PERHATIAN
KECELAKAAN BAGI ORANG-ORANG YANG CURANG
(QS Al-Muthaffifin Ayat 1)
ii
Dr. Harbani Pasolong, M.Si.
iii
Hak cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang keras memperbanyak, memfotokopi sebagian
atau seluruh isi buku ini, serta memperjualbelikannya
tanpa mendapat izin tertulis dari Penerbit
iv
KATA PENGANTAR
ttd
HR
v
DAFTAR ISI
BAB 1
Pendahuluan .................................................................. 1
A. Beberapa Konsep ........................................................... 1
B. Teori Administrasi Publik ................................................. 14
C. Peran Administrasi Publik ................................................ 20
D. Ruang Lingkup Administrasi Publik .................................. 22
BAB 2
Sejarah Perkembangan Administrasi Publik .................. 25
A. Sejarah Perkembangan Administrasi Publik ....................... 25
B. Paradigma Administrasi Publik ......................................... 31
BAB 3
Kebijakan Publik ............................................................ 46
A. Konsep Kebijakan dan Kebijaksanaan .............................. 46
B. Proses Kebijakan Publik .................................................. 49
C. Isu Kebijakan ................................................................. 71
BAB 4
Teori Birokrasi ................................................................ 77
A. Konsep Birokrasi ............................................................ 77
B. Teori Birokrasi (Bureaucracy Theory) ............................... 81
C. Birokrasi Osborne ........................................................... 89
D. Struktur Birokrasi ........................................................... 92
BAB 5
Manajemen Publik .......................................................... 95
A. Konsep Manajemen Publik .............................................. 95
B. Paradigma Manajemen ................................................... 97
C. Fungsi-fungsi Manajemen ............................................... 115
vi
BAB 6
Teori Kepemimpinan ...................................................... 124
A. Konsep Kepemimpinan ................................................... 124
B. Tipe Kepemimpinan ........................................................ 136
C. Gaya Kepemimpinan ....................................................... 139
D. Teori-teori Kepemimpinan ............................................... 140
BAB 7
Pelayanan Publik ............................................................ 147
A. Konsep Pelayanan .......................................................... 147
B. Kualitas Pelayanan Publik ................................................ 151
C. Kepuasan Pelanggan ...................................................... 165
BAB 8
Administrasi Kepegawaian Negara ................................ 173
A. Sistem Administrasi Kepegawaian Negara ......................... 173
B. Rekrutmen PNS .............................................................. 177
C. Sistem Penggajian .......................................................... 189
D. Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan ..................................... 190
E. Pangkat dan Jabatan ...................................................... 191
F. Pendidikan dan Latihan (Diklat PNS) ................................ 194
G. Pemberhentian dan Pensiun PNS ..................................... 196
BAB 9
Manajemen Kinerja ........................................................ 201
A. Pengertian Manajemen Kinerja ........................................ 201
B. Konsep Kinerja ............................................................... 203
C. Indikator Kinerja ............................................................ 205
D. Pengukuran Kinerja ........................................................ 210
E. Tujuan dan Manfaat Pengukuran Kinerja .......................... 214
F. Kendala dalam Pengukuran Kinerja .................................. 217
G. Pendekatan Pengukuran Kinerja ...................................... 218
H. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja ........................ 221
vii
BAB 10
Etika Administrasi Publik ............................................... 226
A. Konsep Etika .................................................................. 226
B. Etika Administrasi Publik ................................................. 229
C. Implementasi Nilai-nilai Etika .......................................... 237
BAB 11
Good Governance ........................................................... 242
A. Konsep Good Governance ............................................... 242
B. Perubahan Paradigma .................................................... 251
C. Prinsip-prinsip Good Governance ..................................... 254
D. Permasalahan SDM Menuju Good Governance .................. 262
E. Penyelenggaraan Pemerintahan (Governing) .................... 263
F. Government dalam Mewujudkan Good Governance (Tata
Kepemerintahan yang Baik) pada Era Otonomi Daerah ...... 265
viii
1
PENDAHULUAN
A. BEBERAPA KONSEP
PENDAHULUAN 1
Secara etimologi administrasi berasal dari bahasa Latin (Yunani)
yang terdiri atas dua kata, yaitu “ad” dan “ministrate” yang berarti
“to serve” yang dalam bahasa Indonesia berarti melayani dan atau
memenuhi. Selanjutnya, menurut Dimock & Dimock (1978:15),
kata administrasi itu berasal dari kata "ad" dan "minister" yang
berarti juga "to serve". Jadi, dapat dipahami bahwa yang dimaksud
administrasi adalah suatu proses pelayanan atau pengaturan.
Permasalahan pokoknya ialah “siapa" yang harus "melayani" dan
"dilayani"? dan "siapa" yang harus “mengatur dan diatur"? Jawaban
yang pasti, tidak lain dan tidak bukan ialah “manusia” itu sendiri.
Dalam hal ini, ialah manusia sebagai subjek untuk melayani dan
manusia pulalah yang menjadi objek untuk dilayani. Manusialah yang
harus menjaga keteraturan kehidupan sosialnya dan manusia itu
sendiri yang harus memecahkan seluruh permasalahan kehidupan
sosialnya. Jelasnya adalah manusia berperilaku melayani dan
mengatur dirinya sendiri untuk eksistensi dan tujuan hidupnya, mulai
tingkat individual sampai pada tingkat sosial umumnya.
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa yang menjadi bahan
baku administrasi ialah “manusia” Karena manusia merupakan
sumber adanya administrasi. Oleh Karena itu, tujuan administrasi
ialah semata-mata untuk kepentingan manusia, khususnya keberada-
annya sebagai makhluk sosial yang bermasyarakat. konsekuensinya
ialah administrasi bertanggung jawab terhadap kelangsungan
organisasi dengan segala kegiatan mulai merencanakan sampai pada
evaluasi demi tujuan yang telah ditentukan sebelumnya secara efisien
dan efektif.
Jadi, administrasi ialah suatu fenomena sosial, dan hidup subur
di dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Di dalam tingkat kehidupan
demikian individu mempunyai peranan penting karena sebenarnya
publik ialah bentuk kehidupan antar individu dalam suatu sistem,
untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu, setiap individu berfungsi
sebagai sumber daya publik, sekaligus sumber daya administrasi.
Definisi Administrasi
Selanjutnya, untuk menyamakan persepsi dan interpretasi
tentang apa sesungguhnya yang dimaksud administrasi, maka dikutip
PENDAHULUAN 3
yang berdaya berhasil guna (efektif) dan berdaya guna (efisien).
James L. Gibson dkk. (1996:51), mengatakan bahwa efisien
adalah perbandingan rasio keluaran dengan masukan. Sedangkan
yang dimaksud efisien menurut Tjokroamidjojo (1991:5),
adalah pelaksanaan administrasi publik dilakukan dengan
perbandingan yang terbaik antara hasil dan pengeluaran.
Jelasnya yang dimaksud efisien adalah ”perbandingan yang
terbaik antara input dan output atau perbandingan antara
pengeluaran dan keuntungan”. Misalnya hasil maksimum yang
dicapai dengan penggunaan sumberdaya yang terbatas. Dengan
kata lain perbandingan antara apa yang telah dihasilkan dengan
apa yang seharusnya diselesaikan.
2. Efektifitas pada dasarnya berasal dari kata "efek" dan
digunakan dalam istilah ini sebagai hubungan sebab akibat.
Efektivitas dapat dipandang sebagai suatu sebab dari variabel
lain. Efektivitas berarti bahwa tujuan yang telah direncanakan
sebelumnya dapat tercapai atau dengan kata sasaran tercapai
karena adanya proses kegiatan. James L. Gibson dkk.
(1996:38), mengatakan bahwa efektivitas adalah pencapaian
sasaran dari upaya bersama. Derajat pencapaian sasaran
menunjukkan derajat efektivitas. Tjokroamidjojo (1987:3),
mengatakan bahwa efektivitas, agar pelaksanaan administrasi
lebih mencapai hasil seperti direncanakan, mencapai sasaran
tujuan yang ingin dicapai dan lebih berdaya hasil. Sedangkan
Keban (2004:140), mengatakan bahwa suatu organisasi dapat
dikatakan efektif kalau tujuan organisasi atau nilai-nilai
sebagaimana ditetapkan dalam visi tercapai. Nilai-nilai yang telah
disepakati bersama antara para stakeholder dari organisasi yang
bersangkutan.
3. Rasional berarti bahwa tujuan yang telah dicapai bermanfaat
untuk maksud yang berguna, tetapi tentu saja yang dilakukan
dengan sadar atau disengaja. Herbert A. Simon (2004:135),
mengatakan bahwa rasional secara objektif, jika tujuan yang
hendak dicapai untuk kepentingan organisasi, rasional bersifat
subjektif, jika tujuan yang hendak dicapai untuk kepentingan
pribadi. Dwight Waldo (1986) memberi penjelasan apakah yang
dimaksud rasional itu, dan menurut pakar ini tindakan rasional
PENDAHULUAN 5
Bagan 1
Keterangan:
1. Jika output lebih besar dari pada input berarti efisien.
2. Jika tujuan organisasi tercapai berarti efektif.
3. Jika tujuan yang dicapai untuk kepentingan organisasi berarti rasional.
Definisi Publik
Publik pada dasarnya berasal dari bahasa Inggris "public" yang
berarti umum, rakyat umum, orang banyak dan rakyat. Nampaknya
kata "publik" diterjemahkan oleh beberapa kalangan berbeda-beda
sebagaimana kepentingan mereka. Misalnya kata "Public
Administration" diterjemahkan menjadi "Administrasi Negara".
Pertanyaan yang timbul ialah, apakah "public" itu sama dengan
"Negara"?, kalau "public" sama dengan Negara, maka "public
administration" sama dengan "state administration". Padahal secara
konseptual cakupan "state" lebih luas dari pada "Public".
Selanjutnya batasan pengertian tentang publik sudah banyak
dikemukakan oleh para pakar. Namun batasan pengertian yang telah
dikemukakan oleh para ahli tersebut berbeda-beda yang disebabkan
oleh perbedaan latar belakang pendidikan dan atau persepsi. Oleh
karena itulah perlu dikemukakan beberapa pendapat oleh para ahli
untuk menarik kesimpulan tentang batasan pengertian publik
tersebut. Syafi'ie dkk. (1999:18), mengatakan bahwa publik adalah
sejumlah manusia yang memiliki kebersamaan berpikir, perasaan,
harapan, sikap dan tindakan yang benar dan baik berdasarkan nilai-
nilai norma yang mereka miliki.
H. George Frederickson (1997:46), menjelaskan konsep
"publik" dalam lima perspektif, yaitu (1) publik sebagai kelompok
kepentingan, yaitu publik dilihat sebagai manifestasi dari interaksi
PENDAHULUAN 7
kelompok yang melahirkan kepentingan masyarakat, (2) publik
sebagai pemilih yang rasional, yaitu masyarakat terdiri atas individu-
individu yang berusaha memenuhi kebutuhan dan kepentingan
sendiri, (3) Publik sebagai perwakilan kepentingan masyarakat, yaitu
kepentingan publik diwakili melalui "suara". (4) Publik sebagai
konsumen, yaitu konsumen sebenarnya tidak terdiri dari individu-
individu yang tidak berhubungan satu sama lain, namun dalam
jumlah yang cukup besar mereka menimbulkan tuntutan pelayanan
birokrasi. Karena itu posisinya juga dianggap sebagai publik, dan (5)
Publik sebagai warga negara, yaitu warga negara dianggap sebagai
publik karena partisipasi masyarakat sebagai keikutsertaan warga
negara dalam seluruh proses penyelenggaraan pemerintahan
dipandang sebagai sesuatu yang paling penting.
PENDAHULUAN 9
Dengan mengemukakan beberapa pendapat para ahli di atas
jelas bahwa betapa sulitnya merumuskan definisi yang singkat
tentang administrasi publik. Memang di negara-negara maju, di mana
administrasi publik telah berkembang dan sangat maju, sehingga
administrasi publik meliputi banyak kegiatan-kegiatan pemerintah
atau negara. Misalnya administrasi kepegawaian negara, administrasi
keuangan negara, administrasi perkantoran pemerintah, administrasi
perbekalan, administrasi perpajakan dan lain-lain.
Definisi Teori
Pada dasarnya pengetahuan diperoleh melalui pendekatan
ilmiah, dalam hal ini melalui penelitian dengan menggunakan metode
ilmiah dan dibangun atas teori tertentu. Sedangkan yang dimaksud
teori menurut para pakar dapat dilihat sebagai berikut.
Kerlinger (1973:14), mendefinisikan Teori adalah serangkaian
konstruk (konsep), batasan dan proposisi, yang menyajikan suatu
pandangan sistematis tentang fenomena dengan fokus hubungan
dengan merinci hubungan-hubungan antar variabel, dengan tujuan
menjelaskan dan memprediksikan gejala itu. Masri Singarimbun &
Sofyan Effendi (1995:37), teori adalah serangkaian asumsi,
proposisi, konstruk, definisi dan proposisi untuk menerangkan suatu
fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan
hubungan antar konsep. Tjokroamidjojo & Mustopadidjaja
(1990:12), teori adalah sebagai ungkapan mengenai hubungan
kausal yang logis di antara berbagai gejala atau di antara perubahan
(variabel) dalam bidang tertentu, sehingga dapat dipergunakan
sebagai kerangka berpikir (frame of thinking) dalam memahami serta
menanggapi permasalahan yang timbul di dalam bidang tersebut.
Prajudi Atmosudirdjo (2003:28), Teori adalah merupakan suatu
pendapat (opinion, view) yang diperoleh melalui pemikiran rasional
menurut suatu prosedur atau proses tertentu yang disebut orang
”prosedur akademik” atau prosedur ”ilmiah” (scientific method) oleh
karena melalui langkah-langkah tertentu yang logis rasional. Babbie
dalam Sudjana (1992:8), Teori adalah penjelasan sistematis tentang
suatu fakta dan atau hukum yang berhubungan dengan aspek
kehidupan. Wahyuni (1994:20), mendefinisikan teori adalah sebagai
suatu himpunan konsep, definisi, dan proposisi yang berhubungan
Kandungan Teori
Dari definisi tersebut di atas dapat dikatakan bahwa teori dapat
digunakan untuk menganalisis, menjelaskan dan menerangkan suatu
fenomena tertentu. Analisis dan penjelasan yang dilakukan bukanlah
sekedar penjelasan yang berdasarkan perasaan, prasangka atau akal
sehat, melainkan penjelasan yang rasional atau bersifat ilmiah. Dalam
hal teori administrasi, yang diterangkan, dijelaskan dan dianalisis
adalah fenomena administrasi.
Teori dapat dikatakan baik apabila mampu menjelaskan
fenomena dengan tegas. Penjelasan yang diberikan harus sederhana
atau tidak berbelit-belit. Kemudian teori harus mempunyai daya
ramal yang tajam.
Kandungan teori menurut Singarimbun & Effendi, (1995:37),
adalah: (1) Teori adalah serangkaian proposisi antar konsep-konsep
yang saling berhubungan. (2) Teori menerangkan secara sistematis
suatu fenomena sosial dengan cara menentukan hubungan antar
konsep. (3) Teori menerangkan fenomena tertentu dengan cara
menentukan konsep mana yang berhubungan dengan konsep lainnya
dan bagaimana bentuk hubungannya.
