerja ikhlas; dan (4)
kerja tuntas.
Hal ini didukung oleh Visi dan Misi BPTPM Kota Makassar,
yaitu: (1) Visi BPTPM Kota Makassar adalah “Terwujudnya
Pelayanan Prima Dalam Bidang Perizinan”, (2) Misi yang terdiri
dari 2 poin: (a) Meningkatnya standar dan mutu pelayanan
perizinan, dan (b) Mewujudkan profesionalisme pelayanan
perizinan, dan (3) Maksud dan Tujuan, Maksud dan tujuan
terbentuknya BPTPM Makassar adalah: (a) Mengoptimalkan
pelayanan masyarakat, (2) Penyederhanaan proses, eisiensi
dan ketepatan waktu setiap pelayanan, dan (3) Mewujudkan
pelayanan berkelas dunia.
Penyelenggaraan PTSP merupakan bagian yang integral
dari pelayanan publik yang mengamanatkan kepada aparatur
untuk melaksanakan tugas pelayanan dengan prinsip pelayanan
prima yang pada akhirnya memberikan kepuasan kepada
masyarakat sesuai dengan tugas dan fungsi yaitu melaksanakan
koordinasi dan menyelenggarakan pelayanan administrasi di
bidang perizinan secara terpadu dengan prinsip koordinasi,
integrasi, sinkronisasi, simplikasi, keamanan dan kepastian.
BPTPM Kota Makassar memiliki moto pelayanan “Transparan,
Terpercaya, dan Eisien dalam Pelaynan”. Kemudian maklumat
pelayanan BPTPM adalah Sanggup memberikan pelayanan sesuai
dengan standar dan prosedur yang ditetapkan. Siap melayani dengan
cepat, tepat, ramah, pasti dan akuntabel serta tidak meminta atau
menerima imbalan dalam bentuk apapun selain yang ditetapkan.

Kelembagaan BPTPM
BPTPM Kota Makassar dibentuk dengan Peraturan
Daerah Nomor 5 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas

18 ETIKA BIROKRAT
Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 23 Tahun 2008 tentang
Pembentukan Organisasi Lembaga Teknis Daerah Kota Makassar.
Struktur Organisasi BPTPM Kota Makassar terdiri dari:
1. Kepala Badan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal
(BPTPM)
2. Sekretariat
3. Bagian Tata Usaha terdiri dari:
a. Sub Bagian Program
b. Sub Bagian Keuangan dan Perlengkapan
c. Sub Bagian Umum dan Kepegawaian
4. Bidang Perizinan dan Non Perizinan
5. Bidang Pengawasan dan Pengendalian
6. Bidang Pengaduan
7. Bidan Evaluasi dan Pelaporan
8. Tim Teknis
9. Kelompok Jabatan Fungsional.
Untuk dapat memberikan pelayanan yang optimal kepada
masyarakat, BPTPM Kota Makassar di dukung oleh personil
45 orang dengan melayani 22 kewenangan perizinan, personil
yang akan memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat
diharapkan memiliki tingkat keahlian dan keterampilan atau
kompetensi. Bentuk Bagan Struktur Organisasi BPTPM Kota
Makassar adalah:

GAMBARAN UMUM KOTA MAKASSAR 19


Gambar 1: Struktur Organisasi BPTPM
Kepala Badan

Sekretaris

Bagian tata usaha


Kelompok jabatan
fungsional
Sub Sub Sub
bagian bagian bagian
program keuangan umum

Bidang
Bidang perizinan Pengawasan & Bidang evaluasi
dan non perizinan Pengendalian Bidang Pengaduan dan pelaporan

Tim teknis Tim teknis Tim teknis Tim teknis

Personalia BPTPM
Keadaan personalia BPTPM dapat diketahui melalui
klasiikasi tingkat pendidikan formal dan jenis kelamin yang
dideskripsikan pada masing-masing tabel di bawah ini. Adapun
tingkat pendidikan formal aparatur BPTPM digambar pada tabel
3 berikut ini.
Tabel 3: Tingkat Pendidikan Aparatur BPTPM
No Pendidikan PNS Pegawai tidak Tetap Jumlah
1 Strata II 4 1 5
2 Strata I 9 14 23
3 Diploma 1 1 2
4 SMA 2 13 15
Jumlah 16 29 45

Sedangkan jumlah dan jenis kelamin pegawai BPTPM


dapat dilihat pada tabel 4.6. berikut:

20 ETIKA BIROKRAT
Tabel 4: Jenis Kelamin Aparatur BPTPM
No Jenis Kelamin PNS Pegawai tidak Tetap Jumlah
1 Laki-laki 8 20 28
2 Perempuan 8 9 17
Jumlah 16 29 45

Jenis Perizinan BPTPM


Dalam rangka mendapatkan posisi dan jenis perizinan di
BPTPM, maka dapat dideskripsikan pada tabel 5. sebagai berikut
ini.
Tabel 5: Jenis Perizinan BPTPM
No Jenis Perizinan
1 Izin Prinsip
2 Izin Lokasi
3 Izin Mendirikan Bangunan (IMB)
4 Izin Usaha Jasa Konstruksi (IUJK)
5 Izin Usaha Bengkel (IUB)
6 Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP)
7 Izin Operasional Usaha Kepariwisataan (IOUK)
8 Izin Usaha Industri (IUI)
9 Izin Toko Obat
10 Izin Praktek Tenaga Medis
11 Izin Pendirian Apotik
12 Izin Pelayanan Kesehatan Swasta
13 Izin Usaha Pusat Perbelanjaan (IUPP)
14 Izin Usaha Toko Modern (IUTM)
15 Izin Pengelolaan Pasar Tradisional (IP2T)
16 Izin Pemanfaatan Fasilitas Umum
17 Izin Program Lembaga Pelatihan Kerja
18 Tanda Daftar Perusahaan (TDP)
19 Tanda Daftar Gudang (TDG)
20 Tanda Daftar Industri (TDI)
21 Perpanjangan Izin/Penambahan Jurusan
22 Sertiikat Latihan Lulusan LLS dan LLP oleh Perusahaan
23 Akuntabilitas LLS 1 Tahun

GAMBARAN UMUM KOTA MAKASSAR 21


Standar Pelayanan BPTPM
Gambaran standar pelayanan di BPTPM khususnya yang
berkategori izin usaha yang dirinci melalui klasiikasi sebagai
berikut:
1. Perizinan ber Retribusi
Jenis izin usaha yang dikenakan retribusi adalah Izin
Usaha Pembudi-dayaan Ikan, dengan syarat adalah:
1) Formulir permohonan
2) Foto copy akte pendirian bagi usaha yang berbadan
hukum
3) Bukti kepemilikan/penguasaan tanah
4) Pas foto 3x4 sebanyak 2 lembar
5) Surat keterangan usaha dari desa/lurah
6) Foto copy bukti pelunasan PBB tahun terakhir
7) Daftar nama, tipe, dan jenis peralatan yang akan diper-
gunakan
8) SPPL atau foto copy izin lingkungan bagi yang memer-
lukan biaya.
Sesuai Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 4
Tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan Tertentu dengan
klasiikasi sebagai berikut:
1) Budidaya tambak dengan areal lahan lebih dari 0,5 hektar
untuk pembenihan dan areal lahan lebih dari 5 hektar
untuk pembesaran sebesar Rp. 5,0/m2.
2) Budidaya kolam air deras dengan areal lahan lebih dari 5
unit dengan ketentuan 1 unit sama dengan 100 m2 sebesar
Rp. 5,0/m2..
3) Budidaya laut dengan areal lahan lebih dari 0,5 hektar
sebesar Rp. 15,0/m2 .
4) Pembenihan udang di air tawar dengan areal lahan lebih
dari 0,75 hektar atau di air payau atau di air laut dengan
areal lahan lebih dari 0,5 hektar sebesar Rp. 0,5/ekor.

22 ETIKA BIROKRAT
5) Penggelondongan ikan di air tawar dengan areal lahan
lebih dari 0,75 hektar atau di air payau atau di air laut
dengan areal lahan lebih dari 0,5 hektar sebesar Rp. 0,7/
ekor.
6) Pembenihan ikan di air tawar dengan areal lahan
lebih dari 0,75 hektar atau air payau atau di air laut
dengan areal lahan lebih dari 0,5 hektar sebesar
Rp. 0,5/ekor.
Kemudian proses pengurusan izin gangguan memakan
waktu 5 hari kerja.
2. Perizinan Non Retribusi
a. Surat Izin Tempat Usaha
Persyaratan untuk memperoleh Surat Izin Tempat
Usaha (SITU) adalah:
1) Formulir permohonan.
2) Foto copy KTP pemilik usaha.
3) Foto copy akte pendirian bagi usaha yang berbadan
hukum.
4) Foto copy PBB tahun terakhir.
5) Foto copy IMB.
6) Bukti keikutsertaan BPJS Ketenagakerjaan bagi usaha
menengah dan besar atau usaha yang berbadan
hukum.
Kemudian proses pengurusan surat izin tempat
usaha memakan waktu 3 hari kerja.
b. Surat Izin Usaha Perdagangan dan Tanda Daftar Perusahaan
Persyaratan untuk memperoleh Surat Izin Usaha
Perdagangan (SIUP) dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP)
adalah:
1) Formulir permohonan.
2) Foto copy KTP pemilik usaha/penanggungjawab
perusahaan

GAMBARAN UMUM KOTA MAKASSAR 23


3) Foto copy akte pendirian perusahaan atau koperasi
yang telah mendapatkan pengesahan dari instansi
yang berwenang (perorangan tidak dipersyaratkan).
4) Foto copy akte perubahan perusahaan (bila ada).
5) Foto pemilik/penanggungjawab perusahaan ukuran 3
x 4 cm sebanyak 2 lembar.
6) Foto copy SITU dan HO.
7) Foto copy surat keputusan pengesahan badan hukum
perseroan terbatas dari Kementerian Hukum dan
HAM.
8) Foto copy Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bagi
perusahaan yang berbadan hukum.
Kemudian proses pengurusan surat izin perdagang-
an dan tanda daftar perusahaan selama 3 hari kerja.
c. Izin Usaha Industri dan Tanda Daftar Industri
Persyaratan untuk memperoleh izin usaha industry
dan tanda daftar industri adalah:
1) Formulir permohonan.
2) Identiikasi perusahaan.
3) Foto copy SITU, Izin gangguan, SIUP dan TDP.
4) Foto copy persetujuan izin prinsip bagi usaha
penanaman modal.
5) Foto pemilik/penanggung jawab perusahaan.
6) Foto copy AD dan ART yang sudah disahkan bagi
koperasi.
Kemudian proses pengurusan memakan waktu 5
hari kerja.
d. Tanda Daftar Gudang
Persyaratan untuk memperoleh tanda daftar gu-
dang adalah:
1) Formulir permohonan.
2) Surat perjanjian sewa/kontrak.

24 ETIKA BIROKRAT
3) Foto copy IMB.
4) Foto copy SITU dan Izin gangguan (HO).
5) Foto copy IUI dan TDI (khusus industri).
Kemudian proses pengurusan menggunakan waktu
5 hari kerja.
e. Izin Usaha Jasa Konstruksi
Persyaratan untuk memperoleh izin usaha jasa
konstruksi adalah:
1) Formulir permohonan.
2) Foto copy SBU yang masih berlaku.
3) Foto copy HO, SITU, SIUP, dan TDP.
4) Foto copy ijasah tenaga ahli yang digunakan.
5) Foto copy SKT/SKA yang masih berlaku.
6) Pas foto penanggungjawab 4x6 cm sebanyak 2 lbr.
Kemudian proses pengurusan memanfaatkan
waktu selama 3 hari kerja.
e. Izin Penempatan Reklame
Persyaratan untuk memperoleh izin penempatan
reklame sebagai berikut;
1) Formulir permohonan.
2) Identitas/proil usaha.
3) Foto copy akte pendirian perusahaan bagi usaha yang
berbadan hukum.
4) Surat pernyataan sanggup memenuhi persyaratan
teknis dari instansi yang berwenang.
5) Gambar denah lokasi pemasangan reklame.
Kemudian proses pengurusan izin penempatan
reklame selama 3 hari kerja.
f. Izin Lingkungan
Persyaratan untuk memperoleh izin lingkungan
sebagai berikut:

GAMBARAN UMUM KOTA MAKASSAR 25


1) Formulir permohonan.
2) Surat keputusan kelayakan lingkungan (andal).
3) Rekomendasi UKL-UPL.
Kemudian proses pengurusan izin lingkungan
menggunakan waktu selama 3 hari kerja.
g. Izin Lokasi
Persyaratan pengurusan izin lokasi baru adalah:
1) Formulir permohonan.
2) Foto copy KTP pemilik/penanggung jawab perusa-
haan.
3) Surat pernyataan kesanggupan melaksanakan pem-
bangunan keseluruhan dalam jangka waktu 1 tahun
dan dapat diperpanjang.
4) Keterangan keanggotaan dari organisasi/asosiasi.
5) Izin prinsip bagi PMDN atau PMA.
6) Foto copy izin lingkungan.
Persyaratan perpanjangan pengurusan izin lokasi
adalah:
1) Foto copy izin lokasi.
2) Peta block plane tata ruang.
3) Hasil monitoring pelaksanaan izin lokasi..
Kemudian proses pengurusan izin lokasi mengguna-
kan waktu selama 7 hari kerja.
h. Izin Prinsip Penanaman Modal
Persyaratan untuk memperoleh surat izin prinsip
penanaman modal adalah:
1) Foto copy pendaftaran bagi badan usaha yang telah
melakukan pendaftaran.
2) Foto copy akte pendirian perusahaan dan perubahan-
nya.
3) Foto copy pengesahan anggaran dasar perusahaan
dari Menteri Hukum dan HAM.

26 ETIKA BIROKRAT
4) Foto copy NPWP.
5) Keterangan rencana kegiatan.
a) Untuk industri berupa uraian proses produksi yang
mencantumkan jenis bahan baku dan dilengkapi
dengan diagram alir/low chart.
b) Untuk sektor jasa berupa uraian kegiatan yang
dilakukan dan penjelasan produk jasa yang
dihasilkan.
6) Rekomendasi dari kementerian/instansi pemerintah
terkait bila dipersyaratkan.
7) Permohonan ditandatangani diatas materai cukup
oleh direksi perusahaan dilengkapi surat kuasa
bermaterai cukup untuk pengurusan permohonan
yang tidak dilakukan secara langsung oleh direksi
perusahaan.
Kemudian proses pengurusan izin perinsip
penanaman modal menggu-nakan waktu selama 3 hari
kerja.
Pelayanan perizinan di BPTPM Kota Makassar,
baik bentuk non retribusi maupun pelayanan perizinan
dengan retribusi memiliki sistem mekanis dan prosedur
pelayanan, sebagai berikut:
1) Pemohon mengambil formulir permohonan di loket
informasi.
2) Pemohon melakukan pendaftaran permohonan
perizinan di loket pendaftaran.
3) Staf loket pendaftaran menerima dan memeriksa
kelengkapan berkas permohonan.
4) Tim teknis memveriikasi berkas permohonan dan
melakukan kunjungan lapangan apabila memerlukan
tinjauan lapangan.

GAMBARAN UMUM KOTA MAKASSAR 27


5) Pemohon membayar retribusi sesuai dengan SKPD
yang telah ditetapkan di loket pembayaran.
6) Staf pemrosesan mencetak surat izin.
7) Penandatanganan surat izin oleh kepala BPTPM.
8) Pemohon mengambil izin di loket penyerahan izin.
9) Apabila terjadi penolakan permohonan dalam
pemrosesan, pemberitahuan penolakan maksimal 3
hari kerja.

28 ETIKA BIROKRAT
BAB III
KEPEMIMPINAN

A. Hakekat Kepemimpinan
Dalam kehidupan sehari-hari, baik di lingkungan
keluarga, organisasi, perusahaan sampai dengan pemerintahan
sering kita dengar sebutan pemimpin, kepemimpinan serta
kekuasaan. Ketiga kata tersebut memang memiliki hubungan
yang berkaitan satu dengan lainnya.
Beberapa ahli berpandapat tentang Pemimpin, beberapa
diantaranya:
1. Menurut Hasibuan, Pemimpin adalah seseorang dengan
wewenang kepemimpinannya mengarahkan bawahannya
untuk mengerjakan sebagian dari pekerjaannya dalam
mencapai tujuan.
2. Menurut Robert Tanembaum, Pemimpin adalah mereka
yang menggunakan wewenang formal untuk mengor-
ganisasikan, mengarahkan, mengontrol para bawahan
yang bertanggung jawab, supaya semua bagian pekerjaan
dikoordinasi demi mencapai tujuan perusahaan.
3. Menurut Maccoby, Pemimpin pertama-tama harus seorang
yang mampu menumbuhkan dan mengembangkan segala
yang terbaik dalam diri para bawahannya. Pemimpin

KEPEMIMPINAN 29
yang baik untuk masa kini adalah orang yang religius,
dalam artian menerima kepercayaan etnis dan moral dari
berbagai agama secara kumulatif, kendatipun ia sendiri
mungkin menolak ketentuan gaib dan ide ketuhanan yang
berlainan.
4. Menurut Lao Tzu, Pemimpin yang baik adalah seorang
yang membantu mengembangkan orang lain, sehingga
akhirnya mereka tidak lagi memerlukan pemimpinnya itu.
5. Menurut Davis and Filley, Pemimpin adalah seseorang
yang menduduki suatu posisi manajemen atau seseorang
yang melakukan suatu pekerjaan memimpin.
6. Sedangakn menurut Pancasila, Pemimpin harus bersikap
sebagai pengasuh yang mendorong, menuntun, dan
membimbing asuhannya.
Seorang pemimpin boleh berprestasi tinggi untuk
dirinya sendiri, tetapi itu tidak memadai apabila ia tidak
berhasil menumbuhkan dan mengembangkan segala yang
terbaik dalam diri para bawahannya. Dari begitu banyak
deinisi mengenai pemimpin, menurut penulis bisa dikatakan
bahwa Pemimpin adalah orang yang mendapat amanah serta
memiliki sifat, sikap, dan gaya yang baik untuk mengurus
atau mengatur orang lain.
Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang mem-
pengaruhi dan memotivasi orang lain untuk melakukan
sesuatu sesuai tujuan bersama. Kepemimpinan meliputi
proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi,
memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan,
mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budaya-
nya. Sedangkan kekuasaan adalah kemampuan untuk
mempengaruhi orang lain untuk mau melakukan pap yang
diinginkan pihak lainnya.”The art of inluencing and directing
meaninsuch away to abatain their willing obedience, conidence,
respect, and loyal cooperation in order to accomplish the mission”.
Kepemimpinan adalah seni untuk mempengaruhidan meng-

30 ETIKA BIROKRAT
gerakkan orang-orang sedemikian rupa untuk memperoleh
kepatuhan, kepercayaan, respek, dan kerjasama secara royal
untuk menyelesaikan tugas – Field Manual 22-100.
Kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi
orang lain untuk mau melakukan apa yang diinginkan pihak
lainnya. Ketiga kata yaitu pemimpin, kepemimpinan serta
kekuasaan yang dijelaskan sebelumnya tersebut memiliki
keterikatan yang tak dapat dipisahkan. Karena untuk men-
jadi pemimpin bukan hanya berdasarkan suka satu sama
lainnya, tetapi banyak faktor. Pemimpin yang berhasil
hendaknya memiliki beberapa kriteria yang tergantung pada
sudut pandang atau pendekatan yang digunakan, apakah
itu kepribadiannya, keterampilan, bakat, sifat-sifatnya, atau
kewenangannya yang dimiliki yang mana nantinya sangat
berpengaruh terhadap teori maupun gaya kepemimpinan
yang akan diterapkan.
Fungsi pemimpin dalam suatu organisasi tidak dapat
dibantah merupakan sesuatu fungsi yang sangat penting bagi
keberadaan dan kemajuan organisasi yang bersangkutan.
Pada dasarnya fungsi kepemimpinan memiliki 2 aspek yaitu:
– Fungsi administrasi, yakni mengadakan formulasi kebijak-
sanakan administrasi dan menyediakan fasilitasnya.
– Fungsi sebagai Top Mnajemen, yakni mengadakan
planning, organizing, staing, directing, commanding,
controling, dsb.
Kepemimpinan adalah suatu subjek yang telah lama
diminati oleh para ilmuwan maupun untuk orang awam.
Istilah tersebut berisi konotasi mengenai citra individu-
individu yang berkuasa dan dinamis yang telah berhasil
memimpin armada yang menang perang, yang dapat
mengendalikan kerajaan-kerajaan korporasi dari atas gedung-
gedung pencakar langit yang sangat berkilauan, atau yang
mengarahkan kemana tujuan bangsa-bangsa. Kebanyakan
dari uraian kita mengenai sejarah berupa cerita mengenai

KEPEMIMPINAN 31
pemimpin-pemimpin militer, politik, agama dan sosial.
Kehebatan-kehebatan yang berasal dari para pemimpin yang
berani merupakan inti dari banyaknya legenda serta sebuah
mitos. Kekaguman yang meluas mengenai kepemimpinan
mungkin karena merupakan sesuatu proses yang demikian
misterius dan menyangkut tentang kehidupan semua orang.
Beberapa orang pemimpin tertentu seperti (Gandhi, Nabi
Muhammad Saw, Mao Tse-tung) bisa menimbulkan adanya
semangat dan dedikasi yang demikian mendalam. Pemimpin-
pemimpin tertentu seperti Julius Caesar, Iskandar Agung, dan
Charlemagne yang telah membangun kerajaan-kerajaan yang
sedemikian besarnya. Pemimpin-pemimpin tertentu seperti
Indira Gandhi dan Winston Churchill mendadak jatuh dari
kekuasaannya, meskipun kelihatannya memiliki kekuasaan
serta memiliki catatan prestasi yang sangat baik. Orang-
orang yang tertentu yang kurang dikenali seperti Claudius
Caesar dan Adolf Hitler memiliki pengikut-pengikut yang
begitu setia sehingga bersedia untuk mengorbankan seluruh
hidupnya untuk dirinya tersebut, sedangkan pada beberapa
pemimpin lainnya sedemikian begitu dibencinya sehingga
para pengikut mereka melakukan untuk berkomplot agar
bisa membunuh mereka.
Pernyataan-pernyataan tentang kepemimpinan sudah
lama menjadi suatu subjek spekulasi, akan tetapi pada penelitian
ilmiah tentang kepemimpinan itu belum dimulai sebelum di
abad kedua puluh. Fokus dari kebanyakan dari penelitian
ialah tentang determinan-determinan dari segala efektivitas
kepemimpinan. Para ilmuwan perilaku atau behavioral scientist
sudah mencoba untuk bisa menemukan beberapa ciri-ciri,
perilaku-perilaku, kemampuan-kemampuan, sumber-sum-
ber kekuasaan atau aspek-aspek apa sajakah dari situasi
tersebut yang dapat menentukan klompok. Alasan mengapa
orang-orang tersebut timbul sebagai pemimpin dan menjadi
determinan dari cara seseorang dalam bertindak merupakan

32 ETIKA BIROKRAT
sesuatu pertanyaan yang sangat penting lainnya yang sudah
diteliti, namun perhatian yang sangat dominan mengenai
efektivitas kepemimpinan.
Adapun beberapa pengertian kepemimpinan menurut
para ahli yaitu: menurut Hemhill dan Coons adalah perilaku
dari seorang individu yang memimpin aktivitas-aktivitas
suatu kelompok ke suatu tujuan yang ingin dicapai bersama
(shared goals). Menurut Tannenbaum, Weschler dan Masarik
menyatakan bahwa kepemimpinan adalah Pengaruh antar
pribadi yang dijalankan dalam suatu situasi tertentu, serta
diarahkan melalui proses komunikasi, ke arah pencapaian
satu atau beberapa tujuan tertentu”. Menurut Stogdill
menyatakan bahwa kepemimpinan adalah pembentukan
awal serta pemeliharaan struktur dalam harapan dan
interaksi. Menurut Kaz dan Kahn menyatakan bahwa adalah
peningkatan pengaruh sedikit demi sedikit pada , dan berada
di atas kepatuhan mekanis terhadap pengarahan-pengarahan
rutin organisasi. Menurut Rauch dan Behling menyatakan
bahwa kepemimpinan adalah suatu proses mempengaruhi
aktivitas-aktivitas sebuah kelompok yang diorganisasi
ke arah pencapaian tujuan. Menurut Jacobs dan Jacques
menyatakan bahwa kepemimpinan adalah suatu proses
memberi arti atau pengarahan yang berarti terhadap usaha
kolektif dan yang mengakibatkan kesediaan untuk melakukan
usaha yang diinginkan untuk mencapai sasaran. Pengertian
kepemimpinan menurut Hosking adalh mereka yang secara
konsisten memberi kontribusi yang efektif terhadap orde
sosial yang diharapkan dan dipersepsikan melakukannya.
Sedangkan menurut Siagian menyatakan bahwa
kepemimpinan adalah suatu keterampilan dan kemampuan
dari seseorang yang telah menduduki jabatan menjadi
pimpinan dalam sebuah pekerjaan dalam mempengaruhi
tindakan orang lain, terutama kepada bawahannya agar
berikir dan bertingkah laku sedemikian rupa sehingga melalui

KEPEMIMPINAN 33
tingkah laku positif ini dapat memberikan sumbangan yang
nyata didalam pencapaian tujuan organisasi. Menurut Young
menyatakan bahwa kepemimpinan adalah suatu bentuk
dominasi yang disengaja atau disadari oleh kemampuan
pribadi yang mampu mendoring atau mengajak kepad aorang
lain dalam melakukan sesuatu berdasarkan atas penerimaan
oleh kelompoknya dan mempunyai keahlian yang khusus
secara tepat bagi situasi yang khusus.
Pengertian kepemimpinan menurut Ordway Tead
dalam bukunya The Art Of LeaderShip yang menyatakan
bahwa kepemimpinan adalah suatu kegiatan dalam
mempengaruhi orang-orang agar mereka ingin bekerja sama
dalam mencapai tujuan yang kita inginkan. George R. Terry
menyatakan bahwa kepemimpinan adalah suatu kegiatan
untuk mempengaruhi orang-orang agar mereka menyukai
untu berusaha dalam mencapai tujuan-tujuan kelompok atua
organisasi. Sedangkan Howard H. Hoyt menyatakan bahwa
kepemimpinan adalah seni untuk bisa mempengaruhi segala
tingkahlaku dari manusia, dan memiliki kemampuan dalam
membimbing seseorang.
Itulah beberapa pengertian kepemimpinan menurut
pandangan para ahli. Kebanyakan pengertian kepemimpinan
mencerminkan asumsi bahwa kepemimpinan menyangkut
sebuah proses pengaruh sosial yang dalam hal ini pengaruh
yang disengajai untuk dijalankan oleh seseorang terhadap
organisasi atau kelompok. Berbagai pengertian kepemimpinan
yang sudah ditawarkan tapi kelihatannya tidak berisi hal-hal
selain itu. Pengertian tersebut berbeda dalam berbagai aspek,
termasuk didalamnya siapa yang menggunakan pengaruh,
sasaran yang ingin diperoleh dari pengaruh tersebut, cara
bagaimana pengaruh tersebut digunakan, serta hasil dari
uasaha menggunakan pengaruh tersebut. Perbedaan-
perbedaan tersebut bukan hanya merupakan sebuah
hal akademis yang dicari-cari. Ia mencerminkan adanya

34 ETIKA BIROKRAT
ketidaksesuaian yang mendalam mengenai identiikasi dari
para pemimpin serta proses kepemimpinan. Perbedaan-
perbedaan didalam pemilihan fenomena untuk melakukan
penyelidikan dan kemudian menimbulkan perbedaan-
perbedaan dalam mengeinterpretasikan hasilnya.

B. Teori-teori Kepemimpinan
Teori kepemimpinan yaitu teori genetis dimana men-
jelaskan bahwa seseorang akan dapat menjadi pemimpin
karena ia telah dilahirkan untuk bisa menjadi pemimpin; dia
telah memiliki bakat dan mempunyai pembawaan untuk bisa
menjadi pemimpin. Menurut teori kepemimpinan seperti teori
genetis ini mengasumsikan bahwa tidak setiap orang dapat
menjadi pemimpin, hanya beberapa orang yang memiliki
pembawaan dan bakat saja yang dapat menjadi pemimpin.
Hal tersebut memunculkan “Pemimpin tidak hanya sekedar
dibentuk tapi dilahirkan”.
Teori kepemimpinan yang kedua yaitu teori sosial yang
menyatakan bahwa seseorang akan dapat menjadi pemimpin
karena lingkungannya yang mendukung, keadaan dan waktu
memungkinkan ia bisa menjadi pemimpin. Setiap orang
dapat memimpin asal diberikan kesempatan dan diberikan
pembinaan untuk dapat menjadi pemimpin meskipun ia
tidak memiliki pembawaan atau bakat. Adapun istilah dari
teori kepemimpinan sosial ini yaitu Pemimpin itu dibentuk
bukan dilahirkan.
Teori kepemimpinan yang ketiga yaitu teori ekologis,
dalam teori kepemimpinan ekologis ini menyatakan bahwa
gabungan dari teori genetis dan sosial, dimana seseorang
akan menjadi pemimpin membutuhkan bakat dan bakat
tersebut mesti selalu dibina agar berkembang. Kemungkinan
untuk bisa mengembangkan bakat tersebut itu tergantung
dari lingkungannya.

KEPEMIMPINAN 35
Teori kepemimpinan yang keempat yaitu teori situasi,
dalam teori kepemimpinan situasi ini menyatkaan bahwa
seseorang dapat menjadi pemimpin ketika berada dalam
situasi tertentu karena dia memiliki kelebihan-kelebihan
yang dibutuhkan dalam situasi tersebut. Akan tetapi pada
situasi yang lainnya, kelebihannya tersebut tidak dibutuhkan,
akhirnya ia tidak akan menjadi pemimpin lagi, bahkan bisa
jadi menjadi pengikut saja.
Oleh karena itu, jika seorang ingin menjadi pemimpin
dan ingin meningkatkan kecakapannya dan kemampuannya
dalam memimpin maka dibutuhkan untuk bisa mengetahui
segala ruang lingkup gaya kepemimpinan yang efektif.
Adapun para ahli dalam bidang kepemimpinan sudah
meneliti dan mengembangkan beberapa gaya kepemimpinan
yang berbeda dimana sesuai dengan adanya evolusi dari teori
kepemimpinan. Untuk ruang lingkupnya, gaya kepemimpinan
terbagi atas tiga pendekatan yaitu pendekatan sifat kepri-
badian pemimpin, dan pendekatan perilaku pemimpin dan
pendekatan situasional atau kontingensi.

C. Tipe dan Gaya Kepemimpinan


Pemimpin itu memiliki sifat, kebiasaan dan watak
serta kepribadian yang khas. Dari tingkah laku dan gayanya
lah yang dapat membedakan dirinya dibanding orang lain.
Gaya tentunya akan selalu dapat mewarnai perilaku dan tipe
seseorang dalam pemimpin atau gaya kepemimpinan.
Adapun gaya kepemimpinan diuraikan sebagai berikut
ini.

1. Gaya kepemimpinan otokratis


Gaya ini terkadang disebut sebagai kepemimpinan
yang terpusat pada diri pemimpin atau gaya direktif. Gaya
otokratis ini ditandai dengan adanya petunjuk yang sangat

36 ETIKA BIROKRAT
banyak sekali yang berasal dari pemimpin dan tidak ada
satupun peran para anak buah dalam merencanakan dan
sekaligus mengambil suatu keputusan. Gaya kepemimpinan
otokratis ini akan menentukan sendiri keputusan, peran,
bagaimana, kapan dan bilamana secara sepihak. Yang pasti
tugas yang diperintahkan mesti dilaksanakan. Paling sangat
menonjol dalam gaya kepemimpinan otokratis ini adalah
seseorang akan memberikan perintah dan mesti dipatuhi. Ia
akan memerintah berdasarkan dari kemampuannya untuk
menjatuhkan hukuman serta memberikan hadiah. Gaya
kepemimpinan otokratis adalah suatu kemampuan dalam
mempengaruhi orang lain yang ada disekitar agar mau
bersedia berkerjasama dalam mencapai tujuan yang sudah
ditentukan dengan ditempuh atas segala cara kegiatan
yang akan dijalankan atas dasar putusan dari pemimpin.
Adapun ciri-ciri gaya kepemimpinan otokratis ini yaitu
wewenang mutlak itu terpusat dari pemimpin, keputusan
akan selalu dibuat oleh pemimpin, kebijakan akan selalu
dibuat oleh pemimpin, komunikasi hanya berlangsung
dalam satu arah dimana dari pimpinan ke bawahan bukan
sebaliknya, pengawsan terhadap (sikap, perbuatan, tingkah
laku atau kegiatan) dari para bawahannya dilakukan
dengan ketat, tak ada kesempatan untuk para bawahan
dalam memberikan (pendapat, saran atau pertimbangan),
lebih banyak mendapatkan kritikan dibanding pujian,
menuntut adanya kesetiaan dan prestasi yang sempurna
dari para bawahan tanpa adanya syarat, dan cenderung
memberikan paksaan, hukuman dan anacaman.

2. Gaya Kepemimpinan Demokratis


Gaya kepemimpinan demokratis adalah suatu
kemampuan dalam mempengaruh orang lain agar dapat
bersedia untuk bekerja sama dalam mencapai tujuan yang
sudah ditetapkan dengan berbagai cara atau kegiatan

KEPEMIMPINAN 37
yang dapat dilakukan dimana ditentukan bersama antara
bawahan dan pimpinan.
Gaya tersebut terkadan gidsebut sebagai gaya
kepemimpinan yang terpusat pada anak buah, kepemim-
pinan dengan adanya kesederajatan, kepemimpinan
partisipatif atau konsultatif. Pemimpin yang berkonsultasi
kepada anak buahnya dalam merumuskan suatu tindakan
putusan bersama. Adapun ciri-ciri dari gaya kepemimpinan
demokratis ini yaitu memiliki wewenang pemimpin yang
tidak mutlah, pimpinan bersedia dalam melimpahkan
sebagian wewenang kepada bawahan, kebijakan dan
keputusan itu dibuat bersama antara bawahan dan
pimpinan, komunikasi dapat berlangsung dua arah
dimana pimpinan ke bawahan dan begitupun sebaliknya,
pengawasan terhadap (sikap, perbuatan, tingkah laku
atau kegiatan) kepada bawahan dilakukan dengan wajar,
prakarsa bisa datang dari bawahan atau pimpinan, bawahan
memiliki banyak kesempatan dalam menyampaikan saran
atau pendapat dan tugas-tugas yang diberikan kepada
bawahan bersifat permintaan dengan mengenyampingkan
sifat instruksi, dan pimpinan akan memperhatikan dalam
bertindak dan bersikap untuk memunculkan saling percaya
dan saling menghormati.

3. Gaya kepemimpinan delegatif


Gaya kepemimpinan delegatif memiliki ciri-ciri
yaitu pemimpin akan jarang dalam memberikan arahan,
pembuat keputusan diserahkan kepada bawahan, dan
anggota organisasi tersebut diharapkan bisa menyelesaikan
segala permasalahannya sendiri. Gaya kepemimpinan
delegatif ini memiliki ciri khas dari perilaku pemimpin
didalam melakukan tugasnya sebagai pemimpin. Dengan
demikian, maka gaya kepemimpinan seorang pemimpin
akan sangat dipengaruhi adanya karakter pribadinya.

38 ETIKA BIROKRAT
Kepemimpinan delegatif merupakan sebuah gaya
kepemimpinan yang dijalankan oleh pimpinan untuk
bawahannya yang mempunyai kemampuan, agar bisa
menjalankan aktivitasnnya yang untuk sementara waktu
tak bisa dilakukan oleh pimpinan dengan berbagai macam
sebab. Gaya kepemimpinan delegatif ini sangat cocok
dilakukan kalau staf yang dimiliki ternyata mempunyai
motivasi dan kemampuan yang tinggi. Dengan demikian
pimpinan tak terlalu banyak dalam memberikan perintah
kepada bawahannya, bahkan pemimpin akan lebih banyak
dalam memberikan dukungan untuk bawahannya.

4. Gaya kepemimpinan birokratis.


Gaya kepemimpinan birokratis ini dilukiskan dengan
pernyataan “Memimpin berdasarkan adanya peraturan”.
Perilaku memimpin yang ditandai dengan adanya
keketatan pelaksanaan suatu prosedur yang telah berlaku
untuk pemimpin dan anak buahnya. Pemimpin yang
birokratis, secara umum akan membuat segala keputusan
itu berdasarkan dari aturan yang telah berlaku dan tidak
ada lagi leksibilitas. Segala kegiatan mesti terpusat pada
pemimpin dan sedikit saja diberikan kebebasan kepada
orang lain dalam berkreasi dan bertindak, itupun tak boleh
melepaskan diri dari ketentuan yang sudah berlaku. Adapun
beberapa ciri gaya kepemimpinan birokratis ialah Pimpinan
akan menentukan segala keputusan yang berhubungan
dengan seluruh pekerjaan dan akan memerintahkan semua
bawahan untuk bisa melaksanakannya; Pemimpin akan
menentukan semua standar tentang bagaimana bawahan
akan melakukan tugas; Adanya sanksi yang sangat jelas
kalau seorang bawahan tidak bisa menjalankan tugas sesuai
dengan standar kinerja yang sudah ditentukan.

KEPEMIMPINAN 39
5. Gaya Kepemimpinan Laissez Faire
Gaya ini akan mendorong kemampuan anggota dalam
mengambil inisiatif. Kurang interaksi dan kontrol yang
telah dilakukan oleh pemimpin, sehingga gaya tersebut
hanya dapat berjalan jika bawahan mampu memperlihatkan
tingkat kompetensi dan keyakinan dalam mengejar tujuan
dan sasaran yangcukup tinggi.
Dalam gaya kepemimpinan ini, pemimpin sedikit
sekali dalam menggunakan kekuasaannya atau sama sekali
telah membiarkan anak buahnya untuk berbuat dalam
sesuka hatinya. Adapun ciri-ciri gaya kepemimpinan
Laissez Faire adalah Bawahan akan diberikan kelonggaran
atau leksibelitas dalam menjalankan tugas-tugasnya,
tetapi dengan hati-hati diberikan batasan serta berbagai
macam prosedur; Bawahan yang sudah berhasil dalam
menyelesaikan tugas-tugasnya akan diberikan hadiah atau
penghargaan, di samping adanya suatu sanksi-sanksi bagi
mereka yang kurang berhasil, sebagai dorongan; Hubungan
antara pimpinan dan bawahan dalam suasana yang sangat
baik secara umum manajer akan bertindak cukup baik;
Manajer akan menyampaikan berbagai macam peraturan
yang berhubungan dengan tugas-tugas atau perintah, dan
sebaliknya para bawahan akan diberikan kebebasan dalam
memberikan pendapatannya.

6. Gaya Kepemimpinan Otoriter/Authoritarian


Adalah gaya pemimpin yang telah memusatkan segala
keputusan dan kebijakan yang ingin diambil dari dirinya
sendiri dengan secara penuh. Segala pembagian tugas dan
tanggung jawab akan dipegang oleh si pemimpin yang
bergaya otoriter tersebut, sedangkan para bawahan hanya
sekedar melaksanakan tugas yang sudah diberikan.
Tipe kepemimpinan yang otoriter biasanya mengarah
kepada tugas. Artinya dengan adanya tugas yang telah

40 ETIKA BIROKRAT
diberikan oleh suatu lembaga atau suatu organisasi, maka
kebijaksanaan dari lembaganya ini mesti diproyeksikan
dalam bagaimana ia dalam memerintah kepada bawahannya
agar mendapatkan kebijaksanaan tersebut dapat tercapai
dengan baik. Di sini bawahan hanyalah menjadi suatu
mesin yang hanya sekedar digerakkan sesuai dengan
kehendaknya sendiri, inisiatif yang datang dari bawahan
sama sekali tidak pernah sekalipun diperhatikan.

7. Gaya Kepemimpinan Karismatis


Kelebihan dari gaya kepemimpinan karismatis ini
ialah mampu menarik orang. Mereka akan terpesona
dengan cara berbicaranya yang akan membangkitkan
semangat. Biasanya pemimpin dengan memiliki gaya
kepribadian ini akan visionaris. Mereka sangat menyenangi
akan perubahan dan adanya tantangan.
Kelemahan terbesar dari tipe kepemimpinan model
ini dapat di analogikan dengan peribahasa Tong Kosong
yang Nyaring Bunyinya. Mereka hanya mampu menarik
orang untuk bisa datang kepada mereka. Setelah beberapa
lama kemudian, orang – orang yang datang tersebut akan
kecewa karena adanya ketidak-konsisten-an. Apa yang telah
diucapkan ternyata tidak dilakukan. Ketika diminta dalam
pertanggungjawabannya, si pemimpin akan senantiasa
memberikan alasan, permintaan maaf, dan janji.

8. Gaya Kepemimpinan Diplomatis


Kelebihan gaya kepemimpinan diplomatis ini terda-
pat di penempatan perspektifnya. Banyak orang seringkali
selalu melihat dari satu sisi, yaitu pada sisi keuntungan
dirinya. Sisanya, melihat dari sisi keuntungan pada lawan-
nya. Hanya pemimpin dengan mengguanakan kepribadian
putih ini yang hanya bisa melihat kedua sisi, dengan jelas!

KEPEMIMPINAN 41
Apa yang dapat menguntungkan dirinya, dan juga dapat
menguntungkan lawannya.
Kesabaran dan kepasifan merupakan kelemahan
pemimpin dengan menggunakan gaya diplomatis ini.
Umumnya, mereka sangat begitu sabar dan sanggup dalam
menerima tekanan. Namun kesabarannya ini dapat sangat
keterlaluan. Mereka dapat menerima perlakuan yang
takmenyengangkan tersebut, tetapi pengikut-pengikutnya
tidak menerimanya. Dan seringkali hal inilah yang membuat
para pengikutnya akan meninggalkan si pemimpin.

9. Gaya Kepemiminan Moralis


Kelebihan dari gaya kepemimpinan moralis seperti
ini ialah pada umumnya Mereka hangat dan sopan untuk
semua orang. Mereka mempunayi empati yang tinggi
terhadap segala permasalahan dari para bawahannya, juga
sabar, murah hati Segala bentuk kebajikan-kebajikan ada
dalam diri pemimpin tersebut. Orang – orang akan datang
karena kehangatannya terlepas dari semua kekurangannya.
Kelemahan dari pemimpinan seperti ini ialah emosinya.
Rata-rata orang seperti ini sangatlah tidak stabil, terkadang
dapat tampak sedih dan sangat mengerikan, kadang pula
bisa saja sangat begitu menyenangkan dan bersahabat.

10. Gaya Kepemimpinan Administratif


Gaya kepemimpinan tipe ini akan terkesan kurang
inovatif dan telalu kaku dalam memandang aturan.
Sikapnya sangat konservatif serta kelihatan sekali takut
di dalam mengambil resiko dan mereka cenderung akan
mencari aman.

11. Gaya kepemimpinan analitis (Analytical).


Dalam gaya kepemimpinan tipe ini, biasanya untuk
pembuatan keputusan didasarkan pada suatu proses

42 ETIKA BIROKRAT
analisis, terutama analisis logika dari setiap informasi
yang didapatkan. Gaya ini akan berorientasi pada hasil
dan akan lebih menekankan pada rencana-rencana rinci
serta berdimensi jangka panjang. Kepemimpinan model
ini sangatlah mengutamakan logika dengan menggunakan
beberap pendekatan-pendekatan yang masuk akal serta
kuantitatif.

12. Gaya kemimpinan asertif (Assertive).


Gaya kepemimpinan ini bersifat lebih agresif dan
memiliki perhatian yang sangat begitu besar pada suatu
pengendalian personal dibandingkan dengan gaya
kepemimpinan yang lainnya. Pemimpin tipe asertif lebih
terbuka didalam konlik dan kritik. Setiap Pengambilan
keputusan muncul dari suatu proses argumentasi dengan
adanya beberapa sudut pandang sehingga muncullah
kesimpulan yang memuaskan.

13. Gaya kepemimpinan entrepreneur.


Gaya kepemimpinan ini sangatlah menaruh
perhatian pada kekuasaan dan hasil akhir serta kurang
mengutamakan untuk kebutuhan akan kerjasama. Gaya
kepemimpinan model ini biasanya akan selalu mencari
pesaing dan akan menargetkan standar yang tinggi.

14. Gaya Kepemimpinan Visioner


Kepemimpinan visioner, merupakan pola kepemim-
pinan yang ditujukan untuk bisa memberi arti pada kerja
dan usaha yang perlu dijalankan secara bersama-sama oleh
para anggota perusahaan dengan cara memberikan arahan
dan makna pada suatu kerja dan usaha yang dilakukan
berdasarkandengan visi yang jelas. Kepemimpinan
Visioner akan memerlukan kompetensi tertentu. Pemimipin
visioner setidaknya mesti mempunya empat kompetensi

KEPEMIMPINAN 43
kunci sebagaimana dikemukakan oleh Burt Nanus (1992),
yaitu: (1) Seorang pemimpin visionermesti mempunayi
kemampuan untuk bisa berkomunikasi secara efektif dengan
manajer dan karyawan lainnya dalam organisasi. Hal ini
membutuhkan pemimpin untuk menghasilkan “guidance,
encouragement, and motivation.”; (2) Seorang pemimpin
visioner mesti dapat memahami lingkungan luar dan dapat
memiliki kemampuan dalam bereaksi secara tepat atas
segala ancaman dan peluang yang datang. Ini termasuk,
yang paling penting, dapat “relate skillfully” dengan
orang-orang kunci yang ada di luar organisasi, namun
memainkan peran yang sangat penting terhadap organisasi
(investor, dan pelanggan); (3) Seorang pemimpin mesti
bisa memegang peran penting didalam membentuk dan
dapat mempengaruhi segala praktek organisasi, prosedur,
produk dan jasa. Seorang pemimpin dalam hal ini mesti
dapat terlibat di dalam organisasi untuk bisa menghasilkan
dan dapat mempertahankan kesempurnaan pelayanan,
sejalan dengan mempersiapkan dan memandu jalan
organisasi ke masa depan (successfully achieved vision);
(4) Seorang pemimpin visioner mesti bisa mempunyai atau
mengembangkan “ceruk” untuk bisa mengantisipasi apa
yang terjadi di masa depan. Ceruk ini merupakan ssebuah
suatu bentuk imajinatif, yang mengacu atas kemampuan
data untuk dapat mengakses segala kebutuhan masa depan
konsumen, teknologi, dan lain sebagainya. Ini termasuk
kemampuan dalam mengatur sumber daya organisasi guna
dapat memperiapkan diri menghadapi adanya kemunculan
kebutuhan dan perubahan ini.
Dalam era turbulensi lingkungan seperti saat
ini, setiap pemimpin mesti siap dan dituntut mampu
dalam melakukan suatu transformasi terlepas dari gaya
kepemimpinan apa yang mereka anut. Pemimpin mesti
mampu dalam mengelola perubahan, termasuk di dalamnya

44 ETIKA BIROKRAT
dapat mengubah budaya organisasi yang tak lagi kondusif
dan produktif. Pemimpin mesti memiliki visi yang tajam,
pandai mengelola keragaman dan dapat mendorong terus
suatu proses pembelajaran karena adanya dinamika suatu
perubahan lingkungan serta adanya persaingan yang
semakin ketat.

15. Gaya Kepemimpinan Situasional


kepemimpinan situasional ialah “a leadership
contingency theory that focuses on followers readiness/
maturity”. Inti dari teori kepemimpinan situational ialah
bahwa suatu gaya kepemimpinan seorang pemimpin akan
dapat berbeda-beda, tergantung dari seperti apa tingkat
kesiapan para pengikutnya.
Pemahaman fundamen dari teori kepemimpinan
situasional ialah mengenai tidak adanya gaya kepemim-
pinan yang paling terbaik. Kepemimpinan yang efektif
ialah bergantung dari relevansi tugas, dan hampir semua
pemimpin yang sukses selalu dapat mengadaptasi gaya
kepemimpinan yang sangat tepat.
Efektivitas kepemimpinan bukan hanya pada soal
pengaruh terhadap individu dan kelompok akan tetapi
bergantung juga terhadap tugas, pekerjaan atau fungsi yang
dibutuhkan secara keseluruhan. Jadi pendekatan pada
kepemimpinan situasional itu mesti fokus pada fenomena
kepemimpinan di dalam suatu situasi yang unik.
Dari cara pandang ini, seorang pemimpin agar
efektif ia mesti mampu dalam menyesuaikan gayanya
terhadap tuntutan situasi yang selalu berubah-ubah.
Teori kepemimpinan situasional akan bertumpu pada
dua konsep yang fundamental yaitu: tingkat kesiapan/
kematangan individu atau kelompok sebagai pengikut dan
gaya kepemimpinan.

