Anda di halaman 1dari 305

Harbani Pasolong

TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2002
TENTANG HAK CIPTA PASAL 72 KETENTUAN PIDANA
SANKSI PELANGGARAN
1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak
suatu ciptaan atau memberikan izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta
rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyerahkan, menyiarkan, memamerkan, mengedarkan,
atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta
atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana
penjara.

PERHATIAN
KECELAKAAN BAGI ORANG-ORANG YANG CURANG
(QS Al-Muthaffifin Ayat 1)

Para pembajak, penyalur, penjual, pengedar, dan PEMBELI BUKU BAJAKAN


adalah bersekongkol dalam alam perbuatan CURANG. Kelompok genk ini
saling membantu memberi peluang hancurnya citra bangsa, “merampas”
dan “memakan” hak orang lain dengan cara yang bathil dan kotor.
Kelompok “makhluk” ini semua ikut berdosa, hidup dan kehidupannya
tidak akan diridhoi dan dipersempit rizkinya oleh ALLAH SWT.

(Pesan dari Penerbit ALFABETA)

ii
Dr. Harbani Pasolong, M.Si.

TEORI ADMINISTRASI PUBLIK

iii
Hak cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang keras memperbanyak, memfotokopi sebagian
atau seluruh isi buku ini, serta memperjualbelikannya
tanpa mendapat izin tertulis dari Penerbit

© 2019, Penerbit Alfabeta, Bandung


Adm-07 (viii + 296) 16 x 24 cm

Judul Buku : TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


Penulis : Dr. Harbani Pasolong, M.Si.
Penerbit : ALFABETA, cv
Telp. (022) 200 8822 Fax. (022) 2020 373
Email: alfabetabdg@yahoo.co.id
Website: www.cvalfabeta.com
Cetakan Kesembilan : April 2019
ISBN : 978-979-8433-38-2

Anggota Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI)

iv
KATA PENGANTAR

Buku ini merupakan revisi pertama sejak terbitnya pada tahun


2007. Hal ini berarti bahwa buku ini sudah mengalami perjalanan
waktu yang cukup lama untuk dilakukan revisi dan sudah memasuki
cetakan ke-8. Keterlambatan dilakukannya revisi karena masih bisa
berkompetisi dengan buku lain yang ada di pasar dengan judul yang
sama, maka pada kesempatan ini, saya baru mempunyai kelonggaran
waktu untuk melakukan revisi ke arah penyempurnaan dari berbagai
kelemahan yang ada pada buku ini. Revisi atau yang dilakukan
itupun belum dapat dikatakan sempurna sebagai buku Teori
Administrasi Publik. Kemauan untuk melakukan revisi sebenarnya
sudah berlangsung lama, akan tetapi karena kesibukan sebagai
penulis, pendidik dan peneliti sehingga selalu tertunda.
Selama melakukan revisi, telah banyak waktu, tenaga, pikiran,
dan materi yang menjadi hak isteri dan anak-anak yang penulis cintai
dan sayangi dikorbankan. Waktu yang seharusnya untuk
memperhatikan dan memberikan kasih sayang, telah saya rampas
untuk menyelesaikan revisi ini. Sekalipun demikian isteri tercinta dan
anak-anak tersayang masih tetap setia dan penuh kesabaran
mendampingi Saya sebagai kepala keluarga.
Penulis menyadari bahwa sebagai manusia biasa, tidak terlepas
dari berbagai keterbatasan dan kelemahan. Sehingga hasil revisi
masih berkemungkinan memiliki berbagai kelemahan. untuk itu
dengan rendah hati dan penuh harapan, penulis mengharapkan
kritikan dan saran-saran dari pembacanya. Penulis mengucapkan
terima kasih kepada para pembaca untuk menyampaikan bahan input
atau kritikan-kritikan yang sangat berharga bagi penulis, guna
perbaikan dalam edisi berikutnya.
Makassar, November 2017

ttd
HR

v
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ............................................................... v


Daftar Isi ........................................................................ vi

BAB 1
Pendahuluan .................................................................. 1
A. Beberapa Konsep ........................................................... 1
B. Teori Administrasi Publik ................................................. 14
C. Peran Administrasi Publik ................................................ 20
D. Ruang Lingkup Administrasi Publik .................................. 22

BAB 2
Sejarah Perkembangan Administrasi Publik .................. 25
A. Sejarah Perkembangan Administrasi Publik ....................... 25
B. Paradigma Administrasi Publik ......................................... 31

BAB 3
Kebijakan Publik ............................................................ 46
A. Konsep Kebijakan dan Kebijaksanaan .............................. 46
B. Proses Kebijakan Publik .................................................. 49
C. Isu Kebijakan ................................................................. 71

BAB 4
Teori Birokrasi ................................................................ 77
A. Konsep Birokrasi ............................................................ 77
B. Teori Birokrasi (Bureaucracy Theory) ............................... 81
C. Birokrasi Osborne ........................................................... 89
D. Struktur Birokrasi ........................................................... 92

BAB 5
Manajemen Publik .......................................................... 95
A. Konsep Manajemen Publik .............................................. 95
B. Paradigma Manajemen ................................................... 97
C. Fungsi-fungsi Manajemen ............................................... 115

vi
BAB 6
Teori Kepemimpinan ...................................................... 124
A. Konsep Kepemimpinan ................................................... 124
B. Tipe Kepemimpinan ........................................................ 136
C. Gaya Kepemimpinan ....................................................... 139
D. Teori-teori Kepemimpinan ............................................... 140

BAB 7
Pelayanan Publik ............................................................ 147
A. Konsep Pelayanan .......................................................... 147
B. Kualitas Pelayanan Publik ................................................ 151
C. Kepuasan Pelanggan ...................................................... 165

BAB 8
Administrasi Kepegawaian Negara ................................ 173
A. Sistem Administrasi Kepegawaian Negara ......................... 173
B. Rekrutmen PNS .............................................................. 177
C. Sistem Penggajian .......................................................... 189
D. Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan ..................................... 190
E. Pangkat dan Jabatan ...................................................... 191
F. Pendidikan dan Latihan (Diklat PNS) ................................ 194
G. Pemberhentian dan Pensiun PNS ..................................... 196

BAB 9
Manajemen Kinerja ........................................................ 201
A. Pengertian Manajemen Kinerja ........................................ 201
B. Konsep Kinerja ............................................................... 203
C. Indikator Kinerja ............................................................ 205
D. Pengukuran Kinerja ........................................................ 210
E. Tujuan dan Manfaat Pengukuran Kinerja .......................... 214
F. Kendala dalam Pengukuran Kinerja .................................. 217
G. Pendekatan Pengukuran Kinerja ...................................... 218
H. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja ........................ 221

vii
BAB 10
Etika Administrasi Publik ............................................... 226
A. Konsep Etika .................................................................. 226
B. Etika Administrasi Publik ................................................. 229
C. Implementasi Nilai-nilai Etika .......................................... 237

BAB 11
Good Governance ........................................................... 242
A. Konsep Good Governance ............................................... 242
B. Perubahan Paradigma .................................................... 251
C. Prinsip-prinsip Good Governance ..................................... 254
D. Permasalahan SDM Menuju Good Governance .................. 262
E. Penyelenggaraan Pemerintahan (Governing) .................... 263
F. Government dalam Mewujudkan Good Governance (Tata
Kepemerintahan yang Baik) pada Era Otonomi Daerah ...... 265

Daftar Pustaka ................................................................ 282

viii
1
PENDAHULUAN

A. BEBERAPA KONSEP

Pembahasan dalam buku ini lebih banyak menekankan "Teori


Administrasi Publik", karena empat alasan penting yaitu: Pertama,
pergeseran orientasi administrasi negara yang menekankan aktivitas
negara menjadi oleh, dan untuk publik, dalam artian bahwa
pendekatan tidak lagi kepada negara tetapi lebih kepada publik.
Kedua, pertimbangan sejarah administrasi publik dalam berbagai
literatur selalu digunakan Administrasi Publik (Administration Public)
bukan Administrasi Negara (Administration State). Ketiga,
pertimbangan akademis itu sendiri yaitu jangan sampai berkembang
bahwa interpretasi akademik yang hanya didasarkan oleh makna
gabungan kata "administrasi" dan "publik", tetapi pengertian yang
lebih mendalam tentang administrasi publik itu sendiri. Keempat,
pertimbangan bahwa pembahasannya lebih menekankan kepada
kepentingan public, bukan kepada negara.
Administrasi publik dimaksudkan untuk lebih memahami
hubungan pemerintah dengan publik serta meningkatkan
responsibilitas kebijakan terhadap berbagai kebutuhan publik, dan
juga melembagakan praktik-praktik manajerial agar terbiasa
melaksanakan suatu kegiatan dengan efektif, efisien dan rasional.
Oleh Karena itu, untuk menyamakan persepsi dan interpretasi
tentang administrasi publik, maka perlu diberi pembatasan atau
definisi sebagai berikut.

PENDAHULUAN 1
Secara etimologi administrasi berasal dari bahasa Latin (Yunani)
yang terdiri atas dua kata, yaitu “ad” dan “ministrate” yang berarti
“to serve” yang dalam bahasa Indonesia berarti melayani dan atau
memenuhi. Selanjutnya, menurut Dimock & Dimock (1978:15),
kata administrasi itu berasal dari kata "ad" dan "minister" yang
berarti juga "to serve". Jadi, dapat dipahami bahwa yang dimaksud
administrasi adalah suatu proses pelayanan atau pengaturan.
Permasalahan pokoknya ialah “siapa" yang harus "melayani" dan
"dilayani"? dan "siapa" yang harus “mengatur dan diatur"? Jawaban
yang pasti, tidak lain dan tidak bukan ialah “manusia” itu sendiri.
Dalam hal ini, ialah manusia sebagai subjek untuk melayani dan
manusia pulalah yang menjadi objek untuk dilayani. Manusialah yang
harus menjaga keteraturan kehidupan sosialnya dan manusia itu
sendiri yang harus memecahkan seluruh permasalahan kehidupan
sosialnya. Jelasnya adalah manusia berperilaku melayani dan
mengatur dirinya sendiri untuk eksistensi dan tujuan hidupnya, mulai
tingkat individual sampai pada tingkat sosial umumnya.
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa yang menjadi bahan
baku administrasi ialah “manusia” Karena manusia merupakan
sumber adanya administrasi. Oleh Karena itu, tujuan administrasi
ialah semata-mata untuk kepentingan manusia, khususnya keberada-
annya sebagai makhluk sosial yang bermasyarakat. konsekuensinya
ialah administrasi bertanggung jawab terhadap kelangsungan
organisasi dengan segala kegiatan mulai merencanakan sampai pada
evaluasi demi tujuan yang telah ditentukan sebelumnya secara efisien
dan efektif.
Jadi, administrasi ialah suatu fenomena sosial, dan hidup subur
di dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Di dalam tingkat kehidupan
demikian individu mempunyai peranan penting karena sebenarnya
publik ialah bentuk kehidupan antar individu dalam suatu sistem,
untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu, setiap individu berfungsi
sebagai sumber daya publik, sekaligus sumber daya administrasi.

Definisi Administrasi
Selanjutnya, untuk menyamakan persepsi dan interpretasi
tentang apa sesungguhnya yang dimaksud administrasi, maka dikutip

2 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


beberapa pendapat pakar administrasi, baik dari pakar luar negeri
maupun pakar dalam negeri sendiri.
Herbert A. Simon (1999:3), mendefinisikan administrasi
sebagai kegiatan-kegiatan kelompok kerjasama untuk mencapai
tujuan-tujuan bersama. Leonard D. White dalam Inu Kencana
Syafiie dkk. (1999), mendefinisikan administrasi adalah suatu proses
yang umum ada pada usaha kelompok–kelompok, baik pemerintah
maupun swasta, baik sipil maupun militer, baik dalam ukuran besar
maupun kecil. Dwight Waldo (1971), mendefinisikan administrasi
adalah suatu daya upaya yang kooperatif, yang mempunyai tingkat
rasionalitas yang tinggi. Dimock & Dimock (1992:20), mengatakan
bahwa suatu ilmu yang mempelajari apa yang dikehendaki rakyat
melalui pemerintah, dan cara mereka memperolehnya. Administrasi
juga mementingkan aspek-aspek konkrit dari metode-metode dan
prosedur-prosedur manajemen.
Selanjutnya S.P. Siagian (2004:2), mendefinisikan administrasi
sebagai keseluruhan proses kerja sama antara dua orang manusia
atau lebih yang didasarkan atas rasionalitas tertentu mencapai tujuan
yang telah ditentukan sebelumnya. The Liang Gie (1993:9),
mendefinisikan administrasi adalah rangkaian kegiatan terhadap
pekerjaan yang dilakukan oleh sekelompok orang di dalam kerjasama
mencapai tujuan tertentu.
Dari beberapa definisi tersebut di atas, maka penulis mencoba
merumuskan definisi administrasi untuk ikut berpartisipasi dalam
merumuskan definisi administrasi sebagai bahan diskusi selanjutnya.
Adapun yang dimaksud administrasi dalam tulisan ini adalah sebagai
berikut: “Administrasi adalah pekerjaan terencana yang dilakukan
oleh sekelompok orang dalam bekerjasama untuk mencapai tujuan
atas dasar efektif, efisien dan rasional".
Dari definisi di atas, dapat di pahami bahwa administrasi mem-
punyai dua dimensi yaitu (1) dimensi karakteristik, dan (2) dimensi
unsur-unsur yang melekat pada administrasi.

Dimensi karakteristik administrasi terdiri atas:


1. Efisien berarti bahwa tujuan (motive) dari pada administrasi
adalah untuk mencapai hasil secara efektif dan efisien. Dengan
kata lain bahwa pencapaian tujuan administrasi dengan hasil

PENDAHULUAN 3
yang berdaya berhasil guna (efektif) dan berdaya guna (efisien).
James L. Gibson dkk. (1996:51), mengatakan bahwa efisien
adalah perbandingan rasio keluaran dengan masukan. Sedangkan
yang dimaksud efisien menurut Tjokroamidjojo (1991:5),
adalah pelaksanaan administrasi publik dilakukan dengan
perbandingan yang terbaik antara hasil dan pengeluaran.
Jelasnya yang dimaksud efisien adalah ”perbandingan yang
terbaik antara input dan output atau perbandingan antara
pengeluaran dan keuntungan”. Misalnya hasil maksimum yang
dicapai dengan penggunaan sumberdaya yang terbatas. Dengan
kata lain perbandingan antara apa yang telah dihasilkan dengan
apa yang seharusnya diselesaikan.
2. Efektifitas pada dasarnya berasal dari kata "efek" dan
digunakan dalam istilah ini sebagai hubungan sebab akibat.
Efektivitas dapat dipandang sebagai suatu sebab dari variabel
lain. Efektivitas berarti bahwa tujuan yang telah direncanakan
sebelumnya dapat tercapai atau dengan kata sasaran tercapai
karena adanya proses kegiatan. James L. Gibson dkk.
(1996:38), mengatakan bahwa efektivitas adalah pencapaian
sasaran dari upaya bersama. Derajat pencapaian sasaran
menunjukkan derajat efektivitas. Tjokroamidjojo (1987:3),
mengatakan bahwa efektivitas, agar pelaksanaan administrasi
lebih mencapai hasil seperti direncanakan, mencapai sasaran
tujuan yang ingin dicapai dan lebih berdaya hasil. Sedangkan
Keban (2004:140), mengatakan bahwa suatu organisasi dapat
dikatakan efektif kalau tujuan organisasi atau nilai-nilai
sebagaimana ditetapkan dalam visi tercapai. Nilai-nilai yang telah
disepakati bersama antara para stakeholder dari organisasi yang
bersangkutan.
3. Rasional berarti bahwa tujuan yang telah dicapai bermanfaat
untuk maksud yang berguna, tetapi tentu saja yang dilakukan
dengan sadar atau disengaja. Herbert A. Simon (2004:135),
mengatakan bahwa rasional secara objektif, jika tujuan yang
hendak dicapai untuk kepentingan organisasi, rasional bersifat
subjektif, jika tujuan yang hendak dicapai untuk kepentingan
pribadi. Dwight Waldo (1986) memberi penjelasan apakah yang
dimaksud rasional itu, dan menurut pakar ini tindakan rasional

4 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


adalah suatu tindakan yang telah diperhitungkan secara tepat
untuk merealisasikan tujuan tertentu yang diinginkan dengan
pengorbanan yang sedikit-dikitnya bagi realisasi tujuan yang lain.
Dengan kata lain tindakan rasional adalah tindakan yang dapat
diterima oleh logika praktis. Sedangkan Ritzer (2005:37),
mengatakan bahwa rasionalisasi terbaik saat ini ialah restoran
cepat saji, yaitu sistem rasional formal di mana seorang pekerja
dan pelanggan digiring untuk mencari cara paling rasional dalam
mencapai tujuan. Mendorong makanan melalui jendela misalnya
ialah cara rasional karena dengan demikian pelayanan pelanggan
efektif dan efisien.
Oleh karena itu, tujuan yang hendak dicapai melalui kegiatan
administrasi adalah menerapkan kemampuan dan keterampilan kerja
sehingga tercapai tujuan secara "efektif" dan "efisien" melalui
tindakan rasional. Tujuan secara efektif dan efisien melalui tindakan
rasional dapat terwujud bila ada perencanaan yang realistik dan
benar-benar tepat, logis dan dapat dikerjakan. Jadi perencanaan
berfungsi sebagai landasan kebijakan administrasi, dan merupakan
wujud konkrit dari tujuan. Untuk membuat perencanaan yang tepat
diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas dan sumber daya
non-manusia yang cukup memadai. Adapun kualitas SDM yang
dimaksud seharusnya memiliki kompetensi pengetahuan,
keterampilan dan moral yang tinggi. Berdasarkan kompetensi
tersebut dapat disusun pengorganisasian (organizing) secara benar
dan objektif yang sesuai "prinsip the right man on the right place".

Dimensi Unsur-unsur Administrasi


1. Adanya tujuan atau sasaran yang ditentukan sebelum
melaksanakan suatu pekerjaan.
2. Adanya kerja sama baik sekelompok orang atau lembaga
pemerintah maupun lembaga swasta.
3. Adanya sarana yang digunakan oleh sekelompok atau lembaga
dalam melaksanakan tujuan yang hendak dicapai.

PENDAHULUAN 5
Bagan 1

Keterangan:
1. Jika output lebih besar dari pada input berarti efisien.
2. Jika tujuan organisasi tercapai berarti efektif.
3. Jika tujuan yang dicapai untuk kepentingan organisasi berarti rasional.

Input adalah semua sumber seperti sarana dan prasarana yang


digunakan dalam proses produksi barang atau jasa. Surya Dharma
(2005:43), mengatakan bahwa input dapat berupa pengetahuan dan
keahlian yang dipakai dalam pelaksanaan suatu kegiatan. Proses
menurut Fandy Tjptono (2004:29), adalah merupakan transformasi
input menjadi output. Sedangkan yang dimaksud output menurut
Surya Dharma (2005:43), adalah semua hasil produksi baik berupa
barang maupun jasa.
Dalam proses input menjadi output di atas, maka diperlukan
rasionalitas. Dalam artian bahwa perilaku seseorang dalam proses
input menjadi output dalam organisasi harus bersifat rasional, yaitu
perilaku yang bermanfaat bagi tujuan-tujuan organisasional. Hal ini
berarti bahwa dalam proses input menjadi output, kepentingan
perseorangan harus dikesampingkan dengan dasar bahwa
kepentingan organisasi di atas dari pada kepentingan individu.
Perilaku-perilaku individu seharusnya diarahkan kepada kepentingan
organisasi.
Dari definisi tersebut mengandung arti bahwa administrasi
menunjuk adanya proses yang digerakkan oleh beberapa faktor yaitu
kegiatan, kerjasama antar individu, dan ada kontrol atau
kepemimpinan untuk mengarahkan kepada tercapainya suatu tujuan
kehidupan bermasyarakat atau kepentingan publik.
Selanjutnya dapat dipahami bahwa di dalam administrasi itu
terkandung sifat yang fungsional. Menurut fungsinya, bisa dipahami
sebagai management (servis/pelayanan). Jika administrasi menekan-
kan pada masalah kerangka teori atau konsep, maka manajemen
adalah praktiknya pelaksanaannya. Tanpa manajemen, administrasi

6 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


cenderung tidak bergerak, lumpuh dan sebaliknya tanpa administrasi
semua aktivitas tidak akan terkoordinir ke arah tujuan yang rasional
secara efisien dan efektif. Jadi administrasi dan manajemen yaitu
berada dalam suatu sistem hubungan, bagaikan antara prinsip dan
realitasnya, atau bagaikan hubungan “substansi dan eksistensinya”.
Manajemen dapat dijelaskan dari dua sudut pandang, yaitu
sebagai proses penyelenggaraan berbagai kegiatan dalam rangka
penerapan tujuan dan sebagai kemampuan atau keterampilan orang
yang menduduki jabatan manajerial untuk memperoleh sesuatu hasil
dalam rangka pencapaian tujuan melalui kegiatan-kegiatan orang
lain. Dengan demikian manajemen berfungsi sebagai inti dari
administrasi karena manajemen adalah merupakan alat pelaksanaan
administrasi.

Definisi Publik
Publik pada dasarnya berasal dari bahasa Inggris "public" yang
berarti umum, rakyat umum, orang banyak dan rakyat. Nampaknya
kata "publik" diterjemahkan oleh beberapa kalangan berbeda-beda
sebagaimana kepentingan mereka. Misalnya kata "Public
Administration" diterjemahkan menjadi "Administrasi Negara".
Pertanyaan yang timbul ialah, apakah "public" itu sama dengan
"Negara"?, kalau "public" sama dengan Negara, maka "public
administration" sama dengan "state administration". Padahal secara
konseptual cakupan "state" lebih luas dari pada "Public".
Selanjutnya batasan pengertian tentang publik sudah banyak
dikemukakan oleh para pakar. Namun batasan pengertian yang telah
dikemukakan oleh para ahli tersebut berbeda-beda yang disebabkan
oleh perbedaan latar belakang pendidikan dan atau persepsi. Oleh
karena itulah perlu dikemukakan beberapa pendapat oleh para ahli
untuk menarik kesimpulan tentang batasan pengertian publik
tersebut. Syafi'ie dkk. (1999:18), mengatakan bahwa publik adalah
sejumlah manusia yang memiliki kebersamaan berpikir, perasaan,
harapan, sikap dan tindakan yang benar dan baik berdasarkan nilai-
nilai norma yang mereka miliki.
H. George Frederickson (1997:46), menjelaskan konsep
"publik" dalam lima perspektif, yaitu (1) publik sebagai kelompok
kepentingan, yaitu publik dilihat sebagai manifestasi dari interaksi

PENDAHULUAN 7
kelompok yang melahirkan kepentingan masyarakat, (2) publik
sebagai pemilih yang rasional, yaitu masyarakat terdiri atas individu-
individu yang berusaha memenuhi kebutuhan dan kepentingan
sendiri, (3) Publik sebagai perwakilan kepentingan masyarakat, yaitu
kepentingan publik diwakili melalui "suara". (4) Publik sebagai
konsumen, yaitu konsumen sebenarnya tidak terdiri dari individu-
individu yang tidak berhubungan satu sama lain, namun dalam
jumlah yang cukup besar mereka menimbulkan tuntutan pelayanan
birokrasi. Karena itu posisinya juga dianggap sebagai publik, dan (5)
Publik sebagai warga negara, yaitu warga negara dianggap sebagai
publik karena partisipasi masyarakat sebagai keikutsertaan warga
negara dalam seluruh proses penyelenggaraan pemerintahan
dipandang sebagai sesuatu yang paling penting.

Definisi Administrasi Publik


Konsep administrasi publik di Indonesia pada dasarnya bukanlah
konsep yang baru, karena konsep administrasi publik tersebut sudah
ada sejak dari dulu, hanya para pakar mengganti istilah administrasi
publik menjadi administrasi negara. Begitu pula buku-buku asing
misalnya yang berjudul "Public Administration" diganti menjadi
Administrasi Negara.
Chandler & Plano dalam Keban (2004:3), mengatakan bahwa
Administrasi Publik adalah proses dimana sumber daya dan personel
publik diorganisir dan dikoordinasikan untuk memformulasikan,
mengimplementasikan, dan mengelola (manage) keputusan-
keputusan dalam kebijakan publik. Chandler & Plano menjelaskan
bahwa administrasi publik merupakan seni dan ilmu (art and science)
yang ditujukan untuk mengatur "public affairs" dan melaksanakan
berbagai tugas yang ditentukan. Administrasi publik sebagai disiplin
ilmu bertujuan untuk memecahkan masalah publik melalui perbaikan-
perbaikan terutama di bidang organisasi, sumber daya manusia dan
keuangan. Marshall E. Dimock, Gladys O. Dimock dan Louis W.
Koenig (1960), mengatakan bahwa administrasi publik adalah
kegiatan pemerintah di dalam melaksanakan kekuasaan politiknya,
Jhon M. Pfiffner dan Robert V. Presthus (1960:4), mendefinisi-
kan administrasi publik, adalah (1) meliputi implementasi kebijakan
pemerintah yang telah ditetapkan oleh badan-badan perwakilan

8 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


politik, (2) Koordinasi usaha-usaha perorangan dan kelompok untuk
melaksanakan kebijakan pemerintah. Hal ini meliputi pekerjaan
sehari-hari pemerintah. (3) Suatu proses yang bersangkutan dengan
pelaksanaan kebijakan-kebijakan pemerintah, pengarahan kecakapan
dan teknik-teknik yang tidak terhingga jumlahnya, memberikan arah
dan maksud terhadap usaha sejumlah orang. Felix A. Nigro dan L.
Loyd G. Nigro (1970:21) mendefinisikan administrasi publik adalah
(1) suatu kerjasama kelompok dalam lingkungan pemerintahan, (2)
Meliputi tiga cabang pemerintahan: eksekutif, legislatif dan serta
hubungan di antara mereka, (3) Mempunyai peranan penting dalam
perumusan kebijakan pemerintah, dan karenanya merupakan
sebagian dari proses politik, (4) Sangat erat berkaitan dengan
berbagai macam kelompok swasta dan perorangan dalam menyajikan
pelayanan kepada masyarakat. (5) Dalam beberapa hal berbeda pada
penempatan pengertian dengan administrasi perseorangan. Dwight
Waldo (1971), mendefinisikan administrasi publik adalah manajemen
dan organisasi dari manusia-manusia dan peralatannya guna
mencapai tujuan pemerintah. Nicholas Henry (1988), mendefinisi-
kan administrasi publik adalah suatu kombinasi yang kompleks antara
teori dan praktik, dengan tujuan mempromosi pemahaman terhadap
pemerintah dalam hubungannya dengan masyarakat yang diperintah,
dan juga mendorong kebijakan publik agar lebih responsif terhadap
kebutuhan sosial. Administrasi publik berusaha melembagakan
praktik-praktik manajemen agar sesuai dengan nilai efektivitas,
efisiensi dan pemenuhan kebutuhan masyarakat secara lebih baik.
David H. Rosenbloom (2005), menunjukkan bahwa administrasi
publik merupakan pemanfaatan teori-teori dan proses-proses
manajemen, politik dan hukum untuk memenuhi keinginan
pemerintah di bidang legislatif, eksekutif, dalam rangka fungsi-fungsi
pengaturan dan pelayanan terhadap masyarakat secara keseluruhan
atau sebagian.
Dari beberapa definisi administrasi publik di atas, maka penulis
menarik kesimpulan bahwa administrasi publik adalah kerjasama
yang dilakukan oleh sekelompok orang atau lembaga dalam
melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dalam memenuhi
kebutuhan publik secara efisien dan efektif.

PENDAHULUAN 9
Dengan mengemukakan beberapa pendapat para ahli di atas
jelas bahwa betapa sulitnya merumuskan definisi yang singkat
tentang administrasi publik. Memang di negara-negara maju, di mana
administrasi publik telah berkembang dan sangat maju, sehingga
administrasi publik meliputi banyak kegiatan-kegiatan pemerintah
atau negara. Misalnya administrasi kepegawaian negara, administrasi
keuangan negara, administrasi perkantoran pemerintah, administrasi
perbekalan, administrasi perpajakan dan lain-lain.

Definisi Teori
Pada dasarnya pengetahuan diperoleh melalui pendekatan
ilmiah, dalam hal ini melalui penelitian dengan menggunakan metode
ilmiah dan dibangun atas teori tertentu. Sedangkan yang dimaksud
teori menurut para pakar dapat dilihat sebagai berikut.
Kerlinger (1973:14), mendefinisikan Teori adalah serangkaian
konstruk (konsep), batasan dan proposisi, yang menyajikan suatu
pandangan sistematis tentang fenomena dengan fokus hubungan
dengan merinci hubungan-hubungan antar variabel, dengan tujuan
menjelaskan dan memprediksikan gejala itu. Masri Singarimbun &
Sofyan Effendi (1995:37), teori adalah serangkaian asumsi,
proposisi, konstruk, definisi dan proposisi untuk menerangkan suatu
fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan
hubungan antar konsep. Tjokroamidjojo & Mustopadidjaja
(1990:12), teori adalah sebagai ungkapan mengenai hubungan
kausal yang logis di antara berbagai gejala atau di antara perubahan
(variabel) dalam bidang tertentu, sehingga dapat dipergunakan
sebagai kerangka berpikir (frame of thinking) dalam memahami serta
menanggapi permasalahan yang timbul di dalam bidang tersebut.
Prajudi Atmosudirdjo (2003:28), Teori adalah merupakan suatu
pendapat (opinion, view) yang diperoleh melalui pemikiran rasional
menurut suatu prosedur atau proses tertentu yang disebut orang
”prosedur akademik” atau prosedur ”ilmiah” (scientific method) oleh
karena melalui langkah-langkah tertentu yang logis rasional. Babbie
dalam Sudjana (1992:8), Teori adalah penjelasan sistematis tentang
suatu fakta dan atau hukum yang berhubungan dengan aspek
kehidupan. Wahyuni (1994:20), mendefinisikan teori adalah sebagai
suatu himpunan konsep, definisi, dan proposisi yang berhubungan

10 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


secara sistematis, yang dibangun untuk menjelaskan dan
meramalkan suatu fenomena.
Selanjutnya untuk mengenal teori, menurut Moh. Nazir (1985),
ada tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu: (1) Teori adalah
seperangkat proposisi yang terdiri dari konstruk yang sudah
didefinisikan secara luas dan dengan hubungan unsur-unsur dalam
seperangkat proposisi tersebut secara jelas. (2) Teori menjelaskan
hubungan antara variabel atau antar konstruk sehingga pandangan
yang sistematik dari fenomena-fenomena yang diterangkan oleh
variabel dengan jelas kelihatan. (3) Teori menerangkan fenomena
dengan cara menspesifikasikan variabel mana berhubungan dengan
variabel yang lainnya.
Berdasarkan definisi tersebut di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa yang dimaksud teori adalah "pernyataan atau konsep yang
telah diuji kebenarannya melalui riset".

Kandungan Teori
Dari definisi tersebut di atas dapat dikatakan bahwa teori dapat
digunakan untuk menganalisis, menjelaskan dan menerangkan suatu
fenomena tertentu. Analisis dan penjelasan yang dilakukan bukanlah
sekedar penjelasan yang berdasarkan perasaan, prasangka atau akal
sehat, melainkan penjelasan yang rasional atau bersifat ilmiah. Dalam
hal teori administrasi, yang diterangkan, dijelaskan dan dianalisis
adalah fenomena administrasi.
Teori dapat dikatakan baik apabila mampu menjelaskan
fenomena dengan tegas. Penjelasan yang diberikan harus sederhana
atau tidak berbelit-belit. Kemudian teori harus mempunyai daya
ramal yang tajam.
Kandungan teori menurut Singarimbun & Effendi, (1995:37),
adalah: (1) Teori adalah serangkaian proposisi antar konsep-konsep
yang saling berhubungan. (2) Teori menerangkan secara sistematis
suatu fenomena sosial dengan cara menentukan hubungan antar
konsep. (3) Teori menerangkan fenomena tertentu dengan cara
menentukan konsep mana yang berhubungan dengan konsep lainnya
dan bagaimana bentuk hubungannya.

PENDAHULUAN 11
Bentuk Teori
Bentuk teori menurut Prajudi Atmosudirdjo (2003:29),
terbagi tiga yaitu sebagai berikut: (1) Bentuk Definisi yaitu
merupakan suatu rumusan singkat dan lengkap tentang sesuatu yang
bersifat sederhana atau dapat disederhanakan menampilkan
pokoknya atau intinya saja. Pada umumnya yang dapat didefinisikan
adalah benda atau suatu yang konkrit, yang secara langsung dapat
dijangkau oleh pancaindera. Abstrak bukanlah tidak mungkin
didefinisikan, hanya tidak lengkap atau tidak tuntas. (2) Bentuk
Tesis yaitu suatu teori khusus, suatu pendapat tentang suatu
problem atau hal yang khas atau baru yang telah diperoleh mulai
kajian (studi) ilmiah. Tesis tidak berlaku secara umum. (3) Bentuk
Deskriptif yaitu suatu teori yang merupakan pendapat seorang
sarjana setelah mengadakan studi riset ilmiah yang dirumuskan
dengan kata-kata, sedangkan definisi digambarkan atau dilukis.
Deskripsi mengenai suatu benda, keadaan, kondisi atau situasi
disusun dengan mempergunakan terminologi yang berlaku sehingga
dapat dipahami oleh rekan-rekan seilmu. (4) Bentuk Eksplisit yaitu
suatu teori yang menjelaskan hal-ihwal atau duduk perkara suatu
fenomena atau seperangkat fenomena (tatanan, tata kaitan, perilaku)
setelah dikaji atau diteliti secara ilmiah. (5) Bentuk Normasi adalah
suatu teori yang menetapkan syarat-syarat, kriteria atau standar
yang harus dipenuhi oleh sesuatu untuk dapat disebut (diberi nama
atau identitas) sebagaimana yang dikehendaki. (6) Bentuk Prinsip
adalah suatu teori yang menjelaskan, terkadang menentukan, duduk
perkara atau suatu tata hubungan antara orang dan orang, orang
dan benda, orang-benda-orang, orang-benda-hak-orang-kewajiban
dan sebagainya.

Fungsi Teori
Fungsi teori menurut Walter L. Wallace (1994:77), ada 2
yaitu: (1) menjelaskan generalisasi empiris yang telah diketahui,
yakni meringkaskan masa lalu suatu ilmu, dan (2) meramalkan
generalisasi empiris yang masih belum diketahui, yakni mengarahkan
masa depan suatu ilmu.

12 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


Keterangan:
1. Fakta-fakta yang terekam melalui pengamatan melahirkan data.
2. Konsep-konsep yang telah diuji kebenarannya melalui riset melahirkan
teori.
3. Teori-teori yang tersusun secara sistematis melahirkan ilmu.
4. Ilmu dan teori-teori dipayungi atau didindingi oleh paradigma.
5. Paradigma lahir dari adanya krisis (anomali) ilmu pengetahuan.

Fungsi teori menurut Prajudi Atmosudirdjo (2003:28), ada


tiga, yaitu: (1) Teori merupakan rumusan dari pada ilmu penge-
tahuan lengkap (understanding and knowledge) kita tentang sesuatu
(thing). (2) Teori merupakan semacam pedoman atau pegangan
(guidance) di dalam menghadapi praktik dalam lingkungan sehari-
sehari. (3) Teori merupakan bahan pendidikan (learning material)
untuk mentransfer knowledge, mendidik membuat sadar
(awareness), memahami (understand) dan melatih untuk
mendapatkan (skill) kepada orang lain. Tanpa teori kita tidak bisa
mendidik seseorang untuk memahami dan mengerjakan sesuatu
secara logis dan rasional.
Berdasarkan berbagai penjelasan yang telah dikemukakan oleh
para pakar tersebut di atas, perlu menampilkan bagan proses mem-
bangun teori sampai kepada lahirnya ilmu yang dipayungi oleh
paradigma sebagai kerangka pemikiran sebagai berikut.

PENDAHULUAN 13
B. TEORI ADMINISTRASI PUBLIK

Teori Administrasi menjelaskan upaya-upaya untuk mendefinisi-


kan fungsi universal yang dilakukan para pimpinan dan asas-asas
yang menyusun praktik kepemimpinan yang baik. Penyumbang
utama Teori Administrasi ialah seorang industrial Perancis bernama
Henry Fayol.
Karena itu, setiap pemikiran tentang administrasi dan
manajemen selalu diawali dari pemikiran Henry Fayol (1841-1925),
dan Frederick Winslow Taylor (1856-1916). Henry Fayol disebut
sebagai bapak administrasi (father of modern operational
management theory), sedangkan Taylor disebut sebagai bapak
manajemen ilmiah (Father of scientific management).
Fayol menggunakan pendekatan berdasarkan atas administrative
management (manajemen administrasi), sedangkan Taylor karena
pengalamannya mendasarkan analisanya atas operative management
(manajemen operatif). Manajemen administrasi ialah suatu
pendekatan dari pimpinan atas sampai pada tingkat pimpinan yang
terbawah. Sedangkan yang dimaksud operative management ialah
pendekatan dari bawah ke atas. Titik beratnya ialah efisiensi dan
produktivitas para pelaksanaannya yang terdapat pada tingkat
bawah.
Fayol adalah seorang insinyur bangsa Perancis yang bekerja
pada industri pertambangan. Berdasarkan studinya ia menarik
kesimpulan bahwa prinsip-prinsip pokok administrasi dapat
diterapkan pada semua bentuk organisasi. Fayol berpengalaman
sebagai pekerja teknik kemudian menjadi pimpinan umum dari suatu
perusahaan pertambangan pada tahun 1888. Permasalahan yang
dihadapi oleh Fayol ialah bagaimana ia dapat menyelamatkan suatu
perusahaan pertambangan yang menghadapi kebangkrutan.
Untuk menghadapi masalah kebangkrutan tersebut Fayol
mencoba metode-metode pekerjaan dan perencanaan pekerjaan.
Kemudian akhirnya sampai kepada kesimpulan yang bersifat ilmiah
atas dasar penelitian serta pengalamannya sebagai penanggung
jawab dalam perusahaan tersebut. Hasil karya ilmiahnya yang utama
ialah Administration Industrielle et Generalle (General and Industrial
Administration), setelah pensiun dalam usia 72 tahun ia mencurahkan

14 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


diri dari sisa hidupnya dengan mendirikan Pusat Studi Administrasi
dan mencoba untuk menerapkan idenya pada Administrasi Publik di
Perancis.
Fayol memberikan tiga sumbangan besar bagi pemikiran
administrasi dan manajemen yaitu (1) aktivitas organisasi, (2) fungsi
atau tugas pimpinan, (3) prinsip-prinsip administrasi atau manaje-
men.
Fayol juga merumuskan fungsi-fungsi administrasi atau fungsi-
fungsi manajemen yaitu Planning, Organizing, Commanding,
Coordinating, Controlling (POCCC). Sedangkan Taylor, merumuskan
prinsip-prinsip administrasi dan manajemen yaitu planning,
organizing, actuating, controlling (POAC).

Prinsip-prinsip Administrasi
Selanjutnya Fayol dalam Robbins (2001:380), mengemukakan
prinsip-prinsip administrasi sebanyak 14 yaitu sebagai berikut. (1)
Pembagian pekerjaan, prinsip ini sama dengan pembagian tenaga
kerja menurut Adam Smith, spesialisasi meningkatkan hasil yang
membuat tenaga kerja lebih efisien. (2) Wewenang. Manajer harus
memberi perintah, wewenang akan membuat mereka melakukan
dengan baik. (3) Disiplin. Tenaga kerja harus membantu dan
melaksanakan aturan yang ditentukan organisasi. (4) Kesatuan
komando. Setiap tenaga kerja menerima perintah hanya dari yang
berkuasa. (5) Kesatuan arah. Beberapa kelompok aktivitas organisasi
yang mempunyai tujuan yang sama dapat diperintah oleh seorang
manajer menggunakan satu rencana. (6) Mengalahkan kepentingan
individu untuk kepentingan umum. Kepentingan setiap orang, pekerja
atau kelompok pekerja tidak dapat diutamakan dari kepentingan
organisasi secara keseluruhan. (7) Pemberian upah. Pekerja harus
dibayar dengan upah yang jelas untuk pelayanan mereka. (8)
Pemusatan. Berhubungan pada perbandingan yang mana
mengurangi keterlibatan dalam pengambilan keputusan. (9) Rentang
kendali. Garis wewenang dari manajemen puncak pada tingkatan di
bawahnya merepresentasikan rantai skalar. (10) Tata tertib. Orang
dan bahan-bahan dapat ditempatkan dalam hal yang tepat dan dalam
waktu yang tepat. (11) Keadilan. Manajer dapat berbuat baik dan
terbuka pada bawahannya. (12) Stabilitas pada jabatan personal.

PENDAHULUAN 15
perputaran yang tinggi merupakan ketidakefisienan. (13) Inisiatif.
Tenaga kerja yang menyertai untuk memulai dan membawa rencana
yang akan menggunakan upaya pada tingkat tinggi. (14) Rasa
persatuan. Kekuatan promosi tim akan tercipta dari keharmonisan
dan kesatuan dalam organisasi.
Sedangkan Herbert Simon (2004:68), membagi empat prinsip-
prinsip administrasi yang lebih umum: (1) Efisiensi administrasi dapat
ditingkatkan melalui suatu spesialisasi tugas di kalangan kelompok,
(2) Efisiensi administrasi ditingkatkan dengan anggota kelompok di
dalam suatu hirarki yang pasti, (3) Efisiensi administrasi dapat
ditingkatkan dengan membatasi jarak pengawasan pada setiap sektor
di dalam organisasi sehingga jumlahnya menjadi kecil, (4) Efisiensi
administrasi ditingkatkan dengan mengelompokkan pekerjaan, untuk
maksud-maksud pengawasan berdasarkan: tujuan, proses,
langganan, tempat.
Dengan adanya spesialisasi, efisiensi administrasi diperkirakan
akan meningkat sejalan dengan peningkatan spesialisasi. Dengan
kesatuan komando, administrasi diperkirakan dapat ditingkatkan
dengan mengatur anggota organisasi dalam suatu hirarki wewenang
yang pasti untuk mempertahankan kesatuan komando. Dengan jarak
pengawasan, efisiensi administrasi diperkirakan dapat meningkat
dengan membatasi bawahan yang melapor langsung kepada
pengelolaannya masing-masing sehingga jumlahnya kecil, misalnya
enam orang. Dengan pengelompokan pekerjaan, efisiensi adminis-
trasi diperkirakan meningkat, dengan mengelompokkan para
karyawan menurut (a) tujuan, (b) proses, (c) langganan, dan (d)
tempat.
Fokus utama teori Administrasi menurut Fayol dalam Adam
Kuper & Jessica Kuper (2000:605), adalah penentuan tipe
spesialisasi dan hirarki yang paling mengoptimalkan efisiensi
organisasi. Teori administrasi dibangun atas empat pilar utama: yaitu
pembagian tenaga kerja, proses skala dan fungsional, struktur
organisasional dan rentang kendali (span of control).
Teori administrasi menurut William L. Morrow, dalam Ali
Mufiz, (2004), sebagai berikut: (1) Teori Deskriptif, adalah teori
yang menggambarkan apa yang nyata terjadi dalam sesuatu
organisasi dan memberikan postulat mengenai faktor-faktor yang

16 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


mendorong orang berperilaku. Dalam hubungan ini, K. Bailey
menyarankan untuk menerapkan pandangan-pandangan ilmu-ilmu
sosial, seperti sosiologi, psikologi, sejarah dan ekonomi dalam
membantu menerangkan mengapa administrator melakukan suatu
tindakan. (2) Teori Perspektif, adalah teori yang menggambarkan
perubahan-perubahan di dalam arah kebijakan publik, dengan
mengeksploitasi keahlian birokrasi. Penekanan teori ini adalah untuk
melakukan pembaharuan, melakukan koreksi dan memperbaiki
proses pemerintahan. (3) Teori Normatif, pada dasarnya teori
mempersoalkan peranan birokrasi. Apakah peranan birokrasi
dipandang di dalam pengembangan kebijakan dan pembangunan
politik, ataukah peranan birokrasi seharusnya dimantapkan, diperluas
atau dibatasi. Teori normatif selanjutnya juga akan mencoba untuk
menjawab pertanyaan elementer berikut: Apakah administrator
publik seharusnya membela dan melindungi kepentingan sendiri,
apakah administrator publik seharusnya membuat rencana yang
komprehensif untuk menghemat penggunaan sumber-sumber yang
ada, dan dapatkah seorang birokrat melakukan lobby (pendekatan)
dalam kerangka merancangkan kebijakan yang dimaksud untuk
memecahkan masalah energi. (4) Teori Asumtif, adalah teori yang
memusatkan perhatiannya pada usaha-usaha untuk memperbaiki
praktik administrasi. Untuk mencapai tujuan ini, teori asumsi
berusaha memahami hakikat manusiawi yang terjadi di lingkungan
birokratis. Di dalam kenyataannya, setiap administrator publik
memiliki asumsi operasional mengenai hakikat manusiawi dan
kesetiaan institusionalnya. Selanjutnya, oleh karena sedikitnya
perhatian para ahli teori administrasi negara untuk memberikan
kejelasan dan artikulasi (penjabaran) mengenai proposisi asumtifnya
sendiri, maka pada gilirannya perbaikan praktik administrasi akan
tergantung pada kemampuan ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu perilaku.
(5) Teori Instrumental, adalah teori yang bermaksud untuk
melakukan konseptualisasi mengenai cara-cara untuk memperbaiki
teknik manajemen, sehingga dapat dibuat sasaran kebijakan secara
lebih realistis. Teori ini amat menekankan alat, teknik, dan peluang
untuk melaksanakan nilai-nilai yang telah ditentukan. Hal yang ingin
ditonjolkan dalam teori ini adalah bahwa apabila tidak ada kebijakan
instrumental, dan sistem tidak memungkinkan pembuatan kebijakan,

PENDAHULUAN 17
maka ke empat aspek teori: deskriptif, perspektif, normatif dan
asumtif menjadi mandul (tidak berfungsi). Soal ”bagaimana” dan
”kapan” dalam teori administrasi, adalah sama pentingnya dengan
soal ”mengapa”.
Teori administrasi menurut Stephen P. Robbins dalam Ali
Mufiz (2004), sebagai berikut: (1) Teori Hubungan Manusia.
Teori ini semula dirintis oleh Elton Mayo. Pengembangan teori Mayo
didasarkan pada penemuannya selama memimpin proyek Hawtorne
yang berada di lingkungan Western Electric Company pada tahun
1927-1932. Dalam pengembangan teorinya, Mayo bermaksud untuk
menguji hubungan antara produktivitas dengan lingkungan fisik.
Namun yang dihasilkan ternyata bertentangan dengan apa yang
Mayo ramalkan. Mayo selanjutnya menangkap bahwa norma-norma
sosial, justru merupakan faktor kunci dalam perilaku kerja individual.
Karenanya, rangsangan kenaikan upah tidak memacu pekerja untuk
bekerja lebih produktif. (2) Teori Pengambilan Keputusan. Para
pemikir yang menonjol dalam bidang ini adalah Simon, March, Russell
Eckoff, Jay Forrester, Martin Starr dan Kenneth Boulding. Dalam
proses pengambilan keputusan para pemikir menyarankan
dipergunakannya statistik, model optimasi, model informasi dan
simulasi. Di samping itu, dapat juga dimanfaatkan pengetahuan-
pengetahuan yang berasal dari linear programming, critical path
scheduling, inventory models, site location models, serta berbagai
bentuk resource allocation models. Arti pentingnya pengambilan
keputusan terlihat apabila kita berasumsi bahwa yang jadi inti
administrasi adalah pengambilan keputusan. Konsekuensi dari asumsi
ini akan berupa pandangan bahwa pengambilan keputusan merupa-
kan titik sentral teori administrasi. (3) Teori Perilaku. Teori perilaku
sebenarnya bermaksud untuk mengintegrasikan semua pengetahuan
mengenai anggota organisasi, struktur dan prosesnya. Sekalipun
berorientasi pada efisiensi dan sasaran, tetapi teori ini memahami
pentingnya faktor perilaku manusia sebagai alat utama untuk
mencapai tujuan. Kontribusi penting yang diberikan oleh teori
perilaku ini adalah pemahaman lebih baik mengenai proses-proses
administrasi. Selanjutnya sumbangan oleh para ahli perilaku antara
lain meliputi pengenalan perubahan organisasi, motivasi dan
kepemimpinan, manajemen konflik dan pengorganisasian sasaran

18 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


individu dengan sasaran organisasi. (4) Teori Sistem. Dalam teori
ini, organisasi dipandang sebagai suatu sistem yang menampilkan
karakteristiknya sebagai penerima masukan (input absorbers),
pengolah (processors), dan penghasil (output generator). Disamping
itu, organisasi sebagai suatu sistem juga memperlihatkan adanya
berbagai macam subsistem (komponen-komponen). Selanjutnya
kerangka pemikiran sistem akan menunjukkan dua hal, yaitu: (a)
Bahwa perubahan dari atau dalam salah satu subsistem akan
mengakibatkan perubahan pada subsistem-subsistem lainnya. (b)
Suatu sistem akan selalu berhubungan dengan sistem yang lebih
besar. (5) Teori Kontigensi. Pada awalnya teori ini dipergunakan
pada pengembangan struktur organisasi yang dirancang agar secara
optimal dapat mengadaptasi teknologi dan lingkungan. Tokoh-tokoh
dalam gerakan kontigensi antara lain adalah Tom Burns dan G.M.
Stalker dengan karyanya The Management of Innovation. Teori
kontigensi diangkat untuk mencari beberapa karakteristik umum yang
melekat pada situasi-situasi tertentu yang memungkinkan melakukan
kualifikasi pada situasi khusus. Dalam beberapa hal, pendekatan
kontigensi dipersamakan dengan pendekatan situasional, baik
pendekatan sistem maupun pendekatan kontigensi.
Teori administrasi menurut K. Bailey, dalam Nicholas Henry,
(1988:31-34), yaitu diangkat dari upaya-upaya yang telah dilakukan
untuk memperbaiki proses pemerintahan. Selanjutnya Bailey
mengemukakan empat kategori teori administrasi publik, dan setiap
kategori teori mempunyai pusat perhatian yang berbeda satu sama
lain. (1) Teori Deskriptif atau deskripsi struktur bertingkat dan
berbagai hubungan dengan lingkungan kerjanya. (2) Teori Normatif
atau nilai-nilai yang menjadi tujuan bidang ini, alternatif keputusan
yang seharusnya diambil oleh penyelenggara administrasi publik
(praktisi) dan apa yang seharusnya dikaji dan dianjurkan kepada
pelaksana kebijakan. (3) Teori Asumtif, pemahaman yang benar
terhadap realitas seorang administrator, suatu teori yang tidak
mengambil asumsi model setan maupun model malaikat birokrasi. (4)
Teori Instrumen, atau peningkatan teknik-teknik manajerial dalam
rangka efisiensi dan efektivitas pencapaian tujuan publik.
Keempat teori Bailey tersebut secara bersama-sama membentuk
tiga pilar administrasi publik: (1) Perilaku organisasi dan perilaku

PENDAHULUAN 19
orang dalam organisasi ke masyarakat, (2) Teknologi manajemen,
kepentingan umum dalam hubungannya dengan pilihan etika seorang
individu dan berbagai masalah kemasyarakatan.
Selanjutnya Herbert A. Simon (2004:26), mengatakan bahwa
Teori Administrasi pada hakekatnya menyangkut batas-batas aspek
perilaku manusia yang rasional dan yang tidak rasional. Teori
administrasi menurut Simon adalah secara khas juga merupakan teori
rasionalitas yang diharapkan dan terbatas teori mengenai perilaku
manusia yang mementingkan kepuasan karena ia tak memiliki
kecerdasan untuk berusaha mencapai titik maksimum.
Jadi dapat dikatakan bahwa Teori Administrasi Publik adalah
serangkaian konsep yang berhubungan dengan kepublikan yang telah
diuji kebenarannya melalui riset, dalam hal pencapaian tujuan secara
efisien dan efektif.

C. PERAN ADMINISTRASI PUBLIK

Peran administrasi publik dalam suatu negara sangat vital. Hal


ini dapat dilihat dari pendapat Karl Polangi dalam Keban (2004:15)
mengatakan bahwa kondisi ekonomi suatu negara sangat tergantung
kepada dinamika administrasi publik. Selanjutnya Frederik A.
Cleveland dalam Keban menjelaskan bahwa peran administrasi publik
sangat vital dalam membantu memberdayakan masyarakat dan
menciptakan demokrasi. Menurut beliau, administrasi publik diadakan
untuk memberikan pelayanan publik dan manfaatnya dapat dirasakan
masyarakat setelah pemerintah meningkatkan profesionalismenya,
menerapkan teknik efisiensi dan efektivitas, dan lebih menguntung-
kan bagi pemerintah manakala dapat mencerahkan masyarakat untuk
menerima dan menjalankan sebagian dari tanggung jawab
administrasi publik tersebut, sehingga apa yang disebut "organized
democracy". Pendapat Cleveland yang diungkapkan beberapa puluh
tahun lalu silam nampaknya sejalan dengan pendapat Janet V.
Denhardt dan Robert B. Denhardt (2003:xi), yang melihat bahwa
administrasi publik, melalui pelayanan-pelayanan publiknya dapat
menciptakan demokrasi.
Gray (1989:15-16), menjelaskan peran administrasi publik
dalam masyarakat sebagai berikut: (1) Administrasi publik berperan

20 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


menjamin pemerataan distribusi pendapatan nasional kepada
kelompok masyarakat miskin secara berkeadilan, (2) Administrasi
publik melindungi hak-hak masyarakat atas pemilikan kekayaan, serta
menjamin kebebasan bagi masyarakat untuk melaksanakan tanggung
jawab atas diri mereka sendiri dalam bidang kesehatan, pendidikan
dan pelayanan bagi kelompok masyarakat lanjut usia, (3)
Administrasi publik berperan melestarikan nilai-nilai tradisi masya-
rakat yang sangat bervariasi itu dari generasi ke generasi berikutnya,
serta memberikan jaminan dan dukungan sumber-sumber sehingga
nilai-nilai tersebut mampu tumbuh dan berkembang sesuai tuntutan
perubahan zaman, serta dapat terus hidup bersama secara damai,
serasi dan selaras dengan budaya lain di lingkungannya.
Keban (2004:15), menjelaskan bahwa peran administrasi publik
dapat diamati secara jelas dari dinamika pengaturan dan perubahan
jenis departemen, penempatan menteri dan semua jajaran dalam
jabatannya, pengaturan persyaratan jabatan, mekanisme
pengangkatan/ pemilihan dan pemberhentian para gubernur, bupati
dan walikota, serta semua sekretaris daerah, kepala dinas, kepala
badan dan kepala kantor pada tingkat lokal. Peran tersebut dapat
dirasakan ketika kualitas para birokrat kunci atau eksekutif seperti,
menteri dan semua pejabat eselon yang ada dipusat atau di daerah
tidak memadai, penggantian struktur dan fungsi birokrasi mulai dari
pusat sampai di daerah secara tidak responsif. Pengaruh negatif yang
paling dirasakan terjadi ketika berbagai kesalahan dalam pengaturan
struktur organisasi publik, proses manajemen dan kebijakan publik
yang kurang rasional, serta rendahnya etika dan moral birokrat. Pada
umumnya di negara berkembang peran negatif administrasi publik
masih nampak dan menjadi salah satu sumber keterbelakangan.
Orientasi administrasi publik menurut Thoha (2005:53),
sekarang ini diarahkan kepada kepentingan dan kekuasaan pada
rakyat. Alasan seperti itu teori administrasi publik lebih menekankan
pada program aksi yang berorientasi pada kepentingan publik.
Sehingga eksistensi administrasi publik tidak hanya sekedar lukisan
saja melainkan adanya manfaat bagi kepentingan publik. Jadi
administrasi publik lebih menekankan pada peranan publik untuk
mencapai tujuan.

PENDAHULUAN 21
Peranan administrasi publik pada dasarnya untuk mencapai
tujuan secara efisien dan efektif. Oleh karena itu, setiap kegiatan
dalam administrasi publik diupayakan tercapainya tujuan sesuai
dengan yang direncanakan dan mengandung rasio terbaik antara
input dan output.

D. RUANG LINGKUP ADMINISTRASI PUBLIK

Untuk menjelaskan secara garis besar ruang lingkup teoritis


administrasi publik, maka dapat dilihat dari isu-isu yang dibahas oleh
buku teks administrasi publik yang populer dapat dijadikan rujukan.
Asumsinya, isu yang dibahas dalam buku teks tersebut tentunya
masih bersifat kontemporer untuk diperhatikan, baik oleh para
teoritisi maupun para praktisi administrasi publik.
Nicholas Henry (1995), memberikan rujukan tentang ruang
lingkup administrasi publik yang dapat dilihat dari topik-topik yang
dibahas selain perkembangan ilmu administrasi publik itu sendiri,
antara lain: (1) Organisasi publik, pada prinsipnya berkenaan dengan
model-model organisasi dan perilaku birokrasi, (2) Manajemen publik,
yaitu berkenaan dengan sistem dan ilmu manajemen, evaluasi
program dan produktivitas, anggaran publik dan manajemen sumber
daya manusia, dan (3) Implementasi yaitu menyangkut pendekatan
terhadap kebijakan publik dan implementasinya, privatisasi,
administrasi antar pemerintahan dan etika birokrasi.
Dimock & Dimock (1992:26), membagi empat komponen
administrasi publik, yaitu: (1) Apa yang dilakukan pemerintah:
pengaruh kebijakan dan tindakan-tindakan politis, dasar-dasar,
wewenang, lingkungan kerja pemerintah, penentuan tujuan-tujuan,
kebijakan-kebijakan administratif yang bersifat ke dalam, dan
rencana-rencana, (2) Bagaimana pemerintah mengatur organisasi,
personalia, dan pembiayaan usaha-usahanya: struktur administrasi
dari segi formalnya. (3) Bagaimana para administrator mewujudkan
kerja sama (teamwork). Aliran dan proses administrasi dalam
pelaksanaan, dengan titik berat pada pimpinan, tuntutan, koordinasi,
pelimpahan wewenang, hubungan pusat dengan bagian-bagian,
pengawasan, moril, hubungan masyarakat dan sebagainya. (4)
Bagaimana pemerintah tetap bertanggung jawab: baik mengenai

22 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


pengawasan dalam badan-badan eksekutif sendiri, dan yang lebih
penting lagi mengenai pengawasan oleh badan-badan perwakilan
rakyat, badan-badan yudikatif, dan berbagai badan lainnya.
Dimock & Dimock (1993-19), juga mengatakan bahwa
administrasi publik merupakan suatu bagian dari administrasi umum
yang mempunyai lapangan yang lebih luas, yaitu suatu ilmu
pengetahuan yang mempelajari bagaimana lembaga-lembaga, mulai
dari suatu keluarga hingga Perserikatan Bangsa-Bangsa, disusun
digerakkan dan kemudian dikendalikan. Nigro dalam
Tjokroamidjojo (1978), seorang tokoh administrasi publik dari
Amerika Serikat, berpendapat bahwa yang termasuk ke dalam
lingkup administrasi negara adalah masalah “perumusan dan
penentuan kebijakan”. Tetapi kemudian dinyatakan bahwa
administrasi publik bukan saja mempunyai fungsi tradisional berupa
“pelaksanaan kebijakan” tetapi juga “perumusan dan penentuan serta
penilaian hasil-hasil pelaksanaan berbagai kebijakan negara”. Lebih
lanjut Nigro (1977), mengemukakan bahwa “para pejabat
administrasi tidak hanya harus membuat keputusan yang lebih
banyak, tetapi juga memecahkan masalah yang harus mereka atasi
atau diharapkan dapat diatasinya dalam mempraktikkan kebijakan
mereka juga banyak mengalami kesulitan bahkan kadang-kadang
begitu sulit.
Sementara itu, Inu Kencana Syafiie dkk (1999:29), dalam
Ilmu Administrasi Publik menguraikan ruang lingkup administrasi
publik sebagai berikut:
1. Dalam bidang hubungan, peristiwa dan gejala pemerintahan,
meliputi: (a) Administrasi pemerintahan pusat, (b) Administrasi
pemerintahan daerah, (c) Administrasi pemerintahan kecamatan,
(d) Administrasi Pemerintahan kelurahan, (e) Administrasi
pemerintahan desa (f) Administrasi pemerintahan kotamadya, (g)
Administrasi pemerintahan Kota Administratif, (h) Administrasi
departemen, (i) Administrasi non-Departemen.
2. Dalam bidang kekuasaan, meliputi: (a) Administrasi politik luar
negeri, (b) Administrasi politik dalam negeri, (c) Administrasi
partai politik, (d) Administrasi Kebijakan Pemerintah.

PENDAHULUAN 23
3. Dalam bidang peraturan perundang-undangan, meliputi: (a)
Landasan Idiil, (b) Landasan konstitusional, dan (c) Landasan
operasional.
4. Dalam bidang kenegaraan, meliputi: (a) Tugas dan kewajiban
negara, (b) Hak dan kewenangan negara, (c) Tipe dan bentuk
negara, (d) Fungsi dan prinsip negara, (e) Unsur-unsur negara,
(f) Tujuan negara, dan (g) Tujuan nasional.
5. Dalam pemikiran hakiki, meliputi: (a) Etika administrasi publik, (b)
Estetika administrasi publik, (c) Logika administrasi publik, (d)
Hakekat Administrasi Publik.
6. Dalam bidang ketatalaksanaan, meliputi: (a) Administrasi
pembangunan, (b) Administrasi perkantoran, (c) Administrasi
kepegawaian, (d) Administrasi kemiliteran, (e) Administrasi
kepolisian, (f) Administrasi perpajakan, (g) Administrasi
pengadilan, (h) Administrasi perusahaan, mencakup antara lain:
(i) Administrasi penjualan, (ii) Administrasi periklanan, (iii)
Administrasi pemasaran, (iv) Administrasi perbankan, (v)
Administrasi perhotelan, (vi) Administrasi pengangkutan.
Selanjutnya ruang lingkup administrasi publik menurut Keban
(2004:10), yaitu meliputi: (1) Kebijakan, (2) Organisasi, (3)
Manajemen, (4) Moral dan etika, (5) Lingkungan, dan (6)
Akuntabilitas.
Dari penjelasan ruang lingkup administrasi publik tersebut di
atas, dapat dipahami bahwa aspek yang paling penting dalam
menentukan ruang lingkup administrasi publik, yaitu kepentingan
publik. Adapun ruang lingkup administrasi publik dalam pembahasan
buku ini yaitu: (1) kebijakan publik, (2) Birokrasi publik, (3)
Manajemen publik, (4) Kepemimpinan (5) Pelayanan publik, (6)
Administrasi kepegawaian negara, (7) Manajemen Kinerja, (8) Etika
administrasi publik, dan (9) Good Governance.

24 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


2
SEJARAH PERKEMBANGAN
ADMINISTRASI PUBLIK

A. SEJARAH PERKEMBANGAN ADMINISTRASI PUBLIK

Sejarah perkembangan administrasi publik pada dasarnya dapat


ditelusuri melalui berbagai literatur yang membahas tentang
Administrasi publik. Literatur yang membahas sejarah administrasi
publik yaitu karya pertama Woodrow Wilson (1886) yang berjudul
“the study of administration” merupakan tonggak perkembangan
awal pemikiran administrasi publik. Kemudian dilanjutkan oleh E. N.
Gladen berjudul "A History of public administration" yang terbit tahun
1972 dalam Keban (2004:25). Literatur tersebut membahas tentang
praktik administrasi dan peranan pegawai tata usaha, manajer
tingkat menengah pada jaman kuno khususnya di Mesir dan dunia
Timur. Pada waktu itu birokrasi sudah melakukan skandal korupsi dan
birokrasi yang berbelit-belit.
Literatur yang lain ditulis oleh L. D. White dalam Keban
(2004:25), pada tahun (1948), (1951), (1954), dan (1958). Dalam
terbitan pertama ini menjelaskan pengalaman administrasi Amerika
Serikat selama 1789-1801, terbitan kedua tentang pengalaman
Amerika Serikat selama 1801-1829, terbitan yang membahas tentang
pengalaman negara yang sama selama 1829-1861, dan terakhir
pengalaman negara tersebut selama periode 1861-1901. Dalam
tulisan White menjelaskan tentang penciptaan dan kedewasaan
otoritas eksekutif dan departemen lewat pemerintahan Hamilton yang
dikenal sebagai arsitek pemerintahan baru waktu itu tanpa bantuan

SEJARAH PERKEMBANGAN ADMINISTRASI PUBLIK 25


menggunakan pengalaman sektor swasta sebagaimana disarankan
setelah tahun 1901. Dalam terbitan kedua White menjelaskan
tentang Era Administrasi, Jeffersonian yang merupakan titik awal
yang melahirkan ide dan praktik aliran Federalisme White kemudian
menjelaskan dalam terbitan ketiga tentang "Jacksonian" menekankan
pentingnya pemerintahan negara bagian dan lokal, dan mulai
merosotnya moralitas di dalam pemberian pelayanan publik, dan
diversifikasi struktur birokrasi untuk disesuaikan dengan meningkat-
nya besaran pemerintahan. Dalam terbitan keempat White
memusatkan perhatiannya pada dua isu administratif yang paling
besar saat itu yaitu isu tentang bagaimana mempertahankan
kepresidenan dan isu tentang reformasi pelayanan publik.
Meskipun tentang sejarah administrasi publik sangat terbatas,
namun hal ini bukan berarti bahwa administrasi publik pada jaman
dulu kurang berperan atau tidak diterapkan. Akal sehat kita
menunjukkan kepada kita, bahwa fungsi administrasi publik sudah
ada sejak dulu kala dan hal ini dapat dilihat dari bagaimana raja-raja
mempertahankan kekuasaannya dan meningkatkan kesejahteraan
rakyatnya. Dapatkah raja-raja jaman dulu termasuk raja-raja di
Indonesia mengelola pemerintahannya atau memimpin prajuritnya
tanpa suatu sistem administrasi tertentu? Banyaknya dan bagaimana
kompleksnya fungsi-fungsi manajemen dan administrasi yang harus
diterapkan oleh pendiri Candi Borobudur di Jawa Tengah. Tentu saja
pekerjaan yang kompleks sifatnya apalagi melibatkan publik dalam
suatu pembagian kerja secara horizontal dan vertikal dengan metode
dan teknik tertentu, pasti menggunakan sistem administrasi atau
manajemen yang kompleks. Oleh karena itu, cukup beralasan kalau
disiplin administrasi publik seringkali disebut sebagai disiplin yang
amat sangat tua. Untuk Indonesia, mulai peninggalan sejarah dan
budaya harus diakui pernah maju dalam bidang tersebut.
Secara jelas disiplin ini mulai diajarkan sekitar tahun 1950-an
pada berbagai perguruan tinggi di Indonesia ketika modernisasi
sebagai bagian dari doktrin pembangunan bagi negara-negara
berkembang disebarluaskan administrasi publik yang telah
berkembang pesat di Amerika serikat kemudian diinstitusionalkan di
Indonesia dalam bentuk bantuan teknis sebagai wujud dari komitmen

26 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


negara maju terhadap negara-negara sedang berkembang termasuk
Indonesia.
Kemudian Siagian (2004:18), menjelaskan perkembangan
Administrasi ditinjau dari segi penahapan sejak lahirnya hingga
sekarang telah melewati empat tahap yaitu sebagai berikut.
Tahap Survival (1886-1930). Pada tahap survival dapat
dikatakan sebagai masa lahirnya ilmu administrasi karena pada masa
itulah gerakan manajemen ilmiah dimulai Fredericks Wilson Taylor
dalam jangka waktu yang cukup panjang inilah para ahli yang
menspesialisasikan dirinya dalam bidang administrasi dan manaje-
men. Memperjuangkan diakuinya administrasi dan manajemen
sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan.
Tahap Konsolidasi dan Penyempurnaan (1930-1945).
Tahap ini disebut konsolidasi dan penyempurnaan karena dalam
jangka waktu inilah prinsip-prinsip, rumus-rumus, dalil-dalil ilmu
administrasi dan manajemen lebih disempurnakan sehingga
kebenarannya tidak dapat dibantah lagi. Dalam jangka waktu ini
pulalah gelar-gelar kesarjanaan dalam ilmu administrasi negara dan
niaga mulai banyak diberikan oleh berbagai perguruan tinggi di
Indonesia.
Tahap Human Ralations (1945-1959). Tahap ini disebut
tahap human relation karena setelah terciptanya prinsip-prinsip,
rumus-rumus, dan dalil-dalil yang sudah teruji kebenarannya,
perhatian para informal apa yang perlu diciptakan, dibina dan
dikembangkan oleh dan antar manusia pada semua tingkatan
organisasi demi terlaksananya kegiatan yang harus dilaksanakan
dalam suasana yang intim dan harmonis.
Tahap Behaviouralisme (1959-hingga sekarang).
Pengertian terhadap semakin pentingnya peranan manusia dalam
usaha mencapai tujuan yang telah ditentukan, mengakibatkan para
ahli dan sarjana dan memusatkan penyelidikannya pada masalah
manusia. Akan tetapi, hakekatnya pada tahap terakhir ini sorotan
perhatian bukan lagi manusianya sendiri sebagai mahkluk hidup yang
mempunyai martabat, kepribadian, tujuan, cita-cita, serta keinginan
yang khas, tetapi sudah meningkat pada penyelidikan tentang
perilaku manusia dalam kehidupan berorganisasi dan apa alasan-
alasan mengapa manusia itu berperilaku demikian. Jika tindak-tanduk

SEJARAH PERKEMBANGAN ADMINISTRASI PUBLIK 27


itu merugikan organisasi diselidiki pula bagaimana caranya agar
tindakan yang merugikan itu dapat diubah menjadi tindakan yang
menguntungkan organisasi. Jika sebaliknya tindak-tanduk itu
menguntungkan organisasi diselidiki pula cara-cara yang dapat
ditempuh untuk lebih meningkatkan kegiatan yang demikian demi
tercapainya tujuan organisasi yang lebih efisien, ekonomis dan
efektif. Dugaan Siagian, adalah setelah tahap behaviouralisme ini
berakhir ilmu administrasi dan manajemen akan memasuki tahap
matematika. Dugaan ini didasarkan kepada observasi yang diteliti
serta gejala yang telah terlihat sebagai akibat dari ditemukannya alat-
alat modern (sebagai hasil perkembangan teknologi yang amat
pesat) yang sekarangpun sudah banyak dipergunakan oleh organisasi
modern dalam berbagai aspek kegiatannya seperti komputer dalam
pengolahan data (Automatic data Processing atau elektronik data
processing) Sondang berpendapat bahwa di masa-masa yang akan
datang akan semakin banyak tugas organisasi yang akan diambil alih
oleh mesin-mesin terutama kegiatan-kegiatan yang bersifat rutin dan
mekanistik. Meskipun demikian perlu ditekankan bahwa peranan
manusia dalam proses administrasi dan manajemen menurut
pendapat Sondang, tidak akan berkurang. Hanya sifat yang mungkin
akan berubah. Fungsi-fungsi seperti pengambilan keputusan dan
banyak kegiatan lainnya masih dan selamanya hanya akan dapat
dijalankan oleh manusia. Perkembangan administrasi publik di
Indonesia dapat dilihat dari tulisan Haryono Sudriamunawar
(2002:5-8). Beliau mengklasifikasikan perkembangan administrasi
publik ke dalam tiga masa yaitu:

1. Masa Penjajahan Belanda


Selama tiga setengah abad Indonesia di jajah Belanda, selama
itu pula administrasi hanya dikenal sebagai ilmu pengetahuan. Pada
masa ini administrasi diartikan secara sempit yaitu sebagai pekerjaan
yang berhubungan dengan ketatausahaan dalam bahasa Belanda
dikenal istilah “Administrasi”. Oleh karena itu, administrasi secara
nyata berupa pengarsipan, ekspedisi, pengetikan, surat menyurat,
registrasi dan herregistrasi yang kesemuanya bersifat tulis menulis
yang dalam bahasa Inggeris dikenal dengan istilah “Clerical Work”.
Masa penjajahan Belanda yang tidak setenang abad sekarang,

28 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


nampaknya cukup mempengaruhi bahasa Indonesia mengenai
pengetahuan administrasi secara sempit. Sampai sekarang banyak
bangsa Indonesia yang belum memahami apa hakekat administrasi
secara luas. Hal ini nampak jelas dalam kegiatan sehari-hari terutama
yang berhubungan dengan birokrat, umpamanya untuk mengambil
KTP dimohon membayar uang administrasi terlebih dahulu. Pada
masa ini administrasi negara sebagai suatu disiplin ilmu belum begitu
dikenal. Di Perguruan Tinggi mata kuliah administrasi negara masih
digabung dengan ilmu administrasi pemerintahan dan sebagainya.

2. Masa Penjajahan Jepang


Dalam masa penjajahan Jepang yang berlangsung cukup
singkat tidak begitu nampak mempengaruhi budaya bangsa atau
pemerintahan. Begitu juga ilmu administrasi penerapan secara
optimal belum terpikirkan. Meskipun demikian ada beberapa hal yang
perlu dicatat pada masa itu berupa dibentuknya rukun-rukun
kampung. Rukun kampung “Asatjo” dibagi menjadi beberapa rukun
tetangga “Kumitjo”. Hal seperti ini membekas sampai sekarang
menjadi istilah RW dan RT dalam sistem administrasi Negara
Indonesia.
Selain hal tersebut di atas pada masa penjajahan Jepang dalam
sistem pemerintahan di mulai dengan memperkenalkan organisasi
pertahanan Sipil atau dalam bahasa Jepang disebut “Sie Nen Dan”.
Begitu juga kursus-kursus ketataprajaan mulai dirintis meskipun
dengan persyaratan peserta kursus sangat ketat dan sepenuhnya
untuk kepentingan penjajahan semata-mata.

3. Masa Kemerdekaan
Pada masa kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945
ditandai dengan dibukanya beberapa Perguruan Tinggi di Jakarta dan
Yogyakarta. Pada masa itu ilmu administrasi ataupun administrasi
negara belum mendapat tempat yang baik sebagai disiplin ilmu.
Dengan demikian ilmu administrasi dan administrasi negara masih
merupakan bagian dari mata kuliah yang dianggap pokok pada waktu
itu antara lain ilmu pemerintahan dan ilmu hukum.
Pada awalnya Fakultas Sosial Politik merupakan ilmu adminis-
trasi negara merupakan bagian dari ilmu politik. Pada awal tahun lima

SEJARAH PERKEMBANGAN ADMINISTRASI PUBLIK 29


puluhan di Indonesia pandangan ilmu administrasi termasuk bagian
dari ilmu politik mulai ditinggalkan dan pandangan mulai tertuju
kepada ilmu administrasi negara sebagai suatu disiplin ilmu yang
berdiri sendiri. Dengan demikian usaha yang dilakukan oleh
perguruan Tinggi ini mulai meluas yaitu dimulai dengan berdirinya
Sekolah Tinggi Pamong Praja di Malang yang semula bernama Kursus
Dinas (KDC) yang kemudian berkembang menjadi Institut Ilmu
Pemerintahan (IIP).
Begitu juga di Ujung Pandang sekarang Makassar tercatat
sebagai historis tempat lahirnya administrasi negara di Indonesia
yang dipelopori oleh Mr. Tjia Kok Tjiang dengan mendirikan
Perguruan Tinggi Tata Praja.
Universitas Gajah Mada yang disingkat UGM dengan Fakultas
Sosial dan Politik khsususnya jurusan Usaha Negara secara nyata
merupakan Perguruan Tinggi yang mulai membina dan mengem-
bangkan pemikiran baru ilmu administrasi negara merupakan disiplin
ilmu yang berdiri sendiri dengan dosen yang dikenal pada waktu itu
bernama Garth Jones. Dengan dasar itulah Bintoro Tjokroamidjojo,
Menyebutkan bahwa “Peletakan batu pertama Ilmu Administrasi
negara di Indonesia dilakukan antara tahun 1951 sampai dengan
1955.
Pada tahun 1951-1955 Inilah pengertian administrasi maupun
administrasi publik berkembang dalam arti yang modern dengan
tokohnya antara lain: Woodrow Wilson, Dimock & Dimock, Jhon M.
Pfiffner, Herbert Simon dan Bintoro Tjokroamidjoyo.
Perkembangan lebih lanjut bagi Administrasi negara di
Indonesia adalah didirikannya Lembaga Administrasi Negara Republik
Indonesia (LAN-RI) pada tanggal 5 Mei 1957 dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 30 Tahun 1957. Kemudian disempurnakan dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1971. Seperti halnya di
Amerika dan Perancis tempat lahirnya ilmu administrasi dan
administrasi negara para pelopornya adalah orang teknik seperti
Taylor dan Fayol. Orang teknik di Indonesia yang dijadikan pelopor
Administrasi Negara adalah Ir. Djuanda yang pada waktu itu sebagai
Perdana Menteri, beliaulah yang merintis berdirinya Lembaga
Administrasi Negara di Indonesia dengan dukungan Mr. Sumarman

30 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


yang pada waktu itu Menteri dalam Negeri dan mengangkat Direktur
LAN-RI yang pertama (1958) yaitu Prajudi Atmosudirdjo.

B. PARADIGMA ADMINISTRASI PUBLIK

Pada dasarnya perkembangan suatu ilmu dapat ditelusuri


melalui perubahan paradigmanya. Oleh karena perubahan paradigma
mempengaruhi perkembangan ilmu yang berlaku pada saat itu.
Namun sebelum membahas paradigma administrasi publik, maka
terlebih dahulu menjelaskan pengertian paradigma menurut Thomas
Kuhn (1993), yaitu beliau memberikan rujukan kepada kita melalui
karyanya yang berjudul Peran Paradigma dalam Revolusi Sains. (The
Strukture of Scientific Revolutions) bahwa "paradigma merupakan
suatu cara pandang, nilai-nilai, metode-metode, prinsip dasar atau
cara memecahkan suatu masalah, yang dianut suatu masyarakat
ilmiah pada suatu masa tertentu”.
Mohanan dalam Muslim Salam (2003:69-70), menjelaskan
tujuh pengertian paradigma: (1) Paradigma sebagai value system
(sistem nilai), konstruksi dan evaluasi ilmu pengetahuan mensyarat-
kan komitmen terhadap suatu sistem nilai yang memungkinkan kita
mengevaluasi reliabilitas dari klaim ilmu suatu ilmu pengetahuan. (2)
Paradigma sebagai research interests (minat penelitian), objek
penelitian, sudut pandang terhadap objek yang dikaji, fenomena
yang dianggap penting atau menarik dan lain-lain. (3) Paradigma
sebagai theories (teori), seperangkat aturan hukum dan proposisi
yang menghubungkan hukum tersebut dengan observasi, untuk
menjelaskan apa yang sedang dikaji. (4) Paradigma sebagai suatu
models (model) konsepsi umum dari suatu realitas berdasarkan
aturan-aturan teoritis yang diformulasi. (5) Paradigma sebagai bodies
of fact (seperangkat kenyataan), seperangkat hasil observasi yang
membutuhkan penjelasan teoritis. (6) Paradigma sebagai theorical
frameworks (kerangka teori) kosa kata yang berhubungan dengan
seperangkat konsep dimana proposisi dari suatu teori diformulasi. (7)
Paradigma sebagai observational framework (kerangka observasi),
kosa kata yang berasosiasi dengan seperangkat konsep dimana
proposisi observasi diformulasi.

SEJARAH PERKEMBANGAN ADMINISTRASI PUBLIK 31


Prajudi Atmosudirdjo (2003:91), yang mengikuti jejak
Ludwig von Bertalanffi (yang dianggapnya sebagai orang pertama
yang menggunakan konsep ”paradigma” mengartikan paradigma
sebagai ”sudut pandang utama”. Robert T Golembiewski, dalam
Inu Kencana Syafiie (1999:28), menganggap bahwa paradigma
adalah standar suatu disiplin ilmu dilihat dari focus dan locusnya.
Focus mempersoalkan apa kajian (what of the field) atau cara
bagaimana memecahkan (solution) persoalan. Sedangkan locus
mempersoalkan dimana lokasi (where of the field) atau medan
penerapan suatu ilmu pengetahuan.
Dalam perkembangan bidang ilmu administrasi publik tumbuh
dan dikenal sejumlah ”paradigma” yang menggambarkan adanya
perubahan-perubahan dan perbedaan-perbedaan dalam tujuan, teori
dan metodologi atau dalam bangunan epistemologi serta nilai-nilai
yang mendasari. Perkembangan paradigma administrasi negara
khususnya dari Nicholas Henry (1988) dan Frederickson (1984),
sudah cukup dikenal sebagai sarjana administrasi publik di Indonesia
seperti dapat kita lihat antara lain dalam tulisan-tulisan Ali Mufiz
(1984), Irfan Islamy (1984), Miftah Toha (1984) dan Adam
Indrawijaya (1985).
Nicolas Henry (1988:33-54), mengemukakan lima paradigma
administrasi publik, yaitu:
Paradigma pertama, Prinsip-prinsip Administrasi negara
(1927-1937), Lokus dari administrasi negara tidak merupakan
masalah dalam paradigma ini, yang dipentingkan fokusnya yaitu:
”prinsip-prinsip administrasi” dipandang dapat berlaku universal pada
setiap bentuk organisasi dan setiap lingkungan sosial budaya. Pada
masa ini (1927-1937), administrasi memiliki prinsip-prinsip yang jelas.
Prinsipnya adalah administrasi negara dapat diterapkan di negara
mana saja walaupun berbeda kebudayaan, lingkungan, visi dan
lainnya. Pada fase ini, administrasi negara mencapai puncak
reputasinya. Beberapa karya yang menonjol dalam fase paradigma
kedua ini, antara lain adalah: (a) Creative Experience oleh Mary
Parker Follet (1930). (b). Willougby: Principles of public
Administration (1927). (c). Industrial and General Management oleh
Hendri Fayol (1930). (d) F.W. Taylor, Principle of Scientific
Management (1911). (e) Principles of Organization oleh James D.

32 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


Mooney dan Alan C Reiley (1939), dan (f) puncak akhir dari fase
ini adalah tahun 1937, saat itu Luther H Gulick dan Lyndall
Urwick mengemukakan tulisannya “Paper on the Science of
Administration. Menurut Gulick dan Urwick, prinsip adalah sangat
penting bagi administrasi sebagai suatu ilmu. Adapun letak di mana
prinsip itu akan dipakai tidak begitu penting. Focus memegang
peranan penting dibandingkan locus. Prinsip administrasi yang
terkenal dari Gulick dan Urwick adalah POSDCORB (Planning,
Organization, Staffing, Directing, Reporting, Buggeting).
Paradigma kedua. Paradigma dikotomi antara Politik dan
Administrasi (1900-1926), Fokus dari ilmu administrasi negara
terbatas pada masalah-masalah organisasi, kepegawaian dan
penyusunan anggaran dalam birokrasi dan pemerintahan. Sedangkan
masalah-masalah pemerintahan, politik dan kebijaksanaan
merupakan substansi ilmu politik. Lokus paradigma ini adalah
mempermasalahkan di mana seharusnya administrasi negara ini
berada. Pada masa ini, dibedakan dengan jelas antara administrasi
dan politik negara. Tonggak sejarah sebagai momentum dari fase ini
adalah tulisan dari Frank J. Goodnow dan Leonald D. White. Di
dalam bukunya Politics and Administration, ia berpendapat bahwa
ada dua fungsi pokok pemerintah yang amat berbeda satu sama lain.
Dua fungsi pokok yang dimaksud adalah politik dan administrasi.
Menurut Goodnow dan pengikutnya, administrasi negara seharusnya
berpusat pada birokrasi pemerintahan.
Paradigma ketiga, Administrasi Negara sebagai Ilmu Politik
(1950-1970). Pada masa ini (1950-1970), Secara singkat dijelaskan
bahwa fase paradigma ini merupakan suatu usaha untuk menetapkan
kembali hubungan konseptual antara administrasi negara dan ilmu
politik. Konsekuensi dari usaha ini adalah keharusan untuk
merumuskan bidang ini paling sedikit dalam hubungannya dengan
focus keahliannya yang esensial. Umar (2004:5), menyebut bahwa
pada fase ini administrasi negara telah berkembang sebagai bagian
dari ilmu politik. Dalam masa ini, ada dua perkembangan baru yang
patut dicatat, yaitu: (1) Tumbuhnya penggunaan studi kasus sebagai
suatu sarana yang bersifat epistemologis, (2) Timbulnya studi
perbandingan dan pembangunan administrasi sebagai salah satu
bagian dari ilmu administrasi. Selanjutnya, dalam fase ini, Dwight

SEJARAH PERKEMBANGAN ADMINISTRASI PUBLIK 33


Waldo memprotes perlakukan ilmu politik terhadap ilmu administrasi
yang menyebut administrasi bukan lagi dianggap sebagai ilmu politik
berdasarkan Laporan Komisi Ilmu Politik sebagai suatu disiplin dari
APSA (American Political Science Association, (1962), dengan menulis
bahwa sarjana-sarjana ilmu politik tidak lagi mengidentifikasi dirinya
dengan administrasi negara adalah bersikap tidak memperdulikan
dan memusuhi. Selanjutnya sarjana administrasi negara merasa tidak
senang dan dianggap sebagai warga kelas dua.
Paradigma keempat, Administrasi Negara sebagai Ilmu
Administrasi (1954-1970). Pada masa ini (1954-1970), administrasi
negara telah berkembang sebagai ilmu administrasi. Perkembangan
ini diawali dengan ketidaksenangan bahwa ilmu administrasi
dianggap sebagai ilmu kelas dua setelah ilmu politik. Sebagai suatu
paradigma, pada fase ini ilmu administrasi hanya memberikan focus,
tetapi tidak pada locusnya. Usaha pengembangan, terutama
diperoleh dari pengaruh fakultas administrasi perusahaan (school of
business administration) mempercepat proses mencari alternatif
paradigma ilmu administrasi. Pada Tahun 1956 terbitlah jurnal
Administrative Science Quarterly, sebagai sarana yang amat penting
untuk menyuarakan pendapat dan konsepsi-konsepsi dari paradigma
ini.
Paradigma kelima, Administrasi Negara sebagai Ilmu
Administrasi Negara. Masa ini terjadi setelah tahun 1970. pada masa
ini, administrasi negara telah berkembang menjadi ilmu administrasi
negara, yaitu merambah ke teori organisasi, ilmu kebijakan (policy
science), dan ekonomi politik. Dalam waktu singkat, administrasi
negara sebagai suatu bidang kajian telah menunjukkan warnanya
sendiri. Beberapa departemen, fakultas dan akademi baru
administrasi negara dan public affairs bermunculan. Salah satu trend
dari pertumbuhan administrasi negara ini adalah terbentuknya
asosiasi nasional dari fakultas-fakultas tersebut (The National
Association of School of Public Affairs and Administration). Pada
tahun 1980 asosiasi ini telah mempunyai anggota lebih dari 200
institusi, dan lebih dari 25.000 mahasiswa baik yang penuh ataupun
yang parttime terdaftar dalam program MPA (Master of Public
Administration) pada akhir tahun 1970.