PENDAHULUAN 11
Bentuk Teori
Bentuk teori menurut Prajudi Atmosudirdjo (2003:29),
terbagi tiga yaitu sebagai berikut: (1) Bentuk Definisi yaitu
merupakan suatu rumusan singkat dan lengkap tentang sesuatu yang
bersifat sederhana atau dapat disederhanakan menampilkan
pokoknya atau intinya saja. Pada umumnya yang dapat didefinisikan
adalah benda atau suatu yang konkrit, yang secara langsung dapat
dijangkau oleh pancaindera. Abstrak bukanlah tidak mungkin
didefinisikan, hanya tidak lengkap atau tidak tuntas. (2) Bentuk
Tesis yaitu suatu teori khusus, suatu pendapat tentang suatu
problem atau hal yang khas atau baru yang telah diperoleh mulai
kajian (studi) ilmiah. Tesis tidak berlaku secara umum. (3) Bentuk
Deskriptif yaitu suatu teori yang merupakan pendapat seorang
sarjana setelah mengadakan studi riset ilmiah yang dirumuskan
dengan kata-kata, sedangkan definisi digambarkan atau dilukis.
Deskripsi mengenai suatu benda, keadaan, kondisi atau situasi
disusun dengan mempergunakan terminologi yang berlaku sehingga
dapat dipahami oleh rekan-rekan seilmu. (4) Bentuk Eksplisit yaitu
suatu teori yang menjelaskan hal-ihwal atau duduk perkara suatu
fenomena atau seperangkat fenomena (tatanan, tata kaitan, perilaku)
setelah dikaji atau diteliti secara ilmiah. (5) Bentuk Normasi adalah
suatu teori yang menetapkan syarat-syarat, kriteria atau standar
yang harus dipenuhi oleh sesuatu untuk dapat disebut (diberi nama
atau identitas) sebagaimana yang dikehendaki. (6) Bentuk Prinsip
adalah suatu teori yang menjelaskan, terkadang menentukan, duduk
perkara atau suatu tata hubungan antara orang dan orang, orang
dan benda, orang-benda-orang, orang-benda-hak-orang-kewajiban
dan sebagainya.
Fungsi Teori
Fungsi teori menurut Walter L. Wallace (1994:77), ada 2
yaitu: (1) menjelaskan generalisasi empiris yang telah diketahui,
yakni meringkaskan masa lalu suatu ilmu, dan (2) meramalkan
generalisasi empiris yang masih belum diketahui, yakni mengarahkan
masa depan suatu ilmu.
PENDAHULUAN 13
B. TEORI ADMINISTRASI PUBLIK
Prinsip-prinsip Administrasi
Selanjutnya Fayol dalam Robbins (2001:380), mengemukakan
prinsip-prinsip administrasi sebanyak 14 yaitu sebagai berikut. (1)
Pembagian pekerjaan, prinsip ini sama dengan pembagian tenaga
kerja menurut Adam Smith, spesialisasi meningkatkan hasil yang
membuat tenaga kerja lebih efisien. (2) Wewenang. Manajer harus
memberi perintah, wewenang akan membuat mereka melakukan
dengan baik. (3) Disiplin. Tenaga kerja harus membantu dan
melaksanakan aturan yang ditentukan organisasi. (4) Kesatuan
komando. Setiap tenaga kerja menerima perintah hanya dari yang
berkuasa. (5) Kesatuan arah. Beberapa kelompok aktivitas organisasi
yang mempunyai tujuan yang sama dapat diperintah oleh seorang
manajer menggunakan satu rencana. (6) Mengalahkan kepentingan
individu untuk kepentingan umum. Kepentingan setiap orang, pekerja
atau kelompok pekerja tidak dapat diutamakan dari kepentingan
organisasi secara keseluruhan. (7) Pemberian upah. Pekerja harus
dibayar dengan upah yang jelas untuk pelayanan mereka. (8)
Pemusatan. Berhubungan pada perbandingan yang mana
mengurangi keterlibatan dalam pengambilan keputusan. (9) Rentang
kendali. Garis wewenang dari manajemen puncak pada tingkatan di
bawahnya merepresentasikan rantai skalar. (10) Tata tertib. Orang
dan bahan-bahan dapat ditempatkan dalam hal yang tepat dan dalam
waktu yang tepat. (11) Keadilan. Manajer dapat berbuat baik dan
terbuka pada bawahannya. (12) Stabilitas pada jabatan personal.
PENDAHULUAN 15
perputaran yang tinggi merupakan ketidakefisienan. (13) Inisiatif.
Tenaga kerja yang menyertai untuk memulai dan membawa rencana
yang akan menggunakan upaya pada tingkat tinggi. (14) Rasa
persatuan. Kekuatan promosi tim akan tercipta dari keharmonisan
dan kesatuan dalam organisasi.
Sedangkan Herbert Simon (2004:68), membagi empat prinsip-
prinsip administrasi yang lebih umum: (1) Efisiensi administrasi dapat
ditingkatkan melalui suatu spesialisasi tugas di kalangan kelompok,
(2) Efisiensi administrasi ditingkatkan dengan anggota kelompok di
dalam suatu hirarki yang pasti, (3) Efisiensi administrasi dapat
ditingkatkan dengan membatasi jarak pengawasan pada setiap sektor
di dalam organisasi sehingga jumlahnya menjadi kecil, (4) Efisiensi
administrasi ditingkatkan dengan mengelompokkan pekerjaan, untuk
maksud-maksud pengawasan berdasarkan: tujuan, proses,
langganan, tempat.
Dengan adanya spesialisasi, efisiensi administrasi diperkirakan
akan meningkat sejalan dengan peningkatan spesialisasi. Dengan
kesatuan komando, administrasi diperkirakan dapat ditingkatkan
dengan mengatur anggota organisasi dalam suatu hirarki wewenang
yang pasti untuk mempertahankan kesatuan komando. Dengan jarak
pengawasan, efisiensi administrasi diperkirakan dapat meningkat
dengan membatasi bawahan yang melapor langsung kepada
pengelolaannya masing-masing sehingga jumlahnya kecil, misalnya
enam orang. Dengan pengelompokan pekerjaan, efisiensi adminis-
trasi diperkirakan meningkat, dengan mengelompokkan para
karyawan menurut (a) tujuan, (b) proses, (c) langganan, dan (d)
tempat.
Fokus utama teori Administrasi menurut Fayol dalam Adam
Kuper & Jessica Kuper (2000:605), adalah penentuan tipe
spesialisasi dan hirarki yang paling mengoptimalkan efisiensi
organisasi. Teori administrasi dibangun atas empat pilar utama: yaitu
pembagian tenaga kerja, proses skala dan fungsional, struktur
organisasional dan rentang kendali (span of control).
Teori administrasi menurut William L. Morrow, dalam Ali
Mufiz, (2004), sebagai berikut: (1) Teori Deskriptif, adalah teori
yang menggambarkan apa yang nyata terjadi dalam sesuatu
organisasi dan memberikan postulat mengenai faktor-faktor yang
PENDAHULUAN 17
maka ke empat aspek teori: deskriptif, perspektif, normatif dan
asumtif menjadi mandul (tidak berfungsi). Soal ”bagaimana” dan
”kapan” dalam teori administrasi, adalah sama pentingnya dengan
soal ”mengapa”.
Teori administrasi menurut Stephen P. Robbins dalam Ali
Mufiz (2004), sebagai berikut: (1) Teori Hubungan Manusia.
Teori ini semula dirintis oleh Elton Mayo. Pengembangan teori Mayo
didasarkan pada penemuannya selama memimpin proyek Hawtorne
yang berada di lingkungan Western Electric Company pada tahun
1927-1932. Dalam pengembangan teorinya, Mayo bermaksud untuk
menguji hubungan antara produktivitas dengan lingkungan fisik.
Namun yang dihasilkan ternyata bertentangan dengan apa yang
Mayo ramalkan. Mayo selanjutnya menangkap bahwa norma-norma
sosial, justru merupakan faktor kunci dalam perilaku kerja individual.
Karenanya, rangsangan kenaikan upah tidak memacu pekerja untuk
bekerja lebih produktif. (2) Teori Pengambilan Keputusan. Para
pemikir yang menonjol dalam bidang ini adalah Simon, March, Russell
Eckoff, Jay Forrester, Martin Starr dan Kenneth Boulding. Dalam
proses pengambilan keputusan para pemikir menyarankan
dipergunakannya statistik, model optimasi, model informasi dan
simulasi. Di samping itu, dapat juga dimanfaatkan pengetahuan-
pengetahuan yang berasal dari linear programming, critical path
scheduling, inventory models, site location models, serta berbagai
bentuk resource allocation models. Arti pentingnya pengambilan
keputusan terlihat apabila kita berasumsi bahwa yang jadi inti
administrasi adalah pengambilan keputusan. Konsekuensi dari asumsi
ini akan berupa pandangan bahwa pengambilan keputusan merupa-
kan titik sentral teori administrasi. (3) Teori Perilaku. Teori perilaku
sebenarnya bermaksud untuk mengintegrasikan semua pengetahuan
mengenai anggota organisasi, struktur dan prosesnya. Sekalipun
berorientasi pada efisiensi dan sasaran, tetapi teori ini memahami
pentingnya faktor perilaku manusia sebagai alat utama untuk
mencapai tujuan. Kontribusi penting yang diberikan oleh teori
perilaku ini adalah pemahaman lebih baik mengenai proses-proses
administrasi. Selanjutnya sumbangan oleh para ahli perilaku antara
lain meliputi pengenalan perubahan organisasi, motivasi dan
kepemimpinan, manajemen konflik dan pengorganisasian sasaran
PENDAHULUAN 19
orang dalam organisasi ke masyarakat, (2) Teknologi manajemen,
kepentingan umum dalam hubungannya dengan pilihan etika seorang
individu dan berbagai masalah kemasyarakatan.
Selanjutnya Herbert A. Simon (2004:26), mengatakan bahwa
Teori Administrasi pada hakekatnya menyangkut batas-batas aspek
perilaku manusia yang rasional dan yang tidak rasional. Teori
administrasi menurut Simon adalah secara khas juga merupakan teori
rasionalitas yang diharapkan dan terbatas teori mengenai perilaku
manusia yang mementingkan kepuasan karena ia tak memiliki
kecerdasan untuk berusaha mencapai titik maksimum.
Jadi dapat dikatakan bahwa Teori Administrasi Publik adalah
serangkaian konsep yang berhubungan dengan kepublikan yang telah
diuji kebenarannya melalui riset, dalam hal pencapaian tujuan secara
efisien dan efektif.
PENDAHULUAN 21
Peranan administrasi publik pada dasarnya untuk mencapai
tujuan secara efisien dan efektif. Oleh karena itu, setiap kegiatan
dalam administrasi publik diupayakan tercapainya tujuan sesuai
dengan yang direncanakan dan mengandung rasio terbaik antara
input dan output.
PENDAHULUAN 23
3. Dalam bidang peraturan perundang-undangan, meliputi: (a)
Landasan Idiil, (b) Landasan konstitusional, dan (c) Landasan
operasional.
4. Dalam bidang kenegaraan, meliputi: (a) Tugas dan kewajiban
negara, (b) Hak dan kewenangan negara, (c) Tipe dan bentuk
negara, (d) Fungsi dan prinsip negara, (e) Unsur-unsur negara,
(f) Tujuan negara, dan (g) Tujuan nasional.
5. Dalam pemikiran hakiki, meliputi: (a) Etika administrasi publik, (b)
Estetika administrasi publik, (c) Logika administrasi publik, (d)
Hakekat Administrasi Publik.
6. Dalam bidang ketatalaksanaan, meliputi: (a) Administrasi
pembangunan, (b) Administrasi perkantoran, (c) Administrasi
kepegawaian, (d) Administrasi kemiliteran, (e) Administrasi
kepolisian, (f) Administrasi perpajakan, (g) Administrasi
pengadilan, (h) Administrasi perusahaan, mencakup antara lain:
(i) Administrasi penjualan, (ii) Administrasi periklanan, (iii)
Administrasi pemasaran, (iv) Administrasi perbankan, (v)
Administrasi perhotelan, (vi) Administrasi pengangkutan.
Selanjutnya ruang lingkup administrasi publik menurut Keban
(2004:10), yaitu meliputi: (1) Kebijakan, (2) Organisasi, (3)
Manajemen, (4) Moral dan etika, (5) Lingkungan, dan (6)
Akuntabilitas.
Dari penjelasan ruang lingkup administrasi publik tersebut di
atas, dapat dipahami bahwa aspek yang paling penting dalam
menentukan ruang lingkup administrasi publik, yaitu kepentingan
publik. Adapun ruang lingkup administrasi publik dalam pembahasan
buku ini yaitu: (1) kebijakan publik, (2) Birokrasi publik, (3)
Manajemen publik, (4) Kepemimpinan (5) Pelayanan publik, (6)
Administrasi kepegawaian negara, (7) Manajemen Kinerja, (8) Etika
administrasi publik, dan (9) Good Governance.
3. Masa Kemerdekaan
Pada masa kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945
ditandai dengan dibukanya beberapa Perguruan Tinggi di Jakarta dan
Yogyakarta. Pada masa itu ilmu administrasi ataupun administrasi
negara belum mendapat tempat yang baik sebagai disiplin ilmu.
Dengan demikian ilmu administrasi dan administrasi negara masih
merupakan bagian dari mata kuliah yang dianggap pokok pada waktu
itu antara lain ilmu pemerintahan dan ilmu hukum.
Pada awalnya Fakultas Sosial Politik merupakan ilmu adminis-
trasi negara merupakan bagian dari ilmu politik. Pada awal tahun lima
Orientasi NPM
NPM ini telah mengalami berbagai perubahan orientasi menurut
Ferlie, Ashbuerner, Filzgerald dan Pettgrew dalam Keban
(2004:25), yaitu:
1. Orientasi The Drive yaitu mengutamakan nilai efisiensi dalam
pengukuran kinerja.
KEBIJAKAN PUBLIK 47
dinyatakan, (2) kebijakan publik untuk dilaksanakan atau tidak
dilaksanakan karena didasarkan pada kepentingan publik itu sendiri.
Pada umumnya kebijakan dapat dibedakan atas empat bentuk,
yaitu: (1) Regulatory, yaitu mengatur perilaku orang, (2)
Redistributive, yaitu mendistribusikan kembali kekayaan yang ada,
atau mengambil kekayaan dari yang kaya lalu memberikannya
kepada yang miskin, (3) Distributive yaitu melakukan distribusi atau
memberikan akses yang sama terhadap sumber daya tertentu, dan
(4) Constituent, yaitu ditujukan untuk melindungi negara.
KEBIJAKAN PUBLIK 49
1. Analisis Kebijakan
E.S. Quade dalam Nugroho (2006:57), mengatakan bahwa
asal mula analisis kebijakan disebabkan oleh banyaknya kebijakan
yang tidak memuaskan. Begitu banyak kebijakan yang tidak
memecahkan masalah kebijakan, bahkan menciptakan masalah baru.