KEPEMIMPINAN 45
16. Kepemimpinan Militeristik
Tipe pemimpin seperti ini sangatlah mirip dengan tipe
pemimpin yang otoriter yang merupakan tipe pemimpin
yang senantiasa bertindak sebagai diktator terhadap
para anggota kelompoknya. Adapun sifat-sifat dari tipe
kepemimpinan militeristik yaitu: (1) lebih banyak dalam
menggunakan sistem perintah atau komando, keras dan
sangat begitu otoriter, kaku dan seringkali untuk kurang
bijaksana, (2) menghendaki adanya kepatuhan yang mutlak
dari bawahan, (3) sangat menyenangi suatu formalitas,
upacara-upacara ritual dan tanda-tanda kebesaran yang
terlalu berlebihan, (4) menuntut adanya sebuah disiplin
yang keras dan kaku dari para bawahannya, (5) tidak
menghendaki adanya saran, usul, sugesti, dan kritikan-
kritikan dari bawahannya, (6) komunikasi hanya dapat
berlangsung searah.

46 ETIKA BIROKRAT
BAB IV
BIROKRASI

A. Pengertian dan Sejarah Birokrasi


1. Sejarah Birokrasi
Tulisan tentang dan kritik para teroritisi terhadap
birokrasi publik sejak abad ke-18, dapat ditelusuri mulai dari
M de Goumay yang mengajukan sejumlah pertanyaan tentang
birokrasi, yaitu bagaimana manfaat birokrasi bagi masyarakat,
apakah tujuan dasar dibentuknya birokrasi pemerintah,
bagaimana pelaksanaan fungsi pelayanan birokrasi terhadap
masyarakat. Istilah birokrasi yang pertama kali digunakan
oleh M de Goumay mengacu kepada suatu penyakit yang
melanda pemerintahan, ditandai dengan berbelit-belitnya
prosedur biasanya dikeluhkan oleh pejabat, juru ketik, para
sekretaris, para inspektur dan para intendan yang diangkat
bukannya untuk menguntungkan kepentingan umum, tetapi
kepentingan individu, bahkan kepentingan umum itu untuk
para pejabat (Albrow, 2005: 1).
Perkembangan konsep birokrasi sebenarnya merupakan
salah satu varian dari jenis pemerintahan demokrasi dan
aristokrasi sebagaimana yang dapat dilihat dari tulisan de
Goumay dan Mill. Para teoritisi pada abad ke-19 seperti Van
Mohl, Olzewski dan Le Play banyak memfokuskan kepada

BIROKRASI 47
ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintah dan melihat
birokrasi sebagai hasrat pegawai negeri yang digaji untuk
selalu mencampuri urusan orang lain (Albrow, 2005: 17).
Dalam abad ke-19, terdapat beberapa penulis dan
pemikir yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan
teori birokrasi, antara lain yaitu Gaetano Mosca dan Max
Weber. Mosca dalam bukunya membagi semua pemerintahan
menjadi dua tipe yaitu feudal dan birokratis berdasarkan
kepada kelas yang memerintah. Dalam sistem pemerintahan
feodal, kelas yang memerintah adalah kelas yang sederhana
yang memonopoli fungsi-fungsi ekonomi, politik, militer
atau administrasi. Setelah masyarakat berkembang menjadi
lebih kompleks dan mempunyai fungsi terpisah satu sama
lain, maka pemerintahan dijalankan oleh birokrasi, yaitu
sekelompok pejabat yang digaji (Albrow, 2005: 22).
Ilmuan yang sangat berjasa dalam memperkenalkan
model organisasi birokratis adalah Max Weber. Dapat
dikatakan bahwa konsep birokrasi yang diajukan oleh
Weber masih menjadi acuan sampai sekarang ini,
walaupun mendapat kritik dari ilmuan-ilmuan lain. Weber
membahas peran organisasi dalam suatu masyarakat, dan
mempertanyakan bentuk organisasi yang sesuai bagi sebuah
masyarakat industri yang dijumpai di Eropa pada akhir
abad ke 19. Ia mencoba melukiskan sebuah organisasi yang
ideal organisasi yang secara murni rasional dan yang akan
memberikan eisiensi operasi yang maksimum (Robbins,
1994: 337).
Kontroversi tentang penerapan model birokrasi
Weberian dalam pemerintahan sudah lama berkembang,
bahkan menimbulkan polemik yang belum berakhir sampai
saat ini. Tidak dipungkiri bahwa ada kalangan yang cenderung
menolak model birokrasi Weberian karena menganggap
model birokrasi itu memiliki banyak kelemahan. Meskipun
demikian, sebagian kalangan praktisi administrasi publik

48 ETIKA BIROKRAT
yang telah lama berkecimpung dalam lingkungan birokrasi,
melihat bahwa model birokrasi Weberian masih diperlukan
sampai saat ini. Alasan yang dikemukakan oleh kalangan yang
disebutkan terakhir ini, bahwa sejauh ini belum ada model
pengaturan kelembagaan alternatif yang cukup lengkap dan
menye-luruh yang dapat digunakan untuk menggantikan
birokrasi Weberian.
Dalam Ilmu Administrasi Publik, birokrasi memiliki
sejumlah makna, di antaranya adalah pemerintahan yang
dijalankan oleh suatu biro yang biasanya disebut dengan
oicialism, badan eksekutif pemerintah (the executive organs
of government), dan keseluruhan pejabat publik (public
oicials), baik itu pejabat tinggi ataupun rendah (Albrow,
2005: 116-117). Diantara ketiga makna tersebut, karakteristik
umum yang melekat pada birokrasi adalah keberadaannya
sebagai suatu lembaga pemerintah. Makna birokrasi sebagai
lembaga pemerintah muncul karena lembaga pemerintah
pada umumnya selalu berbentuk birokrasi. Skala organisasi
pemerintah yang besar dan luas cakupannya mendorong
mereka untuk memilih birokrasi yang memiliki karakteristik
sebagai birokrasi Weberian.
Dalam konteks Indonesia, lembaga pemerintah pada
umumnya memiliki hierarki yang panjang, prosedur dan
standar operasi yang tertulis, spesialisasi yang rinci, dan
pajabat karier yang menjadi karakteristik birokrasi Weberian.
Oleh karena itu, lembaga pemerintah sering disebut sebagai
birokrasi pemerintah. Karena kinerja birokrasi pemerintah
pada umumnya cenderung buruk dan mengecewakan,
khususnya yang berkaitan dengan pelayanan publik, sehingga
pandangan masyarakat terhadap birokrasi pemerintah
cenderung negatif yang pada akhirnya menimbulkan stereotif
yang negatif tentang konsep birokrasi Weberian. Robbins
(1994: 338) mengutip konsep birokrasi ideal dari Weber yang
terdiri dari 7 elemen, sebagai berikut:

BIROKRASI 49
a) Spesialisasi pekerjaan, yaitu semua pekerjaan dilakukan
dalam kesederhanaan, rutinitas dan mendeinisikan tugas
dengan baik.
b) Hierarki kewenangan yang jelas, yaitu sebuah struktur
multi tingkat yang formal, dengan posisi hierarki atau
jabatan, yang memastikan bahwa setiap jabatan yang
lebih rendah berada di bawah supervisi dan kontrol dari
yang lebih tinggi.
c) Formalisasi yang tinggi, yaitu semua anggota organisasi
diseleksi dalam basis kualiikasi yang didemonstrasikan
dengan pelatihan, pendidikan atau latihan formal.
d) Pengambilan keputusan mengenai penempatan pegawai
yang didasarkan atas kemampuan, yaitu keputusan
tentang seleksi dan promosi didasarkan atas kualiikasi
teknis, kemampuan dan prestasi para calon.
e) Bersifat tidak pribadi (impersonalitas), yaitu sanksi-sanksi
diterap-kan secara seragam dan tanpa perasaan peribadi
untuk menghindari keterlibatan dengan keperibadian
individual dan freferensi peribadi para anggota.
f) Jejak karier bagi para pegawai, yaitu para pegawai
diharapkan mengejar karier dalam organisasi. Sebagai
imbalan atas komitmen terhadap karier tersebut, para
pegawai mempunyai masa jabatan, artinya mereka akan
dipertahankan meskipun mereka “kehabisan tenaga”
atau jika kepandaiannya tidak terpakai lagi.
g) Kehidupan organisasi yang dipisahkan dengan jelas
dari kehidupan peribadi, yaitu pejabat tidak bebas
menggunakan jabatannya untuk keperluan dan
kepentingan pribadinya termasuk keluarganya.
Tipe ideal birokrasi Weber tersebut di atas, sampai saat
ini belum sepenuhnya dapat diimplementasikan di Indonesia
sebagaimana yang diharapkan pencetusnya. Bahkan Weber
mempertegas dalam teorinya bahwa satu-satunya cara bagi
masyarakat modern untuk mengoperasikan secara efektif

50 ETIKA BIROKRAT
konsep ideal tersebut di atas ialah dengan mengorgani-sasikan
spesialis-spesialis birokrasi yang fungsional dan terlatih. Hal
ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh LeMay (Islamy,
2003) bahwa sebagai organisasi yang cenderung semakin
besar, membutuhkan pemba-gian kerja yang lebih kecil atau
bersifat khusus.
Weber sebenarnya memperhitungkan tiga elemen pokok
dalam konsep birokrasinya, yaitu: (1) birokrasi dipandang
sebagai instrumen teknis. (2) birokrasi dipandang sebagai
kekuatan independen. (3) birokrasi dipandang mampu
keluar dari fungsinya yang sebenarnya karena anggotanya
cenderung berasal dari kelas sosial yang partikular (Thoha,
2003: 19). Konsep birokrasi weberian berasumsi bahwa
birokrasi dibentuk independen dari kekuatan politik. Ia
berada di luar atau di atas aktor-aktor politik yang saling
berkompetisi satu sama lain. Birokrasi pemerintah diposisikan
sebagai kekuatan yang netral, lebih mengutamakan kepen-
tingan negara dan rakyat secara keseluruhan, sehingga
siapapun kekuatan politik yang memerintah birokrat dan
birokrasinya memberikan pelayanan terbaik kepadanya.
Pemikir lain yang juga penting untuk ditampilkan
dalam pemba-hasan birokrasi adalah Karl Marx (Thoha,
2003: 23). Pemikiran Marx tentang birokrasi merupakan
suatu gejala yang bisa dipergunakan secara terbatas dalam
hubungannnya dengan administrasi negara. Pandangannya
terhadap birokrasi hanya bisa difahami dalam kerangka
umum teorinya tentang perjuangan kelas, krisis kapitalisme,
dan pengembangan komu-nisme.
Marx mengelaborasi birokrasi dengan cara menganalisis
ilsafat Hegel tentang negara. Hegel berpendapat bahwa
administrasi negara (birokrasi) sebagai suatu jembatan
yang menghubungkan antara negara (pemerintah) dengan
masyarakatnya. Adapun masyarakat itu terdiri dari
kelompok-kelompok professional, usahawan dan lain

BIROKRASI 51
kelompok yang mewakili bermacam-macam kepentingan
particular (khusus). Meskipun Marx terinspirasi oleh
pemikiran Hegel, namun Marx berpendapat bahwa
negara itu tidak mewakili kepentingan umum. Bahkan ia
mengatakan bahwa kepentingan umum itu tidak ada, yang
ada adalah kepentingan partikular yang mendominasi
kepentingan partikular lainnnya. Kepen-tingan particular
yang memenangkan perjuangan kelas sehingga menjadi
kelas yang dominan itulah yang berkuasa. Menurut Marx
birokrasi adalah negara atau pemerintah itu sendiri. Birokrasi
merupakan instrumen yang dipergunakan oleh kelas yang
dominan untuk melaksanakan kekuasaan dominasinya
atas kelas-kelas sosial lainnya. Dengan kata lain, birokrasi
memihak kepada kelas partikular yang mendominasi
tersebut.
Hal yang sangat menarik adalah kritik yang
disampaikan Warren Bennis (Robbins, 1994:349), bahwa
struktur birokratik terlalu mekanis bagi kebutuhan
organisasi modern. Ia menyatakan bahwa struktur tersebut
telah usang, karena didesain untuk menghadapi lingkungan
yang stabil, sedangkan kebutuhan saat ini adalah struktur
yang dirancang untuk menanggapi perubahan yang
terjadi secara efektif. Bennis mencoba melakukan prediksi
masa depan tentang berbagai macam perubahan yang
pada gilirannya akan mempengaruhi eksistensi birokrasi.
Menurut Bennis, birokrasi merupakan penemuan sosial
yang sangat elegan, suatu bentuk kemampuan yang luar
biasa untuk mengorganisasikan, mengkoor-dinasikan
proses-proses kegiatan yang produktif pada masa revolusi
Industri. Birokrasi dikembangkan untuk menjawab berbagai
persoalan yang hangat pada waktu itu, misalnya persoalan
pengurangan peran-peran personal, persoalan subyektivitas
yang berlebihan, dan tidak dihargainya hubungan kerja

52 ETIKA BIROKRAT
kemanusiaan.
Singkatnya, dalam pandangan Bennis, birokrasi adalah
produk kultural dan sangat terikat oleh proses zaman pada
saat kemunculannya. Kita sangat membutuhkan birokrasi
yang berorientasi kemanusiaan, tidak secara konseptual
semata tapi merambah pada tataran praktis di lapangan. Hal
ini menjadi pekerjaan sangat penting untuk mendekatkan
birokrasi pada manusia, bukan lagi pada mesin. Sebuah
teori akan diuji menurut kelayakan historis dan kebutuhan
pada sebuah masa. Birokrasi yang humanis masih menjadi
pekerjaan rumah yang harus serius digarap oleh para
pemerhati masalah-masalah adminsitrasi negara dan
kebijakan publik.
Nada pesimistik Bennis yang menggambarkan kondisi-
kondisi sebagai penyebab matinya birokrasi dibantah oleh
Robert Miewald (Robbins, 1994:349-352) dengan mengajukan
argumentasi tandingan, bahwa birokrasi dapat menyesuaikan
diri dengan lingkungan yang berubah dan dinamis. Miewald
menegaskan bahwa Weber tidak pernah mengatakan
bahwa karakteristik-karakteristik birokrasi akan berlaku
untuk selama-lamanya. Sasaran utama dari Weber adalah
menciptakan sebuah bentuk rasional dan eisien. Bentuk
tersebut adalah birokrasi. Bentuk apapun yang diperlukan
untuk mempertahankan rasionalitas seperti eisiensi akan
menghasilkan birokrasi. Perkembangan birokrasi profe-
sional adalah contoh yang sempurna mengenai karakteristik
birokrasi yang dimodiikasi.
Pengkritisi lain terhadap birokrasi Weber adalah Fried W.
Riggs. Dalam penelitiannya di beberapa negara berkembang,
ia menemukan model birokrasi yang disebutnya sebagai
“model sala” atau biasa disebut dengan “model prismatik”.
Menurur Riggs (Robbins, 1994: 103) Kata sala diambil dari
bahasa Spanyol yang sering menunjuk arti kantor pemerintah
di negara-negara Amerika Latin. Arti sala secara umum ialah

BIROKRASI 53
“ruangan”, bahasa Perancis menyebutnya “Salle” yang pada
dasarnya masih serumpun. dalam penggunaan sehari-hari,
kata sala mengandung arti ruangan pribadi dalam suatu
rumah-keagamaan-ruangan pertemuan umum, tetapi juga
dan bahkan terutama mengandung arti kantor pemerintah.
Beberapa karakteristik birokrasi model keliru yang
dikemukakan oleh Riggs (Robbins, 1994: 105) yaitu; struktur
prismatik akan memper-kokoh pemborosan birokrasi-
Korupsi telah melembaga. Sementara pejabat menikmati
kedudukannnya karena leluasa memeras uang suap dalam
penentuan anggaran, semua tergantunng pada keahlian serta
besarnya pengaruh pejabat yang harus memperjuangkan
pengajuan anggaran, beberapa ketentuan tidak dapat
digunakan untuk mengatasi kekurangan anggaran suatu
biro, sedang kenyataannya anggaran terbuang sia-sia di
berbagai biro lainnya dalam model prismatic, hubungan
antara adminis-trator dengan pengikut sudah demikian
terstruktur, sehingga bobot berbagai sanksi akan memaksa
para pejabat model sala lebih cenderung menggunakan
kekerasan daripada menerapkan undang-undang. Terbu-
kanya kesempatan menerima suap lebih mendorong para
petugas pelaksana model sala menunda-nunda pekerjaan
dan mengintroduksi berbagai hambatan teknis dengan tujuan
agar dapat memetik imbalan pelayanan atas pekerjaan yang
seharusnya tidak dipungut biaya.
Gambaran birokrasi pemerintah seperti yang dikemu-
kakan oleh Riggs tersebut sangat bertentangan dengan
substansi birokrasi yang dikemukakan oleh Weber. Meskipun
kritik terhadap birokrasi Weber selalu muncul, namun
kenyataaan menunjukkan bahwa birokrasi ada dimana-mana,
perusahaan-perusahaan besar pada umumnya berstruktur
birokrasi, bahkan untuk kelompok yang terdiri dari beberapa
orang saja, birokrasi merupakan cara yang paling eisien
untuk mengorganisasikan sesuatu, sehingga pertanyaannya

54 ETIKA BIROKRAT
adalah mengapa birokrasi dapat berjaya terus sampai saat ini.
Mungkinkah karena karakteristik birokrasi yang dirumuskan
oleh Weber itulah yang menyebabkan demikian atau mungkin
ada faktor lain yang menjadi keampuhan birokrasi.
Salah satu agenda utama dan pertama yang harus
dilakukan dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan
birokrasi pemerintah terhadap masyarakatnya, adalah
perubahan perilaku aparatur birokrasi dalam memberikan
pelayanan. Paradigma perilaku birokrasi harus diubah dari
yang lebih condong sebagai abdi negara ketimbang abdi
masyarakat diubah menjadi lebih mengutamakan peranan
sebagai abdi masyarakat ketimbang abdi negara. Pada
hakekatnya, jika aparatur birokrasi sudah melaksanakan
tugasnya dengan sepenuh hati maka sesungguhnya mereka
telah melaksanakan tugasnya dengan baik sebagai abdi
masyarakat maupun sebagai abdi negara. Dengan perilaku
aparatur birokrasi yang berorientasi pada kepuasan
masyarakat, maka diharapkan melahirkan dan meningkatkan
partisipasi masyarakat kepada birokrasi pemerintah dalam
menyelenggarakan tugas pemerintahan, pembangunan dan
pelayanan kepada masyarakat. Dengan demikian maka
keberadaan birokrasi pemerintah bukan hanya karena adanya
dukungan legalitas formal, tetapi keberadaannya didukung
dan dibutuhkan oleh masyarakat.
Birokrasi memiliki beberapa fungsi, diantaranya adalah
fungsi pengaturan. Fungsi ini mutlak terselenggara dengan
efektif, karena suatu pemerintahan negara diberi wewenang
untuk melaksanakan berbagai peraturan perundang-
undangan yang ditentukan oleh lembaga legislatif melalui
berbagai ketentuan pelaksanaan dan kebijaksanaannya.
Persoalan yang sering muncul dalam praktik, acapkali terjadi
kekakuan dalam implementasi aturan. Kekakuan ini dapat
terlihat pada interpretasi secara hariah, padahal yang lebih
diperlukan adalah menegakkan hukum dan peraturan itu

BIROKRASI 55
dilihat dari semangat dan jiwanya, artinya bahwa pendekatan
yang digunakan adalah pendekatan situasional (Siagian,
2000: 147).

2. Lingkungan Birokrasi
Pembahasan tentanng birokrasi sebagai organisasi
tidak dapat dipisahkan dengan faktor lingkungan. Kehadiran
teori sistem sebagai pelopor perspektif modern membuka
wawasan baru dalam teori organisasi. Berbeda dengan
perspektif klasik, maka perspektif modern memasukkan
unsur lingkungan sebagai determinan dan mencoba
mengembangkan teori-teori yang menjelaskan hubungan
organisasi dan lingkungan. Berkaitan dengan ini Hatch
(1997: 76) mengelompokkannya ke dalam dua periode,
yaitu: (1) periode awal 1960-an hingga akhir 1970-an, dimana
teori-teori yang dikembangkan bersifat kontingensi dalam
arti lingkungan mempengaruhi organisasi, dan (2) periode
awal 1980-an sampai sekarang, dimana teori-teori yang
dikembangkan lebih ditekankan pada penjelasan secara
lebih detail tentang bagaimana lingkungan mempengaruhi
organisasi.
Burn dan Stalker dalam penelitiannya di Inggris dan
Scotlandia menemukan bahwa organisasi-organisasi yang
mereka teliti ternyata dapat dibedakan menjadi dua jenis
struktur yang berbeda, yaitu struktur mekanik dan organik
(Efendi, 1986: 51). Meskipun penelitian ini dilakukan
terhadap organisasi-organisasi industri, namun klasiikasi
ini juga ditemukan pada organisasi publik atau birokrasi
pemerintah.
Struktur organisasi yang mekanistik dibuat atas dasar
pertim-bangan bahwa sistem kerja yang stabil dibutuhkan
agar organisasi dapat menjalankan berbagai fungsinyasecara
efektif dan eisien. Oleh karena itu, untuk setiap posisi
atau jabatan di dalam organisasi harus ditentukan secara

56 ETIKA BIROKRAT
jelas otoritas atau wewenangnya, kebutuhan informasi,
kompetensi, dan aktivitas teknis yang dilakukan. Mereka
yang menduduki posisi tersebut tidak boleh melanggar batas-
batas yang telah ditentukan. Dengan cara ini, organisasi dapat
berjalan secara eisien karena dodasarkan pada prosedur-
prosedur yang distandardisasi, terutama untuk tugas-tugas
yang bersifat rutin.
Sedangkan struktur organik bekerja dengan prinsip
sebaliknya. Struktur ini mengandalkan kreativitas dan daya
adaptasi individu dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Oleh
karena itu batasan-batasan sebagai-mana telah disebutkan
diupayakan seminimal mungkin, sehingga anggota organisasi
memiliki ruang yang lebih luas untuk menyesuaikan
berbagai tugasnya sejalan dengan perubahan lingkungan
yang dihadapi. Menurut Burn dan Stalker (Efendi, 1986: 67),
bahwa organisasi mekanistik berjalan efektif jika lingkungan
yang dihadapi stabil dan tugas-tugas yang dilakukan dapat
ditangani dengan mekanisme yang bersifat rutin. Sementara
untuk lingkungan yang cenderung berubah-ubah dan sifat
permasalahannya tidak dapat diatasi dengan cara-cara rutin,
organisasi organik akan lebih mendukung (Kusdi, 2009: 73-
74).
Eksistensi birokrasi sebagai suatu organisasi memang
tidak dapat dipisahkan dengan lingkungannya. Lingkungan
yang dimaksud dapat berupa lingkungan internal dan
eksternal organisasi. Menuru Matheus dan Sulistiyani (Jumiati,
2012: 67) lingkungan internal organisasi tidak saja meliputi
kondisi isik yang sifatnya kasat mata, melainkan hal-hal yang
tidak secara eksplisit terlihat akan tetapi juga mempengaruhi
kondisi lingkungan internal, seperti budaya kerja, kebiasaan-
kebiasaan pegawai, perilaku organisasi, sistem diskresi,
dan lain-lain. Kondisi internal pegawai tersebut senantiasa
berubah dan berkembang, sehingga menuntut sebuah
pembelajaran yang sesuai, agar permasalahan-permasalahan

BIROKRASI 57
yang muncul dapat diantisipasi. Sedangkan lingkungan
eksternal meliputi instansi-instansi lain, organisasi swasta,
masyaralat, kebijakan-kebijakan pemerintah, teknologi,
kondisi sosial ekonomi yang mengalami dinamika dari waktu
ke waktu.

3. Urgensi Sumber Daya Manusia dalam Birokrasi


Pemberdayaan organisasi merupakan konsekuensi
untuk menang-gapi perubahan, utamanya difokuskan
pada Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai pelaku utama
perubahan. SDM tidak sekedar menjadi alat untuk mencapai
tujuan nmelainkan sebagai human capital yang berharga.
Oleh karena itu, manajemen SDM perlu mendapat perhatian
terutama dalam upaya peningkatan kualitasnya.
Agar SDM dapat menunjukkan “daya yang lebih”
maka perlu adanya model pemberdayaan seperti; pemberian
peran, penempatan dalam jabatan, motivasi pimpinan,
menghubungkan tanggung jawab dan menum-buhkan
budaya organisasi yang kondusif untuk meningkatkan kinerja
organisasi. Dalam hubungan pemberdayaan SDM, juga
diperlukan pengembangan strategi yang tepat, yaitu: inward
looking, outward looking, dan mengembangkan kemitraan.
Pemberdayaan SDM dimaksud, diimplementasikan pada
organisasi melalui pemberian kewenangan yang jelas,
pengembangan kompetensi, pengembangan kepercayaan,
peman-faatan peluang, pemberian tanggung jawab, dan
pengembangan budaya organisasi (Sedarmayanti, 2010:
286).
Manajemen SDM merupakan serangkaian aktivitas
yang dilakukan dalam pengelolaan SDM. Serangkaian
aktivitas tersebut dilakukan secara berkelanjutan, sehingga
tercipta SDM yang mampu mendukung organi-sasi. Dengan
demikian ada jaminan bagi kemajuan dan perkembangan
organisasi secara menyeluruh. Berkaitan dengan itu Harvey

58 ETIKA BIROKRAT
dan Bowin (1996) mengemukakan beberapa langkah penting
untuk dilakukan yang disebutnya sebagai The Succes System
Model (Goodin, 1996: 53-54), yaitu:
a) Anticipating (antisipasi); Organisasi terlebih dahulu
menentukan manajemen SDM. Sistem ini harus dapat
mengantisipasi kemung-kinan-kemungkinan di masa
depan, mampu mengindikasikan kecen-derungan terbaru
dan mengembangkan program-program yang dapat
memenuhi perubahan kondisi.
b) Atracting (penarikan); Organisasi mulai memusatkan
perhatian pada aktivitas yang ditujukan untuk
meyakinkan bahwa organisasi mampu mencari orang-
orang yang sesuai dengan kualiikasi yang dibutuh-kan,
diantaranya meliputi analisis jabatan, penarikan, seleksi,
yang didahului oleh issu legal yang berkaitan dengan
penerimaan pegawai, yaitu Equal Employment Opportunity
(EEO).
c) Developing (pengembangan); Setelah organisasi mencari
dan mene-mukan orang yang sesuai dengan kualiikasi
yang dibutuhkan, maka selanjutnya diikuti dengan
pengembangan agar dapat menun-jukkan kinerja yang
tinggi. Upaya ini dimaksudkan dapat diperoleh dengan
melalui pelatihan dan pengembangan pegawai, baik
pada tingkat manajer maupun pada tingkat bawahan.
Termasuk dalam aktivitas ini adalah penilaian kinerja
pegawai, pelatihan, pengembangan organi-sasi dan
pengembangan karier.
d) Motivating (memotivasi); Motivasi perlu dilakukan agar
mereka bekerja dengan baik, sehingga menghasilkan
kinerja yang tinggi. Untuk itu haruslah diketahui
bagaimana cara memotivasi pegawai yang ada, misalnya
dengan sistem konmpensasi yang berfungsi untuk
memotivasi pegawai, seperti; gaji, insentif, dan berbagai

BIROKRASI 59
program keterlibatan pegawai.
e) Maintaining (memelihara); Aktivitas ini harus diikuti
dengan adanya komunikasi yang terbuka sebagai alat
utama dalam memelihara hubungan dengan pegawai
yang efektif. Hubungan pegawai meru-pakan faktor
penting karena akan mempengaruhi berbagai aktivitas
SDM.
f) Changing for Success (perubahan untuk sukses); Dalam
kondisi lingkungan yang terus berubah, manajemen
SDM memberikan pendekatan untuk mengembangkan
strategi-strategi baru, yakni mengadakan perubahan
budaya organisasi dan mengelola keragaman SDM.
Aktivitas ini akan menjadi pengkajian ulang struktur
organisasi, budaya dan proses manajerial, mengelola
perubahan sikap, nilai dan prosedur sehubungan dengan
keragaman SDM.
g) Focusing (pemfokusan); Mengukur efektiitas SDM dapat
dilakukan dengan mengevaluasi sejauhmana efektivitas
SDM dilakukan dalam organisasi. Berbagai alat dapat
digunakan, mulai dari survey tentang sikap pegawai
sampai dengan formal audit SDM. Untuk menunjang
aktivitas ini diperlukan sikap dan tindakan yang pro aktif
dari para manajer SDM, sehingga dapat menghadapi
situasi yang terus berubah.

B. Etika Birokrasi
Di negara-negara berkembang, tugas utama birokrasi leb-
ih dititik-beratkan untuk memperlancar proses pembangunan.
Itulah sebabnya banyak penulis yang menganalisis administra-
si negara-negara berkembang menggu-nakan istilah birokrasi
pembangunan atau administrasi pembangunan. Deinisi yang
sederhana mengatakan bahwa pembangunan adalah proses pe-
rubahan dari suatu keadaan tertentu kearah keadaan lain yang

60 ETIKA BIROKRAT
lebih baik. Kaz (1965). Dalam tugas-tugas pembangunan, aparat
administrasi diharapkan memiliki komitmen terhadap tujuan-
tujuan pembangunan, baik dalam perumusan kebijakan mau-
pun dalam pelaksanaannya secara efektif dan eisien. Dia harus
berorientasi kepada kegiatan (bukan hanya terpaku pada aturan-
aturan legalistik), mampu memecahkan masalah-masalah ke-
masyara-katan, serta mampu merumuskan kebijakan-kebijakan
tertentu ke arah kemajuan. Singkatnya, dia harus mampu men-
jadi agen-agen perubahan (change agents).
Dengan demikian, wajarlah apabila para administrator
pembangunan diberi hak-hak untuk mengambil kebijakan-kebi-
jakan yang diperlukan berdasarkan pertimbangan rasional dan
pengalaman yang dimilikinya. Keleluasaan untuk mengambil
kebijakan administratif (administrative discretion) ini diberikan su-
paya pemerintahan dapat berjalan secara efektif dan proyek-
proyek pembangunan yang kerapkali membutuhkan pengam-
bilan keputusan yang cepat itu dapat terlaksana dengan lancar.
Sayangnya, tidak setiap administrator menyadari bahwa mer-
eka mengemban tugas berat yang hams selalu dipertanggung-
jawabkan kepada rakyat. Seharusnya para administrator mem-
pergunakan hak-hak diskresinya untuk situasi unik yang belum
terdapat dalam peraturan, untuk masalah-masalah yang lidak
terlalu berpengaruh secara makro, atau untuk kebijakan- kebi-
jakan yang benar-benar urgen dan mendesak. Tetapi dalam ban-
yak kasus mereka selalu mempergunakan hak-hak yang melekat
dalam jabatannya, dan lebih buruk lagi mereka tidak melibat-
kan pertimbangan-pertimbangan rasional. Davis mengatakan
bahwa di negara-negara yang tengah melakukan usaha-usaha
modernisasi, banyak pejabat publik yang kini memiliki terlalu
banyak diskresi. Oleh sebab itu, tindakan-tindakan restruk-
turisasi perlu dilakukan untuk membatasi, menyusun kembali,
dan mengevaluasi pelbagai diskresi tersebut guna mencipta-
kan masyarakat yang lebih adil. (Davis, 1976: 3). Di negara kita,

BIROKRASI 61
pertanggungjawaban administratif terhadap masalah-masalah
pembangunan akan semakin diperlukan terutama jika diingat
bahwa pendekatan legalistik melalui Peradilan Tata Usaha Neg-
ara (PTUN) belum bisa betul-betul diterapkan. Jalan yang bisa
ditempuh adalah melalui sistem pertanggungjawaban kepada
tingkat-tingkat administratif yang lebih tinggi, atau melalui dia-
log terus-menerus secara terbuka dengan komponen-komponen
yang berfungsi menyalurkan aspirasi masyarakat. Betapapun
administrasi pembangunan tidak berjalan dalam kondisi vakum
politik, karena pelaksanaannya harus dapat dipertanggung-
jawabkan secara politik pula. Proses administrasi memperoleh
legitimasinya dari kehendak politik rakyat sehingga sudah se-
layaknya kalau ia mencerminkan kemauan rakyat sampai kepa-
da tingkat kebijakan yang paling mikro.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pembangunan nasional kita
selama kurun waktu 25 (dua puluh lima) tahun terakhir telah
berhasil mengangkat taraf kemakmuran ekonomis masyarakat.
Akan tetapi, prestasi ini tidak dibarengi dengan meningkatnya
kesejahteraan dipandang dari aspek-aspek sosial dan nilai-nilai
demokrasi. Pelaksanaan pembangunan komunitas pada skala
luas hanya menghasilkan tidak lebih dari seperangkat program
dan target baru yang dirumuskan dari pusat dengan pelaksana
struktur-struktur birokrasi yang konvensional dan tidak tang-
gap terhadap preferensi atau kebutuhan-kebutuhan rakyat se-
tempat. Secara rinci Korten mengemukakan ciri-ciri program
pembangunan pada kebanyakan negara berkembang, antara
lain: (a) ketergantungan pada organisasi-organisasi birokrasi
terpusat yang hanya mempunyai sedikit kemampuan untuk
menanggapi beraneka-ragam kebutuhan khas komunitas; keter-
gantungan ini juga tampak dalam perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan “partisipatif”; (b) investasi yang tidak memadai
dalam proses pengembangan kemampuan komunitas untuk
memecahkan masalah; (c) perhatian yang kurang dalam menan-

62 ETIKA BIROKRAT
gani keanekaragaman masyarakat, terutama dalam hal struktur
sosial pedesaan yang sangat berlapis-lapis; dan (d) tidak cukup-
nya integrasi antara komponen-komponen teknis dengan sosial
dalam upaya pembangunan. Untuk itu, Korten (1988: 231-249)
mengusulkan supaya program-program pembangunan tidak
hanya berdasarkan ancangan “cetak biru” yang terlalu kaku me-
lainkan diupayakan agar terjadi proses belajar (learning process)
yang bermanfaat bagi rakyat. Tantangan yang harus dihadapi
untuk menuju model pembangunan partisipatoris ialah usaha-
usaha pemaduan pelaksanaan kerja, pendidikan, dan pemben-
tukan lembaga ke dalam sebuah proses belajar yang koheren.
(Korten, 1988: 231-249). Ini hanya bisa dilaksanakan jika para
administrator bersedia selalu membuka diri untuk tidak hanya
terpancang pada pemahaman teknis dan asas-asas manajerial
dalam proses administratif tetapi juga membuka diri terhadap
pemahaman mengenai karakter dan kultur masyarakat.
Rumusan yang terdapat dalam Garis-garis Besar Haluan
Negara secara eksplisit telah menyebutkan bahwa ideologi pem-
bangunan yang kita anut mencita-citakan pembangunan manu-
sia seutuhnya. Itu berarti bahwa pembangunan nasional tidak
hanya mengutamakan tercukupinya kebutuhan-kebutuhan ma-
teri, sistem ekonomi yang sehat, dan taraf hidup yang lebih baik,
melainkan juga terbinanya manusia-manusia Indonesia yang
berwatak, berkepribadian, memiliki rasionalitas dan visi ke de-
pan, dan mempunyai nilai-nilai moralitas yang tinggi. Manusia
tidak ditempatkan sebagai objek pembangunan, tetapi sebagai
subjek atau titik sentral yang akan menentukan arah pembangu-
nan itu sendiri. Maka para administrator yang terlibat langsung
dalam perencanaan maupun operasionalisasi program-program
pembangunan diharuskan untuk selalu mempertimbangkan
nilai-nilai yang wajib dianut dalam melaksanakan tugas-tugas
kedinasan mereka. Asas-asas pembangunan yang manusiawi
itu mungkin terlalu abstrak untuk dikaitkan dengan tugas-tugas

BIROKRASI 63
yang bersifat teknis, tetapi melalui penilaian yang bijaksana dari
para administrator semua kebijakan akan selalu mengandung
konsekuensi yang terkait dengan ide-ide pembangunan yang
paling mendasar tersebut.

64 ETIKA BIROKRAT
BAB V
PELAYANAN PUBLIK

A. Pengertian Pelayanan Publik


Menurut Kotler (Laksana, 2008: 190) pelayanan adalah
setiap tin-dakan atau kegiatan yanga dapat ditawarkan oleh
suatu pihak kepada pihak lain, yang pada dasarnya tidak
berwujud dan tidak mengakibatkan kepemi-likan apapun.
Sedangkan Gronroos dalam Tjiptono (2005: 76) menyatakan
bahwa pelayanan merupakan proses yang terdiri atas serangkaian
aktivitas intangible yang biasa (namun tidak harus selalu)
terjadi pada interaksi antara pelanggan dan karyawan, jasa dan
sumber daya, isik atau barang, dan sistem penyedia jasa, yang
disediakan sebagai solusi atas masalah pelanggan. Sementara
itu, menurut Lovelock, Peterson & Walker dalam Tjiptono (2005:
80) mengemukakan perspektif pelayanan sebagai sebuah sistem,
dimana setiap bisnis jasa dipandang sebagai sebuah sistem yang
terdiri atas dua komponen utama: (1) operasai jasa; dan (2)
penyampaian jasa.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa pelayanan merupakan suatu bentuk sistem,
prosedur atau metode tertentu diberikan kepada orang lain,
dalam hal ini, kebutuhan pelanggan tersebut dapat terpenuhi

PELAYANAN PUBLIK 65
sesuai dengan harapan atau keinginan pelanggan dengan tingkat
persepsi mereka.
Ada tiga faktor yang menyebabkan timbulnya pelayanan
(Laksana, 2008: 199) yaitu: (1) Adanya rasa cinta dan kasih
sayang, yaitu Cinta dan kasih sayang membuat manusia bersedia
mengorbankan apa yang ada padanya sesuai kemampuaanya,
diwujudkan menjadi layanan dan pengorbanan dalam batas
ajaran agama, norma, sopan santun, dan kesusilaan yang hidup
dalam masyarakat, (2) Adanya keyakinan untuk saling tolong
menolong sesamanya, yaitu Rasa tolong menolong merupakan
gerak naluri yang sudah melekat pada manusia. Apa yang
dilakukan oleh seseorang untuk orang lain karena diminta
oleh orang yang membutuhkan pertolongan hakikatnya adalah
pelayanan, disamping ada unsur pengorbanan, namun kata
pelayanan tidak pernah digunakan dalam hubungan ini. dan
(3) Adanya keyakinan bahwa berbuat baik kepada orang lain
adalah salah satu bentuk amal, yaitu Inisiatif berbuat baik timbul
dari orang yang bukan berkepen-tingan untuk membantu orang
yang membu-tuhkan bantuan, proses ini disebut pelayanan.
Keinginan berbuat baik timbul dari orang lain yang membutuhkan
pertolongan, ini disebut bantuan.
Menurut Payne (2000: 139) bahwa layanan pelanggan
terdapat pengertian: (1) Segala kegiatan yang dibutuhkan untuk
menerima, mem-proses, menyampaikan dan memenuhi pesanan
pelanggan dan untuk menindak lanjuti setiap kegiatan yang
mengandung kekeliruan. (2) Ketepatan waktu dan reabilitas
penyampaian produk dan jasa kepada pelang-gan sesuai dengan
harapan mereka. (3) Serangkaian kegiatan yang meliputi semua
bidang bisnis yang terpadu untuk menyampaikkan produk
dan jasa tersebut sedemikian rupa sehingga dipersep-sikan
memuaskan oleh pelanggan dan yang merealisasikan pencapaian
tujuan-tujuan perusahaan. (4) Total pesanan yang masuk dan
seluruh komunikasi dengan pelanggan. (5) Penyampaian produk

66 ETIKA BIROKRAT
kepada pelanggan tepat waktu dan akurat dengan tidak lanjut
tanggapan keterangan yang akurat.
Disamping itu adanya suatu sistem pelayanan yang baik
terdiri dari tiga elemen (Laksana, 2008: 205), yakni: (1) Strategi
pelayanan, suatu strategi untuk memberikan layanan dengan
mutu yang sebaik mungkin kepada para pelanggan. (2) SDM
yang memberikan layanan. (3) Sistem pelayanan, prosedur atau
tata cara untuk memberikan layanan kepada para pelanggan
yang melibatkan seluruh fasilitas isik yang memiliki dan seluruh
SDM yang ada.
Dalam penetapan sistem pelayanan mencakup strategi
yang dilakukan, dimana pelayanan yang diberikan kepada
pelanggan dapat merasakan langsung, agar tidak terjadai distorsi
tentang suatu kepuasan yang akan mereka terima. Sementara
secara spesiik adanya peranan pelayanan yang diberikan secara
nyata akan memberikan pengaruh bagi semua pihak terhadap
manfaat yang dirasakan pelanggan.

1) Konsep Pelayanan Publik


Konsep Pelayanan publik (public service) sering diguna-
kan dalam berbagai konteks oleh banyak kalangan, baik
ilmuan maupun praktisi dengan makna yang berbeda-beda.
Dalam sejarah perjalanan administrasi publik, pelayanan
publik semula difahami secara sederhana sebagai pelayanan
yang diselenggarakan oleh pemerintah. Konsep pelayanan
publik terdiri dari rangkaian dua kata, yaitu “pelayanan”
dan “publik”. Pelayanan adalah cara melayani, membantu
menyiap-kan, dan mengurus, menyele-saikan keperluan,
kebutuhan seseorang atau kelompok orang, artinya obyek
yang dilayani adalah individu, pribadi-pribadi dan kelompok
organisasi (Sianipar, 1998). Sedangkan publik secara umum
diartikan sebagai masyarakat atau rakyat. Berdasarkan
pengertian itu, maka secara sederhana pelayanan publik
dapat diartikan sebagai suatu pelayanan atau pembe-

PELAYANAN PUBLIK 67
rian terhadap masyarakat yang berupa penggunaan
fasilitas-fasilitas umum, baik jasa maupun non jasa yang
dilakukan oleh organisasi publik dalam hal ini adalah suatu
pemerintahan. Dalam pemerin-tahan, pihak yang memberikan
pelayanan adalah aparatur pemerintahan beserta segenap
kelengkapan kelembagaannya. Semua barang dan jasa yang
diselenggarakan oleh pemerintah kemudian disebut sebagai
pelayanan publik.
Pelayanan publik juga dapat diartikan sebagai
pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau
masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi
itu sesuai dengan aturan pokok dan tatacara yang telah
ditetapkan. Kurniawan (Sinambella, 2010: 76). Selanjutnya
dalam Kepmenpan (No.63/KEP/M.PAN/7.2003), pelayanan
publik diartikan sebagai segala kegiatan pelayanan yang
dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai
upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun
pelaksanaan ketentuan perundang-undangan.
Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang
Pelayanan Publik, pelayanan publik diartikan sebagai
kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan
kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas
barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang
disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Sementara
penyelenggara pelayanan publik yang selanjutnya disebut
penyelenggara adalah setiap institusi penyelenggara negara,
korporasi, lembaga independen yang diben-tuk berdasarkan
undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan
hukum lain yang semata-mata dibentuk untuk kegiatan
pelayanan publik.
Berdasarkan berbagai pengertian tersebut di atas,
maka secara sederhana pelayanan publik dapat diartikan
sebagai segala kegiatan dalam rangka peme-nuhan

68 ETIKA BIROKRAT
kebutuhan dasar sesuai dengan hak-hak dasar setiap warga
negara dan penduduk atas suatu barang, jasa dan atau
pelayanan administrasi yang disediakan oleh penyelenggara
pelayanan yang terkait dengan kepentingan publik. Adapun
penyelenggaranya adalah lembaga dan petugas pelayanan
publik, baik Pemerintah Daerah maupun Badan Usaha Milik
Daerah yang menyelenggarakan pelayanan publik. Sedangkan
penerima pelayanan publik adalah orang perseorangan dan
atau kelompok orang dan atau badan hukum yang memiliki
hak, dan kewajiban terhadap suatu pelayanan publik.
Dalam memahami konsep pelayanan publik, makna
“publik” perlu difahami, baik dalam perkembangan historis
atau latar belakang muncul-nya dan aplikasinya di dalam
manajemen publik. Dalam perkembangan ilmu administrasi
publik, konsep “publik” bermakna luas daripada hanya
“government” (pemerin-tah saja). Sebagai akibat meluasnya
makna konsep publik tersebut, milai-nilai keadilan, kewarga-
negaraan, (citizenship), etika, patriotisme, dan responsiveness
menjadi kajian penting di samping nilai-nilai eisiensi dan
efektivitas. (Nurmandi, 2010: 1).
Pemahaman terhadap sektor publik dan sektor privat
menjadi perdebatan dalam diskursus ilmiah. Perdebatan
itu antara lain menganggap bahwa kajian public sector
merupakan bidang studi administrasi negara, sedangkan
private sector merupakan kajian disiplin menajemen. Secara
substansial diskursus mengenai isu-isu sektor privat dan
publik sudah lama diperdebatkan di Amerika Serikat. Sebagai
kesimpulan umum yang sangat relevan (Haksever, 2000: 27).
Pertama, ada persamaan praktik-praktik manajemen pada
sektor publik dan privat, sehingga yang lebih ditekankan
adalah peranan respektif para manajer di bidangnya masing-
masing. Kedua, ada persamaan praktik-praktik manajemen
pada sektor publik dan privat ke arah meningkatkan
over time. Ketiga, persamaan-persamaan dan perbedaan

PELAYANAN PUBLIK 69
sektor publik dan privat relatif tidak penting, artinya tidak
menghasilkan sifat-sifat yang fundamental. Keempat, karena
peranan dan keahlian antara manajer sektor publik dan
privat berbeda, maka training-training yang digunakan juga
berbeda, manajer sektor publik mungkin akan gagal bila
menjalankan sektor privat begitu juga sebaliknya. Kelima,
gaya manajemen sektor publik berbeda dengan sektor privat.
Mungkin prinsip atau teknik manajemen dapat diterapkan
di dalam kedua sektor tersebut, tetapi dalam tataran praktis
tetap berbeda. Keenam, ada pertukaran nilai antara manajer
sektor publik dan sektor privat dalam menentukan program-
program pelayanan kepada publik.
Beberapa dimensi yang dapat dijabarkan dalam melihat
perbedaan antara sektor publik dan sektor privat seperti yang
dikemukakan oleh Bruce McCallum dalam Zauhar (1996:
87), yaitu dalam hal tujuan dan sasaran, akuntabilitas, merit
system, jaminan kerja, koordinasi, keterlibatan politik dalam
pembuatan kepu-tusan, konsistensi dalam pengambilan
keputusan, personalitas antara manajer publik dan privat.
Perbedaan antara manajemen sektor publik dan
sektor privat dalam hal dimensi tujuan, yaitu sektor publik
memiliki tujuan yang sangat banyak, seragam, bahkan
terkadang kabur dan tidak nyata. Hal ini disebabkan karena
ada polarisasi aspek politis dan ekonomis yang berarti
public sector goal itu tidak begitu nampak seperti halnya
private sector goal. Akuntabilitas dalam sektor publik dan
privat juga berbeda, dalam sektor privat kebebasan untuk
memilih pekerjaan guna meraih tujuan yang dbebankan
kepadanya akan dipertanggungjawabkan kepada komisaris
dan pemegang saham. Dalam sektor publik atasan vertical
bertanggung jawab pada institusi yang berwenang. Tanggung
jawab itu mencakup inansial, administratif, politis serta
pelaksanaan program kerja sesuai dengan yang ditetap-kan.
Ini merupakan konsekuensi peran administrator publik.