34 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


G. Frederickson (1984:27-30), mengemukakan enam
paradigma administrasi publik yaitu sebagai berikut.
Paradigma Pertama, Birokrasi klasik: fokus pengamatan
paradigma ini adalah struktur (disain) organisasi dan fungsi prinsip-
prinsip manajemen, sedangkan yang menjadi Lokus adalah berbagai
jenis organisasi baik pemerintahan maupun bisnis. Nilai pokok yang
ingin diwujudkan adalah efisiensi, efektivitas, ekonomi dan
rasionalitas. Tolak utama paradigma ini antara lain: Weber:
Bureaucracy, (1922), Wilson: The Study of Public Administration
(1887), Taylor: Scientific Management, (1912) serta Gulick dan
Urwick: Papers on the Science of Administration, (1937).
Paradigma kedua, Birokrasi Neo-Klasik. Nilai yang dianut
dan ingin dicapai paradigma ini adalah serupa dengan paradigma
pertama, tetapi yang merupakan lokus dan fokusnya berbeda. Lokus
dari paradigma ini adalah ”keputusan” yang dihasilkan oleh Birokrasi
pemerintahan, sedangkan fokusnya adalah ”proses pengambilan
keputusan” dengan perhatian khusus kepada penerapan ilmu
perilaku, ilmu manajemen, analisa sistem dan penelitian operasi.
Teoritisi pendukung paradigma ini antara lain adalah Simon:
Administration Behavior (1948), Cyer dan March: Abehavioral Theory
of the Firm, (1963).
Paradigma ketiga, Kelembagaan. Paradigma kelembagaan
fokusnya perhatian paradigma ini terletak pada pemahaman
mengenai ”perilaku birokrasi” yang dipandang juga sebagai suatu
organisasi yang kompleks. Masalah-masalah efisiensi, efektivitas dan
produktivitas organisasi kurang mendapat perhatian. Salah satu
perilaku organisasi yang diungkapkan oleh paradigma ini adalah
perilaku pengambilan keputusan yang bersifat gradual dan
inkremental, yang oleh Lindblom dipandang sebagai satu-satunya
cara untuk memadukan kemampuan dan keahlian birokrasi dengan
preferensi kebijakan dan berbagai kemungkinan bisa dari pejabat-
pejabat politis Charles Lindblom (1965), Thompson, Organization in
Action: The Social Science Bases of Administration Theory (1967),
Mosher, Democracy and the Publik Service, (1968) dan Etzioni; A
Comparative Analysis of Complex Organization (1962).
Paradigma keempat, Hubungan Kemanusiaan: Inti yang
mendasari paradigma ini adalah keikutsertaan dalam pengambilan

SEJARAH PERKEMBANGAN ADMINISTRASI PUBLIK 35


keputusan, minimasi perbedaan dan status dan hubungan antar
pribadi, keterbukaan, aktualisasi diri dan optimasi tingkat kepuasan,
fokus dari paradigma ini adalah ”dimensi-dimensi kemanusiaan” dan
aspek sosial dalam tiap jenis organisasi ataupun birokrasi. Diantara
para teoritisi yang cukup berpengaruh dalam paradigma ini adalah
Rennis Likert, The Human Organization: Its Management and value
(1967), dan Daniel Katz dan Robert khan The Social Psychology of
Organization (1966), Pengembangannya meliputi sensitivity training
group dynamic, & organization development.
Pardigma kelima, Pilihan Publik. Fokus dari administrasi
negara menurut paradigma ini tak lepas dari politik. Sedangkan
fokusnya adalah pilihan-pilihan untuk melayani kepentingan publik
akan barang dan jasa yang harus diberikan oleh sejumlah organisasi
yang kompleks. Tokoh paradigma pilihan publik ini antara lain:
Ostrom (1973), Buchanan (1962) dan Tullock (1968).
Paradigma keenam, Administrasi Negara Baru. Fokus dari
administrasi Negara baru meliputi usaha untuk mengorganisasikan,
menggambarkan, mendesain, ataupun membuat organisasi dapat
berjalan ke arah dan dengan mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan
secara maksimal yang dilaksanakan dengan menggambarkan sistem
desentralisasi dan organisasi-organisasi demokratis yang responsif
dan mengundang partisipasi serta dapat memberikan secara merata
jasa-jasa yang diperlukan masyarakat. Karakteristik administrasi
negara baru, menurut Frederickson, menolak bahwa para
administrator dan teori administrasi bersifat netral atau bebas nilai
dan nilai-nilai sebagaimana dianut dalam berbagai paradigma
tersebut di atas adalah relevan sekalipun terkadang bertentangan
satu sama lain. Misalnya kemudian, penyesuaian politik dan
administrasi bagaimana yang harus dilakukan untuk mendorong
tercapainya nilai-nilai tersebut.
Selanjutnya Gerald E. Caiden (1982:212-222), memerinci
aliran dalam administrasi publik yaitu sebanyak: Aliran 1. proses
administrasi, yaitu mengandalkan POSDCORB dalam memperlancar
administrasi. Aliran 2. Empiris administrasi, Yaitu mengandalkan
berbagai kasus atau studi praktik administrasi publik dan tidak
semata-mata hanya mengandalkan teori dan generalisasi yang telah
dihasilkan. Aliran 3. Perilaku manusia, yaitu lebih memusatkan

36 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


perhatian pada komunikasi, konflik, motivasi, kepemimpinan, status
dan interaksi sosial, karena unsur-unsur ini akan memperlancar
tujuan. Aliran 4. Analisis birokrasi, yaitu memusatkan perhatiannya
pada penerapan prinsip-prinsip birokrasi Weberian, yang dianggap
unggul karena didasarkan atas aturan yang rasional yang mengatur
struktur dan proses menurut pengetahuan teknis dan efisiensi yang
tinggi. Aliran 5. sistem sosial, yaitu melihat organisasi sebagai suatu
sistem sosial terbuka dan tertutup, dan dalam pengembangannya
diperluas menjadi pemahaman terhadap hubungan antara
administrasi publik dengan publik. Aliran 6. Pengambilan keputusan,
yaitu memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip dan teknik-teknik
pengambilan keputusan dalam organisasi, agar tidak keliru dalam
pembuatan keputusan. Aliran 7. Aliran matematik, yaitu
memanfaatkan model matematika dan statistika sehingga para
administrator tidak lagi menguntungkan diri pada cara-cara lama atau
tradisional. Aliran 8. Integratif yaitu mencoba melakukan konsolidasi
berbagai aliran di atas dalam praktik administrasi.
Kemudian pergeseran Paradigma dari "Birokratik" ke "Post-
Bureaucratic paradigm" oleh Barzley & Armajani (1977:496).

Perspektif Paradigma Birokratik dan Post-Bureaucratic


Paradigm"
No. Paradigma Post-Bureaucratic Paradigm"
Birokratik
1. Menekankan Menekankan hasil yang berguna bagi
kepentingan publik, masyarakat, kualitas dan nilai, produk dan
efisiensi, adminis- keterikatan terhadap norma.
trasi, dan control.
2. Mengutamakan Mengutamakan misi, pelayanan dan hasil
fungsi, otoritas dan akhir (outcome).
struktur.
3. Menilai biaya, Menekankan pemberian nilai bagi
menekankan masyarakat, membangun akuntabilitas
tanggung jawab dan memperkuat hubungan kerja.
(responsibility).
4. Mengutamakan Menekankan pemahaman dan penerapan
ketaatan terhadap norma-norma, identifikasi dan pemecahan

SEJARAH PERKEMBANGAN ADMINISTRASI PUBLIK 37


aturan dan masalah, serta proses perbaikan yang
prosedur. berkelanjutan.
5. Mengutamakan Menekankan pemisahan antara pelayanan
beroperasinya dengan control, membangun dukungan
sistem-sistem terhadap norma, memperluas pilihan
administrasi. pelanggan, mendorong kegiatan kolektif,
memberikan insentif, mengukur dan
menganalisis hasil, dan memperkaya
umpan balik.

Pada Tahun 1992 Kemudian muncul paradigma yang sangat


terkenal karena bersifat Reformatif yaitu "Reinventing Government"
yang dicetuskan oleh David Osborne dan T. Gaebler (1992), dan
kemudian dioperasionalkan oleh Osborne dan Plastrik (1997).
Pada dasarnya paradigma ini diinspirasikan oleh Presiden Reagan
melihat Pemerintahan bukanlah pemecahan masalah, justru beliau
melihat sebagai masalah. Di dalam paradigma ini, pemerintah harus
bersifat:
1. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan: haruslah menjadi
pengarah dari pada pelaksana. Misalnya pemerintah yang
menentukan yang menjadi wajib pajak dan besarnya pungutan,
selanjutnya yang memungut adalah pihak swasta.
2. Pemerintah sebagai milik masyarakat, haruslah lebih memberda-
yakan masyarakat ketimbang terus-menerus melayani. Misalnya
harus memberikan motivasi kepada masyarakat agar mampu
mengurus keamanan lingkungannya dari pada memberikan
fasilitas sepanjang masa.
3. Pemerintah sebagai institusi yang hidup dalam kompetisi:
haruslah menyuntikkan semangat persaingan kepada masyarakat
untuk mengembangkan dirinya dengan menghadirkan lembaga
swasta dalam menangani urusan-urusan yang biasanya
dimonopoli pemerintah misalnya air minum.
4. Pemerintah sebagai lembaga yang mempunyai misi: haruslah
lebih memberi kebebasan kepada masyarakat untuk berkreasi,
bukan mengaturnya dengan berbagai peraturan dan petunjuk
pelaksanaan yang ketat.

38 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


5. Pemerintah sebagai sebuah pabrik yang berorientasi kepada hasil
dalam strategi pembiayaannya.
6. Pemerintah sebagai pelayan masyarakat: haruslah lebih memen-
tingkan kepuasan pelanggan, bukan hanya memenuhi apa yang
menjadi kemauan birokrasi.
7. Pemerintah sebagai badan usaha: harus pandai-pandai mencari
uang bukan hanya pintar membelanjakannya.
8. Pemerintah sebagai yang memiliki daya antisipatif: harus
mencegah dari pada menanggulangi.
9. Pemerintah sebagai pemegang kewenangan: harus menggeser
pola kerja hirarki ke model kerja partisipasi dan kerja sama.
10. Pemerintah sebagai pihak yang berorientasi kepada pasar: harus
mendongkrak perubahan lewat penguasaannya terhadap
mekanisme pasar.
Reinventing government itu pada hakikatnya merupakan New
Public Management. Prinsip-prinsip New Public Management itu
dilaksanakan dalam reinventing government ini. Sedangkan the old
public administration prinsip-prinsipnya dilaksanakan dalam birokrasi
pemerintah, maka pokok pemikiran dari New Public management
yang salah satu aplikasinya adalah reinventing government adalah
merupakan pemikiran membarukan administrasi negara dengan
memadukan prinsip-prinsip bisnis dalam birokrasi pemerintah.
Dengan demikian, New Public Management dan Reinventing
Government merupakan bentuk konsep baru dari Administrasi
Negara.

New Public Management (NPM)


Paradigma Reinventing Government juga dikenal sebagai New
Public Management (NPM) dan menjadi begitu populer ketika prinsip
"Good Governance" diimplementasikan. Paradigma NPM melihat
bahwa paradigma manajemen terdahulu kurang efektif dalam
memecahkan masalah dalam memberikan pelayanan kepada publik.
Tujuan pokok dalam New Public Management antara lain mengguna-
kan mekanisme pasar dan terminologi di sektor publik. Untuk
melakukan hubungan antara instansi-instansi pemerintah dengan
pelanggannya dipahami sama dengan proses hubungan transaksi
yang dilakukan oleh mereka pada pasar. Dengan mentransformasikan

SEJARAH PERKEMBANGAN ADMINISTRASI PUBLIK 39


kinerja pasar seperti ini, maka dengan kata lain akan mengganti atau
merubah kebiasaan kinerja sektor publik dari tradisi berlandaskan
aturan dan proses yang menggantungkan pada otoritas pejabat
menjadi orientasi pasar dan dipacu untuk berkompetisi sehat.
New Public Management semua pimpinan didorong untuk
menemukan cara-cara baru yang inovatif untuk mendapatkan hasil
yang maksimal dan melakukan privatisasi terhadap fungsi-fungsi
pemerintahan. Oleh karena urgensi New Publik Management adalah
sangat menekankan pada mekanisme pasar dalam mengarahkan
program-program untuk publik. New Public Management dapat
dipahami sebagai suatu konsep baru yang ingin menghilangkan
monopoli pelayanan yang tidak efisien yang dilakukan birokrasi dan
atau pejabatnya. Christopher Hood dalam Thoha (2008:75)
mengatakan bahwa New Public Management mengubah cara-cara
dan model bisnis privat ke
Karena itu Vigoda dalam Keban (2005:34), mengungkapkan
bahwa ada tujuh prinsip-prinsip NPM, yaitu sebagai berikut:
1. Pemanfaatan manajemen profesional dalam sektor publik.
2. Penggunaan Indikator kinerja.
3. Penekanan yang lebih besar pada kontrol output.
4. Pergeseran perhatian ke unit-unit yang lebih kecil.
5. Pergeseran ke kompetisi yang lebih tinggi.
6. Penekanan gaya sektor swasta pada penerapan manajemen.
7. Penekanan pada disiplin dan penghematan yang lebih tinggi dalam
penggunaan sumber daya.
NPM secara umum dipandang sebagai suatu pendekatan dalam
administrasi publik yang menerapkan pengetahuan dan pengalaman
yang diperoleh dalam dunia manajemen bisnis dan disiplin yang lain
untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas kinerja pelayanan publik
pada birokrasi modern.

Orientasi NPM
NPM ini telah mengalami berbagai perubahan orientasi menurut
Ferlie, Ashbuerner, Filzgerald dan Pettgrew dalam Keban
(2004:25), yaitu:
1. Orientasi The Drive yaitu mengutamakan nilai efisiensi dalam
pengukuran kinerja.

40 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


2. Orientasi Downsizing and Decentralization yaitu mengutamakan
penyederhanaan struktur, memperkaya fungsi dan
mendelegasikan otoritas kepada unit-unit yang lebih kecil agar
dapat berfungsi secara cepat dan tepat.
3. Orientasi In Search of Excellence yaitu mengutamakan kinerja
optimal dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
4. Orientasi Public Service yaitu menekankan pada kualitas, misi dan
nilai-nilai yang hendak dicapai organisasi publik, memberikan
perhatian yang lebih besar kepada aspirasi, kebutuhan dan
partisipasi "user" dan warga masyarakat, memberikan otoritas
yang lebih tinggi kepada pejabat yang dipilih masyarakat,
termasuk wakil-wakil mereka, menekankan "social learning" dalam
pemberian pelayanan publik dan penekanan pada evaluasi kinerja
secara berkesinambungan, partisipasi masyarakat dan
akuntabilitas.

Kritik terhadap NPM


Pelaksanaan NPM bukanlah tanpa kritik. Terdapat sejumlah hal
yang dianggap sebagai kelemahan dari NPM, seperti yang dinyatakan
oleh Oluwu (2002).Menurut Oluwu, ketika Administrasi Publik
berusaha memahami pesan yang ditawarkan oleh pendekatan pasar
maka permasalahan yang muncul ada1ah terkait dengan pernyataan
bahwa tidak ada perbedaan antara manajemen sektor publik dengan
sektor privat dalam mengimplementasikan NPM. Selain itu, terdapat
sejumlah pertanyaan lain yang mengemuka mengenai validitas
empirik dan NPM dalam hal klaimnya terhadap manajemen sektor
privat yang dianggap ideal untuk sektor publik. Terdapat sejumlah
pertentangan antara klaim data NPM terhadap kondisi yang ada di
sektor publik. Model usahawan seringkali dapat mengurangi esensi
dan nilai-nilai demokratis seperti keadilan, peradilan, keterwakilan
dan partisipasi. Hal ini menurut ESC UN (2004) diakibatkan oleh
adanya perbedaan besar antara kekuatan pasar dengan kepentingan
publik, dan kekuatan pasar ini tidak selalu dapat memenuhi apa yang
menjadi kepentingan publik. Bahkan dalam banyak hal, publik
seringkali tidak dilibatkan untuk berpartisipasi dalam menentukan,
merencanakan, mengawasi dan mengevaluasi tindakan-tindakan
yang diambil untuk dapat menjamin bahwa publik tetap menjadi

SEJARAH PERKEMBANGAN ADMINISTRASI PUBLIK 41


pusat dan tindakan-tindakan pemerintah. Lebih jauh, Drechster
(2005) mengingatkan bahwa menganggap masyarakat hanya sebagai
konsumen semata menyebabkan masyarakat dijauhkan dan haknya
untuk berpartisipasi. Kritik lain dikemukakan oleh Janet Denhardt dan
Robert Denhardt dalam bukunya “The New Public Services”. Menurut
Denhardt dan Denhardt warga seharusnya melayani warga
masyarakat bukan pelanggan (service citizen, not customers),
mengutamakan kepentingan publik bukan private (seek the public
interest), lebih menghargai warga negara daripada kewirausahaan
(value citizenship over entrepreneurship, melayani daripada
mengendalikan (serve rather than steer), dan menghargai orang
bukan semata-mata karena produktivitasnya (value people, not just
productivity).

New Public Service (NPS)


Pada tahun 2003, atau kurang lebih sepuluh tahun kemudian
muncul lagi paradigma baru dalam administrasi publik yaitu "The New
Public Service" oleh J.V Denhardt & R. B. Denhardt (2003).
Keduanya menyarankan untuk meninggalkan prinsip administrasi
klasik dan Reinventing Government atau New Public
Management, dan beralih ke prinsip New Public Service. Di
dalam buku Denhardt (2003), berjudul "The New Public Service:
Serving, not Steering". Pada halaman pendahuluan menyatakan NPS
lebih diarahkan pada democracy, pride and citizen dari pada market,
competition and customers seperti sektor privat. Beliau menyatakan
"public servants do not deliver customers service, they deliver
democracy". Oleh sebab itu nilai-nilai demokrasi, kewarganegaraan
dan pelayanan untuk kepentingan publik sebagai norma mendasar
lapangan administrasi publik. Denhardt (2003), The New Public
Service memuat ide pokok sebagai berikut:
1. Serve Citizen, Not Customers: Kepentingan publik adalah hasil dari
sebuah dialog tentang pembagian nilai dari pada kumpulan dari
kepentingan individu. Oleh karena itu, aparatur pelayanan publik
tidak hanya merespon keinginan pelanggan (customer), tetapi
lebih focus pada pembangunan kepercayaan dan kolaborasi
dengan dan antara warga Negara (citizen).

42 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


2. Seek the Public Interest: Administrasi Publik harus memberi kontri-
busi untuk membangun sebuah kebersamaan, membagi gagasan
dari kepentingan publik, tujuannya adalah tidak untuk menemukan
pemecahan yang cepat yang dikendalikan oleh pilihan-pilihan
individu. Lebih dari itu, adalah kreasi dari pembagian kepentingan
dan tanggung jawab.
3. Value Citizenship Over Entrepreneurship: Kepentingan publik
adalah lebih dimajukan oleh komitmen aparatur pelayanan publik
dan warga Negara untuk membuat kontribusi lebih berarti dari
pada oleh gerakan para manajer swasta sebagai bagian dari
keuntungan publik yang menjadi milik mereka.
4. Think Strategically, Act Democraly: Pertemuan antara kebijakan
dan program agar bisa dicapai secara lebih efektif dan berhasil
secara bertanggungjawab mengikuti upaya bersama dan proses-
proses kebersamaan.
5. Recognized that Accountability Is Not Simple: Aparatur pelayanan
publik seharusnya penuh perhatian lebih baik dari pada pasar.
Mereka juga harus mengikuti peraturan perundangan dan
konstitusi, nilai-nilai masyarakat, norma-norma politik, standar-
standar profesional dan kepentingan warga Negara.
6. Serve Rather than Steer: Semakin bertambah penting bagi
pelayanan publik untuk menggunakan andil, nilai kepemimpinan
mendasar dan membantu warga mengartikulasikan dan
mempertemukan kepentingan yang menjadi bagian mereka lebih
dari pada berusaha untuk mengontrol atau mengendalikan
masyarakat pada petunjuk baru.
7. Value People, not Just Productivity: Organisasi publik dan
kerangka kerjanya dimana mereka berpartisipasi dan lebih sukses
dalam kegiatannya kalau mereka mengoperasikan sesuai proses
kebersamaan dan mendasarkan diri pada kepemimpinan yang
hormat pada semua orang.
Seandainya ke tujuh ide pokok dalam NPS tersebut benar-benar
dapat dihayati dan diimplementasikan oleh aparatur pelayan publik,
rasanya pelayanan publik instansi pemerintah tidak kalah dengan
pemberian layanan yang dilakukan oleh sector privat. Maka
masalahnya sekarang adalah bagaimana para pejabat publik dan
aparatur pelayanan publik di front line service dapat memahami dan

SEJARAH PERKEMBANGAN ADMINISTRASI PUBLIK 43


menerima nilai-nilai dalam NPS tersebut. Kemudian bagaimana
dengan sepenuh hati dapat mengimplementasikan di lapangan
sebagaimana keinginan publik yang harus “didengar” dan “dilayani”.
Semua paradigma di atas menunjukkan bahwa dalam dua
dasawarsa terakhir, telah terjadi perubahan orientasi administrasi
publik yang sangat cepat. Kegagalan yang dihadapi oleh suatu
negara, telah disadari sebagai akibat dari ketidakberesan administrasi
publik. Ini menunjukkan bahwa perhatian terhadap pengaruh
administrasi publik semakin tinggi. Dapat dikatakan bahwa paradigma
NPM orientasinya kepada kepuasan pelanggan, sedangkan NPS
orientasinya kepada kualitas pelayanan publik. Karena objek dari
disiplin Ilmu Administrasi Publik adalah pelayanan publik sehingga
yang utamanya dikaji adalah keberadaan berbagai organisasi publik
atau organisasi pemerintah/negara.
Oleh karena itu, ciri-ciri Administrasi Publik yang membedakan-
nya dengan administrasi lainnya: (1) Administrasi Publik bertujuan
untuk memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada
masyarakat. (2) Pelayanan yang diberikan oleh administrasi publik
bersifat lebih urgen. (3) Pelayanan yang diberikan oleh administrasi
publik bersifat monopoli atau semi monopoli. (4) Dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat administrasi publik lebih banyak
berdasarkan kebijakan publik (legalistic approach). (5) Dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat kegiatannya tidak
dikendalikan oleh harga pasar. (6) Administrasi publik dalam
kegiatannya selalu ditujukan untuk kepentingan kesejahteraan rakyat
(social welfare). (7) Pelaksanaan dan hasil pelayanan tergantung
pada penilaian oleh masyarakat banyak dan meminta pertanggung-
jawaban publik. (8) Sebegitu luasnya ilmu administrasi publik
sehingga dapat pula mencakup ilmu-ilmu sosial lain terutama
memiliki objek materialnya negara antara lain Ilmu Pemerintahan,
Ilmu Politik, Hukum Tata Negara dan Ilmu Negara sendiri serta Ilmu
Filsafat yang menjadi sumber keilmuan.
hubungan antara ilmu administrasi publik dengan ilmu-ilmu
kenegaraan yang lain: (1) Ilmu politik fokus utamanya adalah
kekuasaan dan bagaimana meraih kekuasaan, (2) Ilmu pemerintahan
fokus utamanya adalah sistem dan atau gejala Pemerintahan, (3)
Ilmu negara fokus utamanya adalah Konstitusi, (4) Ilmu Administrasi

44 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


Publik Fokus adalah Pelayanan masyarakat secara umum. (5) Ilmu
hukum tata Negara fokus utamanya Peraturan.
Berdasarkan uraian sejarah perkembangan administrasi publik
di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Administrasi Publik
tidak akan pernah dapat melepaskan diri dari dampak yang
ditimbulkan oleh perkembangan-perkembangan lingkungan yang ada,
khususnya yang diakibatkan oleh kemajuan teknologi dan informasi.
Untuk itu, Administrasi Publik dituntut untuk senantiasa dapat
menyesuaikan diri dan juga paradigma yang dianutnya sehingga
tetap berkesesuaian dan sejalan dengan perubahan lingkungan yang
ada di sekelilingnya, serta tentu saja dengan tuntutan masyarakatnya
yang dipengaruhi oleh perkembangan lingkungan tersebut. Dalam
konteks perubahan yang begitu cepat di Indonesia, maka tuntutan
yang ada adalah bagaimana Administrasi Publik kita mampu
mereformasi dirinya sehingga sejalan dengan paradigma good
governance yang saat ini menjadi tuntutan masyarakat banyak.
Administrasi Publik telah mengalami perkembangan yang terus-
menerus. Perusahaan tersebut terjadi baik pada lokus dan fokus.
Apakah pendidikan tinggi di Indonesia telah merespon perubahan
tersebut dataran kurikulum dan metode pembelajaran. Apakah
administrasi Publik telah berkontribusi dalam penyelesaian masalah-
masalah administrasi Publik dan juga masalah-masalah negara dan
bangsa yang tengah terjadi. Dalam pandangan penulis, kontribusi
ilmu administrasi Publik masih belum optimal dalam menyelesaikan
masalah bangsa dan negara ini. Hal ini dapat terjadi karena dua hal
(1) Kurikulum dan metode pembelajaran Ilmu administrasi Publik
yang belum responsif terhadap perubahan lingkungan, (2)
pengembangan diri dan jaringan yang belum optimal dan kalangan
ilmuwan, alumni dan praktisi administrasi Publik.

SEJARAH PERKEMBANGAN ADMINISTRASI PUBLIK 45


3
KEBIJAKAN PUBLIK

A. KONSEP KEBIJAKAN DAN KEBIJAKSANAAN

1. Definisi "Kebijakan" dan "Kebijaksanaan"


Pada dasarnya ada perbedaan antara konsep "kebijakan" dan
"kebijaksanaan". Kebijakan merupakan suatu rangkaian alternatif
yang siap dipilih berdasarkan prinsip-prinsip tertentu. Sedangkan
kebijaksanaan berkenaan dengan suatu keputusan yang
memperbolehkan sesuatu yang sebenarnya dilarang berdasarkan
alasan-alasan tertentu seperti pertimbangan kemanusiaan, keadaan
gawat dan lain-lain.
Kebijakan merupakan suatu hasil analisis yang mendalam
terhadap berbagai alternatif yang bermuara kepada keputusan
tentang alternatif terbaik. Sedangkan kebijaksanaan selalu
mengandung makna melanggar segala sesuatu yang pernah
ditetapkan karena alasan tertentu. Kebijaksanaan merupakan
pengejawantahan aturan yang sudah ditetapkan sesuai situasi dan
kondisi setempat oleh person pejabat yang berwewenang. Dengan
perbedaan definisi tersebut di atas, maka seharusnya dalam
implementasinya juga harus berbeda.

2. Definisi Kebijakan Publik


Secara konseptual kebijakan publik dapat dilihat dari Kamus
Administrasi Publik Chandler dan Plano (1988:107), mengatakan
bahwa kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap

46 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


sumber-sumber daya yang ada untuk memecahkan masalah publik
atau pemerintah. Bahkan Chandler dan Plano beranggapan bahwa
kebijakan publik merupakan suatu bentuk investasi yang kontinu oleh
pemerintah demi kepentingan orang-orang yang tidak berdaya dalam
masyarakat agar mereka dapat hidup dan ikut berpartisipasi dalam
pemerintahan.
William N. Dunn (1994), mengatakan bahwa kebijakan publik
adalah suatu rangkaian pilihan-pilihan yang saling berhubungan yang
dibuat oleh lembaga atau pejabat pemerintah pada bidang-bidang
yang menyangkut tugas pemerintahan, seperti pertahanan
keamanan, energi, kesehatan, pendidikan, kesejahteraan masyarakat,
kriminalitas, perkotaan dan lain-lain.
Thomas R. Dye (1981), mengatakan bahwa kebijakan publik
adalah "apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau tidak
dilakukan". Dye mengatakan bahwa bila pemerintah memilih untuk
melakukan sesuatu maka harus ada tujuannya (objektifnya) dan
kebijakan publik itu meliputi semua tindakan pemerintah, jadi bukan
semata-mata merupakan pernyataan keinginan pemerintah atau
pejabat pemerintah saja.
Shfritz & Russel (1997:47), mendefinisikan kebijakan publik
dengan sederhana dan menyebut "is whatever government decides
to do or not to do". Chandler dan Plano mengatakan bahwa apa
yang dilakukan ini merupakan proses terhadap suatu isu politik.
Chaizi Nasucha (2004:37), mengatakan bahwa kebijakan
publik adalah kewenangan pemerintah dalam pembuatan suatu
kebijakan yang digunakan ke dalam perangkat peraturan hukum.
Kebijakan tersebut bertujuan untuk menyerap dinamika sosial dalam
masyarakat, yang akan dijadikan acuan perumusan kebijakan agar
tercipta hubungan sosial yang harmonis.
Definisi kebijakan publik di atas dapat dikatakan bahwa: (1)
Kebijakan publik dibuat oleh pemerintah yang berupa tindakan-
tindakan pemerintah, (2) Kebijakan publik harus berorientasi kepada
kepentingan publik, dan (3) kebijakan publik adalah tindakan
pemilihan alternatif untuk dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh
pemerintah demi kepentingan publik.
Jadi idealnya suatu kebijakan publik adalah (1) kebijakan publik
untuk dilaksanakan dalam bentuk riil, bukan untuk sekedar

KEBIJAKAN PUBLIK 47
dinyatakan, (2) kebijakan publik untuk dilaksanakan atau tidak
dilaksanakan karena didasarkan pada kepentingan publik itu sendiri.
Pada umumnya kebijakan dapat dibedakan atas empat bentuk,
yaitu: (1) Regulatory, yaitu mengatur perilaku orang, (2)
Redistributive, yaitu mendistribusikan kembali kekayaan yang ada,
atau mengambil kekayaan dari yang kaya lalu memberikannya
kepada yang miskin, (3) Distributive yaitu melakukan distribusi atau
memberikan akses yang sama terhadap sumber daya tertentu, dan
(4) Constituent, yaitu ditujukan untuk melindungi negara.

3. Jenis-jenis Kebijakan Publik


Jenis-jenis kebijakan publik dapat ditelusuri melalui Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang pembentukan Peraturan
Perundang-undangan Pasal 7 menjelaskan jenis dan hirarki Peraturan
Perundang-undangan sebagai berikut: (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (2) Undang-Undang/
Peraturan, Pemerintah Pengganti Undang-Undang, (3) Peraturan
Pemerintah, (4) Peraturan Presiden (5) Peraturan Daerah.
Oleh karena itu, peraturan mempunyai hirarki mulai dari tingkat
kelurahan/desa sampai kepada tingkat negara. Namun demikian
menurut Nugroho (2006:31), kebijakan publik dibagi menjadi tiga
kelompok, yaitu: (1) Kebijakan yang bersifat makro, yaitu kebijakan
atau peraturan yang bersifat umum seperti yang telah disebut di
atas, (2) Kebijakan yang bersifat meso, yaitu kebijakan yang bersifat
menengah atau memperjelas pelaksanaan, seperti kebijakan Menteri,
Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati dan Peraturan Wali Kota. (3)
Kebijakan yang bersifat mikro, yaitu kebijakan yang bersifat
mengatur pelaksanaan atau implementasi dari kebijakan di atasnya,
seperti kebijakan yang dikeluarkan oleh aparat publik di bawah
Menteri, Gubernur, Bupati dan Wali Kota. Sedangkan menurut
Anderson dalam Subarsono (2005:19), mengatakan bahwa jenis-
jenis kebijakan terbagi yaitu: (1) kebijakan substantif vs kebijakan
prosedural. Kebijakan substantif adalah kebijakan yang menyangkut
apa yang dilakukan pemerintah, seperti kebijakan subsidi bahan
bakar minyak (BBM). Sedangkan kebijakan prosedural adalah
bagaimana kebijakan substantif tersebut dapat dilaksanakan. (2)
Kebijakan distributif vs kebijakan regulatori vs kebijakan re-distributif.

48 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


Kebijakan distributif menyangkut distribusi pelayanan atau
kemanfaatan pada masyarakat atau individu. Kebijakan regulatori
adalah kebijakan yang berupa pembatasan atau pelarangan terhadap
perilaku individu atau sekelompok orang. Kebijakan re-distributif
adalah kebijakan yang mengatur alokasi kekayaan pendapatan,
pemilikan atau hak-hak diantara berbagai kelompok dalam
masyarakat. (3) Kebijakan material vs kebijakan simbolis. Kebijakan
material adalah kebijakan yang memberikan keuntungan sumber
daya konkrit pada kelompok sasaran. Sedangkan kebijakan simbolis
adalah kebijakan yang memberikan manfaat simbolis pada kelompok
sasaran. (4) Kebijakan yang berhubungan dengan barang umum
(public goods) dan barang privat (privat goods). Kebijakan public
goods adalah kebijakan yang bertujuan untuk mengatur pemberian
barang atau pelayanan publik. Sedangkan kebijakan privat goods
adalah kebijakan yang mengatur penyediaan barang atau pelayanan
untuk pasar bebas.

B. PROSES KEBIJAKAN PUBLIK

Proses dalam rangka memecahkan suatu masalah-masalah


publik menurut Dunn (1994), antara lain (1) Penetapan agenda
kebijakan, (2) Adopsi kebijakan, (3) Implementasi kebijakan, (4)
Evaluasi kebijakan. James Anderson (1979:23-24), sebagai pakar
kebijakan publik menetapkan proses kebijakan publik sebagai berikut:
(1) Formulasi masalah, (2) Formulasi kebijakan, (3) Penentuan
kebijakan, (4) Implementasi kebijakan, (5) Evaluasi kebijakan.
Sedangkan AG. Subarsono (2004:8), mengatakan bahwa proses
kebijakan publik adalah serangkaian intelektual yang dilakukan dalam
proses kegiatan yang bersifat politis. Aktivitas politis tersebut mulai
dari (1) penyusunan agenda, (2) Formulasi kebijakan, (3) Adopsi
kebijakan, (4) Implementasi kebijakan, dan (5) Evaluasi kebijakan.
Berdasarkan pendapat tersebut di atas, maka proses
perumusan kebijakan yang dibahas yaitu analisis kebijakan,
pengesahan kebijakan, implementasi kebijakan, dan evaluasi
kebijakan.

KEBIJAKAN PUBLIK 49
1. Analisis Kebijakan
E.S. Quade dalam Nugroho (2006:57), mengatakan bahwa
asal mula analisis kebijakan disebabkan oleh banyaknya kebijakan
yang tidak memuaskan. Begitu banyak kebijakan yang tidak
memecahkan masalah kebijakan, bahkan menciptakan masalah baru.
William N. Dunn (2003:29), mengatakan bahwa analisis kebijakan
adalah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai
metode penelitian dan argument untuk menghasilkan dan
memindahkan informasi relevan dengan kebijakan, sehingga dapat
dimanfaatkan di tingkat politik dalam rangka memecahkan masalah-
masalah kebijakan. Nugroho (2006:50), mengatakan bahwa analisis
kebijakan pemahaman akan suatu kebijakan atau pula pengkajian
untuk merumuskan suatu kebijakan.
Sejalan dengan tahapan yang telah ditentukan di atas, maka
berikut ini akan dijelaskan proses analisis kebijakan yang dibedakan
atas penstrukturan masalah atau identifikasi masalah, identifikasi
alternatif, seleksi alternatif dan pengusulan alternatif terbaik untuk
diimplementasikan. Proses ini dilakukan sebelum mengambil
keputusan tentang alternatif terbaik yang harus diimplementasikan.
Ada juga proses analisis yang dilakukan setelah alternatif terbaik
diimplementasikan. Kedua proses ini merupakan suatu kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan dan selalu digunakan untuk meningkatkan
kinerja suatu kebijakan.
a. Identifikasi masalah
Badjuri (2003:49), mengatakan bahwa pada dasarnya kebija-
kan publik terjadi karena adanya masalah yang perlu ditangani
secara serius. Tanpa adanya masalah, barangkali tidak pernah ada
sebuah kebijakan publik timbul.
Informasi tentang suatu masalah kebijakan publik dapat
diperoleh lewat sebagai sumber tertulis seperti indikator sosial
(social indicators), data sensus laporan-laporan survey nasional,
jurnal, koran dan sebagainya, dan juga melalui interview langsung
dengan masyarakat. Pertanyaan-pertanyaan yang paling penting
untuk dijawab dalam tahap ini adalah: apakah isu ini benar-benar
merupakan masalah? Siapa sasarannya? Apa alasannya atau apa
buktinya? apakah masalah ini sudah urgen/mendesak? Apakah

50 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


akibat terjadi negatif yang signifikan bila tidak segera dilakukan
intervensi? Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut
membuat analisis tidak hanya berfikir lebih rasional tetapi juga
lebih etis. Analis tidak boleh melakukan apa yang disebut sebagai
“solving the wrong problem” seperti yang dikemukakan oleh
Howard Raiffa sebagai “errors of the third type” Dunn (1994).
Kalau masalah tersebut bersifat mendesak dan perlu dipecah-
kan segera, pertanyaan-pertanyaan berikut yang seharusnya
dijawab adalah: apa yang seharusnya menjadi tujuan jangka
panjang (goals) dan jangka pendek (objectives) atau targetnya?
Apakah hubungan antara tujuan-tujuan tersebut dengan masalah
yang perlu dipecahkan sudah logis? Apabila ya, bagaimana
mengangkat masalah tersebut secara persuasif ke suatu forum
agenda kebijakan publik supaya mendapat perhatian yang lebih
luas dan lebih serius oleh pihak yang berkompeten.
Sebagai penuntun untuk mengidentifikasi masalah diperlukan
beberapa catatan penting. Pertama, masalah yang diusulkan harus
didasarkan atas informasi atau data yang bebas dari rekayasa
(data yang riil dan data asli). Kepalsuan data atau informasi akan
mempengaruhi semua proses formulasi kebijakan yang pada
akhirnya akan memberikan hasil yang palsu pula. Rekayasa seperti
ini memberi kesan bahwa masalah yang dirumuskan telah
dipolitisir oleh elit-elit tertentu yang berkuasa dan hendak
menggunakan kesempatan. Kedua, bila ada datanya atau
informasinya, perlu diperhatikan cara pengolahannya. Cara
pengolahannya seringkali tidak sesuai dengan kaidah-kaidah
keilmuan yang berlaku. Kegagalan dalam hal ini akan sangat
mempengaruhi hasil perumusan masalah. Ketiga, yang tidak kalah
penting, adalah cara penarikan kesimpulan dari hasil pengolahan
data yang ada. Cara penarikan kesimpulan harus sesuai dengan
prinsip keilmuan, dan tidak boleh menarik kesimpulan berlebihan
atau sebaliknya. Dalam menarik kesimpulan ini diperlukan suatu
indikator tertentu yang dapat diterima, misalnya kecenderungan
menunjukkan di atas rata-rata nasional atau jauh di bawah rata-
rata tersebut sehingga membutuhkan intervensi serius dan segera.
Berbagai metode yang sering digunakan dalam merumuskan
masalah sehingga masalah tersebut dapat dipahami dengan baik

KEBIJAKAN PUBLIK 51
menurut Subarsono (2005:32-35), yaitu: (1) Analisis batas, yaitu
usaha memetakan masalahnya melalui snowball sampling dari
stakeholders. Ini disebabkan karena analisis kebijakan sering
dihadapkan pada masalah yang tidak jelas dan rumit, sehingga
perlu minta bantuan stakeholders untuk memberikan informasi
yang berhubungan masalah yang bersangkutan. (2) Analisis
klasifikasi, yakni mengklasifikasikan masalah ke dalam kategori-
kategori tertentu dengan tujuan untuk lebih memudahkan analisis.
(3) Analisis hirarki, yakni metode untuk menyusun masalah
berdasarkan sebab-sebab yang mungkin dari situasi masalah. (4)
Brainstorming, yakni metode untuk merumuskan masalah melalui
curah pendapat dari orang-orang yang mengetahui kondisi yang
ada. (5) Analisis perspektif ganda, yaitu metode untuk
memperoleh pandangan yang bervariasi dari perspektif yang
berbeda mengenai suatu masalah dan pemecahannya.
b. Identifikasi Alternatif
Apabila masalah tersebut telah disetujui untuk dipecahkan
atau dengan kata lain tujuan-tujuan yang hendak dicapai telah
disetujui, maka pertanyaan-pertanyaan untuk tahap berikut adalah
model-model atau teori-teori apa yang mampu mengidentifikasi-
kan faktor-faktor penyebab, dan berdasarkan analisis tersebut
mengembangkan alternatif-alternatif kebijakan. Pertanyaan yang
penting dijawab dalam tahapan ini adalah apakah ada hubungan
logis antara masing-masing alternatif tersebut dengan tujuan.
Tahapan ini menuntut sensitivitas yang tinggi sebagai
ilmuwan dan dipolitisir. Sebagai ilmuwan seorang analisis telah
diperkenalkan berbagai teori di bangku sekolah/kuliah tentang
berbagai penyebab timbulnya isu atau masalah. Misalnya jumlah
penduduk miskin di suatu daerah meningkat secara signifikan
selama lima tahun terakhir dan telah berakibat pada munculnya
berbagai penyakit yang berhubungan dengan gejala kurang gisi.
Untuk dapat mengidentifikasi alternatif dengan tepat, seorang
analisis dapat mencari teori-teori tentang faktor-faktor yang
menimbulkan gejala kemiskinan kemudian mengumpulkan data,
mengolah dan menentukan faktor-faktor manakah yang paling
menentukan timbulnya kemiskinan. Faktor-faktor tersebut

52 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


kemudian diterjemahkan ke dalam alternatif-alternatif pemecahan
masalah.
Sebagai politisi seorang analis dapat menilai beberapa besar
perhatian pemerintah dan elit-elit politik yang telah diberikan
dalam bentuk anggaran selama sekian lama kepada daerah
tertentu dan menghubungkannya dengan perubahan pada gejala
kemiskinan yang terjadi. Ia mungkin menilai bahwa kemiskinan di
daerah tersebut muncul sebagai akibat adanya diskriminasi yang
telah diciptakan pemerintah dan elit-elit politik pada waktu yang
lalu. Dengan demikian, alternatif yang disarankan adalah berkaitan
dengan pemberian bentuk keuangan atau anggaran baru kepada
daerah tersebut.
Aspek teoritis dan praktis seperti ini harus menjadi acuan
dalam mengidentifikasikan alternatif-alternatif kebijakan. Alternatif
yang disajikan hendaknya tidak dipolitisir, artinya jumlahnya dan
jenisnya tidak direkayasa demi kepentingan sendiri atau kelompok
sendiri. Mengusulkan alternatif tunggal harus didasarkan pada
alasan yang dapat dipertanggungjawabkan yang biasanya
dipegang adalah menyediakan sebanyak mungkin alternatif
pemecahan untuk dapat diukur, dibandingkan dan dievaluasi.
Namun, perlu diketahui bahwa semakin banyak alternatif semakin
kompleks pula kebutuhan untuk menyediakan data dan informasi
serta pengolahannya yang tentunya akan mengganggu proses
seleksi alternatif.
c. Seleksi Alternatif
Dalam analisis kebijakan publik, seleksi alternatif merupakan
salah satu tahap yang sangat vital Quade (1982). Dalam tahap ini
seorang perencana atau policy analyst akan melakukan seleksi
alternatif yang terbaik untuk diajukan ke policy makers.
Untuk menyeleksi atau memilih diantara alternatif kebijakan
yang ada secara efektif, diperlukan kriteria atau standar yang
rasional. Penerapan kriteria tersebut seorang analisis dapat
merekombinasikan alternatif yang mana, yang paling baik dalam
kaitannya dengan pencapaian tujuan. Pembahasan mengenai
kriteria tersebut sudah secara luas dibahas dalam berbagai
literatur kebijakan publik Quade (1982) dan Dunn (1994).

KEBIJAKAN PUBLIK 53
1) Menyepakati Kriteria Alternatif
Salah seorang ahli bernama Bardach dalam Patton &
Sawicki, (1993), mengemukakan kriteria penting “technical"
yang dapat digunakan disini, yaitu menyangkut feasibility,
political viability, economic and financial possibility, dan
“administrative operability”.
Technical feasibility. Kriteria tersebut mengukur apakah
alternatif yang dipilih akan jalan dalam kontes teknis? Misalnya,
apakah program pembangunan jembatan di suatu tempat akan
dapat memecahkan kesulitan trafik ditempat itu? Dalam kaitan
dengan kriteria teknis ini, ada dua sub kriteria pokok yang perlu
dibahas yaitu effectiveness dan adequacy. Effectiveness
menyangkut sampai seberapa jauh suatu kebijakan atau
program akan mencapai apa yang diinginkan. Kriterium ini
dapat diukur dalam jangka panjang atau pendek, langsung atau
tidak langsung, secara kuantitatif atau tidak, dan pantas atau
tidak (adequate or inadequate). Kriterium adequacy memper-
soalkan seberapa jauh kebijakan atau program yang disarankan
akan mampu memecahkan persoalan, apakah memecahkan
persoalan secara keseluruhan atau hanya sebagian.
Economic and financial possibility. Kriteria ini menyangkut
evaluasi ekonomis dari policy atau program yang ada, dan
meliputi aspek change in net worth, economic efficiency,
profitability dan cost effectiveness. Kriterium "change in net
worth” (perubahan dalam nilai) mempersoalkan apakah suatu
program dapat merubah kemampuan ekonomis khususnya
dalam assets dan liabilities seperti perubahan dalam GDP (gross
domestic product), human capital (tingkat pendidikan penduduk
secara keseluruhan), dan non-human resources hasil hutan,
tambang, dan sebagainya. Kriterium "economic efficiency”
mempersoalkan apakah dengan mempergunakan sumber daya
yang ada telah diperoleh manfaat yang lebih tinggi. Profitability,
mempertahankan apakah perbandingan antara pengeluaran
proyek dan pemasukan dari proyek tersebut menguntungkan
atau tidak, khususnya dalam konteks keuangan (misalnya, cost
revenue analysis). Cost effectiveness adalah kriterium yang
menyangkut apakah tujuan dicapai dengan cost yang minim.

54 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


Political viability. Kriteria politik menyangkut lima sub
kriteria yang perlu dipertimbangkan, yaitu acceptability,
appropriateness, responsiveness, legal dan equity.”
Acceptability” menyangkut penentuan apakah suatu alternatif
kebijakan dapat diterima oleh aktor-aktor politik dan para klien
dan aktor-aktor lainnya dalam masyarakat. “Appropriateness”
berkenaan dengan apakah suatu alternatif kebijakan tidak
merusak atau bertentangan dengan nilai-nilai yang sudah ada
di masyarakat. “Responsiveness” berkenaan dengan apakah
suatu alternatif kebijakan, akan memenuhi kebutuhan
masyarakat yang ada. Mungkin suatu kebijakan yang dipilih
bersifat efisien dan efektif, tetapi dilihat dari masyarakat, tidak
memenuhi kebutuhan mereka. ”legal” artinya apakah suatu
alternatif kebijakan tidak bertentangan dengan peraturan
perundangan yang berlaku. ”Equity” yaitu apakah suatu
alternatif kebijakan atau mempromosi pemerataan atau
keadilan dalam masyarakat (mungkin suatu kebijakan dapat
merestribusikan income, memberikan hak untuk memperoleh
pelayanan minimum, atau membayar suatu pelayanan sesuai
dengan kemampuan). Kriterium ini dapat diterapkan pada
lokasi pemukiman, kelas income, suku dan etnik, umur, jenis
kelamin, status keluarga, status pemilikan rumah dan antar
generasi.
Administrative operability. Kriteria yang perlu dipertim-
bangkan dalam administrative operability adalah authority,
institutional commitment, capability dan organizational support.
"Authority” berkenaan dengan kewenangan mengimplementasi-
kan suatu policy atau program. Dengan kata lain, apakah
organisasi yang diserahi tugas mengimplementasikan program
memiliki otoritas yang cukup dan jelas untuk melakukan
kerjasama dengan unit organisasi yang lain dalam menentukan
prioritas. “institutional commitment” menyangkut komitmen dari
administration level atas dan bawah, kantor dan pekerja
lapangan. Kriterium ini penting untuk menilai suatu alternatif
kebijakan bersifat realistis atau tidak. “capability” berkenaan
dengan apakah organisasi yang akan mengimplementasikannya
dinilai mampu dalam konteks skills dari staf dan dalam kontes

KEBIJAKAN PUBLIK 55
financial. "Organization support” berkaitan dengan tersedia
tidaknya dukungan peralatan, fasilitas fisik dan pelayanan–
pelayanan lainnya. Apakah dapat dukungan-dukungan tersebut
dapat tersedia bila dibutuhkan stakeholders.
Semua kriteria tidak begitu berbeda dengan yang
dikemukakan Dunn (1994), dengan istilah "multirasional" yang
menyangkut beberapa hal berikut.
"Technical rationality" menyangkut pilihan yang melibatkan
perbandingan antar alternatif berdasarkan kemampuan dan
masing-masing alternatif dalam mempromosikan pemecahan
yang efektif terhadap masalah publik, yang dihadapi.
"Economic rationality" menyangkut pilihan yang melibatkan
perbandingan antar alternatif berdasarkan kemampuan dari
masing-masing alternatif tersebut dalam mempromosi peme-
cahan masalah publik secara efisien. Dalam hal ini biasanya
dihitung perbandingan terbaik antara biaya total (total cost)
dengan manfaat yang diperoleh (benefits) bagi masyarakat.
"Legal rationality" berkenaan dengan perbandingan antara
alternatif berdasarkan kemampuan masing-masing alternatif
dalam tingkat kompromis legal (sejalan tidaknya atau mendu-
kung tidaknya) terhadap aturan-aturan perundangan yang ada.
Misalnya, apakah suatu alternatif bertentangan dengan pera-
turan perundang-undangan yang berlaku, atau bertentangan
dengan hak asasi manusia seperti diskriminasi suku bangsa dan
agama.
"Social rationality" berkaitan dengan perbandingan antara
alternatif berdasarkan kemampuannya dalam memelihara dan
mempertahankan serta memperbaiki institusi-institusi sosial.
Atau dengan kata lain apakah suatu alternatif mempromosi
institusionalisasi norma-norma atau nilai-nilai sosial yang diakui
masyarakat. Misalnya kita menganut ideologi demokrasi.
Dengan demikian, kita dapat memilih suatu alternatif bila
alternatif tersebut mendukung hak untuk berpartisipasi secara
demokratis. Substansi "rationality" adalah suatu bentuk
gabungan dari rasionalitas (multi forms of rationality) yang
menyangkut kriteria-kriteria di atas, teknik, ekonomi, legal dan
sosial. Dengan demikian menggunakan substansi rationality

56 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


saja sebenarnya sudah cukup untuk melakukan pemilihan
alternatif. Teknik ini memilih atau merekomendasikan suatu
alternatif kebijakan secara rasional dengan menggunakan
sistem ranking, dimana total skor yang paling sedikit akan
dianggap sebagai paling baik. Bisa juga digunakan sistem
indeks untuk masing-masing alternatif, sehingga indeks yang
tertinggi akan menjadi alternatif yang terbaik cara demikian
dapat dilakukan apabila bobot dari masing-masing kriteria
adalah sama.
Akan tetapi, pemilihan kriteria biasanya tergantung dari
hakekat tujuan. Ada tujuan yang bersifat menanamkan nilai
budaya baru (internalisasi nilai baru), ada yang mengejar
keuntungan ekonomis, dan ada juga yang mengejar
kepentingan politik, karena semuanya ini menyangkut substansi
dari apa yang hendak dicapai, maka pemilihan kriteria mungkin
dilakukan dengan memberi bobot yang berbeda-beda. Untuk
itu, suatu diskusi mengenai bobot masing-masing kriteria
sangat diperlukan. Apabila bobotnya berbeda maka indeks atau
ranking tersebut harus disesuaikan.
Analisis peran merupakan suatu metode khusus dalam
analisis kebijakan publik yang ditujukan untuk melihat kemung-
kinan apakah alternatif-alternatif yang dikembangkan akan
mendapat dukungan dari pihak-pihak atau lembaga-lembaga
yang berperan dalam masyarakat. Biasanya pihak-pihak atau
lembaga-lembaga tertentu berpengaruh baik secara formal
maupun informal terhadap adopsi dan implementasi dari
alternatif-alternatif yang ada sehingga respons dan pengaruh
mereka harus diperhitungkan, isu ini seharusnya dibahas dalam
forecasting khususnya intuitive forecasting, tetapi karena
sifatnya yang begitu spesifik maka pembahasannya tidak
disajikan disini.
Pentingnya analisis tersebut dapat dilihat dari kenyataan
atau pengalaman kita. Banyak proyek atau program yang
dikembangkan dan diimplementasikan tidak mengantisipasi
dukungan atau pengaruh dari pihak-pihak atau lembaga-
lembaga formal dan nonformal (stakeholders), sehingga tidak
mengherankan bahwa adaptasi dan implementasi dari program

KEBIJAKAN PUBLIK 57
atau proyek tersebut banyak menghadapi hambatan atau
halangan. Program KB di beberapa tempat, misalnya, banyak
mendapat tantangan dari para ulama dan pemuka-pemuka
masyarakat, sehingga sulit diadopsi dan sempat menjadi
terhambat. Program kesehatan (puskesmas) kurang diadopsi
masyarakat karena pengaruh dari para dukun dan pemuka
masyarakat kurang diperhitungkan. Program pembukaan jalan
baru sering kali mendapat tantangan dari berbagai pihak
khususnya berkaitan dengan pembebasan tanah. Mengapa para
"stakeholders" tersebut dapat menghalangi atau menghambat
adopsi dan implementasi dari program atau proyek yang diusul-
kan? Karena memiliki "peran" tertentu yang tidak
diperhitungkan dalam analisis kebijakan.
Dengan memperhatikan kriteria yang telah digunakan di
atas, maka secara umum terdapat dua prinsip utama yaitu
prinsip yang berorientasi pada rasionalitas dan pada demokrasi.
Prinsip Rasionalitas diterapkan untuk menentukan pilihan
terbaik dengan menerapkan kaidah-kaidah keilmuan seperti
analisis biaya dan manfaat. Artinya harus dihitung beberapa
biaya yang dikeluarkan untuk implementasi masing-masing
alternatif yang disarankan dan berapa manfaat yang dapat
dinikmati bila suatu alternatif tertentu dipilih. Perhitungan dan
perbandingan ini dapat dilakukan dengan berbagai kriteria yang
disetujui bersama akan tetapi dalam kenyataannya terdapat
keterbatasan data/informasi atau kemampuan para analisis
untuk melakukan perhitungan tersebut. Dengan demikian
diperlukan prinsip demokrasi yaitu melibatkan para stakeholder
dalam proses pemilihan alternatif terbaik. Disini suatu alternatif
hanya dapat diterima bila disetujui para stakeholders atau pihak
yang berkepentingan melalui forum dengan pendapat dialog,
diskusi dan sebagainya.
2) Penentuan alternatif Terbaik
Penentuan alternatif terbaik bertujuan agar semua keun-
tungan dan kerugian, kesulitan dan kemudahan, dampak positif
dan negatif hasil berupa output dan outcome, dapat terungkap
dengan jelas dan transparan. Teknik yang paling praktis untuk
memilih atau merekomendasikan suatu alternatif kebijakan

58 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


adalah dengan menggunakan sistem skoring dengan skala satu
sampai lima, atau satu sampai tiga (terserah hasil
permufakatan) dimana yang paling tinggi merupakan nilai yang
terbaik atau juga biasa digunakan sistem ranking dimana nilai
terendah akan dianggap sebagai yang paling baik. Penerapan
kedua cara ini dapat dikombinasikan dengan sistem
pembobotan terhadap masing-masing kriteria. Bila masing-
masing kriteria yang digunakan memiliki bobot yang berbeda
maka nilai skor dan ranking yang telah diperoleh harus
dikalikan dengan bobot dengan masing-masing kriteria.
Perlu diperhatikan bahwa pemilihan kriteria dan penentuan
tinggi rendahnya skor atau nilai yang digunakan biasanya
tergantung dari masalah yang dihadapi. Semakin tinggi kemam-
puan suatu alternatif dalam memecahkan masalah yang
dihadapi, semakin tinggi pula (kalau sistem skoring) nilai yang
diberikan, atau semakin rendah nilai yang diberikan (kalau
dalam sistem rangking).
Aspek yang paling penting dalam tahapan ini adalah bahwa
dalam memilih alternatif terbaik perlu selalu berpikir rasional,
berperilaku demokrasi dan transparan terhadap semua
alternatif yang ada. Mereka yang memberi penilaian harus
benar-benar orang-orang yang berpengalaman, dan mencoba
melibatkan wakil-wakil dari semua pihak yang berkepentingan
(stakeholders) dengan membeberkan hasil penilaian secara
jelas, terbuka dan tidak melakukan rekayasa. Alternatif tersebut
dapat berupa kombinasi dari alternatif-alternatif yang ada
apabila kombinasi tersebut dirasakan paling efektif dalam
memecahkan masalah. Output dari proses ini adalah
tersusunnya suatu rangkaian alternatif terpilih lengkap dengan
alasan mengapa alternatif tersebut merupakan alternatif
terbaik. Alternatif-alternatif tersebut siap untuk diterjemahkan
ke dalam keputusan, program atau proyek yang selanjutnya
dapat diajukan ke badan legislatif untuk dipertimbangkan.
3) Pengusulan alternatif terbaik
Tahapan ini nampaknya kurang mendapatkan perhatian
dalam siklus kebijakan publik. Cukup banyak usulan program
atau proyek yang tidak mengikuti tahapan-tahapan di atas,

KEBIJAKAN PUBLIK 59
karena muncul secara tiba-tiba sehingga tidak dapat dipertang-
gungjawabkan baik secara keilmuan maupun secara
demokratis. Program atau proyek tersebut secara jelas
melanggar prinsip kebijakan publik baik dalam konteks
rasionalitas maupun demokrasi sebagaimana diuraikan dalam
langkah-langkah sebelumnya. Sebaliknya cukup banyak juga
usulan program atau proyek yang telah diuji secara keilmuan
dan demokratis tetapi kemudian kurang mendapat tanggapan
atau dukungan yang hangat dalam RAKORBANG. Pada hal
usulan seperti ini telah banyak memakan biaya. Bahkan tidak
jarang terjadi usulan-usulan tersebut kemudian diganti saja
oleh elit-elit birokrasi atau legislatif yang sesungguhnya tidak
memiliki dasar yang jelas atau tidak mengikuti proses analisis
kebijakan yang benar.
Diharapkan wakil-wakil rakyat dapat memberikan
sumbangan pikiran dalam peningkatan kualitas kebijakan
dengan ikut mengontrol latar belakang atau proses formulasi
usulan-usulan program atau proyek yang ada. Mereka juga
diharapkan mampu menguji logika keterkaitan baik langsung
maupun tidak langsung antara usulan tersebut dengan masalah
yang hendak dipecahkan. Kadang-kadang suatu usulan
kebijakan kurang memiliki hubungan sebab akibat yang
signifikan terhadap masalah yang hendak dipecahkan. Suatu
usulan tidak hanya sekedar memiliki hubungan sebab akibat
tetapi yang penting lagi adalah hubungan tersebut benar-benar
signifikan, artinya alternatif tersebut tidak hanya "perlu"
(necessary) tetapi "perlu dan cukup" (necessary dan sufficient)
untuk memecahkan masalah yang dihadapi.

2. Pengesahan Kebijakan
M. Irfan Islamy (1986:98), mengatakan bahwa proses penge-
sahan kebijakan dapat pula dikatakan sebagai pembuatan keputusan.
Oleh karena suatu usulan kebijakan yang dibuat oleh orang atau
badan dapat saja usulan itu disetujui oleh pengesah kebijakan. Suatu
usulan kebijakan diadopsi atau diberikan pengesahan oleh orang atau
badan yang berwewenang, maka usulan kebijakan tersebut berubah
menjadi kebijakan (policy decision) yang sah (legitimate). Kebijakan

60 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


yang sudah disahkan berarti sudah mengikat bagi orang atau pihak
yang menjadi sasaran dari kebijakan tersebut. Oleh karena setiap
kebijakan yang telah disahkan berarti telah siap untuk diimplemen-
tasikan.
Proses pengesahan kebijakan adalah proses penyesuaian dan
penerimaan secara bersama terhadap prinsip-prinsip yang diakui dan
ukuran-ukuran yang diterima. Landasan utama untuk melakukan
pengesahan kebijakan ialah variabel sosial seperti sistem nilai
masyarakat, ideologi negara, sistem politik dan sebagainya.
Di Negara-negara yang menganut paham demokrasi, prinsip
dasar dalam melaksanakan pengesahan ialah dikenal dengan sebutan
"majority coalition building" atau "majority vote" artinya apabila
mayoritas pihak-pihak yang terlibat dalam proses pengesahan itu
setuju, maka pengesahan dapat diberikan.
Di Indonesia, landasan utama dalam proses perumusan dan
pengesahan kebijakan publik dilakukan secara "musyawarah untuk
mufakat". Pemungutan suara (voting) dimana satu orang punya satu
suara (one man one vote) barulah dilakukan kalau musyawarah
untuk mufakat mengalami jalan buntu.
Menurut James E. Anderson dalam Islamy (1986:100),
bahwa proses pengesahan kebijakan biasanya diawali dengan
kegiatan "persuasion" dan "bargaining". Persuasion diartikan oleh
Anderson sebagai usaha-usaha untuk meyakinkan orang lain
tentang suatu kebenaran atau nilai kedudukan seseorang sehingga
mereka mau menerimanya sebagai miliknya sendiri.
Orang yang mencari dukungan orang lain, perlu meyakinkan
bahwa pendapatnya benar, dan bermanfaat bagi masyarakat, sesuai
dengan kebutuhannya yang mendesak, sehingga orang lain
membenarkan pendapat itu dan mendukungnya. Perumus kebijakan
berusaha menciptakan timbulnya suasana emosional sedemikian rupa
sehingga pengesah kebijakan merasa yakin tentang perlunya segera
mengesahkan kebijakan.
Kegiatan bargaining diartikan oleh Anderson sebagai suatu
proses dimana dua orang atau lebih yang mempunyai kekuasaan
atau otoritas mengatur/menyesuaikan setidak-tidaknya sebagian
tujuan yang tidak mereka sepakati agar dapat merumuskan

KEBIJAKAN PUBLIK 61
serangkaian tindakan yang dapat diterima bersama tetapi tidak perlu
terlalu ideal bagi mereka.

Teori Formulasi Kebijakan


Teori Formulasi Kebijakan telah dirumuskan oleh R. Dye
(1995), sembilan model secara lengkap sebagai berikut:
Teori Kelembagaan
Teori Kelembagaan, Yaitu teori yang secara sederhana
mengatakan bahwa tugas membuat kebijakan adalah tugas
pemerintah. Oleh karena itu, apapun dan cara apapun yang dibuat
oleh pemerintah pada dasarnya dapat dikatakan sebagai kebijakan
publik. Teori ini merupakan teori yang paling sederhana dalam
formulasi kebijakan publik. Karena teori ini hanya mendasarkan pada
fungsi-fungsi kelembagaan dan pemerintah di setiap sektor dan
tingkat dalam formulasi kebijakan dikatakan R. Dye (1995), bahwa
ada tiga hal yang membenarkan teori ini, yaitu pemerintah memang
sah membuat kebijakan publik, fungsi tersebut bersifat universal,
karena pemerintah memang mempunyai hak memonopoli fungsi
mengatur (koreksi) dalam proses kegiatan publik. Teori kelembagaan
pada dasarnya merupakan derivasi dari ilmu politik tradisional yang
menekankan pada struktur dari pada proses politik. Prosesnya
mengandaikan bahwa tugas formulasi kebijakan adalah tugas
lembaga-lembaga pemerintah yang dilakukan secara otonom tanpa
berinteraksi dengan publik. Salah satu kelemahan dari pendekatan ini
adalah terabaikannya masalah-masalah lingkungan tempat diterap-
kannya kebijakan itu.
Teori Proses
Teori Proses, yaitu teori yang berasumsi bahwa politik
merupakan sebuah aktivitas sehingga mempunyai proses. Untuk itu,
kebijakan publik merupakan proses politik yang menyertakan
rangkaian kegiatan berikut: (1) Identifikasi permasalahan, yaitu
mengemukakan tuntutan agar pemerintah mengambil tindakan, (2)
Menata agenda formulasi kebijakan, yaitu memutuskan isu apa yang
dipilih dan permasalahan apa yang hendak dikemukakan. (3)
Perumusan proposal kebijakan, yaitu mengembangkan proposal

62 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


kebijakan untuk menangani masalah tersebut (4) legitimasi
kebijakan, yaitu memilih satu proposal yang dinilai terbaik untuk
kemudian mencari hubungan politik agar dapat diterima sebagai
sebuah aturan. (5) Implementasi kebijakan, yaitu mengorganisasikan
birokrasi, menyediakan pelayanan dan pembayaran, dan penggunaan
pajak, (6) Evaluasi kebijakan, yaitu melakukan studi program,
melaporkan outputnya, mengevaluasi pengaruh (impact) dan
kelompok sasaran dan non-sasaran, memberikan rekomendasi
penyempurnaan kebijakan.
Teori ini memberikan rujukan tentang bagaimana kebijakan
dibuat atau seharusnya dibuat, namun memberikan tekanan pada
substansi seperti apa yang harus ada.
Teori Kelompok
Teori Kelompok, yaitu teori yang mengendalikan kebijakan
sebagai titik keseimbangan. Inti teori ini adalah interaksi di dalam
kelompok akan menghasilkan keseimbangan yang terbaik. Individu
dan kelompok-kelompok kepentingan berinteraksi secara formal dan
informal, dan secara langsung atau melalui media massa
menyampaikan tuntutannya kepada pemerintah untuk melahirkan
kebijakan publik yang dibutuhkan. Peran sistem politik yaitu untuk
memanaj konflik yang muncul dari perbedaan tuntutan melalui: (a)
Perumusan aturan main antar kelompok kepentingan. (b) Penataan
kompromi dan menyeimbangkan kepentingan, (c) Pembentukan
kompromi dalam kebijakan publik yang akan dibuat. Teori kelompok
pada dasarnya merupakan abstraksi dari formulasi kebijakan yang
akan dibuat. Wibawa (1994:9), mengatakan bahwa dari beberapa
kelompok kepentingan berusaha mempengaruhi isi dan bentuk
kebijakan secara interaktif.
Teori Elit
Teori Elit, yaitu teori ini berkembang dari teori politik elit massa
yang melandaskan diri pada asumsi bahwa dalam setiap masyarakat
pasti terdapat dua kelompok, yaitu pemegang kekuasaan atau elit
dan yang tidak memiliki kekuasaan atau massa. Teori berkembang
dari kenyataan bahwa sedemokratis apapun, selalu ada bias di dalam
formulasi kebijakan, karena pada akhirnya kebijakan-kebijakan yang
dilahirkan merupakan preferensi politik dari para elit. Oleh karena itu,

KEBIJAKAN PUBLIK 63
menurut Nugroho (2006:80), mengatakan bahwa ada dua penilaian
dalam teori ini yaitu negative dan positif. Pada pandangan negatif
mengemukakan bahwa pada akhirnya, di dalam sistem politik, peme-
gang kekuasaan politiklah yang akan menyelenggarakan kekuasaan
sesuai dengan keinginan. Dalam artian bahwa masyarakat dianggap
sebagai kelompok yang sengaja dimanipulasi sedemikian rupa agar
tidak masuk dalam proses formulasi kebijakan. Pemilihan umum pun
pada dasarnya bukan sebagai bentuk partisipasi yang murni,
melainkan bentuk mobilisasi. Massa yang diarahkan untuk ikut serta
dalam proses pemilihan. Pandangan positif, melihat bahwa
seorang elit menduduki puncak kekuasaan karena berhasil
memenangkan gagasan membawa negara dan bangsa ke arah yang
lebih baik dibandingkan dengan pesaingnya. Pemimpin (elit) pasti
mempunyai visi tentang kepemimpinannya, dan kebijakan publik
sebagai bagian dari karyanya untuk merealisasikan visi tersebut.
Teori Rasional
Teori Rasional, yaitu teori yang mengedepankan gagasan
bahwa kebijakan publik sebagai maksimum social gain berarti
pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus memilih kebijakan yang
memberikan manfaat yang terbaik bagi masyarakat. Teori ini
dikembangkan dari teori Cost-benefit analysis, sebuah teori yang
diawali dengan US Corps and Engines (Seperti Departemen Pekerjaan
Umum) pada tahun 1930-an dalam rangka membangun bendungan
dan jembatan. Teori rasional paling banyak digunakan oleh para
aktor perumus kebijakan di seluruh dunia. Teori ini mengatakan
bahwa proses formulasi kebijakan harus didasarkan pada keputusan
yang sudah diperhitungkan tingkat rasionalitasnya. Rasionalitas yang
dimaksud adalah perbandingan antara pengorbanan dan hasil yang
dicapai, dengan kata lain teori ini lebih menekankan pada aspek
efisiensi. Adapun langkah-langkah dalam memformulasi kebijakan:
(1) Mengetahui preferensi publik dan kecenderungannya, (2)
Menemukan pilihan-pilihan, (3) Menilai konsekuensi masing-masing
pilihan. (4) Menilai rasional nilai sosial yang dikorbankan, (5) Memilih
alternatif kebijakan yang paling efisien.

64 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


Teori Inkrementalis
Teori inkrementalis, pada dasarnya merupakan kritik
terhadap teori rasional. Para perumus kebijakan tidak pernah
melakukan proses seperti yang dipersyaratkan oleh pendekatan
rasional karena mereka tidak memiliki cukup waktu, intelektual,
maupun biaya. Ada kekhawatiran bahwa akan muncul dampak yang
tidak diinginkan akibat kebijakan yang belum pernah dibuat
sebelumnya, ada hasil-hasil dari kebijakan sebelumnya yang harus
dipertahankan untuk menghindari konflik Winarno, (2002:77-78),
Wahab (2002:21), Nugroho (2006:89). Teori ini berasumsi bahwa
kebijakan publik merupakan variasi ataupun kelanjutan dari kebijakan
di masa lalu. Teori ini dapat dikatakan sebagai teori pragmatis.
Pendekatan ini digunakan ketika pengambilan kebijakan berhadapan
dengan waktu, ketersediaan informasi dan kecukupan dana untuk
melakukan evaluasi kebijakan secara komprehensif. Sementara itu
pengambil kebijakan dihadapkan pada ketidakpastian yang muncul.
Pilihannya yaitu melanjutkan kebijakan di masa lalu dengan beberapa
modifikasi seperlunya.
Teori Permainan
Teori permainan ini muncul setelah berbagai pendekatan yang
sangat rasional tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
muncul dan sulit diterangkan dengan fakta-fakta yang tersedia,
karena sebagian besar dari keseluruhan fakta tersebut tersembunyi.
Teori permainan adalah sangat abstrak dan deduktif dalam formulasi
kebijakan. Sesungguhnya teori ini mendasarkan pada formulasi
kebijakan yang rasional. Namun, dalam kondisi kompetisi, tingkat
keberhasilan kebijakan tidak hanya ditentukan oleh aktor perumus
kebijakan, tetapi juga tidak oleh aktor-aktor lain. Konsep kunci dari
teori permainan adalah strategi. Konsep kuncinya yaitu bukan yang
paling optimum, namun yang paling aman dari serangan lawan. Jadi,
pada dasarnya teori ini mempunyai tingkat konservatis yang tinggi
karena pada intinya adalah strategi defensif. Inti dari teori permainan
adalah bahwa ia mengakomodasi kenyataan paling riil, bahwa setiap
warga negara, setiap pemerintahan, setiap masyarakat tidak hidup
dalam vakum. Ketika ia mengambil keputusan, lingkungan tidak pasif,

KEBIJAKAN PUBLIK 65
melainkan membuat keputusan yang bisa menurunkan keefektifan
keputusan.
Teori Pilihan Publik
Teori ini melihat kebijakan sebagai sebuah proses formulasi
keputusan kolektif dari individu-individu yang berkepentingan atas
keputusan tersebut. Kebijakan ini sendiri berdasarkan teori ekonomi
pilihan publik, yang mengasumsikan bahwa manusia adalah homo
economicus yang memiliki kepentingan-kepentingan yang harus
dipuaskan prinsipnya adalah buyer meet seller, supply meet demand.
Inti dari teori ini, yaitu setiap kebijakan publik yang dibuat oleh
pemerintah harus merupakan pilihan dari publik yang menjadi
pengguna. Proses formulasi kebijakan publik dengan demikian
melibatkan publik melalui kelompok-kelompok kepentingan. Secara
umum, teori ini merupakan konsep yang paling demokratis karena
memberi ruang yang luas kepada publik untuk mengkonstribusikan
pilihan-pilihannya kepada pemerintah sebelum keputusan diambil. Hal
ini sejalan dengan pemikiran John Locke, mengatakan bahwa
pemerintah merupakan lembaga yang muncul dari "Kontrak Sosial"
diantara individu warga masyarakat.
Teori Sistem
Teori ini, dipelopori oleh David Easton yang melakukan analogi
dengan sistem biologi. Pada dasarnya sistem biologi merupakan
proses interaksi antara makhluk hidup dan lingkungannya, yang pada
akhirnya menciptakan kelangsungan perubahan hidup yang relatif
stabil. Asumsi dari teori ini adalah Easton menganalogikannya dengan
kehidupan sistem politik. Dalam teori ini dikenal tiga komponen yaitu:
input, proses dan output. Salah satu kelemahan dari teori ini adalah
terpusatnya perhatian pada tindakan-tindakan yang dilakukan
pemerintah, dan pada akhirnya kita kehilangan pada apa yang tidak
pernah dilakukan pemerintah. Formulasi kebijakan dengan meng-
gunakan teori sistem mengasumsikan bahwa kebijakan merupakan
hasil atau output dari sistem (politik). Penggunaan teori ini,
merupakan pendekatan yang paling sederhana, namun cukup
komprehensif, meskipun tidak memadai lagi untuk dipergunakan
sebagai landasan perumusan kebijakan dan atau pengambilan
keputusan.

66 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


Teori Demokrasi
Di negara-negara berkembang belakangan ini sering meng-
elaborasi semua teori yang berintikan bahwa pengambilan keputusan
harus sebanyak mungkin mengelaborasi suara dari stakeholders.
Menurut Nugroho (2006:98), dikatakan sebagai teori "model
demokrasi" karena menghendaki agar setiap "pemilik hak demokrasi'
diikutsertakan sebanyak mungkin. Teori ini berkembang khususnya di
Negara-negara yang baru saja mengalami transisi ke demokrasi.
Teori ini biasanya dikaitkan dengan implementasi Good
Governance bagi pemerintahan yang menggunakan agar dalam
membuat kebijakan, para konstituen dan pemanfaat diakomodasi
keberadaannya. Teori model demokrasi ini, kemudian dikembangkan,
antara lain menjadi model "democratic governance". Istilah ini
dikembangkan antara lain oleh March dan Olsen (1995). Kedua ahli
ilmu social ini mendefinisikan democratic governance sebagai
demokrasi yang perlu dipahami sebagai sebuah budaya, keyakinan
dan etos yang dikembangkan melalui interpretasi dan praktik March
dan Olsen memahami democratic governance sebagai sebuah budaya
politik yang demokratis.
3. Impelementasi Kebijakan
Bernadine R. Wijaya & Susilo Supardo (2006:81),
mengatakan bahwa implementasi adalah proses mentransformasikan
suatu rencana ke dalam praktik.
Orang sering beranggapan bahwa implementasi hanya
merupakan pelaksanaan dari apa yang telah diputuskan legislatif atau
para pengambil keputusan, seolah-olah tahapan ini kurang
berpengaruh. Akan tetapi dalam kenyataan dapat dilihat sendiri
bahwa betapapun baiknya rencana yang telah dibuat tetapi tidak ada
gunanya apabila itu tidak dilaksanakan dengan baik dan benar. Ia
membutuhkan pelaksana yang benar-benar jujur, untuk menghasil-
kan apa yang menjadi tujuannya, dan benar-benar memperlihatkan
rambu-rambu pemerintah yang berlaku. Sayangnya, implementasi ini
sering dipakai sebagai ajang melayani kepentingan kelompok, pribadi
dan bahkan kepentingan partai. Implementasi pada dasarnya
operasionalisasi dari berbagai aktivitas guna mencapai suatu tujuan.
Hinggis (1985), mendefinisikan implementasi sebagai rangkuman

KEBIJAKAN PUBLIK 67
dari berbagai kegiatan yang di dalamnya sumber daya manusia
menggunakan sumber daya lain untuk mencapai sasaran strategi.
Grindle (1980), Implementasi sering dilihat sebagai suatu
proses yang penuh dengan muatan politik dimana mereka yang
berkepentingan berusaha sedapat mungkin mempengaruhinya.
Gordon (1986), mengatakan bahwa implementasi berkenaan dengan
berbagai kegiatan yang diarahkan pada realisasi program. Dalam hal
ini administrator mengatur cara untuk mengorganisir, menginter-
pretasikan dan menerapkan kebijakan yang telah diseleksi.
Mengorganisir berarti mengatur sumber daya, unit-unit dan metode-
metode untuk melaksanakan program. Melakukan interpretasi
berkenaan dengan mendefinisikan istilah-istilah program ke dalam
rencana-rencana dan petunjuk-petunjuk yang dapat diterima dan
feasible. Menerapkan berarti menggunakan instrumen-instrumen
mengerjakan atau memberikan pelayanan rutin, melakukan pemba-
yaran-pembayaran. Atau dengan kata lain implementasi merupakan
tahap realisasi tujuan-tujuan program. Dalam hal ini yang perlu
diperhatikan adalah persiapan implementasi, yaitu memikirkan dan
menghitung secara matang berbagai kemungkinan keberhasilan dan
kegagalan, termasuk hambatan atau peluang-peluang yang ada dan
kemampuan organisasi yang diserahi tugas melaksanakan program.
Beberapa literatur penting yang ditulis oleh Jefferey L.
Pressman dan Aaron Wildavsky (1973), Robet Nakamura dan Frank
Smallwood (1980), George C. Edward (1980), Paul Sabatier dan
Daniel Masmanian (1980), Paul A Sabatier (1986), M.S.Grindle
(1980), Linder dan Peters (1986), dalam Keban yang dapat menjadi
sumber informasi tentang dinamika implementasi dan faktor-faktor
yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan implementasi.
Termasuk dalam literatur penting tersebut adalah karya Gogging,
Bowman, O'Toole dan Lester (1990), yang membedakan
implementasi ke dalam generasi, yaitu generasi pertama, kedua dan
ketiga.
Menurut Goggin dkk (1990), implementasi generasi pertama
dapat diamati dari karya Pressman dan Wildavsky (1973), yang
melihat implementasi sebagai suatu bentuk pelaksanaan yang sangat
bersifat top down dimana penilaiannya ditentukan dari seberapa jauh
terjadi deviasi terhadap desain yang telah ditetapkan. Generasi

68 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


kedua, merupakan reaksi terhadap kelemahan generasi pertama,
yang bersifat bottom up dimana eksistensi jaringan kerja para aktor,
termasuk tujuan, strategi dan aksi mereka ikut diperhitungkan. Atau
dengan kata lain, sebagaimana di ungkapkan Linder dan Peters
(1986), dan juga Nakamura (1987), desain program/kebijakan
harus mempertimbangkan kebutuhan dan nilai yang dianut para
implementor, karena itu adaptasi dan diskresi dalam implementasi
seharusnya dilihat sebagai suatu yang seharusnya atau diinginkan.
Implementasi generasi ketiga, pusat perhatian diarahkan pada desain
kebijakan dan jaringan kebijakan serta implementasinya pada
pelaksanaan dan keberhasilannya Goggin dkk. (1990). Kegagalan
dalam pelaksanaan dilihat sebagai produk dari desain yang kurang
mempertimbangkan berbagai faktor yang bakal berpengaruh dalam
pelaksanaan.
Dalam implementasi kebijakan terdapat berbagai hambatan.
Gow dan Morss mengungkapkan antara lain (1) hambatan politik,
ekonomi, dan lingkungan, (2) kelemahan institusi, (3) ketidak-
mampuan SDM di bidang teknis dan administratif, (4) kekurangan
dalam bantuan teknis, (5) kurangnya desentralisasi dan partisipasi,
(6) pengaturan waktu (timing), (7) sistem informasi yang kurang
mendukung, (8) perbedaan agenda tujuan antara aktor, (9)
dukungan yang berkesinambungan lihat Turner dan Hulme
(1997:66-67). Semua hambatan ini dapat dengan mudah dibedakan
atas hambatan dari dalam dan dari luar. Hambatan dari dalam dapat
dilihat dari ketersediaan dan kualitas input yang digunakan seperti
Sumber Daya Manusia, dana, struktur organisasi, informasi, saran
dan fasilitas yang dimiliki, serta aturan, sistem dan prosedur yang
harus digunakan, dan hambatan dari luar dapat dibedakan atas
semua kekuatan yang berpengaruh langsung ataupun tidak langsung
kepada proses implementasi itu sendiri, seperti peraturan atau
kebijakan pemerintah, kelompok sasaran, kecenderungan ekonomi,
politik, kondisi sosial budaya dan sebagainya. Untuk lebih mem-
pelajari lebih mendalam tentang implementasi ini maka beberapa
literatur lainnya dapat digunakan.
Salah satu pendapat yang sangat singkat dan tegas tentang
keberhasilan atau kegagalan dari implementasi kebijakan
disampaikan oleh D. L. Weimer dan Aidan R. Vining (1999:398),

KEBIJAKAN PUBLIK 69
setelah mempelajari berbagai literatur tentang implementasi. Menurut
mereka ada tiga faktor umum yang mempengaruhi keberhasilan yaitu
(1) logika yang digunakan oleh suatu kebijakan, yaitu sampai berapa
benar teori yang menjadi landasan kebijakan atau seberapa jauh
hubungan logis antara kegiatan-kegiatan yang dilakukan dengan
tujuan atau sasaran yang telah ditetapkan; (2) hakekat kerjasama
yang dibutuhkan, yaitu apakah semua pihak yang terlibat dalam
kerjasama telah merupakan suatu assembling produktif dan (3)
ketersediaan sumber daya manusia yang memiliki kemampuan,
komitmen untuk mengelola pelaksanaannya.
4. Evaluasi Kebijakan
Badjuri & Admin (2003:132), mengatakan bahwa evaluasi
kebijakan merupakan salah satu tahapan penting kebijakan. Keban
(2004:74), Salah satu bidang penting lain yang dipergunakan untuk
mengawasi jalannya proses implementasi adalah monitoring. Di
dalam proses monitoring ini dilakukan pengamatan langsung ke
lapangan dan hasil-hasil sementara untuk dinilai tingkat efisiensi dan
efektivitasnya. Tingkat efisiensi dalam proses ini menyangkut rasio
terbaik antara semua biaya yang dikeluarkan selama implementasi
dibandingkan dengan hasil sementara yang diperoleh, sementara
tingkat efektivitasnya selalu dikaitkan dengan apakah suatu hasil
sementara yang didapatkan merupakan hasil yang memang
direncanakan atau tidak.
Evaluasi digunakan untuk mempelajari tentang hasil yang
diperoleh dalam suatu program untuk dikaitkan dalam pelaksanaan-
nya, mengendalikan tingkah laku dari orang-orang yang bertanggung
jawab terhadap pelaksanaan program, dan mempengaruhi respon
dari mereka yang berada di luar lingkungan politik. Evaluasi, tidak
saja berguna untuk menjastifikasikan kegunaan dari program yang
sedang berjalan, tetapi juga untuk melihat kegunaan program dan
inisiatif baru, peningkatan efektivitas manajemen dan administrasi
program, dan mempertanggungjawabkan hasil kepada pihak yang
mensponsori program tersebut Rossi & Freeman (1993:4).
Untuk dapat melakukan evaluasi, diperlukan rincian tentang
apa yang perlu dievaluasi, pengukuran terhadap kemajuan yang
diperoleh dengan mengumpulkan data, dan analisis terhadap data
yang ada terutama berkaitan dengan output dan outcome yang

70 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


diperoleh untuk kemudian dibandingkan dengan tujuan suatu
program. Hubungan sebab akibat harus diteliti secara cermat antara
kegiatan program dengan output dan outcome yang nampak.
Pertanyaan kunci yang sering diungkapkan dalam suatu proses
evaluasi adalah apakah outcome yang muncul merupakan kebutuhan
pedesaan yang meningkat pada dua tahun terakhir benar-benar
dipengaruhi oleh partisipasi mereka dalam program pengembangan
kecamatan, atau oleh faktor lain. Kalau memang dipengaruhi oleh
faktor lain, maka evaluator tidak dapat mengklaim bahwa program
tersebut telah efektif.
Problem yang biasanya dihadapi dalam evaluasi kebijakan
adalah kelemahan dalam penyusunan indikator keberhasilan, dalam
merumuskan masalah, mengidentifikasikan tujuan, perbedaan
tentang persepsi terhadap tujuan antara penilai dan yang dinilai,
perbedaan dalam orientasi waktu dan sebagainya. Salah satu
program yang terpenting adalah unsur subyektivitas dalam evaluasi.
Memang diharapkan bahwa dalam evaluasi perlu adanya unsur
obyektivitas dan bebas nilai, namun dalam kenyataan evaluasi sangat
bersifat politis, misalnya ada kecenderungan untuk melaporkan hasil
yang sukses meskipun dalam kenyataan tidak sukses, sebagai akibat
dari kepentingan tertentu seperti ingin mendapatkan promosi,
mendapatkan proyek atau program baru lagi, malu kalau
membeberkan kelemahan dan sebagainya.