William N. Dunn (2003:29), mengatakan bahwa analisis kebijakan
adalah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai
metode penelitian dan argument untuk menghasilkan dan
memindahkan informasi relevan dengan kebijakan, sehingga dapat
dimanfaatkan di tingkat politik dalam rangka memecahkan masalah-
masalah kebijakan. Nugroho (2006:50), mengatakan bahwa analisis
kebijakan pemahaman akan suatu kebijakan atau pula pengkajian
untuk merumuskan suatu kebijakan.
Sejalan dengan tahapan yang telah ditentukan di atas, maka
berikut ini akan dijelaskan proses analisis kebijakan yang dibedakan
atas penstrukturan masalah atau identifikasi masalah, identifikasi
alternatif, seleksi alternatif dan pengusulan alternatif terbaik untuk
diimplementasikan. Proses ini dilakukan sebelum mengambil
keputusan tentang alternatif terbaik yang harus diimplementasikan.
Ada juga proses analisis yang dilakukan setelah alternatif terbaik
diimplementasikan. Kedua proses ini merupakan suatu kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan dan selalu digunakan untuk meningkatkan
kinerja suatu kebijakan.
a. Identifikasi masalah
Badjuri (2003:49), mengatakan bahwa pada dasarnya kebija-
kan publik terjadi karena adanya masalah yang perlu ditangani
secara serius. Tanpa adanya masalah, barangkali tidak pernah ada
sebuah kebijakan publik timbul.
Informasi tentang suatu masalah kebijakan publik dapat
diperoleh lewat sebagai sumber tertulis seperti indikator sosial
(social indicators), data sensus laporan-laporan survey nasional,
jurnal, koran dan sebagainya, dan juga melalui interview langsung
dengan masyarakat. Pertanyaan-pertanyaan yang paling penting
untuk dijawab dalam tahap ini adalah: apakah isu ini benar-benar
merupakan masalah? Siapa sasarannya? Apa alasannya atau apa
buktinya? apakah masalah ini sudah urgen/mendesak? Apakah
KEBIJAKAN PUBLIK 51
menurut Subarsono (2005:32-35), yaitu: (1) Analisis batas, yaitu
usaha memetakan masalahnya melalui snowball sampling dari
stakeholders. Ini disebabkan karena analisis kebijakan sering
dihadapkan pada masalah yang tidak jelas dan rumit, sehingga
perlu minta bantuan stakeholders untuk memberikan informasi
yang berhubungan masalah yang bersangkutan. (2) Analisis
klasifikasi, yakni mengklasifikasikan masalah ke dalam kategori-
kategori tertentu dengan tujuan untuk lebih memudahkan analisis.
(3) Analisis hirarki, yakni metode untuk menyusun masalah
berdasarkan sebab-sebab yang mungkin dari situasi masalah. (4)
Brainstorming, yakni metode untuk merumuskan masalah melalui
curah pendapat dari orang-orang yang mengetahui kondisi yang
ada. (5) Analisis perspektif ganda, yaitu metode untuk
memperoleh pandangan yang bervariasi dari perspektif yang
berbeda mengenai suatu masalah dan pemecahannya.
b. Identifikasi Alternatif
Apabila masalah tersebut telah disetujui untuk dipecahkan
atau dengan kata lain tujuan-tujuan yang hendak dicapai telah
disetujui, maka pertanyaan-pertanyaan untuk tahap berikut adalah
model-model atau teori-teori apa yang mampu mengidentifikasi-
kan faktor-faktor penyebab, dan berdasarkan analisis tersebut
mengembangkan alternatif-alternatif kebijakan. Pertanyaan yang
penting dijawab dalam tahapan ini adalah apakah ada hubungan
logis antara masing-masing alternatif tersebut dengan tujuan.
Tahapan ini menuntut sensitivitas yang tinggi sebagai
ilmuwan dan dipolitisir. Sebagai ilmuwan seorang analisis telah
diperkenalkan berbagai teori di bangku sekolah/kuliah tentang
berbagai penyebab timbulnya isu atau masalah. Misalnya jumlah
penduduk miskin di suatu daerah meningkat secara signifikan
selama lima tahun terakhir dan telah berakibat pada munculnya
berbagai penyakit yang berhubungan dengan gejala kurang gisi.
Untuk dapat mengidentifikasi alternatif dengan tepat, seorang
analisis dapat mencari teori-teori tentang faktor-faktor yang
menimbulkan gejala kemiskinan kemudian mengumpulkan data,
mengolah dan menentukan faktor-faktor manakah yang paling
menentukan timbulnya kemiskinan. Faktor-faktor tersebut
KEBIJAKAN PUBLIK 53
1) Menyepakati Kriteria Alternatif
Salah seorang ahli bernama Bardach dalam Patton &
Sawicki, (1993), mengemukakan kriteria penting “technical"
yang dapat digunakan disini, yaitu menyangkut feasibility,
political viability, economic and financial possibility, dan
“administrative operability”.
Technical feasibility. Kriteria tersebut mengukur apakah
alternatif yang dipilih akan jalan dalam kontes teknis? Misalnya,
apakah program pembangunan jembatan di suatu tempat akan
dapat memecahkan kesulitan trafik ditempat itu? Dalam kaitan
dengan kriteria teknis ini, ada dua sub kriteria pokok yang perlu
dibahas yaitu effectiveness dan adequacy. Effectiveness
menyangkut sampai seberapa jauh suatu kebijakan atau
program akan mencapai apa yang diinginkan. Kriterium ini
dapat diukur dalam jangka panjang atau pendek, langsung atau
tidak langsung, secara kuantitatif atau tidak, dan pantas atau
tidak (adequate or inadequate). Kriterium adequacy memper-
soalkan seberapa jauh kebijakan atau program yang disarankan
akan mampu memecahkan persoalan, apakah memecahkan
persoalan secara keseluruhan atau hanya sebagian.
Economic and financial possibility. Kriteria ini menyangkut
evaluasi ekonomis dari policy atau program yang ada, dan
meliputi aspek change in net worth, economic efficiency,
profitability dan cost effectiveness. Kriterium "change in net
worth” (perubahan dalam nilai) mempersoalkan apakah suatu
program dapat merubah kemampuan ekonomis khususnya
dalam assets dan liabilities seperti perubahan dalam GDP (gross
domestic product), human capital (tingkat pendidikan penduduk
secara keseluruhan), dan non-human resources hasil hutan,
tambang, dan sebagainya. Kriterium "economic efficiency”
mempersoalkan apakah dengan mempergunakan sumber daya
yang ada telah diperoleh manfaat yang lebih tinggi. Profitability,
mempertahankan apakah perbandingan antara pengeluaran
proyek dan pemasukan dari proyek tersebut menguntungkan
atau tidak, khususnya dalam konteks keuangan (misalnya, cost
revenue analysis). Cost effectiveness adalah kriterium yang
menyangkut apakah tujuan dicapai dengan cost yang minim.
KEBIJAKAN PUBLIK 55
financial. "Organization support” berkaitan dengan tersedia
tidaknya dukungan peralatan, fasilitas fisik dan pelayanan–
pelayanan lainnya. Apakah dapat dukungan-dukungan tersebut
dapat tersedia bila dibutuhkan stakeholders.
Semua kriteria tidak begitu berbeda dengan yang
dikemukakan Dunn (1994), dengan istilah "multirasional" yang
menyangkut beberapa hal berikut.
"Technical rationality" menyangkut pilihan yang melibatkan
perbandingan antar alternatif berdasarkan kemampuan dan
masing-masing alternatif dalam mempromosikan pemecahan
yang efektif terhadap masalah publik, yang dihadapi.
"Economic rationality" menyangkut pilihan yang melibatkan
perbandingan antar alternatif berdasarkan kemampuan dari
masing-masing alternatif tersebut dalam mempromosi peme-
cahan masalah publik secara efisien. Dalam hal ini biasanya
dihitung perbandingan terbaik antara biaya total (total cost)
dengan manfaat yang diperoleh (benefits) bagi masyarakat.
"Legal rationality" berkenaan dengan perbandingan antara
alternatif berdasarkan kemampuan masing-masing alternatif
dalam tingkat kompromis legal (sejalan tidaknya atau mendu-
kung tidaknya) terhadap aturan-aturan perundangan yang ada.
Misalnya, apakah suatu alternatif bertentangan dengan pera-
turan perundang-undangan yang berlaku, atau bertentangan
dengan hak asasi manusia seperti diskriminasi suku bangsa dan
agama.
"Social rationality" berkaitan dengan perbandingan antara
alternatif berdasarkan kemampuannya dalam memelihara dan
mempertahankan serta memperbaiki institusi-institusi sosial.
Atau dengan kata lain apakah suatu alternatif mempromosi
institusionalisasi norma-norma atau nilai-nilai sosial yang diakui
masyarakat. Misalnya kita menganut ideologi demokrasi.
Dengan demikian, kita dapat memilih suatu alternatif bila
alternatif tersebut mendukung hak untuk berpartisipasi secara
demokratis. Substansi "rationality" adalah suatu bentuk
gabungan dari rasionalitas (multi forms of rationality) yang
menyangkut kriteria-kriteria di atas, teknik, ekonomi, legal dan
sosial. Dengan demikian menggunakan substansi rationality
KEBIJAKAN PUBLIK 57
atau proyek tersebut banyak menghadapi hambatan atau
halangan. Program KB di beberapa tempat, misalnya, banyak
mendapat tantangan dari para ulama dan pemuka-pemuka
masyarakat, sehingga sulit diadopsi dan sempat menjadi
terhambat. Program kesehatan (puskesmas) kurang diadopsi
masyarakat karena pengaruh dari para dukun dan pemuka
masyarakat kurang diperhitungkan. Program pembukaan jalan
baru sering kali mendapat tantangan dari berbagai pihak
khususnya berkaitan dengan pembebasan tanah. Mengapa para
"stakeholders" tersebut dapat menghalangi atau menghambat
adopsi dan implementasi dari program atau proyek yang diusul-
kan? Karena memiliki "peran" tertentu yang tidak
diperhitungkan dalam analisis kebijakan.
Dengan memperhatikan kriteria yang telah digunakan di
atas, maka secara umum terdapat dua prinsip utama yaitu
prinsip yang berorientasi pada rasionalitas dan pada demokrasi.
Prinsip Rasionalitas diterapkan untuk menentukan pilihan
terbaik dengan menerapkan kaidah-kaidah keilmuan seperti
analisis biaya dan manfaat. Artinya harus dihitung beberapa
biaya yang dikeluarkan untuk implementasi masing-masing
alternatif yang disarankan dan berapa manfaat yang dapat
dinikmati bila suatu alternatif tertentu dipilih. Perhitungan dan
perbandingan ini dapat dilakukan dengan berbagai kriteria yang
disetujui bersama akan tetapi dalam kenyataannya terdapat
keterbatasan data/informasi atau kemampuan para analisis
untuk melakukan perhitungan tersebut. Dengan demikian
diperlukan prinsip demokrasi yaitu melibatkan para stakeholder
dalam proses pemilihan alternatif terbaik. Disini suatu alternatif
hanya dapat diterima bila disetujui para stakeholders atau pihak
yang berkepentingan melalui forum dengan pendapat dialog,
diskusi dan sebagainya.
2) Penentuan alternatif Terbaik
Penentuan alternatif terbaik bertujuan agar semua keun-
tungan dan kerugian, kesulitan dan kemudahan, dampak positif
dan negatif hasil berupa output dan outcome, dapat terungkap
dengan jelas dan transparan. Teknik yang paling praktis untuk
memilih atau merekomendasikan suatu alternatif kebijakan
KEBIJAKAN PUBLIK 59
karena muncul secara tiba-tiba sehingga tidak dapat dipertang-
gungjawabkan baik secara keilmuan maupun secara
demokratis. Program atau proyek tersebut secara jelas
melanggar prinsip kebijakan publik baik dalam konteks
rasionalitas maupun demokrasi sebagaimana diuraikan dalam
langkah-langkah sebelumnya. Sebaliknya cukup banyak juga
usulan program atau proyek yang telah diuji secara keilmuan
dan demokratis tetapi kemudian kurang mendapat tanggapan
atau dukungan yang hangat dalam RAKORBANG. Pada hal
usulan seperti ini telah banyak memakan biaya. Bahkan tidak
jarang terjadi usulan-usulan tersebut kemudian diganti saja
oleh elit-elit birokrasi atau legislatif yang sesungguhnya tidak
memiliki dasar yang jelas atau tidak mengikuti proses analisis
kebijakan yang benar.
Diharapkan wakil-wakil rakyat dapat memberikan
sumbangan pikiran dalam peningkatan kualitas kebijakan
dengan ikut mengontrol latar belakang atau proses formulasi
usulan-usulan program atau proyek yang ada. Mereka juga
diharapkan mampu menguji logika keterkaitan baik langsung
maupun tidak langsung antara usulan tersebut dengan masalah
yang hendak dipecahkan. Kadang-kadang suatu usulan
kebijakan kurang memiliki hubungan sebab akibat yang
signifikan terhadap masalah yang hendak dipecahkan. Suatu
usulan tidak hanya sekedar memiliki hubungan sebab akibat
tetapi yang penting lagi adalah hubungan tersebut benar-benar
signifikan, artinya alternatif tersebut tidak hanya "perlu"
(necessary) tetapi "perlu dan cukup" (necessary dan sufficient)
untuk memecahkan masalah yang dihadapi.
2. Pengesahan Kebijakan
M. Irfan Islamy (1986:98), mengatakan bahwa proses penge-
sahan kebijakan dapat pula dikatakan sebagai pembuatan keputusan.
Oleh karena suatu usulan kebijakan yang dibuat oleh orang atau
badan dapat saja usulan itu disetujui oleh pengesah kebijakan. Suatu
usulan kebijakan diadopsi atau diberikan pengesahan oleh orang atau
badan yang berwewenang, maka usulan kebijakan tersebut berubah
menjadi kebijakan (policy decision) yang sah (legitimate). Kebijakan
KEBIJAKAN PUBLIK 61
serangkaian tindakan yang dapat diterima bersama tetapi tidak perlu
terlalu ideal bagi mereka.
KEBIJAKAN PUBLIK 63
menurut Nugroho (2006:80), mengatakan bahwa ada dua penilaian
dalam teori ini yaitu negative dan positif. Pada pandangan negatif
mengemukakan bahwa pada akhirnya, di dalam sistem politik, peme-
gang kekuasaan politiklah yang akan menyelenggarakan kekuasaan
sesuai dengan keinginan. Dalam artian bahwa masyarakat dianggap
sebagai kelompok yang sengaja dimanipulasi sedemikian rupa agar
tidak masuk dalam proses formulasi kebijakan. Pemilihan umum pun
pada dasarnya bukan sebagai bentuk partisipasi yang murni,
melainkan bentuk mobilisasi. Massa yang diarahkan untuk ikut serta
dalam proses pemilihan. Pandangan positif, melihat bahwa
seorang elit menduduki puncak kekuasaan karena berhasil
memenangkan gagasan membawa negara dan bangsa ke arah yang
lebih baik dibandingkan dengan pesaingnya. Pemimpin (elit) pasti
mempunyai visi tentang kepemimpinannya, dan kebijakan publik
sebagai bagian dari karyanya untuk merealisasikan visi tersebut.