70 ETIKA BIROKRAT
Orang yang ditunjuk pada pelayanan publik adalah orang-
orang yang memiliki kriteria tertentu dan dinilai berdasarkan
keahlian, kualiikasi khusus, loyalitas secara politis. Sedang-
kan pada sektor privat, prinsip kepantasan sesuai dengan
kualiikasi keahlian yang berdasarkan prinsip-prinsip
manajemen modern, sehingga maximized proit yang dicapai
akan terwujud.
Perbedaan lain adalah masalah jaminan kerja. Dalam
sektor privat cenderung untuk meningkatkan jaminan dari
jabatan yang diembannya. Dalam hal ini, sektor publik juga
mengikuti trend demikian. Walaupun ada kecenderungan
ke arah security of tenure dari masing-masing sektor, akan
tetapi dalam praktiknya, jumlah imbalan yang diberikan
berbeda. Kenyataan ini disebabkan oleh pengelolaan pada
masing-masing sektor. Sektor privat selalu menggunakan
sumber dana, sumber daya dan sumber-sumber lainnya
mengikuti prosedur dan proses atau standar yang efektif
dan eisien. Segala sesuatunya dihitung dari berapa jumlah
biaya yang harus dikeluarkan dan proit yang akan diterima.
Hasil keuntungan bersih organisasi privat itulah yang akan
didistribusikan kepada pekerja sesuai dengan proporsi
masing-masing.
Fenomena yang terjadi pada sektor privat tersebut tidak
terjadi pada sektor publik. Rumitnya jalur birokrasi serta
tujuan yang bersifat sosial mengakibakan tidak eisiennya
pengelolaan organisasi. Hal tersebut berdampak pada
jaminan yang diberikan juga terbatas. Sektor publik memiliki
koordinasi antardepartemen dan lembaga publik, sementara
sektor privat koordinasinya antara pimpinan dan bawahan
serta komisaris organisasi.
Mendeinisikan pelayanan publik tidak lagi dapat
ditentukan dengan hanya melihat lembaga penyelenggaranya,
yaitu pemerintah atau swasta. Pelayanan publik tidak lagi
tepat untuk difahami sebagai pelayanan dari pemerintah,

PELAYANAN PUBLIK 71
begitu juga pelayanan swasta yang tidak dapat difahami
hanya sebagai pelayanan yang diberikan oleh lembaga non-
pemerintah. Pelayanan publik harus dilihat dari karakteristik
dan sifat dari pelayanan itu sendiri, bukan dari karakteristik
lembaga penyelenggaranya atau sumber pembia-yaannya
semata. Kriteria yang selama ini secara konvensional
digunakan untuk membedakan antara pelayanan publik dan
pelayanan privat tidak dapat lagi digunakan dengan mudah
untuk mendeinisikan pelayanan publik.
Atas dasar itu, maka muncul suatu pertanyaan, apa
yang kemudian dapat digunakan untuk menentukan suatu
pelayanan dapat dikategorikan sebagai pelayanan publik dan
kapan pelayanan itu kehilangan sifatnya sebagai pelayanan
publik?. Menurut Dwiyanto (2008: 18-19) terdapat banyak
kriteria untuk menentukan sebuah pelayanan (barang, jasa
dan administratif) termasuk sebagai pelayanan publik atau
bukan. Adapun kriteria tersebut dapat dilihat pada uraian
berikut.
Kriteria pertama yang biasanya digunakan adalah sifat
dari barang dan jasa itu sendiri (Denhart, 2000: 7). Barang
dan jasa yang termasuk dalam kategori barang publik atau
barang yang memiliki eksternalitas tinggi biasanya tidak
dapat diselenggarakan oleh korporasi atau diserahkan kepada
pasar, karena mereka tidak dapat mengontrol siapa yang
mengkonsumsi barang dan jasa tersebut, sementara barang
dan jasa tersebut sangat penting bagi kehidupan warga dan
masyarakat luas. Karena pelayanan ini sangat penting dan
harus disediakan oleh negara, sehingga pelayanan tersebut
seharusnya menjadi bagian dari pelayanan publik.
Kriteria kedua yang dapat digunakan untuk men-
deinisikan pelayanan publik adalah tujuan dari pelayanan
barang dan jasa. Penyediaan barang dan jasa yang dilakukan
untuk mencapai tujuan dan misi negara, walaupun barang
dan jasa itu bersifat privat, dapat dikatakan sebagai pelayanan

72 ETIKA BIROKRAT
publik. Tujuan dan misi negara biasanya diatur dalam
konstitusi atau peraturan perundangan lainnya.
Semua pelayanan yang memenuhi salah satu dari
kedua kriteria, yaitu merupakan jenis barang atau jasa
yang memiliki eksternalitas tinggi dan sangat diperlukan
oleh masyarakat serta penyediaannya untuk mencapai
tujuan atau misi negara, baik dalam rangka memenuhi
hak dan kebutuhan dasar warga, maupun tujuan strategis
pemerintah, seharusnya dikategorikan sebagai pelayanan
publik. Ketika sebuah pelayanan menjadi pelayanan publik,
maka negara tidak dapat lepas tangan dan menyerahkan
penyeleng-garaannya kepada mekanisme pasar atau
assosiasi sukarela sepenuhnya. Meskipun keterlibatan pasar
untuk berpartisipasi telah meringankan beban pemerintah,
namun untuk menghindari agar keterlibatan tersebut tidak
merugikan kepentingan warga pengguna, maka keterlibatan
pasar atau assosiasi sukarela dalam penyeleng-garaan
layanan publik harus diatur dalam peraturan perundangan.
Berdasarkan kedua kriteria seperti yang telah
disebutkan di atas, maka perbedaan ciri pelayanan publik
dengan pelayanan privat dapat dijelaskan. Pelayanan privat
dapat dideinisikan sebagai kegiatan untuk memenuhi
kebutuhan perseorangan, yang bukan menjadi hajat hidup
orang banyak, bukan menjadi kebutuhan bersama secara
kolektif, dan tidak menjadi bagian dari komitmen pemerintah
untuk memenuhi kebutuhan minimal warganya agar dapat
hidup secara layak. Lembaga pemerintah dan swasta yang
terlibat dalam penyelenggaraan layanan itu, tidak menjadi
bagian dari lembaga penye-lenggara layanan publik.
Sedangkan suatu pelayanan dideinisikan sebagai
pelayanan publik, maka tanggung jawab penyediaannya
menjadi tanggung jawab negara. Tentu hal ini tidak berarti
pemerintah atau unsur penyelenggara negara lainnya harus
melaku-kannya sendiri. Negara dapat melibatkan lembaga

PELAYANAN PUBLIK 73
non pemerintah untuk menye-lenggarakan pelayanan
publik. Dalam penyeleng-garaannya, negara harus menye-
diakan anggaran atau subsidi untuk menjamin semua warga
memiliki akses terhadap pelayanan tersebut.
Berbagai pemikiran yang berkaitan dengan itu,
antara lain dikemu-kakan oleh Denzim & Lincoln (2009:
31-32), dengan membedakan berbagai perspektif dalam
mendeinisikan publik, yaitu:
a) Publik sebagai kelompok kepentingan (perspektif
pluralis);
b) Publik sebagai pemilih rasional (perspektif pilihan
publik);
c) Publik sebagai pihak yang diwakili (perspektif
perwakilan);
d) Publik sebagai pelanggan (perspektif penerima
layanan publik)
e) Publik sebagai warganegara.
Dalam perspektif pluralis, publik difahami sebagai
kelompok kepen-tingan sebagaimana yang dikembangkan
oleh ilmuan politik. Kepentingan (interest) publik disalurkan
sedemikian rupa oleh kelompok kepentingan, baik dalam
bentuk artikulasi kepentingan maupun agregasi kepentingan.
Dalam demokrasi, sebuah atau beberapa kelompok kepen-
tingan melakukan aliansi dengan partai politik untuk
mengartikulasikan kepentingannya.
Pemahaman publik dalam perspektif pemilih rasional
dikembang-kan oleh Buchanan dan Tullock. Mereka
mengembangkan model ekonomi untuk memfor-mulasikan
perilaku indovidu dalam sistem politik. Salah satu karya
yang menerapkan model Buchanan dan Tullock adalah Down
(Denzim & Lincoln, 2009: 34) pada perilaku birokrat dalam
mengkalkulasi preferensi pribadinya. Teori Down tentang
instansi pemerintah adalah: Pertama, menekankan beneit
positif pada kegiatan instansi pemerintah dan mengurangi

74 ETIKA BIROKRAT
biaya; Kedua, Menunjukkan bahwa perluasan pelayanan
instansi akan lebih memenuhi harapan dan pengiritan akan
kurang memenuhi harapan; Ketiga, Instansi lebih membe-
rikan pelayanan pada kepentingan masyarakat dalam arti luas
daripada kepen-tingan yang spesiik; Keempat, menekankan
pada eisiensi pada instansi tingkat atas; Kelima, menekankan
pada prestasi dan kemampuan, sementara mengabai-kan
kegagalan dan ketidakmampuan.
Perspektif ketiga adalah perspektif perwakilan, yang
melihat publik sebagai pihak yang diwakili oleh elected
oicials (politisi). Dalam perspektif ini, kepentingan publik
diasumsikan telah diwakili oleh wakilnya yang duduk di
lembaga-lembaga perwakilan. Kelemahan utama perspektif
ini adalah pada kenyataannya politisi tidak menyuarakan
kepentingan publik, dan politisipun tidak pernah melibatkan
masyarakat dalam perumusan kebijakan.
Perspektif keempat, melihat publik sebagai pelanggan
(customer) pela-yanan publik yang diselenggarakan oleh
birokrasi publik. Lipsky mengem-bangkan konsep street level
bureaucracy untuk menunjukkan interaksi yang erat antara
aparat pelayanan publik dengan masyarakat yang dilayani.
Namun iapun mensinyalir bahwa birokrasi lebih melayani
kepentingannya daripada kepentingan masyarakat, dan
street level bureaucracy lebih memfungsikan dirinya sebagai
kelompok kepentingan.
Perspektif terakhir melihat publik sebagai warganegara.
Sebagai warga negara, seseorang tidak hanya mewakili
kepentingan individu namun juga kepentingan publik.
Model-model partisipasi publik dalam pengam-bilan kepu-
tusan lebih banyak menerapkan perspektif ini.
Setiap negara di manapun serta apapun bentuk
pemerintahannya selalu membutuhkan pelayanan publik.
Pelayanan publik merupakan suatu keha-rusan bagi negara
atau pemerintahan untuk melayani warga negaranya.

PELAYANAN PUBLIK 75
Pelayanan publik tidak mudah dilakukan, dan banyak negara
yang gagal melakukan pelayanan publik yang baik bagi
warganya. Pelayanan publik (public service), merupakan
salah satu pembahasan yang cukup aktual dalam kajian
birokrasi.
Berkaitan dengan produk pelayanan birokrasi,
Gronroos (Dwiyanto, 2006: 137) mengemukakan sejumlah
karakteristik pelayanan publik, baik dalam bentuk barang
maupun jasa seperti yang terlihat pada tabel 6 berikut:

Tabel 6.
Perbedaan Karakteristik antara Pelayanan Barang dan Jasa
No. Pelayanan Barang Pelayanan Jasa
1 Sesuatu yang berwujud Sesuatu yang tidak berwujud
2 Homogen: satu jenis barang Heterogen: satu bentuk
dapat berlaku untuk banyak pelayanan kepada seseorang
orang belum tentu sesuai atau sama
dengan bentuk pelayanan
kepada orang lain.
3 Proses produksi dan Proses produksi dan distribusi
distribusinya terpisah pelaya-nan berlangsung
dengan proses konsumsi bersamaan pada saat
dikonsumsi
4 Berupa barang/benda Berupa proses atau kegiatan
5 Nilai utamanya dihasilkan Nilai utamanya dihasilkan
di perusahaan dalam pro-ses interaksi antara
penjual & pembeli
6 Pembeli pada umumnya Pembeli terlibat dalam proses
tidak terlibat dalam proses produksi
produksi
7 Dapat disimpan sebagai Tidak dapat disimpan
persediaan
8 Dapat terjadi perpindahan Tidak ada perpindahan
kepemilikan kepemilikan

Sumber: Gronroos dalam Dwiyanto (2006).

76 ETIKA BIROKRAT
Pelayanan publik menjadi ujung tombak interaksi
antara masyarakat dan pemerintah. Kemampuan birokrasi
dapat dinilai salah satunya dengan melihat sejauh mana
kualitas pelayanan publik. Sebagai implementasi kebi-jakan
birokrasi di lapangan, pelayanan publik pun menarik minat
tersendiri untuk dipelajari. Penilaian terhadap kemampuan
birokrasi publik tidak cukup hanya dilakukan dengan
menggunakan indikator-indikator yang melekat pada
birokrasi seperti eisiensi dan efektiitas, tetapi harus dilihat
pula dari indikator-indikator yang melekat pada pengguna
jasa, seperti kepuasan pengguna jasa, akuntabilitas dan
responsivitas (Dwiyanto dkk, 2006: 76).
Pelayanan publik merupakan segala kegiatan dalam
rangka pemenuhan kebutuhan dasar sesuai dengan hak-hak
dasar setiap warga negara dan penduduk atas suatu barang,
jasa dan atau pelayanan administrasi yang disediakan oleh
penyelenggara pelayanan yang terkait dengan kepentingan
publik. Adapun penyelenggaranya adalah lembaga dan
petugas pelayanan publik, baik Pemerintah Daerah maupun
Badan Usaha Milik Daerah yang menyelenggarakan
pelayanan publik. Sedangkan penerima pelayanan publik
adalah orang perseorangan dan atau kelompok orang
dan atau badan hukum yang memiliki hak, dan kewajiban
terhadap suatu pelayanan publik.
Hubungan antara penerima pelayanan dengan pelayan-
an birokrasi pemerintah, aparatur birokrasi yang mendapat
kepercayaan untuk melayani masyarakat perlu menyadari
bahwa pada dirinya dituntut untuk memberikan pelayanan
prima (excellent services), sebagai berikut: (a) sensitif dan
responsif terhadap peluang dan tantangan yang dihadapi,
(b) dapat mengembangkan fungsi instrumental dengan
melakukan terobosan melalui pemikiran yang inovatif dan
kreatif, (c) berwawasan futuris dan sistematis sehingga resiko
yang bakal timbul akan diminimalisir, dan (d) berkemampuan

PELAYANAN PUBLIK 77
dalam mengop-timalkan sumber daya yang potensial. Untuk
menjadikan kepuasan pelanggan sebagai tujuan utama, maka
perilaku aparatur birokrasi dalam memberikan pelayanan
harus melakukan pekerjaannya dengan sepenuh hati (Paton:
1997: 67).
Salah satu kekurangan mendasar organisasi pemerin-
tahan atau birok-rasi pemerintahan, khususnya dalam
penyelenggaraan pelayanan publik adalah ketidakmampuan-
nya menciptakan suatu iklim organisasi pembelajar. Padahal
dalam tuntutan masyarakat yang semakin dinamis organisasi
sangat diharap-kan memiliki karakter organisasi pembelajar.
Menurut Sangkala (2007: 210), bahwa organisasi pembelajar
akan memiliki kemampuan memperbaiki dan meningkatkan
adaptabilitas serta kapasi-tasnya dalam memenuhi tuntutan
lingkungan. Organisasi yang di dalamnya berisi orang-orang
yang senang belajar dan senan-tiasa membantu organisasi
melahirkan pengetahuan dan keterampilan baru.
Kemampuan memperbaiki dan meningkatkan adapta-
bilitas serta kapasitasnya dalam memenuhi tuntutan
lingkungan merupakan suatu issu penting yang justru
kurang mendapat perhatian selama ini. Secara teoritik
tuntutan dan kepentingan individu sebagai anggota
masyarakat yang merupa-kan bagian dari lingkungan
memang sangat bervariasi, sehingga dalam batas tertentu
berpeluang melahirkan benturan kepentingan, khususnya
dalam proses pengambilan kepu-tusan oleh para pejabat
birokrasi. Akibatnya pengambilan keputusan sebagai bagian
proses administrasi seringkali menimbulkan ketidakadilan
bagi masya-rakat. Menurut Permana (2009: 39-40) persepsi
masyarakat terhdap ketidakadilan itu muncul sebagai akibat
perbedaan cara pandang individu terhadap kebijakan yang
disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: preferensi individu
(individual preference), etika (ethic), kebebasan individu
(individual freedom), hak individu (individual rights), dan

78 ETIKA BIROKRAT
distribusi keadilan (distribution of justice). Proses pengambilan
kebijakan publik yang berkeadilan ditunjukkan dengan
gambar 2 berikut:

Gambar 2: Proses Pengambilan Kebijakan Publik

Lima hal yang Konflik


mempengaruhi kepentingan dan
kesadaran Ruang Kebijakan
klaim kebenaran Publik Publik Yang
individu dalam dalam ruang
memahami Masuk Akal Berkeadilan
publik
keadilan

Sumber: Permana, 2009.


Fenomena ini banyak ditemukan di negara-negara yang
sedang berkembang, seperti di Indonesia. Justiikasi yang
sederhana bahwa secara ilosois Negara Republik Indonesia
ini dibentuk dengan sejumlah tujuan yang luhur seperti yang
tercantum dalam konstitusi antara lain yaitu: memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dalam kenyataan tujuan tersebut belum terealisasi sampai
saat ini. Dalam konteks ini tentu yang paling menonjol untuk
disoroti adalah masalah pelayanan publik.

2) Pergeseran Paradigma Pelayanan Publik


Dalam konteks keilmuan, birokrasi pelayanan publik
selalu mengalami perkembangan atau pergeseran sesuai
dengan perspektif atau paradigma pelayanan publik itu
sendiri atau biasa disebut dengan reformasi birokrasi.
Menurut Denhardt (2002: 28-29) pelayanan publik juga
mengalami pergeseran seiring dengan pergeseran paradigma
administrasi publik dari old adminis-tration ke new public
management dan terakhir ke new public service. Secara garis
besar pergeseran paradigma tersebut digambarkan oleh
Keban (2008: 244-8), sebagai berikut:

PELAYANAN PUBLIK 79
a) Old Public Administration
Woodrow Wilson merupakan tokoh penting yang
mempra-karsai gerakan perubahan dalam paradigma
OPA. Ia menyarankan agar adminis-trasi publik harus
dipisahkan dari dunia politik (dikhotomi administrasi
publik dengan politik). Berdasarkan pengalaman Wilson,
negara terlalu memberi peluang bagi para administrator
untuk mempraktekkan system nepotism dan spoil. Oleh
karena itu ia mengeluarkan doktrin untuk melakukan
pemisahan antara dunia legislatif (politik) dengan dunia
ekse-kutif, dimana para legislator hanya merumuskan
kebijakan dan para admi-nistrator hanya mengeksekusi
atau menmgim-plementasikan kebijakan. Sosok birokrasi
yang ditawarkan Wilson ini sejalan dengan jiwa atau
semangat bisnis. Wilson menuntut agar para administrator
publik selalu mengutamakan nilai eisiensi dan ekonomis,
sehingga mereka harus diangkat berdasarkan kecocokan
dan kecakapan dalam bekerja ketimbang keanggotaan
atau kedudukan dalam suatu partai politik. Ajaran Wilson
untuk meniru dunia bisnis ini membawa suatu implikasi
penting dalam pemerintahan, yaitu bahwa prinsip-prinsip
dalam dunia bisnis yang diprakarsai oleh Taylor pantas
untuk diperhatikan. Metode keilmuan menurut Taylor
harus menggeser metode rule of thumb. Tenaga kerja
harus diseleksi, dilatih dan dikembangkan secara ilmiah
dan didorong untuk bekerja sama dalam menyelesaikan
berbagai tugas pekerjaan sesuai prinsip-prinsip keilmuan.
Dunia telah mengakui kebesaran Taylor dalam memba-
ngun prinsip manajemen yang professional.
Max Weber juga mengajak untuk melaksanakan
prinsip-prinsip Taylor. Menurut Weber, ketika masyarakat
berkembang semakin kompleks, maka diperlukan suatu
institusi yang rasional yaitu birokrasi. Dalam birokrasi
ini, diatur perilaku yang tidak saja produktif, tetapi juga

80 ETIKA BIROKRAT
loyal terhadap pimpinan dan organisasi. Perilaku yang
impersonal dan saklek harus diterapkan. Hubungan
kekeluargaan dan kelompok sosial tidak mendapat
tempat untuk dipertimbangkan dalam birokrasi. Oleh
karena itu, para anggota organisasi harus ditempatkan
berdasarkan kemampuan yang dimiliki. Dikembangkan
dan dituntun dengan peraturan yang jelas dalam
menjalankan tugasnya.
Doktrin OPA, dalam perkembangannya menghada-
pi masalah (fallacies). Sebagai illustrasi misalnya, Weber
yakin bahwa sosok organisasi birokrasi sangat ideal,
padahal dalam perkembangannya bias berubah sifatnya
menjadi sangat kaku, bertele-tele dan penuh red-tape
(Weber fallacy). Demikian juga halnya dengan Taylor
sangat yakin bahwa hanya ada satu cara terbaik (one
way of doing the task) untuk melakukan tugas, padahal
dalam perkembangan jaman terdapat banyak cara lain
untuk bekerja terbaik, hasil rekayasa teknologi dan ilmu
pengetahuan (Taylor fallacy). Hal yang sama juga terjadi
pada Wilson, dimana ia cenderunmg melihat dunia
administrasi publik sebagai kegiatan yang tidak bersifat
politis,padahal dalam kenyataannya bersifat politis
(Wilson fallacy). Meskipun muncul berbagai masalah dalam
paradigma Old Poblic Administration (OPA), namun
belajar dari paradigma ini telah memberikan kontribusi
pengetahuan yang penting bahwa dalam membangun
birokrasi diperlukan profesionalitas, penggunaan prinsip
keilmuan, hubungan yang impersonal, penerapan aturan
dan standardisasi secara tegas, sikap yang netral dan
perilaku yang mendorong eisisiensi dan efektiitas.

b) New Public Management


Paradigma New Public Management (NPM) muncul
di Inggris, New Zealand, Amerika Serikat dan Canada.

PELAYANAN PUBLIK 81
Istilah management pada New Public Management,
diberikan lantaran istilah ini lebih agresif daripada istilah
administration (Vigoda, 2003). Paradigma ini didasarkan
pada teori pasar dan budaya bisnis dalam organisasi
publik (Vigoda,2002). Paradigma tersebut muncul tidak
hanya karena adanya krisis iskal pada tahun 1970an dan
1980an, tetapi juga karena adanya keluhan bahwa sektor
publik terlalu besar, boros, ineisien, merosotnya kenerja
pelayanan publik, kurangnya perhatian terhadap pengem-
bangan dan kepuasan kerja pegawai pemerintah.
Kemunculan NPM pertama kali hanya meliputi
lima doktrin Gaebler dan Osborn (Keraf, 1998: 85) yaitu
(a) penerapan deregulasi pada line management, (b)
konversi unit pelayanan publik menjadi organisasi yang
berdiri sendiri, (c) penerapan akuntabilitas berdasarkan
kinerja terutama melalui kontrak, (d) penerapan
mekanisme kompetisi seperti melakukan kontrak keluar,
dan (e) memperhatikan mekanisme pasar. Dalam perkem-
bangannya, telah menjadi sepuluh doktrin sebagaimana
yang disampaikan dalam Reinventing Governmen.
Beberapa tahun kemudian muncul lagi model NPM yang
lebih variatif misalnya model eisiensi drive, downsizing
and decentralization, in search of exelence dan public
service orientation. Ferile (Keraf, 1998: 85). Berbagai variasi
ini memberi kesan bahwa NPM hanyalah merupakan
upaya para ahli dalam memodernisasikan sektor publik.
Melalui berbagai doktrin NPM tersebut di atas,
dapat dipelajari bahwa proses reformasi harus diarahkan
pada enam dimensi kunci. Pertama, productivity, yaitu
bagaimana pemerintah menghasilkan lebih banyak hasil
dengan biaya yang lebih sedikit. Kedua, marketization yaitu
bagaimana pemerintah menggunakan insentif bergaya
pasar agar melenyapkan Pelanggaran Etika Birokrasi.
Ketiga, service orientation yaitu bagaimana pemerintah

82 ETIKA BIROKRAT
dapat berhubungan dengan wargamasyarakat secara
lebih baik agar program-programnya lebih responsif
terhadap kebutuhan warga masyarakat. Keempat,
decentralization yaitu bagaimana pemerintah membuat
program yang responsif dan efektif dengan memindahkan
program ke tingkat pemerintahan yang lebih rendah,
atau memindahkan tanggung jawab instansi pemerintah
ke para menejer lapangan yang berhadapan langsung
dengan warga masyarakat, atau memberi kesempatan
kepada mereka untuk melakukan adaptasi terhadap
kebutuhan warga masyarakat. Kelima, policy yaitu
bagaimana pemerintah memperbaiki kapasitas kebijakan.
dan Keenam, performance accountability yaitu bagaimana
pemerintah memperbaiki kemampuannya untuk meme-
nuhi janjinya (Keraf, 1998: 104).
Reformasi birokrasi tersebut diarahkan untuk
mencapai hasil nyata yang mencakup lima spek, yaitu
(1) saving, (2) perbaikan proses, (3) perbaikan eisiensi,
(4) peningkatan efektivitas, dan (5) perbaikan sistem
administrasi, seperti peningkatan kapasitas, leksibilitas
dan ketahanan. Dalam hal saving, perbaikan proses dan
eisiensi, serta sistem administrasi, Inggris dan Amerika
telah mengklaim berhasil, tetapi dalam hal efektiitas
masih belum dirasakan, karena hasil akhir program baru
dirasakan beberapa tahun kemudian (Keraf, 1998: 185). Di
negara-negara berkembang, NPM masih bersifat embrio
dan coba-coba. Keberhasilan NPM ini sangat tergantung
dari konteks dan karakteristik negara dan sektor yang
ditangani, kemampuan institusi, dan konteks dari
institusi itu sendiri seperti iklim dan ideologi manajemen
yang dianut, sikap terhadap otoritas, hubungan sosial dan
kelompok (Keraf, 1998: 106). Seperti halnya dengan OPA,
NPM pun menghadapi banyak kritikan, karena para elit
birokrasi cenderung berkompetisi untuk memperjuangkan

PELAYANAN PUBLIK 83
kepentingan dirinya daripada kepentingan umum, dan
berkolaborasi untuk mencapainya. Apalagi dasar NPM
adalah teori Public Choice yang sangat didominasi oleh
kepentingan pribadi (self interest) sehingga konsep seperti
public spirit, public service, dsb, terabaikan. Hal yang
demikian tidak akan mendorong proses demokratisasi.
Disamping itu, NPM tidak pernah ditujukan untuk
menangani pemerataan dan masalah keadilan sosial
(Harrow (Laksana, 2008: 76)). Munculnya NPM telah
mengancam nilai inti sektor publik yaitu citizen self
governance dan fungsi administrator sebagai servant of
public interest (Box (Laksana, 2008: 76)), bahkan kalau
tidak berhati-hati , justeru akan meningkatkan korupsi
dan menciptakan orang miskin baru.
Pelajaran penting yang dapat diambil dari
NPM ini adalah bahwa pembangunan birokrasi harus
memperhatikan mekanisme pasar, mendorong kompetisi
dan kontrak untuk mencapai hasil, harus lebih responsif
terhadap kebutuhan pelanggan, harus lebih bersifat
mengarah-kan (steering) daripada menjalankan sendiri
(rowing), harus melakukan deregulasi, memberdayakan
para pelaksana agar lebih kreatif, dan menekankan
budaya organisasi yang lebih leksibel, inovatif, berjiwa
wirausaha dan pencapaian hasil, ketimbang budaya taat
azas, orientasi pada proses dan input (Laksana, 2008:
106).

c) New Public Service


Sebagai koreksi terhadap NPM, King dan
Stivens (Laksana, 2008: 176), menegaskan bahwa para
administrator harus melibatkan warga masyarakat.
Mereka harus melihat rakyat sebagai warga masyarakat
(bukan sebagai pelanggan), sehingga dapat saling
membagi otoritas dan melong-garkan kendali, serta

84 ETIKA BIROKRAT
percaya terhadap keefektifan kolaborasi. Mereka harus
membangun trust dan bersikap responsif terhadap
kepentingan atau kebutuhan masyarakat, dan bukan
semata mencari eisiensi yang lebih tinggi sebagaimanja
yang dituntut dalam NPM.
Di Inggris, muncul apa yang disebut joined up
thinking and joined up action (Denhart & Denhart, 2002: 76),
yang kemudian dikenal dengan paradigma New Public
Service (NPS). Di dalam paradigma ini tidak ada lagi yang
menjadi penonton, semua jadi pemain atau ikut bermain.
Disini pemerintah harus menjamin hak-hak warga
masyarakat, dan memenuhi tanggung jawabnya kepada
masyarakat dengan mengutamakan kepentingan warga
masyarakat.. Fiirst Citizens harus menjadi pegangan
atau semboyan pemerintah (Denhardt & Gray, 1998). Isu
tentang justice, equity, partic-ipation, dan leadership yang
tidak diperhatikan dalam buku Reinventing Government
justru harus mendapatkan perhatian utama (Denhardt
& Denhardt, 2002). Paradigma ini sejalan dengan prinsip
co-creating yang digagas oleh Prahalad dan Ramaswany
(Siagian, 2000: 76) sebagai sumber energi organisasi era
demokrasi, karena dapat menjamin hak, kebutuhan dan
nilai-nilai warga, dan bukan kebutuhan institusi.
Ada tujuh prinsip NPS (Denhardt & Denhardt, 2000:
87) yang berbeda dari NPM dan OPA. Pertama, peran utama
dari pelayan publik adalah membantu warga masyarakat
mengartikulasikan dan memenuihi kepentingan yang
telah disefakati bersama, daripada mencoba mengon-
trol atau mengendalikan masya-rakat kearah yang baru.
Kedua, administrator publik harus menciptakan gagasan
kolektif yang disetujui bersama tentang apa yang disebut
sebagai kepentingan publik. Ketiga, kebijakan dan
program yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan
publik dapat dicapai secata efektif dan responsif melalui

PELAYANAN PUBLIK 85
upaya-upaya kolektif dan proses kolaboratif. Keempat,
kepentingan publik lebih merupakan hasil suatu dialog
tentang nilai-nilai yang disetujui bersama dari pada
agregasi kepentingan pribadi para individu. Kelima,
para pelayan publik harus memberi perhatian, tidak
semata pada pasar, tetapi juga pada aspek hukum dan
peraturan perundangan, nilai-nnilai masya-rakat, norma-
norma politik, standard profesional dan kepentingan
warga masyarakat. Keenam, organisasi publik dan
jaringan-jaringan yang terlibat akan lebih sukses dalam
jangka panjang kalau mereka beroperasi melalui proses
kolaborasi dan melalui kepemimpinan yang menghargai
semua orang. dan Ketujuh, kepentingan publik lebih baik
dikembangkan oleh pelayan-pelayan publik dan warga
masyarakat yang berkomitmen memberikan kontribusi
terhadap masyarakat, dari pada oleh manajer wirausaha
yang bertindak seakan-akan uang adalah milik mereka.
Pelajaran penting yang dapat diambil dari paradigma
NPS ini adalah bahwa birokrasi harus dibangun agar
dapat memberi perhatian kepada pelayanan masyarakat
sebagai warga negara (bukan sebagai pelanggan),
mengutamakan kepentingan umum, mengikutsertakan
warga masyarakat, berpikir strategis dan bertindak
demokratis, memperhatikan norma, nilai dan standard
yang ada, dan menghargai masyarakat.
Birokrasi tadisional yang bekerja berdasarkan ciri-
ciri birokrasi perlu dipadukan dengan ciri-ciri demokrasi.
Perpaduan ciri tentunya akan melahirkan ciri-ciri baru
yaitu ciri-ciri birokrasi yang demokratis. Hal ini perlu
dilakukan karena prinsip-prinsip kerja birokrasi berbeda
dengan tuntutan moral dalam demokrasi.
Birokrasi dalam proses pencapaian tujuannya
menekankan eisiensi dan mengandalkan kapabilitas
satu orang, menekankan hirarcki, dan kewenangan

86 ETIKA BIROKRAT
yang mengalir secara vertikal mengikuti struktur yang
berbeda dengan semangat yang ada dalam nilai-nilai
demokrasi seperti persamaan hak dan kedudukan bagi
semua warga negara, serta peluang untuk terlibat dalam
proses pengambilan keputusan. Ciri-ciri birokrasi dan
demokrasi ini dijelaskan oleh Denhardt dan Denhardt
(2002) seperti yang terlihat pada tabel 7 berikut:

Tabel 7. Ciri-ciri Birokrasi dan Ciri-ciri Demokrasi


No Ciri Birokrasi Ciri Demokrasi

1 Memerlukan kerjasama untuk Berasumsi bahwa individual adalah


men-capai tujuan melalui ukuran primer nilai manusia dan
kapabilitas satu orang. pembangunan individual adalah
sasaran primer sistem politik
demokrasi.

2 Sistem birokrasi dibangun Moralitas demokrasi menegas-


secara hirarki, mereka yang ada kan bahwa semua orang
di puncak memiliki kuasa dan diciptakan sama -perbedaan
pengawasan yang lebih besar dalam kesejahteraan, status, atau
diban-ding mereka yang di posisi-tidak boleh satu orang atau
bawah kelompok mendapat keun-tungan
dibanding yang lain.

3 Organisasi birokrasi Moralitas demokrasi menegas-


menganggap bahwa kekuasaan kan bahwa semua orang
dan kewenangan mengalir diciptakan sama -perbedaan
dari atas ke bawah dan bukan dalam kesejahteraan, status, atau
sebaliknya posisi-tidak boleh satu orang atau
kelompok mendapat keun-tungan
dibanding yang lain.

Sumber: Denhardt Robert B. dan Denhardt Janet V. 2002. Public


Administration: An Action Overview, Fifth Edition

Secara teoritis mungkin kesulitannya adalah bagai-


mana mengga-bungkan dua nilai yang kecenderungannya
memiliki orientasi yang berbeda. Hal ini senada dengan
pernyataan Denhardt dan Denhardt yang mengingatkan
bahwa, dalam organisasi publik, anda pasti sering

PELAYANAN PUBLIK 87
menghadapi kesulitan menyatukan eisiensi dan daya
tanggap.” Ciri-ciri birokrasi yang demokratis antara lain
birokrasi yang memiliki daya tanggap (responsivitas)
yang tinggi terhadap kebuuhan publik, memberi ruang
partisipasi publik dalam pengambilan keputusan dan
transparansi, atau lebih jelasnya adalah birokrasi yang
menerapkan prinsip-prisip good governance seperti yang
direkomendasikan oleh Bank Dunia, yaitu: participation,
rule of law, transparency, responsi-veness, consensus
orientation, equity, eicienscy and efectiveness, accountability,
dan strategic vision (Laksana, 2008: 68-69). Senada dengan
Wilson seperti yang dikutip Frederickson (Permana,
2009: 89), menyimpulkan bahwa birokrasi sukses adalah
birokrasi dengan eksekutif mampu menciptakan misi
yang jelas, mengidentiikasi tugas yang harus dicapai
untuk memenuhi misi, mendistribusikan otoritas di
dalam organisasi menurut tugas, dan memberi bawahan
otonomi yang memadai untuk mencapai tugas tersebut.
Malcolm Walters (Permana, 2009: 109) menambah-
kan bahwa kegagalan daripada pelayanan publik ini
disebabkan karena aparat (birokrasi) tidak menyadari
adanya perubahan dan pergeseran yang terjadi dalam
budaya masyarakatnya dari budaya yang bersifat
hirarkhis, budaya yang bersifat individual, budaya
yang bersifat fatalis, dan budaya yang bersifat egaliter.
Pelayanan publik yang modelnya birokratis cocok untuk
budaya masyarakat hirarkhis; pelayanan publik yang
modelnya privatisasi cocok untuk budaya masyarakat
individual (yang anti hirarkhis); pelayanan publik yang
modelnya kolektif cocok untuk budaya masyarakat fatalis
(yang mendukung budaya hirarkhis dan anti budaya
individu); sedangkan pelayanan publik yang modelnya
memerlukan pelayanan cepat dan terbuka cocok untuk

88 ETIKA BIROKRAT
budaya masyarakat egaliter (yang anti budaya hirarkhis,
anti budaya individu dan anti budaya fatalis).
Substansi pelayanan publik selalu dikaitkan
dengan suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang
atau kelompok orang atau instansi tertentu untuk
memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat
dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Oleh karena
itu institusi pelayanan publik dapat dilakukan oleh
pemerintah maupun non-pemerintah. Jika pemerintah,
maka organisasi birokrasi pemerin-tahan merupakan
organisasi terdepan yang berhubungan dengan pela-
yanan publik. Dan jika non-pemerintah, maka dapat
berbentuk organisasi partai politik, organisasi keagamaan,
lembaga swadaya masyarakat maupun organisasi-
organisasi kemasyarakatan yang lain. Siapapun bentuk
institusi pelayanananya, maka yang terpenting adalah
bagaimana memberikan bantuan dan kemudahan kepada
masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan dan
kepentingannya.
Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan peme-
rintahan, birokrasi sebagai ujung tombak pelaksana
pelayanan publik mencakup berbagai program-program
pembangunan dan kebijaksanaan-kebijak-sanaan peme-
rintah. Tetapi dalam kenya-taannya, birokrasi yang
dimaksudkan untuk melaksanakan tugas-tugas umum
pemerintahan dan pembangunan tersebut, seringkali
diartikulasikan berbeda oleh masya-rakat. Birokrasi
di dalam menyelenggarakan tugas pemerin-tahan dan
pembangunan (termasuk di dalamnya penyelenggaraan
pelayanan publik) diberi kesan adanya proses panjang
dan berbelit-belit apabila masyarakat menyelesaikan
urusannya berkaitan dengan pelayanan aparatur
pemerintahan. Akibatnya, birok-rasi selalu mendapatkan
citra negatif yang tidak menguntungkan bagi perkem-

PELAYANAN PUBLIK 89
bangan birokrasi itu sendiri (khususnya dalam hal
pelayanan publik).
Thompson, pernah menunjukkan bahwa budaya
birokrasi membuat tuntutan-tuntutan tertentu pada klien
serta organisasi pada karyawan. ada banyak orang di
masyarakat kita yang belum mampu menyesuaikan diri
dengan tuntutan-tuntutan ini. mereka melihat birokrasi
adalah kutukan. mereka tidak melihat baik dalam apapun,
tetapi melihat tuntutan organisasi modern sebagai “pita
merah” (Rossembloom, 2005: 442).
Perkembangan kehidupan masyarakat yang semakin
dinamis, sejalan dengan tingkat kehidupan yang semakin
baik, telah mening-katkan kesadarannya akan hak dan
kewajibannya sebagai warga negara dalam kehidupan
bermasya-rakat, berbangsa dan bernegara. Masyarakat
yang semakin kritis dan berani untuk mengajukan
keinginan, tuntutan dan aspirasinya, serta melakukan
kontrol atas kinerja pemerintah. Masyarakat semakin
berani menuntut birokrasi publik untuk mengubah posisi
dan perannya (revitalisasi) dalam memberikan layanan
publik. Kebiasaan suka mengatur dan memerintah mesti
diubah menjadi suka melayani, dari yang lebih suka
menggunakan pendekatan kekuasaan, berubah menjadi
suka menolong, semuanya menuju ke arah leksi-belitas,
kolaboratis dan dialogis, dan menghilangkan cara-cara
yang sloganis menuju cara-cara kerja yang realistik
pragmatis (Thoha, 2003: 119).
Dalam kondisi masyarakat seperti digambarkan di
atas, aparat birokrasi harus dapat memberikan layanan
publik yang lebih profesional, efektif, efesien, serderhana,
transparan, terbuka, tepat waktu, responsif, adaptif dan
sekaligus dapat membangun “kualitas manusia” dalam
arti meningkatkan kapasitas individu dan masyarakat
untuk secara aktif menentukan masa depannya sendiri.

90 ETIKA BIROKRAT
Berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah
dalam tinjauan manajemen pelayanan publik, sangat
dibutuhkan sistem birokrasi yang desentralistik. Ciri
struktur birokrasi yang terdesentralisir memiliki beberapa
tujuan dan manfaat antara lain: (a) Mengurangi (bahkan
menghilangkan) kesenjangan peran antara orga-nisasi
pusat dengan organisasi-organisasi pelaksana yang ada
dilapangan. (b) Melakukan efesiensi dan penghematan
alokasi penggunaan keuangan. (c) Mengu-rangi jumlah
staf/aparat yang berlebihan terutama pada level atas dan
level menengah (prinsip rasionalisasi). (d) Mendekatkan
birokrasi dengan masyarakat yang akan memperoleh
pelayayan.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dalam
konteks pelaya-nan publik dapat digaris bawahi bahwa
keberhasilan proses pelayanan publik sangat tergantung
pada dua pihak yaitu birokrasi (pelayan) dan masyarakat
(yang dilayani). Dengan demikian untuk melihat kualitas
pelayanan publik perlu diperhatikan dan dikaji dua aspek
pokok yakni: Pertama, aspek proses internal organisasi
birokrasi (pelayan); dan Kedua, aspek eksternal organisasi
yakni kemanfaatan yang dirasakan oleh masyarakat
pelanggan.
Target dan sasaran reformasi birokrasi, secara garis
besar ada lima hal. Pertama, Terbentuknya birokrasi yang
bersih, yaitu birokrasi yang anti KKN dan berkurangnya
perilaku koruptif pegawai negeri. Kedua, birokrasi yang
eisien dan hemat dalam menggunakan sumber daya yang
terbatas. Ketiga, birokrasi yang transparan yakni birokrasi
yang seluruh kebijakan dan aktivitasnya diketahui
masyarakat dan masyarakat dapat mengaksesnya dengan
mudah. Keempat, birokrasi yang melayani, yaitu birokrasi
yang tidak minta dilayani, tetapi birokrasi yang melayani
masyarakat. Kelima, birokrasi yang terdesen-tralisasi, yaitu

PELAYANAN PUBLIK 91
kewe-nangan pengambilan keputusan terdesentralisasi
kepada pimpinan unit kerja terdepan (Thoha, 2003: 66).
Reformasi politik yang tidak diikuti oleh reformasi
birokrasi ternyata tidak banyak menghasilkan perbaikan
kinerja pelayanan publik. Dengan birokrasi yang masih
kuat mempraktekan budaya korup, bersikap sebagai
penguasa dan tidak professional, maka perubahan apapun
yang terjadi dalam pemerintahan tidak akan memiliki
dampak yang berarti bagi perbaikan kinerja pelayanan
publik. Oleh karena itu, hal yang wajar kalau perbaikan
kehidupan politik yang menjadi semakin demokratis
sekarang ini belum memiliki dampak yang berarti pada
kinerja birokrasi dalam penyelenggaraan pelayanan
publik. Kinerja birokrasi pelayanan publik menjadi isu
kebijakan yang semakin penting dan strategis karena
perbaikan kinerja birokrasi memiliki implikasi yang luas
dalam kehidupan ekonomi, sosial, dan politik.
Dalam kehidupan ekonomi, perbaikan kinerja
birokrasi akan bisa memperbaiki iklim investasi. Buruk-
nya kinerja birokrasi publik di Indonesia sering menjadi
determinan yang penting dari penurunan minat investasi.
Dari berbagai studi dan observasi, kinerja birokrasi publik
di Indonesia tidak banyak mengalami perbaikan, bahkan
cenderung menjadi semakin buruk.Akibatnya, pemerintah
mengalami kesulitan dalam menarik investasi, belum lagi
ditambah dengan masalah-masalah lain, seperti ketidak-
pastian hukum dan keamanan nasional.
Dalam kehidupan sosial, perbaikan kinerja
birokrasi akan bisa memperbaiki sistem kehidupan
masyarakat yang lebih mengembangkan pola hubungan
secara terbuka, taat aturan, menghargai hasil kerja secara
profesional, dan berorientasi pada kepuasan hasil kerja
(produktivitas). Pada akhirnya perbaikan kinerja birokrasi
akan lebih mendorong tumbuhnya sistem sosial yang

92 ETIKA BIROKRAT
mengutamakan etos kerja dan moralitas sebagai bagian
dari relasi sosial. Dalam kehidupan politik, perbaikan
kinerja birokrasi pelayanan publik akan memiliki
implikasi luas, terutama dalam memperbaiki tingkat
kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Buruknya
kinerja birokrasi selama ini menjadi salah satu faktor
penting yang mendorong munculnya krisis kepercayaan
kepada pemerintah. Protes, demonstrasi, dan bahkan
pendudukan kantor-kantor pemerintah oleh masyarakat
yang banyak terjadi di berbagai daerah menjadi indikator
dari besarnya ketidak-puasan masyarakat terhadap
kinerja pemerintah.
Perbaikan kinerja birokrasi pelayanan publik
diharapkan akan memper-baiki kembali citra pemerintah
di mata masyarakat, karena dengan kualitas pelayanan
publik yang semakin baik, kepuasan dan kepercayaan
masyarakat bisa dibangun kembali. Oleh sebab itu, kajian
mengenai kinerja birokrasi publik menjadi isu sentral dan
memiliki nilai strategis, terutama yang terkait dengan
penyelenggaraan pelayanan publik.
Penggunaan teknologi informasi (information
technology) merupakan salah satu alternatif untuk
melakukan inovasi birokrasi dan perbaikan pelayanan
publik. Trend ini menjadi fenomena global, karena
kecende-rungan perkembangan masyarakat dan pereko-
nomiannya semakin digerakkan oleh inovasi teknologi.
Bahkan tidak dapat dipungkiri bahwa di luar lingkungan
birokrasi, inovasi-inovasi teknologi telah menghasilkan
kualitas kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya.
Manfaat Information Tecnology (IT) terhadap birokrasi
pemerintah telah dibuktikan oleh berbagai kalangan,
baik praktisi maupun akademisi. Bahkan Al Gore dan
Tany Blair (Anwaruddin, 2004: 47) secara bersemangat
menjelaskan manfaat yang dapat diperoleh dengan adanya

PELAYANAN PUBLIK 93
e-government, yaitu: (a) Memperbaiki kualitas pelayanan
pemerintah kepada para stakeholder-nya (masyarakat,
kalangan usahawan, dan industri), terutama dalam hal
kinerja efektivitas dan eisiensi diberbagai kehidupan
bernegara; (b) Mening-katkan transparansi, kontrol, dan
akuntabilitas penyelenggaraan peme-rintahan dalam
rangka penerapan konsep good corporate governance. (c)
Mengurangi secara signiikan total biaya administrasi,
relasi dan interaksi yang dikeluarkan pemerintah maupun
stakeholder-nya untuk keperluan aktivitas sehari-hari. (d)
Memberikan peluang pemerintah untuk mendapatkan
sumber-sumber pendapatan yang baru melalui interak-
sinya dengan pihak-pihak yang berkepentingan.
(e) Menciptakan suatu lingkungan baru yang dapat
menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi secara
cepat dan tepat sejalan dengan perubahan global dan
trend yang ada. (f) Memberdayakan masyarakat dan
pihak-pihak yang lain sebagai mitra pemerintah dalam
proses pengambilan kebijakan publik secara merata dan
demokratis.
Meskipun diakui bahwa manfaat e-government
terhadap pelayanan birokrasi pemerintah, namun dalam
prakteknya tidak luput dari berbagai kendala, antara lain
faktor kultur. Budaya kerja birokrasi kita merupakan
hambatan dalam implementasi penggunaan ICT/E-Gov
dalam pelaksanaan tugas birokrasi. Terjadinya kristalisasi
budaya Asal Bapak Senang (ABS) terhadap atasan
menjadi salah satu faktor penolakan penggunaan ICT/E-
Gov Turnip (Pramusinto dan Kumorotomo, 1996: 353).
Berdasarkan pengalaman, pada kantor pelayanan
administrasi perizinan telah menggunakan berbagai
produk teknologi informasi, namun dalam kenyataannya
proses layanan masih tergolong lamban. Pelayanan
perizinan pada prinsipnya adalah pelayanan data dan

94 ETIKA BIROKRAT
informasi perizinan. Data yang tersimpan di Kantor
Perizinan merupakan data yang diperoleh dan diolah
melalui proses yang rumit dan panjang mengikuti aturan
yang tertuang pada Peraturan Kepala BPN nomor 1 tahun
2005 tentang Standar Prosedur Opersional Pelayanan
Perizinan (SPOPP). Pembaruan data selalu dilakukan
apabila terjadi perubahan pada subyek atau obyek hak
atas tanah.
Salah satu usaha untuk mengotimalkan tugas-
tugas pelayanan perizinan dengan memanfaatkan
kemajuan teknologi informasi adalah pembangunan
dan pengembangan Komputerisasi Kantor Perizinan
(KKP). Kantor BPTPM merupakan basis terdepan dalam
kegiatan pelayanan. Dikembangkan model pelayanan
yang berbasis on-line system. Pembangunan pelayanan
on line, membangun data base elektronik, pembangunan
infrastruktur perangkat keras dan jaringan koneksi,
peningkatan SDM dalam kemampuan penguasaan IT
serta sosialisasi kegiatan di kalangan intern dan ekstren
merupakan tahap-tahap kegiatan yang harus dilakukan
pada kantor-kantor yang sedang dan sudah menerapakan
KKP.
Pembangunan Komputerisasi BPTPM Kota
Makassar tidak hanya memberikan pelayanan dengan
memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi secara
on-line system, tetapi sekaligus membangun basis data
digital. Melalui program KKP telah dilakukan digitalisasi
data perizinan (surat usaha, izin membangun, keterangan
kepemilikan usaha, dan sebagainya). Suatu hal yang tidak
dipungkiri bahwa stigma tentang pelayanan perizinan
dengan efek yang menyertainya adalah masalah yang
harus menjadi tantangan bagi semua insan perizinan.
Sikap masyarakat semakin kritis dalam menyikapi setiap

PELAYANAN PUBLIK 95
bentuk pelayanan apapun, terutama yang berkaitan
dengan pelayanan publik.