C. ISU KEBIJAKAN

Dalam proses penyusunan dan pembuatan kebijakan publik


terdapat isu menarik yang patut digambarkan di sini antara lain isu
yang menyangkut etika kebijakan, penyesuaian paradigma, kualitas,
efektivitas dan kapasitas kebijakan, serta kepalsuan kebijakan.
1. Etika Kebijakan
Isu generik yang sering dipersoalkan berkenaan dengan etika
dalam kebijakan publik. Semua tahapan proses pembuatan
keputusan cenderung berhubungan dengan masalah etika mulai dari
(1) tahap agenda setting, analisis masalah, identifikasi kriteria, (2)
tahap analisis kebijakan, formulasi dan legitimasi, adopsi, (3) tahap
alokasi sumber daya, implementasi dan manajemen, dan (4) tahap

KEBIJAKAN PUBLIK 71
evaluasi proses, evaluasi outcome, dan analisis kebijakan yang
sedang berjalan Danahue (2003).
Salah satu yang populer adalah menyangkut tahap seleksi
alternatif kebijakan. Seringkali timbul konflik antara kriteria-kriteria
yang sering digunakan sehingga memberikan peluang untuk
melakukan manipulasi. Apalagi kriteria efisiensi misalnya, seringkali
tidak sejalan dengan kriteria publik. Disamping itu, sering kali terjadi
kesulitan teknis dalam menghimpun data atau informasi tentang
masing-masing kriteria karena keterbatasan dalam kemampuan
analysis atau decision makers, dan kompleksitasnya data atau bahkan
kekurangan data yang valid untuk menunjang penilaian alternatif-
alternatif yang ada.
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa Harbert
Simon pernah mengungkapkan kesulitan atau keterbatasan ini, dan
karenanya berpendapat bahwa analisis sebenarnya berusaha bukan
untuk mengoptimalisasikan hasil dari pilihannya, yaitu memilih yang
paling menguntungkan secara ekonomis seperti yang dikejar dalam
"rational-comprehensive theory", tetapi lebih cenderung untuk
membuat pilihan yang lebih "memuaskan hasil mereka", dan mungkin
bukan yang terbaik. Oleh karena itu, disarankan bahwa pemilihan
alternatif terbaik hendaknya mengikuti prinsip-prinsip dari "disjointed-
incremental theory" lihat Braybrook & Lindblom (1963), yaitu
memilih alternatif secara incremental, sedikit berbeda dari alternatif
yang sudah ada, dengan memberikan tanggungjawab penilaian dan
evaluasinya kepada banyak kelompok dalam masyarakat sehingga
proses pemilihannya terpisah-pisah. Pola seperti ini dikritik karena
cenderung mempertahankan status quo. Karena itu, pemilihan suatu
kebijakan yang mengikuti pola "mixed scanning" Etzioni (1976),
dapat digunakan. Artinya, digunakan pola keputusan kombinasi,
dimana pola yang rational comprehensive dipakai dalam kaitannya
dengan perubahan-perubahan yang strategis, dan pola incremental
dipakai untuk masalah-masalah yang operasional.
Disamping itu, keputusan kelompok sering kali dianggap lebih
baik (etis) dari pada keputusan individu karena lebih bersifat
demokratis, dan tidak selalu merupakan refleksi dari kepentingan
individu. Hal ini masuk akal karena menurut K. Arrow dalam Dunn
(1994), bahwa dalam keputusan individual, alternatif-alternatif yang

72 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


ada dapat dirangking secara konsisten (transitive), tetapi dalam
keputusan kelompok, alternatif-alternatif yang ada tidak dapat ditarik
secara konsisten (cyclic). Karena itu disarankan agar keputusan
hendaknya diserahkan kepada beberapa dicision makers saja agar
dapat memperoleh keputusan yang transitif. Tetapi dengan
memberikan keleluasaan kepada beberapa decision maker akan
memberi peluang untuk berkembangnya decision makers yang
otoriter.
2. Paradigmatis Kebijakan
Ajaran Reinventing Government oleh Gaebler & Osborne
(1993), yang disarankan dalam 10 prinsip pokok seperti pemerintah
yang bersifat katalik, memberdayakan masyarakat, mendorong
semangat kompetisi, berorientasi pada misi, mementingkan hasil dan
bukan cara, mengutamakan kepentingan pelanggan, berjiwa wira-
usaha, berupaya dalam memecah masalah atau bersifat antisipatif,
cenderung sentralistis, dan berorientasi pada pasar. Kehadiran
prinsip-prinsip ini membawa implikasi bahwa kebijakan-kebijakan
publik di masa mendatang harus memperhatikan hal-hal sebagai
berikut.
Pertama, pemerintah harus bertanggungjawab atas tersusun-
nya kebijakan dengan memainkan perannya sebagai katalisator.
Dengan kata lain pemerintah harus mengurusi kebijakan, sedangkan
yang melaksanakan tidak harus pemerintah sendiri. Dalam artian
bahwa yang dapat melaksanakan adalah swasta, Lembaga Swadaya
Masyarakat disingkat LSM dan masyarakat itu sendiri.
Kedua, pemerintah dalam menyusun kebijakan harus
melibatkan masyarakat karena masyarakat adalah pelanggannya.
partisipasi masyarakat harus diberdayakan agar aspirasi mereka
dapat terungkap.
Ketiga, kebijakan-kebijakan itu harus mendorong tumbuhnya
proses belajar dan inovasi di kalangan masyarakat, sehingga
masyarakat makin lama semakin berdaya. Masyarakat dapat
memecahkan masalahnya sendiri dan tidak selalu tergantung pada
pemerintah sekaligus dapat belajar untuk memecahkan masalahnya
sendiri.
Keempat, kebijakan yang dirumuskan harus berorientasi pada
pasar, termasuk pasar sosial, yaitu tidak lain dari pada kebutuhan

KEBIJAKAN PUBLIK 73
masyarakat. Memang perlu untuk melihat peluang-perluang pasar
yang dapat diisi dengan diterimanya suatu alternatif, tetapi peluang
pasar tidak semata diinterpretasikan secara sederhana. Tuntutan
suatu kebutuhan masyarakat juga harus dilihat sebagai peluang
pasar.
Kelima, kebijakan yang bersifat preventif perlu dilakukan dan
hasil atau kinerja kebijakan harus diprioritaskan. Kebijakan-kebijakan
yang diimplementasikan seringkali tidak dikoordinasikan kebijakan-
kebijakan yang lain sehingga sering berbenturan dalam hal
implementasi dan hasil. Banyak masalah yang timbul justru sebagai
akibat kurang adanya integrasi yang baik antar kebijakan yang
dibuat.
Selain itu, dengan munculnya paradigma The New Publik
Service oleh Denhardt & Denhardt (2003), kebijakan publik selama
ini telah diarahkan kepada tuntutan Reinventing Government atau
New Publik Management harus disesuaikan lagi. Pengejawantahan
dalam jenis dan pola kebijakan sudah harus dilakukan agar kebijakan
publik dapat lebih memunculkan semangat demokrasi dan berpihak
kepada masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam sharing pendapat,
dialog bebas, penekanan pada kepentingan publik dan prinsip-prinsip
demokrasi, harus mewarnai kebijakan publik.
3. Kualitas, Efektivitas, dan Kapasitas Kebijakan
Pada dasarnya kualitas suatu kebijakan dapat diketahui melalui
beberapa tolak ukur penting seperti proses, isi dan konteks atau
suasana dimana kebijakan itu dihasilkan atau dirumuskan. Menurut
Keban (2004:78), kualitas kebijakan dapat dilihat dari tiga segi yaitu
(1) Dilihat dari segi proses, suatu kebijakan dapat dikatakan
berkualitas kalau kebijakan tersebut diproses dengan data dan
informasi yang akurat, menggunakan metode dan teknik yang sesuai,
mengikuti tahapan-tahapan yang rasional dan melibatkan para ahli
serta masyarakat yang berkepentingan atau stakeholders. (2) Dilihat
dari segi isi, suatu kebijakan dapat dikatakan berkualitas apabila
kebijakan tersebut merupakan alternatif atau jalan keluar terbaik
dalam rangka memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat. (3)
Sedangkan dilihat dari segi konteks maka suatu kebijakan dapat
dikatakan berkualitas apabila kebijakan tersebut dirumuskan dalam

74 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


suasana yang benar-benar bebas dari rekayasa, bebas dari tekanan
atau paksaan dari pihak yang berpengaruh.
Pada era reformasi ini perlu penerapan prinsip-prinsip Good
governance dalam melakukan penilaian terhadap kualitas kebijakan.
Misalnya, orang akan mempertanyakan apakah suatu kebijakan
diproses secara transparan dan profesional; apakah isi kebijakannya
cukup responsif dan didasarkan pada suatu visi strategis; apakah
diarahkan untuk mengurangi ketimpangan dan kemiskinan; apakah
tidak mengganggu kelestarian lingkungan, tidak merugikan pihak
wanita dan minoritas, dan apakah berorientasi pada pasar.
Sayangnya sampai sekarang perhatian untuk menjawab pertanyaan-
pertanyaan ini masih belum memadai. Karena itu, kualitas kebijakan
masih jauh dari harapan.
Tingkat efektivitas kebijakan jarang diteliti secara serius dan
boleh dikatakan masih sangat ditentukan oleh analisis yang ada.
Nampaknya para analis belum diberi kesempatan untuk melakukan
analisis kebijakan secara akademik dan leluasa karena praktik
menunggu petunjuk dari atas masih mendominasi. Demikian pula
komitmen dari para policy makers untuk melakukan monitoring dan
evaluasi terhadap tingkat pencapaian outcome kebijakan publik
selama ini belum nampak.
Faktor lain yang turut memperburuk tingkat efektivitas
kebijakan adalah kurangnya dukungan sistem anggaran pemerintah.
Kenyataan menunjukkan bahwa tugas pengumpulan data, informasi
dan merekam data yang seharusnya menjadi dasar pengusulan
masalah publik untuk kemudian diproses dalam analisis kebijakan,
seringkali dilakukan secara "acak-acakan" karena tidak adanya atau
kurangnya dana, terburuh-buru oleh keterbatasan waktu yang
mendadak. Waktu dan sistem anggaran kita nampaknya tidak dapat
dikompromi, dan ironisnya bila dana anggaran terlambat dicairkan,
pemaksaan untuk menghabiskan dana dalam waktu begitu singkat
terus terjadi. Dalam kondisi seperti ini, semua kebijakan yang
diusulkan tahun tersebut akhirnya dilaksanakan secara serta-merta
dan menjadi tidak efektif. Hasilnya jelas tidak memuaskan, dan
semua pihak menyadari akan hal ini, termasuk petinggi negara, tetapi
tidak pernah ada upaya yang nyata untuk memperbaiki mekanisme
ini.

KEBIJAKAN PUBLIK 75
Faktor yang tidak kalah penting juga dalam menentukan
efektivitas kebijakan adalah rendahnya keterlibatan para stakeholders
dan masyarakat di beberapa daerah di Indonesia, tingkat partisipasi
masyarakat nampak masih rendah. Hal ini mungkin disebabkan
kurangnya kesadaran untuk berpartisipasi secara langsung, atau
mungkin juga mereka tidak diberikan akses untuk berpartisipasi.
Kapasitas kebijakan berkaitan dengan kemampuan suatu
kebijakan membawa perubahan sebagaimana diharapkan. Dengan
memperhatikan bahwa begitu banyak faktor yang menghambat
kualitas dan efektivitas kebijakan, maka dapat dipastikan bahwa
kemampuan kebijakan (kepastian kebijakan) dalam memecahkan
masalah-masalah publik selama ini belum memadai. Isu kepastian
kebijakan ini memang masih belum populer di Indonesia, padahal isu
ini merupakan isu sentral yang harus diberi perhatian khusus karena
menyangkut penggunaan anggaran negara. Adalah sia-sia, apabila
begitu banyak anggaran yang dibelanjakan untuk membiayai
kebijakan publik dalam berbagai bidang, tetapi kebijakan publik itu
tidak memberi manfaat apa-apa bagi publik.

76 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


4
TEORI BIROKRASI

A. KONSEP BIROKRASI

Pada dasarnya konsep yang berkembang sekarang ini adalah


konsep yang dikembangkan oleh De Gournay dalam Albrow
(1989:2), salah seorang perintis studi Birokrasi pada tahun 1764 di
Perancis menemukan sebuah penyakit pemerintahan yang disebut
"buruemania", untuk menyebutkan bentuk pemerintahan yang
banyak dikeluhkan dimana para pejabat, juru tulis, sekretaris, para
inspektur dan manajer diangkat bukan menguntungkan kepentingan
umum. Akan tetapi lebih mengutamakan kepentingan pribadi,
kelompok dan atau golongan.
Sejak itu istilah birokrasi mulai diperkenalkan, Dalam
perbendaharaan bahasa pada abad ke 18 sudah mulai populer istilah
"bureau" yang diserap dari konsep Yunani tentang pemerintahan
yang diartikan: meja tulis, tempat para pejabat bekerja, dan
ditambahkan arti aturan. Albrow (1989:3), menjelaskan istilah ini
kemudian mengalami transliterasi sebagaimana istilah democracy,
sehingga menjadi "bureaucracy". Kata ini dengan cepat diterima
dalam perbendaharaan politik internasional, dan menjadi
bureucratie (Perancis) bureukratie (Jerman), burocrazia (Italia),
dan Bureucracy (Inggris). Kata ini dalam kamus mengartikan
sebagai kekuasaan pejabat dalam pemerintahan.

TEORI BIROKRASI 77
Definisi Birokrasi
Weber dalam H.G Surie (1987:99), menyebut definisi
birokrasi adalah sebagai suatu daftar atau sejumlah daftar ciri-ciri
yang sifat pentingnya yang relatif secara hubungannya satu sama lain
telah banyak menimbulkan perdebatan. Paling mencolok diantara ciri-
ciri ini ialah bidang-bidang kompetensi yang jelas batasnya,
pelaksanaan tugas-tugas resmi secara terus menerus. Suatu hirarki
pengendalian yang teratur dimana kemungkinan untuk naik pangkat
memungkinkan dibuatnya suatu karier; pengangkatan dan kenaikan
pangkat berdasarkan kriteria kemampuan (termasuk ijazah-ijazah
pendidikan, ujian khusus dan prestasi dalam pekerjaan), pembuatan
keputusan yang didasarkan atas catatan-catatan tertulis, gaji tetap,
pemisahan jabatan dari hak milik pribadi pejabat, dan suatu gaya
pengambilan keputusan yang terdiri atas, penerapan aturan-aturan
umum pada kasus-kasus individual.
Weber pada dasarnya mengatakan bahwa efisiensi sebagai
norma birokrasi. Blau dalam Sinambela (2006:70), mengatakan
bahwa birokrasi adalah organisasi yang ditujukan untuk
memaksimumkan efisiensi dalam administrasi. Setiyono, (2004:9),
mengatakan bahwa birokrasi adalah merupakan sebuah ruang mesin
negara. Di dalam berisi orang-orang (pejabat) yang digaji dan
dipekerjakan oleh negara untuk memberikan nasehat dan
melaksanakan kebijakan politik negara.
J.B. Kristiadi (1994:93), mengatakan bahwa birokrasi adalah
merupakan struktur organisasi di sektor pemerintahan, yang memiliki
ruang lingkup tugas-tugas sangat luas serta memerlukan organisasi
besar dengan sumber daya manusia yang besar pula jumlahnya. Biro-
krasi yang dimaksudkan untuk penyelenggaraan bernegara,
penyelenggaraan pemerintahan termasuk di dalamnya penyeleng-
garaan pelayanan umum dan pembangunan, seringkali oleh
masyarakat diartikan dalam konotasi yang berbeda. Birokrasi seolah-
olah memberi kesan adanya suatu proses panjang yang berbelit-belit
apabila masyarakat akan menyelesaikan suatu urusan dengan aparat
pemerintah. G. Kartasapoetra (1994:2), mengatakan birokrasi
adalah pelaksanaan perintah-perintah secara organisatoris yang
harus dilaksanakan sedemikian rupa sehingga dan secara
sepenuhnya pada pelaksanaan pemerintahan melalui instansi-instansi

78 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


atau kantor-kantor. Priyo Budi Santoso (1997), mendefinisikan
Birokrasi adalah keseluruhan organisasi pemerintah, yang menjalan-
kan tugas-tugas negara dalam berbagai unit organisasi pemerintah di
bawah departemen dan lembaga-lembaga non-departemen, baik di
pusat maupun di daerah, seperti ditingkat provinsi, kabupaten,
kecamatan, maupun desa atau kelurahan. Pryudi Atmosudirdjo
(1971), mengemukakan bahwa birokrasi mempunyai tiga arti yaitu:
(1) Birokrasi sebagai suatu tipe organisasi. Sebagai suatu tipe
organisasi tertentu, birokrasi cocok untuk melaksanakan dan
menyelenggarakan suatu macam pekerjaan yang terikat pada
peraturan-peraturan yang bersifat rutin, artinya volume pekerjaan
besar akan tetapi sejenis dan bersifat berulang-ulang, dan pekerjaan
yang memerlukan keadilan merata dan stabil, (2) Birokrasi sebagai
sistem, yang artinya adalah suatu sistem kerja yang berdasar atas
tata hubungan kerjasama antara jabatan-jabatan (pejabat-pejabat)
secara langsung kepada persoalannya dan secara formal serta jiwa
tanpa pilih kasih atau tanpa pandang bulu, (3) Birokrasi sebagai jiwa
kerja, dalam hal ini merupakan jiwa kerja yang kaku, sebab cara
bekerjanya seolah-olah seperti mesin, ditambah lagi dengan disiplin
kerja yang ketat dan sedikitpun tidak mau menyimpang dari apa
yang diperintahkan atasan atau yang telah ditetapkan oleh
peraturan-peraturan.
Berdasarkan definisi birokrasi di atas, maka dapat dikatakan
bahwa Birokrasi adalah merupakan lembaga pemerintah yang
menjalankan tugas pelayanan pemerintahan baik ditingkat pusat
maupun di tingkat daerah.
Birokrasi pemerintahan dewasa ini, dimana para pejabat
memainkan fungsi dan peran dengan menggunakan kekuasaan yaitu:
jabatan, kewenangan dan legitimasi untuk mewujudkan pemerin-
tahan yang efisien dan efektif, dengan objek pemerintahan masa kini.
Dengan konsepsi masyarakat modern menurut Weber birokrasi
dipandang sebagai organisasi yang rasional, instrumen kekuasaan
yang paling utama dan ideal dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan yang efisien dan efektif H.G Surie (1987), Albrow,
(1989), Kartasapoetra (1994), Osborne dan Gaebler (1995),
Tjkorowinoto (2004), Thoha (2005), Abidin (2006), Dwiyanto

TEORI BIROKRASI 79
(2006). Mereka mengarahkan analisanya dengan birokrasi yang
rasional dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas.
Kenyataan empirik menunjukkan bahwa konsep birokrasi yang
dipergunakan di Indonesia mengalami kendala-kendala yang terdapat
pada birokrasi administrasi publik, pelaksanaan pembangunan
berlangsung demikian lamban atau mengalami banyak kegagalan,
karena para birokrat dan lembaga usaha swasta ataupun masyarakat
sendiri dapat dikatakan masih terjangkiti penyakit inefisiensi, yang
seharusnya mereka masing-masing memperoleh kebebasan untuk
menyembuhkan penyakit tersebut dengan menyesuaikan diri dengan
tata nilai baru administrasi publik yaitu pelayanan yang efisien
kepada pelanggan. Dvorin Eugene P. & Simmons, Robert H.
(2000:40), mengatakan bahwa birokrasi merupakan tempat
penyimpanan suatu kepercayaan masyarakat umum yang khas dan
unik bahkan meski birokrasi pemerintahan itu dipandang sebagai
pejabat yang dapat disuap. Hal inilah Dvorin Eugene P. &
Simmons, Robert H. (2000:40), menyebutnya sebagai penyakit
sosial yang diberikan nama "bureusis". Sedangkan Warsito Utomo
(2006), menyebut penyakit birokrasi sebagai "penyakit
bureaunomia". Penyakit ini mempengaruhi pelaksanaan teknis
operasional pemerintahan, tetapi lebih berpengaruh pada derajat
tingkat kebijakan pemerintah atau formulasi kebijakan pemerintah.
Menurut beliau bureaunomia dilakukan oleh kekuatan politik praktis
untuk juga mempengaruhi birokrasi pemerintahan di dalam melayani
masyarakat. Bureaunomia menanamkan pengaruhnya di dalam
birokrasi pemerintahan dengan mendudukkan orang-orang partai
yang bukan birokrat profesional di dalam jajaran birokrasi atau
memberikan privilege pada aparat birokrasi yang berafiliasi dengan
kekuatan partainya. Oleh karena itu perlu dilakukan debirokratisasi
untuk membebaskan penyakit inefisiensi tersebut.
Debirokratisasi menurut Kristiadi (1994:93), adalah
"merupakan upaya untuk lebih menyederhanakan prosedur yang
dianggap berbelit-belit tersebut". Sedangkan G. Kartasapoetra
(1994:6), mengatakan bahwa debirokratisasi artinya mengubah
dalam artian menyesuaikan, (1) Prosedur yang biasanya harus
ditempuh secara berliku-liku dan menyulitkan, yang umumnya
melesukan kegairahan, kegiatan dan kadang-kadang mematikan

80 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


kreativitas, menjadi prosedur yang tidak bertele-tele yang
memberikan kemudahan-kemudahan, kegairahan, kegiatan dan
menimbulkan kreativitas-kreativitas baru dari para insan
pembangunan yang justru ingin melihat, merasakan dan menikmati
keberhasilan pembangunan, (2) Prosedur birokrasi yang pada
umumnya memerlukan pembiayaan tinggi (high cost), menjadi
prosedur yang mantap dan singkat (wajar) ditempuh sehingga lebih
meningkatkan dalam pembiayaannya (low cost), (3) Prosedur
birokrasi yang bertele-tele yang sering menimbulkan stagnasi dalam
arus barang, arus jasa, arus dokumen, di samping pula menimbulkan
daya serap yang rendah dari para aparatur dalam melaksanakan
pembangunan, dengan dilaksanakan debirokratisasi kendala-kendala
tersebut dapat segera disingkirkan, berubah menjadi tidak adanya
stagnasi di atas sehingga penikmatan pembangunan dapat cepat
terwujud dan dirasakan oleh segenap warga masyarakat, (4)
prosedur birokrasi bertele-tele akan memaku para birokratnya di
belakang meja tulisnya sehingga komunikasi menjadi sempit selain
laporan yang akan diterima hanya dari sepihak (para petugas
pengawasannya). Dengan dilakukannya debirokratisasi maka
pimpinan instansi, pimpinan perkantoran, demikian pula anggota
aparaturnya pengemban fungsi dan tugas-tugas tertentu akan turun
ke bawah (masyarakat) untuk menyebarkan komunikasi serta
melakukan pendekatan-pendekatan dengan masyarakat. Dengan
demikian laporan tidak hanya diperoleh dari satu pihak melainkan
dari dua pihak, sehingga pertimbangan-pertimbangan untuk
mengambil suatu keputusan guna memperlancar pelaksanaan
pembangunan dapat lebih cepat dan lebih mengena pada
sasarannya.

B. TEORI BIROKRASI (BUREAUCRACY THEORY)

Pendekatan birokrasi dalam studi administrasi dipelopori oleh


Max Weber (1864-1920), yang dikenal sebagai bapak sosiologi
modern. Meskipun demikian pandangan Weber mempunyai pengaruh
pada ahli sosiologi dan politik, namun konsep birokrasinya dapat
dikatakan masih baru dipergunakan dalam studi administrasi.
Menurut Max Weber birokrasi merupakan ciri pola organisasi yang

TEORI BIROKRASI 81
strukturnya dibuat sedemikian rupa sehingga secara maksimal dapat
memanfaatkan tenaga ahli. Organisasi harus diatur secara rasional,
impersonal dan bebas dari sikap prasangka. Dengan demikian
birokrasi dimaksudkan sebagai satu sistem otorita yang ditetapkan
secara rasional dalam berbagai peraturan untuk mengorganisasi
secara teratur, bersifat spesialisasi, hirarkis dan terelaborasi. Max
Weber berpendapat bahwa birokrasi sebagai suatu bentuk organisasi
yang amat efisien, yang dapat digunakan lebih efektif bagi organisasi
yang kompleks sifatnya. Misalnya perusahaan, pemerintahan, militer,
dengan makin meningkatnya kebutuhan dari masyarakat modern.
Menurut Kast & Rozenweig (1982), setiap aktivitas yang kompleks
dan rutin sifatnya sehingga memerlukan koordinasi yang ketat
terhadap aktivitas orang-orang dan sangat terspesialisasi, maka
bentuk organisasi yang diterapkan adalah organisasi birokratik.
Organisasi birokratik menurut Weber dalam Ali Mufiz (1984),
mendasarkan diri pada hubungan kewenangan menempatkan,
mengangkat pegawai dengan menentukan tugas dan kewajiban di
mana perintah dilakukan secara tertulis, ada pengaturan mengenai
hubungan kewenangan, dan promosi kepegawaian didasarkan atas
aturan-aturan tertentu, tetapi tidak ada hubungan dengan prosedur
yang berbelit-belit (red tape), penundaan pekerjaan atau
ketidakefisienan, seperti yang dibayangkan banyak orang dewasa ini.
Weber juga memandang birokrasi sebagai unsur pokok dalam
rasionalisasi dunia modern, yang baginya jauh lebih penting dari
seluruh proses sosial. Proses ini mencakup ketepatan dan kejelasan
yang dikembangkan dalam prinsip-prinsip memimpin organisasi
sosial. Dengan sendirinya hal ini memudahkan mendorong
konseptualisasi ilmu sosial, dan bantuan konseptual teori Weber
tentang birokrasi ialah terletak pada penjelasan ketika mendiskusikan
tipe rasional yang murni dari weber. Sesuai dengan teorinya bahwa
dalam legitimasi ialah dasar bagi semua sistem otoritas, ia memulai
dengan mengemukakan lima keyakinan yang terdapat pada otoritas
yaitu: (1) Penegakan aturan yang sah dapat ditingkatkan kepatuhan
dari para anggota organisasi. (2) Hukuman merupakan suatu sistem
aturan-aturan abstrak yang diterapkan pada kasus-kasus tertentu,
sedangkan administrasi melayani kepentingan-kepentingan organisasi
yang ada dalam batas-batas hukum. (3) Manusia yang menjalankan

82 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


otoritas juga mematuhi tatanan impersonal tersebut. (4) Hanya staf
yang taat yang benar-benar mematuhi hukum. (5) Kepatuhan
seharusnya tidak kepada person yang memegang otoritas melainkan
kepada tatanan impersonal yang menjaminnya untuk menduduki
jabatan.
Proposisi Birokrasi
Weber menyusun delapan proposisi tentang penyusunan
sistem otoritas legal, Yaitu: (1) Tugas-tugas pejabat diorganisir
berdasarkan aturan yang berkesinambungan, (2) Tugas-tugas
tersebut dibagi berdasarkan bidang-bidang yang dibedakan menurut
fungsi masing-masing dilengkapi dengan syarat otoritas dan sanksi-
sanksi. (3) Jabatan-jabatan tersusun secara hirarkis, hak-hak kontrol
dan komplain diantara mereka secara terinci. (4) Aturan-aturan yang
sesuai dengan pekerjaan diarahkan baik teknis maupun secara legal.
(5) Sumber daya organisasi sangat berbeda dengan yang berasal dari
para anggota sebagai individu pribadi. (6) Pemegang jabatan tidak
sesuai dengan jabatannya, (7) Administrasi didasarkan pada
dokumen-dokumen tertulis. (8) Sistem otoritas legal dapat
mengambil banyak bentuk, tetapi dilihat dari bentuk aslinya ialah di
dalam sebuah staf administrasi birokratik.
Riswanda Imawan dalam Effendi (1993:442), mengemuka-
kan tiga proposisi birokrasi yaitu: Proposisi pertama yaitu
berkembang sejalan dengan perkembangan politik maupun ekonomi
suatu masyarakat, dalam arti semakin demokratis dan semakin
makmur tingkat ekonomi, akan semakin banyak tuntutan baru.
Karena itu perkembangan birokrasi (bureaucratization) merupakan
hal yang tidak bisa dihindarkan dalam masyarakat yang sedang
berkembang. Proposisi kedua yaitu birokrasi tidak dapat sepenuhnya
netral dari politik. Birokrasi itu tercipta sebagai akibat dari
kompleksitas fungsional masyarakat modern. Dalam tubuh birokrasi
itu tercermin berbagai kepentingan yang berkembang dalam
masyarakat. Masing-masing kepentingan bersaing menjadi yang
"terpenting". Karena itu untuk menduduki posisi birokratis maupun
untuk melaksanakan satu kebijakan, seseorang harus mendapatkan
dukungan politik. Proposisi ketiga, yaitu birokrasi bekerja dalam dua
kendala sistem yakni sistem administrasi dan sistem politik. Antara
kedua sistem ini yang paling mempengaruhi penampilan birokrasi

TEORI BIROKRASI 83
adalah sistem politik. Ini sesuai dengan kenyataan bahwa akar dari
teori birokrasi itu ada dalam teori sistem politik. Wujud sistem politik
itu sendiri ditentukan oleh konfigurasi politik yang berlaku pada
waktu itu. Akibatnya, wujud atau bentuk birokrasi berhubungan erat
dengan konfigurasi politik yang berlaku. Dapat dikatakan bahwa
konfigurasi politik itu terbentuk berdasarkan hasil pemilu, dan partai
politik yang ikut dalam pemilu bertindak mewakili kepentingan
masyarakat yang harus diperhatikan oleh birokrasi, maka logis
dikatakan bahwa bentuk birokrasi itu berhubungan dengan sistem
kepartaian yang berlaku.
Nicholas Henry (1988:75), merangkum karakteristik model
birokrasi Weber sebanyak 5 (lima), yaitu: (1) hirarki, (2) promosi atas
dasar ukuran profesional dan keahlian, (3) adanya jenjang karier, (4)
ketergantungan dan penggunaan peraturan dan regulasi, dan (5)
hubungan impersonal diantara para profesional karir dalam bidang
birokrasi dan hubungan mereka terhadap pihak yang dilayani.
Selanjutnya konsep Birokrasi Ideal Weber ada 7 dalam,
Robbins (1994:338), sebagai berikut:
1. Spesialisasi Pekerjaan, yaitu semua pekerjaan dilakukan dalam
kesederhanaan, rutinitas dan mendefinisikan tugas dengan baik.
2. Hirarki kewenangan yang jelas yaitu sebuah struktur multi tingkat
yang formal, dengan posisi hirarki atau jabatan, yang memastikan
bahwa setiap jabatan yang lebih rendah berada di bawah supervisi
dan kontrol dari yang lebih tinggi.
3. Formalisasi yang tinggi, yaitu semua anggota organisasi diseleksi
dalam basis kualifikasi yang didemonstrasikan dengan pelatihan,
pendidikan atau latihan formal.
4. Pengambilan keputusan mengenai penempatan pegawai yang
didasarkan atas kemampuan, yaitu keputusan tentang seleksi dan
promosi didasarkan atas kualifikasi teknis, kemampuan dan
prestasi para calon.
5. Bersifat tidak pribadi (Impersonalitas), yaitu sanksi-sanksi diterap-
kan secara seragam dan tanpa perasaan pribadi untuk
menghindari keterlibatan dengan kepribadian individual dan
preferensi pribadi para anggota.
6. Jejak karier bagi para pegawai, yaitu para pegawai diharapkan
mengejar karier dalam organisasi. Sebagai imbalan atas komitmen

84 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


terhadap karier tersebut, para pegawai mempunyai masa jabatan;
artinya mereka akan dipertahankan meskipun mereka “kehabisan
tenaga” atau jika kepandaiannya tidak terpakai lagi.
7. Kehidupan organisasi yang dipisahkan dengan jelas dari kehidupan
pribadi, yaitu pejabat tidak bebas menggunakan jabatannya untuk
keperluan dan kepentingan pribadinya termasuk keluarganya.
Widodo (2006:13), menyederhanakannya Ciri-ciri birokrasi
yang dikemukakan Weber menjadi: (1) adanya pembagian kerja dan
spesialisasi, (2) orientasi impersonal, (3) hirarki kewenangan, (4)
peraturan dan pengaturan, (5) orientasi dan karier, (6) efisiensi.
Tipe ideal birokrasi Weberian tersebut di atas, sampai saat ini
belum terimplementasi secara ideal sebagaimana yang diharapkan
Weber. Misalnya persyaratan tentang pengangkatan pejabat dalam
jabatan tertentu, harus didasarkan pada profesionalisme, akan tetapi
belum menjadi sebagai realita, justru yang terjadi adalah sebaliknya,
pejabat diangkat berdasarkan kepentingan yang mengangkatnya.
Ketika pejabat yang diangkat tidak mampu memenuhi
pengangkatnya, maka pejabat tersebut dengan mudah dimutasi dan
bahkan didemosi. Dalam artian bahwa pejabat yang diangkat bukan
karena sistem karier atau merit, tetapi didasarkan pada nepotisme.
Teori Weber mengatakan bahwa satu-satunya cara bagi
masyarakat modern untuk mengoperasikan secara efektif konsep
ideal tersebut di atas ialah dengan mengorganisasikan spesialis-
spesialis birokrasi yang fungsional dan terlatih.
Weber mengatakan bahwa dengan "birokrasi" "efisiensi" dapat
ditingkatkan. Untuk meningkatkan efisiensi kata Weber dapat
dilakukan melalui: (1) Sistem pembagian kerja dalam birokrasi harus
dikembangkan melalui spesifikasi yang jelas, (2) Birokrasi harus
memiliki aturan yang jelas tentang hubungan kerja, (3) Jabatan-
jabatan dalam birokrasi harus dijabat oleh orang yang profesional
yaitu orang yang memiliki kompetensi untuk jabatan tersebut. (4)
Para pegawai memandang pekerjaan sebagai karier hidup dan
mendapatkan kompensasi selama menjalankan tugas, bahkan sampai
pensiun. (5) Sumber legitimasi dalam birokrasi sifatnya bukan
tradisional (didasarkan atas pertimbangan keturunan atau hubungan
famili) dan bukan karismatik (kewibawaan seseorang atas
pertimbangan keturunan atau hubungan famili) dan bukan karismatik

TEORI BIROKRASI 85
(kewibawaan seseorang yang bersifat subjektif atau emosional),
tetapi legal, yaitu sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Weber dalam Thoha (2005:19), sebenarnya memperhitung-
kan tiga elemen pokok dalam konsep birokrasinya, yaitu: (1) Birokrasi
dipandang sebagai instrument teknis. (2) Birokrasi dipandang sebagai
kekuatan independent. (3) Birokrasi dipandang mampu keluar dari
fungsinya yang sebenarnya karena anggotanya cenderung berasal
dari kelas sosial yang partikular.
H.G. Surie (1987:100), mengatakan bahwa, teori-teori tentang
birokrasi yang dikemukakan sejak zaman Weber dibagi menjadi tiga
tipe besar yaitu: (1) Suatu teori tentang keperluan sistem.
Pemerintahan atau, dalam beberapa versi, seluruh masyarakat
memiliki keperluan yang mungkin bisa dipenuhi oleh birokratisasi.
Para penguasa bereaksi terhadap keperluan itu dengan mengguna-
kan otoritasnya untuk melakukan perubahan-perubahan. (2) Suatu
teori tentang perjuangan demi kekuasaan. Elit yang memerintah,
selama perjuangannya dengan saingan-saingannya, mengubah
struktur administratifnya sendiri ke arah birokrasi. (3) Suatu teori
tentang kesesuaian struktural. Aspek-aspek tertentu dari struktur
sosial dipandang lebih menguntungkan bagi timbulnya pemerintahan
birokrasi.
Budi Setiyono (2004:16-20), membagi 4 (empat) Teori
Birokrasi, yaitu: (1) Teori Rasional Administrative Model. Teori
ini dikemukakan oleh Weber yang menyatakan bahwa birokrasi yang
ideal ialah birokrasi yang berdasarkan pada sistem peraturan yang
rasional, dan tidak berdasarkan pada paternalisme dan kharisma.
Dalam teori ini, birokrasi harus dibentuk secara rasional sebagai
organisasi sosial yang dapat diandalkan, terukur, dapat diprediksikan
dan efisien. (2) Teori Power Blok Model, yaitu teori yang berdasar
pada pemikiran bahwa birokrasi merupakan alat penghalang (blok)
rakyat dalam melaksanakan kekuasaan. Birokrasi dipandang sebagai
pembendung kekuasaan rakyat yang diwakili oleh politisi memiliki
keterkaitan erat dengan ideologi Marxisme. Meskipun Marx tidak
membuat pemikiran yang sistematis seperti yang dilakukan oleh
Weber, akan tetapi pemikiran Marx banyak menyinggung tentang
eksistensi birokrasi. Marx memandang birokrasi sebagai sebuah
fenomena yang memiliki keterkaitan erat dengan proses dialektika

86 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


kelas sosial antara si kaya dengan si miskin. Marx memandang bahwa
birokrasi sebagai sebuah wujud mekanisme pertahanan dan organ
dari kaum bourgeois untuk mempertahankan kekuasaan dalam
sistem liberal. Birokrasi ialah sebagai alat penindas bagi kaum yang
lemah (miskin) dan hanya membela kepentingan orang kaya. (3)
Teori Bureaucratic Oversupply Model, yaitu teori yang berbasis
pada pemikiran ideologi liberalisme. Teori ini muncul pada tahun
1970an, oleh William Niskanen dalam buku Representative
Government (1971), sebagai respon terhadap teori birokrasi Weber
maupun teori Marx, akan tetapi teori ini baru menguat pada dua
dekade terakhir seiring dengan munculnya pemerintahan neo-liberal
di beberapa negara seperti Amerika, Inggris, Kanada dan Selandia
Baru. Teori ini juga banyak pembahasan ahli politik, ketika berbagai
pemikiran baru tentang pemerintahan seperti konsep reinventing
government, new public management, public choice theory,
managerialism. Teori bureaucratic oversupply model ini pada intinya
menyoroti kapasitas organisasi birokrasi yang dipandang terlalu
besar, terlalu mencampuri urusan rakyat, mengkonsumsi terlalu
banyak sumber daya. Birokrat, terlepas dari citra sebagai pelayan
masyarakat, dia juga memiliki motivasi yang berkaitan dengan
pengembangan karier dan pemenuhan kebutuhan pribadi. Oleh
karena itu, teori ini menuntut agar kapasitas birokrasi diperkecil
dengan cara jumlah aparatur birokrasi dikurangi, dan peran selama
ini mereka lakukan hendaknya didelegasikan kepada sektor swasta
(private sector) dan mekanisme pasar, dan (4) Teori New Public
Service, yaitu merupakan bentuk anti-tesis (penentangan) terhadap
pemikiran bahwa peranan birokrasi hendaknya diserahkan kepada
mekanisme pasar. Menurut teori ini, sebagaimana yang dikemukakan
oleh Denhardt & Denhardt (2000), birokrasi bagaimanapun
memiliki peranan dan corak kerja yang berbeda dengan sektor
swasta atau privat sector, sehingga peranannya tidak mungkin dapat
digantikan oleh pasar. Corak manajemen dan lingkungan kerja
birokrasi juga tidak selalu sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam
market mechanism sehingga memaksakan prinsip-prinsip manajemen
swasta ke dalam institusi birokrasi justru dapat berakibat kontra
produktif terhadap kinerja birokrasi itu sendiri.

TEORI BIROKRASI 87
Birokrasi tidak bisa hanya dinilai sebagai baik atau buruknya
hanya semata-mata karena organisasi mereka yang besar, anggaran
mereka yang besar, atau struktur mereka yang kompleks, karena hal
itu boleh saja dilakukan sepanjang publik menginginkan. Baik
buruknya birokrasi bukanlah pada persoalan apakah birokrasi
mengikuti mekanisme pasar atau tidak, melainkan pada persoalan
apakah birokrasi mampu memberikan pelayanan yang terbaik bagi
publik. Oleh karena itu, Teori New Public Service memandang
bahwa jika kinerja birokrasi ditentukan semata-mata oleh mekanisme
pasar, maka esensi kedaulatan rakyat akan ditelan oleh mekanisme
pasar, dan berganti dengan kedaulatan uang karena akumulasi modal
ialah alat penentu kebijakan pada mekanisme pasar. Birokrasi tidak
lagi berfungsi sebagai lembaga pelayanan publik, tetapi menjadi alat
produksi yang sifatnya kapitalistik.
Berlainan dengan teori bureaucratic oversupply model,
mengatakan bahwa peranan birokrasi cukup hanya sebagai
katalisator dalam masyarakat, teori ini memandang bahwa peranan
birokrasi justru harus direvitalisasi sesuai fitrahnya sebagai pelayan
publik. Birokrasi adalah alat rakyat dan harus tunduk kepada apapun
suara rakyat, sepanjang suara itu rasional dan legitimate secara
normatif dan konstitusional. Seorang pimpinan dalam birokrasi
bukanlah semata-mata makhluk ekonomi, melainkan makhluk yang
berdimensi sosial, politik, ekonomis dan menjalankan tugas sebagai
pelayan publik.
Etzioni (1986:53), Blau & Mayer (1987), Johnson
(1988:232-235), dan Robbins (1990:30), mengungkapkan bahwa
tujuan utama pembentukan struktur birokrasi adalah agar suatu
organisasi dapat berjalan secara rasional, sehingga secara efektif dan
efisien. Akan tetapi kenyataan empirik menunjukkan bahwa
penyelenggaraan pemerintahan justru terjadi sebaliknya bahwa lebih
ekstrim dari yang idealnya terjadi, sehingga memunculkan banyak
masalah.
Fenomena birokrasi selalu menjadi menarik untuk dicermati,
karena hampir setiap orang mengeluh ketika berhadapan dengan
birokrat. Sehingga memunculkan kesan bahwa birokrat tidak mampu
melakukan hal-hal yang dianggap tepat bagi publik. Persepsi yang
mengemuka ketika terkait dengan pelayanan yang diberikan oleh

88 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


birokrasi ialah: (1) Tidak disiplin dalam penggunaan waktu untuk
penyelesaian suatu urusan, (2) Berbelit-belit dalam proses suatu
urusan, (3) Terjadinya pemborosan yang dilakukan dalam setiap
kegiatan dan aktivitas.

C. BIROKRASI OSBORNE

1. REINVENTING GOVERNMENT
Menurut David Osborn dan Ted Gaebler (2000), dalam
bukunya yang berjudul “Reinventing Government” terdapat sepuluh
prinsip yang merupakan komponen paradigma baru administrasi
publik atau birokrasi pemerintah yang memiliki semangat
kewirausahaan yang disesuaikan dengan perkembangan lingkungan
strategis yaitu: (1) Steering rather than rowing. Pemerintah berperan
sebagai katalisator yang tidak melaksanakan sendiri pembangunan
tapi cukup mengendalikan sumber-sumber yang ada di masyarakat.
Dengan demikian pemerintah mengoptimalkan penggunaan dana dan
daya sesuai dengan kepentingan publik. (2) Empower communities to
solve their own problems, rather than merely deliver services.
Pemerintah harus memberdayakan masyarakat dalam pemberian
pelayanannya. Organisasi-organisasi kemasyarakatan seperti
koperasi, LSM dan sebagainya perlu diajak untuk memecahkan
permasalahannya sendiri seperti: masalah keamanan, kebersihan,
kebutuhan sekolah, pemukiman murah dan lain-lain. (3) Promote and
encourage competition, rather than monopolies. Pemerintah harus
menciptakan persaingan dalam setiap pelayanan. Dengan adanya
persaingan maka sektor usaha swasta dan pemerintah bersaing dan
terpaksa bekerja secara lebih profesional dan efisien. (4) Be driven by
missions rather than rules. Pemerintah harus melakukan aktivitas
yang menekankan kepada pencapaian apa yang merupakan misinya
daripada menekankan pada peraturan-peraturan. Setiap organisasi
diberi kelonggaran untuk menghasilkan sesuai misinya. (5) Result
oriented by funding outcomes rather than outputs. Pemerintah
hendaknya berorientasi kepada kinerja yang baik. Instansi yang
demikian harus diberi kesempatan yang lebih besar dibanding
instansi yang kinerjanya kurang. (6) Meet the needs of the customer
rather those of the bureaucracy. Pemerintah harus mengutamakan

TEORI BIROKRASI 89
pemenuhan kebutuhan masyarakat bukan kebutuhan birokrat. (7)
Concentrate on earning money rather than just spending it.
Pemerintah harus memiliki aparat yang tahu cara yang tepat dengan
menghasilkan uang untuk organisasinya, disamping pandai
menghemat biaya. Dengan demikian para pegawai akan terbiasa
hidup hemat. (8) Invest in preventing problems rather than curing
crises. Pemerintah yang antisipatif. Lebih baik mencegah daripada
menanggulangi. Lebih baik mencegah kebakaran daripada
memadamkan kebakaran. Lebih baik mencegah epidemic dari pada
mengobati penyakit. Dengan demikian akan terjadi “mental swasta”
dalam aparat pemerintah. (9) Decentralize authority rather than build
hierarchy. Diperlukan desentralisasi pemerintah dari berorientasi
hirarki menjadi partisipatif dengan pengembangan kerjasama tim.
Dengan demikian organisasi bawahan akan leluasa untuk berkreasi
dari mengambil inisiatif yang diperlukan. (10) Solve problem by
influencing market forces rather than by treating public programs.
Pemerintah harus memperhatikan kekuatan pasar. Pasokan
didasarkan terhadap kebutuhan atau permintaan pasar dan bukan
sebaliknya. Untuk itu kebijakan harus berdasarkan kebutuhan pasar.
Pembaharuan administrasi publik atau birokrasi dengan
semangat kewirausahaan atau "Reinventing Government” sebagai-
mana telah dijelaskan adalah bersifat deskriptif yaitu hanya
menguraikan karakteristik pemerintahan yang bersifat wirausaha
tetapi tidak menata strategi untuk mentransformasikan sistem dan
organisasi birokratis menjadi sistem dan organisasi yang bersifat
wirausaha. Penjelasan yang bersifat perspektif tentang bagaimana
cara (strategi) mentransformasi organisasi dan sistem birokratis
adalah "Banishing Bureaucracy”. Ada lima strategi mewirausaha-
kan birokrasi menurut Osborn dan Plastrik (2000), sebagai berikut.
2. BANISHING BUREACRACY”
Pembaruan Birokrasi: “Banishing Bureaucracy” yaitu ada
5 strategi mewirusahakan birokrasi. Osborn dan Plastrik (2000),
sebagai berikut: (1) Strategi inti (centre strategy) yaitu menata
kembali secara jelas mengenai tujuan, peran, dan arah organisasi.
(2) Strategi konsekuensi (consequence strategy) yakni strategi yang
mendorong persaingan sehat guna meningkatkan motivasi dan
kinerja pegawai melalui penerapan “reward and punishment” dengan

90 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


memperhitungkan resiko ekonomi dan pemberian penghargaan. (3)
Strategi pelanggan (customer strategy) yaitu memusatkan perhatian
untuk bertanggungjawab terhadap pelanggan. Organisasi harus
menang dalam persaingan dan memberikan kepastian mutu bagi
pelanggan. (4) Strategi kendali (control strategy) yaitu merubah
lokasi dan bentuk kendali di dalam organisasi. Kendali dialihkan
kepada lapisan organisasi paling bawah yaitu pelaksana atau
masyarakat. Kendali organisasi dibentuk berdasarkan visi dan misi
yang telah ditentukan. Dengan demikian terjadi proses
pemberdayaan organisasi, pegawai dan masyarakat. (5) Strategi
budaya (cultural strategy) yakni merubah budaya kerja organisasi
yang terdiri dari unsur-unsur kebiasaan, emosi dan psikologi sehingga
pandangan masyarakat terhadap organisasi publik berubah.
Dalam beberapa tahun terakhir ini berkembang paradigma baru
dalam administrasi publik antara lain pandangan yang mengarah
pada suatu pembaharuan administrasi publik yang difokuskan untuk
menghasilkan “high quality public goods and services”. Pembaharuan
menurut Osborn dan Plastrik (2000:16), adalah transformasi sistem
dan organisasi pemerintah secara fundamental guna menciptakan
peningkatan dramatis dalam efektivitas, efisiensi dan kemampuan
mereka untuk melakukan inovasi. Transformasi ini dicapai dengan
mengubah tujuan, sistem intensif, pertanggungjawaban struktur
kekuasaan dan sistem budaya dan organisasi pemerintah.
Selanjutnya Osborne dan Plastrik menjelaskan bahwa
pembaharuan adalah penggantian sistem yang birokratis menjadi
sistem yang bersifat wirausaha. Pembaharuan adalah menciptakan
organisasi dan sistem pemerintah yang terus menerus berinovasi
yang secara kontinu memperbaiki kualitas mereka tanpa mendapat
tekanan dari pihak luar. Pembaharuan adalah penciptaan sektor
pemerintah yang mempunyai dorongan dari dalam untuk melakukan
perbaikan. Pembaharuan tidak hanya memperbaiki efektivitas saat ini
tetapi pembaharuan menciptakan organisasi-organisasi yang mampu
memperbaiki efektivitasnya saat ini tetapi pembaharuan menciptakan
organisasi-organisasi yang mampu memperbaiki efektivitasnya di
masa mendatang, pada saat lingkungan mereka berubah. Dengan
demikian dalam upaya pembaharuan administrasi publik diperlukan
birokrasi pemerintah yang memiliki semangat kewirausahaan.

TEORI BIROKRASI 91
D. STRUKTUR BIROKRASI

Struktur adalah kerangka organisasi yang merupakan visualisasi


dari tugas, fungsi, garis wewenang dan tanggung jawab, jabatan dan
jumlah pejabat serta batas-batas formal dalam hal apa organisasi itu
beroperasi. Gibson (1997:9), mengatakan bahwa struktur organisasi
adalah pola formal mengelompokkan orang dan pekerjaan. Struktur
acapkali digambarkan melalui bagan organisasi. Oleh karena itu,
struktur organisasi berpengaruh terhadap perilaku individu dan
kelompok yang mencakup suatu organisasi. Struktur organisasi juga
merupakan variabel yang cukup penting. Konsep struktur mengacu
pada cara bagaimana departemen atau unit diatur dalam suatu
sistem, menggambarkan keterkaitan antara bagian-bagian dan cara
pengaturan posisi di dalam sistem. Dengan demikian manajemen
menentukan struktur dengan mengikuti unit-unit atau departemen
secara bersama-sama berdasarkan garis kewenangan, tanggung
jawab, komunikasi dan control.
Gordon dalam Ambar Teguh, (2003:47). Ada tiga bentuk
struktur organisasi yang cukup populer dan selama ini dipergunakan
dalam organisasi publik, yaitu: lini, lini dan staf, dan matriks. Bentuk
ini adalah merupakan struktur yang paling simpel atau sederhana.
Bentuk ini ditandai dengan garis hubungan yang bersifat vertikal
antara setiap tingkatan organisasi.
Mintzberg (1983), menunjukkan lima tipe struktur, yang
masing-masing cocok dengan kebutuhan organisasi yang dominan,
yaitu sebagai berikut:
1. Struktur Sederhana. Struktur ini dapat berlaku untuk organisasi
yang baru saja didirikan dengan pola otoritas yang disentralkan di
tangan manajer atau kelompok kecil pemilik. Struktur sederhana
dapat digunakan pada suatu organisasi yang memiliki tingkat
kompleksitas dan formalisasi yang rendah, dan otoritasnya
terpusat pada seorang eksekutif senior, atau dalam suatu instansi
terpusat pada pemilik. Struktur tersebut bersifat datar dengan
kelompok operasi inti yang bersifat organik dan setiap orang
melaporkan kinerjanya kepada pimpinan atasan langsungnya.
Pengambilan keputusan sangat bersifat terpusat. Dengan demikian
rentang kendali dalam bentuk struktur ini bersifat lebar.

92 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


2. Birokrasi Mesin. Struktur ini memiliki sejumlah gambaran organi-
sasi birokrasi yang telah disebutkan sebelumnya dan mengasumsi-
kan karakteristik sistem mekanistis organisasi. Organisasi
diterapkan secara luas dan lama beroperasi dalam lingkungan
yang relatif stabil. Bentuk struktur birokrasi mesin dapat
digunakan apabila spesialisasi, formalisasi dan sentralisasinya
tinggi, tetapi lingkungan birokrasi bersifat sederhana dan stabil.
Dalam mendesain tugas-tugas disusun secara rutin dan regulasi
tinggi, dipecah ke dalam bidang-bidang fungsional, dengan
otoritas yang tersentralisasi, pengambilan keputusan mengikuti
rantai komando, dan terdapat perbedaan yang mencolok antara
kegiatan-kegiatan pokok dan staf. Pengaruh teknostruktur sangat
tinggi, dimana standardisasi merupakan pusat perhatiannya.
Semua proses kerja dimulai dari perencanaan sampai pada
koordinasi dan control tampak terstandardisasi.
3. Birokrasi Profesional. Struktur ini membiarkan kesempatan
menggunakan keahlian profesional dalam kondisi otonomi dan
diferensiasi status yang kaku. Tidak ada kecenderungan untuk
memberi tekanan yang terlalu banyak pada praktik-praktik
birokratis. Bentuk ini memadukan standardisasi dan desentralisasi,
karena tugas yang dijalankan menuntut standardisasi yang tinggi
sekaligus kekuasaan untuk melakukannya. Titik kritis pada unit
operasional karena mereka memiliki kemampuan kunci yang
dibutuhkan organisasi dan sangat membutuhkan otonomi dalam
melakukan kemampuan tersebut. Di dalam struktur profesional
seperti guru, dosen dan dokter diberi kekuasaan untuk
menerapkan keterampilan dan keahliannya. Formalisasi tetap ada
tetapi tidak kaku, karena lebih diinternalisasikan oleh para anggota
organisasinya.
4. Adhokrasi, adalah suatu bentuk struktur yang digunakan apabila
diferensiasi horisontalnya tinggi, diferensiasi vertikalnya rendah,
tingkat formalisasinya rendah, kebutuhan akan fleksibilitas dan
responsivitas tinggi, serta pengambilan keputusan yang bersifat
desentralistis. Dalam struktur ini mempekerjakan pada orang
profesional dengan tingkat keahlian yang tinggi. Struktur ini dapat
berlaku untuk organisasi secara total atau suatu divisi di
dalamnya. Organisasi yang didesain untuk mendorong agar inovasi

TEORI BIROKRASI 93
beroperasi pada lingkungan yang kompleks dan dinamis. pegawai-
pegawai dengan keahliannya, yang cenderung untuk dipekerjakan
pada kelompok-kelompok proyek dengan orientasi pasar,
menggunakan dengan banyak kuasa dan pengaruh.
5. Missioner. Struktur Missioner pada dasarnya mempertimbangkan
betul-betul karena tidak cukupnya atau kurangnya gambaran
mengenai organisasi formal. Misalnya divisi pekerjaan dan
spesialisasi yang sangat tidak jelas. Orang terikat bersama-sama
oleh nilai-nilai yang mereka gunakan bersama-sama dalam suatu
organisasi.
Struktur birokrasi tersebut di atas, secara umum dapat
disimpulkan bahwa pemilihan struktur birokrasi sebaiknya
berorientasi pada kebutuhan birokrasi publik yaitu berpedoman pada
visi, misi, sasaran, tujuan serta fungsi dan tugas yang dilaksanakan
dalam konteks terciptanya birokrasi yang efektif dan efisien.
Penempatan seseorang dalam struktur birokrasi harus didasarkan
pada profesionalisme bukan didasarkan pada pertimbangan lain.

94 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


5
MANAJEMEN PUBLIK

A. KONSEP MANAJEMEN PUBLIK

Definisi Manajemen
Definisi manajemen menurut Stoner & Wankel (1996:4),
mengatakan bahwa manajemen secara harfiah adalah proses
perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan dan pengendalian
upaya anggota organisasi dan penggunaan seluruh sumber daya
organisasi lainnya demi tercapainya tujuan organisasi yang telah
ditetapkan. Shafritz dan Russel (1997:20), adalah berkenaan
dengan orang yang bertanggung jawab menjalankan suatu
organisasi, dan proses menjalankan organisasi itu sendiri yaitu
pemanfaatan sumber daya seperti orang dan mesin untuk mencapai
tujuan organisasi. Definisi ini tidak menunjukkan proses yang
bertanggungjawab menjalankan proses tersebut. Donovan dan
Jackson (1991:11-12), mendefinisikan manajemen sebagai proses
yang dilaksanakan pada tingkat organisasi tertentu, sebagai
rangkaian keterampilan (skills), dan sebagai serangkaian tugas.
Dengan menggunakan pendapat Boyatiz dalam Keban. Ketiga
pengarang ini mengemukakan empat klaster kompetensi yang ada
dalam manajemen yaitu: (1) Klaster manajemen tujuan dan aksi
yang terdiri atas orientasi efisiensi, tindakan proaktif, kepedulian
terhadap dampak, dan penggunaan diagnostik terhadap konsep-
konsep, (2) Klaster pengarahan terhadap bawahan yaitu penggunaan
kekuasaan unilateral, pengembangan yang lain dan spontanitas, (3)
Klaster manajemen sumber daya manusia yaitu penggunaan dalam

MANAJEMEN PUBLIK 95
melakukan sosialisasi, mengelola kelompok, persepsi positif,
objektivitas persepsi, penilaian diri yang akurat, pengendalian diri,
stamina dan kemampuan menyesuaikan diri, dan (4) Klaster
kepemimpinan yaitu mengembangkan percaya diri, konseptualisasi,
pemikiran yang logis, dan penggunaan presentasi lisan. Henry
Simamora (2001:3), mengatakan bahwa manajemen adalah proses
pendayagunaan bahan baku dan sumber daya manusia untuk
mencapai tujuan-tujuan yang ditetapkan.

Definisi Manajemen Publik


Pada dasarnya manajemen publik, yaitu manajemen instansi
pemerintah. Jadi manajemen publik adalah bagaimana mengatur
kepentingan publik atau orang banyak. Sedangkan manajemen publik
menurut Overman dalam Keban (2004:85), adalah bukanlah
"scientific management", meskipun sangat dipengaruhi oleh
"scientific management". Manajemen publik bukanlah "policy
analysis", bukanlah juga administrasi publik, merefleksikan tekanan-
tekanan antara orientasi "rational-instrumental" pada satu pihak, dan
orientasi politik kebijakan di pihak lain. Manajemen Publik adalah
suatu studi interdisipliner dari aspek-aspek umum organisasi, dan
merupakan gabungan antara fungsi manajemen seperti planning,
organizing dan controlling satu sisi, dengan SDM, keuangan, fisik,
informasi dan politik di sisi lain. Berdasarkan pendapat Overman
tersebut, OTT, Hyde dan Shafritz (1991:xi), mengemukakan bahwa
manajemen publik dan kebijakan publik merupakan dua bidang
administrasi publik yang tumpang tindih. Tapi untuk membedakan
keduanya secara jelas maka dapat dikemukakan bahwa kebijakan
publik merefleksikan sistem otak dan syaraf, sementara manajemen
publik merepresentasikan sistem jantung dan sirkulasi dalam tubuh
manusia. Oleh karena dapat dikatakan bahwa manajemen publik
merupakan proses menggerakkan SDM dan non SDM sesuai perintah
kebijakan publik.
Selanjutnya perkembangan manajemen publik menurut J.
Steven Ott, Albert C. Hyde dan Jay M. Shafritz (1991),
berpendapat bahwa dalam tahun 1990an, manajemen publik
mengalami masa transisi dengan beberapa isu terpenting yang akan
sangat menantang, yaitu: (1) privatisasi sebagai suatu alternatif bagi

96 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


pemerintah dalam memberikan pelayanan publik, (2) rasionalitas dan
akuntabilitas, (3) perencanaan dan control, (4) keuangan dan
penganggaran, dan (5) produktifitas sumber daya manusia. Isu-isu
ini telah menantang sekolah atau perguruan tinggi yang mengajarkan
manajemen publik atau administrasi publik untuk menghasilkan calon
manajer publik profesional yang kualitas tinggi, dan penataan sistem
manajemen yang lebih baik.
Pengembangan manajemen publik di masa mendatang,
menurut "The National Commission on Public Service" di Amerika
Serikat lihat Ott, Hyde dan Shafritz (1991:428-419), perlu
memperhatikan beberapa hal, yaitu (1) perlu mengidentifikasikan
secara jelas peran dari pelayan publik dalam proses yang demokratis,
sekaligus standar etika dan kinerja yang tinggi dari para pejabat
kunci; (2) perlu fleksibilitas dalam menata organisasi, termasuk
kebebasan mempekerjakan dan memecat pegawai yang harus
diberikan kepada para petinggi kabinet dan pimpinan instansi; (3)
pengangkatan atau penunjukan pejabat oleh presiden harus
dikurangi, dan lebih diberikan ruang pengembangan karier
profesional, dan (4) pemerintah harus melakukan investasi lebih
besar dibanding pendidikan dan pelatihan eksekutif dan manajemen.

B. PARADIGMA MANAJEMEN

Perkembangan manajemen publik paling tidak dipengaruhi oleh


beberapa pandangan yaitu manajemen normatif, manajemen
deskriptif, manajemen stratejik dan manajemen publik. Manajemen
normatif menggambarkan apa sebaiknya dilakukan oleh seorang
manajer dalam proses manajemen, sedangkan manajemen deskriptif
menggambarkan apa yang kenyataannya yang dilakukan oleh
manajer ketika menjalankan tugasnya Chung & Megginson,
(1981). Kedua pandangan ini tidak menentukan locus yang pasti,
karena itu manajemen yang dimaksudkan adalah manajemen umum.
Manajemen stratejik menggambarkan suatu cara memimpin
organisasi untuk mencapai misi, tujuan dan sasaran. Sedangkan
pandangan manajemen publik menggambarkan apa yang sebaiknya
dilakukan dan senyatanya pernah dilakukan oleh para manajer publik
di instansi pemerintah. Selanjutnya manajemen kinerja menggam-

MANAJEMEN PUBLIK 97
barkan bagaimana merancang untuk meningkatkan kinerja
organisasi.

1. Manajemen Normatif
Pendekatan manajemen normatif melihat manajemen sebagai
suatu proses penyelesaian tugas atau pencapaian tujuan. Efektivitas
dari proses tersebut diukur dari apakah kegiatan-kegiatan organisasi
direncanakan, diorganisir, dikoordinasikan dan dikontrol secara
efisien Stoner (1978), Rue & Byars (1981). Manajemen normatif
sejak pembentukannya lebih bersifat "profit oriented" atau "business-
oriented" dan karena itu dianggap tidak cocok dengan ideology
administrasi publik yang lebih berorientasi kepada "public service"
aliran manajemen normatif mudah dikenal melalui rumusan fungsi-
fungsi manajemen bisnis sebagaimana pernah ditiru oleh
POSDCORB. Beberapa fungsi yang bersifat universal, dirinci sebagai
berikut:
a. Planning: suatu proses pengambilan keputusan tentang apa
tujuan yang harus dicapai pada kurung waktu tertentu di masa
mendatang dan apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan
tersebut. Proses tersebut terdiri atas dua elemen (1) penetapan
tujuan, dan (2) menentukan kegiatan-kegiatan yang harus dilaku-
kan untuk mencapai tujuan tersebut. Fungsi ini menghasilkan dan
mengintegrasikan tujuan, strategi dan kebijakan.
b. Organizing: suatu proses pembagian kerja (division of labor)
yang disertai dengan pendelegasian wewenang. Organizing sangat
bermanfaat dalam memberikan informasi tentang garis
kewenangan agar setiap anggota dalam organisasi bisa
mengetahui apa kepada siapa dia memberi perintah dan dari siapa
dia menerima perintah. Organizing juga diperlukan untuk
memperbaiki efisiensi kerja dan kualitas pekerjaan melalui
'synergism" yang baik dimana orang bekerja bersama-sama akan
memberikan output yang lebih besar daripada bekerja secara
sendiri-sendiri. Disamping itu, organizing juga dapat memperbaiki
komunikasi. Suatu struktur organisasi yang jelas dapat
menggambarkan garis komunikasi antara anggota.
c. Staffing: suatu proses untuk memperoleh tenaga yang tepat,
baik dalam jumlah maupun kualitas sesuai dengan kebutuhan

98 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


pekerjaan dalam organisasi. Oleh karena itu, dalam perekrutan
staf mestinya menerima dan atau menempatkan staf berdasarkan
keahliannya (bukan berdasarkan selera pimpinan).
d. Directing: suatu tugas yang kontinyu dalam pembuatan
keputusan dan penyusunannya dalam aturan-aturan dan instruksi-
instruksi khusus atau umum, dan melayani sebagai pemimpin
organisasi.
e. Coordinating: suatu proses pengintegrasian kegiatan-kegiatan
dan target/tujuan dari berbagai unit kerja dari suatu organisasi
agar dapat mencapai tujuan secara efisien. Tanpa koordinasi,
individu-individu dan bagian-bagian yang ada akan bekerja
menuju arah yang berlainan dengan irama/kecepatan yang
berbeda-beda. Demikian pula, tanpa koordinasi, masing-masing
bekerja sesuai dengan kepentingannya masing-masing dengan
mengorbankan kepentingan organisasi secara keseluruhan.
f. Reporting, yaitu kegiatan eksekutif menyampaikan informasi ten-
tang apa yang sedang terjadi kepada atasannya, termasuk
menjadi agar dirinya dan bawahannya tetap mengetahui informasi
lewat laporan-laporan, penelitian, dan inspeksi.
g. Budgeting, yaitu semua kegiatan dalam bentuk perencanaan,
perhitungan dan pengendalian anggaran. Dalam penyusunan
anggaran dalam suatu organisasi seharusnya dilandaskan dengan
perencanaan yang matang. Sehingga dalam pengendalian
anggaran dalam suatu organisasi dapat dengan mudah dilakukan.
Harus diakui bahwa pikiran-pikiran manajemen normatif ini
sering mempengaruhi pola dan dinamika manajemen baik di sektor
swasta maupun publik. sementara itu, R. Miles (1975), mencoba
meletakkan fungsi-fungsi manajemen normatif tersebut dalam tiga
teori manajemen, yang pertama disebut sesuai dengan model
tradisional, kedua yaitu human relations, dan ketiga adalah human
resources. Di dalam ketiga model ini fungsi-fungsi ini dijalankan
secara dinamis, artinya fungsi planning, misalnya dijalankan pada
model tradisional secara berbeda dengan di dalam model human
resources.
Model tradisional, manajer berasumsi bahwa pekerjaan itu tidak
menyenangkan bagi manusia, upah lebih penting dari kerja itu
sendiri, dan bahwa hanya sedikit sekali orang memiliki pengendalian

MANAJEMEN PUBLIK 99
dan pengarahan diri, maka jalan keluar yang dilakukan manajer
adalah melakukan supervisi yang ketat, merumuskan berbagai cara
dan prosedur kerja sesederhana mungkin, dan melaksanakan apa
yang diinstruksikannya kepada bawahan. Dengan demikian
diharapkan agar bawahan akan butuh dan menghasilkan apa yang
telah ditetapkan.
Dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, seorang
manajer sangat dipengaruhi oleh pola pikir manajemen tradisional
atau klasik yang melihat manusia yang dipimpinnya adalah orang
yang tidak senang dengan pekerjaan, malas, bodoh, tidak suka
bertanggungjawab, dan tidak mampu mengendalikan diri, serta
sesuatu mengutamakan uang. Karena itu, bawahan seharusnya
dikontrol secara ketat, pekerjaannya harus dirumuskan secara
sederhana dan jelas, dan berusaha menterjemahkan kegiatannya ke
dalam prosedur-prosedur dan rutinitas yang rinci dan memaksa untuk
mengikutinya, dan mendorong bekerja dengan paksaan atau
memanipulasinya dengan uang. Hal ini yang disebut sebagai tugas
utama seorang manajer. Harapannya yaitu agar bawahannya bekerja
terus dan selalu berusaha memenuhi standar yang dituntut.
Prinsip seperti ini kemungkinan lebih cocok dimana kualitas
para bawahan masih rendah dan memprihatinkan, dan bawahan
nampak sangat berorientasi kepada kebutuhan fisik dan rasa aman.
Mereka masih bekerja dengan orientasi memenuhi kebutuhan pokok.
Meskipun demikian, perlu diketahui bahwa pola manajemen yang
menekankan prosedur yang standar dan rutinitas ini hanya cocok
untuk suasana yang stabil, tidak mudah berubah. Bila suasana tidak
stabil maka pola ini justru tidak bermanfaat.
Dalam model human relations, seorang manajer berasumsi
bahwa hanya ingin merasa berguna dan penting, dikenal sebagai
seorang individu yang berarti, bahwa keinginan tersebut mungkin
lebih penting daripada uang, maka jalan keluarnya yaitu memuji
individu atau bawahannya agar mereka merasa penting/berguna,
selalu mendengarkan keluhan dan saran bawahannya, dan
membiarkan bawahan melakukan pengendalian dan pengarahan diri
dalam hal-hal rutin. Dengan demikian, diharapkan agar bawahan
menjadi termotivasi, dan bersedia bekerjasama secara sukarela.

100 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


Dalam pelaksanaan fungsi pengintegrasian variabel-variabel
organisasi dengan variabel orang di atas, seorang manajer sangat
dipengaruhi oleh pandangan human relations, suatu aliran yang lebih
baru setelah manajemen klasik, yang memandang manusia sebagai
makhluk yang selalu berupaya sebagai pihak yang berguna dan
penting, ingin diterima, dikenali dalam kelompok atau organisasi, dan
bahwa uang tidak lebih penting dari keinginannya di atas. Karena itu,
tugas utama manajer adalah upaya menciptakan hubungan baik dan
berusaha membuat bawahannya merasa penting, berusaha
mendengarkan semua keluhannya, dan memberi ijin kepada mereka
dalam batas-batas tertentu untuk melakukan control diri dan
pengarahan diri. Harapannya adalah bahwa kepuasan bawahan akan
tercapai, semangat kerja meningkat dan kerjasama akan terus
berjalan.
Dalam model human resource seorang manager berasumsi
bahwa orang bisa saja tertarik terhadap pekerjaan yang menantang
(tidak selalu uang), memiliki kreatifitas dan inisiatif serta
tanggungjawab yang tinggi untuk mengarahkan pengendalian dan
pengarahan dirinya, maka yang dilakukan oleh manager tersebut
adalah memanfaatkan kemampuan sumbur daya manusia yang ada
pada bawahannya, memberikan peluang agar mereka dapat
berpartisipasi secara aktif. Karena itu, diharapkan terjadinya
tanggungjawab lebih tinggi di kalangan bawahan, sekaligus terjadi
perbaikan efisiensi dan peningkatan kepuasan kerja.
Dalam paradigma ini fungsi pengintegrasian variabel-variabel di
atas didasarkan asumsi bahwa manusia tidak selamanya tidak senang
bekerja, tidak selamanya bertanggungjawab, tidak selamanya
mengelak tanggungjawab dan tidak selamanya tidak mampu
mengarahkan atau mengendalikan dirinya. Manusia bisa memiliki
kemampuan yang positif dan negatif, tergantung pada cara pem-
binaan, pengembangan dan pemanfaatannya. Karena itu, tugas
seorang manajer adalah mengembangkan kemampuan sumber daya
manusia seoptimal mungkin, menciptakan suatu lingkungan tempat
kerja yang menyenangkan dan akomodatif bagi pengembangan
kemampuan, dan mendorong mereka untuk berpartisipasi secara
sepenuhnya dalam hal-hal yang bersifat penting atau strategi dan
secara berkesinambungan memperluas kontrol dan kendali dari

MANAJEMEN PUBLIK 101


mereka. Harapannya yaitu bahwa pada waktunya setiap pegawai
menjadi dewasa dalam arti mampu mengarahkan dan mengendalikan
dirinya sehingga tercapai peningkatan efisiensi dan efektivitas, dan
kepuasan kerja mereka juga bisa menjadi lebih maksimal.
Prinsip seperti ini sangat cocok untuk situasi dimana para
bawahan telah dianggap "dewasa" dalam arti tingkat pendidikan lebih
tinggi, pemahaman berorganisasi dan kesadaran akan berkinerja
lebih mendalam. Penganut paradigma human resources, akan selalu
memberikan kepercayaan kepada bawahan, dan membiarkan atau
bahkan mengembangkan bawahan seoptimal mungkin. Ia bertindak
wajar-wajar saja, jarang mengancam dan mendikte mereka. Ia selalu
berusaha untuk mengajukan pertanyaan kepada bawahan dan
memberikan mereka menjawabnya. Ia lebih berfungsi sebagai
seorang "coach" dan "fasilitator" daripada seorang yang berlagak
tahu segalanya. Hal lebih penting lagi yaitu mendorong bawahan
untuk berpartisipasi aktif.
Dari ketiga model tersebut, kita dapat melihat variasi pola yang
dianut seorang manajer. Pola yang dipilih tentu saja tergantung dari
asumsi dasar yang dianut oleh seorang manajer tentang hakekat
pegawai dalam organisasi, teknologi yang dimiliki, dan lingkungan
serta situasi yang sedang dihadapi. Pola tersebut juga akan sangat
mempengaruhi bentuk struktur organisasi yang dipilih.

2. Manajemen Deskriptif
Pendekatan manajemen deskriptif dapat diamati dari karya H.
Mintzbeng (1973). Mintzbeng memberikan fungsi-fungsi yang bisa
dilakukan oleh seorang manajer ditempat kerjanya. Menurut
Mintzbeng, fungsi manajemen yang benar-benar dijalankan terdiri
atas kegiatan-kegiatan personal, interaktif, administratif dan teknis.
Jenis pertama adalah kegiatan personal, yaitu kegiatan yang
dilakukan manajer untuk mengatur waktunya sendiri, berbicara
dengan para broker, menghadiri pertandingan dan kegiatan-kegiatan
lain yang memuaskan dirinya atau keluarganya. Dalam konteks
organisasi, kegiatan-kegiatan ini mungkin dianggap tidak penting,
tetapi sebagai manusia, seorang manajer pasti terlibat, bahkan
kandungan-kandungan menentukan keberhasilan kariernya. Seorang

102 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


manajer yang berhasil biasanya mengatur kegiatan personal lebih
sukses dalam memimpin organisasi.
Jenis kegiatan yang kedua adalah kegiatan interaktif, manajer
biasanya menggunakan banyak waktu untuk melakukan interaksi
dengan bawahan, atasan, customer, organisasi lain dan pemimpin-
pemimpin masyarakat. Biasanya dua pertiga waktu yang ada
digunakan untuk kegiatan-kegiatan tersebut. Peranan yang
diperankan oleh manajer dalam konteks tersebut terdiri dari
interpersonal, informational dan decision making. Dalam memainkan
peranan interpersonal, seorang manajer bertindak sebagai
"figurehead", "leader", dan "liaison". Sebagai figurehead, seorang
manajer berusaha mengikuti berbagai kegiatan ceremonial. Sebagai
leader, seorang manajer berusaha memotivasi, membimbing dan
mengembangkan bawahan. Seorang manajer berusaha mengadakan
kontak dengan orang-orang di luar garis komandonya. Dalam
memainkan peranan informational, seorang manajer bertindak
sebagai monitor, disseminator dan spokerperson. Yang dimaksudkan
dengan peranan sebagai monitor adalah usaha mencari dan
menemukan informasi melalui media komunikasi tertulis dan lisan.
Sebagai disseminator, seorang manajer melakukan penyebarluasan
informasi kepada bawahannya. Dan sebagai spokerperson, seorang
manajer melakukan penyebarluasan informasi kepada orang-orang di
luar kelompok kerja atau organisasi. Dalam konteks decision making,
seorang manajer biasanya berperan sebagai entrepreneur,
disturbance handler, resource allocator, dan negotiator. Sebagai
entrepreneur, seorang manajer mencari kesempatan-kesempatan
untuk mengembangkan usaha dan merencanakan kegiatan-kegiatan
baru dalam meningkatkan hasil kerja. Sebagai disturbance handler,
seorang resource allocator, seorang manajer berusaha memutuskan
sumber daya apa yang harus dialokasikan untuk unit organisasi
tertentu, dan berapa banyak yang harus dialokasikan. Sebagai
negotiator, seorang manajer melakukan negosiasi atau perundingan
para pekerja, para customer, supplier dan sebagainya, misalnya
dalam hal upah/gaji, kontrak kerja dan sebagainya.
Jenis kegiatan ketiga adalah administratif. Kegiatan ini
mencakup surat menyurat, penyediaan dan pengaturan budget,
monitoring kebijakan dan prosedur, penanganan masalah

MANAJEMEN PUBLIK 103


kepegawaian. Biasanya para manajer hanya menggunakan sebagian
kecil saja dari waktu yang tersedia untuk kegiatan tersebut. Meskipun
demikian, pengalaman menunjukkan bahwa banyak manajer yang
mengeluh dengan kegiatan tersebut.
Jenis kegiatan keempat adalah teknis. Kegiatan ini merupakan
kegiatan seorang manajer untuk memecahkan masalah-masalah
teknis, melakukan supervisi terhadap pekerjaan teknis, dan bekerja
dengan menggunakan peralatan-peralatan dan perlengkapan-
perlengkapan.

3. Manajemen Stratejik
Pada dasarnya manajemen stratejik merupakan perpaduan
antara konsep "manajemen" dan "stratejik". Manajemen dapat
diartikan sebagai proses penggerakan orang dan bukan orang untuk
mencapai tujuan organisasi. Sedangkan stratejik dapat diartikan
sebagai kiat, cara dan/ atau taktik yang dirancang secara sistemik
dalam menjalankan fungsi-fungsi manajemen dalam rangka
mencapai tujuan organisasi secara efisien dan efektif.
Nawawi (2003:248), merumuskan empat definisi manajemen
stratejik yaitu: (1) Manajemen stratejik adalah "proses atau
rangkaian kegiatan pengambilan keputusan yang bersifat mendasar
dan menyeluruh disertai penetapan melaksanakannya, yang dibuat
oleh manajemen puncak dan diimplementasikan oleh seluruh jajaran
di dalam suatu organisasi, untuk mencapai tujuannya". (2) Manaje-
men stratejik adalah "usaha manajerial menumbuhkembangkan
kekuatan organisasi untuk mengeksploitasi peluang yang muncul
guna mencapai tujuannya yang telah ditetapkan sesuai dengan misi
yang ditentukan. (3) Manajemen stratejik adalah arus keputusan dan
tindakan yang mengarah pada pengembangan suatu strategi atau
strategi-strategi yang efektif untuk membantu mencapai tujuan. (4)
Manajemen stratejik adalah perencanaan berskala jangkauan masa
depan yang jauh (disebut visi), dan ditetapkan sebagai keputusan
manajemen puncak (keputusan yang bersifat mendasar dan prinsipil),
agar memungkinkan organisasi berinteraksi secara efektif (disebut
misi), dalam usaha menghasilkan sesuatu (perencanaan operasional
untuk menghasilkan barang dan/atau jasa serta pelayanan) yang
berkualitas, dengan diarahkan pada optimalisasi pencapaian tujuan

104 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


(disebut Tujuan Strategik) dan berbagai sasaran (tujuan operasional)
organisasi. Untuk lebih jelasnya apa yang dimaksud dengan visi, misi,
tujuan, sasaran, kebijaksanaan, program dan kegiatan adalah
sebagai berikut.
Visi
Visi adalah cita-cita akhir yang diharapkan akan tercapai di
masa depan yang jauh, atau pandangan jauh ke depan, kemana dan
bagaimana suatu organisasi harus diarahkan dan berkarya agar tetap
konsisten, eksis, antisipatif, inovatif, serta produktif. Visi adalah suatu
gambaran yang menantang tentang keadaan masa depan berisikan
cita-cita dan citra yang ingin diwujudkan oleh suatu organisasi.
Vincent Gaspersz (2004:31), mengemukakan bahwa visi adalah
gambaran konseptual tentang keinginan masa mendatang.
Perumusan visi menurut Gaspersz dapat membantu organisasi publik
untuk mendefinisikan ulang tentang pelayanan publik yang diberikan
dan menyiapkan organisasi untuk memenuhi kebutuhan di masa
mendatang. Visi yang baik biasanya dipakai melalui kerjasama antara
pimpinan dan semua tingkatan dari organisasi yang akan
menerapkan rencana-rencana stratejik untuk mencapai visi dari
organisasi publik. Sedangkan Kouzes (2004:15), mengatakan bahwa
visi atau mimpi adalah kekuatan yang dapat menciptakan masa
depan.
Misi
Misi adalah sesuatu yang harus diemban atau dilaksanakan oleh
suatu organisasi, sesuai visi yang ditetapkan, agar tujuan organisasi
dapat terlaksana dan berhasil dengan baik. Dengan pernyataan misi
tersebut, diharapkan seluruh pegawai dan pihak yang berkepentingan
dapat mengenal organisasi, dan mengetahui peran dan program-
programnya serta hasil yang akan dicapai di masa yang akan datang.
Kotler dalam Salusu (1996:121), mengatakan bahwa misi adalah
pernyataan tentang tujuan organisasi yang diekspresikan dalam
produk dan pelayanan yang dapat ditawarkan, kebutuhan yang dapat
ditanggulangi, kelompok masyarakat yang dilayani, nilai-nilai yang
dapat diperoleh, serta aspirasi dan cita-cita di masa depan.

MANAJEMEN PUBLIK 105


Tujuan (Objectives)
Tujuan adalah merupakan penjabaran/implementasi dari
pernyataan misi. Tujuan adalah sesuatu (apa) yang akan dicapai atau
dihasilkan pada jangka waktu 1 (satu) sampai 5 (lima) tahunan.
Vincent Gaspersz (2004:51), mengatakan bahwa tujuan-tujuan
adalah merupakan target-target spesifik dan dapat diukur untuk
mencapai sasaran-sasaran. Berbeda dengan sasaran, pernyataan
tujuan bersifat spesifik, dapat diukur dengan angka (kuantitatif) dan
terkait dengan waktu pencapaian hasil-hasil yang diinginkan.
Sasaran (Goals)
Sasaran adalah penjabaran dari tujuan secara terukur, yaitu
sesuatu yang akan dicapai atau dihasilkan secara nyata oleh suatu
organisasi dalam jangka waktu tahunan, semesteran, triwulanan atau
bulanan. Vincent Gaspersz (2004:44), mengatakan bahwa sasaran
(goals) adalah merupakan hasil akhir yang diinginkan, pada
umumnya setelah 3 (tiga) sampai 5 (lima) tahun. Sasaran
memberikan suatu kerangka kerja untuk tingkat perencanaan yang
lebih terperinci. Sasaran lebih spesifik daripada pernyataan misi,
tetapi masih bersifat umum untuk merangsang kreativitas dan
inovasi.
Kebijakan
Kebijakan adalah merupakan ketentuan-ketentuan yang telah
disepakati pihak-pihak terkait dan diterapkan oleh yang
berkewenangan untuk dijadikan pedoman. Pegangan atau petunjuk
bagi setiap usaha dan kegiatan aparatur pemerintah ataupun
masyarakat agar tercapai kelancaran dan keterpaduan dalam upaya
mencapai sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi.
Program
Program adalah kumpulan kegiatan-kegiatan nyata, sistematis
dan terpadu yang dilaksanakan oleh satu atau beberapa organisasi
pemerintah ataupun dalam rangka kerjasama dengan masyarakat,
atau merupakan partisipasi aktif masyarakat guna mencapai sasaran,
tujuan yang telah ditetapkan.