Teori Rasional
Teori Rasional, yaitu teori yang mengedepankan gagasan
bahwa kebijakan publik sebagai maksimum social gain berarti
pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus memilih kebijakan yang
memberikan manfaat yang terbaik bagi masyarakat. Teori ini
dikembangkan dari teori Cost-benefit analysis, sebuah teori yang
diawali dengan US Corps and Engines (Seperti Departemen Pekerjaan
Umum) pada tahun 1930-an dalam rangka membangun bendungan
dan jembatan. Teori rasional paling banyak digunakan oleh para
aktor perumus kebijakan di seluruh dunia. Teori ini mengatakan
bahwa proses formulasi kebijakan harus didasarkan pada keputusan
yang sudah diperhitungkan tingkat rasionalitasnya. Rasionalitas yang
dimaksud adalah perbandingan antara pengorbanan dan hasil yang
dicapai, dengan kata lain teori ini lebih menekankan pada aspek
efisiensi. Adapun langkah-langkah dalam memformulasi kebijakan:
(1) Mengetahui preferensi publik dan kecenderungannya, (2)
Menemukan pilihan-pilihan, (3) Menilai konsekuensi masing-masing
pilihan. (4) Menilai rasional nilai sosial yang dikorbankan, (5) Memilih
alternatif kebijakan yang paling efisien.
KEBIJAKAN PUBLIK 65
melainkan membuat keputusan yang bisa menurunkan keefektifan
keputusan.
Teori Pilihan Publik
Teori ini melihat kebijakan sebagai sebuah proses formulasi
keputusan kolektif dari individu-individu yang berkepentingan atas
keputusan tersebut. Kebijakan ini sendiri berdasarkan teori ekonomi
pilihan publik, yang mengasumsikan bahwa manusia adalah homo
economicus yang memiliki kepentingan-kepentingan yang harus
dipuaskan prinsipnya adalah buyer meet seller, supply meet demand.
Inti dari teori ini, yaitu setiap kebijakan publik yang dibuat oleh
pemerintah harus merupakan pilihan dari publik yang menjadi
pengguna. Proses formulasi kebijakan publik dengan demikian
melibatkan publik melalui kelompok-kelompok kepentingan. Secara
umum, teori ini merupakan konsep yang paling demokratis karena
memberi ruang yang luas kepada publik untuk mengkonstribusikan
pilihan-pilihannya kepada pemerintah sebelum keputusan diambil. Hal
ini sejalan dengan pemikiran John Locke, mengatakan bahwa
pemerintah merupakan lembaga yang muncul dari "Kontrak Sosial"
diantara individu warga masyarakat.
Teori Sistem
Teori ini, dipelopori oleh David Easton yang melakukan analogi
dengan sistem biologi. Pada dasarnya sistem biologi merupakan
proses interaksi antara makhluk hidup dan lingkungannya, yang pada
akhirnya menciptakan kelangsungan perubahan hidup yang relatif
stabil. Asumsi dari teori ini adalah Easton menganalogikannya dengan
kehidupan sistem politik. Dalam teori ini dikenal tiga komponen yaitu:
input, proses dan output. Salah satu kelemahan dari teori ini adalah
terpusatnya perhatian pada tindakan-tindakan yang dilakukan
pemerintah, dan pada akhirnya kita kehilangan pada apa yang tidak
pernah dilakukan pemerintah. Formulasi kebijakan dengan meng-
gunakan teori sistem mengasumsikan bahwa kebijakan merupakan
hasil atau output dari sistem (politik). Penggunaan teori ini,
merupakan pendekatan yang paling sederhana, namun cukup
komprehensif, meskipun tidak memadai lagi untuk dipergunakan
sebagai landasan perumusan kebijakan dan atau pengambilan
keputusan.
KEBIJAKAN PUBLIK 67
dari berbagai kegiatan yang di dalamnya sumber daya manusia
menggunakan sumber daya lain untuk mencapai sasaran strategi.
Grindle (1980), Implementasi sering dilihat sebagai suatu
proses yang penuh dengan muatan politik dimana mereka yang
berkepentingan berusaha sedapat mungkin mempengaruhinya.
Gordon (1986), mengatakan bahwa implementasi berkenaan dengan
berbagai kegiatan yang diarahkan pada realisasi program. Dalam hal
ini administrator mengatur cara untuk mengorganisir, menginter-
pretasikan dan menerapkan kebijakan yang telah diseleksi.
Mengorganisir berarti mengatur sumber daya, unit-unit dan metode-
metode untuk melaksanakan program. Melakukan interpretasi
berkenaan dengan mendefinisikan istilah-istilah program ke dalam
rencana-rencana dan petunjuk-petunjuk yang dapat diterima dan
feasible. Menerapkan berarti menggunakan instrumen-instrumen
mengerjakan atau memberikan pelayanan rutin, melakukan pemba-
yaran-pembayaran. Atau dengan kata lain implementasi merupakan
tahap realisasi tujuan-tujuan program. Dalam hal ini yang perlu
diperhatikan adalah persiapan implementasi, yaitu memikirkan dan
menghitung secara matang berbagai kemungkinan keberhasilan dan
kegagalan, termasuk hambatan atau peluang-peluang yang ada dan
kemampuan organisasi yang diserahi tugas melaksanakan program.
Beberapa literatur penting yang ditulis oleh Jefferey L.
Pressman dan Aaron Wildavsky (1973), Robet Nakamura dan Frank
Smallwood (1980), George C. Edward (1980), Paul Sabatier dan
Daniel Masmanian (1980), Paul A Sabatier (1986), M.S.Grindle
(1980), Linder dan Peters (1986), dalam Keban yang dapat menjadi
sumber informasi tentang dinamika implementasi dan faktor-faktor
yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan implementasi.
Termasuk dalam literatur penting tersebut adalah karya Gogging,
Bowman, O'Toole dan Lester (1990), yang membedakan
implementasi ke dalam generasi, yaitu generasi pertama, kedua dan
ketiga.
Menurut Goggin dkk (1990), implementasi generasi pertama
dapat diamati dari karya Pressman dan Wildavsky (1973), yang
melihat implementasi sebagai suatu bentuk pelaksanaan yang sangat
bersifat top down dimana penilaiannya ditentukan dari seberapa jauh
terjadi deviasi terhadap desain yang telah ditetapkan. Generasi
KEBIJAKAN PUBLIK 69
setelah mempelajari berbagai literatur tentang implementasi. Menurut
mereka ada tiga faktor umum yang mempengaruhi keberhasilan yaitu
(1) logika yang digunakan oleh suatu kebijakan, yaitu sampai berapa
benar teori yang menjadi landasan kebijakan atau seberapa jauh
hubungan logis antara kegiatan-kegiatan yang dilakukan dengan
tujuan atau sasaran yang telah ditetapkan; (2) hakekat kerjasama
yang dibutuhkan, yaitu apakah semua pihak yang terlibat dalam
kerjasama telah merupakan suatu assembling produktif dan (3)
ketersediaan sumber daya manusia yang memiliki kemampuan,
komitmen untuk mengelola pelaksanaannya.
4. Evaluasi Kebijakan
Badjuri & Admin (2003:132), mengatakan bahwa evaluasi
kebijakan merupakan salah satu tahapan penting kebijakan. Keban
(2004:74), Salah satu bidang penting lain yang dipergunakan untuk
mengawasi jalannya proses implementasi adalah monitoring. Di
dalam proses monitoring ini dilakukan pengamatan langsung ke
lapangan dan hasil-hasil sementara untuk dinilai tingkat efisiensi dan
efektivitasnya. Tingkat efisiensi dalam proses ini menyangkut rasio
terbaik antara semua biaya yang dikeluarkan selama implementasi
dibandingkan dengan hasil sementara yang diperoleh, sementara
tingkat efektivitasnya selalu dikaitkan dengan apakah suatu hasil
sementara yang didapatkan merupakan hasil yang memang
direncanakan atau tidak.
Evaluasi digunakan untuk mempelajari tentang hasil yang
diperoleh dalam suatu program untuk dikaitkan dalam pelaksanaan-
nya, mengendalikan tingkah laku dari orang-orang yang bertanggung
jawab terhadap pelaksanaan program, dan mempengaruhi respon
dari mereka yang berada di luar lingkungan politik. Evaluasi, tidak
saja berguna untuk menjastifikasikan kegunaan dari program yang
sedang berjalan, tetapi juga untuk melihat kegunaan program dan
inisiatif baru, peningkatan efektivitas manajemen dan administrasi
program, dan mempertanggungjawabkan hasil kepada pihak yang
mensponsori program tersebut Rossi & Freeman (1993:4).
Untuk dapat melakukan evaluasi, diperlukan rincian tentang
apa yang perlu dievaluasi, pengukuran terhadap kemajuan yang
diperoleh dengan mengumpulkan data, dan analisis terhadap data
yang ada terutama berkaitan dengan output dan outcome yang
C. ISU KEBIJAKAN
KEBIJAKAN PUBLIK 71
evaluasi proses, evaluasi outcome, dan analisis kebijakan yang
sedang berjalan Danahue (2003).
Salah satu yang populer adalah menyangkut tahap seleksi
alternatif kebijakan. Seringkali timbul konflik antara kriteria-kriteria
yang sering digunakan sehingga memberikan peluang untuk
melakukan manipulasi. Apalagi kriteria efisiensi misalnya, seringkali
tidak sejalan dengan kriteria publik. Disamping itu, sering kali terjadi
kesulitan teknis dalam menghimpun data atau informasi tentang
masing-masing kriteria karena keterbatasan dalam kemampuan
analysis atau decision makers, dan kompleksitasnya data atau bahkan
kekurangan data yang valid untuk menunjang penilaian alternatif-
alternatif yang ada.
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa Harbert
Simon pernah mengungkapkan kesulitan atau keterbatasan ini, dan
karenanya berpendapat bahwa analisis sebenarnya berusaha bukan
untuk mengoptimalisasikan hasil dari pilihannya, yaitu memilih yang
paling menguntungkan secara ekonomis seperti yang dikejar dalam
"rational-comprehensive theory", tetapi lebih cenderung untuk
membuat pilihan yang lebih "memuaskan hasil mereka", dan mungkin
bukan yang terbaik. Oleh karena itu, disarankan bahwa pemilihan
alternatif terbaik hendaknya mengikuti prinsip-prinsip dari "disjointed-
incremental theory" lihat Braybrook & Lindblom (1963), yaitu
memilih alternatif secara incremental, sedikit berbeda dari alternatif
yang sudah ada, dengan memberikan tanggungjawab penilaian dan
evaluasinya kepada banyak kelompok dalam masyarakat sehingga
proses pemilihannya terpisah-pisah. Pola seperti ini dikritik karena
cenderung mempertahankan status quo. Karena itu, pemilihan suatu
kebijakan yang mengikuti pola "mixed scanning" Etzioni (1976),
dapat digunakan. Artinya, digunakan pola keputusan kombinasi,
dimana pola yang rational comprehensive dipakai dalam kaitannya
dengan perubahan-perubahan yang strategis, dan pola incremental
dipakai untuk masalah-masalah yang operasional.
Disamping itu, keputusan kelompok sering kali dianggap lebih
baik (etis) dari pada keputusan individu karena lebih bersifat
demokratis, dan tidak selalu merupakan refleksi dari kepentingan
individu. Hal ini masuk akal karena menurut K. Arrow dalam Dunn
(1994), bahwa dalam keputusan individual, alternatif-alternatif yang
KEBIJAKAN PUBLIK 73
masyarakat. Memang perlu untuk melihat peluang-perluang pasar
yang dapat diisi dengan diterimanya suatu alternatif, tetapi peluang
pasar tidak semata diinterpretasikan secara sederhana. Tuntutan
suatu kebutuhan masyarakat juga harus dilihat sebagai peluang
pasar.
Kelima, kebijakan yang bersifat preventif perlu dilakukan dan
hasil atau kinerja kebijakan harus diprioritaskan. Kebijakan-kebijakan
yang diimplementasikan seringkali tidak dikoordinasikan kebijakan-
kebijakan yang lain sehingga sering berbenturan dalam hal
implementasi dan hasil. Banyak masalah yang timbul justru sebagai
akibat kurang adanya integrasi yang baik antar kebijakan yang
dibuat.
Selain itu, dengan munculnya paradigma The New Publik
Service oleh Denhardt & Denhardt (2003), kebijakan publik selama
ini telah diarahkan kepada tuntutan Reinventing Government atau
New Publik Management harus disesuaikan lagi. Pengejawantahan
dalam jenis dan pola kebijakan sudah harus dilakukan agar kebijakan
publik dapat lebih memunculkan semangat demokrasi dan berpihak
kepada masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam sharing pendapat,
dialog bebas, penekanan pada kepentingan publik dan prinsip-prinsip
demokrasi, harus mewarnai kebijakan publik.
3. Kualitas, Efektivitas, dan Kapasitas Kebijakan
Pada dasarnya kualitas suatu kebijakan dapat diketahui melalui
beberapa tolak ukur penting seperti proses, isi dan konteks atau
suasana dimana kebijakan itu dihasilkan atau dirumuskan. Menurut
Keban (2004:78), kualitas kebijakan dapat dilihat dari tiga segi yaitu
(1) Dilihat dari segi proses, suatu kebijakan dapat dikatakan
berkualitas kalau kebijakan tersebut diproses dengan data dan
informasi yang akurat, menggunakan metode dan teknik yang sesuai,
mengikuti tahapan-tahapan yang rasional dan melibatkan para ahli
serta masyarakat yang berkepentingan atau stakeholders. (2) Dilihat
dari segi isi, suatu kebijakan dapat dikatakan berkualitas apabila
kebijakan tersebut merupakan alternatif atau jalan keluar terbaik
dalam rangka memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat. (3)
Sedangkan dilihat dari segi konteks maka suatu kebijakan dapat
dikatakan berkualitas apabila kebijakan tersebut dirumuskan dalam
KEBIJAKAN PUBLIK 75
Faktor yang tidak kalah penting juga dalam menentukan
efektivitas kebijakan adalah rendahnya keterlibatan para stakeholders
dan masyarakat di beberapa daerah di Indonesia, tingkat partisipasi
masyarakat nampak masih rendah. Hal ini mungkin disebabkan
kurangnya kesadaran untuk berpartisipasi secara langsung, atau
mungkin juga mereka tidak diberikan akses untuk berpartisipasi.
Kapasitas kebijakan berkaitan dengan kemampuan suatu
kebijakan membawa perubahan sebagaimana diharapkan. Dengan
memperhatikan bahwa begitu banyak faktor yang menghambat
kualitas dan efektivitas kebijakan, maka dapat dipastikan bahwa
kemampuan kebijakan (kepastian kebijakan) dalam memecahkan
masalah-masalah publik selama ini belum memadai. Isu kepastian
kebijakan ini memang masih belum populer di Indonesia, padahal isu
ini merupakan isu sentral yang harus diberi perhatian khusus karena
menyangkut penggunaan anggaran negara. Adalah sia-sia, apabila
begitu banyak anggaran yang dibelanjakan untuk membiayai
kebijakan publik dalam berbagai bidang, tetapi kebijakan publik itu
tidak memberi manfaat apa-apa bagi publik.