B. Etika Pelayanan Publik


Etika berasal dari bahasa Yunani “ethos” yang berarti adat
istiadat/ kebiasaan yang baik. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (1995), “Etika adalah nilai mengenai benar atau salah
yang dianut suatu golongan atau masyarakat”. Menurut Maryani
dan Ludigdo (Fathoni, 2009: 20), “Etika adalah seperangkat aturan
atau norma atau pedoman yang mengatur prilaku manusia,
baik yang harus dilakukan maupun yang harus ditinggalkan
yang dianut oleh sekelompok atau segolongan masyarakat atau
profesi”.
Menurut Solomon (Sinambela, 2010: 29), “Etika adalah (1)
karakter individu, termasuk pengertian orang baik, (2) hukum
sosial yang mengatur, mengendalikan, membatasi perilaku
kita”. Menurut Syaiie (1994: 48), “Etika bukan suatu sumber
tambahan bagi ajaran moral melainkan merupakan ilsafat atau
pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan
pandangan-pandangan moral”. “Etika bukan merupakan bagian
dari ilsafat. Sebagai ilmu, etika mencari keterangan (benar) yang
sedalam-dalamnya. Sebagai tugas tertentu bagi etika, ia mencari
ukuran baik-buruk bagi ingkah laku manusia, memang apa yang
tertemukan oleh etika mungkin jadi pedoman seseorang, tetapi
tujuan etika bukanlah untuk memberi pedoman, melainkan
untuk tahu”. (Purwanto, 2009: 65).
Keraf (Widjaja, 1997: 37) berpendapat: “Etika adalah sebuah
releksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma moral
yang menentukan dan terwujud dalam sikap dan pola perilaku
hidup manusia, baik secara pribadi maupun sebagai kelompok”.
Etika merupakan aturan yang mengikat secara moral hubungan
manusia yang dapat dituangkan dalam aturan hukum, pedoman
maupun etika profesional. Beberapa ahliilsafat memandang

96 ETIKA BIROKRAT
moralitas sebagai hukum benar salah yang terkait dengan nilai
dan prilaku manusia, dan etika adalah studi di bidang tersebut.
Etika atau moral sering dipertukarkan, merupakan bidang ilmu
ilsafat dan psikologi, yang digunakan pula dalam dunia bisnis
dan profesi akuntan.
Menurut Suseno (Ndraha, 2000: 76) etika normatif
terbagi atas 2 yaitu, tolok ukur pertanggungjawaban moral dan
menuju kebahagiaan. Tolok ukur pertanggungjawaban moral
meliputi etika wahyu, etika peraturan, etika situasi, dan etika
relativisme. Sedangkan etika normatif menuju kebahagiaan
meliputi egoisme, pengembangan diri, dan utilitarianisme. Di
samping itu, Hardjoeno (Fadillah, 2001: 39) membagi jenis etika
atas 4 kelompok yaitu, etika normatif, etika peraturan, etika
situasi dan relativisme. Pengelompokkan etika normatif dan jenis
tika tersebut, juga terdapat dalam multidimensional ethics scale
(Bertens, 2000: 79) yang mengembangkan atas 4 dimensi yaitu
dimensi justice/relativist, dimensi egoism, dimensi utilitarian, dan
dimensi contractualism.

1. Fungsi Etika
Poedjawiyatna berpendapat fungsi etika (Saefullah,
1999: 65) seba-gai berikut:
a. sarana untuk memperoleh orientasi kritis berhadapan
dengan berbagai moralitas yang membingungkan.
b. etika ingin menampilkan keterampilan intelektual yaitu
keterampilan untuk berargumentasi secara rasional dan
kritis.
c. orientasi etis ini diperlukan dalam mengambil sikap yang
wajar dalam suasana pluralisme.
2. Tuntutan dan Tolok Ukur Etika
Menurut Jumiati (2012: 56), tuntutan akan etika dan
tolok ukur etika meningkat disebabkan oleh:
a. Pengungkapan etika pada publik, pengumuman dan
media massa (pengaruh terbesar, menurut suatu survei).

PELAYANAN PUBLIK 97
b. Kepedulian publik meningkat, kewaspadaan publik
meningkat, kesadaran publik meningkat, tekanan sosial
baik dalam maupun luar negeri (pengaruh besar).
c. Regulasi pemerintah, intervensi pemerintah dan tuntutan
pengadilan akan malpraktek (pengaruh besar).
d. Jumlah dan mutu manajer profesional dan terdidik
meningkat.
e. Pengharapan baru akan suatu peran sosial suatu profesi.
f. Kesadaran dunia usaha dan para CEO akan etika bisnis
meningkat (pengaruh besar).
Menurut Hoesada (Batinggi dan Badu, 2013: 75),
tuntutan akan etika dan tolok ukur etika menurun disebabkan
oleh:
a. Kerusakan sosial, masyarakat yang longgar, materialisme
dan hedoisme meningkat, hilangnya atau menurunnya
pengaruh agama, kebutuhan akan kecepatan dan
kuantitas,bukan kualitas.
b. Persaingan bertambah berat, gaya hidup, stress
merebutsukses.
c. Korupsi, hilangnya kepercayaan dan rasa hormat pada
pemerintah, etika sebagai sarana politik.
d. Pengetahuan akan tindakan non etikal meningkat dan
menjadi terbiasa oleh media massa. Media massa menjadi
penyebab meningkatnya kejahatan.
e. Haus harta, sukses diukur dengan materi, egoisme, dan
individualisme.
f. Tekanan laba dari investor dan penyandang dana, harus
bertahan untuk tetap hidup.
3. Etika Profesi
Suatu profesi yang memberikan pelayanan jasa pada
masyarakat harus memiliki kode etik yang merupakan
seperangkat prinsip-prinsip moral dan mengatur tentang
perilaku profesional (Abdullah, 1991: 57). Tanpa etika,
profesi birokrat tidak akan ada sebagai penyedia layanan

98 ETIKA BIROKRAT
bagi masyarakat. Etika profesi birokrat di Indonesia diatur
dalam Kode Etik Birokrat Indonesia. Kode Etik ini mengikat
para birokrat yang terdapat pada undang-undang ASN
Tahun 2014.
Sihwajoeni (Sarundajang, 2005: 67) berpendapat kode
etik adalah norma perilaku yang mengatur hubungan antara
birokrat dengan masyarakat, antara birokrat dengan sejawat,
dan antara profesi dengan masyarakat. Terdapat dua sasaran
pokok dari kode etik yaitu: pertama kode etik bermaksud
melindungi masyarakat dari kemungkinan dirugikan oleh
kelalaian baik secara sengaja ataupun tidak sengaja dari kaum
profesional. Kedua kode etik juga bertujuan melindungi
keluhuran profesi tersebut dari perilaku-perilaku buruk
orang-orang tertentu yang mengaku dirinya profesional
(Keraf, 1998: 75).
Menurut Keraf (1998: 65), prinsip etika profesi adalah
(1) tanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaan, (2)
tanggung jawab terhadap dampak kemasyarakatan umum,
(3) keadilan, tak melanggar hak orang lain, (4) otonomi
berkode etik.

4. Perilaku Etis
Weber (2002: 66), mengatakan bahwa sikap adalah
keadaan dalam diri manusia yang menggerakkan untuk
bertindak, menyertai manusia dengan perasaan-perasaan
tertentu dalam menanggapi objek yang terbentuk atas
dasar pengalaman-pengalaman. Sikap pada diri seseorang
akan menjadi corak atau warna pada tingkah laku orang
tersebut. Perilaku etis merupakan perilaku yang sesuai
dengan norma-norma sosial yang diterima secara umum,
berhubungan dengan tindakan-tindakan yang bermanfaat
dan membahayakan. Perilaku kepribadian merupakan
karakteristik individu dalam menyesuaikan diri dengan
lingkungan. Karakteristik tersebut meliputi sifat,

PELAYANAN PUBLIK 99
kemampuan, nilai, keterampilan, sikap, dan intelegensi yang
muncul dalam pola perilaku seseorang. Dapat disimpulkan
bahwa perilaku meru-pakan perwujudan atau manifestasi
karakteristik-karakteristik seseorang dalam menyesuaikan
diri dengan lingkungan (Kartasasmita, 2012: 16).
Menurut Steiner (Pamudji, 1994: 43) perilaku etis
juga dideinisikan sebagai pelaksanaan tindakan fair sesuai
hukum konstitusional dan peraturan pemerintah yang
dapat diaplikasikan Perilaku etis sering disebut sebagai
komponen dari kepemimpinan. Morgan (Masyudi, 2005:
45) berpendapat pengembangan etika merupakan hal yang
penting bagi kesuk-sesan individu sebagai pemimpin suatu
organisasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku
seseorang meliputi :
1) Faktor personal, yaitu faktor yang berasal dari dalam diri
individu.
2) Faktor situasional, yaitu faktor yang berasal dari luar
diri manusia sehingga dapat mengakibatkan seseorang
cenderung berperilaku sesuai dengan karakteristik
kelompok yang diikuti.
3) Faktor stimulasi yang mendorong dan meneguhkan
perilaku seseorang
Menurut Denhart (2000: 73) dalam etika terdapat
empat aliran utama, yaitu: (1) empirical theory; melihat bahwa
etika diturunkan dari pengalaman manusia dan persetujuan
umum. Dalam konteks ini penilaian tentang baik dan buruk
tidak terlepas dari atau tidak terpisahkan dari fakta dan
perbuatan; (2) rational theory; melihat bahwa baik atau buruk
sangat tergantung dari reasoning atau alasan dan logika
yang melatarbelakangi suatu perbuatan, bukan pengalaman.
Dalam konteks ini, setiap situasi dilihat sebagai suatu yang
unik dan membutuhkan penerapan yang unik dari logika
manusia dan memberikan kesimpulan yang unik pula
tentang baik atau buruk; (3) intuitive theory; melihat bahwa

100 ETIKA BIROKRAT


etika tidak harus berasal dari pengalaman dan logika, tetapi
manusia secara alamiah dan otomatis memiliki pemahaman
tentang apa yang benar dan salah, apa yang baik dan yang
buruk. Teori ini menggunakan hukum moral alamiah atau
“natural moral law”; dan (4) revelation theory; melihat bahwa
yang benar atau salah berasal dari kekuasaan di atas manusia
yaitu dari Tuhan sendiri. Dengan kata lain apa yang dikatakan
Tuhan (dalam berbagai kitab suci) menjadi rujukan utama
untuk memutuskan apa yang benar dan apa yang salah.
Pada kenyataannya etika menjadi suatu hal yang amat
dilekatkan dengan birokrasi. Alasannya sangat sederhana,
yakni karena merekalah yang mempunyai kekuasaan dan
mereka juga yang harus membuat keputusan-keputusan.
Keputusan-keputusan mereka itu akan mempengaruhi
publik secara keseluruhan. Oleh karena itu etika senantiasa
dihubungkan dengan soal nilai yang mengatur perilaku
manusia, dihadapkan pada benar atau salah sesuatu tindakan
dan pada baik atau buruknya motif dan tujuan tindakan
yang dilakukan. Dalam konteks birokrasi pemerintah,
setiap aparatur pemerintah wajib memiliki sikap mental dan
perilaku yang mencer-minkan keunggulan watak, keluhuran
budi, dan asas etis. Ia wajib mengem-bangkan diri, sehingga
sunguh-sunggih memahami, menghayati dan menerapkan
berbagai asas etis yang bersumber pada kebajikan-kebajikan
moral (khususnya keadilan) dalam tindakan jabatannya.
Berkaitan dengan itu, Levine (1999: 34) menyatakan
bahwa petugas Negara memiliki kewajiban-kewajiban
etis (ethical obligations). Oleh karena itu, setiap petugas
administrasi pemerintahan wajib memahami asas-asas etis
yang bersumber pada berbagai kewajiban moral, kemudian
membina diri sehingga sungguh-sungguh menghayati
asas-asas etis itu dalam melaksanakan tugasnya. Waldo
mengemukakan berbagai asas etis (Zauhar, 1996: 26-29) yang
pokok dalam administrasi pemerintahan, yaitu:

PELAYANAN PUBLIK 101


1) Pertanggujawaban (responsibility)
Asas etis ini menyangkut hasrat seseorang petugas
untuk merasa memikul kewajiban penuh dan ikatan
kuat dalam melaksanakan semua tugas pekerjaan secara
memuaskan. Petugas administrasi pemerintahan harus
mempunyai hasrat besar untuk melaksanakan fungsi-
fungsinya secara efektif, sepenuh kemampuan, dan
dengan cara paling memuaskkan pihak yang menerima
pertanggungjawaban. Pertanggungjawabannya itu tertu-
ju kepada rakyat umumnya, instansi pemerintahnya,
maupun pihak atasan langsung.
Kecenderungan untuk melepaskan tanggung jawab
atau keinginan untuk melemparkan tanggung jawab
kepada pihak lain atau pun kebiasaan mengajukan dalih
“hanya melaksanakan perintah” (just following orders),
harus dihilangkan dari diri setiap aparatur pemerintah.
Dengan demikian setiap petugas administrator
pemerintahan harus siap untuk memikul pertanggung
jawaban mengenai apa saja yang dilakukannya. Ia tidak
boleh terjebak pada alasan bahwa ia hanya menjalankan
petunjuk atau melaksanakan kebijakan pemerintah.
2) Pengabdian (dedication)
Pengabdian merupakan suatu keinginan untuk
menjalankan tugas-tugas pekerjaan dengan semua tena-
ga (pikiran atau mental dan isik), seluruh semangat
kegairahan, dan sepenuh perhatian tanpa pamrih apa-apa
yang bersifat pribadi, misalnya ingin cepat naik pangkat
atau diberi tanda jasa. Setiap petugas dalam administrasi
pemerintahan dalam melaksanakan tugasnya harus
selalu dan terus menerus menunjukkan keterlibatan
diri (involvement of selself) dan penuh antusiasme.
Kecenderungan bekerja setengah hati atau asal jadi,
tidak boleh ada dalam diri setiap petugas yang baik.

102 ETIKA BIROKRAT


Pengabdian itu terarah pada jabatannya, keahliannya,
dan bidang profesinya.
3) Kesetiaan (loyality)
Kesetiaan merupakan suatu kebajikan moral, yaitu
sebagai kesadaran seseorang petugas untuk setulusnya
patuh kepada tujuan bangsa, konstitusi Negara, peraturan
perundang-undangan, badan/ instansi, tugas/jabatan,
maupun atasan demi tercapainya cita-cita bersama yang
diharapkan. Pelaksanaan tugas pekerjaan dengan ukuran
rangkap, pertimbangan untung-rugi, atau bahkan dengan
kebiasaan sabotase, tidak dikenal dalam setiap petugas
yang baik. Kalau seorang petugas tidak dapat menjalankan
tugas jabatannya dengan sepenuh kemampuan, tidak
bersedia terikat patuh pada badan/instansinya, atau tidak
merasa cocok dengan kebijakan pihak pimpinannya,
maka tindakan etis adalah mengundurkan diri dari
jabatannya.
4) Kepekaan (sensitivity)
Asas etis ini mencerminkan kemauan dari kemam-
puan seseorang petugas untuk memperhatikan serta
siaga terhadap berbagai perkem-bangan yang baru,
situasi yang berubah, dan kebutuhan yang timbul
dalam kehidupan masyarakat dari waktu ke waktu
dengan disertai usaha-usaha untuk menanggapi secara
sebaik-baiknya. Sikap tidak peduli asalkan tugas rutin
sudah selesai atau tidak mau susah payah melakukan
pembaharuan harus disingkirkan dari setiap petugas
administrasi pemerintahan yang baik.
5) Persamaan (equality)
Salah satu kebajikan pokok dari badan pemerintah-
an yang bertujuan mengabdi kepada seluruh rakyat
dan melayani kepentingan umum ialah perlakuan adil.
Perlakuan yang adil itu biasanya dapat diwujudkan
dengan memberikan perlakuan yang sama tanpa

PELAYANAN PUBLIK 103


membeda-bedakan atau pilih kasih kepada semua pihak.
Persamaan dalam perlakuan, pelayanan, dan pengabdian
harus diberikan oleh setiap petugas kepada publik tanpa
memandang hubungan kerabat, ikatan politik, asal-usul
keturunan, atau kedudukan sosial. Perbedaan perlakuan
secara semena-mena atau berdasarkan kepentingan
pribadi, tidak boleh dilakukan oleh petugas administrasi
pemerintahan yang adil.
6) Kepantasan (equity)
Persamaan perlakuan terhadap semua pihak seba-
gai suatu asas etis, tidak selalu mencapai keadilan dan
kelayakan. Persoalan dan kebutuhan dalam masyarakat
sangat beraneka ragam, sehingga memer-lukan perbedaan
perlakuan asalkan berdasarkan pertimbangan yang adil
atau alasan yang benar. Demikian pula, sesuatu faktor
khusus atau situasi tertentu dapat membuat persamaan
yang ketat menjadi suatu perlakuan yang tidak adil.
Dengan demikian terhadap suatu kelompok tertentu dan
untuk suatu keadaan tertentu, perlu diberikan perlakuan
yang sama. Tetapi terhadap suatu golongan lain dan
berdasarkan kondisi khusus yang berlainan, mungkin
perlu ada perlakuan yang tidak sama. Untuk itu, asas yang
harus diindahkan ialah kepantasan yang juga merupakan
salah satu makna keadilan. Asas kepantasan mengacu
pada suatu hal yang sepatutnya menurut pertimbangan
moral atau nilai etis yang berlaku dalam kehidupan
masyrakat.
Pemberian pelayanan publik, telah terjadi pergeseran
paradigma etika. Pergeseran tersebut diuraikan oleh Keban
(2008: 173-176), Ia berpendapat bahwa sudah waktunya
meninggalkan kebiasaan atau tradisi (custom) yang selama
ini selalu menjadi pegangan utama dalam menentukan suatu
pembuatan keputusan karena pemerintah selalu berhadapan
dengan berbagai masalah baru. Kebiasaan dan tradisi tersebut

104 ETIKA BIROKRAT


harus digoyang dengan standar etika yang ada, dimana etika
harus dilihat sebagai “source of doubt”. Pertanyaan-pertanyaan
etika harus digunakan dalam menilai apakah suatu keputusan
sudah dianggap baik atau tidak. Singjkatnya dalam model
ini dikatakan bahwa agar menjadi etis, diperlukan seorang
administrator senantiasa menguji dan mempertanyakan
standar yang digunakan dalam pembuatan keputusan
daripada hanya sekedar menerima atau tergantung pada
kebiasaan dan tradisi yang ada (Denhardt, 2002:6).
Pada tahun 1953, Hurst A. Anderson dalam suatu
pidatonya yang berjudul Ethical Values in Administration
mengatakan, bahwa masalah etika sangat penting dalam
setiap keputusan administratif, tidak hanya bagi mereka
yang memformulasikan kebijakan publik, dan etika itu
sendiri harus dipandang sebagai asumsi-asumsi yang
menuntun kehidupan dan pekerjaan kita semua. Dengan
kata lain, kita harus memiliki apa yang disebut “philosophy of
personal and social living”. Pendapat ini diklasiikasikan oleh
Denhardt (2002: 8) sebagai Model II-The 1950s, yang intinya
bahwa agar dianggap etis maka seorang administrator
hendaknya menguji dan memper-tanyakan standar atau
asumsi-asumsi yang digunakan sebagai dasar pembuatan
keputusan. Standar-standar tersebut harus mereleksikan
nilai-nilai dasar masyarakat, dan tidak sekedar tergantung
semata pada kebiasaan dan tradisi. Perlu diketahui bahwa
yang dimaksudkan dengan nilai-nilai dasar (core values)
masyarakat meliputi antara lain kebebasan, kesetaraan,
keadilan, kebenaran, kebaikan dan keindahan.
Pada tahun 1960an muncul suatu nuansa baru
dalam etika pelayanan publik. Robert T. Golembiewski
memaparkan dalam tulisannya yang berjudul Men,
Management, and Morality tahun 1965 (Dehhart, 2000: 42),
bahwa praktek-praktek organisasi yang telah berlangsung
sekian lama yang didasarkan pada teori-teori organisasi

PELAYANAN PUBLIK 105


tradisional telah membawa dampak negatif pada individu-
individu yang bekerja dalam organisasi itu sendiri. Dengan
kata lain, para individu tersebut merasa tertekan dan
frustrasi dan oleh karena itu sisi etika dari praktek tersebut
perlu mendapatkan perhatian. Standar-standar yang telah
ditetapkan dalam organisasi jaman dulu belum tentu cocok
sepanjang masa, karena itu harus dilihat apakah masih pantas
dipertahankan atau tidak. Disini Golembiewski melihat etika
sebagai “contemporary standards of right conduct” yang harus
disesuaikan dengan perubahan waktu. Karena itu Denhardt
(2002: 9-10) melihat pendapat ini sebagai Model III-1960s,
yang intinya bahwa agar menjadi etis, seorang administrator
sebaiknya menguji dan mempertanyakan standar, atau
asumsi yang melandasi pembuatan suatu keputusan.
Standar-standar tersebut harus mereleksikan nilai-nilai dasar
masyarakat dan tidak semata tergantung pada kebiasaan
dan tradisi. Standar etika bisa berubah ketika kita mencapai
suatu pemahaman yang lebih baik terhadap standar-standar
moral yang absolut.
Pada tahun 1970an muncul para ahli administrasi
publik yang tergolong dalam masyarakat New Public
Administration, memberikan nuansa baru yaitu meminta
agar administrator memperhatikan “administrative res-
ponsibility”. David K. Hart, salah seorang intelektualnya,
menilai bahwa administrasi publik saat itu sudah bersifat
“impartial” dan sudah waktunya merubah paradigma
lama untuk memperbaiki kepercayaan publik yang waktu
itu sudah pudar. Ia menyarankan agar “social equity” atau
keadilan sosial harus menjadi pegangan pokok administrasi
publik, sebagaimana disarankan oleh John Rawls dalam
Teori Keadilan, yang dinilai benar-benar menggambarkan
paradigma keadilan. Oleh karena itu, Denhardt (2002:
16) menye-butnya sebagai Model IV-the 1970s, yang
merupakan akumulasi penyem-purnaan dari model-

106 ETIKA BIROKRAT


model sebelumnya, dimana dikatakan bahwa agar menjadi
etis seoranmg administrator harus benar-benar memberi
perhatian pada proses menguji dan mempertanyakan
standar, atau asumsi yang melandasi pembuatan keputusan
administratif. Standar-standar ini mungkin berubah dari
waktu ke waktu dan administrator harus mampu merespons
tantangan-tantangan dan tuntutan-tuntutan baru dengan
memperbaharui standar-standar tersebut. Isi dari standar-
standar tersebut harus mereleksikan komitmen terhadap
nilai-nilai dasar masyarakat, dan administrator harus tahu
bahwa ialah yang akan bertanggung jawab penuh terhadap
satandart-standar yang digunakan dan terhadap keputusan-
keputusan itu sendiri.
Perkembangan selanjutnya, muncul beberapa penda-
pat yang secara signiikan memberikan kontribusi bagi
penyempurnaan paradigma etika pelayanan publik. Dua
tokoh penting yang memberi kontribusi tersebut adalah John
Rohr dalam karyanya Ethics for bureaucrats tahun 1978 dan
Terry L. Cooper dalam The Responsible Administrator tahun
1986. John Rohr dalam tulisannya memberikan sumbangan
yang sangat berarti, yaitu bahwa dalam proses pengujian
dan mempertanyakan standard dan asumsi yang digunakan
dalam pengambilan keputusan diperlukan “independensi”,
dan tidak boleh tergantung dari pemikiran pihak luar seperti
Mahkamah Agung atau Pengadilan Negeri, dsb. Karena itu
Denhardt (2002: 23) menyebutnya sebagai Model V-After
Rohr, mengatakan bahwa untuk dapat disebut etis, maka
seorang administrator harus secara independen masuk dalam
proses menguji dan mempertanyakan standar-standar yang
digunakan dalam pembuatan keputusan. Isi dari standar
tersebut mungkin berubah dari waktu ke waktu ketika nilai-
nilai sosial difahami secara lebih baik atau ketika masalah-
masalah baru diungkapkan. Administrator harus memahami
bahwa ia akan bertanggung jawab baik secara perorangan

PELAYANAN PUBLIK 107


maupun kelompok terhadap keputusan-keputusan yang
dibuat dan terhadap standar etika yang dijadikan dasar
keputusan-keputusan tersebut.
Model akhir didasarkan pada pemikiran Cooper,
sehingga Denhardt (2002: 26) menyebutnya sebagai Model
VI-After Cooper. Model ini menggambarkan bahwa antara
administrator, organisasi, dan etika terdapat hubungan
penting dimana etika para administrator justru sangat
ditentukan oleh konteks organisasi dimana ia bekerja. Jadi
lingkungan organisasi menjadi sangat menentukan, bahkan
begitu menentukan sehingga seringkali para administrator
hanya memiliki sedikit “otonomi beretika”. Dengan kata
lain, agar dapat dikatakan etis apabila seorang administrator
mampu mengatur secara independen proses menguji dan
mempertanyakan standar yang digunakan dalam pembuatan
keputusan, paling tidak keputusan yang secara sah dibuat
pada tingkatan organisasi itu. Isi dari standar tersebut
mungkin berubah dari waktu kewaktu bila nilai-nilai sosial
difahami secara lebih baik dan masalah-masalah sosial baru
mulai terungkap. Administrator dalam hal ini harus siap
menyesuaikan standar-standar tersebut dengan perubahan-
perubahan tersebut, senantiasa memberikan komitmennya
pada nilai-nilai dasar masyarakat dan tujuan organisasinya.
Administrator akan bertanggung jawab secara perorangan
dan professional, dan bertanggung jawab dalam organisasi
terhadap keputusan yang dibuat dan terhadap standar etika
yang digunakan dalam keputusan itu.
Berdasarkan gambaran singkat tentang pergeseran
paradigm etika pelayanan publik di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa selama ini etika dan moralitas sudah
mendapatkan perhatian yang serius dalam dunia pelayanan
publik atau administrasi publik. Tiga hal pokok yang menarik
perhatian dalam paradigma tersebut, yaitu (1) proses
menguji dan mempertanyakan standar etika dan asumsi,

108 ETIKA BIROKRAT


secara independen. (2) Isi standar etika yang seharusnya
mereleksikan nilai-nilai dasar masyarakat dan perubahan
standar tersebut, baik sebagai akibat dari penyempurnaan
pemahaman terhadap nilai-nilai dasar masyarakat, maupun
sebagai akibat dari muculnya masalah-masalah baru dari
waktu ke waktu; dan (3) Konteks organisasi dimana para
administrator bekerja berdasarkan tujuan organisasi dan
peranan yang dimainkan mereka, yang dapat mempengaruhi
otonomi mereka dalam beretika.
Menurut Denis Thompson (Frederickson, 2003: 54),
di dalam admi-nistrasi publik terdapat isu etika yang
kontroversil dan dilemmatis, yaitu etika netralitas dan etika
struktur. Etika netralitas menuntut seorang administrator
untuk netral, artinya menerapkan prinsip etika sesuai
dengan kebijakan organisasi atau sebagaimana diputuskan
oleh organisasi, dan tidak boleh menerapkan prinsip etika
yang dianutnya. Etika seperti ini menuntut loyalitas tinggi
bagi seorang administrator, dan menyangkal otonomi
beretika. Memahami relevansi etiuka dengan setiap aktivitas
yang terdapat dalam birokrasi, perlu dirumuskan kembali
lingkup administrasi negara itu sendiri yang pada akhirnya
akan sampai pada perdebatan tentang paradigma. Kalau kita
berbicara tentang paradigma maka kita harus memahami ilmu
administrasi publik dari dua aspek. Aspek pertama disebut
lokus yang menunjukkan tempat keberadaan suatu bidang
ilmu, dan yang kedua adalah fokus yang menunjukkan
kekhususan dari ilmu tersebut. Menururut Henry, paradigma
yang terakhir mengatakan bahwa lokus administasi negara
adalah mengenai kepentingan publik (public interest) dan
urusan publik (public afairs), sedangkan fokusnya adalah
teori organisasi dan ilmu manajemen (Hughes, 2009: 33-65).
Administrasi publik merupakan proses yang rumit
karena bukan saja berkaitan dengan aktivitas-aktivitas
teknis yang berlandaskan ilmu manajemen untuk mencapai

PELAYANAN PUBLIK 109


eisiensi yang tinggi melainkan juga aktivitas-aktivitas
politis yang berusaha menafsirkan kehendak publik dan
menerjemahkannya dalam kebijakan nyata. Menurut Surie
(Ismail, 2003: 12) kebijakan dapat dideinisi-kan sebagai
seluruh gagasan mengenai tujuan dan cara/arah tindakan-
tindakan manusia dalam organisasi.
Kebijakan menentukan norma dan mengatur
administrasi negara pada tingkat strategis. Dari segi
materi atau isi, administrasi negara berarti administrasi
negara melakukan kebijakan publik yakni menetapkan
dan melaksanakan suatu kebijakan yang berpengaruh
kepada masyarakat umum. Dari segi formal atau bentuk,
administrasi negara adalah pengambilan keputusan-
keputusan yang mengikat orang banyak. Dari segi sosiologi,
administrasi negara merupakan bentuk tindakan sosial
tertentu yang diorganisir. Jadi dalam praktek administrasi
negara merupakan rangkaian pengambilan kebijakan,
yang menghasilkan norma-norma formal, aturan-aturan,
serta keharusan-keharusan bagi tindakan sosial. Proses
pengaturan itu tentunya akan menunjang tertib sosial hanya
apabila ia merujuk kepada rasa kebenaran dan keadilan dari
warga masyarakatnya, sehingga setiap aktivitas administrasi
negara akan selalu punya konsekuensi nilai (Kumorotomo,
1996: 102). Dengan demikian dapat ditarik suatu kesimpulan
bahwa proses administrasi negara senantiasa menuntut
pertanggung jawaban etis.

110 ETIKA BIROKRAT


BAB VI
KONSEP ETIKA ADMINISTRASI
DAN ETIKA BIROKRASI

A. Konsep Etika Administrasi


Sampai sejauh ini kita telah membahas tentang dasar-
dasar pengandaian normatif yang terdapat dalam etika
beserta unsur-unsur ilosoisnya dan kemudian mencoba
menghubungkannya dengan konsep-konsep tentang kekuasaan
serta penyelenggaraan aktivitas-aktivitas kenegaraan. Kiranya
ini dapat dijadikan sebagai langkah awal untuk menuju kepada
telaah-telaah etis berkenaan dengan interaksi antara penguasa,
administrator, atau birokrat dengan masyarakat umum atau
warga negara. Premis yang mendasarinya ialah bahwa setiap
hubungan sosial akan mempunyai konsekuensi tertentu dalam
hal legitimasi. Sebagai contoh, pada umumnya kita melihat
“kekuasaan” sebagai kemampuan untuk membuat orang lain
bertindak sesuai dengan kemauan “penguasa”. Akan tetapi,
kekuasaan tidak sama dengan legitimasi. Jika ada orang yang
menodongkan belati ke leher seseorang, mungkin dapat membuat
seseorang menyerahkan harta-bendanya. Masalahnya adalah
apakah dia boleh berbuat seperti itu? Seorang pejabat mungkin
dapat memaksa bawahannya untuk memanipulasi tender supaya

KONSEP ETIKA ADMINISTRASI DAN ETIKA BIROKRASI 111


proyek tertentu jatuh pada perusahaan kontraktor di mana
pejabat tersebut menanam sahamnya, dengan ancaman untuk
mengurangi kondite bawahan tadi bila tidak mau melakukannya.
Akan tetapi, apakah “kekuasaan” seperti itu masih layak diikuti
dan apakah pejabat tadi memang boleh melakukan tindakan tadi?
Di sinilah letaknya persoalan legitimasi terhadap kekuasaan.
Kaidah yang menunjang legitimasi ada bermacam-macam, kita
dapat melihatnya dari norma agama, etika, susila, sopan-santun,
maupun norma hukum. Untuk maksud kita, norma yang
dijadikan landasan adalah norma etika atau moralitas.
Untuk memahami relevansi etika dengan setiap aktivitas
yang terdapat dalam birokrasi, perlu dirumuskan kembali
lingkup administrasi negara itu sendiri. Perkembangan disiplin
ilmu administrasi negara selama lebih dari 90 tahun di negara-
negara maju yang juga memengaruhi perkembangan ilmu ini di
Indonesia masih memaparkan perdebatan-perdebatan mengenai
kedudukan ilmu administrasi negara (public administration) itu
sendiri sebagai salah satu cabang dari ilmu sosial politik. Henry
(1988: 33-65) misalnya, menguraikan adanya 5 (lima) paradigma
dalam ilmu administrasi negara dan sebagian besar pembedaan
paradigma itu ternyata berkisar pada perlu tidaknya dilakukan
pemisahan antara ilmu politik dan administrasi. Jika kita berbicara
tentang paradigma maka kita hams memahami ilmu administrasi
negara dari dua aspek. Aspek pertama disebut lokus yang
menunjukkan tempat keberadaan suatu bidang ilmu, dan yang
kedua adalah fokus yang menunjukkan kekhususan dari ilmu
tersebut. Menurut Henry (1988: 33-65) paradigma yang terakhir
mengatakan bahwa lokus ilmu administrasi negara adalah
mengenai kepentingan publik [public interest) dan urusan publik
[public afairs), sedangkan fokusnya adalah teori organisasi dan
ilmu manajemen. Paradigma ini agaknya berusaha menghindari
dikotomi politik-administrasi yang apabila dipaksakan ternyata
justru menimbulkan berbagai kejanggalan. (Henry, 1988:33-

112 ETIKA BIROKRAT


65) Betapapun dalam kenyataan kita melihat bahwa seorang
administrator atau birokrat tidak akan bisa menghindari
tindakan-tindakan politis. Aktivitas politis dari birokrat tampak
dari adanya keleluasaan bertindak (diskresi) administratif
yang dimilikinya. Diskresi administratif adalah segala aktivitas
untuk mengemukakan saran, melapor, menjawab, mengambil
inisiatif, menyampaikan info, memveriikasi, memperingatkan,
mengadukan, menyo-kong, merangsang kerja, menegur,
mendukung, menolak, dan merundingkan sesuatu yang ber-
pengaruh terhadap lembaga-lembaga publik. Sementara itu,
aktivitas administrasi tampak dari segala perilakunya untuk
merencanakan, memilih alternatif, mengorganisasi, mengelola,
memantau, mengevaluasi, melaksanakan, serta melakukan
implementasi atas program-program di dalam lingkup birokrasi.
Untuk itu, dia perlu membekali diri dengan ilmu manajemen
serta landasan pemahaman mengenai teori organisasi yang
kuat.
Dengan demikian, jelas bahwa administrasi negara meru-
pakan proses yang rumit. Ia bukan saja berkaitan dengan
aktivitas-aktivitas teknis berlandaskan ilmu manajemen untuk
mencapai eisiensi yang tinggi melainkan juga aktivitas-aktivitas
politis yang berusaha menafsirkan kehendak publik dan
menerjemahkannya dalam kebijakan nyata. Kebijakan (policy)
dapat dideinisikan sebagai seluruh gagasan mengenai tujuan
dan cara/arah tindakan-tindakan manusia dalam organisasi.
Surie (1978: 12) Kebijakan menentukan norma dan mengatur
administrasi negara pada tingkat strategis. Dari segi materi atau
isi, administrasi negara berarti melakukan kebijakan publik
yakni menetapkan dan melaksanakan suatu kebijakan yang
berpengaruh kepada masyarakat umum. Dari segi formal atau
bentuk administrasi negara adalah pengambilan keputusan-
keputusan yang mengikat orang banyak. Sementara itu, dari segi
sosiologi, administrasi negara merupakan bentuk tindakan sosial

KONSEP ETIKA ADMINISTRASI DAN ETIKA BIROKRASI 113


tertentu yang diorganisasi atau tepatnya serangkaian proses
tindakan sosial yang berlangsung dan dibakukan dalam periode
tertentu. Jadi, dalam praktik administrasi negara merupakan
rangkaian pengambilan kebijakan yang menghasilkan norma-
norma formal, aturan-aturan, serta keharusan-keharusan bagi
tindakan sosial. Proses pengaturan itu tentunya akan menunjang
tertib sosial hanya apabila ia merujuk kepada rasa kebenaran dan
keadilan dari warga masyarakatnya, sehingga setiap aktivitas
administrasi negara akan selalu punya konsekuensi nilai (value
loaded).
Kesimpulan yang bisa ditarik dari uraian di atas, seperti
yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya, ialah bahwa proses
administrasi negara senantiasa menuntut pertanggungjawaban
etis. Sebagai salah-satu bagian dari hidang kajian etika sosial,
etika administrasi negara memiliki lingkup yang cukup luas.
Bagan 2. memperlihatkan kedudukan etika administrasi negara
di antara cabang-cabang etika sosial lainnya.

Sikap Terhadap Sesama

Etika Keluarga

Etika Profesi

Etika Sosial Etika Administrasi Negara

Etika Politik

Etika Lingkungan Hidup

Kritik Ideologi

Gambar: 2. Pembagian Bidang Kajian Etika Sosial

Tampak bahwa berbagai cabang etika sosial yang ada itu


dalam beberapa segi akan banyak pengaruhnya terhadap norma-

114 ETIKA BIROKRAT


norma yang harus diikuti di dalam etika administrasi negara.
Seorang pejabat, misalnya, untuk melaksanakan kedudukannya
sebagai administrator sekurang-kurangnya harus memiliki etika
keluarga yang baik kalau tak ingin akan kehilangan wibawanya
di mata masyarakat. Sikap-sikapnya terhadap sesama terkadang
juga ikut menentukan rasa respek masyarakat karena bagai-
manapun ia menjadi cermin dan teladan bagi khalayak. Dalam
bagan ditunjukkan bahwa etika administrasi negara berada
di antara cabang etika profesi dan etika politik. Asumsi yang
dipakai ialah bahwa seorang administrator adalah orang yang
harus menerapkan ilmu-ilmu manajemen dan organisasi
secara profesional. Dia harus mampu memecahkan masalah-
masalah taktis dengan baik serta mampu mengelola organisasi
secara eisien. Namun, berlainan dengan kedudukan kalangan
profesi seperti pengacara, dokter, apoteker, atau manajer bisnis,
seorang administrator harus bertanggung jawab kepada lingkup
masyarakat yang jauh lebih luas dan beraneka ragam. Oleh
karena itu, dia juga dituntut untuk memiliki kepekaan yang
tinggi terhadap masalah-masalah politis.
Dilema yang harus dihadapi oleh administrator bukan
sekedar bagaimana supaya organisasi-organisasi publik dapat
berjalan secara eisien, tetapi juga bagaimana supaya organisasi-
organisasi itu dapat memberikan pelayanan yang memuaskan
publik. Dalam masyarakat yang pluralis dilema seperti ini jelas
akan lebih pelik. Sementara itu, sebagai seorang yang berwenang
untuk melakukan pengambilan keputusan, dia harus mampu
meletakkan desentralisasi dalam organisasi secara tepat.
Delegasi wewenang, partisipasi masyarakat, dan pengambilan
keputusan kepada tingkatan-tingkatan administratif yang
lebih rendah merupakan hal penting bagi masyarakat yang
demokratis. Namun, administrator harus berfungsi pula sebagai
pribadi yang terampil menggunakan persuasi objektif untuk
keputusan-keputusan yang memerlukan tindakan segera. Selain

KONSEP ETIKA ADMINISTRASI DAN ETIKA BIROKRASI 115


itu, ia pun akan selalu dihadapkan pada persoalan-persoalan
bagaimana menciptakan pemerintahan yang rasional sekaligus
yang bertanggung jawab secara demokratis. Pemerintahan
harus rasional dalam arti bahwa ada masalah-masalah yang
memang harus dipecahkan secara lugas, teknis, dan profesional.
Akan tetapi, pemerintahan yang baik juga mesti memperoleh
dukungan dan persetujuan sebagian besar masyarakat atas
kebijakan-kebijkakan yang diambilnya. Etika administrasi
negara berusaha menempatkan kaidah-kaidah moral dalam
menghadapi berbagai dilema di atas, dan juga masalah-masalah
yang menyangkut kedudukan pribadi seorang administrator
dalam proses interaksinya dengan negara dan masyarakat
sebagaimana telah diuraikan.

B. Konsep Etika Birokrasi


Di negara-negara berkembang, tugas utama birokrasi lebih
dititikberatkan untuk memperlancar proses pembangunan.
Itulah sebabnya banyak penulis yang menganalisis administrasi
negara-negara berkembang menggunakan istilah birokrasi
pembangunan atau administrasi pembangunan. Deinisi yang
sederhana mengatakan bahwa pembangunan adalah proses
perubahan dari suatu keadaan tertentu kearah keadaan lain
yang lebih baik. Kaz (1965). Dalam tugas-tugas pembangunan,
aparat administrasi diharapkan memiliki komitmen terhadap
tujuan-tujuan pembangunan, baik dalam perumusan kebijakan
maupun dalam pelaksanaannya secara efektif dan eisien. Dia
harus berorientasi kepada kegiatan (bukan hanya terpaku
pada aturan-aturan legalistik), mampu memecahkan masalah-
masalah kemasyara-katan, serta mampu merumuskan kebijakan-
kebijakan tertentu ke arah kemajuan. Singkatnya, dia harus
mampu menjadi agen-agen perubahan (change agents).

116 ETIKA BIROKRAT


Dengan demikian, wajarlah apabila para administrator
pembangunan diberi hak-hak untuk mengambil kebijakan-
kebijakan yang diperlukan berdasarkan pertimbangan rasio-
nal dan pengalaman yang dimilikinya. Keleluasaan untuk
mengambil kebijakan administratif (administrative discretion)
ini diberikan supaya pemerintahan dapat berjalan secara
efektif dan proyek-proyek pembangunan yang kerapkali
membutuhkan pengambilan keputusan yang cepat itu dapat
terlaksana dengan lancar. Sayangnya, tidak setiap administrator
menyadari bahwa mereka mengemban tugas berat yang hams
selalu dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Seharusnya
para administrator mempergunakan hak-hak diskresinya
untuk situasi unik yang belum terdapat dalam peraturan,
untuk masalah-masalah yang lidak terlalu berpengaruh secara
makro, atau untuk kebijakan- kebijakan yang benar-benar
urgen dan mendesak. Tetapi dalam banyak kasus mereka selalu
mempergunakan hak-hak yang melekat dalam jabatannya,
dan lebih buruk lagi mereka tidak melibatkan pertimbangan-
pertimbangan rasional. Davis mengatakan bahwa di negara-
negara yang tengah melakukan usaha-usaha modernisasi, banyak
pejabat publik yang kini memiliki terlalu banyak diskresi. Oleh
sebab itu, tindakan-tindakan restrukturisasi perlu dilakukan
untuk membatasi, menyusun kembali, dan mengevaluasi
pelbagai diskresi tersebut guna menciptakan masyarakat yang
lebih adil. (Davis, 1976: 3) Di negara kita, pertanggungjawaban
administratif terhadap masalah-masalah pembangunan akan
semakin diperlukan terutama jika diingat bahwa pendekatan
legalistik melalui Peradilan Tata Usaha Negara belum bisa betul-
betul diterapkan. Jalan yang bisa ditempuh adalah melalui sistem
pertanggungjawaban kepada tingkat-tingkat administratif yang
lebih tinggi, atau melalui dialog terus-menerus secara terbuka
dengan komponen-komponen yang berfungsi menyalurkan

KONSEP ETIKA ADMINISTRASI DAN ETIKA BIROKRASI 117


aspirasi masyarakat. Betapapun administrasi pembangunan tidak
berjalan dalam kondisi vakum politik, karena itu pelaksanaannya
harus dapat dipertanggungjawabkan secara politik pula. Proses
administrasi memperoleh legitimasinya dari kehendak politik
rakyat sehingga sudah selayaknya kalau ia mencerminkan
kemauan rakyat Sampai kepada tingkat kebijakan yang paling
mikro.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pembangunan nasional kita
selama kurun waktu 25 (dua puluh lima) tahun terakhir telah
berhasil mengangkat taraf kemakmuran ekonomis masyarakat.
Akan tetapi, prestasi ini tidak dibarengi dengan meningkatnya
kesejahteraan dipandang dari aspek-aspek sosial dan nilai-nilai
demokrasi. Pelaksanaan pembangunan komunitas pada skala
luas hanya menghasilkan tidak lebih dari seperangkat program
dan target baru yang dirumuskan dari pusat dengan pelaksana
struktur-struktur birokrasi yang konvensional dan tidak
tanggap terhadap preferensi atau kebutuhan-kebutuhan rakyat
setempat. Secara rinci Korten mengemukakan ciri-ciri program
pembangunan pada kebanyakan negara berkembang, antara lain:
(a) ketergantungan pada organisasi-organisasi birokrasi terpusat
yang hanya mempunyai sedikit kemampuan untuk menanggapi
beraneka-ragam kebutuhan khas komunitas; ketergantungan ini
juga tampak dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan
“partisipatif”; (b) investasi yang tidak memadai dalam proses
pengembangan kemampuan komunitas untuk memecahkan
masalah; (c) perhatian yang kurang dalam menangani keaneka-
ragaman masyarakat, terutama dalam hal struktur sosial
pedesaan yang sangat berlapis-lapis; (d) tidak cukupnya integrasi
antara komponen-komponen teknis dengan sosial dalam
upaya pembangunan. Untuk itu, Korten mengusulkan supaya
program-program pembangunan tidak hanya berdasarkan
ancangan “cetak biru” yang terlalu kaku melainkan diupayakan

118 ETIKA BIROKRAT


agar terjadi proses belajar (learning process) yang bermanfaat bagi
rakyat. Tantangan yang harus dihadapi untuk menuju model
pembangunan partisipatoris ialah usaha-usaha pemaduan
pelaksanaan kerja, pendidikan, dan pembentukan lembaga
ke dalam sebuah proses belajar yang koheren (Korten, 1988:
231-249). Ini hanya bisa dilaksanakan jika para administrator
bersedia selalu membuka diri untuk tidak hanya terpancang
pada pemahaman teknis dan asas-asas manajerial dalam proses
administratif tetapi juga membuka diri terhadap pemahaman
mengenai karakter dan kultur masyarakat.
Rumusan yang terdapat dalam Garis-garis Besar Haluan
Negara secara eksplisit telah menyebutkan bahwa ideologi
pembangunan yang kita anut mencita-citakan pembangunan
manusia seutuhnya. Itu berarti bahwa pembangunan nasional
tidak hanya mengutamakan tercukupinya kebutuhan- kebutuhan
materi, sistem ekonomi yang sehat, dan taraf hidup yang lebih
baik, melainkan juga terbinanya manusia-manusia Indonesia
yang berwatak, berkepribadian, memiliki rasionalitas dan visi ke
depan, dan mempunyai nilai-nilai moralitas yang tinggi. Manusia
tidak ditempatkan sebagai objek pembangunan, tetapi sebagai
subjek atau titik sentral yang akan menentukan arah pembangunan
itu sendiri. Maka para administrator yang terlibat langsung
dalam perencanaan maupun operasionalisasi program-program
pembangunan diharuskan untuk selalu mempertimbangkan
nilai-nilai yang wajib dianut dalam melaksanakan tugas-tugas
kedinasan mereka. Asas-asas pembangunan yang manusiawi
itu mungkin terlalu abstrak untuk dikaitkan dengan tugas-tugas
yang bersifat teknis, tetapi melalui penilaian yang bijaksana dari
para administrator semua kebijakan akan selalu mengandung
konsekuensi yang terkait dengan ide-ide pembangunan yang
paling mendasar tersebut.

KONSEP ETIKA ADMINISTRASI DAN ETIKA BIROKRASI 119


1. Kebebasan
Kemerdekaan pribadi atau kebebasan merupakan
bagian penting dari hak-hak asasi manusia. Hak untuk bebas
merupakan hak yang melekat pada setiap individu karena
martabatnya sebagai manusia, bukan karena pemberian oleh
masyarakat dan negara. Dalam sejarah bisa ditengok bahwa
persoalan kebebasan seringkali mencuat karena ditindasnya
hak-hak kebebasan manusia oleh kekuasaan negara absolutis
atau kekuasaan oligopolis pasar dari sisi politik, sosial
maupun ekonomis. Kebebasan perlu ditegakkan supaya
wajah pembangunan tetap beradab dan berprikemanusiaan.
Menjamin kebebasan individu berarti mencegah masyarakat
dari kemungkinan tumbuhnya kekuasaan liran atau
kebijakan-kebijakan pembangunan semena-mena yang
hendak menukar modernisasi dengan harkat dan martabat
warga negara. Menurut (Rais, 1990: 173) Dalam proses
menggerakkan roda pembangunan, ada beberapa corak
kebebasan yang perlu dipertimbangkan antara lain:
a. Kebebasan Mengeluarkan Pendapat
Pemerintahan disebut demokratis hanya apabila ia
bersedia membuka peluang yang luas bagi setiap warga
negara untuk berbicara sesuai dengan keyakinannya.
Kebebasan mengeluarkan pendapat perlu dijamin
dengan alasan bahwa di samping untuk melindungi
hak-hak asasi ia juga dapat dijadikan sumber masukan
bagi pemerintah supaya bisa mengetahui kelemahan-
kelemahannya. Gejolak-gejolak masyarakat akibat
berbagai ketidakpuasan dapat dikurangi jika kebebasan
mengeluarkan pendapat tetap ditegakkan sehingga cara
ini sesungguhnya juga merupakan sarana penjamin
stabilitas.