106 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


Kegiatan
Kegiatan adalah tindakan nyata dalam jangka waktu tertentu
yang dilakukan oleh organisasi dengan memanfaatkan sumber daya
untuk mencapai sasaran dan tujuan tertentu sesuai dengan kebijakan
dan program yang telah ditetapkan.
Dalam setiap organisasi keputusan stratejik dan rencana
stratejik selalu disiapkan kelompok manajemen stratejik. Salusu
(1996:490), Tugas utama dari kelompok manajemen stratejik yang
lazim disebut manajemen puncak adalah merumuskan misi, tujuan
dan sasaran organisasi, keputusan-keputusan stratejik lainnya,
rencana stratejik, mengevaluasi keputusan pelaksanaan stratejik atau
mengevaluasi implementasi stratejik. Manajemen stratejik bergerak
dari awal sampai akhir, sampai menikmati hasil keputusannya,
menyesuaikan apakah hasil itu sesuai dengan yang dikehendaki, yaitu
apakah hasil itu cukup memberi kepuasan kepada pelanggan.
Dengan kata lain, berhasilkah organisasi memberi pelayanan yang
berkualitas kepada masyarakat.
Manajemen stratejik sebagai pembuat keputusan stratejik dapat
mengundang konsultan atau pihak lain untuk memberi masukan dan
informasi selama proses itu berlangsung. Tetapi dalam menyusun
perencanaan stratejik, manajemen stratejik akan menyerahkan tugas
itu kepada kelompok perencanaan, yang berarti CEO pada akhirnya
harus memberikan persetujuan dan pengesahan. Perencana stratejik
tidak sama dengan pembuat keputusan stratejik, sekalipun dapat saja
ada personil yang merangkap sebagai pembuat keputusan stratejik
sekaligus sebagai perencana stratejik. Tetapi CEO sebagai kepala dari
kelompok manajemen stratejik terlibat dalam pembuat keputusan
stratejik dan perencana stratejik. Manajemen stratejik mengangkat
para penanggung jawab untuk melaksanakan semua rencana itu dan
membentuk berbagai tim untuk menyusun berbagai aturan, prosedur
dan yang berkaitan dengan implementasi strategi.
Salah satu tugas lain manajemen stratejik adalah selalu
mencari isu-isu stratejik. Isu-isu stratejik menurut Salusu
(1996:492), ialah konflik diantara berbagai kekuatan atau konflik
antara nilai-nilai yang dapat mempengaruhi kemampuan organisasi
mencapai sasaran masa depan yang diinginkan. Manajemen stratejik
mengendalikan isu-isu itu melalui manajemen isu stratejik, yaitu

MANAJEMEN PUBLIK 107


pertama-tama mengidentifikasi isu-isu utama yang krusial, kemudian
memutuskan bagaimana suatu kelompok kerja memberikan respon
dan sekaligus menyelesaikannya.
Manajemen stratejik bertugas mengendalikan suatu proses
yang panjang, mengangkat dan menempatkan orang-orang yang
akan terlibat dalam proses itu, menyepakati bagaimana analisis
stratejik dilakukan dan apa yang diharapkan dari itu semua. Dengan
demikian, manajemen stratejik menurut Salusu (1996:492), adalah
manajemen tingkat makro, yaitu yang berurusan dengan peren-
canaan stratejik dan pengambilan keputusan stratejik, sedangkan
lainnya adalah manajemen tingkat mikro, yaitu yang menangani hal-
hal yang berhubungan dengan pelaksanaan.
Manajemen stratejik yang dimaksud adalah dalam pengertian
kelompok para eksekutif, kelompok eselon atas, kelompok para
manajer stratejik, atau bahkan para manajer stratejik, dan dapat juga
dikatakan sebagai kelompok para penanggung jawab tingkat atas.
Salusu (1996:492), mengatakan manajemen stratejik adalah
sebagai suatu cara memimpin organisasi untuk mencapai misi, tujuan
dan sasarannya. Manajemen stratejik dapat meningkatkan
kemampuan manajerial, tanggungjawab organisasional, sistem
administrasi yang baik yang dapat menghubungkan pengambilan
keputusan stratejik dengan pengambilan keputusan operasional,
pada semua tingkatan hirarki organisasi, dan pada semua jajaran
kewenangan fungsional organisasi.
Dengan demikian manajemen stratejik adalah suatu cara untuk
mengelola organisasi secara efektif dan efisien dalam pencapaian
tujuan. Donnelly (1984), menegaskan bahwa manajemen stratejik
sesungguhnya mencakup dua hal, yaitu perencanaan stratejik dan
implementasi strategi. Beliau melihat perencanaan stratejik sama
dengan proses perumusan strategi, atau proses manajemen stratejik.
David dalam Salusu (1996:492), sebaliknya membatasi
penggunaan perencanaan stratejik sambil menegaskan bahwa
manajemen stratejik melalui tiga tahap yaitu: (1) perumusan strategi,
(2) implementasi strategi, dan (3) evaluasi strategi. Beliau melihat
manajemen stratejik sebagai seni dan ilmu dalam merumuskan,
mengimplementasikan dan mengevaluasi keputusan-keputusan lintas

108 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


fungsional yang akan meningkatkan kemampuan organisasi mencapai
sasarannya.
Jadi konsep manajemen stratejik pada dasarnya berlaku umum,
dalam artian bahwa manajemen stratejik dapat diimplementasikan ke
dalam bentuk organisasi baik instansi pemerintah maupun swasta.
Manfaat Manajemen Stratejik
Membahas konsep manajemen stratejik berarti membicarakan
hubungan antara organisasi dan lingkungannya, lingkungan internal
dan lingkungan eksternal. Konsep itu memberi petunjuk bagaimana
menanggulangi perbuatan yang terjadi dalam lingkungan eksternal
tersebut. Bahkan manajemen stratejik dapat memberi petunjuk bagi
para eksekutif dalam mencoba mempengaruhi dan mengendalikan
lingkungan itu sehingga tidak sekedar bersikap memberi reaksi
terhadapnya. Dengan begitu, organisasi tetap mampu mengendalikan
arah perjalanannya menuju sasaran yang dikehendaki.
Dengan manajemen stratejik, organisasi dimungkinkan
mengidentifikasi peluang-peluang dalam lingkungan eksternal dan
sekaligus memanfaatkannya ancaman dari lingkungan dan dapat
dihindari seminimal mungkin dengan menggunakan kekuatan yang
dimiliki organisasi. Dengan peluang dan kekuatan, organisasi dapat
memperbaiki kelemahan-kelemahannya bahkan manajemen stratejik
dapat memberi petunjuk bagaimana mengantisipasi perubahan awal
dari lingkungan eksternal.
Dalam lingkungan organisasi, manajemen stratejik mampu
menciptakan sinergis dan semangat korps yang penuh integritas
sehingga dapat melicinkan jalan menuju sasaran organisasi itu
diharapkan dapat meningkatkan produktivitas mereka. Dengan begitu
organisasi akan mampu bertahan lama, bebas dari perasaan curiga
antar-pegawai. Hasilnya, akan lebih mampu memberikan pelayanan
terbaik dengan konsumennya, sebaliknya kondisi ini akan
memberdayakan organisasi untuk mendapatkan bantuan lebih
banyak dari luar lingkungannya.
Para manajer organisasi publik dan non-profit tidak akan
pernah lumpuh dari perubahan-perubahan stratejik dalam tubuh
organisasinya. Apabila perubahan-perubahan itu mutlak harus
dilakukan, mereka perlu menyesuaikan arah perjalanan organisasi
dengan misi dan tujuan yang ingin dicapai. Pada saat itulah konsep

MANAJEMEN PUBLIK 109


manajemen stratejik diperlukan. Perubahan yang dimaksud itu antara
lain yang berkaitan dengan kebijakan, tentang prosedur, melayani
atau yang berkaitan dengan pelanggan dan konsumen, dan
semacamnya yang harus dilaksanakan.
Nut & Backhoff dalam Salusu (1996:496), menampilkan
alasan mengapa perubahan stratejik itu diperlukan, sekaligus
memberi petunjuk tentang manfaat dari manajemen stratejik bagi
organisasi publik dan non-profit tersebut. (1) Suatu organisasi yang
baru didirikan atau yang sedang bertumbuh. perlu memikirkan
kemana ia hendak pergi dan sasaran apa yang perlu diberi perhatian
dilakukan karena tidak mungkin organisasi itu akan tetap seperti
sedia kala, (2) Kebutuhan untuk mempertahankan stabilitas
pembiayaan. Apabila suatu sumber dana kurang atau habis, untuk
mempertahankan roda organisasi diperlukan strategi baru untuk
mencari sumber-sumber yang baru. (3) Keinginan untuk
mengembangkan pelayanan. Pemerintah pada umumnya mulai
dengan pelayanan yang terbatas karena sumber daya dan dana
terbatas. Tetapi lama kelamaan, seiring dengan makin tersedianya
sumber daya yang memadai, keinginan untuk memperluas
pelayanan, mendorong pemerintah untuk melakukan perubahan
dalam kebijaksanaan, prosedur, dan bahkan prioritas pelanggan yang
dilayani. (4) Perluasan peranan dan desakan pelanggan. Sering kali
masyarakat mendesak kepada pemerintah atau organisasi profit
untuk menambahkan peranan baru pada organisasinya guna men-
jawab kebutuhan mendesak mereka. (5) Perubahan Kepemimpinan.
Munculnya pemimpin baru dalam organisasi menyusul pergantian
pejabat, biasanya diikuti dengan memperkenalkan visi baru yang
sekaligus menuntut kepada para eksekutif lainnya untuk
menyesuaikan diri dan pemahaman tentang kebijaksanaan baru
tersebut. (6) Tuntutan yuridis dalam perencanaan. Perubahan
prosedur harus dilakukan apabila ada desakan dari pemerintah untuk
mengikuti prosedur perencanaan guna memperoleh bantuan yang
diperlukan. (7) Tuntutan dan integrasi. Integrasi antar departemen,
biro, bidang, bagian, seksi dan sebagainya, sangat sering ditemukan
di kalangan pemerintahan. Integrasi ini dianggap memang perlu
diadakan menuntut penyesuaian misi, tujuan dan sasaran, serta
berbagai prosedur karena harus mengintegrasikan dua atau lebih

110 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


tujuan dan sasaran. (8) Koordinasi Tindakan. Koordinasi ini tindakan
dalam kalangan organisasi publik sangat lumrah, tetapi sekaligus
menuntut adanya perubahan dalam kebijaksanaan internal guna
menjamin terlaksananya koordinasi itu dengan baik. (9) Ancaman
politik. Pihak-pihak penguasa politik sesekali menuntut kepada para
eksekutif untuk menyesuaikan kebijaksanaan organisasinya dengan
tuntutan politik.
Y00 & Digman dalam Salusu (1996:498), menyimpulkan
manfaat dari penggunaan manajemen stratejik antara lain: (1)
Mampu memberikan petunjuk bagaimana mengantisipasi masalah-
masalah dan peluang di masa mendatang, (2) Memungkinkan para
pegawai memahami tujuan dan sasaran organisasi secara jelas
sehingga mereka mengetahui arah perjalanan organisasinya, (3)
Meningkatkan kepuasan dan motivasi pegawai, (4) Menyediakan
informasi kepada para pengambil keputusan tepat pada waktunya,
dan (5) Bisa menghemat biaya.
Jadi dapat dikatakan bahwa manajemen stratejik dapat
meningkatkan efisiensi dan efektivitas organisasi dalam rangka
pencapaian tujuan.

4. Manajemen Publik

Manajemen publik merupakan suatu spesialisasi baru, tetapi


berakar dari pendekatan normatif, Woodrow Wilson sebagai penulis
"The Study of Administration" di tahun 1887 dalam Shafritz & Hyde
(1997), merupakan visionernya. Di dalam aliran ini yang dibicarakan
benar-benar manajemen publik. Wilson mendesak agar ilmu
administrasi publik segera mengarahkan perhatiannya pada orientasi
yang dianut dunia bisnis, perbaikan kualitas personel dalam tubuh
pemerintah, aspek organisasi dan metode-metode kepemerintahan.
Fokus dari ajaran tersebut adalah melakukan perbaikan fungsi
eksekutif dalam tubuh pemerintahan karena waktu itu dinilai telah
berada di luar batas kewajaran sebagai akibat dari merebaknya
gejala korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dengan mengadopsi
prinsip manajemen business.
Wilson meletakkan empat prinsip-prinsip dasar bagi studi
administrasi publik yang mewarnai manajemen publik sampai
sekarang yaitu (1) pemerintah sebagai setting utama organisasi, (2)

MANAJEMEN PUBLIK 111


fungsi eksekutif sebagai focus utama, (3) Pencarian prinsip-prinsip
dan teknik manajemen yang lebih efektif sebagai kunci pengem-
bangan kompetensi administrasi, (4) metode perbandingan sebagai
suatu metode studi pengembangan bidang administrasi publik.
Wilson sebenarnya sangat mempengaruhi upaya
pengembangan manajemen publik sampai sekarang. Pengembangan
paradigmapun mengikuti perkembangan administrasi publik. Henry
(1995), seperti dikotomi administrasi-politik paradigma pertama
(1900-1926), prinsip-prinsip administrasi paradigma kedua (1927-
1937), ilmu politik paradigma ketiga (1950-1970), administrasi
sebagai ilmu paradigma keempat (1956-1970). Warna manajemen
publik dapat dilihat pada masing-masing paradigma, misalnya dalam:
Paradigma pertama, pemerintah diajak mengembangkan sistem
rekrutmen, ujian pegawai, klasifikasi jabatan, promosi, disiplin dan
pensiun secara lebih baik. Manajemen Sumber daya manusia dan
barang/ jasa harus diupayakan akuntabel agar tujuan negara dapat
tercapai.
Paradigma kedua, dikembangkan prinsip-prinsip manajemen
yang diklaim sebagai prinsip-prinsip universal yang dikenal sebagai
POSDCORB (planning, organizing, Staffing, Directing, Coordinating,
Reporting dan Budgeting), yang merupakan karya besar Luther
Gullick dan Lundall Urwick di tahun 1937. Prinsip-prinsip ini
kemudian dikritik dalam karya "Administrative Behavior", yang
mengajak para ahli tidak hanya mendasarkan dirinya pada aspek
normatif sebagai diajarkan dalam rasional tetapi harus melihat
kenyataan yang terjadi dalam salah satu fungsi manajemen yang
penting yaitu pembuatan keputusan (decision making). Kritik ini telah
memberikan ruang baik kemunduran pengembangan fungsi
manajemen publik waktu itu, karena para ahli politik akhirnya melihat
administrasi publik sekaligus manajemen publik sebagai kegiatan
politik, atau lebih merupakan bagian dari ilmu politik.
Paradigma ketiga, karenanya fungsi-fungsi manajemen tidak
perlu diajarkan secara normatif, atau tidak perlu lagi melihat fungsi-
fungsi manajemen tersebut sebagai sesuatu yang universal.
Paradigma keempat setelah tidak menyetujui kritikan para ahli
ilmu politik, konsep manajemen terus dikembangkan seperti
didirikannya School of Business dan Administrasi Publik serta Journal

112 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


Administrative Science Quarterly di Cornell University Amerika
Serikat.
Pada dasawarsa 1990an, berkembang model manajemen Publik
Baru (The New Public Management) yang telah membawa inspirasi
baru bagi perkembangan manajemen publik di berbagai negara. Di
dalam manajemen Publik Baru ini pemerintah diajak untuk: (1)
meninggalkan paradigma administrasi tradisional dan menggantikan-
nya dengan perhatian kinerja atau hasil kerja, (2) melepaskan diri
dari birokrasi klasik dan membuat situasi dan kondisi organisasi,
pegawai dan para pekerja lebih fleksibel, (3) menetapkan tujuan dan
target organisasi dan personel lebih jelas, sehingga memungkinkan
pengukuran hasil melalui indikator yang jelas, lebih memperhatikan
evaluasi program yang lebih sistematis, dan mengukur dengan
menggunakan indikator ekonomi, efisiensi, dan efektivitas, (4) Staff
senior lebih berkomitmen secara politis dengan pemerintah sehari-
hari dari pada netral, (5) Fungsi pemerintah adalah memperhatikan
pasar, kontrak kerja keluar, yang berarti pemberian pelayanan tidak
selamanya melalui birokrasi saja (melakukan pelibatan sektor
swasta), (6) Fungsi pemerintah dikurangi melalui privatisasi,
semuanya menggambarkan bahwa The New Public Management
memusatkan perhatiannya pada hasil dan bukan pada proses lagi.
NPM menawarkan Schroter, Eckhard & Wollan dalam
Samodra Wibawa (2005:7), menawarkan ide-ide pokok sebagai
berikut: (1) privatisasi dan deregulasi, (2) pemisahan dan
pemandirian unit-unit administrasi, (3) penerapan elemen kompetisi
dalam perilaku administrasi, (4) peminjaman metode manajemen dari
sektor swasta untuk sektor publik.
Meskipun New Public Management menggambarkan
pendekatan yang lebih realistis namun demikian tidak bebas nilai dari
kritikan. Ada yang mengeritiknya dengan mengatakan bawah New
Public Management adalah suatu cara pandang baru yang
menjalankan fungsi manajemen di sektor publik, sementara ada yang
menyatakan tidak setuju karena manajemen ini cenderung bersifat
swasta pada hal pemerintah sebenarnya berbeda orientasinya yaitu
kepentingan publik.

MANAJEMEN PUBLIK 113


5. Manajemen Kinerja
Surya Dharma (2005:1), mengatakan bahwa manajemen
kinerja suatu proses yang dirancang untuk meningkatkan kinerja
organisasi, kelompok dan individu yang digerakkan oleh para
manajer. Pada dasarnya manajemen kinerja adalah suatu proses
yang dilaksanakan secara sinergi antara manajer, individu dan
kelompok terhadap suatu pekerjaan di dalam organisasi. Selanjutnya
menurut Ruki (2004:7), merumuskan manajemen kinerja, adalah
manajemen kinerja berkaitan dengan usaha, kegiatan atau program
yang diprakarsai dan dilaksanakan oleh pimpinan organisasi untuk
merencanakan, mengarahkan dan mengendalikan prestasi pegawai.
Selanjutnya Bacal dalam Surya Dharma (2005:18), mengatakan
bahwa sebagai proses komunikasi yang berkesinambungan dan
dilakukan dalam kemitraan antara pegawai dan atasannya. Proses ini
meliputi kegiatan membangun harapan yang jelas serta pemahaman
mengenai pekerjaan yang akan dilakukan.
Manajemen kinerja didasarkan kepada kesepakatan tentang
sasaran, persyaratan pengetahuan, keahlian, kompetensi, rencana
kerja dan pengembangan. Menurut Surya Dharma (2005:2),
manajemen kinerja ditujukan untuk meningkatkan aspek-aspek
kinerja yang meliputi: (1) Sasaran yang dicapai, (2) kompetensi yang
meliputi pengetahuan, keterampilan, sikap dan (3) Efektivitas kerja.
Sedangkan Noe (1999), menyebutkan 3 (tiga) tujuan manajemen
kinerja yaitu sebagai berikut.
1. Tujuan stratejik, yaitu manajemen kinerja harus menghasilkan
kegiatan pegawai dengan tujuan organisasi. Pelaksanaan strategi
tersebut perlu mendefinisikan hasil yang akan dicapai, perilaku,
karakteristik pegawai yang dibutuhkan untuk melaksanakan
strategi, mengembangkan pengukuran dan sistem umpan balik
terhadap kinerja pegawai.
2. Tujuan Administratif, yaitu kebanyakan organisasi mengguna-
kan informasi manajemen kinerja khususnya evaluasi kinerja untuk
kepentingan keputusan administratif, seperti penggajian, promosi,
pemberhentian pegawai dan lain-lain.
3. Tujuan pengembangan, yaitu manajemen kinerja bertujuan
untuk mengembangkan kapasitas pegawai yang berhasil di bidang
kerjanya. Pegawai yang tidak berkinerja baik perlu mendapat

114 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


pemberdayaan melalui training, penempatan yang lebih cocok dan
sebagainya.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa manajemen kinerja
didasarkan pada suatu asumsi bahwa, jika pegawai mengerti dan
atau memahami apa yang diharapkan dari mereka, dan diberdayakan
dalam penentuan tujuan yang akan dicapai maka mereka akan
menunjukkan kinerja untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.

C. FUNGSI-FUNGSI MANAJEMEN

Dalam pendekatan manajemen klasik telah diungkapkan


adanya fungsi perencanaan, pengorganisasian, staffing, pengarahan,
koordinasi pelaporan dan penyusunan anggaran (POSDCORB).
Pendekatan ini melihat dimensi-dimensi tersebut sebagai suatu yang
normatif (berlaku dimana-mana, dan merupakan satu-satunya cara
yang terbaik). Allison (1997:385), melihat bahwa seorang manajer
umum, baik yang bekerja di swasta maupun di pemerintah, paling
tidak menjalankan fungsi manajemen berikut (1) menciptakan tujuan
dan prioritas, (2) menyusun rencana operasional, (3) melakukan
pengorganisasian dan staffing, (4) mengarahkan para pegawai dan
sistem manajemen kepegawaian, (5) mengendalikan kinerja, (6)
berurusan dengan unit-unit luar (7) berurusan dengan organisasi
independen, dan (8) berurusan dengan media masa dan publik.
Sementara itu Donovan dan Jackson (1991:13), memberikan
rincian subproses atau tugas manajemen yang terdiri dari atas lima.
Pertama, tugas perencanaan yaitu: (a) menciptakan kebijakan,
tujuan dan standar, (b) mengembangkan aturan dan prosedur, (c)
mengembangkan rencana, (d) melakukan ramalan, (e) menganalisis
lingkungan, dan (f) mengevaluasi efektivitas proses perencanaan.
Kedua, tugas pengorganisasian yaitu: (a) membagi tugas pekerjaan
setiap orang, (b) menciptakan struktur yang sesuai secara fungsional
dan sosial, (c) mendelegasikan otoritas; (d) menciptakan garis
otoritas dan komunikasi, (e) koordinasi semua pekerjaan bawahan,
(f) mengevaluasi efektivitas proses pengorganisasian. Ketiga adalah
tugas staffing yaitu: (a) menentukan tipe yang harus dipekerjakan,
(b) merekrut orang yang berprospek baik, (c) menyeleksi pegawai,
(d) melakukan training dan pengembangan staf, (e) melakukan

MANAJEMEN PUBLIK 115


penilaian kinerja, (f) melakukan evaluasi terhadap program staffing.
Tugas keempat yaitu leading, yang meliputi: (a) mendorong orang
untuk melakukan pekerjaan, (b) menjaga dan memelihara semangat
kerja, (c) memotivasi para staf, (d) menciptakan iklim organisasi
yang kondusif, (e) melakukan evaluasi terhadap efektivitas
kepemimpinan. Dan tugas kelima adalah controlling, yaitu: (a)
menetapkan standar, (b) menciptakan perubahan dalam mencapai
tujuan, (c) mengembangkan struktur dan proses akuntabilitas, dan
(d) mengevaluasi kinerja.
Akan tetapi dewasa ini muncul upaya untuk melakukan
penyempurnaan fungsi-fungsi manajemen di sektor publik. Salah
satunya menyangkut analisis kegiatan, pengelolaan SDM, keuangan,
informasi, dan hubungan luar sebagaimana dikenal dengan
PAFHRIER yang diungkapkan oleh Garson dan Overman
(11983:1991). Dalam organisasi publik atau instansi pemerintah,
pendekatan PAFHRIER nampaknya mulai mendapat perhatian karena
melihat peranan manajer sebagai pihak yang melayani masyarakat
publik (adanya pengelolaan hubungan dengan pihak luar), dan bukan
lagi sebagai pihak yang bekerja dalam kantor semata (tidak pernah
mendatangi, memahami, dan mengartikulasikan, kepentingan
masyarakat). dalam kecenderungan terbaru sekarang dituntut agar
aparat pemerintah lebih menekankan "network" baik vertikal maupun
horizontal. Network yang vertikal menekankan bagaimana hubungan
dengan struktur pemerintah yang lebih tinggi diatur sedemikian rupa
sehingga mendapatkan kepuasan pada kedua belah pihak (atas dan
bawah), sedang yang bersifat horizontal berkenaan dengan
hubungan masyarakat. Yaitu bagaimana melayani dan bekerja sama
dengan masyarakat, LSM, dan pihak–pihak swasta yang ada, agar
mereka memperoleh kepuasan yang mereka harapkan. Berikut ini
akan dijelaskan fungsi-fungsi manajemen yang merupakan
tanggungjawab para manajer publik.

1. Fungsi Manajemen Kebijakan


Dalam proses kebijakan, seorang manajer secara aktif terlibat
dalam penentuan program-program dan proyek-proyek yang
diusulkan untuk ditangani dalam tahun anggaran tertentu. Ia harus
menyelenggarakan rapat, memberikan pikiran-pikiran dan saran-

116 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


sarannya kepada para analisis kebijakan dan berpartisipasi dalam
proses pemilihan alternatif terbaik, yang kemudian diusulkan ke
dalam rapat umum untuk dijadikan program atau proyek. Ia juga
harus ikut aktif dalam membahas berbagai kesulitan dan kelemahan
implementasi kebijakan tahun-tahun sebelumnya untuk dapat
dijadikan pelajaran bagi penyusunan program atau proyek pada
tahun berikutnya. Terkadang, ia juga harus mengkoordinasikan
usulan-usulan tersebut agar jangan sampai tumpang tindih, saling
meniadakan, atau melakukan tindakan ganda.
Untuk kebutuhan di atas, seorang manajer biasanya mendirikan
suatu unit pengelolaan kebijakan yang lebih popular dikenal dengan
unit perencanaan. Sayangnya unit ini sering hanya sibuk
memperhatikan bagaimana menyusun anggaran tahunan, dan jarang
melakukan analisis kebijakan. Unit ini tidak hanya menyarankan apa
rencana yang akan diimplementasikan di masa mendatang, tetapi
juga bagaimana proses pengambilan keputusan terhadap suatu
program atau proyek. Manajer publik harus mendorong agar
kebijakan yang diusulkan dapat mengkoordinasikan nilai-nilai
rasionalitas (aspek teknis) dan aspirasi berbagai kelompok
kepentingan (aspek politis), sehingga usulan diterima masyarakat.

2. Fungsi Manajemen Sumber Daya Manusia (SDM)


Stoner dkk (2003:68), mengatakan bahwa human resource
management (manajemen sumber daya manusia) adalah fungsi
manajemen yang berhubungan dengan rekrutmen, penempatan,
pelatihan dan pengembangan organisasi. Selanjutnya Keban
(2004:100), mengatakan bahwa dalam manajemen SDM perlu
diperhatikan jumlah, jenis kualitas, dan distribusi dan utilitasi SDM
yang bekerja dalam organisasi. Jumlah, jenis dan kualitas sangat
berkenaan dengan tuntutan pekerjaan-pekerjaan yang ada. Distribusi
SDM sangat tergantung pada beban kerja dari setiap unit kerja yang
ada, sementara itu utilisasi sangat tergantung pada komitmen yang
dimiliki.
Pengalaman menunjukkan bahwa di instansi pemerintah,
jumlah dan jenis SDM masih sering dimanipulasi karena berbagai
kepentingan. Kecenderungan mengangkat jumlah pegawai melebihi
kebutuhan masih sering terjadi karena dianggap sebagai simbol

MANAJEMEN PUBLIK 117


kedudukan sebagai birokrat (gejala Parkinson) atau dilakukan karena
moral dan nilai yang dianut birokrat masih kurang mendukung, atau
juga belum berorientasi pada peningkatan kinerja.
Masalah penempatan dan distribusi pegawai juga cukup
fenomenal. Mutasi pegawai dan pemangku jabatan struktur tertentu
seringkali dilakukan secara tidak jelas, atau dengan alasan klasik
yaitu, efisiensi dan efektivitas. Fenomena ini menunjukkan bahwa
pemegang jabatan tingkat yang lebih tinggi masih sering semena-
mena melakukan kegiatan politik atau penggunaan sektor publik
untuk kepentingan pribadi, golongan, atau partai tertentu.
Kecenderungan ini seharusnya segera ditangani karena akan
membuka peluang untuk melanggar HAM. Para pegawai sering kali
mengalami alienasi sebagai akibat tindasan otoritas yang lebih tinggi,
yang kadang-kadang melanggar hak asasi mereka. Kritikan yang
menggugat eksistensi hirarki pada berbagai literatur Thayer (1982),
kiranya mengingatkan kita untuk kembali memanfaatkan hirarki demi
menyukseskan tujuan organisasi, dan bukan untuk memenuhi
kebutuhan pribadi, golongan dan partai tertentu, karena hirarki atau
struktur organisasi diciptakan untuk kepentingan bersama bukan
untuk kepentingan segelintir orang.
Disamping itu, pemanfaatan SDM terasa masih kurang optimal.
Seorang manajer seharusnya menghitung berapa biaya yang telah
dikeluarkan untuk melakukan training dan pengembangan pegawai
dan mencoba melakukan perkiraan berapa keuntungan dari
peningkatan kualitas SDM yang dilakukan. Cukup tenaga pegawai
yang kecewa karena setelah kembali mengikuti pendidikan atau
pelatihan, pengetahuan dan keterampilan mereka tidak dimanfaatkan
malah dipindahkan ke tempat baru yang sama sekali tidak menuntut
pengetahuan atau keterampilan mereka. Kecenderungan seperti ini
seharusnya disadari sebagai suatu yang merugikan karena
merupakan pemborosan uang, tenaga dan waktu, dan lebih buruk
lagi memberi kesan kepada pegawai bahwa penempatan pegawai
dapat dilakukan "sembarangan" tergantung keinginan si pemegang
otoritas. Dampaknya sangat fatal yaitu mereka tidak bisa berfungsi
ditempat kerja yang baru sehingga organisasi yang bersangkutan
seakan mengalami proses kemandekan atau kemunduran.

118 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


Dalam menangani SDM ini biasanya seorang manajer
membentuk suatu unit yang sering dikenal dengan bagian personalia,
atau unit manajemen SDM. Seharusnya unit ini menjalankan tugas-
tugas manajer dalam mengatur jumlah, jenis, kualitas, distribusi dan
pemanfaatan SDM yang ada. Bukan semata mencatat rekor tentang
SDM yang ada untuk diperiksa keabsahannya seperti yang terjadi
selama ini. Unit ini seharusnya giat menganalisis SDM yang ada dan
mengkaitkan dengan kebutuhan organisasi di masa mendatang.
Untuk kemudian memberikan saran kepada manajernya. Karena itu,
orang yang menduduki jabatan penting dalam unit tersebut perlu
ditinjau kembali fungsinya. Setidak-tidaknya mereka mampu
mengaitkan visi dan misi organisasi dan kekuatan dan kelemahan
SDM yang ada dalam organisasi, dan menyarankan perubahan yang
lebih baik.
Disamping itu, pengelolaan SDM ini perlu juga diperhatikan
pemberian motivasi yang tepat agar pegawai atau pekerja dapat
melakukan pekerjaan dengan penuh semangat dan tanggungjawab.
Dalam kenyataannya pendekatan klasik seringkali dilakukan yaitu
dengan mengatur sistem gaji promosi. Pendekatan ini perlu disadari
bukan merupakan cara terbaik, karena kebutuhan pegawai sebagai
manusia sangat kompleks. Mereka bisa terdorong bekerja dengan
semangat kalau memiliki pemimpin yang akomodatif dan penuh
kreativitas dan inovatif, memiliki teman-teman kerja yang baik
dimana mereka dihargai dan diperhitungkan sebagai bagian dari
organisasi. Karena itu, kepemimpinan yang baik merupakan kunci
keberhasilan suatu organisasi.
Manajemen SDM, di masa mendatang, hendaknya
memperhatikan prinsip-prinsip Civil Service yang dari hari ke hari
semakin mendapatkan perhatian Coggburn, (2003:203-209), yaitu
merekrut aparat yang quail feed untuk menangani pekerjaan-
pekerjaan di sektor publik, memberikan balas jasa kepada mereka
secara adil dan mengembangkan mereka, dan memberlakukan
peraturan yang memungkinkan mereka untuk dapat mencapai
tujuan-tujuan publik. Dalam merekrut pegawai harus diperhitungkan
keuntungan dan kerugian dari perspektif publik, manajerial dan legal.
Mungkin dari sisi politik suatu rekrutmen telah dilaksanakan dengan
memperhatikan nilai-nilai representativeness dan responsiveness

MANAJEMEN PUBLIK 119


tetapi dari sisi manajerial yang mengutamakan aspek efisiensi, efekti-
vitas, dan ekonomi belum terpenuhi. Atau mungkin dari perspektif
manajerial atau politik sudah tidak bermasalah, tetapi dari sisi hukum
yang menekankan aspek hak aparat dan keadilan masih menjadi
masalah.
Agar dapat mengelola aspek SDM dengan baik, seorang
manajer berfungsi sebagai leader yang handal. Maksudnya, seorang
manajer disamping memiliki manajerial skills juga memiliki leadership
skills. Leadership skills dapat diperoleh melalui proses belajar. Untuk
mempelajari aspek kepemimpinan tersebut barangkali karya Blake &
Mouton (1978), dan Rensis Likert (1961), dapat menjadi referensi
penting, dimana menurut Blake & Mouton gaya manajemen team
atau demokrasi adalah yang paling efektif, dan menurut Rensis Likel,
sistem manajemen partisipasi adalah yang paling diandalkan. Namun
Tannenbaum dan Schmidt (1973), memberikan sanggahan bahwa
gaya yang paling efektif adalah bukan demokratis tetapi yang lebih
fleksibel yaitu mampu menyeleksi suatu gaya yang paling cocok
dengan situasi yang sedang dihadapi atau fungsi dikenal dengan
pendekatan situasional.

3. Fungsi Manajemen Keuangan


Pengelolaan keuangan merupakan tanggungjawab seorang
manajer meskipun dalam kenyataan ditangani oleh unit keuangan.
Tugas utama seorang manajer dalam bidang ini adalah bagaimana
mencari dana, merencanakan dan mengalokasikannya sesuai dengan
kebutuhan yang ada, memanfaatkannya secara optimal, dan
mengendalikan penggunaannya sesuai rencana. Dalam bidang
tersebut, kenyataan menunjukkan adanya ketakutan berlebihan
terhadap pemeriksa eksternal. Hal ini disebabkan oleh adanya anutan
paradigma manajemen keuangan yang lebih berorientasi kepada
prinsip "legal-formal", artinya mengikuti rambu-rambu formal yang
telah ditetapkan oleh badan-badan pemeriksa atau inspeksi keuangan
pusat. Dampaknya yaitu muncul kecenderungan untuk selalu
mengutamakan laporan keuangan dalam rangka memenuhi tuntutan
formal atau akuntabilitas eksternal, yang kemudian yang dapat
memberi kesan bahwa bagian keuangan hanya berfungsi

120 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


merencanakan, mengalokasikan dan mengendalikan keuangan dalam
bentuk laporan-laporan sesuai standar dan kebutuhan pemeriksa.
Di masa mendatang perlu ada pembaharuan ke dalam yaitu
menekankan akuntabilitas internal. Untuk itu, intervensi yang
berlebihan dari pusat atau badan pemeriksa harus dibatasi, dan
memberikan keleluasaan yang lebih luas kepada organisasi lokal
untuk memanfaatkan uang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi
yang dihadapinya. Unit ini harus mulai diberi kepercayaan dan
keleluasaan untuk menilai pengalokasian dan pemanfaatan dana
untuk kepentingan organisasi. Jiwa wirausaha harus ditanamkan
pada unit tersebut agar dengan pemupukan kemampuan keuangan
yang lebih baik, organisasi yang bersangkutan dapat mengoptimalkan
pelayanan kepada masyarakat.

4. Fungsi Manajemen Informasi


Sudah lama informasi dan data dipandang sebelah mata oleh
para birokrat di sektor publik, padahal semua keputusan seorang
manajer baik berkenaan dengan perencanaan, budgeting,
pengambilan keputusan, pengembangan unit-unit organisasi,
pengendalian dan koordinasi, sangat membutuhkan data dan
informasi. Bahkan jumlah dan kualitas informasi pada saat sekarang
ini merupakan "kekuatan" untuk bekerja sama dengan pihak-pihak
luar termasuk pengusaha pasar. Bila ingin memberikan yang terbaik
kepada masyarakat, maka kita harus memiliki informasi tentang
bagaimana data tentang pelayanan pada masa lampau, atau
bagaimana pelayanan serupa diberikan oleh organisasi pelayanan
lain.
Oleh karena itu, jenis, intensitas, kualitas dan penyajian, dan
pemanfaatan data dan informasi harus menjadi pusat perhatian
utama dalam unit yang seringkali dikenal dengan unit data atau
pengolahan data. Tradisi masa lampau memberi kesan bahwa unit ini
terlepas dari unit-unit lain baik di dalam maupun di luar organisasi.
Perlu dibahas secara komprehensif pada permulaan tahun: siapa
yang membutuhkan data apa, dalam bentuk atau format seperti apa,
dan kapan dipersiapkan. unsur "siapa" menunjukkan unit-unit dan
pimpinan unit mana yang membutuhkan, termasuk juga pihak luar
yang barangkali ingin bekerja sama atau memberikan pertanyaan

MANAJEMEN PUBLIK 121


dalam rangka transparansi. Data "apa" menunjukkan jenis-jenis dan
variasi data yang dibutuhkan. Format data menunjukkan sistem
klasifikasi atau kategorisasi serta record yang diperlukan. Sedangkan
dimensi waktu menunjukkan kepada data atau informasi tersebut
harus sudah siap untuk digunakan.
Perlu diatur juga dalam manajemen informasi ini yaitu suatu
aspek yang berkenaan dengan SDM-nya. Banyak pegawai yang
ditempati disini tetapi tidak memiliki kemampuan untuk melakukan
pengolahan data secara baik. Perlu juga diberi kejelasan tentang
sanksi bila terjadi pelanggaran etika dalam perekayasaan data,
seperti yang terjadi pada masa lampau. Akuntabilitas para pegawai
dibagi pengelolaan data sangat diragukan karena seringkali memberi
data sesuai dengan pesanan khusus, misalnya untuk mendapatkan
proyek atau mengikuti lomba dilakukan rekayasa data dan informasi.

4. Fungsi Manajemen Hubungan Luar


Hubungan luar selama ini nampak kurang diperhatikan. Jarang
para manajer publik hubungan luar khususnya dengan masyarakat
merupakan hubungan yang harus dikelola sama baiknya dengan
dimensi keuangan, SDM, data, dan sebagainya. Hal ini disebabkan
oleh kecenderungan sentralisasi yang berlebihan, yang telah
membelokkan kepentingan masyarakat serta menjadi kepentingan
birokrat pada pemerintahan yang lebih tinggi. Customer pemerintah
daerah seolah-olah birokrat provinsi dan pusat. Padahal, pemerintah
daerah yang diwujudkan dalam bentuk dinas-dinas bertugas untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat paling tidak dalam
lingkungan kerjanya.
Tujuan mengelola hubungan tersebut adalah terbentuknya
suatu network yang sangat dimana semua yang terlebih dapat
merasakan kepuasan bersama. Kunjungan seorang birokrat ke desa-
desa dalam rangka memahami dan membaca berbagai permasalahan
yang dihadapi di sana merupakan tugas penting yang harus
menggantikan kecenderungan selama ini dimana para birokrat hanya
tinggal dan bekerja dalam kantor sambil mengadakan hubungan
khusus dengan pemerintah pusat. Apabila tugas ini dilaksanakan
dengan baik, maka tugas manajer sangat efektif. Ia akan
mengusulkan program atau proyek yang benar-benar dibutuhkan

122 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


masyarakat. Hal ini juga harus mengatur hubungan dengan pihak-
pihak LSM dan swasta yang memberikan kemungkinan untuk
kerjasama dalam bidang-bidang tertentu. Karena itu, dalam
manajemen hubungan luar ini, seorang manajer diharapkan
merencanakan kegiatan kunjungannya ke daerah-daerah jurisdiksinya
dan ke organisasi swasta termasuk LSM untuk membaca berbagai
kebutuhan lokal, dan mencoba mengolah dan megartikulasikannya ke
dalam usulan-usulan program, proyek, atau kegiatan-kegiatan.

MANAJEMEN PUBLIK 123


6
TEORI KEPEMIMPINAN

A. KONSEP KEPEMIMPINAN
Konsep kepemimpinan pada dasarnya berasal dari kata
"pimpin" yang artinya bimbing atau tuntun. Dari kata "pimpin"
melahirkan kata kerja "memimpin" yang artinya membimbing atau
menuntun dan kata benda "pemimpin" yaitu orang yang berfungsi
memimpin, atau orang yang membimbing atau menuntun.
Sedangkan kepemimpinan yaitu kemampuan seseorang dalam
mempengaruhi orang lain dalam mencapai tujuan.
Di dalam literatur administrasi publik sering dijumpai istilah
management yang merupakan inti dari administrasi, karena memang
menurut Pamudji (1989), Siagian (2004), Keban (2006),
mengatakan bahwa manajemen merupakan alat pelaksana utama
dari pada administrasi. Istilah manaJemen diterjemahkan dengan
"kepemimpinan". Sedangkan pihak lain memakai istilah "tata
pimpinan" selain itu ada juga tetap memakai istilah manajemen
(Indonesia).
Konsep "pemimpin" berasal dari kata asing "leader" dan
"kepemimpinan" dari "leadership". Sedangkan manajemen berasal
dari kata management. Jadi antara kepemimpinan dan manajemen
berbeda baik dari asal katanya maupun pengertiannya. Hal ini dapat
dilihat dari pendapat Pamudji (1989:6) bahwa: (1) kepemimpinan
nuansanya mengarah kepada kemampuan individu, yaitu
kemampuan seorang pemimpin, sedangkan manajemen mengarah
pada sistem dan mekanisme kerja. (2) Kepemimpinan merupakan
kualitas hubungan atau interaksi antara pemimpin dan pengikut

124 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


dalam situasi tertentu, sedangkan manajemen merupakan fungsi
status atau wewenang (authority), jadi kepemimpinan menekankan
kepada pengaruh terhadap pengikut (wibawa) sedangkan
manajemen menekankan pada wewenang yang ada, (3)
Kepemimpinan berdasar pada sumber-sumber yang ada dalam
dirinya (kemampuan kesanggupan) untuk mencapai tujuan,
sedangkan manajemen mempunyai kesempatan untuk mengarahkan
dana dan daya yang ada di dalam organisasi untuk mencapai tujuan
secara efisien dan efektif. (4) kepemimpinan diarahkan untuk
mewujudkan keinginan pemimpin, walaupun akhirnya juga mengarah
ketercapaian tujuan organisasi, sedangkan manajemen mengarah
kepada tercapainya tujuan organisasi secara langsung.
Selanjutnya menurut Bill Creech (1996:295), membedakan
pola pemikiran sifat kepemimpinan dan kemanajeran: (1) Pemimpin
membentuk output, sedangkan manajer sibuk mengejar input, (2)
Pemimpin sibuk memfokuskan pada produk kelompok, manajer
memfokuskan pada pekerjaan individual, (3) Pemimpin merangsang
hal-hal yang tepat, manajer memaksakan ide lama, (4) Pemimpin
ditempa dari persaingan yang ketat, manajer sedikit berbicara
mengenai persaingan, (5) pemimpin menghargai pembandingan
dengan orang lain, manajer tidak melihat perlunya pembandingan,
(6) Pemimpin merangsang hal-hal yang tepat, manajer memaksakan
ide lama, (7) Pemimpin memikirkan program penyertaan, manajer
memikirkan mengenai program usulan, (8) pemimpin memberikan
wewenang kepada orang lain untuk membuat keputusan, manajer
mengendalikan secara ketat proses keputusan. (9) Pemimpin berpikir
memperbaiki inisiatif dan inovasi, manajer berpikir memperbaiki
pemenuhan dan adat kebiasaan. (10) Pemimpin membentuk
karakter, budaya, dan iklim organisasi, manajer menganggap tidak
satu pun yang penting dan semuanya itu bukan tugasnya. Kemudian
Creech menyimpulkan menjadi empat yaitu: (1) Pemimpin membuat
visi, manajer melaksanakannya. (2) Pemimpin membuat keadaan
menjadi lebih baik, manajer menjalankannya, (3) Pemimpin membuat
sesuatu terjadi, manajer berharap ada sesuatu yang terjadi, (4)
Pemimpin menciptakan lebih banyak pemimpin, manajer lebih banyak
menciptakan manajer. Secara umum Veithzal Rivai (2004:234),

TEORI KEPEMIMPINAN 125


mengemukakan perbedaan yang mencolok antara manajer dengan
pemimpin, dapat dilihat pada tabel berikut.

Perbedaan Pemimpin dan Manajer


Ciri Pemimpin Ciri Manajer
Menemukan (inovasi) Mengelola
Orisinal Copy/tiruan
Mengembangkan Mempertahankan
Berfokus pada orang Berfokus pada sistem dan
struktur
Membangkitkan kepercayaan Bergantung pada pengendalian
Perspektif jangka panjang Berpandangan jangka pendek
Bertanya "apa" dan Bertanya "apa" dan
"mengapa" "bagaimana"
Memberi perhatian pada Berorientasi pada hasil akhir
masa depan
Memulai Meniru
Menantangnya Menerima status quo
Pribadinya sendiri Pribadinya, meniru orang lain
Melakukan hal-hal yang Melakukan hal-hal dengan
benar benar

Pada dasarnya keberhasilan seorang pemimpin tergantung


pada kemampuannya mempengaruhi pihak lain. Jhon C. Maxwell
(1995:ii), mengatakan bahwa kunci menuju sukses dalam usaha apa
saja adalah kemampuan memimpin orang lain secara sukses.
Sedangkan kepemimpinan merupakan sesuatu yang digunakan
pemimpin untuk mempengaruhi orang lain, melalui komunikasi baik
langsung maupun tidak langsung dengan maksud untuk
menggerakkan orang-orang tersebut agar dengan penuh pengertian
dan kesadaran bersedia mengikuti kehendak-kehendak pemimpin
tersebut. Untuk lebih jelasnya definisi pemimpin dan kepemimpinan,
berikut ini akan diuraikan beberapa pengertian pemimpin dari pakar.
Definisi Pemimpin
Warren Bennis (1998:71), mengatakan bahwa pemimpin
adalah orang yang paling berorientasi hasil di dunia, dan kepastian

126 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


dengan hasil ini hanya positif kalau seseorang mengetahui apa yang
diinginkannya. Henry Pratt Fairchild (1960), pemimpin dalam arti
yang luas adalah "seseorang yang memimpin, dengan jalan
memprakarsai tingkah laku sosial dengan mengatur, menunjukkan,
mengorganisasikan atau mengontrol usaha (upaya) orang lain atau
melalui prestise, kekuasaan atau posisi". Kouzes (2004:17),
mengatakan bahwa pemimpin adalah pionir sebagai orang yang
bersedia melangkah ke dalam situasi yang tidak diketahui. Kartini
Kartono, (2005:51), pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki
superioritas tertentu, sehingga dia memiliki kewibawaan dan
kekuasaan untuk menggerakkan orang lain melakukan usaha
bersama guna mencapai sasaran tertentu. Veithzal Rivai (2004:65),
pemimpin adalah anggota dari suatu kumpulan yang diberi
kedudukan tertentu dan diharapkan dapat bertindak sesuai
kedudukannya. Seorang pemimpin adalah juga seseorang dalam
suatu perkumpulan yang diharapkan dapat menggunakan pengaruh-
nya untuk mewujudkan dan mencapai tujuan kelompok. Haryono
Sudriamunawar (2006:1), pemimpin adalah seseorang yang
memiliki kecakapan tertentu yang dapat mempengaruhi para
pengikutnya untuk melakukan kerja sama ke arah pencapaian tujuan
yang telah ditentukan sebelumnya. B.H. Raven dalam Wirjana
(2006:4), mengatakan bahwa pemimpin adalah "seorang yang
menduduki suatu posisi di kelompok, mempengaruhi orang-orang
dalam kelompok itu sesuai dengan ekspektasi peran dan posisi
tersebut dan mengkoordinasi serta mengarahkan kelompok untuk
mempertahankan diri serta mencapai tujuannya". Syafi'ie (2003:1)
mengatakan bahwa pemimpin adalah orang yang mempengaruhi
pihak lain melalui proses kewibawaan komunikasi sehingga orang lain
tersebut bertindak sesuatu dalam mencapai tujuan tertentu.
Sedangkan Nawawi (2004:9), mengatakan bahwa pemimpin adalah
orang yang memimpin.
Dari berbagai definisi pemimpin tersebut di atas dapat
disimpulkan bahwa pemimpin adalah orang yang mempunyai
kemampuan untuk mempengaruhi orang lain dalam rangka
pencapaian tujuan tertentu.

TEORI KEPEMIMPINAN 127


Definisi Kepemimpinan
Maxwell (1995:1), kepemimpinan adalah kemampuan
memperoleh pengikut. Lebih jauh Maxwell menjelaskan bahwa
pemimpin terkemuka suatu kelompok tertentu mudah ditemukan,
perhatikan saja orang-orang ketika mereka berkumpul. Kalau suatu
persoalan harus diputuskan, siapa orang yang pandangannya tampak
paling berharga, siapa yang paling diperhatikan, ketika persoalan
dibicarakan? Siapa orang yang paling cepat disetujui oleh orang-
orang lainnya? Yang paling penting, siapa yang paling diikuti oleh
orang lainnya? Jawaban terhadap semua pertanyaan itu akan
membantu untuk menentukan siapa pemimpin yang sesungguhnya
dalam suatu kelompok tertentu. James L. Gibson dkk (1997:5),
mengatakan bahwa kepemimpinan adalah suatu usaha menggunakan
suatu gaya mempengaruhi dan tidak memaksa untuk memotivasi
individu dalam mencapai tujuan. Definisi Gibson mengisyaratkan
bahwa kepemimpinan melibatkan penggunaan pengaruh dan semua
hubungan dapat melibatkan kepemimpinan. James A. F. Stoner
(1996:161), mengatakan kepemimpinan adalah proses mengarahkan
dan mempengaruhi aktivitas yang berkaitan dengan pekerjaan dari
anggota kelompok. Keating Charles J. (1986:9), mengatakan
kepemimpinan adalah merupakan suatu proses atau sekelompok
orang untuk mencapai suatu tujuan bersama. Gary Yukl (1994:4),
mengatakan bahwa kepemimpinan adalah sebagai proses
mempengaruhi, yang mempengaruhi interpretasi mengenai peristiwa-
peristiwa bagi para pengikut, pilihan dari sasaran-sasaran bagi
kelompok atau organisasi, pengorganisasian dari aktivitas-aktivitas
kerja untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut, motivasi dari para
pengikut untuk mencapai sasaran, pemeliharaan hubungan
kerjasama dan teamwork, serta perolehan dukungan dan kerja sama
dari orang-orang yang berada di luar kelompok atau organisasi.
James M. Kouzes & Barry Z. Posner (2004:3), mengatakan
kepemimpinan adalah penciptaan cara bagi orang untuk ikut
berkontribusi dalam mewujudkan sesuatu yang luar biasa. Kartono
(2005:153), mengatakan Kepemimpinan adalah "kemampuan untuk
memberikan pengaruh yang konstruktif kepada orang lain untuk
melakukan satu usaha kooperatif mencapai tujuan yang sudah
dicanangkan". Rivai (2004:65), mengatakan Kepemimpinan adalah

128 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


peranan dan juga suatu proses untuk mempengaruhi orang lain.
Boone & Kurtz (1984), yang mengemukakan bahwa kepemimpinan
adalah tindakan memotivasi orang lain atau menyebabkan orang lain
melakukan tugas tertentu dengan tujuan untuk mencapai tujuan
spesifik. Sedangkan Sun Tzu dan Thomas Cleary (2002:5),
berpendapat lain tentang kepemimpinan adalah sebuah persoalan
kecerdasan, kelayakan untuk dipercaya, kelembutan, keberanian, dan
ketegasan. Selanjutnya kepemimpinan menurut Nawawi (2004:9),
adalah kemampuan atau kecerdasan mendorong sejumlah orang
(dua orang atau lebih) agar bekerja sama dalam melaksanakan
kegiatan-kegiatan yang terarah pada tujuan bersama.
Dari berbagai definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
kepemimpinan adalah kemampuan pemimpin dalam mempengaruhi
orang lain dalam melakukan kerjasama untuk mencapai tujuan yang
telah ditentukan. Jadi kepemimpinan merupakan aspek yang paling
nyata dari kegiatan manajemen. Stogdill (1974:259), mencoba
memetakan definisi kepemimpinan, sebagai berikut: (1)
Kepemimpinan sebagai proses kelompok, (2) Kepemimpinan sebagai
kepribadian yang berakibat, (3) Kepemimpinan sebagai seni
menciptakan kesepakatan, (4) Kepemimpinan sebagai kemampuan
mempengaruhi, (5) Kepemimpinan sebagai tindakan perilaku, (6)
Kepemimpinan sebagai bentuk bujukan, (7) Kepemimpinan sebagai
suatu hubungan kekuasaan, (8) Kepemimpinan sebagai sarana
pencapaian tujuan, (9) Kepemimpinan sebagai hasil interaksi, (10)
kepemimpinan sebagai pemisahan peranan, (11) kepemimpinan
sebagai awal struktur.
Glenn (1992), telah mengumpulkan lebih dari 350 definisi
tentang kepemimpinan, tetapi ia tetap tidak merasa puas, karena
belum ada definisi yang bukan tentang kepemimpinan. Sungguhpun
begitu, ia tetap kembali menawarkan hasil pengamatan yang
dianggapnya patut diperhitungkan, yaitu bahwa kepemimpinan
sesungguhnya bersumber dari keunggulan manusia, tetapi tidak ada
resep atau formula untuk menjalankannya. Glenn dalam Salusu
(1996), lebih cenderung untuk melihat kepemimpinan dari segi
kualitas sehingga kepemimpinan yang berkualitas adalah kemampuan
atau seni memimpin orang bisa untuk mencapai hasil-hasil yang luar
biasa.

TEORI KEPEMIMPINAN 129


Dari definisi kepemimpinan tersebut di atas mencerminkan
asumsi bahwa kepemimpinan menyangkut sebuah proses pengaruh
sosial yang dalam hal ini pengaruh yang disengaja dijalankan oleh
seseorang terhadap orang lain untuk menstruktur aktivitas-aktivitas
serta hubungan-hubungan di dalam sebuah kelompok atau
organisasi. Berbagai definisi kepemimpinan yang telah ditawarkan
kelihatannya tidak berisi hal-hal selain itu. Definisi-definisi tersebut
berbeda di dalam berbagai aspek termasuk di dalamnya siapa yang
menggunakan pengaruh, sasaran yang ingin diperoleh dari pengaruh
tersebut. Cara bagaimana pengaruh tersebut digunakan, serta hasil
dari usaha menggunakan pengaruh tersebut. Perbedaan-perbedaan
tersebut bukan hanya merupakan sebuah hal akademis yang dicari-
cari. Ia mencerminkan adanya ketidaksesuaian yang mendalam
mengenai identifikasi dari para pemimpin serta proses kepemim-
pinan. Perbedaan-perbedaan diantara para peneliti mengenai konsep
mereka tentang kepemimpinan menimbulkan perbedaan-perbedaan
di dalam pemilihan fenomena untuk melakukan penyelidikan dan
kemudian menimbulkan perbedaan-perbedaan dalam
menginterpretasikan hasil-hasilnya.
Dalam menjelaskan konsep pemimpin dan kepemimpinan,
maka perlu pula memberikan definisi konsep-konsep yang erat
kaitannya dengan kepemimpinan sebagai berikut.
1. Kekuasaan adalah kewenangan untuk bertindak bagi pemimpin
dalam menggerakkan orang lain agar menerima dengan ikhlas
kehendaknya. Stoner (1996:161), mengatakan kekuasaan
adalah kemampuan untuk menggunakan pengaruh, artinya
kemampuan untuk mengubah sikap atau tingkah laku individu
atau kelompok. Stoner menyebut sumber-sumber kekuasaan,
yaitu: (1) Kekuasaan menghargai, yaitu kekuasaan yang
diperoleh dari fakta bahwa seseorang dikenal sebagai pemberi
pengaruh, mempunyai kemampuan untuk memberi imbalan
orang lain, dikenal sebagai orang yang dipengaruhi, untuk
melaksanakan perintah, yang mungkin dinyatakan atau tersirat.
(2) Kekuasaan memaksa adalah sisi negatif dari kekuasaan
memberi penghargaan, berdasarkan kepada kemampuan
pemberi pengaruh untuk menghukum orang yang dipengaruhi.
(3) Kekuasaan sah atau kekuasaan formal adalah kekuasaan

130 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


yang ada ketika seorang bawahan atau orang yang dipengaruhi
mengakui bahwa pemberi pengaruh "berhak" atau secara hukum
boleh menggunakan pengaruh dalam kaitan tertentu. (4)
Kekuasaan keahlian adalah berdasarkan pada keyakinan atau
pengertian bahwa pemberi pengaruh mempunyai pengetahuan
spesifik atau kepakaran relevan yang tidak dimiliki oleh orang
yang dipengaruhi. (5) Kekuasaan rujukan adalah kekuasaan
berdasarkan pada keinginan dari orang yang dipengaruhi untuk
menjadi seperti atau menyamakan dirinya dengan pemberi
pengaruh.
2. Kredibilitas adalah fondasi kepemimpinan Kouzes (2004:25).
Menurut Kouzes tanpa kredibilitas anda tak dapat pemimpin,
karena dengan kredibilitas para pemimpin mendapatkan
kepercayaan dan keyakinan. Kredibilitas berakar dari masa lalu
dan berhubungan dengan reputasi. Sedangkan yang dimaksud
reputasi menurut Kouzes adalah jaminan manusia karena masa
lalunya yang baik.
3. Integritas menurut Maxwell (1995:37), adalah faktor
kepemimpinan yang paling penting. Maxwell menyatakan bahwa
dengan integritas kepemimpinan menjadi lengkap, merupakan
kesatuan dari perkataan dengan perbuatan. Integritas adalah
apa diri kita yang sesungguhnya, atau dengan kata lain integritas
bukan apa yang kita lakukan tetapi lebih banyak siapa diri kita,
karena dengan integritas dapat membangun kepercayaan.
4. Kedudukan menurut Tulus (1995:24), adalah sekumpulan
tugas, tanggung jawab dan wewenang seseorang.
5. Jabatan adalah pekerjaan yang telah melembaga dalam suatu
instansi atau telah membudaya dalam masyarakat. Jabatan
mencakup tanggung jawab dan wewenang.
6. Wewenang (authority) menurut Stoner (1996:41), adalah
suatu bentuk kekuasaan, seringkali dipergunakan secara lebih
luas untuk menunjuk kemampuan manusia menggunakan
kekuasaan sebagai hasil dari ciri-ciri seperti pengetahuan atau
gelar.
7. Tanggung Jawab adalah hal yang menjadi keharusan
pemegang jawaban untuk: (1) menerima diri sebagai penyebab
utama mengenai suatu kejadian, baik atau buruk, benar atau

TEORI KEPEMIMPINAN 131


salah. (2) menerima diri untuk dibenarkan atau disalahkan
mengenai suatu kejadian. (3) menerima hukuman jika salah
melakukan sesuatu, (4) memberi jawaban dan penjelasan dalam
hal tertentu.
8. Kewibawaan adalah berbagai kelebihan yang dimiliki oleh
seseorang sehingga orang lain dapat mematuhi kehendaknya
tanpa tekanan dalam melakukan kegiatan untuk mencapai
tujuan.
9. Kemampuan adalah totalitas kekuatan yang dimiliki oleh
seseorang untuk melakukan suatu kegiatan untuk mencapai
tujuan.
10. Pengaruh (influence) menurut Stoner (1996:161), adalah
tindakan atau contoh tingkah laku yang menyebabkan perubahan
sikap atau tingkah laku orang atau kelompok lain.
11. Pemerintahan, menurut Pamudji (1989:23), adalah perbuatan
(cara, hal urusan dan sebagainya). Pemerintah adalah kekuasaan
memerintah suatu negara (daerah) atau badan yang tertinggi
yang memerintah sesuatu negara. Sedangkan Perintah adalah
perkataan yang bermaksud menyuruh melakukan sesuatu.
Syarat-syarat kepemimpinan
Kartini Kartono (2005:36-38), mengatakan bahwa
persyaratan kepemimpinan itu harus selalu dikaitkan dengan tiga hal
penting, yaitu: (1) Kekuasaan, yaitu otoritas dan legalitas yang
memberikan kewenangan kepada pemimpin guna mempengaruhi dan
menggerakkan bawahan untuk berbuat sesuatu, (2) kelebihan,
keunggulan, keutamaan sehingga orang mampu mengatur orang
lain, sehingga orang tersebut patuh pada pemimpin, dan bersedia
melakukan perbuatan-perbuatan tertentu. (3) kemampuan, yaitu
segala daya, kesanggupan, kekuatan dan kecakapan/keterampilan
teknis maupun sosial yang dianggap melebihi dari kemampuan
anggota biasa.
Stogdill dalam mengatakan bahwa pemimpin harus memiliki
beberapa kelebihan, yaitu: (1) kapasitas, yaitu kecerdasan,
kewaspadaan, kemampuan berbicara atau verbal facility, keaslian,
dan kemampuan menilai. (2) Prestasi atau achievement, yaitu gelar
kesarjanaan, ilmu pengetahuan perolehan dalam olah raga dan
atletik dan lain-lain. (3) Tanggung jawab, yaitu mandiri, berinisiatif,

132 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


tekun, ulet percaya diri, agresif, dan punya hasrat untuk unggul. (4)
Partisipasi, yaitu aktif, memiliki sosiabilitas tinggi, mampu bergaul,
kooperatif atau suka bekerja sama, mudah menyesuaikan diri, punya
rasa humor. (5) status, yaitu memiliki kedudukan sosial-ekonomi
yang cukup tinggi, populer, dan tenar.
Nightingale dan Schult dalam Sudriamunawar (2006:4),
mengatakan bahwa seorang pemimpin perlu memiliki kemampuan,
yaitu: (1) kemandirian, berhasrat untuk memajukan diri sendiri
(individualisme), (2) Besar rasa ingin tahu dan cepat tertarik kepada
manusia dan benda-benda, (3) Multiterampil atau memiliki
kepandaian yang beraneka ragam, (4) Memiliki rasa humor, suka
berkawan, antusiasme yang tinggi, (5) Perfeksionis, selalu ingin
mendapatkan yang sempurna, (6) Mudah menyesuaikan diri,
adaptasinya tinggi, (7) Sabar, tapi tidak berarti diam atau berhenti,
(8) Waspada, peka, jujur, optimis, gigih, ulet dan realistis, (9)
Komunikatif, serta pandai berbicara/berpidato, (10) berjiwa
wiraswasta, (11) Sehat jasmani, dinamis, sanggup dan suka
menerima tugas yang berat serta berani mengambil resiko, (12)
Tajam firasatnya, adil pertimbangannya, (13) Berpengetahuan yang
luas dan selalu berupaya meningkatkan pengetahuannya, (14)
Memiliki motivasi yang tinggi, sadar akan target yang harus
dicapainya dengan idealisme yang tinggi, dan (15) Punya imajinasi,
dan sinerjik.
Ciri-ciri Pemimpin yang baik
John C. Maxwell (1995:191), memberikan rujukan bahwa
untuk menjadi pemimpin yang baik harus memiliki ciri-ciri: (1)
Pemimpin yang baik mampu menciptakan lingkungan yang tepat.
Cara paling baik untuk memiliki loyalitas personel ialah dengan
memperlihatkan perhatian kepada mereka dengan kata-kata dan
perbuatan. (2) Pemimpin yang baik mengetahui kebutuhan dasar
bawahannya. (3) Pemimpin yang baik mampu mengendalikan
keuangan, personalia, dan perencanaan. (4) Pemimpin yang baik
mampu menghindari tujuh dosa yang mematikan: (a) berusaha untuk
disukai bukan dihormati, (b) tidak minta nasihat dan bantuan kepada
orang lain, (c) mengesampingkan bakat pribadi dengan menekan
peraturan bukan keahlian, (d) tidak menjaga untuk dikritik tetap
konstruktif, (e) tidak mengembangkan rasa tanggung jawab dalam

TEORI KEPEMIMPINAN 133


diri orang lain, (f) memperlakukan setiap orang dengan cara yang
sama, (g) tidak membuat setiap orang selalu mendapat informasi.
Waren Bennis & Robert Townsend (1998:31), mengatakan
bahwa ciri-ciri pemimpin yang baik adalah (1) Pandangan tentang
ambisi pribadi yang terkendali, (2) Intelegensi, (3) Kemampuan untuk
mengutarakan diri (komunikasi), yaitu mampu berbicara dengan jelas
sederhana dan mudah dipahami, (4) Kemampuan menjadi pelayan
bagi bawahannya, (5) Jangan memberikan kekuasaan kepada orang
yang terlalu banyak menginginkannya. Karena terlalu banyak
menginginkannya biasanya juga menginginkan semua perangkat
yang menyertainya. (6) Objektivitas yang tinggi, dan (7) Seseorang
pemimpin yang tidak pernah mengambil penghargaan. Menurut
Bennis orang yang mendapatkan kepercayaan, loyalitas, gairah, dan
energi dengan cepat adalah orang yang meneruskan penghargaan
kepada orang yang benar-benar melakukan pekerjaan. Seorang
pemimpin tidak memerlukan penghargaan, dia sudah berada di
puncak, pemimpin sudah mendapatkan lebih banyak penghargaan
daripada yang layak diterimanya.
Vinod T. Panikkan dalam Wirjana (2006:51), mengatakan
bahwa kepemimpinan yang baik adalah: (1) Memberi tekanan/fokus
pada masa depan, (2) Menekankan atau fokus pada penentuan arah,
(3) Pertanyaan selalu "apa yang akan terjadi", (4) Memberi visi dan
inspirasi, (5) Memimpin orang-orang, dan (6) Mengutamakan hirarki,
menyebar otoritas.
Sedangkan Kousez & Ponser (1997:48), mengatakan bahwa
ciri khas pemimpin yang dikagumi yaitu: (1) Jujur, (2) Melihat jauh ke
depan, (3) Memberikan inspirasi, (4) Cakap, (5) Berpikiran adil, (6)
mendukung, (7) Berpikiran luas, (8) Cerdas, (9) Lugas, (10) Berani,
(11) bisa diandalkan, (12) Mau kerjasama, (13) Imajinatif, (14)
Peduli, (15) matang, (16) Punya tekad, (17) Ambisius, (18) Loyal,
(19) Bisa mengendalikan diri, dan (20) Mandiri.
Tugas dan Fungsi Kepemimpinan
Charles J. Keating (1986:9), mengatakan bahwa tugas
kepemimpinan yang berhubungan dengan kelompok yaitu: "(1)
Memulai (initiating) yaitu usaha agar kelompok mulai kegiatan atau
gerakan tertentu. (2) Mengatur (regulating), yaitu tindakan untuk
mengatur arah dan langkah kegiatan kelompok, (3) Memberitahu

134 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


(informating), yaitu kegiatan memberi informasi, data, fakta,
pendapat para anggota dan meminta dari mereka informasi, data,
fakta dan pendapat yang diperlukan. (4) Mendukung (supporting),
yaitu usaha untuk menerima gagasan, pendapat, usul dari bawah dan
menyempurnakannya dengan menambah atau mengurangi untuk
digunakan dalam rangka penyelesaian tugas bersama. (5) Menilai
(evaluating), yaitu tindakan untuk menguji gagasan yang muncul
atau cara kerja yang diambil dengan menunjukkan konsekuensi-
konsekuensinya dan untung ruginya. (6) Menyimpulkan
(summarizing), yaitu kegiatan untuk mengumpulkan dan
merumuskan gagasan, pendapat dan usul yang muncul, menyingkat
lalu menyimpulkannya sebagai landasan untuk memikirkan lebih
lanjut". Lebih lanjut Keating mengatakan bahwa tugas kepemim-
pinan yang berhubungan dengan kekompakan dalam kelompok
antara lain, yaitu: "(1) Mendorong (encouraging) yaitu bersikap
hangat, bersahabat menerima orang-orang. (2) Mengungkapkan
perasaan, (expressing feeling) yaitu tindakan menyatakan perasaan
terhadap kerja dan kekompakan kelompok, seperti rasa puas, rasa
senang, rasa bangga, dan ikut seperasaan dengan orang-orang yang
dipimpinnya pada waktu mengalami kesulitan, kegagalan, dan lain-
lain. (3) Mendamaikan (harmonizing), yaitu tindakan memper-
temukan dan mendamaikan pendapat-pendapat yang berbeda dan
menurunkan orang-orang yang bersitegang satu sama lain. (4)
Mengalah (compromising), yaitu kemampuan untuk mengubah dan
menyesuaikan pendapat dan perasaan sendiri dengan pendapat
perasaan orang-orang yang dipimpinnya. (5) Memperlancar (gate
keeping), yaitu kesediaan membantu mempermudah keikutsertaan
para anggota dalam kelompok, sehingga semua rela menyumbang-
kan dan mengungkapkan gagasan-gagasan, dan (6) Memasang
aturan main (setting standards), yaitu tindakan menyampaikan
aturan dan tata tertib yang membantu kehidupan kelompok".
Stoner (1996:165), mengatakan bahwa fungsi kepemimpinan
adalah agar seseorang beroperasi secara efektif kelompok
memerlukan seseorang untuk melakukan dua hal fungsi utama, yaitu:
(1) Berhubungan dengan tugas atau memecahkan masalah, (2)
Memelihara kelompok atau sosial, yaitu tindakan seperti

TEORI KEPEMIMPINAN 135


menyelesaikan perselisihan dan memastikan bahwa individu merasa
dihargai oleh kelompok.
Fungsi Kepemimpinan menurut Siagian (2003:48-70), yaitu:
"(1) Pimpinan sebagai penentu arah, (2) Pimpinan sebagai wakil dan
juru bicara organisasi, (3) Pimpinan sebagai komunikator yang
efektif, (4) Pimpinan sebagai mediator, dan (5) Pimpinan selaku
integrator".

B. TIPE KEPEMIMPINAN

Tipe kepemimpinan dari berbagai literatur yang membahas


tentang kepemimpinan membagi dalam berbagai perspektif misalnya
Siagian (2004:34-36), membagi tipe kepemimpinan dalam lima tipe
yaitu: (1) Tipe Otokratik, (2) Tipe Militeristik, (3) Tipe Paternalistik,
(4) tipe Karismatik, dan (5) Tipe Demokratik.
Sartono (2004:98-99), membagi tiga tipe atau gaya
kepemimpinan, yaitu: (1) Gaya kepemimpinan yang otokrasi, (2)
Gaya kepemimpinan demokratik atau partisipatif, dan (3) Gaya
kebebasan usaha.
Kartini Kartono (2005:80-81), membagi 8 (delapan) tipe
kepemimpinan, yaitu: (1) Tipe karismatis, (2) Tipe Paternalistis, (3)
Tipe Militeristis, (4) Tipe otokratis, (5) Tipe Laisser Faire, (6) Tipe
Populistis, (7) Tipe Administratif, dan (8) Tipe Demokratis (group
developer).
1. Tipe Kepemimpinan Otokrasi
Pemimpin yang bertipe otokrasi, yaitu dalam mengambil
keputusan dipusatkan pada pemimpin. Dalam hal ini Pemimpin bebas
untuk menentukan kebijakan dan menyusun, mendefinisikan atau
modifikasi tugas-tugas sesuai keinginannnya. Pemimpin yang
otokratis diwarnai perintah-perintah yang ditujukan kepada bawahan.
Seorang pemimpin yang otokratis memerlukan penyesuaian para
bawahan, dan mempertimbangkan berbagai keputusan agar yang
menjadi paling unggul terhadap bawahan.
Manfaat gaya otokratis ini ialah dalam hal pengambilan
keputusan yang terpusat pada pemimpin dapat mengambil keputusan
dengan cepat. Akan tetapi bagi pegawai tidak menguntungkan

136 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


karena keputusan yang diambil biasanya tidak sesuai dengan kondisi
sebenarnya. Hal ini dapat menimbulkan ketidakpuasan,
ketergantungan pada pimpinan, maupun kepastian terhadap tujuan
organisasi.
Ciri-ciri tipe kepemimpinan otokrasi Siagian (2004:34), adalah:
(1) Menganggap organisasi sebagai milik pribadi, (2) Mengidentifikasi
tujuan pribadi dengan tujuan organisasi, (3) Menganggap bawahan
sebagai alat semata-mata, (4) Tidak mau menerima kritikan, saran
dan pendapat (5) Terlalu tergantung kepada kepuasan formalnya, (6)
Dalam tindakan penggerakkannya sering menggunakan approach
yang mengandung unsur paksaan dan punitif (bersifat menghukum).
2. Tipe Demokratik
Pemimpin yang bertipe demokratik populer pada era
manajemen neo-klasik, pendekatan yang digunakan yaitu partisipatif
agar terwujud kerjasama dalam rangka pencapaian tujuan organisasi
dengan memberdayakan bawahan dengan ikut serta dalam
pengambilan keputusan. Pendekatan ini tidak membebaskan
pimpinan dalam hal tanggung jawab pengambilan keputusan. Tetapi
pendekatan ini mengharuskan untuk mengakui kecakapan para
bawahan dalam mengajukan usul-usul dan ketegasan yang
didasarkan pada latihan dan pengalaman mereka.
Ciri-ciri tipe kepemimpinan demokratik sebagai berikut: (1)
Semua keputusan dan kebijakan didasarkan pada hasil prosesi
demokrasi, (2) Pemimpin senang menerima kritikan, saran dan
pendapat dari bawahan, (3) Selalu berusaha melakukan kerjasama
dengan bawahan. (4) Siap berkompetisi dengan bawahannya.
3. Tipe Karismatik
Pemimpin yang bertipe karismatik memiliki beberapa hal yaitu:
(1) Kekuatan energi yang sangat luar biasa, (2) Memiliki daya tarik
yang tinggi, dan (3) Wibawa yang alami. Sehingga ia mempunyai
pengikut tanpa dimobilisasi. Bahkan ada yang menyebut pemimpin
yang karismatik dianggap mempunyai kekuatan gaib (Supranatural
power) dan kemampuan-kemampuan yang superhuman, yang
diberikan oleh Sang Pencipta.
Wirjana (2006:16-17), mengatakan bahwa pemimpin
karismatik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) Memiliki visi yang

TEORI KEPEMIMPINAN 137


amat kuat atau kesadaran tujuan yang jelas, (2) Mengkomunikasikan
visi itu dengan efektif. (3) Mendemonstrasikan konsistensi dan fokus,
dan (4) Mengetahui kekuatan-kekuatan sendiri dan memanfaat-
kannya.
Conger (1997:25), menyatakan bahwa pemimpin karismatik
menurut kejujurannya adalah agen perubahan. Mereka melihat
kekurangan dalam situasi apa saja. Menurut Conger kepemimpinan
karismatik terdapat dua jenis adalah: (1) Perhatiannya selalu tertuju
ke masa depan, dan (2) Memiliki banyak tuntutan yang memotivasi,
mendesak dan mengintimidasi bawahan untuk bertindak. Secara rinci
Conger menyebut profil pemimpin karismatik, adalah: memiliki rasa
ketidakpuasan dengan status quo adalah energi yang tidak pernah
diam dalam dirinya, selalu gelisah. Pemimpin seperti itu tampaknya
selamanya merasa tidak puas dan selalu mencari kesempatan baru.
Mereka juga tidak sabar, mereka ingin segala hal berubah dan hari ini
juga, impulsif mengenai perubahan. Dia selalu mencari kesempatan
baru dan bahkan cara baru untuk melakukan banyak hal. Dia terus
menerus mencari tantangan yang lebih besar. Sebagai akibatnya,
banyak hal menjadi lebih cepat. Ketidaksabarannya dijabarkan
menjadi tindakan.
4. Tipe Laissez Faire
Pemimpin yang bertipe laissez faire yaitu pemimpin yang
memberikan kebebasan kepada bawahannya untuk bertindak tanpa
diperintahkan. Dalam artian bahwa membiarkan kelompoknya dan
setiap orang berbuat semaunya. Pemimpin tidak ikut berpartisipasi
dalam pelaksanaan kegiatan, sehingga semua kegiatan dan tanggung
jawab dilakukan oleh bawahan sendiri.
5. Tipe Paternalistik
Pemimpin yang bertipe paternalistik pada umumnya terdapat
pada masyarakat yang masih tradisional dan agraris, pemimpin yang
bertipe paternalistis dapat dilihat dari: (1) Hubungan famili dan atau
ikatan primordial, (2) Adat istiadat yang sangat besar pengaruhnya
terhadap berperilaku, (3) Hubungan pribadi yang masih menonjol.
Ciri utama masyarakat tradisional yaitu rasa hormat yang tinggi
kepada orang tua atau seseorang yang dituakan. Orang tua atau

138 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


orang yang dituakan dihormati karena perilakunya dapat dijadikan
teladan atau panutan oleh orang lain.

C. GAYA KEPEMIMPINAN

Gaya pada dasarnya berasal dari bahasa Inggris "Style" yang


berarti mode seseorang yang selalu nampak yang menjadi ciri khas
orang tersebut. Stoner (1996:165), mengatakan bahwa gaya
kepemimpinan (leadership style) adalah berbagai pola tingkah laku
yang disukai oleh pemimpin dalam proses mengarahkan dan
mempengaruhi pekerja. Menurut Stoner membagi dua gaya
kepemimpinan yaitu: (1) Gaya yang berorientasi pada tugas
mengawasi pegawai secara ketat untuk memastikan tugas
dilaksanakan dengan memuaskan. Pelaksanaan tugas lebih
ditekankan pada pertumbuhan pegawai atau kepuasan pribadi. (2)
Gaya yang berorientasi pada pegawai lebih menekankan pada
memotivasi ketimbang mengendalikan bawahan. Gaya ini menjalin
hubungan bersahabat, saling percaya, dan saling menghargai dengan
pegawai yang sering kali diizinkan untuk berpartisipasi dalam
membuat keputusan yang mempengaruhi mereka. Adapun beberapa
gaya kepemimpinan dapat dilihat sebagai berikut:
1. Gaya Otokratis, yaitu gaya kepemimpinan otoritarian dapat pula
disebut tukang cerita. Pemimpin otokratis biasanya merasa bahwa
mereka mengetahui apa yang mereka inginkan dan cenderung
mengekspresikan kebutuhan-kebutuhan tersebut dalam bentuk
perintah-perintah langsung kepada bawahan.
2. Gaya Demokratik, yaitu gaya kepemimpinan yang dikenal pula
sebagai gaya partisipatif. Gaya ini berasumsi bahwa para anggota
organisasi yang ambil bagian secara pribadi dalam proses
pengambilan keputusan akan lebih memungkinkan sebagai suatu
akibat mempunyai komitmen yang jauh lebih besar pada sasaran
dan tujuan organisasi. Pendekatan tidak berarti para pemimpin
tidak membuat keputusan, tetapi justru harus memahami terlebih
dahulu apakah yang menjadi sasaran organisasi sehingga mereka
dapat mempergunakan pengetahuan para anggotanya, Haryono
Sudriamunawar (2006:24).

TEORI KEPEMIMPINAN 139


3. Gaya Laissez Faire yaitu gaya kepemimpinan kendali bebas.
Pendekatan ini bukan berarti tidak adanya sama sekali pimpinan.
Gaya ini berasumsi bahwa suatu tugas disajikan kepada kelompok
yang biasanya menentukan teknik-teknik mereka sendiri guna
mencapai tujuan tersebut dalam rangka mencapai sasaran-sasaran
dan kebijakan organisasi.