A. KONSEP BIROKRASI
TEORI BIROKRASI 77
Definisi Birokrasi
Weber dalam H.G Surie (1987:99), menyebut definisi
birokrasi adalah sebagai suatu daftar atau sejumlah daftar ciri-ciri
yang sifat pentingnya yang relatif secara hubungannya satu sama lain
telah banyak menimbulkan perdebatan. Paling mencolok diantara ciri-
ciri ini ialah bidang-bidang kompetensi yang jelas batasnya,
pelaksanaan tugas-tugas resmi secara terus menerus. Suatu hirarki
pengendalian yang teratur dimana kemungkinan untuk naik pangkat
memungkinkan dibuatnya suatu karier; pengangkatan dan kenaikan
pangkat berdasarkan kriteria kemampuan (termasuk ijazah-ijazah
pendidikan, ujian khusus dan prestasi dalam pekerjaan), pembuatan
keputusan yang didasarkan atas catatan-catatan tertulis, gaji tetap,
pemisahan jabatan dari hak milik pribadi pejabat, dan suatu gaya
pengambilan keputusan yang terdiri atas, penerapan aturan-aturan
umum pada kasus-kasus individual.
Weber pada dasarnya mengatakan bahwa efisiensi sebagai
norma birokrasi. Blau dalam Sinambela (2006:70), mengatakan
bahwa birokrasi adalah organisasi yang ditujukan untuk
memaksimumkan efisiensi dalam administrasi. Setiyono, (2004:9),
mengatakan bahwa birokrasi adalah merupakan sebuah ruang mesin
negara. Di dalam berisi orang-orang (pejabat) yang digaji dan
dipekerjakan oleh negara untuk memberikan nasehat dan
melaksanakan kebijakan politik negara.
J.B. Kristiadi (1994:93), mengatakan bahwa birokrasi adalah
merupakan struktur organisasi di sektor pemerintahan, yang memiliki
ruang lingkup tugas-tugas sangat luas serta memerlukan organisasi
besar dengan sumber daya manusia yang besar pula jumlahnya. Biro-
krasi yang dimaksudkan untuk penyelenggaraan bernegara,
penyelenggaraan pemerintahan termasuk di dalamnya penyeleng-
garaan pelayanan umum dan pembangunan, seringkali oleh
masyarakat diartikan dalam konotasi yang berbeda. Birokrasi seolah-
olah memberi kesan adanya suatu proses panjang yang berbelit-belit
apabila masyarakat akan menyelesaikan suatu urusan dengan aparat
pemerintah. G. Kartasapoetra (1994:2), mengatakan birokrasi
adalah pelaksanaan perintah-perintah secara organisatoris yang
harus dilaksanakan sedemikian rupa sehingga dan secara
sepenuhnya pada pelaksanaan pemerintahan melalui instansi-instansi
TEORI BIROKRASI 79
(2006). Mereka mengarahkan analisanya dengan birokrasi yang
rasional dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas.
Kenyataan empirik menunjukkan bahwa konsep birokrasi yang
dipergunakan di Indonesia mengalami kendala-kendala yang terdapat
pada birokrasi administrasi publik, pelaksanaan pembangunan
berlangsung demikian lamban atau mengalami banyak kegagalan,
karena para birokrat dan lembaga usaha swasta ataupun masyarakat
sendiri dapat dikatakan masih terjangkiti penyakit inefisiensi, yang
seharusnya mereka masing-masing memperoleh kebebasan untuk
menyembuhkan penyakit tersebut dengan menyesuaikan diri dengan
tata nilai baru administrasi publik yaitu pelayanan yang efisien
kepada pelanggan. Dvorin Eugene P. & Simmons, Robert H.
(2000:40), mengatakan bahwa birokrasi merupakan tempat
penyimpanan suatu kepercayaan masyarakat umum yang khas dan
unik bahkan meski birokrasi pemerintahan itu dipandang sebagai
pejabat yang dapat disuap. Hal inilah Dvorin Eugene P. &
Simmons, Robert H. (2000:40), menyebutnya sebagai penyakit
sosial yang diberikan nama "bureusis". Sedangkan Warsito Utomo
(2006), menyebut penyakit birokrasi sebagai "penyakit
bureaunomia". Penyakit ini mempengaruhi pelaksanaan teknis
operasional pemerintahan, tetapi lebih berpengaruh pada derajat
tingkat kebijakan pemerintah atau formulasi kebijakan pemerintah.
Menurut beliau bureaunomia dilakukan oleh kekuatan politik praktis
untuk juga mempengaruhi birokrasi pemerintahan di dalam melayani
masyarakat. Bureaunomia menanamkan pengaruhnya di dalam
birokrasi pemerintahan dengan mendudukkan orang-orang partai
yang bukan birokrat profesional di dalam jajaran birokrasi atau
memberikan privilege pada aparat birokrasi yang berafiliasi dengan
kekuatan partainya. Oleh karena itu perlu dilakukan debirokratisasi
untuk membebaskan penyakit inefisiensi tersebut.
Debirokratisasi menurut Kristiadi (1994:93), adalah
"merupakan upaya untuk lebih menyederhanakan prosedur yang
dianggap berbelit-belit tersebut". Sedangkan G. Kartasapoetra
(1994:6), mengatakan bahwa debirokratisasi artinya mengubah
dalam artian menyesuaikan, (1) Prosedur yang biasanya harus
ditempuh secara berliku-liku dan menyulitkan, yang umumnya
melesukan kegairahan, kegiatan dan kadang-kadang mematikan
TEORI BIROKRASI 81
strukturnya dibuat sedemikian rupa sehingga secara maksimal dapat
memanfaatkan tenaga ahli. Organisasi harus diatur secara rasional,
impersonal dan bebas dari sikap prasangka. Dengan demikian
birokrasi dimaksudkan sebagai satu sistem otorita yang ditetapkan
secara rasional dalam berbagai peraturan untuk mengorganisasi
secara teratur, bersifat spesialisasi, hirarkis dan terelaborasi. Max
Weber berpendapat bahwa birokrasi sebagai suatu bentuk organisasi
yang amat efisien, yang dapat digunakan lebih efektif bagi organisasi
yang kompleks sifatnya. Misalnya perusahaan, pemerintahan, militer,
dengan makin meningkatnya kebutuhan dari masyarakat modern.
Menurut Kast & Rozenweig (1982), setiap aktivitas yang kompleks
dan rutin sifatnya sehingga memerlukan koordinasi yang ketat
terhadap aktivitas orang-orang dan sangat terspesialisasi, maka
bentuk organisasi yang diterapkan adalah organisasi birokratik.
Organisasi birokratik menurut Weber dalam Ali Mufiz (1984),
mendasarkan diri pada hubungan kewenangan menempatkan,
mengangkat pegawai dengan menentukan tugas dan kewajiban di
mana perintah dilakukan secara tertulis, ada pengaturan mengenai
hubungan kewenangan, dan promosi kepegawaian didasarkan atas
aturan-aturan tertentu, tetapi tidak ada hubungan dengan prosedur
yang berbelit-belit (red tape), penundaan pekerjaan atau
ketidakefisienan, seperti yang dibayangkan banyak orang dewasa ini.
Weber juga memandang birokrasi sebagai unsur pokok dalam
rasionalisasi dunia modern, yang baginya jauh lebih penting dari
seluruh proses sosial. Proses ini mencakup ketepatan dan kejelasan
yang dikembangkan dalam prinsip-prinsip memimpin organisasi
sosial. Dengan sendirinya hal ini memudahkan mendorong
konseptualisasi ilmu sosial, dan bantuan konseptual teori Weber
tentang birokrasi ialah terletak pada penjelasan ketika mendiskusikan
tipe rasional yang murni dari weber. Sesuai dengan teorinya bahwa
dalam legitimasi ialah dasar bagi semua sistem otoritas, ia memulai
dengan mengemukakan lima keyakinan yang terdapat pada otoritas
yaitu: (1) Penegakan aturan yang sah dapat ditingkatkan kepatuhan
dari para anggota organisasi. (2) Hukuman merupakan suatu sistem
aturan-aturan abstrak yang diterapkan pada kasus-kasus tertentu,
sedangkan administrasi melayani kepentingan-kepentingan organisasi
yang ada dalam batas-batas hukum. (3) Manusia yang menjalankan
TEORI BIROKRASI 83
adalah sistem politik. Ini sesuai dengan kenyataan bahwa akar dari
teori birokrasi itu ada dalam teori sistem politik. Wujud sistem politik
itu sendiri ditentukan oleh konfigurasi politik yang berlaku pada
waktu itu. Akibatnya, wujud atau bentuk birokrasi berhubungan erat
dengan konfigurasi politik yang berlaku. Dapat dikatakan bahwa
konfigurasi politik itu terbentuk berdasarkan hasil pemilu, dan partai
politik yang ikut dalam pemilu bertindak mewakili kepentingan
masyarakat yang harus diperhatikan oleh birokrasi, maka logis
dikatakan bahwa bentuk birokrasi itu berhubungan dengan sistem
kepartaian yang berlaku.
Nicholas Henry (1988:75), merangkum karakteristik model
birokrasi Weber sebanyak 5 (lima), yaitu: (1) hirarki, (2) promosi atas
dasar ukuran profesional dan keahlian, (3) adanya jenjang karier, (4)
ketergantungan dan penggunaan peraturan dan regulasi, dan (5)
hubungan impersonal diantara para profesional karir dalam bidang
birokrasi dan hubungan mereka terhadap pihak yang dilayani.
Selanjutnya konsep Birokrasi Ideal Weber ada 7 dalam,
Robbins (1994:338), sebagai berikut:
1. Spesialisasi Pekerjaan, yaitu semua pekerjaan dilakukan dalam
kesederhanaan, rutinitas dan mendefinisikan tugas dengan baik.
2. Hirarki kewenangan yang jelas yaitu sebuah struktur multi tingkat
yang formal, dengan posisi hirarki atau jabatan, yang memastikan
bahwa setiap jabatan yang lebih rendah berada di bawah supervisi
dan kontrol dari yang lebih tinggi.
3. Formalisasi yang tinggi, yaitu semua anggota organisasi diseleksi
dalam basis kualifikasi yang didemonstrasikan dengan pelatihan,
pendidikan atau latihan formal.
4. Pengambilan keputusan mengenai penempatan pegawai yang
didasarkan atas kemampuan, yaitu keputusan tentang seleksi dan
promosi didasarkan atas kualifikasi teknis, kemampuan dan
prestasi para calon.
5. Bersifat tidak pribadi (Impersonalitas), yaitu sanksi-sanksi diterap-
kan secara seragam dan tanpa perasaan pribadi untuk
menghindari keterlibatan dengan kepribadian individual dan
preferensi pribadi para anggota.
6. Jejak karier bagi para pegawai, yaitu para pegawai diharapkan
mengejar karier dalam organisasi. Sebagai imbalan atas komitmen
TEORI BIROKRASI 85
(kewibawaan seseorang yang bersifat subjektif atau emosional),
tetapi legal, yaitu sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Weber dalam Thoha (2005:19), sebenarnya memperhitung-
kan tiga elemen pokok dalam konsep birokrasinya, yaitu: (1) Birokrasi
dipandang sebagai instrument teknis. (2) Birokrasi dipandang sebagai
kekuatan independent. (3) Birokrasi dipandang mampu keluar dari
fungsinya yang sebenarnya karena anggotanya cenderung berasal
dari kelas sosial yang partikular.
H.G. Surie (1987:100), mengatakan bahwa, teori-teori tentang
birokrasi yang dikemukakan sejak zaman Weber dibagi menjadi tiga
tipe besar yaitu: (1) Suatu teori tentang keperluan sistem.
Pemerintahan atau, dalam beberapa versi, seluruh masyarakat
memiliki keperluan yang mungkin bisa dipenuhi oleh birokratisasi.
Para penguasa bereaksi terhadap keperluan itu dengan mengguna-
kan otoritasnya untuk melakukan perubahan-perubahan. (2) Suatu
teori tentang perjuangan demi kekuasaan. Elit yang memerintah,
selama perjuangannya dengan saingan-saingannya, mengubah
struktur administratifnya sendiri ke arah birokrasi. (3) Suatu teori
tentang kesesuaian struktural. Aspek-aspek tertentu dari struktur
sosial dipandang lebih menguntungkan bagi timbulnya pemerintahan
birokrasi.
Budi Setiyono (2004:16-20), membagi 4 (empat) Teori
Birokrasi, yaitu: (1) Teori Rasional Administrative Model. Teori
ini dikemukakan oleh Weber yang menyatakan bahwa birokrasi yang
ideal ialah birokrasi yang berdasarkan pada sistem peraturan yang
rasional, dan tidak berdasarkan pada paternalisme dan kharisma.
Dalam teori ini, birokrasi harus dibentuk secara rasional sebagai
organisasi sosial yang dapat diandalkan, terukur, dapat diprediksikan
dan efisien. (2) Teori Power Blok Model, yaitu teori yang berdasar
pada pemikiran bahwa birokrasi merupakan alat penghalang (blok)
rakyat dalam melaksanakan kekuasaan. Birokrasi dipandang sebagai
pembendung kekuasaan rakyat yang diwakili oleh politisi memiliki
keterkaitan erat dengan ideologi Marxisme. Meskipun Marx tidak
membuat pemikiran yang sistematis seperti yang dilakukan oleh
Weber, akan tetapi pemikiran Marx banyak menyinggung tentang
eksistensi birokrasi. Marx memandang birokrasi sebagai sebuah
fenomena yang memiliki keterkaitan erat dengan proses dialektika
TEORI BIROKRASI 87
Birokrasi tidak bisa hanya dinilai sebagai baik atau buruknya
hanya semata-mata karena organisasi mereka yang besar, anggaran
mereka yang besar, atau struktur mereka yang kompleks, karena hal
itu boleh saja dilakukan sepanjang publik menginginkan. Baik
buruknya birokrasi bukanlah pada persoalan apakah birokrasi
mengikuti mekanisme pasar atau tidak, melainkan pada persoalan
apakah birokrasi mampu memberikan pelayanan yang terbaik bagi
publik. Oleh karena itu, Teori New Public Service memandang
bahwa jika kinerja birokrasi ditentukan semata-mata oleh mekanisme
pasar, maka esensi kedaulatan rakyat akan ditelan oleh mekanisme
pasar, dan berganti dengan kedaulatan uang karena akumulasi modal
ialah alat penentu kebijakan pada mekanisme pasar. Birokrasi tidak
lagi berfungsi sebagai lembaga pelayanan publik, tetapi menjadi alat
produksi yang sifatnya kapitalistik.
Berlainan dengan teori bureaucratic oversupply model,
mengatakan bahwa peranan birokrasi cukup hanya sebagai
katalisator dalam masyarakat, teori ini memandang bahwa peranan
birokrasi justru harus direvitalisasi sesuai fitrahnya sebagai pelayan
publik. Birokrasi adalah alat rakyat dan harus tunduk kepada apapun
suara rakyat, sepanjang suara itu rasional dan legitimate secara
normatif dan konstitusional. Seorang pimpinan dalam birokrasi
bukanlah semata-mata makhluk ekonomi, melainkan makhluk yang
berdimensi sosial, politik, ekonomis dan menjalankan tugas sebagai
pelayan publik.
Etzioni (1986:53), Blau & Mayer (1987), Johnson
(1988:232-235), dan Robbins (1990:30), mengungkapkan bahwa
tujuan utama pembentukan struktur birokrasi adalah agar suatu
organisasi dapat berjalan secara rasional, sehingga secara efektif dan
efisien. Akan tetapi kenyataan empirik menunjukkan bahwa
penyelenggaraan pemerintahan justru terjadi sebaliknya bahwa lebih
ekstrim dari yang idealnya terjadi, sehingga memunculkan banyak
masalah.