120 ETIKA BIROKRAT


b. Kebebasan Pers
Kontrol sosial dan tanggung jawab sosial hanya dapat
berjalan baik jika dalam masyarakat terdapat kebebasan
pers. Lebih dari itu pers juga dapat dipergunakan sebagai
sarana untuk mengkomunikasikan ide-ide pembangunan.
Patut disayangkan bahwa pers sendiri acapkali melakukan
self- censorship dan tidak berusaha menciptakan iklim yang
kondusif bagi adu argumentasi yang sehat. Pers sendiri
terkadang tak mampu menunjukkan prinsip yang jelas
dalam misi jurnalistiknya sehingga informasi-informasi
yang diungkapkannya tidak murni lagi. Inilah yang perlu
mendapat perhatian dalam mengembangkan kebebasan
pers yang mapan.
c. Kebebasan Berserikat
Kebebasan berkumpul atau berserikat perlu se-
nantiasa dilindungi dalam upaya menuju sistem poli-
tik yang demokratis. Rakyat mempunyai hak untuk
menyelenggarakan rapat, melaksanakan pertemuan-
pertemuan, atau bahkan membentuk berbagai corak
kelompok sosial untuk memenuhi kepentingan bersama.
Birokrasi tidak perlu selalu curiga atas aktivitas-aktivitas
mereka apalagi memaksakan kehendak agar kelompok-
kelompok itu tersubordinasi di bawahnya.
d. Kebebasan Beragama
Setiap warga negara harus diperkenankan untuk
menganut agama tertentu dan beribadah sesuai dengan
keyakinannya, karena itu menyangkut hak individual yang
wajib dijamin. Sudah banyak terbukti bahwa keyakinan
spiritual yang muncul dari ketaatan kepada agama
akan dapat menjadi motor pembangunan yang dapat
diandalkan, sementara nilai-nilai moral pembangunan
itu sendiri takkan pernah dilupakan.

KONSEP ETIKA ADMINISTRASI DAN ETIKA BIROKRASI 121


Komponen-komponen hak kebebasan di atas harus
selalu dijadikan dasar dalam proses membangun bangsa.
Semuanya perlu diwujudkan dalam pelaksanaan proyek-
proyek pembangunan kalau kita memang menghendaki
terciptanya wujud pembangunan yang manusiawi.

2. Persamaan
Nilai-nilai moral yang terkandung dalam gerak pem-
bangunan juga ditentukan oleh seberapa jauh proses itu
dapat menciptakan persamaan derajat bagi warga negara.
Hal yang pertama-tama harus ditegakkan oleh pemerintah
adalah persamaan di depan hukum (equality before the taw).
Sisa-sisa budaya feodalistik terkadang menghalangi
terciptanya persamaan di depan hukum bagi seluruh unsur
masyarakat. Perlakuan hukum terhadap anggota masyarakat
masih berlain- lainan dan pilih kasih. Seorang pejabat
yang melanggar hukum dengan mencuri kekayaan negara
atau seorang penguasa yang ketahuan telah melakukan
korupsi besar-besaran kadang- kadang dapat saja bebas
dari tuntutan hukum, sementara seorang pemulung yang
menggelapkan sepeda harus mengalami penyiksaan yang
hebat dalam tahanan disertai hukuman penjara. Karena
memiliki kedudukan tinggi, banyak pejabat yang seolah-olah
“kebal hukum” meskipun pelanggaran yang dilakukannya
sesungguhnya sangat merugikan masyarakat. Kiranya sudah
saatnya bagi birokrasi untuk melakukan otokritik dengan
melihat setiap permasalahan yang menyangkut interaksi
administratif dengan rakyat secara objektif. Dalam sistem
administrasi negara kita ternyata masih sedikit sekali pejabat
yang secara jantan mau mengakui kekeliruannya dalam
melaksanakan tugas untuk kemudian meletakkan jabatannya
secara suka rela. Lebih parah lagi banyak di antara mereka

122 ETIKA BIROKRAT


yang menganggap kritik-kritik yang dilontarkan masyarakat
sebagai angin lalu saja.
Aspek persamaan yang juga membutuhkan perhatian
adalah persamaan kesempatan (equality of opportunity) bagi
seluruh lapisan masyarakat. Persamaan kesempatan di
negara-negara berkembang akan bisa diwujudkan bila negara
berperan aktif untuk menciptakan peluang-peluang terutama
bagi kaum miskin dan kurang berpendidikan. Jika untuk
menjamin kebebasan negara kemudian membiarkan para
pengusaha besar boleh semaunya menggencet pengusaha-
pengusaha kecil, maka itu bukanlah persamaan yang kita
maksudkan. Dalam kasus-kasus seperti ini intervensi birokrasi
negara untuk menentukan aturan-aturan main yang wajar
sungguh diperlukan. Kita tidak hendak mengarah kepada
sistem etatisme yang membenarkan campur-tangan negara
dalam seluruh sendi kehidupan sosial rakyatnya, tetapi segala
bentuk persaingan curang yang bisa mengakibatkan free ight
liberalism juga tidak bisa dibiarkan begitu saja. Persamaan yang
harus diciptakan itu bukan hanya dalam bidang ekonomi,
melainkan menyangkul pula bidang-bidang pendidikan,
sosial, politik, atau ketenagakerjaan. Tantangan yang mesti
dihadapi guna memecahkan persoalan-persoalan seperti
ini semakin nyata apabila kita benar-benar mengharapkan
tumbuhnya demokrasi.

3. Demokrasi dan Partisipasi


Dalam menelaah perubahan-perubahan yang terjadi
di negara-negara berkembang, kita melihat setidak-tidak-
nya dua komponen pendorong perubahan. Pertama adalah
perubahan- perubahan yang bersifat otonom karena
masyarakat menginginkan adanya pergeseran ke arah
kondisi sosial atau taraf hidup yang lebih maju. Dengan

KONSEP ETIKA ADMINISTRASI DAN ETIKA BIROKRASI 123


kata lain, perubahan itu terjadi karena rakyat memang
menghendakinya sebagai naluri yang wajar untuk mencapai
derajat kemakmuran, keadilan, dan kesejahteraan yang lebih
tinggi. Komponen pendorong perubahan yang kedua berasal
dari para pemimpin negara, politisi, teknokrat, intelektual,
atau birokrat yang menghendaki perubahan masyarakat ke
arah kemajuan sesuai dengan yang mereka pahami dan cita-
citakan. Maka tokoh-tokoh ini pun kemudian banyak terlibat
dalam perencanaan, pengambilan keputusan, implementasi
dan evaluasi, bahkan sampai kepada usaha-usaha untuk
membuat “cetak-biru” bagi pembangunan masyarakatnya.
Persoalan-persoalan etika pembangunan muncul karena
ternyata metode membangun yang diterapkan oleh para
penguasa maupun administrator itu tidak cocok atau
tidak koheren dengan kehendak rakyat. Demokratisasi
dimaksudkan agar cara-cara yang ditempuh dalam
melaksanakan pembangunan itu sesuai dengan keinginan
rakyat sehingga apa pun hasil dari pembangunan itu akan
dapat menikmati bersama. Betapapun, rakyat merupakan
subjek utama pembangunan. Karena itu pembangunan
tanpa demokrasi akhirnya akan merosot statusnya menjadi
usaha sepihak elit penguasa yang menentukan gagasan-
gagasannya sendiri kepada masyarakat luas dan hanya akan
mengutamakan kepentingan kelompok mereka sendiri.
Konsep demokrasi mengandaikan bahwa masyarakat
di segala tingkatan dilibatkan dalam proses pengambilan
keputusan-keputusan yang menyangkut mereka. Segala
bentuk monopoli yang dicengkeram oleh para politisi,
pejabat, teknokrat hams dihapuskan karena sesungguhnya
mereka ini memperoleh legitimasi kekuasaannya dari rakyat.
Demokrasi harus diletakkan sejak perangkat pemerintahan
yang paling bawah hingga jenjang yang paling tinggi.

124 ETIKA BIROKRAT


Hal ini layak diperhatikan sebab sampai sekarang kita
masih menyaksikan bahwa banyak sekali proyek-proyek
pembangunan yang hanya didrop dari atas. Masyarakat
pedesaan, misalnya, nyaris tak pernah ditanya mengenai
hal-hal yang mereka butuhkan sehingga sangat wajar jika
antusiasme mereka dalam melaksanakan program-program
pembangunan itu sulit ditingkatkan.
Keengganan para pejabat untuk memahami pendapat-
pendapat masyarakat seringkali juga mengakibatkan
tumpulnya kepekaan masyarakat terhadap masalah-masalah
pembangunan. Karena terlanjur beranggapan bahwa
pendapat-pendapatnya tidak akan pernah didengar, rakyat
bahkan lebih memilih untuk tidak berpendapat sehingga
tingkat partisipasi semakin menurun. Celakanya, kalaupun
sebagian masyarakat berniat untuk menyampaikan pendapat
serta keluhannya kepada wakil-wakil rakyat pada pranata
legislatif, suara-suara itu jarang yang diteruskan kepada
pranata eksekutif apalagi didesakkan untuk dilaksanakan.
Begitu banyak kasus yang menunjukkan bahwa para wakil
rakyat itu sudah dikooptasi oleh kepentingan eksekutif,
sehingga fungsi mereka tidak lebih dari tukang cap (rubber
stamp) dari keputusan-keputusan yang diambil oleh aparat
eksekutif. Tampak bahwa persoalan partisipasi masyarakat
sudah menjadi semacam lingkaran setan sehingga sulit
sekali untuk menemukan titik-tolak yang paling tepat guna
memecahkan masalah ini. Akan tetapi, satu hal yang jelas
dapat dilakukan adalah upaya penyadaran secara terus-
menerus mengenai pentingnya partisipasi masyarakat
dalam masalah-masalah pembangunan. Partisipasi di sini
hendaknya melibatkan segenap unsur kemasyarakatan,
meliputi birokrasi pemerintah, para teknokrat, militer,
lembaga-lembaga swadaya, serikat buruh dan koperasi,

KONSEP ETIKA ADMINISTRASI DAN ETIKA BIROKRASI 125


universitas-universitas, para mahasiswa dan cendekiawan,
kaum bisnis, profesi hakim dan pengacara, aparat medis,
para rohaniwan, ilosof, teolog dan seniman, serta seluruh
unsur masyarakat dalam segala fungsi yang ada.

4. Keadilan Sosial dan Pemerataan


Untuk mengejar ketinggalan dari kelompok negara-
negara maju, dapat dipahami bahwa proyek-proyek
pembangunan yang dilaksanakan oleh kebanyakan negara-
negara dunia ketiga diarahkan untuk meningkatkan
taraf ekonomi secepat mungkin. Maka upaya-upaya
yang dilakukan adalah pengerahan sumber-sumber daya
yang tersedia, pencegahan terhadap pemborosan-pem-
borosan inansial yang tak bertanggung jawab, sambil
mempertahankan tingkat pelayanan publik yang sudah
tercapai. Eisiensi seolah-olah menjadi satu-satunya nilai
yang harus diraih. Akan tetapi, fenomena-fenomena yang
muncul ternyata masih menyisakan pertanyaan-pertanyaan
pelik berkenaan dengan sasaran pembangunan itu sendiri.
Sudahkah kebijakan-kebijakan pembangunan itu mencapai
sasarannya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat
yang miskin? Apakah hasil-hasil pembangunan itu benar-
benar dapat dinikmati oleh setiap lapisan masyarakat
secara merata? Masyarakat terlalu pluralis bagi penerapan
kebijakan yang hanya mengandalkan rumusan-rumusan
yang sekali jadi. Eisiensi memang harus dipertahankan
supaya sumber-sumber daya negara tidak cepat habis
akibat pemborosan. Namun, harus pula dipastikan bahwa
eisiensi itu benar-benar dimanfaatkan guna menolong
masyarakat yang paling tak berpunya. Masalah keadilan
sosial (social equity) menyeruak akibat munculnya kenyataan
bahwa peningkatan kesejahteraan ekonomis ternyata hanya

126 ETIKA BIROKRAT


dinikmati oleh kalangan tertentu. Setelah beberapa persoalan
untuk memenuhi kebutuhan dasar berhasil diatasi, agenda
permasalahan yang harus dipecahkan dalam periode
pembangunan selanjutnya bertalian dengan keadilan sosial.
Asas keadilan sesungguhnya tidak hanya menyangkut
hukum-hukum positif tetapi lebih mendalam lagi kepada
ruang lingkup nilai- nilai moral dan etika, dalam hal ini etika
pembangunan.
Pembahasan mengenai keadilan dalam lingkup negara
seringkali tidak tepat jika hanya menyoroti hubungan-
hubungan individual. Keadilan juga bisa mempersoalkan
struktur politik masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena
itu, untuk mencapai keadilan sosial, kita harus membangun
atau mengubah struktur proses-proses politik, ekonomi,
sosial, dan budaya sehingga ia cukup kondusif bagi setiap
anggota masyarakat itu untuk memperoleh keadilan. Meng-
upayakan keadilan sosial berarti menjamin seoptimal
mungkin agar setiap anggota masyarakat dapat memperoleh
apa yang menjadi haknya serta bisa mendapatkan bagian
yang wajar dari kemakmuran masyarakat yang telah berhasil
dicapai. Logika ini dapat dibalik dengan mengatakan bahwa
usaha mencapai keadilan sosial dapat dilakukan dengan
menghapus ketidakadilan sosial. Dalam hal ini ketidakadilan
yang paling nyata adalah kemiskinan. Kita barangkali tak
dapat mempersoalkan keadilan sosial dengan menunjuk
masalah kemiskinan jika dalam suatu negara sumber-
sumber daya yang tersedia memang sangat sedikit sehingga
secara keseluruhan masyarakatnya miskin. Tetapi bila di
dalam suatu negara terdapat kelompok orang yang miskin
sedangkan kelompok yang lain kaya-raya, maka pasti ada
sesuatu yang tidak beres dalam proses distribusi kemakmuran
mereka. Oleh sebab itu aparat pemerintahan harus tetap

KONSEP ETIKA ADMINISTRASI DAN ETIKA BIROKRASI 127


menaruh perhatian (concern) terhadap masalah-masalah
pembagian rezeki pembangunan ini sebab dialah yang akan
paling banyak berurusan dengan masalah-masalah kebijakan
pembangunan. Pemerataan hendaknya senantiasa menjadi
salah-satu nilai yang wajib dianut bagi setiap aparat yang
memprakarsai, merencanakan, dan melaksanakan proyek-
proyek sampai ke hal-hal yang bersifat teknis. Ini perlu
diingat karena pengalaman menunjukkan bahwa akselerasi
pembangunan yang tak terkendali acapkali mengabaikan
pemerataan hasil-hasilnya.

128 ETIKA BIROKRAT


BAB VII
STRATEGI PENERAPAN ETIKA
BIROKRASI DALAM PELAYANAN PUBLIK

Etika birokrasi adalah perbuatan baik birokrat sejauh yang


dapat dipahami oleh pikiran manusia. Tujuan mempelajari etika
birokrasi adalah untuk mendapatkan konsep yang sama mengenai
penilaian baik dan buruk bagi semua birokrat dalam ruang dan
waktu tertentu. Ungkapan demikian memberi pemahaman
bahwa kehadiran dan keberadaan birokrasi bagi masyarakat
merupakan suatu keniscayaan sekaligus sebagai solusi atas
berbagai permasalahan yang menyertai kehidupan masyarakat
sehari-hari serta pada saat yang sama, pelayanan birokrasi yang
berkualitas merupakan suatu kebutuhan, kerinduan dan harapan
masyarakat. Berdasarkan pemahaman tersebut, para analis
ilmu birokrasi sampai pada suatu kesimpulan bahwa birokrasi
modern pada hakikatnya adalah pelayanan kepada masyarakat,
pemerintah tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri,
tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi
yang memungkinkan setiap masyarakat mengembangkan
kemampuan dan kreatiitasnya demi mencapai tujuan bersama.
Penjelasan secara konseptual tersebut menunjukkan bahwa
kahadiran suatu birokrasi adalah untuk memenuhi keinginan,

STRATEGI PENERAPAN ETIKA BIROKRASI DALAM PELAYANAN PUBLIK 129


kebutuhan serta sebagai solusi atas berbagai permasalahan yang
selalu menyertai kehidupan masyarakat melalui pelayanan yang
berkualitas.
Untuk mewujudkan hakikat dan tujuan pembentukan
birokrasi bagi masyarakat maka dibutuhkan birokrat birokrasi.
Birokrat kepemimpinanlah yang menterjemahkan berbagai
kebijakan politik pemerintah kedalam kebijakan yang bersifat
operasional dan mengimplementasikannya dalam pelaksanaan
tugas sehari-hari. Dengan demikian, jelaslah bahwa birokrat
birokrasi mempunyai tugas mengkonkritisasikan berbagai
kebijakan pemerintah yang bersifat umum ke dalam program
yang bersifat oparesional dan mengimplementasikannya pada
tatanan empirik melalui pelayanan kepada masyarakat yang
berkualitas. Oleh karena itu, maka keberadaan birokrat birokrasi
pada satu sisi, dapat menjawab berbagai kebutuhan serta
permasalahan yang dihadapi masyarakat sehari-hari serta pada
sisi yang bersamaan, pelayanan memberikan kepuasan serta
melahirkan kepercayaan masyarakat terhadap birokrat birokrasi
sebagai pelayan masyarakat.
Dalam perkembangannya, birokrat birokrasi telah berada
dalam atmosir pergeseran paradigma dari paradigm rule
goverment ke paradigma good governance. Artinya bahwa dalam
penyelenggaraan birokrasi, pelaksanaan pembangunan dan
pelayanan kepada masyarakat, pemerintah tidak hanya menjadi
peran tunggal tetapi untuk mewujudkan tujuan ketiga aktiitas
birokrasi tersebut, dibutuhkan peran fokus lain yaitu swasta
(privat) dan masyarakat (civil society). Walaupun demikian, fokus
pemerintah atau birokrat birokrasi, tetap menjadi fokus sentral
dalam penyeleng-garaan birokrasi, pelaksanaan pembangunan
dan pelayanan kepada masyarakat.
Dalam konteks pelayanan yang berkualitas kepada
masyarakat, peran birokrat kepemimpinan melalui sikap dan
tindakan yang bertanggung jawab, responsif terhadap berbagai
keinginan, kebutuhan dan permasalahan yang menyelimuti

130 ETIKA BIROKRAT


kehidupan masyarakat, memiliki komitmen yang kuat untuk
selalu berpihak kepada masyarakat serta konsisten dalam
benrtindak sangatlah dibutuhkan, karena birokrat pemerin-
tahanlah yang diberi tugas dan tanggung jawab oleh pemerintah
atau negara untuk melayani masyarakat.
Melayani masyarakat merupakan tugas dan fungsi
birokrat kepemimpinan. Birokrat adalah aparatur negara yang
mempunyai tugas melayani dan mening-katkan kesejahteraan
masyarakat. Sulit dibayangkan jika peran serta tugas dan
fungsi yang diembannya tidak dimanifestasikan dalam sikap
dan tindakan yang terhormat dan beradab, demikian juga
dalam menjalankan tugas-tugas pelayanan perizinan kepada
masyarakat.
Pelayanan kepada masyarakat yang baik merupakan
kebutuhan setiap masyarakat. Pelayanan masyarakat yang baik
akan menjadi ukuran keberhasilan pembangunan manusia di
suatu negara. Untuk itu pelayanan perizinan yang berkualitas
akan melahirkan hasil layanan yang berkualitas pula, yang
secara signiikan juga merupakan keberhasilan pemerintah
atau birokrat kepemimpinan dalam mengemban tugas yang
dipercayakan kepadanya.
Dalam menjalankan tugas, dan fungsi birokrasi guna
memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat,
secara konseptual disebut sebagai perilaku birokrat kepemim-
pinan. Peran birokrat kepemimpinan yang demikian, menurut
Supriatna (1997: 104) terbagi kedalam tiga aspek utama yaitu;
tanggung jawab, responsif, komitmen dan konsisten.
Perilaku aparat juga sangat menentukan kualitas pelayanan
perizinan kepada masyarakat, karena aparat adalah aktor
yang secara langsung berhadapan dengan masyarakat sebagai
penerima layanan. Ada tiga hal yang dapat dilakukan aparat
dalam menjalankan tugas pelayanan adalah:
Pertama; berkaitan dengan perilaku aparat yang bertang-
gung jawab. Makna dari tanggung jawab pemerintah dalam

STRATEGI PENERAPAN ETIKA BIROKRASI DALAM PELAYANAN PUBLIK 131


tugas pelayanan kepada masyarakat penerima layanan
perizinan, bukan saja melaporkan hasil kerja yang sesuai dengan
aturan yang ada, atau melaporkan hasil kerja karena sesuai
dengan tugas pokok, atau melaporkan tugas karena tuntutan
administrasi yang menjadi penilaian atasan, melainkan lebih
kepada makna kewajiban moral dalam melaksanakan panggilan
tugas. Pelaksanaan tugas pelayanan karena panggilan nurani,
dan menjalankan tugas pelayanan sesuai tuntutan dan tanggung
jawab moral secara pribadi.
Menjalankan tugas bukan karena ada penilaian atau karena
didorong oleh ketakutan atau karena ada intervensi pihak
lain. Menjalankan tugas pelayanan lebih merupakan panggilan
otonom, itulah makna dari tanggung jawab sebagai cause.
Kedua; Perilaku aparat yang responsif. Perilaku aparat
yang responsive adalah kemampuan birokrat birokrasi untuk
mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan
perioritas pelayanan sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi
masyarakat, Itu berarti perilaku aparat yang responsif berkaitan
dengan daya tanggap serta kepekaan aparat untuk mengenal,
memahami, mengindentiikasi bahkan empati terhadap apa
yang dirasakan, apa yang dibutuhkan oleh masyarakat, sehingga
pela-yanan birokrasi relevan dan tepat guna dengan pemenuhan
kebutuhan masyarakat.
Ketiga; perilaku aparat yang komitmen dan konsisten pada
tugas pelayanan. Salah satu bentuk komitmen dan konsisten
aparat dalam pelayanan perizinan kepada masyarakat terletak
pada orientasi pada pelayanan perizinan itu sendiri. Orientasi
pada pelayanan menunjuk pada seberapa banyak konsentrasi
dan energi aparat birokrat birokrasi dalam memberikan
pelayanan perizinan. Segenap kemampuan dan sumber daya
yang dimiliki oleh pelayan masyarakat dalam lingkup pelayanan
perizinan sepenuhnya dicurahkan atau dikonsentrasikan untuk
melayani kebutuhan dan kepentingan masyarakat di bidang
pelayanan perizinan. Jadi orientasi pada pelayanan perizinan

132 ETIKA BIROKRAT


kepada masyarakat pengguna jasa layanan harus menjadi
prioritas utama, sebagai bentuk komitmen pelayanan kepada
masyarakat.
Ketiga aspek yang telah dikemukakan di atas, akan
dijadikan sebagai rujukan dalam penelitian ini untuk meng-
analisis perilaku birokrat birokrasi dalam mening-katkan
kualitas pelayanan kepada masyarakat dalam bidang Izin usaha
pada BPTPM Kota Makassar.
Berdasarkan hasil penelitian di lokasi penelitian, yang
peneliti lakukan, nampak bahwa sebagian dari para aparat yang
bertugas sebagai pelayan masyarakat sudah cukup bertanggung
jawab sesuai dengan tupoksi yang dimiliki, walaupun masih
kurang responsif, kurang komitmen dan konsisten terhadap
pengguna jasa pelayanan dalam hal ini masyarakat yang mengurus
surat izin usaha. Sikap yang mereka tampilkan didominasi oleh
sikap sebagai orang yang dibutuhkan untuk mendapatkan surat
keterangan izin Usaha. Keadaan ini dapat diamati dengan sikap
membiarkan pengguna jasa berdiri beberapa saat didepan counter
informasi, tanpa memberikan sapaan atau mengenali lebih dekat
pengguna jasa akan kebutuhan yang diperlukan. Walaupun
aparat tersebut sedang sibuk menyelesaikan pekerjaannya,
keadaan ini seharusnya tidak terjadi, jika aparat yang bertugas di
depan counter memahami perannya, dan sikap yang seharusnya
diberikan, ketika masyarakat sebagai pengguna jasa mengajukan
keinginan untuk dilayani. Seharusnya tanpa dikomando petugas
layanan harus sigap dan ikhlas menyambut masyarakat apabila
sudah berada diareal kantor pelayanan izin usaha.
Karena kurang dibekali rasa responsif, komitmen dan
konsisten tugas dan fungsinya, sehingga kesan aparat petugas
layanan terlihat kaku (rigit), walaupun situasi dilematis sedang
dialami petugas layanan tersebut. Karena disatu sisi sedang
menyelesaikan pekerjaan membenahi berkas yang diajukan
pengguna jasa sebelum-nya. Sedangkan disisi lainnya, pekerjaan
untuk memberikan pelayanan selanjutnya kepada pengguna

STRATEGI PENERAPAN ETIKA BIROKRASI DALAM PELAYANAN PUBLIK 133


jasa berikut sudah menunggu dihadapannya. Sikap responsif,
komitmen dan konsisten yang seharusnya dilakukan dengan
memberikan sapaan untuk menunggu sejenak kepada pengguna
jasa berikutnya sambil menyelesaikan berkas yang diajukan
pengguna jasa sebelumnya.
Kondisi yang dilakukan petugas tersebut di atas, sebenarnya
memiliki sisi baik, jika dilihat dari aspek administrasi, dengan
menyelesaikan satu pekerjaan (per-soalan) sebelum memulai
pekerjaan berikutnya, ini biasanya telah menjadi ketentuan
organisasi untuk segera menyelesaikan tugas-tugas yang menjadi
tanggung jawabnya, namun ketentuan-ketentuan pelaksanaan
tugas tersebut tidak dapat diartikan secara kaku, tetapi perlu
kemampuan menterjemahkan ke dalam bahasa pelayanan yang
baik, yang mana pengguna jasa adalah juga sebagai manusia
yang butuh perlakuan secara manusiawi.
Dalam organisasi publik, ketentuan dan peraturan
merupakan pedoman dalam melaksanakan tugas, dan setiap
kegiatan administrasi perizinan yang dilakukan dalam rangka
memberikan pelayanan selalu dilandasi dengan ketentuan dan
peraturan yang berlaku. Suasana ini menjadikan ketentuan dan
peraturan menjadi barang yang sakral bagi aparat yang sedang
bertugas, dimana setiap aparat harus mantaatinya.
Peraturan yang mengikat aparatur Pegawai Negeri Sipil
(PNS) sangat banyak, karena sejak terangkat menjadi pegawai
yang bersangkutan terikat dengan berbagai ketentuan, dan
peraturan hingga yang bersangkutan memasuki masa pensiun.
Hal ini dapat dilihat berawal dari sumpah sebagai PNS,
peraturan tentang disiplin PNS, dan jika PNS yang bersangkutan
menduduki jabatan struktural, maka kepadanya dila-kukan
sumpah jabatan dan seterusnya. Dengan demikian, ketentuan
dan peraturan tersebut menjadi panduan dalam kesehariannya
menjalankan pekerjaannya.
Untuk lebih memahami ketiga aspek birokrat kepemim-

134 ETIKA BIROKRAT


pinan dalam pelayanan publik, peneliti memaparkan secara
rinci dari hasil penelitian sebagai berikut:

A. Etika Birokrat Dalam Pelayanan Izin Usaha di


Kota Makassar

1. Tanggung jawab birokrat dalam pelayanan izin usaha


Hal yang sangat penting dalam pemberian jasa pela-
yanan izin usaha lebih banyak mengandalkan kelancaran
proses pelayanan pada masyarakat adalah kompetensi dari
jajaran aparat itu sendiri dalam memberikan pelayanan sesuai
dengan tanggung jawabnya. Untuk mendapatkan gambaran
yang jelas mengenai bagaimana kompetensi yang dimiliki oleh
pegawai Badan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal
(BPTPM) di Kota Makassar, maka dilakukan interpretasi dan
pembahasan.
Perilaku birokrat BPTPM yang bertanggung jawab
dalam memberikan pelayanan izin usaha di Kota Makassar
merupakan suatu kebutuhan masyarakat. Pelayanan perizin-
an yang berkualitas tidak akan dapat terwujud jika tidak
disertai dengan perilaku birokrat BPTPM yang bertanggung
jawab. Tanggung jawab yang dimaksud adalah pelaksanaan
tugas seorang birokrat dalam pela-yanan publik sehari-hari
yang dijalaninya sesuai dengan aturan, tepat waktu, dan
dapat menyelesaikan tugas pelayanan perizinan dengan baik
dan benar serta dapat menanggung resiko terhadap berbagai
permasalahan dalam pelayanan perizinan. Intinya adalah
birokrat BPTPM hadir pada saat rakyat membutuhkannya.
Perilaku birokrat yang bertanggung jawab merupakan
salah satu bentuk kesediaan birokrat untuk menyatakan
segala tindakannya kepada publik secara terbuka. Makna
tanggung jawab sering diartikan dengan makna akuntabilitas.
Dalam konteks pelayanan publik, akuntabilitas adalah suatu

STRATEGI PENERAPAN ETIKA BIROKRASI DALAM PELAYANAN PUBLIK 135


ukuran yang menunjukkan seberapa besar tingkat kesesuaian
penyelenggaraan pelayanan dengan ukuran nilai atau norma
eksternal yang ada di masyarakat atau yang dimiliki oleh
para stakeholders.
Nilai dan norma pelayanan yang berkembang dalam
masyarakat peng-guna jasa diantaranya meliputi: transparansi
dalam pelayanan, keadilan, kepas-tian, ketepatan waktu,
jaminan penegakan hukum, hak azasi manusia dan orientasi
pelayanan. Orientasi pelayanan yang dikembangkan bagi
masyarakat merupakan salah satu kewajiban dan tanggung
jawab pemerintah dalam upaya mewujudkan kualitas
pelayanan publik. Aparat pemerintah sebagai aktor pelayan-
an bagi masyarakat mempunyai tanggung jawab dalam
pemenuhan kebu-tuhan masyarakat.
BPTPM yang bertanggung jawab berarti adanya pola,
bentuk dan mekanisme pertanggungjawaban tertentu dari
pemerintah kepada masyarakat sebagai pemilik negara,
pemegang kekuasaan negara, sehingga terjadi dalam suatu
hubungan BPTPM, hubungan antara yang diperintah dengan
yang memerintah.
Makna pertanggungjawaban yang demikian, hanyalah
salah satu dimensi dari konsep pertanggungjawaban, yakni
dimensi acountability. Dimensi pertanggung-jawaban ini hanya
menyoroti keharusan bagi birokrat yang diserahi tugas untuk
melaporkan kembali apa yang telah ditugaskan sesuai dengan
apa yang tertulis, di luar yang tidak tertulis tidak dijadikan
materi pertanggungjawabannya. Hal itu berarti, melalui
acountability, pemerintah harus mempertanggungjawabkan
perintah dan wewenangnya kepada pemberi perintah dan
sumber wewenang.
Perilaku birokrat yang bertanggung jawab pada
prinsipnya menjawab dua aspek utama dari responsible
goverment, yang telah menunjukkan hakikat dari isi tanggung
jawab kepada masyarakat. Hakikat responsible goverment, yaitu

136 ETIKA BIROKRAT


makna obligation dan makna cause. Melalui makna obligation,
peme-rintah berkewajiban mempertanggungjawabkan sega-
la hal yang berhubungan dengan pelaksanaan tugasnya,
baik yang akan dilakukan maupun yang sudah dilakukan,
baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, baik diminta
maupun tidak diminta kepada seluruh masyarakat.
Sejauh ini, model pertanggungjawaban sebagai obligation
jarang dipraktekkan oleh aparat izin usaha BPTPM Kota
Makassar. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa birokrat
sudah melaksanakan tanggung jawabnya sesuai tupoksi yang
dimiliki, walaupun masih sebatas pada tanggung jawab dari
dimensi acountabiliy, tetapi belum menyentuh secara penuh
pada dimensi obligation dan cause.
Dalam kaitan dengan pelayanan perizinan, makna
tanggung jawab sebagai obligation memang perlu diprak-
tekkan dalam pelayanan perizinan kepada masyarakat
karena manyangkut kepuasan masyarakat. Tanggung jawab
yang dilakukan bukan hanya sekedar melaporkan hasil kerja
administrasi belaka tetapi harus lebih bersifat tanggung
jawab moral.
Tanggung jawab sebagai cause dimaksudkan sebagai
tanggung jawab birokrat BPTPM kepada masyarakat atas
segala akibat izin usaha oleh kepu-tusan hatinya yang bersifat
free choice sehingga birokrat bertindak dan membawa akibat
tertentu kepada masyarakat dan lingkungannya. Jika terjadi
sesuatu yang meresahkan, mengorbankan, merugikan atau
membawa keseng-saraan bagi masyarakat akibat langsung
dan tidak langsung dari kebijakan yang diambil atas dasar
free-choice, maka pemerintah wajib mempertanggung-
jawabkannya kepada masyarakat. Tanggung jawab ini lebih
bersifat etis-moral dari pemerintah terhadap rakyatnya.
Inti dari BPTPM yang bertanggung jawab adalah
bagaimana membuat pemerintah tunduk kepada, atau
dalam konteks pelayanan kepada masyarakat, aparat

STRATEGI PENERAPAN ETIKA BIROKRASI DALAM PELAYANAN PUBLIK 137


pemerintah merupakan pelayan masyarakat, yang selalu
melayani masyarakat dengan penuh rasa tanggung jawab.
Hal ini berarti bahwa pertanggungjawaban akhir keputusan
pemerintah harus bermuara kepada kepentingan publik.
Dengan demikian, untuk mewujudkan tanggung jawab
BPTPM sebaiknya memenuhi tiga dimensi acountability,
obligation dan cause.
Ketiga dimensi tersebut yaitu dimensi acountability,
obligation dan cause, yang masuk dalam kategori tanggung
jawab birokrat dalam menjalankan tugas pelayanan kepada
masyarakat, juga diperaktekkan di BPTPM.
Mencermati hasil penelitian, sesungguhnya belum
terjadi the right man on the right place, tempatkanlah pegawai
sesuai dengan tempatnya, bukan karena selera, bukan karena
teman, dan bukan karena keluarga. Inilah yang merupakan
kelemahan dalam sistem birokrasi pelayanan publik, yang
mempengaruhi sistem kerja secara keseluruhan.
Terkait dengan dimensi acountability, obligasi dan cause,
dalam tang-gung jawab birokrat BPTPM, diakui oleh Kepala
BPTPM Kota Makassar bahwa dalam melaksanakan tugas
sebagai Kepala BPTPM yang merupakan tugas perpanjangan
tangan Kepala BPTPM Makassar terkadang masih
diperhadapkan pada berbagai kendala. Misalnya masih
adanya pegawai yang tidak memperlihatkan keihklasan
dalam memberikan pelayanan kepada masya-rakat dan
masih ada pegawai yang bekerja tidak sepenuh hati.
Berdasarkan hasil penelitian ini, nampak bahwa
keikhlasan dalam bekerja, petugas penerbitan izin usaha
dalam memberikan layanan kepada masyarakat belum
optimal, sebagaimana yang diharapkan masyarakat.
Ketidakpedulian petugas layanan terhadap masyarakat
masih sering dijumpai, terutama dalam mengatasi keluhan
karena kelambanan proses penyelesian kebutuhan layanan
yang disampaikan. Demikian halnya dengan permasalahan

138 ETIKA BIROKRAT


ketidak-adilan dalam pelayanan seringkali muncul, yang
membuat masyarakat merasa kecewa terhadap perlakuan
aparat pelayanan.
Untuk menghindari hal tersebut, sebaiknya aparat
pelayanan berlaku adil kepada setiap konsumen yang mem-
butuhkan pelayanan tanpa harus diskri-minasi. Keikhlasan
dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat,
membutuhkan keseimbangan antara pera-turan normatif
dengan didukung kualitas moral dalam memandang
seseorang sebagai manusia yang perlu dilayani. Apa-
bila aparat ditugaskan untuk melayani masyarakat, yang
bersangkutan harus mampu menimbang kepantasan bagi
setiap masyarakat. Aparat BPTPM yang tidak mengindahkan
pelaksanaan aturan dan prosedur dengan nilai kemanu-siaan,
akan menciptakan birokrat mirip robot yang mengasingkan
masyarat dengan pihak BPTPM.
Kepekaan dan empati terhadap kebutuhan masyarakat
juga merupakan syarat yang penting, karena bagaimanapun
aparat birokrat harus melayani manu-sia, yang tentunya
punya martabat, harga diri dan perasaan. Hasil penelitian
peneliti, menunjukkan bahwa kepekaan dan empati
aparat birokrat dalam memberikan pelayanan masih perlu
ditingkatkan. Hal ini ditandai melalui penampilan birokrat
dengan membiarkan orang yang membutuhkan pelayanan,
mengulur-ulur waktu penyelesaian pemberian pelayanan,
bahkan menyuruh masyarakat yang membutuhkan layanan
untuk datang di waktu yang lain. Pada-hal pemberian
pelayanan sebenarnya dapat dilaksanakan atau diselesaikan
pada waktu itu juga.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa keikhlasan
birokrat dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat
belumlah optimal, karena cara pandang birokrat dalam
melihat manusia belum sepenuhnya dipandang sebagai
mahluk soaial yang bermartabat, dan memiliki harga diri.

STRATEGI PENERAPAN ETIKA BIROKRASI DALAM PELAYANAN PUBLIK 139


Selain itu birokrat belum memahami bahwa masyarakat
merupakan tempat pengabdiannya sebagaimana statusnya
sebagai abdi masyarakat.
Kondisi yang dialami informan saat mengurus
izin usaha merupakan suatu kondisi yang nyata, bahwa
birokrat izin usaha pada BPTPM Kota Makassar belum
memperlihatkan keihklasan dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat. Kondisi pelayanan yang diperlihatkan
Kepala Bidang perizinan (IRAD) masih berkisar pada
tanggung jawab acountability, yang menurut hemat peneliti
bahwa pemberian pelayanan kepada masyarakat, ukurannya
bukan cuma pada dimensi acountability (tanggung jawab
secara administratif/ aturan secara tertulis) akan tetapi juga
harus mecakup tanggung jawab pada dimensi obligasi dan
cause yang di dalamnya masuk pada kategori keikhlasan dan
etik moral dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat,
di luar dari tanggung jawab pada dimensi acountability.
Bentuk tanggung jawab pemerintah melalui para
petugas pelayanan perizinan terletak pada sejauhmana aparat
mau tau keluhan-keluhan masyarakat apabila masyarakat
yang mengurus surat izin usaha mengalami kendala dalam
pengurusan surat izin tersebut. Bahkan masyarakat kurang
direspon tanpa adanya reaksi sedikitpun dari para pelayanan
perizinan. Seharusnya dilakukan pembentukan karakter
yang sehat dan responsif.
Pendapat tersebut itulah makna dari tanggung
jawab dari aparat pemerintah dalam upaya meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat sebagai penerima layanan.
Tanggung jawab aparat dalam menjalankan tugas pelayanan
dinilai tidak hanya pada saat setelah melakukan kegiatan
pelayanan, tetapi juga dinilai pada saat sedang menjalankan
tugas pelayanan. Karena itu, sebelum menjalankan tugas
pelayanan perlu diperhatikan apa saja yang menjadi kewa-
jiban dan tanggung jawab pribadi yang harus dijalankan.

140 ETIKA BIROKRAT


Dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat,
yang perlu diper-hatikan adalah ketentuan mengenai keadilan
prosedural, sebagai salah satu unsur penilaian kinerja
birokrat yang berorientasi terhadap akses dan perlakuan
kepada masyarakat yang membutuhkan pelayanan birokrat
BPTPM. Kondisi ini tentu saja perlu mendapat dukungan
secara maksimal utamanya dalam mewujudkan keikhlasan
kerja birokrat yang optimal melalui perubahan cara pandang
dan cara kerja yang senantiasa dilandasi dengan bentuk
pelayanan yang mengedepankan sopan santun (etika), dan
moral dengan melihat masyarakat sebagai manusia dengan
potensi martabat dan harga diri yang hakikatnya perlu untuk
memperoleh pelayanan yang berkualitas, tanpa diskri-minasi
antara orang perorang dalam mewujudkan pelayanan dengan
keihklasan melayani kebutuhan masyarakat.
Wujud interaksi antara kewajiban dan hak memper-
oleh layanan, bahwa pelayanan publik dengan melihat dari
sudut proses pelayanan, umumnya terjadi interaksi antara
yang memberi pelayanan dengan yang diberi pelayanan.
Pemerintah sebagai lembaga birokrat mempunyai fungsi
untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, sedangkan
masyarakat sebagai pihak yang memberikan mandat kepada
pemerintah mempunyai hak untuk memperoleh pelayanan
dari pemerintah.
Bagaimana bentuk tanggung jawab dari pihak petugas
pelayan perizinan atau birokrat BPTPM?. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa tanggung jawab birokrat BPTPM dalam
memberikan pelayanan yang berkualitas, masih sebatas pada
tanggung jawab berdasarkan apa yang tertulis sesuai aturan,
tetapi belum menyentuh tanggung jawab otonom dan etis
moral.
Fakta menunjukkan bahwa birokrat BPTPM sebagai
pelayan masyarakat, sudah menunjukkan perilaku yang
bertanggung jawab. BPTPM yang baik adalah BPTPM yang

STRATEGI PENERAPAN ETIKA BIROKRASI DALAM PELAYANAN PUBLIK 141


selalu hadir bersama masyarakat mendengar dan menjawab
berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat melalui
berbagai program dan kegiatan perizinan.
Mengenai penyelesaian pengurusan izin usaha 6-12 hari
kerja berdasarkan pada peraturan Kepala BPTPM Makassar
Nomor. 14 Tahun 2005 Tentang Tata Cara pemberian izin
Pemerintah Kota Makassar, yang merupakan Standar
Operasional Prosedur (SOP). SOP yang tertuang dalam
Peraturan Kepala BPTPM Makassar No. 14 Tahun 2005,
maka standar inilah yang digunakan birokrat sebagai acuan
dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai pelayan
masyarakat pada BPTPM Makassar.
Isi tanggung jawab aparat pemerintah dalam mem-
berikan pelayanan perizinan kepada masyarakat, tidak hanya
melaporkan hasil kerja yang sesuai dengan aturan yang ada,
atau melaporkan hasil kerja karena sesuai dengan tugas
pokok, atau melaporkan tugas karena tuntutan administrasi
yang menjadi penilaian atasan, yang disebut dengan dimensi
acountability, melainkan lebih kepada makna kewajiban moral
dalam melaksanakan tugas panggilan jiwa. Pelaksanaan tugas
pelayanan karena panggilan nurani dan menjalankan tugas
pelayanan sesuai tuntutan dan tanggung jawab moral secara
pribadi. Menja-lankan tugas bukan karena ada penilaian atau
bukan karena tuntunan tugas atau bukan karena intervensi
pihak lain, namun menjalankan peran sebagai birokrat
BPTPM karena panggilan otonom, maksudnya bahwa
perilaku yang ditunjuk-kan adalah perilaku otonom yang
didasarkan pada panggilan moral dan kesadaran etik, itulah
makna dari tanggung jawab sebagai cause.
Hasil penenelitian menunjukkan bahwa tanggung
jawab birokrat BPTPM dalam memberi pelayanan perizinan
pada Kantor BPTPM Kota Makassar sudah cukup baik,
walaupun masih sebatas pada tanggung jawab acountability.
Banyak petugas layanan yang memang jika dilihat sibuk

142 ETIKA BIROKRAT


bekerja ditempat/mejanya masing-masing, tetapi mereka
kurang memperhatikan masyarakat yang datang untuk
mengurus surat izin usaha, yang seharusnya jika dilihat
dari sisi tanggung jawab sebagai aparat pelayanan, mereka
sebaiknya mendatangi masyarakat dan menanyakan apa yang
perlu dibantu atas keda-tangannya tersebut. Inilah maksa
dari tanggung jawab seutuhnya sebagai aparat pelayanan.
Berdasarkan dari tanggapan-tanggapan yang diung-
kapkan para informan dari hasil wawancara peneliti, baik
informan dari unsur birokrat sebagai pelayanan, maupun dari
unsur masyarakat yang terlayani, maka dapat disimpulkan
bahwa; tanggung jawab dalam pengurusan izin usaha sudah
dilakukan oleh birokrat BPTPM, walaupun masih terbatas
pada tanggung jawab pada dimensi acountability, dalam hal
ini tanggung jawab berdasarkan apa yang tertulis secara
administrasi sesuai aturan kantor, tetapi tanggung jawab
pada dimensi obligasi dan cause masih kurang nampak
diperlihatkan oleh para birokrat sebagai pelayan masyarakat,
dalam arti bahwa tanggung jawab secara otonom, apa yang
tidak tertulis, atau tanggung jawab moral sebagai abdi
masyarakat belum optimal diperlihatkan oleh birokrat.
Kondisi inilah yang mendapat penilaian dari masyarakat
bahwa birokrat BPTPM perlu mening-katkan kualitas
pelayanan di Kantor BPTPM Kota Makassar, agar supaya
masyarakat merasa terpuaskan dengan kualitas pelayanan
yang dihasilkan para birokrat.
Dimensi tanggung jawab yang berkisar pada tanggung
jawab dalam waktu penyelesian izin usaha yang didengungkan
6-12 hari kerja, bisa terealisasikan apabila kedua pihak
(birokrat dan masyarakat) dapat saling memahami kewajiban
masing-masing, dalam arti bahwa Birokrat wajib melayani
masyarakat pemohon izin usahasampai selesainya izin
usaha yang domohonkan, begitu pula masyarakat pemohon
izin usahawajib melengkapi berkas yang dimohonkan

STRATEGI PENERAPAN ETIKA BIROKRASI DALAM PELAYANAN PUBLIK 143


apabila bermasalah (terjadi kekurangan berkas). Oleh karena
keterlambatan penyelesaian izin usaha menurut para birokrat
umumnya disebabkan karena adanya kekurangan berkas dari
pemohon yang merupakan persyaratan yang tertuang dalam
Peraturan Kepala BPTPM Nomor 14 Tahun 2005, tentang tata
cara pemberian izin pada pemerintah Kota Makassar.