D. TEORI-TEORI KEPEMIMPINAN

Teori kepemimpinan merupakan generalisasi dari perilaku


pemimpin dan konsep kepemimpinannya dengan menitikberatkan
pada latar belakang historis, sebab musabab, munculnya kepemim-
pinan, sifat-sifat utama kepemimpinan. Hal senada dikemukakan
Kartono (2005:51), bahwa teori kepemimpinan adalah
penggeneralisasian satu seni perilaku pemimpin beserta konsep-
konsep kepemimpinannya, dengan menampilkan latar belakang
historis kemunculan pemimpin dan kepemimpinan.
Teori dasar munculnya kepemimpinan menurut Siagian
(2004), Anoraga (1995), terbagi tiga yaitu: (1) Teori Genetik, (2)
Teori Sosial, dan (3) Teori Ekologis.
Teori Genetik menjelaskan bahwa pimpinan tidak dibangun,
tetapi seorang akan menjadi pemimpin karena bakat yang dimiliki
luar biasa, atau dengan kata lain seorang menjadi pemimpin karena
memang ditakdirkan menjadi pemimpin.
Teori Sosial menjelaskan bahwa pemimpin harus dibangun atau
dibentuk, tidak begitu saja muncul atau ditakdirkan. Jadi seorang
menjadi pemimpin karena melalui proses pendidikan dan pelatihan
yang cukup mendukung.
Teori Ekologis menjelaskan bahwa merupakan gabungan dari
teori genetik dan teori sosial. Teori berasumsi bahwa seseorang
sukses menjadi pemimpin, jika sejak lahir sudah mempunyai bakat-
bakat kepemimpinan, kemudian dikembangkan melalui pendidikan
dan pengalaman serta disesuaikan dengan lingkungan.
Jenis-jenis teori kepemimpinan sangat variatif dikemukakan
dalam berbagai literatur. Misalnya Salusu (1996:198-201), membagi
teori kepemimpinan sebanyak 8 (delapan) jenis yaitu: (1) Teori-teori
besar (Great-Man Theories), (2) Teori Sifat (Trait Theories), (3) Teori

140 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


Lingkungan (Environment Theories), (4) Teori Sistuasional-pribadi
(Personal-Situational Theories) (5) Teori Psikoanalitik (Psychoanalytic
Theories), (6) Teori Antisipasi-Interaksi (Interaction-Expection
Theories), (7) Teori-teori Manusiawi (Humanistic Theories), dan (8)
Teori Pertukaran (Exchange Theories). Hal senada dikemukakan
Winardi (2000:62-68), bahwa teori kepemimpinan terbagi 8
(delapan), yaitu: (1) Teori otokratis, (2) Teori Psikologis, (3) Teori
Sosiologis, (4) Suportif, (5) Teori Laissez-Faire, (6) Teori kelakuan
Pribadi, (7) Teori Sifat, dan (8) Teori Situasi. Sedangkan Wirjana
dan Susilo Supardo (2006:16-17), hanya membagi dua teori
kepemimpinan, yaitu: (1) Teori Kepemimpinan Karismatik
(Charismatic Leadership) dan (2) Teori Kepemimpinan
Transformasional (Transformational Leadership).
Selanjutnya pendekatan teori kepemimpinan dijelaskan sebagai
berikut.
1. Teori Sifat (Traits Theory)
Teori sifat (trait theory) berasumsi bahwa seseorang yang
dilahirkan sebagai pimpinan karena memiliki sifat-sifat sebagai
pemimpin. Namun pandangan teori sifat ini juga tidak memungkiri
bahwa sifat-sifat kepemimpinan tidak seluruhnya dilahirkan, tetapi
dapat juga dicapai lewat suatu pendidikan dan pengalaman.
Gary A. Yukl (1994:10), mengatakan bahwa pendekatan Trait
menekankan pada atribut-atribut pribadi dari para pemimpin. Dasar
dari pendekatan ini adalah asumsi bahwa beberapa orang merupakan
pemimpin alamiah yang dianugerahi dengan beberapa ciri yang tidak
dipunyai orang lain. Teori-teori kepemimpinan dini mengatakan
bahwa keberhasilan manajerial dipengaruhi oleh dimilikinya
kemampuan-kemampuan yang luar biasa seperti misalnya energi
yang tidak habis-habisnya, intuisi yang dalam pandangan masa
depan yang luar biasa dan kekuasaan persuasif yang tidak
tertahankan.
Teori sifat telah berusaha menggeneralisasi sifat-sifat yang
dimiliki oleh pemimpin seperti: fisik, mental, dan kepribadian. Dengan
asumsi bahwa keberhasilan seorang pemimpin ditentukan oleh
kualitas sifat atau karakteristik tertentu yang dimiliki atau melekat
dalam diri pemimpin tersebut, baik berhubungan dengan fisik,
mental, psikologi, personalitas dan intelektualitas. Sifat yang perlu

TEORI KEPEMIMPINAN 141


dimiliki oleh pemimpin yang sukses antara lain: taqwa, sehat, cakap
jujur, tegas cerdik, berani intelek, disiplin, manusiawi, bijaksana,
energik, percaya diri, berjiwa besar, adil, motivasi tinggi, berwawasan
luas, komunikatif, daya nalar, daya tanggap, kreatif, penuh tanggung
jawab, dan Need Achievement (N-Ach).
Stoner (1982), mengatakan bahwa ternyata teori sifat gagal
membuktikan keandalannya sebab tidak satupun kombinasi yang
secara konsisten dapat membedakan antara pemimpinan dan bukan
pemimpin, atau antara pemimpin efektif dan yang tidak efektif. Teori
sifat tidak dapat membuktikan adanya hubungan yang kuat antara
sifat (trait) dengan kesuksesan kepemimpinan. Salah satu penelitian
membuktikan bahwa efektivitas kepemimpinan tidak ditentukan
sejumlah sifat khusus, akan tetapi tergantung sejauh mana sifat
pemimpin sesuai situasi yang dihadapi. Cartwirght & Zande dalam
Wahid (1995).
2. Teori Perilaku (behavior theory)
Teori perilaku (behavior theory) dilandasi pemikiran, bahwa
kepemimpinan merupakan interaksi antara pemimpin dengan
pengikut, dan dalam interaksi pengikutlah yang menganalisis dan
memersepsi apakah menerima atau menolak pengaruh dari
pemimpinnya.
Pendekatan perilaku menghasilkan dua orientasi perilaku
pemimpin yaitu: (1) Pemimpin yang berorientasi pada tugas (task
orientation) atau yang mengutamakan penyelesaian tugas dan (2)
Perilaku pemimpin yang berorientasi pada orang (people orientation)
atau yang mengutamakan hubungan kemanusiaan.
Pemimpin yang berorientasi pada tugas menampilkan gaya
kepemimpinan otokratik, sedangkan perilaku kepemimpinan yang
berorientasi pada hubungan kemanusiaan menampilkan gaya
demokratis.
Gaya kepemimpinan demokratik mendorong bawahan untuk
menentukan kebijakan sendiri, memberi pandangan tentang langkah
dan hasil yang diperoleh, memberi kebebasan untuk memulai tugas,
mengembangkan inisiatif, memelihara komunikasi dan interaksi yang
luas, menerapkan hubungan suportif. Sedangkan gaya kepemimpinan
otokratik mempunyai ciri antara lain: menentukan kebijakan untuk
anggota, memberi bawahan, memberi tugas secara instruktif,

142 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


menetapkan langkah-langkah yang harus dilakukan bawahan,
mengendalikan secara ketat pelaksanaan tugas, interaksi dengan
anggota terbatas, tidak mengembangkan inisiatif bawahan.
3. Teori Situasional Kontingensi
Teori situasional dan kontingensi mencoba mengembangkan
kepemimpinan sesuai dengan situasi dan kebutuhan. Dalam
pandangan ini, hanya pemimpin yang mengetahui situasi dan
kebutuhan organisasilah yang dapat menjadi pemimpin yang efektif.
Teori situasional kontingensi terbagi menjadi: (1) Teori path-
goal (jalan tujuan), (2) Teori situasional dari Hersey dan Blsnchard,
dan (3) Teori kontingensi dari Fielder.
Teori Parth-Goal tentang kepemimpinan telah dikembangkan
untuk menjelaskan bagaimana perilaku seorang pemimpin
mempengaruhi kepuasan dan kinerja para bawahan. Setelah adanya
nonsituasional awal oleh Evans (1970), House (1971), Fulk &
Wendler (1982), dalam Yulk (1994:241), kemudian memformulasi
sebuah versi lebih terperinci dari teori tersebut memasukkan variabel-
variabel situasional. Teori part-goal diperhalus dan diperluas oleh
beberapa penulis Evans (1974), Fulk & Wendler (1982). Menurut
House (1971:324), dalam Yulk (1998), "Fungsi memotivasi dari
pemimpin tersebut terdiri atas bertambahnya keuntungan (payoff)
pribadi para bawahan bagi pencapaian kerja tujuan dan membuka
jalan agar keuntungan tersebut menjadi lebih mudah dijalankan
dengan memperjelasnya, mengurangi halangan-halangan dan
perangkap-perangkap di jalan serta meningkatkan peluang bagi
kepuasan pegawai terhadap pemimpin tersebut."
House & Dessler (1974:13), mengatakan bahwa "perilaku
pemimpin merupakan sumber kepuasan yang segera atau sebagai
sesuatu bagi kepuasan di masa datang".
Teori path-goal telah mengarah pada pengembangan dari dua
proposisi penting menurut Gibson (1997), Pertama perilaku
pemimpin efektif sejauh mana bawahan mempersepsikan perilaku
tersebut sebagai sumber kepuasan langsung atau sebagai sarana
bagi kepuasan di masa mendatang. Kedua Perilaku pemimpin bersifat
motivasional sejauh mana memberikan kepuasan dari kebutuhan
bawahan yang kontingen pada prestasi efektif dan melengkapi

TEORI KEPEMIMPINAN 143


lingkungan bawahan dengan memberikan bimbingan, kejelasan arah,
dan penghargaan yang dibutuhkan untuk prestasi efektif.
4. Teori Kepemimpinan Karismatik
Pada dasarnya Karisma berasal kata Yunani yang berarti
"Karunia dari Ilahi" (divinely inspired gift) seperti kemampuan untuk
melakukan mukjizat atau memprediksi peristiwa di masa mendatang.
Ahli sosiologi Max Weber (1947), telah menggunakan istilah
tersebut untuk menjelaskan sebuah bentuk pengaruh yang didasar-
kan bukan atas tradisi atau kewenangan, namun atas persepsi para
pengikut bahwa pemimpin tersebut dikaruniakan dengan
kemampuan-kemampuan yang luar biasa. Menurut Weber karisma
terjadi bilamana terdapat suatu krisis sosial, yang pada krisis itu,
seorang pemimpin dengan kemampuan pribadi yang luar biasa tampil
dengan sebuah visi yang radikal yang memberi suatu pemecahan
terhadap krisis tersebut, dan pemimpin menarik perhatian para
pengikut yang percaya pada visi itu dan merasakan bahwa pemimpin
tersebut sangat luar biasa Trice & Beyer, (1993). Karena visi
radikalnya sangat sukar untuk dilaksanakan dalam organisasi yang
ada, maka para pemimpin karismatik sering kali merasa perlu untuk
mendirikan sebuah organisasi yang baru misalnya: sebuah gerakan
politik, sebuah ordo keagamaan, atau sebuah perusahaan baru.
Beliau mengatakan bahwa kekuasaan yang tidak dapat dijelaskan
dengan jelas oleh cara yang tidak logis disebut karismatik. Kemudian
Gibson (1997:78), menyebutnya karisma sebagai bakat.
Kepemimpinan karismatik itu sendiri menurut Gibson adalah
kemampuan untuk mempengaruhi pengikut berdasarkan pada bakat
supranatural dan kekuatan yang menarik. Disini, pengikut menikmati
karismanya pemimpin karena mereka merasa memperoleh inspirasi,
kebenaran dan penting.
Conger (1997:25), menyatakan bahwa pemimpin karismatik
menurut kejujurannya adalah agen perubahan. Mereka melihat
kekurangan dalam situasi apa saja. Dua wajah kepemimpinan
karismatik menurut Conger adalah: (1) Perhatiannya selalu tertuju
ke masa depan, dan (2) Memiliki banyak tuntutan yang memotivasi,
mendesak dan mengintimidasi bawahan untuk bertindak. Secara rinci
Conger menyebut profil pemimpin karismatik, adalah: memiliki rasa
ketidakpuasan dengan status quo adalah energi yang tidak pernah

144 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


diam dalam dirinya, selalu gelisah. Pemimpin seperti itu tampaknya
selamanya merasa tidak puas dan selalu mencari kesempatan baru.
Mereka juga tidak sabar-mereka ingin segala hal berubah dan hari ini
juga, impulsif mengenai perubahan. Dia selalu mencari kesempatan
baru dan bahkan cara baru untuk melakukan banyak hal. Dia terus
menerus mencari tantangan yang lebih besar. Sebagai akibatnya,
banyak hal menjadi lebih cepat. Ketidaksabarannya dijabarkan
menjadi tindakan. Ciri atau profil lainnya adalah yang berkaitan
dengan rasa oportunisme, adalah kemampuan mengatasi kekurangan
dan memotivasi perubahan melalui wawasan yang strategis.
Selanjutnya Conger menjelaskan bahwa misteri kepemimpinan
karismatik disebabkan oleh dua hal. Pertama, kepemimpinan
karismatik melibatkan hubungan karisma dengan persepsi manusia.
Kedua, mistik karisma adalah merupakan sejarah dunia itu sendiri.
Hal ini sangat terkait dengan istilah karisma itu sendiri yang berasal
dari bahasa Yunani Kuno yang berarti anugerah, terutama anugerah
dari dewa-dewa.
Selama beberapa tahun setelah Weber mengajukan konsep
tersebut, sejumlah ahli sosiologi dan saintis dalam bidang politik telah
berusaha untuk menjelaskan karisma dan mengidentifikasi di bawah
kondisi-kondisi yang bagaimana terjadinya sebuah kontroversi
penting dalam karisma. Berger dalam Yulk (1998), pada dasarnya
hasil dari atribut dari seseorang pemimpin, kondisi situasional, atau
sebuah proses interaksi antara pemimpin dengan pengikutnya. Istilah
karisma tersebut didefinisikan dan digunakan dalam berbagai cara
oleh para penulis yang berbeda-beda, namun telah terjadi penyatuan
yang cukup besar dalam beberapa tahun terakhir ini ke arah suatu
konsep interaksi Bass (1985), Conger & Kanungo (1987), Trice &
Beyer (1993), kebanyakan dari para teoritikus sekarang melihat
karisma sebagai suatu hasil persepsi para pengikut dan atribut-atribut
yang dipengaruhi oleh kemampuan-kemampuan aktual dan perilaku
dari para pemimpin dalam konteks situasi kepemimpinan, dan dalam
kebutuhan-kebutuhan individual maupun kolektif para pengikut.
Teori-teori utama kepemimpinan karismatik dalam organisasi-
organisasi formal akan ditinjau kemudian.
House (1977), mengajukan sebuah teori untuk menjelaskan
kepemimpinan karismatik dalam hubungannya dalam sejumlah dalil

TEORI KEPEMIMPINAN 145


yang dapat diuji yang menyangkut proses-proses yang dapat
diobservasi bukunya berdasarkan atas cerita rakyat dan mistik. Teori
tersebut didasarkan atas hasil-hasil penemuan dari berbagai disiplin
ilmu sosial. Ia mengidentifikasi bagaimana para pemimpin karismatik
berperilaku, bagaimana mereka berbeda dari orang lain, serta dalam
kondisi yang bagaimana mereka memperoleh banyak kemungkinan
untuk berkembang. Dimasukkannya ciri-ciri, perilaku, pengaruh serta
kondisi situasional dari seseorang pemimpin membuat teori ini lebih
komprehensif dalam wawasannya daripada kebanyakan teori-teori
kepemimpinan sebelumnya.
Menurut House, seorang pemimpin karismatik mempunyai
dampak yang dalam dan terhadap pengikut mereka merasakan
bahwa keyakinan-keyakinan pemimpin tersebut adalah benar,
mereka menerima pemimpin tersebut tanpa mempertanyakannya
lagi, mereka tunduk kepada pemimpin dengan senang hati, mereka
merasa sayang terhadap pemimpin tersebut, mereka terlibat secara
emosional dalam misi kelompok atau organisasi tersebut, mereka
percaya bahwa mereka dapat memberi kontribusi terhadap
keberhasilan misi tersebut, dan mereka mempunyai tujuan-tujuan
kinerja tinggi. Siagian (2003:37), menegaskan bahwa seorang
pemimpin yang karismatik adalah seorang yang dikagumi oleh
banyak pengikut meskipun para pengikut tersebut tidak selalu dapat
menjelaskan secara konkret mengapa orang tertentu itu dikagumi.
Pemimpin karismatik pada umumnya dapat dilihat dari ciri-ciri
yang ditampilkan sebagai berikut:
1. Memiliki visi, misi, sasaran, tujuan dan program-program kerja
yang jelas.
2. Selalu konsisten dan fokus terhadap suatu permasalahan,
sehingga penyelesaian masalahnya tanpa masalah.
3. Selalu mengkomunikasikan visi dan misi dengan efektif, sehingga
pencapaian tujuannya juga efektif dan efisien.
4. Mengetahui kelemahan-kelemahan, kekuatan-kekuatan, dan
manfaatnya.

146 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


7
PELAYANAN PUBLIK

A. KONSEP PELAYANAN

Definisi Pelayanan
Pelayanan pada dasarnya dapat didefinisikan sebagai aktivitas
seseorang, sekelompok dan atau organisasi baik langsung maupun
tidak langsung untuk memenuhi kebutuhan pelanggan. Pelayanan
diberikan sebagai tindakan seseorang untuk memberikan kepuasan
kepada pelanggan. Dalam artian bahwa pelayan langsung
berhadapan dengan pelanggan dengan menempatkan pelanggan
sebagai sesuatu yang urgen.
Monir (2003:16), mengatakan bahwa pelayanan adalah
proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas orang lain secara
langsung. Sedangkan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
(1993), mengemukakan bahwa pelayanan adalah segala bentuk
kegiatan pelayanan dalam bentuk barang atau jasa dalam rangka
upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Definisi Pelayanan Publik
Definisi pelayanan publik menurut UUD Pelayanan Publik Nomor
25 Tahun 2009 adalah sebagai kegiatan atau rangkaian kegiatan
dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai peraturan
perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas
barang, jasa dan atau pelayanan administrasi yang disediakan oleh
penyelenggaraan pelayanan publik. Sedangkan yang dimaksud
penyelenggara pelayanan publik adalah setiap institusi penyelenggara

PELAYANAN PUBLIK 147


negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan
undang-undang kegiatan publik, dan badan hukum lain yang
dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik. Selanjutnya
Pelayanan publik menurut Sinambela (2005:5) adalah sebagai
setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap sejumlah
manusia yang memiliki setiap kegiatan yang menguntungkan dalam
suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun
hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik.
Agung Kurniawan (2005:6) mengatakan bahwa pelayanan
publik adalah pemberian pelayanan (melayani) keperluan orang lain
atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu
sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan.
Definisi pelayanan publik menurut Kepmen PAN Nomor 25
Tahun 2004 adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan
oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan
kebutuhan penerima layanan, maupun dalam rangka pelaksanaan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan Kepmen PAN
Nomor 58 Tahun 2002 mengelompokkan tiga jenis pelayanan dari
instansi pemerintah serta BUMN/BUMD. Pengelompokan jenis
pelayanan tersebut didasarkan pada ciri-ciri dan sifat kegiatan serta
produk pelayanan yang dihasilkan, yaitu (1) pelayanan administratif,
(2) pelayanan barang, dan (3) pelayanan jasa.
Jenis pelayanan administratif adalah jenis pelayanan yang
diberikan oleh unit pelayanan berupa pencatatan, penelitian,
pengambilan keputusan, dokumentasi dan kegiatan tata usaha
lainnya yang secara keseluruhan menghasilkan produk akhir berupa
dokumen, misalnya sertifikat, ijin-ijin, rekomendasi, keterangan dan
lain-lain. Misalnya jenis pelayanan sertifikat tanah, pelayanan, IMB,
Pelayanan administrasi kependudukan (KTP, NTCR, akte kelahiran,
dan akte kematian).
Jenis pelayanan Barang adalah pelayanan yang diberikan oleh
unit pelayanan berupa kegiatan penyediaan dan atau pengolahan
bahan berwujud fisik termasuk distribusi dan penyampaiannya
kepada konsumen langsung (sebagai unit atau individual) dalam
suatu sistem. Secara keseluruhan kegiatan tersebut menghasilkan
produk akhir berwujud benda (berwujud fisik) atau yang dianggap
benda yang memberikan nilai tambah secara langsung bagi

148 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


penggunanya. Misalnya jenis pelayanan listrik, pelayanan air bersih,
pelayanan telepon.
Jenis pelayanan Jasa adalah jenis pelayanan yang diberikan
oleh unit pelayanan berupa sarana dan prasarana serta penunjang-
nya. Pengoperasiannya berdasarkan suatu sistem pengoperasian
tertentu dan pasti. Produk akhirnya berupa jasa yang mendatangkan
manfaat bagi penerimanya secara langsung dan habis terpakai dalam
jangka waktu tertentu. Misalnya pelayanan angkutan darat, laut dan
udara, pelayanan kesehatan, pelayanan perbankan, pelayanan pos
dan pelayanan pemadam kebakaran.
Ketiga peraturan yang dikeluarkan pemerintah melalui
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara tentang Pelayanan
publik tersebut orientasinya juga adalah pelanggan atau publik
(masyarakat) yang dilayani. Hal ini tegas disebutkan dalam isi
peraturan tersebut. Dalam artian bahwa kalau kinerja pelayanan
publik instansi pemerintah berdasarkan peraturan tersebut orientasi-
nya juga pelanggan, maka perhatian aparatur pelayanan publik harus
berorientasi kepada publik.
Pelayanan publik sebagai fokus disiplin Ilmu Administrasi publik
tetap menarik untuk dicermati karena pelayanan yang diberikan oleh
aparatur pemerintah kepada publik masih dianggap "belum baik atau
tidak memuaskan". Hal ini dapat dilihat dari kesimpulan Agus
Dwiyanto, dan kawan-kawan (2003:102), dalam Governance and
Decentralization disingkat GDS 2002 di 20 Provinsi di Indonesia
tentang kinerja pelayanan publik menyebutkan "walaupun
pelaksanaan otonomi daerah tidak memperburuk kualitas pelayanan
publik" tetapi secara umum praktik penyelenggaraan pelayanan
publik masih jauh dari prinsip-prinsip pemerintahan yang baik (Good
Governance).
Konsep pelayanan publik yang diperkenalkan oleh David
Osborne dan Ted Gaebler dalam bukunya “Reinventing
Government” (1995). Intinya adalah pentingnya peningkatan
pelayanan publik oleh birokrasi pemerintah dengan cara memberi
wewenang kepada pihak swasta lebih banyak berpartisipasi sebagai
pengelola pelayanan publik.
Dalam rangka perbaikan penerapan dan perbaikan sistem
dalam kaitannya dengan pelaksanaan pelayanan publik, Osborne

PELAYANAN PUBLIK 149


menyimpulkan 10 prinsip yang disebut sebagai keputusan gaya baru.
Salah satu prinsip penting dalam keputusannya adalah “sudah
saatnya pemerintah berorientasi pasar” untuk itu diperlukan
pendobrakan aturan agar lebih efektif dan efisien melalui
pengendalian pasar itu sendiri.
Ke sepuluh prinsip yang dimaksud Osborne (1997), adalah
sebagai berikut: (1) Pemerintah katalis: mengarahkan ketimbang
mengayuh. (2) Pemerintahan milik masyarakat: memberi wewenang
ketimbang melayani. (3) Pemerintah yang kompetitif: menyuntikkan
persaingan ke dalam pemberian pelayanan. (4) Pemerintahan yang
digalakkan oleh misi: mengubah organisasi yang digerakkan oleh
peraturan. (5) Pemerintah yang berorientasi hasil: membiayai hasil,
bukan masukan. (6) Pemerintahan berorientasi pelanggan: memenuhi
kebutuhan pelanggan, bukan birokrasi. (7) Pemerintahan wirausaha:
menghasilkan ketimbang membelanjakan. (8) Pemerintah antisipatif:
mencegah daripada mengobati. (9) Pemerintahan desentralisasi. (10)
Pemerintahan birokrasi pasar: mendongkrak perubahan melalui
pasar”.
Menurut Gaspersz (2002:52), bahwa elemen yang paling
penting bagi organisasi adalah pelanggan, untuk itu identifikasi
secara tepat apa yang menjadi kebutuhan pelanggan. Hal ini sejalan
dengan Tjosvold dalam Wasistiono (2003:42), mengatakan bahwa
bagi organisasi, "melayani konsumen merupakan saat yang
menentukan" (moment of thrust), peluang bagi organisasi
menentukan kredibilitas dan kapabilitasnya.
Untuk itu, strategi mengutamakan pelanggan adalah prioritas
utama yang harus dilakukan. Bahkan Carlzon dalam Wasisistino
(2003:42), menamakan abad ini sebagai "abad pelanggan", abad
dimana para pengguna jasa diposisikan pada tempat yang paling
terhormat (putting costumers first). Segala upaya peningkatan
kualitas pelayanan dilakukan dengan menggunakan pendekatan
pelanggan.
Dari sudut pandang pelanggan, setiap dimensi itu penting
dalam penyampaian pelayanan berkualitas, untuk itu setiap
perusahaan penyedia pelayanan perlu menerapkan perspektif
pelayanan pelanggan sebagaimana dipaparkan oleh Jan Carlzon
dalam William (2004), sebagai berikut: (1) Pelanggan adalah raja,

150 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


(2) Pelanggan adalah alasan keberadaan kita, (3) Tanpa pelanggan,
kita tak punya apa-apa, (4) Pelanggan kitalah yang menentukan
bisnis kita, (5) Jika kita, tidak memahami pelanggan kita, maka
berarti kita tidak memahami bisnis kita.
Setiap pernyataan di atas, mencerminkan orientasi terhadap
pelanggan, sebuah pandangan bahwa pelanggan adalah penentu
puncak sifat dan keberhasilan organisasi seseorang, suatu pandangan
yang memutarbalikkan pandangan tradisional tentang organisasi.
Perspektif ini adalah perspektif pelayanan pelanggan.
Identifikasi Pelanggan (Stakeholder)
Identifikasi pelanggan menurut Vincent Gaspersz (2004:27),
yaitu berkaitan dengan mereka yang secara langsung maupun tidak
langsung menggunakan jenis-jenis pelayanan publik atau mereka
yang secara langsung maupun tidak langsung terkena dampak dari
kebijakan-kebijakan organisasi publik.
Organisasi publik memiliki pelanggan yang dapat dikategorikan
sebagai pelanggan internal dan pelanggan eksternal.
a. Pelanggan internal (internal customer) mencakup unit-unit atau
pegawai dalam suatu organisasi publik yang bekerja tergantung
pada unit atau pegawai yang lain dalam organisasi yang sama.
b. Pelanggan eksternal (external customer) mencakup pengguna
produk (barang dan/atau jasa) dari organisasi publik.
Stakeholder menurut Vincent Gaspersz (2004:27) merupakan
setiap orang atau kelompok yang berkepentingan dengan tingkat
kinerja atau kesesuaian dari suatu organisasi publik, program Atau
sub program. Stakeholder mungkin tidak menggunakan secara
langsung produk yang dihasilkan oleh organisasi publik. Mereka
mungkin saja menjadi penasehat atau pemberi rekomendasi terhadap
organisasi publik, karena mempunyai kepentingan dengan tingkat
kinerja atau kesesuaian diri organisasi publik itu.

B. KUALITAS PELAYANAN PUBLIK

Definisi Kualitas
Kualitas pada dasarnya merupakan kata yang menyandang arti
relatif karena bersifat abstrak, kualitas dapat digunakan untuk menilai

PELAYANAN PUBLIK 151


atau menentukan tingkat penyesuaian suatu hal terhadap
persyaratan atau spesifikasinya. Bila persyaratan atau spesifikasi itu
terpenuhi berarti kualitas sesuatu hal yang dimaksud dapat dikatakan
baik, sebaliknya jika persyaratan tidak terpenuhi maka dapat
dikatakan tidak baik. Dengan demikian, untuk menentukan kualitas
diperlukan indikator. Karena spesifikasi yang merupakan indikator
harus dirancang berarti kualitas secara tidak langsung merupakan
hasil rancangan yang tidak tertutup kemungkinan untuk diperbaiki
atau ditingkatkan.
Mutu sebenarnya tidak dapat diukur karena merupakan hal
yang maya (imaginer) jadi bukan suatu besaran yang terukur. Oleh
sebab itu, perlu dibuat indikator yang merupakan besaran yang
terukur demi untuk menentukan kualitas baik produk maupun jasa.
Berbagai upaya dilakukan untuk membuat indikator yang terukur dan
cocok bagi masalah penentuan kualitas sedemikian rupa sehingga
pembuatan produk atau pelayanan jasa dan pengontrolan kualitasnya
dapat terjamin keterlaksanaannya.
Kualitas menurut Fandy Tjiptono (2004:2), adalah (1)
kesesuaian dengan persyaratan/tuntutan, (2) kecocokan untuk
pemakaian, (3) perbaikan atau penyempurnaan keberlanjutan, (4)
bebas dari kerusakan, (5) pemenuhan kebutuhan pelanggan
semenjak awal dan setiap saat, (6) melakukan segala sesuatu secara
benar semenjak awal, (7) sesuatu yang bisa membahagiakan
pelanggan. Kualitas (quality) menurut Montgomery dalam
Supramto (2001), "the extent to which produccts meet the
requirement of people who use them" Jadi suatu produk, apakah itu
bentuknya barang atau jasa, dikatakan bermutu bagi seseorang kalau
produk tersebut dapat memenuhi kebutuhannya.
Pada dasarnya pelayanan (service) oleh beberapa penulis
mendefinisikan pelayanan sebagai suatu perbuatan (deed), suatu
kinerja (performance) atau suatu usaha (effort) Warella (1997:18).
Definisi Pelayanan yang Berkualitas
Selanjutnya pelayanan yang berkualitas menurut Osborne dan
Gebler (1995), serta Bloom (1981), antara lain memiliki ciri-ciri
seperti: tidak prosedural (birokratis), terdistribusi dan terdesen-
tralisasi, serta berorientasi kepada pelanggan.

152 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


Sinambela dkk. (2006:6), mengatakan bahwa kualitas
pelayanan prima tercermin dari: (1) transparansi, yaitu pelayanan
yang bersifat terbuka, muda dan dapat diakses oleh semua pihak
yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah
dimengerti, (2) akuntabilitas, yaitu pelayanan yang dapat
dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, (3) kondisional, yaitu pelayanan yang sesuai
dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan
dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektivitas, (4)
partisipatif, yaitu pelayanan yang dapat mendorong peran serta
masyarakat dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan
masyarakat; (5) kesamaan hak, yaitu pelayanan yang tidak
melakukan diskriminasi dilihat dari aspek apapun khususnya suku,
ras, agama, golongan, status sosial, dan (6) keseimbangan hak dan
kewajiban, yaitu pelayanan yang mempertimbangkan aspek keadilan
antara pemberi dan penerima pelayanan publik.
Kasmir (2005:31), mengatakan bahwa pelayanan yang baik
adalah kemampuan seseorang dalam memberikan pelayanan yang
dapat memberikan kepuasan kepada pelanggan dengan standar yang
telah ditentukan.
Menurut Zethaml & Haywood Farmer dalam Warella
(1997:17), mengatakan ada tiga karakteristik utama tentang
pelayanan, yaitu: (1) intangibility, (2) heterogeneity dan (3)
inseparability.
Intangibility berarti bahwa pelayanan pada dasarnya bersifat
performance dan hasil pengalaman dan bukannya objek. Kebanyakan
pelayanan tidak dapat dihitung, diukur, diraba atau dites sebelum
disampaikan untuk menjamin kualitas. Berbeda dengan barang yang
dihasilkan oleh suatu pabrik yang dapat dites kualitasnya sebelum
disampaikan pada pelanggan.
Heterogeneity berarti pemakai jasa atau klien atau pelanggan
memiliki kebutuhan yang sangat heterogen. Pelanggan dengan
pelayanan yang sama mungkin mempunyai prioritas berbeda.
Demikian pula performance sering bervariasi dari suatu prosedur ke
prosedur lainnya bahkan dari waktu ke waktu.
Inseparability berarti bahwa produksi dan konsumsi suatu
pelayanan tidak terpisahkan. Konsekuensinya di dalam industri

PELAYANAN PUBLIK 153


pelayanan kualitas tidak direkayasa ke dalam produksi di sektor
pabrik dan kemudian disampaikan kepada pelanggan. Kualitas terjadi
selama interaksi antara klien dan penyedia jasa.
Mengetahui kualitas pelayanan yang diberikan oleh suatu
organisasi penting karena dapat memberikan manfaat bagi organisasi
yang bersangkutan. Kalau ini dilakukan paling tidak organisasi atau
instansi yang bersangkutan sudah punya "Concern" pada
pelanggannya. Pada akhirnya, bisa jadi berusaha maksimal untuk
memenuhi kepuasan pelanggan yang dilayani.
Pelayanan berkualitas atau pelayanan prima yang berorientasi
pada pelanggan sangat tergantung pada kepuasan pelanggan.
Lukman (1999), menyebut salah satu ukuran keberhasilan
menyajikan pelayanan yang berkualitas (prima) sangat tergantung
pada tingkat kepuasan pelanggan yang dilayani. Pendapat tersebut
artinya menuju kepada pelayanan eksternal, dari perspektif
pelanggan, lebih utama atau lebih didahulukan apabila ingin
mencapai kinerja pelayanan yang berkualitas.
Sementara itu Gerson (2002:55), menyatakan pengukuran
kualitas internal memang penting. Tetapi semua itu tidak ada artinya
jika pelanggan tidak puas dengan yang diberikan. Untuk membuat
pengukuran kualitas lebih berarti dan sesuai, ”tanyakan” kepada
pelanggan apa yang mereka inginkan, yang bisa memuaskan mereka.
Pendapat tersebut dapat diartikan bahwa kedua sudut pandang
tentang pelayanan itu penting, karena bagaimanapun pelayanan
internal adalah langkah awal dilakukannya suatu pelayanan. Akan
tetapi pelayanan tersebut harus sesuai dengan keinginan pelanggan
yang dilayani. Artinya bagaimana upaya untuk memperbaiki kinerja
internal harus mengarah atau merujuk pada apa yang diinginkan
pelanggan (eksternal).
Kalau tidak demikian bagaimanapun performa suatu organisasi
tetapi kalau tidak sesuai dengan keinginan pelanggan atau tidak
memuaskan, citra kinerja organisasi tersebut akan dinilai tetap tidak
bagus. Oleh karena pertama-tama penting untuk mengetahui kualitas
pelayanan dari perspektif pelanggan, selain agar organisasi tersebut
”Survive” juga agar kinerjanya dapat lebih ditingkatkan lagi.
Servqual ini asal mulanya dari dunia bisnis, walaupun kemudian
tidak sedikit diadopsi untuk organisasi publik. Walaupun konsep

154 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


tentang service quality (servqual) yang dikemukakan para ahli
tersebut secara universal tidak seragam tetapi semua itu dapat
menambah pemahaman secara mendalam tentang servqual tersebut.
Salah satu teori tentang Servqual yang banyak dikenal adalah
servqual yang dikemukakan oleh Zeithaml-Parasuraman-Berry
(1990).
Menurut Zeithaml, keputusan seseorang konsumen untuk
mengonsumsi atau tidak mengonsumsi suatu barang atau jasa
dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain adalah persepsinya
terhadap kualitas pelayanan. Dengan kata lain, baik buruknya
kualitas pelayanan yang diberikan provider (penyedia layanan)
tergantung persepsi konsumen atau pelayanan yang diberikan.
Pernyataan ini menunjukkan adanya interaksi yang kuat antara
”kepuasan konsumen” dengan kualitas pelayanan.
Menurut Zeithaml-Parasurman-Berry (1990), untuk
mengetahui kualitas pelayanan yang dirasakan secara nyata oleh
konsumen, ada indikator ukuran kepuasan konsumen yang terletak
pada lima dimensi kualitas pelayanan menurut apa yang dikatakan
konsumen. Kelima dimensi servqual tersebut, yaitu:
1. Tangibles: kualitas pelayanan yang berupa sarana fisik
perkantoran, komputerisasi administrasi, ruang tunggu, tempat
informasi.
2. Reliability: kemampuan dan keandalan untuk menyediakan
pelayanan yang terpercaya.
3. Responsiveness: kesanggupan untuk membantu dan
menyediakan pelayanan secara cepat dan tepat, serta tanggap
terhadap keinginan konsumen.
4. Assurance: kemampuan dan keramahan serta sopan santun
pegawai dalam meyakinkan kepercayaan konsumen.
5. Empathy: sikap tegas tetapi penuh perhatian dari pegawai
terhadap konsumen.
Pada dasarnya teori tentang servqual dari Zithham, walaupun
berasal dari dunia bisnis, tetapi dapat dipakai untuk mengukur kinerja
pelayanan publik yang diberikan oleh instansi pemerintah.

PELAYANAN PUBLIK 155


Kriteria Kualitas Pelayanan
Kriteria yang digunakan untuk melakukan penilaian kualitas
pelayanan publik dengan mengacu pada Kepmen PAN Nomor 81
Tahun 1993 adalah sebagai berikut:
Kriteria Kuantitatif
1. Kesederhanaan, yaitu bahwa prosedur/tata cara pelayanan
diselenggarakan secara mudah, lancar, cepat, tepat, tidak berbelit-
belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat
yang menerima pelayanan.
2. Kejelasan dan kepastian, yaitu mencakup: (a) prosedur/tata cara
pelayanan, (b) persyaratan pelayanan, baik persyaratan teknis
maupun administratif. (c) Unit kerja dan atau pejabat yang
berwewenang dan bertanggungjawab dalam memberikan
pelayanan, (d) Rincian biaya/tarif pelayanan dan tata cara
pembayarannya, (e) Jadwal waktu penyelesaian pelayanan.
3. Keamanan, yaitu bahwa proses hasil pelayanan dapat memberikan
keamanan, kenyamanan dan kepastian hukum bagi masyarakat.
4. Keterbukaan, yaitu prosedur/tatacara, persyaratan, satuan
kerja/pejabat penanggungjawab pemberi pelayanan, waktu
penyelesaian, rincian biaya/tarif serta hal-hal lain yang berkaitan
dengan proses pelayanan wajib ditransformasikan secara terbuka
agar mudah diketahui oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak
diminta.
5. Efisiensi, yaitu bahwa (a) persyaratan pelayanan hanya dibatasi
hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran
pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara
persyaratan dengan produk pelayanan yang diberikan, (b) Dicegah
adanya pengulangan pemenuhan persyaratan, dalam hal proses
pelayanan masyarakat bersangkutan mempersyaratkan adanya
kelengkapan persyaratan satuan kerja/instansi pemerintah lain
yang terkait.
6. Ekonomis, yaitu bahwa pengenaan biaya pelayanan harus
ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan: (a) Nilai barang
atau jasa pelayanan masyarakat tidak menuntut biaya yang terlalu
tinggi di luar kewajaran, (b) Kondisi atau kemampuan masyarakat

156 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


untuk membayar, (c) ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
7. Keadilan, yaitu bahwa pelaksanaan pelayanan publik dapat
diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.
Kriteria Kuantitatif
1. Jumlah warga/masyarakat yang meminta pelayanan (per hari, per
bulan, atau per tahun) serta perkembangan pelayanan dari waktu
ke waktu, apakah menunjukkan peningkatan atau tidak.
2. Lamanya waktu pemberian pelayanan.
3. Ratio/perbandingan antara jumlah pegawai/tenaga yang ada
dengan jumlah warga/masyarakat yang meminta pelayanan untuk
menunjukkan tingkat produktivitas kerja.
4. Penggunaan perangkat-perangkat modern untuk mempercepat
dan mempermudah pelaksanaan.
5. Frekuensi keluhan dan atau pujian dari masyarakat mengenai
kinerja pelayanan yang diberikan, baik melalui media massa
maupun melalui kotak saran yang disediakan.
6. Penilaian fisik lainnya, misalnya kebersihan dan kesejukan
lingkungan, motivasi kerja pegawai dan lain-lain aspek yang
mempunyai pengaruh langsung terhadap kinerja pelayanan publik.
Kepmen PAN Nomor 58 Tahun 2002 lebih komprehensif dari
Kepmen PAN Nomor 81 Tahun 1993. Kepmen PAN Nomor 58 Tahun
2002 selain menyebut 7 (tujuh) dimensi pengukuran juga membuat
metode penilaian, termasuk kuesioner untuk melakukan survey (Form B)
dan kuesioner untuk melakukan observasi (form A). Sedangkan
Kepmen PAN No. 81 Tahun 1993 hanya sampai pada dimensi
pengukuran.
Kepmen PAN Nomor 58 Tahun 2002 memuat tujuh dimensi
yang dapat dijadikan dasar untuk mengukur kinerja pelayanan publik
instansi pemerintah serta BUMN/BUMD. Ketujuh dimensi tersebut
masing-masing dikembangkan menjadi dua pertanyaan, sehingga
terdapat 14 pertanyaan yang ada dalam kuesioner dalam Kepmen
PAN tersebut, (setiap satu dimensi ada dua item pertanyaan),
ketujuh dimensi pelayanan publik tersebut adalah sebagai berikut.
1. Kesederhanaan prosedur pelayanan, yaitu mencakup apakah telah
tersedia prosedur tetap/Standar Operasional Pelayanan (SPO),

PELAYANAN PUBLIK 157


apakah tersedia prosedur pelayanan secara terbuka, bagaimana
dalam pelaksanaannya, apakah telah dilaksanakan secara
konsisten dan bagaimana tingkat kemudahan dalam mendukung
kelancaran pelayanan. Ada dua item pertanyaan yang
dikemukakan dari variabel ini, yaitu: a) kemudahan/kecepatan
prosedur dalam proses pelayanan, b) kesulitan mengurus
pernyataan dalam proses pelayanan.
2. Keterbukaan informasi pelayanan, yaitu mencakup apakah ada
keterbukaan informasi mengenai prosedur, persyaratan dan biaya
pelayanan, apakah dengan jelas dapat diketahui masyarakat,
apakah terdapat media informasi termasuk petugas yang
menangani untuk menunjang kelancaran pelayanan. Ada dua item
pertanyaan yang dikemukakan dari variabel ini, yaitu: a) keter-
bukaan mengenai prosedur, persyaratan, biaya dalam pelayanan,
b) keterbukaan sikap petugas dalam memberi pelayanan.
3. Kepastian pelaksanaan pelayanan, yaitu mencakup apakah
variabel waktu pelaksanaan dan biayanya, apakah waktu yang
digunakan dalam proses pemberian pelayanan sesuai dengan
jadwal yang ada, dan apakah biaya yang dipungut atau bayar oleh
masyarakat sesuai dengan tarif/biaya yang ditentukan. Ada dua
item pertanyaan yang dikemukakan dari variabel ini, yaitu: a)
ketepatan waktu penyelesaian, b) kesesuaian biaya yang dibayar
dengan tarif resmi.
4. Mutu produk pelayanan, yaitu kualitas pelayanan meliputi aspek
cara kerja pelayanan, apakah cepat/tepat, apakah hasil kerjanya
baik/rapi/benar/layak. Ada dua item pertanyaan yang dikemuka-
kan dari variabel ini, yaitu: a) kepuasan terhadap mutu produk
pelayanan, b) kemudahan dalam mengurus pelayanan.
5. Tingkat profesional petugas, yaitu mencakup bagaimana tingkat
kemampuan keterampilan kerja petugas mengenai, sikap, perilaku
dan kedisiplinan dalam memberikan pelayanan, apakah ada
kebijakan untuk memotivasi semangat kerja para petugas. Ada
dua item pertanyaan yang dikemukakan dari variabel ini, yaitu; a)
sikap dan semangat kerja petugas dalam menangani pelayanan,
b) ada tidaknya praktik pungli yang dilakukan petugas.
6. Tertib pengelolaan administrasi dan manajemen, yaitu mencakup
bagaimana kegiatan pencatatan administrasi pelayanan,

158 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


pengelolaan berkas, apakah dilakukan dengan tertib, apakah
terdapat motto kerja, dan apakah pembagian tugas dilaksanakan
dengan baik serta kebijakan setempat yang mendorong motivasi
dan semangat kerja para petugas. Ada dua item pertanyaan yang
dikemukakan dari variabel ini, yaitu: a) cara petugas mengelola
dan menyimpan dokumen/berkas pelayanan, b) ketersediaan
fasilitas penunjang kelancaran, kemudahan dalam pelayanan,
misalnya telepon, media pengumuman, monitor tv dan lain-lain.
7. Sarana dan prasarana pelayanan, yaitu mencakup keberadaan dan
fungsinya, bukan hanya penampilannya tetapi sejauh mana fungsi
dan daya guna dari sarana/fasilitas tersebut dalam menunjang
kemudahan, kelancaran proses pelayanan dan memberikan
kenyamanan pada pengguna pelayanan. Ada dua item pertanyaan
yang dikemukakan dari variabel ini, yaitu: a) kenyamanan
konsumen atas fasilitas pelayanan yang ada, seperti ruang
tunggu/AC, tempat duduk dan toilet, b) ketertiban dan kebersihan
lingkungan kerja di instansi pelayanan.
Selanjutnya, tahun 2004 keluar lagi Kepmen PAN No. 25 tahun
2004. Selain mencantumkan kuesioner untuk melakukan survey, juga
mencakup langkah-langkah penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat
(IKM). Satu hal lagi yang tidak diatur dalam ketetapan MENPAN
sebelumnya adalah bahwa Kepmen PAN No. 25 tahun 2004
menetapkan "jumlah responden minimal 150 Orang yang dipilih
secara acak.
Kepmen PAN Nomor 25 Tahun 2004 menetapkan 14 unsur
minimal yang harus ada untuk dasar pengukuran IKM, yang
kemudian diimplementasikan ke dalam 14 kuesioner (pertanyaan) ke
14 unsur tersebut adalah sebagai berikut.
1. Prosedur pelayanan, yaitu kemudahan tahapan pelayanan yang
diberikan kepada masyarakat dilihat dari sisi kesederhanaan alur
pelayanan.
2. Persyaratan pelayanan, yaitu persyaratan teknis dan administratif
yang diperlukan untuk mendapatkan pelayanan sesuai dengan
jenis pelayanannya.
3. Kejelasan petugas pelayanan, yaitu keberadaan dan kepastian
petugas yang memberikan pelayanan (nama, jabatan serta
kewenangan dan tanggungjawab).

PELAYANAN PUBLIK 159


4. kedisiplinan petugas pelayanan, yaitu kesungguhan petugas
dalam memberikan pelayanan terutama terhadap konsistensi
waktu kerja sesuai ketentuan yang berlaku.
5. Tanggungjawab petugas pelayanan, yaitu kejelasan wewenang
dan tanggungjawab dalam penyelenggaraan dan penyelesaian
pelayanan.
6. Kemampuan petugas pelayanan, yaitu tingkat keahlian dan
keterampilan yang dimiliki petugas dalam memberikan/
menyelesaikan pelayanan kepada masyarakat.
7. Kecepatan pelayanan, yaitu target waktu pelayanan dapat
diselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan oleh unit
penyelenggara pelayanan.
8. Keadilan mendapatkan pelayanan, yaitu pelaksanaan pelayanan
dengan tidak membedakan golongan/status masyarakat yang
dilayani.
9. Kesopanan dan keramahan petugas, yaitu sikap dan perilaku
petugas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat
secara sopan dan ramah serta saling menghargai dan
menghormati.
10. Kewajaran biaya pelayanan, yaitu keterjangkauan masyarakat
terhadap besarnya biaya yang ditetapkan oleh pelayanan.
11. Kepastian biaya pelayanan, yaitu kesesuaian antara biaya yang
dibayarkan dengan biaya yang telah ditetapkan.
12. Kepastian jadwal pelayanan, yaitu pelaksanaan waktu pelayanan,
sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
13. Kenyamanan lingkungan, yaitu kondisi sarana dan prasarana
pelayanan yang bersih, rapi dan teratur sehingga dapat
memberikan rasa nyaman kepada penerima pelayanan.
14. Keamanan pelayanan, yaitu terjaminnya tingkat keamanan
lingkungan unit penyelenggara pelayanan ataupun saran yang
digunakan, sehingga masyarakat merasa tenang untuk mendapat
pelayanan terhadap resiko-resiko yang diakibatkan dari
pelaksanaan pelayanan.
Setelah melihat ketetapan atau aturan yang dibuat bagi
pelayanan publik di Indonesia, sekarang kita lihat sedikit bagaimana
kebijakan yang dibuat untuk pelayanan publik di Amerika Serikat.
Presiden Clinton menyatakan bahwa (Osborn dan Plstarik) dalam

160 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


Warella (2004): "The Standards of quality for service provided to the
public shall be: customer service equal to the best in business".
Beberapa kelengkapan untuk menjamin kualitas pelayanan bagi
pelanggan antara lain:
1. Standar pelayanan pelanggan berupa standar kualitas.
2. Customer Redress yaitu usaha memberikan kompensasi pada
pelanggan apabila standar pelayanan tidak tercapai, biasanya
dalam bentuk uang.
3. Quality Guaranties, yaitu komitmen organisasi untuk
mengembalikan uang pelanggan atau memberikan pelayanan baru
secara bebas apabila pelanggan tidak merasa puas dengan
pelayanan tidak terima.
4. Quality inspector, yaitu suatu tim yang terdiri dari para profesional
maupun toko masyarakat yang memberikan pelayanan publik dan
memberikan rating terhadap kualitasnya dapat dilakukan secara
anonim.
5. Customer komplain system, yaitu memeriksa dan menganalisis
keluhan pelanggan, memberikan respon yang sesuai dan
menciptakan metode dimana organisasi dapat belajar dari keluhan
tersebut untuk meningkatkan pelayanan.
6. Ombudsmen, yang membantu pelanggan memecahkan
perselisihan mereka dengan penyedia jasa serta mendapatkan
pelayanan atau informasi yang diperlukan apabila mereka tidak
puas dengan respon organisasi terhadap keluhan-keluhan mereka.
Mengapa publik dari sektor pelayanan publik instansi
pemerintah juga harus dipuaskan layaknya sektor privat agar
kinerjanya bagus? Barata (2002:16), menyebut kalau itu yang
ditanyakan, jawaban biasa, karena konsumen (publik) harus
dipuaskan untuk memberikan andil dalam rangka menyejahterakan
rakyat sebagaimana yang diamanatkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Atau harus memuaskan publik karena
mereka telah membayar pajak, atau karena masyarakat adalah
warga negara yang berhak atas pelayanan tertentu dari pemerintah.
Masyarakat adalah "warga negara" yang berhak atas pelayanan
tertentu dari pemerintah seperti dikemukakan Barata tersebut
tampaknya sejalan dengan paradigma baru dalam administrasi publik,

PELAYANAN PUBLIK 161


yaitu The New Public Service (NPS) yang dicetuskan oleh
Denhardt (2003).
The New Public Service (NPS)
NPS merupakan suatu paradigma baru dalam administrasi
Publik yang berkaitan dengan pelayanan publik. Denhardt (2003),
menyatakan bahwa NPS lebih diarahkan pada democracy, pride and
citizen daripada market, competition and customers seperti pada
sector privat. Beliau menyatakan bahwa “public servant do not deliver
customers service, they deliver democracy”. Oleh sebab itu nilai
demokrasi, kewarganegaraan dan pelayanan untuk kepentingan
publik sebagai norma berdasarkan pada lapangan administrasi publik.
NPS memberikan pengertian bahwa pemerintah bergerak bukan
layaknya sebuah bisnis, tetapi sebagai sebuah demokrasi. Aparatur
pelayanan publik bertindak atas dasar prinsip-prinsip dan memper-
baharui komitmen dalam mengekspresikan prinsip dalam kepentingan
publik, proses pemerintahan dan mencurahkannya dalam prinsip
kewarganegaraan yang demokratis.
Sebagai akibat dari hal tersebut, aparatur pelayanan publik
akan belajar keahlian-keahlian baru dalam pelaksanaan kebijakan dan
pembangunan, menyadari bahwa dan menerima kompleksnya
tantangan yang mereka hadapi dan memperlakukan anggota para
pelayanan publik dan warga negara dengan rasa hormat dan harga
diri mereka. Para Administrator menyadari bahwa mereka harus
banyak “mendengar” publik daripada “memberitahu”,
“melayani” daripada “mengendalikan”. Publik dan para pejabat
publik bekerja sama menetapkan dan mengarahkan masalah
bersama dalam bekerja sama yang paling menguntungkan. Inilah
yang dikatakan Denhardt sebagai perilaku dan keterlibatan baru
dalam pergerakan Administrasi Publik yang disebutnya sebagai
“The New Public Service”.
Pengertian dari Denhardt bahwasanya aparatur pelayanan
publik harus banyak “mendengar” daripada “memberitahu” dan
“melayani” daripada “menyetir/mengendalikan” tersebut bisa juga
dipahami bahwa walaupun NPS oritentasinya publik bukan pelanggan
“keinginan” publik juga masih menjadi perhatian sebagaimana
layaknya pelanggan dalam dunia privat. Itu tersirat dari kata aparatur
publik seharusnya banyak “mendengar” (listening) dan melayani

162 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


(serving) daripada "memberitahu” (telling) dan “mengendalikan”
(steering). Lebih dari itu, ide pokok dari New public Service
mengemukakan bahwa pelayanan publik tidak hanya memuaskan
pelanggan, tetapi lebih focus pada membangun hubungan
kepercayaan dan kolaborasi dengan dan antara warga (citizen).
Kalau di dalam New Public Management (NPM), pelayanan
publik kepada warga negara (citizen) lebih menggunakan mekanisme
pasar dengan orientasi sebagai pelanggan (customer), yang
sebelumnya dipuaskan, Maka Denhardt dalam The New Public
Service memuat ide-ide pokok sebagai berikut:
1. Serve Citizen, Not Customers: Kepentingan publik adalah hasil dari
sebuah dialog tentang pembagian nilai daripada kumpulan dari
kepentingan individu. Oleh karena itu, aparatur pelayanan publik
tidak hanya merespon keinginan pelanggan (customer), tetapi
lebih focus pada pembangunan kepercayaan dan kolaborasi
dengan dan antara warga negara (citizen).
2. Seek the Public Interest: Administrasi Publik harus memberi
kontribusi untuk membangun sebuah kebersamaan, membagi
gagasan dari kepentingan publik, tujuannya adalah tidak untuk
menemukan pemecahan yang cepat yang dikendalikan oleh
pilihan-pilihan individu. Lebih dari itu, adalah kreasi dari
pembagian kepentingan dan tanggungjawab.
3. Value Citizenship over entrepreneurship: Kepentingan publik
adalah lebih dimajukan oleh komitmen aparatur pelayanan publik
dan warga negara untuk membuat kontribusi lebih berarti
daripada oleh gerakan para manajer swasta sebagai bagian dari
keuntungan publik yang menjadi milik mereka.
4. Think Strategically, Act Democracy: Pertemuan antara kebijakan
dan program agar bisa dicapai secara lebih efektif dan berhasil
secara bertanggungjawab mengikuti upaya bersama dan proses-
proses kebersamaan.
5. Recognized that Accountability Is Not Simple: Aparatur pelayanan
publik seharusnya penuh perhatian lebih baik daripada pasar.
Mereka juga harus mengikuti peraturan perundangan dan
konstitusi, nilai-nilai masyarakat, norma-norma politik, standar-
standar profesional dan kepentingan warga negara.

PELAYANAN PUBLIK 163


6. Serve Rather than steer: Semakin bertambah penting bagi
pelayanan publik untuk menggunakan andil, nilai kepemimpinan
mendasar dan membantu warga mengartikulasikan dan
mempertemukan kepentingan yang menjadi bagian mereka lebih
daripada berusaha untuk mengontrol atau mengendalikan
masyarakat pada petunjuk-petunjuk baru.
7. Value people, not Just Productivity: Organisasi publik dan
kerangka kerjanya dimana mereka berpartisipasi dan lebih sukses
dalam kegiatannya kalau mereka mengoperasikan sesuai proses
kebersamaan dan mendasarkan diri pada kepemimpinan yang
hormat pada semua orang.
Seandainya ke tujuh ide pokok dalam NPS tersebut benar-benar
dapat dihayati dan diimplementasikan oleh aparatur pelayan publik,
rasanya pelayanan publik instansi pemerintah tidak kalah dengan
pemberian layanan yang dilakukan oleh sektor privat. Maka
masalahnya sekarang adalah bagaimana para pejabat publik dan
aparatur pelayanan publik dapat memahami dan menerima nilai-nilai
dalam NPS tersebut. Kemudian bagaimana mengimplementasikan di
lapangan sebagaimana keinginan publik yang harus “didengar” dan
“dilayani”.
Mengukur kinerja pelayanan publik instansi pemerintah agar
diketahui tingkat kinerja pelayanan publiknya dapat dilakukan dengan
banyak ukuran. Ada banyak variasi dalam upaya mendefinisikan
servqual sector publik. Namun menurut Denhardt satu yang istimewa
adalah dikembangkannya daftar ukuran yang komprehensif untuk
pemerintah daerah seperti dikemukakan oleh Carson dan Schwarz
dalam Denhardt (2003:61). Ukuran yang komprehensif untuk
servqual sector publik tersebut sebagai berikut:
1. Convenience (kemudahan), yaitu ukuran tingkat dimana pelayanan
pemerintah adalah muda diperoleh dan didapat masyarakat.
2. Security (keamanan), yaitu ukuran tingkat dimana pelayanan yang
telah disediakan membuat masyarakat merasa aman dan yakin
ketika mereka menerimanya.
3. Reliability (keandalan), yaitu menilai tingkat dimana pelayanan
pemerintah disediakan secara benar dan tepat waktu.
4. Personal attention (perhatian kepada orang), yaitu ukuran tingkat
dimana aparat pelayanan menyediakan informasi kepada

164 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


masyarakat dan bekerja dengan mereka untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan mereka.
5. Problem solving approach (pendekatan pemecahan masalah).
6. Fairness (keadilan), yaitu ukuran tingkat dimana masyarakat
percaya bahwa pemerintah diperlakukan sama untuk semua
orang.
7. Fiscal responsibility (tanggungjawab keuangan) yaitu ukuran
tingkat dimana masyarakat percaya bahwa pemerintah daerah
menyediakan pelayanan sebagaimana mestinya yang
menggunakan uang secara bertanggungjawab.
8. Citizen influence (pengaruh masyarakat), yaitu ukuran tingkat
dimana masyarakat percaya bahwa mereka dapat mempengaruhi
kualitas pelayanan yang mereka terima dari pemerintah daerah.
Apa yang telah dikemukakan adalah semuanya untuk
mendapatkan pemahaman bahwa kualitas pelayanan, baik organisasi
privat maupun birokrasi publik masing-masing tentu mempunyai
ukuran-ukuran tersendiri dalam upaya memberikan pelayanan yang
maksimal. Organisasi privat telah sejak lama memulainya. Karena
kalau tidak dapat memenuhi keinginan pelanggannya mereka akan
ditinggalkan. Organisasi publik dalam memberikan pelayanan kepada
publik juga berusaha untuk memenuhi keinginan atau kepuasan
warga/masyarakat. Akan tetapi tidak hanya itu, organisasi publik
mempunyai ukuran yang tentu ada sedikit berbeda dengan organisasi
privat, misalnya fairness (keadilan). Organisasi publik seharusnya
memberikan pelayanan yang sama kepada semua orang, tetapi
organisasi privat dapat memberikan keistimewaan atau perbedaan
pelayanan kepada pelanggannya. Oleh karena itu menurut hemat
penulis ukuran-ukuran untuk menilai kinerja pelayanan publik instansi
pemerintah seharusnya ditambah dengan dimensi yang
mencerminkan eksistensi pelayanan yang diberikan pemerintah
kepada publik.

C. KEPUASAN PELANGGAN

Menurut Lukman (2000:119), menyatakan bahwa kepuasan


sebagaimana tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan
kinerja (hasil) yang dirasakan dengan harapannya. Sejalan

PELAYANAN PUBLIK 165


pandangan, Gibson dkk (1987), Wexley dan Yulk (1988),
dijelaskan bahwa kepuasan pada hakikatnya berkaitan dengan faktor
kebutuhan seseorang (pelanggan). Artinya, jika kebutuhan seseorang
terpenuhi maka orang tersebut merasa puas, demikian pula
sebaliknya. Kemudian Tjiptono (1996:54), menambahkan bahwa
kepuasan pelanggan dapat menciptakan kesetiaan dan loyalitas
pelanggan kepada perusahaan.
Pendapat di atas, dipertegas oleh Schnaars dalam Tjiptono
menyebut bahwa pada dasarnya tujuan dari suatu bisnis atau usaha
adalah menciptakan rasa puas terhadap pelanggannya. Schnaars
juga menyebut bahwa: “Terciptanya kepuasan pelanggan dapat
memberikan beberapa manfaat, diantaranya: hubungan antara
pelanggan dengan instansi menjadi harmonis, memberikan dasar
yang baik bagi pembeli (pemakaian) ulang, terciptanya loyalitas dari
pelanggan serta terbentuknya rekomendasi dari mulut ke mulut yang
kesemuanya menguntungkan perusahaan”.
Sementara itu, Kotler dalam Tjiptono menandaskan bahwa
kepuasan pelanggan adalah tingkat perasaan seseorang (pelanggan)
setelah membandingkan dengan kinerja yang ia rasakan
dibandingkan dengan harapannya.
Berdasarkan berbagai pandangan di atas, dapat disimpulkan
bahwa pada dasarnya kepuasan pelanggan adalah mencakup
perbedaan antara harapan dan kenyataan atau hasil yang dirasakan,
pandangan ini didasarkan pada disconfirmation paradigm oleh Oliver
dalam Pawitra (1993).
Kepuasan masyarakat terhadap organisasi publik sangat
penting karena adanya hubungan kepercayaan masyarakat. Semakin
baik kepemerintahan dan kualitas pelayanan yang diberikan, maka
semakin tinggi kepercayaan masyarakat (high trust).
Adapun teknik mengukur kepuasan masyarakat dengan
menggunakan 14 kriteria pelayanan seperti yang telah diuraikan di
atas, sebagai berikut.

166 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


Contoh Kuesioner:
Pendapat Responden Tentang Pelayanan Publik

1. Bagaimana Pendapat Bapak/Ibu tentang kemudahan


prosedur pelayanan di unit ini?
a. Tidak mudah 1
b. Kurang mudah 2
c. Mudah 3
d. Sangat Mudah 4
2. Bagaimana Pendapat Bapak/Ibu tentang kesesuaian
persyaratan pelayanan dengan jenis pelayanannya?
a. Tidak sesuai 1
b. Kurang sesuai 2
c. Sesuai 3
d. Sangat sesuai 4
3. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu tentang kejelasan dan
kepastian petugas yang melayani?
a. Tidak jelas 1
b. Kurang Jelas 2
c. Jelas 3
d. Sangat Jelas 4
4. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu tentang kedisiplinan
petugas dalam memberikan pelayanan?
a. Tidak disiplin 1
b. Kurang disiplin 2
c. Disiplin 3
d. Sangat Disiplin 4
5. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu tentang tanggung
jawab petugas dalam memberikan pelayanan?
a. Tidak bertanggungjawab 1
b. Kurang bertanggungjawab 2
c. Bertanggungjawab 3
d. Sangat bertanggungjawab 4
6. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu tentang kemampuan
petugas dalam memberikan pelayanan?
a. Tidak mampu 1
b. Kurang mampu 2

PELAYANAN PUBLIK 167


c. Mampu 3
d. Sangat mampu 4
7. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu tentang kecepatan
pelayanan yang diberikan oleh petugas?
a. Tidak cepat 1
b. Kurang cepat 2
c. Cepat 3
d. Sangat cepat 4
8. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu tentang keadilan
dalam mendapatkan pelayanan?
a. Tidak adil 1
b. Kurang adil 2
c. Adil 3
d. Sangat Adil 4
9. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu tentang kesopanan
dan keramahan petugas dalam memberikan
pelayanan?
a. Tidak Sopan 1
b. Kurang Sopan 2
c. Sopan 3
d. Sangat Sopan 4
10 Bagaimana pendapat Bapak/Ibu tentang kewajaran
biaya untuk mendapatkan pelayanan?
a. Tidak wajar 1
b. Kurang wajar 2
c. Wajar 3
d. Sangat Wajar 4
11 Bagaimana pendapat Bapak/Ibu tentang kesesuaian
antara biaya yang dikeluarkan dengan biaya yang telah
ditetapkan?
a. Tidak sesuai 1
b. Kurang sesuai 2
c. Sesuai 3
d. Sangat sesuai 4
12 Bagaimana pendapat Bapak/Ibu tentang ketepatan
waktu pelaksanaan terhadap jadwal waktu pelayanan?
a. Tidak tepat waktu 1

168 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


b. Kurang tepat waktu 2
c. Tepat waktu 3
d. Sangat tepat waktu 4
13 Bagaimana pendapat Bapak/Ibu tentang kenyamanan
di lingkungan kerja pelayanan?
a. Tidak nyaman 1
b. Kurang nyaman 2
c. Nyaman 3
d. Sangat nyaman 4
14. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu tentang keamanan
pelayanan?
a. Tidak aman 1
b. Kurang aman 2
c. Aman 3
d. Sangat aman 4

Pengolahan Data
Metode Pengolahan Data
Nilai IKM dihitung dengan menggunakan “nilai rata-rata
tertimbang” masing-masing unsur pelayanan. Dalam penghitungan
indeks kepuasan masyarakat terhadap 14 unsur pelayanan yang
dikaji, setiap unsur pelayanan memiliki penimbang yang sama
dengan rumus sebagai berikut:

Jumlah bobot 1
Bobot nilai rata - rata = = = 0,071
Jumlah unsur 14

Untuk memperoleh nilai IKM unit pelayanan digunakan


pendekatan nilai rata-rata tertimbang dengan rumus sebagai berikut:
Total dari nilai persepsi per unsur nilai
IKM = ×
Total unsur yang terisi penimbang

Untuk memudahkan interpretasi terhadap penilai IKM yaitu


antara 25 – 100 maka hasil penilaian tersebut di atas dikonversikan
dengan nilai dasar 25, dengan rumus sebagai berikut:
IKM Unit Pelayanan × 25

PELAYANAN PUBLIK 169


Menghitung unit pelayanan mempunyai karakteristik yang
berbeda-beda, maka setiap unit pelayanan dimungkinkan untuk:
a. Menambah unsur yang dianggap relevan.
b. Memberikan bobot yang berbeda terhadap 14 (empat belas) unsur
yang dominan dalam unit pelayanan, dengan catatan jumlah bobot
seluruh unsur tetap 1.

Tabel : Nilai Persepsi, Interval IKM, Interval Konversi IKM, Mutu


Pelayanan dan Kinerja Unit Pelayanan

Nilai Nilai Interval


Nilai Mutu Kinerja Unit
Interval Konversi
Persepsi Pelayanan Pelayanan
IKM IKM
1 1,00-1,75 25-43,75 D Tidak baik
2 1,76-2,50 43,76-62,50 C Kurang baik
3 2,51-3,25 62,51-81,25 B Baik
4 3,26-4,00 81,26-100,00 A Sangat Baik

Contoh:
Apabila diketahui nilai rata-rata unsur dari masing-masing unit
pelayanan adalah sebagaimana tabel berikut:
NILAI UNSUR
No. UNSUR PELAYANAN
PELAYANAN
1 Prosedur pelayanan 3,42
2 Persyaratan pelayanan 2,65
3 Kejelasan petugas pelayanan 3,53
4 Kedisiplinan petugas pelayanan 2,31
5 Tanggungjawab petugas pelayanan 1,55
6 Kemampuan petugas pelayanan 3,12
7 Kecepatan pelayanan 2,13
8 Keadilan mendapatkan pelayanan 2,43
9 Kesopanan dan keramahan petugas 3,21
10 Kewajaran biaya pelayanan 1,45
11 Kepastian biaya pelayanan 1,93
12 Kepastian jadwal pelayanan 2,31
13 Kenyamanan lingkungan 3,03
14 Keamanan pelayanan 1,56

170 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


Maka untuk mengetahui nilai indeks unit pelayanan dihitung dengan
cara sebagai berikut:
(3,45 x 0,071) + (2,65 x 0,71) + (3,53 x 0,071) + (2,31 x 0,071)
(1,55 x 0,071) + (3,12 x 0,71) + (2,13 x 0,071) + (2,43 x 0,071)
(3,21 x 0,071) + (1,45 x 0,71) + (1,93 x 0,071) + (2,31 x 0,071)
(3,03 x 0,071) + (1,56 x 0,71) = Nilai indeks adalah 2,462

PENGELOLAAN INDEKS KEPUASAN


MASYARAKAT PER RESPONDEN DAN PER
UNSUR PELAYANAN

UNIT PELAYANAN : …………………………………………………….


ALAMAT : …………………………………………………….
: Tlp/Fax ………………………………………...

NOMOR NILAI PER UNSUR PELAYANN


URUT
U1 U2 U3 U4 U5 U6 U7 U8 U9 U10 U11 U12 U13 U14
RESPONDEN
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Jml Nilai Rata-
Rata Per Unsur
NRR Per Unsur
= Jml Nilai Per
Unsur bagi Jml
Kuesioner
yang Terisi
NRR
Tertimbang

PELAYANAN PUBLIK 171


Per Unsur =
NRR Per Unsur
X 0.071
KM Unit
Pelayanan

Keterangan:
• U1 s.d. U14 = unsur pelayanan
• NRR = Nilai rata-rata
• IKM = Indeks kepuasan masyarakat
• I) = Jumlah NRR IKM TERTIMBANG
• II) = IKM UNIT PELAYANAN

172 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


8
ADMINISTRASI KEPEGAWAIAN NEGARA

A. SISTEM ADMINISTRASI KEPEGAWAIAN NEGARA

Konsep sistem
Istilah sistem berasal dari kata Yunani "Systema" yang
mempunyai pengertian yaitu: (1) suatu keseluruhan yang tersusun
dari sekian banyak bagian. (2) Hubungan yang berlangsung di antara
satuan-satuan atau komponen secara teratur. Amirin (1992:1),
mengatakan bahwa sistem adalah sehimpunan bagian atau
komponen yang saling berhubungan secara teratur dam merupakan
satu keseluruhan. Definisi Sistem dapat diketahui lebih jelas dengan
menjawab pertanyaan berikut: (1) Apa saja yang menjadi unsur-
unsur sistem? Unsur-unsur sistem dapat berupa sekelompok orang,
mesin, sejumlah fasilitas dan seperangkat pedoman. (2) Apakah
tujuan sistem itu? Sistem bertujuan menghasilkan produk atau jasa
dengan sejumlah dan jenis tertentu, mengurangi ketidakpastian
dalam pembuatan keputusan atau mencapai tujuan tertentu. (3) Apa
yang dilakukan untuk mencapai tujuan? Tujuan dicapai dengan
kegiatan tertentu, misalnya memroses sesuatu, atau menyusun
struktur, dan atau prosedur memroses. (4) Apakah yang diproses
oleh sistem? yang diproses dapat berupa data, bahan-bahan atau
gabungan data dan bahan. (5) Apa yang dihasilkan oleh proses itu?
Jika yang diproses adalah data, maka hasilnya informasi. Jadi
tergantung dari apa yang diproses. (6) Apa keberhasilan proses
tersebut? Keberhasilan proses dapat diukur dari sudut waktu, tenaga,

ADMINISTRASI KEPEGAWAIAN NEGARA 173


pikiran, materi, akan tetapi biasanya tergantung dari tujuan yang
hendak dicapai.
Gibson (1996:41), mengatakan bahwa teori sistem adalah
merupakan suatu pendekatan dalam menganalisis perilaku organisasi
yang menekankan pada mempertahankan elemen dasar masukan,
proses, keluaran dan mengadaptasi terhadap lingkungan yang lebih
luas yang menopang organisasi. Teori sistem kata Gibson
memungkinkan kita menjelaskan perilaku organisasi baik internal
maupun eksternal. Teori sistem dalam konteks organisasi adalah satu
elemen dari sejumlah elemen yang berinteraksi secara independensi.
Aliran masukan dan keluaran adalah dasar dan titik awal dalam
menjelaskan organisasi. Akan tetapi yang dimaksudkan sistem dalam
konteks ini adalah sistem kepegawaian negara, yaitu bagaimana
menerima pegawai sebagai input, kemudian bagaimana
mengembangkan pegawai sebagai proses, dan bagaimana kinerja
pegawai tersebut sebagai output organisasi.

Konsep Administrasi Kepegawaian Negara


Pada dasarnya Administrasi Kepegawaian Negara (public
Personal Administration), merupakan salah satu cabang dari pada
administrasi negara yang membahas secara khusus mengenai
persoalan pegawai negara dan atau Pegawai Negeri Sipil yang
disingkat PNS. Nicholas Henry (988:286), mengatakan bahwa
Administrasi Kepegawaian Negara adalah pengurusan, pengaturan
dan atau manajemen tentang kebijakan publik untuk masyarakat luas
dan beberapa fihak yang berkepentingan dalam birokrasi pemerintah.
Selanjutnya definisi Administrasi Kepegawaian Negara menurut
Arifin Abdulrachman (1976:13), adalah "salah satu cabang dari
pada administrasi Negara yang bersangkutan dengan segala
persoalan Pegawai Negara.
Michael Armstrong (1987:13), mendefinisikan personel
management atau manajemen kepegawaian adalah: (1) bagaimana
memperoleh, mengembangkan dan memberi motivasi kerja kepada
pegawai yang diperlukan suatu organisasi untuk mencapai tujuan
organisasi tersebut, (2) bagaimana mengembangkan suatu struktur
dan iklim kerja, dan gaya manajemen organisasi agar diperoleh
kerjasama dan komitmen dalam organisasi, (3) bagaimana

174 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


mempergunakan skill dan kapasitas terbaik dari seluruh pegawai, (4)
bagaimana memenuhi tanggung jawab sosial dan hukum dari suatu
organisasi kepada pegawainya, terutama dalam kondisi dan kualitas
kerja yang diberikan kepada mereka.
Selanjutnya tujuan administrasi kepegawaian menurut
Mokhamad Syuhadhak (1996:4), yaitu: (1) penggunaan tenaga
kerja secara efektif dan efisien, (2) menciptakan, mengembangkan
suasana kerja dalam kerjasama, dan (3) mengusahakan perkem-
bangan yang maksimal bagi masing-masing individu yang
bekerjasama.
Oleh karena itulah, Manajemen Pegawai Negeri Sipil (MPNS)
perlu diatur secara menyeluruh, dengan menerapkan norma, standar,
dan prosedur yang seragam dan tetap dalam menerapkan formasi,
pengadaan, pengembangan, penetapan gaji dan program
kesejahteraan, serta pemberhentian yang merupakan unsur dalam
manajemen pegawai negeri sipil pusat maupun pegawai negeri sipil
daerah. Adanya keseragaman tersebut, diharapkan dapat diciptakan
kualitas PNS yang seragam di seluruh Indonesia. Di samping
memudahkan penyelenggaraan manajemen kepegawaian, manaje-
men yang seragam dapat pula mewujudkan perlakuan dan jaminan
kepastian hukum bagi seluruh pegawai negeri.

Beberapa Definisi
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43
Tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 8 Tahun
1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, dikutip beberapa
pengertian untuk menyamakan persepsi dan interpretasi tentang
istilah-istilah kepegawaian sebagai berikut.
1. Pegawai Negeri adalah “setiap warga negara Republik
Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat
oleh pejabat yang berwewenang dan diserahi tugas negara
lainnya dan digaji berdasarkan perundang-undangan yang
berlaku". Pegawai Negeri terdiri atas: (1) Pegawai Negeri Sipil, (2)
Anggota Tentara Nasional Indonesia; dan (3) Anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia. Sedangkan Pegawai Negeri Sipil
terbagi dua, yaitu: (1) Pegawai Negeri Sipil Pusat, (2) Pegawai
Negeri Sipil Daerah.

ADMINISTRASI KEPEGAWAIAN NEGARA 175


2. Pegawai Negeri Sipil Pusat disingkat (PNSP) adalah "pegawai
negeri sipil yang gajinya dibebankan pada Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) dan bekerja pada Departemen,
Lembaga Pemerintah Non-Departemen, Kesekretariatan Lembaga
Tertinggi/ Tinggi Negara, Instansi vertikal di Daerah Provinsi,
Kabupaten, Kota, Kepaniteraan pengadilan, atau dipekerjakan
untuk menyelenggarakan tugas Negara lainnya".
3. Pegawai Negeri Sipil Daerah disingkat (PNSD) adalah
"pegawai negeri sipil Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota yang
gajinya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) dan bekerja pada Pemerintah daerah, atau
dipekerjakan di luar instansi induknya".
4. Pegawai Tidak Tetap disingkat (PTT) adalah "pegawai yang
diangkat untuk jangka waktu tertentu guna melaksanakan tugas
pemerintah dan pembangunan yang bersifat teknis profesional
dan administrasi sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan
organisasi. Pegawai tidak tetap tidak berkedudukan sebagai
pegawai negeri".
5. Pejabat Negara adalah "pimpinan dan anggota lembaga
tertinggi/ tinggi Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar 1945 dan pejabat negara lainnya ditentukan oleh
Undang-Undang".
6. Pejabat menurut Thoha (2005:2), adalah orang yang
menduduki jabatan tertentu dalam birokrasi pemerintah. Thoha
mengatakan bahwa pejabat sangat menentukan, karena segala
urusan yang berhubungan dengan jabatan itu maka orang yang
berada dalam jabatan itu yang menentukan.
7. Jabatan adalah "kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung
jawab, wewenang dan hak seseorang PNS dalam suatu satuan
organisasi negara. Sedangkan jabatan dalam lingkungan birokrasi
pemerintah adalah jabatan karier". Menurut Thoha (2005:3),
mengatakan bahwa jabatan tersebut disusun dalam tatanan
hirarki dari atas ke bawah. Jabatan yang berada di hirarki atas
mempunyai kekuasaan yang lebih besar ketimbang jabatan yang
berada di tatanan bawah. Selanjutnya Taliziduhu Ndraha
(2002:180), mengatakan bahwa jabatan adalah satuan dan
mewakili organisasi.

176 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


8. Jabatan Negeri adalah "jabatan dalam bidang eksekutif yang
ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan,
termasuk di dalamnya jabatan kesekretariatan lembaga tertinggi
atau tinggi negara dan kepaniteraan pengadilan".
9. Jabatan Karier adalah "jabatan dalam lingkungan birokrasi
pemerintah yang hanya dapat diduduki oleh PNS atau Pegawai
Negeri yang telah beralih status sebagai PNS". Jabatan karier
dapat dibedakan 2 (dua) jenis yaitu jabatan struktur dan jabatan
fungsional.
10. Jabatan Struktural adalah "jabatan yang secara tegas ada
dalam struktur organisasi". Taliziduhu Ndraha (2002:180),
mengatakan bahwa jabatan struktural adalah jabatan yang
menunjukkan suatu posisi formal di dalam suatu organisasi.
11. Jabatan Fungsional adalah "yang secara tidak tegas disebutkan
dalam struktur organisasi, tetapi dari sudut fungsinya diperlukan
oleh organisasi, seperti Peneliti, Dokter, Pustakawan dan lain-lain
yang serupa dengan itu".

Manajemen Pegawai Negeri Sipil adalah “keseluruhan


upaya-upaya untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas dan derajat
profesionalisme penyelenggaraan tugas, fungsi dan kewajiban, yang
meliputi perencanaan, pengadaan, pengembangan kualitas, penem-
patan, promosi, penggajian, kesejahteraan dan pemberhentian”.
Manajemen PNS diarahkan untuk menjamin penyelenggaraan tugas
pemerintahan dan pembangunan secara berdaya guna dan berhasil
guna.
Sistem administrasi kepegawaian pada dasarnya merupakan
rangkaian kegiatan berupa: (1) Kegiatan rekrutmen PNS (2) Sistem
penggajian PNS, (3) Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan, (4)
Pengangkatan dalam Pangkat dan Jabatan, (5) Pendidikan dan
Pelatihan, (6) Pemberhentian dan Pensiun.

B. REKRUTMEN PNS

Eugene McKenna & Nic Beech (1995:119), mengatakan


bahwa rekrutmen merupakan proses penarikan sekelompok kandidat
untuk mengisi posisi yang lowong. Sedangkan Edwin B. Flippo
(1992:152), mengatakan bahwa rekrutmen adalah proses mencari

ADMINISTRASI KEPEGAWAIAN NEGARA 177


calon pegawai dan merangsang mereka untuk melamar pekerjaan
dalam organisasi bersangkutan. Siagian (2002:102-103),
mengatakan bahwa rekrutmen adalah proses mencari, menemukan,
dan menarik para pelamar untuk dipekerjakan dalam dan oleh suatu
organisasi. Ambar Teguh Sulistiyani (2003:133), mengatakan
bahwa rekrutmen adalah sebagai proses mencari menemukan dan
menarik pelamar untuk menjadi pegawai pada dan oleh organisasi
tertentu. Sedangkan Ales. Nitisemito (1996:31), mengatakan
seleksi adalah menetapkan syarat apa yang diperlukan untuk
jabatan-jabatan tertentu, yang selanjutnya instansi menarik pegawai
dari sumber-sumber tenaga kerja.
Kegiatan rekrutmen PNS meliputi kegiatan perencanaan
kebutuhan pegawai, analisis jabatan, formasi dan pengadaan
pegawai.

Perencanaan Kebutuhan Pegawai


Syuhadhak (1996:40), mengatakan bahwa perencanaan kebu-
tuhan pegawai adalah suatu proses yang sistematis dan kontinu
untuk menganalisis kebutuhan sumber daya manusia bagi suatu
organisasi, dalam kondisi dan kebijakan personalia yang berkembang
untuk efektivitas organisasi jangka panjang.
Perencanaan PNS perlu bagi suatu organisasi agar organisasi
tersebut tidak mengalami hambatan dalam mencapai tujuannya
dalam rangka menghadapi pengaruh-pengaruh perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Perencanaan PNS dalam suatu organisasi
tidaklah statis, karena perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, kebutuhan, lingkungan selalu berubah-ubah, maka peren-
canaan PNS harus dapat mengakomodasi setiap gerak perubahan
tersebut, bila organisasi tersebut tidak mau ketinggalan.
Dalam suatu instansi, pegawai yang harus menyusun
perencanaan PNS ialah pimpinan atau manajer. Karena pada
dasarnya pimpinan atau manajer dalam bidang kepegawaian yang
bertanggungjawab beserta seluruh unsur lainnya yang ada dalam
instansi tersebut. Hal ini dapat dipahami karena perencanaan PNS
dilaksanakan untuk menunjang kegiatan operasional yang semakin
meningkat dalam instansi.

178 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


Manfaat Perencanaan
Manfaat perencanaan PNS yaitu: (1) PNS yang sudah ada dapat
lebih diberdayakan atau lebih dioptimalkan dalam melaksanakan
suatu pekerjaan. jika sudah diketahui jumlah PNS, pendidikan,
pengalaman kerja, masa kerja, keterampilan khususnya, maka akan
lebih mudah untuk melakukan promosi, mutasi dan demosi. (2)
Kebutuhan PNS masa akan datang dapat dengan cepat diketahui.
Jika data kuantitas dan kualitas pegawai sudah diketahui. Suatu
ketika ada pegawai yang pensiun, pindah, maka dengan cepat dapat
melakukan pengisian PNS yang dibutuhkan. (3) Data PNS selalu
tersedia karena perencanaan PNS idealnya berisi: Jumlah PNS yang
ada, masa kerja, tingkat pendidikan, keahlian, golongan atau pangkat
jabatan, status perkawinan, jumlah keluarga dan pegawai yang akan
memasuki masa pensiun. (4) Dapat dijadikan sebagai pijakan untuk
menyusun program-program pengembangan PNS. Dengan data yang
lengkap tentang PNS, maka lebih mudah untuk mengikutsertakan
pegawai dalam mengikuti pendidikan dan latihan yang sesuai dengan
kebutuhan instansi, agar kinerja PNS yang ada akan dapat lebih
ditingkatkan.

Analisa Pekerjaan
Pada dasarnya analisa pekerjaan merupakan manajemen
Pegawai Negeri Sipil (MPNS) yang harus selalu dilakukan dalam
rangka menyusun kebutuhan MPNS. Rencana kebutuhan PNS akan
dapat dilaksanakan dengan tepat bila sebelumnya sudah dilakukan
analisis pekerjaan yang tepat pula dalam suatu instansi.
Istilah analisis pekerjaan berasal dari bahasa Inggris Job
Analysis. Karena itu ada pula menyebutnya dengan istilah analisis
jabatan atau analisis tugas. Namun dalam buku ini digunakan analisis
pekerjaan sebagai pengganti job analysis. Analisis pekerjaan
merupakan proses pengumpulan, mengkaji semua jenis pekerjaan
yang terdapat dalam suatu instansi.
Untuk menyamakan persepsi dan interpretasi tentang informasi
yang dapat diperoleh dalam perencanaan, maka dikutip beberapa
pendapat oleh para ahli tentang perencanaan sebagai berikut.
Michael J. Jucius dalam Saydam (1996:27), mengatakan
bahwa untuk analisa pekerjaan diperlukan informasi tentang: (1)

ADMINISTRASI KEPEGAWAIAN NEGARA 179


Nama pekerjaan, (2) Jumlah pegawai yang ada dalam pekerjaan itu,
(3) Sarana dan prasarana yang dipergunakan dalam pekerjaan itu.
(4) Posisi dalam unit kerja, (5) Jam kerja dan tingkat kompensasi
yang diberikan, (6) Kondisi kerja (fisik dan sosial), (7) Jenis-jenis
kewajiban, (8) Syarat-syarat pendidikan dan pelatihan, (9)
Kecakapan, bakat dan kemampuan yang diperlukan, (10) Jenjang
promosi dan mutasi.
O' Glenn Stahl dalam Saydam (1996:27), menyebutkan ada
tiga jenis informasi yang diperoleh untuk menyusun analisis
pekerjaan yaitu: (1) Kewajiban yang harus dilaksanakan, (2)
Tanggungjawab yang harus dipikul, (3) Pengetahuan keterampilan
yang diperlukan harus dimiliki untuk melakukan kewajiban itu.
Cara memperoleh informasi menurut Saydam (1996:28), Ada
tiga cara yaitu: (1) Pegawai yang telah berpengalaman melaksanakan
pekerjaan itu. (2) Orang lain yang mengetahui seluk beluk pekerjaan
itu. (3) Para pemerhati yang berpengalaman dalam mengamati
pekerjaan yang sedang berlangsung.
Keterbatasan yang dimiliki oleh organisasi, maka nantinya cara
memperoleh informasi tersebut mempunyai kelebihan dan
kelemahan. Oleh sebab itu, penerapannya dilakukan sesuai dengan
situasi kondisi yang dihadapi. Oleh karena itu, cara pelaksanaannya
perlu dikombinasikan dari berbagai cara sehingga ia dapat saling
mengisi.
Dengan demikian analisis pekerjaan merupakan kegiatan peng-
kajian secara lebih mendalam tentang setiap tugas atau pekerjaan
sehingga tergambar pula persyaratan yang diperlukan bagi PNS yang
akan melaksanakan tugas tersebut. Sedangkan hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam menyusun analisis pekerjaan tersebut, menurut
Moekijat (1989), yaitu bahwa analisis pekerjaan itu harus: (1)
Memuat semua fakta yang berkaitan dengan pekerjaan, (2)
Memberikan informasi yang diperlukan untuk berbagai keperluan. (3)
Analisis pekerjaan harus pula sering dikaji kembali untuk disesuaikan
dengan situasi, (4) Analisis pekerjaan harus memberikan informasi
lengkap, tepat dan dapat dipercaya kebenarannya.
Analisis pekerjaan yang sudah dibuat, tidak mungkin
mengandung data yang dapat berlaku sepanjang masa. Sebaiknya
selalu diperbaharui, karena kondisi pekerjaan tidak statis, keadaan

180 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


lingkungan selalu berkembang terus dan tingkat kebutuhan
masyarakat selalu meningkat. Semua tuntutan perubahan ini harus
direspon oleh suatu instansi yang tidak ingin ketinggalan zaman atau
ditinggalkan masyarakat. Untuk menjawab tantangan ini perlu
dilakukan penyempurnaan metode-metode kerja atau prosedur-
prosedur tetap (protap) kerja yang selama ini mungkin tidak sesuai
lagi dengan keadaan sekarang.
Analisis pekerjaan memuat hal-hal berkaitan dengan uraian
pekerjaan (Job Description), persyaratan pekerjaan (Job
Specification). Persyaratan pekerjaan ini disebut juga persyaratan
pegawai. Di dalamnya termuat persyaratan-persyaratan kemampuan
yang harus dipenuhi oleh pegawai untuk melakukan pekerjaan yang
terdapat dalam uraian pekerjaan. Dengan demikian analisis pekerjaan
menyediakan informasi yang bermanfaat untuk dijadikan acuan
dalam penanganan PNS, penempatan pegawai, perumusan pekerjaan
baru, pengadaan diklat, perbaikan kompensasi yang cocok.
Karena itu, di setiap organisasi perlu dilakukan analisis
pekerjaan, apalagi organisasi yang mempunyai banyak pegawai harus
disusun: (1) Siapa mengerjakan apa, (2) Siapa bertanggungjawab
kepada siapa, (3) Siapa mengawasi siapa. Dengan demikian, akan
diperoleh suatu kejelasan yang meningkatkan efisiensi dan efektivitas
suatu organisasi.
Analisis pekerjaan perlu dilakukan secara periodik bila memang
kondisi mendesak untuk melakukan perbaikan namun Dale Yoder
dalam Saydam (1996), mengatakan bahwa analisis pekerjaan perlu
dilakukan segera bila ada: (1) Pengadaan pegawai baru dengan
beban kerja mungkin berubah dibandingkan dengan yang dilakukan
dan pada waktu-waktu yang lampau. (2) Terjadi reorganisasi
(perombakan organisasi) dalam menampung perkembangan keadaan
untuk memenuhi tuntutan pelayanan. (3) Terjadi penggunaan ilmu
dan teknologi baru dalam instansi dengan penggunaan perangkat-
perangkat yang berkapasitas besar, prosedur dan metode kerjanya
berlainan dengan perangkat-perangkat lama. (4) Dilakukan kebijakan
optimalisasi besar-besaran di kalangan pegawai atau ada rencana
manajemen untuk mengadakan mutasi (alih tugas) melalui penelitian.
Berdasarkan analisis pekerjaan yang sudah tersusun dengan
baik, akan dapat diketahui bahwa dalam suatu instansi terdapat

ADMINISTRASI KEPEGAWAIAN NEGARA 181


lowong/ formasi atau tidak. Oleh karena dapat diketahui bahwa ada
pekerjaan atau jabatan belum ada pegawai yang menanganinya,
sehingga terbuka kesempatan kerja (lowong) untuk menerima
pegawai baru. Demikian pula standar prestasi kerja akan dapat
diukur bila sebelumnya memang sudah ditentukan dalam analisis
pekerjaan.
Hal lain yang diperoleh dari analisis pekerjaan yaitu instansi
dapat melakukan penempatan pegawai yang tepat pada tempat yang
tepat. Karena berdasarkan analisis pekerjaan yang disusun, telah
memberi isyarat bahwa suatu pekerjaan mempersyaratkan pegawai
tertentu dalam artian, bahwa pegawai yang memenuhi kualifikasi
tersebutlah yang dapat diangkat untuk melaksanakan pekerjaan
dimaksud sehingga dalam hal ini teori The right man In the Right
Place (menempatkan orang yang tepat pada tempat yang tepat).
Tugas dalam analisis pekerjaan menurut Iain Maitland (1993),
antara lain: (1) Menganalisis pekerjaan, (2) Membuat uraian
pekerjaan; dan (3) Menetapkan spesifikasi pegawai.

Uraian Pekerjaan
Uraian pekerjaan sering pula disebut dengan uraian jabatan,
merupakan terjemahan dari bahasa Inggris “Job Description”. Dalam
bahasa sehari-hari jabatan diartikan sebagai tugas yang diemban
pegawai, sehingga pegawai yang mengembannya disebut “Pejabat”.
Dale Yoder dalam Saydam (1996), menyebutkan bahwa
uraian pekerjaan adalah semacam ikhtiar informasi sistematis yang
berasal dari catatan-catatan yang termuat dalam analisis pekerjaan.
Dari definisi di atas maka dapat diketahui bahwa uraian
pekerjaan berisi: (1) Berupa daftar tertulis tentang pekerjaan. (2)
Berisi kewajiban yang akan dilaksanakan, (3) Tanggungjawab
pelaksana.

Isi Uraian Pekerjaan


Menurut Moekijat (1989), faktor yang diuraikan dalam uraian
pekerjaan antara lain: (1) Pekerjaan yang dilakukan. (2)
Tanggungjawab yang dipikul, (3) Kecakapan atau keahlian yang
diperlukan, (4) Kondisi dan lokasi pekerjaan tersebut dilaksanakan,
(5) Syarat-syarat khusus yang diperlukan. Iain Maitland (1993),

182 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


menyebutkan bahwa uraian pekerjaan mengandung: (1) Tujuan
pekerjaan yang berisi sasaran yang dicapai dalam melaksanakan
pekerjaan, (2) Tugas yang dilaksanakan dalam pekerjaan, (3)
Tanggungjawab, merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan agar
tugas dapat terlaksana dengan baik.