Fenomena birokrasi selalu menjadi menarik untuk dicermati,
karena hampir setiap orang mengeluh ketika berhadapan dengan
birokrat. Sehingga memunculkan kesan bahwa birokrat tidak mampu
melakukan hal-hal yang dianggap tepat bagi publik. Persepsi yang
mengemuka ketika terkait dengan pelayanan yang diberikan oleh
C. BIROKRASI OSBORNE
1. REINVENTING GOVERNMENT
Menurut David Osborn dan Ted Gaebler (2000), dalam
bukunya yang berjudul “Reinventing Government” terdapat sepuluh
prinsip yang merupakan komponen paradigma baru administrasi
publik atau birokrasi pemerintah yang memiliki semangat
kewirausahaan yang disesuaikan dengan perkembangan lingkungan
strategis yaitu: (1) Steering rather than rowing. Pemerintah berperan
sebagai katalisator yang tidak melaksanakan sendiri pembangunan
tapi cukup mengendalikan sumber-sumber yang ada di masyarakat.
Dengan demikian pemerintah mengoptimalkan penggunaan dana dan
daya sesuai dengan kepentingan publik. (2) Empower communities to
solve their own problems, rather than merely deliver services.
Pemerintah harus memberdayakan masyarakat dalam pemberian
pelayanannya. Organisasi-organisasi kemasyarakatan seperti
koperasi, LSM dan sebagainya perlu diajak untuk memecahkan
permasalahannya sendiri seperti: masalah keamanan, kebersihan,
kebutuhan sekolah, pemukiman murah dan lain-lain. (3) Promote and
encourage competition, rather than monopolies. Pemerintah harus
menciptakan persaingan dalam setiap pelayanan. Dengan adanya
persaingan maka sektor usaha swasta dan pemerintah bersaing dan
terpaksa bekerja secara lebih profesional dan efisien. (4) Be driven by
missions rather than rules. Pemerintah harus melakukan aktivitas
yang menekankan kepada pencapaian apa yang merupakan misinya
daripada menekankan pada peraturan-peraturan. Setiap organisasi
diberi kelonggaran untuk menghasilkan sesuai misinya. (5) Result
oriented by funding outcomes rather than outputs. Pemerintah
hendaknya berorientasi kepada kinerja yang baik. Instansi yang
demikian harus diberi kesempatan yang lebih besar dibanding
instansi yang kinerjanya kurang. (6) Meet the needs of the customer
rather those of the bureaucracy. Pemerintah harus mengutamakan
TEORI BIROKRASI 89
pemenuhan kebutuhan masyarakat bukan kebutuhan birokrat. (7)
Concentrate on earning money rather than just spending it.
Pemerintah harus memiliki aparat yang tahu cara yang tepat dengan
menghasilkan uang untuk organisasinya, disamping pandai
menghemat biaya. Dengan demikian para pegawai akan terbiasa
hidup hemat. (8) Invest in preventing problems rather than curing
crises. Pemerintah yang antisipatif. Lebih baik mencegah daripada
menanggulangi. Lebih baik mencegah kebakaran daripada
memadamkan kebakaran. Lebih baik mencegah epidemic dari pada
mengobati penyakit. Dengan demikian akan terjadi “mental swasta”
dalam aparat pemerintah. (9) Decentralize authority rather than build
hierarchy. Diperlukan desentralisasi pemerintah dari berorientasi
hirarki menjadi partisipatif dengan pengembangan kerjasama tim.
Dengan demikian organisasi bawahan akan leluasa untuk berkreasi
dari mengambil inisiatif yang diperlukan. (10) Solve problem by
influencing market forces rather than by treating public programs.
Pemerintah harus memperhatikan kekuatan pasar. Pasokan
didasarkan terhadap kebutuhan atau permintaan pasar dan bukan
sebaliknya. Untuk itu kebijakan harus berdasarkan kebutuhan pasar.
Pembaharuan administrasi publik atau birokrasi dengan
semangat kewirausahaan atau "Reinventing Government” sebagai-
mana telah dijelaskan adalah bersifat deskriptif yaitu hanya
menguraikan karakteristik pemerintahan yang bersifat wirausaha
tetapi tidak menata strategi untuk mentransformasikan sistem dan
organisasi birokratis menjadi sistem dan organisasi yang bersifat
wirausaha. Penjelasan yang bersifat perspektif tentang bagaimana
cara (strategi) mentransformasi organisasi dan sistem birokratis
adalah "Banishing Bureaucracy”. Ada lima strategi mewirausaha-
kan birokrasi menurut Osborn dan Plastrik (2000), sebagai berikut.
2. BANISHING BUREACRACY”
Pembaruan Birokrasi: “Banishing Bureaucracy” yaitu ada
5 strategi mewirusahakan birokrasi. Osborn dan Plastrik (2000),
sebagai berikut: (1) Strategi inti (centre strategy) yaitu menata
kembali secara jelas mengenai tujuan, peran, dan arah organisasi.
(2) Strategi konsekuensi (consequence strategy) yakni strategi yang
mendorong persaingan sehat guna meningkatkan motivasi dan
kinerja pegawai melalui penerapan “reward and punishment” dengan
TEORI BIROKRASI 91
D. STRUKTUR BIROKRASI
TEORI BIROKRASI 93
beroperasi pada lingkungan yang kompleks dan dinamis. pegawai-
pegawai dengan keahliannya, yang cenderung untuk dipekerjakan
pada kelompok-kelompok proyek dengan orientasi pasar,
menggunakan dengan banyak kuasa dan pengaruh.
5. Missioner. Struktur Missioner pada dasarnya mempertimbangkan
betul-betul karena tidak cukupnya atau kurangnya gambaran
mengenai organisasi formal. Misalnya divisi pekerjaan dan
spesialisasi yang sangat tidak jelas. Orang terikat bersama-sama
oleh nilai-nilai yang mereka gunakan bersama-sama dalam suatu
organisasi.
Struktur birokrasi tersebut di atas, secara umum dapat
disimpulkan bahwa pemilihan struktur birokrasi sebaiknya
berorientasi pada kebutuhan birokrasi publik yaitu berpedoman pada
visi, misi, sasaran, tujuan serta fungsi dan tugas yang dilaksanakan
dalam konteks terciptanya birokrasi yang efektif dan efisien.
Penempatan seseorang dalam struktur birokrasi harus didasarkan
pada profesionalisme bukan didasarkan pada pertimbangan lain.
Definisi Manajemen
Definisi manajemen menurut Stoner & Wankel (1996:4),
mengatakan bahwa manajemen secara harfiah adalah proses
perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan dan pengendalian
upaya anggota organisasi dan penggunaan seluruh sumber daya
organisasi lainnya demi tercapainya tujuan organisasi yang telah
ditetapkan. Shafritz dan Russel (1997:20), adalah berkenaan
dengan orang yang bertanggung jawab menjalankan suatu
organisasi, dan proses menjalankan organisasi itu sendiri yaitu
pemanfaatan sumber daya seperti orang dan mesin untuk mencapai
tujuan organisasi. Definisi ini tidak menunjukkan proses yang
bertanggungjawab menjalankan proses tersebut. Donovan dan
Jackson (1991:11-12), mendefinisikan manajemen sebagai proses
yang dilaksanakan pada tingkat organisasi tertentu, sebagai
rangkaian keterampilan (skills), dan sebagai serangkaian tugas.
Dengan menggunakan pendapat Boyatiz dalam Keban. Ketiga
pengarang ini mengemukakan empat klaster kompetensi yang ada
dalam manajemen yaitu: (1) Klaster manajemen tujuan dan aksi
yang terdiri atas orientasi efisiensi, tindakan proaktif, kepedulian
terhadap dampak, dan penggunaan diagnostik terhadap konsep-
konsep, (2) Klaster pengarahan terhadap bawahan yaitu penggunaan
kekuasaan unilateral, pengembangan yang lain dan spontanitas, (3)
Klaster manajemen sumber daya manusia yaitu penggunaan dalam
MANAJEMEN PUBLIK 95
melakukan sosialisasi, mengelola kelompok, persepsi positif,
objektivitas persepsi, penilaian diri yang akurat, pengendalian diri,
stamina dan kemampuan menyesuaikan diri, dan (4) Klaster
kepemimpinan yaitu mengembangkan percaya diri, konseptualisasi,
pemikiran yang logis, dan penggunaan presentasi lisan. Henry
Simamora (2001:3), mengatakan bahwa manajemen adalah proses
pendayagunaan bahan baku dan sumber daya manusia untuk
mencapai tujuan-tujuan yang ditetapkan.
B. PARADIGMA MANAJEMEN
MANAJEMEN PUBLIK 97
barkan bagaimana merancang untuk meningkatkan kinerja
organisasi.
1. Manajemen Normatif
Pendekatan manajemen normatif melihat manajemen sebagai
suatu proses penyelesaian tugas atau pencapaian tujuan. Efektivitas
dari proses tersebut diukur dari apakah kegiatan-kegiatan organisasi
direncanakan, diorganisir, dikoordinasikan dan dikontrol secara
efisien Stoner (1978), Rue & Byars (1981). Manajemen normatif
sejak pembentukannya lebih bersifat "profit oriented" atau "business-
oriented" dan karena itu dianggap tidak cocok dengan ideology
administrasi publik yang lebih berorientasi kepada "public service"
aliran manajemen normatif mudah dikenal melalui rumusan fungsi-
fungsi manajemen bisnis sebagaimana pernah ditiru oleh
POSDCORB. Beberapa fungsi yang bersifat universal, dirinci sebagai
berikut:
a. Planning: suatu proses pengambilan keputusan tentang apa
tujuan yang harus dicapai pada kurung waktu tertentu di masa
mendatang dan apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan
tersebut. Proses tersebut terdiri atas dua elemen (1) penetapan
tujuan, dan (2) menentukan kegiatan-kegiatan yang harus dilaku-
kan untuk mencapai tujuan tersebut. Fungsi ini menghasilkan dan
mengintegrasikan tujuan, strategi dan kebijakan.
b. Organizing: suatu proses pembagian kerja (division of labor)
yang disertai dengan pendelegasian wewenang. Organizing sangat
bermanfaat dalam memberikan informasi tentang garis
kewenangan agar setiap anggota dalam organisasi bisa
mengetahui apa kepada siapa dia memberi perintah dan dari siapa
dia menerima perintah. Organizing juga diperlukan untuk
memperbaiki efisiensi kerja dan kualitas pekerjaan melalui
'synergism" yang baik dimana orang bekerja bersama-sama akan
memberikan output yang lebih besar daripada bekerja secara
sendiri-sendiri. Disamping itu, organizing juga dapat memperbaiki
komunikasi. Suatu struktur organisasi yang jelas dapat
menggambarkan garis komunikasi antara anggota.
c. Staffing: suatu proses untuk memperoleh tenaga yang tepat,
baik dalam jumlah maupun kualitas sesuai dengan kebutuhan
MANAJEMEN PUBLIK 99
dan pengarahan diri, maka jalan keluar yang dilakukan manajer
adalah melakukan supervisi yang ketat, merumuskan berbagai cara
dan prosedur kerja sesederhana mungkin, dan melaksanakan apa
yang diinstruksikannya kepada bawahan. Dengan demikian
diharapkan agar bawahan akan butuh dan menghasilkan apa yang
telah ditetapkan.
Dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, seorang
manajer sangat dipengaruhi oleh pola pikir manajemen tradisional
atau klasik yang melihat manusia yang dipimpinnya adalah orang
yang tidak senang dengan pekerjaan, malas, bodoh, tidak suka
bertanggungjawab, dan tidak mampu mengendalikan diri, serta
sesuatu mengutamakan uang. Karena itu, bawahan seharusnya
dikontrol secara ketat, pekerjaannya harus dirumuskan secara
sederhana dan jelas, dan berusaha menterjemahkan kegiatannya ke
dalam prosedur-prosedur dan rutinitas yang rinci dan memaksa untuk
mengikutinya, dan mendorong bekerja dengan paksaan atau
memanipulasinya dengan uang. Hal ini yang disebut sebagai tugas
utama seorang manajer. Harapannya yaitu agar bawahannya bekerja
terus dan selalu berusaha memenuhi standar yang dituntut.
Prinsip seperti ini kemungkinan lebih cocok dimana kualitas
para bawahan masih rendah dan memprihatinkan, dan bawahan
nampak sangat berorientasi kepada kebutuhan fisik dan rasa aman.
Mereka masih bekerja dengan orientasi memenuhi kebutuhan pokok.
Meskipun demikian, perlu diketahui bahwa pola manajemen yang
menekankan prosedur yang standar dan rutinitas ini hanya cocok
untuk suasana yang stabil, tidak mudah berubah. Bila suasana tidak
stabil maka pola ini justru tidak bermanfaat.
Dalam model human relations, seorang manajer berasumsi
bahwa hanya ingin merasa berguna dan penting, dikenal sebagai
seorang individu yang berarti, bahwa keinginan tersebut mungkin
lebih penting daripada uang, maka jalan keluarnya yaitu memuji
individu atau bawahannya agar mereka merasa penting/berguna,
selalu mendengarkan keluhan dan saran bawahannya, dan
membiarkan bawahan melakukan pengendalian dan pengarahan diri
dalam hal-hal rutin. Dengan demikian, diharapkan agar bawahan
menjadi termotivasi, dan bersedia bekerjasama secara sukarela.
2. Manajemen Deskriptif
Pendekatan manajemen deskriptif dapat diamati dari karya H.
Mintzbeng (1973). Mintzbeng memberikan fungsi-fungsi yang bisa
dilakukan oleh seorang manajer ditempat kerjanya. Menurut
Mintzbeng, fungsi manajemen yang benar-benar dijalankan terdiri
atas kegiatan-kegiatan personal, interaktif, administratif dan teknis.
Jenis pertama adalah kegiatan personal, yaitu kegiatan yang
dilakukan manajer untuk mengatur waktunya sendiri, berbicara
dengan para broker, menghadiri pertandingan dan kegiatan-kegiatan
lain yang memuaskan dirinya atau keluarganya. Dalam konteks
organisasi, kegiatan-kegiatan ini mungkin dianggap tidak penting,
tetapi sebagai manusia, seorang manajer pasti terlibat, bahkan
kandungan-kandungan menentukan keberhasilan kariernya. Seorang
3. Manajemen Stratejik
Pada dasarnya manajemen stratejik merupakan perpaduan
antara konsep "manajemen" dan "stratejik". Manajemen dapat
diartikan sebagai proses penggerakan orang dan bukan orang untuk
mencapai tujuan organisasi. Sedangkan stratejik dapat diartikan
sebagai kiat, cara dan/ atau taktik yang dirancang secara sistemik
dalam menjalankan fungsi-fungsi manajemen dalam rangka
mencapai tujuan organisasi secara efisien dan efektif.