2. Integritas birokrat dalam pelayanan izin usaha


Untuk mengukur indikator integritas aparat digunakan
tiga aspek yang dijadikan prediktor yakni: Integritas Afektif,
Integritas Kontinyu, dan Integritas Normatif.
a. Integritas Afektif
Aspek integritas afektif diwujudkan pada peri-
laku aparat yang melibatkan faktor emosional kepada
organisasi. Untuk mengukur aspek integritas afektif,
di sini digunakan tujuh prediktor yaitu: terlibat secara
emosional dengan instansi, mempunyai daya tanggap
yang tinggi terhadap instansi tempat aparat bekerja, hasrat
bekerja dengan rasa tanggung jawab pada persoalan yang
dihadapi, menyenangi lingkungan tempat kerjanya dan
bersedia bekerja ditempat yang sama sampai pensiun,
selalu memandang bekerja di instansinya sekarang ini
mempunyai arti yang sangat besar, mempunyai loyalitas
yang tinggi terhadap instansinya, dan merasa bahwa
persoalan yang sedang dihadapi kantornya adalah
persoalannya juga.
Ditinjau dari terlibat secara emosional dengan
instansi, mempunyai daya tanggap yang tinggi terhadap
instansi tempatnya bekerja, menyenangi lingkungan
tempat kerjanya dan bersedia bekerja ditempat yang
sama sampai pensiun, selalu memandang bekerja di
instansinya sekarang ini mempunyai arti yang sangat
besar, mempunyai loyalitas yang tinggi terhadap instansi-
nya, dan merasa bahwa persoalan yang sedang dihadapi

144 ETIKA BIROKRAT


kantornya adalah persoalannya juga, aspek integritas
afektif aparat Badan Perizinan Terpadu dan Penanaman
Modal (BPTPM) Kota Makassar tergolong baik.
Karena integritas afektif merupakan salah satu aspek
dari indikator integritas aparat maka dapat dikemukakan,
bahwa ditinjau dari aspek integritas afektif, integrita
aparat BPTPM tergolong baik.
Hasil penelitian menunjukkan pula bahwa loyalitas
aparat terhadap instansinya masih perlu ditingkatkan.
Beberapa aparat memang agak sulit diharapkan, ini terjadi
akibat sistem mutasi yang ada sering tidak bisa dipre-diksi.
Seorang aparat kapan saja dapat dimutasi ke unit lain
tanpa diketahui terlebih dahulu oleh yang bersangkutan.
Akibatnya jenjang karir seorang aparat dalam unit kerja
tertentu akan terputus. Hal yang demikian ini bisa
menimbulkan sikap apatis dan kurangnya loyalitas aparat
terhadap instan-sinya sekarang.
b. Integritas Kontinyu
Aspek integritas kontinyu diwujudkan pada
perilaku pegawai yang mereleksikan persepsi investa-
si versus biaya. Untuk mengukur aspek integritas
kontinyu dalam penelitian ini digunakan enam pre-
diktor sebagaimana telah ditetapkan sebelumnya yaitu
tidak akan peduli dengan kantornya sekarang apabila
dipindah meskipun tanpa kenaikan jabatan, merasa berat
untuk meninggalkan pekerjaanya saat ini walaupun
sebetulnya ada keingi-nan, tidak akan terganggu apapun
apabila meninggalkan pekerjaan saat ini, salah satu
alasan untuk tetap bekerja di tempatnya sekarang adalah
jika dipindahkan membutuhkan banyak pengorbanan
diantaranya adalah peker-jaan lain belum tentu
memberikan manfaat seperti yang didapatnya dikantor
ini, merasa konsekuensi pokok meninggalkan pekerjaan
yang sekarang adalah mengorbankan peluang yang akan

STRATEGI PENERAPAN ETIKA BIROKRASI DALAM PELAYANAN PUBLIK 145


di dapat saat ini, dan bekerja baginya adalah merupakan
kebutuhan daripada keinginan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ditinjau dari
tidak akan peduli dengan kantornya sekarang apabila
dipindah meskipun tanpa kenaikan jabatan, merasa berat
untuk meninggalkan pekerjaanya saat ini walaupun
sebetulnya ada keinginan, tidak akan terganggu apapun
apabila mening-galkan pekerjaan saat ini, salah satu alasan
untuk tetap bekerja di tempatnya sekarang adalah pindah
akan membutuhkan banyak pengorbanan diantaranya
adalah pekerjaan lain belum tentu memberikan manfaat
seperti yang didapatnya dikantor ini, merasa konsekuensi
pokok meninggalkan pekerjaan yang sekarang adalah
mengorbankan peluang yang akan didapat saat ini, dan
bekerja baginya adalah merupakan kebutuhan daripada
keinginan, aspek integritas kontinyu aparat BPTPM
tergolong baik. Dan ditinjau dari integritas kontinyu aparat
merupakan salah satu aspek dari indikator integritas
aparat dalam penelitian ini, maka dapat dikemukakan
bahwa ditinjau dari aspek integritas kontinyu aparat
BPTPM Kota Makassar tergolong baik.
c. Integritas Normatif
Untuk mengukur aspek integritas normatif dalam
penelitian ini digu-nakan tujuh prediktor sebagaimana
dijelaskan sebelumnya yaitu merasa tidak mempunyai
kewajiban apapun terhadap instansi tempatnya bekerja,
tidak akan meninggalkan pekerjaanya sekarang walaupun
dengan beberapa keuntungan apabila pindah, merasa
bahwa instansi tempatnya bekerja berhak menuntut
loyalitasnya, merasa bersalah apabila meninggalkan
pekerjaanya yang sekarang karena banyak orang
bergantung padanya, akan merasa bersalah apabila
meninggalkan instansi tempatnya bekerja sekarang,
merasa berhutang baik moril maupun materiil terhadap

146 ETIKA BIROKRAT


kantor tempatnya bekerja sekarang ini, dan selalu bekerja
keras untuk menyelesaikan tugas pekerjaanya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ditinjau dari
merasa tidak mempunyai kewajiban apapun terhadap
instansi tempatnya bekerja, tidak akan meninggalkan
pekerjaanya sekarang walaupun dengan beberapa
keuntungan apabila pindah, merasa bahwa instansi
tempatnya bekerja berhak menuntut loyalitasnya. Justru
aparat merasa bersalah apabila meninggalkan pekerjaanya
yang sekarang karena banyak orang/ bawahan bergantung
padanya. Aaparat akan merasa bersalah apabila
meninggalka ninstansi tem-patnya bekerja sekarang.
Hal ini disebabkan oleh perasaan berhutang pada kantor
tempatnya bekerja sekarang ini, baik moril maupun
materiil. Aparat selalu bekerja keras untuk menyelesaikan
tugas pekerjaanya. Karena integ-ritas normatif merupakan
salah satu aspek dari indikator integritas aparat dalam
penelitian ini, maka dapat dikemukakan, bahwa ditinjau
dari aspek integritas normatif, integritas aparat BPTPM
Kota Makassar tergolong baik.
Kemudian disebutkan bahwa untuk mengetahui
secara langsung penerapan kepemimpinan yang bersih
(Good Gavernance), yang merupakan tuntutan masyarakat
yang perlu ditingkatkan adalah indikator merasa bahwa
instansi tempatnya bekerja berhak menuntut loyalitasnya,
karena indikator ini masih kurang dibandingkan dengan
indi-kator lainnya. Ditemukan beberapa pegawai yang
kurang menyadari bahwa sebagai aparat mereka dituntut
loyalitasnya terhadap instansi tempatnya berkarir. Untuk
mengatasi hal ini diperlukan ketegasan pimpinan dalam
mengarahkan bawahan serta menyadarkan mereka
atas tanggung jawabnya termasuk harus loyal terhadap
lembaga.

STRATEGI PENERAPAN ETIKA BIROKRASI DALAM PELAYANAN PUBLIK 147


3. Kecermatan birokrat dalam pelayanan izin usaha
Dalam rangka perwujudan kualitas pelayanan izin
usaha Badan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal
(BPTPM) Kota Makassar, maka dibutuhkan strukur birokrasi
pelaksanan yang benar-benar diharapkan. Sehubungan
dengan hal tersebut, maka struktur birokrasi sebagai salah
satu faktor penerapan kebijkan pemimpin dalam kerangka
pelayanan izin usaha, meru-pakan masalah penting
diperhatikan sekaligus dilakukan analisis mencari bukti
bahwa apakah faktor struktur birokrasi mempengaruhi
atau tidak terhadap jalannya proses penerapan kebijakan di
BPTPM sebagai upaya terwujudnya kualitas pelayanan izin
usaha.
Dari hasil penelitian menggambarkan bahwa faktor
struktur birokrasi termasuk salah satu faktor pendukung
terwujudnya kualitas pelayanan BPTPM Kota Makassar.
Terkait dengan hal tersebut, sikap antusias aparat ditunjukkan
karena dukungan pemimpin/atasan tidak terjebak pada
sikap birokratisnya dalam menjalankan tugas dan fungsinya
sebagai pengambil kebijakan, hal inilah yang menyebabkan
aparat penerbitan izin usaha sangat mudah memberikan
pelayanan kepada masyarakat.
Pelaksanaan program kegiatan BPTPM Kota Makassar
tidak lagi terjebak pada formalitas birokrasi berbelit-
belit, semua aparat diikutsertakan dalam pengelolaan
dan manajemen kegiatan BPTPM sehingga para bawahan
merasakan bahwa keberadaan dan wewenang pemerintah
daerah tidaklah menjadi penghambat tapi memperlancar
pelaksanaan seluruh tahapan kegiatan BPTPM.
Selain itu struktur birokrasi tidak berbelit-belit dalam
pelaksanaan kebijakan sebagai upaya memperbaiki kualitas
pelayanan izin usaha BPTPM Kota Makassar didukung
oleh keterbukaan sikap pemimpin/atasan memperlancar

148 ETIKA BIROKRAT


pelaksanaan semua tahapan program kegiatan pelayanan
izin usaha BPTPM.
Mendukung hasil data diperoleh melalui wawancara
peneliti dengan para informan dari hasil pengamatan
peneliti melihat Direktur aparat penerbitan izin usaha
langsung menandatangani salah satu surat keterangan dalam
upaya memberikan pelayanan cepat kepada masyarakat
meskipun hanya berdiri dan berada di luar ruangan. Hal
ini membuktikan bahwa pelayanan BPTPM tidak terlalu
dipersulit dan tidak birokratis.
Sehubungan dengan upaya pemenuhan pelayanan
berkualitas di BPTPM ditinjau dari segi struktur birokrasi
dapat dijelaskan bahwa kegiatan pelayanan BPTPM selama
ini didukung oleh semua unsur terkait sebagai pembuat
kebijakan dan tidak mempersulit/ birokratis. Para pemimpin
di masing-masing Bidang dan Seksi serta aparatnya
tidak terlalu diikat dengan berbagai aturan yang dinilai
menghambat percepatan pelaksanaan kegiatan pelayanan
kepada masyarakat. Keberadaan masing-masing Bidang
dan Seksi sebagai wadah aparatur di BPTPM diberikan
kesempatan mengekspresikan diri melaksanakan berbagai
program kegiatan pelayanan izin usaha di Bidang/Seksi
masing-masing sebagai bukti bahwa ikatan kerja birokratis
tidak terlalu diimplementasikan BPTPM. Namun sebaliknya
dengan memberikan kebe-basan dan peluang yang cukup
kepada pimpinan dibawah ataupun aparat selama kebebasan
melakukan kegiatan tersebut tidak membawa dampak negatif
terhadap perwujudan pelayanan izin usaha berkualitas di
BPTPM.
Penerapan berbagai program kerja dalam rangka
perwujudan kualitas pelayanan izin usaha BPTPM yang
tidak terlalu birokratis dan terkesan tidak mempersulit dalam
pelaksanaannya, mengindikasikan adanya suatu keyakinan
bahwa semua pemimpin ditingkat bawah beserta aparatnya

STRATEGI PENERAPAN ETIKA BIROKRASI DALAM PELAYANAN PUBLIK 149


diikutsertakan dalam setiap pelaksanaan program kegiatan
tanpa memandang tingkat senioritas, sehingga hampir
semua aparat merasakan keberadaan setiap pemimpin baik
pemimpin puncak maupun pemimpin tingkat menengah
dan bawah tidaklah menjadi penghambat tapi memperlancar
pelaksanaan setiap tahapan kegiatan pelayanan perizinan di
BPTPM.
Berdasarkan konteks di atas dapat ditegaskan bahwa
struktur organisasi merupakan pengaturan antar hubungan
bagian-bagian dari komponen dan posisi ataupun jabatan
dalam suatu organisasi yang mengkhususkan pembagian
wewenang dan pekerjaan dengan memperlihatkan serta
menjelaskan peranan maupun kegiatan saling berhubungan
berdasarkan pada tingkat spesialisasi, hirarki wewenang dan
tata hubungan di dalam organisasi.
Struktur birokrasi juga merupakan mekanisme-
mekanisme formal yang menunjukkan kerangka dan pola
hubungan di antara peranan-peranan, posisi maupun
orang menggambarkan kedudukan, tugas, wewenang serta
tanggung jawab yang tidak sama dalam sebuah organisasi.
Struktur ini mengandung unsur standarisasi, sentralisasi
maupun desentralisasi pengambilan kebijakan serta besaran
satuan kerja.
Sebaiknya perlu juga diketahui bahwa secara realitas
BPTPM merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dan
melekat pada struktur jabatan birokrasi kepemimpinan
daerah. Oleh karenanya, para pemimpin di lingkungan BPTPM
mengaktualisasikan pelak-sanaan dan penerapan kebijakan
program pelayanan izin usaha dengan memperhatikan
dan mengejewentahkan kapasitas, kemampuan dalam
mengelola organisasi serta lebih memaksimalkan kecakapan
kepemimpinan yang dimiliki. Hal ini dimaksudkan untuk
lebih mensukseskan dan mengoptimalkan pene-rapan
berbagai program kebijakan pelayanan BPTPM, terutama

150 ETIKA BIROKRAT


dalam menghilangkan kesan tentang birokratis yang
berbelit-belit dan berjalan lamban sehingga tujuan dan
harapan organisasi akan segera terwujud. Struktur birokrasi
dalam organisasi pemerintah dan tidak mempersulit dan
dapat membawa ke arah lebih jelasnya struktur organisasi
pemerintah khususnya BPTPM yang bertujuan mendorong
serta mencip-takan hubu-ngan kerjasama kelompok dalam
melaksanakan setiap program kegiatan pelayanan izin
usahayang berkualitas kepada masyarakat.
Terkait dengan struktur birokrasi yang berhubungan
dengan penerapan kebijakan pelayanan BPTPM melibatkan
aparatur pemerintah daerah, unsur pemimpin terkait di
BPTPM sebagai faktor utama perwujudan kualitas pelayanan
izin usaha kepada masyarakat.
Berdasarkan gagasan tersebut di atas, maka struk-tur
organisasi yang perlu dikembangkan dan dinilai sangat tepat
untuk BPTPM adalah struktur organik mengingat upaya
pemerintah daerah mengembangkan program, membangun
tata kepemimpinan yang baik (good governance), perwujudan
masyarakat madani dan partispasinya dalam pembangunan,
reformasi aparat, dan lain-lain yang merupakan salah satu
karakteristik struktur organik. Hal ini disebabkan oleh ciri
khas struktur organik yang luwes, dimana pegawai diberikan
kebebasan untuk melakukan kreativitas dan inovasi, sehingga
organi-sasi mampu melakukan penyesuaian secara cepat
dengan perubahan lingkungan. Budaya organisasi yang
berkembang pada struktur organik mampu menciptakan
kondisi dimana anggota organisasi berorientasi pada nilai
dan sanggup menyesuaikan dengan perubahan teknologi
serta perubahan lingkungan eksternal.
Melalui pemilihan struktur organik ini, maka lembaga
BPTPM mampu berperan dalam memberikan pelayanan izin
usaha kepada masyarakat yang membutuhkan.

STRATEGI PENERAPAN ETIKA BIROKRASI DALAM PELAYANAN PUBLIK 151


4. Kedisiplinan birokrat dalam pelayanan izin usaha
Dalam upaya pemenuhan kualitas pelayanan jasa
BPTPM Kota Makassar sebagai manifestasi etika birokrat
dalam pelayanan izin usaha di BPTPM dapat dinilai melalui
lima dimensi pokok yaitu:
a. Bukti langsung (tangibles)
Bukti langsung (tangibles), merupakan penampilan
pegawai, tampilan dan kenyamanan dan fasilitas sarana
dan prasarana pelayanan serta ketersediaan peralatan atau
perlengkapan yang menunjang pelayanan. Kenyamanan
yaitu suatu kondisi yang berkaitan dengan pelayanan
perizinan yang tidak berhubungan langsung dengan
efektivitas pelayanan, tetapi dapat mempengaruhi
kepuasaan masyarakat. Kenyamanan juga penting
karena dapat mempengaruhi kepercayaan masyarakat
dalam pelayanan perizinan. Bila biaya izin usaha menjadi
pertimbangan, maka kenyamanan akan mempengaruhi
kemauan masyarakat untuk membayar biaya pelayanan.
Kenyamanan juga ber-kaitan dengan penampilan isik
dari fasilitas/sarana pelayanan perizinan, personil dan
peralatan pelayanan. Kenyamanan juga merupakan
faktor penting menarik masyarakat untuk menjamin
kelangsungan pelayanan dan meningkatkan cakupan.
Untuk kenyamanan dalam hal ketersediaan sarana
BPTPM sebagai bukti langsung (tangibles) pelayanan
BPTPM, maka aparat ditugaskan membuat daftar
keadaan ruangan yang kurang nyaman. Berkenaan
dengan itu aparat ditugaskan mencari penyebab
terjadinya ketidaknyamanan ruangan. Agar terkoordinir
maka ditunjuk salah seorang petugas untuk bertanggung
jawab terhadap kenyamanan ruangan yang dimanfaatkan
dalam bekerja.
Terkait dengan upaya menjaga kenyamanan
pelayanan di BPTPM diperoleh bahwa keadaan ruangan

152 ETIKA BIROKRAT


yang kurang nyaman. Hal ini perlu dilakukan mengingat
kenyamanan pelayanan BPTPM sangat memberikan
dampak positif terhadap masyarakat dan tentunya
dimulai dari menum-buhkan kebiasaan ataupun
budaya yang representatif di BPTPM itu sendiri. Selain
kenyamanan bagi masyarakat maka kepedulian BPTPM
juga diharapkan bisa mendukung program pemerintah
yaitu menciptakan budaya yang responsif terhadap
masyarakat sebagai budaya nasional.
Salah satu unsur dikembangkan dalam disiplin
nasional adalah menyangkut budaya responsif BPTPM
dikaitkan dengan masalah sikap, kebiasaan dan kemauan
petugas BPTPM dan didukung oleh seluruh komponen
yang ada termasuk di dalamnya kesadaran para
masyarakat dan keluarganya untuk turut menjaga serta
menumbuhkan budaya responsif antara konsumen dan
pihak BPTPM.
Budaya responsif dapat diartikan sebagai suatu
sikap, kebiasaan atau keyakinan mendorong orang agar
responsif di lingkungan BPTPM terutama bagi masyarakat
yang memerlukan pelayanan perizinan. Kerapian adalah
suatu keadaan atau kondisi yang baik, menyenangkan,
teratur baik tempat maupun susunannya, serta kelihatan
indah.
Nuansa nyaman inilah yang sangat diharapkan
diresponi pihak BPTPM. Budaya responsif bukan hanya
menyangkut lingkungan, tetapi hal ini menyangkut
kebiasaan menghilangkan unsur-unsur yang mengganggu
manusia lain yang melihat atau mendekatinya.
Keteraturan juga dituntut dalam budaya responsif juga
ditntut adanya fasilitas tenpat duduk mengantri dan
WC untuk mendukung pelaksanaan fungsi BPTPM
sehingga memberikan ketentraman bagi masyarakat
yang memerkukan pelayanan.

STRATEGI PENERAPAN ETIKA BIROKRASI DALAM PELAYANAN PUBLIK 153


Berkaitan dengan itu, maka pemimpin BPTPM
bertanggung jawab terhadap: (1) Penyediaan ruangan
dan fasilitas yang memadai, (2) Per-baikan sarana dan
prasarana penunjang, (3) Penyehatan lingkungan, (4) Pe-
nyediaan dan pengelolaan ruangan yang represen-tatif,
dan (5) Penataan ruangan BPTPM secara keseluruhan.
Dari hasil penelitian sehubungan dengan prinsip
responsif, maka kelayakan tempat dan ruangan
pelayanan dapat dijelaskan bahwa responsivitas aparat
BPTPM merupakan suatu kondisi yang mempengaruhi
kepuasan masyarakat memperoleh pelayanan per-izinan.
Responsivitas aparat dirasakan masyarakat selama
pelayanan menimbulkan kepercayaan masyarakat dalam
pelayanan perizinan. Bila biaya pelayanan menjadi
pertimbangan, maka kenyamanan akan memberikan
dampak terhadap kemampuan masyarakat untuk
membayar pelayanan. Respon-sivitas yang diberikan
pihak BPTPM berkaitan dengan fasilitas/ sarana pelayanan
perizinan, personil/ petugas BPTPM memberikan kesan
kepuasan tersendiri.
Terkait dengan bukti langsung (tangibles) yang
diberikan pihak BPTPM kepada masyarakat berdasarkan
data, bahwa menyangkut upaya pemenuhan kualitas
fasilitas yang digunakan masyarakat selama pelayanan
di BPTPM dari hasil wawancara bebas dan pengamatan
peneliti diperoleh informasi bahwa BPTPM membuat
daftar inventaris fasilitas/peralatan pada masing-masing
ruangan dan diberi keterangan pada tiap-tiap barang
sebagai berikut: (1) D = dapat dipakai (keadaan baik), (2) P
= perlu perbaikan, (3) T = tidak dapat dipakai (tidak dapat
diperbaiki), dan (4) H = hilang (sesuai daftar inventarisir
ruangan).
Dengan cara tersebut lebih memudahkan petugas
mengetahui apa yang harus dilakukan dengan barang-

154 ETIKA BIROKRAT


barang yang tidak dapat digunakan dan hilang serta
siapa yang bertugas dan bertanggung jawab menangani
inventarisasi perlengkapan barang.
b. Keandalan (reliability)
Keandalan (reliability), yaitu kemampuan untuk
memberikan secara cepat dan benar jenis pelayanan
kepada masyarakat dan berhubungan dengan kompe-
tensi teknis. Kompetensi teknis berkaitan dengan
bagaimana cara petugas mengikuti standar pelayanan
yang ditetapkan dan dapat diandalkan (dependability).
Kurangnya kompetensi teknis aparat dari prosedur
standar operasi (standard operating procedure) dalam
pemberian pelayanan masyarakat.
Untuk mengetahui bagaimana bentuk tanggung
jawab aparat izin usaha dilihat dari aspek keandalan,
dengan menyediakan media informasi seperti korang,
majalah dan televisi khususnya di ruang tunggu
pelayanan. Tujuannya adalah menghibur konsumen
selama menunggu gilirannya dilayani. BPTPM
menyediakan pula fasilitas tempat duduk dan WC bagi
masyarakat. Walaupun selama ini masyarakat atau yang
menjadi informan mengatakan kadang-kadang dan selalu
berpendapat bahwa selama ini pihak BPTPM belum
memberikan pelayanan cepat kepada pihak masyarakat,
dari hasil wawancara bebas peneliti dengan petugas
BPTPM didapat informasi bahwa lambatnya pelayanan
diberikan diakibatkan oleh proses pelayanan terutama
pelayanan di bidang administrasi.
Mendukung kecepatan waktu dan mengurangi
perasaan jenuh masyarakat, maka pelayanan BPTPM
dijelaskan bahwa petugas memberikan sepotong kertas
kepada masyarakat untuk memasuki tempat tunggu.
Masyarakat diberitahu untuk menunjukkan kertas
itu kepada semua pegawai/bawahan yang memberi

STRATEGI PENERAPAN ETIKA BIROKRASI DALAM PELAYANAN PUBLIK 155


pelayanan. Setiap kali masyarakat berpin-dah dari unit
yang satu ke unit lainnya, petugas di unit bersangkutan
mencatat kegiatannya di kertas tersebut, serta waktu mulai
dan selesainya kegiatan. Masyarakat selalu diberitahu
dengan jelas kemana ia harus pergi selanjutnya. Petugas
terakhir yang dikunjungi masyarakat menyimpan kertas
itu, dengan catatan mulai waktu dan selesainya. Bila
masyarakat kembali ke tempat tunggu di antara dua unit,
petugas pencatat menuliskan waktu yang dihabiskan
di sana. Bila masyarakat tetap tinggal di tempat tunggu
setelah selesai, waktu dihabiskan di sana juga tetap
dicatat.
Berdasarkan pengamatan dan wawancara
bebas peneliti dengan petugas BPTPM mengenai
kecepatan petugas memberikan pelayanan perizinan
dapat dijelasakan adanya pembagian petugas
pelayanan dan ditempelkan pada masing-masing
ruangan maupun unit pelayanan di BPTPM. Hal
ini dimaksudkan untuk menghindari kelalaian
petugas dalam memberikan pelayanan. Pada jadwal
pelayanan tercantum tiga tujuan/ fungsi yaitu: (1)
Membagi tugas secara merata di luar waktu kerja,
(2) Membagi tugas yang dinilai menarik atau agak sulit,
dan tugas bervariasi secara adil di antara petugas. (3)
Membagi pekerjaan tambahan di antara seluruh pegawai
pada masing-masing unit kerja. Dengan demikian, pene-
rapan kesopanan aparat dalam pelayanan izin usaha
diasumsikan bahwa pelayanan aparat perizinan di
BPTPM cukup andal.
c. Daya tanggap (responsiveness)
Daya tanggap (responsiveness), yaitu kesadaran atau
keinginan untuk membantu masyarakat dan memberikan
pelayanan cepat, atau tanggap, efektif dan eisien.
Eisiensi pelayanan perizinan merupakan hal penting

156 ETIKA BIROKRAT


dari kualitas pelayanan perizinan, apalagi sumber daya
pelayanan perizinan pada umumnya terbatas. Eisiensi
pelayanan akan memberikan per-hatian optimal untuk
memaksimalkan pelayanan kepada masyarakat dan
masyarakat. Petugas kese-hatan akan memberikan
pelayanan lebih baik dengan sumber daya yang
dimiliki. Pelayanan yang kurang baik mengakibatkan
ketidaknyamanan pada diri masyarakat. Keterlambatan
pelayanan perizinan kepada masyarakat terjadi pada
masyarakat akibat padatnya jadwal rapat. Namun untuk
mengantisipasi terjadinya keluhan masyarakat, maka
petugas tetap diberikan pelayanan perizinan meskipun
hanya dilayani secara parsial.
d. Jaminan (assurance)
Jaminan (assurance), mencakup pengetahuan
atau wawasan dan kemampuan pemberi layanan
untuk menimbulkan keyakinan dan jaminan keamanan
masyarakat ataupun pelanggan pengguna jasa pelayanan.
Kepastian pelayanan mencakup kepastian biaya, kejelasan
informasi pelayanan dan ketepatan waktu pelayanan.
Dalam pelayanan perizinan, jaminan keamanan berarti
mengurangi resiko keterlambatan pelayanan, kerungian
materi (biaya yang tinggi) dan waktu konsumen, serta
tuntutan ganti rugi dan sanksi hukum oleh konsumen
layanan.
Jaminan keamanan yang diberikan petugas BPTPM
kepada masyarakat jika dalam keadaan tertentu pelayanan
sering mendapat hambatan dari obyek yang dilayani.
Hal ini terjadi jika pada saat tentu mengalami komsumen
yang kondisinya cukup padat dan sangat bervariasi serta
rentan terhadap pengaruh eksternal.
Selanjutnya diketahui bahwa BPTPM setiap
kali memberikan pelayanan selalu mengecek kepada

STRATEGI PENERAPAN ETIKA BIROKRASI DALAM PELAYANAN PUBLIK 157


masyarakat apakah terdapat keluhan atas pelayanan
yang terkait dengan pelayan perizinan di BPTPM.
Terkait dengan jaminan keselamatan masyarakat
terutama menyangkut ketelitian dan kehati-hatian
petugas memberikan pelayanan kepada masyarakat
yang dilakukan petugas, maka BPTPM perlu mem-buat
pesan moral menganjurkan kehati-hatian menggunakan
dan memberikan pelayanan kepada masyarakat yang
secara tertulis dan ditempelkan di dinding ruang
pelayanan di BPTPM yakni: (1) Manajemen pelayanan
yang merupakan salah satu tanggung jawab aparat, dan
(2) Aparat perizinan harus terampil, berpengetahuan,
dan ketepatan pelayanan, (3) Keterlam-batan pelayanan
dapat mengakibatkan kerugian waktu bagi masyarakat.
Berdasarkan pesan moral tersebut dapat ditegaskan
bahwa ternyata pemberian pelayanan yang cepat dan
tepat itu penting bagi masyarakat. Hal ini merupakan
kepuasan bagi masyarakat apabila surat keterangan izin
usaha telah diterima konsumen pelayanan izin usaha
dalam waktu tidak terlalu lama tanpa melewati batas
maksimal/jam kerja (over lot) sesuai Standard Operational
Prosedure (SOP) BPTPM. Realitasnya sejumlah berkas
permohonan izin usaha masih bertumpuk di atas meja
kerja aparat BPTPM.
e. Empati (emphaty)
Empati (emphaty) yaitu kemauan memberikan
pelayanan melalui pendekatan personal ralation,
memberikan perlindungan serta berusaha untuk
mengetahui keinginan an kebutuhan konsumen.
Hubungan antar manusia berkaitan dengan interaksi
antara petugas perizinan dengan masyarakat, pemim-
pin dan pegawai BPTPM. Hubungan manusia yang
baik adalah menanamkan kepercayaan dan kredibilitas
dengan cara menghargai, menjaga rahasia, menghormati

158 ETIKA BIROKRAT


hak masyarakat dan memberikan perhatian serta
mendengarkan keluhan dan berkomuniksi secara efektif.
Hubungan antar manusia yang baik akan
mempunyai andil besar dalam konseling efektif.
Hubungan kurang baik antar manusia akan mengu-rangi
efektivitas dari kompetensi teknis pelayanan perizinan.
Masya-rakat yang diperlakukan kurang baik cenderung
untuk mengabaikan saran dan nasehat aparat BPTPM.
Untuk mengetahui sejauh mana rasa empati
ditunjukkan petugas kepada masyarakat, maka dapat
dijelaskan dari hasil pengamatan dan pengalaman
peneliti pada saat pertama kali datang berkunjung ke
lokasi penelitian sampai dengan berakhirnya penelitian
di BPTPM (BJ) mengakui kapasitas fungsi penelitian
dan pengembangan teknologi belum terealisasi secara
maksimal. petugas BPTPM dalam memberikan pelayanan
selalu bersikap baik, peduli dan mau diajak berkomunikasi.
Bahkan ada beberapa petugas memberikan nomor
handphone mereka agar mudah dihubungi jika masyarakat
memer-lukan pertolongan.
Pendapat informan yang didukung oleh hasil
pengamatan dan wawancara bebas peneliti baik wawan-
cara dengan petugas BPTPM maupun wawan-cara
dengan keluarga masyarakat dapat dikemukakan bahwa
hampir semua tindakan yang dilakukan petugas BPTPM
bermanfaat bagi konsumen izin usaha. Untuk itu petugas
BPTPM membuat rencana pelayanan berlandaskan pada
pengetahuan sahih dan dapat berlaku secara umum.
Resiko yang mungkin timbul diupayakan dikurangi
seminimal mungkin sementara manfaatnya harus
maksimal bagi masyarakat.
Namun demikian, budaya responsif akan meng-
alami kendala, kalau tidak didasarkan pada hakekat
pelayanan yang efektif dan eisien. Ada empat cara

STRATEGI PENERAPAN ETIKA BIROKRASI DALAM PELAYANAN PUBLIK 159


yang dapat diterapkan dalam mewujudkan budaya
responsif antara lain: (1) Memberi contoh yang baik, (2)
Menunjukkan sikap kepedulian, (3) Pen-dekatan persuasif
dan penerangan,dan (4) Pembinaan dan pengasuhan
kepada semua komponen BPTPM. Untuk itu perlu
diupayakan metode penerapan budaya nyaman dengan
mengutamakan lima pendekatan yaitu: (1) Dilak-sanakan
secara persuasif, (2) Lebih banyak mendorong, memberi
motivasi dari pada memaksa, (3) Keteladanan dari pihak
pemegang kepemimpinan formal dan petugas BPTPM
merupakan faktor keikutsertaan masyarakat, keluarga
masyarakat bahkan masyarakat lainnya, (4) Pemantapan
kesadaran bagi diri masyarakat terhadap sikap
bertanggung jawab dan kepedulian terhadap lingkungan
BPTPM yang nyaman dan teratur, dan (5) Membuat
program yang menunjang budaya nyaman, indah rapi,
teratur, serasi dan harmonis dalam lingkungan BPTPM
yang pada akhirnya bertujuan untuk mewujudkan pela-
yanan yang lebih baik kepada masyarakat.

5. Kesopanan birokrat dalam pelayanan izin usaha


Setiap daerah memiliki sistem nilai atau budaya kerja
aparat Badan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal
(BPTPM) Kota Makassar yang sudah turun temurun dalam
perilaku hidup aparat BPTPM. Salah satunya adalah kearifan
lokal yang dinilai sebagai kekayaan sebuah daerah. Kearifan-
kearifan lokal tersebut tak jarang disandingkan atau diserap
oleh sistem baru dalam era modernisasi. Namun kerapkali
budaya hidup aparat BPTPM telah dipengaruhi dan diwarnai
oleh kondisi obyektif aparat BPTPM kekinian dimana faham-
faham lama dan nilai-nilai tradisional yang telah diterima
sebagai kebajikan lokal, tereduksi oleh kebiasaan-kebiasaan
baru yang diserap oleh masyarakat masa kini.

160 ETIKA BIROKRAT


Berkenaan dengan itu, pembahasan pada fokus pertama
yaitu kesopanan birokrat yang melandasi BPTPM, sangat
terkait dengan persoalan moral dan etika, karena pelayanan
perizinan mengharuskan para birokrat menentukan
alternatif-alternatif mana yang paling bernilai dan mengapa
demikian.
Di era otonomi daerah, birokrasi lebih dekat dan secara
langsung berhadapan dengan masyarakat serta merupakan
perwujudan dan perpanjangan tangan pemerin-tah. Pelayanan
yang diberikan birokrasi di daerah identik dengan pelayanan
pemerintah. Amanah otonomi daerah yang mengutamakan
peningkatan kualitas pelayanan publik di berbagai sektor
kehidupan, harus menjadi acuan dan mendarah daging
dalam diri birokrasi di daerah. Sebab birokrasi di daerah
mempunyai peran besar dalam pelaksanaan urusan-urusan
publik yang berkaitan dengan tugas dan fungsi birokrasi di
daerah.
Dalam rangka menilai prediktor kesopanan birokrat
yang melandasi BPTPM, maka dideskripsikan masing-
masing aspek sebagai berikut:
1) Memberikan pelayanan umum (giveofservice)
Dalam implementasi pelayanan umum yang bersifat
rutin kepada masyarakat seperti memberikan pelayanan
perizinan, pembuatan dokumen, perlindungan, dan
penyediaan jaminan keamanan bagi masyarakat.
Orientasi nilai kesopanan harus dicermati secara
teliti dan menggu-nakan instrumen yang valid dan
reliable, yakni dengan menggu-nakan triangulasi data dari
berbagai sumber serta mencermati perpaduan gagasan
sikap dan tindakan birokrat perizinan.
Mencermati hasil wawancara tentang implementasi
pelayanan umum (giveofservice) terhadap perizinan
BPTPM, memperlihatkan tingkat kepedulian yang
cenderung tinggi,namun aparat seringlalai berkontribusi

STRATEGI PENERAPAN ETIKA BIROKRASI DALAM PELAYANAN PUBLIK 161


terhadap kesempurnaan proses penerbitan izin usaha.
Para birokrat kurang memiliki kontribusi yang cukup
dalam merealisasikan kebutuhan masya-rakat, tingkat
kesopanan para birokrat tergolong kurang jujur dalam
menyikapi permasalahan sebenarnya.Kondisi obyektif
Kota Makassar dan realitas permasalahan serta komitmen
pribadi dan kepentingan konsumen saling bergayutan
mempengaruhi birokrat dalam penerbitan izin usaha.
Sedangkan hasil observasi dan dokumentasi
menunjukkan bahwa orientasi nilai kesopanan dapat
dipersepsikan sedang, karena yang diperankan dalam
pelayanan perizinan di BPTPM pada umumnya dalam
kondisi wajar, artinya belum ada yang menonjol.
2) Melakukan pemberdayaan (execute of empowerment)
Kualitas pelayanan terhadap masyarakat untuk
mencapai kemajuan dalam kehidupan yang lebih baik,
seperti melakukan pembimbingan, pendampingan,
konsultasi, menyediakan modal dan fasilitas usaha, serta
melaksanakan pendidikan.
Dalam mengimplementasikan pemberdayaan sikap
para birokrat perizinan yang selalu berbicara benar sesuai
dengan regulasi dan realitas, apapun konsekuensinya
selalu siap bertanggung jawab. Menilainya berdasarkan
apa yang diucapkan dan dilaksanakan para birokrat
seirama dengan regulasi dan realitas empirik.
Pada umumnya hasil wawancara dari informan,
mengenai nilai kesopanan dalam pelayanan izin usaha
yang dinilai berdasarkan apa yang diucapkan dan
dilaksanakan seirama dengan regulasi dan realitas,
ternyata para birokrat BPTPM kurang memiliki nilai
kesopanan sesuai budaya Indonesia Bagian Timur
(Sulawesi Selatan).
Penerapan norma kesopanan dalam pelayanan perizin-
an di BPTPM, menurut hasil survey dan dokumen-tasi secara

162 ETIKA BIROKRAT


keseluruhan menunjukkan menjadi perilaku yang sangat
langkah, namun merupakan sikap yang sangat urgen saat ini.
Hampir setiap saat dan dimanapun tempat kegiatan, dapat
ditemukan orang-orang yang tidak memiliki nilai kesopanan.
Berkenaan dengan hal tersebut, dalam pemberian pelayanan
izin usaha di BPTPM, para birokrat perizinan memiliki sikap
dan perilaku yang beragam.

B. Strategi Birokrat Dalam Pelayanan Izin Usaha


di Kota Makassar

1. Sistem on line dalam pendaftaran izin usaha


Pendaftaran izin usaha dengan system on line yakni
ketersediaan informasi yang menyuguhkan data empirik
yang dapat diakses langsung dengan mudah (on line) oleh
stakeholders melalui media elektronik. Teknik penilaiannya
melalui pemanfaatan informasi yang relevan dengan BPTPM
oleh konsumen izin usaha.
Sesuai hasil wawancara diketahui bahwa sumber
informasi yang dapat dimanfaatkan oleh aparat dan
konsumen BPTPM dengan mudah diperoleh melalui media
cetak maupun media elektronik, hanya saja belum maksimal
dimanfaatkan. Walupun media cukup tersedia dalam era
keter-bukaan informasi sekarang ini yang banyak memberi
puluang yang sangat besar. Oleh karena itu seyogyanya
segala informasi yang mendukung pelaksanaan tugasnya
harus dimanfaatkan, tetapi realitasnya tidak diin-dahkan.
Berdasarkan penelusuran peneliti melalui obser-vasi
dan analisis dokumen nampak bahwa pihak BPTPM kurang
memiliki sejumlah informasi yang memadai tentang data
otentik masyarakat yang membutuhkan perizinan. Walaupun
demikian masih nampak sejumlah aturan yang seharusnya
dipedomani aparat perizinan dalam menjalankan tugas dan

STRATEGI PENERAPAN ETIKA BIROKRASI DALAM PELAYANAN PUBLIK 163


fungsinya dalam memberikan pelayanan tehadap konsumen
yang setiap harinya berjubel mengantri diloket pelayanan izin
usaha. Hanya saja etos kerja aparat peri-zinan yang dituntut
memberikan apresiasi yang tinggi terhadap berbagai regulasi
yang sudah ada, baik dari pemerintah pusat maupun dari
pemerintah daerah.
Menurut berbagai pihak konsumen yang merupakan
hasil wawancara bebas, disekitar pelayanan perizinan
BPTPM, menyatakan bahwa tahapan komunikasi antara
konsumen dengan pihak aparat perizinan menunjuk-kan
bahwa informasi yang diperoleh konsumen sangatlah minim.
Sehingga pihak konsumen berusaha sendiri mengum-
pulkan informan tentang berbagai hal yang berkaitan
dengan pengurusan perizinan. Hal ini membuktikan bahwa
aparat perizinan belum menjalankan tugas dan fungsinya
semaksimal mungkin dan kurang berkualitas.
Berdasarkan temuan di atas, menunjukkan bahwa
kualitas argumentasi sangat dipengaruhi oleh tersedianya
sejumlah informasi yang dari sisi kuantitas dianggap “cukup”
dan dari sisi kualitas disimpulkan “kurang” terhadap proses
pelayanan perizinan di BPTPM.
Sehubungan dengan itu, hasil penelusuran dukementasi
juga menunjukkan kurang data yang dapat memberikan
informasi tentang pengurusan perizinan di BPTPM, sehingga
konsumen terpaksa harus sabar menunggu aparat pelayanan
perizinan. Berkenaan dengan itu, terkesan hanya merupakan
formalitas belaka sekadar untuk mendapatkan legitimasi
kepeduliannya terhadan konsumen perizinan.
Berkenaan dengan itu, diketahui bahwa hasil positif
terhadap sistem komunikasi dapat mengindikasikan kurang-
nya derajat akuntabilitas. Apabila legislatif menganggap
bahwa informasi yang diterima konsumen penting, akurat,
dan tepat waktu, jelas dan mudah dimengerti, ini berarti
bahwa legislatif telah menjalankan amanah publik menerima

164 ETIKA BIROKRAT


informasi yang mema-dai yang dapat digunakan secara
efektif dan benar dalam proses pelayanan publik. Kuantitas
informasi yang diterima konsumen dapat diperkirakan
dengan mengevaluasi berbagai mekanisme, baik secara formal
maupun informal yang digunakan dalam berkomunikasi dan
frekuensi penanganan pelayanan perizinan di BPTPM.
Sesungguhnya jika konsumen menginginkan banyak
informasi dari pihak aparat BPTPM yang credible dan
representative, harus sabar menunggu giliran dilayani sesuai
dengan nomor antrian. Hanya saja konsumen membutuhkan
informasi lebih awal agar mereka secepatnya mengurus segala
keperluan pengurusan perizinan. Jika demikian, maka sangat
sulit mengharapkan akuntabilitas aparat perizinan terhadap
kepen-tingan masyarakat dan daerah secara komprehensif.
Padahal keterbukaan informasi serta pelaksanaan
sosialisasi turut menentukan efektivitas pelaksanaan
tugas aparat secara efektif. Keterbukaan informasi adalah
keadaan yang memungkinkan ketersediaan informasi
yang dapat diberikan dan didapat oleh masyarakat luas.
Keterbukan informasi publik yang lebih populer dengan
istilah E-Government telah diadopsi oleh pemerintah pusat
dan daerah sejak tahun 2001 melalui Instruksi Presiden No. 6
Tahun 2001 tentang Telematika (Telekomunikasi, Media dan
Informatika) bahwa aparat pemerintah harus menggunakan
teknologi telematika untuk mendukung good governance
dan mempercepat proses demokrasi. Hal ini bersesuaian
dengan prinsip-prinsip paradigma baru NPM dan NPS yang
mengedepankan kualitas pelayanan pemerintah kepada
masyarakat.

2. Penerapan sistem antri pelayanan izin usaha


Perilaku aparat yang responsif dapat ditunjukkan
melalui sistem pelayanan yang berdasar pada kepentingan
pengguna jasa, dalam hal ini masyarakat penerima pelayanan,

STRATEGI PENERAPAN ETIKA BIROKRASI DALAM PELAYANAN PUBLIK 165


khususnya di bidang pelayanan izin usaha. Pelayanan yang
tidak dilakukan dengan pendekatan formalistik tetapi lebih
pada kemanusiaan, dengan mengikuti situasi kontekstual
berdasarkan tun-tutan dan kebutuhan nyata masyarakat
penerima layanan izin usaha.
Tingkat dukungan penyelenggaraan pelayanan publik
dapat ditentukan apabila aparat pelayanan di bidang per-
izinan memiliki kemauan baik untuk merespon masyarakat
pengguna jasa pelayanan perizinan dengan memberikan
pelayanan yang terbaik. Oleh karena itu, prinsip pelayanan
perizinan kepada masyarakat perlu dilandasi komunikasi
dialogis antara aparat pelayan perizinan dengan masyarakat
sebagai pengguna jasa layanan perizinan izin usaha. Selain
itu, aparat pela-yanan harus memiliki komitmen dan
kemampuan untuk mengenali kebutuhan dan kepentingan
masyarakat penerima pelayanan perizinan. Pengenalan akan
kebutuhan pengguna jasa perizinan hanya dapat dilakukan
apabila aparat pelayanan memiliki komit-men untuk belajar
berbagai pengalaman yang pernah dialami dan diprak-tekkan,
dan secara konsisten diterapkan guna perbaikan pelayanan
perizinan yang labih baik dan berorientasi pada kepentingan
dan pemenuhan kebutuhan masyarakat penerima layanan
izin usaha.
Dukungan pemberian layanan juga ditentukan oleh
adanya saluran dan keterbukaan informasi dan seberapa
jauh interaksi komunikasi yang terjalin antaraaparat sebagai
pelayan dengan masyarakat pengguna jasa perizinan.
Akses pembukaan jaringan komunikasi yang lancar akan
memper-mudah masyarakat untuk mengakses pelayanan
komunikasi secara tepat. Untuk itu, pemerintah perlu
memperluas peran informasi dan komunikasi kepada
masyarakat. Dengan keterbukaan sistem komunikasi maka
kecepatan dan ketepatan dalam proses pelayanan kepada
masyarakat akan lebih terjamin efektiitasnya. Dengan iklim

166 ETIKA BIROKRAT


komunikasi yang terbuka maka sangat dimungkinkan upaya
untuk mewujudkan dukungan aparat pelayanan kepada
masyarakat pengguna jasa pelayanan perizinan.
Dukungan birokrat kepemimpinan dalam memberi-
kan pelayanan perizinan pada BPTPM disesuaikan dengan
rencana, program dan kegiatan pelayanan perizinan dengan
kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, agar pemerintah
mampu melayani masyarakat sesuai dengan apa yang dibu-
tuhkan, pemerintah perlu mengasah daya peka dan daya
tanggap akan kebutuhan dan permasalahan masyarakat.
Birokrat kepemimpinan harus merespon, tanggap dan
peduli akan kebutuhan pelayanan masyarakat. Hal tersebut
harus terinternaisasi dalam diri aparat kepemimpinan yang
menyatu pada sikap dan perilaku aparat.
Mengenai kecepatan pelayanan diketahui bahwa aparat
cepat melayani kalau berkas yang masuk jumlahnya normal,
dalam arti kalau permohonan izin usaha tidak terlalu banyak,
maka penyelesaian izin usaha tersebut bisa diselesaikan
selama kurun waktu 12 hari kerja sesuai dengan Peraturan
Kepala BPTPM Makassar Nomor 20 Tahun 2014 tentang Tata
Cara Pemberian Izin, dan Peraturan Kepala BPTPM Makassar
Nomor 60 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pelayanan
Perizinan Terpadu Satu Pintu. Tetapi kalau permohonan
banyak yang masuk, maka didahulukan yang pertama
memasukkan permohonan perizinan secara berturut-turut
dengan menggu-nakan sistem antri.
Informasi yang diperoleh peneliti di BPTPM tentang
jumlah berkas permohonan izin usaha, jika di rata-rata
setiap harinya antara 20-30 berkas pemohon, kecuali hari
jumat jumlahnya tidak terlalu banyak, hanya berkisar
5-15 berkas pemohon. Lain halnya informasi yang peneliti
dapatkan di Kantor Pelayanan Administrasi Perizinan Kota
Makassar, bahwa pemohon izin usaha pada bulan Junii 2015
pada minggu pertama ada 5 berkas pemohon yang masuk,

STRATEGI PENERAPAN ETIKA BIROKRASI DALAM PELAYANAN PUBLIK 167


minggu kedua meningkat sampai 198 berkas pemohon,
minggu ketiga berkas pemohon yang masuk 203 berkas,
minggu keempat ada 172 berkas pemohon, dan minggu kelima
mengalami penurunan yaitu cuma 5 berkas pemohon yang
masuk. Dengan melihat jumlah pemohon izin usahaselama
satu bulan cukup banyak jumlahnya, berluktuasi jika dilihat
dari jumlah pemohon setiap minggunya.
Kecepatan pelayanan dikatakan bervariasi tergantung
skala bangunan yang mau di mohonkan ijinnya, misalnya
bangunan yang berskala besar harus dilengkapi dokumen-
dokumen pendahuluan seperti harus ada amdalnya dan
kelengkapan lainnya. Kalau persyaratan pendahuluan tidak
dilengkapi terlebih dahulu, maka tidak bisa selesai dengan
cepat. Dengan percepatan pengurusan perizinan izin usaha
yang telah dilakukan dilihat dari segi kepuasan masyarakat,
sudah dalam kategori memuaskan masyarakat.
Dari hasil penelitian yang dilakukan, ditemukan
bahwa dengan melihat papan potensi yang terpasang di
depan Kantor Pelayanan Administrasi Perizinan, sangat
jelas tertlihat mekanisme pengurusan izin usaha, yang
tertuang dalam Peraturan Kepala BPTPM Makassar Nomor
20 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pemberian Izin di Kota
Makassar, dan nampaknya apa yang tertera di papan potensi
tersebut dijalankan sepenuhnya oleh aparat sebagai pelayan
masyarakat.
Dijelaskan pula bahwa dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat, walaupun sudah melakukan pelayanan
secara maksimal, sesuai dengan aturan yang ada, tetapi
masih ada saja masyarakat yang melakukan komplain atas
pelayanan yang diberikan.
Secara umum, dukungan birokrat kepemimpinan
dilihat dari dimensi ketepatan dan kecepatan dalam
memberikan pelayanan semua mengatakan sesuai dengan
aturan dan mekanisme yang telah digariskan Oleh Kepala

168 ETIKA BIROKRAT


BPTPM Makassar yang tertuang dalam Perwalkot Makassar
20 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pemberian Izin, adapun
jika terjadi kendala dalam pngurusan izin usaha itu
adalah kesalahan yang dilakukan pemohon dengan tidak
melengkapi persyaratan administrasi yang telah ada dalam
formulir permohonan izin usaha. Di samping itu, bahwa
kendala yang terjadi itu adalah masalah teknis dilapangan
misalnya pengajuan gambar yang merupakan lampiran
dalam pengurusan izin usaha tidak sesuai dengan rooling
yang telah ditentukan, atau peruntukan lahan yang diajukan
tidak sesuai, tetapi jika terjadi hal tersebut, konsumen
diberikan pemahaman atas kekeliruan tersebut.
Dalam konteks ini, yang menjadi tugas utama pelayanan
adalah perhatian (atentiveness) dan ketepatan (prompiness)
dalam menangani permintaan, pertanyaan, keluhan, dan
masalah pelanggan. Dalam Kenya-taannya, aparat pelayanan
di bidang perizinan kurang memperhatikan aspek kebutuhan
dan masalah yang dihadapi oleh masyarakat penerima
layanan perizinan izin usaha, sehingga tidak mengherankan
apabila masyarakat merasa tidak puas atas layanannya
aparat.
Apa yang dikemukakan oleh para pejabat birokrat
di BPTPM, dan pebajat birokrat Pelayanan Administrasi
Perizinan, jika dilihat dari aturan dan mekanisme pelayanan
masih sering terjadi penyimpangan, sehingga penilaian
masyarakat kurang baik.
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan informan
baik informan dari unsur birokrat maupun informan dari
unsur masyarakat memberikan tanggapan yang sangat
kontradiktif. Informasi dari informan unsur birokrat BPTPM
yang mengurus secara teknis pengurusan izin usaha,
maupun dari Kantor Pelayanan Administrasi Perizinan
yang mengurus secara administrasi pengurusan izin usaha
umumnya mengatakan bahwa pelayanan yang diberikan

STRATEGI PENERAPAN ETIKA BIROKRASI DALAM PELAYANAN PUBLIK 169


kepada masyarakat dilihat dari ketepatan dan kecepatan,
penyelesaian izin usaha sudah tepat, cepat dan tangap
berdasarkan peraturan. Hal ini dapat dilihat dari tanggapan
Sekretaris Kepala Badan yang mengatakan bahwa dilihat
dari ketepatan, kecepatan dan ketanggapan penyelesaian
izin usaha sudah mengarah kepada pelayanan prima, karena
penyelesaiannya cuma 6-12 hari kerja izin sudah selesai.
Adapun keterlambatan izin usaha dikeluhkan masyarakat
dikarenakan dari pemohon sendiri, karena berkas yang
diajukan pemohon tidak lengkap secara administrasitif.
Apa yang dikemukakan informan yang memberi
penjelasan berdasarkan fersinya masing-masing yang
sehubungan dengan beban tugasnya tetapi mengarah pada
suatu titik yang sama bahwa penyelesaian Izin usaha dilihat
dari unsur ketepatan, dan unsur kecepatan serta ketanggapan
diselesaikan berdasarkan aturan yang telah ditetapkan
Kepala BPTPM Makassar, yaitu 6-12 hari kerja, dengan dasar
bahwa berkas yang diajukan pemohon tidak ada masalahnya
(lengkap secara administrasi). Keterlambatan penyelesaian
izin usaha menurut para pejabat tersebut apabila berkas yang
diajukan bermasalah, misalnya ada lembaran berkas yang
kurang (Foto copy KTP tidak ada, kepemilikan bangunan
yang tidak jelas).
Penjelasan dari informan tersebut di atas, tentang
ketepatan dan kecepatan penyelesaian izin usaha, bahwa
peyelesaian Izin usaha di Kantor Pelayanan administrasi
Perizinan yang mengelola berkas pemohon secara
administratif, waktunya antara 2-6 hari kerja, dengan dasar
berkas yang diajukan masyarakat tidak bermasalah (tidak ada
kekurangannya), akan tetapi jika bermasalah (ada kekurangan
berkas) tidak mungkin selesai 2-6 hari, bahkan lebih dari
ketentuan yang telah ada. Kalau terjadi kekurangan berkas
dari sisi administrasi, pemohon dipanggil melalui surat atau

170 ETIKA BIROKRAT


di telepon secara langsung untuk memberikan penjelasan
tentang kekurangan berkas yang diajukan pemohon.
Apa yang dikemukakan oleh para aparat BPTPM sangat
kontradiktif dari tanggapan informan dari unsur masyarakat.
Hal ini diketahui dari pernyataan informan dari unsur
konsumen yang mengatakan bahwa penyelesian izin usaha
tidak tepat dan tidak cepat dalam memberikan pelayanan
sesuai dengan waktu yang dijanjikan. Alasannya, karena
ada pekerjaan lain yang lebih mendesak, sehingga pekerjaan
pelayanan tertunda sampai besok, lusa, atau minggu.
Diakuinya secara jujur bahwa ada juga jenis pelayanan yang
cepat, misalnya pelayanan saat pendaftaran berkas, dan
pemasukan berkas. Mengenai ketanggapan, petugas layanan
menurutnya ada petugas layanan yang tanggap terhadap
keluhan masyarakat tetapi ada juga yang tidak tanggap.
Hal yang hampir sama juga dikatakan oleh informan
lain dari kalangan konsumen yang menjelaskan bahwa;
apa yang saya lihat tentang pelayanan oleh birokrat kurang
gesit dan kurang cepat. Menurutnya hal ini dimungkinkan
karena petugas layanan kebanyakan perempuan yang masih
perlu dilatih secara khusus tentang percepatan pelayanan.
Selanjutnya, juga dari pihak konsumen mengatakan bahwa
tentang ketepatan, kecepatan dan ketanggapan pelayanan
yang diperlihatkan birokrat kurang memberi kepuasan
kepada masyarakat, sehingga masyarakat berasumsi bahwa
secara umum dalam pengurusan izin usaha, petugas layanan
kurang tanggap terhadap keluhan masyarakat tentang
layanan yang diberikan.
Penilaian yang tidak jauh beda dijelaskan oleh informan
lain bahwa birokrat kurang memberi respon kepada
masyarakat apabila masyarakat membutuhkan penjelasan
tentang mekanisme pengurusan izin usaha, sehingga wajarlah
apabila informan yang melakukan pengurusan izin usaha
mengatakan bahwa birokrat sebagai pelayan masyarakat

STRATEGI PENERAPAN ETIKA BIROKRASI DALAM PELAYANAN PUBLIK 171


sebaiknya lebih gesit dan lebih sigap dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat. Informan yang lain selaku
konsumen mengatakan bahwa dari segi pelayanan di kantor
BPTPM dan Kantor pelayanan administrasi perizinan
terjadi kesenjangan apa yang diprogramkan/direncanakan
pemerintah dengan apa yang diharapkan masyarakat.
Menurutnya, bahwa kebijakan yang berkaitan dengan
pelayanan seharusnya disesuaikan dengan kebutuhan nyata
masyarakat.