Manfaat Uraian Pekerjaan


Manfaat uraian pekerjaan dikemukakan oleh Saydam
(1996:39), sebagai berikut: (1) Dapat memberi arahan tentang
pengetahuan, keterampilan dan pengalaman seseorang yang
diperlukan untuk menjalankan pekerjaan ketika mengikuti rekrutmen.
(2) Bila uraian pekerjaan dimuat dalam iklan, berguna bagi pencari
kerja untuk mengukur potensi diri sebelum yang bersangkutan
mengajukan lamaran. (3) Dapat digunakan sebagai bahan
wawancara ketika ujian seleksi. (4) Dapat digunakan untuk
mengembangkan pegawai, bila hasil pekerjaan belum sesuai dengan
yang diharapkan. (5) Dapat bermanfaat untuk menentukan besarnya
imbalan yang akan diberikan.

Persyaratan Pekerjaan
Persyaratan pekerjaan berkaitan erat dengan uraian pekerjaan.
Bila uraian pekerjaan dengan profil suatu pekerjaan, maka
persyaratan pekerjaan menonjolkan kriteria pegawai yang diperlukan
dalam melaksanakan pekerjaan itu sendiri. Persyaratan pekerjaan
biasa disebut spesifikasi pekerjaan atau spesifikasi jabatan. Istilah ini
merupakan terjemahan dari bahasa Inggris “Job Specification”.
Bahan untuk menyusun persyaratan pekerjaan ini diperoleh dari
hasil kajian tugas dan tanggungjawab yang terdapat dalam uraian
pekerjaan dan merumuskannya dengan kualifikasi pegawai yang
dibutuhkan agar mampu melaksanakan pekerjaan yang tersedia
dengan tepat.
Untuk menentukan persyaratan pekerjaan atau persyaratan
pegawai Alec Rodger dalam Saydam (1996:42), mengemukakan
ada faktor pribadi yang perlu diperhatikan yaitu: (1) Penampilan fisik,
(2) Kemampuan diri, (3) Sikap dan perilaku, (4) Minat, dan (5)
Kepribadian.

ADMINISTRASI KEPEGAWAIAN NEGARA 183


Penampilan fisik yang dikehendaki seperti: Penampilan diri, cara
berbicara, kesehatan, penglihatan, pendengaran, usia, jenis kelamin,
ras dan pembawaan yang dimiliki. Namun demikian tidak semua
persyaratan harus dipenuhi untuk setiap jenis pekerjaan. Kemam-
puan diri akan meliputi pendidikan, pelatihan, kualifikasi dan
pengalaman kerja yang kesemuanya masih perlu dirinci secara
khusus sehingga tidak membingungkan calon pegawai.
Intelegensi bersangkut paut dengan kecerdasan seseorang
sebagai salah satu persyaratan pegawai. Faktor intelegensi
merupakan faktor yang sulit diukur oleh seseorang yang bukan
ahlinya.
Sikap, minat dan kepribadian seorang juga merupakan atribut
yang bersifat abstrak. Namun kadang-kadang masih dapat dilihat
dalam situasi tertentu. Misalnya dalam hal minat dan kepribadian
lebih banyak dipengaruhi oleh pengalaman hidup semenjak kecil.
Karena itu sulit untuk diukur secara merata antara calon pegawai.
Namun dewasa ini sudah ada lembaga psikolog yang dapat
melakukan tes minat dan kepribadian.

Formasi
Formasi menurut Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999
tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974
tentang Pokok-pokok Kepegawaian pasal 15 ayat 1 dan 2, adalah
penentuan jumlah dan susunan pangkat PNS yang diperlukan untuk
melaksanakan tugas pokok yang ditetapkan oleh pejabat yang
berwewenang. Thoha (2007:27), mengatakan bahwa formasi adalah
jumlah dan susunan pangkat PNS yang diperlukan oleh suatu satuan
organisasi negara untuk mampu melaksanakan tugas pokok untuk
jangka waktu tertentu yang ditetapkan oleh menteri yang
bertanggungjawab dalam bidang penertiban dan penyempurnaan
aparatur negara.
Formasi ditetapkan berdasarkan perkiraan beban kerja dalam
jangka waktu tertentu dan mempertimbangkan macam-macam
pekerjaan, rutinitas pekerjaan, keahlian yang diperlukan untuk
melaksanakan tugas dan hal-hal lain yang mempengaruhi jumlah dan
SDM yang diperlukan.

184 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


Menurut Undang-undang Kepegawaian tersebut, faktor-faktor
yang mempengaruhi formasi, yaitu: (1) jenis, sifat dan beban kerja
yang dibebankan pada suatu organisasi serta jenjang dan jumlah
pangkat dan jabatan yang tersedia dalam suatu organisasi.
Berdasarkan PP Nomor 54 Tahun 2003 tentang perubahan atas
PP Nomor 97 Tahun 2000 tentang formasi PNS, pasal 2 dikatakan
bahwa formasi PNS secara nasional terdiri dari 2 (dua), yaitu (1)
formasi PNS pusat dan (2) formasi PNS daerah.
Penetapan dan persetujuan formasi PNS pusat dan PNS daerah
dilakukan berdasarkan usul dari pejabat pembina kepegawaian pusat
dan pejabat pembina kepegawaian daerah yang dikoordinasikan oleh
Gubernur.

Pengadaan Pegawai
Setelah kegiatan pelaksanaan perencanaan PNS dilaksanakan,
maka langkah selanjutnya ialah melaksanakan kegiatan pengadaan
PNS itu sendiri. Pengadaan PNS menurut Peraturan Pemerintah
Nomor 11 tahun 2002 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah
Nomor 98 Tahun 2000 tentang pengadaan PNS, adalah “proses
kegiatan yang dilakukan oleh suatu organisasi untuk mendapatkan
PNS yang mempunyai kemampuan untuk melaksanakan uraian
pekerjaan yang sudah ditentukan sebelumnya”.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2002
tersebut di atas, yang dimaksud dengan pengadaan Pegawai Negeri
Sipil adalah “kegiatan mengisi formasi yang lowong. Pengadaan PNS
bagi suatu organisasi dilakukan ketika ada lowongan pekerjaan.
Namun proses kegiatannya perlu dilakukan terus menerus, karena
kegiatan pengadaan memerlukan waktu yang lama. Dalam kegiatan
terus menerus ini perlu dilaksanakan mencari pegawai yang
memenuhi kualifikasi pekerjaan.
Bila sumber pengadaan dari dalam organisasi sendiri, maka
cara yang paling tepat adalah melalui catatan yang ada dalam arsip
kepegawaian, serta dari sistem informasi kepegawaian yang sudah
disusun sebelumnya. Sasaran pengadaan PNS dari dalam yaitu agar
organisasi dapat menempatkan orang yang tepat pada tempat yang
tepat (the right man in the right place). Dengan pengertian bahwa
pegawai yang diterima yaitu pegawai yang mempunyai kecakapan

ADMINISTRASI KEPEGAWAIAN NEGARA 185


dan kemampuan untuk melaksanakan pekerjaan tersebut, dengan
memperhatikan juga sikap mental dan wawasan yang dimiliki oleh
yang bersangkutan.
Sedangkan pengadaan pegawai dari luar organisasi yang biasa
disebut dengan perekrutan yaitu untuk mendapatkan pegawai baru
yang memiliki keterampilan khusus untuk melaksanakan pekerjaan
yang sudah disusun dalam analisis pekerjaan dan persyaratan
pegawai. Dengan demikian, ketepatan pengadaan PNS amat
ditentukan oleh keabsahan analisis pekerjaan, uraian pekerjaan serta
persyaratan pekerjaan. Karena itu dikatakan bahwa pengadaan PNS
saling tergantung dengan kegiatan perencanaan PNS yang sudah
ditentukan sebelumnya.

Persyaratan
Syarat yang harus dipenuhi oleh setiap pelamar adalah: (1)
Warga Negara Indonesia (WNI). (2) Berusia serendah-rendahnya 18
(delapan belas) tahun dan setinggi-tingginya 35 (tiga puluh lima)
tahun. (3) tidak pernah dihukum penjara atau kurungan berdasarkan
putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap,
karena melakukan suatu tindak pidana kejahatan. (4) Tidak pernah
diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri atau tidak
dengan hormat sebagai PNS, atau diberhentikan tidak dengan hormat
sebagai pegawai swasta. (5) Tidak berkedudukan sebagai calon/PNS.
(6) Mempunyai pendidikan, kecakapan, keahlian dan keterampilan
yang diperlukan. (7) Berkelakuan baik. (8) Sehat jasmani dan rohani,
(9) Bersedia ditempatkan di seluruh wilayah negara Republik
Indonesia atau negara lain yang ditentukan oleh pemerintah. (10)
syarat lain yang ditentukan dalam persyaratan jabatan.

Pengangkatan Calon Pegawai Negeri Sipil


Pelamar yang dinyatakan lulus ujian penyaringan/seleksi wajib
menyerahkan kelengkapan administrasi untuk diangkat menjadi CPNS
disampaikan oleh pejabat pembina Kepegawaian kepada Badan
Kepegawaian Negara (BKN) untuk mendapatkan Nomor Identitas
Pegawai (NIP) Negeri Sipil.
Pengangkatan CPNS ditetapkan dengan keputusan pejabat
pembina Kepegawaian dan dilakukan dalam anggaran belanja dan

186 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


penetapannya tidak boleh berlaku surut. Berlaku surut yang
dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 98 Tahun 2000 adalah
apabila penetapannya pada bulan yang sedang berjalan, akan mulai
berlakunya pada tanggal 1 (satu bulan berikutnya).

Golongan
Golongan ruang yang ditetapkan untuk pengangkatan sebagai
CPNS adalah: (1) Golongan ruang Ia bagi yang saat melamar
serendah-rendahnya memiliki dan menggunakan surat Tanda Tamat
Belajar (STTB) Ijazah Sekolah Dasar atau setingkat. (2) Golongan
ruang Ic bagi yang saat melamar serendah-rendahnya memiliki dan
menggunakan STTB/Ijazah SLTP atau yang sederajat. (3) Golongan
ruang IIa bagi yang saat melamar serendah-rendahnya memiliki dan
menggunakan STTB/Ijazah SLTA atau yang sederajat. (4) Golongan
ruang IIb bagi yang saat melamar serendah-rendahnya memiliki dan
menggunakan STTB/Ijazah Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa atau
Diploma II. (5) Golongan ruang IIc bagi yang saat melamar
serendah-rendahnya memiliki dan menggunakan Ijazah Sarjana Muda
atau Diploma III. (6) Golongan ruang IIIa bagi yang saat melamar
serendah-rendahnya memiliki dan menggunakan Ijazah sarjana (S1)
atau Diploma IV. (7) Golongan ruang IIIb bagi yang saat melamar
serendah-rendahnya memiliki dan menggunakan Ijazah Apoteker,
dan Ijazah lain yang setara dengan Magister (S2) atau Ijazah
Spesialis I. (8) Golongan ruang IIIc bagi yang saat melamar
serendah-rendahnya memiliki dan menggunakan Ijazah Doktor (S3)
atau Ijazah Spesialis II.
Ijazah yang dimaksud di atas adalah ijazah yang diperoleh dari
sekolah atau perguruan tinggi negeri dan/atau ijazah yang diperoleh
dari sekolah atau perguruan tinggi swasta yang terakreditasi oleh
menteri yang bertanggungjawab di bidang pendidikan nasional atau
pejabat lain yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku berwewenang menyelenggarakan pendidikan.
Ijazah yang diperoleh dari sekolah atau perguruan tinggi di luar
negeri hanya dapat dihargai apabila telah diakui dan ditetapkan sede-
rajat dengan Ijazah dari sekolah atau perguruan tinggi yang
ditetapkan Menteri Pendidikan Nasional atau Pejabat lain yang

ADMINISTRASI KEPEGAWAIAN NEGARA 187


berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
berwewenang menyelenggarakan pendidikan.
CPNS berhak atas gaji, mulai berlaku pada tanggal yang
bersangkutan secara nyata melaksanakan tugasnya dinyatakan
dengan surat pernyataan oleh kepala kantor/satuan organisasi yang
bersangkutan.
Masa kerja yang diperhitungkan penuh untuk penetapan gaji
pokok pengangkatan pertama adalah: (1) selama menjadi CPNS,
kecuali selama menjalankan cuti di luar tanggungan Negara, (2)
selama menjadi pejabat Negara, (3) selama menjalankan kewajiban
untuk membela Negara, (4) selama menjalankan tugas
pemerintahan, (5) selama menjadi pegawai/karyawan perusahaan
milik pemerintah.

Pengangkatan CPNS Menjadi PNS


CPNS yang telah menjalankan masa percobaan sekurang-
kurangnya 1 (satu) tahun dan paling lama 2 (dua) tahun diangkat
menjadi PNS oleh pejabat Pembina Kepegawaian dalam jabatan dan
pangkat tertentu, apabila: (1) setiap unsur penilaian prestasi kerja
sekurang-kurangnya bernilai baik, (2) telah memiliki syarat kesehatan
jasmani dan rohani untuk diangkat menjadi PNS, dan (3) telah lulus
pendidikan dan pelatihan prajabatan.
CPNS yang meninggal dunia, diangkat menjadi PNS terhitung
mulai awal bulan bersangkutan dinyatakan meninggal. Sedangkan
CPNS yang cacat karena dinas, yang oleh tim penguji kesehatan
dinyatakan tidak dapat bekerja lagi dalam semua jabatan negeri
diangkat menjadi PNS terhitung mulai tanggal Surat Keterangan Tim
Penguji Kesehatan yang bersangkutan.

Pemberhentian CPNS
CPNS dapat diberhentikan menurut PP No. 11 Tahun 2002
apabila: (1) mengajukan permohonan berhenti; (2) tidak memenuhi
syarat kesehatan; (3) tidak lulus pendidikan dan pelatihan
prajabatan; (4) tidak menunjukkan kecakapan dalam melaksanakan
tugas; (5) menunjukkan sikap dan budi pekerti yang tidak baik yang
dapat mengganggu lingkungan pekerjaan, (6) pada waktu melamar
dengan sengaja memberikan keterangan atau bukti yang tidak benar,

188 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


(7) dihukum penjara atau kurungan waktu berdasarkan keputusan
pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap
karena dengan sengaja melakukan sesuatu tindak pidana kejahatan
yang ada hubungannya dengan jabatan/tugasnya, (8) menjadi
anggota dan/atau pengurus partai politik, dan (9) 1 (satu) bulan
setelah diterimanya keputusan pengangkatan sebagai CPNS tidak
melapor dan melaksanakan tugas, kecuali bukan karena kesalahan
yang bersangkutan.

C. SISTEM PENGGAJIAN

Payaman J. Simanjuntak (1985:111), mengatakan bahwa


sistem penggajian di Indonesia pada umumnya mempergunakan gaji
pokok yang didasarkan pada kepangkatan dan masa kerja. Pangkat
seseorang umumnya didasarkan pada tingkat pendidikan dan penga-
laman kerja. Dengan kata lain, penentuan gaji pokok didasarkan
pada teori human capital, yaitu gaji atau upah pegawai diberikan
sebanding dengan tingkat pendidikan dan latihan yang dicapainya.
Sistem penggajian PNS dikenal adanya perpaduan antara
sistem skala tunggal dan sistem skala ganda. Skala tunggal adalah
sistem penggajian yang memberikan gaji yang sama kepada pegawai
yang berpangkat sama dengan tidak atau kurang memperhatikan
sifat pekerjaan yang dilakukan dan beratnya tanggungjawab yang
dipikul dalam melaksanakan pekerjaan itu. Skala ganda adalah sistem
penggajian yang menentukan besarnya gaji, bukan saja didasarkan
pada pangkat tetapi juga didasarkan pada sifat pekerjaan yang
dilakukan, prestasi kerja yang dicapai, dan tanggungjawab yang
dipikul dalam melaksanakan tugas.
Sistem penggajian PNS yang diterapkan di Indonesia ialah
gabungan sistem skala tunggal dan sistem skala ganda, yaitu gaji
pokok bagi PNS yang berpangkat sama diberikan gaji yang sama,
disamping itu diberikan tunjangan PNS yang berdasarkan penilaian
melaksanakan beban kerja yang lebih besar dan memikul
tanggungjawab yang lebih besar dibandingkan PNS yang memikul
beban kerja yang lebih kecil.
Sistem penggajian PNS dengan skala gabungan dapat dinikmati
oleh PNS yang menduduki jabatan struktural dan fungsional tertentu,

ADMINISTRASI KEPEGAWAIAN NEGARA 189


artinya selain gaji pokok yang sama dengan PNS lain sesuai dengan
kepangkatannya, kepada mereka juga diberikan tunjangan jabatan
struktural dan fungsional tertentu. Besarnya tunjangan yang diterima
tergantung dari tinggi rendahnya jabatan yang diembannya.
Selain tunjangan jabatan yang diberikan kepada PNS, juga
diberikan tunjangan keluarga. Tunjangan keluarga terdiri dari
tunjangan istri/ suami dan tunjangan anak. Besarnya tunjangan
istri/suami yaitu sebesar 5% dari gaji pokok, dan besarnya tunjangan
anak yaitu sebanyak 2% dari gaji pokok untuk tiap anak, dengan
jumlah anak sebanyak 2 orang. Tunjangan lain yang diberikan yaitu
tunjangan pangan dan tunjangan khusus untuk PNS tertentu.
Dalam sistem penggajian PNS tersebut juga diberikan Kenaikan
gaji berkala, tunjangan gaji berkala diberikan sekali setiap dua tahun
bagi semua PNS yang memenuhi syarat.

D. PENILAIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN

Penilaian prestasi Kerja pada dasarnya merupakan penilaian


hasil kerja yang dicapai oleh seorang pegawai, meliputi jumlah dan
mutu yang dihasilkan sesuai standar yang telah ditetapkan. Hasil
penilaian hasil kerja tersebut merupakan informasi bagi pimpinan
organisasi untuk mengevaluasi perencanaan kerja dan program-
program kerja yang akan dilaksanakan.
Penilaian pelaksanaan pekerjaan PNS dilakukan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 jo. PP 10 Tahun 1979 tentang
penilaian pelaksanaan pekerjaan PNS.
Penilaian tersebut tertuang dalam suatu daftar yang lazim
disebut DP-3 (Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan), yang berarti
suatu daftar yang memuat hasil penilaian pelaksanaan pekerjaan
seorang PNS dalam jangka waktu 1 (satu) tahun dan dibuat oleh
Penilai (pasal 1 huruf a PP tersebut). Sedangkan pejabat penilai
adalah atasan langsung PNS yang dinilai, dengan ketentuan
serendah-rendahnya kepala Urusan dan pejabat lain yang setingkat
dengan itu.
Unsur-unsur dinilai dalam penilaian pelaksanaan pekerjaan
yaitu: (1) kesetiaan, (2) prestasi kerja, (3) tanggungjawab, (4)

190 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


ketaatan, (5) kejujuran, (6) kerjasama, (7) prakarsa, dan (8)
kepemimpinan (Catatan dalam pasal 4 ayat 3 unsur kepemimpinan
hanya dinilai bagi PNS yang berpangkat Pengatur Muda Golongan
ruang II/a ke atas yang memangku jabatan).
Nilai pelaksanaan pekerjaan dinyatakan dengan sebutan dan
angka sebagai berikut: (1) Sangat Baik = 91 - 100, (2) Baik = 76 -
90, (3) Cukup = 61 - 75, (4) Sedang = 51 - 60, dan (5) Kurang = 50
ke bawah.

E. PANGKAT DAN JABATAN

Pangkat
Pangkat menurut Thoha (2007:37), adalah kedudukan yang
menunjukkan tingkat seseorang PNS dalam rangkaian susunan
kepegawaian dan digunakan sebagai dasar penggajian. Berdasarkan
PP Nomor 12 Tahun 2002 tentang perubahan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 99 Tahun 2000 tentang kenaikan pangkat PNS,
yang dimaksud kenaikan pangkat adalah "penghargaan yang
diberikan atas prestasi kerja dan pengabdian PNS yang bersangkutan
terhadap Negara. Selain itu, kenaikan pangkat juga dimaksudkan
sebagai dorongan kepada PNS untuk lebih meningkatkan prestasi
kerja dan pengabdiannya.
Kenaikan pangkat dalam PP tersebut di atas, terdiri 3 jenis
yaitu: (1) kenaikan pangkat regular, dan (2) kenaikan pangkat
pilihan, dan (3) kenaikan pangkat pengabdian.
Kenaikan pangkat regular diberikan kepada PNS termasuk
pegawai: (1) melaksanakan tugas belajar dan sebelumnya tidak
menduduki jabatan struktural atau jabatan fungsional tertentu, (2)
dipekerjakan secara penuh di luar instansi induk dan tidak menduduki
jabatan pimpinan yang telah ditetapkan eselonnya atau jabatan
fungsional tertentu. Kenaikan pangkat reguler diberikan kepada PNS
sepanjang tidak melampaui pangkat atasannya.
Kenaikan pangkat reguler diberikan setingkat lebih tinggi
apabila: (1) sekurang-kurangnya telah 4 (empat) tahun dalam
pangkat terakhir, dan (2) setiap unsur penilaian prestasi kerja
sekurang-kurangnya bernilai baik dalam 2 (dua) tahun terakhir.

ADMINISTRASI KEPEGAWAIAN NEGARA 191


Kenaikan pangkat Pilihan diberikan kepada PNS yang: (1)
menduduki jabatan struktural atau jabatan fungsional tertentu, (2)
menduduki jabatan tertentu yang pengangkatannya ditetapkan
dengan keputusan presiden, (3) menunjukkan prestasi kerja luar
biasa baiknya, (4) menemukan hal-hal baru yang bermanfaat bagi
negara, (5) diangkat menjadi pejabat negara, (6) memperoleh surat
tanda tamat belajar/ijazah, (7) melaksanakan tugas belajar dan
sebelumnya menduduki jabatan struktural atau jabatan fungsional
tertentu, (8) telah selesai mengikuti tugas belajar, dan (9)
dipekerjakan atau diperbantukan secara penuh di luar instansi
induknya yang diangkat dalam jabatan pimpinan yang telah
ditetapkan persamaan eselonnya atau jabatan fungsional tertentu.
PNS yang menduduki jabatan struktural dan pangkatnya masih
satu tingkat di bawah jenjang pangkat terendah yang ditentukan
jabatan itu, dapat dinaikkan pangkat setingkat lebih tinggi, apabila:
(1) telah 1 (satu) tahun dalam pangkat dimilikinya, (2) sekurang-
kurangnya telah 1 (satu) tahun dalam jabatan struktural yang
didudukinya, dan (3) setiap unsur penilaian prestasi kerja sekurang-
kurangnya bernilai baik dalam 2 (dua) tahun terakhir.
PNS yang meninggal dunia atau akan diberhentikan dengan
hormat dengan hak pensiun karena mencapai batas usia pensiun
diberikan kenaikan pangkat pengabdian setingkat lebih tinggi,
apabila: (1) memiliki masa kerja sebagai PNS selama: (a) sekurang-
kurangnya 30 (tiga puluh) tahun secara terus menerus dan sekurang-
kurangnya 1 (satu) bulan dalam pangkat terakhir, (b) sekurang-
kurangnya 20 (dua puluh) tahun secara terus menerus dan sekurang-
kurangnya telah 1 (satu) tahun dalam pangkat terakhir, dan (c)
sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun secara terus menerus dan
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dalam pangkat terakhir, (2) setiap
unsur penilaian prestasi kerja sekurang-kurangnya bernilai baik dalam
1 (satu) tahun terakhir. (3) Tidak pernah dijatuhi hukuman disiplin
sedang/berat dalam 1 (satu) tahun terakhir.
Kenaikan pangkat pengabdian tersebut di atas, diberikan, mulai
berlaku: (1) tanggal PNS yang bersangkutan meninggal dunia dan (2)
tanggal 1 (satu) pada bulan PNS yang bersangkutan diberhentikan
dengan hormat dengan hak pensiun.

192 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


Jabatan
Seseorang yang telah menjadi PNS terbuka kesempatan untuk
diangkat dalam jabatan tertentu. Sedangkan yang dimaksud jabatan
menurut UU No. 43 Tahun 1999 tentang Kepegawaian adalah kedu-
dukan yang menunjukkan tugas, tanggungjawab, wewenang dan hak
seorang PNS dalam suatu satuan organisasi negara. Jabatan dalam
lingkungan birokrasi pemerintah ialah jabatan karier. Selanjutnya
jabatan karier adalah jabatan dalam lingkungan birokrasi pemerintah
yang hanya diduduki oleh PNS atau pegawai negeri yang beralih
status sebagai PNS.
Berdasarkan UU kepegawaian, jabatan karier dibedakan dalam
dua jenis yaitu: (1) Jabatan struktural dan jabatan fungsional.

Jabatan Struktural
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2002
tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun
2000 tentang pengangkatan dalam jabatan struktural, yang dimaksud
jabatan struktural adalah suatu kedudukan yang menunjukkan tugas,
tanggungjawab, wewenang dan hak seorang PNS dalam rangka
memimpin suatu satuan organisasi negara. Sedangkan yang
dimaksud eselon adalah tingkatan jabatan struktural. Pola karier
adalah pola pembinaan PNS yang menggambarkan alur pengem-
bangan karier yang menunjukkan keterkaitan dan keserasian antara
jabatan, pangkat, pendidikan dan pelatihan jabatan, kompetensi,
serta masa jabatan PNS sejak pengangkatan pertama dalam jabatan
tertentu sampai pensiun.
Persyaratan untuk dapat diangkat dalam jabatan struktural
yaitu: (1) berstatus PNS, (2) serendah-rendahnya menduduki
peringkat 1 (satu) tingkat di bawah jenjang pangkat yang ditentukan,
(3) Memiliki kualifikasi dan tingkat pendidikan yang ditentukan, (4)
Semua unsur penilaian prestasi kerja sekurang-kurangnya bernilai
baik dalam 2 (dua) tahun terakhir, (5) memiliki kompetensi jabatan
yang diperlukan, (6) sehat jasmani dan rohani.
Selanjutnya dalam PP Nomor 13 Tahun 2002 tersebut di atas,
dijelaskan pula bahwa PNS yang menduduki jabatan struktural tidak
dapat menduduki jabatan rangkap, baik dengan jabatan struktural
maupun dengan jabatan fungsional.

ADMINISTRASI KEPEGAWAIAN NEGARA 193


Jabatan Fungsional
Jabatan fungsional menurut UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang
Kepegawaian adalah "yang secara tidak tegas disebutkan dalam
struktur organisasi, tetapi dari sudut fungsinya diperlukan oleh
organisasi, seperti Peneliti, Dokter, Pustakawan dan lain-lain yang
serupa dengan itu". Sedangkan dalam PP Nomor 16 Tahun 1994
tentang Jabatan Fungsional PNS, didefinisikan jabatan fungsional
adalah kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggungjawab,
wewenang dan hak seseorang PNS dalam suatu satuan organisasi
yang dalam pelaksanaan tugasnya didasarkan pada keahlian dan atau
keterampilan tertentu serta bersifat mandiri.
Jabatan fungsional terbagi lagi menjadi 2 (dua jenis yaitu (1)
jabatan fungsional keahlian dan (2) jabatan fungsional keterampilan.

F. PENDIDIKAN DAN LATIHAN (DIKLAT PNS)

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000


tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan PNS, yang dimaksud
dengan Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil yang
selanjutnya disebut Diklat adalah “proses penyelenggaraan belajar
mengajar dalam rangka meningkatkan kemampuan Pegawai Negeri
Sipil”. Sedangkan yang dimaksud Widyaiswara adalah "PNS yang
diangkat sebagai pejabat fungsional oleh pejabat yang berwewenang
dengan tugas, tanggung jawab, wewenang untuk mendidik,
mengajar, dan/atau melatih PNS pada lembaga Diklat Pemerintah".
Pengertian tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa yang
dimaksud dengan Diklat adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh
instansi untuk meningkatkan mutu, pengembangan sikap, perilaku,
keterampilan, dan pengetahuan pegawai sesuai kebutuhan suatu
organisasi.
Oleh karena itu, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun
2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan PNS disebutkan
bahwa tujuan pendidikan dan latihan adalah: (1) Meningkatkan
pengetahuan, keahlian, keterampilan, dan sikap untuk dapat
melaksanakan tugas jabatan secara profesional dengan dilandasi
kepribadian dan etika PNS sesuai dengan kebutuhan instansi, (2)
Menciptakan aparatur yang mampu berperan sebagai pembaharu dan

194 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


perekat persatuan dan kesatuan bangsa, (3) Memantapkan sikap dan
semangat pengabdian yang berorientasi pada pelayanan,
pengayoman dan pemberdayaan masyarakat, (4) Menciptakan
kesamaan visi dan dinamika pola pikir dalam melaksanakan tugas
pemerintahan umum dan pembangunan demi terwujudnya
kepemerintahan yang baik.
Sasaran Diklat adalah terwujudnya PNS yang memiliki
kompetensi yang sesuai dengan persyaratan jabatan masing-masing.
Pendidikan dan Latihan terbagi dua jenis, yaitu sebelum menjadi PNS
dan sesudah menjadi PNS atau sesudah penempatan dalam suatu
jabatan.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang
perubahan atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang pokok
Kepegawaian, dijelaskan bahwa pada intinya latihan jabatan dapat
dibagi 2 (dua), yaitu:
1. Latihan pra jabatan (pre service training) adalah suatu latihan
yang diberikan kepada CPNS, dengan tujuan agar ia dapat
terampil melaksanakan tugas yang akan dipercayakan kepadanya.
2. Latihan dalam jabatan (in service training) adalah suatu latihan
yang bertujuan untuk meningkatkan mutu, keahlian, kemampuan
dan keterampilan.
CPNS Wajib diikutsertakan dalam Diklat Prajabatan selambat-
lambatnya 2 (dua) tahun setelah pengangkatannya sebagai CPNS.
Karena CPNS wajib mengikuti dan lulus Diklat Prajabatan untuk dapat
diangkat menjadi PNS.

Jenis dan Tujuan Diklat


Jenis dan Diklat berdasarkan PP No. 101 Tahun 2000 tentang
Diklat, yaitu:
1. Diklat prajabatan, yaitu: (1) Diklat Prajabatan Golongan I untuk
menjadi PNS Golongan I, (2) Diklat Prajabatan Golongan II untuk
menjadi PNS Golongan II, (3) Diklat Prajabatan Golongan III
untuk menjadi PNS Golongan III. Diklat prajabatan dilaksanakan
untuk memberikan pengetahuan dalam rangka pembentukan
wawasan kebangsaan, kepribadian dan etika PNS, disamping
pengetahuan dasar tentang sistem penyelenggaraan
pemerintahan Negara, bidang tugas, dan budaya organisasinya

ADMINISTRASI KEPEGAWAIAN NEGARA 195


agar mampu melaksanakan tugas dan perannya sebagai pelayan
masyarakat.
2. Diklat Jabatan, yaitu: (1) Diklat kepemimpinan, (2) Diklat
Fungsional, dan (3) Diklat Teknis. Diklat Jabatan dilaksanakan
untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap
PNS agar dapat melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dan
pembangunan dengan sebaik-baiknya.
3. Diklatpim, yaitu: (1) Diklatpim Tingkat IV untuk jabatan Struktural
Eselon IV, (2) Diklatpim Tingkat III untuk jabatan Struktural
Eselon III, (3) Diklatpim Tingkat II untuk jabatan Struktural
Eselon II, (4) Diklatpim Tingkat I untuk jabatan Struktural Eselon
I. Diklat kepemimpinan yang selanjutnya disebut Diklatpim
dilaksanakan untuk mencapai persyaratan kompetensi
kepemimpinan aparatur yang sesuai dengan jenjang.
4. Diklat fungsional untuk masing-masing jabatan fungsional
ditetapkan oleh masing-masing instansi Pembina Jabatan
Fungsional yang bersangkutan. Diklat Fungsional dilaksanakan
untuk mencapai persyaratan kompetensi yang sesuai dengan
jenis dan jenjang Jabatan Fungsional masing-masing.
5. Diklat Teknis ditetapkan instansi masing-masing. Diklat Teknis
dilaksanakan untuk mencapai persyaratan kompetensi teknis yang
diperlukan untuk pelaksanaan tugas PNS.
Instansi Pembina Diklat yang selanjutnya disebut Instansi
Pembina yaitu LAN-RI yang secara Fungsional bertanggungjawab
atas pengaturan, koordinasi, dan penyelenggaraan Diklat. Hal ini di
atur dalam PP No. 101 Tahun 2000.

G. PEMBERHENTIAN DAN PENSIUN PNS

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 perubahan


atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Kepegawaian dijelaskan bahwa PNS dapat diberhentikan dengan
hormat dan tidak dengan hormat.
Pemberhentian dengan Hormat
PNS diberhentikan dengan hormat karena: (1) meninggal
dunia, (2) atas permintaan sendiri, mencapai batas usia pensiun, (3)

196 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


perampingan organisasi pemerintah, atau (4) tidak sehat jasmani
atau rohani sehingga tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
PNS.
Pemberhentian dengan Tidak Hormat
PNS diberhentikan dengan tidak hormat karena: (1) dihukum
penjara berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan
yang ancaman hukumannya 4 (empat) tahun atau lebih, dan (2)
melakukan pelanggaran disiplin pegawai sipil tingkat berat.
Selanjutnya diberhentikan dengan hormat dengan hak pensiun,
maka dalam keputusan pemberhentiannya ditetapkan sekaligus
pemberian pensiun janda/dudanya. Pemberhentian yang dimaksud
PP Nomor 9 Tahun 2003 adalah pemberhentian dengan hormat atau
tidak dengan hormat, antara lain karena: (1) atas permintaan sendiri,
(2) meninggal dunia, (3) hukuman disiplin, (4) perampingan
organisasi pemerintah, (5) menjadi anggota partai politik, (6)
Dipidana penjara, (7) dinyatakan hilang, (8) keuzuran jasmani, (9)
cacat karena dinas, dan (10) karena mencapai batas usia pensiun.
Pensiun
Sebagaimana telah ditetapkan dalam PP Nomor 9 Tahun 2003
tentang pemberhentian dan pemberian pensiun Pegawai Negeri Sipil
serta pemberian pensiun janda/dudanya dikemukakan bahwa pensiun
merupakan jaminan hari tua dan juga merupakan salah satu bentuk
penghargaan atas jasa-jasanya selama bekerja dalam dinas
pemerintah, karena itu proses pemberhentian, pemberian pensiun
dan bayarannya perlu diperlancar agar pensiun PNS serta janda/
dudanya dapat benar-benar diterima tepat pada waktunya.
Untuk dapat menerima uang pensiun, para pensiun: (PNS yang
pensiun, janda/dudanya, atau anak PNS yang bersangkutan) perlu
mendapat surat keputusan pensiun yang ditetapkan oleh kepala BKN
atau pejabat yang ditunjuk di lingkungan BKN, yang atas nama
pimpinan instansi pemerintah pusat ataupun daerah yang wewenang
menetapkan pemberhentian dengan hormat PNS yang berpangkat
pembina golongan ruang lV/a ke bawah. Penetapan pemberhentian
dan pemberian pensiun PNS serta penetapan pensiun janda/duda
PNS ditetapkan dalam satu surat keputusan bila pensiun PNS tersebut

ADMINISTRASI KEPEGAWAIAN NEGARA 197


meninggal dunia, artinya janda/dudanya dapat memakai surat
keputusan yang sama untuk menerima uang pensiun.
Sedangkan tujuan efektivitas, PP tersebut mengatur bahwa
dalam waktu tiga bulan sebelum seorang PNS dipensiunkan, maka
surat keputusan pensiun telah diterima oleh yang bersangkutan
disertai dengan tembusannya ke kantor pembayar pensiun. Dengan
telah diterimanya surat keputusan pensiun tersebut, maka
diharapkan tidak ada ke-vacuum-an pendapatan bagi yang
bersangkutan.
Pembayaran pensiun ini sama sekali tidak dikaitkan dengan
masalah administrasi penghentian pembayaran gaji, yang pada
dasarnya memang menjadi tugas pemerintah. Dengan demikian yang
perlu diwujudkan adalah pada saat PNS mulai pensiun ia tidak lagi
menerima gaji, tetapi sebaliknya, pada saat/bulan ia tidak lagi
menerima gaji, ia harus menerima pensiunnya.
Untuk mendukung kelancaran penetapan surat keputusan
pensiun melalui SEB tersebut diatur tata cara penetapan pemberian
pensiun PNS yang mencapai batas usia pensiun, yaitu sebagai
berikut: (1) BKN menyusun daftar nominatif (listing) dan DPCP (Data
Program Calon Penerima Pensiun) dari PNS yang akan mencapai
batas usia pensiun. (2) Daftar nominatif dan DPCP tersebut
disampaikan kepada masing-masing instansi 6 bulan dan 18 bulan
sebelum PNS yang bersangkutan mencapai batas usia pensiun. (3)
Daftar nominatif tersebut selain dikirim kepada pimpinan instansi,
juga dikirim kepada: (4) Kepada Kanwil Departemen atau Instansi
Vertikal. (5) Bupati atau Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II.
(6) Kepala Kanwil BKN. (7) Direksi PT TASPEN/PERUM ASABRI. (8)
Kepala KPN/KASMIL.
Pejabat yang berwenang di instansi masing-masing setelah
menerima daftar nominatif melakukan pemeriksaan, kemudian
apabila terdapat kekurangan dan perbedaan data menyampaikan
daftar nominatif tambahan perbedaan data kepada kepala BKN.
Perbedaan data bisa disebabkan karena: (1) Telah berhenti
sebagai PNS. (2) Telah meninggal dunia. (3) Telah pindah instansi.
(4) Dijatuhi hukuman disiplin berat berupa pemberhentian tidak
dengan hormat. (5) Sedang menjalani pemberhentian sementara
sebagai PNS.

198 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


Untuk kelancaran administrasi pensiun PNS, maka semua surat
keputusan atau surat keterangan mengenai nomor 1 sampai dengan
5 tersebut di atas harus dikirimkan kepada BKN.
Selain mekanisme penyampaian DPCP secara birokratis, para
PNS diwajibkan untuk mengembalikan DPCP dalam waktu dua
minggu setelah menerimanya dilengkapi dengan pas foto dan
kekurangan-kekurangan data yang lain kepada pejabat kepegawaian
instansi tempat yang bersangkutan bekerja. Dengan cara ini BKN
kemudian menetapkan surat keputusan pemberhentian dengan
hormat sebagai PNS dengan hak pensiun dan mengirimkan kepada
PNS yang bersangkutan selambat-lambatnya 3 bulan sebelum
bersangkutan mencapai batas usia pensiun.
Setelah proses di atas dilaksanakan, tahap paling akhir yang
penting adalah pembayaran pensiun pertama, yang dapat dilakukan
pada: (1) KKN (Kantor Kas Negara), (2) Kantor Pos (perum pos). (3)
Rekening penerima pensiun yang bersangkutan pada Bank atau Giro
Pos.
Sedangkan pembayaran pensiun lanjut (bulanan) dilanjutkan
pada kantor-kantor tersebut di atas pula, dengan ditetapkan tanggal,
jam dan nomor loket pembayaran yang dicantumkan pada buku
pembayaran pensiun yang bersangkutan.
Pensiun Janda/Duda atau Anak PNS
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, maka dengan berlakunya
PP Nomor 9 Tahun 2003 penetapan surat keputusan pemberhentian
dengan hormat sebagai PNS dengan hak pensiun, pemberian pensiun
pegawai dan pensiun janda/duda ditetapkan di dalam surat
keputusan. Namun demikian, kemudahan ini juga menghendaki tertib
administrasi, artinya apabila pegawai pensiun atau meninggal dunia,
maka janda/duda almarhum wajib melaporkan kepada kantor
pembayar untuk mendapatkan pembayaran pensiun janda/dudanya
dengan menyerahkan surat-surat penting yang diantaranya adalah:
(1) Asli surat keputusan pensiun PNS. (2) Surat keterangan kematian.
(3) Dan lain-lain.
Selanjutnya SEB tersebut menjelaskan bahwa pembayaran
pensiun janda/duda yang diberikan kepada anak dilakukan apabila
PNS/pensiunan PNS meninggal dunia/tewas dan tidak meninggalkan
suami/istri, maka pensiun janda/duda diberikan kepada anak

ADMINISTRASI KEPEGAWAIAN NEGARA 199


kandung sah menurut hukum. Dalam hal anak kandung dimaksud
masih dibawa umur, maka pensiun janda/duda diberikan kepadanya
melalui wali anak tersebut. Keterangan tentang perwalian tersebut
dibuktikan dengan surat keputusan pengadilan negeri.

200 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


9
MANAJEMEN KINERJA

A. PENGERTIAN MANAJEMEN KINERJA


Manajemen modern sektor publik yang berorientasi pada
kinerja akan dibahas tinjauan historis munculnya manajemen
berbasis kinerja, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan
mengenai pengukuran kinerja sebagai unsur penting manajemen
berbasis kinerja. Oleh karena pengukuran kinerja sebagai elemen
pelaksanaan akuntabilitas kinerja yang sangat urgen. Organisasi
sektor publik khususnya organisasi pemerintah baik di pusat maupun
di daerah serta perusahaan milik pemerintah untuk memperbaiki
kinerjanya, perlu didorong untuk membangun sistem manajemen
organisasi sektor publik yang berbasis kinerja.
Lahirnya manajemen berbasis kinerja merupakan bagian dari
reformasi New Public Management yang dilakukan oleh negara-
negara maju di Eropa dan Amerika sejak tahun 1980-an. Fokus
manajemen berbasis kinerja adalah pengukuran kinerja sektor publik
yang berorientasi pada pengukuran outcome, bukan lagi sekedar
pengukuran input dan output saja. Pendekatan manajemen berbasis
kinerja ditandai dengan muncul teori-teori organisasi dan manajemen
seperti model Classical Organization Theory, Scientific Management,
City Manager Movement, Performance Budgeting, Zero Budgeting,
Management by Objectives, Management by Results atau Results-
Oriented Management, Program Evaluation dan yang terakhir adalah
Reinventing Government, Davis dan Larkey (1980) dan Orsborne dan
Gaebler (1992).

MANAJEMEN KINERJA 201


Perubahan menuju era manajemen berbasis kinerja merupakan
bagian dari gerakan welfare reform di negara-negara Eropa. Gerakan
welfare reform menghendaki organisasi sektor publik, khususnya
pemerintahan untuk memberikan pelayanan yang efisien dan efektif
kepada publik. Konsekuensi gerakan welfare reform adalah
meningkatnya kebutuhan terhadap sistem manajemen kinerja.
Organisasi sektor publik dituntut untuk membuat sistem akuntabilitas
kinerja sebagai sarana untuk memberikan informasi kinerja kepada
publik. Gerakan reformasi birokrasi terjadi di berbagai negara tidak
hanya di belahan Eropa dan Amerika.
Manajemen kinerja merupakan suatu metode untuk mengukur
keberhasilan program atau aktivitas yang dilakukan birokrasi
pemerintah dalam mencapai outcome (hasil) yang diharapkan oleh
publik. Adapun definisi Manajemen kinerja adalah suatu pendekatan
yang digunakan untuk memperbaiki kinerja berdasarkan proses yang
berkelanjutan dalam penetapan sasaran kinerja birokrasi yaitu
mengumpulkan data, menganalisis, menelaah, mengukur kinerja, dan
melaporkan kinerja sebagai bahan untuk memperbaiki kinerja
selanjutnya.
Dari definisi tersebut di atas, maka dapat dijelaskan bahwa
unsur-unsur manajemen kinerja sebagai berikut: (1) keteraturan
proses kegiatan, (2) peningkatan kinerja, (3) melalui proses yang
teratur dan dalam jangka panjang, (4) penentuan sasaran kinerja dan
pengukurannya, (5) pengukuran kinerja, dan (6) mengumpul,
menganalisis, menelaah, melaporkan dan digunakan untuk mem-
perbaiki kinerja selanjutnya.
Manajemen kinerja adalah proses yang teratur untuk
memperbaiki kinerja dengan tahap-tahap yang terencana dengan
baik. Proses perbaikan kinerja membutuhkan waktu yang cukup lama
dengan proses perubahan. Manajemen kinerja pada akhirnya akan
berdampak pada perbaikan budaya kinerja. Budaya kinerja
merupakan produk dari kebiasaan-kebiasaan yang cukup lama, oleh
karena untuk mengubahnya juga membutuhkan waktu yang cukup
lama. Manajemen kinerja dilakukan secara berkelanjutan dan waktu
lama yang meliputi kegiatan penetapan sasaran kinerja, pengukuran
kinerja, pengumpulan data dan pelaporan kinerja. Kemudian
selanjutnya dijadikan umpan balik (feedback) untuk melakukan

202 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


perbaikan kinerja. Manajemen kinerja berfokus pada perhatian
manajemen yaitu hasil (outcome), karena publik menginginkan hasil
akhir, manfaat positif yang dirasakan oleh publik.

B. KONSEP KINERJA

Definisi Kinerja
Konsep kinerja pada dasarnya dapat dilihat dari dua segi, yaitu
kinerja pegawai (perindividu) dan kinerja organisasi. Kinerja pegawai
adalah hasil kerja perseorangan dalam suatu organisasi. Sedangkan
kinerja organisasi adalah totalitas hasil kerja yang dicapai suatu
organisasi. Kinerja pegawai dan kinerja organisasi memiliki keter-
kaitan yang sangat erat. Tercapainya tujuan organisasi tidak bisa
dilepaskan dari sumber daya yang dimiliki oleh organisasi yang
digerakkan atau dijalankan pegawai yang berperan aktif sebagai
pelaku dalam upaya mencapai tujuan organisasi tersebut.
Ada berbagai pendapat tentang kinerja, seperti dikemukakan
oleh Rue & Byars (1981:375), mengatakan bahwa kinerja adalah
sebagai tingkat pencapaian hasil. Kinerja menurut Interplan
(1969:15), adalah berkaitan dengan operasi, aktivitas, program, dan
misi organisasi. Murphy dan Cleveland (1995:113), mengatakan
bahwa kinerja adalah kualitas perilaku yang berorientasi pada tugas
atau pekerjaan. Ndraha (1997:112), mengatakan bahwa kinerja
adalah manifestasi dari hubungan kerakyatan antara masyarakat
dengan pemerintah. Sedangkan Widodo (2006:78), mengatakan
bahwa kinerja adalah melakukan suatu kegiatan dan menyempurna-
kannya sesuai dengan tanggung jawabnya dengan hasil seperti yang
diharapkan. Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia
disingkat LAN-RI (1999:3), merumuskan kinerja adalah gambaran
mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan, program,
kebijaksanaan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi, dan visi
organisasi. Konsep kinerja yang dikemukakan LAN-RI lebih
mengarahkan kepada acuan kinerja suatu organisasi publik yang
cukup relevan sesuai dengan strategi suatu organisasi yakni dengan
misi dan visi yang lain yang ingin dicapai.
Selanjutnya Gibson (1990:40), mengatakan bahwa kinerja
seseorang ditentukan oleh kemampuan dan motivasinya untuk

MANAJEMEN KINERJA 203


melaksanakan pekerjaan. Dikatakan bahwa pelaksanaan pekerjaan
ditentukan oleh interaksi antara kemampuan dan motivasi. Keban
(1995:1), kinerja adalah merupakan tingkat pencapaian tujuan.
Sedangkan Timpe (1998:9), kinerja adalah prestasi kerja, yang
ditentukan oleh faktor lingkungan dan perilaku manajemen. Hasil
Penelitian Timpe menunjukkan bahwa lingkungan kerja yang
menyenangkan begitu penting untuk mendorong tingkat kinerja
pegawai yang paling efektif dan produktif dalam interaksi sosial
organisasi akan senantiasa terjadi adanya harapan bawahan terhadap
atasan dan sebaliknya. Mangkunegara (2002:67), mengatakan
bahwa kinerja adalah merupakan hasil kerja secara kualitas dan
kuantitas yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan fungsinya
sesuai dengan tanggungjawab yang diberikan kepadanya.
Prawirosentono (1999:2), mengatakan kinerja adalah hasil kerja
yang dapat dicapai oleh pegawai atau sekelompok pegawai dalam
suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggungjawab
masing-masing, dalam upaya mencapai tujuan organisasi bersang-
kutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral
dan etika. Sinambela dkk. (2006:136), mendefinisikan kinerja
pegawai sebagai kemampuan pegawai dalam melakukan sesuatu
dengan keahlian tertentu. Hal senada dikemukakan oleh Stephen
Robbins (1989:439), bahwa kinerja adalah hasil evaluasi terhadap
pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai dibandingkan kriteria yang
telah ditetapkan sebelumnya.

Definisi Kinerja Organisasi


Pada dasarnya Kinerja organisasi mempunyai banyak penger-
tian. Wibawa (1992:64), Atmosudirdjo (1997:11), mengemukakan
bahwa kinerja organisasi adalah sebagai efektivitas organisasi secara
menyeluruh untuk kebutuhan yang ditetapkan dari setiap kelompok
yang berkenaan melalui usaha-usaha yang sistemik dan meningkat-
kan kemampuan organisasi secara terus menerus untuk mencapai
kebutuhannya secara efektif.
Chaizi Nasucha (2004:107), mengemukakan bahwa kinerja
organisasi adalah sebagai efektivitas organisasi secara menyeluruh
untuk memenuhi kebutuhan yang ditetapkan dari setiap kelompok
yang berkenaan melalui usaha-usaha yang sistemik dan

204 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


meningkatkan kemampuan organisasi secara terus menerus
mencapai kebutuhannya secara efektif.
Dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kinerja
mempunyai beberapa elemen yaitu:
1. Hasil kerja dicapai secara individual atau secara institusi, yang
berarti kinerja tersebut adalah hasil akhir yang diperoleh secara
sendiri-sendiri atau kelompok.
2. Dalam melaksanakan tugas, orang atau lembaga diberikan wewe-
nang dan tanggungjawab, yang berarti orang atau lembaga diberi-
kan hak dan kekuasaan untuk ditindaklanjuti, sehingga
pekerjaannya dapat dilakukan dengan baik.
3. Pekerjaan haruslah dilakukan secara legal, yang berarti dalam
melaksanakan tugas individu atau lembaga tentu saja harus
mengikuti aturan yang telah ditetapkan.
4. Pekerjaan tidaklah bertentangan dengan moral atau etika, artinya
selain mengikuti aturan yang telah ditetapkan, tentu saja
pekerjaan tersebut haruslah sesuai moral dan etika yang berlaku
umum.

C. INDIKATOR KINERJA

Indikator Kinerja telah banyak disusun oleh para ahli, namun


tidak secara keseluruhan dapat dijelaskan. Antara lain indikator
kinerja yang dimaksud oleh LAN-RI (1999:7), adalah ukuran
kuantitatif dan kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian
suatu sasaran atau tujuan yang menggambarkan tingkat pencapaian
suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan dengan mempertim-
bangkan indikator masukan (input) keluaran (output), hasil
(outcome), manfaat (benefit) dan dampak (impact).
Lebih lanjut LAN-RI mendefinisikan indikator masukan (input)
adalah segala sesuatu yang dibutuhkan agar pelaksanaan kegiatan
dapat berjalan untuk menghasilkan keluaran. Indikator ini dapat
berupa dana, sumber daya manusia, informasi, kebijakan atau
peraturan perundang-undangan, dan sebagainya. Indikator keluaran
(output) adalah sesuatu yang dicapai dari suatu kegiatan yang dapat
berupa fisik dan atau non fisik. Indikator hasil (outcome) adalah
segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran kegiatan

MANAJEMEN KINERJA 205


pada jangka menengah (efek langsung). Indikator manfaat (benefit)
adalah sesuatu yang terkait dengan tujuan akhir dari pelaksanaan
kegiatan. Indikator dampak (impact) adalah pengaruh yang
ditimbulkan baik positif maupun negatif pada setiap tingkatan
indikator berdasarkan asumsi yang ditetapkan.
Penetapan indikator kinerja menurut LAN-RI, yaitu merupakan
proses identifikasi dan klasifikasi indikator kinerja melalui sistem
pengumpulan dan pengelolaan data atau informasi untuk
menentukan kinerja kegiatan, program, dan/atau kebijakan.
Penetapan indikator kinerja harus didasarkan pada masukan (input),
keluaran (output), hasil (outcome), manfaat (benefit), dan dampak
(impact). Dengan demikian indikator kinerja dapat digunakan untuk
mengevaluasi: (1) tahapan perencanaan, (2) tahap pelaksanaan, dan
(3) tahap setelah kegiatan selesai dan berfungsi.
Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan
indikator kinerja, yaitu: (1) spesifik dan jelas, (2) dapat terukur
secara objektif baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif, (3)
dapat menunjukkan pencapaian keluaran, hasil, manfaat dan
dampak, (4) harus cukup fleksibel dan sensitif, terhadap perubahan,
dan (5) efektif yaitu dapat dikumpulkan, diolah dan dianalisis datanya
secara efisien dan efektif.
Dwiyanto (2006:50-51), menjelaskan beberapa indikator yang
digunakan untuk mengukur kinerja birokrasi publik, yaitu:
1. Produktivitas, yaitu tidak hanya mengukur tingkat efisiensi,
tetapi juga mengukur efektivitas pelayanan. Produktivitas pada
umumnya dipahami sebagai ratio antara input dengan output.
Konsep produktivitas dirasa terlalu sempit dan kemudian General
Accounting Office (GAO) mencoba mengembangkan satu ukuran
produktivitas yang lebih luas dengan memasukkan seberapa besar
pelayanan publik itu memiliki hasil yang diharapkan salah satu
indikator kinerja yang penting. Sedangkan yang dimaksud dengan
produktivitas menurut Dewan Produktivitas Nasional, adalah suatu
sikap mental yang selalu berusaha dan mempunyai pandangan
bahwa mutu kehidupan hari ini (harus) lebih baik dari hari
kemarin, dan hari esok lebih baik dari hari ini. Sedangkan tingkat
manajerial, produktivitas tenaga kerja menurut Ndraha
(2002:44), adalah perbandingan antara output (O, misalnya laba

206 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


kotor) dengan input (I, misalnya total gaji), persatuan waktu (T).
O
Jadi produktivitas kerja (PK) tiap hari adalah: PK = .
I
2. Kualitas Layanan, yaitu: cenderung menjadi penting dalam
menjelaskan kinerja organisasi pelayanan publik. Banyak
pandangan negatif yang terbentuk mengenai organisasi publik
muncul karena ketidakpuasan publik terhadap kualitas. Dengan
demikian menurut Dwiyanto kepuasan masyarakat terhadap
layanan dapat dijadikan indikator kinerja birokrasi publik.
Keuntungan utama menggunakan kepuasan masyarakat sebagai
indikator kinerja adalah informasi mengenai kepuasan masyarakat
seringkali tersedia secara mudah dan murah. Informasi mengenai
kepuasan masyarakat terhadap kualitas pelayanan sering kali
dapat diperoleh dari media massa atau diskusi publik. Kualitas
layanan relatif sangat tinggi, maka bisa menjadi satu ukuran
kinerja birokrasi publik yang mudah dan murah dipergunakan.
Kepuasan masyarakat bisa menjadi indikator untuk menilai kinerja
birokrasi publik.
3. Responsivitas, yaitu kemampuan birokrasi untuk mengenali
kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas
pelayanan, dan mengembangkan program-program pelayanan
publik sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan aspirasi
masyarakat. Secara singkat responsivitas di sini menunjuk pada
keselarasan antara program dan kegiatan pelayanan dengan
kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Responsivitas dimaksudkan
sebagai salah satu indikator kinerja karena responsivitas secara
langsung menggambarkan kemampuan birokrasi publik dalam
menjalankan misi dan tujuannya, terutama untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat. Responsivitas yang rendah ditunjukkan
dengan ketidakselarasan antara pelayanan dengan kebutuhan
masyarakat. Hal tersebut jelas menunjukkan kegagalan organisasi
dalam mewujudkan misi dan tujuan birokrasi publik. Organisasi
yang memiliki responsivitas rendah dengan sendirinya memiliki
kinerja yang jelek pula.
2. Responsibilitas, yaitu menjelaskan apakah pelaksanaan kegiatan
birokrasi publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip
administrasi yang benar dengan kebijakan birokrasi, baik yang

MANAJEMEN KINERJA 207


eksplisit maupun implisit, Lenvine dalam Dwiyanto (2006:51).
Oleh sebab itu, responsibilitas bisa saja pada suatu ketika
berbenturan dengan responsivitas.
3. Akuntabilitas, yaitu menunjuk pada seberapa besar kebijakan
dan kegiatan birokrasi publik tunduk pada para pejabat politik
yang dipilih oleh rakyat. Asumsinya ialah bahwa para pejabat
politik tersebut karena dipilih oleh rakyat, dengan sendirinya akan
selalu memprioritaskan kepentingan publik. Dalam konteks ini,
konsep akuntabilitas publik dapat digunakan untuk melihat
seberapa besar kebijakan dan kegiatan birokrasi publik itu
konsisten dengan kehendak publik. Kinerja birokrasi publik tidak
hanya bisa dilihat dari ukuran internal yang dikembangkan oleh
birokrasi publik atau pemerintah, seperti pencapaian target.
Kinerja sebaiknya harus dilihat dari ukuran eksternal, seperti nilai-
nilai dan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Suatu
kegiatan birokrasi publik memiliki akuntabilitas yang tinggi kalau
kegiatan itu dianggap benar dan sesuai dengan nilai-nilai dan
norma yang berkembang dalam masyarakat.
Kumorotomo (1996), menggunakan beberapa indikator
kinerja untuk dijadikan pedoman dalam menilai kinerja birokrasi
publik, antara lain: (1) Efisiensi, yaitu menyangkut pertimbangan
tentang keberhasilan organisasi pelayanan publik mendapatkan laba,
memanfaatkan faktor-faktor produksi serta pertimbangan yang
berasal dari rasionalitas ekonomis. (2) Efektivitas, yaitu apakah
tujuan yang didirikannya organisasi pelayanan publik tersebut
tercapai? hal tersebut erat kaitannya dengan rasionalitas teknis, nilai,
misi, tujuan organisasi serta fungsi agen pembangunan. (3)
Keadilan, yaitu mempertanyakan distribusi dan alokasi layanan yang
diselenggarakan oleh organisasi pelayanan publik. Kriteria ini erat
kaitannya dengan konsep ketercukupan atau kepantasan. Kedua
mempersoalkan apakah tingkat efektivitas tertentu, kebutuhan dan
nilai-nilai dalam masyarakat dapat terpenuhi. Isu-isu yang menyang-
kut pemerataan pembangunan, layanan kepada kelompok pinggiran
dan sebagainya, akan mampu dijawab melalui kriteria ini. (4) Daya
Tanggap, yaitu berlainan dengan bisnis yang dilaksanakan oleh
perusahaan swasta, organisasi pelayanan publik merupakan bagian
dari daya tanggap negara atau pemerintah akan kebutuhan

208 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


masyarakat yang mendesak. Karena itu, kriteria organisasi tersebut
secara keseluruhan harus dapat dipertanggungjawabkan secara
transparan demi memenuhi kriteria daya tanggap ini.
Selanjutnya Zeithhaml, Parasuraman, dan Berry (1990),
mengemukakan bahwa kinerja pelayanan publik yang baik dapat
dilihat melalui berbagai indikator yang sifatnya fisik. Penyelenggaraan
pelayanan publik dapat dilihat dari aspek fisik pelayanan yang
diberikan, seperti tersedianya gedung pelayanan yang representatif,
fasilitas pelayanan berupa televisi, ruang tunggu yang bersih dan
nyaman, peralatan pendukung yang memiliki teknologi canggih,
misalnya komputer, penampilan aparat yang menarik di mata
pengguna jasa, seperti seragam, dan berbagai fasilitas kantor yang
memudahkan akses pelayanan bagi masyarakat.
Selim dan Woodward dalam Nasucha (2004:108), menge-
mukakan bahwa ada lima dasar yang bisa dijadikan indikator kinerja
sektor publik antara lain: (1) pelayanan yang menunjukkan seberapa
besar pelayanan yang diberikan, (2) ekonomi, yang menunjukkan
apakah biaya yang digunakan lebih murah dari pada yang
direncanakan, (3) efisien, yang menunjukkan perbandingan hasil
yang dicapai dengan pengeluaran, (4) efektivitas, yang menunjukkan
perbandingan hasil yang seharusnya dengan hasil yang dicapai, dan
(5) Equity, yang menunjukkan tingkat keadilan potensial dari
kebijakan yang dihasilkan.
Holloway dalam Nasucha (2004:108), menyebutkan bahwa
indikator kinerja dapat berupa akuntabilitas, efisiensi, efektivitas dan
equity (keadilan). Dijelaskan lebih jauh bahwa ada juga indikator
konvensional kinerja yang berupa tingkat profitabilitas, kepuasan
stakeholder, dan kepuasan pelanggan. Wibawa (1992:64),
menambahkan bahwa kinerja dapat dinilai dari volume pelayanan,
kualitas pelayanan dan kemampuan memperoleh sumber daya bagi
pelaksanaan program.
Abidin, Said Zainal (2006:136), mengemukakan sebanyak
enam indikator kinerja birokrasi, yaitu: (1) ketersediaan fasilitas
publik di setiap unit wilayah (desa-kota). (2) Ketersediaan pelayanan
prima, pelayanan yang diberikan memuaskan masyarakat yang
dilayani, kualitas layanan memuaskan, terjangkau (dekat) dengan
rakyat, mudah dan murah. (3) Keterkaitan antara berbagai

MANAJEMEN KINERJA 209


kepentingan unit (wilayah), sektor dan antara sentra produksi dengan
pasar dalam negeri yang berdasarkan pada orientasi ekspor seperti
selama ini dijadikan prioritas sudah harus diubah prioritasnya dengan
pengembangan pasar dalam negeri. (4) Kelestarian lingkungan.
Ukuran yang dipakai ialah tingkat kerusakan lingkungan yang
tercermin pada rendahnya tingkat populasi udara, air bersih dan
keteraturan lalu lintas dan bangunan. (5) Kelestarian birokrasi.
Kelanjutan fungsi dan berkembangnya ketiga aspek birokrasi menjadi
ukuran kelestarian birokrasi. (6) Berfungsinya kota sebagai pusat
pendongkrak. Hubungan antara kota dan daerah sekitar harus
sedemikian rupa sehingga terwujud keterpaduan dan saling
menunjang antara kota dengan daerah pedesaan di sekitarnya.
Fungsi ini tercermin pada keberadaan infra-struktur transportasi,
informasi dan fasilitas penunjang lainnya.
Dalam konteks kinerja birokrasi pelayanan publik di Indonesia,
pemerintah melalui Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
(Menpan) Nomor 81 Tahun 1995, telah memberikan rujukan dalam
pemberian pelayanan, seperti (1) kesederhanaan, (2) kejelasan, (3)
kepastian, (4) keamanan, (5) keterbukaan, (6) efisiensi, (7)
ekonomis, dan (8) keadilan yang merata.

D. PENGUKURAN KINERJA

Untuk mengetahui kinerja organisasi maka setiap organisasi


harus memiliki kriteria keberhasilan berupa target-target tertentu
yang hendak dicapai, dimana tingkat pencapaian atas target tersebut
didasarkan pada suatu konsep tertentu yang sudah teruji validitasnya
dalam melakukan pengukuran kinerja suatu organisasi. Menurut
Robertson dalam Mahmudi (2010), pengukuran kinerja didefinisikan
sebagai suatu proses penilaian kemajuan pekerjaan terhadap tujuan
dan sasaran yang telah ditentukan sebelumnya, termasuk informasi
atas efisiensi, penggunaan sumber daya dalam menghasilkan barang
dan jasa, kualitas barang dan jasa, perbandingan hasil kegiatan
dengan target, dan efektivitas tindakan dalam mencapai tujuan.
Sementara menurut Lohman (2003) pengukuran kinerja merupakan
suatu aktivitas penilaian pencapaian target-target tertentu yang
diderivasi dari tujuan strategis organisasi. Beberapa pendapat juga

210 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


menyatakan bahwa pengukuran kinerja merupakan suatu alat
manajemen yang digunakan untuk meningkatkan kualitas
pengambilan keputusan dan akuntabilitas dalam organisasi Whitakker
dan Simons dalam BPKP, (2000).
Berdasarkan definisi tersebut di atas, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa yang dimaksud pengukuran kinerja adalah sebagai
suatu metode atau alat yang digunakan untuk menilai pencapaian
pelaksanaan kegiatan berdasarkan rencana strategis sehingga dapat
diketahui kemajuan organisasi serta untuk meningkatkan kualitas
pengambilan keputusan dan akuntabilitas.
Jadi pada pengukuran kinerja pada dasarnya digunakan untuk
penilaian atas keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan kegiatan,
program, dan/atau kebijakan sesuai dengan sasaran dan tujuan yang
telah ditetapkan dalam rangka mewujudkan misi dan visi instansi
pemerintah. Pengukuran kinerja mencakup penetapan indikator
kinerja dan penetapan capaian indikator kinerja.
Pengukuran kinerja pada sektor publik seharusnya memiliki
manajemen kinerja yang baik, karena Osborne & Gaebler
(1992:146-154), menyatakan bahwa pengukuran kinerja memiliki
kekuatan yang sangat besar kaitannya dengan konsep pemerintah
yang berorientasi pada hasil (outcome). Pentingnya pengukuran
kinerja tersebut dinyatakan dalam kalimat: (1) apa yang dapat diukur
dapat dilakukan (2) Jika anda tidak dapat mengukur hasil, maka anda
tidak bisa mengenali keberhasilan dan kegagalan, (3) Jika anda tidak
dapat melihat keberhasilan, maka anda tidak dapat memberikan
imbalan, (4) Jika anda tidak memberikan imbalan atas keberhasilan,
maka anda mungkin memberikan imbalan atas kegagalan, (5) Jika
anda tidak mengenali kegagalan, maka anda tidak dapat
memperbaikinya, (6) Jika anda dapat menunjukkan hasil, maka anda
dapat memperoleh dukungan publik.
Oleh karena pengukuran kinerja merupakan evaluasi
keberhasilan atau kegagalan seseorang dalam menjalankan tugasnya.
Jika penilaian kinerja terhadap birokrasi, berarti evaluasi keberhasilan
atau kegagalan birokrasi dalam menjalankan tugasnya sebagai
pelayan masyarakat. Gary Dessler (2000), menyatakan bahwa
penilaian kinerja adalah merupakan upaya sistematis untuk
membandingkan apa yang dicapai seseorang dibandingkan dengan

MANAJEMEN KINERJA 211


standar yang ada. Tujuannya, yaitu untuk mendorong kinerja
seseorang agar bisa berada di atas rata-rata.
Schuler dkk dalam Keban (2004:197), mengatakan bahwa
sistem penilaian kinerja diartikan sebagai suatu proses penilaian
kinerja. Dalam pandangan beliau bahwa proses penilaian kinerja
dapat digunakan: (1) pendekatan komparatif, (2) standar-standar
absolut, (3) pendekatan tujuan, (4) indeks yang bersifat langsung
atau objektif.
Dwiyanto (2006:47), mengatakan bahwa penilaian kinerja
merupakan suatu kegiatan yang sangat penting sebagai ukuran
keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai misinya. Untuk
birokrasi publik, informasi mengenai kinerja tentu sangat berguna
untuk menilai seberapa jauh pelayanan yang diberikan oleh birokrasi
itu memenuhi harapan dan memuaskan masyarakat.
Donovan & Jakson (1991:329), mengatakan bahwa secara
teoritik penilaian kinerja sangat erat kaitannya dengan analisis
pekerjaan. Artinya, suatu penilaian tidak dapat dilakukan jika masih
terdapat ketidakjelasan tentang pekerjaan itu sendiri. Karena itu,
efektivitas penilaian sangat tergantung pada penjelasan batasan atau
definisi dari suatu pekerjaan itu sendiri, yang merupakan sumber
daya manusia, sehingga dapat dikatakan bahwa efektivitas penilaian
kinerja sangat tergantung kepada baik buruknya manajemen sumber
daya manusia yang dimiliki.
Penilaian kinerja Pegawai Negeri Sipil di Indonesia, dilakukan
dengan berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 jo. PP 10
Tahun 1979 tentang penilaian pelaksanaan pekerjaan PNS.
Penilaian tersebut tertuang dalam suatu daftar yang lazim
disebut DP-3 (Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan), yang berarti
suatu daftar yang memuat hasil penilaian pelaksanaan pekerjaan
seorang PNS dalam jangka waktu 1 (satu) tahun dan dibuat oleh
Penilai (pasal 1 huruf a PP tersebut). Sedangkan pejabat penilai
adalah atasan langsung PNS yang dinilai, dengan ketentuan
serendah-rendahnya Kepala Urusan dan Pejabat lain yang setingkat
dengan itu.
Unsur-unsur yang dinilai dalam penilaian pelaksanaan
pekerjaan DP3 yaitu:

212 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


1. Kesetiaan, yaitu tekad dan kesanggupan untuk mentaati, melak-
sanakan dan mengamalkan sesuatu yang ditaati dengan penuh
kesabaran dan tanggungjawab. Sikap ini dapat dilihat dari perilaku
sehari-hari serta perbuatan pegawai dalam melaksanakan tugas.
2. Prestasi kerja, yaitu hasil kerja yang dicapai oleh pegawai dalam
melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya. Pada
umumnya, prestasi kerja dipengaruhi oleh kecakapan, pengalaman
dan kesungguhan PNS yang bersangkutan.
3. Tanggungjawab, yaitu kesanggupan pegawai dalam menyelesai-
kan pekerjaan tugas yang diserahkan kepadanya dengan sebaik-
baiknya dan tepat pada waktunya serta berani menanggung resiko
atas keputusan yang telah diambil atau tindakan yang
dilakukannya.
4. Ketaatan, yaitu kesanggupan pegawai untuk mentaati segala
peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan yang
berlaku, mentaati perintah kedinasan yang diberikan oleh atasan
yang berwewenang serta kesanggupan untuk tidak melanggar
aturan yang telah ditentukan.
5. Kejujuran, yaitu ketulusan hati pegawai dalam melaksanakan
dan kemampuan untuk tidak menyalahgunakan wewenang yang
diembannya.
6. Kerjasama, yaitu kemampuan pegawai untuk kerjasama dengan
orang lain dalam menyelesaikan tugas yang ditentukan sehingga
mencapai daya guna dan hasil guna yang sebesar-besarnya.
7. Prakarsa, yaitu kemampuan pegawai untuk mengambil
keputusan langkah-langkah atau melaksanakan semua tindakan
yang diperlukan dalam melaksanakan tugas pokok tanpa
menunggu perintah dari pimpinan.
8. Kepemimpinan, yaitu kemampuan untuk mempengaruhi orang
lain sehingga dapat diarahkan secara maksimal untuk
melaksanakan tugas.
Standar tersebut di atas, telah digunakan dan bertahan sekian
lama, jarang dievaluasi untuk disesuaikan dengan perubahan
paradigma dan tuntutan publik. Standar penilaian yang digunakan
masih bersifat seragam, dan sering dinilai kurang mengakomodasi
variasi-variasi tugas pokok dan fungsi pegawai, misi institusi dan
kekhasan dari tingkatan hirarki. Bahkan, penilaian kinerja terkadang

MANAJEMEN KINERJA 213


bergeser tujuannya yaitu mengarah kepada tujuan-tujuan politis dan
psikologis tertentu. Oleh karena itu, hasil penilaian kinerja PNS
kurang menggambarkan tingkat kinerja yang sebenarnya,
implikasinya ialah timbul keragu-raguan dalam memanfaatkan hasil
penilaian tersebut untuk dijadikan dasar menempatkan, promosi,
penerapan sanksi atau pemberian motivasi kepada Pegawai,
termasuk diklat, serta melakukan pembenahan dan pengembangan
organisasi. Kesalahan atau kegagalan dan kesuksesan harus dilihat
sebagai materi learning bagi para pegawai dan pimpinan. Belajar dari
kesalahan dan kesuksesan dapat meningkatkan kesadaran untuk
meningkatkan profesionalisme.
Selama ini proses penilaian kinerja pegawai lebih menekankan
proses dan prosedur daripada output atau outcome. Orientasi seperti
ini sebaiknya segera dihentikan, karena kalau proses ini berjalan
terus aparat dapat berusaha menjadi orang yang taat atau loyal pada
proses atau prosedur saja, dan tidak berupaya meningkatkan
profesionalisme menuju kinerja pegawai yang tinggi.
Oleh karena itu, penting melakukan revisi terhadap sistem
penilaian kinerja PNS, agar dapat dilakukan penilaian yang objektif.
Penilaian yang objektif dapat meningkatkan motivasi pegawai dalam
melaksanakan tugas-tugasnya. Selanjutnya motivasi pegawai yang
tinggi akan menghasilkan kinerja yang baik, dan pada akhirnya
kinerja yang baik akan memberikan kepuasan kepada masyarakat
yang dilayaninya.
Keban (2004:109), mengatakan bahwa pengukuran kinerja
harus dilihat dari sebagai upaya yang sangat berharga bagi
profesionalisasi di instansi pelayanan publik. Lebih lanjut beliau
mengatakan bahwa dengan mengetahui kelemahan dan kelebihan,
hambatan dan dorongan atau berbagai faktor sukses bagi kinerja
pegawai atau institusi, maka terbukalah jalan menuju
profesionalisasi, yaitu memperbaiki kesalahan-kesalahan yang
dilakukan selama ini.

E. TUJUAN DAN MANFAAT PENGUKURAN KINERJA

Pengukuran kinerja merupakan bagian penting bagi proses


pengendalian manajemen bagi sektor publik, menurut Mahmudi

214 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


(2010) terdapat enam tujuan dalam pengukuran kinerja sektor publik
yaitu: (1) Untuk mengetahui tingkat ketercapaian tujuan organisasi.
(2) Menyediakan sarana pembelajaran pegawai. (3) Memperbaiki
kinerja pada periode berikutnya. (4) Memberikan pertimbangan yang
sistematik dalam pembuatan keputusan reward dan punishment. (5)
Memotivasi pegawai. (6) Menciptakan akuntabilitas publik.
Sedangkan manfaat dari pengukuran kinerja sektor publik bagi
pihak internal dan eksternal organisasi BPKP (2000), antara lain: (1)
Memastikan pemahaman para pelaksana akan ukuran yang diguna-
kan untuk penilaian kinerja. (2) Memastikan tercapainya rencana
kinerja yang telah disepakati. (3) Memantau dan mengevaluasi
pelaksanaan kinerja dan membandingkannya dengan rencana kerja
serta melakukan tindakan untuk memperbaiki kinerja. (4) Memberi-
kan penghargaan dan hukuman yang obyektif atas prestasi pelaksana
yang telah diukur sesuai dengan sistem pengukuran kinerja yang
telah disepakati. (5) Menjadi alat komunikasi antar bawahan dan
pimpinan dalam upaya memperbaiki kinerja organisasi. (6)
Mengidentifikasi apakah kepuasan pelanggan sudah terpenuhi. (7)
Membantu memahami proses kegiatan instansi pemerintah. (8)
Memastikan bahwa pengambilan keputusan dilakukan secara objektif.
(9) Menunjukkan peningkatan yang perlu dilakukan. (10)
Mengungkapkan permasalahan yang terjadi.
Pengukuran kinerja birokrasi menurut Mardiasmo (2001:121),
mempunyai tiga tujuan, yaitu: (1) membantu memperbaiki kinerja
pemerintahan agar kegiatan pemerintah terfokus pada tujuan dan
sasaran program unit kerja, (2) pengalokasian sumber daya dan
pembuatan keputusan, dan (3) mewujudkan pertanggungjawaban
publik dan memperbaiki komunikasi kelembagaan.
Pengukuran kinerja, merupakan alat yang penting untuk
mengevaluasi value for money di sektor publik. Value for money
merupakan konsep pengelolaan organisasi sektor publik yang
didasarkan pada tiga elemen utama, yaitu ekonomi, efisiensi dan
efektivitas. Sedarmayanti (2003:68), mengatakan bahwa pengu-
kuran kinerja yang dilakukan terus menerus dan berkesinambungan
dapat memberi umpan balik yang penting, artinya bagi upaya
perbaikan guna mencapai keberhasilan di masa yang akan datang.

MANAJEMEN KINERJA 215


Nasucha (2004:110), mengatakan bahwa hasil dari
pengukuran kinerja dapat digunakan untuk menentukan beberapa hal
antara lain: (1) menentukan bahwa keuntungan dan pengaruh yang
sedang berjalan dapat dicapai, (2) memperoleh jaminan bahwa
tujuan dapat dan sedang dicapai, (3) memonitor dan mengontrol
perkembangan dari rencana yang ditetapkan, (4) memastikan
penggunaan sumber-sumber daya, (5) menilai efektivitas dari sebuah
aktivitas, (6) menyediakan sebuah dasar untuk menghitung
penghargaan dan insentif, dan (7) menentukan bahwa value for
money dapat diperoleh. Hal yang terakhir senada dengan pendapat
Mardiasmo (2001:4), mengatakan bahwa pengukuran kinerja
merupakan alat yang penting untuk mengevaluasi value for money di
sektor publik. Value for money merupakan konsep pengelolaan
organisasi sektor publik yang didasarkan pada tiga elemen utama,
yaitu ekonomi, efisien dan efektivitas.
Locher & Tell dalam Keban (2004:197), mengatakan bahwa
penilaian kinerja bertujuan untuk menentukan kompetensi, perbaikan
kinerja, umpan balik, dokumentasi, promosi, pelatihan, mutasi,
pemecatan, pemberhentian, penelitian kepegawaian dan peren-
canaan tenaga kerja. Sedangkan Donovan & Jackson (1991:333),
mengatakan bahwa penilaian bertujuan untuk: (1) management
development, yaitu memberikan suatu pengembangan pegawai di
masa mendatang, (2) pengukuran kinerja, yaitu memberikan
informasi tentang nilai relatif dari kontribusi individu terhadap
organisasi, (3) perbaikan kerja, yaitu mendorong individu bekerja
lebih efektif dan produktif, (4) remunerasi dan benefit, yaitu
membantu menemukan imbalan dan benefit yang setimpal berda-
sarkan sistem merit atau hasil, (5) identifikasi potensi, yaitu
membantu promosi, (6) feedback, yaitu menggambarkan apa yang
diharapkan dari individu, (7) perencanaan sumber daya manusia,
yaitu menilai kualitas SDM yang ada untuk perencanaan selanjutnya,
dan (8) komunikasi, yaitu memberikan suatu format dialog antara
atasan dan bawahan dan memperbaiki pemahaman tentang tujuan
dan masalah-masalah yang dihadapi.
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan
penilaian kinerja dapat dijadikan:

216 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


1. Sebagai dasar untuk memberikan kompensasi kepada pegawai
yang setimpal dengan kinerjanya.
2. Sebagai dasar untuk melakukan promosi bagi pegawai yang
memiliki kinerja yang baik.
3. Sebagai dasar untuk melakukan mutasi terhadap pegawai yang
kurang cocok dengan pekerjaannya.
4. Sebagai dasar untuk melakukan demosi terhadap pegawai yang
kurang atau tidak memiliki kinerja yang baik.
5. Sebagai dasar untuk melakukan pemberhentian pegawai yang
tidak lagi mampu melakukan pekerjaan.
6. Sebagai dasar memberikan Diklat terhadap pegawai, agar dapat
meningkatkan kinerjanya.
7. Sebagai dasar untuk menerima pegawai baru yang sesuai dengan
pekerjaan yang tersedia.
8. Sebagai dasar untuk mengetahui berhasil tidaknya suatu
organisasi dalam melaksanakan tujuan organisasi yang telah
ditentukan.

F. KENDALA DALAM PENGUKURAN KINERJA

Pengukuran kinerja pada sektor swasta bertumpu pada aspek


finansial karena tujuannya adalah mencari laba sehingga mudah
diukur karena bersifat kuantitatif dan nyata. Namun kondisi ini
berbeda dengan organisasi sektor publik, dimana penilaian
keberhasilan organisasi sektor publik dalam menjalankan fungsinya
adalah kepuasan yang dirasakan oleh masyarakat atas penyediaan
barang dan jasa publik yang bersifat kualitatif. Dengan demikian
Mahsun (2009) membuat beberapa kendala yang dihadapi dalam
pengukuran kinerja organisasi sektor publik, antara lain:
1. Tujuan organisasi bukan memaksimalkan laba. Tujuan organisasi
sektor publik adalah peningkatan pelayanan publik dan
penyediaan barang publik.
2. Sifat output adalah kualitatif, intangible dan indirect. Output yang
dihasilkan dari kegiatan organisasi publik pada umumnya bersifat
kualitatif, tidak berwujud dan tidak langsung dirasakan pada saat
itu sehingga kinerja organisasi lebih sulit diukur.

MANAJEMEN KINERJA 217


3. Antara input dan output tidak mempunyai hubungan secara
langsung (discretionary cost centre). Dalam konsep akuntansi
pertanggungjawaban, organisasi sektor publik merupakan sebuah
entitas yang harus diperlakukan sebagai pusat pertanggung-
jawaban (responsibility centre). Sedangkan di sisi lain karakteristik
input (biaya) yang terjadi sebagian besar tidak dapat ditelusuri
secara langsung dengan outputnya, sebagaimana sifat biaya
kebijakan (discretionary cost). Hal ini menyebabkan sulitnya
ditetapkan standar tolok ukur kinerja.
4. Tidak beroperasi berdasarkan market force sehingga memerlukan
instrumen pengganti mekanisme pasar. Organisasi sektor publik
tidak beroperasi sebagaimana adanya market competition
sehingga tidak semua output yang dihasilkan tersedia di pasar.
Oleh karena itu tidak ada pembanding yang independen maka
dalam pengukuran kinerja diperlukan instrumen pengganti
mekanisme pasar.
5. Berhubungan dengan kepuasan pelanggan (masyarakat).
Organisasi sektor publik menyediakan jasa pelayanan bagi
masyarakat yang sangat heterogen, dengan demikian mengukur
kepuasan masyarakat yang mempunyai kebutuhan dan harapan
yang beraneka ragam adalah pekerjaan yang tidak mudah.

G. PENDEKATAN PENGUKURAN KINERJA

Kinerja organisasi sektor publik yang bersifat multidimensional


memiliki makna bahwa tidak ada indikator tunggal yang dapat
digunakan untuk menunjukkan tingkat keberhasilan secara
komprehensif untuk semua jenis organisasi sektor publik, dengan
begitu indikator kinerja yang dipilih akan sangat bergantung pada
faktor kritikal keberhasilan yang telah diidentifikasi. Karena adanya
sifat multidimensional atas kinerja organisasi sektor publik tersebut
maka pengukuran kinerja instansi pemerintah haruslah dibuat
sekomprehensif mungkin dengan mempertimbangkan berbagai aspek
yang dapat mempengaruhi kinerja. Menurut Niven (2003) terdapat
enam konsep pengukuran kinerja organisasi sektor publik dan
organisasi nonprofit, yaitu: (1) Financial accountability, adalah
Pengukuran kinerja organisasi sektor publik yang hanya berfokus

218 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


pada seberapa besar anggaran yang telah dikeluarkan. (2) Program
products or output, adalah pengukuran kinerja organisasi sektor
publik bergantung pada jumlah produk atau jasa yang dihasilkan dan
beberapa jumlah orang yang dilayani. (3) Adherence to standards
quality in service delivery, adalah pengukuran kinerja yang
terkonsentrasi pada pelayanan yang mengarah pada ketentuan
badan sertifikasi dan akreditasi pemerintah. Badan tersebut juga
bertujuan untuk menjaga kualitas dan konsistensi produk/jasa yang
mereka berikan. (4) Participant related measures, adalah pengukuran
kinerja yang menekankan pentingnya kepastian pemberian pelayanan
hanya kepada mereka yang sangat membutuhkan, oleh karena itu
organisasi sektor publik akan melakukan penilaian klien atau
pelanggan yang akan dilayani berdasarkan status demografinya,
sehingga bisa ditentukan mana pelanggan yang layak mendapatkan
pelayanan terlebih dahulu. (5) Key performance indicators adalah
Pengukuran kinerja yang berdasarkan pada pembentukan kriteria-
kriteria tertentu yang dapat mewakili semua area yang ingin dinilai,
untuk kemudian disusun indikator-indikator yang mampu mengukur
kriteria tersebut. (6) Client satisfaction adalah pengukuran kinerja
organisasi publik didasarkan pada kepuasan pelanggan atas
penyediaan barang atau pelayanan publik. Beberapa faktor utama
yang menentukan kepuasan pelanggan yaitu: ketepatan waktu
pelayanan, kemudahan untuk mendapat layanan dan kepuasan
secara keseluruhan.
Disamping itu, menurut Mahsun (2009) terdapat empat
pendekatan pengukuran kinerja yang dapat diaplikasikan pada
organisasi sektor publik, yaitu:
1. Analisis anggaran, adalah pengukuran kinerja yang dilakukan
dengan cara membandingkan anggaran pengeluaran dengan
realisasinya. Hasil yang diperoleh berupa selisih lebih (favourable
variance) atau selisih kurang (unfavourable variance). Teknik ini
berfokus pada kinerja input yang bersifat finansial dan data yang
digunakan adalah data anggaran dan realisasi anggaran. Analisis
anggaran ini bersifat analisis kinerja yang tradisional karena tidak
melihat keberhasilan program, kinerja instansi pemerintah
dikatakan baik jika realisasi pengeluaran anggaran lebih kecil
daripada anggarannya dan sebaliknya jika realisasi pengeluaran

MANAJEMEN KINERJA 219


anggaran lebih besar daripada anggarannya maka kinerja instansi
pemerintah tersebut dinilai tidak baik.
2. Analisis rasio laporan keuangan. Berikut ini beberapa
pendapat mengenai definisi analisis laporan keuangan yang dikutip
dari Mahsun (2009), antara lain: (a) Menurut Bernstein (1983),
analisis laporan keuangan mencakup penerapan metode dan
analisis atas laporan keuangan dan data lainnya untuk melihat dari
laporan itu ukuran-ukuran dan hubungan tertentu yang sangat
berguna dalam proses pengambilan keputusan. (b) Menurut Foster
(1986), analisis laporan keuangan adalah mempelajari hubungan-
hubungan dalam satu set laporan keuangan pada suatu saat
tertentu dan kecenderungan-kecenderungan dari hubungan ini
sepanjang waktu. (c) Menurut Helfert (1982), analisis laporan
keuangan merupakan alat yang digunakan dalam memahami
masalah dan peluang yang terdapat dalam laporan keuangan.
Dari ketiga pengertian di atas dapat disimpulkan bawah
analisis laporan keuangan merupakan alat yang digunakan untuk
memahami masalah dan peluang yang terdapat dalam laporan
keuangan pada suatu periode tertentu. Dalam menganalisis
laporan keuangan terdapat berbagai cara yang digunakan untuk
menggambarkan kondisi keuangan suatu organisasi salah satunya
adalah teknik analisis rasio keuangan yang membandingkan
angka-angka yang ada dalam satu laporan keuangan ataupun
beberapa laporan keuangan pada satu periode waktu tertentu.
Bagi tipe organisasi publik yang bertujuan nonprofit maka rasio
keuangan yang berhubungan dengan kemampuan pembiayaan
pemerintah dalam menyediakan barang dan jasa publik dapat
menjadi ukuran kinerja organisasi non profit. Rasio keuangan
dimaksud adalah Rasio Likuiditas yang bertujuan mengukur
kemampuan suatu organisasi untuk membayar kewajiban jangka
pendek atau kewajiban yang segera jatuh tempo berdasarkan
jumlah aset lancar yang dimiliki dan Rasio Solvabilitas yang
bertujuan untuk mengukur seberapa besar aset organisasi yang
dibiayai dengan hutang usaha.
3. Balanced scorecard, adalah Pengukuran kinerja organisasi sektor
publik yang berbasis pada aspek finansial dan non finansial yang
diterjemahkan dalam empat perspektif kinerja, yaitu perspektif

220 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


finansial, perspektif kepuasan pelanggan, perspektif bisnis internal
dan perspektif pertumbuhan/pembelajaran.
4. Audit kinerja (value for money), adalah pengukuran kinerja yang
didasarkan pada konsep value for money yang merupakan
perluasan ruang lingkup dari audit finansial. Indikator pengukuran
kinerjanya terdiri dari ekonomi, efisiensi dan efektivitas.
Pengukuran kinerja ekonomi berkaitan dengan pengukuran
seberapa hemat pengeluaran yang dilakukan dengan cara
membandingkan realisasi pengeluaran dengan anggarannya.
Efisiensi berhubungan dengan pengukuran seberapa besar daya
guna anggaran dengan cara membandingkan realisasi
pengeluaran untuk memperoleh pendapatan dengan realisasi
pendapatan. Sedangkan efektifitas berkaitan dengan seberapa
tepat dalam pencapaian target dengan cara membandingkan
outcome dengan output berbasis kinerja pada sektor publik.

H. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA

Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja sangat banyak


variabel yang mempengaruhinya, sehingga pendapat yang
merumuskan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja menurut para
ahli juga sangat beragam antara lain pendapat Mahmudi (2010)
tentang faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain: (1) Faktor
personal/individu, meliputi: pengetahuan, skill, kepercayaan diri,
motivasi dan komitmen yang dimiliki oleh setiap individu. (2) Faktor
kepemimpinan, meliputi: kualitas dalam memberikan dorongan,
semangat, arahan dan dukungan yang diberikan oleh manager atau
team leader. (3) Faktor tim, meliputi: kualitas dan semangat yang
diberikan oleh rekan dalam satu tim, kepercayaan terhadap sesama
anggota tim, kekompakan dan keeratan anggota tim. (4) Faktor
sistem, meliputi: sistem kerja, fasilitas kerja atau infrastruktur yang
diberikan oleh organisasi, proses organisasi dan kultur kinerja
organisasi. (5) Faktor kontekstual/situasional, meliputi: tekanan dan
perubahan lingkungan eksternal dan internal organisasi.
Selanjutnya Menurut Campbell (1990) faktor-faktor yang
mempengaruhi kinerja dapat dinyatakan ke dalam suatu bentuk
hubungan fungsional antara kinerja dengan atribut kinerja sebagai

MANAJEMEN KINERJA 221


berikut: Kinerja = f (knowledge, skill, motivation, role
perception,.......) Dimana, knowledge adalah pengetahuan yang
dimiliki oleh pegawai, skill mengacu pada kemampuan pegawai dalam
melakukan pekerjaan, motivation adalah dorongan dan semangat
untuk melakukan pekerjaan dan role perception menunjukkan peran
individu dalam melakukan pekerjaan.
Berdasarkan berbagai pendapat tersebut di atas, maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja
suatu organisasi dapat sederhanakan menjadi dua variabel yaitu
variabel kemampuan dan kemauan. Sedangkan variabel yang lainnya
hanya mempengaruhi variabel kemampuan dan kemauan. Jika kedua
variabel ini digabung biasa disebut kematangan, untuk lebih jelasnya
dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Kemampuan
Pada dasarnya kemampuan adalah suatu kapasitas individu
untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu organisasi.
Kemampuan tersebut dapat dilihat dari dua segi: (1) kemampuan
intelektual, yaitu kemampuan yang diperlukan untuk melakukan
kegiatan mental, dan (2) kemampuan fisik, yaitu kemampuan yang
diperlukan untuk melakukan tugas-tugas yang menuntut stamina,
kecekatan, kekuatan dan keterampilan. Kemampuan dalam suatu
bidang hanya dapat dimiliki oleh seorang yang memiliki bakat dan
intelegensi (kecerdasan) yang mencukupi. Sedangkan bakat biasanya
dikembangkan dengan pemberian kesempatan pengembangan
pengetahuan melalui tiga hal yaitu: (1) pendidikan, (2) pelatihan, dan
pengalaman kerja. Adanya bakat yang bersifat potensial tanpa
diberikan kesempatan untuk dikembangkan tidak akan berubah
menjadi kemampuan. Sebaliknya sekalipun instansi memberi
kesempatan, tetapi bila yang bersangkutan tidak mempunyai bakat
yang mendasar, maka pemberian kesempatan tersebut tidak akan
efektif. Selain bakat dan pengetahuan yang merupakan syarat utama
terbentuknya suatu kemampuan, terdapat pula faktor minat yang
mempunyai pengaruh terhadap kemampuan melakukan pekerjaan.
Kemudian kemampuan pada umumnya didasarkan pada bakat yang
dimiliki oleh seseorang. Adapun yang dimaksud bakat adalah
merupakan suatu kondisi atau keadaan yang dimiliki seseorang yang

222 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


memungkinkan individu berkembang pada masa mendatang. Jadi
bakat adalah merupakan suatu karakteristik unik individu yang
membuatnya mampu melakukan suatu aktivitas dan tugas secara
mudah dan sukses, dan bakat tersebut sudah dapat diamati dari
kecil. Sedangkan yang dimaksud minat menurut Salahuddin (1990),
mengatakan bahwa minat adalah perhatian seseorang yang
mengandung unsur-unsur perasaan yang dapat menentukan suatu
sikap yang menyebabkan seseorang aktif dalam kegiatan tertentu.
Gage dan Berliner (1991), mengatakan bahwa minat merupakan
sesuatu yang selalu diperhatikan seseorang dan memberikan motivasi
kepada orang tersebut untuk mencapai tujuan dengan cara-cara
tertentu. Berdasarkan definisi bakat dan minat tersebut di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa:

Bakat + Minat = Kemampuan

2. Kemauan
Kemauan atau motivasi adalah kesediaan untuk mengeluarkan
tingkat upaya yang tinggi untuk tujuan organisasi. Kemauan atau
motivasi kerja seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: (a)
pengaruh lingkungan fisik, yaitu setiap pegawai menghendaki
lingkungan fisik yang baik untuk bekerja, lampu yang terang,
ventilasi udara yang nyaman, sejuk, bebas dari gangguan suara
berisik dan sebaiknya ada musik. (b) pengaruh lingkungan sosial
yaitu sebagai makhluk sosial dalam melaksanakan pekerjaan tidak
semata-mata hanya mengejar penghasilan saja, tetapi juga
mengharapkan penghargaan oleh pegawai lain, pegawai lebih
berbahagia apabila dapat menerima dan membantu pegawai lain.
Kemauan merupakan energi sebagaimana yang telah dikemukakan
oleh Jordan E. Ayan (2002:47), adalah pemercik api yang
menyalakan jiwa. Tanpa adanya energi psikis dan fisik yang
mencukupi, perbuatan kreatif pegawai terhambat. Mihaly Csiks-
zentmihalyi dari Universitas Chicago dalam Ayan (2002:47), telah
melakukan riset tentang pentingnya energi sebagai unsur terpenting
dalam keberhasilan intelektual dan kreatif. Lewatnya risetnya yang
mendalam menunjukkan bahwa orang-orang menjadi sukses dalam
melakukan tugas jika mampu mencapai suatu keadaan yang

MANAJEMEN KINERJA 223


disebutnya Flow, atau mengalir. Ketika berada dalam keadaan
mengalir, tingkat energi menjadi tinggi dan ketajaman mental serta
konsentrasi mengelola pekerjaan lebih tinggi. Orang yang mengalir
energinya jarang terhenti atau ragu pikirannya dan sangat tanggap
terhadap tugas sehingga tindakannya hampir bersifat naluri. Pikiran
sesuatu yang dikuasai, jika dalam keadaan energi mengalir dalam
keahlian, mampu merespon dan bereaksi terhadap apapun yang
dibutuhkan, tanpa berpikir panjang atau perhatian secara sadar.
Kemauan seseorang untuk melakukan pekerjaan karena merasa
aman. Oleh karena itu, keamanan pekerjaan pada dasarnya
mempengaruhi kemauan seseorang untuk melakukan pekerjaan,
adapun yang dimaksud keamanan menurut Geeorge Strauss &
Leonard Sayles (1990:10), adalah sebuah kebutuhan manusia yang
fundamental, karena pada umumnya orang menyatakan lebih penting
keamanan pekerjaan daripada gaji atau kenaikan pangkat. Oleh
sebab itu, tidak cukup bagi seseorang dengan hanya terpenuhinya
kebutuhan-kebutuhan fisik mereka dari hari ke hari, tetapi mereka
ingin memastikan bahwa kebutuhan mereka akan terus terpenuhi di
masa yang akan datang. Seseorang yang merasa aman dalam mela-
kukan pekerjaan berpengaruh terhadap kinerjanya.
Kemudian teknologi yang akan digunakan atau dimanfaatkan
oleh seseorang untuk melaksanakan kegiatan juga mempengaruhi
kemauannya untuk melakukan pekerjaan tersebut. Sedangkan yang
dimaksud dengan teknologi menurut Gibson dkk (1997:197), adalah
tindakan fisik dan mental oleh seseorang untuk mengubah bentuk
atau isi dari objek atau ide. Jadi teknologi dapat dikatakan sebagai
"tindakan yang dikerjakan oleh individu atau suatu objek dengan atau
tanpa bantuan alat atau alat mekanikal, untuk membuat beberapa
perubahan terhadap objek tersebut. Sedangkan yang dimaksud
teknologi menurut Danise M. Rousseau dalam Gibson (1997:197),
adalah penerapan pengetahuan untuk melakukan pekerjaan.
Penerapan teknologi menurut Bill Creech (1996:301), adalah lebih
cenderung positif dan proaktif pegawai dalam melakukan pekerjaan,
karena mereka memandang teknologi sebagai teman, bukan sebagai
musuh untuk meningkatkan kinerja. Pegawai juga memungkinkan
lebih kreatif merancang dan mengembangkan cara berpikir positif
dalam strategi berbeda untuk lebih meningkatkan kinerjanya.

224 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


Selanjutnya kejelasan tujuan organisasi mempengaruhi kemauan
seseorang untuk melakukan pekerjaan. Kejelasan tujuan merupakan
salah satu faktor penentu dalam pencapaian kinerja. Oleh karena
pegawai yang tidak mengetahui dengan jelas tujuan pekerjaan yang
hendak dicapai, maka tujuan yang tercapai tidak efisien dan atau
kurang efektif. Berdasarkan penjelasan konsep kemampuan dan
kemauan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa:

Kemampuan + Kemauan = Kematangan


Pegawai yang telah matang melakukan pekerjaan dapat
memberikan kontribusi yang maksimal terhadap organisasi. Namun
sebaliknya pegawai yang tidak kurang matang tidak dapat
menyelesaikan tugas-tugasnya dengan baik.

MANAJEMEN KINERJA 225


10
ETIKA ADMINISTRASI PUBLIK

A. KONSEP ETIKA

Definisi Etika
Secara (Etimologik), etika berasal dari kata Yunani “Ethos” yang
berarti watak kesusilaan atau adat. Identik dengan perkataan moral
yang berasal dari kata latin “Mos” yang bentuk jamaknya “Mores”
yang berarti juga adat atau cara hidup.
Etika dan moral sama artinya, tetapi dalam pemakaian sehari-
hari ada sedikit perbedaan. Moral dan atau moralitas dipakai untuk
perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk
pengkajian sistem nilai-nilai yang ada. Contoh: (1) Perbuatan itu
bermoral, (2) Sesuai dengan norma-etika.
Istilah lain yang identik dengan etika: (1) Susila (Sansakerta)
yang lebih berorientasi kepada dasar-dasar, prinsip, aturan hidup
(sila) yang lebih baik (su). (2) Akhlak (Arab) moral berarti akhlak.
Poedjawijatna (1972:3), mengatakan bahwa etika
merupakan cabang dari filsafat. Etika mencari kebenaran dan sebagai
filsafat ia mencari keterangan (benar) yang sedalam-dalamnya.
Sebagai tugas tertentu bagi etika, ia mencari ukuran baik-buruknya
bagi tingkah laku manusia. Etika hendak mencari, tindakan manusia
manakah yang baik manakah yang tidak baik atau buruk.
Bertens dalam Keban (2004:147), menggambarkan konsep
etika dengan beberapa arti salah satu diantaranya dan biasa
digunakan orang adalah kebiasaan, adat atau akhlak dan watak.
Menurut Salam Burhanuddin (1991:1), Etika adalah sebuah
refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma moral yang

226 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


menentukan dan terwujud dalam sikap dan pola perilaku manusia,
baik secara pribadi maupun sebagai kelompok. Sedangkan Magnis
Suseno (1990), mengatakan bahwa etika adalah ilmu dan bukan
sebuah ajaran, yang memberi kita norma tentang bagaimana kita
harus hidup adalah moralitas. Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1988), disebut: (1) Ilmu
tentang apa yang “baik” dan apa yang “buruk” dan tentang hak dan
kewajiban moral, (2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan
dengan akhlak, dan (3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut
oleh golongan atau masyarakat. Hobbes dalam Widodo (2006:48),
mengatakan bahwa etika berkaitan dengan standar perilaku di antara
orang-orang dalam kelompok sosial. Selanjutnya definisi etika
menurut Bratawijaya (1992:243), adalah ilmu pengetahuan tentang
asas-asas akhlak atau moral. Selanjutnya Bratawijaya membagi dua
jenis etika yaitu:
1. Etika Umum adalah menyajikan suatu pendekatan yang teliti
mengenai norma-norma yang berlaku umum bagi setiap warga
masyarakat. Etika umum terdiri dari atas tiga bagian norma yaitu:
norma santun, norma hukum dan norma moral.
2. Etika Khusus adalah penerapan etika umum dalam kegiatan
profesi misalnya Etika Dosen, Etika Sekretaris, Etika Dokter, Etika
Bisnis dan Etika Pelayanan.
Etika pengetahuan ini tidak membahas kebiasaan yang semata-
mata berdasarkan tata adat (manners), melainkan membahas adat
yang berdasarkan sifat-sifat dasar dan bersandar atas nilai manusia,
ialah suatu adat-istiadat yang terikat pada pengertian “baik” atau
“buruk” dalam tingkah laku manusia.
Etika berhubungan dengan seluruh ilmu pengetahuan tentang
manusia dan masyarakat sebagai: antropologi, psikologi, sosiologi,
ekonomi, ilmu politik dan ilmu hukum. Perbedaan terletak pada aspek
keharusan (ought). Perbedaan dengan Teologi moral, karena tidak
berdasarkan pada kaidah-kaidah keagamaan, tetapi terbatas pada
pengetahuan yang dilahirkan oleh manusia sendiri.
Dari berbagai definisi di atas, perlu diberikan beberapa catatan.
menggolongkan etika sebagai ilmu pengetahuan normatif yang
bertugas memberikan pertimbangan perilaku manusia dalam
masyarakat apakah baik atau buruk, benar atau salah.

ETIKA ADMINISTRASI PUBLIK 227


Dalam Encyclopedia Britannica, etika dinyatakan dengan tegas
sebagai filsafat moral, yaitu studi sistematik mengenai sifat dasar dari
konsep-konsep nilai baik, buruk, harus, benar, salah dan sebagainya.
Konsep etika dengan beberapa arti, salah satu diantaranya dan
bisa digunakan orang adalah kebiasaan, akhlak dan watak. Filsuf
besar Aristoteles, kata Bertens, telah menggunakan kata etika ini
menggambarkan filsafat moral, yaitu ilmu tentang apa yang biasa
dilakukan atau tidak biasa dilakukan.
Dengan memperhatikan beberapa sumber di atas, dapat
disimpulkan bahwa ada tiga arti penting etika, yaitu etika (1) sebagai
nilai-nilai moral dan norma-norma moral yang menjadi rujukan bagi
setiap orang atau suatu kelompok dalam mengatur perilakunya, atau
disebut dengan “sistem nilai”, (2) sebagai kumpulan asas atau nilai
moral yang sering dikenal dengan “kode etik”, (3) sebagai ilmu
tentang yang baik atau buruk, yang acapkali disebut “filsafat moral”.
Pendapat seperti ini mirip dengan pendapat yang ditulis Denhardt,
(1988:28). dalam The Encyclopedia of Philosophy yang menggunakan
etika sebagai (1) “way of life” (2) “moral code” atau rules of conduct,
dan (3) penelitian tentang unsur pertama dan kedua di atas.
Salah satu uraian menarik dari Bertens (2000), adalah tentang
perbedaan atas konsep etika dari konsep etik. Etika lebih
menggambarkan norma tentang perbuatan itu sendiri, yaitu apakah
suatu perbuatan boleh atau tidak boleh dilakukan, misalnya
mengambil barang milik orang tanpa ijin tidak pernah diperbolehkan.
Sementara etiket menggambarkan cara suatu perbuatan itu dilakukan
manusia, dan berlaku hanya dalam pergaulan atau berinteraksi
dengan orang lain, dan cenderung berlaku dalam kalangan tertentu
saja, misalnya memberi sesuatu kepada orang lain dengan tangan kiri
merupakan cara yang kurang sopan menurut tradisi tertentu, tetapi
tidak menjadi permasalahan bagi tradisi lain. Karena itu etika lebih
bersifat relatif dan cenderung mengutamakan simbol lahiriah, bila
dibandingkan etika yang cenderung berlaku universal dan
menggambarkan sungguh-sungguh sikap batin.
Secara umum nilai-nilai moral nampak dari enam nilai besar
atau yang dikenal dengan “six great ideas” Denhardt (1988), yaitu
nilai kebenaran (truth), kebaikan (goodness), keindahan (beauty),
kebebasan (liberty), kesetaraan (equality), dan keadilan (justice).

228 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


Dalam kehidupan bermasyarakat, seseorang sering dinilai
apakah tutur kata, sikap dan perilaku sejalan dengan nilai-nilai
tersebut atau tidak. Begitu pula dalam pemberian pelayanan publik,
tutur kata, sikap, dan perilaku para pemberi pelayanan sering
dijadikan objek penilaian dimana nilai-nilai besar tersebut dijadikan
ukurannya. Disamping nilai-nilai dasar tersebut, mungkin ada juga
nilai-nilai lain yang dianggap penting untuk menyukseskan pemberian
pelayanan, yang dari waktu ke waktu terus dinilai, dikembangkan dan
dipromosikan. Nilai-nilai tersebut sering dilihat sebagai “muatan lokal”
yang wajib diikuti seperti yang tinggi, memiliki agama yang jelas,
bertakwa dan sebagainya.
Dalam dunia administrasi publik atau pelayanan publik, etika
diartikan sebagai filsafat dan “professional standards” (kode etik),
atau “right rules of conduct” (aturan berperilaku yang benar) yang
seharusnya dipatuhi oleh pemberi pelayanan publik atau administrasi
publik Denhardt (1988:17), etika didefinisikan sebagai cabang
filsafat yang berkenaan dengan nilai-nilai yang berhubungan dengan
perilaku manusia, dalam kaitannya dengan benar atau salah suatu
perbuatan, dan baik atau buruk motif dari tujuan perbuatan tersebut.

B. ETIKA ADMINISTRASI PUBLIK

Etika merupakan bagian dari filsafat, nilai dan moral. Etika


bersifat abstrak dan berkenaan dengan persoalan "baik" dan "buruk".
Sedangkan administrasi publik bersifat konkrit dan harus mewujud-
kan apa yang diinginkan publik. Hal ini menimbulkan masalah yaitu
bagaimana menghubungkan gagasan administrasi seperti
keteraturan, efisiensi, kemanfaatan dan kinerja yang dapat
menerapkan etika dalam praktiknya. Bagaimana mewujudkan yang
baik dan menghindari yang buruk dalam melaksanakan tugas dan
tanggungjawab administrator.
Menurut Chandler & Plano (1988), dalam etika terdapat
empat aliran utama yaitu (1) empirical theory, (2) rational theory,
dan (3) intuitive theory, dan (4) revelation theory.
1. Empirical theory berpendapat bahwa etika diturunkan dari penga-
laman manusia dan persetujuan umum. Misalnya peperangan/
penggunaan zat kimia tertentu yang membahayakan manusia.

ETIKA ADMINISTRASI PUBLIK 229


Dalam konteks ini penilaian tentang “baik” dan “buruk” tidak
terlepas atau terpisahkan dari fakta dan perbuatan yang
dirasakan.
2. Rational theory berasumsi bahwa baik atau buruk sangat
tergantung dari rationing atau alasan dan logika yang
melatarbelakangi suatu perbuatan, bukan pengalaman. Dalam
konteks ini, setiap situasi dilihat sebagai suatu yang unik dan
membutuhkan penerapan yang unik pula tentang baik atau buruk.
3. Intuitive theory berasumsi bahwa etika tidak harus berasal dari
pengalaman dan logika, tetapi dari manusia secara alamiah
memiliki pemahaman tentang apa yang benar dan salah, baik dan
buruk. Teori ini menggunakan hukum moral atau “natural moral
law”.
4. Relevation theory berasumsi bahwa yang benar atau salah berasal
dari kekuasaan di atas manusia yaitu dari Tuhan sendiri. Dengan
kata lain apa yang dikatakan Tuhan (dalam berbagai kitab suci)
menjadi rujukan utama untuk memutuskan apa yang benar dan
apa yang salah.
Disamping keempat aliran di atas, yang sering dipertentangkan
dalam administrasi publik karena pengaruhnya kepada administrator
adalah pendekatan teleologis atau utilitarianisme, deontologist dan
virtue ethics pendekatan pertama dan kedua seringkali bertentangan
satu sama lain, bahkan dalam beberapa kasus membingungkan
publik.
Pendekatan teleologis dan utilitarianisme merupakan
pendekatan yang bereorientasi kepada tujuan dan difokuskan kepada
akibatnya Heichelbech (2003:1189-1191). Teologi secara khusus
berkenaan dengan maksud dan tujuan, sementara utilitarian
berkaitan dengan akibat yang dirasakan apakah memenuhi
kepentingan atau meningkatkan kepuasan. Kedua pendekatan ini
berbeda dengan pendekatan deontologi yang memusatkan
perhatiannya kepada kewajiban dan motif yang mendasari suatu
kebijakan atau perbuatan.
Pendekatan teleologis dapat ditelusuri dari karya Aristoteles.
Menurut Aristoteles, tujuan atau maksudlah yang menentukan
apakah sesuatu itu baik atau bermanfaat. Dengan kata lain, etis
tidaknya suatu tindakan ditentukan oleh motif atau tujuannya

230 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


seseorang melakukan tindakan tersebut. Sayangnya pernyataan
tersebut ditentang oleh “scientific revolution” yang berpendapat
bahwa bukan tujuan atau maksud yang menentukan sesuatu itu baik
atau tidak baik suatu tindakan, tetapi lebih ditentukan oleh prinsip-
prinsip ilmiah atau rasionalisasi yang digunakan dalam suatu
tindakan.
Aliran utilitarianisme pertama muncul di Inggeris pada akhir
abad ke delapan belas. Aliran ini menolak rationalisme dengan
memberikan argumentasinya bahwa sesuatu itu etis (baik) atau tidak
etis (atau buruk), sangat tergantung bukan pada alasan yang
digunakan tetapi kemampuan menghasilkan suatu kenikmatan, atau
mengurangi kesengsaraan seseorang dalam proses hidup dan
kehidupan manusia. Jeremy Bantham dalam tulisannya berjudul
The Principles of morals and Legislation, berpendapat bahwa prinsip
etis atau tidak etisnya suatu kegiatan tergantung kepada
kecenderungan menghasilkan kebahagiaan, atau mengurangi
kebahagiaan. Dengan kata lain, etika benar-benar peduli terhadap
kebahagiaan setiap orang dalam proses hidup dan kehidupan.
Mengikuti Jeremy Bentham, Jhon Stuart Mill dalam tulisan utili-
tarianism setuju bahwa sesuatu kegiatan dianggap baik secara etis
tergantung kepada utility atau kegunaannya yaitu apakah kegiatan
itu akan meningkatkan kebahagiaan atau kesenangan, dan dianggap
buruk secara etis bila tidak mendatangkan kesenangan, akan tetapi ia
akan lebih menekankan bahwa tidak hanya sekedar meningkatkan
kebahagiaan atau mengurangi kesengsaraan bagi yang berkepen-
tingan, tetapi lebih penting lagi menghasilkan kebahagiaan paling
tinggi bagi setiap orang di muka bumi ini. Jadi dalam pandangan Mill,
suatu kegiatan itu etis bila menghasilkan kebahagiaan yang lebih
besar dan lebih luas lagi cakupannya. Untuk menghasilkan yang lebih
besar ini diperlukan peningkatan efisiensi dengan kata lain, bila
efisiensi telah dimaksimalisasikan dalam suatu birokrasi maka
menurut pandangan utilitarian, birokrasi tersebut telah bertindak etis.
Apa yang disampaikan dalam utilitarianisme ini dikritik karena
dalam kenyataan tidak mudah menghitung utilitas atau kegunaan
secara tepat. Demikian pula tidak dipersoalkan kebahagiaan siapa,
apakah yang ingin dibahagiakan itu adalah yang secara legitimate
berhak mendapatkannya, atau jangan-jangan kepada orang atau

ETIKA ADMINISTRASI PUBLIK 231


kelompok orang tertentu yang tidak pantas mendapatkannya. Atau
dengan kata lain kepentingan yang dilayani harus benar-benar
kepentingan dari orang-orang yang membutuhkannya secara sah.
Kritik yang lain datang dari kelompok utilitarian kontemporer atau
dikenal dengan nama consequenialists, dimana mereka memper-
tanyakan mengapa harus kebahagiaan yang dijadikan ukuran,
apakah tidak sebaiknya mempertimbangkan juga kepentingan lain
seperti hak-hak dasar atau hak asasi manusia.
Deontologi merupakan salah satu cabang etika yang
menekankan kewajiban, tugas, tanggungjawab dan prinsip-prinsip
yang harus diikuti. Tokoh utamanya adalah Imanuel Kant dan Jhon
Rawls dalam Keban (2004:151). Deontologi berbeda dengan
utilitarianisme dalam hal tidak memperhatikan atau memperdulikan
konsekuensi atau akibat dari suatu perubahan sebagai pertimbangan
moral, tetapi lebih menekankan compliance dan enforcement
(ketaatan dan kesesuaian) terhadap suatu kewajiban, tanggung
jawab, aturan dan prinsip-prinsip yang berlaku. Bagi kaum
deontologist, ada banyak hubungan nonconsequensil yang perlu
diperhatikan, hubungan bapak dan anak, afiliasi bisnis, yang dapat
memperkaya kehidupan moral. Jhon Rawls menekankan bahwa etis
tidaknya sangat tergantung kepada apakah prinsip-prinsip utama
telah diikuti atau tidak, misalnya dalam mendistribusikan pelayanan
publik atau barang publik, telah menerapkan prinsip justice as
fairness atau tidak. Deontologi dikritik karena lebih menekankan
rasionalitas, dan tidak memperhatikan unsur manusianya. Karenanya,
sering dinilai sebagai konsep etika yang dangkal.
Virture Ethics berasal dari filsafat Yunani kuno, yang muncul
sebagai reaksi terhadap aliran utilitarianisme dan deontologi. Berda-
sarkan aliran ini, baik atau buruk, benar atau salah tidak tergantung
dari akibat atau konsekuensi (utilitarianisme), atau dari kewajiban
atau prinsip harus ditaati (deontologi), tetapi dari “The excellences of
character” yang ditunjukkan dari integritas Bowman (2003:1259-
1263). Dengan kata lain, substansi aktual dari etika atau moral ini
tidak dapat dipahami dengan memprediksi hasil atau akibat, atau
kesesuaian dengan kewajiban, tetapi dipahami dari “internal
imperative to do right”. Hal-hal yang perlu ditekankan adalah
keharusan untuk berbuat baik, tidak karena dorongan mendapatkan

232 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


hasil atau keharusan mengikuti kewajiban atau prinsip yang telah
ditentukan. Ketiga aliran tersebut, menurut Bowman, membentuk
segitiga etika (Ethical Triangle), dimana aliran deontologi
memusatkan perhatian pada kewajiban dan prinsip yang harus
diikuti. Ketiga aliran tersebut mewarnai isu etika atau moral dalam
praktik administrasi publik. Ada yang mempersoalkan apa yang diker-
jakan pemerintah dari aspek ketaatan dan pemenuhan kewajiban dan
prinsip-prinsip yang telah ditetapkan (deontologi). Karena itu, etika
jenis ini lebih berkenaan dengan cara atau metode administrasi
publik. Sementara itu, ada yang mempersoalkan akibat yang
dirasakan atau dinikmati (utilitarianisme). Karena itu, etika itu
berkenaan dengan tujuan. Permasalahannya adalah apakah dianggap
etis bila tujuannya baik tapi caranya tidak baik? Atau apakah
dianggap etis kalau cara atau metode yang digunakan adalah baik
meskipun tujuannya tidak tercapai? Dalam posisi seperti ini,
barangkali Vulture Ethics dapat menjawab bahwa hal itu tergantung,
yaitu tergantung dari integritas, kebaikan, atau hati nurani para
pelaku.
Dalam pemberian pelayanan publik, telah terjadi pergeseran
paradigma etika. Pergeseran tersebut dapat ditelusuri dalam tulisan
Denhardt yang berjudul The Ethics of Public Service (1988). Penulis
ini menggambarkan sejarah etika pelayanan publik melalui dari karya
Wayne A. R. Leys tahun 1944, yang oleh penulis disebut sebagai
model-The 1940’s. Leys memberikan saran kepada pemerintah
Amerika Serikat tentang bagaimana menghasilkan suatu “good public
policy decisions”. Ia berpendapat bahwa sudah waktunya
meninggalkan kebiasaan atau tradisi yang selama ini selalu menjadi
pegangan utama dalam menentukan suatu perumusan kebijakan
karena pemerintah terus berhadapan dengan berbagai masalah baru.
Katanya, kebiasaan dan tradisi tersebut harus “digoyang” dengan
standar etika yang ada dimana etika, katanya, harus dilihat sebagai
“source of doubt”. Denhardt (1988:6), mengatakan bahwa
pertanyaan-pertanyaan etika harus digunakan dalam menilai apakah
suatu kebijakan sudah dianggap baik atau buruk. Singkatnya, dalam
model ini dikatakan bahwa agar menjadi etis, diperlukan seorang
administrator selalu menguji dan mempertanyakan standar yang

ETIKA ADMINISTRASI PUBLIK 233


digunakan dalam pembuatan kebijakan daripada yang hanya sekedar
menerima atau tergantung pada kebiasaan dan tradisi yang ada.
Hurst A. Anderson di tahun 1953 mengungkapkan dalam suatu
pidatonya dengan judul Ethical Values in Administration (nilai-nilai
etika dalam administrasi), katanya, masalah etika sangat penting
dalam setiap kebijakan administratif, tidak hanya mereka yang
memformulasikan kebijakan publik. Etika itu sendiri harus dipandang
sebagai asumsi-asumsi yang menuntun kehidupan dan pekerjaan kita
semua. Dengan kata lain, kita harus memiliki apa yang disebut
“philosophy of personal and soil living”. Oleh Denghardt (1988),
pendapat ini diklasifikasikan sebagai model ll-The 1950’s yang
berintikan bahwa agar dianggap etis maka seorang administrator
hendaknya mengevaluasi dan mempertanyakan standar dan asumsi-
asumsi yang digunakan sebagai dasar perumusan suatu kebijakan.
Standar-standar tersebut harus merefleksikan nilai-nilai dasar yang
ada pada suatu masyarakat, dan tidak sekedar bergantung semata
pada kebiasaan dan tradisi. Perlu diketahui bahwa yang dimaksud
dengan nilai-nilai dasar (core values) masyarakat meliputi antara lain
kebebasan, kesetaraan, keadilan, kebenaran, kebaikan dan estetika.
Tahun 1960an memunculkan nuansa baru dalam etika
pelayanan publik. Robert T. Golembiewski memaparkan dalam
tulisannya yang berjudulkan Man, Management and Morality tahun
1965, bahwa praktik-praktik birokrasi yang telah berlangsung sekian
lama yang didasarkan pada teori-teori birokrasi tradisional telah
membawa dampak negatif pada individu-individu yang bekerja dalam
birokrasi itu sendiri. Dengan kata lain, para individu tersebut merasa
tertekan dan frustasi dan karena itu sisi etika dari praktik tersebut
perlu mendapatkan perhatian. Standar-standar yang telah ditetapkan
dalam birokrasi jaman dulu belum tentu cocok sepanjang masa,
karena itu harus dilihat apakah masih pantas dipertahankan atau
tidak, disini Golembiewski melihat etika sebagai sesuatu yang harus
disesuaikan dengan waktu. Karena itu, Denhardt (1988), melihat
pendapat ini Sebagai Model III –The 1960’s, yang pada intinya agar
menjadi etis seorang administrator sebaiknya mengevaluasi dan
mempertanyakan standar, atau asumsi yang melandasi pembuatan
suatu kebijakan, standar-standar tersebut harus merefleksikan nilai-
nilai dasar yang ada pada publik dan tidak semata bergantung pada

234 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


kebiasaan dan/atau budaya. Standar etika bisa berubah ketika
seseorang mencapai suatu pemahaman yang lebih baik terhadap
standar-standar moral yang berlaku secara umum.
Para ahli administrasi publik yang tergolong dalam masyarakat
New public administration yang muncul di tahun 1970an,
memberikan nuansa baru atau kondisi baru yang mengharapkan agar
administrator memperhatikan “administratic responsibility”. David K.
Hart, salah satu intelektualnya, menilai bahwa administrasi publik
saat itu sudah bersifat “impartial” dan sudah waktunya mengubah
paradigma lama untuk memperbaiki kepercayaan publik yang waktu
itu sudah pudar. Ia menyarankan agar keadilan sebagaimana
disarankan oleh Jhon Rowls dalam teori keadilan. Nilai keadilan yang
disarangkan disini sebenarnya hanya merupakan sebagian dari "core
values” yang telah disebutkan di atas, sehingga pengalaman di tahun
1970an tersebut lebih menggambarkan penyempurnaan "content”
atau isi dari etika itu sendiri, sebagai pelengkap dari tinjauan tentang
“process” dan "context” yang telah diungkapkan dalam model-model
sebelumnya.
Model ini disebut dengan model IV- The 1970’s, yang
merupakan akumulasi penyempurnaan dari model-model sebelumnya
dimana dikatakan bahwa dengan menjadi etis seorang administrator
harus benar-benar memberi perhatian pada proses menguji dan
mempertanyakan standar, atau asumsi yang melandasi pembuatan
kebijakan administratif. Denhardt (1988:16), mengatakan bahwa
standar-standar ini mungkin berubah dari waktu ke waktu dan
administrator harus mampu merespon tantangan-tantangan dan
tuntutan-tuntutan baru dengan memperbaharui standar-standar
tersebut. Isi dari standar-standar tersebut harus merefleksikan
komitmen terhadap nilai-nilai dasar masyarakat dan administrator
harus memahami bahwa yang akan bertanggungjawab penuh
terhadap standar-standar yang digunakan dan terhadap kebijakan-
kebijakan itu sendiri.
Setelah model keempat di atas, muncul beberapa pendapat
secara signifikan memberikan kontribusi bagi penyempurnaan
paradigma etika pelayanan publik. Dua tokoh yang memberi
kontribusi tersebut adalah John Rohr dalam karyanya Ethics for
Buraeucrats tahun 1978 dan Terry L. Cooper dalam The Responsible

ETIKA ADMINISTRASI PUBLIK 235


Administrator tahun 1986. John Rohr Denhardt dalam tulisannya
memberikan sumbangan yang sangat berarti yaitu bahwa dalam
proses pengujian dan mempertanyakan standar dan asumsi yang
digunakan dalam pengambilan kebijakan diperlukan “independensi”,
dan tidak boleh tergantung dari pemikiran pihak luar seperti
Mahkamah Agung atau Pengadilan Negeri, dan sebagainya. Karena
itu, Denhard (1988), menyebutnya sebagai model V-After Rohr,
dimana dikatakan bahwa dapat disebut etis maka seorang
administrator harus secara independen masuk dalam proses menguji
dan mempertanyakan standar-standar yang digunakan dalam
pembuatan kebijakan. Isi dari standar tersebut mungkin berubah dari
waktu ke waktu ketika nilai-nilai sosial dipahami secara lebih baik
atau ketika masalah-masalah sosial baru diungkapkan. Denhardt,
(1988:23), mengatakan bahwa administrator harus memahami
bahwa ia akan bertanggungjawab baik secara perorangan maupun
kelompok terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuat dan tahap
standar etika yang dijadikan dasar kebijakan-kebijakan.
Setelah model V yang didasarkan pada pendapat Denhardt
(1988:26), menggambarkan suatu model akhir yang disebut model
VI-After Cooper. Model ini menggambarkan pemikiran Cooper bahwa
administrator, birokrasi dan etika terdapat hubungan penting dimana
etika para administrator justru sangat ditentukan oleh konteks
birokrasi dimana ia bekerja. Jadi lingkungan birokrasi menjadi sangat
menentukan, bahkan begitu menentukan sehingga seringkali para
administrator hanya memiliki sedikit “otonomi beretika”. Dengan kata
lain, agar dapat dikatakan etis apabila seorang administrator harus
mampu mengatur secara independen proses menguji dan memper-
tanyakan standar yang digunakan dalam pembuatan kebijakan,
paling tidak kebijakan yang secara sah dibuat pada tingkatan
birokrasi itu. Isi dari standar tersebut mungkin berubah dari waktu ke
waktu bila nilai-nilai sosial dipahami secara lebih baik dan masalah-
masalah sosial baru mulai terungkap. Administrator dalam hal ini
harus siap menyesuaikan standar-standar tersebut dengan
perubahan-perubahan tersebut, senantiasa merefleksikan komitmen-
nya pada nilai-nilai dasar masyarakat dan tujuan birokrasinya.
Administrator bertanggungjawab secara perorangan dan profesional,
dan bertanggungjawab dalam birokrasi terhadap kebijakan yang

236 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


dibuat dan terhadap standar etika yang digunakan dalam kebijakan
itu.
Dari gambaran singkat tentang pergeseran paradigma etika
pelayanan publik di atas dapat disimpulkan bahwa selama ini etika
dan moralitas sudah mendapatkan perhatian yang serius dalam dunia
pelayanan publik atau administrasi publik. Tiga hal pokok yang
menarik perhatian dalam paradigma ini yaitu (1) proses menguji dan
mempertanyakan standar etika dan asumsi, secara independen; (2)
isi standar etika yang seharusnya merefleksikan nilai-nilai dasar
masyarakat dan perubahan standar tersebut baik sebagai akibat dari
penyempurnaan pemahaman terhadap nilai-nilai dasar masyarakat,
maupun sebagai akibat dari munculnya masalah-masalah baru dari
waktu ke waktu; (3) konteks birokrasi dimana para administrator
bekerja berdasarkan tujuan birokrasi dan peranan yang dimainkan
mereka, yang dapat mempengaruhi otonomi mereka dalam beretika.

C. IMPLEMENTASI NILAI-NILAI ETIKA

Implementasi etika dan moral dalam praktik dapat dilihat dari


kode etik yang dimiliki oleh administrator publik. Kode etik di
Indonesia masih terbatas pada beberapa kalangan seperti ahli Hukum
dan Kedokteran. Kode etik bagi kalangan profesi yang lain masih
belum ada, meskipun banyak yang berpendapat bahwa nilai-nilai
agama dan etika moral pancasila sebenarnya sudah cukup untuk
menjadi rujukan dalam melaksanakan pekerjaan atau bertingkah
laku, dan yang menjadi masalah sebenarnya adalah bagaimana
implementasi nilai-nilai tersebut. Pendapat tersebut tidak salah, tetapi
harus diakui bahwa tidak adanya kode etik ini memberikan peluang
bagi para pemberi pelayanan untuk mengesampingkan kepentingan
publik. Kehadiran kode etik ini sendiri lebih berfungsi sebagai control
langsung sikap dan prilaku dalam bekerja, mengingat tidak semua
aspek dalam bekerja diatur secara lengkap melalui aturan atau tata
tertib yang ada dalam suatu organisasi pelayanan publik.
Kode etik tidak hanya sekedar bacaan, tetapi juga diimplemen-
tasikan dalam melakukan pekerjaan, dinilai tingkat implementasinya
melalui mekanisme monitoring, kemudian dievaluasi dan diupayakan
perbaikan melalui consensus. Komitmen terhadap perbaikan etika ini

ETIKA ADMINISTRASI PUBLIK 237


perlu ditunjukkan, agar publik mendapatkan kepercayaan dari pihak
pemberi pelayanan sungguh-sungguh akuntabel dalam melaksanakan
kegiatan pelayanan publik.
Karena itulah sebaiknya negara kita perlu belajar dari negara
lain yang sudah maju dan memiliki kedewasaan beretika. Di Amerika
Serikat, misalnya, kesadaran beretika dalam pelayanan publik telah
begitu meningkat sehingga banyak profesi pelayanan publik telah
menetapkan kode etiknya. Salah satu contoh yang relevan dengan
pelayanan publik adalah kode etik yang dimiliki ASPA (America
Society for public Administration), yang telah direvisi berulang-ulang
kali dan mendapat penyempurnaan dari para anggotanya Wachs
(1985). Nilai-nilai yang di jadikan kode etik bagi administrator publik
di Amerika Serikat adalah menjaga integritas, kebenaran, kejujuran,
ketabahan, respek, beri perhatian, keramahan, cepat tanggap,
mengutamakan kepentingan publik, beri perlindungan terhadap
informasi yang sepatutnya dirahasiakan, dukungan terhadap "system
merit” dan program "affirmative action”.
Semua nilai yang terdapat dalam kode Etik Administrasi ini
bukan muncul tiba-tiba tetapi melalui suatu kajian yang mendalam
dan membutuhkan waktu lama, dan didukung oleh diskusi dan dialog
yang tidak pernah berhenti. Konferensi atau seminar berkala diantara
para akademisi dan praktis administrasi publik terus dilakukan, para
peserta seminar atau konferensi sangat diharapkan untuk berpartisi-
pasi dalam diskusi dan dialog terbuka dan mendalam untuk
menetapkan nilai-nilai moral dan etika yang harus diperhatikan dalam
bekerja, termasuk dalam kondisi apa seorang administrator harus
bertindak atau memperhatikan nilai-nilai etika.
Untuk membantu menerapkan prinsip-prinsip etika dan moral di
Indonesia, pengalaman negara-negara lain perlu diadopsi. Tidak
dapat disangkal bahwa pada saat ini Indonesia yang dikenal sebagai
negara koruptor nomor muda atau paling muda di dunia, perlu
berupaya keras menerapkan prinsip-prinsip etika dan moral. Etika
perumus kebijakan, etika pelaksana kebijakan, etika evaluator
kebijakan, etika administrasi publik atau birokrat publik, etika
perencana publik, etika PNS, dan sebagainya, harus diprakarsai dan
mulai diterapkan sebelum berkembangnya budaya yang bertentangan
dengan moral dan etika.

238 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


Etika Administrasi publik yang dapat digunakan sebagai rujukan
atau referensi bagi para birokrasi publik dalam menjalankan tugas
dan kewenangannya yaitu American Society for Administration
(ASPA), yang dikutip oleh Widodo (2006:70), yaitu sebagai berikut:
1. Pelayanan kepada masyarakat yaitu pelayanan di atas pelayanan
kepada diri sendiri.
2. Rakyat yang berdaulat dan mereka yang bekerja dalam instansi
pemerintah dan pada akhirnya bertanggungjawab kepada rakyat.
3. Hukum mengatur semua tindakan dari instansi pemerintah. Dalam
artian bahwa semua tindakan birokrasi seharusnya mengacu
kepada kepentingan rakyat.
4. Manajemen yang efektif dan efisien merupakan dasar bagi
birokrasi. Penyalahgunaan pengaruh, penggelapan, pemborosan
dan/atau penyelewengan tidak dapat dibenarkan.
5. Sistem penilaian kecakapan, kesempatan yang sama, dan asas-
asas iktikad baik akan didukung, dijalankan dan dikembangkan.
6. Perlindungan terhadap kepercayaan rakyat sangat penting, konflik
kepentingan, penyuapan, hadiah, atau favoritisme yang
merendahkan jabatan publik untuk kepentingan pribadi tidak
diterima (tidak etis).
7. Pelayanan kepada masyarakat menuntut kepekaan khusus dengan
ciri-ciri sifat keadilan, keberanian, kejujuran, persamaan,
kompetensi dan kasih sayang. Birokrasi publik harus menghargai
sifat-sifat tersebut secara arif dan bijak untuk melaksanakannya.
8. Hati nurani memegang peranan penting dalam memilih arah
tindakan. Ini memerlukan kesadaran akan makna ganda moral
dalam kehidupan dan pengkajian tentang prioritas nilai tujuan
yang baik tidak pernah membenarkan cara yang tidak beretika.
9. Para administrator publik tidak hanya terlibat untuk mencegah hal
yang tidak etis, tetapi juga untuk mengusahakan hal yang etis
melalui pelaksanaan tanggungjawab dengan penuh semangat dan
tepat pada waktunya.
Nilai etika tersebut di atas dapat digunakan sebagai rujukan
bagi birokrat khususnya para pemimpin dalam bersikap, bertindak,
berprilaku, dalam merumuskan kebijakan dalam rangka melaksana-
kan tugas pokok, fungsi, kewenangan dan tanggungjawabnya,
sekaligus dapat digunakan standar untuk menilai, apakah sikap,

ETIKA ADMINISTRASI PUBLIK 239


tindakan, perilaku dan kebijakannya itu dinilai baik atau buruk oleh
publik.
Selanjutnya yang dapat digunakan untuk menilai baik buruknya
suatu pelayanan publik yang diberikan oleh birokrasi publik dapat
dilihat dari baik buruknya penerapan nilai-nilai sebagai berikut:
1. Efisiensi, yaitu para birokrat tidak boros dalam melaksanakan
tugas-tugas pelayanan kepada masyarakat. Dalam artian bahwa
para birokrat secara berhati-hati agar memberikan hasil yang
sebesar-besarnya kepada publik. Dengan demikian nilai efisiensi
lebih mengarah pada penggunaan sumber daya yang dimiliki
secara cepat dan tepat, tidak boros dan dapat dipertanggung-
jawabkan kepada publik. Jadi dapat dikatakan baik (etis) jika
birokrat publik menjalankan tugas dan kewenangannya secara
efisien.
2. Efektivitas, yaitu para birokrat dalam melaksanakan tugas-tugas
pelayanan kepada publik harus baik (etis) yaitu memenuhi target
atau tujuan yang telah ditentukan sebelumnya tercapai. Tujuan
yang dimaksud adalah tujuan publik dalam pencapaian tujuannya,
bukan tujuan pemberi pelayanan (birokrat publik).
3. Kualitas layanan, yaitu kualitas pelayanan yang diberikan oleh para
birokrat kepada publik harus memberikan rasa kepuasan kepada
yang dilayani. Dalam artian bahwa baik (etis) tidaknya pelayanan
yang birokrat kepada publik ditentukan oleh kualitas pelayanan.
4. Responsivitas, yaitu berkaitan dengan tanggungjawab birokrat
dalam merespon kebutuhan publik yang sangat mendesak.
Birokrat dalam menjalankan dinilai baik (etis) jika responsibel dan
memiliki profesional atau kompetensi yang sangat tinggi.
5. Akuntabilitas, yaitu berkaitan dengan pertanggungjawaban dalam
melaksanakan tugas dan kewenangan administrasi publik. Birokrat
yang baik (etis) adalah birokrat yang akuntabel dalam melaksana-
kan tugas dan kewenangannya.
Etika administrasi publik tersebut di atas belum cukup untuk
menjamin untuk menghapus perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme
disingkat (KKN) pada birokrasi publik. Ada beberapa hal yang
terpenting yaitu tergantung pada karakter dari masing-masing pelaku
atau orangnya masing-masing. Dengan kata lain kesadaran melalui
keimanan dan ketakwaan yang melekat pada diri orang tersebut.

240 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


Orang yang mempunyai tingkat religius yang tinggi tentu tidak akan
melakukan KKN, jika orang tersebut mengetahui dan meyakini bahwa
perbuatan tersebut merupakan suatu perilaku yang tidak baik, tercela
dan tidak terpuji, terutama jika dilihat dari keyakinan dan keagamaan
yang mereka anut, karena segala perilaku harus dipertanggung-
jawabkan di kemudian hari di hadapan Allah SWT. Sekalipun orang
KKN bisa lolos dari akuntabel duniawi, tapi tidak akuntabel di
hadapan Allah Swt. Dengan adanya keimanan dan ketakwaan yang
kuat pada diri manusia sudah pasti tercegah munculnya niat untuk
melakukan KKN sekalipun kesempatan terbuka lebar untuk
melakukannya. Karena pada umumnya orang melakukan kritikan
terhadap orang yang melakukan KKN, pada hal sesungguhnya orang
yang melakukan kritikan tersebut hanya tidak punya kesempatan
untuk melakukannya.
Oleh karena itulah menurut Widodo (2006:74), mengatakan
bahwa tindakan KKN pada dasarnya terjadi karena hasil pertemuan
antara "niat" dengan "kesempatan" yang terbuka. Tindakan KKN bisa
terjadi, baik pada birokrasi publik tingkat tinggi, menengah, maupun
rendahan. Karena itu, untuk mencegah KKN menurut Widodo adalah
diupayakan untuk tidak mempertemukan antara "niat" dan "kesem-
patan", melalui mekanisme akuntabilitas publik, menjunjung tinggi
dan menegakkan etika administrasi publik pada jajaran birokrasi
publik.

ETIKA ADMINISTRASI PUBLIK 241


11
GOOD GOVERNANCE

A. KONSEP GOOD GOVERNANCE

Perubahan paradigma dalam bidang kepemerintahan dalam era


pasca reformasi ini menjadi topik utama dalam paradigma baru
kepemerintahan di Indonesia. Aparatur pemerintah merupakan unsur
pelayanan masyarakat perlu lebih dahulu menghayati serta
menerapkannya sesuai tuntutan zaman yang sudah berubah. Bahwa
paradigma lama yang selama ini menjadi aspek pemerintahan
dengan kecenderungan dengan kekuasaan dan sekarang berubah
menjadi kewenangan untuk pelayanan masyarakat, pemberdayaan
masyarakat. Sejalan dengan perubahan era reformasi tersebut baik
secara internal maupun perubahan lingkungan strategik yang sudah
merupakan keharusan setiap pegawai negeri (aparatur) memahami
dan melaksanakan secara baik.
Perubahan paradigma dalam bidang kepemerintahan dalam era
pasca reformasi ini menjadi topik utama dalam paradigma baru
kepemerintahan di Indonesia. Aparatur pemerintah merupakan unsur
pelayanan masyarakat perlu lebih dahulu menghayati serta
menerapkannya sesuai tuntutan zaman yang sudah berubah. Bahwa
paradigma lama yang selama ini menjadi aspek pemerintahan
dengan kecenderungan dengan kekuasaan dan sekarang berubah
menjadi kewenangan untuk pelayanan masyarakat, pemberdayaan
masyarakat. Sejalan dengan perubahan era reformasi tersebut baik
secara internal maupun perubahan lingkungan strategik yang sudah
merupakan keharusan setiap pegawai negeri (aparatur) memahami
dan melaksanakan secara baik.

242 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


Sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 101 tahun
2000, tentang Diklat Jabatan Pegawai Negeri Sipil yang menetapkan
salah satu mata diklat yaitu; Dasar-dasar Kepemerintahan yang Baik
(Good governance) untuk diikuti oleh calon pegawai yang akan
menduduki jabatan eselon IV. Untuk menjadikan jabatan pegawai
negeri sipil pada jenjang eselon IV sebagai sumber daya manusia
aparatur negara yang mempunyai kompetensi yang bersikap dan
berperilaku yang menentukan keberhasilan penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan.
Berdasarkan dari amanat PP tersebut di atas, dalam makalah ini
penulis akan berusaha menguraikan apa yang menjadi dasar dari
kepemerintahan yang baik tersebut yang dapat diaplikasikan
(diterapkan) dalam kehidupan kepemerintahan khususnya di daerah
Sumatera Barat. Hal ini mengingat banyak faktor yang
mempengaruhi perubahan paradigma tersebut dari pemerintah
menjadi kepemerintahan yang mempunyai pengertian yang jauh
mendalam dan memerlukan waktu untuk penerapannya.
Dalam jangka waktu sekitar 16 tahun, semenjak dimulai
reformasi pada tahun 1998 lalu, telah membawa banyak perubahan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang mempunyai
implikasi mendalam dalam penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan di Indonesia umumnya dan di Sumatera Barat
khususnya. Melalui demokratisasi dan desentralisasi, keterbukaan,
transparansi, akuntabilitas, penyelenggaraan pemerintahan di daerah
sebagai ciri dari Good governance atau kepemerintahan yang baik
tersebut.
Sejalan dengan perubahan zaman yang dipengaruhi era
globalisasi yang menandai proses transformasi dari era orde baru,
secara struktural dengan demokratisasi yang berkembang dalam
kehidupan bermasyarakat. Pemberdayaan dan peningkatan
partisipasi masyarakat di berbagai bidang kehidupan; penegakan
supremasi hukum dan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme
dalam pemerintahan, penghormatan hak azasi manusia serta
perubahan interaksi sosial politik dan ekonomi antara masyarakat dan
pemerintah.
Pada dasarnya governance tidak hanya berarti kepemerintahan
sebagai suatu kegiatan, tetapi juga mengandung arti pengurusan,

GOOD GOVERNANCE 243


pengolahan, pengarahan, dan pembinaan penyelenggaraan
pemerintahan. Governance sebagai terjemahan dari pemerintahan
kemudian berkembang menjadi populer dengan sebutan
kepemerintahan, sedangkan pelaksanaan terbaiknya disebut
kepemerintahan yang baik atau lebih populer disebut good
governance.

Definisi Governance
Sedangkan yang dimaksud Governance menurut Ganie
Rochman (2000:142) adalah mekanisme pengelolaan sumber daya
ekonomi dan sosial yang melibatkan pengaruh sektor negara dan
sektor pemerintah dalam suatu kegiatan kolektif. Pinto dalam
Widodo (2006:107), mengatakan bahwa Governance adalah praktik
penyelenggaraan kekuasaan dan kewenangan oleh pemerintah dalam
pengelolaan urusan pemerintahan secara umum dan pembangunan
ekonomi pada khsususnya. LAN (2000:1) mendefinisikan Governance
adalah sebagai proses penyelenggaraan negara dalam melaksanakan
penyediaan public goods and services.
Sebelum melakukan pembahasan lebih lanjut tentang apa
pengertian dan apa yang menjadi dasar-dasar dan prinsip-prinsip
Good governance dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat,
dirasa perlu memahami pengertian dan beberapa perbedaan antara
kepemerintahan (governance ) dan pemerintah (government) yaitu
antara lain: Pemerintahan (government) dalam pengertiannya bahwa
Pemerintah adalah merupakan salah satu unsur dari tiga unsur
berdirinya sebuah negara disamping rakyat dan wilayah. Selanjutnya
unsur pemerintah merupakan sebuah kekuasaan (power) untuk
menjalankan pemerintahan dengan melayani kepentingan rakyat
serta bertugas/berhak menjalankan roda pemerintahan dengan
peraturan dan perundang-undangan serta peraturan lainnya untuk
mengatur rakyat dengan tujuan tercapainya kesejahteraan rakyat itu
sendiri. Kekuasaan yang diberikan tersebut merupakan tugas untuk
mengatur dan pelaksanaan ketertiban dan keamanan dalam
masyarakat serta melakukan pungutan pajak dan retribusi serta
mengatur jalannya perekonomian dalam sebuah Negara.
Di pihak lain rakyat selama ini diartikan sebagai orang yang
diperintah mempunyai hak dan kewajiban tertentu sesuai dengan

244 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


aturan yang ditetapkan oleh pemerintah dan legislatif. Disini tampak
perbedaan antara pemerintah di suatu sisi dan rakyat di sisi lainnya.
Dalam pengertian tersebut pemerintah mempunyai kedudukan lebih
dominant dibanding rakyatnya sendiri.
Dalam kaitan dengan sejarah pemerintahan dengan mulai sejak
Kemerdekaan tahun 1945, sudah banyak terjadi perubahan sistem
pemerintah termasuk di dalamnya pemerintah daerah. Diawali
lahirnya istilah pemerintahan semenjak manusia belum mengenal
pemerintahan, dimana manusia hidup secara berkelompok-kelompok
kecil yang bersifat bebas melakukan sesuatu sesuai kebutuhan-
kelompok masing-masing sesuka hati mereka. Mereka hidup
berpindah-pindah dengan memanfaatkan sebagian besar energi
hanya untuk mempertahankan diri dari serangan kelompok lain.
Belum ada hukum yang mengatur hubungan antar kelompok tersebut
yang merupakan nilai dan etika untuk menentukan sikap dan perilaku
masing-masing.
Kemudian muncul istilah manusia memakan manusia dan
manusia yang kuat akan berkuasa dan manusia yang lemah akan
dieksploitasi dan dirampas haknya oleh yang kuat (manusia yang
satu menjadi serigala terhadap manusia yang lain).
Kondisi tersebut akan selalu mengakibatkan terjadi konflik
dalam masyarakat mereka, sebagaimana kita dengar dalam
kehidupan masyarakat primitif dimanapun di dunia ini. Seiring dengan
perjalanan waktu orang-orang yang kuat (pemimpin) tersebut lama
kelamaan mendapat suatu bisikan untuk menjadi manusia bijaksana
untuk menciptakan kehidupan yang lebih tertib, melalui kesepakatan-
kesepakatan untuk mengatur kehidupan masyarakat yang lebih maju.
Definisi pemerintah atau government dalam bahasa Inggris
berarti “The authoritative direction and administration of the affairs of
men/women in nation, state, city, etc”. atau dalam bahasa Indonesia
berarti “Pengarahan dan administrasi yang berwenang atas kegiatan
orang-orang dalam sebuah Negara, Negara bagian, kota dan
sebagainya. Atau sebagai The Governing Body of a Nation, state, city,
etc. atau sebagai lembaga/badan yang menyelenggarakan
pemerintahan Negara, Negara bagian, kota dan sebagainya.
Sedangkan istilah kepemerintahan dalam bahasa Inggris disebut
Governance yang berarti “act, fact, manner, of governing”, jika

GOOD GOVERNANCE 245


diterjemahkan berarti tindakan, fakta, pola, dari kegiatan
penyelenggaraan pemerintahan. Governance merupakan suatu
proses atau kegiatan, oleh Kooiman (1993) berarti merupakan
serangkaian kegiatan (proses) interaksi sosial politik antara
pemerintah dengan masyarakat dalam berbagai bidang yang
berkaitan dengan kepentingan masyarakat dan intervensi pemerintah
atas kepentingan-kepentingan tersebut.
Selanjutnya menurut Bintoro Tjokroamidjojo (2000:34)
dalam Buku Paradigma Baru Management Pembangunan,
mengemukakan bahwa Governance berarti; memerintah, menguasai,
mengurusi, mengelola. Kemudian kutipan pendapat Bondan Gunawan
dengan istilah penyelenggaraan sebagai terjemahan dari Governance.
Begitu juga dalam pidato Presiden RI tanggal 16 Agustus 2000 istilah
Governance diterjemahkan menjadi pengelolaan.
Kesimpulan pengertian Governance disamping berarti
kepemerintahan, juga mengandung arti pengurusan, pengelolaan,
pengarahan, pembinaan, penyelenggaraan dan bisa juga diartikan
Pemerintahan. Istilah Public Governance, Private Governance,
Corporate Governance, Banking Governance kemudian berkembang
secara luas secara populer dalam berbagai bidang kehidupan
masyarakat dan bisnis. Sedangkan dalam praktik terbaiknya disebut
Good governance (kepemerintahan yang baik) yang sampaikan dalam
PP nomor 101 tahun 2000 tentang Diklat Jabatan PNS.

Definisi Good governance


Pengertian istilah Good adalah Pertama; merupakan nilai-nilai
yang sesuai keinginan rakyat atau nilai yang dapat meningkatkan
kemampuan rakyat dalam mencapai tujuan nasional: kemandirian,
pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial. Kedua; aspek-aspek
fungsional dari pemerintah yang efektif dalam pelaksanaan tugas
untuk mencapai tujuan. Pendapat Pinto (1994), istilah Governance
mengandung arti Praktik Penyelenggaraan Kekuasaan dan
Kewenangan oleh Pemerintah dalam mengelola urusan pemerintahan
secara umum, dan pembangunan ekonomi khususnya. World Bank
mensinonimkan Good governance dengan penyelenggaraan
manajemen yang solid dan bertanggung jawab, sejalan dengan
demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi

246 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


investasi, menghindarkan korupsi/KKN baik secara politik maupun
administrasi, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal
and political framework bagi tumbuhnya wiraswasta.
Menurut UNDP tentang definisi Good governance adalah
sebagai hubungan yang sinergis dan konstruktif diantara Negara,
sektor swasta dan masyarakat, dalam prinsip-prinsip; partisipasi,
supremasi hukum, transparansi, cepat tanggap, membangun
konsensus, kesetaraan, efektif dan efisien, bertanggungjawab serta
visi stratejik. Selanjutnya Menurut AKIP (LAN & BPKP, 2000) bahwa
proses penyelenggaraan kekuasaan Negara dalam menyediakan
public good and services disebut governance (pemerintah atau
kepemerintahan), sedang praktik terbaiknya disebut good
governance (kepemerintahan yang baik). Dituntut dalam pelaksanaan
yaitu; Koordinasi (alignment) yang baik dan Integrasi,
Profesionalisme serta Etos Kerja dan Moral yang tinggi. Mewujudkan
pemerintah yang baik diperlukan komitmen dari semua pihak
(pemerintah dan masyarakat). Sedangkan Wujud Kepemerintahan
yang Baik (Good governance) adalah Penyelenggaraan Negara yang
solid dan bertanggung jawab dan efektif dan efisien dengan
mensinergikan interaksi yang konstruktif diantara domain-domain
Negara.
Good governance bersenyawa dengan Sistem Administrasi
Negara dengan berupaya menyempurnakan Sistem administrsi
Negara tersebut. Oleh Bagir Manan (1999) menyatakan bahwa
Sangat wajar apabila tuntutan penyelenggaraan pemerintahan yang
baik terutama ditujukan pada pembaharuan administrasi negara dan
penegakan hukum. Kemudian J.B. Kristiadi berpendapat bahwa
Good governance dicapai melalui pengaturan yang tepat diantara dua
fungsi pasar dan fungsi organisasi termasuk organisasi publik,
sehingga tercapai transaksi-transaksi dengan biaya rendah.
Selanjutnya Mustopadidjaja berpandangan bahwa kredibilitas
manajemen Pemerintahan pada negara-negara Demokratis
Konstitusional di masa mendatang akan lebih banyak ditentukan oleh
kompetensinya dalam pengelolaan kebijakan publik. Peran
pemerintah melalui kebijakan-kebijakan publiknya sangat penting
dalam memfasilitasi terjadinya mekanisme pasar yang benar
sehingga penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di dalam pasar

GOOD GOVERNANCE 247


dapat dihindari. Oleh karena itu, upaya-upaya perwujudan ke arah
Good governance dapat dimulai dengan membangun landasan
demokratisasi penyelenggaraan Negara dan bersamaan dengan itu
dilakukan upaya pembenahan terhadap penyelenggaraan
pemerintahan.
Secara umum, Good governance adalah pemerintahan yang
baik. Dalam versi World Bank, Good governance adalah suatu
penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan
bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar
yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi dan
pencegahan korupsi baik secara politik maupun secara administratif
menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal dan politician
framework bagi tumbuhnya aktifitas usaha. Hal ini bagi pemerintah
maupun swasta di Indonesia ialah merupakan suatu terobosan
mutakhir dalam menciptakan kredibilitas publik dan untuk melahirkan
bentuk manajerial yang handal.
Good governance di Indonesia sendiri mulai benar–benar
dirintis dan diterapkan sejak meletusnya era Reformasi yang dimana
pada era tersebut telah terjadi perombakan sistem pemerintahan
yang menuntut proses demokrasi yang bersih sehingga Good
governance merupakan salah satu alat Reformasi yang mutlak
diterapkan dalam pemerintahan baru. Akan tetapi, jika dilihat dari
perkembangan Reformasi yang sudah berjalan selama 15 tahun ini,
penerapan Good governance di Indonesia belum dapat dikatakan
berhasil sepenuhnya sesuai dengan cita-cita Reformasi sebelumnya.
Masih banyak ditemukan kecurangan dan kebocoran dalam
pengelolaan anggaran dan akuntansi yang merupakan dua produk
utama Good governance.
Akan tetapi, Hal tersebut tidak berarti gagal untuk diterapkan,
banyak upaya yang dilakukan pemerintah dalam menciptakan iklim
Good governance yang baik, diantaranya ialah mulai diupayakannya
transparansi informasi terhadap publik mengenai APBN sehingga
memudahkan masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam mencipta-
kan kebijakan dan dalam proses pengawasan pengelolaan APBN dan
BUMN. Oleh karena itu, hal tersebut dapat terus menjadi acuan
terhadap akuntabilitas manajerial dari sektor publik tersebut agar
kelak lebih baik dan kredibel kedepannya. Undang-undang, peraturan

248 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


dan lembaga-lembaga penunjang pelaksanaan Good governance pun
banyak yang dibentuk. Hal ini sangatlah berbeda jika dibandingkan
dengan sektor publik pada era Orde Lama yang banyak dipolitisir
pengelolaannya dan juga pada era Orde Baru dimana sektor publik di
tempatkan sebagai agent of development bukannya sebagai entitas
bisnis sehingga masih kental dengan rezim yang sangat menghambat
terlahirnya pemerintahan berbasis Good governance.
Diterapkannya Good governance di Indonesia tidak hanya
membawa dampak positif dalam sistem pemerintahan saja akan
tetapi hal tersebut mampu membawa dampak positif terhadap badan
usaha non-pemerintah yaitu dengan lahirnya Good Corporate
Governance. Dengan landasan yang kuat diharapkan akan membawa
bangsa Indonesia ke dalam suatu pemerintahan yang bersih dan
amanah.
Definisi Good governance menurut World Bank dalam
Mardiasmo (2002:23), adalah suatu penyelenggaraan manajemen
pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan
dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran
terhadap kemungkinan salah alokasi dan investasi, dan pencegahan
korupsi baik yang secara politik maupun administratif, menjalankan
disiplin anggaran serta penciptaan legal dan political framework bagi
tumbuhnya aktivitas usaha. Taschereau & Campos dalam Thoha
(2003:63), mengatakan bahwa tata pemerintahan yang baik (good
governance) merupakan suatu kondisi yang menjamin adanya proses
kesejajaran, kesamaan, kohesi, dan keseimbangan peran serta,
adanya saling mengontrol yang dilakukan oleh komponen yakni
pemerintahan (government), rakyat (citizen), dan civil society, dan
usahawan (business) yang berada di sektor swasta. Ketiga komponen
itu mempunyai tata hubungan yang sama dan sederajat, jika
kesamaan derajat itu tidak sebanding, atau tidak terbukti, maka akan
terjadi pembiasan dari pengelolaan pemerintahan.
Selanjutnya secara konseptual pengertian kata good (baik)
dalam istilah kepemerintahan yang baik (good governance)
mengandung dua pemahaman Sedarmayanti, (2003:6), sebagai
berikut:
1. Nilai yang menjunjung tinggi keinginan/kehendak rakyat, dan nilai-
nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam

GOOD GOVERNANCE 249


pencapaian tujuan (nasional) kemandirian, pembangunan
berkelanjutan dan keadilan sosial.
2. Aspek fungsional dari pemerintah yang efektif dan efisien dalam
pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan tersebut pada poin
1.
Selanjutnya dari aspek fungsional, aspek governance dapat
ditinjau apakah pemerintah telah berfungsi secara efektif dan efisien
dalam upaya mencapai tujuan yang telah digariskan, atau justru
sebaliknya dimana pemerintahan tidak berfungsi secara efektif dan
terjadi inefisiensi. Sedangkan dalam istilah ”kepemerintahan” atau
dalam bahasa Inggeris ”governance” yaitu: ”the act, fact, manner of
governing” (Tindakan, fakta, dan kegiatan atau penyelenggaraan
pemerintahan). Dengan demikian, governance adalah suatu kegiatan
(proses), sebagaimana dikemukakan oleh Koiman dalam
Sedarmayanti (2003) bahwa governance lebih merupakan
serangkaian proses interaksi sosial politik antara pemerintahan
dengan masyarakat dalam berbagai bidang yang berkaitan dengan
kepentingan masyarakat dan intervensi pemerintah atas kepentingan-
kepentingan tersebut.
United Nations Development Programme disingkat
UNDP, dalam Sedarmayanti (2003:7), mendefinisikan Good
governance sebagai hubungan yang sinergis dan konstruktif di antara
Negara, sektor swasta dan masyarakat.
Selanjutnya Lembaga Administrasi Negara Sedarmayanti,
(2004) mengemukakan bahwa good governance berorientasi pada:
1. Orientasi ideal negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan
nasional. Orientasi ini mengacu pada demokratisasi dalam
kehidupan bernegara dengan elemen-elemen konstituennya.
2. Pemerintah yang berfungsi secara ideal, yaitu secara efektif,
efisien dalam melakukan upaya pencapaian tujuan nasional.
Orientasi ini tergantung pada sejauh mana pemerintahan
mempunyai kompetensi dan sejauh mana struktur serta
mekanisme politik dan administratif berfungsi secara efektif dan
efisien.
Lembaga Administrasi Negara (2000)
selanjutnya
menyimpulkan bahwa wujud good governance adalah
penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dan

250 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


bertanggungjawab, serta efisien dan efektif, dengan menjaga
’kesinergisan’ interaksi yang konstruktif diantara dominan-dominan
negara, sektor swasta dan masyarakat. Selain itu, Peraturan
Pemerintah Nomor 101 tahun 2000, merumuskan arti good
governance sebagai ”kepemerintahan yang mengemban akan dan
menerapkan prinsip-prinsip profesionalitas, transparansi, pelayanan
prima, demokrasi, efisiensi, efektifitas, supremasi hukum dan dapat
diterima oleh seluruh masyarakat”. Dengan demikian, pada dasarnya
unsur-unsur dalam kepemerintahan (governance stakeholders) dapat
dikelompokkan menjadi 3 kategori, adalah sebagai berikut:
1. Negara/Pemerintahan. Konsepsi kepemerintahan pada dasar-
nya adalah kegiatan kenegaraan, tetapi lebih jauh dari itu
melibatkan pula sektor swasta dan kelembagaan masyarakat
madani.
2. Sektor swasta. Pelaku sektor swasta mencakup perusahaan
swasta yang aktif dalam interaksi sistem pasar, seperti: industri
pengolahan perdagangan, perbankan, dan koperasi, termasuk
kegiatan sektor informal.
3. Masyarakat. Kelompok masyarakat dalam konteks kenegaraan
pada dasarnya berada diantara atau di tengah-tengah antara
pemerintah dan perseorangan, yang mencakup baik perseorangan
maupun kelompok masyarakat yang berinteraksi secara sosial,
politik dan ekonomi.

B. PERUBAHAN PARADIGMA

Perubahan paradigma dari pengertian pemerintah


(government) antara lain; dimana unsur kekuasaan (power) dirubah
menjadi unsur kewenangan (authority) yang bertugas melayani
masyarakat atau public service. Selanjutnya pengertian tersebut
dalam Good governance terdapat tiga unsure terkait yaitu antara lain;
pemerintah, swasta dan masyarakat yang hidup saling
terkait satu sama lain. Sedangkan paradigma sebelumnya rakyat
merupakan sisi lain yang terpisah dari pemerintah, berarti rakyat
harus mengikuti kemauan pemerintah melalui aturan dan kebijakan
yang diambil. Walau tujuannya adalah sama yaitu ingin

GOOD GOVERNANCE 251


meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, serta ketertiban dalam
masyarakatnya.
Pemerintah dalam keberadaannya sebagai pelayan terhadap
kebutuhan masyarakat di banyak bidang kehidupan masyarakat luas.
Bukan berarti rakyat atau masyarakat yang melayani pemerintah
seperti pernah terjadi dalam beberapa periode masa lalu. Perubahan
paradigma tersebut memang memerlukan waktu, mengingat
kesiapan aparatur pemerintah sendiri atau kesiapan masyarakat perlu
proses dan penahapan yang baik. Sedangkan untuk menciptakan
masyarakat madani yang merupakan kelompok diantara pemerintah
dengan perorangan yang mencakup kelompok atau perorangan yang
berinteraksi secara social, politik dan ekonomi. Kelompok masyarakat
sipil tersebut telah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, melalui
fasilitas partisipasi masyarakat dengan cara mobilisasi untuk
meningkatkan kesejahteraannya melalui berbagai bidang sebagai
masyarakat yang madani atau (civil society).Masyarakat yang madani
dimaksud disini merupakan kelompok masyarakat yang telah
menyadari perbaikan kesejahteraan, tingkat pendidikan dan
peradaban masyarakat secara keseluruhan yang tujuannya terbentuk
kutub-kutub kekuasaan baru dalam masyarakat. Masalah ini sebagai
akibat dari semakin lemahnya ketergantungan social, ekonomi
mereka kepada kekuasaan formal M. Ryaas Rasyid Dalam Buku
Berjudul Makna Pemerintahan).
Transformasi struktural tersebut ditandai dengan proses
demokratisasi yang semakin tumbuh dan berkembang, pember-
dayaan dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam berbagai
bidang, penegakan supremasi hukum dan pemberantasan korupsi,
kolusi dan nepotisme di lingkungan pemerintah, penghormatan
terhadap hak-hak azasi manusia, dinamika interaksi social, politik dan
ekonomi antara pemerintah dan masyarakat. Perbedaan antara
Pemerintah (Government) dan Kepemerintahan yang Baik (Good
governance).

252 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


Government Perbedaan Good governance
Kekuasaan 1 Kewenangan/Pelayanan/modern
(power) klasik
Sentralisasi 2 Desentralisasi (otonomi)
Dominasi ekonomi 3 Ekonomi Pasar
Pengarahan 4 Pemberdayaan masyarakat
masyarakat
Pembinaan 5 Civil Society.
masyarakat
Top Down 6 Bottom Up

Kondisi masyarakat sekarang memang jauh berbeda dari


kondisi masyarakat sewaktu kemerdekaan lebih setengah abad lalu.
Banyak kemajuan diberbagai bidang kehidupan; seperti ekonomi,
social budaya, politik telah semakin meningkatkan kwalitas hidup
masyarakat. Kemajuan tersebut semakin kompleks, dinamis dan
sangat beragam, walaupun ada sebagian besar masyarakat yang
masih hidup di bawah garis kemiskinan dan bahkan hidup kelaparan
di negeri kaya raya ini.
Khusus di bidang perekonomian Indonesia sempat mengalami
fluktuasi ekonomi beberapa dasawarsa sebelum akhir tahun 1990 an.
Era orde baru hanya sempat bertahan pada tahun 1998 setelah
gelombang politik besar dari reformasi muncul setelah kegagalan
orde ini dalam mempertahankan kekuasaannya. Diawali dengan krisis
ekonomi dan berlanjut menjadi krisis multi dimensional sebelum
lahirnya reformasi, menyebabkan Negara besar ini masih belum bisa
bangkit untuk melepaskan diri dari berbagai krisis tersebut sampai
sekarang.
Dari kegagalan tersebut di ataslah muncul dan menguatnya
tuntutan aktualisasi peranan masyarakat aktif dalam pembangunan.
Dominasi peran pemerintah dalam pembangunan mulai
dipertanyakan dan semakin menguatnya kesadaran akan nilai-nilai
demokrasi yang ditandai dengan kebebasan masyarakat dalam
proses penyusunan kebijakan, mulai dari perencanaan dan
pelaksanaan dan evaluasi di bidang penyelenggaraan pemerintah
banyak negara yang sudah menemukan pola-pola baru melalui
pendekatan-pendekatan pembangunan dengan melibatkan

GOOD GOVERNANCE 253


peran aktif masyarakat termasuk di dalamnya dunia usaha
serta LSM secara lebih besar. Pola tersebut kemudian berubah
menjadi format baru kepemerintahan yang mengubah pandangan
klasik yang pemerintah selama ini lebih dominant dalam
pembangunan masyarakat.

C. PRINSIP-PRINSIP GOOD GOVERNANCE

Prinsip-prinsip Good governance yang telah dibahas dalam


berbagai literatur sangat bervariasi, antara lain: UNDP dalam
Tjokroamidjoyo (2000:78-79) mengemukakan sebanyak 9 prinsip
yaitu: (1) Partisipasi, (2) Aturan hukum, (3) Transparansi, (4)
Responsif, (5) Berorientasi kesepakatan, (6) Berkeadilan, (7) Efektif
dan Efisien, (8) Akuntabilitas, (9) Visi strategis. World Bank dalam
Keban (2004:185), mengajukan sebanyak 4 prinsip Good
governance, yaitu: (1) Akuntabilitas politik, (2) Bebas untuk
berkumpul dan partisipasi, (3) Jaminan hukum, (4) akuntabilitas
birokrasi, (5) Ketersediaan, validitas dan analisis informasi, dan (6)
Manajemen.
United Nations dalam Keban (2004:185, mengajukan
sebanyak 5 indikator Good governance, yaitu: (1) Kemampuan, (2)
Akuntabilitas, (3) Partisipasi, (4) Pemerataan, (5) Komitmen, dan (6)
Desentralisasi. Tjokroamidjoyo (2000:78-79) mengajukan 5 Good
governance, yaitu: (1) Akuntabilitas, (2) Transparansi, (3)
Keterbukaan, (4) Aturan Hukum, dan (5) Keadilan. Abidin (2006:
132-135) mengajukan sebanyak 12 prinsip Good governance, yaitu:
(1) Akuntabilitas, (2) Transparansi, (3) Aturan hukum, (4) Adil, (5)
Pemerataan, (6) keterbukaan, (7) Peka, (8) (Efektif dan Efisien, (9)
Kesepakatan, (10) Keikutsertaan, (11) Mempunyai visi, dan (12)
Profesionalisme.
Dari prinsip-prinsip yang dikemukakan di atas, maka dapat
dijelaskan bahwa untuk mencapai Good governance yang baik maka
perlu:
1. Partisipasi Masyarakat, Semua warga masyarakat mempunyai
suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung
maupun melalui lembaga perwakilan sah yang mewakili
kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh dibangun

254 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan
pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif.
2. Tegaknya Supremasi Hukum, Kerangka hukum harus adil dan
diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk di dalamnya hukum-
hukum yang menyangkut hak asasi manusia.
3. Transparansi, Transparansi dibangun atas dasar arus informasi
yang bebas. Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan
informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang
berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar
dapat dimengerti dan dipantau.
4. Peduli pada Stakeholder, Lembaga-lembaga dan seluruh proses
pemerintahan harus berusaha melayani semua pihak yang
berkepentingan.
5. Berorientasi pada Konsensus, Tata pemerintahan yang baik
menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda demi
terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dan yang terbaik bagi
kelompok masyarakat, dan terutama dalam kebijakan dan
prosedur.
6. Kesetaraan, Semua warga masyarakat mempunyai kesempatan
memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka.
7. Efektifitas dan Efisiensi, Proses-proses pemerintahan dan lembaga-
lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat
dan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada
seoptimal mungkin.
8. Akuntabilitas, Para pengambil keputusan di pemerintah, sektor
swasta dan organisasi-organisasi masyarakat bertanggung jawab
baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang
berkepentingan. Bentuk pertanggungjawaban tersebut tergantung
dari jenis organisasi yang bersangkutan.
9. Visi Strategis, Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif
yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik
dan pembangunan manusia, serta kepekaan untuk mewujud-
kannya, harus memiliki pemahaman atas kompleksitas
kesejarahan, budaya dan sosial yang menjadi dasar bagi
perspektif tersebut.

GOOD GOVERNANCE 255


GOOD GOVERNANCE PADA SEKTOR PUBLIK
Prinsip dasar yang melandasi perbedaan antara konsepsi
kepemerintahan (governance) dengan pola pemerintahan tradisional
adalah terletak pada adanya tuntutan yang demikian kuat agar
peranan pemerintah dikurangi dan peranan masyarakat (termasuk
dunia usaha dan lembaga swadaya masyarakat/organisasi non
pemerintah) semakin ditingkatkan dan semakin terbuka aksesnya.
Dalam rencana Strategis Lembaga Administrasi Negara (2000-
2004), disebutkan perlunya pendekatan baru dalam penyelenggaraan
negara dan pembangunan yang terarah pada terwujudnya
kepemerintahan yang baik (good governance), yakni: ”........,proses
pengelolaan pemerintahan yang demokratis, profesional menjunjung
tinggi supremasi hukum dan hak asasi manusia, desentralistik,
partisipatif, transparan, keadilan, bersih dan akuntabel, selain
berdaya guna, berhasil guna dan berorientasi pada peningkatan daya
saing bangsa”.
Sementara itu, Gambir Bhatta dalam Sedarmayanti (2003),
mengungkapkan bahwa ”unsur utama governance” adalah
akuntabilitas, transparansi, keterbukaan, dan aturan hukum ditambah
dengan kompetensi manajemen dan hak-hak asasi manusia.
Selanjutnya UNDP dalam Sedarmayanti (2003:7) mengemukakan
bahwa prinsip-prinsip yang harus dianut dan dikembangkan dalam
praktik penyelenggaraan kepemerintahan yang baik, ada 9 yaitu
sebagai berikut.
1. Partisipasi (participation). Setiap orang atau warga
masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak suara
yang sama dalam proses pengambilan keputusan, baik secara
langsung maupun melalui lembaga perwakilan rakyat, sesuai
dengan kepentingan dan aspirasinya masing-masing.
2. Aturan hukum (rule of law). Kerangka aturan hokum dan
perundang-undangan harus berkeadilan, ditegakkan dan dipatuhi
secara utuh, terutama hukum tentang hak asasi manusia.
3. Transparansi (transparency). Transparansi harus dibangun
dalam rangka kebebasan aliran informasi.

256 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


4. Daya tanggap (responsiveness). Setiap institusi dan prosesnya
harus diarahkan pada upaya untuk melayani berbagai pihak yang
kepentingan (stakeholders).
5. Berorientasi konsensus (consensus orientation).
Pemerintahan yang baik akan bertindak sebagai penengah bagi
berbagai kepentingan yang berbeda untuk mencapai konsensus
atau kesempatan yang terbaik bagi kepentingan masing-masing
pihak, dan jika dimungkinkan juga dapat diberlakukan terhadap
berbagai kebijakan dan prosedur yang akan ditetapkan
pemerintah.
6. Berkeadilan (equity). Pemerintahan yang baik akan memberi
kesempatan yang baik terhadap laki-laki maupun perempuan
dalam upaya mereka untuk meningkatkan dan memelihara kualitas
hidupnya.
7. Efektivitas dan efisiensi (effectiveness and efficiency). Setiap
proses kegiatan dan kelembagaan diarahkan untuk menghasilkan
sesuatu yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan melalui
pemanfaatan yang sebaik-baiknya berbagai sumber-sumber yang
tersedia.
8. Akuntabilitas (accountability). Para pengambil keputusan
dalam organisasi sektor publik, swasta, dan masyarakat madani
memiliki pertanggungjawaban (akuntabilitas) kepada publik
(masyarakat umum), sebagaimana halnya kepada para pemilik
(stakeholders).
9. Visi strategis (strategic Vision). Para pemimpin dan
masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jangka panjang
tentang penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan
pembangunan manusia, bersamaan dengan dirasakannya
kebutuhan untuk pembangunan tersebut.
Keseluruhan karakteristik atau prinsip good governance
tersebut di atas adalah saling memperkuat dan saling terkait serta
tidak dapat berdiri sendiri. Selanjutnya, Sedarmayanti (2003)
menyimpulkan bahwa terdapat 4 unsur atau prinsip utama yang
dapat memberi gambaran administrasi publik yang berciri
kepemerintahan yang baik, sebagai berikut.