Nawawi (2003:248), merumuskan empat definisi manajemen
stratejik yaitu: (1) Manajemen stratejik adalah "proses atau
rangkaian kegiatan pengambilan keputusan yang bersifat mendasar
dan menyeluruh disertai penetapan melaksanakannya, yang dibuat
oleh manajemen puncak dan diimplementasikan oleh seluruh jajaran
di dalam suatu organisasi, untuk mencapai tujuannya". (2) Manaje-
men stratejik adalah "usaha manajerial menumbuhkembangkan
kekuatan organisasi untuk mengeksploitasi peluang yang muncul
guna mencapai tujuannya yang telah ditetapkan sesuai dengan misi
yang ditentukan. (3) Manajemen stratejik adalah arus keputusan dan
tindakan yang mengarah pada pengembangan suatu strategi atau
strategi-strategi yang efektif untuk membantu mencapai tujuan. (4)
Manajemen stratejik adalah perencanaan berskala jangkauan masa
depan yang jauh (disebut visi), dan ditetapkan sebagai keputusan
manajemen puncak (keputusan yang bersifat mendasar dan prinsipil),
agar memungkinkan organisasi berinteraksi secara efektif (disebut
misi), dalam usaha menghasilkan sesuatu (perencanaan operasional
untuk menghasilkan barang dan/atau jasa serta pelayanan) yang
berkualitas, dengan diarahkan pada optimalisasi pencapaian tujuan
4. Manajemen Publik
C. FUNGSI-FUNGSI MANAJEMEN
A. KONSEP KEPEMIMPINAN
Konsep kepemimpinan pada dasarnya berasal dari kata
"pimpin" yang artinya bimbing atau tuntun. Dari kata "pimpin"
melahirkan kata kerja "memimpin" yang artinya membimbing atau
menuntun dan kata benda "pemimpin" yaitu orang yang berfungsi
memimpin, atau orang yang membimbing atau menuntun.
Sedangkan kepemimpinan yaitu kemampuan seseorang dalam
mempengaruhi orang lain dalam mencapai tujuan.
Di dalam literatur administrasi publik sering dijumpai istilah
management yang merupakan inti dari administrasi, karena memang
menurut Pamudji (1989), Siagian (2004), Keban (2006),
mengatakan bahwa manajemen merupakan alat pelaksana utama
dari pada administrasi. Istilah manaJemen diterjemahkan dengan
"kepemimpinan". Sedangkan pihak lain memakai istilah "tata
pimpinan" selain itu ada juga tetap memakai istilah manajemen
(Indonesia).
Konsep "pemimpin" berasal dari kata asing "leader" dan
"kepemimpinan" dari "leadership". Sedangkan manajemen berasal
dari kata management. Jadi antara kepemimpinan dan manajemen
berbeda baik dari asal katanya maupun pengertiannya. Hal ini dapat
dilihat dari pendapat Pamudji (1989:6) bahwa: (1) kepemimpinan
nuansanya mengarah kepada kemampuan individu, yaitu
kemampuan seorang pemimpin, sedangkan manajemen mengarah
pada sistem dan mekanisme kerja. (2) Kepemimpinan merupakan
kualitas hubungan atau interaksi antara pemimpin dan pengikut
B. TIPE KEPEMIMPINAN
C. GAYA KEPEMIMPINAN
D. TEORI-TEORI KEPEMIMPINAN
A. KONSEP PELAYANAN
Definisi Pelayanan
Pelayanan pada dasarnya dapat didefinisikan sebagai aktivitas
seseorang, sekelompok dan atau organisasi baik langsung maupun
tidak langsung untuk memenuhi kebutuhan pelanggan. Pelayanan
diberikan sebagai tindakan seseorang untuk memberikan kepuasan
kepada pelanggan. Dalam artian bahwa pelayan langsung
berhadapan dengan pelanggan dengan menempatkan pelanggan
sebagai sesuatu yang urgen.
Monir (2003:16), mengatakan bahwa pelayanan adalah
proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas orang lain secara
langsung. Sedangkan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
(1993), mengemukakan bahwa pelayanan adalah segala bentuk
kegiatan pelayanan dalam bentuk barang atau jasa dalam rangka
upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Definisi Pelayanan Publik
Definisi pelayanan publik menurut UUD Pelayanan Publik Nomor
25 Tahun 2009 adalah sebagai kegiatan atau rangkaian kegiatan
dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai peraturan
perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas
barang, jasa dan atau pelayanan administrasi yang disediakan oleh
penyelenggaraan pelayanan publik. Sedangkan yang dimaksud
penyelenggara pelayanan publik adalah setiap institusi penyelenggara
Definisi Kualitas
Kualitas pada dasarnya merupakan kata yang menyandang arti
relatif karena bersifat abstrak, kualitas dapat digunakan untuk menilai
C. KEPUASAN PELANGGAN
Pengolahan Data
Metode Pengolahan Data
Nilai IKM dihitung dengan menggunakan “nilai rata-rata
tertimbang” masing-masing unsur pelayanan. Dalam penghitungan
indeks kepuasan masyarakat terhadap 14 unsur pelayanan yang
dikaji, setiap unsur pelayanan memiliki penimbang yang sama
dengan rumus sebagai berikut:
Jumlah bobot 1
Bobot nilai rata - rata = = = 0,071
Jumlah unsur 14
Contoh:
Apabila diketahui nilai rata-rata unsur dari masing-masing unit
pelayanan adalah sebagaimana tabel berikut:
NILAI UNSUR
No. UNSUR PELAYANAN
PELAYANAN
1 Prosedur pelayanan 3,42
2 Persyaratan pelayanan 2,65
3 Kejelasan petugas pelayanan 3,53
4 Kedisiplinan petugas pelayanan 2,31
5 Tanggungjawab petugas pelayanan 1,55
6 Kemampuan petugas pelayanan 3,12
7 Kecepatan pelayanan 2,13
8 Keadilan mendapatkan pelayanan 2,43
9 Kesopanan dan keramahan petugas 3,21
10 Kewajaran biaya pelayanan 1,45
11 Kepastian biaya pelayanan 1,93
12 Kepastian jadwal pelayanan 2,31
13 Kenyamanan lingkungan 3,03
14 Keamanan pelayanan 1,56
Keterangan:
• U1 s.d. U14 = unsur pelayanan
• NRR = Nilai rata-rata
• IKM = Indeks kepuasan masyarakat
• I) = Jumlah NRR IKM TERTIMBANG
• II) = IKM UNIT PELAYANAN
Konsep sistem
Istilah sistem berasal dari kata Yunani "Systema" yang
mempunyai pengertian yaitu: (1) suatu keseluruhan yang tersusun
dari sekian banyak bagian. (2) Hubungan yang berlangsung di antara
satuan-satuan atau komponen secara teratur. Amirin (1992:1),
mengatakan bahwa sistem adalah sehimpunan bagian atau
komponen yang saling berhubungan secara teratur dam merupakan
satu keseluruhan. Definisi Sistem dapat diketahui lebih jelas dengan
menjawab pertanyaan berikut: (1) Apa saja yang menjadi unsur-
unsur sistem? Unsur-unsur sistem dapat berupa sekelompok orang,
mesin, sejumlah fasilitas dan seperangkat pedoman. (2) Apakah
tujuan sistem itu? Sistem bertujuan menghasilkan produk atau jasa
dengan sejumlah dan jenis tertentu, mengurangi ketidakpastian
dalam pembuatan keputusan atau mencapai tujuan tertentu. (3) Apa
yang dilakukan untuk mencapai tujuan? Tujuan dicapai dengan
kegiatan tertentu, misalnya memroses sesuatu, atau menyusun
struktur, dan atau prosedur memroses. (4) Apakah yang diproses
oleh sistem? yang diproses dapat berupa data, bahan-bahan atau
gabungan data dan bahan. (5) Apa yang dihasilkan oleh proses itu?
Jika yang diproses adalah data, maka hasilnya informasi. Jadi
tergantung dari apa yang diproses. (6) Apa keberhasilan proses
tersebut? Keberhasilan proses dapat diukur dari sudut waktu, tenaga,
Beberapa Definisi
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43
Tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 8 Tahun
1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, dikutip beberapa
pengertian untuk menyamakan persepsi dan interpretasi tentang
istilah-istilah kepegawaian sebagai berikut.
1. Pegawai Negeri adalah “setiap warga negara Republik
Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat
oleh pejabat yang berwewenang dan diserahi tugas negara
lainnya dan digaji berdasarkan perundang-undangan yang
berlaku". Pegawai Negeri terdiri atas: (1) Pegawai Negeri Sipil, (2)
Anggota Tentara Nasional Indonesia; dan (3) Anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia. Sedangkan Pegawai Negeri Sipil
terbagi dua, yaitu: (1) Pegawai Negeri Sipil Pusat, (2) Pegawai
Negeri Sipil Daerah.
B. REKRUTMEN PNS
Analisa Pekerjaan
Pada dasarnya analisa pekerjaan merupakan manajemen
Pegawai Negeri Sipil (MPNS) yang harus selalu dilakukan dalam
rangka menyusun kebutuhan MPNS. Rencana kebutuhan PNS akan
dapat dilaksanakan dengan tepat bila sebelumnya sudah dilakukan
analisis pekerjaan yang tepat pula dalam suatu instansi.
Istilah analisis pekerjaan berasal dari bahasa Inggris Job
Analysis. Karena itu ada pula menyebutnya dengan istilah analisis
jabatan atau analisis tugas. Namun dalam buku ini digunakan analisis
pekerjaan sebagai pengganti job analysis. Analisis pekerjaan
merupakan proses pengumpulan, mengkaji semua jenis pekerjaan
yang terdapat dalam suatu instansi.
Untuk menyamakan persepsi dan interpretasi tentang informasi
yang dapat diperoleh dalam perencanaan, maka dikutip beberapa
pendapat oleh para ahli tentang perencanaan sebagai berikut.
Michael J. Jucius dalam Saydam (1996:27), mengatakan
bahwa untuk analisa pekerjaan diperlukan informasi tentang: (1)
Uraian Pekerjaan
Uraian pekerjaan sering pula disebut dengan uraian jabatan,
merupakan terjemahan dari bahasa Inggris “Job Description”. Dalam
bahasa sehari-hari jabatan diartikan sebagai tugas yang diemban
pegawai, sehingga pegawai yang mengembannya disebut “Pejabat”.
Dale Yoder dalam Saydam (1996), menyebutkan bahwa
uraian pekerjaan adalah semacam ikhtiar informasi sistematis yang
berasal dari catatan-catatan yang termuat dalam analisis pekerjaan.
Dari definisi di atas maka dapat diketahui bahwa uraian
pekerjaan berisi: (1) Berupa daftar tertulis tentang pekerjaan. (2)
Berisi kewajiban yang akan dilaksanakan, (3) Tanggungjawab
pelaksana.
Persyaratan Pekerjaan
Persyaratan pekerjaan berkaitan erat dengan uraian pekerjaan.
Bila uraian pekerjaan dengan profil suatu pekerjaan, maka
persyaratan pekerjaan menonjolkan kriteria pegawai yang diperlukan
dalam melaksanakan pekerjaan itu sendiri. Persyaratan pekerjaan
biasa disebut spesifikasi pekerjaan atau spesifikasi jabatan. Istilah ini
merupakan terjemahan dari bahasa Inggris “Job Specification”.
Bahan untuk menyusun persyaratan pekerjaan ini diperoleh dari
hasil kajian tugas dan tanggungjawab yang terdapat dalam uraian
pekerjaan dan merumuskannya dengan kualifikasi pegawai yang
dibutuhkan agar mampu melaksanakan pekerjaan yang tersedia
dengan tepat.
Untuk menentukan persyaratan pekerjaan atau persyaratan
pegawai Alec Rodger dalam Saydam (1996:42), mengemukakan
ada faktor pribadi yang perlu diperhatikan yaitu: (1) Penampilan fisik,
(2) Kemampuan diri, (3) Sikap dan perilaku, (4) Minat, dan (5)
Kepribadian.
Formasi
Formasi menurut Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999
tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974
tentang Pokok-pokok Kepegawaian pasal 15 ayat 1 dan 2, adalah
penentuan jumlah dan susunan pangkat PNS yang diperlukan untuk
melaksanakan tugas pokok yang ditetapkan oleh pejabat yang
berwewenang. Thoha (2007:27), mengatakan bahwa formasi adalah
jumlah dan susunan pangkat PNS yang diperlukan oleh suatu satuan
organisasi negara untuk mampu melaksanakan tugas pokok untuk
jangka waktu tertentu yang ditetapkan oleh menteri yang
bertanggungjawab dalam bidang penertiban dan penyempurnaan
aparatur negara.
Formasi ditetapkan berdasarkan perkiraan beban kerja dalam
jangka waktu tertentu dan mempertimbangkan macam-macam
pekerjaan, rutinitas pekerjaan, keahlian yang diperlukan untuk
melaksanakan tugas dan hal-hal lain yang mempengaruhi jumlah dan
SDM yang diperlukan.
Pengadaan Pegawai
Setelah kegiatan pelaksanaan perencanaan PNS dilaksanakan,
maka langkah selanjutnya ialah melaksanakan kegiatan pengadaan
PNS itu sendiri. Pengadaan PNS menurut Peraturan Pemerintah
Nomor 11 tahun 2002 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah
Nomor 98 Tahun 2000 tentang pengadaan PNS, adalah “proses
kegiatan yang dilakukan oleh suatu organisasi untuk mendapatkan
PNS yang mempunyai kemampuan untuk melaksanakan uraian
pekerjaan yang sudah ditentukan sebelumnya”.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2002
tersebut di atas, yang dimaksud dengan pengadaan Pegawai Negeri
Sipil adalah “kegiatan mengisi formasi yang lowong. Pengadaan PNS
bagi suatu organisasi dilakukan ketika ada lowongan pekerjaan.
Namun proses kegiatannya perlu dilakukan terus menerus, karena
kegiatan pengadaan memerlukan waktu yang lama. Dalam kegiatan
terus menerus ini perlu dilaksanakan mencari pegawai yang
memenuhi kualifikasi pekerjaan.
Bila sumber pengadaan dari dalam organisasi sendiri, maka
cara yang paling tepat adalah melalui catatan yang ada dalam arsip
kepegawaian, serta dari sistem informasi kepegawaian yang sudah
disusun sebelumnya. Sasaran pengadaan PNS dari dalam yaitu agar
organisasi dapat menempatkan orang yang tepat pada tempat yang
tepat (the right man in the right place). Dengan pengertian bahwa
pegawai yang diterima yaitu pegawai yang mempunyai kecakapan
Persyaratan
Syarat yang harus dipenuhi oleh setiap pelamar adalah: (1)
Warga Negara Indonesia (WNI). (2) Berusia serendah-rendahnya 18
(delapan belas) tahun dan setinggi-tingginya 35 (tiga puluh lima)
tahun. (3) tidak pernah dihukum penjara atau kurungan berdasarkan
putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap,
karena melakukan suatu tindak pidana kejahatan. (4) Tidak pernah
diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri atau tidak
dengan hormat sebagai PNS, atau diberhentikan tidak dengan hormat
sebagai pegawai swasta. (5) Tidak berkedudukan sebagai calon/PNS.
(6) Mempunyai pendidikan, kecakapan, keahlian dan keterampilan
yang diperlukan. (7) Berkelakuan baik. (8) Sehat jasmani dan rohani,
(9) Bersedia ditempatkan di seluruh wilayah negara Republik
Indonesia atau negara lain yang ditentukan oleh pemerintah. (10)
syarat lain yang ditentukan dalam persyaratan jabatan.