3. Sistem tepat waktu dalam pelayanan izin usaha


Disiplin adalah kesanggupan aparatur untuk menaati
kewajiban dan menghindari larangan yang ditentukan
dalam peraturan perundang undangan dan/atau peraturan
kedinasan yang apabila tidak ditaati atau dilanggar dijatuhi
hukuman disiplin. Masalah disiplin yang dibahas dalam
penelitian ini adalah disiplin yang dilakukan seorang
aparatur kepemimpinan. (Hasibuan 2012:193).
Berkenaan dengan sistem tepat waktu dalam pelayanan
izin usaha di BPTPM, maka dapat dikatakan bahwa, Sikap dan
mental individu aparatur didalam masyarakat mencermin-
kan rasa ketaatan, kepatuhan, yang didukung oleh kesadaran
untuk menunaikan tugas dan kewajiban dalam rangka
pencapaian tugas. Disiplin yang baik mencerminkan rasa
tangung jawab aparatur terhadap tugas-tugas yang diberikan.
(Wawancara: 5 Mei 2015).
Pernyataan di atas mendorong semangat kerja dan
gairah kerja dalam rangka terwujudnya tujuan organisasi.
Sebagai contoh yang dilakukan Pemkot Makassar dalam
menegakkan disiplin aparatur adalah adanya kebijakan
Sekwilda dengan dilaksanakannya Upacara/Apel Integritas,
yakni upacara/apel pagi masuk kantor dan apel sore ketika
hendak pulang kantor bagi seluruh aparatur BPTPM setiap

172 ETIKA BIROKRAT


harinya. yang dilaksanakan di lapangan upacara dan
pemimpin upacara dijalankan secara bergiliran.
Berdasar pada fakta di atas, hasil survey penelitian
menunjukkan bahwa pelaksanaan upacara tersebut setiap
hari dan disertai absensi kehadiran. Maksud dan tujuan
upacara tersebut adalah untuk mengetahui tingkat ketaatan
dan kepatuhan aparatur terhadap atauran/peraturan dan
norma yang telah ditetapkan serta ketika melaksanakan tugas-
tugasnya, baik secara sukarela maupun karena terpaksa.
Kedisiplinan adalah wujud dari tanggung jawab terhadap
pekerjaan, efektivitas kerja, komitmen jam masuk dan pulang
kantor setiap harinya, tidak meninggalkan pekerjaan, bekerja
secara teratur, serta pemanfaatan prasarana dan sarana
instansi berdasarkan prosedur formal.
Bagi aparatur BPTPM, disiplin kerja telah diatur dalam
Peraturan Pemerintah No.30/1980 dan telah direvisi oleh
Peraturan Pemerintah No.53 Tahun 2010 tentang Peraturan
Disiplin PNS, yang memuat semua kewajiban, larangan, dan
sanksi jika melanggar larangan dan jika tidak melaksanakan
tugas dan kewajiban yang telah dibebankan kepadanya.
Disiplin merupakan suatu kekuatan yang berkembang
didalam tubuh aparatur dan menyebab-kannya dapat
menyesuaikan diri dengan sukarela terhadap keputusan-
keputusan, peraturan-peraturan dan nilai dan norma yang
terkandung dalam pekerjaannya. Persoalannya adalah
bagaimana mengukur disiplin kerja tersebut.
penegasan disampaikan oleh Kepala Sub Kedudukan
Hukum PNS yang mengatakan bahwa; ”sesungguhnya
aparat BPTPM Makassar dimotivasi mendukung program
pemerintah menjalankan tugas dan fungsinya secara teratur
sesuai mekanisme kerja yang sudah ditetapkan.
Makna hasil wawancara menunjukkan bahwa kedisip-
linan kerja harus ditegakkan dalam suatu instansi, tanpa
dukungan disiplin aparatur yang baik, maka sulit bagi

STRATEGI PENERAPAN ETIKA BIROKRASI DALAM PELAYANAN PUBLIK 173


instansi tersebut untuk mewujudkan tujuannya. Oleh sebab
itu dengan kedisiplinan aparatur berarti yang bersangkutan
sadar dan bersedia mengerjakan semua tugasnya.
Penilaian prestasi aparatur mutlak harus dilakukan
untuk mengetahui prestasi yang dicapai setiap aparatur,
apakah prestasi yang dicapai setiap aparatur baik, sedang
atau kurang. Penilaian prestasi penting bagi instansi ini untuk
menetapkan tindakan kebijakan selanjutnya. Dasar penilaian
adalah uraian pekerjaan setiap aparat karena dalam uraian
pekerjaan inilah ditetapkan tugas dan tanggung jawab yang
akan dilakukan oleh setiap aparat.
Menilai pelaksanaan uraian pekerjaan berkenaan
dengan baik atau buruk, selesai atau tidak selesai, dan
dikerjakan secara efektif atau tidak efektif, maka tolok
ukur yang akan digunakan untuk menilai prestasi kerja
aparat adalah adanya standar atau sebuah model untuk
diperbandingkan antara satu hal dengan hal lainnya.
Dari imformasi yang dsampaikan Kepala BPTPM,
dipahami bahwa penilaian prestasi kerja merupakan
prosedur yang formal dilakukan dalam organisasi. Penilaian
dilakukan dengan metode evaluasi kinerja pegawai dalam
hal: kompetensi operasional administratif dan kompetensi
teknis (pelayanan terhadap kepentingan stakholders internal
dan eksternal).
Dengan mendasarkan pada kenyataan penilaian
prestasi kerja adalah menilai rasio hasil kerja nyata dengan
standar kualitas maupun kuantitas yang dihasilkan setiap
aparatur. Menetapkan kebijakan apakah aparatur akan
dipromosikan, didemosikan dan kompensasi atas prestasi
kerja aparatur.
Penilaian prestasi kerja merupakan prosedur yang
formal dilakukan di dalam institusi BPTPM. Penilaian prestasi
merupakan evaluasi terhadap perilaku aparat, prestasi kerja
dan potensi pengembangan yang telah dilakukan. Penilaian

174 ETIKA BIROKRAT


prestasi pada dasarnya merupakan suatu proses menges-
timasi dan menentukan nilai keberhasilan pelaksanaan tugas
aparatur.
Hal lain yang menjadi penyebab mendasar adalah dasar
penilaian dan unsur-unsur yang dinilai. Hasil wawancara
menunjukkan bahwa kualitas aparatur dapat diukur ketika
BPTPM meminta laporan kinerja setiap bulan kepada masing-
masing aparat BPTPM. Batas waktu penyelesaian tugas,
fungsi dan standar penilaian pekerjaan telah dijalankan
aparat sesuai dengan peraturan yang berlaku di BPTPM.
Kemudian hasil survei dan penelusuran dokumentasi
BPTPM, diketahui bahwa standar penilaian kinerja aparat
bermakna sebagai ukuran untuk penilaian secara garis besar
terhadap kinerja aparat. Standar dibedakan atas Tangible
standard yaitu sasaran yang dapat ditetapkan alat ukurnya.
Standar ini dibagi atas standar dalam bentuk isik yang
terbagi atas: standar kuantitas, standar kualitas, dan standar
waktu penyelesaian pekerjaan aparat. Intangible standard
adalah sasaran yang tidak dapat ditetapkan alat ukur atau
standarnya. Misalnya, standar perilaku, partisipasi, loyalitas,
dan dedikasi aparatur terhadap instansinya.
Berkenaan dengan itu diperoleh keterangan pula
bahwa kinerja aparat masih sama dengan aparat diberbagai
instansi yang lain. Aparat BPTPM tidak ada memperlihatkan
suatu prestasi yang menonjol dan tidak ada sanksi berat yang
diperoleh sebagai konsekuensi dari sebuah pelanggaran
berat. Dalam penilaian penyelesain uraian pekerjaan, penilai
mempergunakan standar penilaian kerja sebagai alat ukur
hasil yang dicapai aparatur dalam tugas pekerjaan dan
perilaku aparatur, baik di dalam organisasi maupun diluar
organisasi.

STRATEGI PENERAPAN ETIKA BIROKRASI DALAM PELAYANAN PUBLIK 175


C. Faktor determinan Dalam Pelayanan Izin Usaha
di Kota Makassar

1. Tipe kepemimpinan dalam pelayanan izin usaha


Tipe kepemimpinan dari seorang pemimpin menunjuk-
kan perwujudan tingkah laku dari seorang pemimpin yang
menyangkut kemampuannya dalam memimpin. Perwujudan
tersebut biasanya membentuk pola atau bentuk tertentu, di
mana seorang pemimpin dengan tipe kepemimpinan yang
dimiliki berusaha mempengaruhi perilaku orang lain agar
dapat mengikuti kehendaknya dalam rangka mencapai
tujuan bersama. Selain itu, tipe kepemimpinan juga mengan-
dung makna norma perilaku yang digunakan oleh seorang
pemimpin pada saat orang tersebut mempengaruhi perilaku
orang lain.
Kepala BPTPM dalam menyelenggarakan kepemim-
pinannya dikatakan selalu komunikatif, dapat membangun
kompromi, baik terhadap pimpinan organisasi, lembaga,
maupun terhadap bawahannya. Setiap ada penyampaian
dari ajudan, selalu direspon dengan positif, dalam arti
bahwa Kepala BPTPM, adalah igur yang tunduk terhadap
keputusan. Namun demikian, tidak jarang juga Kepala
Badan menjadi marah terhadap bawahannya, karena yang
bersangkutan melakukan kesalahan, atau kelalaian, tetapi
kemarahannya dalam rangka memberi solusi yang tepat.
Pendapat di atas mengindikasikan bahwa, Kepala
BPTPM dalam menyelenggarakan kepemimpinan senantiasa
bersikap komunikatif serta membangun kompromi
dengan pimpinan-pimpinan bagian atau sub bagian di
BPTPM. Bahkan sikap kompromi dan komunikatif itu
juga ditunjukkan oleh Kepala BPTPM terhadap ajudan
yang senantiasa mengingatkan agenda hariannya. Sikap
komunkatif dan kompromi ini juga merupakan ciri dari
tipe kepemimpinan demokratis. Selain itu, Kepala BPTPM

176 ETIKA BIROKRAT


dalam melaksanakan tugasnya senantiasa berdiskusi dengan
semua elemen-elemen yang terkait dengan penyelenggaraan
kepemimpinan bahkan kegiatan diskusi dilakukan dengan
siapa saja yang ingin bertemu dan bersilaturrahmi dengan
beliau tanpa mengenal waktu, artinya kegiatan diskusi yang
dilakukan oleh Kepala BPTPM kadang-kadang pagi, siang,
sore dan bahkan malam. Ini juga merupakan suatu bukti
besarnya perhatian Kepala BPTPM terhadap informasi-
informasi yang diberikan oleh masyarakat dan bawahannya
yang dapat dijadikan sebagai pertimbangan-pertimbangan
dalam menyelenggarakan kepemimpinannya.
Selain itu Kepala BPTPM banyak memberikan
pengetahuan baru dalam melakukan inovasi pelayanan,
memiliki wawasan yang sangat luas serta semangat
membangun yang luar biasa. Dalam kepemimpinannya,
Kepala BPTPM selalu berupaya mengedepankan pemenuhan
kebutuhan publik dengan berbagai terobosan dengan tetap
berlandaskan pada konstitusi dan peraturan perundang-
undangan yang ada. Artinya, bahwa kepala badan
mengutamakan kepentingan umum, taat pada ketentuan,
keputusan, bahkan pada kesepakatan-kesepakatan yang tidak
tertulis sekalipun. Kepala BPTPM selama memimpin, selalu
mengedepankan kompromi-kompromi dalam menjalankan
tugasnya, tetapi kompromi yang dikembangkan tetap
berlandaskan pada ketentuan-ketentuan hukum yang ada,
tidak pada kompromi yang bertentangan dengan ketentuan
dan peraturan yang ada.
Pendapat ini memperlihatkan konsistensi dalam
mengambil kebijakan yang senantiasa berlandaskan
pada pertauran dan perundang-unda-ngan yang berlaku
dengan tetap memperhatikan kebutuhan dan kepentingan
masyarakatnya. Ini artinya bahwa Kepala BPTPM dalam
menjalankan kepemimpinan senantiasa memperhatikan
kepentingan masyarakat serta mematuhi ketentuan-

STRATEGI PENERAPAN ETIKA BIROKRASI DALAM PELAYANAN PUBLIK 177


ketentuan yang berlaku dan kesepakatan-kesepakatan
dengan masyarakat, baik yang tertulis maupun yang tidak
tertulis. Dalam keseharian beliau dalam menyelenggarakan
kepemimpinan, beliau tidak mengenal kompromi terhadap
tindakan-tindakan yang bertentangan dengan ketentuan dan
peraturan yang berlaku misalnya kepada staf yang mangkir
dalam menjalankan tugasnya dengan langsung memberikan
tindakan tegas bahkan sampai pada tahap pemecatan.
Hasil pengamatan peneliti menunjukkan bahwa
Kepala BPTPM Makassar dalam menjalankan kepemim-
pinan sangat berpegang teguh terhadap aturan tanpa
pandang bulu. Kasus pemecatan salah seorang pejabat yang
tidak lain adalah kerabatnya sendiri dilakukan karena yang
bersangkutan ditengarai melibatkan diri dalam menentang
kebijakan Kepala BPTPM dalam bentuk demonstrasi.
Melakukan demonstrasi bagi seorang pegawai negeri sipil
adalah merupakan pelanggaran disiplin.
Selain dari pada itu, dalam kepemimpinannya
telah menjadi pemimpin yang bersedia mendengar dan
mengakomodir pendapat orang, dan selalu terbuka
dengan berbagai keritikan ataupun masukan yang ingin
disampaikan oleh siapa saja. Hal ini menunjukkan bahwa
Kepala BPTPM memiliki sikap kepedulian yang tinggi
dalam menyelenggarakan kepemimpinan, yang ditunjukkan
oleh seringnya Kepala BPTPM melakukan kunjungan ke
kelurahan-kelurahan dan berdialog dengan masyarakat
tentang hasil usaha masyarakat dan sebagainya.
Sikap keterbukaan terhadap kritik yang disampaikan
oleh orang lain, juga ditunjukkan oleh Kepala BPTPM
dalam menyelenggarakan kepemimpinan meskipun kritik
itu disampaikan oleh lawan politiknya. Hasil pengamatan
peneliti ketika Kepala BPTPM sedang mengikuti rapat
paripurna DPRD Kota Makassar. Berbagai kebijakan Kepala
BPTPM dikritik oleh para anggota dewan antara lain kebijakan

178 ETIKA BIROKRAT


Kepala BPTPM tentang biaya pengurusan perizinan.
Sikap terbuka inilah sehingga bersedia menerima ide,
gagasan, dan mengedepankan kerjasama dengan semua pihak
sepanjang hal tersebut tidak bertentangan dengan peraturan
dan ketentuan yang berlaku. Sikap inilah yang kemudian
membuat bawahan atau kolega segan dan hormat. Artinya,
Kepala BPTPM dalam menjalankan kepemimpinannya
senantiasa bersikap kooperatif dalam menentukan kebijakan
dan mengambil keputusan terutama yang berkaitan dengan
kebutuhan dasar masyarakat.
Dengan demikian, sudah sewajarnyalah sikap itu
menjadi panutan bagi bawahannya. Sikap keteladanan yang
ditunjukkan oleh Kepala BPTPM terutama dalam hal mentaati
peraturan yang berlaku seperti dalam hal kedisiplinan
pegawai masuk kerja jam 8 pagi dan kadang-kadang kembali
hingga larut malam bahkan melayani masyarakat di rumah
jabatan.
Hasil wawancara mengatakan bahwa Kepala BPTPM
Makassar dalam menyelenggarakan kepemimpinan,
cenderung bersikap kompromi, komunikatif, menghargai
pendapat, tidak egois dan tunduk dan taat pada keputusan,
bahkan senantiasa ’menghargai pendapat orang lain’,
”mempunyai komitmen”, taat pada aturan, mendengarkan
keluhan masyarakat, senang berdiskusi dan berkompromi.
Hal ini sesuai kondisi pada saat pembahasan program dan
kegiatan pembangunan dimana Kepala BPTPM mengha-
rapkan pendapat dan saran yang berkembang dari setiap
peserta rapat, serta memberikan bimbingan dan arahan
sehingga terjalin hubungan komu-nikatif dan menghasilkan
keputusan yang disepakati oleh semua pihak.
Penyelenggaraan kepemimpinannya, juga telah mem-
perlihatkan kondisi kepemimpinan yang bersih dimana
setiap kepala bagian atau kepala sub bagian diharapkan
melaksanakan pengelolaan anggaran yang eisien dan efektif

STRATEGI PENERAPAN ETIKA BIROKRASI DALAM PELAYANAN PUBLIK 179


dengan mengacu kepada ketentuan dan peraturan yang
berlaku.

2. Budaya kerja dalam pelayanan izin usaha


Budaya kerja (BK) adalah perilaku kerja aparat BPTPM
Kota Makassar yang menjadi kebiasaannya atau sistem
kerja aparat yang dapat mendukung proses kerja dalam
lingkungan BPTPM.
Jika ada program BPTPM yang mengalami hambatan,
biasanya yang dijadikan kambing hitam adalah budaya. Nilai-
nilai yang menjadi muatan program belum membudaya,
atau budaya dianggap sulit berubah. Jika ada nilai baru yang
percepatannya memerlukan perubahan, dan perubahan itu
oleh penguasa dianggap dapat merugikan kepentingannya,
maka yang dijadikan dasar penolakan terhadap nilai baru itu
adalah budaya tidak sesuai dengan kepribadian dan budaya
bangsa.
Istiilah Budaya kerja adalah merupakan salinan bahasa
Inggris Works Culture. Pentingnya budaya terasa sejak lama,
juga di lingkungan politik dan kepemimpinan. Jika penguasa
ingin mempertahankan status qua, menolak nilai baru atau
nilai dari luar, maka alasannya tidak sesuai dengan budaya
bangsa. Jika instruksi sukar terlaksana, atau program tertentu
gagal, yang dijadikan kambing hitam adalah budaya, seolah-
olah ada budaya baik dan ada budaya jelek. Jika penguasa
ingin membelah kepentingannya, maka legitimasinya adalah
budaya bangsa.
Sehubungan dengan penjelasan di atas, aparat perizinan
BPTPM menjelaskan bahwa:
Rasa tanggung jawab personil yang kuat untuk membantu
anggota baru berasimilasi dalam budaya. Asumsi,
norma, dan nilai tidak menghalangi individu untuk
mengejar tujuan dan reward mereka sendiri. Pemimpin

180 ETIKA BIROKRAT


dan pengikut berbagai kepentingan bersama dan merasa
senasib sepenanggungan dan saling bergantung.
Berkenaan dengan pernyataan informan di atas,
diketahui bahwa upaya untuk memenuhi kebutuhan
konsumen yang semakin meningkat dengan alat pemenuh
yang sangat terbatas, mempunyai tiga fungsi, dan tiga
sosok. Pertama, Sebagai alat untuk menciptakan nilai tambah
setinggi-tingginya, namun hal itu menimbulkan kesenjangan
sosial yang dalam (pertumbuhan ekonomi membawa dampak
negatif berupa kepentingan sosial di dalam masyarakat).
Kedua, Terdapat mekanisme untuk mengurangi kesenjangan
tersebut melalui intervensi sah (legitimate, otoritatif) lembaga-
lembaga negara terhadap proses dan produk fungsi pertama.
Ketiga, Organisasi sebagai alat untuk mengontrol perjalanan
fungsi pertama dan fungsi kedua. Olehnya terdapat tiga
sosok organisasi berturut-turut: organisasi ekonomi bisnis
atau perusahaan (mewakili pihak produser), organisasi
publik (mewakili pihak pengontrol), dan organisasi sosial
(mewakili konsumen).
Berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa aparat
perizinan dalam menjalankan tugas pokoknya adalah
merupakan kewajiban, karena negara menangung konvensasi
jasanya. Dengan demikian dianmggap merupakan suatu
kekeliruan jika aparat melalaikan tugasnya sebagai abdi
negara dan abdi masyarakat. Sekaitan dengan itu, Negara
merupakan warisan para pendiri dan pejuang bangsa,
tidak boleh hancur di tangan generasi penerus yang hanya
menikmati hasilnya.
Berdasarkan argumentasi informan, menerangkan
bahwa lingkunganlah yang banyak memberi warna kepada
aparat BPTPM dalam kehidupan kerjanya, termasuk didalam-
nya adalah lingkungan keluarganya. Selain itu yang banyak
wewarnai kehidupan aparat adalah faktor pendidikan formal
dan non formal. Jika kedua lingkungan aparat memberikan

STRATEGI PENERAPAN ETIKA BIROKRASI DALAM PELAYANAN PUBLIK 181


dimensi positif terhadap aparat, tentunya beredampak
positif pula pada aparat itu sendiri. Oleh karena itu dalam
penjaringan aparatur semestinya dicek dengan apik calon
aparat yang direkrut menjadi aparat tetap, karena yang
merasakan dampaknya adalah lembaga yang bersangkutan
dimana aparat diterima sebagai pegawai tetap.
Selain itu, organisasi punya andil besar membentuk
watak aparat yang memiliki disiplin tinggi terhadap tugas
dan tanggunbg jawabnya. Oleh sebab tiu Visi Misi lembaga
sebaiknya disusun sedemikian rupa sehingga menjadi
orientasi kerja aparat dalam menjalankan tugas dan
fungsinya.
Disisi lain budaya kerja SDM biasanya berpengaruh
positif oleh budaya kerja orang asing. Hanya saja negara kita
(daerah Makassar) belum punya regulasi dan mekanisme
kerja yang melibatkan pihak asing dalam instansi negeri.
Hanya beberapa perusahaan besar yang melibatkan pihak
asing bekerja di dalam perushaannya. Sebab pihak asing
turut menentukan budaya kerja domestik, bukan karena
kekurangan SDM domestik yang terampil atau keahliannya
setara dengan asing, akan tetapi budaya kerja SDM asing lebih
cocok dengan manajemen modern yang menuntut profesio-
nalisme dan kompetensi berbisnis global ketimbang budaya
kerja SDM domestik yang masih tradisional, paternalisitik,
resisten, dan tidak terbuka. Selain itu muatan politik SDM
domestik yang sering mewarnainya. SDM asing membawa
serta budaya pribadi, budaya kelompok, atau budaya kerja
daerah asalnya masing-masing yang bermuatan nilai-nilai
dari luar, masuk ke dalam organisasi setempat.
Kemudian budaya luar organisasi ”executive search” dan
”head hunter” juga semakin gencar dilakukan oleh konsultan
SDM profesional dan perseorangan dari suatu organisasi ke
organisasi lain. Bonus yang tinggi bagi mereka yang berhasil
memikat SDM handal dari organisasi lain ke organisasi

182 ETIKA BIROKRAT


kliennya merupakan daya tarik yang kuat untuk memajukan
organisasi. Berkembangnya organisasi ”executive search” dan
”head hunter” pada level korporat juga menunjukkan bahwa
sistem karir terbuka semakin relevan bagi dunia usaha yang
ingin terus-menerus melakukan benchmarking terhadap
mutu produk dan pelayanan terhadap masyarakat. Namun
terlepas dari usaha ”executive search” dan ”head hunter”. SDM
bermutu dari luar diharapkan mampu menghembuskan iklim
baru dan segar di dalam organisasi dan menyumbangkan
nilai-nilai baru dan relevan bagi proses pembentukan dan
pembaruan budaya kerja.
Sementara pihak yang berkepentingan dalam hal ini
konsumen perizinan, pegawai yang berasal dari sub kultur,
manajemen, pelanggan, pemerintah, bank, mitra usaha,
pesaing, dan oposan, turut menentukan eksistensi suatu
organisasi.
Masyarakat merupakan sumber nilai utama budaya
kerja dapat menyumbangkan ke dalam organisasi sebagai
input dan organisasi sebagai output tanpa harus memasukinya
secara pribadi. Pencerahan budaya kerja dapat diperoleh
melalui berbagai media massa dengan menggunakan
teknologi informasi yang semakin cinggih dan nyaris tak
terbatas oleh waktu dan tempat. Masyarakat diharapkan
melakukan hal ini dalam kedudukannya sebagai konsumen
organisasi. Organisasi harus membentuk mekanisme kerja
yang merupakan hubungan timbal balik antara organisasi
dengan masyarakat, sehingga msyarakat berkesempatan
menyumbangkan budaya kerja sebagai input yang relevan
dan dinamis bagi organisasi. Sebaliknya organisasi
memberikan sumbangan positif kepada masyarakat dengan
mengapresiasikan system kerja pelayanan perizinan yang
efesien dan efektif.
Budaya sebagai output organisasi adalah potret
atau rekaman hasil proses budaya yang berlangsung di

STRATEGI PENERAPAN ETIKA BIROKRASI DALAM PELAYANAN PUBLIK 183


dalam suatu organisasi, pada suatu saat. Kata-kata kunci
menunjukkan aspek kualitatif ”besics”, aspek komponen
”assumptions and beliefs”, aspek kuantitatif ”shared”, dan
aspek cara terben-tuknya (pembentukan) budaya kerja.
Adapun aspek pewarisan atau sosia-lisasi ”to be tought”,
dapat dianggap sudah termasuk di dalam kata kunci ”learn”
dan ”shared/ sharing”.
”Sharing” berarti berbagai nilai yang sama. Nilai yang
sama dianut oleh sebanyak mungkin aparat organisasi.
Misalnya berbagai nilai yang sama melalui ”format surat
dalam organisasi”. Namun menerima dan memakai ”format
surat” saja (perilaku) tidaklah cukup. Pemakaian ”format
surat” haruslah membawa rasa bangga, menjadi alat kontrol,
dan membentuk citra organisasi. Jika demikian, nilai ”format
surat” tertanam menjadi pendirian ”basics”.
Melalui ”learning process” dalam arti belajar, budaya
diproses secara sadar menurut proses belajar: belajar dari
pengalaman, belajar dari keberhasilan dan kegagalan
organisasi lain. ”Learning process” menuntut keterbukaan
dan kebersamaan. Proses belajar berlangsung melalui
peniruan atau ikut-ikutan, pengkondisian atau rekayasa,
dan pengujian pembuktian. Nilai yang terbukti manfaatnya
sebagaimana deinisi Schein ”considered valid” akan tertanam
menjadi ”basics”. Selanjutnya, melalui ”learning process”
dalam arti mengajar, berarti komunikasi budaya, diseminasi
budaya, sosialisasi budaya, dan pewarisan budaya. Di dalam
hubungan itu kepemim-pinan memegang peranan penting.

3. Lingkungan kerja dalam pelayanan izin usaha


Untuk mengetahui lingkungan kerja dalam pelayanan
izin usaha pada Badan Perizinan Terpadu dan Penanaman
Modal (BPTPM) Kota Makassar, maka dapat dipaparkan
faktor pendukung dan penghambat sebagai berikut:

184 ETIKA BIROKRAT


1) Faktor Pendukung.
Semua unsur seperti Kepala Badan, Kepala Bidang
dan Kepala Sub Bidang dan para staf pelaksana izin
usaha BPTPM sudah bekerja sesuai tupoksi masing-
masing dalam hal pengembangan Sumber Daya Aparatur
(SDA), dimana BPTPM adalah sebagai ujung tombak
dalam penegakan administrasi kepemimpinan dan
pengembangan SDA daerah Kota Makassar.
Adanya komitmen pemerintah daerah mengenai
kebijakan pengembangan SDA, merupakan masalah
yang sangat penting dan kompleks. Untuk mendapatkan
dan menempatkan aparatur yang kompeten, serasi, serta
efektif tidaklah semudah membeli dan menem-patkan
mesin dalam organisasi.
Dapat dipahami bahwa aparatur yang direkrut
dan yang diangkat dalam jabatan hendaknya diseleksi
dengan baik dan bekerjasama dengan pihak lain misalnya
perguruan tinggi dan stakeholder untuk mendapatkan
aparatur yang berkualitas sesuai dengan kebutuhan
organisasi secara efektif dan eisien serta dapat menunjang
tercapainya tujuan lembaga. Penempatan aparatur
harus sesuai dengan kemampuan dan keterampilannya.
Penempatan pegawai yang jauh dari kemampuannya
atau diluar keahliannya mengakibatkan kinerja dan
kedisiplinan aparatur rendah. Untuk itu, aparatur harus
dibekali ilmu pengetahuan dan keterampilan, keahlian
dan kemahiran kerja yang memadai.
Budaya birokrasi yakni sipakatau dan sipakalebbi yang
artinya saling menghargai dan saling menghormati antara
atasan dengan bawahan, komunikasi antara pimpinan
dengan para pelaksana perizinan berjalan dengan baik.
Dengan demikian tugas dan tanggung jawab yang akan
diberikan dengan ikhlas menerimanya dan relatif tulus
dan mudah untuk dilaksanakan.

STRATEGI PENERAPAN ETIKA BIROKRASI DALAM PELAYANAN PUBLIK 185


Dalam pengamatan peneliti, kultur birokrasi
tersebut masih sangat kental di lingkungan BPTPM.
Dalam konteks pengembangan kapasitas SDA, dan
pelaksanaan tugas-tugas dimasa depan akan berjalan
dengan baik. Faktor ini merupakan faktor pendukung
potensial dan menjadikan komitmen pemerintah daerah
untuk dijadikan acuan.
Di era otonomi daerah, sosok dan kepemimpinan
elit daerah dalam mendorong pengembangan kapasitas
SDA Pemkot Makassar, perlu mempunyai perhatian
dan kereatiitas dan motivasi yang tinggi dalam
mengembangkan organisasi kepemimpinan.
Kebiasaan kerja dan factor ketegasan dan
peraturan orgnisasi sangat mempengaruhi system
kerja para aparat. Apalagi di era otonomi daerah yang
dicanangkan pemerintah bertujuan agar pemerintah
daerah memaksimalkan tugas-tugas di daerah. Untuk
itu diperlukan kepemimpinan daerah yang kreatif guna
merespon kebutuhan lokal daerah.
Imformasi tersebut dapat dimaklumi bahwa
relevansi dengan peraturan pemerintah pusat kadangkala
masih bersifat sangat umum dan dapat dikembangkan
lebih lanjut. Seperti penerapan Peraturan Peme-rintah
No.41 tahun 2007 tentang organisasi perangkat daerah.
Penerapan kebijakan pemerintah pusat tersebut
dalam implementasinya yakni masing-masing daerah
mempunyai struktur yang berbeda-beda yang disesuaikan
dengan kebutuhan daerah yang bersangkutan.
Dalam konteks pengembangan kapasitas SDA
ditemukan bahwa BPTPM, telah melakukan diklat
prajabatan bagi calon PNS, dan diklat-diklat lainnya,
namun belum dilaksanakan secara berksinambungan,
serta adanya keinginan Kepala BPTPM untuk melakukan
inventarisasi kebutuhan diklat aparatur merupakan

186 ETIKA BIROKRAT


prakarsa yang sangat positif dalam upaya meningkatkan
kemampuan dan Perilaku SDA BPTPM Kota Makassar.
Sesuai hasil wawancara menunjukkan bahwa
pengembangan aparatur Perizinan BPTPM didukung oleh
adanya komitmen BPTPM yaitu menempatkan aparatur
harus sesuai dengan kemampuan dan keterampilannya.
Untuk memenuhi hal tersebut BPTPM dalam menetapkan
jenis pekerjaan dan jabatan, menggunakan prinsip “apa
dan siapa” dalam artian bahwa harus menentukan
klasiikasi pekerjaan/ jabatan yang membutuhkan aparat,
kemudian menyeleksi aparat yang sesuai dengan job
description yang sudah ditetapkan. Pada aspek lain,
loyalitas aparat mengikuti petunjuk dan perintah atasan,
yang merupakan suatu dukungan terhadap kebijakan
pengembangan aparatur, namun belum merupakan
komitmen pelayanan yang substansial. Demikian halnya
atas kreatiitas pimpinan guna merespon kebutuhan lokal
daerah.
Selanjutnya hasil observasi dan penelusuran doku-
mentasi BPTPM yang dilakukan peneliti menunjukkan
bahwa menentukan klasiikasi pekerjaan/jabatan yang
dijalankan aparat dalam rangka memenuhi harapan
konsumen masih sangat tentatif. Aparat hanya mengacu
kepada mengikuti petunjuk dan perintah atasan. Oleh
karena itu, belum merupakan suatu dukungan terhadap
kebijakan pengem-bangan aparatur. Dalam konteks ini,
pelayanan aparat perizinan BPTPM dapat diasumsikan
masih sebatas loyalitas semu (palsu) karena hanya
berdasarkan perintah atasan, belum masuk pada kategori
pelayanan prima sebagaimana tuntutan costumer.

2) Faktor Penghambat.
Dalam penerapan kebijakan pengembangan SDA
BPTPM Kota Makassar yang dilaksanakan oleh BPTPM

STRATEGI PENERAPAN ETIKA BIROKRASI DALAM PELAYANAN PUBLIK 187


selama ini belum dilakukan secara teratur dan terencana.
Adapun faktor penghambat sebagai berikut.
Kewenangan yang dimiliki oleh BPTPM dalam
penyelenggaraan Diklat masih sangat terbatas. Misalnya
Diklat Prajabatan, dan diklat Sturuktural eselon IV.
Khusus Diklat Teknis, Diklat Fungsional maupun
Diklatpim pelaksanaannya masih didominasi diklat
Provinsi kerjasama Lembaga Administrasi Negara.
Hasil penelitian mengisyaratkan agar peraturan
pemerintah No. 101 tahun 2000 dan Peraturan Mendagri
No. 31 Tahun 2007, bahwa untuk meningkatkan kompetensi
dan professionalisme penyelenggaraan BPTPM perlu
diselenggarakan pendidikan dan pelatihan.
Selanjutnya, Kepala BPTPM Kota Makassar
mengatakan bahwa pelaksanaan Diklat sabagai wujud
pengembangan SDA tidak maksimal. Dalam hal ini
memang, terdapat beberapa aparatur yang ingin
melanjutkan pendidikan formal pada tingkat yang lebih
tinggi dari kualiikasi pendidikan aparat sekarang.
Namun mengingat keterbatasan dana yang disediakan
oleh BPTPM, maka kesempatan untuk mengembangkan
kapasitas SDA melalui jenjang pendidikan formal jumlah
aparatur yang direkrut terbatas.
Sehubungan dengan dana yang disiapkan BPTPM
sangat terbatas dalam hal Diklat jabatan, apalagi diklat
penjenjangan seperti Diklatpim yang telah dipersyaratkan.
Faktor loyalitas kepada pimpinan dan kepada organisasi
menjadi prasyarat. Jadi hanya diperuntukan bagi aparat
yang memenuhi persyaratan, dan siap dipromosikan
sesuai prosudur kepada pejabat yang akan diangkat.
Dengan demikian, maka semua pejabat akan tunduk
dan mengamankan kebijakan tersebut, walaupun
bertentangan dengan peraturan pemerintah pusat, dan
bertentangan dengan hati nurani. Artinya Kepala BPTPM

188 ETIKA BIROKRAT


rela mengorbankan kepentingan daerah, pemerintah, dan
masyarakat selama lima tahun kedepan.
Pada kesempatan lain peneliti melakukan observasi
sekaligus mewawancarai Kepala Bidang Kesejahteraan
dan Kedudukan Hukum PNS BPTPM dengan tujuan ingin
mengetahui secara langsung penerapan kepemimpinan
yang bersih (Good Gaver-nance), yang merupakan tuntutan
masyarakat. Realitas jabatan publik di daerah, jabatan
ada dua yaitu jabatan karier dan jabatan politik. Dalam
usaha memperoleh salah satu jabatan publik semuanya
difasilitasi dari aktiitas politik yang dilakukan berbagai
cara atau taktik sebagaimana norma-norma ajaran politik
secara teoritis. Selain itu terdapat pula metode yang
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pegawai tidak perlu ragu bekerja sepanjang
tidak melampau batas kewenangan yang terurai dalam
peratruan perundang-undangan. Karena di dalmnya
sangat jelas bahwa PNS yang melanggar akan diberi
sanksi yang berat dan pemerintah akan konsekuen dengan
aturan yang ada. Dengan kebijakan pemerintah tersebut,
maka beberapa pejabat ketakutan sehingga beberapa
orang yang ditunjuk untuk menduduki jabatan strategis
akan berpikir. (Kasubag Hukum BPTPM, Wawancara: 26
Juli 2015).
Hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa
tanggung jawab merupakan kewajiban moral seseorang
atas perbuatan yang dikerjakan. Kewajiban moral ini tentu
saja lahir dari suatu kesadaran moral. Di sini dituntut
sikap dan kesadaran moral yang otonom (Kesadaran
moral pribadi). Otonomi moral berarti bahwa manusia
manaati kewajiban untuk bertang-gung jawab atas
kesadarannya sendiri. Setiap keputusan dan tindakan
yang diambil harus dipertanggungjawabkan sendiri.

STRATEGI PENERAPAN ETIKA BIROKRASI DALAM PELAYANAN PUBLIK 189


Tidak dilemparkan kepada orang lain sebagai kambing
hitam atau tumbal.
Selanjutnya penataan pola karir aparatur meru-
pakan salah faktor penghambat pengembangan karir
aparatur Perizinan BPTPM. Sebab menurut hasil
penelusuran dokumentasi, Peraturan Pemerintah
No.100 Tahun 2000 junto Peraturan Pemerintah No. 13
Tahun 2002 Tentang Pengangkatan PNS Dalam Jabatan
Struktural sebagai penjabaran dari Undang-Undang
No. 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
mengisyaratkan setiap pimpinan instansi pimpinan daerah
dalam menetapkan pola Karir PNS di lingkungannya
berdasarkan pola dasar Karir PNS (Pasal 12). Namun,
pola dasar Karir PNS yang ditetapkan dalam Peraturan
Presiden tersebut, hingga kini belum diterbitkan sehingga
kebanyakan pemerintah daerah belum memiliki dan
menyusun pola Karir yang jelas sebagai arah perencanaan
dan pengembangan Karir aparatur kepemimpinannya.
Mekanisme penjenjangan harus melalui penilaian
utama yaitu diklat. Oleh karena itu Pemerintah Daerah
Makassar sebaiknya mempunyai pola karir PNS yang
jelas dan bisa menjadi acuan bagi BPTPM Kota Makassar
dalam hal pembinaan karir dan pengembangan Aparatur
yang dirumuskan dalam Peraturan daerah Kota. Oleh
karena dibutuhkan keseriusan Pemda memprogram
pendidikan yang lebih tinggi. (Kepala Bidang Diklat,
Wawancara: 5 Mei 2015).
Seperti yang telah diutarakan di atas, pola dasar
karir aparatur yang diterbitkan nantinya merupakan
pedoman dasar yang memuat metode penyusunan pola
karir dengan mengaitkan unsur pendidikan formal,
Diklat, usia, masa kerja, pangkat, golongan ruang, dan
tingkat jabatan yang lebih bersifat administratif.

190 ETIKA BIROKRAT


Sedangkan pola karir menggambarkan alur
pengembangan karir aparatur, yang menekankan
pada kompetensi yang harus dimiliki seorang aparatur
sesuai dengan persyaratan jabatan. Dengan mengusung
semangat otonomi daerah, maka Pemerintah Daerah
dapat berkreasi dan berinovasi menyusun pola Karir PNS
dilingkungan instansinya dengan tetap mengacu pada
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam pola karir PNS, selain dapat menjadi acuan bagi
PNS dalam merencanakan jalur dan pengembangan
karirnya, juga dapat bermanfaat dalam mengoptimalkan
kinerja organisasi karena antara syarat jabatan dengan
PNS yang diduduki telah bersesuaian.
Berdasarkan penelitian di lapangan, dapat diketa-
hui bahwa pada umumnya BPTPM belum memiliki
pola karir PNS yang jelas dan dijadikan sebagai acuan
bagi PNS yang bersangkutan maupun bagi organisasi.
Meskipun demikian, di KotaMakassar telah terdapat pola
umum pengem-bangan karir PNS di lingkungan BPTPM
ditetapkan dalam Keputusan Kepala BPTPM Makassar.
Pola umum pengembangan karir dalam Keputusan
Kepala BPTPM tersebut cukup baik dengan disertai alur
karir PNS dan telah mempersyaratkan kompetensi yang
harus dipenuhi ketika akan menjabat suatu posisi. Namun,
pengawalan dan komitmen terhadap pelaksanaan aturan
tersebut belum optimal dilakukan.
Semestinya pihak BPTPM Kota Makassar
melakukan pola karir Aparatur untuk mengetahui alur
karir. Jika semua jelas, maka tidak sulit menentukan
aparat yang akan dipromosikan. Untuk memenuhi hal
tersebut, maka kompetensi Aparatur harus menjadi
persyaratan dalam menduduki jabatan sehingga reposisi
menjadi jelas dan terarah. (Kepala Bidang Mutasi aparat,
Wawancara: 10 Juni 2015).

STRATEGI PENERAPAN ETIKA BIROKRASI DALAM PELAYANAN PUBLIK 191


Dari hasil wawancara di atas menunjukkan peran
BPTPM benar-benar nantinya dapat berdiri sendiri
tanpa diintervensi dalam menentukan perjalanan karir
aparatur. Kenyataan lain di lapangan peran Badan
Pertim-bangan Jabatan Kepangkatan dan peran Pejabat
Pembina Kepegawaian cukup penting dan sentral dalam
menentukan karir aparatur. Sehingga faktor-faktor non-
teknis administratif seperti kuatnya intervensi dalam
hal proses penempatan aparatur yang tidak transparan
dapat menyebabkan aparatur tidak mampu menentukan
karirnya di masa depan. Oleh karenanya, diperlukan
pemisahan secara tegas untuk mengatur peran antara
jabatan birokrasi yang bersifat karir dengan jabatan politis
agar stabilitas jalannya kepemimpinan tidak terganggu.
Berdasarkan hasil wawancara menunjukkan
bahwa dalam mengem-bangkan SDA, tanggung jawab
penyelenggaraan di bidang akademik dipegang oleh Diklat
Provinsi. Disisi lain BPTPM, menginginkan penyesuaian
kurikulum diklat dengan potensi dan kondisi Kota
Makassar. Porsi pendanaan sangat terbatas disiapkan
pemda untuk pelaksanaan program pengembangan SDA.
Untuk itu aparat melakukan berbagai hal dalam rangka
mengantipasi hal tersebut, misalnya mengu-payakan
mengikuti pendidikan penjenajngan, diklat, workshop,
dan seminar.. Akan tetapi karena biaya pendidikan
formal dan non fomal juga cukup besar, menyebabkan
terbatas aparatur yang hendak mengikuti pengembangan
kompetensi. Ada beberapa pejabat eselon yang sudah
dilantik oleh Kepala BPTPM dan bahkan sudah
melaksanakan tugas, tetapi belum melalui pendidikan
penjejangan seperti Diklatpim yang telah dipersya-
ratkan. Hal ini dilakukan Kepala BPTPM berdasarkan
pertimbangannya sendiri tanpa pertimbangan dengan
pejabat yang berwenang. Berdasarkan pemberian sanksi

192 ETIKA BIROKRAT


yang berat bagi pelanggar regulasi dan banyaknya
aparatur pemerintah yang harus beru-rusan dengan pihak
penegak hukum dengan tuduhan korupsi dan penya-
lagunaan wewenang, ternyata memperlemah kemauan
aparat menduduki jabatan.
Sesuai dengan hasil wawancara, dan penelusuran
dokumentasi menunjukkan bahwa model penataan pola
karier aparatur merupakan salah faktor penghambat
pengembangan karir aparatur Pemerintah daerah
Kota Makassar. Sebab menurut hasil penelusuran
dokumentasi, Peraturan Peme-rintah No.101 Tahun 2000
junto Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 2002, Tentang
Pengangkatan PNS dalam Jabatan Struktural sebagai
penjabaran dari Undang-Undang No.43 Tahun 1999
Tentang Pokok-Pokok Kepega-waian, mengisyaratkan
setiap pimpinan instansi daerah harus menetapkan pola
karir, namun hingga kini belum diterbitkan. Hal tersebut
menyebabkan pemerintah daerah belum memiliki dan
menyusun pola karir yang jelas sebagai arah perencanaan
dan pengembangan karir aparatur.

4. Kebijakan pemerintah dalam pelayanan izin usaha


Indikator kebijakan pemerintah yaitu regulasi yang
mengatur dan/ atau terkait langsung ataupun tidak langsung
dengan kedudukan, tugas dan fungsi Badan Perizinan
Terpadu dan Penanaman Modal (BPTPM) Kota Makassar
sebagai lembaga operasional daerah di bidang perizinan
dalam bentuk kebijakan dasar (legal framework) dan kebijakan
pendukung (supporting policies).
1) Kebijakan dasar (Legal framework)
Prediktor Legal framework yaitu instrumen kebijakan
utama yang mengatur tentang keberadaan kelembagaan
dan sistim pelaksanaan penelitian dan pengembangan
pada BPTPM.

STRATEGI PENERAPAN ETIKA BIROKRASI DALAM PELAYANAN PUBLIK 193


Telaahan dokumen memberikan pemahaman, bah-
wa BPTPM merupakan salah satu institusi kepemimpinan
dalam tatanan sistem penyelenggaraan Kepemimpinan
Daerah Kota Makassar. Keberadaan BPTPM diatur dan/
atau terkait dengan berbagai instrumen kebijakan dalam
bentuk peraturan perundang-undangan yang menjadi
aturan dasar (legal frame work), meliputi: (a) Undang-
Undang No. 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepe-
gawaian, (b) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik, (c) Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,
(d) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, (e)
Peraturan Pemerintah No.53 Tahun 2010 tentang Peraturan
Disiplin PNS, (f) Peraturan Presiden RI Nomor 97 Tahun
2014 tentang Penyelenggaran Pelayanan Satu Pintu, (g)
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006
tentang Pedoman Penyelenggaraan Perizinan Terpadu
Satu Pintu (PTSP), (h) Peraturan Daerah Kota Makassar
Nomor 2 Tahun 2009 tentang Urusan Pemerintah yang
Menjadi Kewenangan Urusan Pemerintah Kota Makassar,
(i) Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor. 14 Tahun
2005 tentang Tata Cara Pemberian Izin (j) Peraturan
Daerah Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2009 tentang
Urusan Pemerintah yang Menjadi Kewenangan Urusan
Pemerintah Kota Makassar, (k) Peraturan Daerah Kota
Makassar Nomor 3 Tahun 2009 tentang Pembentukan
dan Susunan Organisasi Perangkat Daerah, (l) Peraturan
Daerah Kota Makassar Nomor 5 Tahun 2012 tentang
Retribusi Perizinan Tertentu, (m) Peraturan Kepala
BPTPM Makassar Nomor 20 Tahun 2014 tentang Tata
Cara Pemberian Izin, dan (n) Peraturan Kepala BPTPM
Makassar Nomor 60 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan
Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu.

194 ETIKA BIROKRAT


Selanjutnya, telaahan dokumen lebih jauh memberi-
kan pema-haman, bahwa keberadaan BPTPM secara
jelas dan tegas diatur berdasarkan Peraturan Daerah
(Perda) Kota Makassar Nomor 5 Tahun 1012 pasal 2,
huruf (e) pasal 44, dan 47, Perwalkot Makassar Nomor
20 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pemberian Izin, serta
Perwalkot Nomor 60 Tahun 2015 pasal 1 ayat 12 dan 13,
pasal 3, pasal 6), yang pada dasarnya menegaskan bahwa
BPTPM Kota Makassar merupakan lembaga operasional
daerah sebagai unsur pendukung tugas Kepala BPTPM
Kota Makassar dalam penyelenggaraan kepemimpinan
di bidang perizinan berdasarkan azas desentra-lisasi,
dekonsentrasi dan tugas pembantuan. (Sumber Data:
Dokumen BPTPM Kota Makassar, 2015).
Penegasan kedudukan dan tugas BPTPM tersebut
mengindikasikan, bahwa pemerintah daerah memiliki
komitmen untuk mewujudkan BPTPM sebagai unit
organisasi yang bersifat “techno-stucture” dan berperan
sebagai “think tank” untuk membantu kepala daerah/
pimpinan instansi pemerintah daerah di bidang
penyelenggaraan kepemimpinan dan pembangunan.
Berdasarkan tujuan, prinsip, dan ruang lingkup
BPTPM melakukan Perizinan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
dipahami lebih lanjut bahwa BPTPM, menyelenggarakan
tugas dengan rumusan sebagai berikut: (a) Memberikan
perlindungan dan kepastian hukum kepada masyarakat,
(b) Memperdek proses pelayanan, (c) Mewujudkan proses
pelayanan yang cepat, mudah, murah, trans-paran, pasti,
dan terjangkau, dan (d) Mendekatkan dan memberikan
pelayanan yang lebih luas kepada masyarakat. (Sumber
Data: Perwalkot Nomor 66 Tahun 2015).
Penyelenggaraan pelayanan PTSP oleh BPTPM Kota
Makassar dilaksanakan dengan prinsip: (a) Keterpaduan,
(b) Ekonomis, (c) Koor-dinasi, (d) Pendelegasian atau

STRATEGI PENERAPAN ETIKA BIROKRASI DALAM PELAYANAN PUBLIK 195


pelimpahan wewenang, (e) Akuntabilitas, dan (f)
Aksesibilitas.
Ruang lingkup penyelenggaraan PTSP meliputi
seluruh pelayanan perizinan dan non perizinan yang
menjadi kewenangan pemerintah daerah Kota Makassar.
Penyelenggaraan PTSP sebagaimana dimaksud dalam
pasal 4, dilaksanakan oleh Pemerintah Kota untuk
pelayanan perizinan dan non perizinan dari urusan wajib
dan urusan pilihan yang menjadi urusan Pemerintah
Daerah Kota.
Sebagai penyelenggara izin usaha, BPTPM
menyeleng-garakan program dan kegiatan izin usaha
untuk kepentingan penyelenggaraan kepemimpinan
dan pembangunan daerah Kota Makassar. Selanjutnya,
sebagai pembina dan koordinator perumusan kebijakan
izin usaha daerah, BPTPM dituntut untuk proaktif dan
peduli terhadap situasi dan kondisi izin usaha didaerah.
Sedangkan dalam hal inventarisasi, dokumentasi
dan publikasi hasil izin usaha, BPTPM seyogyanya
memanfaatkan tekhnologi informasi dan komunikasi
secara efektif dan optimal.
Untuk mendukung program pemerintah sesuai
kebijakan yang telah disusun maka kepala BPTPM Kota
Makassar meminta keterlibatan sejumlah Dosen dan
Tenaga Ahli di bidangnya yang berasal dari berbagai
Perguruan Tinggi Negeri/Perguruan Tinggi Swasta di
Kota Makassar. Pelibatan Dosen dan Tenaga Ahli tersebut
tujuannya untuk meningkatkan kualitas pelayanan
BPTPM dalam hal penerbitan izin usaha di Kota Makassar
sesuai visi dan misi yang sudah ditetapkan.
Pemberdayaan berbagai kalangan akademisi meru-
pakan bentuk komitmen pemerintah mewujudkan Visi,
Misi dan melaksanakan agenda pemba-ngunan Kota
Makassar jangka menengah 2011-2015, memerlukan

196 ETIKA BIROKRAT


strategi dan kebijakan yang berbasiskan pengetahuan
dan tekhnologi. Sehingga, peran BPTPM dituntut untuk
aktif dan memberikan kontribusi melalui pelaksanaan
program dan kegiatan izin usaha guna mendukung
penyelenggaraan kepemimpinan dan pelaksanaan
agenda pembangunan daerah. Sehubungan denganitu,
visi, misi dan agenda pembangunan yang bersifat jangka
menengah pada hakekatnya merupakan kebijakan dasar
dan sekaligus tantangan bagi BPTPM untukberperan aktif
dan berkontribusi nyata dalam proses penyelenggaraan
kepemimpinan dan pembangunan daerah sesuai dengan
tugas dan fungsinya dibidang perizinan.
2) Kebijakan pendukung (supporting policies)
Terkait dengan kebijakan pendukung sebagai
landasan mengimplementasikan peran eksekutor pener-
biatan izin usaha konsumen, maka dapat diperoleh data
empirik atas perubahan atau penyempurnaan kebijakan
dasar tentang BPTPM Kota Makassar tersebut di atas.
Review dan penerapan terhadap berbagai kebijakan
yang terkait dengan BPTPM Kota Makassar memang
dilakukan secara berkala dan berkesinambungan. Upaya
ini sebagai bentuk penguatan kapasitas dan peningkatan
perannya dalam proses perumusan dan penetapan
kebijakan pembangunan di Kota Makassar. Dukungan
Badan perizinan memaksimalkan memotivasi masyarakat
mendirikan badan usaha kreatif.
Dalam usianya yang relatif masih mudah yang
lebih kurang baru satu dasawarsa, BPTPM memerlukan
dukungan berbagai pihak sebagai upaya penguatan
kapasitas secara intensif. Hal ini dimaksudkan untuk
penyempurnaan aturan dasarnya agar mempercepat
pelayanan masyakarat yang dianggap sangat urgen
mendukung pemabangunan daerah.

STRATEGI PENERAPAN ETIKA BIROKRASI DALAM PELAYANAN PUBLIK 197


Penjelasan tersebut, mengindikasikan bahwa
pengembangan kappa-sitas pada BPTPM adalah untuk
mendukung efektivitas dan eisiensi pencapaian visi dan
misi penyelenggaraan kepemimpinan dan pembangunan
daerah. Oleh karena itu, program dan kegiatan izin usaha
pada BPTPM, disusun dan dituangkan dalam rencana kerja
tahunan dan/ atau Rencana Strategis (Renstra) BPTPM
Kota Makassar tahun 2011-2015 serta memperhatikan
Renstra Pemerintah Kota Makassar tahun 2011-2015.
Program dan kegiatan izin usaha BPTPM Kota
Makassar direncanakan, ditetapkan dan dilaksana-
kan berdasarkan Renstra BPTPM 2011-2015. Arah dan
kebijakan pemerintah daerah yang ditetapkan dalam
Renstra Pemkot Makassar dengan maksud masyarakat
ikut andil dalam pembangunan perekonomian masyarakat
secara luas.
Penjelasan tersebut menguatkan pemahaman hasil
telaahan dokumen bahwa Rencana Kerja Tahunan dan
Renstra BPTPM merupakan kebijakan dasar yang harus
dilaksanakan secara konsisten oleh setiap aparat BPTPM.
Oleh karena itu, BPTPM dalam proses penyusunan dan
penetapan rencana program dan kegiatan izin usaha
yang bersifat tahunan, dituntut untuk konsisten dengan
rencana strategis yang telah ditetapkan sebagai salah
satu aspek dalam tuntutan akuntabilitas kinerja instansi
pemerintah. Hal ini merupakan keniscayaan, karena
evaluasi dan pengukuran akuntabilitas kinerja BPTPM
secara signiikan dikaitkan dengan tujuan, sasaran yang
ditetapkan dalam rencana stratejik, baik itu rencana
stratejik BPTPM maupun rencana stratejik pemerintah
Kota Makassar.
Terkait dengan hal tersebut, kewajiban lembaga
perizinan menyusun dan menyampaikan Laporan
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP).

198 ETIKA BIROKRAT


Bentuk pertanggung-jawaban pelaksanaan program dan
kegiatan tahunan ini agar tetap terkoordinir lembaga
diatas. Dalam LAKIP BPTPM tersajikan secara jelas
tentang konsistensi antara pelaksanaan program dan
kegiatan dengan tujuan dan sasaran yang ditetapkan
dalam Renstra.
Tuntutan akuntabilitas kinerja BPTPM dalam
melaksanakan peran, tugas dan fungsinya di bidang
perizinan, salah satu indikatornya adalah dapat
memberikan bukti nyata (evidence) dalam bentuk izin
usaha yang secara signiikan mendukung dan bermanfaat
terhadap efektivitas penyeleng-garaan kepemimpinan
daerah dan pemba-ngunan di Kota Makassar.
Selanjutnya, telaahan dokumen terkait dengan
BPTPM membe-rikan pemahaman tiga hal penting,
sebagai berikut: (a) Pembentukan BPTPM bertujuan
untuk inventarisasi kebutuhan, koordinasi, sinergitas,
sosialisasi dan publikasi program dan kegiatan izin usaha
dan inovasi daerah; (b) BPTPM merupakan media bagi
Pemda Kota Makassar dalam melaksanakan perannya
sebagai intitusi pembina dan kordinator izin usaha dan
inovasi daerah; dan (c) BPTPM berfungsi sebagai media
pemetaan kebutuhan perizinan, perumusan kebijakan
pengembangan perizinan, identiikasi permasalahan
perizinan, penilaian dan evaluasi kebijakan perizinan.
(Sumber data: Dokumen, 2015)
Terindikasi kuat bahwa keberadaan BPTPM terkait
langsung dengan keberadaan BPTPM, sehingga efektivitas
fungsi BPTPM sangat ditentukan oleh BPTPM. Untuk
itu, adanya kebijakan tersebut, maka BPTPM menempati
posisi sentral dan sebagai pemegang kunci efektivitas
fungsi BPTPM sebagai forum koordinasi izin usaha
dan pengembangan inovasi daerah, guna mendukung

STRATEGI PENERAPAN ETIKA BIROKRASI DALAM PELAYANAN PUBLIK 199


penyelenggaraan kepemimpinan dan pem-bangunan
Kota Makassar.

5. Dukungan pemerintah dalam pelayanan izin usaha


Salah satu aspek perilaku birokrat kepemimpinan dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat adalah dukungan
atau daya tanggap birokrat kepemimpinan terhadap berbagai
kebutuhan dan permasalahan yang terjadi dalam masyarakat.
Dalam konteks pelayanan perizinan, dukungan birokrat
kepemimpinan menjadi sangat diharapkan masyarakat
ketika masyarakat membutuhkan pelayanan perizinan
yang berkualitas. Secara singkat dukungan disini menunjuk
pada keselarasan program dan kegiatan pelayanan dengan
kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Dukungan dimasudkan
sebagai salah satu indikator kinerja karena dukungan secara
langsung menggambarkan kemam-puan organisasi publik
dalam menjalankan misi dan tujuannya, terutama untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat.
Berkenaan dengan dukungan atau daya tanggap
birokrat kepemimpinan terhadap berbagai kebutuhan dan
permasalahan, maka tujuan, prinsip, dan ruang lingkup
BPTPM menyelenggarakan tugas dengan rumusan sebagai
berikut: (a) Memberikan perlindungan dan kepastian hukum
kepada masya-rakat, (b) Memperdek proses pelayanan, (c)
Mewujudkan proses pelayanan yang cepat, mudah, murah,
transparan, pasti, dan terjangkau, dan (d) Mende-katkan dan
memberkan pelayanan yang lebih luas kepada masyarakat.
(Sumber Data: Perwalkot Nomor 60 Tahun 2015). Penyeleng-
garaan pelayanan izin usaha oleh BPTPM dilaksanakan
dengan prinsip: (a) Keterpaduan, (b) Eko-nomis, (c)
Koordinasi, (d) Pendelegasian atau pelimpahan wewenang,
(e) Akunta-bilitas, dan (f) Aksesibilitas.
Ruang lingkup penyelenggaraan BPTPM meliputi
seluruh pela-yanan perizinan dan non perizinan yang

200 ETIKA BIROKRAT


menjadi kewenangan pemerintah daerah Kota Makassar.
Penyelenggaraan BPTPM sebagaimana dimaksud dalam
pasal 4 Perwalkot Nomor 60 Tahun 2015, dilaksanakan
oleh Pemerintah Kota untuk pelayanan perizinan dan non
perizinan dari urusan wajib dan urusan pilihan yang menjadi
urusan Pemerintah Daerah Kota.
Sedangkan SKPD yang secara teknis terkait dengan
pelayanan perizinan, berkewajiban dan bertanggung
jawab melaksanakan pembinaan teknis dan pengawasan
atas perizinan yang telah dikeluarkan oleh BPTPM,
sesuai dengan: (1) Kajian teknis terhadap jenis pelayanan
perizinan dilakukan oleh tim teknis yang beranggotakan
dari SKPD teknis sebagai perwakilan yang diperbantukan
Badan, (2) Tim Teknis wajib memberikan pertimbangan
teknis dan disampaikan kepada SKPD teknis untuk proses
lebih lanjut dan penan-datangan rekomendasi dilakukan
oleh SKPD teknis, (3) Tim teknis sebagai-mana dimaksud
pada ayat (1) diusulkan oleh kepala Badan (BPTPM), dan
(4) Tim Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
ditetapkan dengan keputusan Kepala BPTPM.
Berdasarkan tujuan, prinsip, dan ruang lingkup Badan
Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal (BPTPM) Kota
Makassar, yang terdapat pada pasal 4 Perwalkot Nomor
60 Tahun 2015, maka dapat diuji tingkat kepatuhan aparat
BPTPM terhadap realisasi tersebut. Perilaku birokrat yang
responsif dalam pelayanan publik dapat diukur dari ketepatan
dan kecepatan birokrat dalam memberikan pelayanan.
Persyaratan pengajuan izin usaha sudah lengkap
berkasnya, maka waktu penyelesaian izin tersebut normalnya
cuma 6 - 12 hari kerja. Apabila pengajuan berkasnya tidak
lengkap, maka waktu penyelesaian izin usaha bisa lewat
dari 6-12 hari kerja. Jika dalam pengurusan izin usaha
yang diajukan masyarakat terdapat keku-rangan berkas,
maka masyarakat yang mengajukan izin dihubungi melalui

STRATEGI PENERAPAN ETIKA BIROKRASI DALAM PELAYANAN PUBLIK 201


telepon untuk melengkapi berkas yang kurang tersebut
untuk diproses kembali. Pihak perizinan dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat cukup cepat. Karena setiap ada
masyarakat yang masuk di ruang tunggu langsung disambut
untuk dilayani kebutuhannya. Perilaku yang diperlihatkan
birokrat badan perizinan cukup pro aktif dan cepat dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Pengurusan izin usaha diupayakan semaksimal
mungkin, cuma 6 -12 hari kerja atau bahkan kalau bisa
kurang dari 12 hari kerja surat izin usaha dapat selesai.
Masalah yang biasa terjadi dalam pengajuan izin usaha
adalah masalah kekurangan berkas yang merupakan
persyaratan administrasi, kebijakan yang biasa diberikan
kepada masyarakat adalah supaya melengkapi berkas yang
kurang tersebut untuk diproses kembali. Konsekuensinya
jika masyarakat tidak melengkapi berkas yang kurang,
maka berkas tersebut ditolak dan tidak diproses, karena
pada akhirnya kami juga yang bertanggung jawab kalau ada
kompalain dari masyarakat. (wawancara: 10 Juni 2015).
Selain dari dukungan yang diukur dari ketepatan yang
merupakan salah satu ukuran dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat, juga faktor kecepatan yang diberikan
dalam pelayanan publik menjadi ukuran dalam proses
pemberian ijin.
Kecepatan merupakan persoalan akselerasi, yang oleh
Kepla Badan terus di update, karena berkaitan dengan SDM.
BPTPM secara teknis, pegawai turun ke lapangan membuat
gambar situasi, membuat ukuran, dan menentukan setiap hari
selesai sekian berkas, bagi berkas yang tidak bermasalah. Hal
ini dilakukan untuk memberi kepuasan kepada masyarakat,
sehingga jika diukur dengan tingkat kepuasan masyarakat
dalam kecepatan pelayanan. Buktinya badan berhasil
memperoleh penghargaan yang diterima pemerintah.

202 ETIKA BIROKRAT


Untuk mengetahui dukungan dalam operasionalnya
baik pada indikator ketepatan dan kecepatan yang menjadi
alat ukur kinerja pelayanan pemerintahan kepada masyarakat,
sebaiknya memperhatikan indikator-indikator sebagai
berikut; (1) Keluhan dari masyarakat dalam memperoleh
pelayanan; (2) Sikap aparat birokrat dalam merespon keluhan
dari masyarakat; (3) Per-baikan penyelenggaraan pelayanan
pada masa mendatang; (4) Memberikan kepuasan pelayanan
kepada masyarakat; dan (5) Menggunakan sistem pelayanan
yang berlaku.
Dilihat dari kecepatan pelayanan yang diperlihatkan
birokrat menurutnya ada yang cepat dalam memberikan
pelayanan, tetapi ada juga yang tidak cepat. Ketidakcepatan
dalam pemberian pelayanan soal idealisme pribadi dari
birokrat tersebut. Hal ini nampak di beberapa bagian/jenis
pekerjaan ada yang cepat, dan ada juga yang tidak cepat,
yang cepat misalnya pada pendaftaran, pemberian formulir,
dan pemasukan berkas, dan yang tidak cepat misalnya pada
pemeriksaan lapangan, karena kadang petugas lapangan
mau dijemput dengan alasan tidak tau alamat pemohon.
Jelas kondisi ini memper-lambat proses pekerjaan birokrat di
lapangan.
Selain dari ketepatan dan kecepatan pelayanan yang
diberikan birokrat, salah seorang konsumen perizinan juga
memberi penjelasan dari segi ketanggapan, bahwa untuk
ketanggapan yang diperlihatkan aparat birokrat BPTPM,
tergolong cukup tanggap terhadap pelayanan izin usaha.
Jadi, selama mengurus izin usaha sangatlah mengecewakan,
karena setiap menanyakan waktu penyelesaian izin usaha
kurang direnspon walaupun mengeluh, justru sering
disuguhkan kata janji-janji. Kondisi inilah menyebabkan
sehingga beranggapan bahwa aparat birokrat di BPTPM Kota
Makassar kurang merespon setiap ada keluhan masyarakat.

STRATEGI PENERAPAN ETIKA BIROKRASI DALAM PELAYANAN PUBLIK 203


Idealnya pelayanan kepada masyarakat oleh birokrat
kepemimpinan secara khusus oleh birokrat yang bekerja
di bagian pelayanan kepada masyarakat, harus sungguh-
sungguh memperhatikan aspek kualitas pelayanan. Dimana
salah satu aspek yang dituntut masyarakat penerima layanan
di bidang perizinan usaha yaitu kepekaan dan ketanggapan
aparat untuk menyatu dan merasakan apa yang dialami
masyarakat penerima layanan. Namun demikian, dalam
kenyataannya, terdapat kesenjangan atau gap antara harapan
dan kenyataan. Hal ini disebabkan petugas pelayanan
perizinan kurang menunjukkan respek atau penghargaan
kepada yang membutuhkan pelayanan perizinan. Perilaku
petugas layanan masyarakat terkadang acuh tak acuh (kurang
memberi respon) terhadap masyarakat.
Banyaknya keluhan masyarakat terhadap pelayanan
dan tindakan pemerintah dalam menanggapi kebutuhan
masyarakat menandakan rendahnya dukungan pemerintahan
sebagai pelayan publik Untuk merubah image masyarakat
tentang hal tersebut, pemerintah perlu menunjukkan
sikap dan perilaku yang responsif terhadap kebutuhan
masyarakat. Dengan menunjukkan sikap responsif berarti
aparat pemerintah sungguh memperhatikan kepentingan
dan kebutuhan masyarakat.

204 ETIKA BIROKRAT


BAB VIII
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat
disimpulkan dengan deskripsi sebagai berikut:
1. Etika birokrat dalam pelayanan izin usaha di BPTPM Kota
Makassar dengan hasil: (a) Bertanggung jawab dalam
pelayanan izin usaha menunjukkan kemam-puan aparat
dalam melaksanakan tugas pelayanan kepada masyarakat
cukup baik dan dapat diandalkan, (b) Berintegritas dalam
pelayanan izin usaha, hasilnya: (i) Integritas afektif aparat
tergolong kurang loyal terhadap instansinya, (ii) Integ-ritas
kontinyu nampak bahwa aparat BPTPM tergolong baik, dan
(iii) Integritas integritas normatif aparat BPTPM tergolong
baik. (c) Kecermatan dalam pelaya-nan izin usaha dapat
teralisasi melalui struktur organik yang luwes, (d) Disiplin
dalam pelayanan izin usaha diperoleh hasilnya: (i) Bukti
langsung dengan hasil responsivitas aparat dapat dipercaya
masyarakat, (ii) Keandalan pelayanan aparat perizinan

PENUTUP 205
cukup andal, (iii) Daya tanggap diasumsikan lambat
dalam pemberian pelayanan perizinan oleh aparat kepada
masyarakat, (iv) Jaminan penerbitan izin usaha diterima
konsumen berkategori cukup terjamin, dan (v) Sikap empati
aparat bermanfaat bagi konsumen izin usaha, dan (e) Sopan
dalam pelayanan izin usaha menunjukkan (i) Memberikan
pelayanan umum pada umumnya belum menonjol, dan (ii)
Melakukan pemberdayaan dengan hasil penerapan norma
kesopanan aparat masih sangat kurang.

2. Strategi penerapan etika birokrat dalam pemberian pelayanan


izin usaha di Kota Makassar dengan hasil: (a) Pendaftaran izin
usaha dengan system on line dianggap “cukup” dan dari sisi
kualitas disimpulkan “kurang” terhadap proses pelayanan
perizinan, (b) Penerapan sistem antri dalam pelayanan izin
usaha terjadi kesenjangan apa yang diprogramkan oleh
pemerintah dengan apa yang diharapkan masyarakat, dan
(c) Pelayanan on time dalam pelayanan izin usaha, tidak ada
aparat memperlihatkan prestasi yang menonjol.

3. Faktor determinan etika birokrat dalam pelayanan izin usaha


di Kota Makassar, dengan hasil: (a) Tipe kepemimpinan
dalam pelayanan izin usaha cenderung bersikap kompromi,
komunikatif, menghargai pendapat, tidak egois serta taat
pada keputusan, (b) Budaya kerja pelayanan izin usaha
menunjukkan hubungan timbal balik antara organisasi
dengan masyarakat, (c) Lingkungan kerja dalam pelayanan
izin usaha dengan hasilr: (i) Faktor pendukung mencerminkan
pelayanan aparat masih sangat tentatif, dan (ii) Faktor
penghambat memperlihatkan model penataan pola karier
aparatur menghambat pengembangan karir aparatur. (d)
Kebijakan pemerintah dalam pelayanan izin usaha dengan

206 ETIKA BIROKRAT


hasil: (i) Kebijakan dasar BPTPM secara jelas dan tegas diatur
berdasarkan Perda Nomor 5 Tahun 1012 pasal 2, huruf (e)
pasal 44, dan 47, Perwalkot Makassar Nomor 20 Tahun
2014 tentang Tata Cara Pemberian Izin serta Perwalkot
Nomor 66 Tahun 2015 pasal 1 ayat 12 dan 13, pasal 3, pasal
6), menegaskan bahwa BPTPM Kota Makassar merupakan
lembaga operasional daerah sebagai unsur pendukung
tugas Walikota, dan (ii) Kebijakan pendukung (supporting
policies) menunjukkan bahwa Rencana Kerja Tahunan (RKT)
dan Rencana Strategis (Renstra) BPTPM tahun 2011-2015
merupakan kebijakan dasar yang harus dilaksanakan secara
konsisten oleh aparat BPTPM, dan (e) Dukungan pemerintah
dalam pelayanan izin usaha merpelihatkan terdapat gap
antara harapan dan kenyataan dalam pelayan perizinan,
sebab banyaknya keluhan masyarakat.

B. Rekomendasi
Berdasarkan hasil penelitian, maka peneliti menyarankan
empat hal sebagai berikut:
1. Birokrat BPTPM tidak hanya bertanggung jawab pada makna
acountability saja, tetapi harus bertanggung jawab juga pada
makna obligation dan cause.
2. Birokrat BPTPM diharapkan merespon dengan cepat apabila
masyarakat mengalami permasalahan atau kurang memahami
tentang mekanisme dalam pengurusan perizinan.
3. Sebaiknya Kepala BPTPM memperhatikan SOP yang terkait
dengan Perda Kota Makassar Nomor. 14 Tahun 2005 tentang
Tata Cara Pemberian Izin. Papan bicara harus singkat, padat
dan jelas mekanisme pengurusan izin usaha.

PENUTUP 207
4. Aparat BPTPM Kota Makassar harus berkomitmen dan
konsisten terhadap waktu penyelesaian izin usaha (6-12
hari kerja). Karena penyelesaian izin usaha sesuai dengan
waktu yang dijanjikan dapat memberikan kepuasan kepada
masyarakat.

208 ETIKA BIROKRAT


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M.S. 1991, Birokrasi dan Pembangunan Nasional, Studi


tentang Peranan Birokrasi Lokal dalam Implementasi Program-
program Pembangunan di Sulawesi Selatan (Disertasi), PPS
UNHAS, Ujung Pandang.
Alam, Mir; Ahmad, Misbahuddin; Renggong, Ruslan; &
Yunus, Muhammad. 2011. Pendidikan Karakter Berbasis
Pembudayaan Jiwa, Semangat, dan Nilai-Nilai 45. Makassar:
P3AI Universitas “45”.
Albrecht, Karl and Lawrence J. Bradford. 1996. The Service
Advantage How to Identify and Fulill Costumer Needs. Illinois:
Homewood.
Albrow, Martin, 2005. Birokrasi. Yogyakarta. Tiara wacana
Anwaruddin. Awang. 2004. Mningkatkan Kualitas Pelayanan
Publik Melalui Reformasi Birokrasi. Jurnal Ilmu Administrasi.
1 (1) 6-37
Batinggi, Ahmad, dan Badu, Ahmad. 2013. Manajemen Pelayanan
Publik. Yogyakarta. Andi Ofset
Bertens, K. 2000. Etika. Seri Filsafat Atma Jaya: 15. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Bryson, Jhon M. 1988. Strategic Palnning and Non proit
Organizations. San Fransisco: Jossey-Bass.

DAFTAR PUSTAKA 209


Bryman, 2001. Social Research Methods.Oxford: Oxford University
Press.
Davis, Kenneth Culp. 1976. Discretionary Justice, Chicago: University
of Illinois Press.
Denhardt, Janet V. dan Robert B. Denhardt. 2000. The New Public
Service: Serving, not Steering, New York: ANSI,
..........................., 2002. The New Public Service: Serving, Rather than
Steering, Jurnal. Public Administration Review. 60 (6) 549-
559.
Denzim and Lincoln, 2009. Handbook Of Qualitative Research.,
Yogyakarta; Pustaka Pelajar.
Dwiyanto Agus (ed). 2008. Mewujudkan Good Governance Melalui
Pelayanan Publik. Yogyakarta: Gadja mada University Press
Dwiyanto Agus, dkk. 2006. Reformasi Birokrasi Publik Di Indonesia.
Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK), UGM.,
Yogyakarta.
Eade, D., 1998. Capacity Building: An Approach to People-Centreted
Development, Oxford, UK : Oxfam, GB.
Efendi, Onong Uchjana. 1986. Dinamika Komunikasi. Bandung:
Penerbit Remadja Karya.
Fadillah, Putra. 2001. Paradigma Kritis dalam Studi Kebijakan Publik.
Yogyakarta, Surabaya: Pustaka Pelajar dan Universitas
Sunan Giri.
Fathoni, Naimah. 2009. Konsep Etika Birokrasi Pemerintah Jurnal.
Medik Nomor 2. Mei - Agustus 2009 21-33
Frederickson, H. George & Kevin B. Smith. 2003. The Public
Administration Theory Primer. USA: Westview Press.
Goodin, Robert. E and Klingeman, Hans-Dieter. 1996. A New
Handbook of Political Science. New York: Oxford University
Press.

210 ETIKA BIROKRAT


Haksever, C. et al. 2000. Service Management and Operations.
New Jersey : Prentice-Hall, Inc.
Henry, Nicholas. 1988. Administrasi Negara dan Masalah-masalah
Kenegaraan, Jakarta: Rajawali.
Hughes, O. E., 2009. Perubahan Model, Pola, Dan Bentuk Pemerintahan
Daerah: Dari Era Orde Baru ke Reformasi. Departemen Ilmu
Administrasi, FISIP-UI.Jakarta.
Islamy, Irfan M. 2003. Dasar-dasar Administrasi Publik dan
Manajemen Publik. Malang: PDIA FIA-UB
Ismail. Mohammad. 2003 Aktualisasi Pelayanan Prima dalam
Kapasitas PNS sebagai Abdi Negara dan abdi Masyarakat,
Makalah. Disampaikan dalam Diskusi Panel Optimalisasi
Peran PNS pada Pelaksanaan Tugas Pokok sebagai Abdi
Negara dan Abdi Masyarakat.
Johnson, Terence.J, 1991, Profesi Dan Kekuasaan: Merosotnya Peran
Kaum Profesional dalam Masyarakat, Jakarta, Pustaka Utama
Graiti
Jumiati. 2012. Etika Profesi Pegawai Negeri Sipil Departemen
Keuangan Republik Indonesia. Tangerang: Sekolah Tinggi
Akuntansi Negara.
Kaz, Saul M. 1965. A System Approach to Development Administration,
Washington DC: ASPA.

Korten D.C. & Syahrir, 1988. Pembangunan Berdimensi Kerakyatan,


Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.
Kartasasmita. Ginandjar, 2012. Etika Birokrasi dalam Administrasi
Pembangunan Tantangan Menghadapi Era Globalisasi. Orasi
Ilmiah Dies Natalis ke -41 FISIPOL UGM. Menteri Negara
Perencanaan Pembangunan Nasional/ Ketua Bappenas.
Yogyakarta, 19 September 1996
Keban. Yeremias T. 2008. Enam Dimensi Strategis Administrasi
Publik: Konsep Teori dan Isu. Yogyakarta: Gava Media.

DAFTAR PUSTAKA 211


Kep. MENPAN No. 63/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan
Pelayanan.
Keraf, Sony. 1998. Etika, Bisnis, Tuntutan dan Relevansinya. Jakarta:
Kansius Pustaka.
Korten D.C. & Syahrir, 1988. Pembangunan Berdimensi Kerakyatan,
Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.
Kotler, Philip 1994, Manajemen pemasaran Analisis, perencanaan,
Implementasidan pengendalian. Alih Bahasa Anceila
Aniwati Hermawan Jakarta Salemba Empat.
Kumorotomo, Wahyudi. 2011. Etika administrasi Negara. Jakarta:
PT. Raja Graindo Persada.
Lenvine, Charless H., dkk. 1990. Public Administration: Calenges,
Choices, Consequences. Illions: Scot Foreman.
Maani. Kardjuni Dt. 2010. Etika Pelayanan Publik. Jurnal
Demokrasi. IX. Jakarta: Rajawali Pres.
Masyudi. 2005. Kinerja Birokrasi Pemerintah dalam Pelayanan kepada
Publik. Jurnal Aplikasi. Aplikasi Ilmu-ilmu Agama. VI. (1)
47 – 66
Miles & Huberman. 2007. Analisa Data Kualitatif (Terjemahan).
Jakarta: UI Press.
Moleong, Leksy J. 2004. Metode Penelitian Kualitatif. Remaja
Rosdakarya, Bandung.
Murti, Bhisma. 2006. Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Edisi
Kedua, Jilid Pertama. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.
Nasution. 2003. Metode Penelitian Naturalistik-Kualitatif. Bandung.
Tarsito
Ndraha, Taliziduhu. 2000. Pembangunan Masyarakat: Mempersiapkan
Masyarakat Tinggal Landas. Jakarta: Bina Aksara.
Nurcholis, Hanif. 2005. Teori dan Praktek Pemerintahan dan Otonomi
Daerah. Jakarta: Grasindo.

212 ETIKA BIROKRAT


Pamudji, S. 1994. Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia. Jakarta:
Bumi aksara.
Peraturan Pemerintah No.100 Tahun 2000 junto Peraturan
Pemerintah No. 13 Tahun 2002 Tentang Pengangkatan
PNS Dalam Jabatan Struktural sebagai penjabaran dari
Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian. online
Peraturan Pemerintah No.41 tahun 2007 tentang organisasi
perangkat daerah. online
Peraturan Pemerintah No.53 Tahun 2010 tentang Peraturan
Disiplin PNS. online
Peraturan Presiden RI Nomor 97 Tahun 2014 tentang
Penyelenggaran Pelayanan Satu Pintu. online
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Perizinan Terpadu Satu Pintu
(PTSP). online
Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2009 tentang
Urusan Pemerintah yang Menjadi Kewenangan Urusan
Pemerintah Kota Makassar. online
Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 3 Tahun 2009 tentang
Pembentukan dan Susunan Organisasi Perangkat Daerah.
online
Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 5 Tahun 2012 tentang
Retribusi Perizinan Tertentu. online
Peraturan Walikota Makassar Nomor 20 Tahun 2014 tentang Tata
Cara Pemberian Izin. online
Peraturan Walikota Makassar Nomor 60 Tahun 2015 tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu.
online
Permana. 2009. Kebijakan Publik. Yogyakarta: Penerbit: Ar-Rum.

DAFTAR PUSTAKA 213


Purwanto. Erwan Agus. 2009. Strategi Penerapan Standar Pelayanan
untuk Reformasi Birokrasi. Yogyakarta. Gava Media.
Purwanto. Erwan Agus. 2010. Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan
dan Pelayanan Publik. Yogyakarta. Gava Media.
Rais, M. Amien. 1990. Demokrasi dan Proses Politik. Yogyakarta:
Fisipol-UGM,
Rahmayanty, Nina. 2010. Manajemen Pelayanan Prima: Mencegah
Pembelotan dan Membangun Customer Loyality. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Rasyid, Ryaas. 1997. Makna Pemerintahan: Tinjauan dari Segi Etika
dan Kepemimpinan. Jakarta: Yarsif Watampone.
……………….. 2002. Makna Pemerintahan. Suatu Tinjauan Segi
Etika dan Kepemimpinan (cetakan kelima). Jakarta: Mutiara
Sumber Widya.
Robbins, 1994. Teori Organisasi: Struktur, Desain dan Aplikasi.
Jakarta: Arcan.
……..., 1999. Prinsip-Prinsip Prilaku Organisasi, (Edisi Kelima).
Jakarta. Erlangga
Rosenbloom and Robert. 2005. Public Administration.
Understending York: Mc Graw-Hill.
Saefullah A. Djaja. 1999. Konsep dan metode Pelayanan Umum Yang
Baik. Bandung : UNPAD
Salam Burhanuddin. Etika Sosial. Asas Moral Dalam Kehidupan
Manusia. Jakarta Rineka Cipta.
Salusu, J. 1996. Pengambilan Keputusan Strategik Untuk Organisasi
Publik dan Organisasi Non Proit. Jalarta: Gramedia.
Santoso, Priyo Budi. 2007. Birokrasi Pemerintahan Orde Baru.
Jakarta: Graindo Persada.
Sarundajang, 2005. Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah. Jakarta.
Pustaka Sinar Harapan.

214 ETIKA BIROKRAT


Sedarmayanti, 2010. Reformasi Administrasi Publik, Reformasi
Birokrasi, dan Kepemimpinan Masa Depan (Mewujudkan
Pelayanan Prima dan Kepemerintahan yang Baik. Bandung:
Aditama.
Simbolon, Robert. 1995. Manajemen Pelayanan Publik. Jakarta:
IIP.
Sinambela, David. 2010. Pelayanan Umum di Indonesia, Jakarta:
CV Rajawali.
Sterrs, Richard M, Lyman W. Porter, Gregory A. Bigley. 1996.
Motivation and Leadership at Work, 6th edition, McGraw-Hill
International Edition
Sudarsono. 1998. Strategi Pelayanan Prima. Jakarta: LAN-RI.
Sugiyono. 2005. Memahami Peneletian Kualitatif. Bandung:
Alfabeta.
-----------. 2015. Metode Penelitian Pendidikan Kuantitatif, Kualitatif
R dan D. Bandung: Alfabeta.
Surie, H. G. 1978. Ilmu Administrasi Negara, Jakarta: Gramedia,
Syaiie. Inu Kencana. 1994. Etika Pemerintahan. Bandung, Rineka
Cipta.
-------------------------. 2006. Ilmu Administrasi Publik. Jakarta: Rineka
Cipta.
Tahir, Muclas M. dkk. 2004. Etika Birokrat pada Kantor Pelayanan
Perizinan Satu Atap di Kota Parepare (Studi Kasus Pelayanan
Izin Mendirikan Bangunan). Jurnal. UH. 10, 1 – 12
Tangkilisan, Hessel Nogi. 2003. Impelementasi Kebijakan Publik;
Transformasi Pikiran George Edwards. Jakarta: Kerjasama
Lukman Ofset & Yayasan Pembaruan Administrasi Publik
Indonesia.
Thoha, Miftah 2003. Ilmu Administrasi Negara, Jakarta: Rajawali
Press,

DAFTAR PUSTAKA 215


Thaib, Dahlan. 2000. Implementasi Sistem Katata Negaraan Menurut
Undang-Undang Dasar 1945. Jogjakarta: Liberty.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
online.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah. online.
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. online.
Vigoda, Eran (ed). 2003. The Legacy of Public Administration.
Background ang Review. Dalam Public Administration an
Interdisciplinary Critical Analysis. New York.
Weber, Max. 2002. Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme
(diterjemahkan oleh Yusup Priyasudiarja), Pustaka Promethea,
Surabaya.
Widjaja. A. W. 1997. Etika Pemerintahan, Jakarta: Bumi Aksara.
Widodo, Joko, 2001 Good Governance. Telaah dari dimensi:
Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi pada Era Desentralisasi dan
Otonomi Daerah. Surabaya. Insan Cendekia.
Zauhar, Soesilo. 1996. Reformasi Administrasi Konsep, Dimensi, dan
Strategi. Jakarta: Bumi Aksara.

216 ETIKA BIROKRAT


PROFIL PARA PENULIS

1. Prof. Dr. H. Andi Rasyid Pananrangi, S.H., M.Pd.


Prof. Dr. H. Andi Rasyid Pananrangi, S.H.,
M.Pd., lahir di Balle 10 Januari 1956. Pendidikan
formal diraihnya pada jenjang Strata Satu
(S-1) di IKIP Uujung Pandang dalam bidang
Administrasi tahun 1975–1981, kemudian
menempuh pendidikan Strata Dua (S-2) di
Universitas Negeri Makassar dalam bidang
Administrasi Umum tahun 1997–1999, selanjutan menempuh
pendidikan Strata Tuga (S-3) di Universitas Negeri Makassar
dalam bidang Administrasi Publik 2005 – 2009.
Mengawali karier sebagai dosen Kopertis Wilayah IX
mulai tahun 1983 dengan mengampu mata kuliah (1) Manajemen
Sumber Daya Manusia, (2) Ekologi Politik dan Pembangunan,
(3) Manajemen Pelayanan Publik. Selain itu, kursus/pelatihan/
penataran yang pernah diikuti adalah (1) Pekerti (1988), (2) Tutor
Dosen PTS LPTK (2007), dan (3) Tenaga Pengelola Lembaga
Pusat Penelitian.
Riwayat Jabatan sturuktural adalah (1) Wakil Ketua I
STKIP Muhammadiyah Bone (1984-1988), (2) Wakil Ketua
II STKIP Muhammadiay Bone (1988-1992), (3) Ketua STKIP
Muhammadiyah Bone (2003-2007), (4) Wakil Ketua BPH STKIP

PROFIL PARA PENULIS 217


Muhammadiyah Bone (2010-2014), (5) Dekan FAI Universitas
Indonesia Timur (2014), (6) Dekan Psikologi Universitas Indonesia
Timur (2015), (7) Dekan Fikom Universitas Indonesia Timur
(2016). Selain itu pernah menjadi Anggota DPRD Kabupaten
Bone (1992-1997) dan (1997-1999).
Pengalaman organisasi diantaranya adalah (1) Ketua
Bapilu DPD Golkar Kabupaten Bone (1985), (2) Dewan Penasihat
AMPI Bone (1986), (3) Ketua GAKARI Kabupaten Bone (1984),
MPP Partai Amanat Nasional Kabupaten Bone (1987).
Publikasi ilmiah diantaranya (1) Pendidikan Nonformal
sebagai Suatu Usaha Perbaikan Kualitas Hidup Masyarakat
Desa Carima Kecamatan Kahu Kabupaten Bone, (2) Upaya
yang Dilakukan Guru dalam penerapan Multikultural Terhadap
Pendidikan di Indonesia, (3) Sustainable Education System For
The Infortunate in South Sulawesi, (4) Perilaku Kepemimpinan
Birokrat Daerah. Selain itu menjadi pemakalah dalam seminar
yang berjudul (1) Peranan Sosiologi Keluarga dalam Pembinaan
Generasi Muda, dan (2) Merubah Pola Pikir Masyarakat
Kaitannya dengan Peningkatan Pembangunan.
Buku yang pernah ditulis adalah (1) Perilaku
Kepemimpinan dan Kinerja Birokrat (2010), (2) Belajar dan
Pembelajaran (2013), dan (3) Manajemen Pendidikan (2015).
Dan pernah mendapat penghargaan diantaranya (1) Piagam
Penghargaan Pengembangan Potensi Kabupaten Bone, dan (2)
SetyalencanaKaryaSetya XXX tahun dari Presiden Republik
Indonesia.

218 ETIKA BIROKRAT


2. Dr. Hj. Murlinah, M.Pd.

Dr. Hj. Murlinah, M. Pd. Lahir di Bone


pada tanggal 12 Februari 1958. Menyelesaikan
pendidikan Strata Satu (S1) pada tahun
1988 di STKIP Muhammadiyah Bone pada
Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan.
Kemudian pada tahun 2003 menyelesaikan
pendidikan Strata Dua (S2) di Universitas
Neger Makassar pada Program Studi Manajemen Pendidikan,
dan pendidikan Strata Tiga (S3) di Universitas Negeri Makassar
dalam bidang Ilmu Administrasi Publik
Mengawali karier sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS)
sebagai guru Sekolah Dasar Negeri pada tahun 1996. Selanjutnya
pada tahun 1998 menjadi Guru SMA Negeri, Dosen Yayasan,
dan sebagai Dosen Luar Biasa. Kemudian pada tahun 2005
hingga saat ini aktif sebagai Widyaiswara Madya pada Badan
Pendidikan dan Latihan Provinsi Sulawesi Selatan.
Diklat yang pernah diikuti diantaranya pada tahun 2005;
Diklat Penulisan Karya Ilmiah, dan Diklat Kewidyaiswaraan.
Tahun 2006; Diklat Manajemen Pengelolaan Kelompok
Masyarakat Dalam Pelayanan Prima, Keputusan Strategik Dengan
Pendekatan Learning Organizing, Manajemen Kemeterologian,
Kongres III Widyaiswara Indonesia, Manajemen Krisis dan
Integrasi. Tahun 2007; Diklat English as a Medium Instruction,
Bidang Pariwisata Bagi Widyaiswara, Bekerja Dengan Hati
Nurani. Personal Quality Development Program, Repormasi
Birokrasi Di Indunesia, Workshop Diklat Yang Diampuh, Diklat
Subtansi Materi PIM IV, Development .And Dilivery Skill Distric
Prov, Karya Tulis Ilmiah Widyaiswara, ESQ Leadership Center.
Tahun 2008; Diklat Evaluasi Kinerja Widyaiswara, Diklat Subtansi

PROFIL PARA PENULIS 219


PIM IV Kajian Manjemen, Forum Pendalaman RUU Administrasi
Pembangunan, Pelatihan Audit Internal, Pelaporan Pengelolaan
Keuangan Daerah, Workshop Penguasaan Bahan Ajar POPIR,
Workshop Pemb Komp Dasar Asesor, Peng.Percepatan Pemb.
Korupsi, ESQ Basic Training. Tahun 2009; Diklat Pelatihan
Fasilitatif Efektif, Penetapan dan Penerapan SPM, Membangun
Budaya Kerja Unggul, Peran dan Fungsi Apip Dan Lem.Pem.,
Humour Therapy, Erickson Hypnotherapy. Tahun 2010; Diklat
Sosialisasi Pancasila, UUD RI 1945, NKRI, dan Peyusunan Dan
Penerapan SPM. Tahun 2011; Wrokshop Pen.Kapasitas Kep.
Infor, dan Diklat Forum Konsorsium Diklat KTI
Selain pengalaman sebagai dosen luar biasa, penulis juga
mengajar pada Diklat Prajabatan Golongan I, II, dan III, Diklat
Prajabatan Umum, Prajabatan K1 dan K2, Diklat PIM IV dan
Diklat Kep. Tk. III. Adapun mata Diklat yang diampu adalah;
Manajemen Perkantoran Modern, Komunikasi yang Efektif,
Pelayanan Prima, Mindseting, Etika Publik, Inovasi di Sektor
Publik, dan Berpikir Kreatif dan Inovatif

220 ETIKA BIROKRAT

Anda mungkin juga menyukai