GOOD GOVERNANCE 257


1. Akuntabilitas: Adanya kewajiban bagi aparatur pemerintah
untuk bertindak selaku penanggung jawab dan penanggung gugat
atas segala tindakan dan kebijakan yang ditetapkannya.
2. Transparansi: Kepemerintahan yang baik akan bersifat
transparan terhadap rakyatnya, baik di tingkat pusat maupun di
tingkat daerah.
3. Keterbukaan: Menghendaki terbukanya kesempatan bagi rakyat
untuk mengajukan tanggapan dan kritik terhadap pemerintah
yang dinilainya tidak transparan.
4. Aturan hukum: Kepemerintahan yang baik mempunyai
karakteristik berupa jaminan kepastian hukum dan rasa keadilan
masyarakat terhadap setiap kebijakan publik yang ditempuh.
Selanjutnya untuk mewujudkan ”clean and good
governance” diperlukan manajemen penyelenggaraan pemerintah
yang baik dan handal, yaitu manajemen kondusif, responsif dan
adaptif dan untuk dapat menciptakan administrasi publik yang
mengandung unsur sistem koperasi dan pendekatan pelayanan publik
yang relevan bagi masyarakat, maka Institute of Governance,
(1996) dalam Sedarmayanti (2003), sebagaimana dikutip oleh
Nisjar (1997) dapat ditempuh dengan menciptakan beberapa hal,
sebagai berikut:
1. Kerangka kerja tim (team works) antar organisasi, departemen
dan antar wilayah.
2. Hubungan kemitraan (partnership) antara pemerintah dengan
setiap unsur dalam masyarakat negara yang bersangkutan tadi
tidak sekedar kemitraan internal diantara jajaran instansi
pemerintah saja.
3. Pemahaman dan komitmen akan manfaat dan arti pentingnya
tanggungjawab bersama dan kerjasama (cooperation) dalam
suatu keterpaduan serta sinergisme dalam pencapaian tujuan.
4. Adanya dukungan dan sistem kemampuan dan keberanian
menanggung resiko (risk taking) dan berinisiatif, sepanjang hal ini
secara realistik dapat dikembangkan.
5. Adanya kepatuhan dan ketaatan terhadap nilai-nilai internal (kode
etik) administrasi publik, juga terhadap nilai-nilai etika dan
moralitas yang diakui dan dijunjung tinggi secara bersama-sama
dengan masyarakat yang dilayani.

258 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


6. Adanya pelayanan administrasi publik yang berorientasi kepada
masyarakat yang dilayani, inklusif (mencerminkan layanan yang
mencakup secara merata terhadap seluruh masyarakat bangsa
yang bersangkutan tanpa adanya pengecualian), administrasi
publik yang mudah dijangkau oleh masyarakat, dan bersifat
bersahabat, berasaskan pemerataan yang berkeadilan dalam
setiap tindakan dan layanan yang diberikan kepada masyarakat,
mencerminkan wajah pemerintah yang sebenarnya atau tidak
menerapkan standar ganda dalam menentukan kebijakan dan
memberikan layanan terhadap masyarakat berfokus pada
kepentingan masyarakat dan bukannya kepentingan internal
organisasi pemerintah, bersikap profesional dan bersikap tidak
memihak.
Selanjutnya, Miftah (2004) menyebut sejumlah perspektif
yang muncul dalam kaitannya dengan penyelenggaraan
kepemerintahan yang baik (good governance), diantaranya adalah:
(1) Hubungan antara pemerintah dengan pasar, (2) Hubungan antara
pemerintah dengan rakyatnya, (3) Hubungan antara pemerintah
dengan organisasi voluntary dan sektor privat, (4) Hubungan antara
pejabat-pejabat yang dipilih (politisi) dengan pejabat-pejabat yang
diangkat (pejabat birokrat), (5) Hubungan antara lembaga
pemerintah daerah dengan penduduk perkotaan dan pedesaan. (6)
Hubungan antara legislatif dan eksekutif, (7) Hubungan pemerintah
nasional dengan lembaga internasional.
Dalam konteks good governance, pemerintah ditempatkan
sebagai fasilitator atau katalisator, sementara tugas untuk
memajukan pembangunan terletak pada semua komponen negara,
meliputi dunia usaha dan masyarakat. Dengan demikian, penerapan
good governance ditandai oleh terbentuknya ’kemitraan’ antara
pemerintah dengan masyarakat, organisasi politik, organisasi massa,
LSM. Dunia usaha serta individu secara luas guna terciptanya
manajemen pembangunan yang bertanggungjawab.

GOOD GAVERNANCE PADA SEKTOR SWASTA


Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Badan Usaha Milik
Negara, Nomor: KEP-117/M-MBU/2002 tentang penerapan praktik
Good governance pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), maka

GOOD GOVERNANCE 259


ditetapkan bahwa good governance adalah suatu proses dan struktur
yang digunakan oleh organ BUMN untuk meningkatkan keberhasilan
usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai
pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap
memperhatikan kepentingan stakeholders lainnya, berlandaskan
peraturan perundangan dan nilai-nilai etika.
Adanya prinsip-prinsip Good Corporate Governance yang
dimaksud dalam keputusan ini adalah meliputi:
1. Transparansi, yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses
pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan
informasi materiil dan relevan mengenai perusahaan.
2. Kemandirian, yaitu suatu keadaan dimana perusahaan dikelola
secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/
tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi
yang sehat.
3. Akuntabilitas, yaitu kejelasan fungsi, pelaksanaan dan
pertanggungjawaban organisasi sehingga pengelolaan perusahaan
terlaksana secara efektif.
4. Pertanggungjawaban, yaitu kesesuaian di dalam pengelolaan
perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.
5. Kewajaran, yaitu keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi
hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selanjutnya dalam konteks tumbuhnya kesadaran akan arti
penting corporate governance ini, Organization for Economic
Corporation and Development (OECD) telah mengembangkan
seperangkat prinsip-prinsip good corporation governance dan dapat
diterapkan secara luwes (fleksibel) sesuai dengan keadaan, budaya,
dan tradisi di masing-masing Negara. Prinsip-prinsip OECD mencakup
lima bidang utama, adalah (1) hak-hak para pemegang saham
(stakeholders) dan perlindungannya, (2) peran para karyawan dan
pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders) lainnya, (3)
pengungkapan (disclosure) yang akurat dan tepat waktu serta
transparansi sehubungan dengan struktur dan operasi korporasi, (4)
tanggungjawab dewan (maksudnya dewan komisaris maupun direksi)

260 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


terhadap perusahaan, pemegang saham dan pihak yang
berkepentingan lainnya.
Selanjutnya aktivitas bisnis merupakan masalah kompleks yang
sedang hangat dibicarakan di tengah-tengah usaha pemerintah untuk
mengembalikan gairah perekonomian Indonesia yang lesu sebagai
akibat dari krisis ekonomi yang berkepanjangan. Berbagai usaha
untuk menggairahkan kembali perekonomian Indonesia dilakukan
oleh pemerintah dan kalangan bisnis, salah satu di antaranya adalah
dengan penerapan good corporate governance di perusahaan publik,
bank maupun BUMN.
Penerapan good corporate governance di perusahaan publik,
bank maupun BUMN tersebut, diharapkan dapat mengembalikan
kepercayaan masyarakat. Selain itu, penerapan good corporate
governance tersebut juga diharapkan untuk mengantisipasi
persaingan yang ketat di era pasar bebas.
Salah satu hal penting adalah yang tidak dapat diabaikan dalam
penerapan good corporate governance adalah tanggungjawab sosial
dan etika bisnis. Suatu bisnis tidak hanya cukup dijalankan dengan
modal yang berupa uang saja, melainkan juga dibutuhkan suatu
system pengelolaan yang baik disertai dengan tanggung jawab dan
moralitas perusahaan terhadap stakeholders dan masyarakat.
Artinya, roda bisnis tidak akan berjalan dengan baik apabila
dijalankan bertentangan dengan penerapan good corporate
governance baik di lingkungan internal perusahaan maupun eksternal
perusahaan. Dalam lingkungan internal perlu diperhatikan hubungan
antara berbagai jenjang kedudukan yang ada, kultur perusahaan,
peraturan dan sistem di perusahaan, serta budaya keterbukaan
informasi, sedangkan lingkungan eksternal merupakan hubungan
perusahaan dengan stakeholders serta masyarakat.
Selanjutnya segala keputusan dan tindakan yang diambil oleh
perusahaan harus membawa kebaikan bagi segenap karyawan
perusahaan maupun masyarakat. Perusahaan juga harus mampu
bertanggungjawab atas akibat yang timbul dari suatu keputusan.
Kesediaan bertanggungjawab ini oleh Magnis-Suseno disebut sebagai
kesediaan untuk mengambil titik pangkal moral yang artinya dengan
sikap dan kesediaan untuk bertanggungjawab dan

GOOD GOVERNANCE 261


mempertanggungjawabkan keputusan dan tindakan yang diambil
memungkinkan adanya pertimbangan moral.
Pertimbangan moral dalam suatu sistem corporate governance
memang bukan merupakan suatu hal yang diatur dalam hukum,
namun penerapan pertimbangan moral dan etika dalam perusahaan
dapat membantu menciptakan iklim yang sehat dalam perusahaan.

D. PERMASALAHAN SDM MENUJU GOOD GOVERNANCE

Beberapa permasalahan yang terkait dengan SDM dalam


penyelenggaraan good governance di Indonesia menurut Derajad
(2004) dalam Ambar adalah sebagai berikut:
1. Permasalahan dalam birokrasi Indonesia (feodal, dan lain-lain).
2. Permasalahan PNS dalam birokrasi pemerintah (besarnya jumlah
PNS, rendahnya kualitas dan ketidaksesuaian kompetensi yang
dimiliki, dan lain-lain).
3. Permasalahan global mengenai SDM.
Permasalahan-permasalahan tersebut di atas, tidak dapat jika
hanya diatasi melalui penerapan kebijakan-kebijakan yang bersifat
setengah-setengah atau kurang serius. Oleh karena bagaimanapun
juga, permasalahan yang ada adalah merupakan akumulasi
permasalahan yang telah atau pernah terjadi sebelumnya, yaitu
kebijakan-kebijakan di bidang Manajemen Sumber Daya Manusia
(MSDM) yang kurang terarah.
Khusus di Indonesia Drajad, (2004), perdebatan yang paling
ramai adalah terkait dua aspek krusial terhadap manajemen SDM,
yaitu rekrutmen, seleksi dan analisis jabatan. Kedua hal ini sangat
terkait langsung dengan kapasitas dan adaptasi pekerjaan SDM. Di
sini, rekrutmen dan seleksi diharapkan akan menjaring SDM yang
memiliki kemampuan menginterpretasi pekerjaan dan kebutuhan
organisasi yang bersangkutan, sedangkan analisis jabatan lebih
mengemukakan penemuan SDM yang mampu beradaptasi terhadap
pekerjaan yang ada.
Untuk menghadapi permasalahan di atas, menurut Drajad
(2004) perlu ada pembenahan melalui pendekatan peningkatan
profesionalisme yang berbasis pada kompetensi, dilakukan
repositioning peran SDM, identifikasi pengembangan kemampuan,

262 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


sehingga SDM dalam birokrasi pemerintah akan mampu menciptakan
kinerja yang tinggi.
Selanjutnya Drajad (2004) menyebut bahwa ada beberapa
nilai SDM yang perlu dicapai sehingga birokrasi pemerintah akan
menjadi lebih kompetitif, yaitu:
1. Hubungan proaktif antara strategi dengan kompetensi;
2. Bahwa setiap orang dapat dikembangkan potensinya;
3. Sikap konsisten dalam pencapaian tujuan;
4. Mengembangkan kepercayaan dan pembagian tugas;
5. Adanya saluran komunikasi yang terbuka; serta
6. Partisipasi aktif.

E. PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN (GOVERNING)

Konteks masyarakat dalam masyarakat kontemporer yang


dinamis, kompleks dam aneka ragam Koinman (1993: 255-259).
Sedangkan dalam dunia dengan karakteristik masyarakat seperti
tersebut di atas yaitu: Permasalahan social dalam masyarakat
umumnya disebabkan interaksi berbagai factor dan tidak bisa dibatasi
oleh sebab munculnya suatu factor tertentu secara terisolir.
Pengetahuan politis maupun teknis tentang permasalahan dan
kemungkinan pemecahannya diantara banyak factor.
Tujuan kebijakan public tidak mudah untuk dirumuskan bahwa
lebih sering menjadi bahan untuk disempurnakan ketidakpastian
menjadi aturan dan bukan sebagai pengecualian. Kegiatan dalam
rangka kepemerintahan dapat didefinisikan sebagai berikut“, proses
interaksi antara berbagai actor dalam pemerintahan dengan
kelompok sasaran atau berbagai individu masyarakat.
Sedangkan menurut Offe (1985; 310) menyatakan bahwa
“hasil dari tindakan administrative dalam berbagai bidang adalah
bukan merupakan hasil dari pelaksanaan tugas pemerintah
berdasarkan peraturan perundangundangan yang ditetapkan
sebelumnya, tetapi lebih merupakan hasil dari kegiatan produksi
bersama (coproduction) antara lembaga pemerintah dengan klien
masing-masing”.

GOOD GOVERNANCE 263


Penyelenggaraan Pemerintahan (governing) dalam masyarakat
dewasa ini pada intinya merupakan proses koordinasi, pengendalian
(steering), pemengaruhan (influence) dan penyeimbangan
(balancing) dari setiap hubungan (interaksi) tersebut. Artinya format
pemerintahan yang baru diperlukan untuk dapat memenuhi tuntutan
perubahan pola interaksi sosial politik antara pemerintah dan
masyarakat.
Untuk menghindari pola tradisional seperti top down atau pola
pendekatan aturan pusat dan daerah selama ini terjadi.
Format interaksi antara pemerintah dengan masyarakat dari
semula, “sarwa negara”, atau pemerintahan (government) sebagai
paradigma klasik pemerintahan negara dan penyelenggaraan
pembangunan maupun pelayanan public, telah bergeser menjadi
format baru kepemerintahan yang lebih dikenal dengan istilah
Governance.

Aktor dalam Kepemerintahan

Negara dan Pemerintahan


Konsepsi kepemerintahan pada dasarnya adalah kegiatan
kenegaraan, tetapi lebih jauh dari itu melibatkan sektor swasta dan
kelembagaan masyarakat madani (civil society). Pengertian Negara/
pemerintahan mencakup keseluruhan lembaga politik dan sektor
publik. Peranan dan tanggung jawab Negara atau pemerintah adalah
meliputi; penyelenggaraan pelayanan public, penyelenggaraan
kekuasaan untuk memerintah, dan membangun lingkungan yang
kondusif bagi tercapainya tujuan pembangunan baik local, nasional
dan global.

Sektor Swasta, sebagai Pelaku (Actor)


Mencakup perusahaan swasta yang aktif dalam interaksi dalam
system pasar, industri manufacturing (pengelolaan), perdagangan,
perbankan, koperasi dan sektor informal lainnya dalam beberapa
kegiatan yang bersifat; penyerapan tenaga kerja, peningkatan
produksi, investasi, pengembangan usaha, sumber penerimaan
masyarakat dan pertumbuhan ekonomi.

264 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


Masyarakat Madani (Civil Society)
Merupakan kelompok masyarakat dalam konteks kenegaraan
pada dasarnya berada diantara pemerintah dan perseorangan.
mencakup baik perseorangan maupun kelompok tersebut yang
berinteraksi secara sosial, politik, ekonomi. Kelembagaan masyarakat
sipil tersebut dirasakan oleh masyarakat melalui fasilitas partisipasi
masyarakat dengan mobilisasi.

F. GOVERNMENT DALAM MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE


(TATA KEPEMERINTAHAN YANG BAIK) PADA ERA
OTONOMI DAERAH

Sejak adanya gerakan reformasi tahun 1998, paradigma yang


berkembang dalam administrasi publik adalah tuntutan pelayanan
yang lebih baik dari sebelumnya. Tuntutan akan pelayanan yang lebih
baik dan memuaskan kepada publik menjadi suatu kebutuhan yang
harus dipenuhi oleh instansi pemerintah penyelenggara pelayanan
publik. Tuntutan tersebut muncul seiring dengan berkembanagnya
era reformasi dan otonomi daerah dan sejak tumbangnya kekuasaan
rezim orde baru Semil (2005:35). Setelah delapan tahun berlalu,
gaung tuntutan tersebut masih terus menggema, bahkan berbagai
peluang yang ada diperhitungkan agar terwujudnya kondisi
kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik lagi. Pendek
kata, seluruh elemen bangsa telah sepakat agar kondisi masa lalu
yang kurang dan tidak baik tidak terulang lagi. Karenanya muncul
istilah-istilah, seperti e-government dan good governance. Istilah ini
muncul dalam rangka mewujudkan kondisi kehidupan bangsa yang
lebih baik.
Dari sekian banyak tuntutan yang ada, satu di antaranya adalah
meningkatkan pelayanan publik melalui penciptaan tata pemerin-
tahan yang bersih dan berwibawa. Agenda tersebut merupakan
upaya untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, antara lain
melalui keterbukaan, akuntabilitas, efektivitas, dan efisiensi,
menjunjung tinggi supremasi hukum, dan membuka partisipasi
masyarakat yang dapat menjamin kelancaran, keserasian, dan
keterpaduan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan. Untuk itu diperlukan langkah-langkah kebijakan yang

GOOD GOVERNANCE 265


terarah pada perubahan kelembagaan dan sistem ketatalaksanaan;
kualitas sumberdaya manusia aparatur; dan sistem pengawasan yang
efektif. Tujuan pokok good governance adalah tercapainya kondisi
pemerintahan yang dapat menjamin kepentingan pelayanan publik
secara seimbang dengan melibatkan kerjasama antar semua
komponen pelaku (negara, masyarakat madani, lembaga-lembaga
masyarakat, dan pihak swasta). Thoha (2000:7) menyatakan bahwa
salah satu wujud tata kepemerintahan yang baik (good governance)
adalah terdapatnya citra pemerintahan yang demokratis. Paradigma
tata kepemerintahan yang baik menekankan arti penting kesejajaran
hubungan antara institusi negara, pasar dan masyarakat. Semua
pelaku harus saling mengetahui apa yang dilakukan oleh pelaku
lainnya serta membuka ruang dialog agar para pelaku saling
memahami perbedaan-perbedaan di antara mereka. Melalui proses
tersebut diharapkan akan tumbuh konsensus dan sinergi dalam
penerapan program-program tata kepemerintahan yang baik di
masyarakat. Pelaku-pelaku tersebut merupakan elemen governance
yang terkait dan tidak terpisahkan dalam satu sistem negara, pelaku
bisnis, dan masyarakat. Masing-masing memiliki karakter tersendiri
tetapi ketiganya tidak akan mampu berdiri dan berkembang sendiri-
sendiri. Mereka mengarah kepada satu tujuan yaitu kehidupan yang
lebih baik bagi setiap lapisan masyarakat luas. Pada dasarnya, setiap
pembaruan dan perubahan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, dimaksudkan dalam rangka menuju terwujudnya
pemerintahan yang demokratis guna terwujudnya sistem
pemerintahan yang lebih baik (good governance). Salah satu ciri
good governance adalah transparansi yang dibangun atas dasar arus
informasi yang bebas, dimana seluruh proses pemerintahan dan
informasinya dapat diakses oleh semua pihak yang berkepentingan.
Untuk kepentingan transparansi informasi sebagaimana dimaksud,
diperlukan sarana komunikasi yang menjamin kelancaran informasi
antara pemerintah dengan masyarakat dan dunia usaha, dan
tentunya komunikasi antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah, serta antar pemerintah daerah.
Menyadari betapa pentingnya arti mewujudkan kepemerintahan
yang baik, maka aparatur negara dituntut harus mampu meningkat-
kan kinerja. Sasaran yang menjadi prioritas adalah mewujudkan

266 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


pelayanan masyarakat yang efisien dan berkualitas, sehingga mampu
mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan daya saing.
Oleh karena itu, dalam hal ini diperlukan perhatian pemerintah untuk
melakukan perubahan-perubahan secara signifikan melalui
manajemen perubahan menuju ke arah penyelenggaraan
pemerintahan yang baik.
Salah satu upaya untuk mewujudkan tata pemerintahan yang
baik adalah mempercepat proses kerja serta modernisasi administrasi
melalui otomatisasi di bidang administrasi perkantoran, modernisasi
penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat melalui
e-government sebagai salah satu aplikasi dari teknologi informasi.
Masalah utama yang dihadapi dalam implementasi otonomi daerah
adalah terbatasnya sarana dan prasarana komunikasi informasi untuk
mensosialisasikan berbagai kebijakan pemerintah pusat dan
pemerintah daerah kepada masyarakat, agar proses penyelenggaraan
pemerintahan, pengelolaan pembangunan, dan pemberdayaan
masyarakat dapat menjadi lebih efektif, efisien, transparan, dan
akuntabel.
Oleh karena itu, dalam penyelenggaraan pemerintahan menuju
good governance serta dalam rangka mengakselerasi
penyelenggaraan otonomi daerah, maka pengembangan dan
implementasi e-government merupakan alternatif yang strategis
dalam rangka mengkomunikasikan informasi secara dua arah antara
Pemerintah dengan Masyarakat dan Dunia Usaha dan antar Pe-
merintah itu sendiri.
Perkembangan pesat teknologi informasi, yang dipercepat
dengan kehadiran internet, telah mendorong berbagai bidang
kehidupan untuk memanfaatkan teknologi ini seoptimal mungkin.
Pemanfaatan internet dalam aspek-aspek pemerintahan mendorong
terwujudnya e-government, yang diharapkan dapat membawa
manfaat dalam: memberdayakan masyarakat melalui peningkatan
akses ke informasi, meningkatkan layanan pemerintah kepada
masyarakatnya, mempererat interaksi kalangan bisnis dengan peme-
rintah dalam industri terkait, memperbaiki pengelolaan pemerintahan
yang lebih efisien dan transparan. Namun demikian realisasi e-
government di Indonesia menghadapi banyak tantangan baik dalam
hal geografi, ekonomi, teknologi, maupun budaya. Saat ini isu

GOOD GOVERNANCE 267


mengenai e-government semakin marak didengungkan di kalangan
pemerintahan dan pelaku bisnis di Indonesia, terutama dalam
kaitannya untuk meningkatkan layanan pemerintah kepada
masyarakatnya, mempererat interaksi kalangan bisnis dalam industri
terkait, pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan akses ke
informasi, hingga ke tujuan mulia seperti pengelolaan pemerintahan
yang lebih efisien.
Untuk lebih meningkatkan penggunaan teknologi informasi di
Indonesia, pemerintah telah mengeluarkan Keppres No. 50/2000
tentang Tim Koordinasi Telematika Indonesia yang selanjutnya
dikuatkan dengan Inpres No. 6/2001 tentang Acuan dan Landasan
Pengembangan Telematika di Indonesia. Meskipun perangkat aturan
ini tidak secara spesifik mengatur tentang e-government, diharapkan
ini bisa menjadi landasan yang kuat bagi pengembangan teknologi
informasi ke depan. Berkenaan dengan uraian tersebut, maka artikel
ini bermaksud untuk menganalisis dan menguraikan bagaimana
peran e-government dalam mewujudkan good governance (tata
kepemerintahan yang baik) pada era otonomi daerah.
Pengertian e-government terminologi “e-government” dapat
diartikan sebagai kumpulan konsep untuk semua tindakan dalam
sektor publik (baik di tingkat Pemerintah Pusat maupun Pemerintah
Daerah) yang melibatkan teknologi informasi dan komunikasi dalam
rangka mengoptimalisasi proses pelayanan publik yang efisien,
transparan dan efektif (Kurniawan, 2006). Istilah e-government
berhubungan dengan kemampuan untuk menggunakan teknologi
informasi dan komunikasi untuk meningkatkan hubungan antara
pemerintah dan masyarakat, antara pemerintah dan pelaku bisnis,
dan di antara instansi pemerintah. Teknologi tersebut termasuk e-
mail. WAN (Wide Area Network), Internet, peralatan mobile
computing (HP, laptop, PDA), dan berbagai teknologi lain yang
berfungsi untuk menyebarluaskan informasi dan memberi pelayanan
elektronik dalam berbagai bentuk. Secara umum pengertian E-
government adalah Sistem manajemen informasi dan layanan
masyarakat berbasis internet. Layanan ini diberikan oleh pemerintah
kepada masyarakat. Dengan memanfaatkan internet, maka akan
muncul sangat banyak pengembangan modus layanan dari
pemerintah kepada masyarakat yang memungkinkan peran aktif

268 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


masyarakat dimana diharapkan masyarakat dapat secara mandiri
melakukan registrasi perizinan, memantau proses penyelesaian,
melakukan secara langsung untuk setiap perizinan dan layanan publik
lainnya. Semua hal tersebut dengan bantuan teknologi internet akan
dapat dilakukan dari mana saja dan kapan saja Abidin dalam
Hardiyansyah, (2003). A.S. Hikam, mantan Menristek, mengatakan
bahwa e-government adalah merupakan elektronikalisasi layanan
pemerintah terhadap masyarakat atau warga negara. Selain itu e-
government juga merupakan sebuah proses bagi demokratisasi,
dengan adanya e-government, berarti juga memotong jalur birokrasi
yang ada. Selanjutnya beliau mengemukakan bahwa tujuan e-Gov
adalah untuk meningkatkan akses warga negara terhadap jasa-jasa
layanan publik pemerintah, meningkatkan akses masyarakat ke
sumber-sumber informasi yang dimiliki pemerintah, menangani
keluhan masyarakat. dan juga persamaan kualitas layanan yang bias
dinikmati oleh seluruh warga negara. Dengan adanya e-Gov, berarti
harus ada standardisasi kualitas layanan yang bisa dinikmati
masyarakat (Kompas, 18/05/2001). Purbo menyatakan bahwa e-
government bukan cuma sekedar memasang komputer di kantor
masing-masing, karena e-gov mempunyai banyak konsekuensi sosial
budaya bagi pemerintah (terutama pemerintah daerah), karena e-gov
sebetulnya akan memaksa mereka bekerja secara profesional,
bekerja bersih, tidak melakukan korupsi, tidak pungli dan lain-lain,
karena komputer tidak bisa dibohongi dan tidak bisa mentolerir
penipuan-penipuan, untuk itu aparat Pemda harus diubah
paradigmanya sebelum e-gov ini bisa dijalankan dengan baik.
E-government sendiri dapat diartikan sebagai pemanfaatan teknologi
informasi (seperti internet, telepon, satelit) oleh institusi pemerin-
tahan untuk meningkatkan kinerja pemerintah dalam hubungannya
dengan masyarakat, komunitas bisnis, dan kelompok terkait lainnya
(World Bank, 2001). Menurut Rogers WO Okut-Uma and Larry
Caffrey (Eds), dalam buku Trusted Services and Public Key
Infrastructure, Commonwealth Secretariat, London (2000), “E-
government refers to the processes and structures pertinent to the
electronic delivery of government services to the public.” Sementara
itu, Kementerian Kominfo berpendapat bahwa e-government adalah
aplikasi teknologi informasi yang berbasis internet dan perangkat

GOOD GOVERNANCE 269


digital lainnya yang dikelola oleh pemerintah untuk keperluan
penyampaian informasi dari pemerintah ke masyarakat, mitra bisnis,
pegawai, badan usaha, dan lembaga-lembaga lainnya secara online
dalam Hardiyansyah, (2003).
Dari pengertian-pengertian di atas, e-government intinya
adalah proses pemanfaatan teknologi informasi sebagai alat untuk
membantu menjalankan sistem pemerintahan secara lebih efisien.
Karena itu, dalam melihat e-government, kita jangan terperangah
oleh unsur “e” semata, tetapi yang lebih penting lagi adalah proses
pemerintahannya itu sendiri. Berkenaan dengan uraian tersebut, ada
dua hal utama yang dapat diambil dalam pengertian e-government,
yaitu:
a. Penggunaan teknologi informasi (salah satunya adalah internet)
sebagai alat bantu, dan yang kedua, tujuan pemanfaatannya
sehingga pemerintahan dapat berjalan lebih efisien. Dengan
teknologi informasi/internet, seluruh proses atau prosedur yang
ada di pemerintahan dapat dilalui dengan lebih cepat asal
digunakan dengan tepat.
b. Pengertian good governance (tata kepemerintahan yang baik)
Pengertian dari good governance dapat dilihat dari pemahaman
yang dimiliki baik oleh IMF maupun World Bank yang melihat good
governance sebagai sebuah cara untuk memperkuat “kerangka
kerja institusional dari pemerintah”.
Hal ini menurut mereka adalah bagaimana memperkuat
aturan hukum dan prediktibilitas serta imparsialitas dari
penegakannya. Ini juga berarti mencabut akar dari korupsi dan
aktivitas-aktivitas rent seeking, yang dapat dilakukan melalui
transparansi dan aliran informasi serta menjamin bahwa informasi
mengenai kebijakan dan kinerja dari institusi pemerintah
dikumpulkan dan diberikan kepada masyarakat secara memadai
sehingga masyarakat dapat memonitor dan mengawasi
manajemen dari dana yang berasal dari masyarakat Kurniawan,
(2006). United Nations Development Programme (UNDP)
merumuskan istilah governance sebagai suatu exercise dari
kewenangan politik, ekonomi, dan administrasi untuk menata.
mengatur dan mengelola masalah-masalah sosialnya UNDP,
(1997) dalam Thoha. (2000). Istilah “governance” menunjukkan

270 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


suatu proses dimana rakyat bisa mengatur ekonominya. institusi
dan sumber-sumber sosial dan politiknya tidak hanya
dipergunakan untuk pembangunan. tetapi juga untuk menciptakan
kohesi, integrasi, dan untuk kesejahteraan rakyatnya. Dengan
demikian jelas sekali. bahwa kemampuan suatu negara mencapai
tujuan-tujuan pembangunan itu sangat tergantung pada kualitas
tata kepemeritahannya dimana pemerintah melakukan interaksi
dengan organisasi-organisasi komersial dan civil society.
Good governance memiliki sejumlah ciri sebagai berikut: (1)
Akuntabel, artinya pembuatan dan pelaksanaan kebijakan harus
disertai pertanggungjawabannya; (2) Transparan, artinya harus
tersedia informasi yang memadai kepada masyarakat terhadap
proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan; (3) Responsif,
artinya dalam proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan harus
mampu melayani semua stakeholder; (4) Setara dan inklusif,
artinya seluruh anggota masyarakat tanpa terkecuali harus
memperoleh kesempatan dalam proses pembuatan dan pelak-
sanaan sebuah kebijakan; (5) Efektif dan efisien, artinya kebijakan
dibuat dan dilaksanakan dengan menggunakan sumberdaya-
sumberdaya yang tersedia dengan cara yang terbaik; (6)
Mengikuti aturan hukum, artinya dalam proses pembuatan dan
pelaksanaan kebijakan membutuhkan kerangka hukum yang adil
dan ditegakkan; (7) Partisipatif, artinya pembuatan dan pelaksa-
naan kebijakan harus membuka ruang bagi keterlibatan banyak
aktor; (8) Berorientasi pada konsensus (kesepakatan), artinya
pembuatan dan pelaksanaan kebijakan harus merupakan hasil
kesepakatan bersama diantara para aktor yang terlibat
Kurniawan (2006).
c. Keuntungan Penggunaan E-government. Masyarakat di kota besar
yang sibuk dan kadang-kadang lokasi tempat tinggalnya cukup
jauh dengan kantor pelayanan. maka dengan diimplementasikan-
nya e-government, masyarakat tetap dapat mengakses informasi
dan layanan publik. Dengan adanya fasilitas tersebut, masyarakat
diharapkan akan menjadi lebih produktif karena masyarakat tidak
perlu antri dalam waktu lama hanya untuk menyelesaikan sebuah
perizinan seperti saat ini. Suatu hal yang perlu diingat adalah,
bahwa menerapkan e-government sama sekali tidak sama dengan

GOOD GOVERNANCE 271


menjadikan kantor-kantor pemerintahan sebagai lingkungan high-
tech (teknologi tinggi). Melainkan e-government bertujuan
menggunakan Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk
membuat layanan pemerintah lebih dekat pada orang-orang yang
menggunakan layanan-layanan tersebut, yaitu masyarakat.
Dengan adanya online system ini, masyarakat dapat
memanfaatkan banyak waktunya untuk melakukan aktivitas yang
lain sehingga diharapkan produktifitas pun dapat meningkat, baik
tingkat daerah maupun tingkat nasional. Dapat dikatakan bahwa
secara garis besar e-government mempunyai banyak keuntungan,
antara lain: (1) Peningkatan kualitas pelayanan. Pelayanan publik
dapat dilakukan selama 24 jam, berkat adanya teknologi internet.
(2) Dengan menggunakan teknologi online, banyak proses yang
dapat dilakukan dalam format digital, hal ini akan banyak
mengurangi penggunaan kertas (paperwork) proses akan menjadi
lebih efisien dan hemat. (3) Database dan proses terintegrasi
(akurasi data lebih tinggi. mengurangi kesalahan identitas dan
Iain-lain). (4) Semua proses dilakukan secara transparan, karena
semua proses berjalan secara online. Selain keuntungan di atas.
keuntungan lainnya adalah, masyarakat dapat mengakses peme-
rintah dengan cepat, dan linkage antardaerah bisa mudah
terkontrol. Bahkan ada kesempatan untuk saling promote,
bagaimana bisa mengontrol daerahnya dengan lebih cepat. Hanya
saja, e-government untuk negara sebesar Indonesia, dengan lebih
dari 17 ribu pulau, sulit menciptakan satu platform yang baku.
Satu platform tidak bisa digeneralisasi untuk semua. Misalnya.
yang diterapkan untuk Jakarta mungkin tidak akan pas untuk
Papua ataupun Sulawesi. Jadi, setiap daerah punya satu
pandangan yang bisa mendalam terhadap daerahnya.
Untuk masyarakat, selain kemudahan akses, keuntungan lain
yang didapat masih banyak. Contoh di Malaysia. Ada KTP yang
bentuknya seperti kartu kredit. Ini disebut “kartu pintar”. Di sini
ada chip yang berisi semua data mengenai pemegang kartu, dari
nama, golongan darah. nama ibu dan saudara kandung, sampai
data-data lainnya. Keuntungannya bagi masyarakat, dia cukup
memiliki satu kartu untuk mengakses semuanya. Misalnya waktu
mengisi bensin tapi tidak membawa uang. kartu ini bisa digunakan

272 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


sebagai kartu kredit atau kartu debit. Jadi, tak perlu bawa KTP,
SIM, kartu kredit, atau kartu ATM yang berbeda-beda. Satu kartu
untuk semuanya. Keuntungan lain, umpamanya untuk membuat
surat kelakuan baik, tak perlu repot-repot harus membuat surat
mulai RT, RW, kelurahan, dan baru kemudian ke kepolisian. Cukup
satu kartu ini saja.
Keberhasilan penerapan e-government dipengaruhi
beberapa hal, antara lain peran pemerintah pusat, hasil uji coba e-
government dengan meniru praktik terbaik dari pemerintahan
daerah lain, dan adanya organisasi pelatihan independen yang
bertugas mempelajari implementasinya. Demikian hasil studi yang
dilakukan oleh perusahaan aplikasi SAP dengan dua organisasi
nirlaba asal Inggris, yaitu Improvement and Development Agency
(IDeA) dan Society of IT Management (Socitm). Indonesia sebagai
negara kesatuan memiliki sumberdaya alam yang berlimpah dan
tersebar, dan dihuni oleh lebih dari 210 juta penduduk dari
berbagai suku, agama dan budaya. Indonesia juga mempunyai
posisi geopolitik yang sangat strategis karena berada di antara dua
benua dan dua samudera. Berbagai potensi tersebut harus dikelola
secara baik bagi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Untuk itu
pemerintah perlu meningkatkan kewenangan pemerintah daerah
melalui pemberian otonomi yang luas, nyata dan bertanggung
jawab. Penanganan sangat sentralistik selama lebih dari 30 tahun
ternyata hanya menciptakan ketidakadilan. Sumberdaya nasional
hanya dimanfaatkan oleh kelompok tertentu. Akibatnya tumbuh
kecemburuan sosial antar daerah yang mengancam kesatuan dan
persatuan nasional.
Salah satu tujuan pemberian otonomi adalah untuk
meningkatkan kualitas pelayanan masyarakat. Untuk itu pemerin-
tah daerah dituntut memahami secara lebih baik kebutuhan
masyarakat yang terdiri dari berbagai lapisan. Pemerintah daerah
harus melibatkan seluruh unsur masyarakat dalam proses
pembangunan. Tata-pemerintahan di daerah harus diselenggara-
kan secara partisipatif. Penyelenggaraan pemerintahan yang
eksklusif hanya melibatkan unsur pemerintah dan/atau legislative
akan membuat masyarakat tidak peduli pada pembangunan. Hal
ini lebih lanjut akan menyebabkan keberlanjutan pembangunan

GOOD GOVERNANCE 273


menjadi sangat rapuh dan rentan. Partisipasi masyarakat dapat
terwujud seiring dengan tumbuhnya rasa percaya masyarakat
kepada para penyelenggara pemerintahan di daerah. Rasa percaya
ini akan tumbuh apabila masyarakat memperoleh pelayanan dan
kesempatan yang setara (equal). Tidak boleh ada perlakuan yang
didasari atas dasar perbedaan pria-wanita, kaya-miskin, kesukuan
dan agama. Pembedaan perlakuan atas dasar apapun dapat
menumbuhkan kecemburuan dan mendorong terjadinya konflik
sosial di masyarakat. Otonomi daerah juga bertujuan untuk men-
dorong tumbuhnya prakarsa dan kreatifitas local, agar daerah
dapat lebih mandiri dan mampu berkompetisi secara sehat.
Prakarsa masyarakat termasuk prakarsa dunia usaha dapat
berkembang jika ada situasi kondusif, situasi yang memberikan
rasa aman dan kepastian hukum. Untuk itu penyelenggara
pemerintahan dituntut taat hukum secara konsisten dan sungguh-
sungguh. Ketidakpastian hukum mendorong masyarakat bersikap
apatis. Bagi dunia usaha tiadanya kepastian hukum dan rasa aman
dapat mengurangi minat berinvestasi, sesuatu yang sangat
diperlukan bagi pembangunan daerah. Kewenangan otonomi
daerah harus dilaksanakan secara bertanggung jawab. Artinya
sebagai konsekuensi dari pemberian hak dan kewenangan,
penyelenggara pemerintahan dituntut melaksanakan tugas dan
kewajiban secara profesional agar tujuan otonomi daerah dapat
terwujud penuh. Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya
penyelenggara pemerintahan harus sadar untuk tidak hanya
berorientasi pada hasil tetapi juga pada kebenaran dan kewajaran
dalam proses pencapaiannya. Setiap upaya yang menggunakan
sumberdaya masyarakat, perlu diselenggarakan secara transparan.
Penyelenggaraan pemerintahan daerah yang bertanggung jawab
dan transparan akan menumbuhkan rasa percaya masyarakat
pada pemerintah daerah.

PERANAN E-GOVERNMENT DALAM MEWUJUDKAN GOOD


GOVERNANCE

Urgensi good governance dalam upaya memperbaiki


penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia bukanlah hal baru,

274 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


beberapa kegiatan telah pernah dilakukan antara lain Program
Pelayanan Prima yang diprakarsai oleh Kementerian PAN. Istilah good
governance sendiri muncul bersamaan dengan program-program
yang didukung lembaga luar, namun tidak berarti kegiatan yang
dilaksanakan bukan kegiatan yang merupakan aspirasi masyarakat,
Keinginan masyarakat untuk memperoleh pemerintahan yang baik
(good governance) sudah ada sejak dahulu, bahkan sebagian
masyarakat memimpikan dipimpin oleh “Ratu Adil’ yang dipercaya
akan memimpin dengan mementingkan kepentingan masyarakat dan
mencapai kemakmuran. Jadi adanya Tata Pemerintahan yang baik
bukan merupakan kondisi yang diharapkan dari luar namun menjadi
impian masyarakat banyak. Pada hakekatnya tujuan tata
kepemerintahan yang baik (good governance) adalah tercapainya
kondisi pemerintahan yang dapat menjamin kepentingan/pelayanan
publik secara seimbang dengan melibatkan kerjasama antar semua
komponen pelaku (negara, masyarakat madani, lembaga-lembaga
masyarakat, dan pihak swasta). Paradigma tata kepemerintahan yang
baik menekankan arti penting kesejajaran hubungan antara institusi
negara, pasar, dan masyarakat. Semua pelaku harus saling menge-
tahui apa yang dilakukan oleh pelaku lainnya serta membuka ruang
dialog agar para pelaku saling memahami perbedaan-perbedaan di
antara mereka. Melalui proses tersebut diharapkan akan tumbuh
konsensus dan sinergi dalam penerapan program-program tata
kepemerintahan yang baik di masyarakat.
Ada empat belas karakteristik yang dapat terhimpun dari
telusuran wacana good governance (http://good-
governance.bappenas.go.id), yaitu: (1) Wawasan ke depan
(visionary); (2) Keterbukaan dan Transparansi (openness and trans-
parency); (3) Partisipasi Masyarakat (participation); (4)
Akuntabilitas/Tanggunggugat (accountability); (5) Supremasi Hukum
(rule of law): (6) Demokrasi (democracy); (7) Profesionalisme dan
Kompetensi (professionalism and competency); (8) Daya Tanggap
(responsiveness); (9) Keefisienan dan Keefektifan (efficiency and
effectiveness); (10) Desentralisasi (decentralization); (11) Kemitraan
dengan Swasta dan Masyarakat (private and civil society
partnership); (12) Komitmen pada Pengurangan Kesenjangan (com-
mitment to discrepancy reduction); (13) Komitmen pada Pasar yang

GOOD GOVERNANCE 275


fair (commitment to fair market); dan (14) Komitmen pada
Lingkungan Hidup (commitment to environmental protection);
Keempat belas karakteristik nilai good governance tersebut dapat
dijelaskan secara ilustrasi deskriptif sebagai berikut: Pertama, tata
pemerintahan yang berwawasan ke depan (visi strategis). Semua
kegiatan pemerintah di berbagai bidang seharusnya didasarkan pada
visi dan misi yang jelas disertai strategi implementasi yang tepat
sasaran. Kedua, tata pemerintahan yang bersifat terbuka
(transparan). Wujud nyata prinsip tersebut antara lain dapat dilihat
apabila masyarakat mempunyai kemudahan untuk mengetahui serta
memperoleh data dan informasi tentang kebijakan, program, dan
kegiatan aparatur pemerintah, baik yang dilaksanakan di tingkat
pusat maupun daerah. Ketiga, tata pemerintahan yang cepat tanggap
(responsif). Masyarakat yang berkepentingan ikut serta dalam proses
perumusan dan/atau pengambilan keputusan atas kebijakan publik
yang diperuntukkan bagi masyarakat. Keempat, tata pemerintahan
yang bertanggung jawab/bertanggung gugat (akuntabel). Instansi
pemerintah dan para aparaturnya harus dapat mempertanggung-
jawabkan pelaksanaan kewenangan yang diberikan sesuai dengan
tugas dan fungsinya. Demikian halnya dengan kebijakan, program,
dan kegiatan yang dilakukannya. Kelima, tata pemerintahan yang
berdasar-kan profesionalitas dan kompetensi. Wujud nyata prinsip ini
mencakup upaya penuntasan kasus KKN dan pelanggaran HAM,
peningkatan kesadaran HAM, peningkatan kesadaran hukum, serta
pengembangan budaya hukum. Upaya-upaya tersebut dilakukan
dengan menggunakan aturan dan prosedur yang terbuka dan jelas,
serta tidak tunduk pada manipulasi politik. Keenam, tata
pemerintahan yang menggunakan struktur dan sumber daya secara
efisien dan efektif. Perumusan kebijakan pembangunan baik di pusat
maupun daerah dilakukan melalui mekanisme demokrasi, dan tidak
ditentukan sendiri oleh eksekutif. Keputusan-keputusan yang diambil
antara lembaga eksekutif dan legislatif harus didasarkan pada
konsensus agar setiap kebijakan publik yang diambil benar-benar
merupakan keputusan bersama. Ketujuh, tata pemerintahan yang
terdesentralisasi. Wujud nyata dari prinsip profesionalisme dan
kompetensi dapat dilihat dari upaya penilaian kebutuhan dan evaluasi
yang dilakukan terhadap tingkat kemampuan dan profesionalisme

276 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


sumber daya manusia yang ada, dan dari upaya perbaikan atau
peningkatan kualitas sumber daya manusia. Kedelapan, tata pe-
merintahan yang demokratis dan berorientasi pada konsensus.
Aparat pemerintahan harus cepat tanggap terhadap perubahan
situasi/kondisi mengakomodasi aspirasi masyarakat, serta mengambil
prakarsa untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi
masyarakat. Kesembilan, tata pemerintahan yang mendorong
partisipasi masyarakat. Pemerintah baik pusat maupun daerah dari
waktu ke waktu harus selalu menilai dukungan struktur yang ada,
melakukan perbaikan struktural sesuai dengan tuntutan perubahan
seperti menyusun kembali struktur kelembagaan secara keseluruhan.
menyusun jabatan dan fungsi yang lebih tepat, serta selalu berupaya
mencapai hasil yang optimal dengan memanfaatkan dana dan
sumber daya lainnya yang tersedia secara efisien dan efektif.
Kesepuluh, tata pemerintahan yang mendorong kemitraan dengan
swasta dan masyarakat. Pendelegasian tugas dan kewenangan pusat
kepada semua tingkatan aparat sehingga dapat mempercepat proses
pengambilan keputusan, serta memberikan keleluasaan yang cukup
untuk mengelola pelayanan publik dan menyukseskan pembangunan
di pusat maupun di daerah. Kesebelas, tata pemerintahan yang
menjunjung supremasi hukum. Pembangunan masyarakat madani
melalui peningkatan peran serta masyarakat dan sektor swasta harus
diberdayakan melalui pembentukan kerjasama atau kemitraan antara
pemerintah, swasta, dan masyarakat. Hambatan birokrasi yang
menjadi rintangan terbentuknya kemitraan yang setara harus segera
diatasi dengan perbaikan sistem pelayanan kepada masyarakat dan
sektor swasta serta penyelenggaraan pelayanan terpadu. Keduabelas,
tata pemerintahan yang memiliki komitmen pada pengurangan
kesenjangan. Pengurangan kesenjangan dalam berbagai bidang baik
antara pusat dan daerah maupun antardaerah secara adil dan
proporsional merupakan wujud nyata prinsip pengurangan
kesenjangan. Hal ini juga mencakup upaya menciptakan kesetaraan
dalam hukum (equity of the law) serta mereduksi berbagai perlakuan
diskriminatif yang menciptakan kesenjangan antara laki-laki dan
perempuan dalam kehidupan bermasyarakat.
Ketigabelas, tata pemerintahan yang memiliki komitmen pada
pasar. Daya dukung lingkungan semakin menurun akibat

GOOD GOVERNANCE 277


pemanfaatan yang tidak terkendali. Kewajiban penyusunan analisis
mengenai dampak lingkungan secara konsekuen. penegakan hukum
lingkungan secara konsisten, pengaktifan lembaga-lembaga
pengendali dampak lingkungan, serta pengelolaan sumber daya alam
secara lestari merupakan contoh perwujudan komitmen pada
lingkungan hidup. Keempat belas, tata pemerintahan yang memiliki
komitmen pada lingkungan hidup. Pengalaman telah membuktikan
bahwa campur tangan pemerintah dalam kegiatan ekonomi seringkali
berlebihan sehingga akhirnya membebani anggaran belanja dan
bahkan merusak pasar. Upaya pengaitan kegiatan ekonomi
masyarakat dengan pasar baik di dalam daerah maupun antar daerah
merupakan contoh wujud nyata komitmen pada pasar.
Era globalisasi yang datang lebih cepat dari yang diperkirakan
telah membuat isu-isu semacam demokratisasi, transparansi, civil
society, good corporate governance, perdagangan bebas menjadi hal-
hal utama yang harus diperhatikan oleh setiap pemerintahan. Dalam
format ini, pemerintah harus mengadakan reposisi terhadap perannya
dari yang bersifat internal menjadi lebih berorientasi eksternal dan
fokus kepada bagaimana memposisikan masyarakat dan pemerintah-
nya di dalam sebuah pergaulan global.
Kemajuan teknologi informasi (komputer dan telekomunikasi)
terjadi sedemikian pesatnya sehingga data, informasi dan
pengetahuan dapat diciptakan dengan sangat cepat dan dapat segera
disebarkan ke seluruh lapisan masyarakat di berbagai belahan dunia
dalam hitungan detik. Hal ini berarti bahwa setiap individu di
berbagai belahan dunia dapat saling berkomunikasi kepada siapapun
yang dikehendakinya. Buah dari kemajuan pesat teknologi informasi
ini dapat mempengaruhi bagaimana pemerintahan di masa modem
ini harus bersikap secara benar dan efektif mereposisikan peranannya
dalam melayani masyarakatnya. Secara umum pengimplementasian
e-government diyakini akan memperbaiki kinerja pengelolaan
pemerintahan di Indonesia. Maraknya korupsi di Indonesia dan
rendahnya kepercayaan investor asing terhadap pemerintah
Indonesia menunjukkan rendahnya kualitas manajemen pe-
merintahan Indonesia. Karena itu, diperlukan suatu manajemen
pemerintah yang sangat menonjolkan unsur transparansi, sebagai
salah factor penting untuk menghilangkan KKN (kolusi, korupsi,

278 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


nepotisme) di pemerintahan. Rendahnya transparansi ini
menyebabkan sukarnya mekanisme pengawasan berjalan dengan
lancar.
Salah satu solusi dan alternatif yang menjanjikan untuk
menciptakan transparansi adalah sistem pengelolaan pemerintahan
secara elektronik atau electronic government (e-government).
Pengelolaan lembaga/instansi secara elektronik baik untuk swasta
maupun pemerintahan selain meningkatkan transparansi, juga bisa
meningkatkan efisiensi (menurunkan biaya dan meningkatkan
efektivitas/meningkatkan daya hasil). Saat ini cukup banyak negara
yang sudah menerapkan e-government. Di antaranya adalah
Singapura, Australia, AS, Jerman, Inggris, Malaysia, Taiwan, dan
Selandia Baru.

Hambatan dan Tantangan Mewujudkan Good Governance


Melalui E-government
Hambatan penerapan e-government dapat lihat misalnya dari
hasil pengamatan yang dilakukan Kementerian Komunikasi yang
menyimpul-kan bahwa mayoritas situs pemerintah Pusat dan
pemerintah Daerah masih berada pada tingkat persiapan (pertama)
apabila ditinjau dari sejumlah aspek: (1) E-Leadership: prioritas dan
inisiatif negara di dalam mengantisipasi dan memanfaatkan kemajuan
teknologi informasi; (2) Infrastruktur Jaringan Informasi: kondisi
infrastruktur telekomunikasi serta akses, kualitas, lingkup, dan biaya
jasa akses; (3) Pengelolaan Informasi: kualitas dan keamanan
pengelolaan informasi; (4) Lingkungan Bisnis: kondisi pasar, sistem
perdagangan. dan regulasi yang membentuk konteks perkembangan
bisnis teknologi informasi; (5) Masyarakat dan Sumber Daya Manusia:
difusi teknologi informasi didalam kegiatan masyarakat baik
perorangan maupun organisasi, serta sejauh mana teknologi
informasi disosialisasikan kepada masyarakat melalui proses
pendidikan (Kurniawan, 2006).
Peran E-government dalam Mewujudkan Good Governance

Berbagai masalah yang dihadapi Indonesia dalam


menerapkan e-government, di antaranya adalah masih kurangnya
infrastruktur yang ada, masalah sumber daya manusia dan lain-lain.

GOOD GOVERNANCE 279


Namun demikian. karena penerapan e-government sudah menjadi
tuntutan masyarakat untuk mendapatkan layanan yang lebih baik dan
juga karena tuntutan penerapan otonomi daerah, maka pemerintah
(pusat atau daerah) harus segera menerapkannya dengan segala
keterbatasan yang ada. Menurut Rasyid (2000), dalam rangka
penerapan good governance dan e-government, terdapat empat
prinsip dasar yang perlu diperhatikan yaitu: kepastian hukum,
keterbukaan, akuntabilitas, dan profesionalitas untuk peningkatan
layanan dan pemberdayaan masyarakat. Sedangkan menurut
Hardijanto (2000) bahwa peningkatan pelayanan kepada masyarakat
harus terus menerus diusahakan perubahan peran dengan cara
optimalisasi standar pelayanan dengan prinsip cepat, tepat,
memuaskan, transparan dan non diskriminatif serta menerapkan
prinsip-prinsip akuntabilitas, dan pertimbangan efisiensi
(http://www.bogor.net/idkf/idkf-2/wawancara). Implementasi e-
government yang diyakini mampu mengurangi peluang
penyalahgunaan wewenang dan mengurangi biaya operasional
pemerintah sudah semakin mendesak untuk segera diterapkan.
Namun demikian, sebagaimana diuraikan di atas, berbagai persoalan
baik teknis maupun kemampuan sumber daya manusia (SDM) masih
menghambat. Karena e-government lebih mendasar dari sekedar
komputerisasi dan otomatisasi layanan. Penerapannya amat
ditentukan seberapa serius pemerintah mengurangi birokrasi yang
selama ini identik dengan uang (Bisnis Indonesia, 25/01/2001).
Setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan pentingnya “E-
government” dalam pembangunan masyarakat jaringan (network
society): (1) Elektronisasi komunikasi antara sektor publik dan
masyarakat menawarkan bentuk baru partisipasi dan interaksi
keduanya. Waktu yang dibutuhkan menjadi lebih singkat, disamping
tingkat kenyamanan pelayanan juga semakin tinggi. Disamping itu
bentuk transaksi baru ini akan menyebabkan tingginya tingkat
pemahaman dan penerimaan masyarakat terhadap tindakan yang
dilakukan oleh pemerintah; (2) Cyberspace dalam pelayanan publik
memungkinkan penghapusan struktur birokrasi dan proses klasik
pelayanan yang berbelit-belit. Tujuan realistis yang hendak dicapai
melalui cyberspace adalah efisiensi pelayanan dan penghematan
finansial. Disamping itu, informasi online dalam pelayanan publik

280 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


dapat meningkatkan derajat pengetahuan masyarakat mengenai
proses dan persyaratan sebuah pelayanan publik; (3) E-government
menyajikan juga informasi-informasi lokal setempat. Penggunaan
internet dalam sektor publik akan memungkinkan kemampuan
kompetisi masyarakat lokal dengan perkembangan internasional dan
global. Dalam rangka implementasi e-government, tentu saja ada
beberapa prioritas utama yang akan dilaksanakan, karena tidak
semua jenis layanan dapat difasilitasi dengan internet atau dilayani
melalui internet, baik karena keterbatasan infrastrukturnya maupun
SDM-nya, terutama publik yang akan melakukan berbagai transaksi
layanan atau yang membutuhkan layanan. Menurut Abidin (2000),
ada beberapa prioritas utama dalam melakukan implementasi e-
government, antara Iain: (1) Pemulihan ekonomi (dapat mendorong
kegiatan investasi, pengembangan sistem informasi untuk arus
investasi, dan ke-lanjutan EDI. EDI: Electronic Data Interchange,
adalah suatu bentuk pertukaran informasi perdagangan melalui
jaringan privat (tidak memanfaatkan internet) dan biasanya
digunakan di pelabuhan dan bea cukai. Dengan memanfaatkan E-
government, diharapkan implementasi EDI dapat lebih ditingkatkan
dengan memanfaatkan teknologi internet untuk memperlancar
kegiatan ekspor/impor melalui pelabuhan laut/udara). (2) Layanan
masyarakat umum, misalnya SIMTAP (Sistem Informasi Manajemen
Satu Atap). (3) Aplikasi fungsional tiap departemen (pengembangan
data hasil pengelolaan data potensi di tiap daerah yang dapat diolah
dalam bentuk-bentuk yang informatif, misalnya grafik yang harus
tersedia untuk perencanaan di daerah, pendaftaran paten dan hak
cipta produk-produk pengembangan dari daerah, dan lain-lain).

GOOD GOVERNANCE 281


DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Said Zainal. 2006. Dinamika Reformasi dan revitalisasi


Administrasi Publik di Indonesia. Jakarta: Suara Bebas.
Adam Kuper & Jessika Kuper, Ensiklopedia Ilmu-Ilmu Sosial, Edisi
Ke dua. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Ayan, Jordan E. 2002. Bengkel Kreativitas. Bandung: Mizan Mdia
Utama.
Albrow, Martin.1996. Birokrasi: Terjemahan. Yogyakarta: PT. Tiara
Wacana Yogya.
Ali Mufiz.2004. Pengantar Ilmu Administrasi Negara. Jakarta:
Pusat Penerbitan Universitas Terbuka.
Allan, J. 1997. Menangani Masalah Manusia di dalam Organisasi.
Alih Bahasa: Kirbandoko, Jakarta: Binapura Aksara.
Amirin, Tatang M. 1992. Pokok-Pokok Teori Sistem. Jakarta: CV
Rajawali.
Anoraga, Pandji dan Suyati Sri. 1995. Psikologi Industri dan Sosial.
Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.
Atmosudirdjo Prajudi. 2003. Teori Administrasi. Jakarta: STIALAN.
Badjuri, H. Abdulkahar & Teguh Yuwono, 2003. Kebijakan Publik:
Konsep dan Strategi. Semarang: Universitas Diponegoro.
Barata, Atep Adya, 2003. dasar-dasar Pelayanan Prima, Jakarta:
PT. Elex Media Komputindo.
Barzelay, M. Dan B. Armajani. 1997. Breaking Through
Bureaucracy. Dalam Classis of Public Administration diedit
oleh J.M. Shafritz dan A.C Hyde. New York: Harcourt Brace
College Publishers.
Bennis, Warren G., 1969. "Changing Organization", New York.
______, & Burt Nanus. 1990. Kepemimpinan: Strategi Dalam
Mengemban Tanggung Jawab. (Terjemahan). Jakarta:
Erlangga.
Bennis, Warren & Robert Townsend. 1998. Reinventing
Leadership: Menciptakan Kembali Kepemimpinan.
(Terjemahan). Batam: Inter aksara.
Burhanuddin, H. Salam, 1996, Etika Sosial, Asas Morlan Dalam
Kegidupan Manusia, Jakarta: Rineka Cipta
Bratawidjaja, Thomas Wiyasa, 1992. Sekretaris Profesional, Seri
Umum No. 11, Jakarta: PT Pustaka Binaman Pressindo.

282 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


Brett. E.A. 1988, Adjustment and the State: the Problems of
Administrative Refom”, IDS Bulletin. IV : 4.
Bryant, Coralie & White G. Louise, 1987. Manajemen Pembangunan
Untuk Negara-Negara Berkembang, Jakarta: LP3ES.
Caiden, G. E. 1982. Public Administration. Second Edition.
California: Palisades Publisher.
Chandler, R. C. & J. C. Plano. 1988. The Public Administration
Dictionary. Second Edition: Santa Barbara, CA: ABC-CLIO
Inc.
Clements, P. Kevin. 1999. Teori Pembangunan Dari Kiri Ke Kanan,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Conger, Jay A. 1997. Pemimpin Karismatik. (terjemahan). Jakarta:
Binapura Aksara.
Conyers, Diana. 1991. Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga: Suatu
Pengantar. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Creech, Bill. 1996. Lima Pilar Manajemen Mutu Terpadu (TQM):
Cara Membuat Total Quality Management Bekerja Bagi
Anda. Jakarta: Binarupa Aksara.
David Osborne dan Ted Gaebler. (1995) Mewirausahakan
Birokrasi. Jakarta: PPM.
______, dan Peter Plastrik. 2001. Memangkas Birokrasi. Jakarta:
PPM.
Denrhardt, Janet V. dan Denhardt Robert B. 2003. The New Public
Service: Serving, Not Steering, New York: M.E. Sharepe,
Inc.
Dessler, Gary. 2000. Human Resource Management. Eighth
Edition. New York Jersey: Prentice Hall.
Dharma, Surya. 2005. Manajemen Kinerja: Falsafah Teori dan
Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Donovan, F. & A.C. Jackson. 1991. Managing human Service
Organizations. New York, N.Y: Prentice Hall.
Dimock & Dimock, 1989. Administrasi Negara. Terjemahan.
Jakarta: Erlangga.
______, 1992. Administrasi Negara: Terjemahan. Jakarta: Rineka
Cipta.
______, 1993. Administrasi Negara, Jakarta: Rineka Cipta.
Dvorin Eugene P. & Simmons, Robert H. 2000. Dari Amoral Sampai
Birokrasi Humanisme. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Dwiyanto, Agus. 1995. Penilaian Kinerja Organisasi Pelayanan
Publik, Yogyakarta: Fisipol UGM.

DAFTAR PUSTAKA 283


______, dkk, 2006. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia,
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Dunn, W.N. 1994. Public Policy Anaysis: An Introduction.
Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall. Inc.
______, 2003. Analisis Kebijaksanaan Publik. Yogyakarta. PT.
Hanindita Graha Widya.
Eaton, Joseph W. 1986. Pembangunan Lembaga dan
Pembangunan: Dari Konsep ke Aplikasi. Terjemahan
Jakarta: Universitas Indonesia.
Effendi, Sofian, 1986. Pelayanan Publik, pemerataan dan
Administrasi Negara Baru, Prisma, XV.
______, 1987. Debirokratisasi dan Deregulasi, Meningkatkan
Kemampuan Administrasi untuk melaksanakan
Pembangunan Nasional, Makalah dibacakan dalam
Seminar UGM-DAAD di Yogyakarta.
______, 1989. Alternatif Kebijaksanaan Perencanaan
Administrasi Suatu Analisis Retrospektif dan Prospektif.
Yogyakarta: UGM.
______, dkk. 1993. Membangun Martabat Manusia: Peranan Ilmu-
ilmu Sosial Dalam Pembangunan. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press.
Effendy Uchjana Onong. 2003. Ilmu, Teori dan Filsafat
Komunikasi. Bandung: Citra Aditya Bakti. Bandung.
Evers, Hans-Dieter. 1987. Birokrasi: Prasyarat atau hambatan
Perkembangan Ekonomi" Seminar Kerjasama Deutsecher
Akademicsher Austrauchdients (DAAD) Universitas Gajah
Mada, Yogyakarta, 19 Desember.
Flippo, Edwin B., 1992. Manajemen Personalia, (ed keenam) Jilid 1,
Jakarta: Erlangga.
Frederickson, H. George, 1984. Administrasi Negara Baru, Jakarta:
LP3ES.
Gaspersz, Vincent & Jhon W. 1994. Manajamen Kualitas:
Penerapan Konsep-Konsep Kualitas Dalam Manajemen
Bisnis Total. Jakarta: Kerjasama Yayasan Indonesia Emas
Gramedia Pustaka Utama.
______, 2004. Perencanaan Strategik Sektor Publik. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Gerson, Richard F. 2002. Mengukur Kepuasan Pelanggan.
Terjemahan. Jakarta: PPM.
Gibson, James L. 1990. Organisasi: Perilaku, Struktur, Proses.
(jilid II). Jakarta: Erlangga.

284 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


Gibson, Ivancevich Donnelly. 1996. Organisasi Prilaku Struktur
Proes. (Jilid 1) Jakarta: Binarupa Aksara.
______, 1997. Organisasi: Prilaku Struktur Proses. Jakarta:
Binarupa Aksara.
Gray, Cleve, 1994. Government Beyond The Centre (sub-National
Politics in Britain), Press LTD, The Macmillan.
Harmon, Michael M. And Mayer Richard T. 1988. Organization
Theory for Public Administration. Boston: Little Brown.
Henry, Nicholas, 1988. Administrasi Negara, Diterjemahkan oleh
Luciana D. Lontoh. Dari Judul asli ”Public Administration and
Publik”. Jakarta: Rajawali Pers.
H. George Frederickson. 2003. Administrasi Negara Baru. Jakarta:
LP3ES.
Hicks, G. Herbert & Gullet, G. Ray. 1996. Organisasi Teori dan
Tingka Laku. Jakarta: Bumi Aksara.
Hudson, Baclay M. 1979. Comparison of Planning Theories:
Counterparts and Contradiction". Journal Nations Centre
The American Planning Association, Vol. 45, No. 4
Interplan (International Group for Studies in National Planning), 1969.
Appraising Administrative Capability for Development,
New York: United Nation.
Islam, Nasir & George M. Henault. 1979. From GNP to Basic
Needs: A. Critical Review of Development and
Development Administration dalam International Review
of Administrative Science, No. 3
Islamy, M. Irfan, 1986. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan
Negara, Jakarta: Bina Aksara.
Kaho, Josef Riwu, 1995. Prospek Otonomi Daerah di Negara
Republik Indonesia: Identifikasi Faktor yang
Mempengaruhi Penyelenggaraannya. Jakarta:
RajaGrafindo Persada.
Kartasapoetra, G. 1994. Debirokratisasi dan Deregulasi. Jakarta:
Rineka Cipta.
Kartasasmita, Ginanjar. 1996. Pembangunan Untuk Rakyat:
Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. Jakarta:
CIDES.
______, dkk. 1996. Pembaruan dan Pemberdayaan. Jakarta: Ikatan
Alumni ITB.
Kaho, Josef Riwu, 1995. Prospek Otonomi Daerah di Negara
Republik Indonesia: Identifikasi Faktor yang

DAFTAR PUSTAKA 285


Mempengaruhi Penyelenggaraannya. Jakarta:
RajaGrafindo Persada.
Kasim, Ashar, 1988. Reformasi Administrasi Negara sebagai
Prasyarat Upaya Peningkatan Daya Saing Nasional.
Jakarta: UI. Indonesia.
Katz M. Saul, 1985. Modernisasi Administrasi Untuk
Pembangunan Nasional: Suatu Arahan Praktis. Jakarta:
Bina Aksara.
Kartono, Kartini, 2005. Kepemimpinan: Apakah Kepemimpinan
Abnormal itu?. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Keating, Charles J. 1986. Kepemimpinan: Teori dan
Pengembangannya. (Terjemahan). Yogyakarta: Kanisius.
Keban, Yaremis T, 1995. Indikator Kinerja Pemda: Pendekatan
Manajemen dam kebijakan. Yogyakarta: (Makalah).
______, 2004. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik:
Konsep, teori dan Isu, Jakarta: Gava Media.
Kencana, Inu Syafiie. 1994. Sistem Pemerintahan Indonesia.
Jakarta: PT Rineka Cipta.
Kencana, Inu Syafiie. 2003. Kepemimpinan Pemerintahan
Indonesia. Bandung: Refika Aditama.
Kerlinger, Freed N. 1990, Asas-asas Penelitian Behavioral:
Terjemahan, Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Khun, Thomas S, 1993. Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains,
Bandung: Rosdakarya.
Kramer, Fred. A. Ed. 1981. Perspective on Public Bureacracy.
Boston: Little Brown and Company.
Kristiadi, J. B. 1994. Administrasi/Manajemen Pembangunan,
Jakarta: LAN.
______, 1997. Perspektif Administrasi Publik Menghadapi
Tantangan Abad 21. Pidato Pengukuhan Guru Besar Tidak
Tetap Dalam Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Padjajaran, 6 Oktober 1997.
Klu, F. E. 1984. Regional Development Theory: Toward a
Paradigm Shift. Montovia: Department of Geography,
University of Liberia.
Kousez, M. James & Barry Z. Posner. 1997. Kredibilitas. Jakarta:
Profesional Books.
Kousez, M. James & Barry Z. Posner. 2004. Leadership The
Challenge: Tantangan Kepemimpinan. Jakarta: Erlangga.

286 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


Korten, David C. 1984. Strategic Organization for People-Centered
Development". Public Managers' Forum.
______, dan Rudi Klaus, eds.1984. People-Centered Development,
West Hartfort: Kumarian Press.
______, & Syahrir, 1988. Pembangunan Berdimensi Kerakyatan.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Kumorotomo, Wahyudi. 1996. Meningkatkan Kinerja BUMN:
Antispasi Terhadap Kompetisi dan kebijakan Deregulasi.
Yogyakarta: JKAP No. 1.
Lukman, Sampara, 2000. Manajemen Kualitas Pelayanan, Jakarta:
STIA-LAN Press.
Makhya, Syarief. 2006. Ilmu Pemerintahan (Telaah Awal).
Bandarlampung: Unila.
Mangkunegara, Anwar Prabu. 2003. Perencanaan Dan
Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Refika
Aditama.
Marshall E. Dimock, Gladys O. Dimock dan Louis W. Koenig, 1960.
Public Administration, New York: The Ronald Press
Company.
Maxwell, Jhon C. 1995. Mengembangkan Kepemimpinan di Dalam
Diri Anda. (Terjemahan). Jakarta: Binarupa Aksara.
McClelland, David C.1987. Memacu Masyarakat Berprestasi.
Mempercepat Laju Pertumbuhan Ekonomi Melalui
Peningkatan Berprestasi. Jakarta: Intermedia.
McKenna, Eugene & Nic Beech, 1996. Manajemen Sumber Daya
Manusia. (terjemahan) Yogyakarta: Andi.
Mintagoro Antonius. 2000. Pengantar Ilmu Administrasi. Jakarta:
STIA LAN Press.
Moeljarto Tjokrowinoto dkk. 2004. Birokrasi Dalam Polemik. Pusat
Studi Kewilayahan. Malang: Universitas Muhammadiyah
Malang.
Murphy, Kevin R & Jeanette N. Cleveland. 1995. Understanding
Performance Appraisal: Social, Organizational and Goal-
Based Perspectives. California: Sage Publications.
Mustopadidjaja, 1988. Paradigma-paradigma Pembangunan
Administrasi dan Manajemen Pembangunan: Makalah
dibacakan pada Temu Kaji. Posisi dan Ilmu Administrasi dan
Manajemen Pembangunan Nasional. Diselenggarakan Oleh
LAN RI. 28-30 Januari 1988.
______, 1998. Meningkatkan partisipasi, Daya Saing, dan
Kemitraan: Dinamika ekonomi Politik dan tantangan

DAFTAR PUSTAKA 287


Manajemen Pembangunan Masa Depan. Makassar: Pasca
Sarjana Universitas Hasanuddin.
Nana Sudjana (1992) Proposal Penelitian di Perguruan Tinggi,
Bandung: Sinar Baru Bandung.
Nasucha, Chaizi, 2004. Reformasi Administrasi Publik: Teori dan
Praktek, Jakarta: Grasindo.
Nawawi Hadari dan Martini Hadari. 1994. Ilmu Administrasi.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
______, 2003. Manajemen Stratejik: Organisasi Non Profit Bidang
Pemerintahan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
______, 2004. Kepemimpinan yang Efektif. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press.
Ndraha, Taliziduhu. 1989. Konsep Administrasi dan Administrasi
di Indonesia. Jakarta: Bina Aksara,
______, 1997, Budaya Organisasi, Jakarta: Rineka Cipta.
______, 2002, Pengantar Teori Pengembangan Sumber Daya
Manusia, Jakarta: Rineka Cipta.
Nicholas, Henry, 1988. Administrasi Negara: Dan Masalah-
masalah Kenegaraan, Jakarta: Rajawali Press.
Nitisemito, Alex S. 1996. Manajemen Personalia: (Manajemen
Sumber Daya Manusia). Jakarta: Ghalia Indonesia.
Nugroho, Riant. 2006. Kebijakan Publik: Untuk Negara-Negara
Berkembang. Jakarta: Elex Media Kamputindo Kelompok
Gramedia.
Noe, A. Raymond, Hollenbeck. R. Jhon, Gerhart. B and Wright. M.P.
1999. Human Resource Management: Gaining
Comparative Advantage Third Edition, USA.
Pamudji, S. 1989. Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia,
Jakarta: Bina Aksara.
______, 2004. Ekologi Administrasi Negara. Jakarta: Bumi
Akasara.
Peursen, C.A. Van. 1993. Susunan Ilmu Pengetahuan: Sebuah
Pengantar Filsafat Ilmu. (Diterjemahakan oleh J. Drost).
Jakarta: PT Gramedia Pustakan Utama.
Prwirosentono, Suryadi. 1990. Manajemen Sumber Daya Manusia:
Kebijakan Kinerja Karyawan, Kiat Menuju Organisasi
Kompetitif Dalam Perdagangan Bebas Dunia.
Yogyakarta: BPFE.
Riggs, Fred W. 1988. Administrasi Negara-Negara Berkembang:
Teori Masyarakat Prismatis. Yayasan Solidaritas.
Yogyakarta: Gajah Mada.

288 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


______, 1994. Administrasi Pembangunan: Sistem Administrasi
dan Birokrasi. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Ritzer, George & Goodman Douglas J. 2005. Teori Sosiologi
Modern. Terjemahan. Jakarta: Prenada Media.
Rivai, Veithzal. 2006. Kiat kepemimpinan dalam Abad ke 21.
Jakarta: Murai Kencana.
Robbins, P. Stephen, 1994. Teori Organisasi: Struktur, Disain &
Aplikasi, Jakarta: Arcan.
______, 2003. Perilaku Organisasi, Jakarta: PT. Indesk, Kelompok
Gramedia, Jilid 1.
Rosenbloom David H. & Kravchuk, Robert S, 2005. Public
Administration: Understanding Management, Politics,
and Law in The Public Sector. New York: Mc Graw Hill.
Ruky, Achmad S. 2004. Sistem Manajemen Kinerja. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Karya.
Salusu, J. 1996. Pengambilan Keputusan Stratejik: Untuk
Organisasi Publik an Organisasi Nonprofit. Gramedia.
Jakarta.
Sastrohadiwiryo, Siswanto B. 2005. Manajemen Tenaga Kerja
Indonesia: Pendekatan Administratif dan Operasional.
Jakarta: Bumi Aksara.
Santoso, Priyo Budi, 1997, Birokrasi Pemerintahan Orde Baru;
Perspektif Kultur dan Struktural, PT. Grafindo Persada,
Jakarta.
Santosa, Pandji.2008.Administrasi Publik Teori dan Aplikasi Good
Governance. Bandung: Refika Aditama
Sartono dkk. 2004. Memahami Good Governance Dalam
Perspektif Sumber Daya Manusia. Gava Media.
Yogyakarta.
Saxena, A.P. 1980. Peningkatan Produktivitas Tatalaksana
Pemerintahan. Prisma, XV: 11.
Sedarmayanti, 2003. Good Governance: Kepemerintahan yang
Baik Dalam rangka Otonomi Daerah Upaya Membangun
Organisasi Efektif dan Efisien Melalui Restrukturisasi
dan Pemberdayaan. Bandung: Mandar Maju.
______, 2004. Good Governance (Kepemerintahan Yang Baik) II.
Bandung: Mandar Maju.
Setiyono, Budi. 2004. Birokrasi Dalam Perspektif Politik &
Administrasi. Semarang: Pusat Kajian Otonomi Daerah dan
kebijakan Publik (Puskodak) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik.

DAFTAR PUSTAKA 289


Simamora, Henry. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia.
Yogyakarta: STIE YKPN.
Stewart, Aileen Mitchell. 1998. Empowering: Pemberdayaan
Sumber daya Manusia, Yogyakarta: Kanisius.
Stoner, James A. F. dkk. 1996. Manajemen. Jakarta: PT Indeks
Gramedia Grup.
______, & Wankel, Charles, 1996, Management. Prentice-Halt
International, Inc.
Strauss, Geroge & Leonard Syales. 1990. Manajemen Personalia:
Segi Manusia Dalam Organisasi. (Jilid I). Jakarta: PT
Pustaka Binaman Pressindo.
______, 1986. Manajemen Personalia: Segi Manusia Dalam
Organisasi. (jilid II). Jakarta: PT Gramedia.
Sulistiyani, Ambar Teguh & Rosidah. 2003. Manajemen Sumber
Daya Manusia: Konsep, Teori dan Pengembangan Dalam
Konteks Organisasi Publik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Surie, H.G.1987. Ilmu Administrasi Negara: Suatu Bacaan
Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Sutarto. 2006. Dasar-dasar Kepemimpinan Administrasi.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Subarsono, AG. 2005. Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori,
dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sukardi. 1993. Panduan Perencanaan Karir. Surabaya: Usaha
Nasional.
Susan, Sears. 1993. A Definition of Career Guidance Team dalam
Sukardi, Ketut Dewa "Panduan Perencanaan Karir Usaha
Nasional Surabaya.
Suseno, Magnis Franz, 1990, Etika Dasar, Yogyakarta: Kanisius
Syafi'ie Kencana Inu, dkk. 1999. Ilmu Administrasi Publik. Jakarta:
Reneka Cipta.
______, 2003. Birokrasi Pemerintahan Indonesia. Bandung:
Manjdar maju.
______, 2003. Kepemimpinan Pemerintahan Indonesia. Bandung:
PT Refika Aditama.
Siagian, Sondang P. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia.
Jakarta: Bumi Aksara.
______, 2003. Teori & Praktek Kepemimpinan. Jakarta: Rineka
Cipta.
______, 2004. Filsafat Administrasi, Jakarta: Bumi Aksara.

290 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


Shafritz, J.M. dan E.W Russel, 1997. Introducing Public
Administration, New York: Addison-Wesley Educational
Publishers Inc: Chapter 1.
______, & A.C. Hyde. 1997. Classic of Administration Theory.
New York: Harcourt Brace College Publishers.
______, & J.S. Ott. 1992. Classics of Organization Theory. Third
Edition. Pacific, CA: Brooks/Cole Publishing Company.
Sudriamunawar,. Haryono, 2002, Pengantar Study Administrasi
Pembangunan, Bandung: Mandar Maju.
______, 2006. Kepemimpinan Peran Serta dan Produktivitas.
Bandung: Mandar Maju.
Siagian, P. Sondang, 1994. Patologi Birokrasi: Analisis,
Identifikasi dan Terapinya. Jakarta: Ghalia Indonesia.
______, 1988. Administrasi Pembangunan. Jakarta: CV Haji
Masagung.
______, 2003. Teori Dan Praktek Kepemimpinan. Jakarta Rineka
Cipta.
______, 2004. Filsafat Administrasi. Edisi Revisi. Jakarta: Bumi
Aksara.
Silalahi, Ulbert. 1999. Studi Tentang Ilmu Administrasi: Konsep,
teori dan Dimensi. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Simanjuntak, Payaman J. 1985. Pengantar Ekonomi Sumber Daya
Manusia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia.
Sinambela, Lijan Poltak dkk. 2006. Reformasi Pelayanan Publik:
Teor, Kebijakan, dan Implementasi. Jakarta: Bumi Aksara.
Singarimbun Masri dan Sofian Effendi (ed). 1995. Metode Penelitian
Survai. Yogyakarta: LP3ES.
Simon A., Herbert, 2004. Administrative Behavior: Perilaku
Administrai. Jakarta: Bumi Aksara.
Soewargono, 1996. Desentralisasi pengambilan Keputusan Dalam
Peningkatan Pembangunan dan pelaksanaan Otonomi
Daerah: Makalah disampaikan pada acara Seminar
Nasional yang Diselenggarakan Persadi di Bandung Jawa
Barat.
Sutino, Agus, dkk. 2004. Memahami Good Governance: dalam
perspektif Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Gaya
Media.
Sulistiyani Teguh Ambar. 2004. Memahami Good Governance
(dalam perspektif Sumber Daya Manusia). Yogyakarta:
Gava Media.

DAFTAR PUSTAKA 291


Tjokroamidjoyo, Bintoro, 1987. Manajemen Pembangunan. Jakarta:
Haji Masagung,
______, 1987. Pengantar Administrasi Pembangunan. Jakarta:
LP3ES.
______, dan Mustopadidjaya, 1990. Teori & Strategi Pembangunan
Nasional. Jakarta: CV. Haji Masagung.
______, dan Mustopadidjaya. 1993. Kebijaksanaan dan
Administrasi pembangunan: Perkembangan Teori dan
Penerapan. Jakarta: LP3ES.
______, 1995. Perencanaan Pembangunan. Jakarta: Toko Gunung
Agung.
Tjiptoherijonto, Prijono dan Abidin, Said Zainal 1993. Reformasi
Administrasi dan Pembangunan Nasional. Jakarta:
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Tjiptono, Fendy, 1996. Manajemen Jasa, Yogyakarta: Andi.
______, 2004. Prinsip-prinsip Total Quality Service. Yogyakarta:
Penerbit Andi.
Tjokrowinoto, Moeljarto, 1995. Politik Pembangunan Sebuah
Analisis Konsep, Arah dan Strategi. Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya.
______, 1996. Pembangunan Dilema dan Tantangan, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
______, dkk. 2001. Birokrasi dalam Polemik (Editor: Saiful Arif).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
______, dkk. 2004. Birokrasi dalam Polemik. Yogyakarta. Pustaka
Pelajar
The Liang Gie, 1993. Pengertian, Kedudukan dan Perincian
Administrasi. Yogyakarta: Direvisi oleh Sutarto. Liberty.
Timpe, A.Dale, 1988. The Art and Science of Business
Management Performance, New York: KEND Publishing.
Inc.
Tjager I Nyoman, dkk. 2003. Corporate Governance. Jakarta:
Prenhallindo.
Thoha Mifta, 2002. Perspektif Perilaku Birokrasi. Jakarta:
RajaGrafindo Persada.
______, 2003. Dimensi-Dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara.
Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
______, 2004. Kepemimpinan Dalam Manajemen. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.

292 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


______, 2005. Birokrasi Politik di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo
Persada.
______, 2007. Manajemen Kepegawaian Sipil di Indonesia.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
..............,2008. Ilmu Administrasi Publik. Jakarta: Kencana
Perdana Media Group.
Tulus, Moh. Agus. 1995. Manajemen Sumber Daya Manusia.
Jakarta: Gramedia bekerja sama dengan Pustaka Utama.
Umar Husein. 2004. Metode Riset Ilmu Administrasi. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Utomo, Warsito.2003. Dinamika Administrasi Publik: Analisis
Empiris Seputar Isu-isu Kontemporer Dalam
Administrasi Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerja
sama dengan UGM.
______, 2006. Administrasi Publik Baru Indonesia: Perubahan
Paradigma dari Administrasi Negara ke Administrasi
Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerja sama dengan
UGM.
Wahab, Solichin Abdul. 2005. Analisis Kebijaksanaan: Dari
Formulasi Ke Implementasi Kebijaksanaan Negara.
Jakarta. Bumi Aksara.
Wahyuni, Salmah, 1994. Metodologi Penelitian Bisnis. Surakarta:
Sebelas Maret University Press.
Waldo, Dwight, 1971, Pengantar Studi Public Administration:
Terjemahan, Cemerlang.
Wallace, Walter L. 1994. Metode Logika Ilmu Sosial. Jakarta: Bina
Aksara.
Warella, Y. 2004. Administrasi Negara dan Kualitas Pelayanan
Publik. Jurnal Ilmu Administrasi dan Kebijakan Publik.
Semarang: MAP UNIDP.
Wasisitiono, Sadu 2003. Kapita Selekta Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah, Bandung: Fokusmedia. Cetakan
kedua.
Weber, Max, 1985. Konsep-konsep Dasar Dalam Sosiologi.
Terjemahan. Jakarta: Rajawali.
______, 2006. Studi Komprehensif Sosiologi Kebudayaan.
IRCiSoP. Jogjakarta.
Wexley & Yulk. 1992 perilaku organisasi dan psikologi Industri
Personalia. Terjemahan Muh. Shobaruddin. 1992. Jakarta:
Rineka Cipta.

DAFTAR PUSTAKA 293


Wibawa, Samudra, 2001. Neues Steuerungsmodell, Yogyakarta:
Wacana.
______, 2005. Peluang Penerapan New Public Management
Untuk Kabupaten di Indonesia. Gajah Mada University
Press. Yogyakarta.
Widodo, Joko. 2006. Membangun Birokrasi Berbasis Kinerja.
Jakarta: Bayumedai Publishing.
Wrihatnolo, R. Randy & Nugroho Ryant D. 2006. Manajemen
Pembangunan Indonesia: Sebuah Pengantar dan
Panduan. Elex Media Komputindo.. Jakarta. Gramedia
Wirjana, Bernadine R. & Susilo. Supardo. 2006. Kepemimpinan
Dasar-Dasar dan Pengembangannya. Yogyakarta:
Penerbit Andi.
White, Randall P. dkk. 1997. The Future of Leadership (Masa
Depan Kepemimpinan) Revolusi Gelombang.
(Terjemahan). Batam: Interaksara.
Winardi. 2000. Kepemimpinan Dalam Manajemen. Jakarta: Rineka
Cipta.
Yukl, Gary. Kepemimpinan Dalam Organisasi. (Terjemahan).
Jakarta: Prenhallindo,
Yul, Iskandar. 2001. Test Bakat, Minat, Sikap & Personality.
Cetakan ke 2. Jakarta: Yayasan Dharma Graha.
Zainun, Buchari. 2004. Administrasi & Manajemen Sumber Daya
Manusia Pemerintah Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Zauhar Soesilo. 1996. Reformasi Administrasi: Konsep, Dimensi
dan Stategi. Jakarta: Bumi Aksara.
Zeithaml, Valarie A-Parasuraman A. and Beryy, Leonard L. 1990.
Delivering Service Quality: Balancing Customer
Perception and Expectations. New York: The Pree Press.

Dokumen:

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 tentang


Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974
tentang Pokok-pokok Kepegawaian.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 Tentang
Perimbangan keuangan Antara Pusat dan Pemerintahan
daerah.

294 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


Undang-Undang Pelayanan Publik (Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 25 Tahun 2009.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2005 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 Pemerintah Daerah.
Departemen Pendidikan Nasional Kamus Besar Bahasa Indonesia,
2002. Jakarta: Balai Pustaka. Edisi ketiga.
Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia. 1999. Keputusan
Kepala Lembaga Administrasi Negara Nomor: 589/IX/6/Y/99.
Tentang Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas
Kinerja Instansi Pemerintah. Jakarta.

DAFTAR PUSTAKA 295


296 TEORI ADMINISTRASI PUBLIK

Anda mungkin juga menyukai