Golongan
Golongan ruang yang ditetapkan untuk pengangkatan sebagai
CPNS adalah: (1) Golongan ruang Ia bagi yang saat melamar
serendah-rendahnya memiliki dan menggunakan surat Tanda Tamat
Belajar (STTB) Ijazah Sekolah Dasar atau setingkat. (2) Golongan
ruang Ic bagi yang saat melamar serendah-rendahnya memiliki dan
menggunakan STTB/Ijazah SLTP atau yang sederajat. (3) Golongan
ruang IIa bagi yang saat melamar serendah-rendahnya memiliki dan
menggunakan STTB/Ijazah SLTA atau yang sederajat. (4) Golongan
ruang IIb bagi yang saat melamar serendah-rendahnya memiliki dan
menggunakan STTB/Ijazah Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa atau
Diploma II. (5) Golongan ruang IIc bagi yang saat melamar
serendah-rendahnya memiliki dan menggunakan Ijazah Sarjana Muda
atau Diploma III. (6) Golongan ruang IIIa bagi yang saat melamar
serendah-rendahnya memiliki dan menggunakan Ijazah sarjana (S1)
atau Diploma IV. (7) Golongan ruang IIIb bagi yang saat melamar
serendah-rendahnya memiliki dan menggunakan Ijazah Apoteker,
dan Ijazah lain yang setara dengan Magister (S2) atau Ijazah
Spesialis I. (8) Golongan ruang IIIc bagi yang saat melamar
serendah-rendahnya memiliki dan menggunakan Ijazah Doktor (S3)
atau Ijazah Spesialis II.
Ijazah yang dimaksud di atas adalah ijazah yang diperoleh dari
sekolah atau perguruan tinggi negeri dan/atau ijazah yang diperoleh
dari sekolah atau perguruan tinggi swasta yang terakreditasi oleh
menteri yang bertanggungjawab di bidang pendidikan nasional atau
pejabat lain yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku berwewenang menyelenggarakan pendidikan.
Ijazah yang diperoleh dari sekolah atau perguruan tinggi di luar
negeri hanya dapat dihargai apabila telah diakui dan ditetapkan sede-
rajat dengan Ijazah dari sekolah atau perguruan tinggi yang
ditetapkan Menteri Pendidikan Nasional atau Pejabat lain yang
Pemberhentian CPNS
CPNS dapat diberhentikan menurut PP No. 11 Tahun 2002
apabila: (1) mengajukan permohonan berhenti; (2) tidak memenuhi
syarat kesehatan; (3) tidak lulus pendidikan dan pelatihan
prajabatan; (4) tidak menunjukkan kecakapan dalam melaksanakan
tugas; (5) menunjukkan sikap dan budi pekerti yang tidak baik yang
dapat mengganggu lingkungan pekerjaan, (6) pada waktu melamar
dengan sengaja memberikan keterangan atau bukti yang tidak benar,
C. SISTEM PENGGAJIAN
Pangkat
Pangkat menurut Thoha (2007:37), adalah kedudukan yang
menunjukkan tingkat seseorang PNS dalam rangkaian susunan
kepegawaian dan digunakan sebagai dasar penggajian. Berdasarkan
PP Nomor 12 Tahun 2002 tentang perubahan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 99 Tahun 2000 tentang kenaikan pangkat PNS,
yang dimaksud kenaikan pangkat adalah "penghargaan yang
diberikan atas prestasi kerja dan pengabdian PNS yang bersangkutan
terhadap Negara. Selain itu, kenaikan pangkat juga dimaksudkan
sebagai dorongan kepada PNS untuk lebih meningkatkan prestasi
kerja dan pengabdiannya.
Kenaikan pangkat dalam PP tersebut di atas, terdiri 3 jenis
yaitu: (1) kenaikan pangkat regular, dan (2) kenaikan pangkat
pilihan, dan (3) kenaikan pangkat pengabdian.
Kenaikan pangkat regular diberikan kepada PNS termasuk
pegawai: (1) melaksanakan tugas belajar dan sebelumnya tidak
menduduki jabatan struktural atau jabatan fungsional tertentu, (2)
dipekerjakan secara penuh di luar instansi induk dan tidak menduduki
jabatan pimpinan yang telah ditetapkan eselonnya atau jabatan
fungsional tertentu. Kenaikan pangkat reguler diberikan kepada PNS
sepanjang tidak melampaui pangkat atasannya.
Kenaikan pangkat reguler diberikan setingkat lebih tinggi
apabila: (1) sekurang-kurangnya telah 4 (empat) tahun dalam
pangkat terakhir, dan (2) setiap unsur penilaian prestasi kerja
sekurang-kurangnya bernilai baik dalam 2 (dua) tahun terakhir.
Jabatan Struktural
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2002
tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun
2000 tentang pengangkatan dalam jabatan struktural, yang dimaksud
jabatan struktural adalah suatu kedudukan yang menunjukkan tugas,
tanggungjawab, wewenang dan hak seorang PNS dalam rangka
memimpin suatu satuan organisasi negara. Sedangkan yang
dimaksud eselon adalah tingkatan jabatan struktural. Pola karier
adalah pola pembinaan PNS yang menggambarkan alur pengem-
bangan karier yang menunjukkan keterkaitan dan keserasian antara
jabatan, pangkat, pendidikan dan pelatihan jabatan, kompetensi,
serta masa jabatan PNS sejak pengangkatan pertama dalam jabatan
tertentu sampai pensiun.
Persyaratan untuk dapat diangkat dalam jabatan struktural
yaitu: (1) berstatus PNS, (2) serendah-rendahnya menduduki
peringkat 1 (satu) tingkat di bawah jenjang pangkat yang ditentukan,
(3) Memiliki kualifikasi dan tingkat pendidikan yang ditentukan, (4)
Semua unsur penilaian prestasi kerja sekurang-kurangnya bernilai
baik dalam 2 (dua) tahun terakhir, (5) memiliki kompetensi jabatan
yang diperlukan, (6) sehat jasmani dan rohani.
Selanjutnya dalam PP Nomor 13 Tahun 2002 tersebut di atas,
dijelaskan pula bahwa PNS yang menduduki jabatan struktural tidak
dapat menduduki jabatan rangkap, baik dengan jabatan struktural
maupun dengan jabatan fungsional.
B. KONSEP KINERJA
Definisi Kinerja
Konsep kinerja pada dasarnya dapat dilihat dari dua segi, yaitu
kinerja pegawai (perindividu) dan kinerja organisasi. Kinerja pegawai
adalah hasil kerja perseorangan dalam suatu organisasi. Sedangkan
kinerja organisasi adalah totalitas hasil kerja yang dicapai suatu
organisasi. Kinerja pegawai dan kinerja organisasi memiliki keter-
kaitan yang sangat erat. Tercapainya tujuan organisasi tidak bisa
dilepaskan dari sumber daya yang dimiliki oleh organisasi yang
digerakkan atau dijalankan pegawai yang berperan aktif sebagai
pelaku dalam upaya mencapai tujuan organisasi tersebut.
Ada berbagai pendapat tentang kinerja, seperti dikemukakan
oleh Rue & Byars (1981:375), mengatakan bahwa kinerja adalah
sebagai tingkat pencapaian hasil. Kinerja menurut Interplan
(1969:15), adalah berkaitan dengan operasi, aktivitas, program, dan
misi organisasi. Murphy dan Cleveland (1995:113), mengatakan
bahwa kinerja adalah kualitas perilaku yang berorientasi pada tugas
atau pekerjaan. Ndraha (1997:112), mengatakan bahwa kinerja
adalah manifestasi dari hubungan kerakyatan antara masyarakat
dengan pemerintah. Sedangkan Widodo (2006:78), mengatakan
bahwa kinerja adalah melakukan suatu kegiatan dan menyempurna-
kannya sesuai dengan tanggung jawabnya dengan hasil seperti yang
diharapkan. Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia
disingkat LAN-RI (1999:3), merumuskan kinerja adalah gambaran
mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan, program,
kebijaksanaan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi, dan visi
organisasi. Konsep kinerja yang dikemukakan LAN-RI lebih
mengarahkan kepada acuan kinerja suatu organisasi publik yang
cukup relevan sesuai dengan strategi suatu organisasi yakni dengan
misi dan visi yang lain yang ingin dicapai.
Selanjutnya Gibson (1990:40), mengatakan bahwa kinerja
seseorang ditentukan oleh kemampuan dan motivasinya untuk
C. INDIKATOR KINERJA
D. PENGUKURAN KINERJA
1. Kemampuan
Pada dasarnya kemampuan adalah suatu kapasitas individu
untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu organisasi.
Kemampuan tersebut dapat dilihat dari dua segi: (1) kemampuan
intelektual, yaitu kemampuan yang diperlukan untuk melakukan
kegiatan mental, dan (2) kemampuan fisik, yaitu kemampuan yang
diperlukan untuk melakukan tugas-tugas yang menuntut stamina,
kecekatan, kekuatan dan keterampilan. Kemampuan dalam suatu
bidang hanya dapat dimiliki oleh seorang yang memiliki bakat dan
intelegensi (kecerdasan) yang mencukupi. Sedangkan bakat biasanya
dikembangkan dengan pemberian kesempatan pengembangan
pengetahuan melalui tiga hal yaitu: (1) pendidikan, (2) pelatihan, dan
pengalaman kerja. Adanya bakat yang bersifat potensial tanpa
diberikan kesempatan untuk dikembangkan tidak akan berubah
menjadi kemampuan. Sebaliknya sekalipun instansi memberi
kesempatan, tetapi bila yang bersangkutan tidak mempunyai bakat
yang mendasar, maka pemberian kesempatan tersebut tidak akan
efektif. Selain bakat dan pengetahuan yang merupakan syarat utama
terbentuknya suatu kemampuan, terdapat pula faktor minat yang
mempunyai pengaruh terhadap kemampuan melakukan pekerjaan.
Kemudian kemampuan pada umumnya didasarkan pada bakat yang
dimiliki oleh seseorang. Adapun yang dimaksud bakat adalah
merupakan suatu kondisi atau keadaan yang dimiliki seseorang yang
2. Kemauan
Kemauan atau motivasi adalah kesediaan untuk mengeluarkan
tingkat upaya yang tinggi untuk tujuan organisasi. Kemauan atau
motivasi kerja seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: (a)
pengaruh lingkungan fisik, yaitu setiap pegawai menghendaki
lingkungan fisik yang baik untuk bekerja, lampu yang terang,
ventilasi udara yang nyaman, sejuk, bebas dari gangguan suara
berisik dan sebaiknya ada musik. (b) pengaruh lingkungan sosial
yaitu sebagai makhluk sosial dalam melaksanakan pekerjaan tidak
semata-mata hanya mengejar penghasilan saja, tetapi juga
mengharapkan penghargaan oleh pegawai lain, pegawai lebih
berbahagia apabila dapat menerima dan membantu pegawai lain.
Kemauan merupakan energi sebagaimana yang telah dikemukakan
oleh Jordan E. Ayan (2002:47), adalah pemercik api yang
menyalakan jiwa. Tanpa adanya energi psikis dan fisik yang
mencukupi, perbuatan kreatif pegawai terhambat. Mihaly Csiks-
zentmihalyi dari Universitas Chicago dalam Ayan (2002:47), telah
melakukan riset tentang pentingnya energi sebagai unsur terpenting
dalam keberhasilan intelektual dan kreatif. Lewatnya risetnya yang
mendalam menunjukkan bahwa orang-orang menjadi sukses dalam
melakukan tugas jika mampu mencapai suatu keadaan yang
A. KONSEP ETIKA
Definisi Etika
Secara (Etimologik), etika berasal dari kata Yunani “Ethos” yang
berarti watak kesusilaan atau adat. Identik dengan perkataan moral
yang berasal dari kata latin “Mos” yang bentuk jamaknya “Mores”
yang berarti juga adat atau cara hidup.
Etika dan moral sama artinya, tetapi dalam pemakaian sehari-
hari ada sedikit perbedaan. Moral dan atau moralitas dipakai untuk
perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk
pengkajian sistem nilai-nilai yang ada. Contoh: (1) Perbuatan itu
bermoral, (2) Sesuai dengan norma-etika.
Istilah lain yang identik dengan etika: (1) Susila (Sansakerta)
yang lebih berorientasi kepada dasar-dasar, prinsip, aturan hidup
(sila) yang lebih baik (su). (2) Akhlak (Arab) moral berarti akhlak.
Poedjawijatna (1972:3), mengatakan bahwa etika
merupakan cabang dari filsafat. Etika mencari kebenaran dan sebagai
filsafat ia mencari keterangan (benar) yang sedalam-dalamnya.
Sebagai tugas tertentu bagi etika, ia mencari ukuran baik-buruknya
bagi tingkah laku manusia. Etika hendak mencari, tindakan manusia
manakah yang baik manakah yang tidak baik atau buruk.
Bertens dalam Keban (2004:147), menggambarkan konsep
etika dengan beberapa arti salah satu diantaranya dan biasa
digunakan orang adalah kebiasaan, adat atau akhlak dan watak.
Menurut Salam Burhanuddin (1991:1), Etika adalah sebuah
refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma moral yang
Definisi Governance
Sedangkan yang dimaksud Governance menurut Ganie
Rochman (2000:142) adalah mekanisme pengelolaan sumber daya
ekonomi dan sosial yang melibatkan pengaruh sektor negara dan
sektor pemerintah dalam suatu kegiatan kolektif. Pinto dalam
Widodo (2006:107), mengatakan bahwa Governance adalah praktik
penyelenggaraan kekuasaan dan kewenangan oleh pemerintah dalam
pengelolaan urusan pemerintahan secara umum dan pembangunan
ekonomi pada khsususnya. LAN (2000:1) mendefinisikan Governance
adalah sebagai proses penyelenggaraan negara dalam melaksanakan
penyediaan public goods and services.
Sebelum melakukan pembahasan lebih lanjut tentang apa
pengertian dan apa yang menjadi dasar-dasar dan prinsip-prinsip
Good governance dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat,
dirasa perlu memahami pengertian dan beberapa perbedaan antara
kepemerintahan (governance ) dan pemerintah (government) yaitu
antara lain: Pemerintahan (government) dalam pengertiannya bahwa
Pemerintah adalah merupakan salah satu unsur dari tiga unsur
berdirinya sebuah negara disamping rakyat dan wilayah. Selanjutnya
unsur pemerintah merupakan sebuah kekuasaan (power) untuk
menjalankan pemerintahan dengan melayani kepentingan rakyat
serta bertugas/berhak menjalankan roda pemerintahan dengan
peraturan dan perundang-undangan serta peraturan lainnya untuk
mengatur rakyat dengan tujuan tercapainya kesejahteraan rakyat itu
sendiri. Kekuasaan yang diberikan tersebut merupakan tugas untuk
mengatur dan pelaksanaan ketertiban dan keamanan dalam
masyarakat serta melakukan pungutan pajak dan retribusi serta
mengatur jalannya perekonomian dalam sebuah Negara.
Di pihak lain rakyat selama ini diartikan sebagai orang yang
diperintah mempunyai hak dan kewajiban tertentu sesuai dengan
B. PERUBAHAN PARADIGMA
Dokumen: